Download as pdf or txt
Download as pdf or txt
You are on page 1of 18

JURNAL SELAT

Volume. 6 Nomor. 2, Mei 2019. p - 2354-8649 I e - 2579-5767


Open Access at: http://ojs.umrah.ac.id/index.php/selat
DOI: https://doi.org/10.31629/selat.v6i2.1067
INTERPRETASI PERJANJIAN INTERNASIONAL TERKAIT
HISTORICAL RIGHTS DALAM UNCLOS 1982
(Studi Kasus: Sengketa Laut Cina Selatan antara Republik Rakyat Cina v.
Filipina dan Sengketa Kepulauan Chagos antara Mauritius v. Britania Raya)

Ninne Zahara Silviani


Program Magister Ilmu Hukum Universitas Padjadjaran
Jl. Raya Bandung Sumedang KM.21
ninne18001@mail.unpad.ac.id

Abstract
People’s Republic of China with 9-dash-lines designed in 1947, claimed almost 90% of the South China Sea’s
Area. Generally known the line not only overlapping in one Asean Country but five other countries which, The
Philippines, Indonesia, Malaysia, Vietnam and Brunei Darussalam. The Philippines took its fight over its territory
to the Permanent Court of Arbitration, Den Haag in 2013. In 12th July 2016, Permanent Court of Arbitration
Award declared that China has no legal basis for claiming territorial waters in the South China Sea. Yet, the
PRC does not accepted the Award. PRC denied the decision due to the PRC’s interpretation to UNCLOS 1982
regulation and declared their sovereignty across the archipelagic islands in South China Sea by historical
reasons. A Similar disputes was happen between Mauritius v. United Kingdom in 2010-2015 due to the
Maritime Protected Area in Chagos Islands on Indian Ocean whose claimed by Mauritius because of historical
reasons. This article will examine how VCLT 1969 reacted to the violation of UNCLOS 1982 which known as a
package deal in accordance to regulate the sovereignty of water territory. This article is a normative legal
research with secondary data, which obtained from library study descriptively.
Keyword: VCLT 1969, UNCLOS 1982, 9-dash-line, Claims, Interpretation

Abstrak
Republik Rakyat Cina dengan garis 9-dash-line yang didesain pada tahun 1947, mengklaim hampir 90% area
Laut Cina Selatan. Garis putus tersebut tumpang tindih dengan batas laut beberapa negara di Asia Tenggara
antara lain Filipina, Indonesia, Malaysia, Vietnam dan Brunei Darussalam. Filipina kemudian mengajukan
sengketa tumpang tindih wilayah tersebut di Pengadilan Arbitrase Den Haag pada 2013. Putusan Pengadilan
Arbitrase dalam press release 12 Juli 2016 menyatakan Klaim RRC tidak kompatibel dengan Konvensi Hukum
Laut terkait zona maritim. Pemerintah Cina menolak putusan tersebut dan tetap berupaya untuk
mempertahankan klaimnya. Hal ini disebabkan oleh Interpretasi RRC terhadap aturan di dalam UNCLOS dan
menyatakan bahwa kepulauan-kepulauan karang disekitar Laut Cina Selatan adalah bagian dari wilayah
kedaulatannya. Kasus serupa juga terjadi antara Republik Mauritius dengan Kerajaan Inggris pada tahun 2010-
2015 terkait Maritime Protected Area di Kepulauan Chagos di Samudera Hindia yang ingin diklaim Republik
Mauritius yang mengklaim dirinya sebagai negara pantai dengan alasan historis. Artikel ini akan menjelaskan
bagaimana VCLT 1969 bereaksi terhadap pelanggaran terkait batas maritim pada UNCLOS 1982 yang
berfungsi sebagai package deal dalam mengatur kedaulatan atas teritori laut. Penelitian ini adalah penelitian
hukum normatif. Sumber dan data yang digunakan berupa sumber data sekunder. Penambangan data akan
dilakukan dengan studi pustaka secara deskriptif.
Kata Kunci: VCLT 1969, UNCLOS 1982, 9-dash-line, Klaim, Interpretasi
JURNAL SELAT 155
Volume. 6 Nomor. 2, Mei 2019. Halaman 154-171

I. Pendahuluan negara, hingga saat ini, terdapat 168 negara yang


Sebagai salah satu dari sumber perjanjian menjadi member UNCLOS, termasuk Cina, Filipina.
internasional formal, perjanjian internasional yang UNCLOS berlaku sebagai Package Deal
bersifat bilateral maupun multilateral adalah sumber yang menurut Damos Damoli Agusman dalam
hukum internasional yang sama pentingnya dengan tulisannya menyatakan:
sumber-sumber hukum internasional lain yang “The truth is, shortfalls exist in UNCLOS. As
a package deal convention, it is to be
disebutkan didalam Pasal 38 statuta ICJ yaitu
expected that certain provisions were
kebiasaan internasional, prinsip-prinsip hukum intentionally made ambiguous to allow a
wide corridor of interpretations. The South
umum, putusan pengadilan dan ajaran-ajaran ahli
Cina Sea Arbitration was an exhibit how the
hukum. Pada prinsipnya perjanjian internasional diverse interpretation of UNCLOS provision
could lead to disagreements among
hanya berlaku mengikat bagi para pihak dalam
States.”4
perjajian tersebut, tidak mengikat negara yang bukan
Bedasarkan kutipan di atas, walaupun
pihak dalam perjanjian.1
UNCLOS adalah sebuah persetujuan dalam satu
Sebagai suatu kontrak, perjanjian
paket, terdapat kekurangan bahwa beberapa
internasional diasumsikan seperti kontrak perdata
ketentuan dapat menunjukkan ambiguitas terutama
dalam sistem hukum nasional.2 Berbeda dengan
dalam hal interpretasi. Kasus Arbitrase Laut Cina
hukum kebiasaan internasional dimana penerimaan
Selatan menurutnya adalah sebuah pameran
negara atas instrumen hukum internasional tersebut
bagaimana interpretasi terhadap UNCLOS dapat
dilakukan secara implisit (tacit agreement),
menyebabkan perselisihan antar negara. Dalam
pengikatan negara terhadap perjanjian internasional
kasus Laut Cina Selatan, interpretasi yang ambigu
dilakukan secara eksplisit (express consent).3
ini adalah terhadap hak laut bersejarah atau
Kekuatan ini juga diberlakukan terhadap perjanjian
historical rights.
United Nations Convention on The Law of The Sea
Sengketa Laut Cina Selatan bermula
atau selanjutnya disebut UNCLOS.
dengan garis putus-putus yang menghubungkan
Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tahun
wilayah Laut Cina Selatan hingga ke wilayah
1951 membentuk International Law Commission
yurisdiksi beberapa negara ASEAN antara lain
(ILC) untuk menyusun draft konvensi hukum laut.
Filipina, Vietnam, Malaysia timur, Brunei
Konvensi UNCLOS pada awalnya dilaksanakan
Darussalam, dan Indonesia. Selain negara-negara
lewat Geneva Convention tahun 1958 kemudian
ASEAN, garis ini juga bersinggungan dengan
mengalami berbagai perubahan hingga difinalisasi
wilayah Laut Taiwan (Republic of Cina). Wilayah
pada 10 Desember 1982 di Montego Bay, Jamaica.
dalam garis ini kemudian diakui oleh Republik
Perjanjian ini baru entry into force pada 16 November
Rakyat Cina (RRC). RRC mengklaim wilayah
1994 setelah diratifikasi dan diaksesi oleh 157

1 Atip Latipulhayat, dalam Orasi Pengukuhan Guru Besar Bidang Hukum Internasional dengan judul Internasionalisasi Hukum
Internasional: Dari Hegemoni ke Harmoni, Universitas Padjadjaran, pada tanggal 17 November 2018.
2 Peter Malanczuk, Akehurst’s Modern Introduction to International Law, London: Routledge, 1998, hlm. 9.
3 Malcolm N. Shaw, International law, 7th Edition, Cambridge: Cambridge University Press, 2014, hlm, 50.
4 Damos D. Agusman and Gulardi Nurbintoro, “Asean, UNCLOS, and Birth of a New Legal Order”,
https://www.thejakartapost.com/academia/2017/10/24/asean-unclos-and-the-birth-of-a-new-legal-order.html diakses pada 15
November 2018.
156 Ninne Zahara Silviani, Interpretasi Perjanjian Internasional…..

