Download as pdf or txt
Download as pdf or txt
You are on page 1of 11

DOI: http://dx.doi.org/10.30641/ham.2020.11.

39-50
Tulisan Diterima: 05-02-2020; Direvisi: 29-03-2020; Disetujui Diterbitkan: 30-03-2020

REFORMASI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA DALAM


PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL
(Law and Human Right Reformation on Industrial Dispute Settlement)

Haikal Arsalan; Dinda Silviana Putri


Fakultas Hukum
Universitas Airlangga, Surabaya
haikalarsalan27@gmail.com

Abstract
The ineffectiveness of the industrial relations court in resolving labor disputes requires legal reform of all the
rules relating to it. The location of the court that is too far away, weak executorial power, and a rigid court
that damaged the fair trial principle as mandated by the Indonesian constitution are examples of problems
that hamper the settlement of labor disputes at the litigation level. This research is normative legal research.
It was using the conceptual approach method, statute approach, case approach, and comparative approach
that aims to concentrate labor dispute settlement through non-litigation way with the abolition of industrial
relations courts and the strengthening of tripartite functions by the employment agency. This research can
later be useful as a guideline for legal reform related to labor dispute settlement. The results of this research
are the existence of an industrial relations court-mandated by Industrial Dispute Settlement Law Act Number
2 of 2004 does not reflect justice itself. Therefore, the elimination of industrial relations courts and the
strengthening of the tripartite function under the authority of the employment agency is the best solution in the
effort to settle industrial relations disputes. So, the authors suggest that immediate revisions to the Industrial
Dispute Settlement Law Act Number 2 of 2004.
Keywords: labor dispute; industrial relations court; fair trial; tripartite.

Abstrak
Tidak efektifnya pengadilan hubungan industrial dalam menyelesaikan sengketa ketenagakerjaan menuntut
dilakukannya reformasi hukum terhadap segala aturan yang berkaitan dengannya. Lokasi pengadilan yang
terlalu jauh, kekuatan eksekutorial yang lemah, serta pengadilan yang terlaku kaku sehingga merusak semangat
fair trial yang dikehendaki UUD NRI 1945 maupun hukum positif Indonesia dan merupakan contoh-contoh
dari permasalahan yang menghambat terselesaikannya sengketa ketenagakerjaan dalam tingkat litigasi.
Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif, dengan menggunakan metode pendekatan konsep,
pendekatan perundang-undangan, pendekatan kasus, dan pendekatan perbandingan yang bertujuan untuk
mengonsentrasikan penyelesaian sengketa ketenagakerjaan melalui jalur non-litigasi. Rumusan masalah yang
akan dibahas, yaitu: 1) Urgensi penghapusan pengadilan hubungan industrial, 2) Bagaimana cara penguatan
fungsi tripartit (mediasi) di bawah kewenangan Dinas Ketenagakerjaan. Penelitian ini nantinya dapat
bermanfaat sebagai pedoman untuk dilakukannya reformasi hukum terkait penyelesaian sengketa
ketenagakerjaan. Hasil dari penelitian ini adalah keberadaan pengadilan hubungan industrial yang diamanatkan
UU No. 2 Tahun 2004 justru tidak mencerminkan keadilan itu sendiri. Oleh karenanya penghapusan
pengadilan hubungan industrial dan penguatan fungsi tripartit di bawah kewenangan Dinas Ketenagakerjaan
merupakan solusi terbaik dalam upaya penyelesaian perselisihan hubungan industrial. Sehingga penulis
menyarankan agar segera dilakukan revisi terhadap UU No. 2 Tahun 2004.
Kata kunci: sengketa ketenagakerjaan; pengadilan hubungan industrial; fair trial; tripartit.

PENDAHULUAN Soeharto dan kemudian digantikan Habibie. Pada


masa orde lama hingga orde baru pemerintah
Secara historis perkembangan regulasi memegang kendali yang sangat kuat terhadap
mengenai hubungan industrial yang melibatkan jalannya sistem ketenagakerjaan. Hal ini terbukti
pengusaha dan pekerja mengalami perombakan pada saat sebelum tahun 2000 hanya terdapat satu
yang cukup signifikan setelah dilengserkannya serikat buruh yang diakui secara resmi dan legal di
39
JURNAL HAM
Volume 11, Nomor 1, April 2020

Indonesia yakni SPSI. Dalam perjalanannya SPSI menyelenggarakan fungsi-fungsi ketatanegaraan


berada di bawah kontrol oleh Pemerintah pada masa ataupun dalam menciptakan produk-produk hukum
itu, namun setelah Indonesia meratifikasi konvensi harus mengutamakan keadilan bagi masyarakat itu
ILO Nomor 87 melalui Undang-Undang Nomor 21 sendiri.
Tahun 2000 tentang Serikat Buruh (UU Serikat
Pada perkembangannya Pengadilan
Buruh), konsep itu berubah dan menjadi jalan
Hubungan Industrial (PHI) tidak berjalan dengan
masuk dari serikat-serikat buruh baru, sebagai
baik. Hal ini terjadi karena beberapa faktor.
rumah bagi para pekerja. 1
Misalnya, ialah lokasi PHI yang terlalu jauh, yaitu
Sebagai tindak lanjut dari diundangkannya hanya ada satu dalam setiap provinsi (memang
UU Serikat Buruh, pemerintah mengundangkan benar, ada pengecualian terhadap daerah yang padat
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang industri, namun bagaimana dengan yang tidak
Ketenagakerjaan (UU Ketenagakerjaan). Namun padat?). Selain itu PHI juga terlalu kaku, artinya ia
UU Ketenagakerjaan ternyata cenderung berpihak sangat bertumpu pada hukum acara perdata.
terhadap pengusaha dan mengesampingkan pekerja. Karenanya tidak jarang, gugatan yang diajukan oleh
Tentu saja hal itu memicu perselisihan antara pekerja ditolak karena alasan kesalahan format
pengusaha dan pekerja. Karenanya, terdapat upaya ataupun sistematika, tidak jarang bahkan juga surat
pemerintah dalam menanggulangi sengketa kuasa. Padahal, perlu diingat bahwa pekerja dan
ketenagakerjaan tersebut yaitu dengan disahkannya pengusaha, tidak memiliki kondisi ekonomi
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang (economic position) yang sama, karenanya acap
Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (UU kali, mereka menjadi pengacara bagi diri mereka
PPHI). sendiri, dan mereka belum tentu mengetahui
bagaimana format gugatan atau kuasa yang benar,
Pengaturan mengenai PPHI bukanlah hal
selain itu, putusan PHI juga tidak memiliki
yang baru. Ia semula diatur dalam Undang-Undang
kekuatan eksekutorial yang kuat. Artinya, jika pun
Nomor 22 Tahun 1957, yaitu melalui Panitia
dalam tingkat pertama dimenangkan salah satu
Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Daerah
pihak, maka masih ada kesempatan dari pihak lain
(P4D) dan Panitia Penyelesaian Perselisihan
untuk mengajukan banding ataupun kasasi.
Perburuhan Pusat (P4P). Namun, pada
Persoalan ini tentu memberatkan sisi pekerja yang
perkembangannya, ternyata cara itu juga tidak
sering kali tidak memiliki kondisi ekonomi yang
cukup. Hal ini terjadi karena sifat keputusan P4D
memadai untuk menempuh jalur litigasi yang
dan P4P yang sangat lemah karena tidak final (dapat
sedemikian panjang. Hal itulah alasan kenapa
digugat ke Pengadilan Tata Usaha Negara/PTUN),
kekuatan eksekutorial PHI tidak kuat untuk
sering kali terdapat intervensi pemerintah, dan juga
menyelesaikan perselisihan hubungan industrial,
tidak jarang pemerintah berpihak kepada
karena tahapan-tahapan yang masih harus dilalui
pengusaha. Karenanya kemudian dibentuklah
dapat menunda kekuatan eksekutorial tersebut.
Pengadilan Hubungan Industrial, sebagai langkah
terobosan untuk mengganti peran P4D dan P4P, Eksistensi PHI yang demikian seolah
serta untuk menyempurnakan kekurangan- mencederai prinsip-prinsip peradilan. Dalam sistem
kekurangan yang ada dalam konsep penyelesaian peradilan di Indonesia terdapat prinsip bahwa
perselisihan hubungan industrial yang lama. peradilan dilaksanakan secara sederhana, cepat dan
biaya murah. “Prinsip sederhana, cepat dan biaya
Hadirnya Pengadilan Hubungan Industrial
ringan dapat dilihat pada ketentuan Pasal 2 Ayat 4
juga sangat penting, karena pengadilan bukan hanya
UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan
lembaga yang harus independen dan berintegritas,
Kehakiman, yang mengatur bahwa peradilan
namun juga diharapkan mampu memberikan
dilakukan dengan sederhana, cepat, dan biaya
layanan berkeadilan kepada semua lapisan
ringan”.3
masyarakat.2 Hal itu dimaksudkan untuk mencapai
salah satu fungsi negara hukum yaitu Aristoteles Melalui penjelasan di atas, penulis ingin
yang merumuskan bahwa “negara hukum adalah menyampaikan bahwa saat ini, konsep penyelesaian
negara yang berdiri di atas hukum dengan menjamin perselisihan hubungan industrial, adalah jauh dari
keadilan kepada warga negaranya”. Keadilan yang kata efektif dan efisien. Hal ini karena sekalipun
dimaksudkan tersebut memiliki arti bahwa dalam ratio legis dari adanya PHI adalah untuk

