Download as pdf or txt
Download as pdf or txt
You are on page 1of 12

1

Fashion Sebagai Identitas Pada Komunitas Punk di Semarang

Rakha Rayhan Ferdiyanto, Sri Budi Lestari


rayhanrakha18@gmail.com

Program Studi S1 Ilmu Komunikasi


Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Diponegoro
Jl. Prof H. Soedarto, S.H Tembalang Semarang Kotak Pos 1269 Telepon (024) 7465407
Faksimile (024) 7465405 E-mail: rayhanrakha18@gmail.com

ABSTRACT

Fashion is one of the ways a person communicates, where fashion can reflect the wearer,
however, this is the case with punk followers. Punk uses fashion as their way of communicating
messages to the public. As a counter-culture or counter-culture to the dominant culture, punk
fights against all establishment shown by the dominant culture through a "different" style of
dress. However, as time went on, the punk community in line with this was reported negatively,
as well as the implementation of misconceptions of meaning by elements in punk who
committed negative actions, so that the name of punk in Indonesia was getting worse, especially
in Semarang City. This study aims to describe the motives of the punk community in fashion,
and how they interpret the fashion worn by using qualitative research methods. This research
shows the critical paradigm with a qualitative descriptive approach. The data technique used
in this study was in-depth interviews with 3 informants. The theory used in this research is the
shared culture theory put forward by Mark Orbe. The results of the study indicate that the three
informants have their own motives in dressing punk, namely selling, and being accepted by
their respective groups. Likewise with what they mean in the punk fashion they wear, namely,
self-expression, positive resistance and music. So that it is found that they have no intention of
fighting against the establishment or other negative things. Through co-cultural theory, it can
also illustrate that the punk community in Semarang does not have the desire or aim to disturb
public order. Instead, they often make various efforts such as charity and voluntary collection
of goods to be given to people in need. These things are done by them with the aim of being
accepted by the community
Keywords : Communication fashion, identity fashion, punk, Semarang

ABSTRAK
Fashion merupakan salah satu cara seseorang dalam berkomunikasi, dimana fashion dapat
merefleksikan pemakainya, demikian halnya dengan para penganut paham punk. Punk
seringkali menggunakan fashion sebagai cara mereka dalam mengkomunikasikan pesan
kepada khayalak. Sebagai budaya tanding atau counter culture terhadap budaya dominan, punk
melawan segala kemapanan yang ditunjukan oleh budaya dominan lewat gaya berbusana yang
“berbeda”. Namun, seiring berjalannya waktu, para komunitas punk ini seringkali diberitakan
negatif, dan juga terjadinya miskonsepsi arti oleh oknum-oknum didalam punk yang
melakukan tindakan negatif, sehingga semakin memperkeruh nama punk di Indonesia,
2

khususnya di Kota Semarang. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan apa yang
menjadi motif para komunitas punk dalam mengenakan fashion, dan bagaimana mereka
memaknai fashion yang dikenakan dengan menggunakan metode penelitian kualitatif.
Penelitian ini merujuk pada paradigma kritis dengan pendekatan deskriptif kualitatif. Teknik
pengumpulan data yang digunakan pada penelitian ini yaitu indepth interview dengan jumlah
informan sebanyak 3 orang. Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah co-cultural
theory yang dikemukakan oleh Mark Orbe. Hasil dari penelitian menunjukkan bahwa ketiga
informan memiliki motifnya masing-masing dalam berpakaian punk yakni, berjualan, dan
diterima dikelompoknya masing-masing. Begitu pula dengan apa yang mereka maknai dalam
fashion punk yang mereka kenakan yakni, ekspresi diri, perlawanan positif dan musik.
Sehingga didapatkan bahwasanya mereka tidak ada maksud ingin melawan kemapanan atau
hal-hal negatif yang meresahkan masyarakat. Melalui teori co-cultural juga dapat
menggambarkan bahwa komunitas punk di Semarang tidak ada keinginan atau bertujuan untuk
mengganggu ketertiban umum. Melainkan mereka seringkali melalukan berbagai upaya seperti
charity dan pengumpulan barang-barang secara sukarela untuk diberikan kepada orang-orang
yang membutuhkan. Hal-hal tersebut dilakukan oleh mereka dengan tujuan untuk dapat
diterima keberadaannya oleh masyarakat.
Kata Kunci: Fashion komunikasi, fashion identitas, punk, Semarang
3

