Download as pdf or txt
Download as pdf or txt
You are on page 1of 14

See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.

net/publication/337679371

Analisa RCA Dengan Seleksi Produk Untuk Meningkatkan Akurasi Perhitungan


Daya Saing

Preprint · December 2019


DOI: 10.13140/RG.2.2.25112.34567

CITATIONS READS
0 1,821

1 author:

Jongkers Tampubolon
Universitas HKBP Nommensen
24 PUBLICATIONS   22 CITATIONS   

SEE PROFILE

Some of the authors of this publication are also working on these related projects:

Natural Desaster and Agriculture View project

Interaction between multiple employment and farm management in smallholder farming of North Sumatra, Indonesia View project

All content following this page was uploaded by Jongkers Tampubolon on 02 December 2019.

The user has requested enhancement of the downloaded file.


Analisa RCA Dengan Seleksi Produk1
Untuk Meningkatkan Akurasi Perhitungan Daya Saing

Jongkers Tampubolon
Agribusiness Department, HKBP Nommensen University, Medan, Indonesia
E-mail: jtampubolon@yahoo.com

Abstract
Recognition of the competitiveness of various export commodities is very important to
design industrial policies which is then shaping the country 's structural transformation. The
most used comparative advantage measurement approach is Revealed Comparative
Advantage (RCA) introduced by Balassa in 1965. Eventhough Balassa's RCA very popular,
it has received a lot of criticism and improvement effort especially related to its consistency
(ranking bias). This present study aims to examine whether the prediction power RCA
analysis can be improved, while adhering to the principle of simplicity of calculation and
convenience in dealing with data availability. The calculation is done by selecting product
included in the analysis (two steps approach). The examination revealed that by selecting the
product limited to the top 250 export (from 1,259 products in HS 4-digit), it is able to correct
(restore) the position of Indonesian manufacturing sector as a competitive sector (RCA> 1)
reflected by the position of the sector as top 10 export, based on export share (export value).
This approach also provided a new hintsight of Indonesia's export competitiveness in the
Chinese market, especially after the implementation of the ASEAN-China FTA in 2010.

Keyword: Competitiveness and Competition, Revealed Comparative Advantage,


Indonesian Manufacture Sector, Indonesian Exports
JEL Classification: F11, F14

PENDAHULUAN
Transformasi badan perdagangan dunia dari GATT ((General Agreement on Tariff and
Trade) menjadi WTO (World Trade Organization) pada tahun 1995, menandai semakin bebasnya
proses perdagangan internasional. Pada peralihan milenium, WTO terdiri dari 146 anggota dan
terhitung sekitar 97% dari perdagangan dunia (Crowley, 2003). Meskipun ditantang oleh gerakan
anti-globalisasi dan berbagai perselisihan perdagangan diantara para anggotanya (Howse, 2016),
banyak negara merasakan lambannya proses perdagangan multilateral dibawah Doha
Development Round WTO (Kawai & Wignaraja, 2014). Oleh karena itu, berbagai integrasi
ekonomi regional dalam bentuk Perjanjian Perdagangan Regional (regional trade agreement =
RTA) didirikan. Crawford & Fiorentina (2005) menyebutkan, antara Januari 2004 dan Februari
2005, 43 RTA telah diberitahukan ke WTO, menjadikan ini periode RTA paling produktif dalam
sejarah. Jumlah ini mencapai 612 RTA pada April 2015, dan Negara-negara Asia Timur sendiri
telah membentuk lebih dari 40 wilayah perdagangan bebas (Okabe, 2015).
Meskipun terbatas hanya di lingkungan negara-negara anggota, integrasi regional
adalah proses perdagangan bebas. Buku teks ekonomi internasional antara lain oleh Salvatore
(2013) dan Krugman & Obsfeld (2014) mengajarkan bahwa aliran barang dalam perdagangan
bebas antar negara terjadi berdasarkan keunggulan komparatif yang diukur berdasarkan biaya