1
I Nyoman Wijaya, “Indonesian Labour Law (2018): 381–396.
Development and Reform : The Years of Ratifying 3
Rahadi Wasi Bintoro, “Kajian Ontologis Lembaga
Fundamental Human Rights AS” (2007): 1–6. Mediasi Di Pengadilan,” Yuridika 31, no. 1 (2016):
2
Nevey Varida Ariani, “Gugatan Sederhana Dalam 65.
Sistem Peradilan Di Indonesia,” De Jure 18, no. 3
40
Reformasi Hukum dan Hak Asasi Manusia dalam Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial
Haikal Arsalan, Dinda Silviana Putri

menyempurnakan konsep yang lama, namun secara METODE PENELITIAN


faktual PHI jauh dari itu. Beberapa hal yang
diuraikan di atas berkaitan dengan lokasi PHI, Penelitian ini merupakan penelitian hukum
kakunya hukum acara yang dipergunakan, hingga normatif (normative legal research). Menurut Prof.
proses litigasi yang bertahap-tahap hingga dapat Peter Mahmud Marzuki “Penelitian Hukum
menunda kekuatan eksekutorialnya ada alasan merupakan suatu proses untuk menemukan aturan
utama kenapa PHI jauh dari kata efektif dan efisien. hukum, prinsip-prinsip hukum, maupun doktrin-
Untuk itu, penulis menawarkan konsep doktrin hukum guna menjawab isu hukum yang
penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang dihadapi”.5 Dalam penelitian hukum normatif tidak
ada pada domain non-litigasi, yaitu melalui proses digunakan data-data yang berbasis pada observasi
tripartit. Tripartit sendiri merupakan perundingan lapangan, melainkan melakukan analisa-analisa
antara pihak pekerja, pengusaha dengan cara dengan menggunakan pendekatan tertentu, dalam
melibatkan pihak ketiga sebagai fasilitator penelitian ini yaitu pendekatan konseptual,
penyelesaian sengketa tersebut. Dalam PHI metode pendekatan perundang-undangan, dan pendekatan
tripartit sendiri dibagi tiga yakni melalui mediasi, perbandingan. Terdapat dua sumber bahan hukum
konsiliasi dan arbitrase. Dalam jurnal ini penulis dalam penelitian ini, yakni bahan hukum primer
menawarkan penyelesaian tripartit dengan metode berupa perundang-undangan yang relevan dengan
mediasi. pembahasan penelitian. Bahan hukum primer dalam
“Mediation is an assisted negotiation by a third penelitian ini terdiri dari Undang-Undang Dasar
neutral, the mediator, who differently from judges Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI
and arbitrators has no power to impose a solution 1945), Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999
for the parties”.4 Yang berarti “Mediasi merupakan tentang Hak Asasi Manusia, Undang-Undang 13
sebuah negosiasi dengan bantuan pihak ketiga yang Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, Undang-
netral, seorang mediator, berbeda dengan hakim dan Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian
arbiter yang memiliki kekuatan untuk memaksakan Perselisihan Hubungan Industrial dan bahan hukum
solusi kepada para pihak”. sekunder terdiri dari publikasi-publikasi tentang
hukum berupa jurnal, kamus, komentar terhadap
Dalam penelitian ini, penulis bermaksud putusan pengadilan. Teknik pengumpulan bahan
melibatkan pemerintah yang diwakili oleh Disnaker hukum menggunakan studi dokumen (library
untuk menjadi pihak ketiga (mediator) sebagai research), yaitu dilakukan dengan cara
wujud intervensi pemerintah. Konsep mediasi mengumpulkan bahan-bahan hukum baik primer
dipilih karena, berkaca dari pengalaman- maupun sekunder, kemudian menginventarisnya,
pengalaman negara lain, misalnya Cina dan Jepang, dan menghubungkannya dengan permasalahan-
mediasi mengambil peranan yang penting dalam permasalahan yang ada di penelitian ini. Penelitian
penyelesaian perselisihan hubungan industrial. ini menggunakan penalaran yang bersifat deduktif
Beranjak dari permasalahan-permasalahan sebagai metode analisis, yakni penalaran untuk
tersebut, penulis menawarkan konsep penyelesaian menarik kesimpulan dengan beranjak dari hal yang
perselisihan hubungan industrial dengan melakukan bersifat umum ke hal yang khusus. Dengan
penelitian yang menjadikan urgensi penghapusan menggunakan silogisme tradisional, yakni
pengadilan hubungan industrial dan penguatan mengkorelasikan antara norma-norma hukum
fungsi tripartit (mediasi) di bawah kewenangan sebagai premis mayor dengan fakta-fakta yang
Dinas Ketenagakerjaan sebagai pokok rumusan relevan (legal facts) sebagai premis minor dan
masalah. ditarik kesimpulan dari dua premis tersebut.

