Download as pdf or txt
Download as pdf or txt
You are on page 1of 10

Deteksi kandungan Rhodamin B pada saus serta cemaran boraks dan bakteriSalmonella Sp. pada Cilok(Ardhikajaya WP.

& Lusiawati D.)

Fakultas Pertanian dan Bisnis Universitas Kristen Satya Wacana


Jl. Diponegoro 52-60 SALATIGA 50711 - Telp. 0298-321212 ext 354
email: agric_fpb@yahoo.co.id, website: ejournal.uksw.edu/agric

DETEKSI KANDUNGAN RHODAMIN B PADA SAUS SERTA CEMARAN


BORAKS DAN BAKTERI SALMONELLA SP. PADA CILOK KELILING SALATIGA

THE DETECTION OF RHODAMINE B CONTENT ON THE SAUCE AND THE


CONTAMINATION OF BORAX AND SALMONELLA SP. IN THE CILOK
IN SALATIGA

Ardhikajaya Wahyu Prasetya


Mahasiswa Fakultas Biologi Universitas Kristen Satya Wacana
ardhikajaya3@gmail.com

Lusiawati Dewi
lusisantoso@yahoo.com
Fakultas Biologi Universitas Kristen Satya Wacana

Diterima 17 November 2016, disetujui 5 Desember 2016

ABSTRACT

Borax and rhodamine B are preservative and dye banned to be used in food products. However,
some traders still use borax and rhodamine B to their food and drink products. Cilok is a kind of
food liked by schoolchildren and categorized as street vendor food (PKL). Most of food sold by
street vendor has not touched by strict control from BPOM, so its quality is not good. Pentol cilok
is a food made by starch. It tastes delicious and chewy. Furthermore, it is liked by schoolchildren.
Cilok is also served by adding the sauce in order to make it tastier. It is common to add dye in that
sauce and the dye is not natural dye nor food coloring. In the cilok, the contamination of microbe
especially Salmonella sp. is influenced by unhygienic process. This research aims to find out
borax and Salmonella sp. contamination and also the existence of rhodamine B on the cilok
sauce. The methods used in this research are qualitative, quantitative, and the detection of
Salmonella sp. contamination. The result shows, of the 8 tested samples, 4 samples (sample B, C,
E, and H) contain little amount of borax, the sauce contains no rhodamine B. This can be seen
from Rf value and color reaction test. On the testing of Salmonella sp., there are bacteria before
boiling process (when cilok is still in the form of dough) and there are no bacteria after boiling
and steaming process, so it is safe to be consumed.

Keywords: Cilok, Borax, Rhodamine B, Salmonella sp. contamination.

