61-Article Text-439-1-10-20210831

You might also like

Download as pdf or txt
Download as pdf or txt
You are on page 1of 14

Journal of Humanity

& Social Justice


Journal Homepage: Volume 3 Issue 2, 2021
http://ojs.isjn.or.id/index.php/journalhsj e-ISSN: 2657-148X

Diskriminasi Masyarakat Terhadap Pasien dan Eks Pasien COVID-19

Yulianti1, Nikmatul Choyroh Pamungkas2


1Pascasarjana Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, Yogyakarta, Indonesia.
Email: nengyuli0796@gmail.com,
2Pascasarjana Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, Yogyakarta, Indonesia.

Email: nikmatulchoyroh99@gmail.com

ARTICLE INFO ABSTRACT

Keywords: At the end of 2019 the world arrives with a very dangerous virus, namely the
Discrimination, Corona or COVID-19 virus. This virus is a new name given by the World
COVID-19, Social Health Organization for patients with the 2019 corona novel virus infection
Impact. which was first reported from the city of Wuhan, China. The spread of this
virus is very fast and has become a new problem. Because this virus also spread
Kata kunci: to Indonesia in March 2020. The spread in Indonesia is also very fast and the
Diskriminasi, number of patients continues to increase, so that people are starting to be aware
COVID-19, Dampak of this virus. Then with a lot of news in the media about the dangers of COVID-
Sosial. 19, the public was afraid so that many COVID-19 patients experienced
discrimination in society. Patients or ex-patients with COVID-19 receive
discrimination in society because of the lack of credible and excessive
How to cite: information obtained from television and online media. So that the public views
Yulianti, & that patients or ex patients with COVID-19 are easy to transmit the virus and
Pamungkas, N. C. are very dangerous. As for the discrimination that is obtained by labeling,
(2021). Diskriminasi stereotypes, the existence of exclusion because they are considered to still carry
Masyarakat the COVID-19 virus. This research method is a descriptive qualitative research
Terhadap Pasien dan method because it is to see in detail the problems faced by patients with
Eks Pasien Covid-19. COVID-19 or ex patients. The data source of this study used interview data
Journal of Humanity taken from 5 ex COVID-19 patients and supported by literary studies. The
and Social Justice, results show that there is indeed discrimination experienced by ex COVID-19
3(2), 150-163. patients in the community. Then this discrimination was also experienced by
the families of ex COVID-19 patients. Then the social impact faced by ex
patients with COVID-19 is due to community discrimination, namely
disruption of mental health, reducing social contact with the community,
hiding the illness they suffer.

Abstrak
Di penghujung tahun 2019 ini dunia didatangi dengan virus yang
sangat berbahaya yaitu virus Corona atau COVID-19. Virus ini
merupakan nama baru yang diberikan oleh World Health Organization
(WHO) untuk pasien infeksi virus novel corona 2019 yang pertama kali
dilaporkan dari kota Wuhan, China. Penyebaran virus ini sangat cepat
dan menjadi masalah baru. Karena virus ini juga menyebar ke
Indonesia pada Maret 2020. Penyebaran di Indonesia juga sangat cepat
dan jumlah penderitanya terus bertambah, sehingga masyarakat mulai
mewaspadai virus ini. Kemudian dengan banyaknya pemberitaan di

150
Journal of Humanity and Social Justice
Volume 3 Issue 2, 2021, (150-163). e-ISSN: 2657-148X. Diskriminasi Masyarakat Terhadap Pasien…

media tentang bahaya COVID-19, masyarakat ditakuti sehingga


banyak pasien COVID-19 mengalami diskriminasi di masyarakat.
Pasien atau mantan pasien COVID-19 mendapat diskriminasi di
masyarakat karena kurangnya informasi yang tidak akurat dan
berlebihan yang diperoleh dari televisi dan media online. Sehingga
pandangan masyarakat bahwa pasien atau mantan pasien COVID-19
mudah menularkan virus dan sangat berbahaya. Adapun diskriminasi
yang didapat dari pelabelan, stereotip, adanya eksklusi karena
dianggap masih membawa virus COVID-19. Metode penelitian ini
merupakan metode penelitian deskriptif kualitatif karena untuk
melihat secara detail permasalahan yang dihadapi oleh pasien COVID-
19 atau mantan pasien. Sumber data penelitian ini menggunakan data
wawancara yang diambil dari 5 eks pasien COVID-19 dan didukung
dengan studi kepustakaan. Hasil penelitian menunjukkan memang ada
diskriminasi yang dialami eks pasien COVID-19 di masyarakat.
Kemudian diskriminasi ini juga dialami oleh keluarga eks pasien
COVID-19. Kemudian dampak sosial yang dihadapi eks pasien
COVID-19 akibat diskriminasi masyarakat yaitu terganggunya
kesehatan jiwa, berkurangnya kontak sosial dengan masyarakat,
menyembunyikan penyakit yang diderita.

1. PENDAHULUAN
Pada akhir tahun 2019 beberapa wilayah di dunia digemparkan dengan
kedatangan virus Corona yang berawal dari Wuhan Cina. Kemudian pada 11 Maret
2020 World Health Organization mendeklarasikan penyakit baru yaitu virus Corona
(COVID-19) sebagai pandemic global. Hal tersebut disebabkan karena COVID-19
cepat menyebar ke seluruh dunia, dan menyebabkan kematian sekitar 5.7%
(Abdelhafiz & Alorabi, 2020). Penyebaran COVID-19 disebabkan karena virus
tersebut terbilang baru dan belum ditemukan obat atau vaksin untuk mengatasasi
COVID-19 pada saat itu. Upaya untuk mengatasi penyebaran COVID-19 di beberapa
negara menerapkan sosial distancing dan protokol Kesehatan. Demikian juga
Indonesia yang terpapar COVID-19, Indonesia juga menerapkan Sosial distancing
dan protokol kesehatan untuk menekan penyebaran COVID-19. Di Indonesia kasus
COVID-19 setiap harinya meningkat dilansir pada (INews, 2021.) per tanggal 24 Mei
2021 bahwa total positif COVID-19 di Indonesia sampai saat ini mencapai 1.781.127
kasus. Kemudian, dilansir pada (INews, 2021) total kasus sembuh dari COVID-19
mencapai 1.638.279. Sedangkan total kasus meninggal akibat COVID-19 hingga hari
ini 49.455 kasus.
Dengan bertambahnya kasus positif COVID-19 yang setiap harinya semakin
meningkat dan situasi pandemi yang terjadi di Indonesia yang terus gencar
diinformasikan melalui beberapa media televisi atau media online mengakibatkan
kepanikan dan ketakutan yang dirasakan oleh masyarakat akan bahayanya COVID-
19. Kemudian, kepanikan dan ketakutan yang dirasakan oleh masyarakat akan
bahayanya COVID-19 menimbulkan stigma terhadap pasien COVID-19 yang bisa
membahayakan lingkungan masyarakat sehingga masyarakat yang terpapar COVID-
19 dijauhi di lingkungan masyarakat.
Hal tersebut juga dibenarkan oleh CNN Indonesia bahwa paparan negatif
tentang COVID-19 dapat menimbulkan stigma terhadap pasien COVID-19. Berita