1
Terjemahan bebas dari artikel berbahasa Inggris yang sudah dipublikasi. Untuk referensi agar merujuk ke
naskah aslinya, Tampubolon, J. (2019). RCA Analysis with Selected Products to Enhance Prediction Power of
Competitiveness. Jurnal Ekonomi dan Studi Pembangunan, Vol 11 (2): 143-157.
oportunitas dalam memproduksi barang-barang tersebut. Konsep yang diperkenalkan oleh David
Ricardo ini, dengan dua negara dan dua komoditas, perdagangan masih terjadi meskipun salah
satu negara mengalami kerugian absolut pada kedua komoditas, selama biaya peluang untuk
memproduksinya di kedua negara berbeda.
Sejauh ini, Revealed Comparative Advantage (RCA) yang untuk pertma sekali
diperkenalkan Balassa (1965) merupakan indeks yang paling banyak digunakan dalam analisis
keunggulan komparatif. Pendekatan ini populer karena sederhana dalam perhitungannya dan data
yang dibutuhkan mudah didapatkan, karena hanya memerlukan data ekspor (ex post) yang
perhitungannya pada dasarnya adalah rasio antara pangsa ekspor negara pengekspor ke satu
negara atau wilayah dan pangsa impor negara tujuan atau wilayah untuk komoditas atau
kelompok komoditas tertentu. Negara pengekspor memiliki keunggulan komparatif (daya saing)
jika nilai RCA lebih besar dari satu.
Keunggulan komparatif Ricardian telah dianggap sebagai alat pedagogis yang berguna
dalam menganalisis fondasi teoritis dan langkah-langkah empiris dalam perdagangan
internasional (Eaton & Kortum, 2002; Sanidas & Shin, 2010; Costinot, Donaldson & Komunjer,
2012; Leromain & Orefice, 2014; Nguyen , Pham & Vallee, 2017; Setyastuti, Adiningsih &
Widodo, 2018). Hukum keunggulan komparatif menyatakan bahwa negara yang kurang efisien
akan berspesialisasi dalam produksi dan ekspor komoditas di mana kerugian absolutnya lebih
kecil. Dengan kata lain, suatu negara akan meningkatkan kapasitas produksi di sektor-sektor
dengan keunggulan komparatif tinggi dan mengurangi kapasitas produksi di sektor-sektor
dengan keunggulan komparatif rendah. Konsekuensi logisnya, komoditas dengan pangsa ekspor
yang tinggi akan menunjukkan nilai keunggulan komparatif yang diukur dalam RCA yang tinggi
juga, setidaknya> 1.
Indonesia sebagai anggota ASEAN terlibat dalam berbagai RTA. Sekitar 90% dari nilai
ekspor pada tahun 2016 berasal dari perdagangan dalam kerangka RTA dan dua pertiganya
berasal dari lima mitra utama yaitu ASEAN, Cina, Jepang, Amerika Serikat dan EU (15)
sehingga ekspor ke negara-negara mitra dagang diasumsikan / memiliki efisiensi / daya saing
yang diukur dalam keunggulan komparatif. Begitupun, terdapat anomali dalam ekspor Indonesia.
Sejak tahun 2001, sektor elektronik (kode HS 85), sektor mesin (kode HS 84) dan sektor
kendaraan (kode HS 87) selalu berada di 10 teratas penyumbang nilai ekspor. Ketiga sektor ini
berkontribusi terhadap pendapatan ekspor sekitar 10-17% pada tahun 2001 - 2017. Sementara
pada saat yang sama, RCA untuk sektor elektronik berkisar antara 0,24 hingga 0,39, untuk sektor
mesin dari 0,67 hingga 1,17 (dua belas tahun diantaranya RCA <1) dan hanya kendaraan sektor
yang selalu menunjukkan RCA> 1 masing-masing sebesar 1,12 hingga 5,25 (bandingkan dengan
Bank Dunia 2012; Riandi & Pratomo, 2017; Aslam, 2018; Tampubolon, 2019). Temuan ini
bertentangan dengan teori yang dikemukakan di atas, dimana nilai ekspor harus berasal dari
komoditas yang memiliki daya saing diukur dalam RCA yang lebih besar dari 1, lebih lanjut di
beberapa provinsi sektor manufaktur memiliki pengaruh yang lebih baik pada ekonomi lokal
(Kresnowati, Ananda & Khusaini, 2016). Hasil analisis ini terjadi juga diberbagai komoditas dan
berbagai negara (Sanidas & Shin, 2010 menemukan kasus serupa untuk Korea Selatan, pada
2008 HS-82 berada di peringkat ke-2 dalam pangsa tetapi tetapi nilai RCA-nya 0,947).
Padahal, hasil estimasi RCA memiliki implikasi kebijakan yang penting, karena hasil
estimasi akan digunakan sebagai referensi untuk desain kebijakan industri yang kemudian
menuntun transformasi struktural ekonomi suatu negara. Diantaranya, untuk merelokasi tenaga
kerja dari kegiatan sektor dengan keunggulan komparatif yang lebih rendah. Coniglio et al.
(2018) menekankan bahwa kebijakan yang bertentangan dengan keunggulan komparatif akan
menghadapi risiko kegagan dengan probabilitas yang tinggi.
Meskipun banyak digunakan, RCA Balassa (RCA standar) mendapat banyak kritikan
karena dianggap mengandung kelemahan dalam landasan teoritis dan distribusi empiris
(misalnya Leromain & Orefice, 2014). Hasil estimasi sering tidak sebanding lintas negara untuk
komoditas tertentu dan terutama peringkat RCA tidak sesuai dengan peringkat pangsa ekspor
(Yeast, 1985; Ballance, Forstner & Murray, 1987; Coniglio et al., 2018). Indeks keunggulan
komparatif yang ideal harus memenuhi karakteristik berikut: (i) memiliki kemampuan untuk
mengekspresikan rasio perdagangan aktual, (ii) memiliki distribusi yang stabil, sehingga
seseorang harus dapat membandingkan nilainya dari waktu ke waktu, industri, dan negara, ( iii)
mencerminkan perdagangan neto dan bukan hanya ekspor, dan (iv) tidak fokus pada komoditas
tunggal (Gnidchenko & Salnikov, 2015). Oleh karena itu, idealnya, secara teoritis indeks
perdagangan-produksi akan menjadi langkah yang kuat dalam memperkirakan keunggulan
komparatif. Namun, berbagai upaya untuk menggunakan pendekatan perdagangan-produksi
menghadapi hambatan, karena data perdagangan dan data produksi biasanya dikumpulkan pada
titik waktu yang berbeda, menggunakan klasifikasi dan definisi yang berbeda, sehingga
menghasilkan kesimpulan analisis yang tidak dapat diandalkan (Sanidas & Shin, 2010 ).
Lebih lanjut, Sanidas & Shin (2010) menguraikan berbagai alternatif dalam
meningkatkan kemampuan untuk mengukur RCA yang telah dikembangkan sejak 1980-an,
seperti (i) indeks Lafaye, (ii) indeks RCA Simetris, (iii) indeks RCA tertimbang, (iv) ) Aditif
indeks RCA, dan (v) Normalized RCA (NRCA) serta menyimpulkan bahwa, meskipun lima
indeks yang diperkenalkan mengatasi kekurangan Indeks Balassa sampai batas tertentu, namun
tidak satupun dari indeks itu dapat disebut 'yang sempurna' (hal. 19). Menggunakan indeks RCA
yang berbeda menghasilkan hasil yang berbeda, oleh karena itu dalam menganalisis kinerja
perdagangan harus sangat berhati-hati menafsirkan hasilnya. Ini berarti bahwa dalam mengukur
keunggulan komparatif, berbagai alat analitik digunakan tergantung pada tujuan pengukuran
keunggulan komparatif. Indeks New RCA yang diperkenalkan oleh Costinot, Donaldson &
Komunjer (2012) menunjukkan tingkat prediksi yang tinggi dalam mengoreksi peringkat bias
yang telah diverifikasi oleh Leromain & Orefice (2014).
Dalam upaya meningkatkan daya ukur RCA standar, alternatif yang diusulkan
umumnya terkait dengan dua hal, yaitu dengan memperkenalkan variabel baru seperti PDB dan
impor (Lafay Index) dan ekspor neto (ekspor dikurangi impor komoditas yang diperdagangkan)
yang populer dengan indeks komparatif neto (DFAT-Australia, 2003; Gnidchenko & Salnikov,
2015; Setyastuti, Adiningsih & Widodo, 2018). Selain itu, pendekatan alternatif juga melakukan
lebih banyak kalibrasi formula yang bertujuan untuk menghasilkan distribusi RCA yang simetri
dan normal, apakah itu menggunakan operasi ekonometrik (regresi) atau tidak. Indeks New RCA
menggabungkan keduanya (Costinot, Donaldson & Komunjer, 2012; Leromain & Orefice,
2014). Didalam aplikasinya, beberapa langkah yang diambil dapat meningkatkan nilai estimasi,
misalnya dengan pengelompokan (operasi regresi pada beberapa kuantil misalnya oleh Sanidas
& Shin, 2010) atau mengeluarkan produk dengan arus perdagangan nol dari sampel untuk
analisis menggunakan data HS-4 digit, serta mengeluarkan beberapa sektor yang dianggap
kurang relevan dalam analisis di mana penilaian dilakukan secara subyektif (Leromain &
Orefice, 2014).
Ketersediaan data ekspor dan impor secara global baik pada tingkat negara maupun
wilayah dengan tingkat disagregasi tinggi yang dapat diakses secara bebas, memberikan
alternatif dalam meningkatkan daya prediksi analisis RCA bukan melalui kalibrasi formula tetapi
semata-mata melalui seleksi bertahap produk yang dianalisis. Pusat Data Statistik Perdagangan
Internasional Perserikatan Bangsa-Bangsa (UN COMTRADE) menyediakan data ekspor dan
impor hingga tingkat disagregasi 6 digit (harmonized system = HS 6 digit) yang mencakup 5000
item, dan selanjutnya diagregasi menjadi 1.259 item pada level 4 digit (HS 4 digit) kemudian
dikelompokkan menjadi 97 sektor (HS 2 digit). Data dapat diakses di https://www.trademap.org/
countrymap/index.aspx secara cuma-cuma. Dalam analisis perdagangan internasional, beberapa
penelitian menunjukkan bahwa level agregasi data akan memberikan hasil yang berbeda
(penggunaan data pada level digit HS yang berbeda menunjukkan hasil yang berbeda), karena
pada data level HS-2, tidak ada masalah aliran perdagangan nol yang muncul. Yihong & Weiwei
(2006) menyinggung perbedaan dalam hasil perhitungan indeks kemiripan ekspor antara Cina
dan ASEAN menggunakan data HS-2 dibandingkan dengan tingkat HS-4, di mana dengan data 4
digit, indeks kemiripan ekspor akan lebih kecil. Lebih lanjut, Fontage, Freudenberg & Gaulier
(2005) mengemukakan bahwa nomenklatur yang kurang terpilah akan menyebabkan proporsi
yang lebih tinggi dari Perdagangan Industri-Intra yang untuk kasus Uni Eropa (EU-12) pada
tahun 2000 menghasilkan perbedaan yang signifikan masing-masing 70,7% berbanding 29,3%.
Penelitian ini bertujuan untuk menguji apakah akurasi perhitungan daya saing dengan
alat ukur paling populer yang digunakan, yaitu RCA dapat ditingkatkan, dengan tetap berpegang
pada prinsip kesederhanaan perhitungan dan kemudahan memperoleh data. Perhitungan
dilakukan secara bertahap, mulai dari level disagregasi pada level 4 digit dan kemudian agregasi
pada level yang lebih tinggi (level 2 digit dan pengelompokan). Langkah-langkah ini akan
diterapkan untuk menganalisis daya saing ekspor Indonesia secara global dengan perhatian
khusus pada sektor elektronik, permesinan dan kendaraan yang oleh banyak penulis dianggap
sebagai keunggulan ASEAN sebagai penghubung untuk perdagangan elektronik dalam bentuk
suku cadang dan komponen (Shujiro & Misa, 2007 ), juga dikenal sebagai "factory Asia"
(Baldwin, 2008; Kawai & Wignaraja, 2014). Lebih lanjut, langkah analisis yang sama akan
diterapkan pada perhitungan RCA ekspor Indonesia ke China, karena perdagangan dengan China
menarik perhatian banyak peneliti dengan hasil yang kontroversial.