69
AGRIC Vol. 28, No. 1 & No.2, Juli & Desember 2016: 69 - 78

PENDAHULUAN stabil pada suhu tekanan normal dan bersifat


sangat beracun, sehingga peraturan pangan tidak
Di Indonesia pada umumnya setiap makanan
memperbolehkan penggunaan boraks dalam
dapat dengan leluasa beredar dan dijual tanpa
pangan. Banyak orang yang belum mengetahui
harus terlebih dahulu melalui kontrol kualitas dan
bahaya borak pada makanan yang sering kita
kontrol kesehatan. Salah satu industri yang
konsumsi sehari-hari yang dapat menimbulkan
berkembang secara cepat di Indonesia adalah
dampak buruk, bahkan jika digunakan dalam
industri makanan. Dalam industri makanan harus
waktu yang lama dapat menimbulkan kematian.
ada faktor kualitas pangan yang dikonsumsi.
Masyarakat sekarang ini hanya mengetahui bahwa
Menurut UU No. 7 tahun 1996, menyatakan
makanan yang dibelinya enak dan harganya
bahwa faktor kualitas pangan yang dikonsumsi
murah tanpa mengetahui kandungan zat-zat
harus memenuhi beberapa kriteria, diantaranya
berbahaya yang ada di dalamnya (Winarno,
adalah aman, bergizi, bermutu dan dapat
1994). Penggunaan bahan tambahan pangan
terjangkau oleh daya beli masyarakat. Aman
khususnya boraks perlu diwaspadai oleh produsen
yang dimaksud mencakup bebas dari pen-
maupun konsumen. Seseorang yang meng-
cemaran biologis, mikrobiologi, logam berat dan
konsumsi makanan yang mengandung boraks
pencemaran lain yang dapat mengganggu,
tidak akan langsung mengalami dampak buruk
merugikan dan membahayakan kesehatan manusia
bagi kesehatan, tetapi senyawa tersebut diserap
(Asteriani dkk, 2006).
dalam tubuh secara kumulatif. Selain melalui
Di dalam pengelolaan makanan selalu diusaha- saluran pencernaan, boraks dapat diserap
kan untuk menghasilkan produk makanan yang melalui kulit. Dosis yang cukup tinggi dalam
disukai dan berkualitas baik. Makanan yang tubuh akan menyebabkan munculnya gejala
tersaji harus tersedia dalam bentuk dan aroma pusing, muntah dan kram perut. Pada anak kecil
yang lebih menarik, rasa yang enak, warna dan dan bayi, bila dosis dalam tubuhnya sebanyak 5
konsistensinya baik, dan awet. Untuk mendapat- gram atau lebih dapat menyebabkan kematian,
kan makanan seperti yang diinginkan, maka pada sedangkan untuk orang dewasa kematian terjadi
proses pembuatannya sering dilakukan penam- pada dosis 10 sampai 20 gram (Purnomo, 1998).
bahan “Bahan Tambahan Pangan (BTP)” yang
Cilok adalah makanan ringan menyerupai pentol
disebut zat aktif kimia (food additive) (Widya-
(bulatan) yang terbuat dari tepung kanji, berasa
ningsih dan Murtini, 2006). Penggunaan Bahan
gurih dan kenyal. Awalnya makanan ini merupa-
Tambahan Pangan (BTP) harus sesuai dengan
kan makanan khas dari Jawa Barat, namun
aturan perundang-undangan yang telah ditetap-
sekarang sudah mulai merambah ke daerah-
kan. Peran bahan tambahan pangan (BTP)
daerah lain. Akses yang mudah serta banyaknya
khususnya bahan pengawet menjadi semakin
peminat membuat para pedagang ramai-ramai
penting sejalan dengan kemajuan teknologi
menggunakan bahan tambahan pangan mulai
produksi bahan tambahan pangan sintetis. Bahan
dari yang alami hingga bahan kimia yang dilarang
pengawet umumnya digunakan untuk meng-
penggunaannya seperti boraks. Hal ini bertujuan
awetkan pangan yang sifatnya mudah rusak
untuk mencegah cilok menjadi rusak dan cepat
(Cahyadi, 2008).
basi. Pemerintah telah melarang penggunaan
Bahan pengawet yang sering digunakan di boraks sebagai bahan tambahan makanan melalui
Indonesia yaitu boraks. Boraks adalah senyawa Peraturan Menteri Kesehatan RI No.772/
berbentuk kristal, warna putih, tidak berbau dan Menkes/Per/IX/88 dan No.1168/Menkes/Per/X/

70
Deteksi kandungan Rhodamin B pada saus serta cemaran boraks dan bakteriSalmonella Sp. pada Cilok(Ardhikajaya WP. & Lusiawati D.)

