Pola Pengembangan Berkelanjutan Sdi Layang

You might also like

Download as pdf or txt
Download as pdf or txt
You are on page 1of 497

i

POLA PENGEMBANGAN BERKELANJUTAN


SUMBERDAYA IKAN LAYANG (Decapterus spp)
DI PERAIRAN MALUKU UTARA

IRHAM

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2009
ii

PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN


SUMBER INFORMASINYA

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Pola Pengembangan


Berkelanjutan Sumberdaya Ikan Layang (Decapterus spp) di Perairan Maluku
Utara adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum
diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Bogor, Mei 2009

Irham
C461060071
iii

ABSTRACT

IRHAM. Sustainable Development Pattern of Scad Resources (Decapterus spp) in


North Maluku Waters. Under the direction of SUGENG HARI WISUDO, JOHN
HALUAN and BUDY WIRYAWAN.
The potential of scad resources in North Maluku waters is expected to be
abundant with the utilization level considered as developing, however, specifically
there is different fishing stress on scad resources. The objectives of the research
are: 1) to determine the main priority for scad fishing technology based on
biological, technical, social, economic, and environmentally friendly aspects; 2) to
determine the optimization of scad fishery management; 3) to determine
biological characteristics of scad (Decapterus macarelluas) based on fish
population parameter approach; 4) to determine minimum net mesh size of the
selected fishing gear; 5) to determine the pattern of fishing season and the impact
on catch of scad; and 6) to arrange the sustainable development pattern of scad
resources in North Maluku waters. The research used survey and observation
method. The method applied in the analysis was scoring and value function,
Gordon-Schaefer model on sustainable production function and bio-economy,
Linear Goal Programming model, fish population parameter analysis, simple
linear regression analysis, moving average method, and descriptive model. Result
showed that scad fishing technology that is appropriate to be developed is mini
purse seine. Estimation of scad catch result optimum value is 19.754, 248 ton per
year with optimum catch effort is 28.135 mini purse seine standard trip, and thus
the maximum profit obtained is Rp. 90.717.199.850,00. The allocation of
recommended mini purse seine fishing unit is 202 units that employ around 2626
fishermen. The analysis of several scad (Decapterus macerellus) population
parameters resulted faster growth of female scad compare to the male and both
reached maximum length in the age of 4 years. Scad growth characteristic is
“Alometric minor”, which means that the growth of its body length is faster than
its weight. Scad caught was dominated by immature gonad. The highest amount
of mature gonad scad was found in March and the size at first gonad maturity is
reached at 25,8 cm total length. The spawning period is during April/May.
Fecundity obtained is around 28875-84000 with the total length vary from 268-
310 mm. The amount of egg is highly influenced by the fish’s total length. The
pattern of fishing season is following the scad’s abundance pattern. The peaks of
scad fishing season occurs in March-October with the highest point reached in
August. While fishing ground December – February indicated by lowest catch.
Catch area and scad fishing season in various waters in North Maluku covers: (1)
the center part of North Maluku, with fishing season from February -May and July
- September; (2) southern part of North Maluku with fishing season from April -
October; and (3) northern part of North Maluku with fishing season from April -
September. A sustainable development pattern of scad resources in North Maluku
waters has been arranged, which covers 5 components: Selected scad fishing
technology, optimization of scad fishery management, scad biology, minimum
mesh size of chosen fishing gear, and the pattern of fishing season.

Key word: development pattern, scad, fishing technology, North Maluku waters.
iv

RINGKASAN
IRHAM. Pola Pengembangan Berkelanjutan Sumberdaya Ikan Layang
(Decapterus spp) di Perairan Maluku Utara. Dibimbing oleh SUGENG HARI
WISUDO, JOHN HALUAN, dan BUDY WIRYAWAN.

Potensi sumberdaya ikan layang di perairan Maluku Utara diduga cukup


melimpah dengan tingkat pemanfaatannya dalam tahap berkembang, namum
secara spesifik kondisi yang terjadi adalah tekanan penangkapan yang berbeda
terhadap jenis sumberdaya ikan layang. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor
antara lain: (1) jenis ikan tersebut mudah ditangkap oleh nelayan dengan
menggunakan beragam jenis alat tangkap (2) umumnya berada pada daerah
operasi penangkapan yang terbatas (inshore atau artisanal fishery) (3) minat
masyarakat untuk mengkonsumsi jenis ikan tersebut cukup tinggi, dan (4)
memiliki permintaan pasar yang relatif tinggi, baik pasar interinsuler maupun
pasar ekspor. Tujuan dari penelitian ini adalah: 1) menentukan prioritas utama
teknologi penangkapan ikan layang berdasarkan kriteria aspek biologi, teknis,
sosial dan ekonomi dan keramahan lingkungan; 2) menentukan optimalisasi
pengelolaan perikanan ikan layang; 3) menentukan karakteristik biologi ikan
layang yang dominan tertangkap berdasarkan pendekatan beberapa parameter
populasi ikan; 4) menentukan ukuran mata jaring minimum terhadap alat tangkap
terpilih dalam pemanfaatan sumberdaya ikan layang; 5) menentukan pola musim
penangkapan dan pengaruhnya terhadap hasil tangkapan ikan layang; dan 6)
menyusun suatu pola pengembangan berkelanjutan sumberdaya ikan layang di
perairan Maluku Utara.
Penelitian ini menggunakan metode survei dan observasi dengan
menggunakan metoda skoring dan fungsi nilai untuk menentukan prioritas unit
penangkapan ikan layang yang layak dikembangkan, model fungsi produksi
lestari dan bio-ekonomi Gordon-Schaefer untuk menentukan produksi lestari dan
nilai bio-ekonomi sumberdaya ikan layang, model Linear Goal Programming di
gunakan untuk alokasi jumlah unit penangkapan ikan layang yang optimum,
analisis parameter populasi ikan digunakan untuk menentukan pertumbuhan
ikan, hubungan panjang berat, tingkat kematangan gonad, fekunditas dan ukuran
ikan pertama kali matang gonad, analisis regresi linear sederhana untuk
menghitung hubungan antara lingkar badan dan panjang ikan layang guna
penentuan mesh size minimum jaring, metode rata-rata bergerak untuk
menentukan pola musim penangkapan, dan model deskriptif untuk menyusun pola
pengembangan berkelanjutan sumberdaya ikan layang di perairan Maluku Utara.
Prioritas teknologi penangkapan ikan layang terpilih sesuai dengen kriteria
aspek biologi, teknis, sosial, ekonomi menempatkan alat tangkap mini purse seine
pada urutan pertama, jaring insang hanyut pada urutan kedua dan bagan perahu
pada urutan ketiga. Sedangkan dari segi keramahan lingkungan alat tangkap jaring
insang hanyut berada pada urutan pertama sedangkan alat tangkap mini purse
seine dan bagan perahu masing-masing pada urutan kedua dan ketiga.
Berdasarkan total standarisasi keseluruhan aspek unit penangkapan ikan layang
maka yang menjadi prioritas pengembangan adalah alat tangkap mini purse seine
pada urutan pertama, jaring insang hanyut pada urutan kedua dan bagan perahu
pada urutan ketiga. Hal ini menunjukkan bahwa dalam usaha perikanan ikan
layang yang layak untuk dikembangkan adalah alat tangkap mini purse seine.
v

Estimasi nilai optimum dari komponen perikanan ikan layang menghasilkan hasil
tangkapan optimum yang memberikan keuntungan rasional bagi tingkat
pengusahaan sumberdaya ikan layang sebesar 19.754, 248 ton per tahun dengan
upaya penangkapan optimum 28.135 trip stándar mini purse seine sehingga
keuntungan maksimum yang diperoleh sebesar Rp. 90.717.199.850,00. Untuk
alokasi unit penangkapan mini purse seine sebagai alat tangkap yang
diprioritaskan direkomendasikan sebanyak 202 unit. Dan jumlah nelayan yang
optimum yang terserap pada unit penangkapan mini purse seine sebanyak 2626
orang. Hasil analisis beberapa parameter populasi ikan layang biru (Decapterus
macarellus) menunjukkan bahwa pertumbuhan ikan layang biru betina lebih
cepat dari pada ikan jantan dan keduanya mencapai panjang maksimum pada usia
4 tahun. Pola pertumbuhan ikan layang biru jantan maupun betina bersifat
alometrik minor, yang berarti pertumbuhan panjang tubuh ikan lebih cepat dari
pertumbuhan beratnya. Pengamatan gonad menunjukkan ikan yang tertangkap
didominasi ikan-ikan yang belum matang gonad. Jumlah terbanyak ikan layang
biru yang matang gonad ditemukan pada bulan Maret dan kematangan gonad
pertama kali di capai pada ukuran panjang total 25,8 cm. Pemijahan ikan layang
biru berlangsung pada bulan April/Mei. Fekunditas yang diperoleh berkisar antara
28875-84000 butir dengan kisaran panjang total 268-310 mm. Jumlah telur
sangat dipengaruhi oleh panjang total ikan. Hasil analisis pola musim
penangkapan menunjukkan bahwa musim penangkapan ikan layang di perairan
Maluku Utara berlangsung dari bulan Maret hingga Oktober dengan puncak
musimnya dicapai pada bulan Agustus yaitu pada musim timur. Sedangkan bukan
musim penangkapan yaitu pada bulan Desember hingga Februari bertepatan
dengan musim barat. Untuk pembagian daerah penangkapan dan musim
penangkapan ikan layang di berbagai wilayah perairan Maluku Utara meliputi :
(1) bagian tengah Maluku Utara yaitu sekitar perairan Ternate hingga ujung Utara
Halmahera yang mencakup perairan Batang Dua, Ternate, Tidore, Mare, Moti,
Makian dan Kayoa dengan musim penangkapan terjadi pada akhir bulan Februari
- Mei dan bulan Juli hingga September; (2) bagian selatan Maluku Utara terletak
sepanjang ujung selatan Halmahera hingga bagain barat pulau Bacan yaitu antara
perairan Obi dan Bacan hingga mencapai perairan laut Maluku dengan muism
penangkapan pada bulan April - Oktober; (3) bagian Utara Maluku Utara
mencakup perairan Utara Morotai dan perairan sekitar Teluk Kao dengan musim
penangkapan berlangsung pada bulan April - September. Berdasarkan keragaan
nilai optimal dari komponen perikanan ikan layang yang dikaji dapat disusun
suatu pola pengembangan berkelanjutan sumberdaya ikan layang di perairan
Maluku Utara. Pola ini mencakup 5 kompenen yaitu : mini purse seine sebagai
alat tangkap ikan layang pilihan, pemanfaatan sumberdaya ikan layang optimal,
biologi ikan layang, mesh size optimum alat tangkap pilihan (mini purse seine)
serta waktu dan daerah penangkapan ikan layang yang tepat.

Kata kunci: Pola pengembangan, ikan layang, teknologi penangkapan, perairan


Maluku Utara.
vi

© Hak cipta milik IPB, tahun 2009


Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
yang wajar IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya tulis
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
vii

POLA PENGEMBANGAN BERKELANJUTAN


SUMBERDAYA IKAN LAYANG (Decapterus spp)
DI PERAIRAN MALUKU UTARA

IRHAM

Disertasi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Doktor pada
Program Studi Teknologi Kelautan

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2009
viii

Penguji Luar Komisi Ujian Tertutup :

1. Prof. Dr. Ir. Mulyono S Baskoro, M.Sc


2. Dr. Ir. Domu Simbolon, M.Si

Penguji Luar Komisi Ujian Terbuka :

1. Prof. Dr. Ir. Muhajir K Marsaoli, M.Si


2. Dr. Ir. Fedi Alfiadi Sondita, M.Sc
ix

Judul Disertasi : Pola Pengembangan Berkelanjutan Sumberdaya Ikan


Layang (Decapterus spp) di Perairan Maluku Utara
Nama : Irham
NRP : C461060071

Disetujui

Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Sugeng Hari Wisudo, M.Si.


Ketua

Prof. Dr. Ir. John Haluan, M.Sc. Dr. Ir. Budy Wiryawan, M.Sc .
Anggota Anggota

Mengetahui

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana


Teknologi Kelautan

Prof. Dr. Ir. John Haluan, M.Sc. Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, M.S.

Tanggal Ujian : 22 Mei 2009 Tanggal Lulus :


x

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-
Nya sehingga disertasi ini berhasil diselesaikan. Disertasi ini berjudul” Pola
Pengembangan Berkelanjutan Sumberdaya Ikan Layang (Decapterus spp) di
Perairan Maluku Utara” disusun sebagai salah satu syarat penyelesaian program
pendidikan Strata 3 di Sekolah Pascasarjana IPB.
Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan
yang tulus kepada:
1. Dr. Ir. Sugeng H. Wisudo, M.Si, selaku ketua Komisi Pembimbing, Prof. Dr.
Ir. John Haluan, M.Sc dan Dr. Ir. Budy Wiryawan, M.Sc selaku anggota
Komisi Pembimbing, yang telah berkenaan memberikan arahan dan
bimbingan untuk menyelesaikan disertasi ini.
2. Dosen Penguji Luar Komisi, Prof. Dr. Ir. Muhajir K Marsaoli, M.Si (Kepala
Bappeda Provinsi Maluku Utara) dan Dr. Ir. Fedi Alfiadi Sondita, M.Sc
(Dosen Departemen PSP Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB Bogor)
atas kesdiannya untuk memberikan pengujian serta masukan pada ujian
terbuka.
3. Rektor, Dekan sekolah pascasarjana, Dekan Fakultas Perikanan dan Ilmu
Kelautan, Ketua Program Studi Teknologi kelutan Insitut Pertanian Bogor
beserta staf pengajar yang telah memberikan ilmu pengetahuan selama studi.
4. Rektor dan Dekan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelutan Unkhair yang telah
memberikan izin untuk melanjutkan studi di Program Studi Teknologi
Kelautan IPB - Bogor.
5. Direktur Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional, yang telah
memberikan bantuan dana pendidikan melalui Beasiswa Program
Pascasarjana (BPPS).
6. Kepala Bappeda provinsi Maluku Utara, Kepala Dinas Perikanan dan Ilmu
Kelautan provinsi Maluku Utara, Kepala Pelabuhan Perikanan Nusantara
Ternate dan Kepala Karantina Ikan Kelas II Babullah Ternate serta segenap
jajarannya atas izin yang diberikan serta bantuan fasilitas selama penelitian
berlangsung.
7. Secara khusus ucapan terima kasih yang tak terhingga kepada kedua orang tua
penulis (Almarhum Yusuf Hi. Ichsan dan Hj. Siti Hawa Musa), yang walau
dalam perjalanan hidup penulis banyak menyusahkan mereka, namun dengan
segala curahan kasih sayang dan doa yang terus diberikan, akhirnya penulis
dapat menuai pendidikan yang begitu berarti.
8. Istri dan putri yang tercinta yang begitu ikhlas dan penuh pengorbanan,
sehingga mampu menghantarkan penulis menyelesaikan studi ini.
9. Kakak-kakakku, Sarifa Hi. Ichsan, Ardan Hi Ichsan, Kusdi Hi. Ichsan, Marwia
Hi. Ichsan, Abuhari Hamzah dan Martini Djamhur yang telah banyak
membantu baik moril mapupun matril selama studi.
10. Rekan-rekan mahasiswa Program Studi Teknologi Kelautan atas segala
kerjasama dan dukungannya selama ini.
Semoga disertasi ini bermanfaat.

Bogor, Mei 2009


Irham
xi

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Ternate pada tanggal 3 Desember 1979 sebagai anak


bungsu dari pasangan (Alm) Yusuf. Hi. Ichsan dan Hj. Siti Hawa Musa.
Pendidikan sarjana ditempuh di Jurusan Manajemen Sumberdaya Perairan,
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan UNKHAIR Ternate, lulus pada tahun 2002.
Pada tahun 2004, penulis diterima di Program Studi Teknologi Kelautan pada
Sekolah Pascasarjana IPB dan menamatkannya pada tahun 2006. Kesempatan
untuk melanjutkan ke program doktor pada program studi dan pada perguruan
tinggi yang sama diperoleh pada tahun 2006. Beasiswa pendidikan pascasarjana
(BPPS) diperolah dari DIKTI.
Penulis bekerja sebagai Staf Pengajar di Fakultas Perikanan dan Ilmu
Kelautan Universitas Khairun Ternate sejak tahun 2002. Sebuah artikel telah
diterbitkan dengan judul Analisis Pengembangan Perikanan Mini Purse Seine
Berbasis Optimasi Sumberdaya Ikan Pelagis Kecil di Provinsi Maluku Utara pada
Buletin PSP Volume XVII. No.1 April 2008. Artikel lain berjudul Parameter
Populasi dan Pola Musim Penangkapan Ikan Layang (Decapterus spp) di Perairan
Maluku Utara akan diterbitkan pada Buletin PSP Volume XVIII. No.1 April 2009.
Karya - karya ilmiah tersebut merupakan bagian dari program S3 penulis.
xii

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL................................................................................... xiii

DAFTAR GAMBAR. ............................................................................. xv

DAFTAR LAMPIRAN........................................................................... xviii

DAFTAR ISTILAH. ............................................................................... xx

1 PENDAHULUAN. ........................................................................... 1
1.1 Latar Belakang. ......................................................................... 1
1.2 Perumusan Masalah.. ................................................................ 5
1.3 Tujuan Penelitian.. .................................................................... 7
1.4 Manfaat Penelitian. ................................................................... 7
1.5 Hipotesis Penelitian................................................................... 8
1.6 Kerangka Pemikiran.................................................................. 8

2 TINJAUAN PUSTAKA. .................................................................. 13


2.1 Karakteristik Lokasi Penelitian....... .......................................... 13
2.1.1 Letak geografis dan administrasi. ................................... 13
2.1.2 Karakteristik iklim. ......................................................... 13
2.1.3 Karakteristik oseanografi. ............................................... 14
2.2 Pengembangan Usaha Perikanan Tangkap.. ............................. 15
2.3 Usaha Perikanan yang Berkelanjutan ....................................... 16
2.4 Determinasi Usaha Perikanan Tangkap... ................................. 17
2.5 Konsep Dasar Sistem Penangkapan Ikan Ramah Lingkungan.. 18
2.6 Sumberdaya Ikan (Decapterus spp) . ........................................ 20
2.6.1 Sistematika dan morfologi ikan layang........................... 20
2.6.2 Siklus hidup, distribusi dan ruaya ikan layang. .............. 24
2.6.3 Pertumbuhan ................................................................... 27
2.6.4 Hubungan panjang berat ................................................. 28
2.6.5 Tingkat kematangan gonad ............................................. 29
2.6.6 Indeks kematangan gonad ............................................... 29
2.6.7 Fekunditas ....................................................................... 30
2.7 Alat Tangkap Ikan Layang........................................................ 30
2.7.1 Pukat cincin (purse seine) ............................................... 30
2.7.2 Jaring insang hanyut........................................................ 32
2.7.3 Bagan perahu................................................................... 33
2.8 Pendekatan Analisis Optimalisasi Perikanan Ikan Layang....... 34
2.8.1 Standarisasi upaya tangkap ............................................. 34
2.8.2 Model produksi surplus................................................... 35
2.8.3 Model bioekonomi .......................................................... 35
2.9 Teori Pogram Linear ................................................................. 37
xiii

2.10 Musim Penangkapan Ikan ........................................................ 38


2.11 Penelitian Tentang Perikanan Layang...................................... 39

3 METODOLOGI.... ............................................................................ 41
3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian.. ................................................... 41
3.2 Alat dan Bahan........................................................................... 41
3.3 Metode Pengumpulan Data. ....................................................... 42
3.4 Metode Analisis Data................................................................. 48
3.4.1 Metode skoring dan fungsi nilai ...................................... 49
3.4.2 Model surplus produksi dan bio-ekonomi . ..................... 52
Gordon-Schaefer. .............................................................
3.4.3 Model linear goal programming....................................... 56
3.4.4 Analisis Parameter populasi ikan layang
(Decapterus macarellus).................................................. 57
3.4.4.1 Analisis parameter pertumbuhan......................... 57
3.4.4.2 Analisis hubungan panjang berat. ....................... 58
3.4.4.3 Metode pengamatan tingkat kematangan gonad . 59
3.4.4.4 Analisis indeks kematangan gonad. .................... 59
3.4.4.5 Perhitungan fekunditas........................................ 60
3.4.4.6 Metode Sperman Karber. .................................... 60
3.4.5 Analisis penentuan mesh size minimum jaring . ............. 61
3.4.6 Metode rata-rata bergerak (moving average).................. 61
3.4.7 Model deskriptif .............................................................. 64

4 HASIL ...................... ........................................................................ 65


4.1 Kondisi Perikanan Ikan Layang di Maluku Utara...................... 65
4.1.1 Deskripsi unit penangkapan ikan.......... .......................... 65
4.1.1.1 Mini purse seine. ................................................. 65
4.1.1.2 Jaring insang hanyut............................................ 70
4.1.1.3 Bagan perahu....................................................... 72
4.1.2 Produksi dan upaya penangkapan... ................................ 76
4.1.3 Kondisi nelayan dan sistem bagi hasil......... ................... 78
4.1.4 Kelembagaan nelayan........................................... .......... 81
4.1.5 Pemasaran................................................................ ....... 82
4.2 Teknologi Penangkapan Ikan Layang Pilihan............................ 83
4.2.1 Aspek biologi............. ..................................................... 84
4.2.2 Aspek teknis................................................... ................. 85
4.2.3 Aspek sosial................................................... ................. 86
4.2.4 Aspek ekonomi................................................................ 87
4.2.5 Aspek keramhaan lingkungan. ........................................ 88
4.2.6 Aspek biologi, teknis, sosial, ekonomi dan
keramahan lingkungan.. .................................................. 90
4.3 Optimalisasi Pengelolaan Perikanan Ikan Layang..................... 91
4.3.1 Potensi lestari maximum sustainable yield /MSY) ........... 91
4.3.2 Potensi ekonomi lestari (maximum economic yield/MEY) 93
4.3.2.1 Biaya penangkapan. .............................................. 93
4.3.2.2 Harga ikan hasil tangkapan. .................................. 94
4.3.2.3 Bio-ekonomi perikanan layang. ............................ 94
xiv

4.4 Alokasi Optimum Upaya Penangkapan Ikan Layang . .............. 98


4.5 Biologi Ikan Layang Biru (Decapterus macarellus)................. 101
4.5.1 Rasio kelamin dan sebaran frekuensi panjang ................ 101
4.5.2 Parameter pertumbuhan. ................................................. 106
4.5.3 Hubungan panjang berat. ................................................ 107
4.5.4 Tingkat kematangan gonad ............................................. 109
4.5.5 Ukuran ikan pertama kali matang gonad ........................ 111
4.5.6 Fekunditas. ..................................................................... 112
4.6 Mesh Size Minimum Alat Tangkap Ikan Layang Pilihan.. ...... 113
4.7 Pola Musim dan Daerah Penangkapan Ikan Layang. ............... 115
4.7.1 Indeks musim penangkapan ikan layang. ....................... 115
4.7.2 Pemetaan daerah dan musim penangkapan
ikan layang ...................................................................... 117

5 PEMBAHASAN... ............................................................................ 120


5.1 Teknologi Penangkapan Ikan Layang Pilihan............................ 120
5.1.1 Aspek biologi. .................................................................. 120
5.1.2 Aspek teknis. .................................................................... 121
5.1.3 Aspek sosial. .................................................................... 122
5.1.4 Aspek ekonomi. ............................................................... 123
5.1.5 Aspek keramahan lingkungan.. ........................................ 125
5.1.6 Aspek gabungan biologi, teknis, sosial, ekonomi
dan keramahan lingkungan. ............................................. 126
5.2 Optimalisasi Pengeloaan Perikanan Ikan Layang. ...................... 127
5.2.1 Potensi lestari (maximum sustainable yield/MSY). ........... 127
5.2.2 Bioekonomik perikanan layang. ....................................... 128
5.3 Alokasi Optimum Upaya Penangkapan Ikan Layang . ............... 130
5.4 Biologi Ikan Layang Biru (Decapterus macarellus)................... 131
5.5 Mesh Size Minimum Alat Tangkap Ikan Layang Pilihan. .......... 137
5.6 Pola Musim dan Daerah Penangkapan Ikan Layang. ................. 139
5.7 Pola Pengembangan Berkelanjutan Sumberdaya
Ikan Layang di Perairan Maluku Utara....................................... 143

6 KESIMPULAN DAN SARAN......................................................... 154


6.1 Kesimpulan. ............................................................................... 154
6.2 Saran........................................................................................... 155

DAFTAR PUSTAKA. ............................................................................ 156

LAMPIRAN............................................................................................ 166
xv

DAFTAR TABEL

Halaman

1 Jenis dan daerah penyebaran ikan layang di perairan Indonesia........ 26

2 Klasifikasi tingkatan kematangan gonad .......................................... 59

3 Spesifikasi kapal mini purse seine di Maluku Utara......................... 68

4 Spesifikasi perahu jaring insang hanyut di Maluku Utara ................ 72

5 Spesifikasi perahu pembantu pada bagan perahu di Maluku Utara .. 75

6 Produksi sumberdaya ikan layang di Maluku Utara, tahun


1998-2007 ......................................................................................... 76

7 Produksi ikan layang per alat tangkap di Maluku Utara, tahun


tahun 1998-2007............................................... ................................ 77

8 Unit penangkapan ikan layang di Maluku Utara, tahun 1998-2007 . 78

9 Hasil skoring dan standarisasi setiap fungsi nilai aspek


biologi unit penangkapan ikan layang (mini purse seine, jaring
insang hanyut dan bagan perahu) di perairan Maluku Utara ............ 84

10 Hasil skoring dan standarisasi setiap fungsi nilai aspek teknis


unit penangkapan ikan layang (mini purse seine, jaring
insang hanyut dan bagan perahu) di perairan Maluku Utara ............ 85

11 Hasil skoring dan standarisasi setiap fungsi nilai aspek sosial


unit penangkapan ikan layang (mini purse seine, jaring
insang hanyut dan bagan perahu) di perairan Maluku Utara ............ 86

12 Hasil skoring dan standarisasi setiap fungsi nilai aspek ekonomi


unit penangkapan ikan layang (mini purse seine, jaring insang
hanyut dan bagan perahu) di perairan Maluku Utara........................ 87

13 Hasil skoring dan standarisasi setiap fungsi nilai aspek keramahan


lingkungan unit penangkapan ikan layang (mini purse seine, jaring
insang hanyut dan bagan perahu di perairan Maluku Utara.............. 89

14 Pengelompokan jenis alat tangkap berdasarkan tingkat


keramahan lingkungan ...................................................................... 90
xvi

15 Total standarisasi aspek biologi, teknis, sosial, ekonomi dan


keramahan lingkungan unit penangkapan ikan layang
mini seine, jaring insang hanyut dan bagan perahu) di perairan
Maluku Utara, .................................................................................. 90

16 Struktur biaya penangkapan ikan layang dengan alat tangkap


standar (mini purse seine) di Maluku Utara tahun 2007 di
Maluku Utara. ................................................................................... 94

17 Optimalisasi bio-ekonomi dalam berbagai kondisi


pengelolaan dan kondisi aktual ikan layang di Maluku Utara .......... 94

18 Jumlah contoh ikan layang biru (D. macarellus) yang tertangkap


selama periode bulan pengamatan ................................................... 101

19 Ukuran morfologi ikan layang biru (D. macarellus) yang


tertangkap selama periode bulan pengamatan, Januari - Mei 2008. . 101

20 Nilai dugaan parameter pertumbuhan ikan layang biru


di perairan Maluku Utara .................................................................. 106

21 Hasil analisis hubungan panjang berat ikan layang biru


(D. macarellus) di perairan Maluku Utara, Januari – Mei 2008....... 107

22 Persentase tingkat kematangan gonad ikan layang biru


(D. macarellus) jantan (a) dan betina (b) di perairan
Maluku Utara, Januari – Mei 2008 ................................................... 109

23 Variasi fekunditas terhadap panjang tubuh ikan layang biru


(D. macarellus) di perairan Maluku Utara, bulan Januari-Mei 2008 112

24 Data panjang dan lingkar badan ikan layang biru pada ukuran
pertama kali matang gonad di perairan Maluku Utara...................... 113

25 Indeks musim penangkapan (IMP) ikan layang di perairan


Maluku Utara, tahun 2003-2007 ....................................................... 116
xvii

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1 Perkembangan produksi ikan layang (Decapterus spp)


di Maluku Utara tahun 1998-2007...... .............................................. 3

2 Kerangka pemikiran pola pengembangan berkelanjutan


sumberdaya ikan layang di perairan Maluku Utara .......................... 12

3 Ikan layang (Decapterus russelli) ..................................................... 22

4 Ikan layang (Decapterus macrosoma) .............................................. 22

5 Ikan layang (Decapterus macarellus) ............................................... 23

6 Ikan layang (Decapterus kurroides).................................................. 24

7 Konstruksi mini purse seine di Maluku Utara.................................. 66

8 Desain Kapal mini purse seine (kapal utama) di Maluku Utara ...... 67

9 Konstruksi jaring insang hanyut di Maluku Utara ............................ 71

10 Desain perahu jaring insang hanyut di Maluku Utara...................... 71

11 Konstruksi bagan perahu di Maluku Utara ....................................... 74

12 Sistem bagi hasil usaha perikanan layang di Maluku Utara ............. 80

13 Hubungan CPUE dengan upaya penangkapan ikan layang


(effort) di Maluku Utara tahun 1998 – 2007 .................................... 92

14 Hubungan antara produksi lestari ikan layang dengan upaya


penangkapan model Schaefer di perairan Maluku Utara .................. 93

15 Perbandingan hasil tangkapan ikan layang pada setiap kondisi


pengelolaan periode 1998-2007 di Maluku Utara............................. 95

16 Perbandingan tingkat upaya penangkapan ikan layang pada setiap


kondisi pengelolaan tahun 1998-2007 di Maluku Utara. .................. 96

17 Perbandingan rente ekonomi penangkapan ikan layang pada


setiap kondisi pengelolaan tahun 1998-2007 di Maluku Utara......... 96

18 Keseimbangan Bio-ekonomi Gordon-Schaefer untuk pengelolaan


sumberdaya ikan layang di perairan Maluku Utara ......................... 97
xviii

19 Hasil analisis data Linear Goal Programming.. ............................... 100

20 Histogram frekuensi panjang ikan layang biru (D. macarellus)


jantan selama penelitian , Januari - Mei 2008................................... 103

21 Histogram frekuensi panjang ikan layang biru (D. macarellus)


betina selama penelitian, Januari-Mei 2008...................................... 104

22 Histogram frekuensi panjang ikan layang biru (D. macarellus)


Jantan dan betina selama penelitian, Januari-Mei 2008.................... 105

23 Pertumbuhan panjang ikan layang biru (D. macarellus) jantan


dan betina di perairan Maluku Utara, bulan Januari-Mei 2008 ........ 107

24 Hubungan panjang berat ikan layang biru (D. macarellus)


jantan (a) dan betina (b) di perairan Maluku Utara
Januari - Mei 2008 ............................................................................ 108

25 Fluktuasi tingkat kematangan gonad ikan layang biru


(D. macarellus) jantan (a) dan betina (b) berdasarkan bulan
Pengamatan, Januari - Mei 2008....................................................... 110

26 Jumlah ikan layang biru (D. macarellus) jantan dan betina yang
matang gonad berdasarkan periode bulan pengamatan,
Janurai - Mei 2008 ............................................................................ 111

27 Hubungan lingkar badan dan panjang ikan layang biru.................... 114

28 Pola musim penangkapan ikan layang di perairan Maluku Utara..... 117

29 Peta daerah penangkapan dan musim penangkapan ikan layang


di perairan Maluku Utara .................................................................. 119

30 Pola pengembangan berkelanjutan sumberdaya ikan layang


di perairan Maluku Utara .................................................................. 144
xix

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1 Peta Provinsi Maluku Utara dan lokasi penelitian............ ................ 167

2 Analisis kelayakan perikanan ikan layang dengan alat tangkap


mini purse seine menggunakan program DSS-BALI ANALISIS. ...... 168

3 Analisis kelayakan perikanan ikan layang menggunakan


produktivitas ideal alat tangkap mini purse seine dengan
program DSS-BALI ANALISIS. .......................................................... 174

4 Analisis kelayakan perikanan ikan layang dengan alat tangkap


jaring insang hanyut menggunakan program
DSS-BALI ANALISIS.......................................................................... 180

5 Analisis kelayakan perikanan ikan layang dengan alat tangkap


bagan perahu menggunakan program DSS-BALI ANALISIS ............ 186

6 Standarisasi upaya penangkapan ikan layang di Maluku Utara......... 192

7 Data regresi antara upaya penangkapan, CPUE, nilai intersep (a)


dan slope (b) ikan layang di Maluku Utara........................................ 194

8 Hasil analisis program MAPLE IX terhadap tingkat produksi


lesatari (MSY) dan nilai Bioekonomik (MEY) sumberdaya ikan
layang di Maluku Utara..................................................................... 195

9 Jumlah sampel ikan layang biru (Decapterus macarellus)


berdasarkan minggu pengamatan, Januari – Mei 2008...................... 199

10 Distribusi frekuensi panjang ikan layang biru


(Decapterus macarellus) jantan (a) dan betina (b) di perairan
Maluku Utara, Januari - Mei 2008. . ................................................. 200

11 Distribusi frekuensi panjang ikan layang biru


(Decapterus macarellus)gabungan (jantan + betina), di perairan
Maluku Utara, Januari – Mei 2008 ................................................... 201

12 Tingkat kematangan gonad ikan layang biru


(Decapterus macarellus) jantan pada kelas ukuran panjang............. 202

13 Tingkat kematangan gonad ikan layang biru


(Decapterus macarellus betina pada kelas ukuran panjang.............. 203

14 Pendugaan ukuran ikan layang biru (Decapterus macarellus)


Jantan saat mencapai matang gonad pertama.................................... 204
xx

15 Pendugaan ukuran ikan layang biru (Decapterus macarellus)


betina saat mencapai matang gonad pertama .................................... 205

16 Rata-rata produksi ikan layang (kg) di PPN Ternate tahun


2003 - 2007 ....................................................................................... 206

17 Jumlah rata-rata effort standard bulanan ikan layang yang beroperasi


di perairan Maluku Utara tahun 2003 - 2007 ................................... 207

18 CPUE rata-rata ikan layang di perairan Maluku Utara tahun


2003 - 2007 ...................................................................................... 208

19 Perkembangan produksi bulanan ikan layang di PPN Ternate


tahun 2003 - 2007 ............................................................................ 209

20 Perkembangan upaya tangkap bulanan ikan layang di PPN Ternate


tahun 2003 - 2007 ............................................................................ 212

21 Perhitungan indeks musim penangkapan ikan layang dengan


metode rata-rata bergerak ................................................................. 215

22 Lokasi perairan dan titik koordinat daerah penangkapan


ikan layang di perairan Maluku Utara .............................................. 218

22 Dokumentasi hasil penelitian ............................................................ 219


xxi

DAFTAR ISTILAH

ABK : Anak buah kapal.


Allometrik : Bentuk tubuh ikan.
Allometrik minor : Pertumbuhan ukuran panjang ikan lebih cepat dari
ukuran berat.

Berkelanjutan : Pemanfaatan sumberdaya secara lestari, yaitu di


mana laju pemanfaatan harus lebih kecil atau sama
dengan laju pemulihan sumber daya tersebut.

Biodervisity : Keanekaragaman hayati yang ada di dalam suatu


habitat yang menunjukkan produktivitas suatu
perairan.

Biological overfishing : Tangkapan lebih secara biologi.

By-catch : Hasil tangkapan sampingan; merupakan bagian


dari hasil tangkapan yang didapatkan pada saat
operasi penangkapan sebagai tambahan dari tujuan
utama penangkapan (target spesies).

Catch and effort : Hasil tangkapan dan upaya penangkapan.


Close season : Penutupan musim penangkapan.
Code of conduct for : Tata laksana untuk perikanan yang bertanggung
for responsible fisheries jawab.

Common propperty : Sumberdaya milik umum (bersama).

CPUE : Catch per unit effort (hasil tangkapan per upaya).

Economical overfishing : Tangkapan lebih secara ekonomi.


Effort : Upaya penangkapan ikan.

et al. : Dan kawan-kawan.

FAO : Food Agriculture Organization, badan pangan


dunia di PBB.

Fishing base : Pangkalan pendaratan ikan.

Fishing ground : Daerah penangkapan ikan.

Fixed cost : Biaya tetap.


xxii

Floatline : Tali ris atas.

Growth overfishing : Kelebihan tangkap ikan dalam masa pertumbuhan.


Hauling : Tahap pengangkatan alat tangkap pada saat operasi
penangkapan ikan.

IKG : Indeks kematangan gonad.

Leadline : Tali ris bawah

LGP : Linear Goal Programming.

LINDO : Sebuah program paket yang didesain khusus oleh


Prof. Linus Schrage, Graduate School of Business
Chicago, untuk menyelesaikan soal pemrograman
linear, termasuk pemograman linear intejer binari.

Maturing : Pematangan/proses ke dewasa.

Mature : Bunting/dewasa.

Mesh size : Lebar mata jaring.

MEY : Maximum economic yield (hasil tangkapan


maksimum ekonomi lestari.

Migrasi : Perpindahan atau pergerakan biota dari suatu tempat


ke tempat lainnya.

MSY : Maximum sustainable yield (hasil tangkapan


maksimum lestari).

Nelayan : Orang yang secara aktif melakukan pekerjaan dalam


operasi penangkapan ikan atau binatang air lainnya
atau tanaman air.

Net Benefit Cost : Perbandingan antara total penerimaan bersih dan


(Net B/C) total biaya produksi.

Net Present Value : Selisih antara nilai sekarang dari penerimaan


(NPV) dengan nilai sekarang dari pengeluaran pada tingkat
bunga tertentu.

Open acces : Akses terbuka untuk siapa saja.

Partial spawning : Pemijahan yang bersifat sebagian-sebagian.


xxiii

Pengembangan : Usaha perubahan dari suatu nilai yang kurang


kepada sesuatu yang lebih baik; proses yang menuju
pada suatu kemajuan.
Perikanan : Semua kegiatan yang berhubungan dengan
pengelolaan dan pemanfaatan SDI dan
lingkungannya mulai dari praproduksi, produksi,
pengolahan sampai dengan pemasaran, yang
dilaksanakan dalam suatu sistem bisnis perikanan.

Perikanan tangkap : Kegiatan untuk memperoleh ikan di perairan yang


tidak dalam keadaan dibudidayakan dengan alat
atau cara apa pun, termasuk kegiatan yang
mengunakan kapal untuk memuat, mengangkut,
menyimpan, mendinginkan, menangani, mengolah,
dan/atau mengawetkannya.

PPI : Pangkalan Pendaratan Ikan.

PPN : Pelabuhan Perikanan Nusantara.

Renewable resources : Sumberdaya yang bersifat dapat pulih.

Selvedge : Pinggir badan jaring.

Setting : Tahap peletakan alat tangkap pada saat operasi


penangkapan.

Stakeholder : Pemangku kepentingan (para pihak).

Time series : Seri data runtut beberapa tahun.

TAC : Total Allowable Catch (pembatasan jumlah


tangkapan).

TKG : Tingkat kematangan gonad.

TNI-AL : Tentara Nasional Indonesia (Angkatan Laut).

Unit Penangkapan : Satu kesatuan teknis dalam suatu operasi


penangkapan ikan yang terdiri dari kapal perikanan,
alat tangkap, dan nelayan.

Up-welling : Penaikan masa air dari lapisan bawah ke lapisan


atas dengan membawa unsur hara.

Variable cost : Biaya variabel.


1

1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Pengelolaan perikanan seperti diuraikan oleh FAO (1997), adalah proses
yang terintegrasi dalam pengumpulan informasi, analisis, perencanaan, konsultasi,
pembuatan keputusan, alokasi sumberdaya dan implementasi dari aturan-aturan
dibidang perikanan dalam rangka menjamin kelangsungan produktivitas
sumberdaya, dan pencapaian tujuan perikanan lainnya. Berdasarkan pengertian
ini, pengelolaan perikanan membutuhkan bukti-buti ilmiah terbaik (best scientific
evidence) untuk analisis dan perencanaan perikanan yang memadai, proses diskusi
melalui konsultasi dengan berbagai pemangku kepentingan (stakeholders) dan
penetapan berbagai tujuan dan strategi pengelolaan melalui pembuatan keputusan,
alokasi sumberdaya dan implementasi aturan.
Sumberdaya perikanan laut merupakan aset bangsa yang harus dimanfaatkan
secara bijaksana. Meskipun sumberdaya tersebut bersifat dapat pulih (renewable),
namun tingkat kecepatan pemulihannya dapat saja tidak seimbang dengan laju
pemanfaatannya. Dengan status pemanfaatan yang berlebihan di beberapa
perairan, maka dapat dikatakan bahwa penurunan produksi tangkapan per upaya
akan terjadi di daerah-daerah itu karena jumlah ikan yang tertangkap telah melebihi
kemampuan sumberdaya untuk melakukan rekruitmen. Bila upaya penangkapan
tidak ditata dengan baik, maka intensitas penangkapan akan cenderung meningkat,
penurunan produksi tangkapan per upaya akan terus berlanjut hingga akhirnya
merusak sumberdaya ikan dan lingkungannya. Kondisi ini dikenal dengan
tangkapan lebih secara biologi (biological overfishing). Oleh karena itu sasaran
pembangunan perikanan antara lain adalah memaksimalkan tangkapan dengan
upaya yang optimal. Di sisi lain, penurunan produksi ini akan menurunkan
penerimaan dan pendapatan nelayan sehingga mungkin saja akan mengalami
kerugian ekonomi (economic overfishing) yang berarti bahwa biaya yang ditanam
melebihi penghasilan yang diperlukan untuk memperoleh hasil tangkapan
maksimum.
Pengembangan perikanan di masa yang akan datang harus diarahkan melalui
pemanfaatan sumberdaya ikan secara merata, yang mana untuk daerah yang telah
2

mengalami eksploitasi secara berlebihan ditutup pada musim-musim tertentu


sampai batas waktu yang ditentukan, kemudian dibuka kembali untuk dieksploitasi.
Sementara di pihak lain, daerah yang masih rendah tingkat pemanfaatan
sumberdayanya dikembangkan dengan memperhatikan daya dukungnya, sehingga
akan tetap memperhatikan jumlah upaya optimum yang menghasilkan tangkapan
maksimum.
Maluku Utara yang dikenal sebagai provinsi yang memiliki sebagian luas
wilayahnya adalah perairan laut menjadikan wilayah ini sangat potensial untuk
kegiatan perikanan dan industri perikanan tangkap yang merupakan aset penting
bagi keberlanjutan pembangunan dalam konsep otonomi daerah. Sumberdaya
perikanan tentunya dapat dimanfaatkan seutuhnya secara lestari sebagai sumber
ekonomi yang diharapkan mampu mengangkat harkat masyarakat Maluku Utara
ke jenjang yang lebih sejahtera (Dinas Perikanan dan Kelautan 2006).
Perikanan tangkap merupakan salah satu kegiatan ekonomi yang
berkembang dan menjadi salah satu prime mover sektor perikanan di wilayah
Maluku Utara karena memberikan kontribusi lebih besar dibandingkan
perikanan budidaya dan pengolahan, yaitu 83.758,64 ton per tahun atau 86,44%
dari produksi total perikanan tahun 2006. Kegiatan perikanan tangkap
menghasilkan berbagai jenis hasil tangkapan berupa ikan konsumsi ekonomis
penting baik jenis ikan pelagis maupun ikan demersal.
Badan Riset Departemen Kelautan dan Perikanan, dan Komisi Nasional
Stock Assessment, menyimpulkan bahwa wilayah perairan Maluku Utara berada
dalam wilayah pengelolaan Laut Seram dan Laut Maluku memiliki potensi
sumberdaya ikan (standing stock ) yang diperkirakan mencapai 1.035.230,00 ton
dengan jumlah potensi lestari (maximum sustainable yield) yang dapat
dimanfaatkan sebesar 828.180,00 ton per tahun. Potensi tersebut terdiri atas ikan
pelagis besar 424.260 ton per tahun, pelagis kecil sebesar 169.834 ton per tahun
dan ikan demersal sebesar 101.872 ton per tahun dengan tingkat pemanfaatan
hingga tahun 2005 baru mencapai 19,34% untuk ikan pelagis dan 13,65% untuk
ikan demersal. Hal ini menunjukan bahwa sumberdaya perikanan di Maluku Utara
tingkat pemanfaatannya masih rendah (under exploitation) (Dinas Perikanan dan
Kelautan Maluku Utara, 2006).
3

Melihat letak geografis yang sangat strategis sebagai daerah potensial


perikanan dengan tingkat pemanfaatan dalam tingkat berkembang menunjukan
bahwa prospek pembangunan perikanan menjadi salah satu kegiatan ekonomi
yang strategis dan sangat cerah bagi Maluku Utara.
Potensi sumberdaya ikan yang cukup besar ini merupakan bahan pangan
yang mempunyai potensi cukup tinggi untuk dimanfaatkan dalam pembangunan
Maluku Utara khususnya sebagai protein hewani dan sebagai sumber pendapatan
daerah (PAD). Di antaranya salah satu jenis sumberdaya ikan pelagis di daerah ini
yang mempunyai nilai ekonomis penting adalah ikan layang (Decapterus spp).
Ikan layang termasuk kelompok ikan pelagis kecil, hidup bergerombol
dengan jenis ikan pelagis kecil lainnya seperti, siro (Sardinella sirm), tembang
(Sardinella fimbriata, Sardinella perforata), kembung (Rastrelliger kanagurta,
Rastrelliger brachisoma), selar (Caranx spp) dan ekor kuning (Caesio spp).
Ikan layang di wilayah Maluku Utara dikenal dengan nama ikan “sorihi”.
Jenis ikan ini menduduki urutan ke satu dari produksi jenis komoditi perikanan
khusunya ikan pelagis kecil dan selanjutnya berturut-turut disusul oleh ikan
tongkol (Euthynnus spp), kembung (Rastrelliger spp), selar (Selaroides spp),
julung-julung (Hemirhamphus spp) dan ikan teri (Stolephorus spp). Pada tahun
2007 produksi ikan layang di wilayah ini mencapai 23.677.070 ton (Dinas
Perikanan dan Kelautan Provinsi Maluku Utara 2007). Perkembangan produksi
ikan layang (Decapterus spp) di Maluku Utara tahun 1998-2007 (Gambar 1).

25000

20000 Layang
Produksi (ton)

Teri
15000
Tongkol
Julung-Julung
10000
Selar
5000 Kembung

0
1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007

Tahun

Gambar 1 Perkembangan produksi ikan layang (Decapterus spp) di


Maluku Utara tahun 1998-2007.
4

Seperti halnya jenis ikan pelagis lainnya, ikan layang dimanfaatkan untuk
konsumsi lokal oleh masyarakat di sekitar wilayah Maluku Utara. Ikan layang
memiliki permintaan pasar yang relatif tinggi baik pasar interinsuler maupun
pasar ekspor. Jenis ikan ini dipasarkan ke wilayah Jakarta dan Surabaya bahkan
mencapai pasar Jepang untuk digunakan sebagai ikan umpan tuna long-line.
Pengusahaan jenis ikan ini di wilayah Maluku Utara terutama dilakukan oleh
industri perikanan rakyat berskala kecil, penangkapannya dengan berbagai jenis
alat tangkap seperti pukat cincin, jaring insang hanyut, bagan perahu, pancing
tonda dan pancing ulur. Alat tangkap yang dominan dan efektif digunakan untuk
penangkapan ikan layang di daerah ini adalah mini purse seine, yang oleh
masyarakat Maluku Utara dikenal dengan "soma pajeko".
Ditinjau dari teknologi penangkapan ikan, modal usaha dan sumberdaya
manusia yang memanfaatkan sumberdaya ikan layang di Maluku Utara dapat
diduga tingkat eksploitasi sumberdaya ikan layang masih dalam tahap
perkembangan. Namun demikian aktifitas pemanfaatan terhadap sumberdaya ikan
layang di wilayah perairan Maluku Utara semakin meningkat, yaitu tingginya
intensitas penangkapan ikan di perairan pantai yang dapat mengakibatkan
penurunana stok ikan layang. Kecenderungan tersebut dapat dilihat dari trend
produksi ikan layang yang terus meningkat dari tahun ke tahun dan sebaliknya
produktivitas alat tangkap ikan layang yang cendrung menurun. Dengan demikian
jika peningkatan pemanfaatan ini tidak sebanding dengan kemampuan daya pulih
dari sumberdaya ikan tersebut, maka dipastikan pada suatu ketika kondisi ini
dapat mempengaruhi kegiatan usaha dan stok ikan yang mengarah ke gejala
overfishing. Kondisi produktivitas nelayan yang rendah juga merupakan penyebab
rendahnya pendapatan yang diterima oleh nelayan perikanan layang di Maluku
Utara.
Peningkatan kuantitas upaya penangkapan di suatu perairan akan
meningkatkan pula nilai ekonomi sumberdaya tersebut dan berdampak terhadap
kesejahteraan nelayan dan khusunya bagi pengusaha perikanan, namun
pemanfaatan potensi sumberdaya ikan harus dilaksanakan secara terkendali,
sehingga kelestarian sumberdaya ikan di setiap wilayah ini senantiasa dapat
dipertahankan agar produktivitas optimum dapat terjaga.
5

Dalam rangka mempertahankan kondisi usaha perikanan tangkap khususnya


perikanan ikan layang di Maluku Utara saat sekarang dan masa yang akan datang
maka pengelolaan sumberdaya ikan harus selalu berasakan prinsip kehati-hatian
dan berkelanjutan. Untuk itu, tahap awal yang harus dilakukan adalah kajian yang
mendasar terhadap pemanfaatan sumberdaya ikan layang di wilayah Maluku
Utara. Selain itu penelitian tentang perikanan ikan layang dan hal yang terkait
dengan pemanfaatan dan pengembangannya di wilayah Maluku utara belum
pernah dilakukan, sehingga penelitian ini perlu didekati dengan kajian dengan
berbagai aspek bioteksosionomi dan lingkungan sehingga diharapkan dapat
memperoleh suatu pola pengembangan berkelanjutan sumberdaya ikan layang dan
menjadi acuan untuk pengeloaan sumberdaya ikan layang di Muluku Utara.