METODOLOGI
Penelitian ini menggunakan model standar RCA Balassa sebagai ukuran daya saing
dengan persamaan berikut:

RCA = (Xij/Xit)/(Xnj/Xnt) = (Xij/Xnj)/(Xit/Xnt) .......................................... (1)

Where X represents export, i is a country, j is a commodity, t is a set of commodity and n is a set


of country.
In other word,
Xij = Country i’s export of commodity j. Xnj = World export of commodity j.
Xit = Country i’s export of all goods. Xnt = World export of all goods.

Data yang digunakan adalah data ekspor dan impor dari Database UN Comtrade /
Statistik Perdagangan Internasional PBB. Data yang tersedia terdiri dari 97 sektor (HS 2 digit)
yang merupakan agregasi dari 1.259 item produk (HS 4 digit). Selanjutnya, total 97 sektor HS
dua digit dapat dikategorikan ke dalam 15 kelompok komoditi sebagaimana disajikan dalam
tabel 1 seperti yang dilakukan oleh Martijn & Tsangarides (2007) dan yang terbaru dilakukan
oleh Saqib, Irsahad & Xin (2017).
Table 1. Classifications of Commodity Groups based on HS 2-digit
01 – 05 Animal and Animal Products 50 – 63 Textiles and clothing
06 – 15 Vegetable Products 64 – 67 Footwear/Headgear
16 – 24 Foodstuffs, Beverage and Tobacco 68 – 71 Stone and Glass
25 – 27 Mineral Products 72 – 83 Metals
28 – 38 Chemicals and Allied Industries 84 – 85 Machinery and Electronic
39 – 40 Plastics and Rubbers 86 – 89 Transportation
41 – 43 Raw Hides, Skin, Leather and Furs 90 – 99 Miscellaneous
44 – 49 Wood/Wood Products
Sumber: Foreign Trade online, available at https://www.foreign-trade.com/ reference/ hscode.htm

Studi ini menempuh langkah-langkah berikut: (i) mengurutkan ekspor berdasarkan nilai
ekspor tertinggi menurut produk (HS 4-digit) dengan 2016 sebagai tahun referensi, (ii)
menyusun ulang 250 produk yang dipilih ke dalam sektor (HS 2 digit) , dan (iii) menggabungkan
sektor ke dalam 15 kategori klasifikasi kelompok komoditas seperti pada tabel 1. Sebagai
hasilnya, total sektor yang masuk dalam analisis menurun hanya 62 dari 97 total data, distribusi
jumlah produk disajikan dalam tabel 2. Dalam tulisan ini, pemilihan terbatas pada 250 ekspor
Indonesia teratas, karena kontribusi produk terpilih mencapai > 90% terhadap total nilai ekspor
dan menjadi tolok ukur untuk kehandalan hasil yang diperoleh untuk dijadikan referensi.