tersebut dengan dasar penemuan dan (206SM - 220M) yang konon menunjukkan
pendudukannya terhadap wilayah tersebut selama Kepulauan Spratly sebagai bagian dari wilayahnya,
2000 tahun (Termasuk Kepulauan Kalayaans). RRC dan artefak sejarah yang ditemukan di pulau-pulau
mendemonstrasikan bahwa klaimnya berdasar yang menunjukkan keberadaan nelayan Cina.5
kepada gambar yang dibuat pada masa dinasti Han
Gambar 1. Area bersinggungan di Laut Cina Selatan

Sumber : https://www.voaindonesia.com/a/pengadilan-pbb-batalkan-klaim-china-atas-laut-china-selatan/3414729.html

Sengketa Laut Cina Selatan bermula dan artefak sejarah yang ditemukan di pulau-pulau
dengan garis putus-putus yang menghubungkan yang menunjukkan keberadaan nelayan Cina.6
wilayah Laut Cina Selatan hingga ke wilayah Setelah Perang Dunia II, tepatnya tahun
yurisdiksi beberapa negara ASEAN antara lain 1947, pemerintah Cina membuat peta resmi wilayah
Filipina, Vietnam, Malaysia timur, Brunei kedaulatan Cina. Dalam peta tersebut Cina memberi
Darussalam, dan Indonesia. Selain negara-negara sebelas garis putus-putus di sekitar Laut Cina
ASEAN, garis ini juga bersinggungan dengan Selatan. Termasuk di dalamnya Pulau Spratly dan
wilayah Laut Taiwan (Republic of Cina). Wilayah Paracel. Dengan faktor masa lalu inilah, RRC
dalam garis ini kemudian diakui oleh Republik akhirnya merasa bahwa secara administratif wilayah
Rakyat Cina (RRC). RRC mengklaim wilayah Spratly dan Paracel (Changsa dan Shitang) masuk
tersebut dengan dasar penemuan dan ke dalam wilayah kedaulatan mereka. RRC selalu
pendudukannya terhadap wilayah tersebut selama menegaskan klaim mereka atas Laut Cina Selatan
2000 tahun (Termasuk Kepulauan Kalayaans). RRC menggunakan sembilan garis putus (nine dash line).
mendemonstrasikan bahwa klaimnya berdasar RRC kemudian mulai menancapkan
kepada gambar yang dibuat pada masa dinasti Han taringnya dengan membangun pulau reklamasi serta
(206SM - 220M) yang konon menunjukkan pangkalan militer di kepulauan Spartlys dan Miscief
Kepulauan Spratly sebagai bagian dari wilayahnya, Reef, RRC memiliki tiga pangkalan militer berskala

5 Ian James Storey, Creeping Assertiveness: China, the Philippines and the South China Sea Dispute, Contemporary Southeast
Asia, April 1999: Volume 21. Issue1, hlm. 95-119.
6 Ian James Storey, Creeping Assertiveness: China, the Philippines and the South China Sea Dispute, Contemporary Southeast
Asia, April 1999: Volume 21. Issue1, hlm. 95-119.
JURNAL SELAT 157
Volume. 6 Nomor. 2, Mei 2019. Halaman 154-171

besar yang telah selesai dibangun di Laut Cina tentang Historical Right dalam UNCLOS
Selatan. Pangkalan terdiri dari angkatan laut, udara, menimbulkan interpretasi ganda dalam menetapkan
radar, dan fasilitas pertahanan rudal. Selain itu, RRC wilayah teritorial laut, dan (ii) Apakah interpretasi
juga juga telah dibangun hangar untuk 72 pesawat pemerintah PRC sudah sesuai dengan prinsip Good
tempur dan beberapa peluncur bom yang lebih Faith dalam VCLT 1969?.
besar. Reklamasi pulau-pulau oleh RRC juga
membawa dampak buruk pada beberapa area II. Metode Penelitian
terumbu karang yang paling kaya dan beragam di 2.1. Jenis penelitian
dunia tersebut.7 Penelitian ini disusun dengan jenis
Sengketa dengan Filipina kemudian dimulai penelitian yuridis-normatif yaitu Penelitian hukum
pada 22 Januari 2013 saat Filipina mengirimkan yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka
notifikasi kepada RRC untuk menyelesaikan atau data sekunder saja, disebut sebagai penilitian
sengketa laut Cina selatan dan kepulauan- hukum normatif atau kepustakaan. Penelitian hukum
kepulauannya di Mahkamah Arbitrase Internasional normatif ini menggunakan pendekatan Penelitian
(PCA). Februari 2013, RRC menolak dan Perbandingan Hukum. Penelitian ini akan berfokus
mengembalikan notifikasi Filipina dan tetap terhadap asas-asas hukum dalam perjanjian
meneruskan pengerjaan reklamasinya di Kepulauan internasional yang tertuang dalam VCLT 1969 serta
Spartlys. Pada Juni 2013, persidangan tetap penerapannya terhadap kasus-kasus sengketa laut
dilanjutkan tanpa hadirnya pihak RRC. Akhirnya internasional yang akan melibatkan UNCLOS 1982.
pada 12 Juli 2016, Putusan Mahkamah Arbitrase Hal ini juga akan melihat bagaimana sejarah dan
Internasional menetapkan bahwa RRC hanya kebiasaan-kebiasaan internasional berperan dalam
memiliki hak-hak yang terbatas pada penangkapa mengatur hubungan antar subjek internasional dan
ikan di Zona Ekonomi Eksklusif dan tidak memiliki membandingkan kasus-kasus yang ada.
hak atas sumber daya alam dan energi. RRC juga 2.2. Sumber Data
dianggap telah melakukan pengrusakan lingkungan, Data berasal dari data sekunder, Data
serta segala aktivitas pembangunan RRC di Laut sekunder yaitu bahan pustaka yang mencakup
Cina Selatan dianggap melanggar hukum dokumen-dokumen resmi, buku-buku perpustakaan,
internasional. Hal yang menjadi perdebatan peraturan perundang-undangan, karya ilmiah,
selanjutnya adalah bagaimana historical rights diatur artikel-artikel, serta dokumen yang berkaitan dengan
didalam UNCLOS dan mengapa terjadi ambiguitas materi penelitian. Data sekunder memiliki tiga bahan
terhadap interpretasi hak ini dan bagaimana juga hukum, bahan hukum primer antara lain:
seharusnya RRC menyikapi putusan dari Mahkamah 1) Vienna Convention on The Law of
Arbitrase yang bersifat final dan mengikat tanpa Treaties 1969
pengecualian. Adapaun rumusan masalah dalam 2) United Nations Conventions on The Law
penelitian ini terdiri dari; (i) Apakah penjelasan of The Sea 1982
7 Pascal S. Bin Saju, Pangkalan Militer China di Laut China Selatan Siap Digunakan
https://internasional.kompas.com/read/2017/03/29/09261221/pangkalan.militer.china.di.laut.china.selatan.siap.digunakan,
diakses pada 18 November 2018.
158 Ninne Zahara Silviani, Interpretasi Perjanjian Internasional…..