1.2 Perumusan Masalah


Ikan layang merupakan salah satu sumberdaya perikanan pelagis kecil yang
dominan di Maluku Utara turut memberikan kontribusi dalam sektor perikanan
laut di wilayah tersebut. Hal ini ditunjukkan dengan perkembangan jumlah
produksi dari tahun ke tahun yang semakin meningkat.
Usaha perikanan ikan layang di Maluku Utara dilakukan oleh nelayan di
sepanjang pesisir pantai Kota Ternate, Kota Tidore Kepulauan, Kabupaten
Halmahera Selatan dan Kabupaten Halmahera Utara dengan skala usaha
penangkapan dalam tingkat berkembang yang ditandai dengan kapal penangkapan
yang berukuran relatif kecil dan peralatan penangkapan yang relatif sederhana.
Kegiatan penangkapan ikan yang dilakukan berlangsung di sekitar perairan pantai
dengan jangkauan daerah penangkapan yang masih terbatas. Pemanfaatan sumber
daya ikan layang di daerah ini masih dilakukan dengan pengetahuan dan
ketrampilan yang diperoleh secara turun temurun yang belum dibarengi dengan
upaya pengelolaan yang memadai, sehingga kondisi tersebut mendorong
terjadinya upaya pemanfaatan sumberdaya ikan layang secara kontinyu berupa
tingginya intensitas penangkapan ikan di perairan pantai dengan tujuan untuk
meningkatkan produksi tanpa berpikir pada kelestarian sumberdaya ikan dan
keberlanjutan usaha penangkapannya. Indikasi yang jelas terlihat dari produksi
ikan layang yang makin meningkat setiap tahunnya, namum sebaliknya
6

produktivitas (CPUE) alat tangkap yang digunakan dalam mengeksploitasi


sumberdaya ikan layang makin menurun yang mengakibatkan penurunan stok
ikan sehingga berdampak pada gejala over fishing. Permasalahan masih
rendahnya produktivitas nelayan juga merupakan pemicu rendahnya pendapatan
yang diterima oleh nelayan dalam usaha perikanan layang di Maluku Utara.
Kondisi ini dapat terjadi diduga disebabkan oleh beberapa faktor antara
lain: (1) ikan layang mudah ditangkap oleh nelayan dengan menggunakan
beragam jenis alat tangkap (2) umumnya berada pada daerah operasi penangkapan
yang terbatas (inshore atau artisanal fishery), (3) minat masyarakat untuk
mengkonsumsi jenis ikan layang cukup tinggi, dan (4) ikan layang memiliki
permintaan pasar yang relatif tinggi, baik pasar interinsuler maupun pasar ekspor.
Untuk menjaga kontinuitas usaha perikanan tangkap khususnya perikanan
ikan layang tetap terjamin, maka perlu pengkajian secara menyeluruh dan
terintegrasi untuk menjawab berbagai permasalahan utama yang berkaitan dengan
pemanfaatan sumberdaya perikanan ikan layang di Maluku Utara. Secara spesifik
permasalahan pokok untuk mengembangkan sumberdaya perikanan ikan layang di
Maluku Utara didekati melalui pertanyaan penelitian sebagai berikut:
(1) Apa jenis teknologi penangkapan yang tepat yang digunakan sebagai
prioritas utama dalam memanfaatkan sumberdaya ikan layang di perairan
Maluku Utara ?
(2) Berapa jumlah unit penangkapan optimum untuk mencapai tingkat produksi
dan keuntungan ekonomi maksimum dalam pemanfaatan sumberdaya ikan
layang di perairan Maluku Utara ?
(3) Bagaimana karakteristik biologi ikan layang yang dominan tertangkap di
perairan Maluku Utara ?
(4) Berapa mesh size jaring minimum alat tangkap terpilih yang digunakan
untuk mengeksploitasi sumberdaya ikan layang ?
(5) Kapan waktu yang tepat dan dimana daerah penangkapan yang cocok untuk
melakukan operasi penangkapan ikan layang di perairan Maluku Utara ?

Agar di satu pihak sumberdaya ikan ini dapat dimanfaatkan dengan optimal,
dan di lain pihak kegiatan penangkapan yang dilakukan tidak memberikan
tekanan eksploitasi yang berlebihan terhadap sumberdaya ikan dan
7

lingkungannya, maka upaya pemecahan masalah yang yang harus dilakukan


dalam pengembangan sumberdaya ikan layang di Maluku Utara adalah
bagaimana mengoptimalkan pemanfaatan sumberdaya perikanan ikan layang
yang ada yang dilaksanakan secara terkendali, sehingga kelestarian sumberdaya
ikan senantiasa dapat dipertahankan agar produktivitas optimum dapat terjaga.
Pada prinsipnya, untuk mengembangkan usaha perikanan ikan layang di
perairan Maluku Utara, diperlukan suatu pola atau acuan yang jelas dan
komprehensif. Oleh karena itu, penulis merasa berkepentingan untuk meneliti
tentang pola pengembangan berkelanjutan sumberdaya ikan layang di Maluku
Utara sebagai upaya meningkatkan pendapatan nelayan secara berkelanjutan.

1.3 Tujuan Penelitian


1. Menentukan prioritas utama teknologi penangkapan ikan layang berdasarkan
kriteria aspek biologi, teknis, sosial, ekonomi dan keramahan lingkungan.
2. Menentukan optimalisasi pengelolaan perikanan ikan layang di Maluku
Utara.
3. Menentukan karakteristik biologi ikan layang yang dominan tertangkap
berdasarkan pendekatan beberapa parameter populasi ikan.
4. Menentukan mesh size jaring minimum terhadap alat tangkap terpilih dalam
pemanfaatan sumberdaya ikan layang.
5. Menentukan pola musim penangkapan dan daerah penangkapan ikan layang
di perairan Maluku Utara.
6. Menyusun suatu pola pengembangan berkelanjutan sumberdaya ikan
layang di perairan Maluku Utara.

1.4 Manfaat Penelitian


1. Sebagai bahan informasi kepada nelayan dan para pengusaha perikanan
dalam mengembangkan usaha perikanan ikan layang di wilayah Maluku
Utara.
2. Sebagai bahan masukan bagi pemerintah daerah dalam menentukan
kebijakan mengenai pengembangan perikanan ikan layang di wilayah
Maluku Utara.
8

3. Sebagai bahan rujukan bagi para peneliti selanjutnya dalam melakukan


penelitian lanjutan kaitannya dengan pengembangan perikanan ikan
layang.

1.5 Hipotesis Penelitian


1. Pemanfaatan sumberdaya ikan layang di perairan Maluku Utara belum
optimal.
2. Ikan layang yang tertangkap di perairan Maluku Utara didominasi oleh
ukuran belum layak tangkap.
3. Alat tangkap yang digunakan untuk memanfaatkan sumberdaya ikan layang
di perairan Maluku Utara belum selektif.
4. Musim penangkapan ikan layang di perairan Maluku Utara berlangsung
sepanjang tahun.

1.6 Kerangka Pemikiran


Sebagai provinsi kepulauan yang memiliki karakteristik spesifik dengan
potensi sumberdaya ikan yang cukup besar merupakan kekuatan dan peluang
dalam peningkatan pertumbuhan ekonomi. Salah satu sumberdaya perikanan yang
turut memberikan kontribusi terhadap peningkatan pertumbuhan ekonomi dan
bernilai ekonomis di wilayah ini adalah sumberdaya ikan layang.
Meskipun secara umum sumberdaya ikan layang di perairan Maluku Utara
cukup melimpah dengan tingkat pemanfaatannya dalam tahap berkembang,
namun secara spesifik kondisi yang terjadi adalah tekanan penangkapan yang
berbeda berupa tingginya intensitas penangkapan ikan layang di perairan pantai.
Hal ini dapat dilihat dari perkembangan produksi ikan layang yang makin
meningkat setiap tahunnya dan sebaliknya kecenderungan produktivitas alat
tangkapnya makin menurun, yang merupakan salah satu indikasi gejala over
fishing. Rendahnya produktivitas nelayan turut memberi dampak pada rendahnya
pendapatan yang diterima nelayan dalam usaha perikanan ikan layang di Maluku
Utara. Untuk memecahkan masalah penelitian seperti yang telah diuraikan di atas,
maka di dalam penelitian ini dilakukan kajian yang memerlukan suatu kerangka
pemikiran yang sistimatis seperti disajikan pada Gambar 2.
9

Agar pemanfaatan sumberdaya ikan, khususnya perikanan ikan layang di


Maluku Utara dapat dilakukan secara optimal dan berkelanjutan, maka perlu
menentukan jenis teknologi alat tangkap yang layak dikembangkan, yang ditinjau
dari aspek biologi, teknis, sosial, ekonomi dan keramahan lingkungan. Setelah
ditentukan jenis teknologi alat tangkap yang tepat, maka langkah selanjutnya
adalah menyusun strategi pengembangan perikanan ikan layang untuk teknologi
alat tangkap terpilih. Pemilihan teknologi alat tangkap dilakukan dengan
menggunakan aplikasi metoda skoring dengan fungsi nilai.
Analisis potensi lestari sumberdaya ikan layang di perairan Maluku Utara
diperlukan guna melihat sejauh mana kemampuan sumberdaya ikan layang dapat
dieksploitasi tiap tahunnya (potensi lestari) tanpa menggangu proses regenerasi
pada tahun berikutnya. Analisis potensi lestari (MSY) ikan layang dilakukan
melalui pendekatan secara biologi menggunakan surplus production model dan
pendekatan secara ekonomi menggunakan bioekonomi model Gordon- Schaefer.
Pengalokasian upaya penangkapan dalam hal ini adalah jumlah unit
penangkapan terpilih yang optimal bertujuan untuk melakukan pembatasan dan
pembagian secara proporsional pemanfaatan sumberdaya ikan layang sehingga
kegiatan perikanan layang di Maluku Utara dapat berjalan efisien, lestari dan
berkelanjutan. Data-data yang diperoleh dari hasil analisis upaya penangkapan
optimum (Emey) dan produksi ikan layang optimum (Cmey) digunakan sebagai
faktor tujuan dalam melakukan penentuan alokasi unit penagakapan ikan layang.
Analisis ini menggunakan pendekatan linear goal programming (LGP).
Informasi tentang biologi ikan yaitu berkaitan dengan beberapa parameter
populasi ikan layang secara umum dapat menjelaskan kondisi stok ikan tersebut.
Pertumbuhan ikan, adalah saling berpengaruh dengan ukuran stok ikan. Ukuran
ikan yang tertangkap secara langsung dapat menjelaskan kondisi stok ikan di
suatu daerah penangkapan. Semakin kecil ukuran ikan yang tertangkap berarti
kondisi stok ikan semakin dalam bahaya karena ikan yang tertangkap diduga
belum sempat memijah sehingga pada periode berikutnya individu baru semakin
berkurang. Untuk menduga parameter pertumbuhan ikan layang terlebih dahulu di
lakukan analisis kelompok umur ikan dengan metode Tanaka, selanjutnya
dilkukan pendugaan nilai koefisien pertumbuhan (K) dan panjang infinity (L ∞ )
10

dengan metode Ford-Walford, kemudian untuk menghitung nilai t0 yang


merupakan umur teoritis ikan digunakan rumus empiris Pauly (Gulland 1983).
Dengan mengetahui nilai-niali K, L ∞ dan to, dapat ditentukan model pertumbuhan
dan hubungan umur serta panjang ikan layang dengan memasukkan nilai-nlai
parameter pertumbuhan tersebut ke dalam model pertumbuhan Von Bartalanffy.
Pengukuran panjang dan berat ikan bermanfaat untuk menaksir pertumbuhan ikan
pada waktu tertentu. Untuk melihat hubungan panjang berat digunakan regresi
linear sederhana, yaitu dengan menghitung dahulu logaritma dari tiap-tiap panjang
dan berat ikan. Pengetahuan tentang tingkat kematangan gonad perlu untuk
mengetahui musim-musim ikan memijah, sehingga penangkapannya dapat
dikontrol. Tingkat kematangan gonad dianalisis secara makroskopik (visual)
dengan melihat karakteristik gonad. Pengetahuan tentang fekunditas secara tidak
langsung kita dapat menaksir jumlah anak ikan yang akan dihasilkan dan akan
menentukan pula jumlah ikan dalam kelas umur yang bersangkutan. Perhitungan
fekunditas (jumlah telur) dilakukan dengan cara gabungan gravimetrik,
volumetrik dan hitung.
Pendugaan ukuran pertama kali matang gonad merupakan salah satu cara
untuk mengetahui perkembangan populasi dalam suatu perairan, seperti bilamana
ikan akan memijah, baru memijah atau sudah selesai memijah. Berkurangnya
populasi ikan dimasa mendatang dapat terjadi karena ikan yang tertangkap adalah
ikan yang akan memijah atau ikan belum pernah memijah, sehingga sebagai
tindakan pencegahan diperlukan penggunaan alat tangkap yang selektif. Analisis
ukuran ikan pertama kali matang gonad dilakukan dengan metode Sperman
Karber (Udupa 1986).
Penentuan ukuran mata jaring minimun sangat penting dalam penerapan
kode etik perikanan yang bertanggung jawab. Ukuran mata jaring yang digunakan
memberikan gambaran ukuran ikan yang akan tertangkap. Ukuran pertama kali
matang gonad sangat penting digunakan sebagai rujukan dalam pengaturan ukuran
mata jaring. Untuk penentuan ukuran mata jaring minimum terlebih dahulu
dilakukan analisis hubungan antara lingkar badan dengan panjang total rata-rata
ikan yang dianalisis dengan menggunakan regresi linear sederhana. Berdasarkan
perhitungan ukuran pertama kali matang gonad diperoleh nilai panjang total rata-
11

rata ikan pertama kali matang gonad. Nilai panjang tersebut disubstitusikan pada
persamaan regresi untuk mendapatkan nilai lingkar badan ikan. Selanjutnya nilai
lingkar badan ikan tersebut dibandingkan dengan ukuran mata jaring pada alat
tangkap yang digunakan dalam mengeksploitasi sumberdaya ikan layang di
Maluku Utara saat ini untuk menentukan ukuran mata jaring minimum yang
seharusnya digunakan.
Informasi tentang waktu dan daerah penangkapan yang tepat dalam
melakukan kegiatan penangkapan ikan layang sangat diperlukan agar kegiatan
pemanfaatan dapat berlangsung secara efektif dan efisien dengan
mempertimbangkan aspek keberlanjutan dari stok sumberdaya ikan. Untuk itu
dilakukan analisis pola musim penangkapan ikan dengan pendekatan nilai Indeks
Musim Penangkapan (% IMP), menggunakan metode rata-rata bergerak (moving
average). Untuk pemetaan daerah dan musim penangkapan ikan layang
dilakukan dengan mengoverlay data hasil wawancara dengan responden
(nelayan) dan data titik koordinat lokasi pemasangan rumpon menggunakan
bantuan perangkat lunak AreView Gis 33, sehingga membentuk suatu peta
tematik yang merupakan peta daerah penangkapan dan musim penangkapan ikan
layang di perairan Maluku Utara.
Perumusan pola pengembangan berkelanjutan sumberdaya ikan layang di
Maluku Utara dilakukan dengan pendekatan deskriptif model yaitu berdasarkan
nilai keragaan optimal komponen perikanan layang yang telah diperoleh pada sub-
sub bab sebelumnya . Dengan demikian dihasilkan bebarapa implikasi kebijakan
yang dapat menjadi acuan dalam pengembangan perikanan ikan layang di Maluku
Utara.
12
Permasalahan :
- Penangkapan instensif di perairan pantai
- Kecenderungan produktivitas (CPUE) alat
tangkap ikan layang menurun
- Gejala pemanfaatan berlebihan (over fishing)
- Rendahnya produktivitas nelayan
- Rendahnya pendapatan nelayan

Optimalisasi Pengelolaan Biologi Layang Biru dengan Penentuan Mesh size Pola musim Penangkapan
Teknologi Perikanan Pendekatan Parameter Minimum Alat Tangkap Layang dan
Perikanan
Tangkap yang Tersedia Pilihan Penentuan DPI
Ikan Layang Populasi Ikan

Identifikasi jenis Teknologi - Potensi biologi lestari (MSY) Analisis Parameter - Ukuran panjang rata-rata - CPUE bulanan
Penangkapan Ikan Layang - Potensi ekonomi lestari (MEY) pertumbuhan, Hub panjang ikan pertama kali matang - Indeks Musim
- Penentuan alokasi unit berat, TKG , IKG, Fekunditas gonad Penangkapan (IMP)
Penangkapan layang optimum dan Ukuran ikan pertama kali - Ukuran lingkar badan rata- - Posisi Tangkapan Ikan
Seleksi T P I Layang : dan berkelankjutan rata ikan pertama kali Layang
matang gonad matang gonad
- aspek bioogi
- aspek teknis
- aspek sosial Surplus production model,
- aspek ekonimi Bionomik Gordon-Schaefer Model analisis Parameter Metode rata-rata bergerak
Analisis Regresi Linear
- aspek lingkungan model, Model LGP Populasi Ikan dan Metode dan Overlay mengguankan
Sederhana
Sperman Karber AreView Gis 33

Metode Skoring dan


Produksi opt, Upaya Laju pertumbuhan, Panjang & Umur
Fungsi nilai Ukuran Mesh size Waktu dan Daerah
Penangkapan opt, Keuntungan maks, Pola pertumbuhan, Jumlah &
max, Alokasi Unit penangkapan Waktu dominan ikan matang gonad, Minimum Alat Tangkap Penangkapan Ikan Layang
Teknologi Penangkapan Ikan Opt & Jumlah opt nelayan yang Panjang pertama matang gonad, Pilihan yang Disarankan yang Tepat
Layang Pilihan terserap Jumlah telur & Pola pemijahan

Pola Pengembangan Berkelanjutan Sumberdaya


Ikan Layang di Perairan Maluku Utara

Implikasi Kebijakan

Gambar 2 Kerangka pemikiran pola pengembangan berkelanjutan


sumberdaya ikan layang di perairan Maluku Utara.
13

2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Karakteristik Lokasi Penelitian


2.1.1.Letak geografis dan administrasi
Provinsi Maluku Utara secara georafis terletak antara 03000’00” Lintang
Utara sampai 03000’00” Lintang Selatan dan antara 124000’00” Bujur Barat
sampai 129000’00” Bujur Timur. Wilayah provinsi ini merupakan kesatuan dari
gugusan pulau besar dan kecil dengan batasan-batasan sebagai berikut :
- Sebelah Selatan berbatasan dengan laut Seram dan Laut Banda
- Sebelah Utara berbatasan dengan samudera Pasifik
- Sebelah Barat berbatasan dengan laut Maluku
- Sebelah Timur berbatasan dengan laut Halmahera
Secara administratif Provinsi Maluku Utara memilki luas 140 255.36 km2,
terdiri dari luas perairan laut sekitar 106 977.32 km2 atau 77% dan luas
2
daratannya 33 278.04 km atau 23% dari luas wilayahnya secara keseluruhan
(Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Maluku Utara, 2006).

2.1.2 Karakteristik iklim


Iklim adalah gabungan berbagai kondisi sehari-hari dimana unsur
penyusunnya adalah temperatur dan curah hujan, sehingga tipe iklim disuatu
wilayah dapat ketahui dengan cara mengetahui karakteristik temperatur dan curah
hujan wilayah tersebut.
Kondisi wilayah penelitian dipengaruhi oleh iklim tropis dengan curah hujan
rata-rata 1.000 – 2.000 mm per tahun. Kelembaban nisbi rata-rata yang tercatat
pada Stasiun Meteorologi Babullah Ternate (1997) diacu dalam Dinas Perikanan
dan Kelautan (2006) adalah 71% (lower) pada bulan Agustus dan 87% (higher)
pada bulan Februari.
Berdasarkan klasifikasi Schmidt dan Ferguson wilayah Maluku Utara
beriklim tipe A dan B, sedangkan menurut klasifikasi Koppen adalah bertipe A.
Secara umum dipengaruhi oleh 4 musim, yaitu musim Utara atau Barat dan
musim Selatan atau Timur dan 2 musim peralihan. Akibat dari pengaruh kondisi
iklim yang terjadi, menyebabkan wilayah Maluku Utara mengalami musim
penghujan antara bulan Desember-Februari, musim barat pada bulan Oktober-
14

Maret dan musim pancaroba pada bulan April. Musim Selatan pada bulan April-
Nopember yang diselingi oleh angin Timur dan pancaroba.
Data Stasiun Meteorologi Babullah Ternate pada tahun 2004 menunjukkan
bahwa musim hujan jatuh pada bulan Desember-Mei dengan jumlah curah hujan
tertinggi pada bulan April (336 mm) dan jumlah hari hujan 11-21 hari. Suhu udara
maksimum berkisar 29.5-32.30C dan suhu minimum berkisar 22.1-24.10C dengan
suhu rata-rata 26.60C. Kelembaban nisbi berkisar 75-87% dengan rata-rata 80.3%.
Persentase penyinaran matahari rata-rata berkisar 37% (Februari)-97% (Agustus).
Kecepatan angin pada bulan Nopember-Mei bertiup dari arah Barat Daya dengan
kecepatan maksimum 24 knot, bulan Juni-September bertiup angin dari arah
Selatan dengan kecepatan maksimum 21 knot.

2.1.3 Karakteristik oseanografi


Perairan Maluku Utara secara langsung berbatasan dengan laut lepas,
sehingga kondisi yang terjadi di perairan ini dipengaruhi oleh karakteristik
perairan yang berbatasan dengan wilayah perairan Maluku Utara. Beberapa laut
yang mempengaruhi secara langsung perairan Maluku Utara adalah laut Maluku,
Seram dan lautan Pasifik. Selain memiliki topografi yang landai sampai terjal,
perairan Maluku Utara terdapat berbagai palung yang dalam. Kedalaman perairan
Maluku Utara mulai dari daerah inshore sampai pada daerah offshore adalah 200-
700 m. Sedangkan pada daerah atau perairan pantai yang terlindung dan memiliki
topografi yang landai terutama pada kawasan pulau-pulau kecil kedalamannya
tidak lebih dari 200 meter.
Kondisi parameter oseanografi perairan Maluku Utara tidak jauh berbeda
dengan perairan tropis lainnya, kondisi ini bisa terjadi secara harian, tahunan dan
jangka panjang. Kondisi pasang surut bergantung pada tipe pasang surut yang
terjadi di perairan tersebut, terutama di perairan yang kedalamannya dangkal
(inshore), sedangkan untuk pergerakan arus dan gelombang bergantung pada
topografi pulau.
Pasang surut yang terjadi di perairan pantai Maluku Utara adalah tipe pasang
diurnal, yaitu pergerakan naik turunya permukaan air laut pada interval waktu
yang sama antara siang dan malam. Selanjutnya pergerakan arus yang
berlangsung menurut skala waktu dapat dibedakan menjadi arus musiman akibat
15

perubahan musim, yaitu Barat dan Timur dan arus harian yang dipengaruhi oleh
pergerakan pasang surut. Data Dishidros TNI-AL (1992) diacu dalam Dinas
Perikanan dan Kelautan (2006) kecepatan arus tertinggi terjadi di Selat Capalulu
mencapai 90 mil/jam, sedangkan arus lokal bervariasi pada saat arah angin
menuju Timur Laut sampai Tenggara dan ke arah Selatan sampai Barat dengan
variasi antara 1-45 cm/detik.
Parameter oseanografi penting lainnya adalah gelombang, informasi
mengenai kondisi gelombang dapat memprediksikan kondisi perairan dan aktifitas
di laut termasuk aktifitas perikanan tangkap.
Variasi pergerakan gelombang berdasarkan data Dishidros TNI-AL (1992)
dan LON-LIPI Ambon (1994) diacu dalam Dinas Perikanan dan Kelautan (2004)
gelombang besar terjadi pada bulan September-Desember dengan ketinggian
mencapai 1.50 – 2.00 m.

2.2 Pengembangan Usaha Perikanan Tangkap


Pengembangan merupakan suatu istilah yang berarti suatu usaha perubahan
dari suatu yang dinilai kurang kepada sesuatu yang dinilai lebih baik. Manurung et
al., (1998), memberikan pengertian tentang pengembangan sebagai suatu proses
yang membawa peningkatan kemampuan penduduk (khususnya di pedesaan)
mengenai lingkungan sosial yang disertai dengan meningkatkan taraf hidup
mereka sebagai akibat dari penguasaan mereka. Dengan demikian pengembangan
adalah suatu proses yang menuju pada suatu kemajuan.
Untuk dapat mencapai kemajuan dalam usaha meningkatkan
kesejahteraan masyarakat ditempuh melalui pembangunan. Dalam rangka
pembangunan, segala kegiatan harus ditumpahkan demi pembaharuan sosial
serta pertumbuhan ekonomi, yang kedua-duanya harus berjalan serasi dan
seirama Mubyarto (1996).
Syafrin (1993), mengatakan bahwa pengembangan usaha perikanan
tangkap sangat tergantung pada ketersediaan sumberdaya perikanan di suatu
perairan dan fluktuasi kegiatan usaha perikanan pada akhirnya mempengaruhi
nelayan yang beroperasi di sekitar perairan tersebut.
Seleksi teknologi menurut Haluan dan Nurani (1988), dapat dilakukan
melalui pengkajian-pengkajian aspek "bio-technico-socio-economic-approach"
16

oleh karena itu ada empat aspek yang harus dipenuhi oleh suatu jenis teknologi
penangkapan ikan yang akan dikembangkan, yaitu : (1) bila ditinjau dari segi
biologi tidak merusak atau mengganggu kelestarian sumberdaya, (2). Secara
teknis efektif digunakan, (3) dari segi sosial dapat diterima masyarakat nelayan,
(4) secara ekonomi teknologi tersebut bersifat menguntungkan. Satu aspek
tambahan yang tidak dapat diabaikan yaitii adanya izin dari pemerintah (kebijakan
dan peraturan pemerintah).
Apabila pengembangan perikanan di suatu wilayah perairan ditekankan pada
perluasan kesempatan kerja, maka menurut Monintja (1987), teknologi yang perlu
dikembangkan adalah jenis unit penangkapan ikan yang relatif dapat menyerap
tenaga kerja banyak, dengan pendapatan per nelayan memadai. Selanjutnya
menurut Monintja (1987), dalam kaitannya dengan penyediaan protein untuk
masyarakat Indonesia, maka dipilih unit penangkapan ikan yang memiliki
produktifitas unit serta produktifitas nelayan per tahun yang tinggi, namun masih
dapat dipertanggung jawabkan secara biologis dan ekonomis.

2.3 Usaha Perikanan yang Berkelanjutan


Pembangunan berkelanjutan didefinisikan sebagai pembangunan yang dapat
memenuhi kebutuhan generasi saat ini tanpa mengurangi kemampuan generasi
yang akan datang. Konsep pembangunan berkelanjutan adalah pembangunan yang
mengintegrasikan masalah ekologi, ekonomi, dan sosial (Munasinghe 2002).
Selanjutnya dikatakan konsep pembangunan berkelanjutan harus berdasarkan
pada empat faktor, yaitu: (1) terpadunya konsep "equity" lingkungan dan ekonomi
dalam pengambilan keputusan; (2) dipertimbangkan secara khusus aspek
ekonomi; (3) dipertimbangkan secara khusus aspek lingkungan; dan (4)
dipertimbangkan secara khusus aspek sosial budaya.
Monintja (1997), menyatakan bahwa kriteria usaha perikanan yang
berkelanjutan adalah :
(1) Menerapkan teknologi penangkapan ikan yang ramah lingkungan.
(2) Jumlah hasil tangkapan tidak melebihi jumlah tnagkapan yang
diperbolahkan.
(3) Investasi rendah.
(4) Penggunaan bahan bakar minyak rendah.
17

(5) Memenuhi ketentuan hukum dan perundang-undangan yang berlaku.


Pengembangan usaha perikanan haruslah ditinjau secara bio-technico-
socio-economic aproach. Hal ini berarti bahwa pengembangan suatu alat
tangkap dalam usaha perikanan harus mempertimbangkan hal-hal berikut
(Kasteven, 1973 diacu dalam Simbolon, 2003)
Menurut Monintja (1997), perlu ada pertimbangan dalam pemilihan suatu
teknologi yang tepat untuk diterapkan di dalam pengembangan usaha
perikanan. Pertimbangan dimaksud dapat dikelompokkan menjadi teknologi
penangkapan ikan ramah lingkungan, teknologi penangkapan ikan yang secara
teknis, ekonomis, mutu dan pemasaran menguntungkan dan kegiatan
penangkapan ikan berkelanjutan.

2.4 Determinasi Usaha Perikanan Tangkap


Tujuan determinasi unit penangkapan ikan adalah untuk mendapatkan jenis
alat tangkap ikan yang mempunyai keragaan (performance) yang baik ditinjau
dari aspek biologi, teknis, sosial dan ekonomi, sehingga merupakan alat tangkap
yang cocok untuk dikembangkan. Haluan dan Nurani (1988) mengemukakan
bahwa untuk menentukan unit usaha perikanan tangkap pilihan digunakan metoda
skoring. Penilaian metoda skoring mencakup analisis terhadap aspek-aspek
sebagai berikut :
(1) Aspek biologi mencakup : lama waktu musim penangkapan ikan dan musim
ikan dengan melihat jumlah bulan musim ikan yang diperoleh dari hasil
wawancara dengan nelayan dan melihat mesh size jaring yang digunakan
untuk menganalisa selektivitas alat tangkap.
(2) Aspek teknis mencakup: produksi per trip, produksi per tenaga kerja dan
produksi per tenaga penggerak kapal.
(3) Aspek sosial meliputi: jumlah tenaga kerja per unit penangkapan dan
pendapatan nelayan per unit penangkapan serta kemungkinan kepemilikan
unit penangkapan ikan oleh nelayan yang diperoleh dari pendapatan nelayan
per tahun dibagi investasi dari unit penangkapan.
(4) Aspek ekonomi mencakup: analisis aspek ekonomi dan finansial yaitu
meliputi penerimaan kotor per tahun, penerimaan kotor per tenaga kerja dan
penerimaan kotor per tenaga penggerak kapal. Sedangkan untuk analisis
18

finansial meliputi penilaian dengan Net Present Value (NPV), Benefit Cost
Ratio (Net B/C) dan Internal Rate of Return (IRR).
Prinsip dasar untuk penentuan berdasarkan cara skoring terhadap unit
perikanan tangkap adalah untuk penilaian pada kriteria yang mempunyai satuan
berbeda dan penilaiannya dilakukan secara subjektif. Penilaian terhadap semua
kriteria secara terpadu dan dilakukan standarisasi nilai dari kriteria masing-masing
unit penangkapan ikan. Kemudian skor tersebut dijumlahkan, makin besar jumlah
skor berarti lebih baik atau efisien dan sebaliknya (Mangkusubroto dan Trisnadi,
1985).

2.5 Konsep Dasar Sistem Penangkapan Ikan Ramah Lingkungan

Berbagai permasalahan sumberdaya maupun lingkungan yang sedang


dihadapi pada saat ini, telah menjadi dasar dan alasan penting bahwa
pengembangan teknologi penangkapan ikan dimasa mendatang lebih dititik
beratkan pada kepentingan konservasi sumberdaya dan perlindungan lingkungan.
Usaha-usaha untuk menjaga kelestarian sumberdaya ikan dari ancaman
kepunahan, sebenarnya telah dilakukan sejak lama oleh berbagai ahli
penangkapan ikan di seluruh dunia. Sebagai contoh, industri penangkapan ikan di
laut Utara telah melakukan berbagai usaha untuk mengurangi buangan hasil
tangkap sampingan lebih dari 100 tahun yang lalu (Purbayanto dan Baskoro
1999).
Kegiatan ini pada akhirnya telah mengarahkan kepada pengembangan
penelitian selektivitas mata jaring yang dilakukan oleh sebagian besar negara-
negara di benua Eropa. Hal tersebut kemudian diikuti oleh negara-negara di Asia.
Usaha-usaha tersebut di atas belum dapat dikatakan berhasil, setelah diketahui
bahwa hampir sebagian besar ikan-ikan yang lolos dari alat tangkap melalui
selektivitas dilaporkan mengalami kematian akibat luka atau stres yang diterima
selama proses penangkapan dan pelolosan (Purbayanto dan Baskoro 1999).
Terlebih lagi dengan kerusakan lingkungan bumi dan sumberdaya alam yang
telah melampaui ambang batas dan menghawatirkan bagi kelangsungan hidup
generasi mendatang akhir-akhir ini, telah menggugah kepedulian masyarakat
dunia untuk segera bertindak. Akhir abad ke-20 kiranya dapat disebut sebagai
19

abad sadar lingkungan dengan telah dicanangkannya dua isu penting internasional
yaitu pemeliharaan lingkungan bumi dan jaminan penyediaan pangan (earth
environmental conservation and food security) (Purbayanto dan Baskoro 1999).
Perhatian internasional tentang tingkat stres dan kematian dari ikan-ikan
setelah lolos dari alat tangkap dan diperlukannya standarisasi dari penelitian
selektivitas telah membawa kedua isu ini menjadi fokus perhatian para ahli
penangkapan ikan. Penelitian mengenai survival dan selektivitas telah menjadi
suatu topik utama dalam beberapa tahun terakhir ini. Hal ini sejalan dengan
International Code of Conduct for Responsible Fisheries yang dihasilkan dari
pertemuan konsultasi ahli-ahli perikanan dunia (FAO) tahun 1995. Untuk
mewujudkan pengembangan selektivitas alat tangkap secara sukses tanpa
mengakibatkan kematian ikan-ikan yang lolos melalui proses seleksi alat tangkap,
telah direkomendasikan bahwa kegiatan penelitian survival dan selektivitas harus
saling terkait (Purbayanto dan Baskoro 1999).
Memasuki awal melenium III, trend pengembangan teknologi penangkapan
ikan di tekankan pada teknologi penangkapan ikan yang ramah lingkungan
(environmental friendly fishing technology) dengan harapan dapat memanfaatkan
sumberdaya perikanan secara berkelanjutan. Teknologi penangkapan ikan ramah
lingkungan adalah suatu alat tangkap yang tidak memberikan dampak lingkungan,
yaitu sejauh mana alat tangkap tersebut merusak dasar perairan (benthic
disturbance), kemungkinan hilangnya alat tangkap, serta kontribusinya terhadap
polusi (Arimoto 1999).
Faktor lain bagaimana dampaknya terhadap bio-diversity dan target
resources yaitu komposisi hasil tangkapan, adanya by catch serta tertangkapnya
ikan-ikan muda. Berbagai permasalahan sumberdaya maupun lingkungan yang
sedang dihadapi pada saat ini telah menjadi dasar dan alasan penting bahwa
pengembangan teknologi penangkapan ikan dimasa mendatang dititik beratkan
pada kepentingan konservasi sumberdaya dan perlindungan lingkungan
(Purbayanto dan Baskoro 1999).
Proses seleksi alat tangkap ramah lingkungan dimulai dengan melihat
spesies ikan yang menjadi tujuan penangkapan. Apakah spesies tersebut termasuk
kategori dilindungi atau terancam punah, jika ya maka tidak dilakukan
20

penangkapan. Jika spesies termasuk kategori yang diperbolehkan, maka dapat


dilanjutkan dengan memilih teknologi penangkapan yang ada di perairan tersebut,
dengan memenuhi syarat ramah lingkungan dan berkelanjutan (Monintja 2000).
Beberapa kriteria alat tangkap ramah lingkungan dan berkelanjutan adalah:
1) Mempunyai selektivitas yang tinggi.
2) Tidak merusak habitat.
3) Tidak membahayakan operator.
4) Menghasilkan ikan berkualitas tinggi.
5) Produk yang dihasilkan tidak membahayakan konsumen.
6) By-catch rendah.
7) Tidak berdampak buruk terhadap biodiversity.
8) Tidak menangkap ikan-ikan yang dilindungi.
9) Dapat diterima secara sosial.
10) Hasil tangkapan tidak melebihi TAC.
11) Tingkat keuntungan tinggi.
12) Nilai investasi rendah.
13) Penggunaan bahan bakar rendah.
14) Secara hukum legal.

2.6 Sumberdaya Ikan Layang (Decapterus spp)


2.6.1 Sistematika dan morfologi ikan layang
Menurut Weber dan Beaufort (1931) diacu dalam Najamuddin (2004)
sistematika ikan layang (Decapterus spp) adalah sebagai berikut:

Kelas : Pisces
Sub kelas : Teleostei
Ordo : Percomorphi
Sub Ordo : Percoidae
Devisi : Carangi
Famili : Carangidae
Sub Famili : Caranginae
Genus : Decapterus
Spesies : Decapterus russelli, (Ruppel)
D. macrosoma, (Bleeker)
21

D. lajang, (Bleeker)
D. Kurroides, (Bleeker)
D. maruadsi, (Temminck dan Schlegel)

Nama Decapterus terdiri dari dua suku kata yaitu Deca artinya sepuluh dan
Pteron artinya sayap. Jadi Decapterus berarti ikan yang mempunyai sepuluh
sayap. Nama ini berkaitan dengan layang yang berarti jenis ikan yang mampu
bergerak sangat cepat di air laut. Kecepatan tinggi ini memang dapat dicapai
karena bentuknya seperti cerutu dan sisiknya halus. Selanjutnya dikatakan bahwa
genus marga ini mudah dibedakan dari 26 marga lainnya dalam suku Carangidae,
karena mempunyai tanda khusus yaitu terdapat finlet di belakang sirip punggung
dan sirip dubur, mempunyai bentuk tubuh yang bulat memanjang dan pada bagian
belakang garis sisi (lateral line) terdapat sisik-sisik berlengir (lateral scute)
(Burhanuddin et al. (1983) diacu dalam Najamuddin (2004).
Berikut ini deskripsi dari beberapa jenis ikan layang menurut Saanin (1984);
Nontji (1993) adalah sebagai berikut: Decapterus russelli (Ruppell), Decapterus
macrosoma (Bleeker), Decapterus macarellus (Cuvier), dan Decapterus kurroides
(Bleeker).
Decapterus russelli nama Indonesia disebut ikan layang dan nama daerah
khusus untuk Jawa disebut Benggol, Kerok, layang; Jabar/Jakarta : Layang;
Madura: Kaban padara, Kaban patek, Lajeng rencek bulus, Rencek kaban, Rencek
padara, Rencek patek ; Maluku (Ambon) : Momar merah ; Nusa Tenggara Timur :
Layang. Decapterus russelli mempunyai badan memanjang, agak gepeng. Dua
sirip punggung, sirip punggung pertama berjari-jari 9 (1 meniarap + 8 biasa), sirip
punggung kedua berjari-jari keras 1 dan 30 – 32 lemah. Sirip dubur berjari-jari
keras 2 (lepas) dan 1 bergabung dengan 22 – 27 jari-jari sirip lemah. Baik
dibelakang sirip punggung kedua dan dubur terdapat 1 jari-jari sirip tambahan
(finlet). Termasuk pemakan plankton (invertebrata).
Decapterus russelli hidup di perairan lepas pantai, kadar garam tinggi,
membentuk gerombolan besar. Dapat mencapai panjang 30 cm umumnya 20 – 25
cm. Warna biru kehijauan, hijau pupus bagian atas, putih perak bagian bawah.
Sirip-siripnya abu-abu kekuningan atau pucat dan satu totol hitam terdapat pada
tepian atas penutup insang (Gambar 3).
22

Gambar 3 Ikan layang (Decapterus russelli).


Sumber. Allen Gerry (1999).

Decapterus macrosoma nama Indonesia disebut ikan layang dan nama


daerah khusus untuk Jawa disebut benggol deles, layang deles, layang lidi, luncu;
Jawa Barat/Jakarta : layang deles; Madura : bulus blanseng, Kaban bulus: bawean
: Bulus ; Muna-Buton : Lada Seram : Iya biya; Ambon : momar, momol, momare,
kela mahu; Saparua : momar papeda; Nusa Tenggara Timur : layang.
Decapterus macrosoma mempunyai badan memanjang,seperti cerutu. Badan
sepintas lalu seperti tongkol. Sirip punggung pertama berjari-jari keras 8; sirip
punggung kedua berjari-jari keras 1 dan 32 – 35 lemah. Sirip dubur berjari-jari
keras 2 (lepas), 1 jari-jari keras bergandeng dengan 26 – 30 jari-jari lemah. Di
belakang sirip punggung kedua dan dubur terdapat 1 jari-jari sirip tambahan
(finlet). Terdapat 25 – 30 sisik duri pada garis sisinya.
Decapterus macrosoma termasuk pemakan plankton kasar. Hidup
bergerombol di perairan lepas pantai, daerah-daerah pantai laut dalam, kadar
garam tinggi. Dapat mencapai panjang 40 cm, umumnya 25 cm. Warna biru
kehijauan bagian atas, putih perak bagian bawah. Sirip-siripnya kuning pucat atau
kuning kotor. Satu totol hitam pada bagian atas penutup insang, dan pangkal sisip
dada (Gambar 4).

Gambar 4 Ikan layang (Decapterus macrosoma).


Sumber. Allen Gerry (1999).
23

Decapterus macarellus nama Indonesia disebut ikan malalugis biru. Jari-


jari sirip terdiri dari D VIII; I, 31 – 37, A. II; I, 27 – 31, GR 9 – 31 + 31 – 39.
Mempunyai tubuh memanjang dan ramping; sirip punggung pendek, tidak sampai
melebihi garis vertical dari ujung posterior duri-duri perut; garis lateral terdiri dari
68 – 79. Sisik berbentuk kurva, 19 – 33 sisik berbentuk lurus diikuti dengan 23 –
32 scute; tidak mempunyai gigi pada rahang atas, membran sub spesifik rahang
atas berwarna putih; ujung rahang atas berbentuk lurus dan jaringan adipose mata
berkembang dengan baik. Berwarna biru metalik sampai kehitaman pada bagian
atas, putih keperakan pada bagian bawah, terdapat bintik/noda hitam kecil pada
garis tepi operkulum. Sirip ekor berwarna kuning kehitaman, sedang sirip lainnya
berwarna putih kehitaman. Panjang tubuh bisa mencapai 28 cm (Gambar 5).

Gambar 5 Ikan layang (Decapterus macarellus ).


Sumber. Allen Gerry (1999).

Jari-jari sirip Decapterus kurroides terdiri dari D VIII, I, 28 – 30, A. II; I 22


– 26, GR 9 – 12 + 26 – 32. Mempunyai tubuh memanjang dan sedikit gepeng.
Jaringan adipose menutup seluruh mata dan terdapat sebuah celah. Sisik berada
diatas kepala dan menyebar mendekati garis tepi anterior mata. Sirip dada
memanjang mendekati sebuah garis vertikal dari sirip dorsal lemah. Rahang atas
dengan rangkaian gigi, rahang bawah memiliki sederatan gigi yang tidak teratur.
Lateral line melengkung kebawah didepan terdapat 47 – 55 scute pada bagian
yang lurus. Badan bagian atas berwarna biru kehijauan dan bagian bawah
berwarna putih keperak-perakan. Terdapat satu bintik noda hitam pada garis tepi
operkulum. Sirip ekor berwarna merah, spinous dorsal dan sirip dorsal lemah
kadang-kadang berwarna kehitaman, sedangkan sirip lainnya berwarna putih.
Panjang tubuh 17 cm ( Gambar 6).
24

Gambar 6 Ikan layang (Decapterus kurroides).


Sumber . Allen Gerry (1999).

2.6.2 Siklus hidup, distribusi dan ruaya ikan layang


Siklus hidup ikan layang harus diketahui agar dapat dimanfaatkan secara
optimal tanpa mengganggu kelestarian sumberdaya (Widodo 1998). Perhatian
terhadap proses-proses yang terdapat dalam perkembangan awal hidup ikan
layang merupakan hal yang menarik karena berhubungan dengan stabilitas
populasi ikan tersebut dalam suatu perairan. Mortalitas pada awal perkembangan
hidup ikan umumnya sangat besar dimana fluktuasi mortalitas mempunyai andil
yang besar dalam menentukan variasi produksi pada tiaptiap tahunnya.
Menurut Widodo (1998) secara ringkas siklus hidup ikan layang dimulai
dari telur, fase larva, anakan, populasi muda, dewasa, memijah dan akhirnya
mati.. Ikan layang memulai kehidupannya sebagai plankton yang berukuran kecil
yang hidupnya terombang-ambing oleh arus lautan.
Layang umumnya merupakan filter feeder, yaitu jenis ikan pemakan
plankton dengan jalan menyaring plankton yang masuk untuk memilih jenis
plankton yang disukainya . Pada siang hari ikan layang berada di dasar perairan
membentuk gerombolan yang padat dan kompak, sedangkan pada malam hari
naik ke permukaan membentuk gerombolan yang menyebar. Ikan juga dapat
muncul ke permukaan pada siang hari, apabila cuaca mendung disertai hujan
gerimis (Sumadhiharga 1991).
Ikan layang muncul di permukaan laut oleh karena dipengaruhi oleh ruaya
harian dari organisme-organisme lain yang terdapat di suatu perairan. Pada siang
hari gerombolan-gerombolan ikan ini bergerak ke lapisan atas, dimana
perpindahan tersebut disebabkan oleh adanya perpindahan massal plankton nabati
25

yang diikuti oleh plankton hewani, kemudian organisme hewan-hewan kecil,


seterusnya oleh organisme-organisme yang lebih besar termasuk ikan (Asikin,
1971). Ikan layang biasanya memanfaatkan benda-benda terapung seperti rumpon
sebagi substrat untuk meletakkan telurnya dan sebagai tempat berlindung dari
predator maupun tempat untuk mencari makan.
Penyebaran ikan layang sangat luas di dunia. Jenis-jenis ikan ini mendiami
perairan tropis dan sub tropis di Indo-Pasifik dan Lautan Atlantik. Walaupun jenis
ikan ini hidup di wilayah yang luas, namun setiap jenis mempunyai wilayah
sebaran tertentu . Ikan layang di Perairan Indonesia terdapat 5 jenis ikan layang
yakni Decapterus russelli, Decapterus kurroides, Decapterus lajang, Decapterus
macrosoma dan Decapterus maruadsi. Namun dari kelima spesies tersebut hanya
Decapterus russelli yang mempunyai daerah sebaran yang luas di Indonesia mulai
dari Kepulauan Seribu hingga Bawean dan Pulau Masalembo. Decapterus lajang
senang hidup di perairan dangkal seperti di Laut Jawa ( termasuk Selat Sunda,
Selat Madura, dan Selat Bali), Ambon dan Ternate.
Decapterus macrosoma banyak dijumpai di Selat Bali, Laut Banda, Selat
Makasar dan Sangihe. Ikan layang Deles (Decapterus macrosoma) termasuk
dalam kelompok ikan pelagis kecil yang sudah dieksploitasi secara intensif di
perairan Selat Makassar. Decapterus kurroides terdapat di Selat Bali, Labuhan
dan Pelabuhan Ratu. Decapterus maruadsi termasuk ikan yang berukuran besar,
hidup di laut dalam seperti di Laut Banda. Ikan ini tertangkap pada kedalaman
100 meter atau lebih (Gafa et al. (1993) diacu dalam Nontji (1993)).
Layang (Decapterus spp) terutama terkonsentrasi di perairan utara Jawa,
utara dan selatan Sulawesi. Daerah penyebarannya mulai dari barat Sumatera,
selatan Jawa, timur Kalimantan, Nusa Tenggara, selatan dan barat Kalimantan,
Maluku dan Irian Jaya (Direktorat Jenderal Perikanan 1997). Jenis dan daerah
penyebaran ikan layang di perairan Indonesia dapat dilihat pada Tabel 1.
26

Tabel 1 Jenis dan daerah penyebaran ikan layang di perairan Indonesia

No Jenis Ikan Daerah Penyebaran


1 Deapterus russelli Kepulauan Seribu hingga Bawean dan
Pulau Masalembo
2 Decapterus kurroides Selat Bali, Labuhan dan Pelabuhan Ratu
3 Decapterus lajang Laut Jawa (Selat Sunda, Selat Madura
dan Selat Bali), Selat Makasar, Ambon
dan Ternate
4 Decapterus macrosoma Selat Bali, Selat Makasar dan Sangihe
5 Decapterus maruadsi Laut Banda

Menurut (Hardenberg, 1973 diacu dalam Djamali, 1995) di Laut Jawa


populasi layang ada tiga macam yaitu layang utara, layang barat, dan layang
timur. Pada Musim Timur populasi layang disebut layang timur, jadi disini yang
akan dibahas adalah populasi layang timur. Selanjutnya ia menyatakan bahwa
ruaya layang di perairan Indonesia mempunyai hubungan dengan pergerakan
massa air laut, walaupun secara tidak langsung. Selama musim timur berlangsung
air dengan salinitas tinggi mengalir dari Laut Flores masuk ke Laut Jawa dan
keluar melalui Selat Gaspar, Selat Karimata, dan Selat Sunda. Pada tahap
permulaan layang yang masih kecil berasal dari Laut Flores bermigrasi ke barat
dan sampai di Pulau Bawean. Pada musim timur pada bulan Juni sampai
September terdapat banyak layang di Laut Jawa. Ia menyebut populasi ikan ini
sebagai layang timur. Menurut Burhanuddin dan Djamali (1977), layang timur
terdiri dari dua populasi. Populasi pertama berasal dari Selat Makasar dan
populasi ke dua berasal dari Laut Flores. Jadi pengamatan ini memperkuat
hipotesa (Hardenberg, 1937 diacu dalam Djamali, 1995) dengan tambahan adanya
populasi layang dari Selat Makasar.
Pada umumnya ruaya layang berkaitan erat dengan pergerakan massa air
laut walaupun secara tidak langsung. Dalam hal pola pergerakan arus sangat
mempengaruhi ruaya layang, karena layang cenderung melakukan ruaya
mengikuti massa air, sebaran salinitas yang tinggi, serta ketersediaan makanan
(Djamali, 1995). Layang sangat peka terhadap perubahan lingkungan. Salah satu
faktor lingkungan yang berpengaruh terhadap kehidupan dan kesediaan layang
adalah arus. Karena layang biasanya melakukan ruaya mengikuti kadar garam dan
ketersediaan makanan. Dengan mengikuti pergerakan arus tersebut layang
27

cenderung beruaya mengikuti arus, di mana di daerah tersebut banyak


mengandung ketersediaan makanan (plankton) dan bersalinitas tinggi di atas
o
32 /oo (Djamali, 1995).
Ikan layang termasuk jenis ikan perenang cepat, bersifat pelagik, tidak
menetap dan suka bergerombol, tergolong stenolaline, hidup di perairan yang
berkadar garam tingg (32 - 34 permil), menyenangi perairan yang jernih, banyak
tertangkap di perairan yang berjarak 20 - 30 mil dari pantai (Weber dan Beaufort,
1931; Hardenberg, 1938 diacu dalam Djamali 1995). Sifat bergerombol atau
membentuk schooling ini merupakan suatu gejala biososial yang elemen-elemen
penyebabnya merupakan suatu pendekatan yang bersifat timbal balik. Bagi ikan
yang hidup bergerombol dapat memberikan kesempatan yang lebih besar untuk
menyelamatkan dari predator, karena terlindung dalam suatu gerombolan; dan
bagi beberapa jenis ikan yang hidup bergerombol dapat memberikan pengaruh
stres yang lebih kecil dibanding hidup menyendiri (Royce, 1972 diacu dalam
Djamali 1995).