Table 2. Indonesia’s Export With Selected Product Items (HS 4-digit), 2016
All Exports Top 250 Exports
Description
Sectors Products Sectors Products
Animal Product 5 45 2 8
Vegetable Products 10 100 5 16
Foodstuffs 9 56 9 19
Mineral 3 67 3 10
Chemical 11 181 8 31
Plastics & Rubbers 2 43 2 15
Raw Hides 3 25 1 2
Wood 6 68 3 18
Textiles and Clothing 14 153 8 34
Footwear 4 20 2 5
Stone & Glass 4 67 3 8
Metals 11 157 6 20
Machinery & Electrical 2 135 2 44
Transportation 4 38 3 9
Miscellaneous 9 104 5 11
Total 97 1 259 62 250
Contribution to global
100 % 94 %
export value

Pendekatan ini akan diterapkan untuk menghitung nilai RCA kelompok komoditas
ekspor global Indonesia (ekspor ke dunia) dan ekspor ke Cina sebagaimana diklasifikasikan
dalam tabel 1. Selanjutnya, analisis atas 10 ekspor dilakukan dengan memberikan perhatian
khusus pada tiga sektor industri manufaktur Indonesia, yaitu Mesin (kode HS 84), Elektronik
(kode HS 85) dan Kendaraan (kode HS 87) yang dengan data agregat level HS-2 menunjukkan
ketidakcocokan antara pangsa ekspor dan RCA.
HASIL DAN PEMBAHASAAN
Pada fig. 1, disajikan perkembangan ekspor Indonesia secara global (dunia)
berdasarkan klasifikasi kelompok komoditas. Kelompok komoditi produk tanaman menunjukkan
pertumbuhan rata-rata tertinggi (19,25%) antara tahun 2001 - 2017, diikuti oleh Transportasi
(18,71%), Plastik & Karet (13,24%), Logam (13,05%) dan Batu & Kaca (12,54%). Sedangkan
kelompok lima komoditas teratas yang menghasilkan nilai ekspor tertinggi pada tahun 2016
berturut-turut adalah: Produk Mineral, Produk Sayuran, Mesin & Elektronik, Tekstil dan Bahan
Kimia.

100,000

80,000

60,000

40,000

20,000

Vegetable Mineral
Chemical Plastics&Rubber
Wood Textile
Stone&Glass Metals
Figure 1. Export Value of Commodity Groups, 2001 – 2017 (in million US$).

Dari delapan kelompok komoditas, hanya empat kelompok yang menunjukkan daya
saing berdasarkan perhitungan RCA standar, yaitu Produk Sayuran, Plastik & Karet, Produk
Mineral dan Tekstil. Sisa produk menunjukkan pertumbuhan nilai ekspor atau ekspor yang tinggi
tetapi dengan daya saing yang rendah (RCA <1) seperti yang dapat dilihat pada tabel 3.
Table 3. RCA of Commodity Group of Indonesian Global Export, 2001-2016.
Commodity Classification All Products
2001 2004 2007 2010 2013 2016
Animal Product 1.42 1.24 1.01 0.83 0.96 1.12
Vegetable Products 1.46 2.86 4.00 3.90 3.78 4.23
Foodstuffs 0.72 0.82 0.88 0.96 1.03 1.26
Mineral 2.68 2.33 1.93 1.99 1.81 1.99
Chemical 0.46 0.50 0.54 0.48 0.63 0.68
Plastics & Rubbers 1.01 1.45 1.70 1.66 1.52 1.21
Raw Hides 0.86 0.46 0.53 0.41 0.44 0.50
Wood 3.05 2.66 2.42 2.21 2.37 2.65
Textiles and Clothing 2.34 2.10 2.08 1.79 1.87 1.96
Footwear 2.98 2.45 2.19 2.30 3.11 3.93
Stone & Glass 0.68 0.51 0.52 0.42 0.42 0.98
Metals 0.59 0.75 0.96 0.87 0.71 0.80
Machinery & Electrical 0.53 0.53 0.41 0.38 0.37 0.34
Transportation 0.09 0.14 0.26 0.29 0.34 0.43
Miscellaneous 0.47 0.43 0.35 0.32 0.31 0.31
Berdasarkan sektor, 10 ekspor teratas Indonesia (2016) tersebar di sembilan kelompok
komoditi sebagaimana diklasifikasikan dalam tabel 1. Sepuluh sektor ini menyumbang hampir
dua pertiga (62,28%) dari total nilai ekspor. Dua sektor utama (minyak mineral dan minyak
nabati) menyumbang 31,91% dan tiga sektor industri manufaktur Indonesia: mesin, elektronik
dan industri kendaraan, bersama-sama menyumbang 13,47% (tabel 4).
Table 4. Top 10 Indonesian Export by Sectors, 2016
Exports in 2016 Export Growth (%)
Value Share 2001-2008 2009-2016 Yearly
Sectors*
(billion (%) Average 2001-
US$) 2016
Mineral (HS 27) 27 875 19.29 178.72 - 15.14 7.11
Vegetable oils (15) 18 232 12.62 976.27 49.20 21.86
Electronics (85) 8 148 5.64 39.76 0.00 2.54
Pearl (71) 6 369 4.41 91.22 15.75 5.44
Vehicle (87) 5 868 4.06 565.85 222.53 20.91
Rubbers (40) 5 663 3.92 80.50 434.38 22.01
Machinery (84) 5 451 3.77 517.89 15.28 15.87
Footwear (64) 4 640 3.21 25.23 167.26 8.81
Clothing (62) 3 880 2.69 22.12 23.84 2.54
Wood (44) 3 865 2.67 - 14.13 65.08 1.47
*In bracket is HS code.

Fig 2 menyajikan perkembangan ekspor Indonesia berdasarkan sektor (HS 2 digit).


Mutiara alam atau budidaya (kode HS 71) menunjukkan pertumbuhan rata-rata tertinggi (22%)
antara tahun 2001 - 2016 diikuti oleh berturut-turut lemak dan minyak nabati (kode HS 15),
Kendaraan selain kereta api (HS 87), Karet dan turunannya (HS 40), Alas Kaki (HS 64) dan
Mesin (HS 84). Sedangkan lima sektor teratas yang memiliki nilai ekspor tertinggi pada tahun
2016 adalah: Bahan bakar mineral (HS 27), Lemak dan minyak nabati (HS 15), Elektronik (HS
85), Karet dan produk turunannya (HS 40) ), dan Kendaraan/ Alat transportasi (HS 87).

