Professional Documents
Culture Documents
Deteksi Kandungan Rhodamin B Pada Saus Serta Cemaran Boraks Dan Bakteri Salmonella Sp. Pada Cilok Keliling Salatiga
Deteksi Kandungan Rhodamin B Pada Saus Serta Cemaran Boraks Dan Bakteri Salmonella Sp. Pada Cilok Keliling Salatiga
Lusiawati Dewi
lusisantoso@yahoo.com
Fakultas Biologi Universitas Kristen Satya Wacana
ABSTRACT
Borax and rhodamine B are preservative and dye banned to be used in food products. However,
some traders still use borax and rhodamine B to their food and drink products. Cilok is a kind of
food liked by schoolchildren and categorized as street vendor food (PKL). Most of food sold by
street vendor has not touched by strict control from BPOM, so its quality is not good. Pentol cilok
is a food made by starch. It tastes delicious and chewy. Furthermore, it is liked by schoolchildren.
Cilok is also served by adding the sauce in order to make it tastier. It is common to add dye in that
sauce and the dye is not natural dye nor food coloring. In the cilok, the contamination of microbe
especially Salmonella sp. is influenced by unhygienic process. This research aims to find out
borax and Salmonella sp. contamination and also the existence of rhodamine B on the cilok
sauce. The methods used in this research are qualitative, quantitative, and the detection of
Salmonella sp. contamination. The result shows, of the 8 tested samples, 4 samples (sample B, C,
E, and H) contain little amount of borax, the sauce contains no rhodamine B. This can be seen
from Rf value and color reaction test. On the testing of Salmonella sp., there are bacteria before
boiling process (when cilok is still in the form of dough) and there are no bacteria after boiling
and steaming process, so it is safe to be consumed.
69
AGRIC Vol. 28, No. 1 & No.2, Juli & Desember 2016: 69 - 78
70
Deteksi kandungan Rhodamin B pada saus serta cemaran boraks dan bakteriSalmonella Sp. pada Cilok(Ardhikajaya WP. & Lusiawati D.)
1999 (Cahyadi, 2008). Cilok tergolong dalam Adanya kontaminasi bakteri dapat menyebabkan
kategori makanan pedagang kaki lima (PKL). penyakit terutama yang disebabkan oleh
Makanan PKL belum tersentuh pengawasan Salmonella sp. Bakteri ini sering dijadikan
yang ketat oleh BPOM sehingga secara kualitas standar utama kebersihan pangan, karena
tidak terpantau dengan baik. mengindikasikan adanya cemaran-cemaran
bakteri lain yang berpotensi menyebabkan
Dalam penyajiannya, cilok diberi saus tomat
penyakit (Odonkor dkk., 2013). Salmonella sp.
yang akan memberi cita rasa. Akan tetapi
dalam jumlah yang berlebih dapat membahaya-
ternyata masih ada produsen yang sengaja
kan konsumen karena dapat menimbulkan
menambahkan zat warna rhodamin B untuk
infeksi terutama pada cilok yang diedarkan di
produk cabe giling dan saus sebagai pewarna
sekolah maupun tempat-tempat umum. Jumlah
merah dengan alasan warnanya sangat bagus,
yang berlebih dari Salmonella sp. bisa jadi
mudah didapat, dan murah harganya. Sebagian
menunjukkan kurangnya kebersihan dan tingkat
besar produk tersebut tidak mencantumkan
keamanan pangan yang rendah akibat adanya
kode, label, merek, jenis atau data lainnya yang
kontaminasi dalam bahan atau proses yang
berhubungan dengan zat warna tersebut. Para
dilakukan ketika produksi (Mansauda dkk.,
pedagang cabe merah giling menggunakan
2014). Penelitian ini dilakukan dengan tujuan
pewarna untuk memperbaiki warna merah cabe
untuk mengidentifikasi dan menganalisis
giling yang berkurang (menjadi pudar) akibat
cemaran boraks dan cemaran bakteri Salmonella
penambahan bahan campuran seperti wortel dan
sp. pada cilok keliling di Kota Salatiga serta
kulit bawang putih. Rhodamin B merupakan zat
keberadaan rhodamin B pada saus cilok.