2.6.3 Pertumbuhan
Umumnya, ikan mengalami pertumbuhan secara terus menerus sepanjang
hidupnya. Pertumbuhan merupakan salah satu aspek yang dipelajari dalam dunia
perikanan dikarenakan pertumbuhan menjadi indikator bagi kesehatan individu
dan populasi yang baik bagi ikan.
Menurut Wahyuningsih dan Barus (2006), pengertian pertumbuhan dalam
istilah sederhana yaitu sebagai pertambahan ukuran panjang atau berat dalam
suatu waktu, sedangkan pertumbuhan bagi populasi sebagai pertambahan jumlah.
Akan tetapi kalau kita lihat lebih lanjut, sebenarnya pertumbuhan itu merupakan
proses biologis yang komplek dimana banyak faktor mempengaruhinya.
Menurut Weatherley (1972) diacu dalam Wahyuningsih dan Barus (2006),
pertumbuhan ikan merupakan suatu pola kejadian yang kompleks dan melibatkan
banyak faktor yang berbeda termasuk di dalamnya seperti : (1) temperatur dan
kualitas air, (2) ukuran, ketersediaan dan kualitas makanan, (3) ukuran, umur dan
jenis ikan itu sendiri, dan (4) jumlah ikan-ikan lain yang memanfaatkan' sumber-
sumber yang sama.
28

Pertumbuhan individu adalah pertumbuhan ukuran panjang dalam suatu


periode waktu tertentu, sedangkan pertumbuhan populasi adalah pertambahan
jumlah dan biomas totalnya. Pertumbuhan tersebut merupakan proses biologi
yang kompleks dengan banyak faktor yang mempengaruhinya. Beberap faktor
yang mempengaruhi pertumbuhan diantaranya jumlah makanan yang tersedia,
jumlah ikan yang menggunakan sumber makanan yang sama, suhu, oksigen
terlarut, umur, ukuran ikan dan kemmatangan gonad (Effendie, 1997).

2.6.4 Hubungan panjang berat


Pengukuran panjang dan berat ikan bermanfaat untuk menaksir pertumbuhan
ikan pada waktu tertentu. Panjang tubuh sangat berhubungan dengan berat tubuh.
Hubungan panjang dengan berat seperti hukum kubik yaitu bahwa berat sebagai
pangkat tiga dari panjangnya. Namun, hubungan yang terdapat pada ikan
sebenarnya tidak demikian karena bentuk dan panjang ikan bebeda-beda. Menurut
Effendie (1997) harga eksponen ini telah diketahui dari 398 populasi ikan berkisar
1,2 – 4,0, namun kebanyakan dari harga n tadi berkisar dari 2,4 – 3,5. Bilamana
harga n sama dengan 3 menunjukkan bahwa pertumbuhan ikan tidak berubah
bentuknya yaitu pertambahan panjang ikan seimbang dengan pertambahan
beratnya. Pertumbuhan demikian seperti telah dikemukakan ialah pertumbuhan
isometrik. Apabila n lebih besar atau lebih kecil dari 3 dinamakan pertumbuhan
allometrik. Harga n yang kurang dari 3 menunjukkan keadaan ikan yang kurus
yaitu pertambahan panjangnya lebih cepat dari pertambahan beratnya, sedangkan
harga n lebih besar dari 3 menunjukkan ikan itu montok, pertambahan berat lebih
cepat dari pertambahan panjangnya.
Cara yang dapat digunakan untuk menghitung panjang berat ikan ialah
dengan menggunakan regresi, yaitu dengan menghitung dahulu logaritma dari
tiap-tiap panjang dan berat ikan atau dengan mengikuti jalan pendek seperti
dikemukakan oleh Carlander (1968) diacu dalam Wahyuningsih dan Barus
(2006), yaitu dengan mengadakan pengkelasan berdasarkan logaritma. Dasar
perhitungan dari cara tersebut adalah sama namun metoda yang dikemukakan oleh
Carlender lebih pendek dan dapat dipakai tanpa menggunakan mesin hitung. Nilai
praktis yang didapat dari perhitungan panjang berat ini ialah kita dapat menduga
berat dari panjang ikan atau sebaliknya, keterangan tentang ikan mengenai
29

pertumbuhan kemontokan, dan perubahan dari lingkungan serta baik digunakan


terutama untuk ikan-ikan yang besar. Namun, kelemahan dari perhitungan ini
yaitu hanya berlaku untuk sementara waktu saja (Reinthal, P & J. Stegen, 2005).

2.6.5 Tingkat kematangan gonad


Effendie (1992), menyatakan bahwa tingkat kematangan gonad adalah tahap
tertentu perkembangan gonad sebelum dan sesudah ikan memijah. Pertumbuhan
ikan akan menjadi lambat pada saat mulai matang gonad karena sebelum terjadi
pemijahan, sebagian besar hasil metabolisme tertuju untuk perkembangan gonad.
Gonad semakin bertambah berat bersamaan dengan semakin bertambah besar
ukurannya, termasuk diametar telur . Selanjutnya dikatakan bahwa berat gonad
akan bertambah maksimum sesaat ikan berpijah, kemudian berat gonad akan
menurun dengan cepat selama pemijahan berlangsung sampai selesai. Untuk
mengetahui perubahan gonad secara kuantitatif dinyatakan dengan indeks
kematangan gonad.
Menurut Devados (1969) diacu dalam Soumokil (1996), pengetahuan
tentang tingkat kematangan gonad perlu untuk mengetahui musim-musim ikan
memijah, sehingga penangkapannya dapat dikontrol. Salah satu cara untuk
mengetahui tingkat kematangan gonad ikan yaitu mengukur perbandingan
panjang gonad dengan rongga tubuh (body cavity), disamping mengetahui warna
gonad, pembuluh darah dan butir-butir di dalamnya (Effendie, 1992).

2.6.6 Indeks kematangan gonad


Proses sebagain besar hasil metabolisme tertuju pada perkembangan gonad.
Berat gonad akan semaki bertambah dan mencapai maksimum ketika ikan itu
akan memijah, kemudian berat ikan akan menurun setelah pemijahan. Perubahan-
perubahan kondisi gonad ini dinyatakan dengan suatu indeks, yaitu Indeks
Kematangan Gonad atau ”matuarity indeks” (Ganaisa dan Djamali, 1983).
Secara umum Indeks Kematangan Gonad sangat bervariasi menurut panjang
tubuh maupun tingkat kematangan gonadnya, namun terdapat kecenderungan
hubungan yang positif antara indeks gonad dengan tingkat kematangannya. Indeks
Kematangan Gonad akan semakin tinggi mengikuti perkembangan kematangan
seksual (gonad) karena makin bertambahnya berat gonad (Suwarso et al., 1988).
30

2.6.7 Fekunditas
Pengetahuan mengenai fekunditas merupakan salah satu aspek yang
memegang peranan penting dalam biologi perikanan. Fekunditas ikan telah
dipelajari bukan saja merupakan salah satu aspek dari natural history, tetapi
sebenarnya ada hubungannya dengan studi dinamikan populasi , sifat-sifat rasial,
produksi dan persoalan stok-rekruitmen (Bagenal 1978 diacu dalam Effendie
1979). Dari fekunditas secara tidak langsung kita dapat menaksir jumlah anak
ikan yang akan dihasilkan dan akan menentukan pula jumlah ikan dalam kelas
umur yang bersangkutan.
Talah banyak usaha-usaha untuk menerangkan dan membuat definisi
mengenai fekunditas. Menurut Nikolsky (1963) diacu dalam Effendie (1992)
jumlah telur yang terdapat dalam ovari ikan dinamakan fekunditas individu,
fekunditas mutlak atau fekunditas total. Adapun pengertian fekunditas total
menurut Royce (1972) diacu dalam Effendie (1992) adalah jumlah telur yang
dihasilkan ikan selama hidup. Selanjutnya dikemukakan yang dimaksud dengan
fekunditas relatif adalah jumlah telur per satuan berat atau panjang.
Nikolsky (1963) diacu dalam Effendie (1992) menyatakan ikan-ikan yang
tua dan besar ukurannya mempunyai fekunditas relatif lebih kecil. Umumnya
fekunditas relatif lebih tinggi dibanding dengan fekunditas individu. Fekunditas
relatif akan menjadi maksimum pada golongan ikan yang masih muda.
Tiews et al., (1972) diacu dalam Soumokil (1996) mengatakan bahwa ikan
Decapterus spp umumnya bertelur pada malam hari sekitar pukul 22.00 – 24.00
dan menetas pada keesokan harinya sekitar pukul 09.00. Pemijahan ikan layang
umunya terjadi di perairan sekitar pulau-pulau karang. Pemijahan ini berlangsung
relatif lama dan bersifat seagian-sebagian (partial spawning).

2.7 Alat Tangkap Ikan Layang


2.7.1 Pukat cincin (purse seine)
Alat tangkap purse seine atau pukat cincin adalah jaring yang umumnya
berbentuk empat persegi panjang, dilengkapi dengan tali kerut yang dilewatkan
melalui cincin yang diikatkan pada bagian bawah jaring (tali ris bawah), sehingga
dengan menarik tali kerut bagian bawah jaring dapat dikuncupkan dan jaring akan
31

berbentuk seperti mangkok (Baskoro 2002). Disebut pukat cincin karena alat
tangkap ini dilengkapi dengan cincin. Fungsi cincin dan tali kerut/tali kolor ini
penting terutama pada waktu pengoperasian jaring. Adanya tali kerut tersebut
jaring yang semula tidak berkantong bandingkan dengan jaring payang (seine net)
akan terbentuk kantong pada tiap akhir penangkapan ikan (Subani dan Barus
1989).
Menurut Brandt (1984) purse seine dibentuk dari dinding jaring yang sangat
panjang, biasanya tali ris bawah (leadline) sama atau lebih panjang daripada tali
ris atas (floatline). Floatline memuat rangkaian pelampung (float) yang menjaga
posisi jaring agar tetap berada di permukaan air. Leadline adalah tali ris bawah
yang merangkai kumpulan pemberat (sinker) yang terbuat dari timah sehingga
memungkinkan jaring untuk melebar secara vertikal dengan maksimal. Pada pukat
cincin mata, jaring hanya berfungsi sebagai penghadang gerak ikan, bukan
penjerat seperti pada gillnet (Ayodhyoa 1981).
Pukat cincin yang kurang lebih sejenis di Indonesia sudah sejak lama
dikenal walaupun dengan nama dan konstruksi yang sedikit berbeda, seperti pukat
langgar, pukat senangin, gae dan giob. Pukat cincin pertama kali diperkenalkan di
pantai utara Jawa oleh BPPL pada tahun 1970. Kemudian diaplikasikan
1973/1974 di Muncar dan berkembang pesat sampai sekarang (Subani dan Barus
1989).
Baskoro (2002) menyatakan bahwa purse seine dioperasikan dengan cara
melingkari gerombolan ikan baik dengan menggunakan satu kapal ataupun dua
unit kapal. Setelah gerombolan ikan terkurung, kemudian bagian bawah jaring
dikerutkan hingga tertutup dengan menarik tali kerut yang dipasang sepanjang
bagian bawah melalui cincin. Alat penangkapan ini ditujukan untuk menangkap
gerombolan ikan permukaan (pelagic fish). Tingkah laku ikan layang membentuk
gerombolan dekat dasar perairan pada siang hari dan mencari makan pada malam
hari di permukaan perairan (Jaiswar et al. 2001). Hasil tangkapan yang
mendominasi hasil tangkapan pukat cincin biasanya adalah jenis ikan layang yaitu
antara Decapterus russelli dan Decapterus macrosoma (Subani dan Burus, 1989).
Menurut Subani dan Barus (1989) umumnya perikanan purse seine di dunia
menggunakan satu kapal. Ada dua tipe kapal purse seine, yaitu tipe Amerika dan
32

tipe Skandinavia (Eropa). Kapal purse seine tipe Amerika mempunyai bridge
(anjungan) dan ruang akomodasi pada bagian haluan. Kapal purse seine tipe
Skandinavia (Eropa) mempunyai bridge (anjungan), dan ruang akomodasi di
buritan. Kegiatan penurunan jaring dilakukan pada sisi kanan kapal (starboart),
sedangkan sisi kiri kapal (portside) ditempati untuk ruang kemudi.
Alat penangkapan purse seine disimpan pada bagian buritan dan power
block, biasanya terletak di sisi anjungan kapal Fyson (1985). Menurut Fridman
(1986) diacu dalam Baskoro (2002), jenis purse seine yang dioperasikan dengan
satu unit kapal memiliki kantong (bunt) yang terletak pada salah satu ujung jaring,
sedangkan kantong (bunt) pada purse seine yang manggunakan dua unit kapal
terletak pada bagian tengah jaring.

2.7.2 Jaring insang hanyut


Gill net sering diterjemahkan dengan istilah jaring insang atau jaring rahang
dan lain-lain. Istilah gill net didasarkan pada pemikiran bahwa ikan-ikan yang
tertangkap gill net terjerat pada bagian operculumnya pada bagian jaring.
Penamaan gill net di Indonesia beraneka ragam, ada yang menyebutnya
berdasarkan jenis ikan yang tertangkap (jaring koro, jaring udang dan
sebagainya), ada pula disertai dengan nama tempat dan sebagainya (Sudirman dan
Mallawa 2003).

Salah satu jenis jaring insang adalah jaring insang hanyut (drift gill net).
Jaring insang hanyut adalah jaring insang yang pengoperasiannya dibiarkan
hanyut dibiarkan hanyut di perairan, baik itu dihanyutkan di permukaan perairan,
kolom perairan atau dihanyutkan di dasar perairan (Martasuganda 2002).
Tertangkapnya ikan-ikan dengan gill net adalah dengan cara ikan tersebut
terjerat (gilled) pada mata jaring ataupun terbelit (entangled) pada tubuh jaring.
Pada umumnya ikan-ikan yang menjadi tujuan penangkapan gill net adalah ikan-
ikan yang bermigrasi secara horizontal dan bermigrasi secara vertilal tidak
seberapa aktif. Dengan kata lain, migrasi dari ikan-ikan tersebut terbatas pada
suatu range layer-depth tertentu. Berdasarkan depth dari swimming layer ini lebar
jaring dapat ditentukan (Sudirman dan Mallawa 2003).
33

Jaring insang hanyut dapat digunakan untuk mengejar gerombolan ikan dan
merupakan suatu alat penangkap yang penting untuk perikanan laut bebas. Karena
posisinya tidak ditentukan oleh jangkar, maka pengaruh dari kecepatan arus
terhadap kekuatan tubuh jaring dapat dilakukan atau gerakan jaring bersamaan
dengan gerakan arus, sehingga besarnya tahanan dari jaring terhadap arus dapat
diabaikan (Sudirman dan Mallawa 2003).

2.7.3 Bagan perahu


Bagan merupakan alat penangkapan ikan yang diklasifikasikan ke dalam
jaring angkat (lift net). Dalam pengoperasiannya, jaring atau waring diturunkan
secara vertikal ke dalam perairan. Penangkapan ikan dengan bagan umumnya
dilakukan pada malam hari (light fishing) terutama pada hari bulan gelap dengan
menggunakan lampu sebagai alat bantu penangkapan (Subani dan Barus, 1989).
Berdasarkan cara pengoperasiannya bagan di kelompokkan ke dalam jaring
angkat (lift net) namun karena menggunakan lampu untuk mengumpulkan ikan
maka disebut light fishing (Subani dan 1989). Bagan terdiri dari komponen-
komponen penting yaitu jaring bagan, rumah (anjang-anjang atau kadang tanpa
anjang-anjag), serok dan lampu. Lampu bermacam-macam digunakan oleh
bagan, ada jenis lampu petromaks dan listrik . Penggunaan lampu tergantung pada
jenis kemampuan bagan mengadopsi teknologi. Di pelataran bagan terdapat alat
penggulung (roller) yang terbuat dari kayo berfungsi untuk menurunkan atau
mengangkat jaring bagan saat dioperasikan (Subani dan Burus, 1989). Selanjutnya
pengelompokkan bagan berdasarkan bentuk dan cara pengoperasiannya menjadi
tiga macam, yaitu bagan rakit, bagan perahu dan bagan tancap.
Bagan rakit merupakan jaring angkat yang digunakan oleh nelayan Maluku
Utara dalam penengkapan ikan-ikan pelagis. Dalam pengoperasiannya dapat
dipindah-pindahkan ke daerah penangkapan yang dianggap banyak sumberdaya
ikan. Di sebelah kanan dan kiri bagian bawah bagan terdapat rakit dari bambu
yang berfungsi sebagai landasan dan sekaligus sebagai alat apung. Pada bagian ini
juga terdapat anjang-anjang. Bagan perahu lebih sederhana dibandingkan bagan
rakit dan lebih ringan, sehingga memudahkan dalam pemindahan ke tempat yang
dikehendaki. Bagan perahu terbagi dua berdasarkan jumlah perahu yang
digunakan, yaitu bagan yang menggunakan satu perahu dan bagan dua perahu.
34

Bagian depan dan belakang bagan dua perahu dihubungka oleh dua batang
bambu, sehingga berbentuk bujur sangkar. Bambu tersebut berfungsi sebagai
tempat menggantung jaring atau waring.
Operasi penangkapan ikan menggunakan bagan dimulai pada saat matahari
terbenam. Terlebih dahulu jaring bagan diturunkan sampai kedalaman yang
diinginkan, kemudian lampu mulai dinyalakan untuk menarik perhatian ikan agar
segera berkumpul di sekitar bagan. Apabila hasil pengamatan menunjukan ikan-
ikan sudah mulai berkumpul dibawah sinar lampu, maka jaring bagan diangkat
sampai berada diatas permukaan air dan hasil tangkapan diambil dengan
menggunakan sero (Sadori , 1985 diacu dalam Arifin , 2008).

2.8 Pendekatan Analisis Optimalisasi Perikanan Ikan Layang


2.8.1 Standarisasi upaya tangkap
Setiap jenis alat tangkap mampu menangkap berbagai jenis ikan di suatu
daerah penangkapan. Bila di suatu daerah terdapat berbagai alat tangkap maka
salah satunya harus dipakai sebagai standar dan alat tangkap yang lain
distandarisasikan terhadap alat tangkap tersebut. Hal ini disebabkan kemampuan
tangkap dari masing-masing alat tangkap tersebut berbeda-beda dalam
menangkap suatu jenis ikan (Gulland 1983).
Standarisasi alat tangkap perlu dilakukan sebelum melakukan perhitungan
catch per unit effort (CPUE), yaitu dengan cara membandingkan hasil
tangkapan per unit upaya masing-masing alat tangkap (Gulland 1983).
Standarisasi bertujuan untuk menyeragamkan satuan-satuan yang berbeda
menjadi satuan upaya (jumlah satuan operasi) yang sama. Alat tangkap yang
digunakan sebagai standar adalah jenis alat tangkap yang paling dominan
menangkap jenis ikan tertentu di suatu daerah (mempunyai laju tangkapan rata-
rata per CPUE terbesar pada periode waktu tertentu) dan memiliki nilai faktor
daya tangkap (fishing power index, FPI) sama dengan satu. FPI dari masing-
masing alat tangkap lainnya dapat diketahui dengan cara membagi laju
tangkapan rata-rata masing-masing alat tangkap dengan laju tangkapan rata-rata
alat tangkap yang dijadikan standar (Gulland 1983).
35

2.8.2 Model produksi surplus


Umumnya pendekatan yang digunakan untuk mempelajari biologi
perikanan multispesies adalah dengan memisahkan spesies secara bersamaan.
Pendekatan ini cukup sederhana untuk memperlakukan keseluruhan
percampuran spesies sebagaimana mereka berperan sebagai persediaan spesies
tunggal dan untuk menganalisisnya dengan menggunakan model produksi
surplus atau Model Total Biomassa Schaefer (TBSM) ( Panayotou 1985; Clark
1985 diacu dalam Fauzi 2001). Pendekatan ini cukup populer karena hanya
memerlukan pencarian dan perolehan data, yang relatif mudah didapatkan (Fauzi
2001).
Pertambahan biomassa suatu stok ikan dalam waktu tertentu di suatu
perairan merupakan salah satu parameter populasi yang disebut produksi.
Biomassa yang diproduksi ini diperlukan untuk mengganti biomassa karena
kematian. Produksi yang berlebihan dari kebutuhan pengganti ini dianggap
sebagai kelebihan (surplus) yang selanjutnya dapat dipanen. Apabila kuantitas
biomassa yang diambil melalui kegiatan perikanan sama dengan surplus yang
diproduksi, berarti keseimbangan tersebut berada dalam keadaan seimbang
(equilibrium) (Schaefer 1954; Caddy dan Criddle 1993).
Aplikasi dari model produksi dimaksudkan untuk mengetahui upaya
tangkap optimum (fMSY) dan hasil maksimum lestari (MSY) dari suatu perairan.
Nilai tersebut diperoleh berdasarkan upaya tangkap (catch) dan hasil tangkap
per unit upaya (CPUE) pada suatu perairan dengan data berdasarkan kurun
waktu tertentu (time series) (Schaefer 1954).

2.8.3 Model bioekonomi


Dalam studi bioekonomik perikanan, umumnya dilakukan pencarian dan
perolehan data akibat ketiadaannya informasi mengenai penghitungan persediaan.
Beberapa model menggunakan time series dan data penangkapan dan usaha untuk
dianalisis. Salah satu metode tersebut adalah model jenis produksi surplus. Model
ini cukup dikenal dalam literatur perikanan dan telah digunakan selama lebih dari
empat puluh tahun. Hal ini dikarenakan adanya suatu fakta bahwa bukan hanya
modelnya yang secara relatif sederhana untuk dihitung, tetapi model tersebut juga
harus memerlukan kurun waktu (time series) dari data penangkapan dan usaha
36

yang tersedia pada pusat perikanan (Fauzi 2001).


Kebanyakan model perikanan telah dikembangkan yang ada kaitannya
dengan spesies tunggal di kawasan temperate. Pada model tersebut, yang biasa
dilakukan adalah memperlakukan setiap spesies dan persediaan sebagai unit
manajemen independen atau terpisah, mengabaikan berbagai interaksi yang
dapat muncul seperti hubungan mangsa dengan predator dan interaksi teknologi
antara jenis yang berbeda dari target yang dicapai oleh spesies yang berbeda
(Fauzi 2001).
Jika dikaitkan dengan perikanan tropis yang memiliki multispesies, maka
nampak bahwa pendekatan ini seringkali tidak memuaskan (Pauly 1979). Hal ini
disebabkan adanya fakta bahwa bukan hanya perikanan tropis benar-benar
memiliki penyebaran spesies yang tinggi, tetapi juga karena mereka berada
dalam suatu ekosistem yang kompleks.
Sumberdaya pada open acces adalah salah satu sumberdaya yang
pengeksploitasinya tidak dapat dikontrol, siapapun dapat mengambil hasil dari
sumberdaya tersebut. Untuk mengendalikan hal ini, maka pengaruh ekonomi
dapat menjadi variabel, sehinga model bioekonomi ini dapat digunakan untuk
membantu menguraikan alasan-alasan dibalik keberagaman (Clark 1985).
Pendekatan bioekonomi akan memadukan kekuatan ekonomi yang
mempengaruhi industri penangkapan dan faktor biologi yang menentukan
produksi dan masukan ikan (Clark 1985 dan Charles 1989). Model bioekonomi
perikanan dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu model statik dan model
dinamik. Model statik tidak memperhatikan dinamika dari faktor waktu,
sedangkan model dinamik memasukkan faktor waktu dalam analisis.
Model statik, terdiri dari model harga tetap dan model harga berubah. Pada
penelitian ini digunakan model bioekonomi statik dengan harga tetap yang
digunakan untuk menentukan tingkat optimum pemanfaatan sumberdaya
perikanan (Schnute and Hilbom 1993).
Model statik dikembangkan pertama kali oleh Gordon dengan dasar fungsi
produksi biologis Schaefer, sehingga disebut model Gordon-Schaefer (Seijo et
al. 1998). Asumsi-asumsi yang mendasari model ini adalah : a) Populasi ikan
menyebar merata, b) Tidak ada kejenuhan penggunaan unit alat tangkap di
37

wilayah perairan, c) Semua unit upaya tangkap aktif melakukan kegiatan


penangkapan, d) Unit penangkapan (alat tangkap) homogen) e) Biaya
penangkapan per unit upaya penangkapan ikan adalah konstan, f) Harga ikan per
satuan hasil tangkap adalah konstan.

2.9 Teori Program Linear


Program linear adalah salah satu teknik analisis dari kelompok teknik riset
operasi yang memakai model matematika. Tujuannya adalah untuk mencari,
memilih, dan menentukan alternatif yang terbaik dari sekian alternatif layak yang
tersedia. Dikatakan linear karena peubah-peubah yang membentuk model program
linear dianggap linear. Program linear pada hakekatnya merupakan suatu teknik
perencenaan yang bersifat analitis dengan tujuan menemukan beberapa kombinasi
alternatif pemecahan masalah, kemudian dipilih mana yang terbaik diantaranya
dalam menyusun strategi dan langkah-langkah kebijakan lebih lanjut tentang
alokasi sumberdaya dan dana yang terbatas guna mencapai tujuan atau sasaran
yang diinginkan secara optimal (Agrawal and Heady 1973).
Linear goal programming (LGP) merupakan pengembangan metode linear
programming (LP) yang diperkenalkan oleh Charnel dan Cooper pada awal tahun
enam puluhan. Perbedaan utama antara LGP dan LP terletak pada struktur dan
penggunaan fungsi tujuan. Pada LP fungsi tujuannya hanya mengandung satu
tujuan, sementara dalam LGP semua tujuan baik satu atau beberapa digabungkan
dalam sebuah fungsi tujuan. Ini dapat dilakukan dengan mengekspresikan tujuan
itu dalam bentuk sebuah kendala (goal constraint), memasukkan suatu variabel
simpangan (deviational variable) dalam kendala itu untuk mencerminkan
seberapa jauh tujuan itu dicapai, dan menggabungkan variabel simpangan dalam
fungsi tujuan. Pada LP tujuannya bisa maksimisasi atau minimisasi, sementara
dalam LGP tujuannya adalah meminimumkan penyimpangan-penyimpangan dari
tujuan-tujuan tertentu. Ini berarti semua masalah LGP adalah masalah minimisasi
(Mulyono 1991).
Menurut Stevenson (1989) diacu dalam Sultan (2004) mengatakan bahwa
goal programming merupakan variasi dari model linear programming yang dapat
digunakan untuk menangani masalah yang mempunyai banyak sasaran.
Selanjutnya Siswanto (1993), mengatakan bahwa dalam model goal programming
38

terdapat variabel deviasional dalam fungsi kendala. Variasi tersebut berfungsi


untuk menampung penyimpangan hasil penyelesaian terhadap sasaran yang
hendak dicapai, dimana dalam proses pengolahan model tersebut jumlah variabel
deviasional akan diminimumkan di dalam fungsi tujuan.

2.10 Musim Penangkapan Ikan


Ikan layang dalam keadaan dewasanya tinggal di lautan atau di perairan
teluk. Puncak produksi ikan layang di Laut Jawa terjadi dua kali dalam setahun
yang kurang lebih jatuh pada bulan Januari-Maret dan Juli-September. Puncak-
puncak musim ini dapat berubah maju atau mundur sesuai dengan perubahan
musim. Di perairan sebelah timur Pulau Seribu layang mulai tertangkap pada
akhir Juni atau sampai awal Juli berukuran kecil. Pada pekan-pekan berikutnya
ikan layang menjadi besar hingga mencapai ukuran lebih 15 cm dan
produksinyapun meningkat.
Menurut (Mubarak, 1972 diacu dalam Djamali, 1995) yang telah melakukan
penelitian layang di perairan Tegal dan mendapatkan jenis Decapterus russelli
sebanyak 88% dan Decapterus macrosoma 12%. Puncak musim penangkapan
terjadi pada bulan April-Mei dan bulan Oktober-November. Produksi pada bulan
Oktober-November lebih besar daripada bulan April-Mei.
Pengamatan yang dilakukan Lembaga Oseanologi Nasional LIPI di perairan
seperti Labuhan, Kota Agung (Lampung), Ujung Pandang, Kendari, Pulau
MasaLembu, Pulau Bawean, Tegal, Tuban, Situbondo, Banyuwangi, dan Muncar
jumlah hasil tangkapan baru tercatat pada musim peralihan dan musim timur
untuk jenis layang Decapterus russelli. Menurut catatan (Hardenberg, 1937 diacu
dalam Djamali, 1995) layang di Laut Jawa tertangkap dalam jumlah banyak pada
puncak musim timur. Pada saat itu layang sudah berukuran besar dan musim
relatif tenang memungkinkan nelayan tradisional menangkap ikan ini di laut yang
agak jauh dari daratan.
Fluktuasi hasil tangkapan dipengaruhi oleh keberadaan ikan, jumlah upaya
penangkapan dan tingkat keberhasilan operasi penangkapan. Respon ikan
terhadap musim antara lain akan mendekati atau menjauhi suatu daerah, mudah
atau sulit untuk ditangkap, menyebar atau bergerombol dan terjadinya
perubahan stok perikanan karena kondisi oseanografi. Respon upaya
39

penangkapan ikan terhadap musim di antaranya adalah banyaknya ikan yang


ditangkap, keadaan cuaca dan keuntungan yang diperoleh. Hasil tangkapan tidak
hanya dipengaruhi oleh kelimpahan ikan pada suatu saat, tetapi bergantung juga
pada jumlah unit dan efisiensi unit alat tangkap, lamanya operasi penangkapan
dan ketersediaan ikan yang akan ditangkap (Laevastu and Favorite 1988).
Untuk dapat melakukan operasi penangkapan dengan efisien diperlukan
adanya informasi yang tepat seperti saat musim penangkapan yang baik. Informasi
mengenai pola musim penangkapan digunakan untuk menentukan waktu yang
tepat dalam operasi penangkapan. Perhitungan pola musim penangkapan
menggunakan data hasil tangkapan dan upaya penangkapan bulanan. Pola musim
penangkapan seperti halnya data 1ainnya yang bersifat musiman dapat dianalisis
dengan menggunakan pendekatan metode rata-rata bergerak (moving average)
yang dikemukakan oleh Dajan (1986). Lebih lanjut Dajan (1986) menyatakan
keuntungan menggunakan metode rata-rata bergerak yaitu dapat mengisolasi
fluktuasi musiman sehingga dapat menentukan saat yang tepat untuk melakukan
operasi penangkapan dan dapat menghilangkan trend atau kecenderungan yang
bisa dijumpai pada metode deret waktu. Kerugian dari metode ini adalah tidak
dapat menghitung pola musim penangkapan sampai tahun terakhir data.

2.11 Penelitian Tentang Perikanan Layang


Penelitian-penelitian tentang perikanan ikan layang selama ini telah
banyak dilakukan oleh beberapa peneliti, namun penelitian-penelitian tersebut
umumnya hanya dilakukan secara parsial, yaitu mengkaji dari satu atau dua
aspek saja, tidak melihat secara komperhensif mencakup berbagai aspek (biologi,
teknis, ekonomi, sosial, dan lingkungan) seperti yang telah dilakukan penulis saat
ini. Dan khususnya di wilayah perairan Maluku Utara penelitian yang berkaitan
dengan pengembangan berkelanjutan sumberdaya ikan layang belum pernah
dilakukan.
Adapun penelitian - penelitian yang berkaitan dengan perikanan ikan layang
yang pernah dilakukan di lokasi lain sejak tahun tujuh puluhan hingga saat ini
anatara lain: Burhanuddin dan Djamali (1977), melakukan kajian berkaitan
dengan biologi ikan layang (Decapterus russellli RUPPEL) di perairan pulau
Panggang, pulau-pulau Seribu, di sekitar Teluk Jakarta. Sumadhiharga (1991),
40

meneliti tentang struktur populasi dan reproduksi ikan layang merah (Decapterus
russelli) di Teluk Ambon. Soumokil (1996), melakukan telaah terhadap beberapa
parameter populasi ikan momar putih (Decapterus russellli) di perairan
Kecamatan Amahai, Maluku Tengah. Suwarso et al., (2000), mengkaji biologi
reproduksi malalugis biru (D. macarellus) di Sulawesi Utara. Luasunaung (2001),
melakukan kajian tentang pendugaan musim ikan “Malalugis Biru” (Decapterus
macarellus) di perairan sekitar Bitung. Hariati (2004), meneliti tentang ikan
layang biru (Decapterus macarellus), sebagai salah satu spesies ikan pelagis kecil
di sekitar perairan Banda Aceh dan Teluk Tomini. Najamuddin et al., (2004),
melakukan pendugaan terhadap ukuran pertama kali matang gonad ikan layang
(Decapterus russelli Ruppell). Najamuddin (2006), meneliti tentang ukuran mata
jaring minimum alat penangkapan ikan layang deles (Decapterus macrosoma
Bleeker). Amri et al., (2006), meneliti tentang kondisi hidrologis dan kaitannya
dengan hasil tangkapan ikan malalugis (Decapterus macarellus) di perairan Teluk
Tomini, dan Arifin (2008), meneliti tentang optimasi perikanan Layang di
Kabupaten Selayar Provinsi Sulawesi Selatan.
41

3 METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian


Penelitian ini dilaksanakan selama 12 (dua belas bulan) di mulai dari bulan
Januari 2008 sampai Desember 2008, dengan kegitan dimulai dari penelitian
lapangan hingga tahap pengolahan dan analisis data serta penyusunan disertasi.
Lokasi penelitian sebagai tempat pengumpulan data adalah wilayah Provinsi
Maluku Utara. Tempat pendaratan ikan yang menjadi obyek penelitian berada di
empat Kabupaten/Kota yaitu, Kota Ternate, Kota Tidore Kepulauan, Kabupaten
Halmahera Selatan dan Kabupaten Halmahera Utara. Di pilihnya wilayah-wilayah
tersebut sebagai lokasi pengambilan data karena ke empat wilayah ini merupakan
sentral kegiatan usaha perikanan ikan layang di Maluku Utara (Peta lokasi
penelitian disajikan pada Lampiran 1 ).

3.2 Alat dan Bahan


Alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian ini di bagi atas 2 bagian
yaitu:
1) Alat dan bahan yang digunakan dalam pengambilan data di lapangan yang
meliputi: kuisioner sebagai pedoman pengumpulan data, alat tulis menulis,
seperangkat komputer untuk rekapitulasi dan analisis data, alat perekam
berupa tape recorder, kamera digital untuk kepentingan dokumentasi
penelitian. Objek penelitian berupa unit penangkapan ikan layang yang
menggunakan alat tangkap mini purse seine, jaring insang hanyut dan bagan
perahu. Sedangkan bahan yang digunakan adalah ikan layang sebagai hasil
tangkapan.
2) Alat dan bahan yang digunakan di laboratorium untuk analisis biologi ikan
(panjang berat ikan, tingkat kematangan gonad dan fekunditas) terdiri dari :
pengaris dengan papan ukur berukuran minimal, timbangan ohaus atau
digital, kertas label, jarum pentul, seperangkat alat bedah lengkap, botol
sample (botol film), cawan petri (petridisk), tisue, tabel klasifkasi tingkat
kematangan gonad, gelas ukur 10 ml, pipet tetes, Mikroskop elektron, gelas
obyek, gelas penutup. Sedangkan bahan yang dipakai adalah ikan contoh,
telur contoh dan formalin.
42

3.3 Metode Pengumpulan Data


Penelitian ini di laksanakan dengan metode survei terhadap obyek nelayan
sebagai pelaku. Pengumpulan data dilakukan melalui observasi langsung ke lokasi
penelitian. Data primer diperoleh melalui pengukuran dan pengamatan langsung
terhadap unit penangkapan ikan layang serta kegiatan wawancara menggunakan
kuesioner yang telah disusun sesuai dengan kebutuhan analisis dan tujuan
penelitian. Wawancara dilakukan terhadap nelayan pemilik alat penangkapan ikan
layang, nelayan sebagai pekerja dan para stakeholders di lokasi penelitian. Data
sekunder yang diperlukan berkaitan erat dengan keragaan perikanan ikan layang,
data produksi dan nilai produksi ikan layang tahunan (time series data) provinsi
Maluku Utara dari tahun 1998-2007 yang diperoleh dari DKP Provinsi Maluku
Utara, deskripsi wilayah penelitian yang meliputi aspek fisik, sosial, ekonomi, dan
kelembagaan yang mampu menjelaskan kondisi usaha perikanan tangkap
khususnya usaha perikanan ikan layang, tulisan yang pernah dilakukan yang ada
hubungannya dengan penelitian penulis melalui penelusuran pustaka (studi
pustaka), data statistik dan sarana penunjang serta data pilihan pengembangan
perikanan tangkap dan kebijakan pemerintah.
Responden dikumpulkan secara purposive sampling, yaitu dengan cara
memastikan diperolehnya sejumlah sampel yang mewakili populasi yang akan
diteliti. Jumlah responden sebanyak 120 orang dari 4 wilayah (kota Ternate, kota
Tidore Kepulauan, kabupeten Halmahera Selatan dan Kabupaten Halmahera
Utara), tiap wilayah 30 orang (10 orang nelayan pukat cincin, 10 orang nelayan
jaring insang hanyut dan 10 orang nelayan bagan perahu).
Data yang dikumpulkan untuk menentukan prioritas unit penangkapan ikan
layang yang layak dikembangkan berupa data masing-masing aspek kajian (aspek
biologi, teknis, sosial, ekonomi dan keramahan lingkungan). Secara rinci data-data
yang dikumpulkan adalah :

1) Aspek biologi
Pengukuran parameter biologi pada penelitian ini dilakukan terhadap
sumberdaya ikan layang sebagai hasil tangkapan utama dari alat tangkap mini
purse seine, jaring insang hanyut dan bagan perahu. Parameter biologi yang
menjadi kajian terhadap sumberdaya layang seperti komposisi target spesies dari
43

ketiga alat tangkap yang diteliti, ukuran hasil tangkapan utama yaitu ikan layang
dan lama waktu nelayan melakukan operasi penangkapan ikan layang (dalam
satuan bulan).

2) Aspek teknis
Pengukuran parameter teknis dilakukan pada kapal/perahu dan alat
penangkapan ikan layang. Parameter teknis penting untuk diketahui karena
menyangkut masalah produksi unit penangkapan ikan layang yang dioperasikan.
Parameter teknis yang dikumpulkan antara lain: ukuran kapal/perahu, jenis mesin,
jenis bahan bakar, material yang digunakan, ukuran alat tangkap, bahan alat
tangkap, produksi hasil tangkapan per tahun, produksi per trip, dan produksi per
tenaga kerja.

3) Aspek sosial
Pengukuran parameter sosial dalam penelitian ini diarahkan kepada nelayan
sebagai pelaku utama dalam kegiatan penangkapan ikan layang. Parameter sosial
yang dianalisis menyangkut masalah sumberdaya manusia yang mengoperasikan
unit penangkapan ikan layang. Parameter sosial yang dikumpulkan antara lain
jumlah nelayan yang terserap setiap unit penangkapan, pendapatan nelayan per
tahun dan tingkat penguasaan teknologi.

4) Aspek ekonomi
Pengukuran parameter ekonomi dalam penelitian ini dilakukan untuk
mengetahui manfaat ekonomi dari suatu penangkapan ikan layang untuk diketahui
kelayakan usaha dari alat tangkap tersebut. Parameter ekonomi yang dikumpulkan
dalam penelitian ini seperti biaya investasi, biaya operasional, biaya perawatan,
dan nilai produksi.

5) Aspek keramahan lingkungan


Kriteria utama penilaian terhadap keramahan lingkungan mengacu pada
pendapat Monintja (2000), bahwa alat tangkap ikan dikatakan ramah lingkungan
apabila memenuhi 9 kriteria diantaranya adalah:
(1) Mempunyai selektivitas yang tinggi
Suatu alat tangkap dikatakan mempunyai selektitivitas yang tinggi apabila
alat tangkap tersebut di dalam operasionalnya hanya menangkap sedikit spesies
44

dengan ukuran yang relatif seragam. Selektivitas alat tangkap ada dua macam
yaitu selektif terhadap spesies dan selektif terhadap ukuran dengan nilai masing-
masing sub kriteria :
a. Menangkap lebih dari tiga spesies ikan dengan variasi ukuran yang
berbeda jauh.
b. Menangkap tiga spesies ikan atau kurang dengan variasi ukuran yang
berbeda jauh.
c. Menangkap kurang dari tiga spesies dengan ukuran yang relatif seragam.
d. Menangkap ikan satu spesies dengan ukuran yang relatif seragam.
(2) Tidak merusak habitat
Suatu alat tangkap dianggap tidak merusak habitat dimana pemberian bobotnya
didasarkan pada :
a. Menyebabkan kerusakan habitat pada wilayah yang luas.
b. Menyebabkan kerusakan habitat pada wilayah yang sempit.
c. Menyebabkan kerusakan sebahagian habitat pada wilayah yang sempit.
d. Aman bagi habitat.
(3) Menghasilkan ikan berkualitas tinggi
Kualitas ikan hasil tangkapan sangat ditentukan oleh jenis alat tangkap yang
digunakan, metode penangkapan dan penanganannya. Untuk menentukan level
kualitas ikan dengan berbagai jenis alat tangkap didasarkan pada kondisi hasil
tangkap yang terlihat secara morfologis, yaitu :
a. Ikan mati dan busuk.
b. Ikan mati, segar, cacat fisik.
c. Ikan mati dan segar.
d. Ikan hidup.
(4) Tidak membahayakan nelayan
Tingkat bahaya atau risiko yang diterima oleh nelayan dalam
mengoperasikan alat tangkap sangat tergantung pada jenis alat tangkap dan
keterampilan yang dimiliki oleh nelayan. Risiko tingkat bahaya yang dialami oleh
nelayan didasarkan pada dampak yang mungkin diterima, yaitu :
a. Bisa berakibat kematian pada nelayan.
b. Bisa berakibat cacat permanen pada nelayan.
45

c. Hanya bersifat ganguan kesehatan yang bersifat sementara.


d. Aman bagi nelayan.
(5) Produksi tidak membahayakan konsumen
Tingkat bahaya yang diterima oleh konsumen terhadap produksi yang
dimanfaatkan tergantung dari ikan yang diperoleh dari proses penangkapan.
Apabila dalam proses penangkapan nelayan menggunakan bahan-bahan beracun
atau bahan-bahan lainnya yang berbahaya, maka akan berdampak pada tingkat
keamanan konsumsi pada konsumen. Tingkat bahaya yang mungkin dialami oleh
konsumen, diantaranya adalah :
a. Berpeluang besar menyebabkan kematian pada konsumen.
b. Berpeluang menyebabkan gangguan kesehatan pada konsumen.
c. Relatif aman bagi konsumen.
(6) By-cath rendah
Suatu spesies dikatakan hasil tangkapan sampingan apabila spesies tersebut
tidak termasuk dalam target penangkapan. Hasil tangkapan yang didapat ada yang
dimanfaatkan dan ada yang dibuang ke laut (discard). Beberapa kemungkinan by-
catch yang didapat adalah :
a. By-catch ada berapa spesies dan tidak laku dijual di pasar.
b. By-catch ada berapa spesies dan ada jenis yang laku di pasar
c. By-catch kurang dari tiga spesies dan laku di pasar.
d. By-catch kurang dari tiga spesies dan mempunyai harga yang tinggi.
(7) Dampak ke biodiversity
Dampak buruk yang diterima oleh habitat akan berpengaruh buruk pula
terhadap biodiversity yang ada di lingkungan tersebut. Hal ini tergantung dari
bahan yang digunakan dan metode pengoperasiannya. Pengaruh pengoperasian
alat tangkap terhadap biodervisity yang ada adalah :
a. Menyebabkan kematian semua makhluk hidup dan merusak habitat.
b. Menyebabkan kematian beberapa spesies dan merusak habitat.
c. Menyebabkan kematian beberapa spesies tetapi tidak merusak habitat.
d. Aman bagi biodiversity.
(8) Tidak membahayakan ikan-ikan yang dilindungi
46

Suatu alat tangkap dikatakan berbahaya terhadap spesies yang dilindungi


apabila alat tangkap tersebut mempunyai peluang yang cukup besar untuk
tertangkapnya spesies yang dilindungi. Tingkat bahaya alat tangkap terhadap
spesies yang dilindungi berdasarkan kenyataan di lapangan adalah :
a. Ikan yang dilindungi sering tertangkap.
b. Ikan yang dilindungi beberapa kali tertangkap.
c. Ikan yang dilindungi pernah tertangkap.
d. Ikan yang dilindungi tidak pernah tertangkap.
(9) Dapat diterima secara sosial
Penerimaan masyarakan terhadap suatu alat tangkap yang digunakan
tergantung pada kondisi sosial, ekonomi dan budaya masyarakat setempat. Suatu
alat tangkap dapat diterima secara sosial oleh masyarakat apabila :
a. Biaya investasi murah.
b. Menguntungkan.
c. Tidak bertentangan dengan budaya setempat.
d. Tidak bertentangan dengan peraturan yang ada.
Ada beberapa kemungkinan yang ditemui di lapangan dalam menentukan
alat tangkap pada suatu area penangkapan, yaitu :
a. Alat tangkap memenuhi 1 dari 4 kriteria di atas.
b. Alat tangkap tersebut memenuhi 2 dari 4 kriteria yang ada.
c. Alat tangkap tersebut memenuhi 3 dari 4 kriteria.
d. Alat tangkap tersebut memenuhi semua kriteria yang ada.