80000
70000
60000
50000
40000
30000
20000
10000
0

27 15 85 71 87
40 84 64 62 44

Figure 2. Export Value of Indonesia Exports by Sector (HS code 2 Digits),


2001-2016 (in million US$).
Dari delapan sektor, hanya empat sektor yang menunjukkan daya saing berdasarkan
perhitungan RCA standar, yaitu bahan bakar mineral, lemak dan minyak nabati, Karet dan
turunannya, serta Alas Kaki. Sisanya menunjukkan pertumbuhan ekspor atau nilai ekspor yang
tinggi tetapi dengan daya saing rendah (RCA <1) seperti yang disajikan dalam tabel 5.
Table 5. RCA of Indonesian Global Exports by Sectors, 2001-2016.
Top 10 Exports* All Products
2001 2004 2007 2010 2013 2016
Mineral fuels (HS 27) 2.53 2.31 1.85 1.90 1.81 2.04
Vegetable fats and olis (15) 8.28 15.02 20.17 19.16 20.12 23.07
Electrical Machinery (85) 0.73 0.65 0.49 0.47 0.43 0.37
Natural or cultured pearl (71) 0.51 0.24 0.40 0.34 0.39 1.08
Vehicle other than railway (87) 0.09 0.14 0.22 0.26 0.35 0.48
Rubbers and article there of (40) 2.46 4.31 5.42 5.31 4.68 3.85
Machinery (84) 0.34 0.40 0.32 0.26 0.29 0.31
Footwear (64) 3.47 2.79 2.39 2.47 3.09 3.79
Clothing accessories (62) 2.88 2.66 2.38 2.03 2.02 2.23
Wood and article of wood(44) 5.40 4.19 2.97 2.52 2.75 3.24
*In bracket is HS code.
Penyusunan ulang item produk dengan mempertimbangkan produk yang paling penting
saja (250 produk dengan nilai ekspor tertinggi) yang kemudian diagregasi untuk membentuk
sektor dan klasifikasi kelompok komoditi, seperti dijelaskan dalam tabel 2, akan memperoleh
hasil perhitungan RCA sebagai berikut (tabel 6) . Hasil perhitungan yang disajikan pada tabel 6
menggambarkan peningkatan hasil perhitungan secara konsisten dengan konsentrasi komoditas
ekspor yang diamati. Nilai RCA menggunakan data produk yang dipilih (250 ekspor teratas)
lebih tinggi daripada nilai pendekatan langsung RCA (semua produk) di semua tahun yang
diamati. Beberapa kelompok komoditas yang sebelumnya menunjukkan RCA <1 (tanpa daya
saing), seperti Logam, Bahan Makanan, Mesin dan Elektronik setelah dihitung ulang dengan
pendekatan seleksi produk menunjukkan hasil yang berlawanan, yaitu RCA> 1. Analisis dengan
pendekatan data yang dipilih ini juga mengungkapkan peran klasifikasi kelompok komoditas
produk nabati (yang didominasi oleh minyak sawit), yang dalam dua dekade terakhir telah
menjadi komoditas ekspor terkemuka Indonesia dengan pertumbuhan tinggi karena mereka
memiliki daya saing yang sangat tinggi di pasar dunia dengan RCA antara 10 dan 23.

Tabel 6. RCA of Indonesian Export With Selected Product Items, 2001-2017

Commodity Classification Top 250 Exports


2001 2004 2007 2010 2012 2015 2017
Animal Product 3.79 3.62 3.23 2.54 2.95 2.98 3.11
Vegetable Products 8.78 15.91 20.17 17.98 18.34 20.07 20.47
Foodstuffs 1.11 1.34 1.51 1.53 1.86 2.52 2.40
Mineral 2.91 2.63 2.14 2.22 1.94 2.28 1.12
Chemical 0.72 0.71 0.76 0.71 0.91 0.85 1.02
Plastics & Rubbers 1.34 1.96 2.35 2.33 2.11 1.67 1.83
Raw Hides 1.49 0.64 0.51 0.47 0.48 0.49 0.65
Wood 4.91 4.40 4.24 3.98 4.17 5.04 5.13
Textiles and Clothing 3.15 2.73 2.52 2.25 2.16 2.31 2.25
Footwear 3.65 3.03 2.61 2.76 3.28 3.96 3.89
Stone & Glass 1.38 0.82 0.86 0.63 0.54 1.33 1.24
Metals 0.98 1.42 1.92 1.75 1.41 1.58 1.87
Machinery & Electrical 1.29 1.29 1.13 1.17 1.18 1.14 1.08
Transportation 0.33 0.52 0.90 1.03 1.25 1.53 1.65
Miscellaneous 4.56 4.22 3.47 3.11 2.78 3.05 2.67
Berdasarkan sektor, hasil perhitungan RCA menunjukkan peningkatan nilai sejalan
dengan item produk yang lebih terkonsentrasi dalam analisis, itu berarti bahwa nilai RCA pada
tahun yang sama akan lebih tinggi dalam analisis menggunakan produk yang dipilih (top 250
nilai ekspor) dibandingkan dengan pendekatan standar. Dalam hal ini, pengecualian hanya terjadi
di sektor mutiara alam atau budaya (kode HS 71). Tabel 7 menyajikan hasil perhitungan RCA
untuk 10 ekspor teratas Indonesia.

Tabel 7. RCA of Indonesian Top 10 Export by Sectors With Selected Products, 2001-2017