151
Journal of Humanity and Social Justice
Volume 3 Issue 2, 2021, (150-163). e-ISSN: 2657-148X. Diskriminasi Masyarakat Terhadap Pasien…

negatif yang biasa diberitakan di media televisi dan online yaitu berita kematian,
penderitaan dan cepatnya virus menular (CNN Indonesia, 2021). Pada penelitian
yang dilakukan oleh (Bruns et al., 2020) bahwa tanggapan masyarakat sangat
berhubungan erat dengan jumlah liputan media yang ada terkait pemberitaan
COVID-19. Karena saat permasalahan krisis atau kesehatan diberitakan diberbagai
media akan menimbulkan kepanikan, kecemasan hingga masalah kesehatan mental.
Selain itu, persepsi masyarakat yang kurangnya pendidikan dan pengetahuan juga
tidak bisa memilih beberapa informasi yang benar sehingga stigma negatif akan lebih
banyak muncul.
Berdasarkan penelitian yang dilaksanakan oleh (Dai, 2020) menjelaskan bahwa
COVID-19 sebagai penyakit baru yang ada di masyarakat sehingga masyarakat belum
mengetahui terkait penyakitnya sehingga lebih mudah menghubungkan terkait rasa
takut pada “kelompok yang berbeda/lain” atau dalam hal ini yaitu orang yang
terinfeksi COVID-19. Hal tersebut yang menyebabkan munculnya stigma sosial dan
diskriminasi terhadap etnis tertentu dan juga orang yang dianggap mempunyai
hubungan dengan virus ini. Perasaan bingung, cemas, dan takut yang kita rasakan
dapat di- pahami, tapi bukan berarti kita boleh berprasangka buruk pada penderita,
perawat, keluarga, ataupun mereka yang tidak sakit tapi memiliki gejala yang mirip
dengan COVID-19. Jika terus terpelihara di masyarakat, stigma sosial dapat membuat
orang-orang menyembunyikan sakitnya supaya tidak didiskriminasi, mencegah
mereka mencari bantuan kesehatan dengan segera, dan membuat mereka tidak
menjalankan perilaku hidup yang sehat.
Pada artikel yang dipublikasikan oleh Dinas Kesehatan Provinsi Bali tahun
2021 bahwa stigma negatif yang didapatkan oleh pasien atau eks pasisen COVID-19
akan memperparah keadaan baik secara mental maupun pada penyebaran dari virus
COVID-19. Pasien COVID-19 mengaku merasa tertekan dengan adanya stigma
negatif yang didapatkan dari masyarakat. Stigma negatif tidak hanya dirasakan oleh
pasien COVID-19 tapi juga dirasakan oleh para tenaga kesehatan yang berjuang
melawan COVID-19. Hal tersebut terjadi diakibatkan oleh pemberitaan di berbagai
media, seperti berita negatif tentang adanya virus COVID-19. Stigma tersebut sangat
berdampak pada imunitas pasien COVID-19 sehingga berpengaruh dalam proses
penyembuhan pasien COVID-19 (Bali, 2021).
Menurut Irmansyah sebagai ketua Jaringan Rehabilitasi Psikososial Indonesia
bahwa stigma yang didapatkan oleh pasien COVID-19 dapat memperburuk masa
pemulihan dan kesembuhan pasien karena dapat menimbulkan beban ganda(CNN
Indonesia, 2021.). Beban ganda yang dimaksud adalah ketika pasien menderita sakit
tapi pasien juga mengalami psikososial karena seharusnya pasien COVID-19 ini
mendapatkan dukungan sosial baik dari keluarga maupun lingkungan masyarakat.
Selain menimbulkan beban ganda pada pasien, menurut (Kemenkes, 2021)
menjelaskan bahwa stigma negatif yang diberikan individu atau kelompok
masyarakat terhadap pasien COVID-19 dan tenaga kesehatan akan mengakibatkan
tingginya angka kematian diakibatkan COVID-19. Stigma harus dilihat secara satu
kesatuan karena stigma tidak semata-mata sebuah sikap atau perilaku pada suatu
suasana yang menjadi tidak baik tapi stigma juga akan menimbulkan marginilasiasi,
dan memperburuk status kesehatan dan tingkat kesembuhan. Inilah yang perlu

152
Journal of Humanity and Social Justice
Volume 3 Issue 2, 2021, (150-163). e-ISSN: 2657-148X. Diskriminasi Masyarakat Terhadap Pasien…