Analisis biologi ikan layang di perairan Maluku Utara dilakukan dengan


pendekatan parameter populasi ikan yaitu menggunakan jenis ikan contoh layang
biru (Decapterus macarellus) yang ditangkap dengan mini purse seine. Contoh
ikan layang biru hanya diambil dari hasil tangkapan mini purse seine, dengan
tujuan agar ikan yang tertangkap dapat mewakali struktur ukuran ikan layang di
perairan Maluku Utara, mengingat karena alat tangkap ini memilki ukuran mata
jaring yang bervariasi. Sedangkan di pilihnya jenis ikan layang biru karena ikan
jenis ini adalah yang dominan tertangkap oleh nelayan di lokasi penelitian.
Pengambilan dilakukan secara acak dari kapal mini purse seine yang mendaratkan
ikan di Pelabuhan Nusantara Ternate. Berdasarkan hasil wawancara dengan awak
47

kapal kapal-kapal mini purse seine tersebut daerah penangkapannya di sekitar


perairan Ternate hingga ujung Utara Halmahera, sepanjang ujung selatan
Halmahera hingga bagain barat pulau Bacan dan mencapai perairan laut Maluku.
Perairan utara Morotai hingga sekitar Teluk Kao. Dengan demikian ikan contoh
tersebut dapat mewakili populasi ikan pada perairan Maluku Utara.
Ikan contoh yang diperoleh dibawa ke di laboratorium stasiun karantina ikan
kelas II Babullah Ternate untuk dianalisis. Ikan contoh dikelompokkan
berdasarkan ukuran panjang, jenis kelamin dan tingkat kematangan gonadnya.
Pengukuran dilakukan selama lima bulan, dimana setiap satu minggu sekali
dilakukan pengukuran sebanyak 100 ekor secara terpisah untuk tiap jenis kelamin.
Dengan demikian jumlah ikan contoh yang diamati selama penelitian sebanyak
2000 ekor. Untuk keperluan pendugaan data parameter pertumbuhan, data
hubungan panjang berat dan data tingkat kematangan gonad digunakan
keseluruhan contoh ikan, sedangkan untuk keperluan data fekunditas diambil ikan
contoh untuk keperluan data fekunditas diambil sub contoh ikan sebanyak 100
ekor.

1) Pengukuran panjang-berat tubuh ikan


Panjang seluruh ikan contoh di ukur dengan menggunakan papan pengukur
ikan (fish-measuring board) dengan tingkat ketelitian 1,0 mm. Jenis pengukuran
yang dilakukan adalah panjang total yaitu panjang dari ujung terdepan bagian
kepala (ujung mulut) hingga ujung terakhir bagian ekor. Sedangkan berat tubuh
ikan di ukur dengan menggunakan timbangan dengan ketelitian 0,1 gram.
Pengukuran dilakukan di laboratorium stasiun karantina ikan kelas II Babullah
Ternate. Ikan contoh yang di ukur ini adalah ikan contoh yang tertangkap dengan
alat tangkap mini purse seine.

2) Penentuan tingkat kematangan gonad


Pengamatan tingkat kematangan gonad ikan layang biru dilakukan secara
makroskopis langsung di laboratorium. Tingkat kematangan gonad masing-
masing jenis kelamin ikan contoh ditentukan berdasarkan tingkat kematangan
gonad ikan pelagis modifiikasi dari Lassie yang dikemukakan Effendie (1979).
48

3) Perhitungan fekunditas
Untuk perhitungan fekunditas 20 ovari diambil setiap bulan dari ikan contoh
betina yang matang telur (TKG 4) secara acak, sehingga selama penelitian diamati
100 ovari. Contoh ovari tersebut diawetkan dengan larutan gilson, dan di analisis
di laboratorium stasiun karantina ikan kelas II Babullah Ternate, kemudian
dilakukan perhitungan jumlah butiran telurnya dengan cara gabungan gravimetrik,
volumetrik dan hitung'(Effendie, 1979). Cara gabungan tersebut sebagai berikut :
setelah ovari seluruhnya ditimbang dan diketahui beratnya, ambil 5 bagian telur
contoh secara acak data satu gonad yang akan diamati, kemudian ditimbang
seluruh gonad contoh tersebut. Hitung Volume gonad contoh tersebut. Encerkan
gonad contoh tadi sampai 10 atau 15 CC. Ambil gonad yang sudah diencerkan
tadi sebanyak 1 CC dengan mengunakan pipet tetes kemudian di hitung jumlah
telur yang ada pada 1 CC tersebut dan selanjutnya di hitung fekunditasnya.

3.4 Metode Analisis Data


Berdasarkan tujuan yang ingin dicapai, maka metoda analisis yang
digunakan dalam penelitian ini adalah: (1) metoda skoring dan fungsi nilai
bertujuan untuk menentukan prioritas unit penangkapan ikan layang yang layak
dikembangkan; (2) model fungsi produksi lestari dan bioekonomi Gordon-
Schaefer digunakan untuk menentukan produksi lestari dan nilai bioekonomik
sumberdaya ikan layang; (3) model Linear Goal Programming (LGP) di gunakan
untuk alokasi jumlah unit penangkapan ikan layang yang optimum dan
berkelanjutan; (4) pendekatan analisis parameter populasi ikan digunakan untuk
menentukan karakteristik biologi ikan layang biru; (5) analisis regresi linear
sederhana untuk menghitung hubungan antara lingkar badan dan panjang ikan
layang guna menentuan mesh size minimum jaring; (6) metode rata-rata bergerak
(moving average) untuk menentukan pola musim penangkapan ikan layang.
Pemetaan daerah dan musim penangkapan ikan layang dilakukan dengan
mengoverlay data hasil wawancara dan data titik koordinat lokasi pemasangan
rumpon menggunakan bantuan perangkat lunak AreView Gis 33 sehingga
membentuk peta tematik daerah penangkapan dan musim penangkapan ikan
layang di perairan Maluku Utara; 7) Menyusun pola pengembangan
berkelanjutan sumberdaya ikan layang di Maluku Utara digunakan pendekatan
49

model deskriptif yaitu berdasarkan nilai keragaan optimal dari komponen


perikanan layang dan hubungan dari kompenen-komponen tersebut yang di
peroleh pada sub - sub bab sebelumnya.

3.4.1 Metode skoring dan fungsi nilai


Pemilihan jenis teknologi penangkapan ikan yang sesuai untuk
dikembangkan dilakukan dengan analisis aspek biologi, teknis, sosial dan
ekonomi. Jenis unit penangkapan ikan yang terdapat di lokasi penelitian,
ditetapkan dengan pertimbangan jumlah unit banyak, jumlah unit sedikit tetapi
hasil tangkapan totalnya besar dan jumlah maupun hasil tangkapan totalnya
sedikit tetapi nilai dari hasil tangkapannya tinggi.
Penilaian dari aspek-aspek tersebut didasarkan atas pertimbangan bahwa (1)
ditinjau dari segi biologis, teknologi penangkapan yang akan dikembangkan tidak
merusak atau mengganggu kelestarian sumberdaya perikanan, (2) secara teknis,
efektif untuk dikembangkan, (3) dari segi sosial, dapat diterima masyarakat
nelayan, (4) secara ekonomis teknologi bersifat menguntungkan, dan (5) tidak
merusak lingkungan
Selanjutnya dari masing-masing aspek tersebut ditentukan suatu kriteria
penilaian. Kriteria untuk aspek biologis adalah melalui ukuran alat tangkap ,
waktu dan musim penangkapan ikan, kriteria untuk aspek teknis adalah produksi
per tahun, produksi per trip, produksi per jam operasi, produksi per tenaga kerja
dan produksi per tenaga penggerak kapal. Kriteria untuk aspek sosial adalah
melalui penerimaan nelayan per unit penangkapan ikan, jumlah tenaga kerja per
unit penangkapan ikan serta kemungkinan kepemilikannya. Kritreia aspek
ekonomi meliputi penerimaan kotor per tahun, penerimaan kotor per trip,
penerimaan kotor per tenaga kerja dan penerimaan kotor per penggerak kapal.
Kelayakan finansial dihitung berdasarkan aspek kriteria Net Present Value (NPV),
Benefit Cost Ratio (B/C) dan Internal Rate of Return (IRR), Break Even Point
(BEP). Kriteria-kriteria yang sering digunakan untuk menilai kelayakan finansial
suatu usaha dalam analisis biaya manfaat (Cost-Benefit Analysis) adalah sebagai
berikut :
50

1) Net Present Value (NPV)

Net present value (NPV) digunakan untuk menilai manfaat investasi, yaitu
berapa nilai kini (present value) dari manfaat bersih proyek yang dinyatakan
dalam rupiah . Proyek dinyatakan layak untuk dilanjutkan apabila NPV > 0,
sedangkan apabila NPV< 0, maka investasi dinyatakan tidak menguntungkan
yang berarti proyek tersebut tidak layak untuk dilaksanakan. Pada keadaan ini
nilai NPV = 0 maka berarti pada proyek tersebut hanya kembali modal atau tidak
untung dan juga tidak rugi. Menurut Kadariyah (1978), rumus yang digunakan
untuk menghitung NPV adalah:
n
Bt − Ct
NPV = ∑
t =1 (1 + i )
dimana : B = benefit; C = coast; i = discount rate dan t = periode.

2) Internal Rate Return (IRR)

IRR merupakan suku bunga maksimal sehingga NPV bernilai sama dengan
nol, jadi keadaan batas untung rugi. IRR dapat disebut juga sebagai nilai discount
rate (t) yang membuat NPV dari suatu proyek sama dengan nol. Oleh karena itu
IRR juga dianggap sebagai tingkat keuntungan bersih atau investasi, dimana
benefit bersih yang positif ditanam kembali pada tahun berikutnya dan
mendapatkan tingkat keuntungan yang sama dan diberi bunga selama sisa umur
proyek. Menurut Kadariyah (1978), IRR dapat dirumuskan sebagai berikut:
⎛ NPV+ ⎞
IRR = i NPV + + (i NPV+ − i NPV − )⎜⎜ ⎟⎟
⎝ NPV+ − NPV− ⎠
Keterangan: i = discount rate; i NPV + = discount rate dimana NPV masih positif

i NPV − = discount rate dimana NPV sudah negatif

3) Net Benefit-Cost Ratio (Net B/C)

Net benefit-cost ratio (Net B/C) merupakan perbandingan dimana sebagai


pembilang terdiri atas present value total yang bernilai positif, sedangkan sebagai
penyebut terdiri atas present value total yang bernilai negatif, yaitu biaya kotor
lebih besar daripada manfaat(benefit) kotor. Menurut Kadariyah (1978), Net
benefit-cost ratio dapat dihitung sebagai berikut:
51

12
Bt − C t
∑1 (1 − i ) t
( Bt − C t ) > 0
Net B-C ratio =
12
Bt − C t
∑1 (1 − i ) t
( Bt − C t ) < 0

Ketarangan: B = benefit; C = cost; i = discount; t = periode


Persamaan ini menunjukkan bahwa nilai B/C akan terhingga bila paling
sedikit ada satu nilai Bt-Ct yang bernilai negatif. Pada saat NPV = 0 maka nilai
Net B/C = 1, dan apabila NPV > 0 maka Net B/C akan bernilai > 1. Dengan
demikian apabila Net B/C ≥ 1 menunjukkan bahwa suatu proyek layak untuk
dilanjutkan, sedangkan bila Net B/C < 1 merupakan tanda tidak layaknya suatu
proyek.

4) Break Even Point (BEP)

Break Even Point dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu; 1. Atas Unit, dan
2. Atas dasar nilai jual dalam rupiah (Riyanto 1991).
(1) Analisis Break Even Point atas dasar produksi (banyaknya hasil
tangkapan) dapat dilakukan dengan rumus :
Biaya tetap x produksi
BEP (Kg) =
Hasil penjualan - Biaya variabel

(2) Analisis Break Even Point atas dasar harga jual dapat dilakukan dengan
menggunakan rumus sebagai berikut:
Biaya tetap
BEP (Rp)
Biaya variabel
1-
Hasil penjualan

Analisis aspek ekonomi dapat dijabarkan menjadi aspek ekonomi kriteria


efisiensi usaha. Aspek ekonomi kelayakan usaha meliputi kriteria Net B/C (X1),
BEP (X2), dan IRR (X3) dan Payback-Period (X4).
Selanjutnya untuk analisis keramahan lingkungan untuk beberapa subkriteria
meliputi yaitu mempunyai selektivitas yang tinggi (X1), tidak merusak habitat
52

(X2), menghasilkan ikan berkualitas tinggi (X3), tidak membahayakan nelayan


(X4), produksi tidak membahayakan konsumen (X5), by-catch rendah (X6),
dampak ke biodiversity (X7), tidak membahayakan ikan-ikan yang dilindungi
(X8), dapat diterima secara sosial (X9).
Penilian pada kriteria yang mempunyai satuan berbeda dan penilaian secara
subjektif dilakukan dengan skoring. Skoring diberikan dengan nilai terendah
sampai tertinggi. Untuk nilai tertinggi diberikan urutan prioritas 1 begitu sampai
seterusnya. Untuk menilai semua kriteria atau aspek digunakan nilai tukar,
sehingga semua nilai mempunyai standar yang sama. Unit usaha yang mempunyai
nilai tinggi berarti lebih baik dari pada yang lain. Untuk menghindari pertukaran
yang terlalu banyak, maka digunakan fungsi nilai yang menggambarkan
preferensi pengambil keputusan dalammenghadapi kriteria majemuk.
Untuk penilaian pada seluruh kriteria secara terpadu dilakukan standarisasi
nilai dengan metode fungsi nilai (Kuntoro dan Listiarini, 1983) diacu dalam
(Haluan dan Nurani, 1988). Rumus fungsi nilai sebagai berikut:
X − X0
V (X) =
X1 − X 0
n
V (A) = ∑V ( X )
i −1
i i , i = 1,2,3

Keterngan :
V (X) = Fungsi nilai dari variabel X
X = Nilai variabel X
X1 = Nilai tertinggi pada kriteria X
X0 = Nilai terendah pada kriteria X
V (A) = Fungsi nilai alternatif A
V (X) = Fungsi dari alternatif pada kriteria ke-i

3.4.2 Model surplus produksi dan bio-ekonomi Gordon-Schaefer


1) Standarisasi alat tangkap
Sebelum melakukan analisis optimasi terlebih dahulu perhitungan catch per
unit effort (CPUE) yang akan digunakan dalam analisis perhitungan fungsi
produksi lestari dan analisis maksimum ekonomi yield (MEY). Standarisasi upaya
penangkapan perlu dilakukan terlebih dahulu sebelum melakukan perhitungan
53

CPUE, yaitu dengan cara membandingkan hasil tangkapan per upaya


penangkapan masing-masing unit penangkapan.
Unit penangkapan yang dijadikan standar adalah jenis unit penangkapan
yang paling dominan menangkap jenis-jenis ikan tertentu di suatu daerah dan
memiliki nilai faktor daya tangkap (fishing power indeks) sama dengan satu.
Perhitungan fishing power indeks (FPI) adalah sebagai berikut :
HTs
CPUEs =
FEs

HTi
CPUEi =
FE i

CPUE s
FPI S =
CPUE s
Upaya standarisasi diperoleh dengan menggunakan persamaan sebagai
berikut (Gulland 1991) yaitu :

SE = FPI I × FEi

keterangan :
CPUE s = Catch per unit effort atau jumlah hasil tangkapan per satuan upaya unit

penangkapan standar pada tahun ke-i;


CPUEi = Catch per unit effort atau jumlah hasil tangkapan per satuan upaya jenis

penangkapan yang akan distandarisasi;


HTs = Jumlah hasil tangkapan (catch) jenis unit penangkapan yang dijadikan

standar pada tahun ke-i;


HTi = Jumlah hasil tangkapan (catch) jenis unit penangkapan yang akan
distandarisasi pada tahun ke-i;
FE s = Jumlah upaya penangkapan (effort) jenis unit penangkapan ikan yang

dijadikan standar pada tahun ke-i;


FEi = Jumlah upaya penangkapan (effort) jenis unit penangkapan ikan yang
aka distandarisasi pada tahun ke-i;
FPI S = Fishing power indeks atau faktor daya tangkap jenis unit penangkapan

standar pada bulan ke-i;


54

FPI i = Fishing power indeks atau daya tangkap jenis unit penangkapan yang
akan distandarisasi pada tahun ke-i;
SE = Upaya penangkapan (effort) hasil standarisasi pada tahun ke-i

2) Model surplus produksi


Metode surplus produksi merupakan salah satu metode untuk menentukan
tingkat upaya penangkapan optimum, yaitu kegiatan penangkapan yang
menghasilkan tangkapan maksimum tanpa mempengaruhi prtoduktivitas populasi
ikan dalam waktu panjang. Hubungan hasil tangkapan dengan upaya penangkapan
dilihat dengan menggunakan metode surplus produksi Schaefer (Sparre and
Venema 1999).
Hubungan fungsi tersebut adalah :
Y = α + βx + e
dimana : Y = peubah tak bebas (CPUE) dalam kg/unit
x = peubah bebas (effort) dalam unit kapal
e = simpangan
α,β = parameter regresi penduga nilai a dan b.
Kemudian diduga dengan fungsi dugaan, yaitu : Y= a + bx
Nilai a dan b dapat ditentukan menggunankan rumus :

∑ y − b∑ x n∑ xy − ∑ x∑ y
a= b=
n n∑ 2 − (∑ x)2
Selanjutnya dapat ditentukan dengan persamaan berikut :
(1) Hubungan antara CPUE dengan upaya penangkapan (f),
CPUE = a − bE
(2) Hubungan antara hasil tangkapan (C) dengan upaya penangkapan (f),
C = aE − bE
(3) Upaya penangkapan optimum (fopt) diperoleh dengan cara menyamakan
turunan pertama hasil tangkapan terhadap upaya penangkapan sama dengan
nol sebagai berikut :
C = aE − bE
C ' = a − 2bE = 0
Eopt = a / 2b
55

(4) Produksi maksimum lestari (MSY) diperoleh dengan cara mensubstitusikan


nilai upaya penangkapan optimum ke dalam persamaan (2)
Cmax = a(a / 2b) − b(a 2 / 4b 2

MSY = a 2 / 4b
(5) CPUE optimum diperoleh dengan cara menyamakan turunan pertama hasil
tangkapan terhadap CPUE sama dengan nol
CPUEopt = a / 2 atau CPUEopt = MSY / Eopt

3) Model bio-ekonomi Gordon-Schaefer


Model bio-ekonomi penangkapan dalam penelitian ini diduga dengan
menggunakan model Gordon Schaefer, dengan berdasarkan pada model biologi
Schaefer (1975) dan model ekonomi Gordon (1954). Model bio-ekonomi yang
digunakan adalah model bio-ekonomi statik dengan harga tetap. Model ini
disusun dari model parameter biologi , biaya penangkapan dan harga ikan.
Berdasarkan asumsi bahwa harga ikan per kg (p) dan biaya penangkapan
per unit upaya tangkap adalah konstan, maka total penerimaan nelayan dari usaha
penangkapan (TR) adalah :
TR = p.C
Keterangan :
TR = total revenue (penerimaan total)
P = harga rata-rata ikan hasil survey per kg (Rp)
C = jumlah produksi ikan (kg)
Total biaya penangkapan (TC) dihitung dengan persamaan :
TC = c.E
Keterangan :
TC = total cost (biaya penangkapan total)
C = total pengeluaran rata-rata unit penangkapan ikan (Rp)
E = jumlah upaya penangkapan untuk menangkap sumberdaya ikan (unit) maka
keuntungan bersih usaha penangkapan ikan (π) adalah :
π = TR − TC
π = p.Y − c.E
π = p(aE − bE 2 ) − cE
56

3.4.3 Model linear goal programming


Soekartawi (1995) menyatakan bahwa prinsip optimasi dalam penggunaan
faktor produksi pada dasarnya adalah bagaimana menggunakan faktor produksi
tersebut seefisien mungkin. Pengoptimalan alokasi beberapa unit penangkapan
ikan secara bersamaan akan dibatasi oleh berbagai kendala maka dapat digunakan
model linear goal programming.
Stevenson (1989) diacu dalam Sultan (2004) mengatakan bahwa linear goal
programming merupakan variasi dari model linear programming yang dapat
digunakan untuk menangani masalah yang mempunyai banyak sasaran. Model
linear goal programming terdapat variabel deviasional dalam fungsi kendala.
Variabel tersebut berfungsi untuk menampung penyimpangan hasil penyelesaian
terhadap sasaran yang hedak dicapai. Dalam proses pengolahan model tersebut,
jumlah variabel deviasional akan diminimumkan di dalam fungsi tujuan
(Siswanto 1993).
Model linear goal programming untuk optimasi jenis armada penangkapan
menggunakan model matematik:
Fungsi tujuan:
m
Z = ∑ (DBi + DAi )
i =1

Fungsi kendala-kendala

a11 x1 + a12 x 2 + ... + a1n x n + DB1 − DA1 = b1


a 21 x1 + a 22 x 2 + ... + a 2 n x n + DB2 − DA2 = b2
.
.
.
a m11 x1 + a m 2 x 2 + ... + a mn x n + DBm − DAm = bm
Keterangan:
Z = Fungsi tujuan (total deviasi) yang akan diminimumkan
DB = Deviasi bawah kendala ke-i
DA = Deviasi atas kendala ke-i
Cj = Parameter fungsi tujuan ke-j
b = Kapasitas / ketersedian kendala ke-i
57

aij = Parameter fungsi kendala ke-i pada variabel keputusan ke-j kendala
Xj = Variabel putusan ke-j (jumlah unit penangkapan)
Xj, DAi dan DBi > 0, untuk I = 1,2,….,m dan j =1,2….,n

3.4.4 Analisis Parameter populasi ikan layang biru (Decapterus macarellus)


3.4.4.1 Analisis parameter pertumbuhan
Untuk menduga pertumbuhan ikan layang biru terlebih dahulu ditentukan
frekuensi panjang ikan. Selanjutnnya di tentukan kelompok umur ikan dengan
metode Tanaka. Hasil pengelompokkan Cohort terhadap data frekuensi panjang
diperoleh panjang rata-rata dari tiap kelempok umur. Nilai panjang rata-rata
tersebut kemudian diplot terhadap umur seingga dioeroleh bentuk kurva
pertumbuhannya.
Pendugaan nilai koefisien pertumbuhan (K) dan panjang infinity (L ∞ )
diperoleh berdasarkan pada metode Ford-Walford (Sparre et al., 1992), yaitu
dengan cara meregresikan panjang ikan pada umur t (Lt) dengan panjang ikan
pada umur t+1 (Lt+1), sehingga didapat persamaan parameter pertumbuhan
K= -Ln.b dan L ∞ = a/(1-b). Kemudian untuk menghitung nilai to yang merupakan
umur teoritis ikan digunakan rumus empiris (Pauly, 1983) yaitu :
Log (-to) = -03922 – 0,2752 log L ∞ - 1,038 log K

Setelah mengetahui nilai-niali K, L ∞ dan to, dapat ditentukan model


pertumbuhan dan hubungan umur - panjang ikan layang biru di perairan Maluku
Utara dengan memasukkan nilai-nlai parameter pertumbuhan tersebut ke dalam
model pertumban Von Bartalanffy sebagai berikut:
Lt = L∞ (1 − e − K (t −t0 ) )
Keterangan :
Lt = panjang ikan pada saat umur t
L∞ = panjang infinity
K = koefisien pertumbuhan
t = waktu
to = umur pada saat panjangnya sama dengan nol.
58

3.4.4.2 Analisis hubungan panjang berat


Hubungan panjang-berat dilakukan secara terpisah antara ikan contoh jantan
dan betina. Perhitungan hubungan panjang-berat mengacu pada rumus Effendie
1979), yaitu :
W = a Lb
Keterangan : W = Berat tubuh (gram)
L = Panjang total (cm)
a dan b = Konstanta
Selanjutnya nilai a dan b diperoleh dengan merubah parameter di atas ke
dalam bentuk aditif melalui transformasi logaritma sehingga terbentuk persamaan
regrasi linier sederhana sebagai berikut:
Log W= Log a + bLogL
Untuk melihat apakah model regresi linier tersebut dapat digunakan sebagai
penduga hubungan berat tubuh dengan panjang total, model diuji dengan analisis
keragaman yaitu:
Sumber Derajat Jumlah Kuadrat F hitung F tabel
Keragaman Bebas Kuadrat Tengah 5% 1%
(∑x.∑y)
b∑xy−
Regresi 1 n JKR/dbR KTR/KTG
Galat n-2 JKT/JKR
(∑ y ) 2

Total n-1
∑y 2

n JKG/dbG

Untuk menguji nilai b terhadap 3, dilakukan menurut kaidah Calender diacu


dalam Effendie (1979) yaitu :
( xy )
∑ d y.x = ∑ ∑ x
2
2

∑ 2

S 2
yx =
∑ d 2
y .x
n − 1
2
S y . x
S 2
b =
∑ x 2

Sb = S 2
b
3 − b
thit =
Sb
59

Menurut Ricker (1975), jika nilai b < 3 atau b > 3, disebut pola pertumbuhan
alometrik, dan jika b = 3 disebut pola pertumbuhan isometrik.

3.4.4.3 Metode pengamatan tingkat kematangan gonad


Tingkat kematangan gonad dideterminasikan secara makroskopik (visual)
dengan melihat karakteristik gonad yang mengacu pada tingkat kematangan gonad
ikan belanak (Mugil dussumieri) yang dikemukakan oleh Effendie (1979).
Pengamatan tingkat kematangan gonad hanya dilakukan secara terpisah terhadap
ikan contoh jantan dan betina.

Tabel 2 Klasifikasi tingkatan kematangan gonad

TKG Betina Jantan

I - ovari seperti benang - ukuran seperti pendek


- panjang sampai ke depan tubuh - ujungnya di rongga tubuh
- warna jernih - warna jernih
- permukaan licin
II - ukuran lebih besar - ukuran testis lebih besar
- pewarnaan gelap kekuningan - berwarna putih susu
- telur belum terlihat dengan jelas - bentuk lebih jelas dari TKG I
III - ovari berwarna kuning - permukaan testis nampak
- secara morfologi telur sudah bergerigih
kelihatan butirnya - warna makin putih
oleh mata - morfologi telur dalam
keadaan diawetkan mudah
putus
IV - ovari makin besar - seperti TKG III
- telur berwarna kuning - tampak lebih jelas
- mudah dipisahkan butirnya - testis makin pejal
- minyak tak tampak - rongga tubuh mulai penuh
- mengisi 1/2 - 2/3 rongga tubuh - warna putih susu

V - usus terdesak - testis di bagian belakang


- ovari berkerut kempis
- dinding tebal - bagain pelepasan masih berisi
- butir telur sisa terdapat
- di dekat pelepasan

3.4.4.4 Analisis indeks kematangan gonad


Indeks kematangan gonad dianalisis dengan formula dari Effendie (1979)
Wg
yaitu: IKG = x100%
W
60

Keterangan: IKG = Indeks kematangan gonad (%)


Wg = Berat gonad (gr)
W = Berat tubuh (gr)
3.4.4.5 Perhitungan fekunditas
Perhitungan fekunditas (Jumlah telur) dilakukan dengan cara gabungan
gravimetrik, volumetrik dan hitung (Effendie, 1979). Rumus yang digunakan
untuk menghitung fekunditas ialah :
GxVxX
F =
Q
Keterangan:
F = Fekunditas
G = Berat gonad (gram)
V = Isi pengenceran (cc)
X = Jumlah telur tiap cc
Q = Berat telur contoh (gram)

3.4.4.6 Metode Sperman Karber


Penentuan ukuran pertama kali matang gonad di analisis berdasarkan kriteria
tingkat kematangan gonad mengunakan metode Cassie modifikasi Effendy
(1997). Selanjutnya ukuran pertama kali matang gonad dapat di tentukan dengan
metode Sperman Karber (Udupa, 1986).
n
X
log m = X k +
2
−(X
i =1
∑ p )

Keterangan :
Xk = logaritma nilai tengah pada saat ikan matang gonad 100%
X = selisih logaritma nilai tengah kelas
p = r/n
r = jumlah ikan matang gonad pada kelas ke i
n = jumlah ikan pada kelas ke i
q =i–p
⎡ pi * qi ⎤
Ragam = X2 ∑ ⎢ ni −1 ⎥
⎣ ⎦
61

Selang kepercayaan 95% yaitu :


m ± Zα / 2 ragam

Metode ini sudah digunakan beberapa peneliti terdahulu yaitu pada ikan
malalugis biru (Decapterus maracellus) (Suwarso et al., 2000), ikan kembung
perempuan (Rastrelliger brachysoma) (Suhendrata dan Rusmadji, 1991), ikan
layang (Decapterus russelli) Najamuddin et al., (2004). Pada prinsipnya, metoda
ini sejalan dengan metode kurva sigmoid, hanya dalam metoda ini dihitung secara
matematik kisaran ukurannya, sehingga lebih meyakinkan dalam penentuan
ukuran rujukan.

3.4.5 Analisis penentuan mesh size minimum jaring

Ukuran mata jaring minimum ditentukan berdasarkan pendekatan biologis


merujuk pada ukuran ikan dewasa yaitu ikan sudah pernah memijah minimal satu
kali. Penentuna mesh size jaring minimum didasarkan pada panjang berapa ikan
pertama kali matang gonad dan berapa lingkar badan ikan pada ukuran tersebut.
Hubungan antara lingkar badan dengan panjang total ikan dianalisis
dengan menggunakan regresi linear sederhana (Steel and Torrie, 1981) dengan
persamaan sebagai berikut :
Y=a+bX
Keterangan :
Y = panjang ikan (cm)
X = lingkar badan di belakang operculum (tutup insang) (cm)

3.4.6 Metode rata-rata bergerak (moving average)


Data hasil tangkapan dari ikan layang dianggap merupakan indikator
keberadaannya pada suatu daerah penangkapan. Data hasil tangkapan bulanan
sumberdaya ikan layang di tempat pendaratan dianalisis berdasarkan
perbandingan antara total ikan yang didaratkan dengan banyaknya upaya yang
dilakukan pada bulan tersebut (CPUE). Banyaknya upaya penangkapan dihitung
dari jumlah kapal yang melakukan pendaratan ikan pada bulan yang bersangkutan.
Secara matematik CPUE tersebut dapat dituliskan sebagai berikut :
62

C
CPUE =
E

Keterangan :
CPUE : Jumlah total tangkapan per upaya penangkapan bulan ke-i (kg/trip)
C : Total hasil tangkapan bulan ke-i (kg)
E : Total upaya penangkapan bulanan ke-i (trip)
Pola musim penangkapan dianalisis dengan menggunakan pendekatan
metode rata-rata bergerak (moving average) seperti yang dikemukakan oleh Dajan
(1986). Langkah-langkah perhitungannya adalah sebagai berikut :

(1) Menyusun deret CPUEi bulan Januari 2003 sampai Desember 2007
n : CPUEi
Keterangan :
i : 1,2,3, 60
n : CPUE urutan ke-i

(2) Menyusun rata-rata bergerak CPUE selama 12 bulan (RG)


1 ⎡ i +5 ⎤
RG = ⎢ ∑
12 ⎣i = i − 6
CPUE ⎥

Keterangan :
RG : Rata rata bergerak 12 bulan urutan ke-i
CPUEi : CPUE urutan ke-i

(3) Menyusun rata-rata bergerak CPUE terpusat (RGP)


1 ⎡ i =i ⎤
RGP = ∑ RGi⎥⎦
2 ⎢⎣ i = i
Keterangan :
RGP : Rata-rata bergerak CPU terpusat ke-i
RG : Rata-rata bergerak 12 bulan urutan ke-i
(4) Rasio rata-rata bulan (Rb)
CPUE
Rbi =
RGP
63

Keterangan:
Rbi : Rasio rata-rata bulan urutan ke-i
CPUE : CPUE urutan kei
(5) Menyusun nilai rata-rata dalam suatu matrik berukuran i x j yang disusun
untuk setiap bulan, yang dimulai dari bulan juni-juli. Selanjutnya
menghitung nilai total rasio rata-rata tiap bulan, kemudian menghitung total
rasio rata-rata secara keseluruhan dan pola musim penangkapan.
1) Rasio rata-rata untuk bulan ke-i (RBBi)

1⎛ n ⎞
RBBi = ⎜ ∑ RBij ⎟

n ⎝ j =1 ⎟

Keterangan :
RBBi : Rata-rata Rbij untuk bulan ke-i
Rbij : Rasio rata-rata bulanan dalam matriks ukuran i x j
i : 1,2.....,..12
j : 1,2,3...,..,n

2) Jumlah rasio rata-rata bulanan (JRBB)


12
JRRB = ∑ RRBi
i =i

Keterangan :
JRRB : Jumlah rasio rata-rata bulan
RBBi : Rata-rata Rbij untuk bulan ke-i
i : 1,2......,..12
3) Menghitung faktor koreksi: 1200 JRBB
1200
FK =
JRBB
Keterangan :
FK : Nilai faktor koreksi
JRBB : Jumlah rasio rata-rata bulanan
4) Indeks musim penangkapan
IMPi = RRBi x FK
64

Keterangan :
IMPi : Indeks musim penangkapan bulan ke-i
RBBi : Rasio rata-rata uiituk bulanan ke-i
i : 1,2,3,.....,.....12

3.4.7 Model deskriptif

Pola pengembangan perikanan ikan layang disusun dengan pendekatan


deskriptif yaitu berdasarkan nilai keragaan optimum komponen perikanan ikan
layang dan hubungan dari komponen-komponen tersebut yang telah diperoleh
pada sub-sub bab seperti: tentang kondisi perikanan ikan layang; prioritas unit
penangkapan ikan layang yang layak dikembangkan; optimalisasi pengelolaan
perikanan layang; alokasi jumlah unit penangkapan layang terpilih yang optimum
dan berkelanjutan; biologi ikan layang biru; mesh size minimum jaring alat
tangkap terpilih; serta pola musim dan daerah penangkapan ikan layang yang
tepat.
65

4 HASIL

4.1 Kondisi Perikanan Ikan Layang di Maluku Utara

4.1.1 Deskripsi Unit Penangkapan Ikan


Unit penangkapan ikan yang dominan menghasilkan ikan layang di perairan
Maluku Utara adalah mini purse seine. Beberapa alat tangkap lain yang juga
menghasilkan ikan layang di wilayah perairan ini adalah jaring insang hanyut dan
bagan perahu. Ketiga alat tangkap tersebut dapat dioperasikan pada waktu siang
atau malam hari saja dan trip operasinya bersifat harian (one day fishing).
Identifikasi deskripsi unit penangkapan dilakukan terhadap ketiga alat tangkap
tersebut.

4.1.1.1 Mini purse seine


Mini purse seine di Maluku Utara dikenal dengan nama pajeko. Alat
tangkap ini terdiri dari kantong (bunt), badan jaring, sayap, jaring pada pinggir
badan jaring. (selvedge), tali ris atas (floatline), tali ris bawah (leadline), pemberat
(sinkers), pelampung (floats) dan cincin (purse rings).
Panjang jaring mini purse seine yang digunakan di Maluku Utara berkisar
antara 200-300 m dan lebar berkisar 40-60 m. Kantong sebagai tempat
berkumpulnya ikan terbuat dari bahan PA 210/D12 dengan ukuran mesh size 0,75
inci. Badan jaring terbuat dari bahan PA 210/D9 dengan ukuran mesh size
sebesar dan 1 inci. Bagian sayap yang berfungsi sebagai pagar pada waktu
penangkapan gerombolan ikan dan mencegah ikan keluar dari bagian kantong,
terbuat dari bahan PA 210/D6 dengan ukuran mesh size l,50 inci.
Jaring pada pinggir badan jaring (selvedge) terbuat dari bahan PVA 380/D15
dengan ukuran mata jaring (mesh size) 1.50 inci yang terdiri dari 3 mata untuk
arah ke bawah. Tali ris atas (floatline) terbuat dari bahan PVA dengan panjang 410
m, dan diameter tali sebesar 14 mm, tali ris bawah (leadline) terbuat dari bahan
PVA dengan diameter tali sebesar 14 mm yang memiliki panjang 470 m.
Jumlah pemberat dalam satu unit mini purse seine terdiri dari 2200 buah,
dengan berat 100 gr/buah. Pemberat pada pukat cincin memiliki panjang 2,9 cm
dengan diameter tengah 2,8 cm yang terbuat dari bahan timah hitam. Jarak antar
pemberat berkisar 10-15 cm. Tali pemberat pada pukat cincin terbuat dari bahan
66

PVA dengan diameter tali 12 mm. Jumlah pelampung dalam satu unit pukat
cincin terdiri dari 1100 buah, dengan jarak antar pelampung sekitar 15-20 cm.
Pelampung pukat cincin berbentuk elips dengan panjang 12,7 cm dan diameter
tengah 9,5 cm yang terbuat dari bahan sintetis rubber.
Jumlah cincin dalam satu unit rata-rata terdiri dari 50 buah. Cincin
digunakan oleh nelayan pukat cincin di Maluku Utaraa memiliki diameter luar 10
cm dan diameter dalam 6,6 cm. Cincin yang digunakan terbuat dari bahan
kuningan dengan jarak antar cincin berkisar 5-110 m. Purse line pada pukat
cincin terbuat dari bahan PVA dengan diameter tali 20 mm yang memiliki
panjang 600 m. Konstruksi mini purse seine dapat di lihat pada Gambar 7.

200 - 300 m

S Sayap Badan Kantong Badan Sayap S


e e
l PA 210/D6 PA 210/D6 PA 210/D6 PA 210/D9 PA 210/D6 l
v MS 1,50 inci MS 1 inci MS: 0,75inci MS: 1 inci MS 1,50 inci v
d e
g 45 – 65 m 45 – 65 m d
e 40 - 60 m 40 – 60 m g
30 - 50 m

40 m – 60 m

Tali pelampung
Pelampung PVC

Tali ris atas

Jaring
Tali ris bawah
Tali Pemberat Cincin Tali kolor
pemberat (Timah Hitam) (Kuningan) (PVA)

Gambar 7 Konstruksi mini purse seine di Maluku Utara.


67

Kapal mini purse seine yang dioperasikan untuk kegiatan penangkapan ikan
layang menggunakan tipe dua buah kapal (two boat system) yaitu terdiri atas
kapal utama yang berfungsi untuk melingkarkan jaring pada saat operasi
penangkapan berlangsung dan menarik purse line setelah pelingkaran jaring
selesai (Gambar 8). Sedangkan kapal jhonson yang berfungsi sebagai kapal
pembawa hasil tangkapan ke fishing base. Kedua kapal tersebut terbuat dari bahan
kayu. Kapal utama di Maluku Utara memiliki ukuran berkisar 13 – 18 GT dengan
panjang (L) antara 12,80-13,90 m, lebar (B) 3,15-3,30 m dan dalam (D) 1,90 -2
m, sedangkan untuk kapal johnson memiliki ukuran 3 – 6 GT dengan panjang
antara 10-11,50 m, lebar 2,50-2,60 dan dalam 1,20-1,30 m. Spesifikasi kapal mini
purse seine yang dioperasikan di Maluku Utara dapat dilihat pada Tabel 3.

Tampak atas

Tampak samping

6 5 4 3 2 1

Keterangan :
1. Tempat perbekalan
2. Tempat penyimpanan jangkar
3. Tempat penyimpanan jaring
4. Tempat penyimpanan hasil tangkapan (palka)
5. Kemudi
6. Mesin Outboard

Gambar 8 Desain Kapal mini purse seine (kapal utama) di Maluku Utara.
68

Tenaga penggerak yang digunakan untuk kedua kapal adalah sama yaitu
baik kapal utama maupun kapal johnson menggunakan mesin tempel (outboard)
masing-masing berjumlah dua buah dengan kekuatan 40 PK yang bermerek
Yamaha (Tabel 3). Tenaga penggerak pada kedua kapal menggunakan bahan
bakar campuran yaitu minyak tanah, bensin dan oli.
Kapal utama mini purse seine memilki palkah. Kapasitas dari palkah
tersebut dapat memuat hasil tangkapan sekitar 1 - 2 ton. Palkah ini hanya
dipergunakan jika pada saat kegiatan penangkapan memperoleh hasil tangkapan
yang banyak dan pada kapal johnson tidak dapat lagi meletakkan hasil tangkapan,
namun pada umumnya hasil tangkapan yang diperoleh akan diletakkan pada kapal
johnson. Kapasitas hasil tangkapan untuk kapal johnson berkisar antara 3 - 4 ton.

Tabel 3 Spesifikasi kapal mini purse seine di Maluku Utara


No Spesifikasi Kapal utama Kapal jhonson
1 Dimensi utama
a. Panjang (L) 12,80-13,90 m 10-11,50 m
b. Lebar (B) 3,15-3,30 m 2,50-2,60 m
c. Dalam (D) 1,90-2 m 1,20-1,30 m
2 Tonage 13 – 18 GT 3 – 6 GT
3 Mesin Outboard (Yamaha Outboard (Yamaha
Enduro 40 PK) Enduro 40 PK)
Sumber. Hasil wawancara dengan nelayan, 2008.

Berdasarkan pengamatan langsung dengan mengikuti operasi penangkapan,


umumnya kegiatan operasi penangkapan dimulai pada pagi dini hari yaitu nelayan
mulai berangkat sekitar pukul 03.00 WIT hingga menjelang siang yaitu sekitar jam
7.00 WIB dan selesai atau kembali ke fishing base sekitar jam 9.00 WIT.
Informasi mengenai metode operasi penangkapan mini purse seine dibagi kedalam
beberapa tahap yaitu meliputi tahap persiapan, penurunan jaring dan penarikan
jaring.

1) Tahap Persiapan
Tahap persiapan meliputi kegiatan pemeriksaan mesin kapal utama maupun
mesin johnson, pemeriksaan alat tangkap, penyiapan bahan bakar dan perbekalan.
2) Kapal mini purse seine berangkat menuju rumpon yang merupakan daerah
penangkapan ikan (fishing ground). Pada umumnya membutuhkan waktu sekitar
69

1-2 jam untuk menuju daerah penangkapan. Penentuan daerah penangkapan ikan
(rumpon) yang tepat yang akan menjadi tujuan daerah penangkapan berdasarkan
hasil pemantauan oleh nelayan pemantau yang telah dilakukan pada malam
harinya sebelum kapal pukat cincin berangkat, dan jika kegiatan penangkapan
sebelumnya mendapatkan hasil tangkapan yang banyak, maka kegiatan
penangkapan berikutnya tidak akan jauh dari daerah penangkapan (rumpon).
3) Setting
Setelah tiba di daerah penangkapan ikan (rumpon), kemudian dilakukan
proses setting yang diawali dengan penurunan pukat cincin pada bagian kantong
dari kapal utama yang berada di bagian buritan sebelah kiri. Tali selambar pada
bagian pukat cincin dilemparkan pada kapal johnson untuk dilakukan proses
setting. Kapal johnson menunggu proses setting hingga selesai untuk melakukan
proses selanjutnya yaitu penarikan purse line. Proses pelingkaran gerombolan
ikan oleh kapal utama (ketinting) harus dilakukan dengan kekuatan penuh. Hal ini
dilkukan dengan agar gerombolan ikan yang menjadi target tidak lolos baik dari
arah horizontal maupun vertikal. Proses pelingkaran geromblan ikan
membutuhkan waktu ± 5 menit. Dalam satu trip nelayan pukat cincin melakukan
setting atau tawur rata-rata sebanyak 1-2 kali. Hal ini sangat ditentukan oleh
jumlah hasil tangkapan yang diperoleh.
4) Hauling
Setelah proses pelingkaran gerombolan ikan selesai oleh kapal utama, salah
satu nelayan yang berada pada kapal utama melempar purse line pada kapal
johnson untuk dilakukan penarikan purse line dengan kekuatan penuh yang
arahnya menjauhi kapal utama. Pada saat dilakukan penarikan purse line oleh
kapal johnson, proses penarikan pukat cincin juga dilakukan oleh nelayan pada
kapal utama. Setelah proses penarikan mini purse seine selesai, kapal johnson
kembali dan mendekati mini purse seine yang sudah membentuk sebuah
mangkuk, kemudian dilakukan pengangkatan pelampung yang berada di kantong.
Penarikan pukat cincin selesai hingga tersisa bagian kantong, maka dilakukan
pengangkatan hasil tangkapan oleh nelayan yang berada pada kapal johnson untuk
diletakkan pada kapal johnson. Proses penarikan (setting) mini purse seine
hingga selesai membutuhkan waktu 45-90 menit.
70

5) Penanganan hasil tangkapan


Penarikan mini purse seine hingga bagian kantong, ikan hasil tangkapan
diambil oleh nelayan yang berada pada kapal johnson dengan menggunakan
serok untuk ditempatkan pada kapal johnson. Pukat cincin yang selesai digunakan
untuk kegiatan penangkapan ikan, disusun dan dirapikan kembali sebagai
persiapan untuk kembali ke pantai.

4.1.1.2 Jaring insang hanyut


Jaring insang yang digunakan untuk penangkapan ikan layang adalah jaring
insang hanyut permukaan karena berdasarkan letaknya dalam perairan. Jaring
insang hanyut di Maluku Utara dikenal dengan nama “ soma”.
Alat tangkap yang digunakan terdiri dari jaring terbuat dari bahan
multifilament (PA 210 D/9) dengan mesh size 2 inci dan panjang 60 -100 meter
dan tinggi 5-7 meter. Tali pelampung, tali ris atas, tali ris bawah dan tali pemberat
terbuat dari bahan polyetheline dengan ukuran tali nomor 6. Pada jaring ini
digunakan 2 macam pelampung yaitu pelampung utama dan pelampung tanda.
Pelampung utama berbentuk elips yang terbuat dari fiberglass dengan diameter
4,6 sebanyak 50 buah untuk setiap bagian, jarak tiap pelampung 25 mata jaring
yang dipasang. Pelampung berbentuk bola yang terbuat dari fibreglass dengan
diameter 20 cm sebanyak 6 buah untuk satu bagian jaring jarak tiap pelampung
170 mata jaring. Sedangkan pemberat yang digunakan berbentuk tabung yang
terbuat dari timah dengan diameter 2 cm sebanyak 80 buah yang dipasang pada
tali pemberat untuk satu bagian jaring. Secara jelas deskripsi jaring insang hanyut
disajikan pada Gambar 9.
71

60 m – 100 m

5 m -7 m

Keterangan :
1. Pelampung 5. Pemberat
2. Tali pelampung 6. Tali Pemberat
3. Pelampung utama 7. Tali ris bawah
4. Tali ris atas 8. Tali selembar

Gambar 9 Konstruksi jaring insang hanyut di Maluku Utara.

Perahu gill net yang digunakan untuk menangkap ikan layang memiliki
panjang 8 - 10 meter, lebar 1,20 - 1,25 meter dan dalam 1,5 – 1,60 meter, terbuat
dari bahan kayu dengan kontruksi yang sederhana. Adapun desain perahu jaring
insang hanyut yang digunakan pada penelitian disajikan pada Gambar 10.

2
4
1
3

Keterangan :
1. Jaring 3. Mesin
2. Palkah 4. Keranjang Ikan

Gambar 10 Desain perahu jaring insang hanyut di Maluku Utara.


72

Tenaga penggerak yang digunakan untuk perahu gill net tersebut adalah
menggunakan mesin ketinting dengan kekuatan 5-7 PK . Tenaga penggerak pada
perahu ini menggunakan bahan bakar bensin. Perahu gill net ini memilki
kapasitas palkah 500 – 800 kg. Secara jelas spesifikasi perahu jaring insang
hanyut di sajikan pada Tabel 4.

Tabel 4 Spesifikasi perahu jaring insang hanyut di Maluku Utara


No Spesifikasi Perahu
1 Dimensi utama
a. Panjang (L) 8 m - 10 m
b. Lebar (B) 1,20 m - 1,25 m
c. Dalam (D) 1,50 m– 1,60 m
2 Tonage 1 GT
3 Mesin Ketinting (5 – 7 PK)
Sumber. Hasil wawancara dengan nelayan, 2008.
Operasi penangkapan ikan layang dengan jaring insang hayut dilakukan
pada malam hari. Pengoperasian alat tangkap ini rata-rata hanya dilakukan satu
trip dalam sehari. Pemberangkatan dari fishing base di mulai npukul 17.00-16.00
WIT dan kembali dari fishing ground sekitar pukul 02.00-03.00 dini hari.
Tahap pertama yang dilakukan setelah tiba di fishing ground adalah
mematikan mesin perahu, menyalakan lampu tanda, selanjutnya dilakukan
penurunan jaring. Pertama-tama yang diturunkan ke perairan adalah pelampung
tanda, kemudian lampu tanda dan selanjutnya jaring diturunkan secara perlahan-
lahan. Waktu yang dibutuhkan dalam melakukan setting berkisar antara 30 menit
- 1 jam. Setelah semua jaring turun dan terbentang dengan sempurna maka dalam
jangka waktu selama 3 - 5 jam kemudian dilakukan penarikan jaring (hauling).
Setelah penarikan jaring, ikan-ikan hasil tangkapan dilepas dari jaring,
Kegiatan pengoperasian diakhiri dengan penyortiran hasil tangkapan dan
penyusunan kembali jaring di atas perahu .