3) International Law Commission-Juridical internasional yang kemudian dipedomani oleh Pasal


Regime on Historical Waters Including 38 Statuta Mahkamah Internasional yang berbunyi:
Historic Bays 1962. 1. “The Court, whose function, is to decide
in accordance with international law
Bahan hukum sekunder yang digunakan
such disputes as are submitted to it,
antara lain jurnal internasional, hasil-hasil penelitian shall apply:
a. International conventions, whether
sarjana terdahulu, naskah internet dan berita akurat
general or particular, establishing
terkini. Serta bahan hukum tersier sebagai petunjuk rules expressly recognised by the
contesting states;
dan penjelasan yang digunakan antara lain kamus,
b. International custom, as evidence
ensiklopedia, indeks kumulatif dan lainnya. of a general practice accepted as
law;
2.3. Teknik Pengumpulan Data dan Analisis Data
c. The general principle of law
Penelitian ini menggunakan teknik recognized by civilized nations;
d. Subject to provisions of Article 59,
pengumpulan data studi pustaka dan dianalisa
judicial decisions and the
secara eksplanatoris. Analisa Eksplanatori teachings of the most highly
qualified publicists of the various
merupakan penelitian yang bertujuan untuk menguji
nations, as a subsidiary means for
suatu teori atau hipotesis guna memperkuat atau the determination of rules of law.
2. This provision shall not prejudice the
bahkan menolak teori atau hipotesis hasil penelitian
power of the court to decide a case ex
yang sudah ada. Penelitian eksplanatori bersifat aequo et bono, if the parties agree
thereto.”
mendasar dan berujuan untuk memperoleh
keterangan, informasi, data mengenai hal-hal yang Pasal tersebut memberikan pedoman bagi
belum diketahui. Mahkamah Internasional untuk meutuskan perkara
yang diadilinya. Empat sumber hukum internasional
III. Kajian Teoritis yang dijelaskan tersebut antara lain perjanjian
3.1. Hukum Interpretasi Terhadap Perjanjian internasional, kebiasaan internasional, prinsip-
Internasional prinsip hukum umum yang diakui serta ajaran para
Hukum Internasional (International Law) sarjana hukum dan putusan pengadilan. Semua
awal mula dikemukakan oleh Jeremy Bentham sumber memiliki derajat yang sama, namun yang
pada tahun 1780 dalam bukunya, Introduction to the satu-satunya memberikan tempat kepada negara
Principles of Morals and Legilation.8 Beragamnya untuk berpartisipasi secara formal dalam proses
sistem hukum yang ada di dunia menjadikan perlu pembentukan dan pemberlakuannya adalah
diaturnya hukum internasional ini dan juga termasuk perjanjian internasional.9 Sebagai sumber hukum
sumber-sumbernya. Sumber-sumber hukum internasional, pembuatan dan pelaksanaan
internasional kemudian menjadi topik hangat untuk perjanjian internasional harus memperhatikan dua
mengatur hubungan antar subjek-subjek hukum prinsip pokok yaitu:10

8 Jeremy Bentham, Introduction to the Principles of Morals and Legilation, Kitchener: Batoche Books, 2000. Lihat juga Peter
Malanczuk, Akehurst’s Modern Introduction to International Law, London: Routledge, 1998, hlm. 1.
9 Atip Latipulhayat, Sumber Hukum Internasional, Bandung: Universitas Padjadjaran, 2018, hlm. 14.
10 Martin Dixon, Robert McCorquodale and Sarah Williams, Cases & Materials in International Law, Oxford: Oxford University Press,
hlm. 27-28
JURNAL SELAT 159
Volume. 6 Nomor. 2, Mei 2019. Halaman 154-171

1) Pembuatan dan penerapan perjanjian dalam perjanjian, keterikatan terhadap


adalah bersifat sukarela, dalam hal ini, perjanjian tersebut disebabkan karena
negara-negara terikat dengan sebuah subtansi yang ada didalam perjanjian
perjanjian internasional apabila negara tersebut bersumber dari hukum
tersebut secara sukarela menyatakan kebiasaan internasional.
terikat melalui salah satu mekanisme
pengikatan negara terhadap perjanjian Maka kembali kepada topik pembuatan
internasional. (Contoh: Ratifikasi,
perjanjian internasional, sesungguhnya adalah salah
Aksesi, atau cara-cara lain yang
disepakati). satu kebiasaan interasional yang kemudian
2) Apabila suatu perjanjian internasional
dikodifikasi menjadi sebuah konvensi dengan judul
dibuat dan dimaksudkan untuk
mengkodifikasi hukum kebiasaan Vienna Convention on The Law of Treaties 1969
internasional, maka terikatnya negara-
(VCLT 1969) yang disahkan pada 23 Mei 1969 di
negara terhadap perjanjian itu bisa
karena dua hal, (i) bagi negara-negara Wina, Austria. VCLT 1969 mengatur proses
yang menjadi pihak, maka keterikatan
pembuatan perjanjian internasional secara bilateral
terhadap perjanjian tersebut melalui
cara yang normal seperti ratifkasi, (ii) dan multilateral.
Bagi negara bukan peserta pihak

Bagan 1. Poses Pembuatan Perjanjian Internasional


1. Proses Pembuatan Perjanjian multilateral

Perumusan Otentikasi
Perundingan Adopsi
Naskah (Pengesahan)

Sumber: Penulis

2. Proses Pembuatan Perjanjian Bilateral

Perumusan Otentikasi
Perundingan
Naskah (Pengesahan)

Sumber: Penulis

Selanjutnya berfokus pada proses disetujui, pelaksanaan perjanjian, prinsip itikad baik
pembuatan perjanjian multilateral yang dibuat oleh dan pengakhiran perjanjian juga diatur dalam
subjek hukum internasional negara, proses adopsi konvensi ini. Hal lainnya yang juga menjadi penting
menjadi perhatian khusus karena negara masih bisa diatur dalam perjanjian ini adalah terkait interpretasi
merubah hal-hal yang masih ingin disesuaikan suatu perjanjian internasional.
dengan hukum nasional negaranya selama Interpretasi memiliki arti penafsiran.
perubahan itu selaras dengan tujuan dibentuknya Menginterpretasi sebuah dokumen adalah suatu
perjanjian itu, hal ini dinamakan “reservasi atau seni, bukan ilmu eksakta.11 Tujuan dari interpretasi
pensyaratan”. Bagaimana sebuah perjanjian adalah untuk mengharmonisasikan kesepahaman

11 Aust, Anthony. Modern Treaty Law and Practice. Cambridge: Cambridge University Press, 2013, hlm. 184. Lihat juga ILC
Commentary, p.218, para. (4).
160 Ninne Zahara Silviani, Interpretasi Perjanjian Internasional…..

serta menghindari sengketa. Hingga saat ini, belum pihak menetapkan maksudnya
demikian.
ada keseragaman tentang cara interpretasi dalam
Pasal 32: Cara-cara tambahan
struktur hukum internasional dan juga belum ada interpretasi.
Usaha lain yang dapat dipakai sebagai cara
lembaga yang berwenang untuk memberikan
tambahan interpretasi, termasuk pekerjaan
interpretasi konkret terhadap perjanjian internasional pendahuluan perjanjian dan keadaan pada
saat penutupannya, supaya memperkuat
yang mengikat semua negara. VCLT 1969 mengatur
pengertian penerapan Pasal 31, atau untuk
terkait interpretasi ini pada Pasal 31 hingga 33 menetapkan pengertian interpretasi
menurut Pasal 31;
konvensi. Dasar-dasar interpretasi ada dalam Pasal
a. memberikan arti ganda atau kabur;
31 dan 32 yang berbunyi: atau
b. menghasilkan arti yang menunjukkan
“Pasal 31: Aturan Umum lnterpretasi. tidak masuk akal atau tidak layak.”
3.1.1.1. Suatu peIjanjian diinterpretasikan
dalam itikad baik (good faith) sesuai Interpretasi perjanjian kemudian menjadi
dengan pengertian yang lazim lazim ketika dilakukan oleh setiap negara menurut
diberikan pada istilah-istilah dari
perjanjian dalam konteks dan ketentuan hukum nasionalnya sesuai dengan
dipandang dari maksud dan national interest (kepentingan negara). Walaupun
tujuannya;
3.1.1.2. Konteks untuk maksud interpretasi menjadi hak bagi setiap negara, namun sengketa-
suatu perjanjian mencakup sengketa yang disebabkan oleh hal ini tidak dapat
tambahan pada teks, termasuk
preamble dan lampiran-Iampiran: dielakkan. Hal ini dikarenakan para pihak peserta
a. Setiap persetujuan berkenaan perjanjian yang menafsirkan perjanjian tersebut
dengan perjanjian yang dibuat
antara semua pihak berkaitan didasarkan kepada kepentingan negaranya,
dengan penutupan perjanjian; sehingga yang kemudian harus memberikan
b. Setiap instrumen yang dibuat oleh
satu atau lebih pihak berkenaan interpretasi yang pasti dari substansi perjanjian
dengan penutupan perjanjian dan adalah Pihak Ketiga (Third Parties) yang biasanya
diterima oleh pihak-pihak lain
sebagai suatu instrumen yang adalah badan penyelesai sengketa atau Mahkamah
berhubungan dengan perjanjian. Internasional. Perihal tersebut berlaku untuk
3.1.1.3. Harus diperhatikan bersama-
sama dengan konteks: perjanjian-perjanjian multilateral, sedangkan untuk
a. Setiap persetujuan antara pihak- perjanjian bilateral, tentu kesepahaman akan dicari
pihak mengenai interpretasi
perjanjian atau aplikasi terlebih dahulu sebelum menyetujui dan
ketentuannya; melaksanakan perjanjian. Pihak ketiga akan dipilih
b. Setiap praktek kemudian dalam
penerapan perjanjian yang saat pihak-pihak memiliki sengketa dalam suatu
membentuk persetujuan antara perjanjian. Terdapat dua jenis pihak ketiga
pihak-pihak mengenai
interpretasinya; tergantung pada sengketa, jika sengketa tersebut
c. Setiap ketentuan hukum dimaksudkan untuk mencari kejelasan hukum
internasional yang relevan yang
dapat dipakai dalam hubungan dengan eksekusi benar atau salah, maka pengadilan
antara pihak-pihak. adalah pilihan yang baik untuk membuat sebuah
3.1.1.4. Suatu pengertian khusus dapat
diberikan pada suatu istilah jika para interpretasi. Jika sengketa dimaksudkan untuk
JURNAL SELAT 161
Volume. 6 Nomor. 2, Mei 2019. Halaman 154-171