A. PENDAHULUAN ada cenderung dari waktu ke waktu


seolah merupakan budaya yang mapan
Fashion atau cara berpakaian, terkait dan dipatuhi oleh masyarakat umum serta
dengan selera setiap orang yang berbeda- disepakati bersama. Hal-hal itulah yang
beda, tetapi dibalik fashion yang nampaknya ingin mereka tunjukkan
digunakan, memiliki maksud atau makna melalui lahirnya punk. Karena punk
tertentu yang ingin diberikan, dimana merupakan suatu bentuk budaya
fashion itu sendiri dapat dijadikan alat perlawanan kepada budaya dominan
komunikasi oleh beberapa orang berserta (counter culture) (Agger, 2014: 105).
dengan tujuannya masing-masing. Pendapat ini diperkuat oleh Irwan
Menurut Malcolm Barnard (2007:11) Abdullah (2006: 1999) yang mengatakan
kata fashion lahir dari bahasa latin yakni bahwa punk adalah budaya tanding
factio yang mempunyai arti "membuat". (counter culture) untuk melawan budaya
Bisa disimpulkan bahwa fashion adalah dominan. Sehingga punk pada dasarnya
bentuk tindakan yang dilakukan oleh melawan budaya dominan dengan
seseorang dalam konteks untuk berbagai medium, tak terkecuali adalah
melahirkan atau menciptakan sesuatu. fashion. Eksistensi komunitas Punk di
Fashion juga dapat menunjukkan serta Kota Semarang sendiri dapat dilihat di
membuat statement dan nilai sosial atau titik-titik tertentu seperti daerah Simpang
status pada seseorang, maka pakaian dan Lima dan sekitarnya. Gaya berbusana
fashion kerap digunakan untuk yang mereka kenakan, banyak yang
menunjang itu semua. (Lurie dalam The mencirikan seseorang dari komunitas
Language of Clothes, (Barnard, 2011: 39- punk, elemen-elemen fashion punk
40) menunjukkan keyakinannya bahwa seperti celana jeans robek, tattoo, anting,
dalam fashion terdapat analogi langsung. pakaian lusuh, jaket jeans hingga piercing
Ada banyak bahasa busana yang berbeda, hinggap ditubuh mereka. Selain itu,
yang masing-masing memiliki kosakata kegiatan sehari-hari mereka bervariasi,
dan tata bahasanya masing-masing. dimana tidak hanya berkumpul bersama,
Fashion juga dapat memetakan perilaku mereka juga memiliki kegiatannya
sosial dan membentuk serta mengatur masing-masing seperti mengamen di kala
pemakainya secara terus menerus senggang, berjualan hingga aktif dalam
menggunakan fashion tersebut, seingga acara-acara bertemakan punk di
mencerminkan identitas pemakai (Craig Semarang seperti gigs dan acara-acara
dalam Mother Knows, 2006:360). sosial. Komunitas ini sering
Fashion sebagai alat komunikasi juga berkerumunan bak “semut hitam” yang
dapat merefleksikan sebuah gagasan dan sedang bercengkrama, bermain musik,
ideologi dari beberapa orang. Hal ini sampai dengan membuka usaha (baik
sejalan dengan pemikiran dari Umberto secara personal maupun kolektif),
Uco “ I speak through my clothes” ketidakpedulian sosial seolah menjadi
(Ibrahim, 2006:vi), bahwa melalui bagian dari ideologi yang tertanam dalam
pakaian, saya ingin mengatakan sesuatu. benak mereka. Simbol komunikasi yang
Demikian halnya dengan para penganut mereka lakukan juga berbeda dengan
“punk”, yang menjadi perhatian peneliti masyarakat Semarang pada umum nya.
disini, nampaknya mereka ingin Namun, kehadiran mereka seringkali
mengatakan sesuatu dengan dinilai meresahkan warga, hingga Polisi
menggunakan medium fashion. harus merazia komunitas punk yang biasa
memaksa pengguna jalan untuk memberi
Punk hadir sebagai bentuk mereka uang di sekitaran Kota Semarang
perlawanan kepada budaya dominan atau (https://www.ayosemarang.com/read/20
counter culture. Budaya dominan yang
4