warna sintetik yang umum digunakan sebagai
pewarna tekstil. Menurut Peraturan Pemerintah METODE PENELITIAN
RI No. 28, Tahun 2004, rhodamin B merupakan
Waktu dan Tempat Penelitian
zat warna tambahan yang dilarang penggunaannya
dalam produk-produk pangan (SNI, 2004). Penelitian dilakukan pada bulan September
Rhodamin B dapat menyebabkan iritasi saluran sampai November 2016, bertempat di Laboratorium
pernafasan, iritasi kulit, iritasi pada mata, iritasi Mikrobiologi dan Laboratorium Biokimia dan
pada saluran pencernaan, keracunan, dan gang- Biologi Sel Molekuler, Fakultas Biologi,
guan hati. Akan tetapi sampai sekarang kemung- Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga.
kinan masih ada produsen yang menggunakan
Alat dan Bahan
rhodamin B dalam produk makanan dan minum-
an yang dihasilkannya (Lee, 1989). Alat-alat yang digunakan dalam melakukan
penelitian diantaranya adalah alat ukur gelas,
Selain itu, perlu diwaspadai akan kemanan
timbangan analitik, kertas kromatografi, spatula,
pangan dari cilok tersebut, karena biasanya
inkas, buret, statif, inkubator, vortex, hot plate
cilok dijual dalam keadaan terbuka dan dibiarkan
and stirrer, dan autoclave.
dalam waktu yang lama, sehingga memungkin-
kan terjadinya cemaran oleh mikroba. Cemaran Bahan-bahan yang digunakan dalam melakukan
oleh mikroba pada cilok juga dipengaruhi oleh penelitian yaitu sampel cilok dan saus, bleng, kunyit,
sanitasi selama proses pengolahan serta higienis NaOH 0,1 M, air garam, larutan methanol,
dari penjamah makanan. Dalam proses pem- NaOH 10%, HCL 10%, HCL pekat 37%, larutan
buatan cilok, bisa jadi terkontaminasi bakteri garam fisiologis, manitol 0,2 gram, kertas saring,
saat proses pembuatan ataupun saat pemasaran.
71
AGRIC Vol. 28, No. 1 & No.2, Juli & Desember 2016: 69 - 78
fenolftalein, NH4OH 10%, H2SO4 pekat, medium dimasukkan ke dalam erlenmeyer kemudian
Salmonella Shigella Agar (SSA) dan akuades. ditambahkan HCL pekat 37% dan 0,2 gram
manitol. Selanjutnya diberi 2 tetes indikator
Pengambilan Sampel
fenolftalein dan dititrasikan dengan NaOH 0,1
Sampel diambil secara acak di delapan lokasi M. Perubahan warna diamati hingga warna
sekolah yang berbeda-beda. Lokasi sampel berubah menjadi merah muda dan dicatat volume
ditentukan berdasarkan tersedianya penjual yang dibutuhkan. Setelah itu dihitung kadar
cilok keliling yang sering bertempat di Sekolah- boraksnya (Herlich, 1990).
sekolah Dasar dan Menengah di Salatiga.
Uji Kandungan Rhodamin B
Sampel cilok diambil untuk dideteksi ada tidaknya
boraks, rhodamin B dan Salmonella sp. 1. Uji Dugaan Rhodamin B
72
Deteksi kandungan Rhodamin B pada saus serta cemaran boraks dan bakteriSalmonella Sp. pada Cilok(Ardhikajaya WP. & Lusiawati D.)