1999 (Cahyadi, 2008). Cilok tergolong dalam Adanya kontaminasi bakteri dapat menyebabkan
kategori makanan pedagang kaki lima (PKL). penyakit terutama yang disebabkan oleh
Makanan PKL belum tersentuh pengawasan Salmonella sp. Bakteri ini sering dijadikan
yang ketat oleh BPOM sehingga secara kualitas standar utama kebersihan pangan, karena
tidak terpantau dengan baik. mengindikasikan adanya cemaran-cemaran
bakteri lain yang berpotensi menyebabkan
Dalam penyajiannya, cilok diberi saus tomat
penyakit (Odonkor dkk., 2013). Salmonella sp.
yang akan memberi cita rasa. Akan tetapi
dalam jumlah yang berlebih dapat membahaya-
ternyata masih ada produsen yang sengaja
kan konsumen karena dapat menimbulkan
menambahkan zat warna rhodamin B untuk
infeksi terutama pada cilok yang diedarkan di
produk cabe giling dan saus sebagai pewarna
sekolah maupun tempat-tempat umum. Jumlah
merah dengan alasan warnanya sangat bagus,
yang berlebih dari Salmonella sp. bisa jadi
mudah didapat, dan murah harganya. Sebagian
menunjukkan kurangnya kebersihan dan tingkat
besar produk tersebut tidak mencantumkan
keamanan pangan yang rendah akibat adanya
kode, label, merek, jenis atau data lainnya yang
kontaminasi dalam bahan atau proses yang
berhubungan dengan zat warna tersebut. Para
dilakukan ketika produksi (Mansauda dkk.,
pedagang cabe merah giling menggunakan
2014). Penelitian ini dilakukan dengan tujuan
pewarna untuk memperbaiki warna merah cabe
untuk mengidentifikasi dan menganalisis
giling yang berkurang (menjadi pudar) akibat
cemaran boraks dan cemaran bakteri Salmonella
penambahan bahan campuran seperti wortel dan
sp. pada cilok keliling di Kota Salatiga serta
kulit bawang putih. Rhodamin B merupakan zat
keberadaan rhodamin B pada saus cilok.
warna sintetik yang umum digunakan sebagai
pewarna tekstil. Menurut Peraturan Pemerintah METODE PENELITIAN
RI No. 28, Tahun 2004, rhodamin B merupakan
Waktu dan Tempat Penelitian
zat warna tambahan yang dilarang penggunaannya
dalam produk-produk pangan (SNI, 2004). Penelitian dilakukan pada bulan September
Rhodamin B dapat menyebabkan iritasi saluran sampai November 2016, bertempat di Laboratorium
pernafasan, iritasi kulit, iritasi pada mata, iritasi Mikrobiologi dan Laboratorium Biokimia dan
pada saluran pencernaan, keracunan, dan gang- Biologi Sel Molekuler, Fakultas Biologi,
guan hati. Akan tetapi sampai sekarang kemung- Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga.
kinan masih ada produsen yang menggunakan
Alat dan Bahan
rhodamin B dalam produk makanan dan minum-
an yang dihasilkannya (Lee, 1989). Alat-alat yang digunakan dalam melakukan
penelitian diantaranya adalah alat ukur gelas,
Selain itu, perlu diwaspadai akan kemanan
timbangan analitik, kertas kromatografi, spatula,
pangan dari cilok tersebut, karena biasanya
inkas, buret, statif, inkubator, vortex, hot plate
cilok dijual dalam keadaan terbuka dan dibiarkan
and stirrer, dan autoclave.
dalam waktu yang lama, sehingga memungkin-
kan terjadinya cemaran oleh mikroba. Cemaran Bahan-bahan yang digunakan dalam melakukan
oleh mikroba pada cilok juga dipengaruhi oleh penelitian yaitu sampel cilok dan saus, bleng, kunyit,
sanitasi selama proses pengolahan serta higienis NaOH 0,1 M, air garam, larutan methanol,
dari penjamah makanan. Dalam proses pem- NaOH 10%, HCL 10%, HCL pekat 37%, larutan
buatan cilok, bisa jadi terkontaminasi bakteri garam fisiologis, manitol 0,2 gram, kertas saring,
saat proses pembuatan ataupun saat pemasaran.

71
AGRIC Vol. 28, No. 1 & No.2, Juli & Desember 2016: 69 - 78

fenolftalein, NH4OH 10%, H2SO4 pekat, medium dimasukkan ke dalam erlenmeyer kemudian
Salmonella Shigella Agar (SSA) dan akuades. ditambahkan HCL pekat 37% dan 0,2 gram
manitol. Selanjutnya diberi 2 tetes indikator
Pengambilan Sampel
fenolftalein dan dititrasikan dengan NaOH 0,1
Sampel diambil secara acak di delapan lokasi M. Perubahan warna diamati hingga warna
sekolah yang berbeda-beda. Lokasi sampel berubah menjadi merah muda dan dicatat volume
ditentukan berdasarkan tersedianya penjual yang dibutuhkan. Setelah itu dihitung kadar
cilok keliling yang sering bertempat di Sekolah- boraksnya (Herlich, 1990).
sekolah Dasar dan Menengah di Salatiga.
Uji Kandungan Rhodamin B
Sampel cilok diambil untuk dideteksi ada tidaknya
boraks, rhodamin B dan Salmonella sp. 1. Uji Dugaan Rhodamin B

Uji Kandungan Boraks Sampel yang telah diencerkan diambil


sebanyak ± 20 ml kemudian ditambahkan larutan
1. Analisis Kualitatif
HCl 10% ± 0,5 ml sampai kondisi asam.
a. Uji nyala Kemudian ditambahkan benang wool (±20 cm)
dan dipanaskan sampai mendidih selama 20
Sampel cilok dipotong kecil-kecil dan dimasukkan menit. Kemudian benang wool diambil dan
ke dalam cawan porselen. Sampel kemudian dicuci sampai bersih. Setelah itu, benang wool
ditetesi dengan larutan methanol dan didiamkan dipotong menjadi 4 bagian. Tiap potongan ditetesi
beberapa saat. Sampel dibakar dengan korek NaOH 10%, HCl pekat, H 2SO 4 pekat dan
api dan diamati nyala apinya. Jika nyala api NH4OH 10%. Apabila mengandung rhodamin
berwarna hijau, maka sampel cilok positif B maka warna akan berubah menjadi jingga
mengandung boraks. (HCl pekat), kuning (H2SO4 pekat), biru (NaOH
b. Uji Tumerik 10%) dan biru (NH4OH 10%).