4.1.1.3 Bagan perahu


Bagan perahu termasuk klasifikasi jenis jaring angkat (lift net) yang
berbentuk segi empat bujur sangkar. Bagan ini memiliki kelebihan
dibandingkan dengan bagan tancap (statis), diantaranya adalah bagan ini dapat
dipindah-pindahkan dari satu fishing ground ke fishing ground yang dikehendaki
73

Jaring yang digunakan pada alat tangkap bagan terdiri dari sisi kiri dan sisi
kanan yang dirangkai satu demi satu sehingga berbentuk segi empat untuk
mempermudah pada saat penarikan jaring (hauling) dan penurunan jaring (setting)
saat pengoperasian. Pada setiap tepi jaring dilengkapi dengan tali ris agar jaring tidak
terbelit. Konstruksi alat tangkap bagan perahu yang digunakan di Maluku Utara di
sajikan pada Gambar 11.
Badan bagan yang terbuat dari jenis kayu damar yang berbentuk empat
persegi panjang dan diletakan di atas badan perahu, panjang keseluruhan dari badan
bagan adalah 20 meter dengan lebar 20 meter. Jarak antara kayu satu dengan kayu
yang lain adalah 75 cm, jumlah keseluruhan kayu yang digunakan pada bagan
adalah 15 buah. Jaring terbuat dari bahan polyethylene (PE) dengan anyaman yang
sangat halus dan dibuat sedemikian rupa sehingga ikan-ikan kecilpun sulit untuk
lalos. Panjang jaring yang digunakan adalah 1200 meter. Katrol terbuat dari
bahan kayu yang di pasang pada bagian tengah badan bagan dengan fungsi untuk
menaikan dan menurunkan jaring. Panjang tali katrol 30 meter. Menggunakan
batu sebagai pemberat sebanyak 10 buah yang dirangkai dengan tali yang
berfungsi untuk menenggelamkan jaring dan menahan jaring dari pengaruh arus
pada waktu jaring berada di dalam air, sekaligus menahan jaring agar tidak naik
ke permukaan dan tidak mengerut pada waktu jaring diangkat. Kawat baja
berfungsi untuk menahan badan bagan yang bertumpu pada tiang. Panjang kawat
21 meter dan berjumlah 80 buah. Digunakan 2 buah mesin generator. Lampu yang
digunakan pada operasi penangkapan adalah lampu permukaan (petromaks)
dengan jumlah lampu yang digunakan adalah 8 buah dan dua buah mesin
generator.
74

Keterangan :
1. Panjang perahu 8. Rumah bagan
2. Lebar perahu 9. Roller
3. Tinggi perahu 10. Jaring
4. Tinggi tiang perahu 11. Tali penarik jaring
5. Panjang rangka bagan 12. Tali tiang dari kawat baja
6. Lebar rangka bagan 13. Lampu pemikat ikan
7. Tinggi rangka bagan 14. Lampu pengkonsentrasi ikan

Gambar 11 Konstruksi bagan perahu di Maluku Utara.

Pengoperasian bagan perahu dibantu dengan satu unit perahu yang


berfungsi untuk mengangkut hasil tangkapan, bahan makanan, air tawar, dan
bahan bakar dan serfungsi pula sebagai penarik bagan dari fishing base ke fishing
ground dan sebaliknya. Panjang perahu adalah 11 meter lebar 1,20 meter, dalam
1,50 m dan daya tampung 3 ton . Perahu pengangkut hasil tangkapan adalah jenis
motor tempel dengan tenaga penggerak menggunakan mesin Yamaha Enduro 45
pk yang berjumlah 2 buah. Spesifikasi perahu pembantu bagan perahu di sajikan
pada Tabel 5.
75

Tabel 5 Spesifikasi perahu pembantu pada bagan perahu di Maluku Utara


No Spesifikasi Perahu
1 Dimensi utama
a. Panjang (L) 11 m
b. Lebar (B) 1,20 m
c. Dalam (D) 1,50 m
2 Tonage 3 GT
3 Mesin Yamaha Enduro (40 PK)
Sumber. Hasil wawancara dengan nelayan, 2008.
Operasi penangkapan bagan perahu dilakukan pada malam hari dengan
memanfaatkan cahaya lampu . Tahap awal dilakukan pengoperasian adalah tahap
persiapan. Tahap ini dilakukan pemeriksaan terhadap semua peralatan dan bahan-
bahan yang dibutuhkan pada saat pengoperasian seperti lampu-lampu, baling-
baling kapal, mesin kapal, bahan bakar dan bahan makanan yang diperlukan
dalam proses pengoperasian.
Setelah sampai di daerah penangkapan dilakukan penurunan jangkar oleh
ABK kapal yang letaknya di haluan kapal. Operasi penangkapan dimulai pada
pukul 19.00 WIT yang dimulai dengan menurunkan jaring dan menyalakan lampu
yang terdapat di haluan kapal dengan tujuan untuk menarik gerombolan ikan agar
berkumpul.
Selama proses menunggu gerombolan ikan (soaking) berlangsung juragan
sekaligus fishing master dalam operasi penangkapan mengawasi adanya
gerombolan ikan dibawah permukaan air. Antara setting dan hauling tidak
dibatasi oleh waktu tetapi ditentukan oleh ada tidaknya gerombolan ikan yang
berkumpul. Hauling dilakukan setelah terlihat banyak bergerombol ikan diareal
bagan.
Pengangkatan jaring ditandai dengan pemadaman lampu yang dimulai pada
lampu merkuri bagian depan, setelah beberapa lama kemudian salah satu lampu
merkuri berwarna merah yang terdapat di sisi kapal di matikan sehingga yang
menyala hanya salah satu lampu merkuri yang terdapat disalah satu sisi bagan,
kemudian lampu merkuri yang masih menyala tersebut di tutup dengan
menggunakan tudung selama kurang lebih 10 menit. Jaring diangkat perlahan-
lahan dengan menggunakan roller oleh para ABK. Setelah mulut jaring berada
dipermukaan air, semua lampu dinyalakan kembali, sedangkan ikan-ikan yang
76

berada dalam jaring digiring menuju buritan kapal. Ikan yang telah digiring
menuju ke daerah bunuhan dinaikkan ke atas kapal dengan menggunakan sebuah
serok dan dimasukkan ke dalam keranjang. Ikan-ikan tersebut akan dijual
langsung bila ada kapal penadah yang datang atau ikan tersebut di bawah ke
Tempat Pendaratan Ikan.

4.1.2 Produksi dan upaya penangkapan


Produksi kan layang di Maluku Utara sebagian besar didaratkan di 3 wilayah
Kabupaten/Kota, yang mana terdapat pelabuhan pendaratan ikan yaitu Kota
Ternate (PPN Ternate), Kabupaten Halmahera Selatan (PPI Bacan) dan
Kabupaten Halmahera Utara (PPI Tobelo).
Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan terlihat bahwa produksi
tangkapan ikan layang di Maluku Utara dalam 10 tahun terakhir (1998-2007)
mengalami fluktuasi dengan produksi rata-rata mencapai 17555.495 ton dengan
produksi tertinggi pada tahun 2007 sebesar 23677 ton.
Tahun 1998 total hasil tangkapan 14.682 ton, kemudian mengalami
penurunan pada tahun 1999 hingga tahun 2000 dengan total hasil tangkapan
masing-masing 12.565 ton dan 12.523 ton. Selanjutnya mengalami peningkatan
pada tahun 2001 yaitu sebesar 17.252 ton. Tahun 2002 hasil tangkapan kembali
menurun yaitu mencapai 15.755. Selanjutnya total hasil tangkapan mengalami
peningkatan hingga tahun 2007 yaitu sebesar 23.677 ton. Secara rinci
perkembangan produksi ikan layang di Maluku Utara di sajikan pada Tabel 6.
Tabel 6 Produksi sumberdaya ikan layang di Maluku Utara, tahun 1998-2007
Tahun Produksi (kg) Produksi (ton)
1998 14.682.000 14.682
1999 12.565.300 12.565
2000 12.523.250 12.523
2001 17.251.600 17.252
2002 15.754.500 15.755
2003 18.153.060 18.153
2004 18.677.060 18.677
2005 20.965.890 20.966
2006 21.305.220 21.305
2007 23.677.070 23.677
Total 175.554.950 175.555
Rata-rata 17.555.495 17.555,49
Sumber. DKP Provinsi Maluku Utara, 2008.
77

Fluktuasinya produksi ikan layang dapat diakibatkan oleh berbagai faktor


yang saling berinteraksi dalam kegiatan perikanan tangkap. Faktor yang saling
berinteraksi tersebut adalah upaya penangkapan dan ketersedian stok ikan layang
di perairan Maluku Utara.
Produksi ikan layang di Maluku Utara dihasilkan menggunakan alat tangkap
mini purse seine, jaring insang hanyut dan bagan perahu. Mini purse seine adalah
penghasil utama ikan layang dengan persentase produksi rata-rata terbesar dari
total hasil tangkapan yaitu 13.084.991,3 kg (75%), bagan perahu 2.616.998,3 kg
(15%) dan jaring insang hanyut 1.744.665,5 kg (10%). Produksi ikan layang per
jenis alat tangkap di Maluku Utara di sajikan pada Tabel 7.

Tabel 7 Produksi ikan layang per alat tangkap di Maluku utara tahun 1998 - 2007
Mini purse seine Jaring insang hanyut Bagan perahu
Tahun
Kg Kg Kg
1998 11.283.600 1.359.360 2.039.040
1999 9.923.975 1.056.530 1.584.795
2000 9.642.438 1.152.325 1.728.488
2001 12.938.700 1.725.160 2.587.740
2002 11.565.875 1.675.450 2.513.175
2003 13.614.795 1.815.306 2.722.959
2004 14.007.795 1.867.706 2.801.559
2005 15.724.418 2.096.589 3.144.884
2006 15.978.915 2.130.522 3.195.783
2007 17.257.803 2.567.707 3.851.561
Total 130.849.912,5 17.446.655 26.169.982,5
Rata-rata 13.084.991,3 1.744.665,5 2.616.998,3
Sumber. DKP Provinsi Maluku Utara, 2008.

Armada dan alat tangkap yang dioperasikan di perairan Maluku Utara dalam
operasi penangkapan ikan layang adalah perahu tanpa motor (PTM) dan perahu
motor tempel (PMT). Sampai dengan tahun 2007 unit armada penangkapan yang
beroperasi dalam kegiatan penangkapan ikan layang sebanyak 1.970 unit, terdiri
dari perahu tanpa motor sebanyak 1.264 unit dan perahu motor tempel sebanyak
706 unit. Sedangkan unit alat tangkap yang digunakan diantaranya mini purse
seine, jaring insang , bagan, bagan perahu. Semua jenis armada dan alat tangkap
yang digunakan memiliki jangkauan dan kemampuan yang masih terbatas, karena
ukuran yang relatif kecil dan terbatas.
78

Tahun 2007, unit penangkapan mini purse seine mencapai 213 unit, jaring
insang hanyut 171 unit dan bagan perahu 322 unit. Perkembangan jumlah unit
penangkapan ikan layang di Maluku Utara di sajikan pada Tabel 8.
Tabel 8 Unit penangkapan ikan layang di Maluku Utara, tahun 1998 – 2007
Unit penangkapan lkan Layang (unit)
Tahun
Mini purse seine Jaring insang hanyut Bagan perahu
1998 120 104 200
1999 70 71 158
2000 71 73 173
2001 125 160 189
2002 145 174 190
2003 158 180 268
2004 182 172 192
2005 199 175 308
2006 208 175 322
2007 213 171 322
Sumber. DKP Provinsi Maluku Utara, 2008.

4.1.3 Kondisi nelayan dan sistem bagi hasil


Jumlah nelayan tahun 2007 yang beraktivitas di perairan Maluku Utara
adalah 36.984 orang. Mereka tersebar di 8 daerah Kabupaten/Kota yaitu, Kota
Ternate, Kota Todore Kepulauan, Kabupaten Halmahera Selatan, Kabupaten
Halmahera Barat, Kabupaten Halmahera Utara, Kabupaten Halmahera Timur,
Kabupaten Halmahera Tengah dan Kepulauan Sula. Namun yang terlibat secara
langsung terhadap eksploitasi sumberdaya ikan layang adalah mereka yang berada
di beberapa wilayah di antaranya: Kota Ternate, Kota Tidore Kepulauan,
Kabupaten Halmahera Selatan dan Kabupaten Halmahera Utara. Jumlah mereka
adalah 3.698 orang atau sekitar 10% dari jumlah total nelayan di Maluku Utara.
Adapun jumlah ABK rata-rata pada setiap unit penangkapan yang digunakan
untuk mengeksploitasi sumberdaya ikan layang di perairan Maluku Utara, yaitu
untuk mini purse seine adalah 13 orang, jaring insang hanyut 4 orang dan bagan
perahu sebanyak 8 orang.
Nelayan merupakan salah satu faktor yang sangat berperan dalam usaha
penangkapan di Maluku Utara, terutama dalam mengelola faktor-faktor yang
terdapat dalam unit penangkapan sehubungan dengan pemanfaatan sumberdaya
perikanan yang ada di daerah tersebut. Sebagian besar nelayan yang
79

mengeksploitasi sumberdaya ikan layang di Maluku Utara merupakan penduduk


asli daerah setempat. Profesi nelayan merupakan mata pencaharian utama dari
penduduk setempat, sedangkan mereka tidak keluar melaut yaitu terutama pada
musim kurang ikan nelayan bekerja sampingan sebagai petani dan memancing.
Nelayan yang megeksploitasi sumberdaya ikan layang di Maluku Utara
terbagi menjadi 2 kelompok, yaitu nelayan pemilik dan nelayan buruh. Nelayan
pemilik rata-rata berpendidikan terakhir SMP dan SMA, sedangkan nelayan buruh
umunya berpendidikan terakhir dari tingkat SD sampai SMA. Nelayan pemilik
umumnya hanya memiliki masing-masing satu unit alat tangkap.
Sistem bagi hasil usaha penangkapan ikan layang di Maluku Utara untuk
alat tangkap mini purse seine dan bagan perahu memiliki sistem pembagian yang
sama, yaitu setelah diperoleh hasil penjualan (laba kotor) dan setelah dikurangi
dengan biaya operasional dan biaya retribusi, maka diperoleh pendapatan bersih.
Selanjutnya dilakukan pembagian 60% hasil penjualan (laba bersih) menjadi hak
pemilik kapal (pemilik usaha), sedangkan 40% sisanya dibagi untuk nelayan
(Crew). Khusus untuk alat tangkap jaring insang hanyut sistem pembagian hasil
usaha yaitu setalah didapatkan laba bersih, maka 50% menjadi hak pemilik usaha
dan 50% lagi dibagi untuk nelayan (Crew). Pembagian pendapatan untuk nelayan
(Crew) berdasarkan fungsi kerja berlaku sama untuk ketiga alat tangkap yaitu
bagian untuk juragan laut (fishing master) 2 bagian, Juru mesin 1,5 bagian dan
untuk nelayan ABK masing-masing memperoleh 1 bagian. Khusus Juragan laut
pada alat tangkap mini purse seine biasanya mendapat tambahan (bonus) ketika
hasil tangkapan (keuntungan) yang diperolah melebihi standar yang ditargetkan
pemilik modal. Secara jelas sistem bagi hasil usaha perikanan layang di Maluku
Utara disajikan pada Gambar 12.
80

Produksi

Pendapatan
kotor

Biaya operasional &


retribusi

Pendapatan
Bersih

Mini purse seine & Jaring insang


Bagan perahu hanyut

Pemilik Nelayan (Crew) Pemilik Nelayan (Crew)


60% 40% 50% 50%

Bonus (mini
purse seine)
Juragan laut Juru mesin ABK
(2 bagian) (2 bagian) (1 bagian)

Gamabar 12 Sistem bagi hasil usaha perikanan layang di Maluku Utara.

Hasil pengamatan di lapangan terhadap ketiga alat tangkap ikan layang,


menunjukkan bahwa pendapatan bersih per tahun tertinggi diperoleh unit mini
purse seine yaitu sebesar Rp 281.692.500,00, kemudian disusul oleh bagan perahu
sebesar Rp 123.473.400,00 dan jaring insang Rp 45.320.100,00.
Berdasarkan sistem pembagian hasil yang berlaku dalam usaha perikanan
layang di Maluku Utara seperti terlihat pada Gambar 15, maka untuk mini purse
seine dan bagan perahu untuk pemilik alat tangkap memperoleh pendapatan bersih
per tahun masing-masing sebesar Rp 169.015,500,00 dan Rp 74.084.040,00.
Sedangkan Nelayan (Crew) mini purse seine memperoleh Rp 112.677.000,00 dan
81

Nelayan (Crew) bagan perahu mendapatkan Rp 49.389.360,00. Pendapatan


nelayan (Crew) tersebut selanjutnya dibagi lagi, sehingga pada alat tangkap mini
purse seine Juragan laut memperoleh Rp 15.023.400,00, Juragan mesin Rp
11.275.600 dan Nelayan ABK Rp 7.511.800,00. Sedangkan pada alat tangkap
bagan perahu masing-masing untuk Juragan laut memperoleh Rp 7.598.772,00,
Juru mesin Rp 5.698.772,00 dan Nelayan ABK Rp 3.799.182,00 (Lampiran 2 dan
Lampiran 5).
Untuk alat tangkap jaring insang hanyut, pendapatan pemilik alaat tangkap
yang diperoleh sebasar Rp 22.660.050,00 dan Nelayan (Crew) Rp 22.660.050,00.
Hasil pendapatan yang di peroleh Nelayan (Crew) selanjutnya dibagi untuk
Juragan Laut Rp 8.240.018,00, Juru mesin Rp 6.180.014,00 dan Nelayan ABK
memperoleh Rp 4.120.009,00 (Lampiran 4).
Beradasarkan pendapatan bersih yang diterima nelayan pada ketiga alat
tangkap, menunjukkan bahwa Nelayan ABK merupakan bagian yang menerima
pendapatan paling rendah dibandingka dengan Juragan laut dan Juragan mesin.
Bila dihitung pendapatan rata-rata per bulan yang diterima Nelayan ABK masing-
masing alat tangkap, maka diperoleh untuk Nelayan ABK pada mini purse seine
Rp 6.25.983,00, Nelayan ABK bagan perahu Rp 3.16.599,00 dan Nelayan ABK
jaring insang hanyut Rp 3.43.334,00. Dengan demikian nilai pendapatan yang
diterima Nelayan ABK dalam usaha perikanan layang di Maluku Utara masih di
bawah satandard Upah Minimum Provinsi (UMP) yaitu rata-rata per bulan Rp
700.000,00.

4.1.4 Kelembagaan nelayan


Penguatan kelembagaan di bidang perikanan dan kelautan merupakan salah
satu strategi untuk meningkatkan produktivitas usaha dalam memanfaatkan
sumberdaya perikanan di propinsi Maluku Utara. Sampai dengan tahun 2007
jumlah nelayan sebanyak 36. 984 orang atau 4.4 % dari total jumlah penduduk
Maluku Utara. Dari jumlah tersebut tergabung dalam 320 kelompok usaha
bersama (KUB) dengan jumlah kelompok antara 5 – 7 orang, dengan demikian
jumlah nelayan yang tergabung dalam kelompok usaha berjumlah 533 orang.
Kelembagaan perikanan yang penting lainnya adalah koperasi perikanan,
terdiri dari koperasi primer dan sekunder. Dari 30 koperasi nelayan yang ada
82

memiliki jumlah anggota sebanyak 2. 836 orang atau 7.7 %, sedangkan koperasi
sekunder berjumlah 2 koperasi, yaitu Pusat Koperasi Perikanan Kie raha di
kecamatan Bacan dan Pusat Koperasi Sonyinga Bahari di kecamatan Tidore.

4.1.5 Pemasaran
Komoditas perikanan dan kelautan yang ada di wilayah Maluku Utara
dipasarkan baik dalam negeri (domestik) maupun luar negeri (ekspor). Pemasaran
dalam negeri, yaitu ke Jakarta, Surabaya, Banyuwangi, Makassar, dan Manado,
sedangkan yang diekspor, yaitu ke pasar tradisional Jepang, Cina dan Hongkong.
Pemasaran dalam negeri hingga tahun 2007 terdiri dari 13 jenis komoditas
dengan jumlah volume produksi sebesar 118.554 ton dengan nilai produksi
sebesar Rp.54 544 230 000. Untuk ekspor terdiri dari 7 jenis komoditas antara lain
: kerapu hidup, napoleon hidup, lobster hidup, cakalang beku, tuna beku, ikan
beku campuran dan ikan hidup campuran dengan jumlah volume produksi
sebesar 1 311.57 ton dengan nilai produksi sebesar US.$.927 442.67.
Untuk komoditas ikan layang di Maluku Utara selain dipasarkan untuk
pasar lokal jenis komoditas ini juga dipasarkan ke luar daerah. Jenis ikan layang
yang benilai ekspor adalah jenis layang biru. Pemasaran ikan layang biru ini
terutama ke daerah Surabaya dan Jakarta. Di Muara Baru Jakarta sejak 3 tahun
terakhir didapati ikan layang yang didatangkan dari Surabaya. Dan ternyata dari
hasil penelitian menunjukkan bahwa ikan-ikan layang tersebut termasuk ikan yang
didatangkan dari Maluku Utara.
Sejak tahun 1990-an permintaan akan ikan layang makin meningkat karena
jenis ikan ini dapat digunakan untuk umpan dalam perikanan tuna longline
menggantikan ikan saury (Cololabris saira) dari Jepang yang semakin sulit di
peroleh. Menurut Mayaut (1989) diacu dalam Yusuf dan Hamzah (1995), ikan
layang biru sangat cocok untuk di pergunakan sebagai ikan umpan dalam
perikanan tuna, karena selain sisi tubuhnya berwarna keperak-perakan, juga
memiliki tekstur dagaing, warna dan bau yang mirip ikan saury.
Ikan layang biru di Maluku Utara sekarang ini merupakan komoditas ekspor.
Menurut Sardjana (1998), untuk kepentingan ekspor terdapat tiga kelas yang di
perlukan yaitu kelas 1 (60 ekor per 10 kg), kelas 2 (80 sampai 85 ekor per 10 kg)
dan kelas 3 (90 sampai 120 ekor per 10 kg). Di Maluku Utara untuk kepentingan
83

pasar ikan layang biru dikategorikan dalam 2 kleas, yaitu kelas ekspor (50 – 80
ekor per 10 kg) dan kelas lokal (30 – 40 ekor per 10 kg).
Ikan layang biru di Maluku Utara di beli oleh 3 perusahan distributor yaitu
PT. Dwi Poli, UD Hermanto, dan UD Irwan. Harga beli yang digunakan untuk
membeli ikan tersebut dari nelayan berkisar antara Rp. 6000 – Rp. 6500 per kg.
Sedangkan harga jual dari perusahan distributor ke Surabaya dan Jakarta berkisar
RP. 100.000 – Rp. 120.000 per 1 karton (1 karton berisi 10 kg).
Permasalahan utama yang dialami nelayan yang mengeksploitasi
sumberdaya ikan layang di Maluku Utara, adalah tidak memiliki fasilitas cold
storage, sehingga kesulitan dalam penanganan ikan apabila hasil tangkapan yang
diperoleh melimpah (saat musim puncak).
Disamping itu untuk lebih menggairahkan pangsa pasar ikan layang di
Maluku Utara yang diharapkan oleh nelayan adalah masuknya investasi dari luar
untuk peningkatan usaha perikanan layang. Dengan adanya investasi dari luar
tersebut, terutama investasi dari pihak swasta diharapkan dapat memperkecil
kelemahan yang ada sekarang ini, terutama kelemahan pada modal usaha (biaya)
pengadaan alat tangkap, pendapatan nelayan dan pembagian hasil usaha yang
selama ini tidak merata pada nelayan skala kecil, dikaitkan dengan peluang yang
ada pada permintaan pasar lokal dan regional.

4.2 Teknologi Penangkapan Ikan Layang Pilihan

Untuk mengetahui urutan prioritas teknologi penangkapan ikan layang di


Maluku Utara yang optimum dan berkelanjutan, maka dilakukan analisis terhadap
ketiga alat tangkap, yaitu mini purse seine, jaring insang hanyut dan bagan
perahu. Ketiga alat tangkap tersebut dianalisis berdasarkan tinjauan aspek biologi,
teknis, sosial, ekonomi dan keramahan lingkungan untuk menentukan urutan
prioritas alat tangkap terbaik yang layak untuk dikembangkan dalam
pengembangan perikanan ikan layang di Maluku Utara.
84

4.2.1 Aspek biologi


Aspek biologi yang dianalisis meliputi, komposisi target spesies dalam %,
ukuran hasil tangkapan utama (panjang ikan layang) dalam cm dan lama waktu
musim penangkapan ikan layang dalam bulan. Keseluruhan data tersebut
diperoleh dari hasil observasi dan wawancara dengan nelayan di lokasi penelitian.
Hasil skoring dan standarisasi terhadap fungsi nilai aspek biologi ketiga unit
penangkapan dapat disajikan pada Tabel 9. Setiap kriteria diberikan urutan
prioritas dan urutan prioritas pada masing-masing kriteria tersebut mempunyai
nilai yang berbeda.
Tabel 9 Hasil skoring dan standarisasi setiap fungsi nilai aspek biologi unit
penangkapan ikan layang (mini purse seine, jaring insang hanyut dan
bagan perahu) di perairan Maluku Utara
Unit Kriteria Penilaian
Penangkapan X1 X2 X3 V(A)1 UP
Ikan Layang V1 X1 V2 X2 V3X3
70 25,5 8
2,7 1
Mini purse seine 1,00 0.69 1,00
40 27,7 8
2,3 2
Jaring insang hanyut 0,25 1,00 1,00
30 20,5 7
0,0 3
Bagan perahu 0,00 0,00 0,00
Keterangan :
X1 = Komposisi dari target spesies ikan layang (%)
X2 = Ukuran rata-rata hasil tangkapan utama ikan layang (cm)
X3 = Lama waktu musim penangkapan ikan layang (bulan)
V(A) = Fungsi nilai dari alternatif A, yaitu jumlah dari Vi(Xi)
UP = Urutan prioritas
Berdasarkan hasil skoring dari analisis aspek biologi menunjukkan bahwa
alat tangkap mini purse seine berada pada urutan prioritas pertama dari segi
komposisi dari target spesies ikan layang yaitu dengan nilai 70%, selanjutnya
jaring insang hanyut berada pada urutan prioritas kedua dengan nilai 40% dan
bagan perahu pada urutan prioritas ketiga dengan nilai 30%.
Dilihat dari aspek ukuran dari hasil tangkapan utama menunjukkan bahwa
mini purse seine mampu menangkap ikan layang dengan ukuran rata-rata 25,5 cm,
jaring insang hanyut 27,7 cm dan bagan perahu mendapatkan ikan layang pada
85

kuran rata-rata 20,5 cm. Dari hasil ini menunjukkan bahwa jaring insang hanyut
adalah alat tangkap yang mampu menangkap ikan layang dalam ukuran rata-rata
lebih besar bila dibandingkan dengan mini purse seine dan bagan perahu. Adapun
untuk lama waktu penangkapan ikan layang mini purse seine dan jaring insang
memliliki jumlah yang sama yaitu 8 bulan sedangkan bagan perahu musim
penangkapan lebih kecil yaitu 7 bulan. Setelah dilakukan standarisasi berdasarkan
keseluruhan fungsi nilai yang telah diperoleh menunjukkan bahwa mini purse
seine berada pada urutan prioritas pertama, jaring insang hanyut prioritas kedua
dan bagan perahu pada prioritas ketiga.

4.2.2 Aspek teknis


Analisis terhadap aspek teknis dalam penentuan teknologi penangkapan ikan
layang yang tepat kaitannya dengan pengoperasian ketiga alat tangkap dilakukan
dalam kajian ini dengan tujuan untuk melihat apakah aspek-aspek teknis yang
dikaji bernilai efektif atau tidak. Adapun kriteria penilaian yang digunakan dalam
aspek ini adalah nilai produksi per tahun, produksi per trip dan produksi per
tenaga kerja per alat tangkap. Data yang digunakan diperoleh dari hasil
wawancara dengan nelayan. Adapun nilai terhadap unit penangkapan ikan layang
tersebut dapat dilihat pada Tabel 10. Setiap kriteria diberikan urutan prioritas dan
urutan prioritas pada masing-masing kriteria tersebut mempunyai nilai yang
berbeda.
Tabel 10 Hasil skoring dan standarisasi setiap fungsi nilai aspek teknis unit
penangkapan ikan layang (mini purse seine, jaring insang hanyut dan
bagan perahu) di perairan Maluku Utara
Unit Kriteria Penilaian
Penangkapan X1 X2 X3 V(A)2 UP
Ikan Layang V1 X1 V2 X2 V3X3
66750 556,25 42
2,6 1
Mini purse seine 1,00 1,00 0,43
13110 109,25 27
0,0 3
Jaring insang hanyut 0,00 0,00 0,00
25740 429 53
2,0 2
Bagan perahu 0,24 0,72 1,00

Keterangan :
X1 = Produksi per tahun (kg)
X2 = Produksi per trip (kg)
86

X3 = Produksi per tenaga kerja (kg)


V(A) = Fungsi nilai dari alternatif A, yaitu jumlah dari Vi(Xi)
UP = Urutan prioritas

Berdasarkan hasil skoring dan standarisasi berdasarkan aspek teknis maka


mini purse seine menempati urutan pertama, bagan perahu pada urutan kedua dan
jaring insang hanyut pada urutan ketiga. Hal ini menunjukkan bahwa alat tangkap
mini purse seine dari aspek teknis merupakan alat tangkap yang produktif untuk
menangkap ikan layang di perairan Maluku Utara.

4.2.3 Aspek sosial


Analisis terhadap aspek sosial dalam penentuan teknologi penangkapan ikan
layang yang tepat dalam penelitian ini dikaitkan dengan beberapa faktor di
antaranya, penyerapan tenaga kerja masing-masing unit penangkapan, penerimaan
nelayan per unit penangkapan, dan tingkat penguasaan teknologi alat tangkap.
Keseluruhan data tersebut diperoleh berdasarkan hasil wawancara langsung
dengan nelayan (Tabel 11).

Tabel 11 Hasil skoring dan standarisasi setiap fungsi nilai aspek sosial unit
penangkapan ikan layang (mini purse seine, jaring insang hanyut dan
bagan perahu) di perairan Maluku Utara
Unit Kriteria Penilaian
Penangkapan X1 X2 X3 V(A)3 UP
Ikan Layang V1 X1 V2 X2 V3X3
13 112.677.000 2
3,0 1
Mini purse seine 1,00 1,00 1,00
4 22.660.050 1
0,0 3
Jaring insang hanyut 0,00 0,00 0,00
8 49.389.360 2
1,7 2
Bagan perahu 0,44 0,30 1,00
Keterangan :
X1 = Jumlah tenaga kerja
X2 = Pendapatan nelayan per tahun
X3 = Tingkat penguasaan teknologi (1) mudah; (2) sedang; (3) sedikit sukar;
dan (4) sukar
V(A) = Fungsi nilai dari alternatif A, yaitu jumlah dari Vi(Xi)
UP = Urutan prioritas
87

Berdasarkan hasil skoring untuk aspek sosial alat tangkap mini purse seine
berada pada urutan prioritas pertama sedangkan bagan perahu pada urutan kedua
dan jaring insang hanyut menempati urutan prioritas ketiga.

4.2.4 Aspek ekonomi


Analisis aspek ekonomi meliputi kelayakan usaha dari alat tangkap sehingga
semua data yang dikumpulkan diolah untuk mengetahui analisis kelayakan usaha
alat tersebut. Parameter penilaian kelayakan usaha didasarkan pada 4 kriteria yaitu
Net B/C ratio, BEP (kg) dan IRR dan Payback-periode . Hasil analisis
perhitungan kelayakan usaha dari alat tangkap pukat cincin, jaring insang hanyut
dan bagan perahu secara rinci lebih dapat dilihat pada Tabel 12.

Tabel 12 Hasil skoring dan standarisasi setiap fungsi nilai aspek ekonomi unit
penangkapan ikan layang (Mini purse seine, jaring insang hanyut dan
bagan perahu di perairan Maluku Utara
Unit Kriteria Penilaian
Penangkapan X1 X2 X3 X4 V(A)4 UP
Ikan Layang V1 X1 V2 X2 V3X3 V4X4
2,98 16883,89 58,67 2 2,48 1
Mini purse seine 0,48 1,00 1,00 0.00
3,85 8660,12 53,75 2,44 2,13 2
Jaring insang hanyut 1,00 0,00 0,75 0,38
2,19 11238,09 39,33 3,15 1,31 3
Bagan perahu 0,00 0,31 0,00 1,00

Keterangan :
X1 = Net B/C
X2 = BEP (kg)
X3 = IRR
X4 = Payback-periode
V(A) = Fungsi nilai dari alternatif A, yaitu jumlah dari Vi(Xi)
UP = Urutan prioritas
Berdasarkan hasil skoring dan standarisasi setiap fungsi nilai aspek ekonomi
pada Tabel 12, menunjukkan bahwa nlai Net B/C alat tangkap mini purse seine
dan nilai Net B/C dari alat tangkap jaring insang hanyut lebih tinggi dari pada
nilai B/C alat tangkap bagan perahu. Untuk nilai IRR yang diperoleh mini purse
88

seine yaitu 58,67% lebih besar dibandingkan dengan alat tangkap jaring insang
hanyut dan bagan perahu yaitu dengan nilai 53, 75% dan 39,33%.
Berdasarkan hasil perhitungan BEP yang dihasilkan dari unit penangkapan
mini purse seine diperoleh nilai produksi per tahun sebesar Rp. 71.251.072,84
dengan volume produksi per tahun sebesar 16883,89 kg. Nilai payback periode
yang diperoleh alat tangkap mini purse seine yaitu 2 tahun. Nilai yang diperoleh
ini lebih kecil dibandingkan dengan alat tangkap jaring insang hanyut dan bagan
perahu yaitu masing-masing 2 tahun 4 bulan dan 3 tahun 1 bulan. Dengan
demikian unit penangkapan pukat cincin membutuhkan periode waktu yang lebih
singkat dalam pengembalian modal usaha dibandingkan alat tangkap jaring insang
hanyut dan bagan perahu.
Berdasarkan hasil skoring untuk aspek ekonomi untuk kriteria kelayakan
usaha alat tangkap mini purse seine menempati urutan prioritas pertama
sedangkan jaring insang hanyut menempati urutan prioritas kedua dan bagan
perahu beraada pada prioritas ketiga.

4.2.5 Aspek keramahan lingkungan


Analisis terhadap aspek keramahan lingkungan dalam penentuan teknologi
penangkapan ikan layang yang tepat hubungannya dengan ke 9 kriteria alat
tangkap yang tergolong kedalam alat tangkap yang ramah lingkungan.
Keseluruhan data yang diperoleh berdasarkan hasil wawancara langsung dengan
nelayan di lokasi penelitian (Tabel 13).
89

Tabel 13 Hasil skoring dan standarisasi setiap fungsi nilai aspek keramahan
lingkungan unit penangkapan ikan layang (mini purse seine, jaring
insang hanyut dan bagan perahu) di perairan Maluku Utara

Unit Kriteria Penilaian

VA5
Penangkapan X1 X2 X3 X4 X5 X6 X7 X8 X9 UP
V2
V1 V3 V4 V5 V6 V7 V8 V9
Ikan layang X1 X2 X3 X4 X5 X6 X7 X8 X9

Mini purse 2 4 3 4 3 3 3 4 3
seine 6 2
1 0
1 1 0 2 0 1 0
Jaring
3 4 3 3 4 4 4 4 4
Insang
Hanyut 10 1
1 0
2 0 1 3 1 1 1

Bagan 1 4 3 4 4 2 3 3 3
Perahu 4 3
0 1 0 1 1 1 0 0 0

Keterangan :
X1 = Selektivitas yang tinggi
X2 = Tidak merusak habitat
X3 = Menghasilkan ikan yang berkualitas tinggi
X4 = Tidak membahayakan nelayan
X5 = Produksi tidak membahayakan konsumen
X6 = By-catch rendah
X7 = Dampak ke biodiversity
X8 = Tidak membahayakan ikan-ikan yang dilindungi
X9 = Dapat diterima secara sosial
V(A) = Fungsi nilai dari alternatif A, yaitu jumlah dari Vi(Xi)
UP = Urutan prioritas.
Berdasarkan hasil analisis dari ketiga alat tangkap di atas dengan melihat
hasil skoring maka alat tangkap jaring insang hanyut termasuk kategori alat
tangkap ramah lingkungan, mini purse seine dan bagan perahu termasuk alat
tangkap yang kurang ramah lingkungan (Tabel 14).
90

Tabel 14 Pengelompokan jenis alat tangkap berdasarkan tingkat keramahan


lingkungan
No. Kategori Jenis Alat Tangkap
1 Tidak ramah lingkungan (Total <3)
Kurang ramah lingkungan Mini purse seine
2
(3 ≤ Total ≤ 6) Bagan perahu
3 Ramah lingkungan (Total > 6) Jaring insang hanyut

4.2.6 Aspek biologi, teknis, sosial, ekonomi dan keramahan lingkungan

Tujuan pemilihan unit penangkapan ikan layang adalah untuk mendapatkan


jenis alat tangkap ikan layang yang mempunyai nilai yang baik ditinjau dari aspek
biologi, teknis, sosial, ekonomi, dan keramahan lingkungan sehingga alat tangkap
yang terpilih sebagai alat tangkap yang prioritas digunakan merupakan alat
tangkap yang pantas untuk dikembangkan. Hasil skoring yang dilakukan terhadap
ketiga jenis alat tangkap yaitu mini purse seine, jaring insang hanyut dan bagan
perahu yang digunakan dalam perikanan tangkap ikan layang di Maluku Utara
dari kelima aspek tersebut dapat dilihat pada Tabel 15.

Tabel 15 Total standarisasi aspek biologi, teknis, sosial, ekonomi dan keramahan
lingkungan unit penangkapan ikan layang (mini purse seine, jaring
insang hanyut dan bagan perahu) di perairan Maluku Utara
Unit
Penangkapan Kriteria Penilaian VA UP
Ikan Layang V(A)1 V(A)2 V(A)3 V(A)4 V(A)5 Total
Mini purse seine 2,7 2,4 3,0 2,48 6 16,6 1
Jaring insang
2,3 0,0 0,0 2,13 10 14,4 2
hanyut
Bagan perahu 0,0 2,0 1,7 1,31 4 9,0 3
Keterangan :
V(A)1 = Aspek biologi
V(A)2 = Aspek teknis
V(A)3 = Aspek sosial
V(A)4 = Aspek ekonomi
V(A)5 = Aspek keramahan lingkungan
91

Berdasarkan hasil dari total standarisasi aspek biologi, teknis, sosial,


ekonomi, dan keramahan lingkungan unit penangkapan ikan layang (mini purse
seine, jaring insang hanyut, bagan perahu) di perairan Maluku Utara maka yang
menjadi prioritas pengembangan adalah alat tangkap mini purse seine pada urutan
pertama, jaring insang hanyut pada urutan kedua dan bagan perahu pada urutan
ketiga.

4.3 Optimalisasi Pengelolaan Perikanan Ikan Layang


4.3.1 Potensi lestari (maximum sustainable yield/MSY)
Potensi sumberdaya ikan layang di Maluku Utara tertangkap dengan
menggunakan alat tangkap mini purse seine, jaring insang hanyut dan bagan
perahu. Untuk menentukan produksi lestari sumberdaya ikan tersebut maka
langkah pertama adalah dilakukan standarisasi dengan menggunakan masing-
masing nilai fishing power indeks dari alat tangkap sehingga diperoleh catch
gabungan, total effort standar dan CPUE standar. Hasil standarisasi menunjukkan
bahwa alat tangkap mini purse seine sebagai alat tangkap standar, karena alat
tangkap ini mempunyai nilai CPUE per tahun lebih besar dibandingkan alat
tangkap jaring insang hanyut dan bagan perahu (Lampiran 6).
Nilai CPUE dengan upaya penangkapan (effort) perlu diketahui korelasinya
sehingga dapat diketahui kecenderungan produktivitas alat tangkap ikan layang
yang dicerminkan oleh CPUE. Gambar 13, menunjukkan korelasi antara CPUE
dengan effort menunjukkan hubungan yang negatif, yaitu semakin tinggi effort
semakin rendah nilai CPUE. Korelasi negatif antara CPUE dengan effort
mengindikasikan bahwa produktivitas alat tangkap layang akan menurun apabila
effort mengalami peningkatan. Dengan demikian CPUE ikan layang di Maluku
Utara dapat digambarkan sebagai berikut CPUE=1239,5 – 0,0191E, hal ini
menunjukkan bahwa setiap penambahan effort sebesar satuan E maka akan
menurunkan CPUE sebesar 0.0191 ton kali satuan E.
92

1400
CPUE = 1239,5 - 0.0191 E
1200

CPUE (kg/trip)
1000 R2 = 0.781
800
600
400
200
0
0 5000 10000 15000 20000 25000 30000 35000 40000

Effort (trip/tahun)

Gambar 13 Hubungan CPUE dengan upaya penangkapan ikan layang


(effort) di Maluku Utara tahun 1998 – 2007.

Berdasarkan perhitungan hubungan antara catch per unit effort dan effort
standar yang digunakan dalam pemanfaatan sumberdaya ikan layang mempunyai
nilai intersep (a) sebesar 1239,5 dan koefisien independent (b) sebesar -0,0191
(Lampiran 6 ), sehingga hubungan antara CPUE dengan effort penangkapan ikan
layang dinyatakan dengan persamaan sebagai berikut CPUE = 1239,5 - 0,0191
E2. Hubungan antara hasil dengan effort yang lebih dikenal sebagai fungsi
produksi lestari dapat dinyatakan sebagai berikut h=1239,5E-0,0191 E2.
Selanjutnya dengan menggunakan program MAPLE IX dapat diketahui effort
pada tingkat produksi lestari maksimum (Emsy) ikan layang sebesar 32.448 trip
per tahun (Lampiran 8 ).
Perhitungan matematis hasil tangkapan pada kondisi MSY di peroleh sebesar
20.109.430 kg per tahun atau 20.109,43 ton per tahun. Hubungan kuadratik antara
upaya penangkapan dengan hasil tangkapan ikan layang di perairan Maluku Utara
dapat disajikan pada Gambar 14.
93

Produksi (kg/thn)
Cmsy = 20.109.430 kg/thn
2006
2005 2007

2003
2004
2001
2002

1998
1999
2000

Emsy 32.448 trip

Gambar 14 Hubungan antara produksi lestari ikan layang dengan upaya


penangkapan model Schaefer di perairan Maluku Utara.

4.3.2 Potensi ekonomi lestari (maximum economic yield/MEY)

Untuk menghitung potensi ekonomi lestari, dua komponen penting yang


diperlukan untuk menghitung nilai hasil tangkapan yang memberikan keuntungan
maksimum tersebut adalah harga ikan (p) dan biaya operasional (c).

4.3.2.1 Biaya penangkapan

Biaya penangkapan yang digunakan dalam anlalisis ini adalah biaya


penangkapan pada alat tangkap standard ((mini purse seine), dimana dalam usaha
penangkapan ikan layang memerlukan biaya tetap (fixed cost) dan biaya variabel
(variable cost).
Hasil penelitian yang di lakukan di Maluku Utara menunjukan bahwa biaya
penangkapan untuk alat tangkap standard dalam ekspolitasi sumberdaya ikan
layang sebesar Rp. 988,375 per trip penangkapan. Secara rincin struktur biaya
penangkapan disajikan pada Tabel 16.
94

Tabel 16 Struktur biaya penangkapan ikan layang dengan alat tangkap standar
(mini purse seine) di Maluku Utara tahun 2007
Biaya Nilai Persenatse
penangkapan (Rp) (%)
Minyak tanah 600.000 60,71
Bensin 35.000 3,54
Oli 50.000 5,06
Ransum 75.000 7,59
Es 180.000 18,21
Retribusi 48.375 4,89
Total biaya penangkapan per trip 988.375 100.00
per unit armada
Sumber. Data primer 2008.

4.3.2.2 Harga ikan hasil tangkapan


Sesuai dengan asumsi yang dianut dalam Model Gordon-Schaefer, harga
persatuan output (produksi) adalah konstan. Harga produksi dihitung berdasarkan
rata-rata harga jual hasil tangkapan responden pada waktu penelitian
dilaksanakan. Harga jual ikan layang (Decapterus spp) menurut responden
berkisar antara Rp.5500,00 sampai dengan Rp.6500,00 dengan harga rata-rata (p)
sebesar Rp.6.000,00 per kg .

4.3.2.3 Bio-ekonomik perikanan layang


Analisis bio-ekonomi pada penelitian ini dikaji berdasarkan pada berbagai
kondisi pengeloaan sumberdaya ikan layang di perairan Maluku Utara yang
dianalisis mengukuti pendekatan Model Gordon-Schaefer.
Hasil analisis perbandingan hasil tangkapan pada berbagai kondisi
pengelolaa yaitu: kondisi aktual, maximum sustainable yield (MSY), maximum
economic yield (MEY) dan kondisi open acces (Oa), disajikan pada Tabel 17.

Tabel 17 Optimalisasi bio-ekonomi dalam berbagai kondisi pengelolaan dan


kondisi aktual ikan layang di Maluku Utara
Kondisi Effort Hasil Total penerimaan Total biaya Rente
(ton/thn)
Pengelolaan (trip) trip/tahun (Rp) Ekonomi

Aktual 25.560 17.257,80 103.546.815.000,00 25.262.865.000,00 78.283.950.000,00


MSY 32.448 20.109,43 120.656.564.100,00 32.070.440.120,00 88.586.123.980,00
MEY 28.135 19.754,25 118.525.488.400,00 27.808.288.550,00 90.717.199.850,00
Open acces 56.271 9.269,43 55.616.577.060,00 55.616.577.060,00 0
95

Optimalisasi Bio-ekonomi dalam Tabel 17, dapat diplot menjadi grafik yang
menunjukkan perbandingan hasil tangkapan, effort dan rente ekonomi yang
dilakukan untuk masing-masing kondisi yaitu kondisi aktual, maximum
suistanable yield, maximum economi yield dan open acces dalam periode 1998-
2007 dapat dilihat pada Gambar 15-17.

25000 19754.25
20109.43
17257.80
20000
Produksi (ton/thn)

15000
9269.43

10000

5000

0
Aktual MSY MEY Open acces

Gambar 15 Perbandingan hasil tangkapan ikan layang pada setiap


kondisi pengelolaan periode 1998-2007 di Maluku Utara.

Gambar 15 memperlihatkan bahwa hasil tangkapan yang didapat pada


kondisi pengusahaan sumberdaya MSY di Maluku Utara tahun 1998-2007 sebesar
20.109,43 ton per tahun. Hasil tangkapan tersebut lebih besar jika dibandingkan
dengan hasil tangkapan yang didapat pada pengusahaan sumberdaya MEY yaitu
sebesar 19.754,248 ton), dan kondisi aktual yaitu sebesar 17.257,80 ton per tahun.
Sedangkan hasil tangkapan ikan layang pada kondisi open acces adalah 9.269,43
ton per tahun.
Perbandingan upaya penangkapan pada kondisi aktual, maximum suistanable
yield, maximum economi yield dan open acces dalam periode 1998-2007 dapat
dilihat pada Gamba 16. Gambar 16 memperlihatkan rata-rata upaya penangkapan
yang dilakukan armada penangkapan ikan layang pada tingkat open acces sebesar
56.271 trip. Upaya penangkapan tersebut lebih besar jika dibandingkan dengan
upaya penangkapan yang dilakukan pada tingkat produksi MSY yakni 32.448 trip
dan pada kondisi MEY yaitu 28.135 trip.
96

56271
60000

50000

Effort (trip/thn)
32448
40000 28135
25560
30000

20000

10000

0
Aktual MSY MEY Open acces

Gambar 16 Perbandingan tingkat upaya penangkapan ikan layang pada


setiap kondisi pengelolaan tahun 1998-2007 di Maluku
Utara.

Perbandingan rente ekonomi upaya pengelolaan sumberdaya ikan layang


pada kondisi aktual, maximum sustainable yield (MSY), maximum economic yield
(MEY) dan pada kondisi open acces (Oa) dalam periode 1998-2007 dapat dilihat
pada Gambar 17.

88586.12 90717.20
100000
78283.95
90000
Rente Ekonomi (Rp juta)

80000
70000
60000
50000
40000
30000
20000
10000 0
0
Aktual MSY MEY Open acces

Gambar 17 Perbandingan rente ekonomi penangkapan ikan layang


pada setiap kondisi pengelolaan tahun 1998-2007 di
Maluku Utara.

Rente ekonomi tertinggi atau keuntungan optimum lestari yang diperoleh


nelayan dalam upaya pengelolaan sumberdaya ikan layang, tercapai pada tingkat
effort (Emey) sebesar 28.135 hari operasi per tahun dengan hasil produksi (hmey)
sebesar 19.754,25 ton per tahun, dengan penerimaan total (TRmey) yang diperoleh
sebesar Rp. 118.525.488.400,00 per tahun dan biaya penangkapan total (TCmey)
97

sebesar Rp. 27.808.288.550,00 per tahun. Berdasarkan nilai tersebut, maka rente
ekonomi yang di peroleh sebesar Rp. 90.717.199.850,00.
Gambar 18, dapat dilihat grafik Bio-ekonomi hubungan total penerimaan
dan biaya penangkapan kegiatan pengelolaan sumberdaya ikan layang di Maluku
Utara. Dalam pemanfaatan sumberdaya ikan layang, TRmsy tercapai pada saat Emsy
sebesar 32.448 hari operasi per tahun dengan hmsy sebesar 20.109,43 ton per tahun.
Berdasarkan nilai tersebut, maka TRmsy diperoleh sebesar Rp. 120.656.564.100,00
per tahun dengan TCmsy sebesar Rp. 32.070.440.120,00 per tahun, sehingga rente
ekonominya (selisih antara TR dengan TC) diperoleh sebesar Rp.
88.586.123.980,00 per tahun (Lampiran 8). Apabila effort terus dinaikan,
sehingga melampaui Emsy, maka total penerimaannya justru akan mengalami
penurunan, sementara total biaya penangkapan semakin meningkat.
Pada usaha pengelolaan ikan layang di Maluku Utara, bioeconomic
equilibrium of open acces fishery terjadi pada saat effort (Eoa) mencapai 56.271
trip per tahun dan tingkat hasil produksi (hoa) sebesar 9.269,43 ton per tahun.
Dengan demikian penerimaan total (TRoa) diperoleh sebesar Rp.
55.616.577.060,00 per tahun dan biaya penangkapan total (TCoa) sebesar Rp.
55.616.577.060,00 per tahun.