dipahami bahwa stigma berkontribusi terhadap tingginya angka kematian," kata


Direktur Direktur Pencegahan dan Pengendalian Masalah Kesehatan Jiwa dan Napza
Kementerian Kesehatan Fidiansjah dalam keterangannya dalam di Media Center
Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19, Graha Badan Nasional
Penanggulangan Bencana (BNPB) Jakarta.
Kemudian, Ketua Umum Ikatan Pekerja Sosial Profesional Indonesia juga
menjelaskan pada (CNN Indonesia, 2021) salah satu faktor yang dapat menimbulkan
stigma negatif masyarakat terhadap pasien COVID-19 merupakan rasa tidak percaya
terhadap otoritas, dalam hal ini pemerintah. Karena stigma negatif muncul karena
diskriminasi dalam pemberian pelayanan kesehatan. Selain itu, faktor yang dapat
memunculkan stigma negatif adalah rasa takut, kurangnya pengetahuan informasi
sehingga menimbulkan stigma.
Stigma yang terjadi di masyarakat adalah hal yang nyata dan sangat
berdampak negatif pada populasi pasien COVID-19 dalam mencari dan mengakses
perawatan dan juga mendapatkan respon yang baik oleh masyarakat luas. Ketika
pasien percaya dan merasakan stigma yang didapatkan di lingkungan masyarakat
pasien akan menunda mencari perawatan terhadap penyakitnya karena adanya
ketakutan dalam diri pasien (Bruns et al., 2020). Kemudian, hal tersebut merupakan
permasalahan yang sangat besar karena akan menghambat perawatan kesehatan
pada pasien
World Health Organization sebagai organisasi yang berperan penting dalam
penangangan kasus COVID-19 juga menjelaskan ada tiga faktor utama stigma negatif
terhadap pasien COVID-19 yaitu 1) COVID-19 merupakan penyakit baru dan masih
banyak yang belum diketahui; 2) kita sering takut akan hal yang tidak diketahui; dan
3) ketakutan mudah dikaitkan dengan 'orang lain'(World Health Organization, 2020).
Penelitian yang ditulis oleh (Abdelhafiz & Alorabi, 2020b) juga menjelaskan bahwa
selama pandemi berlangsung masyarakat di seluruh dunia mengalami ketakutan
yang sangat tinggi dengan adanya COVID-19.
Stigma yang muncul dimasyarakat berdasarkan (Setiawati et al., 2020) yaitu
perilaku mengucilkan pasien yang telah sembuh, menolak dan mengucilkan orang
yang berpindah dari satu daerah ke daerah lain, mengucilkan etnis tertentu karena
dianggap pembawa virus, mengucilkan tenaga medis, menolak jenazah karena
dianggap masih terdapat virus yang bisa ditularkan. Stigma negatif yang sering
didapatkan terus menerus dapat menimbulkan kohesi sosial dan mendorong
terjadinya kemungkinan isolasi sosial terhadap kelompok , yang dapat berkontribusi
pada situasi yang justru lebih memungkinkan, bukan mencegah penyebaran virus.
Dapat disimpulkan bahwa stigma berdampak mendorong orang untuk
menyembunyikan penyakitnya untuk menghindari diskriminas, mencegah orang
segera mencari perawatan kesehatan, dan mencegah mereka mengadopsi perilaku
sehat (World Health Organization, 2020).
Penelitian yang dilakukan kepada pasien COVID-19 di Denmark, untuk
mengetahui pengalaman selama didiagnosa COVID-19 juga menjelaskan bahwa
setelah sembuh dari virus tersebut mereka merasa tidak percaya diri karena ada
beberapa stigma yang didapatkan dari sahabat dan lingkungan masyarakat sehingga

153
Journal of Humanity and Social Justice
Volume 3 Issue 2, 2021, (150-163). e-ISSN: 2657-148X. Diskriminasi Masyarakat Terhadap Pasien…

mereka lebih menutup diri dari lingkungan sosialnya (Missel et al., 2021). Hal tersebut
sangat berpengaruh terhadap kesehatan mental pasien karena disisi lain juga mereka
sedang memikirkan kesembuhan terhadap fisiknya. Kondisi ini jika di biarkan akan
menimbulkan sebuah perasaan bingung, takut dan cemas/ adanya hal tersebut
membuat memancing mereka yang memiliki gejala penyakit corona (COVID-19) akan
menyembunyikan penyakit tersebut dan tidak melakukan perilaku hidup yang sehat.
Perilaku tersebut dilakukan untuk menghindari stigma negatif dan diskriminasi dari
masyarakat sekitar. Berdasarkan latar belakang tersebut, peneliti mencoba untuk
menggali apa saja dampak sosial yang didapatkan oleh pasien COVID-19 ketika
mendapatkan stigma dan diskriminasi berkepanjangan dari masyarakat

2. METODE
Dalam penelitian ini menggunakan metode kualitatif yaitu suatu penelitian
kontekstual yang menjadikan manusia sebagai instrument, selanjutnya disesuaikan
dengan situasi yang wajar sesuai dengan pengumpulan data yang pada umumnya
bersifat kualitatif (Meleong, 2003). Merupakan prosedur penelitian yang
menghasilkan deskriptif yaitu berupa kata-kata tertulis atau bersumber dari lisan
orang-orang dan perilaku yang dapat diamati. terfokus kepada mereka yang telah
mengalami COVID-19 yang mendapatkan perilaku yang kurang nyaman dari segi
sosialnya. Untuk mendapatkan gambaran tersebut, peneliti mencoba untuk
mendapatkan data dan informasi dari beberapa informan yang merupakan pasien
atau mantan pasien COVID-19 yang mendapatkan diskriminasi negatif dari
masyarakat. Penulis melakukan wawancara dengan 5 informanyaitu dibagi pasien
COVID-19 dan eks pasien COVID-19 yang berada di Jabodetabek alasan penulis
memilih tempat tersebut yaitu di karenakan tingkat penularan COVID-19 sangat
tinggi. Selain mendapatkan informasi primer. Kemudian, penelitian ini juga
dikuatkan dengan data-data sekunder dari beberapa penelitian sebelumnya yang
membahas topik yang sama.
Kemudian dalam menganalisis dan hasil penelitian yang di laksanakan oleh
penulis, menggunakan teknik analisis yang di kemukakan oleh Miles dan Hubermen,
mereka menjelasakan bahwa dalam menganalisis sebuah data penelitian kualitatif
ada tiga proses yang harus dilakukan oleh peneliti. Tiga proses yang dilakkukan
dalam menganalisis data pada penelitian ini yaitu kodifikasi data, penyajian data dan
penarikan kesimpulan (Afrizal, 2014). Selanjutnya pada tahap kedua yaitu tahap
kodifikasi data, penulis mengumpulkan data dari data yang di dapatkan yaitu
wawancara yang telah dilakukan dengan 5 informan setelah data di dapatkan dengan
lengkap, maka penulis melakukan penyajian data yang berbentuk narasi, table atau
diagram. Selanjutnya pada tahap terakhir penulis melakukan penarikan kesimpulan
dari temua dan penyajian data.