20/01/22/51056/meresahkanmasyarakat- kelompok yang ‘brutal’ hanya dari cara


satpol-razia-anak-punk-jalanan.). berpakaian mereka yang dianggap tabu
oleh sebagian besar masyarakat
Indonesia. Salah satu contoh kasus yang
melibatkan anak punk adalah kasus yang
terjadi pada Desember 2011, ketika 65
pemuda punk di Aceh ditangkap setelah
mengikuti acara musik amal untuk yatim
piatu korban Tsunami Aceh, dan menjadi
headline berita internasional, dimana
mereka ditangkap kemudian “dibina”
sesuai dengan budaya yang berlaku di
Aceh, yakni syariah. Mereka digunduli
dan pakaian mereka diganti dengan
seragam
(https://www.vice.com/en_asia/article/m
Gambar 1. Razia anak Punk yang gjpk8/kami-menemui-komunitas-punk-
dilakukan oleh Polisi di Kota Semarang yang-diburu-di-aceh.). Contoh lain
Sumber: ayosemarang.com adalah adanya penolakan dari Pemerintah
Kabupaten Demak terkait kegiatan
Punk merupakan bagian dari apa yang konser yang akan diselenggarakan oleh
disebut sebagai subkultur (kultur yang komunitas Punk.
terdominasi) yang berorientasi sebagai
peta makna dan ideologi yang menjadi Dari kasus-kasus yang telah
pola dalam merespon kondisi struktural diuraikan, semakin menguatkan adannya
dalam masyarakat. Namun, seiring bentuk ketidaksukaan atau suatu
berjalannya waktu, banyak dari anak penolakan yang dilakukan oleh
punk di Kota Semarang yang mengklaim masyarakat dan para aparat kepada
dirinya adalah punk, tidak mengarah ke komunitas punk yang didasarkan pada
ranah yang positif melainkan banyak ke fashion yang mereka gunakan, dan
arah yang negatif sehingga membuat banyaknya “orang-orang” yang
stigma buruk lekat dengan punk beserta berdandan punk tanpa tau makna
dengan fashion nya. Punk diidentikkan sebenarnya dari fashion yang mereka
sebagai tindakan menyimpang atau gunakan. Inilah yang membuat
deviant oleh beberapa orang, khususnya komunitas punk tidak disukai oleh
dari fashion yang mereka gunakan, sebagian besar masyarakat. Punk bukan
sehingga keberadaannya sering hanya fashion, melainkan sebuah gaya
terasingkan dan bahkan dicap kriminal hidup yang mempunyai idealisme
oleh masyarakat. Banyak orang menilai sendiri, komunitas punk seringkali
anak-anak punk sekumpulan urakan, memakai medium fashion untuk
berandalan jalanan, berdandan aneh dan mengungkapkan idealisme, identitas dan
mengganggu kenyamanan dengan jati diri mereka sebagai anak punk,
nongkrong di perempatan jalan sambil dimana dalam fashion mereka
ngamen (John Martono dan Arsita terkandung pesan yang dalam, bukan
Pinandita, 2009:39). Kasus yang terjadi hanya untuk dipakai, namun juga untuk
di Indonesia, komunitas punk seringkali dimaknai arti dan makna dari gaya
diduakan atau bahkan diperlakukan tidak berpakaian tersebut, dimana punk itu
wajar oleh beberapa oknum. Sehingga sendiri menyuarakan perlawanan.
membuat komunitas punk semakin Melalui fashion, mereka ingin
tersudutkan, seakan mereka adalah mempertontonkan ketegasan mereka
5

akan anti kemapanan pada budaya suatu konflik yang terjadi dalam
dominan. Penelitian ini merupakan konteks penelitian ini adalah fashion
penelitian lanjutan terkait fashion anak dari komunitas punk.
punk dari beberapa penelitian
sebelumnya seperti penelitian milik 2. Komunikasi
Arum Sutrisni Putri (2011) “Fashion a. Komunikasi Antarpribadi
punk dan Identitas Remaja”, Rachel Komunikasi antar pribadi
Rouli Inriani (2016) “Analisis Semiotika adalah proses pengiriman dan
Pesan Simbolik Fashion Punk Anggota penerimaan pesan antara dua
Band Marjinal”, dan penelitian milik M individu atau antar individu dalam
Dwiki Ferqutanto (2018) “Representasi kelompok dengan beberapa efek
Budaya Punk Fashion Melalui Jaket dan umpan balik seketika (Devito,
Kulit Ramones Pada Iklan Gudang 1989:4). Sedangkan menurut
Garam Surya Rise and Shine Versi Effendy, komunikasi antar pribadi
Bangkit.”. Sehingga, melalui penelitian adalah komunikasi yang terjalin
ini, penulis berusaha untuk menganalisis antara dua individu, dimana
dorongan apa yang menyebabkan kontak langsung terjadi dalam
komunitas punk ingin memakai fashion bentuk percakapan, bisa langsung
punk, sehingga nantinya dapat di berhadapan muka (face to face)
temukan motif yang mendorong atau bisa melalui media seperti
komnitas punk tersebut untuk telepon (Effendy,1993:61). Pada
mengenakan fashion punk. penelitian ini, didapatkan
informasi-informasi melalui
B. KAJIAN PUSTAKA perseorangan dengan jumlah 3
orang individu, dari berbagai
1. Paradigma Kritis sumber yang dapat membantu
Paradigma krisis digunakan penelitian ini, dimana peneliti
dalam penelitian ini bertujuan unutk menggali informasi kepada
mengungkapkan dan menganalisis individu-individu dari berbagai
realitas sosial dengan mempersoalkan komunitas yang ada di Semarang,
ketimpangan relasi sosial yang ada. dan melakukan komunikasi
Penelitian kritis ditopang oleh langsung terhadap mereka (tatap
perspektif teori kritis dengan asumsi- muka).
asumsi yang dikonstruksinya.
Menurut Littlejohn (dalam Mulyana, b. Komunikasi Antarbudaya
2001: 11), setiap tahap penelitian Komunikasi antarbudaya
memengaruhi dan dipengaruhi tahap terjadi bila produsen pesan adalah
lainnya. Pengamatan antara lain anggota suatu budaya dan
ditentukan oleh teori dan selanjutnya penerima pesannya adalah anggota
teori juga ditentukan oleh perspektif. suatu budaya lainnya (Dedi
Suatu teori dituntut untuk konsisten Mulyana dan Jalaludin Rakhmat,
dengan perspektifnya, dan metode 2005:20). Pada konteks penelitian
serta teknik penelitian harus ini, punk sebagai suatu subculture
konsisten dengan teorinya, dan yang hidup di tengah-tengah
sekaligus juga dengan perspektif budaya dominan yang menjunjung
yang digunakan. Paradigma ini juga adat ketimuran, memiliki pesan-
bertujuan untuk dapat pesan yang ingin disampaikan
menghancurkan mitos yang telah melalui gaya berbusana mereka
berkembang di masyarakat dan yang mencolok dan berbeda
mengungkapkan realitas sosial dari dengan mayoritas lainnya, dimana
6