73
AGRIC Vol. 28, No. 1 & No.2, Juli & Desember 2016: 69 - 78
merah kecoklatan dari reaksi tersebut tidak makanan, boraks akan terserap oleh darah dan
terbentuk. Oleh sebab itu pengujian kualitatif disimpan dalam hati. Boraks didistribusikan
yang terlihat pada tidak menghasilkan warna dalam jaringan tubuh dan dieliminasi melalui urin
merah kecoklatan pada uji tumerik tersebut. selama kurang lebih 13 jam. Dibutuhkan energi
Kebutuhan Boron untuk orang dewasa adalah 523 kJ/mol atau setara dengan 125.520 kcal/
1-2 mg/ hari (Bellittz dkk, 2009). Dosis fatal mol untuk memecah komponen boraks agar
penggunaan boraks adalah 5-20 g/hari (Badan dapat dimetabolisme oleh tubuh atau dibutuhkan
POM, 2002). Sedangkan menurut standar energi sebesar 329,12 kcal/gram boraks. Karena
internasional dosis fatal boraks berkisar 3-6 g/ tidak mudah larut dalam air dan tingginya energi
hari untuk bayi dan anak kecil, untuk orang yang dibutuhkan untuk memecah komponen
dewasa sebanyak 15-20 g/hari (Litovitz et al., boraks, sehingga boraks tersebut bersifat
1998 dalam WHO, 1998). Dalam jumlah banyak kumulatif di dalam tubuh (USDA, 2006). Sisa
boraks menyebabkan demam, anuria, koma, zat kimia yang tidak bisa terurai akan ter-
kerusakan sistem saraf pusat, sianosis, kerusakan akumulasi sebagai bahan tidak bermanfaat yang
ginjal, anemia, muntah, diare, pingsan (Devirian bersifat racun (Saparinto dan Hidayati, 2006).
dan Volpe, 2003). Dari penelitian See (2010)
2. Uji Kandungan Rhodamin B pada Saus
melaporkan bahwa asam borat yang merupakan
Cilok
kandungan dari boraks dapat merusak epithelium
spermagonia dengan menghambat pembentukan Pada uji kandungan rhodamin B, menggunakan
DNA pada sel sperma. uji reaksi warna dan kromatografi kertas untuk
melihat rhodamin B pada saus cilok. Sampel A,
Penggunaan boraks dalam pembuatan makanan
B, F dan G pada reaksi warna diuji dengan
jajanan bertujuan untuk mengawetkan makanan,
pereaksi HCl pekat tidak mengalami perubahan
karena efektif melawan ragi dan bakteri yang
warna, begitu juga dengan penambahan pereaksi
menyebabkan kerusakan pada makanan. Selain
seperti H2SO4 pekat, NaOH 10%, dan NH4OH
itu dapat meningkatkan kekenyalan pada
10% saus tidak mengalami perubahan warna.
makanan sehingga terasa enak dimakan (Janny,
Dari reaksi warna tersebut dapat ditarik
2009). Pada umumnya konsumen akan mencari
kesimpulan bahwa sampel tidak terdeteksi
makanan yang kenyal daripada yang lembek dan
mengandung pewarna Rhodamin B. Sampel C
mudah hancur. Cilok merupakan jenis makanan
dan E hanya berubah warna menjadi merah
basah, menurut penelitian Fitri Eka Lestari, 2009,
muda (H2SO4 pekat) dan untuk sampel D saat
kandungan air cilok yaitu 41%. Jenis-jenis
direaksikan dengan H2SO4 pekat dan HCl pekat
makanan yang kandungan airnya tinggi mudah
maka juga berubah menjadi merah muda. Akan
mengalami kerusakan. Oleh karena itu perlu
tetapi kedua sampel tersebut juga tidak
diberi bahan pengawet. Bahan pengawet yang
mengandung rhodamin B.