3. HASIL
Dalam penelitian yang dilakukan oleh (Abdillah, 2019) menjelaskan bahwa
dunia saat ini telah memasuki era globalisasi dengan berbagai aspek terutama dan
teknologi informasi (TI) yang semakin baik dalam memberikan informasi dan data

154
Journal of Humanity and Social Justice
Volume 3 Issue 2, 2021, (150-163). e-ISSN: 2657-148X. Diskriminasi Masyarakat Terhadap Pasien…

dari pelosok negara. Terutama informasi saat ini COVID-19 yang sedang naik daun.
COVID-19 adalah penyakit yang mematikan jika terinfeksi sistem pernapasan dan
sangat mudah menular dengan cepat. Kasus yang terinfeksi COVID-19 yang semakin
hari semakin meningkat yang berpengaruh pada kesehatan mental masyarakat (Ilpaj,
S. M., 2020). Dalam situs resmi Kementrian Sosial Republik Indonesia (Kementrian
Kesehatan, 2020) menjelaskan bahwa cara penularan utama penyakit ini adalah
melalui tetesan kecil (droplet) yang dikeluarkan pada saat seseorang batuk atau
bersin. Saat ini WHO menilai bahwa risiko penularan dari seseorang yang tidak
bergejala COVID-19 sama sekali sangat kecil kemungkinannya. Namun, banyak
orang yang teridentifikasi COVID-19 hanya mengalami gejala ringan seperti batuk
ringan, atau tidak mengeluh sakit, yang mungkin terjadi pada tahap awal penyakit.
Sampai saat ini, para ahli masih terus melakukan penyelidikan untuk menentukan
periode penularan atau masa inkubasi COVID-19.
Situasi saat ini dimana penyebaran COVID-19 yang kadang menurun
dan sering meningkat tingkat kasus yang terdampak oleh COVID-19, hal tersebut
memberikan dampak pada sudut yang berbeda seperti dampak sosial yang
berimplikasi mempengaruhi situasi dan kondisi masyarakat. Fenomena tersebut
adalah munculnya stigma sosial dan diskriminasi pada seseorang atau kelompok
yang mengalami gejala atau pasien corona COVID-19 tersebut. Dalam kehidupan
sehari-hari mereka di berikan sebuah label, diskriminasi, stereotip, diperlakukan
secara khusus, serta mengalami pelecehan tersendiri dan stigma dalam masyarakat.
Stigma merupakan pandangan yang bersifat negatif yang diberikan kepada seseorang
atau suatu kelompok masyarakat. Pada situasi COVID-19 seperti ini stigma yang di
arahkan pada pandangan atas kondisi fisik seseorang atau kelompok yang mengalami
gangguan akibat terinfeksi virus yang sangat berbahaya ini yang dapat membunuh
siapa saja, baik dari anak-anak sampai mereka yang lanjut usia.
Permasalahan diskriminasi atau stigma yang terjadi di lingkungan masyarakat
telah menjadi tema utama di seluruh literatur tentang wabah penyakit menular dan
khususnya seputar tindakan karantina mandiri. Dalam penelitian yang di lakukan
oleh (Bruns et al., 2020) yang membahas tentang resiko stigma terkait pasien COVID-
19 menunjukan bahwa individu yang melaksanakan karantina mandiri atau akan
lebih mungkin untuk mengalami stigmatisasi dan penolakan sosial termasuk
penghindaran, menarik ajakan sosial dari lingkungan masyarakat, dan adanya
komentar kritis. Hal ini menunjukan bahwa diskriminasi atau stigma yang dilakukan
oleh masyarakat menunjukkan bahwa stigma secara khusus didapatkan oleh orang-
orang yang sedang menjalankan karantina mandiri atau isolasi mandiri (Bruns et al.,
2020).
Menurut Ervin Goffman (Goffman, 1963) membagikan stigma kedalam 3 tipe
yaitu, 1) Stigma yang memiliki hubungan dengan kecacatan pada tubuh seseorang, 2)
Stigma yang berkaitan dengan kerusakan karakter individua tau penyimpangan-
penyimpangan prilaku, serta 3) Stigma yang berhubungan dengan suatu suku, ras
dan agama. Sedangkan menurut pendapat lain yang dikemukakan oleh (Eni &
Hidayati, 2015) bahwa stigma sebagai proses sosial atau pengalaman pribadi yang
ditandai dengan pengucilan, celaan dan devaluasi yang di karenakan anggapan sosial
yang merugikan pada individu ataupun pada suatu kelompok yang dikarenakan

155
Journal of Humanity and Social Justice
Volume 3 Issue 2, 2021, (150-163). e-ISSN: 2657-148X. Diskriminasi Masyarakat Terhadap Pasien…

suatu permasalahan yang sedang dihadapi dalam bidang kesehatan. Dalam situasi
pandemi COVID-19 ini, stigma yang tersebar dalam masyarakat merupakan suatu
permasalahan yang sangat besar ketika seseorang yang dinyatakan positif terinfeksi
virus COVID-19 akan mendapatkan label sebagai seseorang yang membawa virus
dan sangat berbahaya bagi orang-orang yang berada di sekitarnya. (Eni Hidayati
2015)
Munculnya stigma yang di berikan oleh masyarakat sekitar kepada mereka
yang telah sembuh oleh COVID-19 ini di akibatkan oleh mereka yang tidak
mengetahui pengetahuan mengenai COVID-19 tersebut, terutama dalam pencegahan
agar tidak tertular. Dalam buku panduan yang dikeluarkan oleh (World Health
Organization, 2020) untuk mencegah stigma sosial terhadap pasien COVID-19
dijelasakan bahwa masyarakat sudah memiliki rasa takut yang besar di karena
informasi yang mereka terima terlalu berlebihan. Selanjutnya virus ini merupakan
virus terbaru, sehingga masyarakat memiliki rasa cemas, takut dan bingung bagi
kebanyakan masyarakat saat ini. Hal tersebut membuat mereka untuk mencari cara
bagaimana menghindari mereka yang terindikasi yang dapat menularkan COVID-19
meskipun dengan cara memberikan stigma negatif yang di berikan. Menurut
Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organization, 2020) telah memberikan
himbauan kepada masyarakat agar tidak memberikan stigma negatif pada mereka
yang terdampak COVID-19 tersebut. Hal tersebut jika dilakukan memberikan
dampak yang sangat berbahaya bagi mereka yang terdampak virus COVID-19 yang
dapat membuat rasa takut yang berlebihan dan membuat mereka ke tingkat lebih
parah. Stigma negatif membuat seseorang menghindari protokol kesehatan yaitu
seperti pertolongan, pemeriksaan, pengujian ataupun karatina.
Untuk melengkapi data-data peneitian ini, kami sebagai peneliti melakukan
wawancara kepada beberapa orang yang telah terpapar COVID-19. Berdasarkan
wawancara kepada beberapa pasien COVID-19 ditemukan beberapa bentuk
diskriminasi yang didapatkan oleh pasien atau mantan pasien COVID-19. Menurut
informan pertama, bentuk diskriminasi yang dilakukan oleh masyarakat kepada
dirinya yaitu, masyarakat berpikir bahwa informan harus pergi jauh dari lingkungan
masyarakat dan masyarakat melakukan pendesakan kepada ketua RT untuk
membawa informan ke rumah sakit secara paksa dengan menelpon langsung
ambulance. Informasi tersebut peneliti dapatkan dari wawancara dengan informan
secara langsung, Adapun kutipan wawancaranya seperti berikut:
“Perlakuan masyarakat ke saya itu diantaranya yaitu mereka berpikir bahwa saya harus
pindah kemudian mereka melakukan pendesakan kepada ketua RT untuk membawa saya
ke rumah sakit secara paksa dengan cara langsung menelpon ambulance.”
Berdasarkan perilaku diskriminasi yang didapatkan informan, informan tidak
terima dengan perlakuan yang didapatkan sehingga informan langsung menolak
dengan cara mengklarifikasi kondisi kesehatan informan dan keluarga sehingga tidak
perlu untuk di bawa ke rumah sakit secara paksa. Selain itu informan juga
mengedukasi kepada ketua RT agar orang terpapar COVID-19 tidak perlu di dijauhi.
Kemudian informan juga menuntut hak sebagai seorang masyarakat agar bisa hidup
dengan tenang. Hal tersebut tercermin dari wawancara sebagai berikut:

156
Journal of Humanity and Social Justice
Volume 3 Issue 2, 2021, (150-163). e-ISSN: 2657-148X. Diskriminasi Masyarakat Terhadap Pasien…

“Saya langsung menolak dan mengklarifikasi kepada pihak puskesmas yang mau jemput
pakai ambulance, saya katakan bahwa tidak ada konfirmasi terlebih dahulu ke sayaLalu
saya mengkonfirmasikan ke Dokter puskesmas dan dokter khusus untuk kader organisasi,
dan saya dapat kesimpulan bahwa kalau sekeluarga positif semua, gak perlu dirujuk.
Kecuali memang sesak napas parah. Dari kesimpulan para dokter, saya sampaikan ke
RT dan saya mendapatkan dukungan ke RW, karena memang saya deket sama RW saat
itu. Jadi saya ga keluar ke wisma atau rumah sakit.”
Kemudian, setelah pasien sembuh ada beberapa warga yang mendesak
informan untuk tetap meninggalkan rumahnya agar tidak menularkan COVID-19
kepada warga. Dampak yang dirasakan informan kadang membuat emosi jika ada
perlakuan diskriminasi dari masyrakat. Namun untuk meminimalisir dampak yang
dirasakan, informan mencoba menyalurkan emosinya dengan berpikir jernih dan
mencoba menyalurkan emosinya dengan mengedukasi masyarakat. Namun jika
masyarakat tetap memaksa untuk pindah, informan memberikan peringatan akan
nekat keluar rumah dan mengajak salaman ke seluruh masyarakat.
“Saya sedikit memberikan warning.. Kalau warga segitu kelewat batas, saya bakal
keluar rumah buat ajakin salaman ke semua warga.”
Kemudian dari informan selanjutnya juga menjelaskan diskriminasi yang didapatkan
dari masyarakat adalah informan diharuskan jangan isolasi di rumah, dan harus
pindah dari rumah tersebut. Hal tersebut diungkapkan oleh informan kedua dalam
sesi wawancara seperti berikut.
“Pertama, karena untuk di wilayah RT ku ini kasus pertama yang dipublish ke umum
(sebenernya ada juga warga yg kena tpi di keep infonya sama rt). Nah karena dipublish
umum, ada salah satu tetanggaku yang sampai ngungsi kerumah anaknya di daerah lain,
ada juga bahkan warga yang bilang ke ketua rt "kenapa keluarga aku engga dipindahin
aja, jangan diisolasi di rumah"
Kemudian ada juga warga yang mengungsi ke rumah keluarganya yang lain
karena khawatir akan tertular COVID-19. Selain perilaku diskriminasi, informan dan
keluarga juga merasa terusik informasi pribadinyaa, karena hasil tes SWAB PCR
tersebar luas di grup Whatsapp warga. Informasi tersebut, kami dapatkan dari hasil
wawancara dengan informan melalui chat Whatsapp seperti berikut.
“Terus kedua, memang info keluarga kita dipublish, tapi bukan berarti privasi kita juga
boleh ikut dipublish menurutku. Jadi surat keterangan positif mbahku, kesebar luas dari
Whatsapp nya orang-orang RT disini, entah mereka dapet dari mana, tpi surat
keterangan positif itu udah disebar luaskan ke orang, di forward grup bahkan personal
chat. Jujur ini sebenernya melukai privasi gitu. Karena surat keterangan positif itu
menurutku privasi bgt. Kan kita udah ngasih tau kita positif tapi kenapa masih harus
disebarluaskan suratnya, kan disurat itu ada data diri”
Yang membuat informan dan keluarganya sakit hati adalah selesai masa
isolasi tetap ada beberapa warga yang tidak mau saling sapa dan cenderung jauh
kepada informan dan keluarganya. Hal tersebut dijelaskan oleh informan dalam sesi
wawancara sebagai berikut.