gaya berbusana mereka kaya akan celana jeans robek-robek yang


makna perlawanan berupa dimaknai sebagai bentuk protes
antikemapanan yang mereka terhadap kondisi masyarakat
tunjukan kepada budaya dominan dominan.
di sekitarnya. Fashion seakan Dalam beberapa hal, fashion
menjadi jembatan komunikasi tidak sekedar berarti simbol penanda
yang terjalin antara punk dengan mode semata, fashion juga simbol
masyarakat, Komunikasi yang gerakan politik kebudayaan tertentu
terjalin diantara keduanya dapat dimana fashion yang berbeda
digambarkan dengan komunikasi menandakan model ideologi yang
antarbudaya, karena adanya aspek- berbeda pula. Dalam hal ini fashion
aspek budaya yang juga digunakan sebagai usaha untuk
berseberangan ikut turut andil mengadopsi identitas dimana
dalam tejadinya interaksi penggunanya memiliki motivasi
komunikasi diantara keduanya. tertentu, seperti ingin dianggap
sebagai bagian dari kelas sosial
3. Fashion tertentu, sehingga motivasi ini
Fashion dapat digunakan mendorong pemilihan pola fashion
sebagai lambang dalam tertentu. Diharapkan dengan fashion
mengekspresikan diri, misalnya tersebut, usahanya untuk
dengan penggunaan jam tangan mengkomunikasikan identitas sesuai
mahal sebagai lambang kemapanan. pilihan dapat diterima oleh
Sebagai contoh, dalam menunjukan lingkungannya (Barata, 2010:49).
bonafiditasnya, para pebisnis lazim Berangkat dari hal tersebut maka ciri
nya akan mengenakan busana khas, kharakteristik dan identitas
lengkap seperti jas dan dasi suatu kelompok budaya dapat
(Mulyana, 2010:11). Pada diungkapkan melalui adanya fashion,
komunikasi non verbal, dalam dengan menggunakan Fashion
mengenakan fashion, kita juga dapat sebagai identitas nya, kelompok
secara sadar memberikan pesan dan sosial dapat menunjukan identitas dan
makna-makna simbolik untuk juga keberadaannya ditengah
mengungkapkan apa yang ingin kita masyarakat
ungkapkan, bisa itu budaya, kritik
sosial, dan kecintaan, dalam hal ini 4. Motif
fashion, pakaian, dan busana Rochman Natawijaya (1980:
merupakan cara yang digunakan 78), Kondisi atau keadaan seseorang
manusia untuk berkomunikasi, bukan atau suatu organisme yang
hanya sesuatu seperti perasaan dan menyebabkan atau kesiapanya untuk
suasana hati tetapi juga nilai-nilai, memulai atau melanjutkan suatu
harapan-harapan dan keyakinan- rangkaian tingkah laku perbuatan
keyakinan kelompok-kelompok disebut dengan motif. Seperti apa
sosial yang diikuti keanggotaanya yang dikatakan oleh Rochman, setiap
(Barnard, 2011:54). Pada penelitian perbuatan yang akan dilakukan oleh
ini, di dalam fashion punk terdapat individu, ada sebuah motif
atribut-atribut yang mempunyai dibelakangnya, dimana hal tersebut
pesan dan makna simbolik, juga diperjelas oleh Sudibyo
contohnya, rambut jambul pendek Setyobroto (1989: 24), bahwa dalam
yaitu bermakna bentuk protes, sepatu memenuhi kebutuhan dalam
boots yang dimaknai sebagai simbol mencapai tujuan tertentu, motif
perlawanan terhadap aparat, dan menjadi sumber penggerak dan
7