Kunyit segar diparut dan disaring airnya. 2. Uji Penegasan Rhodamin B


Kemudian kertas saring dicelupkan ke air kunyit
Air hangat dimasukan ke dalam gelas, kemudian
tersebut dan dibolak-balikkan hingga merata
dicampur dengan garam secukupnya (tidak
setelah itu dikeringkan. Sampel cilok ditumbuk
berlebih) dan diaduk. Air hangat yang bercampur
hingga halus lalu ditambahkan akuades dengan
dengan garam didiamkan sampai dingin.
perbandingan 1:1.Setelah itu disaring dan diambil
Digunting kertas kromatografi, kemudian digaris
filtratnya. Filtrat tersebut diteteskan pada kertas
dengan pensil setelah itu diberi setitik sampel
tumerik yang sudah dikeringkan dan diamati
ditengah-tengah kertas sejajar dengan garis
perubahan warnanya. Sebagai kontrol positif
pensil. Kemudian setelah air yang bercampur
(adanya boraks), 1 sendok bleng dilarutkan ke
garam dingin, kertas kromatografi yang ditetesi
dalam air lalu diteteskan ke kertas tumerik
sampel tersebut dimasukan ke dalam air dengan
tersebut (berubah menjadi merah jingga).
batas garis di atas air (garis tidak terkena air).
2. Analisis Kuantitatif
Deteksi Cemaran Salmonella sp.
Sebanyak 10 gram sampel diabukan hingga
Sampel cilok ditumbuk halus lalu dimasukkan
kering lalu diberi akuades. Kemudian disaring
ke dalam garam fisiologis. Larutan suspensi
untuk diambil filtratnya. Sebanyak 15 ml filtrat
diambil sebanyak 0,2 ml dengan pengulangan 3

72
Deteksi kandungan Rhodamin B pada saus serta cemaran boraks dan bakteriSalmonella Sp. pada Cilok(Ardhikajaya WP. & Lusiawati D.)

kali. Kemudian, larutan suspensi tersebut sampel D : SDN Noborejo 01;


ditaburkan pada permukaan medium spesifik sampel E : SDN Mangunsari 05;
Salmonella Shigella Agar (SSA) dan diratakan sampel F : SDN Kutowinangun 01;
menggunakan batang L (drigalski) steril. Setiap sampel G : SDN Dukuh 01;
akan meratakan larutan suspensi yang ditabur, sampel H : SDN Kalibening
batang L harus dicelupkan ke dalam alkohol 96%,
Tabel 1 Hasil Uji Nyala dan Tumerik Kandungan
kemudian dibakar dengan bunsen, dan ditunggu Boraks pada Cilok
beberapa saat hingga batang L tidak terlalu
Sampel Uji Nyala Uji Tumerik
panas. Setelah seri pengeceran diinokulasikan A Kuning Warna kuning ( -)
pada medium SSA, medium diinkubasi pada suhu B Kuning Warna kuning ( -)
37 oC selama 24-48 jam. Deteksi cemaran C Kuning Warna kuning ( -)
bakteri Salmonella sp. dilihat dari ada (+) atau D Kuning Warna kuning ( -)
E Kuning Warna kuning ( -)
tidak ada (-) pertumbuhan bakteri tersebut pada
F Kuning Warna kuning ( -)
medium spesifik. Jika tumbuh koloni yang diduga
G Kuning Warna kuning (-)
Salmonella sp., koloni tersebut tidak akan H Kuning Warna kuning ( -)
berwarna (colorless) dengan inti hitam besar di Bleng (Kontrol) Hijau Warna merah kecoklatan
tengah (Narumi dkk., 2009). (+)
Keterangan: - : tidak mengandung boraks
Analisis Data + : mengandung boraks

Data yang diperoleh akan dianalisis menggunakan


Dari tabel 2 di bawah ini dapat dilihat bahwa
analisis deskriptif dengan perlakuan 8 sampel
terdapat 4 sampel yang mengandung kadar
dan ulangan tiga kali. Data yang sudah diolah boraks. Yaitu sampel B (0,22 ppm), sampel C
kemudian dinilai kuantitas kandungan boraks, (0,14 ppm), sampel E (0,29 ppm) dan sampel H
kualitas rhodamin B ada atau tidaknya (0,09 ppm).
Salmonella sp., serta disajikan dalam bentuk
tabel, narasi dan deskriptif. Tabel 2 Analisis Kadar Kandungan
Boraks yang Diperiksa
HASIL DAN PEMBAHASAN Kadar Boraks
Sampel
(ppm)
1. Uji Kandungan Boraks
B 0,22
Hasil dari uji nyala dan uji tumerik pada delapan C 0,14
sampel yang diteliti dengan metode tersebut dari E 0,29
seluruh kecamatan di Salatiga semuanya tidak H 0,09