Tujuan penelitian ini untuk mereformasi


konsep penyelesaian perselisihan hubungan PEMBAHASAN
industrial dengan cara mengonsentrasikannya A. Penghapusan Pengadilan Hubungan
melalui jalur non litigasi yaitu dengan cara Industrial
penguatan fungsi tripartit (mediasi). Penelitian ini
Purnadi Purbacara dan Soerjono Soekanto,
diharapkan dapat bermanfaat sebagai pedoman
menyatakan bahwa agar dapat berfungsi, suatu
untuk dilakukannya reformasi hukum terkait
aturan hukum harus dibentuk berdasarkan tiga
penyelesaian sengketa hubungan industrial melalui
landasan, yaitu Filosofis, Yuridis, dan Sosiologis.
revisi terhadap UU PPHI.
Karena, apabila suatu aturan hukum hanya
mengandung sisi yuridis saja, maka ia hanya akan

4 5
Martin C. Euwema et al., Mediation in Collective Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Sixth.
Labor Conflicts (Switzerland: Springer, 2019), 10. (Jakarta: Rencana Prenada Media Group, 2010), 35.
41
JURNAL HAM
Volume 11, Nomor 1, April 2020

menjadi aturan yang mati (dode regel), apabila kecacatan formal oleh PHI atas gugatan yang
hanya mengandung landasan sosiologis dalam diajukan oleh para pekerja. Misalnya, tidak dapat
artian kekuasaan, maka ia hanya akan menjadi diterimanya gugatan 13 pekerja transjakarta ke PT.
aturan pemaksa (dwang regel), terakhir, apabila Transjakarta oleh Pengadilan Hubungan Industrial
hanya mengandung landasan filosofis, maka ia Jakarta Pusat, dikarenakan cacat formal (error in
hanya akan menjadi hukum yang dicita-citakan persona) tahun 2018 lalu. Kasus lain juga menimpa
(ideal norm). 6 Singkat kata, aturan hukum, tidak Ganda Siahaan dan Muhammad Prihatin melawan
hanya harus ada sebagai landasan legalitas saja, PT. Reza Friska Pratama dan PT. PLN Persero
namun dibentuk dalam tataran paradigmatis dan Sumatra Utara area Medan. Gugatan yang diajukan
harus dapat diterapkan secara konkret. oleh Ganda Siahaan dan Muhammad Prihatin tidak
dapat diterima dengan alasan error in persona dan
Pengadilan Hubungan Industrial (selanjutnya
tidak memiliki kualitas menggugat (Gemis aan
PHI), yang diamanatkan dalam Undang-Undang
Hoedanigheid). Dua kasus tersebut hanya
Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian
merupakan contoh kecil dari banyaknya gugatan
Perselisihan Hubungan Industrial, secara filosofis
pekerja yang tidak dapat diterima oleh PHI. Hal ini,
dibentuk untuk menciptakan sebuah terobosan
lagi-lagi menunjukkan bahwa PHI tidak
penyelesaian sengketa industrial yang cepat, tepat,
merefleksikan nilai keadilan yang proporsional.
adil, dan murah. Cita-cita itu pada
Pekerja dan pengusaha, dalam permasalahan ini
perkembangannya, ternyata berbanding terbalik
jelas jauh berbeda, dan lagi-lagi ini terjadi akibat
dengan fakta yang terjadi dalam tataran praktik.
posisi ekonomi antara keduanya yang berbeda.
Misalnya, sejak tahun 2006-2013 sebanyak 2619
Pengusaha yang memiliki posisi ekonomi yang
permohonan kasasi telah diajukan ke Mahkamah
lebih baik, jelas dapat menghubungi pengacara
Agung yang terdiri dari 1.427 atau 54%
dalam mengajukan jawaban atas gugatan yang
permohonan dilakukan oleh pengusaha dan 1202
dilakukan pekerja atau bahkan mengajukan gugatan
atau 46% permohonan dilakukan oleh buruh.
rekonvensi. Pekerja dilain sisi, sering kali tidak
Kemudian untuk peninjauan kembali, sepanjang
dapat meminta bantuan pengacara karena alasan
tahun 2006-2013 sebanyak 374 permohonan
ekonomi. LBH tentu saja dapat melakukan assisting
peninjauan kembali telah dilakukan. Dari 378
kepada para pekerja yang kesulitan dalam
permohonan, sebanyak 143 permohonan atau 39%
menempuh penyelesaian melalui jalur litigasi,
dilakukan oleh buruh dan 221 permohonan atau
namun tidak selalu LBH dapat mengakomodir
61% dilakukan oleh pengusaha. 7 Hal ini tentu
seluruh pekerja yang akan bersengketa.
masuk akal, mengingat antara pengusaha dan
pekerja memiliki posisi ekonomi (economic Permasalahan-permasalahan tentang tidak
position) yang berbeda, otomatis mereka tentu dapat diterimanya gugatan para pekerja ke PHI,
memiliki kemampuan yang berbeda dalam tidak lain disebabkan karena model hukum acara
melanjutkan upaya hukum. Dengan ini, dapat PHI yang sangat bertumpu pada karakteristik
disimpulkan bahwa sejatinya, penyelesaian melalui hukum acara perdata. Pengadilan-pengadilan
PHI tidaklah efektif. Lebih jauh, dimungkinkannya perdata sangat kaku, yaitu syarat-syarat formal
upaya hukum sampai tingkat terakhir yang banyak (misalnya gugatan) harus mutlak dipenuhi. Tidak
dilakukan oleh pengusaha, dapat saja dipenuhinya syarat-syarat formal itulah yang
mengindikasikan adanya tujuan untuk menunda menyebabkan gugatan tidak dapat diterima, dengan
pelaksanaan putusan PHI di tingkat pertama. Selain konsekuensi hukum gugatan tersebut batal demi
itu, hal ini merefleksikan bahwa konsep hukum (nietigheid van rechtswege).
penyelesaian melalui PHI tidak menerapkan prinsip
Selanjutnya, lokasi PHI yang hanya berada
keadilan secara proporsional. Dimungkinkannya
pada ibukota provinsi dan kota/kabupaten tertentu
upaya hukum hingga tingkat terakhir menunjukkan
dengan tingkat industri yang tinggi juga menjadi
adanya kesalahan perhitungan mengenai kondisi
penghambat bagi pekerja yang hendak mencari
ekonomi antara pekerja dan pengusaha yang tentu
keadilan, karena tentu saja akan memakan biaya
saja jelas jauh berbeda.
yang tidak sedikit. PHI bisa saja memiliki prinsip
Fakta kedua yang menunjukkan tidak bahwa nilai sengketa di bawah Rp.150.000.000,-
efektifnya PHI, dapat dilihat dari banyaknya (seratus lima puluh juta rupiah) tidak akan
putusan NO (niet ontvankelijk verklraad) yang dikenakan biaya. Namun, dalam berperkara tidak
berarti gugatan tidak diterima karena mengandung hanya biaya perkara yang harus dikeluarkan.