pendorong tingkah laku suatu mempunyai penjelasan tersendiri dalam


individu. memaknai gaya busana punk mereka.
Selain itu, Mereka juga berupaya dalam
C. METODE PENELITIAN melurusan pandangan masyarakat
Penelitian ini menggunakan jenis terhadap punk beserta fashion nya.
penelitian deskriptif kualitatif. metode ini Peneliti selanjutnya, membagi
dipakai untuk dapat menggambarkan pembahasan menjadi 3 subbab yakni:
sifat suatu keadaan saat penelitian
berlangsung dan dengan memeriksa 1. Teoritis
sebab-sebab dari suatu gejala tertentu,
dimana metoda tersebut dipakai oleh Terkait motif teoritis, setiap
peneliti untuk mengahasilkan sajian data informan penulis memiliki motif
yang bersifat deskriptif melalui kata-kata yang berbeda dalam pemakaian
dari hasil wawancara dengan informan fashion mulai dari menghasilkan
(Travers dalam Umar, 2005:81). uang dengan cara berjualan hingga
Penentuan subjek penelitian dalam diterima dikelompoknya. Serta
penelitian ini dilakukan secara purposive memandang fashion sebagai media
atau dengan pertimbangan khusus ekspresi diri dan perlawanan positif.
(Sugiyono,2012:126) yaitu indivdu yang Selanjutnya, Sudibyo Setyobroto
mengenakan fashion punk dan individu (1989: 24), menjelaskan bahwa
dengan orientasi berbeda. Penelitian dalam memenuhi kebutuhan dalam
dilaksanakan di Kota Semarang dengan mencapai tujuan tertentu, motif
menggunakan data primer dari hasil menjadi sumber penggerak dan
wawancara dan data sekunder dari data pendorong tingkah laku suatu
dan informasi pendukung lainnya. Data individu. Hal ini sejalan dengan hasil
dalam penelitian dikumpulkan melalui penelitian dimana salah satu informan
teknik in depth interview/wawacara menghasilkan uang dengan cara
mendalam, yaitu proses pencarian berjualan aksesoris fashion punk.
informasi dengan cara tatap muka Informan lain menuturkan bahwa
(Sutopo,2006:72). Analisi data penggunaan fashion punk yang
dilaksanakan menggunakan analisis data dilakukan dirinya bertujuan agar
filling system, yaitu data yang telah lebih mudah diterima dengan tangan
didapatkan yang kemudian dianalisis terbuka oleh teman-teman nya di
dengan membuat suatu kategori-kategori dalam komunitas. Seperti yang
tertentu (Kriyantono, 2006:115) melalui pernah dikatakan oleh Purwanto
tahap transkrip, coding, dan interpretasi (1990:60), bahwa dorongan yang
data. muncul dari dalam diri seseorang
yang melahirkan suatu tindakan
D. PEMBAHASAN disebut dengan motif. Pengenaan
fashion punk yang selama ini
Hasil penelitian menunjukkan adanya dikenakan oleh informan-informan
beberapa motif yang mendorong penulis, juga disebabkan oleh
informan dalam berbusana punk. Namun keinginan mereka pribadi sebagai
dari apa yang ditemukan oleh peneliti, bentuk memaknai gaya berbusananya
menunjukan bahwa mereka memiliki untuk dapat mengekspresikan diri.
motif yang berbeda-beda mengenai Walaupun dirinya mulai mengenal
fashion punk yang dikenakan. Ditemukan punk melalui musik sedari dirinya
pula bagaimana para informan memaknai masih bersekolah, namun dari apa
gaya berbusana punk yang mereka yang peneliti temukan, musik bukan
tampilkan, dimana setiap informan suatu hal yang ia maknai dalam gaya
8