Rente ekonomi MEY


MSY
AKTUAL

Oa

Gambar 18 Keseimbangan Bio-ekonomi Gordon-Schaefer untuk pengelolaan


sumberdaya ikan layang di perairan Maluku Utara.
98

4.4 Alokasi Optimum Upaya Penangkapan Ikan Layang


Berdasarkan data-data yang diperoleh dari hasil analisis upaya penangkapan
optimum (fmey) dan produksi ikan layang yang optimum (hmey), maka
selanjutnya data tersebut digunakan sebagai faktor tujuan dalam melakukan
penentuan alokasi unit penangkapan ikan layang. Analisis ini menggunakan
pendekatan linear goal programming (LGP), dimana unit penangkapan yang
akan dialokasikan adalah unit penangkapan terpilih yaitu mini purse seine. Ada 3
(tiga) tujuan utama yang ingin dicapai dalam pengalokasikan ini, yaitu: (1)
mengoptimalkan hasil tangkapan sumberdaya ikan layang dengan pertimbangan
MEY, (2) mengoptimalkan upaya penangkapan/jumlah hari operasi penangkapan
sesuai dengan upaya penangkapan pada tingkat fMEY, dan (3) mengoptimalkan
penyerapan tenaga kerja. Untuk variabel keputusannya adalah alat tangkap
terpilih (mini purse seine).
Secara matematis tujuan-tujuan utama yang hendak dicapai dan merupakan
batasan yang harus dipenuhi dalam mengoptimalkan alokasi unit penangkapan
mini purse seine di perairan Maluku Utara dapat diuraikan sebagai berikut:
1. Mengoptimalkan hasil tangkapan sumberdaya ikan layang dengan
pertimbangan MEY.
Nilai estimasi MEY ikan layang di perairan Maluku Utara berdasarkan hasil
analisis diperoleh sebesar 19.754,25 ton per tahun. Produktivitas ideal unit
penangkapan pilihan (mini purse siene) sebesar 97,5 ton per tahun.
Produktivitas ideal ini merupakan nilai produksi yang selayaknya dicapai
oleh unit mini purse seine agar pendapatan yang diterima oleh nalayan
(ABK) melebihi standard Upah Minimum Provinsi di Maluku Utara (UMP).
Berdasarkan hasil analisis tingkat pendapatan nelayan mini purse seine saat
ini (Lampiran 2), menunjukkan bahwa pendapatan yang diterima nelayan
(ABK) sebesar Rp 7.511.800,00 per tahun atau Rp 6.26.433,00 per bulan.
Nilai tersebut bila dibandingkan dengan nilai UMP Maluku Utara yaitu
sebesar Rp 8.400.000,00 per tahun atau Rp 700.000,00 per bulan, maka
pendapatan yang diterima nelayan (ABK) masih di bawah standard UMP.
Nilai pendapatan tersebut diperoleh berdasarkan total produksi tangkapan
yang dihasilkan saat penelitian yaitu 66,75 ton per tahun yang dikalikan
99

dengan harga ikan rata-rata yaitu Rp 6000,00, maka pendapatan tahunan


yang diperoleh sebesar Rp 400.500.000,00. Setelah dikurangi dengan biaya
variabel per tahun (biaya operasional + biaya perawatan) sebasar Rp.
118.807.500,00 dan biaya retribusi per tahun Rp 6.007.500, maka
pendapatan bersih yang diterima sebesar Rp 281.895.000,00. Berdasarkan
sistem bagi hasil yang berlaku pada usaha perikanan layang di Maluku Utara
yaitu 60% untuk pemilik model dan 40% untuk nelayan, maka pemilik
modal memperoleh Rp 169.015.500,00 dan nelayan (crew) memperoleh Rp
112.677.000,00. Untuk nelayan (crew) dibagai lagi berdasarkan fungsi kerja
di lapangan yaitu juragan laut memperoleh 2 bagian sebesar Rp
15.023.400,00 per tahun, juragan mesin 1,5 bagian sebasar Rp
11.275.600,00 per tahun dan untuk nelayan (ABK) hanya memperoleh 1
bagian sebasar Rp. 7.511.800,00 per tahun atau Rp 6.26.433,00 per bulan.
Agar pendapatan yang diterima nelayan (ABK) bisa melebihi standard upah
minimum di Maluku Utara maka produktivitas mini purse seine yang ideal
yang harus dihasilkan sebasar 97,5 ton per tahun. Dengan demikian
pendapatan yang diterima nelayan (ABK) mencapai Rp 12.358.000,00 atau
1.029.833 per bulan (Lampiran 3).
Berdasarkan informasi ini maka dapat dibuat persamaan kendala tujuan
untuk hasil tangkapan ikan layang yang optimal yaitu :
DB1 - DA1 + 97,5 X1 = 19.754,25

2. Mengoptimalkan jumlah hari operasi sesuai dengan upaya penangkapan


pada tingkat fMEY
Berdasarkan hasil analisis effort optimum (Emey) pemanfaatan sumberdaya
ikan layang dengan mini purse seine sebagai unit penangkapan terplilih di
perairan Maluku Utara diperoleh nilai effort sebesar 28.135 trip per tahun.
Hasil observasi dan wawancara di lapangan menunjukkan bahwa unit
penangkapan mini purse seine dapat melakukan trip penangkapan rata-rata
sebesar 120 trip per tahun. Dengan demikian dapat di buat persamaan
kendala tujuan sebagai berikut :
120 X1 - DA2 <= 28.135
100

3. Mengoptimalkan tingkat penyerapan tenaga kerja


Jumlah tenaga kerja (nelayan) yang terserap dalam kegiatan pemanfaatan
perikanan layang di Maluku Utara sebanyak 3.698 orang. Hasil observasi
dan wawancara di lapangan menunjukkan bahwa unit penangkapan mini
purse seine dapat menyerap rata-rata jumlah nelayan sebanyak 13 orang per
unit. Berdasarkan informasi ini maka dapat ditulisakn persamaan kendala
tujuan untuk penyerapan tenaga kerja unit penangkapan terpilih (mini purse
seine) yang optimal sebagai berikut :
DB3 + 13 X1 >= 3698

Hasil olahan program computer LINDO ditunjukkan pada Gambar 19. Hasil
analisis ini menunjukkan bahwa alokasi unit penangkapan ikan layang pilihan
(mini purse seine) dalam mengeksploitasi sumberdaya ikan layang di perairan
Maluku Utara sebasar 202 unit. Adapun tenaga kerja (nelayan) optimum yang
terserap dalam pemanfaatan sumberdaya ikan layang dengan alat tangkap mini
purse seine sebesar 2626 0rang.

MIN DA1 + DB1 + DA2 + DB3


SUBJECT TO
DB1 - DA1 + 97.5 X1 = 19754.248
120 X1 - DA2 <= 28135
DB3 + 13 X1 >= 3698
END

LP OPTIMUM FOUND AT STEP 0

OBJECTIVE FUNCTION VALUE

1) 1064.100

VARIABLE VALUE REDUCED COST


DA1 0.000000 0.866667
DB1 0.000000 1.133333
DA2 0.000000 1.000000
DB3 1064.099976 0.000000
X1 202.607697 0.000000

Gambar 19 Hasil analisis data Linear Goal Programming.


101

4.5 Biologi Ikan Layang Biru (Decapterus macarellus)


4.5.1 Rasio kelamin dan sebaran frekuensi panjang
Berdasarkan pengamatan yang dilakukan terhadap 2000 ekor ikan layang
biru yang terdiri dari 645 ekor ikan jantan (32,25 %) dan 1355 ekor ikan betina
(67,75 %) dengan rasio kelamin jantan dan betina adalah 1 : 1,8 (Tabel 18). Tabel
18 secara jelas terlihat rasio kelamin ikan layang biru berdasarkan bulan
pengamatan memilki variasi yang nyata. Untuk bulan Januari rasio kelamin jantan
betina adalah 1 : 2, pada bulan Februari rasio kelamin jantan betina adalah 1 : 1,
bulan Maret dan bulan April rasio kelamin jantan adalah 1 : 2, sedangkan pada
bulan Mei rasio kelamin jantan betina adalah 1 : 1.

Tabel 18 Jumlah contoh ikan layang biru (D. macarellus) yang tertangkap
selama periode bulan pengamatan

Pengamatan Ikan Jantan Ikan Betina Rasio Ikan Ikan Jantan + Betina
(Bulan) (ekor) (ekor) Jantan Betina (ekor)
Januari 118 282 1:2 400
Pebruari 145 255 1:1 400
Maret 115 285 1:2 400
April 130 270 1:2 400
Mei 137 263 1:1 400
Jumlah 645 1355 1 : 1.8 2000
Persen 32,25 67,75 100,00

Hasil pengukuran panjang dan berat ikan layang biru selama penelitian
berdasarkan periode bulan pengamatan disajikan pada Tabel 19.

Tabel 19 Ukuran morfologi ikan layang biru (D. macarellus) yang tertangkap
selama periode bulan pengamatan, Januari - Mei 2008
Pengamatan Panjang Total (mm) Berat (gram)
Jantan Betina Jantan Betina
Januari 211 - 280 215 -279 101,8 – 219,8 110,3 – 270,4
Pebruari 216 - 282 218 - 299 106,2 – 235,8 113,5 – 279,8
Maret 223 - 311 225 - 315 115,5 – 288,3 110,3 – 307,5
April 225 - 304 228 - 312 121,8 – 265,8 120,2 – 298,8
Mei 224 - 302 226 - 310 109,5 – 265,5 125,3 – 291,4
Kisran 211 - 311 215 - 315 101,8 – 288,3 113 ,5- 307,5
102

Berdasarkan Tabel 19, menunjukkan bahwa panjang total terkecil dari ikan
layang biru jantan adalah 211 mm dengan berat 101,8 gram/ekor dan ikan layang
biru betina 215 mm dengan berat 113,5, sedangkan panjang total terbesar dari
ikan layang biru jantan 311 dengan berat 288,3 gram/ekor dan untuk betina 315
mm dengan berat 307,5 gram/ekor. Sebaran frekuensi ikan layang biru jantan,
betina maupun gabungan (jantan+betina) selama penelitian di sajikan pada
Gambar 20 - 22. Data selangakapnya dapat dilihat pada Lampiran 10 dan
lampiran 11.
Hasil pengukuran panjang total berdasarkan periode bulanan terhadap 2000
ekor ikan layang biru diperoleh kelompok ikan layang (gabungan) yang dominan
berbeda-beda. Kelompok ikan dengan frekuensi terbesar pada bulan Januari
berkisar antara 241 - 250 mm (30,5 %), pada bulan Februari frekuensi terbesar
masih berada pada kisaran 241 - 250 mm (26,50 %), pada bulan Maret berkisar
antara 261 - 270 mm (24,50 %), untuk bulan April dan Mei berada pada kisaran
ukuran yang sama yaitu 271 - 280 mm dengan persentase masing-masing (39 %)
dan (24,25 %). Adapun untuk hasil analisis frekuensi panjang ikan layang biru
dengan metode Tanaka menunjukkan bahwa baik ikan jantan maupun betina
masing-masing terdiri dari 3 (tiga) kelompok umur dengan modus ukuran atau
panjang rata-rata untuk ikan jantan 233,81 mm, 265,26 mm dan 286,47 mm
sedangkan kelompok umur untuk ikan betina dengan modus ukuran atau panjang
rata-rata 236,18 mm, 264,62 mm dan 284,93 mm.
103

Januari
35
N= 118
30

Fr ekuensi
25
20
15
10
5
0
216 227 238 249 260 271 282 293 304 315
Nilai Tengah Panjang (mm)

Pebruari
40 N= 145
35
Fr ekuensi

30
25
20
15
10
5
0
216 227 238 249 260 271 282 293 304 315
Nilai Tengah Panjang (mm)

40 Maret
N=115
35
Fr ekuensi

30
25
20
15
10
5
0
216 227 238 249 260 271 282 293 304 315
Nilai Tengah Panjang (mm)

45 April
40 N=130
35
Frekuensi

30
25
20
15
10
5
0
216 227 238 249 260 271 282 293 304 315
Nilai Tengah Panjang (m m )

35 Mei N=137
30
Fr e k ue ns i

25
20
15
10
5
0
216 227 238 249 260 271 282 293 304 315
Nilai Tengah Panjang (mm)

Gambar 20 Histogram frekuensi panjang ikan layang biru (D. macarellus)


jantan selama penelitian , Januari - Mei 2008.
104

Januari
100 N= 282

Fr ekuensi
80
60
40
20
0
220 230 240 250 260 270 280 290 300 310 320
Nilai Tengah Panjang (mm)

70 Pebrauri
60 N= 255
Fr ekuensi

50
40
30
20
10
0
220 230 240 250 260 270 280 290 300 310 320
Nilai Tengah Panjang (mm)

Maret
100 N= 285
Fr ekuensi

80
60
40
20
0
220 230 240 250 260 270 280 290 300 310 320
Nilai tengah Panjang (mm)

April
100
N=270
Fr ekuensi

80
60

40
20
0
220 230 240 250 260 270 280 290 300 310 320
Nilai Tengah Panjang (mm)

80
Mei
70
N=263
Fr ekuensi

60
50
40
30
20
10
0
220 230 240 250 260 270 280 290 300 310 320
Nilai Tengah Panjang (mm)

Gambar 21 Histogram frekuensi panjang ikan layang biru (D. macarellus)


betina selama penelitian, Januari - Mei 2008.
105

140 Januari
N=400
120

Fr ek uens i
100
80
60
40
20
0
215.5 225.5 235.5 245.5 255.5 265.5 275.5 285.5 295.5 305.5 315.5
Nilai Tengah Panjang (mm)

Pebruari
120
N=400
100
Fr ekuensi

80
60
40
20
0
215.5 225.5 235.5 245.5 255.5 265.5 275.5 285.5 295.5 305.5 315.5
Nilai Tengah Panjang (mm)

120 Maret
N=400
100
Fr ekuensi

80
60
40
20
0
215.5 225.5 235.5 245.5 255.5 265.5 275.5 285.5 295.5 305.5 315.5
Nilai Tengah Panjang (mm)

180 April
160 N=400
140
Fr ekuensi

120
100
80
60
40
20
0
215.5 225.5 235.5 245.5 255.5 265.5 275.5 285.5 295.5 305.5 315.5
Nilai Tengah Panjang (mm)

120 Mei
N=400
100
Fr ekuensi

80

60

40

20

0
215.5 225.5 235.5 245.5 255.5 265.5 275.5 285.5 295.5 305.5 315.5
Nilai Tengah Panjang (mm)

Gambar 22 Histogram frekuensi panjang ikan layang biru


(D. macarellus) jantan dan betina selama penelitian,
Januari - Mei 2008.
106

4.5.2 Parameter pertumbuhan


Hasil analisis frekuensi panjang menggunakan metode Tanaka menghasilkan
3 kelompok umur, yaitu kelompok umur pertama lebih muda dari kelompok umur
berikutnya sejalan dengan semakin penjangnya ukuran ikan. Dari hasil analisis
garis pertumbuhan berdasarkan metode Tanaka yang dilanjutkan dengan analisis
metode Plot Ford-Walford di peroleh nilai dugaan parameter pertumbuhan Von
Bartalanffy dari ikan layang biru di perairan Maluku Utara yang di sajikan pada
Tabel 20.

Tabel 20 Nilai dugaan parameter pertumbuhan ikan layang biru di


perairan Maluku Utara

Parameter pertumbuhan
Jenis kelamin ikan
L ∞ (L inf) K (bulan) t0
Layang jantan 330,34 0,33 -0,21
Layang betina 335,73 0,39 -0,25

Dengan demikian diperoleh persamaan pertumbuhan ikan layang biru


masing-masing sebagai berikut:
-0,33 (t + 0,21)
Lt = 330,34 [ 1- e ] untuk ikan layang biru jantan
-0,39 (t + 0,25)
Lt = 335,73 [ 1- e ] untuk ikan layang biru betina

Nilai dugaan parameter pertumbuhan yang diperoleh mengekspresikan


hubungan pola pertumbuhan dan umur maksimum dari populasi ikan layang biru
jantan dan betina di perairan Maluku Utara yang secara jelas dapat digambarkan
dalam bentuk kurva pertumbuhan yang disajikan pada Gambar 23.
107

L inf (Jantan) = 330.34 mm L inf (Betina) = 335.73 mm

350
300

P anjan g To tal (m m )
250
200
150
100
50
0
0 4 8 12 16 20 24 28 32 36 40 44 48
Umur (bulan)

Gambar 23 Pertumbuhan panjang layang biru (D. macarellus) jantan


dan betina di perairan Maluku Utara, bulan Januari - Mei
2008.

4.5.3 Hubungan panjang berat


Hasil analisis hubungan panjang berat ikan layang biru yang di hitung
secara terpisah jantan dan betina selanjutnya di masukkan ke dalam logaritma
dengan persamaan linier sederhana sesuai dengan Effendie (1997), di peroleh
model pertumbuhan : Log W = -3.2619 + 2.2853 Log L (untuk ikan jantan)
dan Log W = -4.9068 + 2.9809 Log L ( untuk ikan betina ) dengan nilai r 0,763
untuk ikan jantan dan 0,801 untuk ikan betina (Tabel 21 ).

Tabel 21 Hasil analisis hubungan panjang berat ikan layang biru (D. macarellus)
di perairan Maluku Utara, Januari – Mei 2008

Parameter Ikan jantan Ikan betina Gabungan (jantan + betina)

Jumlah contoh (n) 645 1355 2000

Kisaran L (mm) 211 - 311 215 - 315 211 - 315

Intercept (a) -3.2619 -4.9068 -4.3210

Slope (b) 2.2853 2.9809 2.7336

R Square (R2) 0.7635 0.8010 0.7661


108

Nilai r pada penelitian ini mengandung arti bahwa adanya keeratan


hubungan antara panjang dan berat tubuh dari ikan layang. Nilai koefisien regresi
(b) yang diperoleh menunjukkan keseimbangan pertumbuhan panjang dan berat
ikan. Dari model pertumbuhan yang dihasilkan, diperoleh nilai b (slope) untuk
ikan layang biru jantan maupun betina lebih kecil dari 3 (b < 3). Hal ini
menunjukkan bahwa pertumbuhan ikan layang biru di perairan Maluku Utara
berpola ”Alometrik Minor, yang mengandung arti pertumbuhan panjang tubuh
ikan lebih cepat dari pertumbuhan beratnya. Model hubungan panjang berat ikan
layang biru jantan dan betina di perairan Maluku Utara disajikan pada Gambar 24.

(a) jantan
3.00

2.50

2.00
B e ra t (L o g W )

Log W = - 3.2619 + 2.2853 Log L


1.50 R2 = 0.7635

1.00

0.50

0.00
2.30 2.32 2.34 2.36 2.38 2.40 2.42 2.44 2.46 2.48 2.50 2.52
Panjang (Log L)

(b) betina

3.00

2.50
Berat (L o g W )

2.00

1.50
Log W = - 4.9068 + 2.9809 Log L
1.00 R2 = 0.801

0.50

0.00
2.32 2.34 2.36 2.38 2.40 2.42 2.44 2.46 2.48 2.50 2.52
Panjang (Log L)

Gambar 24 Hubungan panjang berat ikan layang biru (D. macarellus)


jantan (a) dan betina (b) di perairan Maluku Utara,
Januari - Mei 2008.
109

4.5.4 Tingat kematangan gonad

Hasil pengamatan tingkat kematangan gonad (TKG) terhadap 645 ekor ikan
layang biru contoh jantan dan 1355 ekor ikan layang biru contoh betina, diperoleh
beberapa tingkat kematangan gonad yaitu TKG I (inmature), TKG II (maturing)
TKG III (mature), TKG IV (ripe) dan TKG V (spent). Persentase tingkat
kematangan gonad ikan layang biru jantan dan betina berdasarkan periode bulan
pengamatan di sajikan pada Tabel 22. Tabel 22 terlihat jelas bahwa ikan layang
biru jantan maupun betina yang tertangkap didominasi ikan-ikan yang belum
matang gonad yaitu 57,93% ikan jantan dan 53,14% ikan betina, sedangakan ikan
layang biru yang sudah matang gonad sebanyak 42.07% untuk ikan jantan dan
46,86% ikan betina.

Tabel 22 Persentase tingkat kematangan gonad ikan layang biru (D. macarellus)
jantan (a) dan betina (b) di perairan Maluku Utara , Januari - Mei 2008

(a)
Periode Belum Matang Gonad Matang Gonad Jumlah
Pengamatan Jumlah Persen Jumlah Persen Contoh
(Bulan) (ekor) (%) (ekor) (%) (ekor)
Januari 85 72,03 33 27,97 118
Pebruari 87 60,00 58 40,00 145
Maret 53 46,09 62 53,91 115
April 70 53,85 60 46,15 130
Mei 79 57,66 58 42,34 137
Total 374 57,93 271 42,07 645

(b)
Periode Belum Matang Gonad Matang Gonad Jumlah
Pengamatan Jumlah Persen Jumlah Persen Contoh
(Bulan) (ekor) (%) (ekor) (%) (ekor)
Januari 200 70,92 82 29,08 282
Pebruari 149 58,43 106 41,57 255
Maret 118 41,40 167 58,60 285
April 126 46,67 144 53,33 270
Mei 127 48,29 136 51,71 263
Total 720 53,14 635 46,86 1355
110

Ikan layang biru jantan dan betina yang sudah matang gonad (TKG III dan
IV), ditemukan sepanjang periode penelitian. Jumlah terbanyak ikan layang biru
jantan yang matang gonad yaitu pada bulan Maret 53,91% dan jumlah terbanyak
ikan layang biru betina yang matang gonad ditemukan pula pada bulan Maret
58,60 %.
Fluktuasi tingkat kematangan gonad tiap jenis kelamin ikan layang biru
berdasarkan periode bulan pengamatan disajikan pada Gambar 25.
(a)

40.00
Persen (% ) C ontoh

35.00
TKG I
30.00
25.00 TKG II
20.00 TKG III
15.00 TKG IV
10.00
TKG V
5.00
0.00
Januari Pebruari Maret April Mei
Periode Pengamatan (bulan)

(b)
45
40
35
Persen (%) Contoh

TKG I
30
TKG II
25
TKG III
20
TKG IV
15
TKG V
10
5
0
Januari Pebruari Maret April Mei
Periode Pengamatan (bulan)

Gambar 25 Fluktuasi tingkat kematangan gonad ikan layang biru (D.


macarellus) jantan (a) dan betina (b) berdasarkan bulan
pengamatan Januari - Mei 2008.

Penyebaran tingkat kematangan gonad berdasarkan waktu pengamatan dari


tiap jenis ikan contoh menunjukkan adanya suatu pola pemijahan yang tetap. Hal
ini digambarkan dari persentase jumlah ikan layang biru (Decapterus macarellus)
contoh yang matang gonad (TKG III dan IV). Pada Gambar 26, menjelaskan
111

bahwa peningkatan jumlah ikan layang biru (Decapterus macarellus) contoh


betina yang matang gonad selalu diikuti dengan peningkatan jumlah ikan layang
biru contoh jantan. Hal tersebut memberi peluang yang cukup baik bagi induk-
induk ikan layang biru untuk melakukan perkawinan.

Jumlah Matang Gonad (%)


70 jantan
58.60
betina
60 53.91 53.33 51.71
50 46.15
41.57 42.34
40.00
40
29.08
27.97
30
20
10
0
Januari Pebruari Maret April Mei

Periode Pengamatan (bulan)

Gambar 26 Jumlah ikan layang biru (D. macarellus) jantan dan betina
yang matang gonad berdasarkan periode bulan
pengamatan, Januari - Mei 2008.

4.5.5 Ukuran ikan pertama kali matang gonad

Sebanyak 2000 ekor ikan layang biru (Decapterus macarellus) diukur dan
diamati, terdiri dari 645 ekor jantan dan 1355 ekor betina. Distribusi ikan layang
biru jantan berdasarkan niali tengah panjang, tingkat kematangan gonad serta
perhitungan ukuran panjang pertama kali matang gonad dan distribusi ikan layang
biru betina berdasarkan nilai tengah panjang, tingkat kematangan gonad serta
perhitungan ukuran pertama kali matang gonad dapat dilaihat pada Lampiran 14
dan 15. Ikan layang biru jantan mempunyai kisaran panjang antara 211-311 mm
dan ikan betina antara 215 – 315 mm. Ikan layang biru jantan yang matang
gonad sebanyak 271 ekor ekor (42,07 %) dan ikan betina yang matang gonad
sebanyak 635 ekor (46,86 %). Hal ini menunjukkan bahwa pada penelitian ini
ikan yang belum matang gonad lebih mendominasi hasil tangkapan yaitu 55 %
dari total hasil tangakapan 2000 ekor.
Hasil pengamatan terhadap jumlah ikan layang biru yang matang gonad
pada berbagai ukuran panjang tubuh menunjukkan bahwa ikan layang biru jantan
112

maupun betina mencapai kematangan gonad pertama kali pada ukuran panjang
total rata-rata 258 mm atau 25,8 cm.
Berdasarkan data pengamatan, ikan layang biru jantan maupun betina
dengan panjang total < 25,8 cm, diperoleh sebanyak 336 ekor (52.1 %) untuk ikan
jantan dari total 645 ekor yang diamati. Sedangkan ikan layang biru betina
didapatkan sebanyak 741 ekor (54,7 %) dari total 1355 ekor. Kenyataan ini
menunjukkan bahwa ikan layang biru yang tertangkap didominasi ukuran yang
lebih kecil dari ukuran pertama kali matang gonad.

4.5.6 Fekunditas
Hasil pengamatan gonad pada TKG IV ikan layang biru betina sebanyak
100 gonad, diperoleh kisaran fekunditas ikan layang biru di perairan Maluku
Utara antara 28875 - 84000 butir. Adanya variasi jumlah telur pada berbagai
ukuran panjang ikan layang biru menunjukkan kemungkinan adanya kegiatan
pengeluaran telur yang terjadi setiap saat. Hasil perhitungan fekunditas ikan
layang biru contoh dapat dilihat pada Tabel 23.

Tabel 23 Variasi fekunditas terhadap panjang tubuh ikan layang biru


(D. macarellus) di perairan Maluku Utara, bulan Januari – Mei 2008

Nilai Tengah Panjang Frekuensi Fekunditas (butir/ikan) Rata-rata


(mm) Interval
219,5 0 0 0
229,5 0 0 0
239,5 0 0 0
249,5 4 28875 - 33750 31313
259,5 13 30900 - 44850 37875
269,5 19 33150 - 51750 42450
279,5 45 40125 - 63750 51938
289,5 3 54375 - 61575 57975
299,5 9 60225 - 74100 67163
309,5 2 65175 - 76575 70875
319,5 5 65625 - 84000 74813

Hasil analisis regresi antara panjang total ikan dengan jumlah telur
memperoleh suatu hubungan yang erat dengan koefisien korelasi (r = 0.80), dan
persamaa garis regresinya F = -154463.45 + 736.52 L, dimana F adalah fekunditas
113

(jumlah telur) dan L adalah panjang total ikan (mm), artinya bahwa respon jumlah
telur sangat dipengaruhi oleh panjang total sebesar 80 % atau bisa dikatakan
besarnya sumbangan panjang total terhadap jumlah telur adalah sebesar 80 %. Hal
tersebut mengandung arti bahwa semakain panjang induk ikan maka semakin
bertambah jumlah telurnya.

4.6 Mesh Size Minimum Alat Tangkap Ikan Layang Pilihan


Mesh Size jaring minimum ditentukan berdasarkan pendekatan biologis
merujuk pada ukuran ikan dewasa yaitu ikan sudah pernah memijah minimal satu
kali atau ukuran ikan pertama kali matang gonad. Oleh karena itu, maka pertama-
tama harus dihitung pada panjang berapa ikan pertama kali matang gonad, berapa
lingkar badan ikan pada ukuran tersebut dan selanjutnya ditentukan mesh size
jaring. Data panjang dan lingkar badan ikan layang biru pada ukuran pertama kali
matang gonad selama penelitian disajikan pada Tabel 24.

Tabel 24 Data panjang dan lingkar badan ikan layang biru pada ukuran pertama
kali matang gonad di perairan Maluku Utara

Jumlah
Panjang (mm) Lingkar badan (mm)
Sampel Ikan
1 211 99
2 212 99
3 215 104
4 222 108
5 229 109
. . .
. . .
. . .
. . .
2000 315 160

Hasil perhitungan hubungan antara lingkar badan dengan panjang ikan


diperoleh hubungan yang linear dengan koefisien korelasi 0,89. Persamaan
hubungan antara panjang ikan (X) dan lingkar kepala (Y) didapatkan Y = -2.3283
+ 0.4836 X seperti disajikan pada Gambar 27.
114

180 y = 0.4836x - 2.3283

Lingkar Badan (mm)


160 R2 = 0.8992
140
120
100
80
60
40
20
0
0 50 100 150 200 250 300 350
Panjang Ikan (mm)

Gambar 27 Hubungan lingkar badan dan panjang ikan layang biru.

Berdasarkan perhitungan ukuran pertama kali matang gonad diperoleh


panjang total rata-rata 258 mm (25,8 cm) untuk jantan maupun betina. Sebagai
faktor kehati-hatian dan keamanan populasi, maka dalam penentuan ukuran mata
jaring sebagai faktor pembanding merujuk pada ukuran ikan pertama kali matang
gonad yang diperoleh yaitu 258 mm (25,8 cm). Dari panjang tersebut
disubsitusikan pada persamaan regresi dan didapatkan lingkar badan rata-rata ikan
layang biru yaitu 10,15 cm. Alat tangkap mini purse seine yang digunakan dalam
menangkap ikan layang di perairan Maluku Utara memiliki mesh size 2,54 cm –
3.81 (1 inci – 1,5 inci) untuk bagian badan dan sayap, sedangkan bagian kantong
ukuran mesh size 1.90 cm (0,75 inci). Dengan demikian mesh siz jaring alat
tangkap yang digunakan dalam menangkap ikan layang biru tersebut tidak
mampu meloloskan ikan pada ukuran pertama kali matang gonad dan ukuran
ikan dibawah ukuran pertama kali matang gonad atau dengan kata lain mesh size
alat tangkap yang digunakan tidak selektif terhadap ukuran ikan yang baru
pertama kali memijah. Dari total data sampel hasil tangkapan yang diperoleh
menunjukkan 1077 ekor atau 53,85% ikan layang biru berukuran panjang lebih
kecil dari 25,8 cm.
115

4.7 Pola Musim dan Daerah Penangkapan Ikan Layang

4.7.1 Indeks musim penangkapan ikan layang

Untuk menduga pola musim penangkapan, maka dilakukan analisis indeks


musim penangkapan (IMP). Analisis ini dilakukan berdasarkan data upaya (effort)
dan hasil tangkap (catch) yang didaratkan di Pelabuhan Perikanan Nusantara
Ternate. Asumsi yang digunakan dalam analisis ini di antaranya : (1) ikan
menyebar merata diseluruh perairan Maluku Utara; (2) jumlah upaya tangkap
(effort) dan hasil tangkapan (catch) yang didaratkan di PPN Ternate berasal dari
perairan Maluku Utara; (3) perairan Maluku Utara dianggap tertutup bagi
masuknya jenis ikan layang dari perairan lain; (4) data hasil tangkapan per upaya
penangkapan ikan yang diambil dari PPN Ternate dari tahun 2003 - 2007
mencerminkan fluktuasi data hasil tangkapan di perairan Maluku Utara.
Nilai indeks musim penangkapan (IMP) digunakan untuk menentukan
waktu yang tepat dalam melakukan operasi penangkapan ikan. Kriteria untuk
menentukan musim penangkapan ikan layang adalah jika nilai IMP sama dengan
atau lebih dari 100% dikatakan sebagai musim penangkapan, sedangkan bukan
musim penangkapan jika nilai IMP dibawah atau kurang dari 100%. Nilai IMP
juga digunakan untuk menduga keberadaan ikan di suatu perairan. Jika nilai IMP
lebih atau sama dengan 100% mengindikasikan bahwa ikan di perairan tersebut
cukup melimpah, begitu pun sebaliknya jika nilai IMP kurang dari 100% berarti
jumlah ikan di perairan tersebut dibawah kondisi normal.
Hasil analisis Indeks Musim Penangkapan ikan layang di perairan Maluku
Utara menunjukkan bahwa nilai IMP lebih dari 100% dicapai pada bulan Maret
- Oktober dan nilai IMP tertinggi dicapai pada bulan Agustus (142,64%).
Selanjutnya secara berturut-turut nilai IMP dari yang terbesar-terkecil yaitu:
bulan Juli (113,99%), September (111,55%), Juni (111,16%), Maret (110,48%)
April (109,94 %), Mei (102,52 %), dan Oktober (101,19%) sedangkan nilai IMP
dibawah 100% dicapai pada bulan Nopember - Februari dengan nilai IMP
terendah terjadi pada bulan Desember (70,57%), selanjutnya pada bulan Januari
(71,18 %), Nopember (72,62%) dan Februari (82,16%). Secara rincin niali IMP
ikan layang di Maluku Utara disajikan pada Tabel 25.
116

Tabel 25 Indeks musim penangkapan (IMP) ikan layang di perairan Maluku


Utara, tahun 2003-2007
No Bulan Indeks Musim Penangkapan (IMP %)
1 Desember 70,57
2 Januari 71,18
3 Februari 82,16
4 Maret 110,48
5 April 109,94
6 Mei 102,52
7 Juni 111,16
8 Juli 113,99
9 Agustus 142,64
10 September 111,55
11 Oktober 101,19
12 Nopember 72,62

Berdasarkan hasil tersebut menunjukkan sebagai musim penangkapan dan


puncak musimnya terjadi pada bulan Agustus yang ditandai dengan nilai IMP
tertinggi. Sedangkan selain bulan-bulan yang memiliki nilai IMP dibawah 100%
bukan merupakan musim penangkapan ikan layang. Namun berdasarkan
keseluruhan nilai IMP terlihat bahwa pada setiap bulan kisarannya diatas 50%,
hal ini dapat diduga bahwa ikan layang di Maluku Utara tidak mengalami musim
peceklik.
Hasil analisis pola musim penangkapan, menunjukkan bahwa musim
penangkapan ikan layang terjadi pada saat musim timur, musim peralihan timur-
barat dan musim peralihan barat-timur . Sedangkan pada musim barat barat (bulan
Desember - Pebruari) bukan merupakan musim penangkapan ikan. Pada bulan-
bulan ini hanya sedikit perahu maupun kapal penangkapan yang melakukan
kegiatan penangkapan ikan. Hal ini disebabkan pada bulan-bulan tersebut ditandai
dengan adanya gelombang yang cukup besar, sehingga dapat menghambat
jalannya proses mengoperasian alat tangkap. Grafik pola musim penangkapan
ikan layang di perairan Maluku Utara terdapat pada Gambar 28.
117

160
140
120

IM P (%) 100
80
60
40
20
0
Des Jan Feb Mar Apr Mei Jun Juli Ags Sep Okt Nov

Barat B-T Timur T-B

BULAN

Gambar 28 Pola musim penangkapan ikan layang di perairan


Maluku Utara.

4.7.2 Pemetaan daerah dan musim penangkapan ikan layang

Pemetaan daerah penangkapan dan musim penangkapan ikan layang di


perairan Maluku Utara dilakukan dengan menggunakan data dan informasi yang
bersumber dari hasil wawancara dengan nelayan yang berpangkaalan di PPP
Bacan, PPI Dufa-dufa, PPP Tobelo dan PPN Ternate serta data titik koordinat
lokasi pemasangan rumpon yang di catat secara langsung dengan menggunakan
GPS (Global position system) ketika mengikuti operasi penangkapan. Dari kedua
jenis data tersebut dioverlay dan membentuk suatu peta tematik yang merupakan
peta daerah penangkapan dan musim penangkapan ikan layang di perairan
Maluku Utara.
Hasil plot pada peta tematik menggunakan perangkat lunak AreView Gis 33,
pada Gambar 29, menunjukkan bahwa daerah penangkapan ikan layang di
perairan Maluku Utara umumnya berada di daerah pantai atau berjarak 2 - 3 mil.
Hal demikian terjadi karena pemanfaatan sumberdaya ikan layang umumnya
dilakukan oleh nelayan skala kecil dengan menggunakan unit penangkapan yang
relatif kecil sehingga nelayan tidak memilki keberanian untuk menjangkau daerah
penagkapan ikan di laut lepas.
118

Daerah penangkapan ikan layang di Maluku Utara tidak tersebar merata di


setiap perairan, hanya terkonsentrasi pada daerah tertentu. Pemanfaatan ikan
layang di bagian tengah Maluku Utara dilakukan oleh nelayan yang berpangkalan
di PPN Ternate dan PPI Dufa-dufa dan sebagian besar daerah penangkapannya
berada di perairan barat Halmahera antara pulau Ternate hingga ujung Utara
Halmahera diantaranya mencakup wilayah perairan Batang Dua, Ternate,
Tidore, Mare, Moti, Makian hingga perairan sekitar pulau Kayoa. Dan biasanya
kegiatan penangkapan di lokosi-lokasi tersebut di lakukan pada akhir bulan
Februari hingga Mei dan bulan Juli hingga September.
Pemanfaatan ikan layang di bagian selatan Maluku Utara tersebar di
sepanjang ujung selatan Halmahera hingga bagian barat pulau Bacan tepatnya di
perairan antara pulau Kasiruta hingga perairan laut Maluku. Kegiatan
penangkapan di daerah tersebut biasanya dilakukukan oleh nelayan yang
berpangkalan di PPP Bacan dan kegiatan penangkapan dilakukan sekitar bulan
April - Oktober. Sedangkan pemanfaatan ikan layang di perairan bagian Utara
Maluku Utara dilakukan oleh nelayan yang berpangkalan di PPP Tobelo yaitu
sebagian besar tersebar di perairan utara Morotai dan perairan sekitar Teluk Kao,
di mana waktu penangkapan dilakukan dari bulan April - September. Umumnya
puncak-puncak waktu penangkapan ikan layang di perairan Maluku utara dimulai
dari bulan Maret hingga Oktober.
119

126°30' 127°00' 127°30' 128°00' 128°30' 129°00' 129°30'

SAMUDRA PASIFIC

2°30'

2°30'
Berebere
P. Rau
P. MOROTAI

Musim Penangkapan :
April - September
Asimiro Sabatai Baru
2°00'

2°00'
Laloda PPI
Î
Tobelo
1°30'

1°30'
P. Mayao
Lolobata

o
a
K
P. Tifure

k
l u
Wasile

e
1°00'

1°00'
Musim Penangkapan :

T
Februari - Mei dan
Juli - September PPN / PPI
P. Ternate
Î
P. Tidore
P. HALMAHERA
0°30'

0°30'
Segea
P. Moti

P. Makian

Mafa
L A U T H A L M A H E R
L A U T M A L U K P. Gebe
P. Kayoa
0°00'

0°00'
Gurapin

Malidi Musim Penangkapan :


P. KASIRUTA April - Oktober

Yaba
0°30'

0°30'
P. BACAN
Busu
Î
PPI Sepi

P. MANDIOLI

P. Damar
1°00'

1°00'

126°30' 127°00' 127°30' 128°00' 128°30' 129°00' 129°30'

Peta Lokasi Penangkapan Ikan Peta Tunjuk : Digambar Oleh :


Keterangan : Irham
di Perairan Maluku Utara C461060071
Garis Pantai
N
Î Lokasi PPI / PPN
Lokasi Penangkapan
W E Ikan Layang
Darat Program Studi Perikanan
Sekolah Pascasarjana
S Kedalaman Institut Pertanian Bogor (IPB)
Skala 1 : 2.000.000 0 - 200 m
Sumber Peta :
30 0 30 200 - 1000 m 1. Peta RBI Bakosurtanal
> 1000 m 2. C - Map World Windows V.3.0
Km
3. Survey Lapangan

Sumber. Data diolah, 2008.

Gambar 29 Peta daerah penangkapan dan musim penangkapan ikan layang di


perairan Maluku Utara.
120

5 PEMBAHASAN

5.1 Teknologi Penangkapan Ikan Layang Pilihan


Teknologi penangkapan ikan layang yang digunakan oleh nelayan Maluku
Utara saat ini adalah mini purse seine, jaring insang hanyut dan bagan perahu.
Ketiga alat tangkap ini dianalisis berdasarkan aspek biologi, teknis, sosial,
ekonomi, dan keramahan lingkungan untuk mengetahui urutan prioritas
pengembangan perikanan layang di Maluku Utara.

5.1.1 Aspek biologi


Berdasarkan analisis kriteria aspek biologi (Tabel 9), untuk spesies
komposisi target spesies (%), ukuran hasil tangkapan utama (cm), dan lama waktu
musim penangkapan ikan layang (bulan) alat tangkap mini purse seine menempati
pada urutan prioritas pertama, jaring insang hanyut pada urutan prioritas kedua
dan bagan perahu pada urutan prioritas ketiga. Hal ini disebabkan karena sifat alat
yang dioperasikan dengan cara melingkari gerombolan ikan dengan menarik tali
kerut bagian bawah jaring dapat dikuncupkan dan jaring akan berbentuk seperti
mangkok, pada kondisi ini ikan-ikan yang sudah terkurung sulit untuk meloloskan
diri. Hal ini sesuai dengan pernyataan Baskoro (2002), bahwa pukat cincin
dioperasikan dengan cara melingkari gerombolan ikan baik dengan menggunakan
satu kapal ataupun dua unit kapal. Setelah gerombolan ikan terkurung, kemudian
bagian bawah jaring dikerutkan hingga tertutup dengan menarik tali kerut yang
dipasang sepanjang bagian bawah melalui cincin.
Hal lain yang menyebabkan persentase ikan layang lebih banyak tertangkap
dengan pukat cincin karena alat tangkap pukat cincin didesain untuk menangkap
gerembolan ikan yang hidup di permukaan air dan memanfaatkan sifat tingkah
laku dari ikan yang senang membentuk schooling. Nugroho (2005) menyatakan
hasil tangkapan yang mendominasi hasil tangkapan pukat cincin biasanya adalah
jenis ikan layang yaitu antara Decapterus russelli dan Decapterus macrosoma.
Jaiswar et al.( 2001), menyatakan bahwa pukat cincin adalah alat
penangkapan yang bertujuan untuk menangkap gerombolan ikan permukaan
(pelagic fish). Selanjutnya dikatakan tingkah laku ikan layang membentuk
121

gerombolan dekat dasar perairan pada siang hari dan mencari makan pada malam
hari di permukaan perairan.
Hasil analisis (Tabel 9), menunjukkan bahwa jaring insang hanyut adalah
alat tangkap yang mampu menangkap ikan layang dalam ukuran rata-rata terbesar
bila dibandingkan dengan pukat cincin dan bagan perahu. Hal tersebut sangat
berkaitan dengan selektivitas dari ketiga alat tangkap tersebut, dimana jaring
insang hanyut adalah alat tangkap yang memilki selektivitas yang tinggi di
bandingkan dengan alat tangkap pukat cincin dan bagan perahu. Sebagaimana
penelitian yang dilakukan di kabupaten Selayar, Sulawesi Selatan oleh Arifin
(2008) menyatakan bahwa alat tangkap jaring insang hanyut termasuk kategori
alat tangkap ramah lingkungan, sedangkan pukat cincin dan bagan perahu
termasuk alat tangkap yang kurang ramah lingkungan.

5.1.2 Aspek teknis


Berdasarkan analisis aspek teknis (Tabel 10), yang dikaji berkaitan dengan
efektivitas suatu unit penangkapan ikan, dimana alat tangkap tersebut dikatakan
efektif jika alat tangkap tersebut memiliki produktivitas yang tinggi. Berdasarkan
kriteria-kriteria penilaian yang digunakan dalam aspek ini adalah nilai produksi
per tahun, produksi per trip dan produksi per tenaga kerja menempatkan alat
tangkap mini purse seine menempati urutan pertama dalam usaha perikanan
layang yang ada di perairan Maluku Utara.
Tingginya produktivitas yang dihasilkan alat tangkap mini purse seine
disebabkan karena prinsip pengoperasian alat tangkap ini yang bersifat aktif
dengan cara melingkari tujuan penangkapan, mengkerucutkan bagian bawah
jaring sehingga membentuk kantong menyebabkan ikan-ikan layang yang telah
berada dalam catchable area akan sulit untuk meloloskan diri. Sedangkan untuk
alat tangkap jaring insang hanyut dan bagan perahu yang bersifat pasif dengan
prinsip pengoperasian menghadang gerakan renang ikan sehingga peluang untuk
mendapatkan hasil tangkapan relatif lebih sedikit dibandingkan dengan alat
tangkap mini purse seine.
Faktor lain yang menunjang tingginya produktiviatas alat tangkap mini
purse seine adalah banyaknya jumlah tenaga kerja per armada tangkap dan ukuran
alat tangkap (ukuran jaring) yang relatif lebih besar dibandingkan dengan ukuran
122

alat tangkap jaring insang hanyut dan bagan perahu serta trip penangkapan
bersifat one day fishing, artinya jumlah hari penangkapan juga lebih banyak
dibandingkan dengan kedua alat tangkap lainnya. Hal ini sesuai dengan hasil
penelitian Irham et al., (2008), bahwa faktor-faktor teknis produksi yang
berpengaruh nyata terhadap produksi tangkapan alat tangkap mini purse seine
antara lain jumlah tenaga kerja, jumlah bahan bakar, jumlah hari tangkapan, tinggi
jaring dan panjang jaring.

5.1.3 Aspek sosial


Dalam suatu usaha perikanan FAO dalam Asian Productivity Organisation
Development menyatakan bahwa dalam bidang perikanan berkelanjutan faktor
sosial harus menjadi perhatian penting. Berdasarkan hasil skoring untuk aspek
sosial (Tabel 11), alat tangkap mini purse seine berada pada urutan pertama,
bagan perahu pada urutan kedua dan jaring insang hanyut menempati urutan
prioritas ketiga. Hal ini disebabkan karena alat tangkap mini purse seine mampu
memberikan kontribusi pendapatan nelayan yang lebih tinggi dibandingkan alat
tangkap jaring insang hanyut dan bagan perahu. Demikian juga dari aspek tenaga
kerja alat tangkap mini purse seine mampu menyerap tenaga kerja lebih banyak
dibandingkan dengan kedua alat tangkap lainnya. Tingkat penguasaan teknologi
ketiga alat tangkap tersebut tidak mengalami kesulitan, hal ini disebabkan pada
umumnya nelayan sudah beberapa tahun menggunakan alat tangkap tersebut, dan
pada umumnya setelah tamat sekolah mereka terjun menjadi nelayan untuk
membantu perekonomian keluarga dan pekerjaan sebagai nelayan merupakan
pekerjaan yang diwariskan secara turun-temurun.
Tingkat ketergantungan terhadap sumberdaya perairan pada masyarakat
nelayan di Maluku Utara sangat tinggi. Pofesi nelayan umumnya dijalani seumur
hidup. Keadaan ini menunjukkan bahwa perikanan telah menjadi bagian dari
kehidupan nelayan, dan bahkan menjadi suatu cara hidup. Artinya, apabila terjadi
gangguan pada kondisi ekologi sumberdaya perikanan, maka gangguan ini akan
mempengaruhi juga pada kehidupan nelayan umumnya. Sulit pula dihindarkan
sifat sumberdaya perikanan yang bersifat public property. Impliksinya adalah
“milik setiap orang bukanlah milik siapapun” (Andrianto, 2006). Oleh karena itu
123

kompetisi dan tindakan-tindakan lain yang bersifat mencemari atau merusak


menjadi gejala yang tidak bisa dihindarkan.