terlihat adanya boraks. Oleh karena itu, pengujian


Uji kualitatif pada Tabel 1 tidak terlalu terlihat
dilanjutkan dengan uji kuantitatif dengan metode
terutama uji tumerik, hal ini dikarenakan kunyit
titrasi untuk mendeteksi kadar kandungan
hanya dapat mendeteksi minimal 200 ppm boraks
boraks. Sampel A-H diambil dari pedagang yang
begitu juga dengan uji nyala. Sedangkan dari hasil
sering berjualan di sekolah-sekolah tersebut.
analisis kuantitatif yang diujikan terdapat 4
Berikut ini daftar sekolah yang diambil
sampel yang mengandung sedikit boraks (di
sampelnya:
bawah 200 ppm). Jika ikatan yang terjadi antara
Sampel A : SDN 03/10 Salatiga;
kurkumin dengan asam borat kurang kuat, maka
sampel B : SDN Kauman Kidul;
senyawa rososianin yang menghasilkan warna
sampel C : SDN LEDOK 02;

73
AGRIC Vol. 28, No. 1 & No.2, Juli & Desember 2016: 69 - 78

merah kecoklatan dari reaksi tersebut tidak makanan, boraks akan terserap oleh darah dan
terbentuk. Oleh sebab itu pengujian kualitatif disimpan dalam hati. Boraks didistribusikan
yang terlihat pada tidak menghasilkan warna dalam jaringan tubuh dan dieliminasi melalui urin
merah kecoklatan pada uji tumerik tersebut. selama kurang lebih 13 jam. Dibutuhkan energi
Kebutuhan Boron untuk orang dewasa adalah 523 kJ/mol atau setara dengan 125.520 kcal/
1-2 mg/ hari (Bellittz dkk, 2009). Dosis fatal mol untuk memecah komponen boraks agar
penggunaan boraks adalah 5-20 g/hari (Badan dapat dimetabolisme oleh tubuh atau dibutuhkan
POM, 2002). Sedangkan menurut standar energi sebesar 329,12 kcal/gram boraks. Karena
internasional dosis fatal boraks berkisar 3-6 g/ tidak mudah larut dalam air dan tingginya energi
hari untuk bayi dan anak kecil, untuk orang yang dibutuhkan untuk memecah komponen
dewasa sebanyak 15-20 g/hari (Litovitz et al., boraks, sehingga boraks tersebut bersifat
1998 dalam WHO, 1998). Dalam jumlah banyak kumulatif di dalam tubuh (USDA, 2006). Sisa
boraks menyebabkan demam, anuria, koma, zat kimia yang tidak bisa terurai akan ter-
kerusakan sistem saraf pusat, sianosis, kerusakan akumulasi sebagai bahan tidak bermanfaat yang
ginjal, anemia, muntah, diare, pingsan (Devirian bersifat racun (Saparinto dan Hidayati, 2006).
dan Volpe, 2003). Dari penelitian See (2010)
2. Uji Kandungan Rhodamin B pada Saus
melaporkan bahwa asam borat yang merupakan
Cilok
kandungan dari boraks dapat merusak epithelium
spermagonia dengan menghambat pembentukan Pada uji kandungan rhodamin B, menggunakan
DNA pada sel sperma. uji reaksi warna dan kromatografi kertas untuk
melihat rhodamin B pada saus cilok. Sampel A,
Penggunaan boraks dalam pembuatan makanan
B, F dan G pada reaksi warna diuji dengan
jajanan bertujuan untuk mengawetkan makanan,
pereaksi HCl pekat tidak mengalami perubahan
karena efektif melawan ragi dan bakteri yang
warna, begitu juga dengan penambahan pereaksi
menyebabkan kerusakan pada makanan. Selain
seperti H2SO4 pekat, NaOH 10%, dan NH4OH
itu dapat meningkatkan kekenyalan pada
10% saus tidak mengalami perubahan warna.
makanan sehingga terasa enak dimakan (Janny,
Dari reaksi warna tersebut dapat ditarik
2009). Pada umumnya konsumen akan mencari
kesimpulan bahwa sampel tidak terdeteksi
makanan yang kenyal daripada yang lembek dan
mengandung pewarna Rhodamin B. Sampel C
mudah hancur. Cilok merupakan jenis makanan
dan E hanya berubah warna menjadi merah
basah, menurut penelitian Fitri Eka Lestari, 2009,
muda (H2SO4 pekat) dan untuk sampel D saat
kandungan air cilok yaitu 41%. Jenis-jenis
direaksikan dengan H2SO4 pekat dan HCl pekat
makanan yang kandungan airnya tinggi mudah
maka juga berubah menjadi merah muda. Akan
mengalami kerusakan. Oleh karena itu perlu
tetapi kedua sampel tersebut juga tidak
diberi bahan pengawet. Bahan pengawet yang
mengandung rhodamin B.
biasa digunakan adalah boraks. Penggunaan
boraks pada makanan masih diperbolehkan Pada uji reaksi warna yang terdapat pada Tabel 3,
dengan ketentuan tidak melebihi Accep- semua sampel yang direaksikan tidak menun-
table Daily Intake (ADI). Untuk boraks menurut jukkan kandungan rhodamin B. hal ini dapat
European Food Safety Authority (EFSA 2004) dilihat dari keterangan warna yang disajikan
sebanyak 0,16mg/kgBB/hari (EBA, 2010). pada tabel tersebut. Untuk grafik 1 di atas dapat
dilihat bahwa terdapat beda nyata antara kontrol
Secara umum, boraks diabsorbsi lebih dari 90%
(rhodamin B) dengan sampel A-H. Hal ini mem-
dari dosis yang diberikan melalui oral. Dalam