berbusananya. Melainkan dirinya apa yang dilihat dalam


juga ingin mengekspresikan diri lingkungannya, sehingga dirinya
melalui gaya berpakaian yang ia menampilan gaya berbusana musik
tampilkan di depan umum. Mereka punk untuk menunjukan identitasnya.
tidak peduli akan adanya cibiran, Lebih lanjut, mereka hanya ingin
stigma atau label negatif yang memakai fashion punk sebagai gaya
mengarah pada punk beserta dengan berbusana mereka sesuai dengan apa
gaya berpenampilan nya yang menjadi motif dan makna yang
sebagaimana dijelaskan dalam mereka maknai. Selain itu ketiga
pernyataan terkenal Umberto Uco, “ I informan juga berupaya diterima
speak through my clothes” bahwa keberadaaan nya oleh masyarakat.
melalui pakaian, saya ingin Akomodasi berusaha agar para
mengatakan sesuatu (Ibrahim: 2006: anggota kelompok dominan dapat
vi). Barnard, bahwasanya pakaian menerima keberadaan dari anggota
dan busana merupakan salah satu cara co-cultural (Littlejohn, 2012:64).
untuk berkomunikasi, bukan hanya Gaya berbusana yang mereka
mengkomunikasikan perasaan dan kenakan menjadi sebuah ciri khas
suasana hati, tetapi juga nilai-nilai, atau penanda sebuah budaya, melalui
harapan dan keyakinan kelompok- gaya berbusana tersebut informan
kelompok sosial yang diikuti oleh penulis berusaha untuk berkomunkasi
anggotanya (Barnard, 2011:54). dengan khalayak luas. Contohnya
Informan penulis, memaknai gaya adalah informan I yang menjadikan
berbusananya sebagai perlawanan fashion punk sebagai jembatan
positif, perlawanan positif yang mengenalkan barang yang ia jual.
dimaksud oleh informan penulis Seperti yang pernah dikatakan
adalah mengenai isu-isu sosial dan Desmond Morris (dalam Denzin,
lingkungan. 2009:17) pakaian
Penulis menemukan bahwa mengkomunikasikan afiliasi budaya
informan penulis, juga memaknai kita, karena pakaian mempunyai
gaya berbusananya sebagai bentuk perasaan sebagai pajangan budaya
rasa suka nya terhadap musik punk. (cultural display). Informan penulis
Hal tersebut terlihat dari perawakan juga melakukan imitasi terhadap
nya yang seringkali memakai kaos teman-teman punknya dengan motif
bertema band punk dan hal tersebut keduanya dalam berpakaian punk
semakin diperkuat oleh dirinya yang yakni ingin diterima di dalam
mulai mengenal punk melalui musik- kelompoknya. Sehingga untuk
musik bergenre punk, dan mulai mendapatkan identitas yang sama
mengikuti gaya berpakaian melalui dengan teman-teman nya, mereka
teman-temannya. Menurut Hebdige melakukan imitasi terhadap gaya
(dalam Barnard, 1996:45) “Potongan berbusana yang ditampilkan oleh
rambut cepak, kawat gigi, celana teman-teman dari kedua informan.
pendek, kaca mata besar, jeans levis, Diharapkan dengan fashion tersebut,
atau celana gombrong, baju garis- usahanya untuk mengkomunikasikan
garis atau polos, dan sepatu boot identitas sesuai pilihan dapat diterima
berhak tinggi Doctor Martins yang oleh lingkungannya (Barata, 2010:49).
menunjukan orang itu adalah seorang
(skinhead) tahun 1960-an”. Dari apa 2. Praktis
yang dikatakan Hebdige, dapat Hadirnya punk sebagai
dikatakan bahwa informan penulis counter culture terhadap budaya
memaknai punk sebagai musik dari dominan membuat mereka
9