memperebtkan suatu objek, maka jalur non-litigasi Dengan demikian naskah perjanjian
seperti arbitrase, mediasi, konsiliasi dan lainnya dapat diartikan secara luas dan
adalah pihak yang lebih baik dalam membuat ditambah pengertiannya selama masih
interpretasi terhadap substansi perjanjian. sesuai atau sejalan dengan tujuan
Perihal cara-cara membuat interpretasi umum tersebut dan dapat berbeda
konkrit tersebut akan didasarkan kepada beberapa dengan kehendak semula para pembuat
aliran dalam hukum internasional mengenai perjanjian.
interpretasi perjanjian internasional, yaitu:12 Mahkamah Internasional dalam
1) Intention Interpretation memutuskan suatu perkara mengenai interpretasi,
Aliran yang berpegang pada kehendak pertama-tama menggunakan teks perjanjian dilihat
para pembuat perjanjian terlepas dari dalam konteks dari perjanjian (Pembukaan dan
teks perjanjian itu. Aliran ini lampiran-lampiran, setiap persetujuan atau
menggunakan secara luas pekerjaan instrumen mengenai perjanjian dan penerimaan
pendahuluan (preparatory work) dan perjanjian itu).13 Mahkamah juga menggunakan
bukti-bukti lain yang menggambarkan preparatory work dan lazimnya hal yang sama
kehendak dari para pihak pembuat dilakukan oleh para pihak yang bersengketa didepan
perjanjian mahkamah. Selanjutnya mahkamah juga
2) Textual Interpretation menggunakan Principle of subsequent practice, yaitu
Aliran ini berpendapat bahwa terhadap praktek-praktek yang dilakukan oleh negara-negara
naskah perjanjian hendaknya diberikan dalam pelaksanaan ketentuan perjanjian
arti yang lazim diberikan dan terbaca internasional. Hal tersebut kemudian dijadikan bukti
dari kata-kata itu. Maka menurut aliran mengenai apa yang menjadi objek dan tujuan
ini unsur terpenting adalah naskah perjanjian tersebut.14
perjanjian dan kemudian baru kehendak Penggunaan praktek-praktek tersebut
para pihak pembuat perjanjian serta sebagai percontohan cenderung kepada teleological
maksud dan tujuan dari perjanjian, interpretation karena pelaksanaannya akan
aliran ini lebih dikenal dengan restrictive dipengaruhi oleh bagaimana negara-negara
interpretation. mempraktekkan perjanjian tersebut sebagai hukum
3) Teleological Interpretation di negaranya. Mahkamah juga melaksanakan
Teleological adalah aliran yang menitik- Principle of Effectiveness di mana suatu perjanjian di
beratkan interpretasi dengan melihat interpretasikan sedemikian rupa sehingga memberi
pada maksud dan tujuan umum dari efek hukum kepada objek dan tujuan perjanjian itu
perjanjian, terlepas dari kehendak sesuai dengan arti yang lazim dari kata-kata dan
semula para pembuat perjanjian. bagian perjanjian tersebut.14
12 Mieke Komar., "Beberapa Masalah Pokok Konverzsi Wina tahun 1969 Tentang Hukum Perjanjian Internasional", Diktat untuk 51
dan 52. Fak. Hukum UNPAD, Bandung, 1981, Hal. 42. Lihat juga Dharma Pratap., "Interpretation of Treatities- Use of Intrinsic and
Extrinsic Materials”, hlm. 55.
13 Ian Brownlie, Principles of Public International Law, London: Clarendon Press, Oxford, 2008, 7th edition, hlm. 626.
14 Usmawadi, Tinjauan Singkat Tentang Interpretasi Perjanjian Internasional Menurut Konvensi Wina Tahun 1969, Jurnal Hukum dan
Pembangunan, April 1988: hlm. 288-296.
15 Mieke Komar, Op.Cit, hlm. 43-44.
162 Ninne Zahara Silviani, Interpretasi Perjanjian Internasional…..

Berbagai teori ini melengkapi aturan Pasal ini di satukan. Awalnya pada Konvensi Jenewa 1958
31 dan 32 VCLT 1969 dalam mengartikan yang melahirkan konvensi-konvensi tentang Laut
bagaimana sebuah perjanjian internasional harus di Teritorial, Jalur Tambahan, Landas Kontinen dan
interpretasikan. Utamanya adalah tentang prinsip juga menghasilkan konvensi tentang Laut Lepas,
good faith dan pacta sunt servanda dalam Pasal 31, serta Konvensi mengenai Perikanan dan
serta usaha-usaha lain untuk menginterpretasi Perlindungan Kekayaan Hayati Laut Lepas.16 Hingga
perjanjian yang tercantum di Pasal 32. pada akhirnya Konferensi Hukum Laut yang ketiga
mensahkan United Nations Convention on The Law
3.2. Konsep Historical Rights dalam Hukum of The Sea 1982 (Selanjutnya UNCLOS 1982) di
Laut Internasional Montego Bay, Jamaica pada 10 Desember 1982.
Kedaulatan negara atas teritorial terbagi Salah satu hal yang menjadi bahasan
atas 3 teritorial, yaitu darat, laut dan udara. Wilayah dalam UNCLOS 1982 adalah historical rights atau
laut memiliki perkembangan yang pesat dan juga hak sejarah. Dalam Konvensinya, hak bersejarah
berbagai permasalahan yang timbul dari masalah disebutkan dalam beberapa pasal, namun terkait
kedaulatan. Hal ini karena laut mengandung sumber kepemilikannya dan bagaimana batasan-batasan
daya alam yang menjadi daya tarik bagi seluruh terhadapnya tidaklah diatur secara detil sehingga
bangsa. Oleh karena itu perkembagan hukum laut beberapa kasus pengklaiman atas dasar sejarah pun
yang dimulai zaman romawi kuno perlu terus masih terjadi, seperti kasus 9-dash-lines dan chagos
diimprovisasi. islands. Absennya UNCLOS 1982 mengatur hak laut
Perkembangan hukum laut yang dimulai bersejarah tidak menjadikan hak sejarah dapat
dari zaman romawi kuno dimulai dari dipisahnya diklaim sesukanya oleh negara-negara. Saat masa
antara res communis (Laut adalah milik segala UNCLOS belum terbentuk dan hukum laut masih
bangsa) dan res nullius (Laut tanpa kepemilikan dan diatur dalam Konvensi Jenewa 1958, pada tahun
dapat diklaim dan dimiliki oleh negara). Kemudian 1962 Intenational Law Commission-Badan bentukan
pembagian laut dengan doktrim Mare Liberum (Laut Majelis Umum PBB untuk studi dan membuat
Bebas) dan Mare Clausum (Laut tertutup). Grotius rekomendasi untuk tujuan perkembangan progresif
adalah pengembang yang memperjuangkan asas hukum internasional dan kodifikasinya-(Komisi
kebebasan laut Mare Liberum dengan cara yang Hukum Internasional) telah mengeluarkan rezim
paling gigih walau bangsa Inggris dengan ratu yuridis terhadap perairan sejarah.
Elisabeth nya dikenal sebagai perintis asas Pada poin 184-192 menjelaskan kesimpula
kebebasan laut ini. Sedangkan Mare Clausum rezim dari perairan bersejarah. Poin penting
pertama kali di kenalkan oleh John Selden pada dijelaskan dalam pasal 185 yaitu sebagai berikut:17
tahun 1635. “185. Dalam menentukan ada atau tidaknya
Berbagai revolusi hukum internasional judul "perairan bersejarah", ada tiga faktor
terjadi hingga perkembangan pengaturan hukum laut yang harus dipertimbangkan, yaitu:
16 Maria Gavouneli, “Functional Jurisdiction in The Law of The Sea”, Leiden: Martinus Nijhoff Publishers, 2007, hlm. 1
17 Downloaded from “Juridical Regime of Historic waters including historic bays - Study prepared by the Secretariat”
(http://www.un.org/law/ilc/index.htm)
JURNAL SELAT 163
Volume. 6 Nomor. 2, Mei 2019. Halaman 154-171