6 7
Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto, Perihal P.F. Muhammad Isnu, Membaca Pengadilan
Kaidah Hukum (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1993), Hubungan Industrial Di Indonesia (Jakarta: LBH
92–93. Jakarta & MaPPI FH UI, 2014), 52.
42
Reformasi Hukum dan Hak Asasi Manusia dalam Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial
Haikal Arsalan, Dinda Silviana Putri

Misalkan saja, kita andaikan dengan sebuah kepentingan orang banyak. Dengan kata lain,
skenario, seorang pekerja yang berada di kabupaten menurut paham utilitarianisme, keadilan yang
Banyuwangi harus menggugat di PHI yang proporsional merupakan keadilan yang memberikan
bertempat di kota Surabaya tentang perselisihannya manfaat terbanyak untuk mayoritas.
dengan perusahaan tempat dia bekerja. Taruhlah
Pendapat ini ditentang oleh seorang anti
perselisihan tersebut tentang perselisihan hak atas
utilitarianisme, yaitu Ronald Dworkin. Di mana,
tidak dibayarkannya upah sebesar Rp.3.800.000,-
menurut Dworkin konsep utilitarian hanyalah
(tiga juta delapan ratus ribu rupiah). Berapa banyak
sebuah konsep ilusi yang semu. Lebih jauh,
biaya yang harus dikeluarkan oleh pekerja tersebut
Dworkin juga mengatakan bahwa konsep utilitarian
hanya untuk akomodasi (transportasi, makan,
merupakan konsep yang salah karena
penginapan), apakah hal tersebut sepadan dengan
memperlakukan equality dalam wujud numerik,
nilai perselisihan yang tidak banyak tadi. Lagi-lagi
dalam arti untuk memaksimalkan kesejahteraan
hal ini menunjukkan bahwa PHI tidak
secara umum. Menurutnya suatu keadilan tidak bisa
merefleksikan nilai keadilan yang proporsional
dipandang sebatas angka atau jumlah yang
antara pengusaha dan pekerja.
diberikan namun lebih luas daripada itu.
Keadilan proporsional sendiri merupakan
Menegakkan hal tersebut, Dworkin
konsep yang berkembang dari teori keadilan klasik.
membawa konsep equality pada definisi yang sama
Konsep ini merupakan perpaduan antara keadilan
sekali lain. Equality yang dibawakan Dworkin tidak
dan proporsionalitas. Plato mendefinisikan
hanya bertumpu pada numerik saja, melainkan juga
keadilan sebagai the supreme virtue of the good
bertumpu pada substansi. Menurutnya, people must
state (nilai utama dari negara yang baik), sedang
be perceived as endis in themselves, not as means to
orang yang adil adalah the self-disciplined man
welfare maximization (masyarakat harus diartikan
whose passions are controlled by reason (manusia
sebagai sebuah tujuan dari diri mereka masing-
yang disiplin dengan hasrat dikontrol oleh suatu
masing, bukan hanya untuk mencapai kesejahteraan
alasan). Berbeda dengan Plato yang bertumpu pada
mayoritas). 9 Kritik tajam Dworkin pada
harmoni, Aristoteles menekankan teorinya pada
utilitarianisme juga terlihat dari pernyataannya yang
perimbangan atau proporsi. Menurutnya di dalam
mengatakan bahwa dalam utilitarianisme, manusia,
negara segala sesuatunya harus diarahkan pada cita-
tidak diperlakukan sebagai manusia. Melainkan
cita yang mulia yaitu kebaikan dan kebaikan itu
hanya bilangan matematik untuk berkontribusi pada
harus terlihat melalui keadilan dan kebenaran.
kesejahteraan secara maksimal.
Penekanan perimbangan atau proporsi pada teori
keadilan Aristoteles, dapat dilihat dari apa yang Perdebatan ini membawa kita pada konsep
dilakukannya bahwa kesamaan hak itu haruslah proporsionalitas itu sendiri. Proporsionalitas
sama di antara orang-orang yang sama.8 menurut Aharon Baarak merupakan sebuah
konstruksi hukum, sebuah alat metodologi yang
Teori keadilan yang dibawakan oleh
terdiri dari empat macam komponen, yaitu proper
Aristoteles, di dalamnya secara tersirat
purpose, rational connection, necessary means, and
menghendaki proporsionalitas. Mengilhami
a proper relation between the benefit gained by
banyak juris untuk memformulasikan konsep
realizing the proper purpose and the harm caused
keadilan yang proporsional sesuai dengan porsinya.
to the constitutional right, komponen terakhir ini
Misalnya, keadilan dalam teori utilitarianisme yang
sering kali disebut sebagai proportionality stricto
dibawakan oleh Jeremy Bentham dan muridnya,
sensu 10 . Empat komponen proporsionalitas itulah
yaitu John Stuart Mills. Teori ini semula memiliki
yang menjadi batasan-batasan yang digunakan
esensi yang bertumpu pada kebahagiaan manusia
dalam pembentukan peraturan perundang-undangan
secara individu atau perorangan sebagai subyek
secara umum. Komponen ini, kemudian
yang berdiri sendiri, manusia pada hakikatnya
dimanifestasikan menjadi konsep yang dapat
selalu berusaha untuk mencari kebahagiaan yang
diterapkan setelah sebelumnya merupakan sebuah
diperuntukkan untuk dirinya sendiri. Namun
konsep yang abstrak.
kemudian, teori ini berkembang menjadi konsep
yang lebih luas, yaitu segala sesuatu yang baik Mencermati uraian pendapat ahli mengenai
adalah hal yang mampu memberikan manfaat keadilan dan proporsionalitas yang telah
paling banyak atau sebesar-besarnya untuk dipaparkan di atas, maka penulis berpendapat

8
J.H. Rapar, Filsafat Politik Plato (Jakarta: Rajawali Universiteit Leuven,” 1999), 11.
10
Press, 1991), 82. Aharon Barak, Proportionality Constitutional Rights
9
Samuel Klaus, Dworkin ’ s Conception of and Their Limitation (Mexico: Cambridge University
Utilitarianism (Belgia: Faculty of Law “Katholieke Press, 2012), 131.
43
JURNAL HAM
Volume 11, Nomor 1, April 2020