5.1.4 Aspek ekonomi


Berdasarkan hasil skoring untuk aspek ekonomi (Tabel 12), yang dikaji dari
segi kelayakan usaha menempatkan tangkap alat tangkap mini purse seine pada
urutan prioritas pertama sedangkan jaring insang hanyut menempati urutan
prioritas kedua dan bagan perahu beraada pada prioritas ketiga
Hasil analisis kriteria kelayakan usaha pada aspek ekonomi dilakukan guna
mengetahui kelayakan usaha penangkapan dari setiap alat tangkap untuk
mengetahui keuntungan usaha yang di terima nelayan. Hasil analisis perhitungan
nilai Net B/C mengambarkan skala penerimaan atas biaya dan modal adalah
untuk alat tangkap mini purse seine sebesar 2,88. Hal ini mempunyai arti bahwa
pendapatan yang diperoleh sebesar 2,88 kali dari atas besarnya biaya yang
dikeluarkan sehingga usaha tersebut layak untuk dikembangkan.
Nilai Net B/C alat tangkap mini purse seine dan nilai Net B/C dari alat
tangkap jaring insang hanyut lebih tinggi dari pada nilai B/C alat tangkap bagan
perahu . Sedangkan untuk nilai NPV mini purse seine lebih besar dari kedua alat
tangkap lainnya yaitu sebesar Rp 379.547.452 dimana nilai NPV > 0
menunjukkan nilai rata-rata keuntungan bersih yang diperoleh selama 10 tahun ke
depan atau dengan kata lain nilai ini menunjukkan bahwa investasi usaha
perikanan mini purse seine di Maluku Utara memberikan keuntungkan sebesar
379.547.452 selama 10 tahun menurut nilai sekarang.
Nilai IRR yang diperoleh sebesar 55,53 % untuk alat tangakp mini purse
seine. Nilai ini menunjukkan bahwa investasi usaha perikanan mini purse seine di
Maluku Utara setiap satu rupiah yang akan diinvestasikan akan memberikan
keuntungan sebesar Rp. 55,53 %, nilai IRR yang diperoleh mini purse seine lebih
besar dibandingkan dengan alat tangkap jaring insang hanyut dan bagan perahu
yaitu dengan nilai sebesar 53, 75% dan 39,33 %.
Berdasarkan hasil perhitungan BEP yang dihasilkan dari unit penangkapan
mini purse seine diperoleh nilai produksi per tahun sebesar Rp. 68.399.099,76
dengan volume produksi per tahun sebesar 31.019,66 kg. BEP merupakan
jumlah dan nilai minimal yang harus diperoleh agar dapat menutupi total biaya
124

nilai produksi per tahun sehingga usaha ini akan memberikan keuntungan apabila
berada pada titik sama atau lebih besar dari Rp. 68.399.099,76 dengan volume
produksi per tahun sebesar 31.019,66 kg.
Nilai payback periode yang diperoleh alat tangkap mini purse seine yaitu 2
tahun 1 bulan. Nilai yang diperoleh ini lebih kecil dibandingkan dengan alat
tangkap jaring insang hanyut dan bagan perahu yaitu masing-masing 2 tahun 4
bulan dan 3 tahun 1 bulan. Dengan demikian unit penangkapan mini purse seine
membutuhkan periode waktu yang lebih singkat dalam pengembalian modal usaha
dibandingkan alat tangkap jaring insang hanyut dan bagan perahu.
Berdasarkan ketiga nilai kriteria kelayakan tersebut, dengan NPV bernilai
positif, IRR lebih besar dari tingkat diskonto yang digunakann dan nilai Net B/C
lebih dari satu, maka unit penagkapan mini purse seine di Maluku Utara layak
untuk dikembangkan secara finansial dan menjadi prioritas utama dalam
pengembangan perikanan ikan layang di Maluku Utara.
Dalam pengembangan perikanan ikan layang di Maluku Utara alat tangkap
mini purse seine merupakan alat tangkap prioritas yang disarankan untuk
dikembangkan harus tetap memperhatikan berapa jumlah alat tangkap yang
optimal untuk dioperasikan di perairan Maluku Utara sehingga tidak akan akan
terjadi kelebihan penggunaan alat tangkap ini. Dalam beberapa penelitian juga
dikatakan bahwa alat tangkap purse seine mampu memberikan keuntungan yang
maksimal tetapi selain dengan melakukan analisis finansial juga untuk ke depan
terlebih perlu faktor-faktor produksi terhadap usaha perikanan purse seine.
Masyahoro (2001) menyatakan bahwa faktor lama operasi/trip dan ukuran
panjang jaring purse seine akan memberikan pengaruh yang nyata terhadap
besarnya hasil tangkapan dalam operasi penangkapan ikan layang mengunakan
alat tangkap purse seine.
Keunggulan alat tangkap tangkap pukat cincin disebabkan antara lain karena
tingginya produktivitas menyebabkan pendapatan kotor yang cukup besar
dibandingkan kedua alat tangkap tersebut sehingga dari segi ekonomi alat tangkap
mini purse seine menempati urutan pertama, jaring insang hanyut pada urutan
kedua dan bagan perahu pada urutan ketiga.
125

5.1.5 Aspek keramahan lingkungan


Berdasarkan hasil analisis keramahan lingkungan dari ketiga alat tangkap
(Tabel 13), menempatkan alat tangkap jaring insang hanyut pada urutan prioritas
pertama, selanjutnya mini purse seine, sedangkan bagan perahu termasuk alat
tangkap yang dianggap kurang ramah lingkungan dan berada pada prioritas ke
tiga.
Jaring insang hanyut dikategorikan alat tangkap yang ramah lingkungan
karena alat tangkap ini dioperasikan di kolom air. Selain itu, ukuran ikan dan jenis
ikan yang tertangkap juga selektif sehingga tidak akan mempengaruhi
keseimbangan struktur umur populasi ikan (Suharyanto, 1998).
Tujuan utama penangkapan dari alat tangkap pukat cincin adalah kelompok
ikan pelagis kecil dan ikan yang dominan tertangkap pada alat tangkap ini adalah
ikan layang atau di Maluku Utara dikenal dengan “ikan sorihi”. Berdasarkan hasil
pengelompokkan alat tangkap pada tingkat keramahan lingkungan pukat cincin di
kategorikan pada alat tangkap yang kurang ramah lngkungan. Hal ini sesuai
dengan pendapat (Atmaja dan Haluan, 2003) bahwa alat tangkap purse seine
memang cukup selektif terhadap ukuran dan jenis ikan target spesies sehingga
tidak mengganggu siklus hidup dan pertumbuhan populasi, namun demikian pada
kondisi-kondisi tertentu terdapat beberapa populasi yang ukurannya berbeda dan
berukuran kecil. Bila menggunakan rumpon maka beberapa ikan yang berukuran
kecil juga ikut tertangkap, sehingga kategori ramah lingkungan alat tangkap pukat
cincin tergolong dalam kategori sedang.
Bagan perahu dikategorikan alat tangkap yang kurang ramah lingkungan
disebabkan karena selektivitas dan hasil tangkapan sampingan (by catch) memiliki
nilai yang rendah mampu menangkap semua jenis ikan yang ada dalam areal
penangkapan dari berbagai jenis dan ukuran ini dibandingkan dengan alat
tangkap lainnya dan jika dihubungkan dengan nilai aspek biologi menunjukkan
bahwa hasil-hasil tangkapan ikan layang yang diperoleh relatif berukuran kecil.
Hal ini sesuai dengan pendapat Najamuddin (2004), yang menyatakan alat
tangkap bagan perahu termasuk alat tangkap yang tidak selektif dimana
menangkap banyak jenis ikan dengan ukuran mulai dari kecil sampai besar.
126

Menurut Shepherd (1992), menyatakan bahwa penangkapan ikan-ikan kecil


lebih berbahaya dari pada penangkapan ikan memijah, karena lebih banyak
jumlah ikan yang diambil dengan berat yang sama, dan juga ikan-ikan lebih kecil
lebih mudah ditangkap bertahun-tahun sampai memijah. Jika ditangkap pada fase-
fase sebelum memijah, mereka tidak mempunyai kesempatan untuk memijah,
sementara tidak semua ikan yang memijah dapat ditangkap dan mereka
mempunyai kesempatan memijah sekurang-kurangnya sekali.
Hal ini sesuai dengan pendapat Monintja (2000), bahwa alat tangkap ikan
disebut ramah lingkungan bila memenuhi 9 kriteria tersebut selanjutnya menurut
Arimoto (1999) diacu dalam Samuel (2003), teknologi penangkapan ikan ramah
lingkungan adalah suatu alat tangkap yag tidak memberikan dampak lingkungan,
tidak merusak dasar perairan (benthik disturbance), kemungkinan hilangnya alat
tangkap kecil, serta kontribusinya terhadap polusi rendah.

5.1.6 Aspek gabungan biologi, teknis, sosial, ekonomi dan keramahan


lingkungan

Berdasarkan hasil dari total standarisasi aspek biologi, teknis, sosial,


ekonomi, dan keramahan lingkungan unit penangkapan ikan layang (mini purse
seine, jaring insang hanyut, bagan perahu) di perairan Maluku Utara (Tabel 15),
maka yang menjadi prioritas pengembangan adalah alat tangkap mini purse seine
pada urutan pertama, jaring insang hanyut pada urutan kedua dan bagan perahu
pada urutan ketiga. Hal ini menunjukkan bahwa dalam usaha perikanan ikan
layang yang diprioritaskan untuk dikembangkan adalah alat tangkap mini purse
seine sesuai dengan pendapat Haluan dan Nurani (1988), dan Yuliansyah (2002)
yang menyatakan bahwa alat tangkap purse seine adalah alat tangkap yang paling
produktif untuk dikembangkan.
Analisis aspek gabungan dari aspek biologi, teknik, sosial, ekonomi dan
keramahan lingkungan dimaksudkan untuk menilai penampilan alat tangkap
secara menyeluruh. Hasil dari analisis ini merupakan salah satu indikator
menyeluruh tentang bagaimana keberlanjutan dari suatu usaha penangkapan ikan
layang yang ada di perairan Maluku Utara dan urutan prioritas dari alat tangkap
yang ada.
127

5.2 Optimalisasi Pengelolaan Perikanan Ikan Layang


5.2.1 Potensi lestari (maximum sustainable yield/MSY)
Data produksi dan upaya tangkap yang digunakan dalam penelitian ini
didasarkan pada jenis alat tangkap yaitu, mini purse seine, jaring insang hanyut
dan bagan perahu. Standarisasi alat tangkap sangat diperlukan untuk
menyeragamkan kemampuan suatu alat tangkap ikan dalam menangkap ikan.
sehingga diperoleh catch gabungan, total effort standar dan CPUE standar. Hasil
standarisasi menghasilkan mini purse seine sebagai alat tangkap standar, karena
alat tangkap ini mempunyai nilai CPUE per tahun lebih besar dibandingkan alat
tangkap jaring insang hanyut dan bagan perahu.
Hasil korelasi antara CPUE dengan effort pada Gambar 16 menunjukkan
hubungan yang negatif, yaitu semakin tinggi effort semakin rendah nilai CPUE.
Korelasi negatif antara CPUE dengan effort mengindikasikan bahwa produktivitas
alat tangkap layang akan menurun apabila effort mengalami peningkatan.
Perhitungan potensi maksimum lestari yang dianalisis menggunakan metode
Schaefer menghasilkan nilai hasil tangkapan maksimum yang diperbolehkan
(Cmsy) sebesar 20.109,43 ton per tahun. Nilai Cmsy yang diperoleh menunjukkan
tingkat produksi maksimum lestari yaitu hasil tangkapan ikan layang yang dapat
ditangkap tanpa mengancam kelestarian sumberdaya perikanan yang terdapat di
perairan Maluku Utara. Sedangkan nilai upaya penangkapan lestari yang
diperoleh sebesar 32.448 trip standard mini purse seine . Nilai upaya penangkapan
yang diperoleh ini sudah mendekati nilai upaya penangkapan aktual (2007). Hal
ini berarti peluang untuk penambahan armada penangkapan ikan layang di
perairan Maluku Utara sangat kecil.
Hubungan antara upaya penangkapan dan hasil tangkapan ikan layang di
perairan Maluku Utara (Gambar 17) berbentuk parabola (fungsi kuadratik),
artinya setiap penambahan tingkat upaya penangkapan (E) maka akan
meningkatkan hasil tangkapan (C) sampai mencapai titik maksimum, kemudian
akan terjadi penurunan hasil tangkapan untuk tiap peningkatan intensitas
pengusahaan sumberdaya.
128

5.2.2 Bio-ekonomik perikanan layang


Potensi ekonomi lestari (MEY) adalah nilai maksimum hasil tangkapan yang
dapat memberikan keuntungan maksimum. MEY perlu dihitung agar aktivitas
eksploitasi sumberdaya perikanan dapat berjalan dengan sehat, dan efisien untuk
mendapatkan keuntungan yang maksimum tanpa mengganggu proses regenerasi
atau daya pulih sumberdaya tersebut. Harga ikan dan biaya operasional
merupakan komponen penting yang diperlukan untuk menghitung nilai hasil
tangkapan yang memberikan keuntungan maksimum.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa biaya penangkapan yang dibutuhkan
dalam ekspolitasi sumberdaya ikan layang sebesar Rp 988,375 per trip
penangkapan. Biaya penangkapan yang digunakan ini adalah biaya penangkapan
pada alat tangkap standard ((mini purse seine), dimana dalam usaha penangkapan
ikan layang memerlukan biaya tetap (fixed cost) dan biaya variabel (variable)
cost). Dalam penelitian ini, yang dimaksud biaya tetap adalah biaya yang sifatnya
tidak habis digunakan dalam satu kali operasional penangkapan. Biaya tetap
terdiri atas penyusutan kapal, penyusutan alat tangkap, penyusutan mesin dan
perlengkapan lainnya. Biaya tidak tetap adalah biaya yang sifatnya habis pakai
pada setiap operasi penangkapan. Biaya tidak tetap meliputi biaya bahan bakar,
es ,ransum dan retribusi. Adapun harga jual ikan layang (Decapterus spp) di
Maluku Utara berkisar antara Rp 5500,00 sampai dengan Rp 6500,00 dengan
harga rata-rata (p) sebesar Rp 6.000,00 per kg .
Analisis optimalisasi bio-ekonomi yang dilakukan dalam penelitian ini
menggunakan model Gordon-Schaefer pada berbagai kondisi pengelolaan
menunjukkan bahwa pada kondisi pengeloaan MSY memiliki hasil tangkapan
lebih besar dibandingkan dengan hasil tangkapan yang diperoleh pada kondisi
pengelolaan MEY, aktual dan open acces. Hasil tangakpan ikan layang pada
kondisi MSY adalah kondisi hasil tangkapan yang maksimum lestari dimana jika
hasil tangkapan sudah melebihi kondisi hasil tangkapan ini maka mengakibatkan
sumberdaya ikan layang tersebut menjadi tidak sustainable.
Perbandingan upaya penangkapan pada berbagai kondisi pengelolaan
(Gambar 19), mengilustrasikan bahwa upaya penangkapan yang dilakukan armada
penangkapan ikan layang pada kondisi open acces lebih besar dibandingkan pada
129

ketiga kodisi pengeloaan lainnya. Sebaliknya bila dilihat dari rente ekonomi
tertinggi atau keuntungan optimum lestari yang diperoleh nelayan dalam upaya
pengelolaan sumberdaya ikan layang di perairan Maluku Utara, dicapai pada
kondisi pengelolaan MEY dan terendah yaitu pada kondisi open acces.
Berkurangnya nilai rente ekonomi dalam pengusahaan perikanan laying ini akan
terus berlangsung hingga dicapai keuntungan normal yaitu pada saat tingkat upaya
penangkapan yang dilakukan mencapai keseimabangan open acces ( π = 0 ). Jika
terjadi peningkatan upaya penangkapan melebihi kondisi ini maka akan
mengakibatkan kerugian bagi nelayan. Dengan adanya keuntungan dalam
pengelolaan sumberdaya menjadi pendorong bagi nelayan untuk mengembangkan
armada penangkapan maupun upaya penangkapan dengan tujuan untuk
memperoleh keuntungan sebanyak-banyaknya.
Pada kondisi pengelolaan open acces, meskipun total penerimaan semakin
menurun, selagi total penerimaan masih lebih besar dari total biaya penangkapan
(rente ekonomi positif), maka kondisi ini akan tetap dijalankan oleh nelayan untuk
bertahan dalam usaha penangkapan, dimana nelayan akan meningkatkan effort.
Jika tingkat effort sudah berlebihan, sehingga total penerimaan lebih kecil dari
total biaya penangkapan, maka sebagian pelaku perikanan akan keluar dari
kegiatan penangkapan tersebut, yang berarti menurunkan effort.
Pemanfaatan sumberdaya perikanan secara lestari perlu dilakukan, guna
sustainability spesies tertentu, stok yang harus lestari, walaupun rekruitmen oleh
alam terus berjalan, namun effort yang meningkat tajam setiap tahunnya akan
berimbas kepada produksi dan pendapatan nelayan itu sendiri. Pada kondisi open
acces tidak ada batasan bagi nelayan untuk tetap memanfaatkan sumberdaya.
Secara ekonomi pengusahaan sumberdaya pada kondisi open access tidak
menguntungkan karena keuntungan komparatif sumberdaya akan terbagi habis.
Akibat sifat sumberdaya yang open access maka nelayan cenderung akan
mengembangkan jumlah armada penangkapan maupun tingkat upaya
penangkapannya untuk mendapatkan hasil tangkapan yang sebanyak-banyaknya,
maka tidak efisien secara ekonomi karena keuntungan yang diperoleh lama
kelamaan akan berkurang atau tidak memperoleh keuntungan sama sekali. Oleh
karena itu pengusahaan sumberdaya perlu dibatasi pada kondisi maximum
130

economic yield atau terkendali agar dapat memberikan keuntungan yang


maksimum dikarenakan upaya penangkapan yang terkendali sehingga total
penerimaan yang diperoleh lebih besar dari pada total pengeluaran.

5.3 Alokasi Optimum Upaya Penangkapan Ikan Layang


Pengalokasian jumlah unit penangkapan dari teknologi penangkapan ikan
terpilih dilakukan dengan tujuan agar kegiatan perikanan layang di Maluku Utara
dapat berjalan efisien, lestari dan berkelanjutan.
Model linear goal programming yang digunakan dalam penelitian ini
memiliki tiga variabel keputusan dan tiga kendala tujuan. Variabel keputusan
yang dimaksud adalah jumlah unit penangkapan ikan layang terpilih (mini purse
seine) sebagai (X1). Adapun ketiga kendala tujuan yang dimaksud adalah: (1)
mengoptimalkan hasil tangkapan sumberdaya ikan layang dengan pertimbangan
MEY, (2) mengoptimalkan upaya penangkapan/jumlah hari operasi penangkapan
sesuai dengan upaya penangkapan pada tingkat fMEY, dan (3) mengoptimalkan
tingkat penyerapan tenaga kerja.
Hasil olahan LINDO dalam optimasi alokasi armada penangkapan ikan
layang pilihan di perairan Maluku Utara memperlihatkan nilai fungsi tujuan
sebesar 1064. Hal ini menunjukkan bahwa dari tujuan atau target yang diinginkan,
maka tujuan atau target yang tercapai adalah mengoptimalkan hasil tangkapan
sumberdaya ikan layang dengan pertimbangan MEY dan mengoptimalkan jumlah
hari operasi sesuai dengan upaya penangkapan pada tingkat EMEY. Hal ini
ditunjukkan dari nilai variabel deviasional (DA atau DB) sama dengan nol.
Sedangkan tujuan untuk mengoptimalkan tingkat penyerapan tenaga kerja
merupakan tujuan yang tidak tercapai, dimana jumlah tenaga kerja yang terserap
hanya mencapai 2626 orang.
Jika dibandingkan hasil analisis alokasi unit penangkapan mini purse siene
(202 unit) dengan jumlah mini purse siene yang ada pada tahun 2007 (213 unit),
maka jelas perlu adanya rasionalisasi jumlah unit penangkapan, yaitu disarankan
untuk melakukan pengurangan jumlah mini purse siene sebesar 11 unit.
Pengurangan ini sangat tergantung dari nilai parameter yang digunakan untuk
131

analisis pengalokasian unit penangkapan, utamanya adalah produktivitas unit


penangkapan dan jumlah hasil tangkapan pada kondisi maximum economic yield
(Cmey) nya.
Nilai poduktivitas dalam analisis ini menggunakan nilai produktivitas ideal
usaha yang menguntungkan, yang nilainya nyata lebih tinggi dari nilai
produktivitas aktual sekarang, dengan demikian jumlah unit penangkapan yang
dialokasikan jelas lebih sedikit dari yang ada.
Selanjutnya, untuk mengimplementasikan hasil yang diperoleh, tentunya
tidak langsung dilakukan pengurangan atau pembatasan jumlah mini purse siene
secara drastis. Hal ini dapat dilakukan secara bertahap dan rasional, seperti
melakukan pengalihan usaha dari unit penangkapan yang berlebih ke unit
penangkapan yang belum optimal, dan tidak lagi memperpanjang ijin usaha unit
penangkapan mini purse siene hingga mencapai titik optimalnya.

5.4 Biologi Ikan Layang Biru (Decapterus macarellus)

Hasil pengamatan terhadap 2000 ekor ikan layang biru yang terdiri dari 645
ekor ikan jantan dan 1355 ekor ikan betina diperoleh perbandingan rasio kelamin
jantan dan betina adalah 1 : 1,8 (Tabel 18).
Berdasarkan data rasio kelamin tersebut menunjukkan bahwa persentase
ikan layang biru betina lebih besar dari ikan jantan, hal tersebut diduga di
pengaruhi oleh tingginya faktor kematian penangkapan disamping itu diduga laju
mortalitas alaminya juga berbeda. Hal lain yang menyebabkan ketidak
seimbangan rasio kelamin jantan dan betina diduga karena pada bulan-bulan
tersebut sebagian besar ikan-ikan betina melakukan pemijahan. Hal tersebut
sesuai pernyataan Kilingbell (1978), bahwa terjadinya penyimpangan dari konsep
keseimbangan rasio kelamin merupakan suatu pertanda bahwa proses pemijahan
sedang terjadi. Wahyono dan Dharmadi (2000), melakukan penelitian di perairan
Sulawesi Utara tentang beberapa aspek biologi perikanan malalugis biru
dihasilkan rasio kelamin jantan dan betina adalah 1 : 1.
Menurut Bal dan Rao (1984) diacu dalam Nugroha dan Mardilijah (2006),
variasi dalam perbandingan kelamin sering terjadi dikarenakan 3 faktor yaitu
perbedaan tingkah laku seks, kondisi lingkungan dan penangkapan. Pendugaan
132

rasio jenis kelamin sangat dibutuhkan sebagai bahan pertimbangan dalam


produksi, rekruitmen dan konservasi sumberdaya ikan tersebut.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa ikan layang biru yang tertangkap
memiliki ukuran yang bervariasi, dimana panjang rata-rata maupun berat rata-rata
ikan betina lebih besar dibandingkan dengan ikan jantan. Frekuensi panjang ikan
layang biru yang tertangkap di perairan Maluku Utara umumnya berukuran relatif
besar dibandingkan dengan jenis ikan pelagis kecil lainnya. Penelitian Hariati
(2004) di perairan Banda Aceh menunjukkan bahwa ikan layang biru yang
ditemukan berukuran antara 16 – 32 cm FL, dengan modus 28,5 cm. Sementara di
perairan sebelah barat Sumatera Utara berukuran antara 16 – 26 cm FL dengan
modus 20,5 dan 23,5 cm. Sedangkan di perairan Parigi (Teluk Tomini) berukuran
16 cm – 27 cm FL, dengan modus 19,5 dan 25 cm. Dengan demikian maka
ukuaran ikan layang biru yang tertangkap di perairan Maluku Utara berukuran
relatif lebih besar dibandingakan dengan ukuran ikan yang di temukan pada
penelitian-penelitian tersebut.
Ukuran panjang total layang biru yang diperoleh selama penelitian
menunjukkan varaisi ukuran yang berbeda. Adanya variasi ukuran dari ikan
layang biru jantan maupun betina tersebut, diduga karena populasi ikan layang di
perairan Maluku Utara terdiri dari beberapa kelompok, dimana hal tersebut dapat
terlihat jelas dari pergeseran ukuran kelompok panjang dalam populasi
berdasarkan waktu dari ikan tersebut.
Frekuensi panjang ikan layang biru jantan dan betina yang diperoleh selama
penelitian memiliki 3 (tiga) kelompok umur, yaitu kelompok umur pertama lebih
muda dari kelompok umur berikutnya sejalan dengan semakin penjangnya ukuran
ikan. Kelompok umur tersebut jelas menunjukkan adanya variasi ukuran ikan
layang biru yang tertangkap di lokasi penelitian.
Berdasarkan dugaan parameter pertumbuhan ikan layang biru di perairan
Maluku Utara dengan metode Plot Ford-Walford di peroleh nilai dugaan
parameter pertumbuhan Von Bartalanffy yaitu panjang maksimum (L ∞ ), nilai
koefiesien pertumbuhan (K ) dan umur teoritis (t0) ikan layang biru betina lebih
besar dibandingkan dengan layang biru jantan.
133

Kurva pertumbuhan panjang layang biru jantan jantan maupun betina


(Gambar 26), mengekspresikan hubungan pola pertumbuhan dan umur maksimum
dari populasi ikan layang biru jantan dan betina di perairan Maluku Utara. Dari
kurva tersebut terlihat bahwa ikan layang biru jantan mencapai panjang
maksimum 330,34 mm pada umur 48 bulan atau 4 tahun, demikian pula ikan
layang biru betina mencapai panjang maksimum 335,73 mm pada umur 48 bulan
atau 4 tahun. Dengan umur tersebut menunjukkan pada umur 48 bulan atau 4
tahun tidak terjadi lagi pertumbuhan atau penambahan panjang baik untuk ikan
layang biru jantan maupun betina. Hal ini sesuai dengan pernyataan Widodo
(1988), menjelaskan bahwa umur maksimum dari ikan layang kira-kira 5 tahun.
Panjang infinity (L ∞ ) merupakan ukuran panjang maksimum ikan layang di
tersebut di daerah penangkapan atau bisa disebut juga dengan panjang maksimum.
Nilai L ∞ dan K yang diperoleh dalam penelitian ini (Tabel 20) apabila

dibandingkan dengan nilai penelitian L ∞ dan K hasil penelitian Widodo (1998)

dengan ikan spesies yang sama di Laut Jawa dengan nilai L ∞ = 256 mm dan
K = 0,50 per bulan menunjukkan perbedaan yang cukup besar. Menurut Csirke
(1988) diacu dalam Merta (1992) perbedaan nilai parameter pertumbuhan (L ∞
dan K) dari spesies ikan yang sama pada lokasi yang berbeda di pengaruhi oleh
faktor lingkungan masing-masing perairan seperti ketersediaan makanan, suhu
perairan, oksigen terlarut, ukuran ikan, kematangan gonad. Widodo (1988)
kecenderungan ketidaktepatan nilai parameter pertumbuhan ikan dipengaruhi
oleh komposisi ikan contoh yang dianalisis dari pada cara atau metode yang
digunakan.
Menurut Effendie (1997), pertumbuhan ikan di suatu perairan banyak
dipengaruhi oleh faktor lingkungan antara lain jumlah makanan yang di makan,
jumlah ikan di suatu perairan tersebut, jenis makanan yang dimakan, kondisi
oseanografi perairan (suhu, oksigen dan lain-lain) dan kondisi ikan (umur,
keterunan dan genetik).
Berdasarkan hasil analisis hubungan panjang berat ikan layang biru yang di
hitung secara terpisah baik jantan maupun betina di peroleh nilai koefiseien
regresi lebih kecil dari 3 dan nilai r yaitu untuk ikan jantan 0.7635 dan ikan betina
134

0.8010. Nilai koefisien regresi (b) yang diperoleh menunjukkan keseimbangan


pertumbuhan panjang dan berat ikan. Hal ini menunjukkan bahwa pertumbuhan
ikan layang biru di perairan Maluku Utara berpola ”Alometrik Minor, yang
mengandung arti pertumbuhan panjang tubuh ikan lebih cepat dari pertumbuhan
beratnya. Sedangkan nilai r yang tinggi mengindikasikan bahwa adanya keeratan
hubungan antara panjang dan berat tubuh dari ikan layang.
Penelitian pernah dilakukan oleh beberapa peneliti pada daerah yang
berbeda diantaranya, di Laut Jawa dilakukan oleh Widodo (1988) didapatkan nilai
b = 2,997 untuk ikan jantan dan b = 3,034 untuk ikan betina dan di perairan Teluk
Ambon dilakukan oleh Sumadhiharga (1991) diperoleh nilai b = 2,298. Perbedaan
nilai b dari beberapa penelitian ini diduga karena dipengaruhi oleh perbedaan
musim dan tingkat kematangan gonad serta oleh aktivitas penangkapan. Menurut
Graham (1935) diacu dalam Soumokil (1996) tekanan penangkapan yang cukup
tinggi pada suatu daerah turut mempengaruhi kehidupan dan pertumbuhan
populasi ikan.
Tingkat kematangan gonad adalah tahap tertentu perkembangan gonad
sebelum dan sesudah ikan memijah (Effendie, 1979). Penentuan tingkat
kematangan gonad sangat penting di lakukan, karena sangat berguna untuk
mengetahui perbandingan antara gonad yang masak dengan stok yang ada di
perairan, ukuran pemijahan, musim pemijahan dan lama pemijahan dalam suatu
siklus (Effendie, 1997). Penentuan tingkat kematangan gonad dapat dilakukan
dengan 2 cara yaitu secara morfologis (visual) dan secara histologis. Untuk
penelitian di perairan Maluku Utara penentuan tingkat kematangan gonad
dilakukan secara morfologis (visual).
Hasil pengamatan tingkat kematangan gonad ikan layang biru contoh jantan
dan betina selama peneltian, ditemukan dalam beberapa tingkat kematangan
gonad yaitu TKG I (inmature), TKG II (maturing) TKG III (mature), TKG IV
(ripe) dan TKG V (spent). Berdasarkan Tebel 22, menjelaskan bahwa Ikan layang
biru jantan dan betina yang tertangkap selama penelitian didominasi ikan-ikan
yang belum matang gonad. Kondisi seperti ini apabila terjadi dalam waktu yang
panjang, maka berdampak buruk pada kelangsungan hidup dari sumberdaya ikan
layang di perairan Maluku Utara.
135

Hasil pengamatan menunjukkan ikan layang biru jantan dan betina yang
telah matang gonad ditemukan sepanjang periode penelitian dengan jumlah
terbanyak ditemukan pada bulan Maret. Hal ini menunjukkan bahwa untuk ikan
layang biru betina di perairan Maluku Utara diduga memijah hampir setiap bulan
dengan puncak pemijahan pada bulan April atau Mei. Hal tersebut senada dengan
pernyataan Widodo (1988), berdasarkan hasil penelitian terhadap musim
pemijahan ikan layang di Laut Jawa, diperoleh ikan jenis tersebut dengan tingkat
kematangan gonad IV terbanyak pada bulan Maret dan bulan Juli dengan puncak
pemijahan terjadi pada bulan April/Mei dan Agustus/September.
Gambar 29, menjelaskan bahwa peningkatan jumlah ikan layang biru
(Decapterus macarellus) contoh betina yang matang gonad selalu diikuti dengan
peningkatan jumlah ikan layang biru contoh jantan. Hal tersebut memberi peluang
yang cukup baik bagi induk-induk ikan layang biru untuk melakukan perkawinan.
Berdasarkan hal tersebut dapat diduga bahwa ikan layang biru (Decapterus
macarellus) di perairan Maluku Utara dapat memijah beberapa kali dalam satu
musim dengan puncak musim pemijahan pada bulan April atau bulan Mei. Hal ini
sesuai di kemukakan oleh Suwarso dan Hariati (1988), bahwa dari variasi indeks
kematangan gonad menurut ukuran dan tingkat kematangan gonad diketahui
pemijahan ikan layang biru berlangsung relatif lama dan bersifat sebagian-
sebagian (partial spawning).
Pendugaan ukuran pertama kali matang gonad merupakan salah satu cara
untuk mengetahui perkembangan populasi dalam suatu perairan, seperti bilamana
ikan akan memijah, baru memijah atau sudah selesai memijah. Berkurangnya
populasi ikan di masa mendatang dapat terjadi karena ikan yang tertangkap adalah
ikan yang akan memijah atau ikan belum pernah memijah, sehingga sebagai
tindakan pencegahan diperlukan penggunaan alat tangkap yang selektif.
Hasil pengamatan terhadap jumlah ikan layang biru yang matang gonad
pada berbagai ukuran panjang tubuh menunjukkan bahwa ikan layang biru jantan
maupun betina mencapai kematangan gonad pertama kali pada ukuran panjang
total rata-rata 25,8 cm. Hasil penelitian ini berbeda dengan hasil penelitian
Hariati (2004), yang dilakukan di perairan Banda Aceh menghasilkan panjang
rata-rata pertama kali matang gonad ikan layang biru (Decapterus macarellus)
136

yaitu 24,9 cm, sedangkan di perairan Teluk Tomini dan di periaran Laut Sulawesi
pada tahun 1997 adalah 22,8 cm. Saat pertama kali ikan mencapai kematangan
gonad menurut Effendie (1992), di pengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya,
spesies, umur ikan, ukuran dan kemampuan adaptasi ikan terhadap lingkungan
(faktor internal) serta makanan, suhu dan arus (faktor eksternal). Perbedaan
ukuran ikan pada saat pertama kali matang gonad tidak sama disebabkan oleh
perbedaan strategi hidup atau pola adaptasi ikan itu sendiri.
Dengan tertangkapnya khususnya ikan layang biru betina yang matang
gonad pada berbagai ukuran mulai dari ukuran yang terkecil sampai ukuran yang
besar memberikan petunjuk bahwa ikan-ikan tersebut bertelur dan memijah lebih
dari satu kali dalam hidupnya. Selain melalui pengamatan tingkat kematangan
gonad, musim pemijahan ikan dilakukan di suatu perairan dapat diteliti melalui
pengamatan terhadap jumlah telur yang sudah masak sebelum dikeluarkan pada
waktu ikan memijah (Batts,1972).
Fekunditas adalah jumlah telur masak sebelum dikeluarkan pada waktu ikan
memijah. Menurut Effendie (1992), kegunaan fekunditas adalah sebagai bagaian
dari studi sistimatik atau studi mengenai ras, dinamika populasi, produkstivitas,
potensi reproduksi dan sebagainya. Sedangkan dalam bidang akuakultur jumlah
telur yang dihasilkan berguna dalam persiapan fasilitas kultur ikan.
Hasil pengamatan terhadap contoh ikan layang biru betina yang telah,
diperoleh kisaran fekunditas ikan layang biru di perairan Maluku Utara antara
28875 - 84000 butir. Adanya variasi jumlah telur pada berbagai ukuran panjang
ikan layang biru menunjukkan kemungkinan adanya kegiatan pengeluaran telur
yang terjadi setiap saat.
Fekunditas yang diperoleh dalam penelitian ini memiliki kisaran yang
berbeda dengan hasil penelitian beberapa penelitian sebelumnya antara lain.
Soumokil (1996) yang meghitung jumlah telur dari 100 ekor ikan Decapterus
russelli betina dengan ukuran nilai tengah panjang 170 mm-280 mm mengandung
telur sebanyak 20874 -70112 butir. Burhanuddin dan Djamali (1977) yang telah
mencacah 20 ekor ikan Decapterus russelli betina dari perairan Pulau Panggang
(Pulau-Pulau Seribu) dengan ukuran panjang baku 166-299 mm mengandung
telur sebanyak 20000-80000 butir. Penelitian yang pernah dilakukan di perairan
137

Teluk Ambon diperoleh ikan momar betina mengandung telur sebanyak 6641 -
97724 butir. Adanya perbedaan jumlah telur dari berbagai hasil penelitian
disebabkan oleh perbedaan ukuran panjang dan diameter telur yang diteliti
(Burhanuddin dan Djamali, 1977).
Hasil analisis regresi antara panjang total ikan dengan jumlah telur
memperoleh suatu hubungan yang erat dimana respon jumlah telur sangat
dipengaruhi oleh panjang total ikan layang biru betina yang telah siap memijah.
Atau mengandung arti bahwa semakain panjang induk ikan maka semakin
bertambah jumlah telurnya.

5.5 Mesh Size Minimum Alat Tangkap Ikan Layang Pilihan


Pembatasan mesh size jaring yang dapat digunakan untuk menangkap jenis
ikan tertentu merupakan suatu keharusan dalam penerapan kode etik perikanan
bertanggung jawab (CCRF). Penentuan ukuran mata jaring harus didasarkan pada
kondisi biologi ikan-ikan yang ada dilapangan.
Lingkar badan ikan diukur sebagai dasar dalam penentuan ukuran mata
jaring. Pada umumnya ikan akan terjerat pada jaring apabila lingkar kepala ikan
sama dengan ukuran mata jaring.
Hasil perhitungan ukuran pertama kali matang gonad ikan layang biru
jantan dan betina selama penelitian diperoleh panjang total rata-rata 258 mm (25,8
cm). Sebagai faktor kehati-hatian dan keamanan populasi, maka dalam penentuan
ukuran mata jaring sebagai faktor pembanding merujuk pada ukuran ikan pertama
kali matang gonad yang diperoeh yaitu 258 mm (25,8 cm). Dari panjang tersebut
disubstitusikan pada persamaan regresi dan didapatkan lingkar badan ikan layang
biru yaitu 10,15 cm. Alat tangkap mini purse seine yang digunakan dalam
menangkap ikan layang di Maluku Utara memiliki ukuran mesh size 2,54 cm –
3.81 (1 inchi – 1,5 inchi) untuk bagian badan dan sayap, sedangkan bagian
kantong ukuran mesh size 1.90 cm (0,75 inchi). Dengan demikian ukuran mata
jaring alat tangkap yang digunakan dalam menangkap ikan layang biru tersebut
tidak mampu meloloskan ikan pada ukuran pertama kali matang gonad dan ukuran
ikan dibawah ukuran pertama kali matang gonad atau dengan kata lain mesh size
138

alat tangkap yang digunakan tidak selektif terhadap ukuran ikan yang baru
pertama kali memijah.
Data sampel hasil tangkapan yang diperoleh menunjukkan 1077 ekor atau
53,85% ikan layang biru berukuran panjang lebih kecil dari 25,8 cm. Hal ini
menunjukkan bahwa hasil tangkapan didominasi oleh ikan-ikan yang belum
pernah memijah. Secara biologis, hal ini sangat mengganggu keberlanjutan
populasi ikan layang. Melihat kondisi tersebut dan untuk lebih mempertahankan
keberlanjutan populasi ikan layang biru di perairan Maluku Utara, diperlukan
penerapan aturan penggunakan ukuran mata jaring minimum.
Dalam rangka penerapan perikanan yang bertanggung jawab, pengaturan
mata jaring (mesh size) alat tangkap mni purse seine terhadap ukuran ikan di
perairan Maluku Utara perlu diperhatikan, agar dapat diloloskan ukuran ikan yang
belum pernah memijah (panjang total < 25,8 cm). Ukuran mata jaring alat tangkap
mini purse seine yang sebaiknya digunakan agar dapat meloloskan ukuran ikan
yang belum pernah memijah yaitu 5,08 cm (2 inchi) untuk bagian badan dan
sayap, sedangkan bagian kantong ukuran mesh size 2,54 cm (1 inchi).
Sebagaimana telah di atur dalam Peraturan Menteri Pertanian Nomor
123/Kpt/Um/3/1975 tentang ketentuan lebar mata jaring purse seine yang
digunakan dalam penangkapan ikan-ikan pelagis kecil, menetapkan bahwa
melarang penggunaan ukuran mata jaring purse seine kurang dari dua inci pada
bagian sayap dan kurang dari satu inci pada bagian kantong.
Pengaturan ukuran mata jaring minimum lebih ditekankan pada bagian
badan dan sayap karena kedua bagian ini memiliki persentase ukuran terbesar
dari total panjang alat tangkap yaitu mencapi 80%. Di samping itu pengaturan
kembali mesh size pada bagian badan dan sayap dilakukan dengan tujuan agar
ikan-ikan pada ukuran pertama kali matang gonad dan ukuran ikan di bawah
ukuran pertama kali matang gonad dapat lolos ketika proses pelingkaran jaring
(setting) di lakukan.
Perbaikan selektivitas alat penangkap ikan dapat dilakukan dengan
penerapan ukuran mata jaring minimum atau dengan sistem penggunaan jaring
tertentu dengan ukuran mata jaring yang lebih besar yang berfungsi sebagai jalan
bagi ikan-ikan ukuran kecil untuk meloloskan diri karena menurut (FAO, 1995),
139

informasi ukuran mata jaring minimun sangat penting dalam penerapan kode etik
perikanan yang bertanggung jawab. Ukuran mata jering yang digunakan
memberikan gambaran ukuran ikan yang akan tertangkap.
Pembatasan ukuran mata jaring yang dapat digunakan untuk menangkap
jenis ikan tertentu merupakan suatu keharusan dalam penerapan kode etik
perikanan bertanggung jawab (CCRF). Penentuan ukuran mata jaring harus
didasarkan pada kondisi biologi ikan-ikan yang ada di lapangan
Keberlanjutan pemanfaatan sumberdaya ikan layang di perairan Maluku
Utara sangat tergantung dari bagaimana sumberdaya ikan layang tersebut
dieksploitasi. Oleh karena itu perlu digunakan alat tangkap yang selektif yang
mampu meloloskan ikan-ikan yang berukuran tertentu, yaitu yang belum pernah
mencapai kematangan gonad. Dengan demikian, ikan-ikan yang tertangkap
minimal sudah pernah melakukan reproduksi sekali dalam masa hidupnya.
Disamping itu dalam menjaga kesimbungan sumberdaya ikan layang di Maluku
Utara, maka hal yang terpenting yang harus dihindari adalah dengan tidak
melakukan penangkapan ikan pada saat musim pemijahan, sehingga ikan-ikan
dengan bebas melakukan pemijahan tanpa ada gangguan akibat tekanan
penangkapan.

5.6 Pola Musim dan Daerah Penangkapan Ikan Layang


Berdasarkan hasil analisis indeks musim penangkapan, menunjukkan bhawa
musim penangkapan ikan layang di perairan Maluku Utara berlangsung dari bulan
Meret -Oktober dan titik puncak terjadi pada bulan Agustus. Musim penangkapan
ikan layang terjadi pada saat musim timur, musim peralihan timur-barat dan
musim peralihan barat-timur. Sedangkan pada musim barat barat (bulan Desember
- Februari) bukan merupakan musim penangkapan ikan. Pada bulan-bulan ini
hanya sedikit perahu maupun kapal penangkapan yang melakukan kegiatan
penangkapan ikan. Hal ini disebabkan pada bulan-bulan tersebut ditandai dengan
adanya gelombang yang cukup besar, sehingga dapat menghambat jalannya
proses mengoperasian alat tangkap.
Berdasarkan grafik pola musim penangkapan ikan layang (Gambar 30),
menunjukkan bahwa pada musim timur yaitu bulan Juli - September, merupakan
140

musim yang sangat baik untuk melakukan penangkapan ikan layang di perairan
Maluku Utara. Waktu penangkapan yang baik ini juga didukung dengan adanya
pola musim yang memungkinkan ikan layang hidup dan berkembang di perairan
Maluku Utara, sehingga hasil tangkapannya pun menguntungkan.
Perbedaan musim penangkapan ikan ini terutama dipengaruhi oleh
perubahan hembusan angin, dimana di Indonesia dikenal dengan 4 jenis musim
angin yaitu, musim Barat, musim Timur, musim peralihan Barat-Timur dan
musim peralihan Timur-Barat. Sebagaimana di jelaskan oleh Nontji (2007), angin
yang berhembus di perairan Indonesia terutama adalah angin musim yang dalam
satu tahun terjadi dua kalai pembalikan arah yang masing-masing disebut dengan
angin musim barat dan musim timur, sedangkan antara dua kali perubahan musim
terdapat juga dua kali musim peralihan yaitu musim peralihan Barat-Timur dan
musim peralihan Timur-Barat.
Pada musim timur (Juni - Agustus) kondisi perairan relatif tenang sehingga
sangat membantu bagi nelayan dalam mengoperasikan alat tangkapnya. Saat
musim timur perairan laut Banda dan Laut Maluku diduga lebih subur, hal ini
sesuai dengan pernyataan Nontji (2002), bahwa gerakan arus yang cenderung
berasal dari belahan bumi Selatan, namun setelah masuk ke Laut Banda
mengakibatkan terjadinya Upwelling. Akibat dari upwelling ini ditemukannya
suhu air yang rendah di permukaan yaitu rata-rata 3ºC lebih rendah dari pada
musim barat, sedangkan salinitas 1% lebih tinggi. Kandungan fosfat dan nitrat
juga ikut naik menjadi dua kali lipat dan kandungan plankton pun mengalami
peningkatan. Dilanjutkan oleh Nontji (2007), bahwa pada bulan Juni-Agustus
aruas kuat datang dari utara Papua yang terlebih dahulu melingkari ujung selatan
Halmahera untuk kemudian berbelok ke utara dan kembali ke Samudera Pasifik
bersatu dengan arus Sakal Khatulistiwa (Equatorial Counter Current).
Dengan adanya arus maka masa air dilapisan permukaan akan terbawa
mengalir, sebagai akibatnya air dari lapisan bawah naik ke permukaan yang
dikenal dengan upwelling yang kaya akan unsur hara. Konsentrasi unsur hara
yang tinggi di lokasi upwelling meningkatkan kesuburan perairan sehingga
mendukung kelimpahan dan pertumbuhan plankton yang kemudian memberikan
daya tarik bagi ikan-ikan untuk mencari makan.
141

Hasil penelitian Amri et al., (2006) tentang kondisi hidrologis dan


kaitannya dengan hasil tangkapan ikan malalugis biru di perairan Teluk Tomini
menunjukkan bahwa hasil tangkapan ikan malalugis biru berkorelasi dengan
peningkatan konsentrasi kesuburan perairan yang terjadi pada musim Timur
(bulan Agustus sampai dengan September) akibat terjadi upwelling di bagian
Mulut Teluk. Selanjutnya hasil penelitian Arifin (2006), menemukan bahwa
upwelling, front dan sebaran klorofil-a di perairan Maluku terjadi pada bulan Juli
dan Agustus. Dengan demikian pada bulan-bulan tersebut kondisi perairan kaya
akan unsur hara. Kondisi lingkungan seperti ini sangat mendukung keberadaan
ikan layang dalam mendapatkan makanan untuk kelangsungan hidupnya.
Sebagaimana dikemukakan oleh Laevastu dan Hela (1970), bahwa ikan layang
sangat peka terhadap perubahan lingkungan dan biasanya beruaya mengikuti
kadar garam dan ketersediaan makanan. Habitat lingkungan yang disenangi
umumnya sekitar upwelling dan turbulensi. Demikian pula dikemukakan
Syahailatua (2004) diacu dalam Amri et al., (2006), bahwa daerah upwelling
merupakan daerah penangkapan ikan-ikan pelagis kecil.
Faktor oseanografi seperti salinitas yang cocok juga turut berperan bagi
keberadaa ikan layang di perairan Maluku Utara, dimana kisaran salinitas di
perairan Maluku Utara pada musim timur berkisar antara 32,5-33,5 promil.
Kondisi salinitas seperti ini, memang sesuai dengan kebiasaan hidup dari ikan
layang yang senang beruaya pada perairan dengan salinitas yang tinggi.
Sebagaimana dikemukakan oleh (Djamali, 1995), layang cenderung melakukan
ruaya mengikuti massa air, sebaran salinitas yang tinggi (di atas 32 promil), serta
ketersediaan makanan.
Selain faktor kondisi perairan dan unsur hara musim penangkapan ikan
layang di Maluku Utara diduga dipengaruhi oleh waktu pemijahan dari ikan
tersebut. Hal ini terjadi karena pada saat musim-misim pemijahan biasanya di
manfaatkan nelayan sebagai musim penangkapan bagi ikan layang, dan hal ini
terjadi sebagaimana hasil analisis musim pemijahan pada sub bab sebelumnya
diperoleh puncak musim pemijahan ikan layang di Maluku Utara diduga terjadi
pada bulan April/Mei. Demikian pula yang di temukan Widodo (1998) di perairan
Jawa terhadap jenis ikan yang sama diduga musim puncak pemijahan terjadi
142

pada bulan Agustus/September. Sedangkan musim penangkapan ikan layang di


Maluku Utara terjadi dimulai dari bulan Maret - September dengan musim puncak
terjadi pada bulan Agustus. Kondisi seperti ini bila terjadi secara terus menerus
maka akan memberikan dampak yang buruk terhadap ketersediaan sumberdaya
ikan layang di alam.
Berdasarkan data hasil wawancara dengan nelayan dan data titik koordinat
posisi lokasi pemasangan rumpon, maka dengan bantuan perangkat lunak
AreView Gis 33 dapat dipetakan daerah penangkapan dan musim penangkapan
ikan layang di perairan Maluku Utara.
Daerah penangkapan ikan layang di Maluku Utara tidak tersebar merata di
setiap perairan, hanya terkonsentrasi pada daerah tertentu. Pemanfaatan ikan
layang di bagian tengah Maluku Utara dilakukan oleh nelayan yang berpangkalan
di PPN Ternate dan PPI Dufa-dufa dan sebagian besar daerah penangkapannya
berada di perairan barat Halmahera antara pulau Ternate hingga ujung Utara
Halmahera diantaranya mencakup wilayah perairan Batang Dua, Ternate,
Tidore, Mare, Moti, Makian hingga perairan sekitar pulau Kayoa. Dan biasanya
kegiatan penangkapan di lokosi-lokasi tersebut di lakukan pada akhir bulan
Februari hingga Mei dan bulan Juli hingga September.
Pemanfaatan ikan layang di bagian selatan Maluku Utara tersebar
disepanjang ujung selatan Halmahera hingga bagain barat pulau Bacan tepatnya di
perairan antara pulau Kasiruta hingga mencapai perairan laut Maluku bagi armada
yang berukuran relatif besar. Kegiatan penangkapan di daerah tersebut biasanya
dilakukukan oleh nelayan yang berpangkalan di PPP Bacan dan kegiatan
penangkapan dilakukan sekitar bulan April - Oktober. Sedangkan pemanfaatan
ikan layang di perairan bagian Utara Maluku Utara dilakukan oleh nelayan yang
berpangkalan di PPP Tobelo yaitu sebagian besar tersebar di perairan utara
Morotai dan perairan sekitar Teluk kao di mana waktu penangkapan dilakukan
dari bulan April - September. Umumnya puncak-puncak waktu penangkapan ikan
layang di perairan Maluku utara dimulai dari bulan Maret hingga Oktober.
Pemetaan sebaran ikan layang secara bulanan di perairan Maluku Utara
bervariasi sepanjang tahun, hal tersubut disebabkan ikan akan selalu mencari
habitatnya yang cocok untuk melangsungkan kehidupannya. Keberadaan ikan
143

pada suatu daerah penangkapan sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor


lingkungan. Suhu dan salinitas merupakan faktor oseanografi yang sangat
berpengaruh terhadap sebaran ikan pelagis termasuk ikan layang (Leavestu dan
Hayes 1981). Daerah penangkapan ikan dikatakan baik bila tersedia ikan,
parameter oseanografi mendukung, serta kondisi perairan mendukung untuk
pengoperasian alat tangkap.