157
Journal of Humanity and Social Justice
Volume 3 Issue 2, 2021, (150-163). e-ISSN: 2657-148X. Diskriminasi Masyarakat Terhadap Pasien…

“Lalu yang ketiga, setelah udah lewat masa isolasi dan udah dinyatakan sembuh, tetap
masih ada tetangga yg kalo ketemu gamau bales negur, atau gamau lewat deket-deket kita
gitu. Hal itu sebenernya hak mereka sih cuma cukup bikin sakit hati juga.”
Informan ketiga menjelaskan perlakuan diskriminasi di lingkup pesantren,
perilaku diskriminasi yang didapatkan oleh informan adalah dari murid-muridnya
di pesantren. Pengakuan terkait perlakuan diskriminasi oleh informan didapatkan
melalui sesi wawancara sebagai berikut.
“Perlakuan diskriminasi yang aku dapatkan saat dinyatakan positif Covid-19 didapatkan
dari murid-muridku di pesantren. Karena pas positif aku tinggal di pesantren.”
Perlakuan diskriminasi yang didapatkan adalah diskriminasi yang berbentuk
verbal dan norverbal. Bentuk non verbal yang didapatkan oleh informan adalah sikap
menjauhi dengan bahasa tubuh yang kurang baik kepada informan. Sedangkan
bentuk diskriminasi verbal adalah dari perkataan yang kurang baik kepada informan.
Kemudian, informan juga menjelaskan bentuk-bentuk diskirminasi yang dia
dapatkan seperti terekam dalam kutipan wawancara sebagai berikut.
“Aku sering dapet perkataan yang kurang menyenangkan untuk didengar selama
menjalankan isolasi mandiri. Kemudian yang buat aku sakit hati adalah sikap dari mereka
ke aku. Yang aku inget banget, jadi waktu itu aku duduk di salah satu kursi karena aku
udah selesai duduk, ada muridku mau duduk dia lanngsung semporotin handsainitizer
sambal natap aku.”
Dampak dari perilaku diskriminasi yang didapatkan oleh informan
memunculkan rasa tidak nyaman dan mengganggu kondisi psikisnya. Rasa tidak
nyaman dan kondisi psikis yang menurun menyebabkan masa penyembuhan yang
berlangsung lama. Berikut penjelasan dari informan saat sesi wawancara.
“Yang aku rasakan ketika mendapatkan perlakuan tersebut aku sering overthingking,
kemudian menyebabkan aku terus dinyatakan positif meskipun sudah melakukan SWAB
PCR berkali-kali.”
Informan keempat juga menjelaskan perlakuan diskriminasi yang didapatkan
dari anggota keluarga dan sahabatnya. Perlakuan diskriminasi dari keluarga
informan yaitu dengan menyalahkan korban karena tidak taat dengan protokol
kesehatan. Berikut adalah kutipan wawancara peneliti dengan informan.
“Saat tahu positif COVID-19, aku langsung bilang ke keluarga dan sahabat aku. Tapi
pas aku ngasih tahu ternyata keluargaku malah menyalahkan karena aku ga taat dengan
protokol kesehatan. Yang paling aku inget kakaku bilang, kakak udah jaga prokes, kamu
malah engga. Padahal aku jaga banget dengan prokes. Terus yang bikin aku sedih
ternyata sahabatku ternyata juga nyalahin aku dan ga mau ketemu aku meskipun aku
udah dinyatakan negatif.”
Selain itu keluarga informan juga menganggap bahwa dirinya adalah beban
keluarga karena selama isolasi mandiri harus merawat mulai dari kebutuhan makan
dan obat-obatan. Perilaku yang didapatkan dari keluarganya, informan merasa tidak
ada dukungan sosial dari keluarganya.
“Yang buat aku sedih saat isoman adalah keluarga menganggap bahwa aku adalah beban
keluarga karena harus merawat dan memberi kebutuhan makan dan obat-obatan.”

158
Journal of Humanity and Social Justice
Volume 3 Issue 2, 2021, (150-163). e-ISSN: 2657-148X. Diskriminasi Masyarakat Terhadap Pasien…

Informan kelima menjelaskan perilaku diskriminasi yang didapatkan adalah


berasal dari masyarakat di lingkungan tempat tinggal sehingga perilaku diskriminasi
yang didapatkan berdampak pada anggota keluarganya. Perilaku diskirminasi dari
informan kelima terlihat dari kutipan wawancara sebagai berikut.
“Saya mendapat perlakuan diskriminatif di masyarakat saat dinyatakan positif COVID-
19. Perilaku diskriminatif tidak hanya ditujukan kepada saya tapi juga kepada keluarga
saya.”
Perilaku diskirminasi yang didapatkan informan berupa sikap pengucilan dari
warga terhadap dirinya dan anggota keluarganya sehingga mereka tidak
mendapatkan kesempatan untuk keluar rumah. Hal tersebut dipaparkan melalui sesi
wawancara sebagai berikut.
“Sikap diskriminatif yang saya dapatkan biasanya pengucilan dari warga sekitar, dan
anggota keluarga yang ngga postif ngga dibolehkan keluar rumah. Sehingga orang tua
saya tidak bisa ke sawah.”
Sikap dan perilaku tersebut sangat disayangkan karena seharusnya pasien
COVID-19 mendapatkan dukungan sosial dari berbagai lapisan masyarakat agar
mendukung proses penyembuhan pasien.
Berdasarkan hasil wawancara yang sudah dilakukan peneliti, dapat dilihat
bahwa pasien dan pasien eks pasien COVID-19 mengalami stigma yang didapatkan
dari masyarakat. Dari beberapa informan bisa dilihat bahwa stigma yang didapatkan
lebih banyak terjadi ketika pasien mengalami stigma saat menjalankan isolasi mandiri
atau karantina mandiri. Namun ada juga informan yang tidak hanya mendapatkan
stigma saat isolasi mandiri tapi juga mengalami stigma saat sudah sembuh dan
terbebas dari COVID-19.

4. PEMBAHASAN
Melihat kondisi yang dialami oleh beberapa informan dalam penelitian ini
bahwa adanya diskriminasi masyarakat terhadap para eks pasien COVID-19,
sungguh menjadi beban bagi mereka karena semakin terpuruk dari segi kesehatan,
selain itu beban yang mereka rasakan berlipat ganda akibat terinfeksi COVID-19.
Selanjutnya dampak yang diterima adalah sulitnya mencari nafkah karena stigma
masyarakat.
Dampak dari stigmatisasi atau diskriminasi yang didapatkan pasien COVID-
19 yang dikemukakan (Bruns et al., 2020) dapat menyebabkan kekerasan kepada
individu atau kelompok. Selain itu, dalam penelitian yang dilakukan oleh (Torales et
al., 2020) bahwa diskriminasi dan stigma yang terjadi terkait pandemi COVID-19
menyebabkan masalah kesehatan semakin bertambah seperti stress, kecemasan,
gejala depresi, insomnia, penyangkalan, kemarahan dan ketakutan secara global.
Kekhawatiwan kolektif yang terjadi di masyarakat akan mempengaruhi perilaku
sehari-hari, ekonomi,strategi pencegahan, dan pengambilan serta pembuat keputusan
untuk mengendalikan COVID-19.
Dampak sosial yang di terima oeh pasien atau eks pasien COVID-19 dalam
masyarakat juga dijauhi oleh warga yang lainnya. Kemunculan rasa takut yang sangat