bahwa keadilan yang proporsional, berarti keadilan dalam praktiknya mengorbankan hak
yang tidak hanya bertumpu pada mayoritas, konstitusional pekerja untuk diperlakukan secara
melainkan juga individu. Tidak hanya itu, keadilan setara.
proporsionalitas juga keadilan yang tidak hanya
Berkaitan dengan hak konstitusional
menjadi alat to serve majority or individual in
sebagaimana dimaksud di atas, maka PHI jelas
majority ways (untuk melayani mayoritas atau
gagal untuk menerapkan aturan hukum, di mana
individu dalam cara yang ditentukan mayoritas),
semua pihak harus diperlakukan setara. Setara yang
namun to serve justice in the most just ways (namun
dimaksud di sini adalah untuk memperlakukan para
untuk mencapai keadilan dengan cara yang paling
pihak sesuai dengan porsi mereka masing-masing,
adil). Konsep keadilan ini menghendaki
sebagaimana seperti yang dikatakan Dworkin di
dipenuhinya, empat unsur-unsur proporsionalitas
atas. Hukum acara PHI yang terlalu kaku, sehingga
seperti yang dijabarkan sebelumnya, yaitu proper
merugikan pihak pekerja, jelas merupakan bentuk
purpose, rational connection, necessary means, and
dari ketidakadilan, yang mana menunjukkan bahwa
a proper relation between the benefit gained by
pihak pekerja diperlakukan sama dengan
realizing the proper purpose and the harm caused
pengusaha. Padahal faktanya, para pihak tersebut
to the constitutional right.
tidak memiliki bargaining position yang sama.
Berkaitan dengan itu, maka penulis dapat Karenanya, perlakuan tersebut tidak mencerminkan
memberikan uraian penjelasan sebagai berikut: equality sebagaimana yang telah dipaparkan
1. Proper purpose, atau tujuan yang semestinya, sebelumnya.
PHI jelas pada faktanya telah melenceng dari
Konsep equality tersebut sudah selayaknya
tujuan semestinya undang-undang tersebut
harus ada dan diterapkan sebagaimana mestinya
dibuat, yang mana awal mula dibentuknya PHI
dalam penyelesaian hubungan industrial, mengingat
salah satu tujuannya adalah untuk memberikan
dalam konsiderans UU PHI dicantumkan Pasal 28
sebuah terobosan dalam upaya penyelesaian
D Ayat (1) dan (2) Undang-Undang Dasar Negara
perselisihan hubungan industrial, karena pada
Republik Indonesia Tahun 1945, yang mana dalam
faktanya dalam praktik pun PHI masih sering
Pasal tersebut ditegaskan bahwa11:
menghadapi kendala-kendala yang justru
(1) Setiap orang berhak atas pengakuan,
menghambat tujuan dari PHI itu sendiri.
jaminan, perlindungan, dan kepastian
Sehingga tidak sampai pada memberikan
hukum yang adil serta perlakuan yang
penyelesaian, namun justru menghasilkan
sama di hadapan hukum.
sebuah masalah baru.
(2) Setiap orang berhak untuk bekerja serta
2. Rational connection, yang dimaksudkan di sini
mendapat imbalan dan perlakuan yang
adalah tidak adanya kesesuaian yang rasional
adil dan layak dalam hubungan kerja.
antara fakta dengan peraturan yang
mengaturnya. Sering kali PHI dapat dikatakan Diketahui bersama bahwa dalam Pasal 28 A
pula tidak memenuhi komponen-komponen sampai dengan 28 J UUD NRI 1945 merupakan
proporsionalitas, di mana tidak ada koneksi sebuah bab yang membahas mengenai hak asasi
yang rasional antara dibentuknya PHI dengan manusia, yang mana sudah seharusnya peraturan
fakta penyelesaian perselisihan hubungan perundang-undangan di bawahnya harus senada
industrial yang masih tidak proporsional. dengan bab tersebut, tidak hanya secara kontekstual
3. Necessary means, PHI yang diharapkan dalam perundang-undangan, namun juga dalam
memberikan sebuah arti penting penyelesaian penerapan secara praktikal. Sehingga diskriminasi
perselisihan hubungan industrial, ternyata masih dapat terhindarkan dan mengembalikan hakikat dari
dapat dikatakan tidak benar-benar memberikan equality itu sendiri.
arti penting karena tidak memberikan keadilan Fakta-fakta di atas, sejatinya menunjukkan
dalam penyelesaian perselisihan hubungan bahwa dibentuknya PHI adalah hal yang sia-sia,
industrial itu sendiri. baik secara tatanan perundangan maupun secara
4. Berkaitan dengan proper relation between the praktis. Tidak efektifnya PHI telah mengingkari cita
benefit gained by realizing the proper purpose hukum atas dibentuknya UU PPHI. Karenanya,
and the harm caused to constitutional right dengan ini penulis menganggap bahwa jalan terbaik
(hubungan yang seharusnya dengan menyadari dari penyelesaian perselisihan hubungan industrial,
manfaat yang dicapai dan terganggunya hak harus dimulai dahulu dengan dihapusnya PHI.
konstitusional), maka dikatakan bahwa PHI, Nantinya, anggaran-anggaran yang dipakai dalam
selain tidak memenuhi tujuan yang layak, juga me-maintain PHI, baik dari sisi infrastruktur,

11
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945, n.d.
44
Reformasi Hukum dan Hak Asasi Manusia dalam Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial
Haikal Arsalan, Dinda Silviana Putri

hingga gaji untuk hakim PHI dapat dialokasikan ke Dua pasal yang ada dalam UU HAM tersebut
arah yang lebih efektif. menuntut adanya perlakuan yang sama di depan
pengadilan, sedangkan dalam PPHI sebagaimana
B. Fair Trial dalam Hukum Indonesia
dijelaskan sebelumnya menunjukkan bahwa tidak
Perlakuan yang sama di depan hukum adanya perlakuan yang sama, karena antara pihak
merupakan salah satu bentuk turunan dari keadilan buruh dengan pelaku usaha tidak memiliki
yang harus ditegakkan oleh suatu negara. Indonesia, bargaining position yang seimbang.
sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya
Diperlukan sebuah perhatian khusus terhadap
bahwa dalam konstitusinya telah memberikan ruang
HAM yang mampu membawa pada cara pandang
tersendiri untuk menjamin keadilan kepada
seseorang dalam meletakkan manusia sebagai
masyarakatnya. Tidak hanya dalam konstitusi,
perhatian utama dan menekankan terbentuknya
namun perhatian negara atas kesamaan di hadapan
sebuah sistem universal yang menjadi kerangka
hukum juga tertuang dalam beberapa hukum positif
bersama dalam menjaga keberlangsungan hidup
yang ada di Indonesia, yakni dalam Undang-
manusia di muka bumi. Hal yang demikian
Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi
merupakan inti dari HAM menurut Wolfgang
Manusia (UU HAM) dan Undang-Undang Nomor
Benedek yakni aspirasi untuk melindungi harkat
12 Tahun 2005 tentang Pengesahan International
dan martabat seluruh manusia.13
Covenant on Civil and Political Rights (Kovenan
Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik). Buruh yang merupakan subyek dan individu
tatanan dunia dalam hal ini cenderung dirugikan
Dalam Pasal 3 Undang-Undang Pasal 3 UU
dengan adanya pengadilan hubungan industrial itu
HAM ditegaskan bahwa12:
sendiri, oleh karenanya apabila dalam pelaksanaan
(1) Setiap orang dilahirkan bebas dengan
lebih lanjutnya (PPHI) ternyata tidak mampu
harkat dan martabat manusia yang sama
mendukung adanya fair trial itu sendiri maka sudah
dan sederajat serta dikaruniai akal dan hati
selayaknya diperbaiki agar terjadi harmonisasi antar
nurani untuk hidup bermasyarakat,
peraturan hukum positif di Indonesia.
berbangsa, dan bernegara dalam semangat
persaudaraan. Selain dalam UU HAM terdapat pula dalam
(2) Setiap orang berhak atas pengakuan, Pasal 14 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 12 Tahun
jaminan, perlindungan dan perlakuan 2005 tentang Pengesahan International Covenant
hukum yang adil serta mendapat kepastian on Civil and Political Rights (Kovenan
hukum dan perlakuan yang sama di depan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik)
hukum. ditegaskan bahwa14:
(3) Setiap orang berhak atas perlindungan hak Semua orang mempunyai kedudukan yang
asasi manusia dan kebebasan dasar sama di hadapan pengadilan dan badan
manusia, tanpa diskriminasi. peradilan. Dalam menentukan tuduhan
pidana terhadapnya atau dalam menentukan
Sedangkan dalam Pasal 5 Undang-Undang
segala hak dan kewajibannya dalam suatu
HAM dijelaskan bahwa:
gugatan, setiap orang berhak atas
(1) Setiap orang diakui sebagai manusia
pemeriksaan yang adil dan terbuka untuk
pribadi yang berhak menuntut dan
umum oleh suatu badan peradilan yang
memperoleh perlakuan serta perlindungan
berwenang, bebas dan tidak berpihak dan
yang sama sesuai dengan martabat
dibentuk menurut hukum. Media dan
kemanusiaannya di depan hukum.
masyarakat dapat dilarang untuk mengikuti
(2) Setiap orang berhak mendapat bantuan
seluruh atau sebagian sidang karena alasan
dan perlindungan yang adil dari
moral, ketertiban umum atau keamanan
pengadilan yang obyektif dan tidak
nasional dalam suatu masyarakat yang
berpihak.
demokratis atau apabila benar-benar
(3) Setiap orang yang termasuk kelompok
diperlukan menurut pendapat pengadilan
masyarakat yang rentan berhak
dalam keadaan khusus, di mana publikasi
memperoleh perlakuan dan perlindungan
justru akan merugikan kepentingan keadilan
lebih berkenaan dengan kekhususannya.
sendiri. Namun setiap keputusan yang