74
Deteksi kandungan Rhodamin B pada saus serta cemaran boraks dan bakteriSalmonella Sp. pada Cilok(Ardhikajaya WP. & Lusiawati D.)

buktikan bahwa saus yang digunakan pedagang beda-beda, ada yang berwarna merah mencolok
tidak menggunakan pewarna rhodamin B. dan ada juga yang menyajikan saus cilok tusuk
dengan warna merah pudar. Para pedagang
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa saus
umumnya menggunakan ubi merah yang dihalus-
cilok tusuk yang dijual oleh pedagang tidak
kan kemudian ditambahkan maizena sehingga
mengandung zat pewarna yang dilarang oleh
menjadi kental. Warna merah mencolok pada
pemerintah. Berdasarkan wawancara langsung
saus dan makanan jajanan lain yang dijual oleh
dengan para pedagang, pedagang membeli saus
pedagang, bukan berarti semua mengandung zat
di toko lalu ditambahkan dengan garam, vetsin,
pewarna berbahaya yang dilarang oleh pemerin-
bawang merah, dan bawang putih kemudian
tah yaitu rhodamin B. Akan tetapi, walaupun
dicampur dengan air masak, tetapi ada juga
tidak semua makanan jajanan dan saus tomat
pedagang yang membuat/meracik sendiri saus
yang warnanya merah mencolok tidak mengan-
tersebut. Pedagang mulai menyadari bahwa
dung rhodamin B. Masyarakat lebih khususnya
penggunaan rhodamin b pada makanan dalam
anak-anak yang sering jajan sembarangan perlu
waktu yang lama dapat mengakibatkan gangguan
adanya sikap kehati-hatian dalam mengkon-
fungsi hati maupun kanker (Yuliarti, 2007).
sumsi makanan jajanan yang dibeli.
Pedagang yang berjualan menyajikan saus ber-

Tabel 3 Hasil Analisis Rhodamin B Saus Cilok

Sampel NaOH NH4OH 10% H2SO4 Pekat HCL Pekat Nilai Rf Kesimpulan
10%

Rhodamin B Biru Biru Kuning Jingga 0,68 Positif (+)


Saus A Bening Bening Bening Bening 0,38 Negatif (-)
Saus B Bening Bening Bening Bening 0,40 Negatif (-)
Saus C Bening Bening Merah muda Bening 0,43 Negatif (-)
Saus D Bening Bening Merah muda Merah muda 0,26 Negatif (-)
Saus E Bening Bening Merah muda Bening 0,41 Negatif (-)
Saus F Bening Bening Bening Kuning 0,29 Negatif (-)
Saus G Bening Bening Bening Kuning 0,24 Negatif (-)
Saus H Bening Merah Muda Merah Muda Bening 0,32 Negatif (-)

Nilai Rf
1
0.68
0.8
0.43 0.41
Nilai Rf

0.6 0.38 0.4


0.29 0.32
0.26 0.24
0.4
0.2
0

Sampel

Grafik 1 Nilai Rf Pada Sampel

75
AGRIC Vol. 28, No. 1 & No.2, Juli & Desember 2016: 69 - 78

Tabel 4 Hasil Deteksi Bakteri Salmonella sp. dari Sampel Cilok pada Medium SSA.

Sebelum Direbus Setelah Direbus


No Sampel
U1 U2 U3 U1 U2 U3
1 A + + + - - -
2 B + + - - - -
3 C + + - - - -
4 D + - - - - -
5 E + + - - - -
6 F + - - - - -
7 G + + + - - -
8 H + - - - - -
Keterangan: +: positif ada Salmonella sp. -: negatif tidak ada Salmenella sp.