159
Journal of Humanity and Social Justice
Volume 3 Issue 2, 2021, (150-163). e-ISSN: 2657-148X. Diskriminasi Masyarakat Terhadap Pasien…

melekat dalam diri mereka. Hal tersebut berdampak pada eks pasien COVID-19 yang
dijauhi, tidak hanya itu saja keluarga yang tidak terinfeksi virus COVID-19 pun
menjadi mendapatkan dampaknya, seperti diberi label kepada mereka, banyaknya
respon yang beragam mengenai adanya COVID-19 ini sebagian ada yang berhati-hati
dan menerapkan protokol kesehatan serta mengubah pola hidup yang lebih sehat,
tetapi juga ada yang bersikap tidak peduli adanya COVID-19 ini dan terkesan
meremehkan, sikap tidak pedulinya mereka kepada virus ini akan berakibat sangat
fatal, mereka hanya dapat memberikan stigma kepada mereka dan menyalahkan
pasien dan eks pasien COVID-19.
Dampak yang sangat di dapatkan yaitu ketika mereka sembuh namun
masyarakat juga belum mengetahui bagaimana proses penyembuhan dari COVID-19
ini, yaitu mereka kesulitan mencari mata pencarian, mereka yang pernah terinfeksi
pun akan tetap mendapatkan stigma yang di berikan kepada mereka. Padahal saat
pasien masih berusia muda, mudah baginya untuk sembuh beberapa hari, selanjutnya
dampak bersosialisasi di dalam masyarakat mereka juga sulit untuk kembali
bersosialisasi kepada masyarakat sekitar saat masyarakatnya juga belum mengetahui
bagaimana virus COVID-19 tersebut.
Selama terjadinya pandemi COVID-19, stigma telah menjadi tantangan
kesehatan yang terjadi di masyarakat. Stigma terkait penyitas COVID-19 mengacu
pada sikap tidak setuju atau negatif yang berasal dari terinfeksi atau memiliki kontak
dekat dengan penyitas COVID-19 (Yuan et al., 2021). Berdasarkan temuan penelitian
beberapa pasien COVID-19 timbul beberapa bentuk diskriminasi diantaranya yaitu:
pengucilan, ditolak oleh tetangga, disalahkan oleh keluarga, dan adanya penghinaan
dalam bentuk verbal ataupun non verbal. Bentuk diskriminasi tersebut menyebabkan
ada rasa tidak nyaman yang dirasakan oleh pasien COVID-19. Kemudian dalam
penelitian yang dilakukan oleh (Bruns et al., 2020) untuk mengatasi stigma dan
diskriminasi yang ditargetkan pada individu atau kelompok yang terkena dampak
COVID-19 merupakan prioritas prioritas bagi penyedia layanan kesehatan dan
kesehatan masyarakat itu sendiri.
Berdasarkan dampak yang sosial akibat diskriminasi tersebut, seharusnya
segala bentuk diskriminasi diminimalisir dan seharusnya tidak ada agar pasien
COVID-19 fokus dalam proses pengobatan dan tidak memikirkan bentuk
diskriminasi yang didapatkan dari masyarakat. Berdasarkan hasil wawancara juga
menunjukkan bahwa ada beberapa harapan pasien COVID-19 yang bisa mereka
rasakan seperti mendapat dukungan dari keluarga, masyarakat dan sahabat. Selain
itu pasien COVID-19 juga tidak ingin disalahkan karena mereka terinfeksi virus
COVID-19, karena sebenarnya mereka juga tidak ingin terinfeksi COVID-19.
Dalam buku panduan untuk mencegah dan mengatasi stigma sosial yang
dikeluarkan oleh (World Health Organization, 2020) menjelaskan beberapa perilaku
yang harus dilaksanakan untuk mengatasi stigma sosial adalah membangun
kepercayaan pada layanan dan saran kesehatan yang terpercaya, menunjukkan
empati kepada mereka yang terkena dampak, memahami penyakit itu sendiri, dan
mengambil langkah-langkah praktis dan efektif sehingga orang dapat membantu
menjaga diri mereka dan orang yang mereka cintai agar tetap aman. Cara kita
berkomunikasi tentang COVID-19 sangat penting dalam mendukung orang-orang

160
Journal of Humanity and Social Justice
Volume 3 Issue 2, 2021, (150-163). e-ISSN: 2657-148X. Diskriminasi Masyarakat Terhadap Pasien…

untuk mengambil tindakan efektif guna membantu melawan penyakit tersebut dan
untuk menghindari ketakutan dan stigma. Perlu diciptakan suatu lingkungan di
mana penyakit dan dampaknya dapat didiskusikan dan ditangani secara terbuka,
jujur, dan efektif. Agar terhidar dari virus COVID-19 dan stigma negatif yang dapat
di berikan oleh masyarakat.
Selanjutnya untuk mengurangi perasaan cemas dalam masyarakat, sudah
sepatutnya kita melakukan berbagai hal untuk meningkatkan optimism dalam
masyarakat di tengah pandemi saat ini, masyarakat yang masih dapat mencukupi
kebutuhan hidupnya banyak dari masyarkat meningkatkan kepeduliannya dengan
berkonstribusi untuk membantu mereka yang berada pada golongan yang tidak
mampu dengan cara penggalangan dana, melakukan donasi untuk mereka. Ada juga
kelompok-kelompok masyarakat lainnya yang membantu menjahitkan APD untuk
tenaga kesehatan medis ataupun untuk masyarakat serta memproduksi masker
dalam jumlah yang banyak untuk mereka yang masih saja bekerja di luar rumah demi
melanjutkan kehidupannya. Karena adanya COVID-19 ini membuat masyarakat juga
menjadi lebih peduli dan menjalankan pola hidup yang lebih sehat seperti makan
makanan yang bergizi atau 4 sehat 5 sempurna, lebih sering berolahraga dan mentaati
protocol kesehatan seperti memakai masker, menjaga jarak dan mencuci tangan. Hal
tersebut merupakan sebagian kecil upaya dalam pertahanan diri yang dilakukan oleh
masyarakat untuk menghidari terinfeksinya virus COVID-19.