1) Otoritas yang dilakukan atas wilayah (International Court of Justice), International Criminal
oleh Negara mengklaim sebagai Court (ICC), International Tribunal on Law of The
"perairan bersejarah"; Sea (ITLOS) dan pengadilan lainnya yang
2) Kelanjutan latihan seperti itu wewenang; berorientasi kepada putusan yang memberikan
3) Sikap negara-negara asing.” kejelasan hukum.
Penelitian ILC tersebut menerangkan Sedangkan cara-cara non-litigasi antara
bahwa pengakuan perairan bersejarah dapat lain negosiasi, mediasi, konsiliasi dan arbitrase.
memiliki dampak yang serius, karena negara dapat Terfokus kepada arbitrase, berbagai macam
melebih-lebihkan klaimnya dan menentang klaim- sengketa dalam hukum internasional dapat
klaim negara lain sehingga menimbulkan sengketa diselesaikan dengan jalur ini. Bahkan beberapa
yang tidak perlu. Dengan demikian, jika terjadi konvensi telah menjadikan arbitrase sebagai
pengakuan terhadap suatu wilayah laut dengan penyelesaian sengketa pilihan mislalnya dalam
dasar argumentasi sejarah, maka pembuktian dari perdagangan internasional, investasi maupun dan
argumentasi tersebut adalah dibebankan kepada beberapa permasalahan hukum publik. Arbitrase
negara yang mengeluarkan pernyataan klaim dan dalam topik ini berbeda dengan arbitrase yang
hal ini membutuhkan pernyataan sikap dari negara- penyelesaianya diatur dengan New York Convention
negara lain terutama negara yang memiliki zona laut 1959 seperti ICC International Court of Arbitration,
berdampingan (delimitasi) dengan negara peng- London Court of Arbitration dan lainnya. Pengadilan
klaim tersebut. Oleh karena itu, rezim hukum dalam arbitrase yang dimaksud dalam topik ini adalah
pengaturan perairan bersejarah akan lebih melihat Permanent Court of Arbitration (PCA) yang
kepada penelitian ILC ini sebagai pedoman yang berkedudukan di Den Haag, Belanda.
lebih detil dibandingkan UNCLOS 1982. PCA didirikan pada 1899 untuk
memfasilitasi arbitrase dan bentuk lain dari
3.3. Penyelesaian Sengketa Antar Negara Jalur penyelesaian sengketa antar Negara. PCA bukanlah
Arbitrase Internasional pengadilan internasional itu sendiri, melainkan
Sengketa antara subjek-subjek hukum sebuah organisasi antar pemerintah dengan tujuan
internasional tentu menjadi hal yang tidak bisa pihak membantu dengan pelaksanaan arbitrase.
dihindarkan dalam hubungan hukum internasional. Hari ini, PCA memiliki 121 peserta yang telah
Penyelesaian secara hukum dan politis menjadi menyetujui konvensi berdirinya PCA ini.18 PCA
pilihan bagi setiap subjek publik maupun perdata memberikan dukungan administratif di arbitrase
dalam menyelesaikan permaslahannya. Pada internasional yang melibatkan berbagai kombinasi
umumnya, penyelesaian sengketa internasional Amerika, entitas negara, organisasi internasional
digolongkan dalam dua kategori, yaitu litigasi dan pihak swasta. PCA juga sering memberikan
maupun non-litigasi. Penyelesaian secara litigasi administrasi kasus dalam mendukung arbitrase di
dapat didapatkan lewat Mahkamah International bawah Peraturan UNCITRAL. PCA juga memiliki

18 “Contracting Parties”, https://pca-cpa.org/en/about/introduction/contracting-parties/, diakses 22 desember 2018.


164 Ninne Zahara Silviani, Interpretasi Perjanjian Internasional…..

aturan arbitrase sendiri dan yang terakhir yaitu PCA a. Kasus Laut Cina Selatan (Filipina vs.
Arbitration Rules 2012. Republik Rakyat Cina)
Putusan PCA memilik kekuatan yang sama Laut Cina Selatan, berada di posisi strategis
dengan Putusan Mahkamah Internasional yaitu final “jalur perdagangan di seluruh Asia” dengan
dan binding. Tidak ada upaya hukum terhadap pelabuhan tersibuk di seluruh Asia. Kawasan ini
putusan PCA. Hal ini ditegaskan lewat Pasal 34 PCA adalah kawasan geostrategis yang unggul, karena di
Arbitration Rules 2012. Mengutip pendapat dalamnya kepentingan militer dan ekonomi sejumlah
Hikmahanto Juwana, berbeda dengan pengadilan besar negara. Ada negara-negara pantai yang
nasional yang putusannya bila tidak dilaksanakan berbatasan dengan laut, kekuatan berlomba-lomba
secara sukarela, dapat diminta untuk dipaksakan untuk pengaruh di wilayah ini, dan negara-negara
oleh pengadilan. Dalam konteks hukum tersebut menggunakan jalur laut penting yang
internasional, hal ini tidak dapat dilakukan. menghubungkan Samudera Hindia dengan Pasifik.
Pemaksaan atas putusan lembaga peradilan Selain itu, ada sumber daya Hidrokarbon dan
internasional tidak dikenal. Pemaksaan, kalaupun perikanan yang berharga yang dicari oleh hampir
dilakukan, hanya bisa apabila negara yang hendak semua negara yang terletak di kawasan laut
memaksakan melakukan tindakan sendiri (self help), tersebut. Lat Cina Selatan membuat banyaknya
bukan dilakukan lembaga peradilan internasional. kontroversi yurisdiksi karena banyak negara
Tindakan ini, antara lain embargo ekonomi, mengklaim tumpang tindih wilayah Zona Ekonomi
pemutusan hubungan dagang ataupun hubungan Eksklusif dan landas kontinen.
diplomatik, bahkan penggunaan kekerasan.19 Ketika daerah yang tumpang tindih kaya
akan sumber daya ikan atau memiliki potensi
IV. Pembahasan Hidrokarbon yang baik, prospek konflik menjadi lebih
4.1. Duduk Posisi Kasus South Cina Sea besar. Puncak perselisihan ini adalah ketika RRC
Disputes dan Chagos Islands Disputes mulai mengklaim sebagian besar wilayah 90% Laut
Perbandingan Kasus yang menjadi Cina Selatan dengan peta yang dirancang tahun
penelitian ini adalah kasus Laut Cina Selatan yaitu 1947 tentang 9 garis putus-putus. RRC percaya
sengketa antara Filipina melawan RRC(2016) dalam bahwa 9-dash-line telah terbentuk sejak Dinasti Han
mempertanyakan sah-kah 9-dash-lines yang sehingga hal ini dianggap sebagai hak bersejarah
digambar oleh RRC dan juga kasus Chagos Islands bagi RRC.
antara Republik Mauritius melawan Britania Raya Puncak perselisihan muncul pada awal
(2015). Poin utama yang akan didiskusikan dalam 2013 ketika Filipina memberi tahu RRC dengan
topik ini adalah bagaimana negara-negara tersebut Pemberitahuan dan Pernyataan Klaim sesuai
memberikan reaksi terhadap putusan Permanent dengan ketentuan Konvensi mengenai penyelesaian
Court Arbitration karena kedua kasus diselesaikan di perselisihan dan prosedur arbitrase yang ditetapkan
lembaga penyelesaian sengketa yang sama.