biasa digunakan adalah boraks. Penggunaan
boraks pada makanan masih diperbolehkan Pada uji reaksi warna yang terdapat pada Tabel 3,
dengan ketentuan tidak melebihi Accep- semua sampel yang direaksikan tidak menun-
table Daily Intake (ADI). Untuk boraks menurut jukkan kandungan rhodamin B. hal ini dapat
European Food Safety Authority (EFSA 2004) dilihat dari keterangan warna yang disajikan
sebanyak 0,16mg/kgBB/hari (EBA, 2010). pada tabel tersebut. Untuk grafik 1 di atas dapat
dilihat bahwa terdapat beda nyata antara kontrol
Secara umum, boraks diabsorbsi lebih dari 90%
(rhodamin B) dengan sampel A-H. Hal ini mem-
dari dosis yang diberikan melalui oral. Dalam
74
Deteksi kandungan Rhodamin B pada saus serta cemaran boraks dan bakteriSalmonella Sp. pada Cilok(Ardhikajaya WP. & Lusiawati D.)
buktikan bahwa saus yang digunakan pedagang beda-beda, ada yang berwarna merah mencolok
tidak menggunakan pewarna rhodamin B. dan ada juga yang menyajikan saus cilok tusuk
dengan warna merah pudar. Para pedagang
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa saus
umumnya menggunakan ubi merah yang dihalus-
cilok tusuk yang dijual oleh pedagang tidak
kan kemudian ditambahkan maizena sehingga
mengandung zat pewarna yang dilarang oleh
menjadi kental. Warna merah mencolok pada
pemerintah. Berdasarkan wawancara langsung
saus dan makanan jajanan lain yang dijual oleh
dengan para pedagang, pedagang membeli saus
pedagang, bukan berarti semua mengandung zat
di toko lalu ditambahkan dengan garam, vetsin,
pewarna berbahaya yang dilarang oleh pemerin-
bawang merah, dan bawang putih kemudian
tah yaitu rhodamin B. Akan tetapi, walaupun
dicampur dengan air masak, tetapi ada juga
tidak semua makanan jajanan dan saus tomat
pedagang yang membuat/meracik sendiri saus
yang warnanya merah mencolok tidak mengan-
tersebut. Pedagang mulai menyadari bahwa
dung rhodamin B. Masyarakat lebih khususnya
penggunaan rhodamin b pada makanan dalam
anak-anak yang sering jajan sembarangan perlu
waktu yang lama dapat mengakibatkan gangguan
adanya sikap kehati-hatian dalam mengkon-
fungsi hati maupun kanker (Yuliarti, 2007).
sumsi makanan jajanan yang dibeli.
Pedagang yang berjualan menyajikan saus ber-
Sampel NaOH NH4OH 10% H2SO4 Pekat HCL Pekat Nilai Rf Kesimpulan
10%
Nilai Rf
1
0.68
0.8
0.43 0.41
Nilai Rf
Sampel
75
AGRIC Vol. 28, No. 1 & No.2, Juli & Desember 2016: 69 - 78
Tabel 4 Hasil Deteksi Bakteri Salmonella sp. dari Sampel Cilok pada Medium SSA.
Berdasarkan hasil di atas, tidak ditemukan jenis Walaupun pada penelitian Salmonella sp. yang
bakteri Salmonella sp. pada jajanan cilok yang terdeteksi sedikit, namun tetap berpotensi
dijual di sekitar lingkungan SD. Bakteri menyebabkan penyakit karena bakteri tersebut
Salmonella sp merupakan bakteri yang biasa akan berkembang apalagi lingkungan pedagang
mengontaminasi makanan, bakteri ini tumbuh yang kurang bersih. Pada sampel tidak terdapat
optimal pada suhu 37°C. Keberadaan bakteri kontaminasi bakteri Salmonella sp. karena
ini pada makanan dapat disebabkan oleh pen- bakteri tersebut sudah mati pada saat proses
jamah/pengolah yang kurang higienis serta pemanasan dengan suhu tinggi sehingga bakteri
peralatan yang kurang higienis pula. Bakteri ini tidak dapat tumbuh. Dari tabel 4 dapat dipastikan
dapat mengontaminasi makanan baik saat selama bahwa cilok aman dikonsumsi karena sudah
pengolahan maupun saat makanan sudah matang melewati perebusan dan pengukusan yang
karena proses perebusan memakai suhu ±100oC menyebabkan kuman dan bakteri mati. Pedagang
(Matuwo, 2012). namun bisa saja bakteri dapat kaki lima sekarang ini sudah memperhatikan
mengontaminasi lagi setelah makanan tersebut kebersihan, termasuk menyajikan cilok dengan
matang. Hal ini dapat dikarenakan peralatan wadah dalam kondisi tertutup. Selain itu,
yang digunakan untuk menyentuh makanan pedagang juga menyimpan cilok pada risopan
matang kurang bersih, terkena debu, kontak yang selalu dipanaskan guna menghindari
dengan udara kotor, terbawa oleh serangga (lalat kontaminan bakteri. Apabila wadah dibiarkan
dan kecoa) maupun kurang benar dalam menyim- terbuka sangat memungkinkan pertumbuhan
pan makanan (Delost, 2005). Dari uji sampel mikroba patogen, seperti parasit dan bakteri.