Top 10 Exports by Sectors* Top 250 Product Items


2001 2004 2007 2010 2012 2015 2017
Mineral fuels (HS 27) 2.61 2.42 1.87 1.97 1.85 2.15 1.99
Vegetable fats and olis (15) 18.47 30.96 38.96 33.88 34.98 44.73 43.76
Electrical Machinery (85) 1.63 1.37 1.17 1.29 1.26 1.21 1.11
Pearl (71) 1.21 0.52 0.71 0.55 0.49 1.31 1.24
Vehicle (87) 0.32 0.37 0.75 0.79 1.12 1.46 1.61
Rubbers (40) 3.03 5.36 6.72 6.43 5.39 4.61 5.21
Machinery (84) 0.89 1.17 1.07 0.97 1.06 1.03 1.05
Footwear (64) 3.59 2.94 2.51 2.63 3.15 3.81 3.67
Clothing accessories (62) 3.05 2.73 2.41 2.11 1.90 2.03 1.94
Wood and article of wood (44) 11.31 8.41 5.66 5.04 5.32 6.74 6.24
Share of Top 10 Sectors (%) 57.79 35.55 57.66 68.30 48.38 42.45 41.93
Share of Top 250 Products (%) 88.03 89.93 91.28 93.05 93.46 93.87 94.95
*In bracket is HS code
Hasil perhitungan di atas menunjukkan bahwa nilai RCA akan konsisten dengan posisi
komoditas sebagai kontributor nilai ekspor, baik secara sektoral maupun dalam kelompok
komoditas, jika analisis RCA menggunakan seleksi data. Dengan demikian, 10 ekspor teratas
adalah cerminan sektor-sektor yang memiliki daya saing diukur dalam RCA> 1.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa semakin kecil jumlah produk (HS 4-digit) yang
terlibat dalam analisis, semakin tinggi nilai RCA (kriteria seleksi dalam penelitian ini adalah
nilai ekspor tertinggi). Ini diterapkan pada agregasi di tingkat sektor (HS 2-digit) dan selanjutnya
juga diterapkan pada klasifikasi kelompok komoditi sebagai agregasi sektor. Jumlah item produk
dengan nilai RCA kecil yang over proporsional akan menyebabkan nilai RCA di tingkat sektor
menjadi kecil. Ada 1.009 produk yang secara agregat berkontribusi kurang dari 10% terhadap
nilai ekspor (pada tahun 2016 bagian ini 6,4%) dan 150 item di antaranya adalah nol
perdagangan (tidak ada ekspor). Rumus RCA sangat sensitif terhadap perdagangan nol, karena
perdagangan nol akan meningkatkan nilai penyebut sehingga secara otomatis akan mengurangi
hasil pembagian, yaitu nilai RCA itu sendiri.
Koefisien korelasi antara pangsa ekspor dan RCA secara keseluruhan adalah + 0,48 dan
dengan memisahkan antara kelompok produk dengan pangsa ekspor > 0,5% dari produk dengan
pangsa ekspor < 0,5% maka nilai koefisien korelasi untuk yang pertama adalah + 0,36 dan untuk
ekspor share < 0,5% menjadi + 0,42. Ini berarti bahwa semakin kecil pangsa ekspor / nilai
ekspor, semakin tinggi korelasi antara pangsa ekspor dan keunggulan komparatif. Sementara
produk dengan pangsa ekspor < 0,5% mencapai 98% dari total produk dalam HS 4-digit (38 kali
lebih banyak dari item produk dengan pangsa ekspor > 0,5%), sehingga penambahan sampel
dalam analisis akan secara proporsional menekan nilai RCA, karena setiap item tambahan berarti
menambahkan produk dengan pangsa ekspor yang lebih rendah dan berkorelasi positif dengan
nilai RCA yang lebih rendah. Ini lebih jelas diilustrasikan oleh analisis sektoral di sektor
elektronik (temuan serupa juga terjadi dalam analisis sektor mesin). Di sektor elektronik (kode
85, HS 2 digit), terdapat 48 produk tetapi dari 48 produk ini hanya 10 item memiliki RCA > 1
dari perdagangan global Indonesia pada tahun 2016 (tabel 8), sepuluh produk ini berkontribusi
46,63% terhadap nilai ekspor sektor elektronik. Jika analisis terbatas hanya pada sepuluh produk,
RCA sektor elektronik adalah 1,38. Dengan memperluas analisis yang melibatkan hingga 15
produk (item ke-15 dengan RCA> 0,60, kontribusi terhadap nilai ekspor meningkat menjadi
67,07% tetapi nilai RCA turun menjadi 1,19.
Tabel 8 menyajikan RCA ekspor Indonesia ke Cina dengan 15 kategori klasifikasi
komoditas dan tiga sektor industri manufaktur menggunakan pendekatan standar (semua data
produk). Hasilnya, sebagaimana sudah sering dinyatakan dalam berbagai publikasi bahwa ekspor
Indonesia memiliki keunggulan komparatif di sektor sumber daya primer (pertanian dan bahan
mentah) dan manufaktur yang bersifat padat tenaga kerja (DFAT-Australia, 2003; Nguyen, Pham
& Vallee, 2017). Dalam industri modern seperti elektronik, mesin dan transportasi, Indonesia
memiliki kelemahan komparatif (Aslam, 2018). Di sisi lain, Bank Dunia (2012) dengan referensi
nilai ekspor menilai bahwa ekspor otomotif Indonesia baik, tetapi tidak terdeteksi dalam nilai
keunggulan komparatif (RCA).
Table 8. RCA of Indonesia’s Export to China (Standard Approach)
RCA of Indonesian Exports to China (All Products)
Group Classification 2001 2004 2007 2010 2012 2015 2017
Animal Product 0.83 2.17 0.43 0.81 1.19 1.57 1.40
Vegetable Product 2.66 5.04 6.93 5.51 4.96 5.27 4.07
Foodstuff 1.05 0.82 1.09 1.01 1.13 1.71 1.44
Mineral 3.15 2.34 2.52 2.18 1.96 1.87 1.63
Chemical 1.38 1.86 1.20 1.14 1.10 1.15 1.15
Plastics andRubber 1.13 1.33 1.56 1.80 1.91 1.02 1.37
Raw Hides and Leather 0.07 0.14 0.56 0.15 0.25 0.34 0.26
Wood 7.19 6.26 3.95 3.18 3.38 5.54 4.47
Textile 0.88 0.84 0.63 0.90 0.92 2.31 2.08
Footwear 0.78 1.86 4.22 3.64 4.96 11.36 9.73
Stone and Glass 0.85 1.21 0.25 0.17 0.05 0.02 0.04
Metals 0.21 0.50 0.51 0.38 0.33 0.80 2.09
Machinery and Electronics 0.12 0.17 0.13 0.10 0.08 0.09 0.06
Transportation 0.03 0.16 0.20 0.07 0.08 0.07 0.07
Miscellaneous 0.06 0.05 0.05 0.04 0.04 0.14 0.12
Manufacture Sectors
Machinery (HS code 84) 0.06 0.17 0.22 0.07 0.06 0.08 0.08
Electronics (HS code 85) 0.00 0.16 0.08 0.12 0.09 0.09 0.06
Vehicle and Parts (87) 0.06 0.24 0.29 0.07 0.09 0.09 0.10