menampilkan fashion yang terkesan masyarakat. Begitu pula yang


mendobrak norma untuk menjadi motif beserta fashion yang
menyuarakan antikemapanan mereka maknai, kedua hal tersebut
terhadap kemapanan yang tidak ada yang berkonotasi negatif.
direpresentasikan oleh masyarakat Maka dari itu, kasus-kasus mengenai
umum sebagai budaya dominan. tindakan-tindakan negatif yang kerap
Sebagai konteks komunikasi diberitakan oleh media yang juga
antarbudaya, meskipun memiliki menyudutkan komunitas punk,
idelogi yang kerap kali berseberangan adalah oknum-oknum yang
dengan budaya dominan, komunitas mengatasnamakan punk tanpa tau apa
punk seringkali melakukan arti menjadi seorang punk sendiri.
komunikasi dengan berbagai upaya Karena dari apa yang ditemukan pada
untuk dapat diterima keberadaannya ketiga informan, tidak ditemukanya
oleh masyarakat. Walaupun para motif, makna, maksud hingga tujuan
informan pada penelitian ini memiliki yang dapat merugikan khalayak
berbagai motif dan makna mengenai umum. Sehingga punk tidak
fashion yang dikenakan, kenyataanya seharusnya dipandang sebelah mata
mereka tetap menjunjung tinggi oleh masyarakat.
norma-norma dalam bermasyarakat,
melalui upaya-upaya yang mereka E. PENUTUP
lakukan, seperti mengadakan charity, 1. Kesimpulan
aksi-aksi sosial hingga bantuan amal, Penulis, berdasarkan hasil
mereka berusaha untuk meluruskan penelitian yang telah didapatkan
pandangan masyarakat mengenai menyimpulkan bahwa, motif dan
punk beserta fashion nya. alasan anak-anak komunitas punk
yang dalam penelitian ini diwakili
3. Sosial oleh beberapa informan yang telah
dipilih oleh penulis terdiri atas motif
Punk sebagai budaya yang berjualan untuk mendapatkan uang
hadir dan hidup di tengah masyarakat, dan motif agar diterima di
tidak jarang melakukan berbagai kelompoknya. Beberapa anak punk
komunikasi dengan masyarakat. yang menjadi informan juga
Namun, pada apa yang seringkali menjelaskan bahwa mereka
diberitakan, punk seakan menjadi memaknai gaya berbusana punk
“penyakit” yang timbul di tengah sebagai wujud ekspresi diri,
hiruk pikuk kehidupan perlawanan positif, dan musik. Punk
bermasyarakat, dimana punk di Indonesia khususnya di Kota
digambarkan sebagai idelogi dan Semarang tidak bertujuan untuk
budaya yang berbahaya bagi menganggu masyarakat dan juga
khalayak, khususnya para remaja. ketertiban umum, dimana ketiga
Pada penelitian ini menggambarkan informan yang peneliti wawancarai
bahwasanya, individu-individu yang mengaku tidak pernah menganggu
tergabung di dalam komunitas dan masyarakat dan ketertiban umum.
berpakaian punk, khususnya Kota Melainkan mereka seringkali
Semarang, tidak memiliki maksud mengadakan berbagai acara yang
atau berkeinginan untuk meresahkan bersifat charity sebagai upaya untuk
dan mengganggu ketertiban umum, meluruskan nama punk dan diterima
dimana pada penelitian ini ketiga keberadaan nya oleh masyarakat.
informan tidak ada yang melakukan
tindakan-tindakan negatif di
10

2. Saran Barnard, Malcolm. 2011. Fashion Sebagai


Berdasarkan hal-hal tersebut, Komunikasi. Yogyakarta : Jalasutra.
diharapkan dapat menjadi sebuah Denzin, Norman K & Yvonna S Lincoln.
acuan bahwa individu-individu 2009. Handbook of Qualitative
punk yang mengerti budaya serta Research. Yogyakarta: Pustaka
fashion punk akan memiliki motif Pelajar.
dan makna yang kuat dalam Effendy, Onong Uchjana. 1993. Ilmu Teori
berbusana punk, ketiga informan dan Filsafat Komunikasi. Bandung:
juga tidak melakukan tindakan- PT. Citra Aditya Bhakti.
tindakan menyimpang yang Eriyanto. 2001. Analisis Wacana, Pengantar
menganggu masyarakat dan Analisis Teks Media. Yogyakarta:
ketertiban umum. Mereka bahkan LKIS.
seringkali mengadakan acara-acara Griffin dkk. 2019. A FIRST LOOK AT
yang bersifat positif guna untuk COMMUNICATION THEORY,
membantu masyarakat sekitar, TENTH EDITION. New York:
dimana hal-hal tersebut dapat McGraw-Hill Education.
menjadi faktor “pembeda” antara Ibrahim, Idy Subandy. 2006. Budaya Populer
individu punk yang asli dan oknum- Sebagai Komunikasi. Yogyakarta:
oknum tidak bertanggung jawab Jalasutra
yang mengatas namakan punk Jenkins, Richard. 2008. Social Identity
Berdasarkan paparan informasi (Third Edition). United Kingdom:
tersebut, masyarakat diharapkan Routledge.
dapat membedakan mana individu Joseph, A, DeVito. 1989. The Interpersonal
punk yang asli dan mana yang Communication Book. Jakarta:
tidak, sehingga diharapkan tidak Professional Book.
adanya lagi diskriminasi dan Kartika, Tina. 2013. Komunikasi
konflik yang terjadi antara Antarbudaya. Bandar Lampung:
masyarakat terhadap kelompok- Lembaga Penelitian Universitas
kelompok punk. Lampung.
Kriyantono, Rahmat. 2006. Teknik Praktis
Riset Komunikasi. Jakarta: PT.
E. REFERENSI Kencana Perdana.
Littlejohn, Stephen W., Karen A. Foss. 2012.
Buku
Teori Komunikasi. Jakarta: Salemba
Abdullah, Irwan. 2006. Dinamika
Humanika.
Masyarakat dan Kebudayaan
Martono, John, Arsita Pinandita. 2009.
Kontemporer. Yogyakarta: TICI
PUNK Fesyen-Subkultur-Identitas.
Publications.
Yogyakarta: Halilintar.
Agger, Ben. 2014. Teori Sosial Kritis.
Martono, John, Arsita Pinandita. 2012. Punk:
Yogyakarta: Kreasi Wacana.
Fesyen Sub kultur Identitas.
Alo Liliweri. 2002. Makna Budaya dalam
Yogyakarta: Halilintar.
Komunikasi Antar Budaya.
Moleong, Lexy. 2007. Metode Penelitian
Yogyakarta: PT. LKiS Pelangi
Kualitatif. Bandung: Remaja Rosda
Aksara.
Karya.
Barnard, Malcolm. 1996. Fashion Sebagai
Mulyana, Deddy. 2001. Metodologi
Komunikasi: Cara
Penelitian Kualitatif: Paradigma
Mengkomunikasikan Identitas
Baru Ilmu Komunikasi dan Ilmu
Sosial, Seksual, Kelas, dan Gender.
Sosial Lainnya. Bandung: Remaja
Bandung: Jalasutra.
Rosdakarya.
Barnard, Malcolm. 2007. Fashion sebagai
Komunikasi. Yogyakarta. Jalasutra
11