Berdasarkan hasil di atas, tidak ditemukan jenis Walaupun pada penelitian Salmonella sp. yang
bakteri Salmonella sp. pada jajanan cilok yang terdeteksi sedikit, namun tetap berpotensi
dijual di sekitar lingkungan SD. Bakteri menyebabkan penyakit karena bakteri tersebut
Salmonella sp merupakan bakteri yang biasa akan berkembang apalagi lingkungan pedagang
mengontaminasi makanan, bakteri ini tumbuh yang kurang bersih. Pada sampel tidak terdapat
optimal pada suhu 37°C. Keberadaan bakteri kontaminasi bakteri Salmonella sp. karena
ini pada makanan dapat disebabkan oleh pen- bakteri tersebut sudah mati pada saat proses
jamah/pengolah yang kurang higienis serta pemanasan dengan suhu tinggi sehingga bakteri
peralatan yang kurang higienis pula. Bakteri ini tidak dapat tumbuh. Dari tabel 4 dapat dipastikan
dapat mengontaminasi makanan baik saat selama bahwa cilok aman dikonsumsi karena sudah
pengolahan maupun saat makanan sudah matang melewati perebusan dan pengukusan yang
karena proses perebusan memakai suhu ±100oC menyebabkan kuman dan bakteri mati. Pedagang
(Matuwo, 2012). namun bisa saja bakteri dapat kaki lima sekarang ini sudah memperhatikan
mengontaminasi lagi setelah makanan tersebut kebersihan, termasuk menyajikan cilok dengan
matang. Hal ini dapat dikarenakan peralatan wadah dalam kondisi tertutup. Selain itu,
yang digunakan untuk menyentuh makanan pedagang juga menyimpan cilok pada risopan
matang kurang bersih, terkena debu, kontak yang selalu dipanaskan guna menghindari
dengan udara kotor, terbawa oleh serangga (lalat kontaminan bakteri. Apabila wadah dibiarkan
dan kecoa) maupun kurang benar dalam menyim- terbuka sangat memungkinkan pertumbuhan
pan makanan (Delost, 2005). Dari uji sampel mikroba patogen, seperti parasit dan bakteri.
yang dilakukan dalam penelitian tidak ditemukan Karena kontaminasi makanan oleh mikroba
adanya bakteri Salmonella sp. yang mengkon- patogen dapat menyebabkan gangguan-gangguan
taminasi jajanan cilok yang siap dikonsumsi. kesehatan pada konsumen. Untuk mengurangi
Menurut Budiono dkk (2012), adanya cemaran resiko infeksi penyakit bagi konsumen, maka
Salmonella sp., tidak selalu akan menimbulkan perlu diperhatikan beberapa hal antara lain
perubahan warna, rasa, dan aroma pada makanan. sanitasi dan higiene makanan serta penyimpanan
Dosis infeksi Salmonella sp. adalah sebesar makanan secara tepat dan benar.
107-109 per gram sampel (Antara dkk, 2008).

76
Deteksi kandungan Rhodamin B pada saus serta cemaran boraks dan bakteriSalmonella Sp. pada Cilok(Ardhikajaya WP. & Lusiawati D.)