12
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Pasca Deklarasi Bersama Buenos Aires Pada Tahun
Asasi Manusia, n.d. 2017,” Jurnal HAM 9, no. 2 (2018): 157.
13
Indra Kusumawardhana; Rusdi J. Abbas, “Indonesia 14
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 Tentang
Di Persimpangan: Urgensi ‘Undang-Undang Pengesahan International Convenant on Civil and
Kesetaraan Dan Keadilan Gender’ Di Indonesia Political Rights, n.d.
45
JURNAL HAM
Volume 11, Nomor 1, April 2020

diambil dalam perkara pidana maupun dan pekerja jelas memiliki bargaining position yang
perdata harus diucapkan dalam sidang yang berbeda. Inilah kenapa hukum ketenagakerjaan
terbuka, kecuali bilamana kepentingan anak- dikatakan bergeser dari ranah hukum privat, hingga
anak menentukan sebaliknya, atau apabila menyangkut juga hukum publik. Dengan kata lain,
persidangan tersebut berkenaan dengan intervensi negara diperlukan untuk melindungi pekerja
perselisihan perkawinan atau perwalian anak- sebagai kelompok yang memiliki posisi lebih lemah.
anak.
Di Indonesia (sebagai negara kesejahteraan
PHI lagi-lagi tidak menampakkan semangat sebagaimana diamanatkan dalam pembukaan UUD
fair trial dalam ICCPR yang telah diratifikasi NRI 1945, intervensi negara dalam masalah
Indonesia melalui UU Nomor 12 Tahun 2005. ketenagakerjaan ditunjukkan dalam beberapa aspek
Persamaan di hadapan pengadilan yang ada dalam penting. Pertama ialah penetapan upah minimum yang
ICCPR berarti adanya persamaan perlakuan untuk ditentukan oleh pemerintah. Hal ini sebagai bentuk
orang-orang yang sama sebagaimana telah perlindungan agar pekerja mendapatkan upah yang
dijabarkan sebelumnya. Penyamarataan bukan layak dan sejajar dengan biaya kehidupan. Kedua,
berarti persamaan, persamaan dengan kata lain ditetapkannya batasan-batasan pengusaha dan pekerja,
haruslah proporsional. Hukum acara PHI yang juga hak dan kewajiban yang diuangkan dalam
terlalu kaku, sekali lagi ditegaskan mereduksi Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 tentang
semangat persamaan dalam fair trial di Indonesia. Ketenagakerjaan dan Undang-Undang Nomor 21 tahun
2000 tentang Serikat Buruh. Terakhir, intervensi itu
C. Penguatan Fungsi Tripartit (Mediasi) Melalui
ialah dengan membantu penyelesaian sengketa
Disnaker
Industrial, yaitu melalui UU PPHI. Dalam UU PPHI
Hukum ketenagakerjaan, merupakan hukum dikenal konsep penyelesaian hubungan industrial
yang tidak hanya berorientasi pada hukum perdata, secara bipartit, mediasi, konsiliasi, dan arbitrase sebagai
melainkan juga hukum administrasi. Gagasan ini media penyelesaian sengketa ketenagakerjaan secara
dilandasi dengan adanya perkembangan konsep negara. non litigasi. Kegagalan dalam non litigasi
Negara kontemporer pertama yang semula memiliki menyebabkan para pihak harus menempuh jalur litigasi
model sebagai penjaga malam (nachtwakerstaat) pada pengadilan hubungan industrial. Singkat kata,
berkembang menjadi konsep negara kesejahteraan pemerintah secara garis besar mengatur bahwa
(welfarestate). Gagasan mengenai negara kesejahteraan perselisihan hubungan industrial dapat diselesaikan
sendiri berkembang dari abad ke 18 ketika Bentham dalam dua jalur, yaitu non-litigasi dan litigasi.
menyatakan bahwa negara memiliki tanggung jawab
Jalur non litigasi, dalam UU PPHI ternyata
untuk menjamin kebahagiaan warganya. Dengan kata
hanya terkesan sebagai prasyarat agar dapat
lain, konsep welfarestate berarti bahwa negara yang
dilaksanakannya penyelesaian melalui PHI. Di lain sisi,
pemerintahannya ada dengan tujuan untuk memenuhi
PHI dalam pembahasan sebelumnya telah dijabarkan
standar hidup warga negaranya baik itu kebutuhan
sebagai solusi yang sangat tidak efektif. Permasalahan
sosial dan ekonomi. Konsep ini merupakan anti-tesis
ini adalah urgensi bagi penulis untuk
dari nachtwakerstaat yang dikatakan sebagai negara
mengonsentrasikan penyelesaian perselisihan
hukum dalam arti sempit (rechstaat in engere zin) yang
hubungan industrial dalam jalur non litigasi. Dalam
dalam pelaksanaannya hanya berdasarkan asas leissez
penelitian ini, tesis atau pernyataan yang ditawarkan
faire, laissez aller (menjunjung kebebasan, negara
penulis ialah penguatan fungsi tripartit melalui mediasi
hanya menjaga ketertiban).
oleh Disnaker.
Ide intervensi negara yang dibawakan Bentham
Mediasi, di berbagai negara dianggap sebagai
melalui konsep negara kesejahteraan, pada faktanya
jalan terbaik dalam penyelesaian perselisihan antara
adalah hal yang penting. Dalam beberapa aspek, negara
pengusaha dan pekerja. Hal ini terjadi karena konflik
memang diperlukan untuk datang dan melindungi
antara pengusaha dan pekerja adalah hal yang rutin
warga negaranya sekalipun dalam ranah privat.
terjadi dan penyelesaian melalui litigasi tidak murah
“Fungsi utama dari aturan hukum adalah untuk
(bukan hanya dihitung biaya perkara)16. Sistem mediasi
menciptakan perlindungan hukum yang bertujuan
adalah hal yang baik, namun banyak terkendala karena
untuk mencapai dan memelihara perdamaian”. 15 Hal
sekarang orientasi penyelesaian sengketa adalah litigasi
ini dimungkinkan karena tidak setiap orang, dalam
karena dianggap sebagai satu-satunya yang dapat
ranah privat, memiliki bargaining position yang sama.
menjamin kepastian hukum. Karenanya hanya
Kedudukan yang tidak sama tersebut sangat terlihat
beberapa negara tertentu yang benar-benar menerapkan
dalam konteks ketenagakerjaan, di mana pengusaha