Dengan menggunakan pendekatan seleksi produk menghitung nilai RCA, hasil yang
diperoleh menunjukkan pemahaman baru bahwa ekspor Indonesia ke Cina memiliki keunggulan
komparatif tidak hanya dalam produk pertanian dan bahan baku. Bahkan asumsi yang
berkembang bahwa produk tekstil Indonesia telah kehilangan daya saing di Tiongkok ternyata
salah (bandingkan dengan Bank Dunia, 2012). Antara 2001 - 2017 nilai RCA untuk kelompok
komoditas tekstil dan pakaian lebih besar dari satu dan sejak 2010 (sejak penerapan Perjanjian
Perdagangan Bebas ASEAN-China) daya saingnya justru meningkat. Sektor mesin (HS 84) dan
Elektronik (HS 85) menunjukkan daya saing yang konsisten dalam dekade terakhir (RCA> 1),
sebaliknya, sektor kendaraan/ transport (HS 87) menunjukkan keunggulan komparatif yang
berfluktuasi. Produk Sayuran yang didominasi oleh minyak sawit dan Produk Kayu, yang
didominasi oleh furnitur, semakin menonjol dalam analisis dengan seleksi produk (tabel 9).
Table 9. RCA of Indonesia’s Export to China (Selected Products)
RCA of Indonesian Top 250 Exports to China
Group Classification 2001 2004 2007 2010 2012 2015 2017
Animal Product 1.42 3.45 0.70 1.65 2.92 4.21 4.00
Vegetable Product 12.05 24.81 25.43 25.80 23.58 30.13 24.81
Foodstuff 1.63 0.92 1.02 1.67 3.48 4.77 3.11
Mineral 3.29 2.43 2.44 2.04 1.69 2.01 1.69
Chemical 2.24 2.59 1.66 1.75 1.69 2.00 2.06
Plastics andRubber 1.18 1.39 1.64 1.89 2.00 1.08 1.45
Raw Hides and Leather 0.05 0.02 0.05 0.23 0.43 0.84 0.56
Wood 11.55 11.09 8.53 6.79 6.99 10.56 6.77
Textile 1.51 1.49 1.02 1.73 1.91 3.63 3.27
Footwear 7.40 6.98 8.68 5.76 6.90 14.19 11.93
Stone and Glass 1.27 0.75 1.12 0.53 0.33 0.28 1.03
Metals 0.43 1.14 1.09 0.65 0.61 1.65 3.89
Machinery and Electronics 0.13 0.14 0.13 0.11 0.09 0.10 0.07
Transportation 0.06 0.39 0.57 0.18 0.26 0.24 0.26
Miscellaneous 0.16 0.21 0.18 0.20 0.26 0.46 0.35
Export Share (%) 93.24 92.07 91.15 91.67 89.76 98.77 94.10
Manufacture Sectors
Machinery (HS code 84) 1.93 0.40 1.78 9.73 1.76 3.30 6.44
Electronics (HS code 85) 5.39 0.36 1.34 6.01 1.05 1.76 3.80
Vehicle and Parts (87) 0.08 1.16 2.04 2.64 0.68 0.74 1.55

Perhitungan RCA dalam perdagangan Indonesia dengan China menggunakan seleksi


produk (Top 250 ekspor saja), berarti mengeluarkan dari analisa 1.009 produk dan 513 produk
diantaranya bernilai nol (tanpa perdagangan) pada 2016. Dengan demikian, distorsi analisis RCA
standar tidak hanya disebabkan oleh besarnya jumlah sampel dengan nilai ekspor rendah yang
berkorelasi dengan RCA kecil tetapi juga dengan jumlah nol perdagangan yang mencapai 41%
dari total sampel (produk yang tercantum dalam HS 4-digit).

KESIMPULAN
Untuk mengukur daya saing, Indeks RCA telah mengalami pengembangan untuk
mengatasi kelemahan metode yang pertama kali diperkenalkan oleh Balassa pada tahun 1965.
Demikian juga, tidak ada variasi yang telah dikembangkan dapat dilihat sebagai "sempurna".
Penggunaan metode yang paling tepat tergantung pada tujuan menggunakan nilai RCA yang
diperoleh. Demikian juga, untuk langkah pertama dalam menilai daya saing suatu barang atau
sektor, indeks Balassa RCA masih merupakan pendekatan yang paling populer karena
kesederhanaan perhitungan dan kemudahan dalam memperoleh data yang diperlukan. Tanpa
harus melakukan operasi ekonometrik yang rumit, kemampuan untuk memprediksi daya saing
menggunakan Balassa RCA dapat ditingkatkan hanya dengan pemilihan produk berdasarkan
pangsa ekspor.
Studi ini menunjukkan bahwa pemilihan produk terbatas pada 250 ekspor teratas (dari
1.259 produk dalam HS 4-digit) mampu mengembalikan posisi sektor manufaktur Indonesia
sebagai sektor kompetitif (RCA> 1) yang tercermin dari posisi sektor tersebut sebagai top 10
ekspor berdasarkan pangsa ekspor (nilai ekspor). Ketika metode ini diterapkan untuk ekspor
Indonesia ke Cina, nilai RCA sektor mesin dan elektronik menunjukkan nilai yang jauh lebih
besar dari satu dibandingkan dengan hasil perhitungan dengan pendekatan standar (termasuk
semua produk dalam analisis) dengan nilai 0,17 . Selain itu, hasilnya menunjukkan bahwa sektor
tekstil dan pakaian masih memiliki daya saing tinggi di pasar Cina yang dalam berbagai
penelitian sebelumnya menunjukkan hasil yang berlawanan, dan daya saing ini meningkat secara
konsisten sejak 2011 (penerapan Perjanjian Perdagangan Bebas ASEAN China).
Pemilihan ekspor produk berdasarkan pangsa / nilai ekspor berarti mengeluarkan
produk bernilai rendah dari analisis, yang berkorelasi positif dengan RCA. Ini berarti bahwa
semakin kecil pangsa ekspor, nilai RCA juga lebih kecil. Proses pemilihan juga akan secara
otomatis mengecualikan produk yang tidak diperdagangkan dari analisis. Selama produk yang
dipilih masih berkontribusi terhadap total ekspor > 90%, hasil perhitungan RCA masih dapat
diandalkan, sehingga pendekatan ini tetap berguna sebagai panduan dalam kebijakan industri dan
perdagangan tanpa kehilangan keunggulannya yang sederhana, cepat dan sumber data yang
mudah didapat.
Untuk menghitung RCA sektor tertentu (HS 2-digit), disarankan untuk melakukan
analisis dua langkah, dengan memulai perhitungan pada data disagregasi HS 4 digit, kemudian
hasil perhitungan dikumpulkan ke RCA sektor (HS 2 digit), dengan cara ini komoditas dengan
nol ekspor akan dikeluarkan dari analisis. Nol ekspor yang tidak terdeteksi dalam 2 digit tingkat
agregasi data akan membuat hasil perhitungan menjadi bias karena hal ini akan secara otomatis
meningkatkan nilai penyebut dalam formula dan akibatnya memperkecil hasil perhitungan RCA.