KESIMPULAN Devirian, TA and Volpe, SL. 2003. The Physio-


logical Effect of Dietary Born. Crit. Rev.
Semua sampel cilok pada uji kualitatif tidak Food Sci and Nutr. 43(2) : 219-31.
terlihat adanya boraks, akan tetapi saat diuji
EBA. 2010. European Borates Association
kuantitatifnya terdapat 4 sampel yang mengandung
Comments on Annex (Hazard Assess
sedikit boraks. Selain itu saus yang dipakai juga
ment) of A n n e x X V D o s s i ers:
tidak terdapat rhodamin B karena pedagang
Prop os al F or I de nt i f i c at i o n of a
pada umumnya menggunakan bahan-bahan Substance as a CMR Cat 1 or 2, vPvB
yang tidak berbahaya. Bakteri Salmonella sp. or a Substance of ab Equivalent Level
pada cilok juga aman dikonsumsi karena tidak of Concern; Disodium Tetraborate,
adanya bakteri pada saat diuji ke medium SSA. Ahydrous; Proposal forIdentification of
a Substance as Substance of Very High
DAFTAR PUSTAKA
Concern (SVHC) Boric Acid.European
Asteriani, Elmatris dan Endrinaldi. 2006. Analisis Borates Association A.I.S.B.L.
Kandungan Boraks dalam Mie Basah
Herlich, K. 1990. Officials Methods of
yang Beredar di Kota Makassar. Jurnal
Analysis of The Association of Official
Chemica 11(1). Hal. 57-64.
Analytical Chemists. Edisi 15. Station
Antara, Nyoman Semadi, Ida Bagus Djaya Washington. DC. AOAC Inc.
Utama Dauh, Ni Made Ita Seri Utami.
Litovitz, T. L., W. K. Schwartz, G. M. Oderda
2008. Tingkat Cemaran Bakteri Coliform,
and B. F. Schmitz. 1998. Clinical
Salmonella sp., dan Staphylococcus aureus
Manifertations of Toxicity in a Series
Pada Daging Babi. Jurnal Agrotekno,
of 784 Borac Acid Ingestion. American
Volume (14 (2): 51-55.
Journal Emergency Medical 6. 209-215
BPOM. 2002. Informasi Pengamanan Bahan
Sujaya, I Nengah. 2009. Pembinaan Pedagang
Berbahaya: Boraks (Borax). Direktorat
Makanan Kaki Lima untuk Meningkat-
Pengawasan Produk dan Bahan Berbahaya,
kan Higiene dan Sanitasi Pengolahan
Deputi Bidang Pengawasan Keamanan
dan Penyediaan Makanan di desa
Pangan dan Bahan Berbahaya. Jakarta
Penatih. Denpasar Timur.
Bellittz HD, Grosch V, Chieberle P. 2009. Food
Janny .2009. Boric Acid and Borax in Food.
Chemistry. Edisi 4.Berlin: Spinger.
(http://www.cfs. gov.hkenglishmultime
Budiono, Hendra, Harlis, Retni, S. Budiarti. 2012. diamultimedia_pubmultimedia_pub_f sf_37_
Analisis Ambang Batas Escherichia coli 01. html). Diakses 11 November 2016.
Sebagai Indikator Pencemaran Pada
Lee, D., 1989. Rhodamine B. (http://
Daging Sapi di Rumah Pemotongan
www.osha.gov/dtssltc/methods/partial/
Hewan Kota Jambi. Jurnal Biospecies, 5
pv2072/pv2072.html). Diakses 11
(1): 14-21
November 2016.
Cahyadi, W. 2008. Analisis dan Aspek
Mansauda KLR, Fatimawati dan Kojong N.
Kesehatan Bahan Tambahan Pangan.
2014. Analisis Cemaran Bakteri
Edisi 2 Cetakan I. Bumi Aksara. Jakarta
Coliform pada Saus Tomat Jajanan
Delost, MD. 2005. Introduction to Diagnostic Bakso Tusuk yang Beredar di Manado.
Microbiology for The Laboratory Jurnal Ilmiah Farmasi Universitas Sam
Science. Jones and Bartlett Learning: Ratulangi. Vol 3 (2): 110.
Burlington. 54 : 212-213.

77
AGRIC Vol. 28, No. 1 & No.2, Juli & Desember 2016: 69 - 78

Matuwo. 2012. Mikrobiologi pada Daging See, AW et al. 2010. Risk and Health Effect
Ayam.(http://repository.unhas.ac.id/ of Boric Acid. American American Jurnal
bitstream/handle/123456789/1479/ of Applied Sciences, 7 (5): 620-627.
Skripsi.pdf). Diakses tanggal 11 Novem-
SNI. 2004. Saus Tomat. Badan Standarisasi
ber 2016.
Nasional. Jakarta.
Narumi, Hasutji Endah, Zuhriansyah, Imam
USDA. 2006. Human Health and Ecological
Mustofa. 2009. Deteksi Pencemaran
Risk Assessment for Borax (Sporax®)
Bakteri Salmonella sp. Pada Udang
Final Report. Syracuse Environmental
Putih (Panaeus merguiensis) Segar Di
Research Associates Inc., Arlington.
Pasar Tradisional Kotamadya Surabaya.
Jurnal Ilmiah Perikanan dan Kelautan,1 Widyaningsih, T.D. dan Murtini, ES. 2006.
(1): 87-91. Alternatif Pengganti Formalin Pada
Produk Pangan. Trubus Agrisarana.
Odonkor, Stephen T. dan Joseph K. Ampofo.
Jakarta.
2013. Salmonella As An Indicator of
Bacteriological Quality of Water: an Winarno, F.G. dan Sulistiyowati. 1994. Bahan
Overview. Microbiology Research Tambahan Untuk Makanan dan Kon-
2013, 4 (2): 05-11. taminan. Pustaka Sinar Harapan, Jakarta.

Purnomo H dan Rahadiyan D. 2008. Indonesian Yuliarti, N. 2007. Awas Bahaya di Balik
Traditional Meatball. International Lezatnya Makanan. Andi Offset.
Food Research Journal.15 (2): 101-108. Yogyakarta.

Saparinto, C dan Hidayati, D. 2006. Bahan


Tambahan Pangan. Penerbit: Kanisius,
Yogyakarta.

***

78

You might also like