15 16
Ake Frandberg, From Rechtsstaat to Universal Law- Euwema et al., Mediation in Collective Labor
State (London: Springer, 2014), 7. Conflicts, 4.
46
Reformasi Hukum dan Hak Asasi Manusia dalam Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial
Haikal Arsalan, Dinda Silviana Putri

mediasi dengan sebaik-sebaiknya. nilai-nilai baik buruk yang ada di Indonesia juga
memiliki perbedaan. Namun sekiranya nilai kebaikan
Jepang adalah negara yang sangat sukses
yang ada di Jepang dapat diadopsi, mengingat
menerapkan mediasi, hal ini disampaikan oleh Prof.
penyelesaian secara musyawarah dari mediasi lebih
Yoshiro Kusano di kuliah umum tanggal 28 September
memiliki nilai luhur daripada harus membawanya ke
2019 di Universitas Airlangga. Beliau merupakan
ranah pengadilan. Karenanya, sebagaimana dibahas
seorang mantan hakim di Jepang, yang sangat
sebelumnya penghapusan PHI adalah tahap awal yang
berpengalaman menyoal mediasi. Menurutnya, tingkat
sempurna untuk menggelontorkan persepsi bahwa non
keberhasilan mediasi di Jepang mencapai angka 75%
litigasi adalah prasyarat dari litigasi.
bahkan lebih. Ide penyelesaian sengketa di Jepang
sukses karena berangkat dari nilai-nilai tradisional yang Indonesia, juga berbeda dengan Tiongkok yang
luhur, seperti arasoi o mizu ni nagasu (biarkan terkesan otoriter dan tidak berorientasi pada mencari
permasalahan berjalan seperti air), kenkai ryoo-seibai keadilan yang mana seolah mediasi hanya sebagai
(para pihak dihukum dengan adil) dan arasoi maruku formalitas untuk meredam permasalahan menyeruak
osameru (menyelesaikan masalah di dalam lingkaran). semakin besar. Karenanya, berdasarkan perbandingan-
Selain itu bagi orang Jepang, membawa permasalahan perbandingan tadi, penulis beranjak pada tahap
ke muka pengadilan adalah perbuatan yang tidak terpuji berikutnya yaitu penguatan fungsi tripartit berupa
dan hal yang harus dihindari. Paling bijaksana adalah mediasi oleh Dinas Ketenagakerjaan.
melalui forum mediasi yang disebut sebagai Jidan.
Hal itu dapat dilakukan dengan melakukan
Namun, Jidan tersebut merupakan forum penyelesaian
beberapa perombakan pada UU PPHI, yaitu:
yang tidak mempunyai sanksi formal dan hanya bersifat
1. Pertama, mekanisme konsep PPHI menjadi
sukarela. Sedikit perbedaan dengan chotei, yang mana
bipartit yang kemudian dilanjutkan
dalam chotei, lembaga mediator berupa panelis yang
kewajiban melakukan mediasi apabila terjadi
terdiri dari tiga orang (dua orang dipilih oleh para pihak
deadlock. Terdapat perombakan dalam
yang bersengketa dan satu lainnya merupakan seorang
mediasi yakni dengan mengubah nama
hakim).
mediator yang merupakan Pegawai Negeri
Republik Rakyat Tiongkok juga tercatat Sipil dalam UU PPHI, menjadi Pegawai
memiliki tingkat kesuksesan yang tinggi dalam Perantara (Lanny Ramli, 2010). Hal ini dapat
menyelesaikan perselisihan hubungan industrial menekankan posisi negara sebagai jembatan
melalui mediasi. Namun, berbeda dengan Jepang, dalam membantu penyelesaian perselisihan
negeri tirai bambu tersebut lebih ketat dalam hubungan industrial.
penyelesaiannya. Terdapat tiga kunci suksesnya 2. Para mediator ini terdiri dari tiga orang, yaitu
mediasi di Tiongkok, yaitu: Pertama, ada kehadiran seorang pegawai perantara sebagai ketua dan
negara yang kuat dalam mediasi, tidak hanya pemberi keputusan dan dua orang yang
pemerintah menjadi perancang sistem mediasi namun masing-masing ditunjuk oleh para pihak
para promotornya yang terlibat juga merupakan agen- sebagai anggota dan pemberi pertimbangan.
agen pemerintah. Kedua, tidak seperti Negara Eropa Mediator yang ditunjuk oleh Pemerintah
yang menempatkan mediasi sebagai alternatif untuk ditanggung oleh negara dengan alokasi dana
litigasi, Tiongkok menempatkan mediasi sebagai dari penghapusan PHI.
prosedur yang harus dilalui terlebih dahulu sebelum 3. Para mediator perantara ada di setiap dinas
bisa diarahkan ke arbitrase atau pengadilan. Ketiga, ketenagakerjaan dalam tingkat daerah
Mediasi di Tiongkok diarahkan untuk meredam konflik (dimungkinkan satu mediator sebagai
bukan mencari keadilan. Kekurangan yang terdapat pegawai perantara memegang beberapa
dalam konsep tersebut adalah sering kali pekerja kota/kabupaten tergantung kepadatan
dipaksa menerima jumlah ganti rugi yang kurang dari industri) dengan dibekali kemampuan yang
nilai putusan pengadilan.17 matang tentang ketenagakerjaan.
4. Keputusan yang diambil oleh para mediator
Indonesia berbeda dengan Jepang, tidak
harus ditaati dengan catatan bahwa sebelum
memiliki prinsip bahwa membawa masalah ke muka
dilakukannya mediasi, para pihak melakukan
pengadilan adalah perbuatan yang buruk. Hal tersebut
perjanjian dengan mediator agar
tentu disebabkan pengaruh historis yang berkembang di
menjalankan apa yang diputuskan mediator.
Indonesia dan Jepang berbeda, sehingga sangat masuk
5. Hasil dari mediator tidak dapat diajukan
akal perkembangan nilai-nilai baik buruk yang
gugatan ke PTUN. Hal ini dikarenakan
diwariskan oleh nenek moyang orang Jepang dengan
keputusan mediator tersebut, sekalipun