19 Hikmahanto Juwana, “Substansi Putusan Permanent Court of Arbitration” dalam http://mediaindonesia.com/read/detail/55880-


substansi-putusan-permanent-court-of-arbitration, diaskes pada 20 desember 2018
JURNAL SELAT 165
Volume. 6 Nomor. 2, Mei 2019. Halaman 154-171

dalam Lampiran VII Konvensi. Berbicara tentang adalah terkait kerusakan lingkungan koral dan biota
konvensi tersebut, Konvensi Perserikatan Bangsa- laut sekitar ZEE Filipina yang rusak akibat aktifitas
Bangsa tentang Hukum Laut adalah peraturan pokok pembangunan pulau buatan oleh RRC.
yang digunakan untuk mengatur kawasan maritim. Pada Juni 2013, persidangan dilanjutkan
Sebagai konvensi kesepakatan paket, diharapkan tanpa kehadiran para pihak tetap RRC. Akhirnya
bahwa ketentuan tertentu sengaja dibuat ambigu pada 12 Juli 2016, putusan Pengadilan Arbitrase
untuk memungkinkan koridor interpretasi yang luas. Internasional menetapkan bahwa area di mana RRC
Arbitrase Laut Cina Selatan adalah sebuah pameran dibangun merupakan reklamasi adalah Zona
bagaimana beragam interpretasi dari ketentuan Ekonomi Eksklusif Filipina. RRC hanya memiliki hak
UNCLOS dapat menyebabkan perbedaan pendapat terbatas pada perikanan di zona ekonomi eksklusif
di antara negara-negara. dan tidak memiliki hak atas sumber daya alam dan
Februari 2013, RRC menolak hidrokarbon minyak bumi. RRC juga dianggap oleh
pemberitahuan dan mengembalikan Filipina dan Pengadilan telah melakukan kerusakan pada
masih melanjutkan pekerjaan reklamasi di lingkungan Karang, serta semua kegiatan reklamasi
Kepulauan Spartlys. Hal ini dikarenakan RRC dalam konstruksi RRT di Laut Cina Selatan dianggap
masa pengesahan perjanjian UNCLOS 1982 telah memberikan dampak lingkungan yang buruk dan
mereservasi Pasal 298 UNCLOS, dengan reservasi tidak dapat diperbaiki lagi.
itu, RRC menolak untuk diadili secara internasional Putusnya sengketa laut Cina selatan ini
atas kepemilikan pulau, zona delimitasi, dan aktivitas telah bersifat final dan mengikat, mahkamah
militer di laut. Reservasi perjanjian internasional arbitrase dalam kewenangannya memutuskan
tentunya bukanlah hal yang dilarang selama selaras dengan UNCLOS 1982 sebagai pedoman terkait
dengan tujuan perjanjian tersebut dibentuk. ZEE kemudian menyusun peta baru untuk
Filipina sendiri dalam permohonannya, menentukan batas wilayah laut masing-masing
tidak mempertanyakan milik siapakah zona laut negara yang memiliki zona ekonomi eksklusif
ataupun kepulauan-kepulauan karang (Low Tide berdampingan (Zona delimitasi). 9–dash-line
Elevation) di Spartlys, Paracels, Scarabough dan dianggap tidak sah sebagai pegakuan negara RRC
lainnya karena Filipina telah mengetahui terkait untuk memiliki hak negara pantai atas wilayah laut
resevasinya RRC. Maka yang menjadi pertanyaan Cina selatan diluar dari batas didalam UNCLOS, dan
Filipina adalah terkait keabsahan 9-dash-lines pulau buatan maupun kepulauan karang tidak akan
tersebut sebagai dasar pengakuan wilayah menjadi garis perhitungan batas laut suatu negara.
bersejarah RRC dan juga apakah kepulauan- RRC tidak bersalah dalam melakukan
kepulauan karang yang oleh RRC telah dibangun pembangunan pulau buatan karena setiap negara
Artificial Islands (Pulau Buatan) dengan aktifitas punya hak membangun pulau buatan di ZEE
militernya itu menjadikan statusnya sebagai pulau sebagaimana diterangkan dalam UNCLOS 1982
atau tidak. Pertanyaan-pertanyaan lainnya kemudian Pasal 60. Setelah putusan PCA tersebut .
166 Ninne Zahara Silviani, Interpretasi Perjanjian Internasional…..

dikeluarkan, RRC tetap menolak dan tidak Filipina untuk memperbaiki situasi kerusakan
mengindahkan segala hasil dari putusan PCA lingkungan koral dan biota laut disekitarnya. Bahkan
tersebut. RRC tetep melanjutkan pembangunan masih melanjutkan penelitian para ahli hukum
pulau buatan dan military base nya yang terletak di negaranya untuk memperjuangkan kekuasannya
sekitar Mischief Reef dan tidak bekerja sama dengan atas 9-dash-lines.
Gambar 2. Peta lama dan Peta baru Laut China Selatan

Sumber: Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia

Mengkaji dari perjalanan kasus dan yang berakhir apda 19 Maret 2015 lewat putusan
putusan PCA tersebut, tampak RRC dan Filipina yang juga sama-sama dikeluarkan oleh PCA. Pada
sebagai negara yang sama-sama meratifikasi mulanya sebelum tahun 1965, Republik Mauritius
UNCLOS 1982 menunjukkan ego masing-masing belum merdeka dan masih menjadi koloni Inggris
demi menjada kedaulatan negaranya. Pendukung (Commonwealth Countries), Kepulauan Chagos
RRC dalam pengakuan 9-dash-line juga tidak yang terletak ditengah-tengah Samudera Hindia
sedikit, beberapa negara dari timur tengah dan afrika diketahui adalah milik Mauritius. Kemudian di tahun
mengoposisi putusan arbitrase dan berpihak kepada 1965, Inggris meng-akuisisi Kepulauan Chagos dan
RRC. Historical Rights masih menjadi alasan utama membuat perjanjian dengan Mauritius bahwa
ditambah lagi dengan keberpihakan banyak negara Kepulauan Chagos akan menjadi milik Inggris untuk
dapat merujuk menjadi salah satu syarat berlakunya dijadikan markas militer dan pertahanan.
hak bersejarah terhadap suatu wilayah. Perjanjian itu pun masih memberikan hak
b. Kasus Chagos Islands (Republik Mauritius bagi masyarakat Mauritius untuk memancing sejauh
vs. Britania Raya) mungkin di Kepulauan Chagos dan mineral ataupun
Sengketa ini lebih dkenal dengan nama minyak yang ditemukan didaerah tersebut
resmi Chagos Marine Protected Area Arbitration diwariskan untuk Mauritius. Saat Republik Mauritius
JURNAL SELAT 167
Volume. 6 Nomor. 2, Mei 2019. Halaman 154-171