yang dilakukan dalam penelitian tidak ditemukan Karena kontaminasi makanan oleh mikroba
adanya bakteri Salmonella sp. yang mengkon- patogen dapat menyebabkan gangguan-gangguan
taminasi jajanan cilok yang siap dikonsumsi. kesehatan pada konsumen. Untuk mengurangi
Menurut Budiono dkk (2012), adanya cemaran resiko infeksi penyakit bagi konsumen, maka
Salmonella sp., tidak selalu akan menimbulkan perlu diperhatikan beberapa hal antara lain
perubahan warna, rasa, dan aroma pada makanan. sanitasi dan higiene makanan serta penyimpanan
Dosis infeksi Salmonella sp. adalah sebesar makanan secara tepat dan benar.
107-109 per gram sampel (Antara dkk, 2008).
76
Deteksi kandungan Rhodamin B pada saus serta cemaran boraks dan bakteriSalmonella Sp. pada Cilok(Ardhikajaya WP. & Lusiawati D.)
77
AGRIC Vol. 28, No. 1 & No.2, Juli & Desember 2016: 69 - 78
Matuwo. 2012. Mikrobiologi pada Daging See, AW et al. 2010. Risk and Health Effect
Ayam.(http://repository.unhas.ac.id/ of Boric Acid. American American Jurnal
bitstream/handle/123456789/1479/ of Applied Sciences, 7 (5): 620-627.
Skripsi.pdf). Diakses tanggal 11 Novem-
SNI. 2004. Saus Tomat. Badan Standarisasi
ber 2016.
Nasional. Jakarta.
Narumi, Hasutji Endah, Zuhriansyah, Imam
USDA. 2006. Human Health and Ecological
Mustofa. 2009. Deteksi Pencemaran
Risk Assessment for Borax (Sporax®)
Bakteri Salmonella sp. Pada Udang
Final Report. Syracuse Environmental
Putih (Panaeus merguiensis) Segar Di
Research Associates Inc., Arlington.
Pasar Tradisional Kotamadya Surabaya.
Jurnal Ilmiah Perikanan dan Kelautan,1 Widyaningsih, T.D. dan Murtini, ES. 2006.
(1): 87-91. Alternatif Pengganti Formalin Pada
Produk Pangan. Trubus Agrisarana.
Odonkor, Stephen T. dan Joseph K. Ampofo.
Jakarta.
2013. Salmonella As An Indicator of
Bacteriological Quality of Water: an Winarno, F.G. dan Sulistiyowati. 1994. Bahan
Overview. Microbiology Research Tambahan Untuk Makanan dan Kon-
2013, 4 (2): 05-11. taminan. Pustaka Sinar Harapan, Jakarta.
Purnomo H dan Rahadiyan D. 2008. Indonesian Yuliarti, N. 2007. Awas Bahaya di Balik
Traditional Meatball. International Lezatnya Makanan. Andi Offset.
Food Research Journal.15 (2): 101-108. Yogyakarta.
***
78