17
Wenjia Zhuang and Feng Chen, “‘Mediate First’: Resolution in China,” China Quarterly 222, no. Juni
The Revival of Mediation in Labour Dispute (2015): 382–383.
47
JURNAL HAM
Volume 11, Nomor 1, April 2020

dibuat oleh Pejabat TUN, bukanlah diperlukan oleh warga negaranya, terutama
merupakan objek sengketa PTUN, karena kebutuhan akan adanya rasa keadilan. Keadilan bagi
merupakan keputusan dalam hukum perdata para pekerja dapat tersentuh apabila mereka
yang disepakati oleh para pihak bersengketa. dimudahkan dalam upaya mencari keadilan itu
6. Terhadap keputusan itu tidak ada upaya sendiri, oleh karenanya sistem pengadilan
hukum terkecuali pembatalan perjanjian. hubungan industrial yang tidak mampu memberikan
Karena konteksnya hasil mediasi itu berupa rasa keadilan bagi pekerja sudah sepatutnya
keputusan yang harus diterapkan oleh para dihapuskan dengan melakukan revisi terhadap
pihak berdasarkan perjanjian antara mediator Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang
dan para pihak sebelumnya. Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial,
7. Keberadaan konsiliator tetap ada apabila yang mana di dalamnya tidak hanya memuat
para pihak menghendakinya, namun apabila penghapusan PHI namun juga menguatkan mediasi
terjadi deadlock harus diselesaikan melalui di bawah naungan Dinas Ketenagakerjaan.
mediasi. Mengingat mediasi dapat Penguatan tersebut dilakukan dengan merevisi
menyelesaikan empat sengketa pasal-pasal yang berkaitan dengan mekanisme dan
ketenagakerjaan. model mediasi dalam Undang-Undang Nomor 2
8. Keberadaan arbitrase tetap ada apabila Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan
sepanjang para pihak bersengketa Hubungan Industrial dan menghapus ketentuan
menghendaki. mengenai Pengadilan Hubungan Industrial. Hal ini
dimaksudkan tidak hanya untuk memperkuat
KESIMPULAN mediasi, namun juga menegaskan konsep
penyelesaian sengketa non litigasi sebagai satu-
Kehadiran Pengadilan Hubungan Industrial satunya mekanisme penyelesaian sengketa bukan
yang diamanatkan UU PPHI tidak mampu hanya prasyarat sebelum jalur litigasi ditempuh
menghadirkan keadilan bagi para pihak yang (jalur litigasi dalam mekanisme ini dihapuskan).
bersengketa, utamanya adalah pekerja yang
memiliki bargaining position sangat lemah. UCAPAN TERIMA KASIH
Keadilan proporsional yang dicitakan menjadi hal
yang semu untuk dicapai. Di sini menunjukkan pula Ucapan terima kasih Penulis sampaikan
kegagalan negara dalam harmonisasi hukum positif kepada Dr. Lanny Ramli, S.H., M.H. atas
mengenai fair trial yang satu dengan yang lainnya, bantuannya dalam memberikan sumbangsih
karena ternyata tidak benar-benar mampu pemikiran dan diskusi perihal mediasi berkaitan
mewujudkan fair trial itu sendiri. Negara dengan penyelesaian perselisihan hubungan
menghadirkan konsep litigasi dalam upaya industrial.
memberikan kepastian namun justru mengabaikan
keadilan di dalamnya. Oleh karenanya penghapusan DAFTAR PUSTAKA
pengadilan hubungan industrial dan menguatkan Ariani, N. V. (2016, September 6). Gugatan
sistem mediasi di bawah naungan Disnaker Sederhana dalam Sistem Peradilan di
merupakan solusi terbaik. Selain menghemat Indonesia. De Jure, 18, 382. doi:10.30641
anggaran yang dulu dialokasikan untuk Baraak, A. (2012). Proportionality: Constitutional
menyelenggarakan peradilan dapat dialokasikan Rights and Their Limitations. Cambridge:
untuk para mediator. Di sisi lain akan sangat Cambridge University Press.
memudahkan pekerja apabila hendak Chen, W. Z. (2015). Mediate First: The Revival of
menyelesaikan sengketanya dengan pengusaha, Mediation in Labour Dispute Resolution in
mengingat tujuan utama dari mediasi adalah China. The China Quartely Journal, 222,
menengahi untuk mencari solusi bersama sebaik 382-383. doi:10.1017/S0305741015000739
mungkin, hal ini dimaksudkan agar para pihak Frandberg, A. (2014). Rechtstaat to Universal Law
benar-benar bisa mendapatkan keadilan yang State. Switzerland: Springer.
diidamkannya. Terlebih hal ini diharapkan menjadi Klaus, S. (1999). Dworkin's Conception of
jalan yang tidak kaku sebagaimana konsep Utilitarianism. Belgia: Faculty of Law
peradilan yang menggunakan hukum acara perdata Leuven Catholic Universiteit.
sebagai pedomannya. Kusumawardhana, I., & Abbas, R. J. (2018,
Desember). Indonesia di Persimpangan:
SARAN Urgensi "Undang-Undang Kesetaraan dan
Keadilan Gender" di Indonesia Pasca
Sebagai negara kesejahteraan, negara harus Deklarasi Bersama Buenos Aires Pada Tahun
memperhatikan sedetail mungkin kebutuhan yang 2017. Jurnal HAM, 9(2), 157.

48
Reformasi Hukum dan Hak Asasi Manusia dalam Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial
Haikal Arsalan, Dinda Silviana Putri

doi:http://dx.doi.org/10.30641/ham.2018.9.1
53-174
Martin C. Euwema, F. M. (2019). Mediation in
Collective Labor Conflicts. Switzerland:
Springer International Publishing.
Marzuki, P. M. (2010). Penelitian Hukum (sixth
ed.). Jakarta, Indonesia: Rencana Prenada
Media Group.
Muhamad Isnu, P. F. (2014). Membaca Pengadilan
Hubungan Industrial di Indonesia. Jakarta:
LBH Jakarta & MaPPI FH UI.
Nurjaya, I. N. (2010). Indonesian Labour Law
Development and Reform: The Years of
Ratifying Fundamental Human Rights as
Defined Within the ILO Core Conventions.
Labour Law and Labour Markets in the New
World Economy (hal. 2). Milan: University of
Milan.
Rapar, J. H. (1991). Filsafat Politik Plato. Jakarta:
Rajawali Press.
Soekanto, P. P. (1993). Perihal Kaidah Hukum.
Bandung: PT Citra Aditya Bakti.
Wasi, R. (2016, Januari). Kajian Ontologis
Lembaga Mediasi di Pengadilan. Yuridika,
31, 125. doi:10.20473

Perundang-undangan
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945, Republik Indonesia, 1945.
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2000 tentang
Serikat Buruh, Republik Indonesia, 2000.
Undang-Undang 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan, Republik Indonesia, 2003.
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang
Penyelesaian Perselisihan Hubungan
Industrial, , Republik Indonesia, 2004.
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1957 tentang
Penyelesaian Perselisihan Perburuhan,
Republik Indonesia, 1957.
Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang
Kekuasaan Kehakiman, Republik Indonesia,
2009.
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang
Hak Asasi Manusia.
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang
Pengesahan International Covenant on Civil
and Political Rights (Kovenan Internasional
tentang Hak-hak Sipil dan Politik).
Peraturan Menteri Tenaga kerja dan Transmigrasi
Nomor 17 Tahun 2014 tentang
Pengangkatan dan Pemberhentian Mediator
Hubungan Industrial dan Tata Cara Mediasi,
Republik Indonesia, 2014.

49

You might also like