merdeka di tahun 1968, Kepulauan Chagos tidak perjanjiannya sedang tidak dibawah kedaulatan
dikembalikan untuk Mauritus dan masysarakat di Mauritius, perjanjian yang dibuat oleh Mauritius
kepulauan tersebut harus dikeluarkan karena akan dengan Inggris di tahun 1965 menguatkan hak
dibangun markas militer Amerika di salah satu Inggris karena kepulauan tersebut masih digunakan
pulaunya yaitu pulau Diego garcia. Mulai di tahun sebagai markas militer dan pertahanan, namun
1980, Mauritius berusaha di berbagai forum untuk harus dikembalikan jika sudah tidak digunakan lagi.
memperjuangkan haknya atas kepulauan Chagos Kemudian Mahkamah juga tetap memberi izin bagi
kembali namun belum berhasil. Pada 2009, Inggris Mauritius untuk memancing di wilayah kepulauan
ingin menetapkan Kepulauan Chagos sebagai area Chagos. Inggris juga harus melindungi dan
konservasi (Marine Protected Area-MPA) dan mempertahankan kekayaan laut dan mineralyang
mendiskusian hal tersebut bersama Mauritius secara terkandung di laut sekitar Kepulauan Chagos dan
bilateral yang mana Mauritius menolak. Konsultasi Inggris tidak boleh menetapkan kawasan MPA
secara publik juga dilaksanakan dalam rentang bedasarkan Pasal 2 ayat 3, Pasal 56 ayat 2 dan
2009-2010 namun tidak membuahkan hasil, Pasal 194 ayat 4 UNCLOS 1982.
kemudian pada 1 April 2010, Inggris secara sepihak Putusan tersebut memberikan win-win
menyatakan Kepulauan Chagos adalah MPA dan 20 solution bagi Inggris maupun Mauritius, kedua
Desember 2010, Mauritius mempersengketakan hal negara sama-sama menjalankan putusan dan MPA
ini di PCA. tidak jadi dibentuk dan dianggap ilegal. Walaupun
Permohonan yang diajukan Mauritius kepulauan Chagos masih milik Inggris untuk
memohon empat hal yaitu: 1. Inggris tidak memiliki sementara selama masih digunakan untuk markas
hak untuk membuat MPA di kepulauan Chagos pertahanan, namun hak-hak Mauritius sebagai
karena Inggris bukanlah negara pantainya; 2. Inggris negara pantai untuk memancing dan menggunakan
tidak boleh menjadikan kepulauan Chagos sebagai sumber daya alam sekitar Kepulauan Chagos masih
MPA karena Mauritius adalah negara pantai yang sah untuk dilaksanakan. Tidak ada tindak
berdaulata di Kepulauan Chagos dan Inggris harus pengabaian pemerintah Inggris terhadap putusan
mengakui itu; 3. Inggris tidak berhak mencegah PCA ataupun pengusiran lagi terhadap nelayan dari
tindakan Mauritus di Kepulauan Chagos lewat Mauritius. Hal ini yang membedakan kasus laut Cina
Komisi tentang Batas Landas Kontinennya; dan 4. selatan dengan kasus kepulauan chagos, bahwa
Pembangunan MPA tidak sesuai dengan isi ada tindakan berbeda dari eksekusi putusan PCA di
perjanjian dan kewajiban prosedural yang diatur area masing-masing.
dalam UN Fish Stocks Agreement (Implementing
Agreement dalam UNCOS 1982 terkait perikanan). 4.2. Konsep Historical Rights dan Prinsip Good
Bedasarkan kepada putusan PCA 19 Maret faith Kasus
2015, permohonan Mauritus untuk nomor 1 dan 2 a. Interpretasi Ganda Konsep Historical Rights
ditolak dikarenakan Kepulauan Chagos secara dalam UNCLOS 1982
168 Ninne Zahara Silviani, Interpretasi Perjanjian Internasional…..

Jika hanya mengandalan UNCLOS 1982 akan berakhir dengan sengketa besar dan lebih
semata, memang tidak ada penjelasan lengkap buruk lagi, gencatan senjata.
terkait bagaimana suatu kawasan laut dapat diakui Oleh karena itu, dalam menginterpretasikan
bedasarkan historical right atau tidak sehingga suatu aturan, terdapat teori-teori dan aturan-aturan
banyak pandangan yang menilai bahwa peraturan tambahan yang dapat dijadikan pedoman. Jika
mengenai hak bersejarah dalam hukum laut melihat cara tafsir pemerintah RRC terhadap
internasional mengakibatkan banyak interpretasi. klaimnya di Laut Cina Selatan, dapat disimpulkan
Hal ini juga dapat dilihat dari putusan PCA yang bahwa penafsiran tersebut hanyalah secara tekstual
menitikberatkan UNCLOS sebagai dasar tanpa melihat ke hasil rapat ILC maupun teori-teori
menetapkan putusannya. lainya sedangkan negara-negara lain terutama yang
Kedua kasus tidak hanya sama-sama bersengketa, tidak terima dengan pengertian hak
diselesaikan dengan arbitrase, melainkan juga bersejarah yang seperti itu. Sikap negara-negara
memiliki kesamaan di beberapa hal lainnya, yaitu: asing akan mempengaruhi diakui atau tidaknya hak
1. Terdapat topik hak bersejarah karena bersejarah terhadap kawasan laut oleh negara.
kekuasaan dai masa lampau Sama halnya Mauritius yang berusaha mengambil
2. Terdapat perbedaan kekuatan negara, klaimnya kembali dengan hanya mempertimbangkan
RRC dan Inggris adalah developed kepemilikannya di masa lampau dengan
countries sedangkan Filipina dan mengesampingkan perjanjian yang telah dibuatnya
Mauritius adalah negara emerging dengan Inggris di tahun 1965.
countries Hal ini tentu bersumber dari pola penafsiran
3. Putusan PCA terhadap kedua kasus yang nasionalis dari masing-masing negara demi
tidak serta merta memenangkan satu mempertahankan atau memperluas kedaulatannya.
negara yang bersengketa namun Interpretasi ganda tidak selalu bisa menyalahkan
memberi solusi untuk kesemuanya. hukum tertulis yang telah berlaku seperti konvensi
Interpretasi ganda diartikan sebagai atau agreement lainnya, tetapi kepentingan negara
peninterpretasian suatu aturan yang berbeda dari lah yang akan berperan. Maka, solusi terhadap
masing-masing entitas subjek hukum internasional. interpretasi ganda historical rights UNCLOS harus
Adanya hak bersejarah tidak serta merta dapat melihat kepada bukti konkrit kepemilikan dari zaman
menjadikan suatu wilayah menjadi hak milik. lampau, ILC Juridical Regime on Historical Waters,
Misalkan dengan sebuah perumpamaan, Indonesia dan juga pertimbangan dari segi ekonomi, sosial dan
dengan kerajaan Majapahit dan Sriwijaya yang telah budaya dari negara-negara yang dapat memberikan
menyatukan Nusantara di masa lampau juga opini dukungan atau oposisi.
memiliki kekuasaan di selat malaka, lalu apakah Haruskah menunggu ada sengketa baru
serta merta Indonesia dapat mengklaim seluruh interpretasi terhadap aturan yang kabur diperjelas?
Selat Malaka menjadi milik Indonesia? Hal ini tentu Jika tidak ada permasalahan, tentu masyarakat
JURNAL SELAT 169
Volume. 6 Nomor. 2, Mei 2019. Halaman 154-171