REFERENSI
Aslam, M. (2018). ASEAN-China FTA and the Impact on Indonesian Manufacturing Industry. JATI-
Journal of Southeast Asian Sudies, 23 (1), 13-46.
Baldwin, R.E. (2008). Managing the Noodle Bowl: the Fragility of East Asian Regionalism. The
Singapore Economic Review, 53 (3), 449 – 478.
Ballance, R. H., Forstner, H. & Murray, T. (1987). Consistency tests of alternative measures of
comparative advantage. Review of Economics & Statistics, 69, 157-161.
Coniglio, N.D., Vurchio, D., Cantore, N. & Clara, M. (2018). On the evolution of comparative advantage:
path dependent versus path-defying changes. Southern European Research in Economic Studies,
Series Working Paper No. 01/2018.
Costinot, A., Donaldson, D. & Komunjer, I. (2012). What Goods Do Countries Trade ? A Quantitative
Exploration of Ricardo’s Ideas. Review of Economic Studies, 79 (5), 581-608.
Crawford, J-A. & Fieorentino, R.V. (2005). The Changing Landscape of Regional Trade Agreement.
WTO Discussion Paper No. 8.
Crowley. A.M. (2003). An Introduction to the WTO and GATT. Economic Perspectives, 27 (4), 42 -57.
DFAT-Australia (Department of Foreign Affairs and Trade, Australian Goverment) (2003). China's
Industrial Rise- East Asia's Challenge (https://dfat.gov.au/about-us/publications/trade-
investment/chinas-rise/Pages/china-s-industrial-rise-east-asia-s-challenge. aspx).
Eaton, J. & Kortum, S. (2002). Technology, Geography, and Trade. Econometrica 70 (5), 1741 – 1779.
Fontage, L., Freudenber, M. & Gaulier, G. (2005). Disentangling Horizontal and Vertical Intra-Industry
Trade. CEPII Working Paper No. 2005-10.
Gnidchenko, A.A. & Salnikov, V. (2015). Net Comparative Advantage Index: Overcoming the
Drawbacks of the Existing Indices. HSE Working Papers WP BRP 119/EC/2015. National
Research University Higher School of Economics.
Howse, R. (2016). The World Trade Organization 20 Years On: Global Governance by Judiciary. The
European Journal of International Law, 27 (1), 9 – 77.
Kawai, M. & Wignaraja, G. (2014). Trade Policy and Growth in Asia. ADBI Working Papers Series No.
495.
Kresnowati, A.M., Ananda, C.F. & Khusaini, M. (2016). Role of Manufacturing Sector and Trade, Hotel,
Restaurant Sector in East Java’s Economy: Input Output Analysis. Jurnal Ekonomi dan Studi
Pembangunan, 8(2), 168-181.
Krugman P.R., Obstfeld, M. & Melitz, M.J. (2012). International Economics: Theory and Policy 9th
edition (Boston etc.: Addison-Weley) pp 80-96.
Leromain, E. & Orefice, G. (2014). New Revealed Comparative Advantage Index: Dataset and Empirical
Distribution. International Economics, 139 (1), 48 – 70.
Martijn, J.K. & Tsangarides, C.G. (2007). Trade Reform in CEMAC: Development and Opportunities.
IMF Working Paper, WP/07/137.
Nguyen, T.N.A., Pham, T.H.H. & Vallee, T. (2017). Similarity in trade structure: evidence from ASEAN
+ 3. The Journal of International Trade and Economic Development – An International and
Comparative Review, 26 (8), 1000 -1024.
Okabe, M. (2015). The Impact of ASEAN+1 FTAs on ASEAN’s Trade in Ing, L.Y. (ed.): East Asian
Integration. ERIA Research Project Report 2014-6, Jakarta: Eria, pp. 27-66.
Riandi, R. & Pratomo, Y. (2017). Indonesian Comparative Advantage Entering The ASEAN Economic
Community. Jurnal Ekonomi dan Studi Pembangunan, 9(1), 87-102.
Salvatore, D. (2013). International Economics 11th edition (Hoboken NJ: John Wiley & Sons) pp 109-
127.
Sanidas, E. & Shin, Y. (2010). Comparison of revealed comparative advantage indices with application to
trade tendencies of East Asian Countries. Department of Economics, Seoul National University
(http://www.akes.or.kr/eng/papers(2010)/24.full.pdf).
Saqib, M., Irshad & Xin, Q. (2017). Determinants of Exports’ Competitiveness: An Empirical Analysis
Through Revealed Comparative Advantage of External Sector of Pakistan. Asian Economic and
Finance Review, 7 (6), 623 – 633.
Setyastuti, R., Adiningsih, S. & Widodo, T. (2018). The Dynamics of Comparative Advantage in the
ASEAN Region. MPRA Paper No. 86541 (https://mpra.ub.uni-muenchen.de/86541/).
Shujiro, V. & Misa, O. (2007). The Impact of Free Trade Agreements on Trade Flows: An Application of
the Gravity Model Approach. RIETI Discussion Paper Series )7-E-052. The Research Institute of
Economy, Trade and Industry (http: www.rieti.go.jp/en/).
Tampubolon, J. (2019). Indonesian Export Performance and Competitiveness in the ASEAN-China FTA.
WSEAS Transaction on Business and Economics, 16, 120-129.
World Bank (2012). Export Competitiveness in Indonesia’s Manufacturing Sector. Policy Note 2, The
World Bank Office Jakarta.
Yeats, A. (1985). On the appropriate interpretation of the revealed comparative advantage index:
implications of a methodology based on industry sector analysis. Weltwirtschaftliches Archiv, 121,
61-73.
Yihong, T. & Weiwei, W. (2006). An Analysis of Trade Potential between China and ASEAN within
China-ASEAN FTA. International Conference on WTO, China and the ASEAN Economies, IV:
Economic Integration and Economic Development, University of International Business and
Economics, Beijing, China, June 24-25, 2006.

View publication stats

You might also like