5. KESIMPULAN
Stigma sosial dan segala bentuk diskriminasi yang didapatkan oleh pasien dan eks
pasien COVID-19 masih terjadi di beberapa masyarakat. Stigma sosial dan
diskriminasi terjadi karena adanya ketakutan dan kepanikan yang di rasakan oleh
masyarakat akan bahaya COVID-19. Namun dari bentuk diskriminasi yang
didapatkan penyitas COVID-19 sangat berdampak bagi kehidupan sosialnya mereka.
Berdasarkan temuan penelitian beberapa pasien COVID-19 timbul beberapa bentuk
diskriminasi diantaranya yaitu: pengucilan yang di lakukan oleh masyarakat, ditolak
oleh tetangga karena adanya rasa ketakutan yang besar, disalahkan oleh keluarga
karena di anggap tidak mengikuti protokol kesehatan, dan adanya penghinaan dalam
bentuk verbal ataupun non verbal yang di rasakan oleh mereka yang terinfeksi
COVID-19. Bentuk diskriminasi tersebut menyebabkan ada rasa tidak nyaman yang
dirasakan oleh pasien COVID-19. Dampak yang dirasakan oleh pasien dan eks pasien
juga berdampak pada kesehatan mereka yang semakin menurun saat mereka tidak
dapat mengendalikan perkataan dari lingkungan masyarakat yang negatif.

REFERENSI
Abdelhafiz, A. S., & Alorabi, M. (2020a). Social Stigma: The Hidden Threat of
COVID-19. Frontiers in Public Health, 8(August), 2–5.
https://doi.org/10.3389/fpubh.2020.00429
Abdelhafiz, A. S., & Alorabi, M. (2020b). Social Stigma: The Hidden Threat of
COVID-19. In Frontiers in Public Health (Vol. 8). Frontiers Media S.A.

161
Journal of Humanity and Social Justice
Volume 3 Issue 2, 2021, (150-163). e-ISSN: 2657-148X. Diskriminasi Masyarakat Terhadap Pasien…

https://doi.org/10.3389/fpubh.2020.00429
Abdillah, L. A. (2019). Analisis Aplikasi Mobile Transportasi Online Menggunakan User
Experience Questionnaire pada Era Milenial dan Z. JSINBIS (Jurnal sistem Informasi
Bisnis).
Afrizal. (2014). Metode Penelitian Kualitatif. Raja Grafindo.
Bali, D. K. P. (2021). Mari Hentikan Stigma Negatif terkait Covid-19 - Dinas Kesehatan
Provinsi Bali. https://www.diskes.baliprov.go.id/mari-hentikan-stigma-negatif-
terkait-covid-19/
Bruns, D. P., Kraguljac, N. V., & Bruns, T. R. (2020). COVID-19: Facts, Cultural
Considerations, and Risk of Stigmatization. Journal of Transcultural Nursing,
31(4), 326–332. https://doi.org/10.1177/1043659620917724
Dai, N. F. (2020). Stigma Masyarakat Terhadap Pandemi Covid-19. Prosiding Nasional
Covid-19, 66–73. https://www.ojs.literacyinstitute.org/index.php/prosiding-
covid19/article/download/47/32
Eni, & Hidayati. (2015). Pengetahuan dan stigma masyarakat terhadap TBC setelah
diberikan pendidikan kesehatan dan perawatan Soedirman. Vol. No. 10, No.2
Juli.
Goffman, E. (1963). STIGMA Notes on the Management of spoiled identity. Practice-Hall,
Inc. 1963.
Ilpaj, S. M., dan N. N. (2020). Analisis pengaruh tingkat kematian akibat Covid-19
terhadap kesehatan mental masyarakat di Indonesia. Focus: Jurnal Pekerja Sosial.
Indonesia, C. (2021). Berita Negatif Disebut Picu Stigma Terhadap Pasien Covid-19.
https://www.cnnindonesia.com/nasional/20201021112929-25-560943/berita-
negatif-disebut-picu-stigma-terhadap-pasien-covid-19
INews. (2021). Update Lengkap Data Kasus Corona RI 24 Mei 2021.
https://news.detik.com/berita/d-5580887/update-lengkap-data-kasus-corona-
ri-24-mei-2021
Kemenkes. (2021). Kemenkes: Stigma Berkontribusi Terhadap Tingginya Angka Kematian
COVID-19 - Berita Terkini | Covid19.go.id.
https://covid19.go.id/p/berita/kemenkes-stigma-berkontribusi-terhadap-
tingginya-angka-kematian-covid-19
Kementrian Kesehatan. (n.d.). Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Retrieved
July 25, 2021, from https://www.kemkes.go.id/folder/view/full-
content/structure-faq.html
Meleong. (2003). Metode Penelitian. PT. Citra Aditya Bakti.
Missel, M., Bernild, C., Christensen, S. W., Dagyaran, I., & Berg, S. K. (2021). It’s Not
Just a Virus! Lived Experiences of People Diagnosed With COVID-19 Infection
in Denmark. Qualitative Health Research, 31(5), 822–834.
https://doi.org/10.1177/1049732321990360
Setiawati, L., Sariti, I., & Livana, P. (2020). Stigma dan perilaku masyarakat pada

162
Journal of Humanity and Social Justice
Volume 3 Issue 2, 2021, (150-163). e-ISSN: 2657-148X. Diskriminasi Masyarakat Terhadap Pasien…

pasien positif covid-19. Jurnal Gawat Darurat, 2(2), 95–100.


Torales, J., O’Higgins, M., Castaldelli-Maia, J. M., & Ventriglio, A. (2020). The
outbreak of COVID-19 coronavirus and its impact on global mental health. In
International Journal of Social Psychiatry (Vol. 66, Issue 4, pp. 317–320). SAGE
Publications Ltd. https://doi.org/10.1177/0020764020915212
World Health Organization. (2020). Stigma Sosial Terkait Dengan COVID-19. Unicef,
1–5.
Yuan, Y., Zhao, Y.-J., Zhang, Q.-E., Zhang, L., Cheung, T., Jackson, T., Jiang, G.-Q., &
Xiang, Y.-T. (2021). COVID-19-related stigma and its sociodemographic
correlates: a comparative study. Globalization and Health, 17(1), 54.
https://doi.org/10.1186/s12992-021-00705-4

163

You might also like