internasional maupun mahkamah internasional tidak Low Tide Elevation sekitar Mischief Reef tempat
akan mengetahui dan menyadari bahwa ada dimana RRC membangun artificial islands atau
kesalahpahaman yang harus diperbaiki dalam suatu pulau buatannya. Kewenangan Mahkamah Arbitrase
hukum. PCA tidak dapat menyentuh ranah ini. Hal ini adalah
b. Republik Rakyat Cina dalam Menunaikan permasalahan nasional antar negara dengan negara
Prinsip Good Faith untuk Menginterpretasi dan PCA dengan pertimbangan hukum internasional
UNCLOS 1982 dan Putusan PCA hanya bisa memberi garis ruang batas ZEE masing-
Jika pada kasus sebelumnya membahas masing negara sebagaimana telah digambarkan
persamaan kedua kasus, topik yang akan dibahas sebelumnya. Pertanggungjawaban RRC atas
dalam bahasan ini adalah perbedaan dari kedua kerusakan laut juga tidak termasuk di dalam
kasus dan yang paling mencolok adalah sikap permohonan Filipina ke PCA. Maka perlu ranah
negara negara yang bersengketa dalam hukum lain untuk menindak hal tersebut di luar
menegakkan putusan PCA. Perbedaan sikap dan hukum laut internasional yaitu Hukum Akuisisi (Mood
tanggapan antara pihak-pihak sengketa laut Cina of Acquisition or Acquisition Law).
Selatan dengan sengketa Kepulauan Chagos terlihat RRC, Filipina, Republik Mauritius maupun
kentara dari sikap RRC yang masih berusaha Inggris/Britania Raya adalah negara-negara yang
mempertahankan klaimnya walau tidak memiliki meratifkasi dan mengaksesi baik UNCLOS 1982
dasar.20 maupun VCLT 1969 sebagai dasar hukum perjanjian
Bedasarkan sumber-sumber yang dibahas Internasional. Namun, sikap RRC yang
sebelumnya, sesungguhnya permasalahn tentang mengabaikan putusan pengadilan dan tidak
garis batas laut dan penafsiran hak bersejarah melaksanakan tanggungjawabnya terhadap
(historical rights) telah jelas diperkuat dengan lingkungan adalah pelanggaran prinsip Good Faith
putusan PCA yang kemudian mengeluarkan batas dalam menanggapi Bab XII UNCLOS 1982 terkait
baru agar sengketa antar RRC dengan Filipina dan Protection and Preservation of Marine Environment.
negara ASEAN lainnya dapat diredam. Seperti Pasal 208 UNCLOS 1982 menjelaskan bahwa
halnya Mauritius yang dapat menerima bahwa negara-negara harus menyelaraskan aturan untuk
Kepulauan Chagos masih akan tetap dibawah menangani polusi lingkungan yang disebabkan
kendali Inggris dan tidak mempermaslahkan selama aktifitas negara-negara di zona yurisdiksi negara
hak nelayan mereka untuk memancing di daerah lain, termasuk kegiatan pembangunan Artificial
tersebut atau mengambil sumber daya alamnya Islands.
masih berlaku. Sikap dan perlakuan ini tentu tidak hanya
Satu kesalahan RRC yang hingga dua dipengaruhi oleh hukum saja. Namun secara
tahun sejak putusan PCA dikeluarkan adalah “State ekonomi, sosial dan politik, negara-negara ASEAN
Responsibility”-nya terhadap perusakan lingkungan adalah negara-negara yang ekonominya disokong
dan biota laut yang berada di area kepulauan karang oleh RRC lewat berbagai investasi dan pinjaman.

20 Hanan Beech “Just Where Exactly Did China Get the South China Sea Nine-Dash Line From?” http://time.com/4412191/nine-dash-
line-9-south-china-sea/, diaskes pada 23 Desember 2018.
170 Ninne Zahara Silviani, Interpretasi Perjanjian Internasional…..

Ketergantungan masyarakat ASEAN kepada Cina 9-dash-lines yang bersinggungan dengan banyak
membuat Filipina dan negara ASEAN lainnya cukup negara ASEAN, karena hal itu telah diputuskan oleh
kesulitan untuk menindak lebih tegas negara Cina PCA tidak berlaku, namun, RRC tidak beritikad baik
untuk mempertanggungjawabkan perbuatan dalam melaksanakan Bab XII UNCLOS 1982 terkait
kerusakannya di kepulauan karang tersebut. Protection and Preservation of Marine Environment.
Sayangnya hal tersebut telah berada diluar jurisdiksi
V. Kesimpulan PCA sebagai lembaga penyelesaian sengketa pada
Perjanjian internasional yang dimaksudkan kasus sebelumnya. Hal ini berbanding terbalik
untuk mengkodifikasi hukum kebiasaan dengan sikap Inggris yang kemudian membatalkan
internasional, maka terikatnya negara-negara konservasi MPA di Kepulauan Chagos setelah
terhadap perjanjian itu bisa karena dua hal, bagi putusan PCA keluar dan kemudian memberi
negara yang menjadi pihak, maka keterikatan kewenangan bagi Republik Mauritius untuk
terhadap perjanjian tersebut melalui cara yang memancing dan menikmati hasil alam.
normal seperti ratifkasi, dan bagi negara bukan Dalam hal ini, negara-negara ASEAN
peserta dalam perjanjian, keterikatan terhadap sebagai organisasi regional bersama komunitas
perjanjian tersebut disebabkan karena subtansi yang internasional dapat membentuk gerakan untuk
ada didalam perjanjian tersebut adalah hukum melakukan perbaikan dan rehabilitasi lingkungan di
kebiasaan internasional. Begitu semestinya sikap Laut Cina Selatan dengan membuat program
negara-negara terhadap VCLT 1969 sebagai dasar bersama. Filipina atau negara lainnya tidak bisa
hukum perjanjian internasional. UNCLOS 1982 yang bergerak sendiri untuk melindungi wilayah ZEE nya,
mengatur tentang hukum laut internasional pun namun karena kekuasaan Laut Cina Selatan
berkedudukan yang sama seperti VCLT 1969, sebagian besar dikuasai oleh negara-negara
terutama bagi negara-negara yang telah meratifkasi ASEAN, maka ASEAN lah yang dapat menjadi
atau mengaksesi konvensi tersebut. Interpretasi tombak perlindungan lingkungan laut yang telah
terhadap isi perjanjian internasional apapun haruslah rusak. Hal ini tentu bisa menarik perhatian
bedasarkan prinsip itikad baik atau good faith. masyarakat Internasional sehingga negara-negala
Perlu diketahui bahwa pelanggaran RRC lain termasuk RRC.
terhadap Filipina bukan lagi soal tumpang tindih garis

DAFTAR PUSTAKA

Dixon, Martin, Robert McCorquodale, Sarah


A. Buku Williams. Cases & Materials on International
Law. London: Oxford University Press, 2016.
Aust, Anthony. Modern Treaty Law and practices.
United Kingdom: Cambridge University Press, 2000. Gavouneli, Maria. Functional Jurisdiction in the Law
of The Sea, Leiden: Martinus Nijhoff Publishers,
Brownlie, Ian. Principles of Public International Law,
2007.
London: Clarendon Press, Oxford, 2008, 7th edition.
JURNAL SELAT 171
Volume. 6 Nomor. 2, Mei 2019. Halaman 154-171

Latipulhayat, Atip. Sumber-sumber hukum http://mediaindonesia.com/read/detail/55880-


Internasional (Hegemoni dalam Harmonisasi). substansi-putusan-permanent-court-of-
Bandung: Universitas Padjadjaran 2018. arbitration , diakses pada 20 Desember 2018
Malanczuk, Peter. Akehurst’s Modern Introduction to Contracting Parties”, https://pca-
International Law. London: Routledge, 1998. cpa.org/en/about/introduction/contracting-
parties/ , diakses 22 desember 2018.
Shaw, Malcolm N. International law, 7th Edition,
Cambridge: Cambridge University Press, 2014. Hanan Beech, “Just Where Exactly Did Cina Get the
South Cina Sea Nine-Dash Line From?”
B. Jurnal
http://time.com/4412191/nine-dash-line-9-
Ian, James Storey, Creeping Assertiveness: China, south-Cina-sea/, diaskes pada 23 Desember
the Philippines and the South China Sea 2018.
Dispute, Contemporary Southeast Asia, April
Damos D. Agusman and Gulardi Nurbintoro,
1999: Volume 21. Issue 1.
“ASEAN, UNCLOS, and Birth of a New Legal
Usmawadi, Tinjauan Singkat Tentang Interpretasi Order”,
Perjanjian Internasional Menurut Konvensi Wina https://www.thejakartapost.com/academia/2017
Tahun 1969, Jurnal Hukum dan Pembangunan, /10/24/asean-unclos-and-the-birth-of-a-new-
April 1988. legal-order.html diakses pada 15 November
C. Internet 2018

Pascal S. Bin Saju, “Pangkalan Militer China di Laut D. Peraturan Perundang-undangan dan
China Selatan Siap Digunakan”, Konvensi
https://internasional.kompas.com/read/2017/03/ Vienna Convention on The Law of Treaties 1969
29/09261221/pangkalan.militer.Cina.di.laut.Cin
United Nations Convention On the Law of The Sea
a.selatan.siap.digunakan, diakses pada 18
1982
November 2018.
International Law Commission Juridical Regime on
Juridical Regime of Historic waters including historic
Historical Waters including Historical Bays 1962
bays - Study prepared by the Secretariat,
http://www.un.org/law/ilc/index.htm, diakses Permanent Court Of Arbitration Arbitration Rules
pada 20 Desember 2018 2012
Hikmahanto Juwana, “Substansi Putusan
Permanent Court of Arbitration” dalam

You might also like