Mulyana, Deddy, Jalaluddin Rakhmat. 2005. Jurnal Pengembangan Humaniora,


Komunikasi Antar Budaya. Vol. 14 No. 3, 225-238.
Bandung: Remaja Rosdakarya
Mulyana, Deddy. 2008. Ilmu Komunikasi: Muhammad Fakhran Al-Ramadhan. 2012.
Suatu Pengantar. Bandung: Remaja Punk Di antara Dua Budaya: Kajian Ideologi
Rosdakarya.
Budaya Populer dalam Dinamika
Mulyana, Deddy. 2010. Ilmu Komunikasi
Lokal-Global. Prosiding Seminar
Suatu Pengantar. Bandung :PT
Internasional Multikultural &
Bumi Aksara.
Globalisasi, 55-66.
Natawijaya, Rochman. 1980. Psikologi
Umum dan Sosial. Jakarta : Abadi. Rawlins, E. 2006. Mother knows best?:
Purwanto, N. 1990. Psikologi Pendidikan. Intergenerational notions of fashion and
Bandung: PT Remaja Rosdakarya identity.
Bandung.
Rahardjo, Mudjia. 2018. Paradigma Children’s Geographies, 4(3), 359-
Interpretif. Malang: Universitas 377.
Islam Negeri Maulana Malik
Ibrahim Malang. Saputra, Aditya Oktendy. Memahami Pola
Sanapian, Faisol. 1999. Penelitian Kualitatif Komunikasi Kelompok Antar Anggota
Dasar-Dasar Aplikasi. Malang: Komunitas
IKIP. Punk di Kota Semarang. The
Setyobroto, Sudibyo. 1989. Sikap, Motif dan Messenger, Volume IV No. 1, 43-62.
Konsep Diri. Jakarta : Percetakan
Solo. Setyanto, Daniar Wikan. 2015. Makna dan
Sugiyono. 2012. Metode Penelitian Ideologi Punk. Jurnal Desain
Kuantitatif, Kualitatif Dan Komunikasi Visual & Multimedia,
Kombinasi. Bandung: Alfabeta. Vol.01 No.02, 51-58..
Sugiyono. 2015. Metode Penelitian
Kuantitatif Kualitatif, dan R&D.
Bandung: Alfabeta.
Sutopo. 2006. Metodologi Penelitian Sumber Lain
Kualitatif: Dasar teori dan
Terapannya dalam Penelitian. (https://www.vice.com/id_id/article/ywqj9
Surakarta: Universitas Sebelas b/rambut-adalah-bahasa-tubuh-terkuat-
Maret. yang-kita-miliki)
Umar, Husein. 2005. Metode Penelitian https://www.ayosemarang.com/read/2020/
Untuk Skripsi dan Tesis Bisnis. 01/22/51056/meresahkan-masyarakat-
Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. satpol-razia-anak-punk-jalanan
Jurnal https://www.suaramerdeka.com/smcetak/
Barata, Dion Dewa. 2010. Fashion Sebagai baca/115019/42-anak-punk-terjaring-
Strategi Simbolik Komunikasi Non-Verbal. razia.
Jurnal
Ilmu Komunikasi, Vol. II No. 1, 45- https://www.abc.net.au/radionational/pro
51. grams/archived/360/indonesian-
punks/5909858
Lestari, Sri Budi. 2014. Fashion sebagai
Komunikasi Identitas Sosial di Kalangan https://www.vice.com/en_asia/article/mgj
Mahasiswa. pk8/kami-menemui-komunitas-punk-
yang-diburu-di-aceh
12

https://news.okezone.com/read/2016/06/05 https://kumparan.com/kumparanhits/erix
/512/1406789/nu-tolak-konser-musik- -soekamti-berikan-pendidikan-gratis-
reggae-dan-punk-di-demak lewat-does-university/full
https://mojok.co/terminal/taring-babi-
komunitas-punk-yang-memberi-inspirasi/

You might also like