5.7 Pola Pengembangan Berkelanjutan Sumberdaya Ikan Layang di


Perairan Maluku Utara

Pola pengembangan yang dimaksud dalam kajian ini adalah sebuah bentuk
atau kerangka pengembangan berkelanjutan terhadap sumberdaya ikan layang di
provinsi Maluku Utara, bukan merupakan pemodelan atau model matematis.
Secara umum pola pengembangan berkelanjutan sumberdaya ikan layang adalah
bentuk pengaturan terhadap jumlah hasil tangkapan dan ukuran ikan yang
ditangkap sebagai respon terhadap kondisi perikanan dan tingkat eksploitasi yang
terus meningkat.
Setalah mempertimbangkan aspek-aspek yang telah dikaji pada hasil dan
pembahasan, maka diperoleh keragaan nilai optimal untuk semua kompenen
perikanan layang yang menjadi fokus kajian di perairan Maluku Utara yaitu terdiri
dari: (1) alat tangkap ikan layang pilihan (mini purse seine), (2) pemanfaatan
sumberdaya ikan layang optimal, (3) biologi ikan layang, (4) mesh size optimum
alat tangkap pilihan (mini purse seine), serta (5) waktu dan daerah penangkapan
ikan layang yang tepat. Keragaan nilai optimal ini selanjutnya menjadi pola bagi
pengembangan berkelanjutan sumberdaya ikan layang di Maluku Utara. Secara
jelas pola pengembangan berkelanjutan sumberdaya ikan layang di perairan
Maluku Utara dapat dirangkum pada Gambar 30.
144

POLA PENGEMBANGAN

Mesh Size Optimum Pemanfaatan Sumberdaya


Alat Tangkap Pilihan Alat Tangkap Ikan Ikan Layang Optimal
(mini purse seine) Layang Pilihan
C opt = 19.754, 248 ton/thn
- Bagian badan & sayap = 5,08 cm Mini purse seine E opt = 28.135 trip/thn
(2 inci) π max = Rp. 90.717.199.850,00
- Bagian kantong = 2,54 cm (1 inci) Alokasi E opt = 202 unit
Tenaga kerja opt = 2626 orang

Biologi Ikan Layang


- Kisaran panjang 211 – 315 mm
- Rasio kalamin jantan dan betina Usaha Perikanan Ikan
1 : 1,8. Layang Berkelanjutan
- Pertumbuhan ikan betina lebih cepat
dari ikan jantan.
- Panjang maks ikan betina (335,73)
mm dan jantan (330,34 mm) di capai
pada usia 4 tahun.
- Pola pertumbuhan Alometrik minor Waktu dan Daerah Penangkapan Ikan Layang yang Tepat
- Matang gonad terbanyak pada bulan ¾ Pola musim penangkapan: bulan Maret - Oktober dengan puncak
Maret dan ukuran panjang pertama musimnya bulan Agustus (musim timur).
kali matang gonad 25,8 cm. ¾ Musim penangkapan ikan layang pada tiap DPI:
- Pola pemijahan terjadi beberapa kali • Bagian tengah Maluku Utara: Perairan Batang Dua, Ternate,
selama musim pemijahan dengan Mare, Moti, Makian dan Perairan Kayoa. Musim penangkapan
puncaknya bulan April/Mei. bulan Feb - Mei dan Juli - Sept.
- Fekunditas sebanyak 288875 – 84000 • Bagian selatan Maluku Utara: Perairan Obi, Bacan dan Laut
buitr dengan kisaran panjang ikan Maluku. Musim penangkapan bulan April - Okt.
268 – 310 mm.
• Bagian Utara Maluku Utara: Perairan Utara Morotai dan Teluk
Kao. Musim penangkapan bulan Apr -Sept.

Implikasi Kebijakan
- Mini purse seine, unit penangkapan prioritas yang dikembangkan dalam perikanan layang.
- Pembatasan jumlah produksi agar tidak melebihi nilai produksi optimum, yaitu sebasar 19.754,24 ton/thn,
sehingga dapat mengurangi tingkat upaya untuk mengcegah terjadinya biolgical dan economical overfishing.
- Pengurangan dan pembatasan jumlah unit mini purse seine hingga mencapai jumlah optimal yaitu 202 unit, dan
tidak lagi memperpanjang ijin usahanya hingga mencapai titik optimalnya.
- Pembatasan semantara waktu operasi penangkapan pada waktu puncak musim pemijahan.
- Penerapan batas minimum mesh size mini purse seine dan pelarangan pendaratan ikan-ikan dibawah ukuran
belum pernah memijah.
- Perluasan DPI layang hingga mencapai 4 – 6 mil laut dari fishing base.
- Melakukan pengalihan unit mini purse seine yang berlebih ke unit penangkapan lainnya yang belum optimal,
seperti pada usaha penangkapan ikan demersal.
- Mengarahkan nelayan yang tidak terserap, dengan melakukan kegiatan usaha perikanan lainnya yang dianggap
belum optimal, seperti perikanan tangkap ikan demersal, usaha pengolahan dan budidaya ikan.
- Pengaturan kembali sistem bagi hasil dalam usaha perikanan ikan layang.
- Peningkatan kapasitas cool storage dan penerapan teknologi tepat guna untuk menjaga mutu ikan layang dengan
tujuan untuk meningkatkan pendapatan nelayan yang selama ini hanya tertumpuh pada penjualan ikan segar.
- Koordinasi antara pemerintah Kabupaten/Kota dengan pemerintah Provinsi Maluku Utara untuk melakukan
pengawasan terhadap kebijakan yang diterapkan.

Gambar 30 Pola pengembangan berkelanjutan sumberdaya ikan layang di perairan Maluku Utara.
145

Berdasarkan keragaan nilai optimal dari komponen perikanan layang dikaji


serta keterkaitan antara berbagai kompenen tersebut, maka dihasilkan beberapa
implikasi kebijakan yang nantinya sangat berguna dan diharapkan akan menjadi
acuan dalam pengembangan berkelanjutan sumberdaya ikan layang di perairan
Maluku Utara.
Beberapa implikasi kebijakan yang dihasilkan dari pola pengembangan
berkelanjutan sumberdaya ikan layang di Maluku Utara adalah sebagai berikut :
1) Mini purse siene adalah jenis teknologi penangkapan yang diprioritaskan
untuk dikembangkan dalam mengeksploitasi sumberdaya ikan layang di
perairan Maluku Utara.
2) Pembatasan produksi hasil tangkapan ikan layang agar tidak melebihi nilai
produksi optimum, yaitu sebasar 19.754,24 ton per tahun, sehingga dapat
mengurangi tingkat upaya untuk mengcegah terjadinya biological dan
economical overfishing.
3) Membuat dan menetapkan regulasi tentang pengurangan dan pembatasan
jumlah unit mini purse seine hingga mencapai jumlah optimal yaitu 202
unit dan tidak lagi memperpanjang ijin usahanya hingga mencapai titik
optimalnya.
4) Perlu dilakukan pembatasan sementara waktu operasi penangkapan pada
waktu (bulan) musim puncak pemijahan ikan layang.
5) Perlu diterapkannya batas minimum mesh size alat tangkap mini purse seine
dan pelarangan pendaratan ikan-ikan di bawah ukuran belum pernah
memijah.
6) Kegiatan penangkapan dibatasi pada daerah dekat pantai dan sebaiknya
diarahkan hingga mencapai 4 - 6 mil laut dari fishing base.
7) Melakukan pengalihan unit mini purse seine yang berlebih ke unit
penangkapan yang belum optimal, seperti pada usaha penangkapan ikan
demersal.
8) Mengarahkan nelayan yang tidak terserap, dengan melakukan kegiatan
usaha perikanan lainnya yang dianggap belum optimal, seperti perikanan
tangkap ikan demersal, usah pengolahan dan budidaya ikan.
146

9) Pengaturan kembali sistem bagi hasil dalam usaha perikanan ikan layang.
10) Peningkatan kapasitas cool storage dan penerapan teknologi tepat guna
untuk menjaga mutu ikan layang dengan tujuan untuk meningkatkan
pendapatan nelayan yang selama ini hanya tertumpuh pada penjualan ikan
segar.
11) Pemerintah daerah Kabupaten/Kota perlu berkoordinasi dengan pemerintah
Provinsi Maluku Utara untuk melakukan pengawasan terhadap kebijakan
yang diterapkan dalam pemanfaatan sumberdaya ikan layang.

Hasil identiifikasi jenis teknologi penangkapan terpilih berdasarkan kaidah


aspek biologi, teknis, sosial, ekonomi masing-masing memilih mini purse seine
sebagai alat tangkap yang layak dikembangkan. Penekanan terhadap aspek
keramahan lingkungan maka mini purse seine berada pada posisi prioritas kedua
setalah jaring insang hanyut. Namun tinjauan terhadap keseluruhan aspek memilih
mini purse seine sebagai alat tangkap utama yang layak dikembangkan dalam
pemanfaatan sumberdaya ikan layang di perairan Maluku Utara. Hasil ini sesuai
dengan pernyataan Haluan dan Nurani (1988), dan Yuliansyah (2002) yang
menyatakan bahwa alat tangkap purse seine adalah alat tangkap yang paling
produktif untuk dikembangkan. Penelitian tentang penentuan unit penangkapan
pilihan ikan layang juga pernah dilakukan oleh Arifin (2008) di Kabupaten
Selayar Provinsi Sulawesi Selatan, memilih purse seine sebagai alat tangkap yang
di prioritaskan untuk dikembangkan di daerah tersebut.
Beberapa keunggulan mini purse seine yang telah diidentifikasi antara lain
adalah penyerapan yang paling tinggi terhadap kebutuhan tenaga kerja, memilki
produkstivitas yang tinggi, hasil tangkapan bermutu baik, dan tingginya
keuntungan bersih yang dicapai.
Keunggulan mini purse seine yang perlu dipertahankan dan dikembangkan
adalah kemampuan menyerap tenaga kerja yang cukup besar dan produktivitas
yang paling tinggi yang memungkinkan mendapat keuntungan yang tinggi pula.
Hal senada juga dihasilkan oleh Suardi (2005), yang mengkaji tentang
pengembangan perikanan tangkap pelagis kecil untuk pemberdayaan nelayan di
Kota Palopo, yang mana merekomendasikan pukat cincin sebagai unit
penangkapan unggulan karena memiliki trend produktivitas yang produktif.
147

Berdasarkan keunggulan-keunggulan yang dimilki alat tangkap mini purse seine


tersebut, dapat menggambarkan bahwa aspek sosial dan ekonomi dalam
pemanfaatan sumberdaya ikan layang di Maluku Utara merupakan prioritas utama
yang dipertimbangkan.
Kelebihan lain dari mini purse seine adalah ikan hasil tangkapannya bermutu
baik. Hal ini disebabkan oleh fungsi jaring pada mini purse seine yang hanya
sebagai dinding penghalang lolosnya ikan yang telah dikelilingi. Namun disisi
lain kelebihan tersebut membawa dampak negatif dari mini purse seine yang
kecilnya mesh size jaring sehingga ikan-ikan yang berukuran kecil sulit untuk
meloloskan diri ketika sudah dikelilingi alat tangkap.
Keunggulan mini purse seine perlu dipertahankan dan dapat dikondisikan
serta dioptimalkan di lapangan. Sedangkan kekurangannya diupayakan untuk
diminimalkan. Dengan mengenali keunggulan dan kekurangan mini purse seine
secara baik dan megantisipasi efek negitifnya, maka pemanfaatan sumberdaya
ikan layang secara berkelanjutan dapat tercapai.
Alokasi hasil tangkapan yang dianjurkan dalam pemanfaatan sumberdaya
ikan layang di perairan Maluku adalah sebasar 19.754, 248 ton per tahun,
sehingga dapat mengurangi tingkat upaya untuk mengcegah terjadinya biolgical
dan economical overfishing. Mengingat keterbatasan akses dan sumberdaya ikan
layang yang hanya terkonsentrasi disekitar perairan pantai, pembatasan jumlah
hasil tangkapan sebnyak 19.754, 248 ton tersebut harus dilakukan walaupun
secara biologi belum mencapai titik MSY. Dengan adanya pembatasan tersebut
diharapkan kontinuitas sumberdaya ikan layang pada tahun-tahun berikutnya
tetap terjaga.
Jumlah unit penangkapan mini purse seine yang ada pada tahun 2007 adalah
213 unit. Sedangkan jumlah unit mini purse seine yang optimal yang dialakosikan
sebesar 202 unit. Dengan demikian perlu dilakukan pengurangan jumlah upaya
sebesar 11 unit. Disamping itu tidak lagi dilakukan perpanjangan ijin usaha unit
penangkapan mini purse siene hingga mencapai titik optimalnya. Pengurangan
jumlah unit penangkapann yang berlebih dan pembatasan izin usaha untuk
sementara adalah sangat dianjurkan agar kegiatan operasi penangkapan dapat
berlangsung efisien.
148

Penetapan hasil tangkapan sesuai dengan quota untuk pengelolaan


sumberdaya ikan layang di perairan Maluku Utara perlu dilakukan guna mengatur
pemanfaatan stok dari sumberdaya ikan layang di wilayah ini. Bergin dan Haward
(1994) melaporkan bahwa sejak 1985, Australia, Jepang, dan Selandia Baru
sebagi pemilik hak quota telah menentukan quota tahunan untuk memanfaatkan
stok tuna sirip biru. Holden (1995) menambahkan bahwa alokasi hasil tangkapan
dan upaya penangkapan ikan telah diterapkan beberapa dekade yang lalu seperti
untuk stok ikan plaice, round fish, cod, haddok dan whitting di Laut Utara (sistem
TAC), ikan tuna di Samudera Pasifik, Atlantik, dan Hindia (sistem quota), dan
stok mackerel di perairan English dan Bristol Channel (pembatasan jumlah alat
tangkap dan close season).
Bergin dan Haward (1994) memberikan fakta untuk kasus stok tuna sirip
biru, walaupun kebijakan sistem quota telah diterapkan sejak tahun 1985,
kolepsnya sumberdaya ikan tersebut tidak dapat dicegah oleh karena adanya
permintaan pasar yang tinggi terhadap konsumsi ikan tersebut, sehingga hasil
tangkapan mengalami penurunan drastis. Oleh karena itu Bergin dan Haward
(1994) dan FAO (1994) agar pembatasan alokasi hasil tangkapan juga disertai
dengan peraturan lainnya seperti mengurangi tingkat upaya penangkapan,
melakukan penutupan area (closed area) di tempat yang diduga sebagai tempat
bertelur selama musim bertelur (closed season).
Keberhasilan nelayan dalam menangkap ikan sangat dipengaruhi oleh
ketersedian stok ikan di perairan. Nelayan biasanya tidak akan pergi melaut untuk
beberapa waktu bila hasil tangakapan yang diperoleh sebelumnya sedikit dan
akan melaut kembali atau meningkatkan upaya penangkapan ketika tiba musim
ikan.
Pola musim penangkapan ikan layang di Maluku Utara berdasarkan hasil
analisis berlangsung pada bulan Maret-Oktober dengan puncak penangkapan
berlangsung pada bulan Agustus yang bertepatan dengan musim timur. Pada
musim timur merupakan musim penangkapan ikan layang disebabkan pada
musim ini kondisi perairan relatif tenang sehingga sangat membantu bagi nelayan
dalam mengoperasikan alat tangkapnya. Disamping itu pada musim timur di
perairan Maluku dan Maluku Utara diduga lebih subur, karena terjadinya
149

upwelling, sehingga kondisi perairan menjadi kaya akan unsur hara dan sangat
mendukung bagi keberadaan ikan layang untuk mendapatkan makanan. Kondisi
salinitas yang relatif tinggi pada musim timur ternyata turut memberikan dampak
positif bagi keberadaan ikan layang di perairan Maluku Utara.
Pola musim sangat berpengaruh pada hasil tangkapan ikan layang, karena
waktu penangkapan yang baik dapat memungkinkan ikan layang hidup dan
berkembang di perairan Maluku Utara, sehingga hasil tangkapannya pun
menguntungkan.
Berdasarkan hasil penelitian tentang parameter populasi ikan layang yaitu
berkaitan dengan musim pemijahan ikan layang menunjukkan bahwa puncak
pemijahan ikan layang terjadi pada bulan April atau Mei. Hasil kajian tersebut
menunjukkan bahwa pola musim penangkapan ikan layang di perairan Maluku
Utara berlangsung pada saat musim pemijhan ikan. Oleh karena itu perlu di
dilakukan pembatasan waktu operasi penangkapan pada saat musim puncak
pemijahan ikan layang. Dengan kata lain perlu diterapkan kabijakan penutupan
musim penangkapan bagi para nelayan, karena kondisi seperti ini bila terjadi
secara terus menerus maka akan memberikan dampak yang buruk terhadap
ketersediaan sumberdaya ikan layang di alam.
Penutupan musim penangkapan ikan merupakan pendekatan pengelolaan
sumberdaya ikan, yang umumnya dilakukan di negara dimana sistem penegakan
hukumnya sudah maju. Pelaksanaan pendekatan ini didasarkan pada sifat sumber
daya ikan yang sangat tergantung pada musim, dan sering kali hanya ditujukan
pada satu spesies saja dalam kegiatan perikanan yang bersifat multi species.
Beddington dan Ratting (1984) diacu dalam Nikijuluw (2002) mengemukakan
adanya dua bentuk penutupan musim, yaitu : (1) Penutupan musim penangkapan
ikan pada waktu tertentu untuk memungkinkan ikan melakukan aktivitas
pemijahan dan berkembang biak, (2) Penutupan kegiatan penangkapan ikan
dengan alasan sumber daya ikan telah mengalami degradasi dan ikan yang
ditangkap semakin sedikit.
Informasi biologi yang digunakan sebagai dasar penerapan batas minimum
adalah ukuran lingkar badan ikan. Hasil penelitian menghasilkan persamaan
hubungan yang linear antara lingkar badan dengan panjang ikan dengan koefisien
150

korelasi 0,89. Hubungan antara panjang ikan (X) dan lingkar badan (Y)
ditunjukkan oleh persamaan Y = -2.3283 + 0.4836 X.
Perhitungan ukuran pertama kali matang gonad diperoleh panjang total ikan
258 mm (25,8 cm) untuk layang jantan maupun betina. Sedangkan panjang
lingkar badan ikan layang biru yang tertangkap ketika matang gonad adalah 10,15
cm. Alat tangkap mini purse seine yang digunakan dalam menangkap ikan layang
biru memilki ukuran mesh size 2,54 cm – 3,81 cm (1 inchi – 1,5 inchi) untuk
bagian badan dan sayap sedangkan bagian sayap 1,90 cm (0,75 inchi). Dengan
demikian ukuran mata jaring alat tangkap yang digunakan dalam menangkap ikan
layang biru tidak mampu meloloskan ikan pada ukuran pertama kali matang
gonad dan ukuran ikan dibawah ukuran pertama kali matang gonad. Berdasarkan
fakta tersebut maka mata jaring mini purse seine idial yang seyogianya digunakan
agar dapat meloloskan ukuran ikan yang belum pernah memijah yaitu 5,08 cm (2
inchi) untuk bagian badan dan sayap, sedangkan bagian kantong ukuran mesh size
2.54 cm (1 inchi).
Alasan yang menjadi dasar penerapan batas minimum mesh size jaring atau
ukuran ikan yang tertangkap dalam pemanfaatan sumber daya ikan layang adalah
memberi kesempatan ikan muda dan atau yang berukuran kecil untuk meloloskan
diri sebelum proses penangkapan berakhir. Penerapan Kebijakan ini sangat
diperlukan untuk tetap mempertahankan keberadaan ikan layang di perairan
Maluku Utara, agar tidak terjadi kelebihan tangkap ikan dalam masa pertumbuhan
(growth overfishing).
Bentuk kebijakan ini pada hakekatnya lebih ditujukan untuk mencapai atau
mempertahankan struktur umur yang paling produktif dari stok ikan. Hal ini
dilakukan dalam rangka memberi kesempatan pada ikan yang masih muda untuk
tumbuh, dan bertambah nilai ekonominya serta kemungkinan berreproduksi
sebelum ikan tersebut ditangkap. Kebijakan ini akan berdampak pada komposisi
hasil tangkapan dan ukuran individu ikan yang tertangkap. Penerapan kebijakan
ini secara tunggal (tidak diikuti oleh kebijakan lain), akan mengakibatkan tidak
terkontrolnya jumlah hasil tangkapan, karena jumlah kapal yang melakukan
penangkapan tidak terkontrol. Oleh karena itu penerapan kebijakan batas
minimum mesh size jaring perlu disertai dengan peraturan pelarangan pendaratan
151

ikan-ikan dibawah ukuran yang diizinkan, yaitu menghilangkan setiap keinginan


dari nelayan mempergunakan mesh size jaring yang lebih kecil.
Beddington dan Retting (1984) diacu dalam Bintoro (2005) mengemukakan
alasan pembatasan minimum mesh size adalah ikan muda yang umumnya
berukuran kecil akan mampu meloloskan diri dari penangkapan yang
menggunakan alat tangkap jaring yang mempunyai mesh size besar sehingga
dapat meningkatkan kemungkinan ikan muda untuk tumbuh dan menambah
kepadatan stok ikan tersebut pada musim berikutnya. Untuk pemanfaatan sumber
daya ikan layang di perairan Maluku Utara, minimum mesh size alat tangkap perlu
ditentukan agar ikan muda mempunyai kesempatan untuk berkembang dan
menambah stok ikan layang pada musim berikutnya.
Usaha pemanfaatan sumberdaya ikan layang di perairan Maluku Utara
menjadi sensitif karena eksploitasi biasanya dilakukan di sekitar pantai yang
menjadi wilayah kritis bagi keberlanjutan stok sumber daya. Kegiatan
penangkapan ikan layang lebih dominan di lakukan oleh kapal-kapal mini purse
seine dengan kapasitas 13 - 18 GT dengan panjang jaring 200 - 300 meter dan
daerah penangkapannya hanya berjarak sekitar 2 hingga 3 mil dari fishing base,
sehingga apabila kegiatan ini dilakukan dalam waktu yang berkepanjangan maka
berdampak pada terjadi over fishing, yang mana faktor pemicunya karena
lemahnya penegakkan hukum dan aturan-aturan terhadap jalur-jalur penangkapan
ikan berdasarkan ukuran effort.
Berdasarkan batas wilayah laut yang diperuntukan sesuai dengan kawasan
yang layak untuk perikanan tangkap dengan jalur penangkapan alat tangkap purse
seine dengan ukuran kurang dari 150 meter berada pada jalur penangkapan 3
sampai 6 mil laut (Departemen Kelautan dan Perikanan, 2002). Dengan demikian
penggunaan daerah penangkapan untuk eksploitasi sumber daya ikan layang di
Maluku Utara perlu di lakukan perluasan. Ditambahkan oleh Purbayanto (2003),
salah satu konsep pembangunan berkelanjutan yang harus diupayakan adalah
membatasi dan mengendalikan jumlah armada penangkapan ikan tradisional yang
beroperasi di wilayah perairan pantai pada jalur penangkapan Ia (perairan pantai
hingga 3 mil). Pembatasan ini dilakukan dengan cara hanya memperbolehkan
penggunaan alat tangkap yang bersifat ramah lingkungan (yaitu alat tangkap yang
152

memiliki keragaan selektivitas tinggi dan tidak bersifat destruktif) dan


dioperasikan dengan perahu tanpa motor maupun perahu motor tempel, melalui
pemberian izin penangkapan ikan hanya bagi armada-armada tersebut.
Agar hal ini dapat berjalan sesuai yang diharapkan maka penerapan
kebijakan perluasan daerah penangkapan ikan layang di perairan Maluku Utara
sudah saatnya dilakukan dengan membuat aturan mengacu pada jalur-jalur
penangkapan ikan berdasarkan ukuran effort.
Berdasarkan hasil analisis alokasi optimum upaya penangkapan ikan layang
di Maluku Utara, salah tujuan utama yang tidak tercapai adalah mengoptimalkan
tingkat penyerapan tenaga kerja, karena masih berada di bawah target pencapaian
yaitu sebanyak 2626 orang. Sesuai dengan kondisi ideal untuk usaha penangkapan
ikan layang, maka perlu mengarahkan sebagian nelayan yang tidak terserap dalam
pengalokasian ini, untuk mengisi kebutuhan tenaga kerja pada usaha perikanan
tangkap yang belum optimal sebagai sumber alternative income seperti pada
usaha perikanan demersal dengan alat tangkap hand line, usaha pengolahan dan
usaha budidaya ikan melalui program peningkatan kualitas dan ketrampilan
nelayan. Pengalihan tenaga kerja yang tidak terserap pada unit penangkapan yang
berlebihan sangat dianjurkan guna menghindari terjadinya pengangguran.
Pengaturan kembali sistem bagi hasil dalam usaha perikanan ikan layang di
Maluku Utara perlu ditinjau kembali oleh pemerintah dalam hal ini instansi yang
terkait agar nelayan ABK sebagai tulang punggung dalam kegiatan usaha
penangkapan tidak lagi menerima pembagian hasil usaha paling rendah
dibandingkan dengan Pemilik modal, Juragan laut dan Juru Mesin. Sehingga
diharapkan dengan hasil kerja yang dilakukan bisa memperoleh upah yang layak
dangan rata-rata per bulannya di atas standard upah minimum. Kondisi yang
sama juga dialami nelayan purse seine di Provinsi Bali, sebagaimana yang
kemukakan oleh Bangkit (2005), bahwa berdasarkan hasil analisis pendapatan
nelayan diperoleh pendapatan nelayan buruh (ABK) dinyatakan tidak layak,
sedangkan pendapatan nelayan lainnya serta pemilik modal adalah layak.
Peningkatan kapasitas cold storage dan penerapan teknologi tepat guna
untuk menjaga mutu ikan layang, bertujuan untuk meningkatkan pendapatan
nelayan skala kecil yang selama ini hanya tertumpuh pada penjualan ikan segar.
153

Kebijakan ini diambil untuk mengurangi kelemahan modal usaha (biaya)


pengadaan alat tangkap oleh nelayan skala kecil dengan memanfaatkan peluang
dalam pengadaan cold storage dan kapal penampung ikan hasil tangkapan.
Peningkatan kapsitas cold storage perlu dilakukan agar dapat menampung
ikan-ikan yang tertangkap pada saat musim penangkapan. Selain itu juga
dimaksudkan agar ikan yang tertangkap tersebut selain dapat dipasarkan di
pasaran lokal, juga dapat dipasarkan keluar daerah (dalam lingkup regional)
maupun dapat diekspor ke luar negeri
Pengawasan dan pengendalian terhadap aplikasi kebijakan perlu dilakukan
agar regulasi berupa aturan tentang pengembangan berkelanjutan sumberdaya
ikan layang di Maluku Utara dapat berjalan secara baik. Sebagaimana
dikemukakan oleh Barston (1995), bahwa kebijakan terbaikpun untuk konservasi
sumberdaya akan mengalami kegagalan jika tanpa disertai dengan pengawasan
yang efektif terhadap penerapan kebijakannya. Pengawasan ini harus melibatkan
sistem koordinasi yang baik antara pemerintah daerah kabupaten/kota dengan
pemerintah Provinsi Maluku Utara. Seperti halnya yang dilaporkan oleh Kusnadi
(2003), bahwa dalam pemanfaatan sumberdaya perikanan di Teluk Tomini,
pemerintah Daerah Kabupaten/Kota dan Provinsi di sekitar Teluk Tomini telah
berupaya saling bekerja sama dalam membuat aturan untuk mengendalikan
eksploitasi sumberdaya perikanan di perairan tersebut dan melakukan pengawasan
terhadap penerapan peraturan yang telah disusun.
154

6 KESIMPULAN DAN SARAN

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah diuraikan pada bab
sebelumnya, maka dapat disimpulkan sebagai berikut:

6.1 Kesimpulan
1. Alat tangkap pilihan dalam pemanfaatan sumberdaya ikan layang di perairan
Maluku Utara adalah “mini purse seine”.
2. Hasil tangkapan optimum ikan layang di Maluku Utara sebesar 19.754, 25
ton per tahun dengan upaya penangkapan optimum 28.135 trip stándar mini
purse seine sehingga keuntungan maksimum yang diperoleh Rp.
90.717.199.850,00. Alokasi optimum unit penangkapan pilihan (mini purse
seine) 202 unit dan jumlah nelayan optimum yang terserap 2626 orang.
3. Hasil penelitian biologi ikan layang biru (ikan layang yang dominan
tertangkap) menunjukkan pertumbuhan ikan betina lebih cepat dari pada
ikan jantan dan keduanya mencapai panjang maksimum pada usia 4 tahun.
Pola pertumbuhan bersifat ”alometrik minor”. Ikan yang tertangkap
didominasi ikan-ikan yang belum matang gonad. Jumlah terbanyak matang
gonad ditemukan pada bulan Maret. Kematangan gonad pertama kali di
capai pada ukuran panjang total rata-rata 25,8 cm. Puncak pemijahan
berlangsung pada bulan April/Mei. Fekunditas yang diperoleh berkisar dari
28875 - 84000 butir dengan kisaran panjang 268 - 310 mm. Jumlah telur
dipengaruhi oleh panjang ikan, yaitu semakin panjang ukuran induk ikan
maka semakin bertambah jumlah telurnya.
4. Mesh size minimum alat tangkap mini purse seine yang sebaiknya
digunakan dalam mengeksploitasi sumberdaya ikan layang di perairan
Maluku Utara adalah 5,08 cm (2 inci) untuk bagian badan dan sayap,
sedangkan bagian kantong berukuran 2,54 cm (1 inci).
5. Musim penangkapan ikan layang di perairan Maluku Utara berlangsung dari
bulan Maret hingga Oktober dengan puncak musimnya dicapai pada bulan
Agustus yaitu pada musim timur, sedangkan bukan musim penangkapan
yaitu pada bulan Desember hingga Februari bertepatan dengan musim barat.
155

Daerah penangkapan dan musim penangkapan ikan layang di berbagai


daearah di wilayah perairan Maluku Utara:
- Bagian tengah Maluku Utara : Perairan Batang Dua, Ternate, Tidore,
Mare, Moti, Makian dan Kayoa. Musim penangkapan pada bulan
Februari - Mei dan bulan Juli - September.
- Bagian selatan Maluku Utara: Perairan Obi, Bacan dan laut Maluku.
Muism penangkapan pada bulan April – Oktober.
- Bagian Utara Maluku Utara: Perairan Utara Morotai dan Teluk Kao.
Musim penangkapan pada bulan April – September.
6. Telah disusun suatu pola pengembangan berkelanjutan sumberdaya ikan
layang di perairan Maluku Utara. Pola ini mencakup 5 kompenen yaitu :
Mini purse seine sebagai alat tangkap ikan layang pilihan, pemanfaatan
sumberdaya ikan layang optimal, biologi ikan layang, mesh size optimum
alat tangkap pilihan (mini purse seine) serta waktu dan daerah penangkapan
ikan layang yang tepat .

6.2 Saran
1. Pemerintah Daerah Maluku Utara dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota
di wilayah Maluku Utara harus berkoordinasi untuk membuat peraturan
yang kuat dengan melibatkan nelayan sebagai salah satu stakeholder sebagai
dasar guna mengontrol dan mengendalikan pelaksanaan kebijakan yang
direkomendasikan dalam pengembangan berkelanjutan sumberdaya ikan
layang.
2. Pengkajian stok terhadap sumberdaya ikan layang harus dilakukan setiap
tahun untuk menentukan nilai hasil tangkapan dan upaya penangkapan
optimum.
3. Diharapkan pola ini dapat di terapkan dan ditindaklanjuti dalam program
pengembangan perikanan pelagis kecil dan lebih spesifik lagi untuk
perikanan ikan layang di provinsi Maluku Utara.
4. Saran nomor 1 - 4 akan rasional apabila terdapat rencana pengelolaan
perikanan di wilayah Maluku Utara.
156

DAFTAR PUSTAKA
Agrawal RC, and Earl O Heady. 1973. Operations Research Methods for
Agricultural Decisions. The Law State University Pres, Ames. Pg 303 .

Allen G. 1999. Marine Fishes of South-East Asia. Western Australian Museum.


292 p.

Amri K. Suwarso. Awaludin. 2006. Konisi Hidrologis dan Kaitannya dengan


Hasil Tangkapan Ikan Malalugis (Decapterus macarellus) di Perairan Teluk
Tomini. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia. Vol. 12, No.3. Pusat Riset
Perikanan Tangkap. Badan Riset Kelautan dan Perikanan. Departemen
Kelautan dan Perikanan. Jakarta. Hal 183 – 191.

Andrianto L. 2006. Agenda Makro Revitalisasi Perikanan yang Berkelanjutan.


Inovasi, Vol 6/XVII. Jepang,. pp: 23-29.

Arifin I. 2006. Penentuan Daerah Penangkapan Ikan Cakalang dengan Data Satelit
Multi Sensor di Perairan Laut Maluku [tesis]. Sekolah Pascasarjana. Institut
Pertanian Bogor. Bogor. 94 hlm.

Arifin F. 2008. Optimasi Perikanan Layang di Kabupaten Selayar Propinsi


Sulawesi Selatan. [tesis]. Sekolah Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor.
Bogor. 97 hal.

Arimoto T. 1999. Research and Education System of Fishing Technology in


Japan. The 3 rd JSPS International Seminar. Suistainable Fishing
Technology in Asia Toward the 21 st Century. Pg 32-37.

Asikin D. 1971. Synopsis Biologi Ikan Layang (Decapterus spp). Lembaga


Penelitian Perikanan Laut. Jakarta. 29 hal.

Atmaja, S.B. dan Haluan, J. 2003. Perubahan Hasil Tangkapan Lestari Ikan
Pelagis di Laut Jawa dan Sekitarnya. Bulletin PSP, Vol. X11 No. 2.
Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan. Institut Pertanian
Bogor. Bogor. Hal: 31-40.

Atmajaya, S.B. dan Nugroho, D. 2005. Aplikasi Model Beverton dan Holt bagi
Ikan Layang (Decapterus spp) di Laut Natuna dan sekitarnya. Jurnal
Penelitian Perikanan 11(6): Hal 1-6.

Ayodhyoa A.U. 1981. Metode Penangkapan Ikan. Yayasan Dewi Sri. Bogor.
81 hal.

Balai Penelitian Perikanan Laut. 1992. Ikan-ikan Laut Ekonomis Penting


Indonesia. Pusat Penelitian dan Pengembangan Perikanan. Badan Penelitian
dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian Republik Indonesia.
Jakarta.170 hal.
157

Bangkit Y. 2005. Sistem Penunjang Keputusan Dalam Pengembangan Perikanan


Pukat cincin (Purse seine) DI Provinsi Bali. [Tesis]. Sekolah Pascasarjana.
Institut Pertanian Bogor. Bogor. 320 hal.

Barston R. 1995. United Nation Converence on Straddling and Highly Migratory


Fish Stock. Marine Policy 19 (2): 159-166.

Barus H.R. Badrudin, dan N. Naamin. 1991. Potensi Sumberdaya Perikanan Laut
dan Strategi Pemanfaatannya Bagi Pengembangan Perikanan yang
Berkelanjutan. Prosiding Forum II Perikanan Sukabumi, 18 – 21 Juni 1991.
Pusat Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian.
Jakarta.. 165-180 hal

Baskoro M.S. 2002. Metode Penangkapan Ikan. Diktat Pengajaran Kuliah Jurusan
Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan.
Institut Pertanian Bogor. 54 hal.

Baskoro M.S. 2006. Alat Penangkapan Ikan Berwawasan Lingkungan. Kumpulan


Pemikiran Tentang Teknologi Perikanan Tangkap yang Bertanggungjawab.
Kenangan Purnabakti Prof. Dr. Ir. Daniel R. Monintja. Departemen
Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan. Fakultas Perikanan. IPB Bogor.

Batts B.S. 1972. Sexual Matuarity, Fecundity and Sex Ratio of Skipjack Tuna
(Katsuwonus pelamis, Linn.) in North Carolina Waters. Trans. Amer. Fish.
Soc. 101 (4): Hal 626 – 637.

Bergin A. dan M. Haward. 1994. Soutern bluefin tuna Fishery: Recent


Development in International Management. Marine Policy 8 (3): 263-273.

Bintoro G. 2005. Pemanfaatan Berkelanjutan Sumberdaya Ikan Tembang


(sardinella fimbriata Valenciennes, 1847) di Selat Madura Jawa Timur.
[disertasi ]. Sekolah Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor. 292 hal.

Brandt A. von. 1984. Fish Catching Methods of The World. 3rd Edition.Warwickshire:
Avon Litho Ltd., Stratford-upon-Avon.: 418 pp.

Burhanuddin dan Djamali. 1977. Penelitian Biologi ikan layang (Decapterus


russellli RUPPEL) di Perairan Pulau Panggang, Pulau-Pulau Seribu. Dalam.
Teluk Jakarta Sumberdaya, Sifat-Sifat Oseanologi serta Permasalahannya.
(Ed. M. Hutomo et al). Lembaga Oseanologi Nasional LIPI : Hal 139 – 149.

Burhanuddin, Djamali, A, Maryosewojo S, Muljanto. 1983. Evalusi tentang


Potensi dan Usaha Pengelolaan Sumberdaya Ikan Layang (Decapterus
spp). Lembaga Oseanologi Nasional-LIPI. Jakarta. 61 hal.

Caddy J.F. 1983. Surplus Production Models, pp.29-55. In : Selected Lectures from the
CIDA/FAO/CECAF Seminar on Fishery Resource Evaluation. Casablanca.
Morocco. 6-24 March 1978 : Rome, FAO Canada Funds-in-Trust, FAO/TF/INT
180 Suppl. 166 pp. Issued Also in French.
158

Charles A.T. 1989. Bio-Socio-Economic Fishery Models : Labour Dynamics and


Muib-Objective Management. Can. J. Fish. Aquat. Sci.. 233 p.

Clark C.W. 1985. Bioeconomic Modelling and Fisheries Management. Department of


Mathematics University of British Columbia. A Willey-Interscience Publication
John Wiley ans Sons. New York. 300 p

Cochrane K.L. 2002. Fisheries Management. In Cochrrane, K.L (Editor). A


Fishery Manager’s Guidebook. Management Measure and Their
Application. FAO Fisheries 424. Rome. Pp 1-20.

Criddle K.R. 1993. Optiimal Control of Dynamic Multispecies Fisheries. Univ. Alaska
Sea Grant College Program, Rep. No.93-02:609-629.

Clark C.W. 1985. Bioeconomic Modelling and Fisheries Management. Department of


Mathematics University of British Columbia. A Willey-Interscience Publication
John Wiley ans Sons. New York. 300 p

Dajan A. 1986. Pengantar Metode Statistik Jilid 1. LP3ES. Jakarta. 424 him.

Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Maluku Utara . 2004. Statistik Perikanan
Provinsi Maluku Utara 2003. Pemerintah Provinsi Maluku Utara. 44 hal.

Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Maluku Utara. 2005. Statistik Perikanan
Provinsi Maluku Utara 2004. Pemerintah Provinsi Maluku Utara. 63 hal.

Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Maluku Utara . 2006. Statistik Perikanan
Provinsi Maluku Utara 2005. Pemerintah Provinsi Maluku Utara. 66 hal.

Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Maluku Utara. 2007. Statistik Perikanan
Provinsi Maluku Utara 2006. Pemerintah Provinsi Maluku Utara. 61 hal.

Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Maluku Utara. 2008. Statistik Perikanan
Provinsi Maluku Utara 2007. Pemerintah Provinsi Maluku Utara. 61 hal.

Direktorat Jenderal Perikanan.1979. Buku Pedoman Pengenalan Sumberdaya


Perikanan Laut. Bagian I. Jenis-jenis Ikan Ekonomis Penting. Departemen
Pertanian. Jakarta. 64 hal Fauzi. 2001.
Djamali A. 1995. Sumberdaya Ikan Layang (Decapterus spp) dan
Pengelolaannya di Perairan Indonesia. Pidato Pengukuhan Ahli Peneliti
Utama. Puslitbang Oseanologi LIPI. Jakarta. 50 hal.
Effendie M. I. 1979. Metode Biologi Perikanan. Cetakan Pertama.Yayasan Dewi
Sri. Bogor. 112 hal

Effendie, M.I. 1997. Biologi Perikanan. Yayasan Pustaka Nusatama, Yogyakarta.

FAO (Food Agriculture Organiszation). 1995. Code of Conduct for Responsible


Fisheries. Jakarta (Terjemahan). 104 p.
159

FAO. 1995a. Code of Conduct for Responsible Fisheries. FAO Fisheries


Department (Online), (http://fao/fisheries/code of conduct, diakses 10 Juli
2007). 24 pp.

Fauzi A. 2001. An Economic Analysis of the Surplus Production Function : An


Application for Indonesian Small Pelagic Fishery. Paper Presented at the
Nasional Seminar Organized by Persada (Japanese Alumni Association). Bogor
20 January 2001. 135 p.

Fauzi A. dan Ana S. 2005. Pemodelan Sumberdaya Perikanan dan Kelautan.


untuk Analisis Kebijakan . PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. 339 hal.

Fridman, A.L. 1986. Calculations for Fishing Gear Design (ed. By Carrothers,
P.J.G. FAO Fishing Manuals, Fishing News Books. Ltd. Pg 183-203.

Fyson, J. 1985. Design of Small Fishing Vessel. London : FAO Fishing. News Books.
Ltd. Pg 183 – 203.

Gafa, B., Bahar, S. dan Karyana. 1993. Potensi Sumberdaya Perikanan di Perairan
Laut Flores dan Selat Makassar. Jurnal Penelitian Perikanan Laut 72:43-53.

Ganaisa A. S. dan Djamali. 1983. Beberapa Aspek Biologi Ikan Layang


(Decapterus lajang, Bleeker) di Perairan Pulau Panggang, Pulau-Pulau
Seribu. Makalah pada Kongres Nasional Biologi Ke-IV Surabaya. Balai
Penelitian Biologi Laut. Pusat Penelitian dan Pengembangan Oseanologi.
LIPI. Jakarta. hal: 1-3.

Gordon H.S. 1954. The Economic Theory of a Common Property Resources: the
Fishery. Journal of Political Economy 62:124-142.

Gulland JA. 1983. Fish Stock Assesment. A Manual of Basic Methods. John
Wiley and Sons, Chichester-New York-Brisbane-Toronto-Singapore. 223 p.

Haluan, J. dan T. W. Nurani. 1988. Penerapan Metode Skoring dalam Penelitian


Teknologi Penangkapan Ikan yang Sesuai Untuk dikembangkan di Suatu
Wilayah Perairan. Bulletin PSP (2):3-16.

Hardenberg, J.D.F. 1937. Preliminary Report on A Migration of Fish in The Java


Sea. Treubia 16 (2) : 295 - 300.

Hariati T. 2004. Ikan Layang Biru (Decapterus macarellus), Salah Satu Spesies
Ikan Pelagis Kecil Laut Dalam di Indonesia. Warta Penelitian Perikanan
Indonesia. Edisi Sumberdaya dan Penangkapan. Vol: 11, Nomor 5, 2005.
Pusat Riset Periakanan Tangkap. Badan Riset Kelautan dan Perikanan.
Departemen Kelautan dan Perikanan. Jakarta. Hal 15 – 18.

Holden. M. 1995. The Common Fishery Policy: Origin, Evaluation and Future.
Fishing New Books Ltd. London. 274 pp.
160

Irham. Wisudo S.H., Haluan J., dan Wiryawan B. 2008. Analisis Pengembangan
Perikanan Mini Purse Seine Berbasis Optimasi Sumberdaya Ikan Pelagis
Kecil di Provinsi Maluku utara. Buletin PSP. ISSN 0251-286X. Volume
XVII. No. 1 April 2008. Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan.
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Jaiswar, A. K., S. K.Chakraborty and R.P. Swamy. 2001. Studies on the Age,
Growth and Mortality Rates of Indian Scad Decapterus russelli (Ruppell)
from Mubai Waters. Fisheries Research 53:303-308.

Kadariah. 1978. Pengantar Evaluasi Proyek. Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi


Universitas Indonesia

Kilingbell R. A. 1978. Sraulis mordax,ex Ratio of the Northeren Anchovy,


Engraulis mordax, off Southern California. Calif. Fish and Game 64 (3): Hal
200 – 209.

Laevastu, T and I. Hela, 1970. Fisheries Oceanography. Fishing News Books, Ltd
London. 238 p.

Laevastu T, Favorite F. 1988. Fishing and Stock Fluktuations. Fishing News


(Books) Ltd, London. 240 p.

Laevastu T, Hayes ML. 1981. Fisheries Oceanography and Ecology. England:


Fishing News Books Ltd. 199 p.

Luasunaung A. 2001 .Pendugaan Musim Ikan “Malalugis Biru” (Decapterus


macarellus) di Perairan Sekitar Bitung. Sulawesi Utara. Jurnal Fakultas
Perikanan April 2000 Volume II No.1. Fakultas Perikanan dan Ilmu
Kelautan. Universitas Samratulangi Manado. Manado.

Mangkusbroto dan Trisnadi. 1985. Analisa Keputusan Pendekatan System dalam


Manajemen Usaha dan Proyek. Ganeca Exact. Bandung. 271 hal.

Manurung, V.T, T. Pranadji; A.Mintoro; M.N. Kirom; Isetiajie; A. Murtiningsih,


dan Sugiarto., 1998. Laporan Hasil Penelitian Pengembangan Ekonomi
Desa Pantai. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian. Badan Litban
Pertanian. Deptan. Jakarta.

Martasuganda, S. 2002. Jaring Insang (Gillnet). Jurusan Pemanfaatan Sumberdaya


Perikanan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor.
Bogor. 68 hal.

Masahoro, A. 2001. Analisis Berbagai Faktor Produksi pada Perikanan Purse


Seine di Perairan Teluk Tomini. Jurnal Ilmu-Ilmu Pertanian Agroland.
Fakultas Pertanian Universitas Tadulako. 8(2):216-233.

Merta I. G. S. 1992. Dinamika Populasi Ikan Lemuru. Sardinela lemuru


BLEEKER 1953 (Pisces Clupeidae) di Perairan Selat Bali dan Alternatif
Pengelolaannya. [Tesis]. Fakultas Pascasarjana IPB.
161

Monintja D.R. 1987. Beberapa Teknologi Pilihan untuk Pemanfaatan Sumberdaya


Hayati Laut di Indonesia. Bulletin Jurusan PSP. Volume 1 no 1. Fakultas
Perikanan; IPB. Hal 14-25.

Monintja D.R. 1997. Agribisnis Penangkapan Ikan. Bahan Pelatihan Analisis


Investasi Agribisnis Bidang penangkapan Ikan. Bank BNI-LPSDM IPB. 24
hal.

Monintja D.R. 2000. Prosiding Pelatihan untuk Pelatih Pengelolaan Wilayah


Pesisir Terpadu. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan. Institut
Pertanian Bogor. Bogor. 156 hal.

Mulyono, S. 1991. Operations Research. Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi


Universitas Indonesia. Jakarta. 247 hal.

Munasinghe, M. 2002. Analysing the nexus of sustainable and climate change: An


overview. France: OECD. 53 p.

Najamuddin. 2004. Kajian Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Layang (Decapterus


spp) Berkelanjutan di Perairan Selat Makassar. [Disertasi]. Program
Pascasarjana Universitas Hasanuddin. Makassar. 263 hal.

Najamuddin, Mallawa, A., Budimawan dan Indar, M.Y.N. 2004. Pendugaan


ukuran pertama kali matang gonad ikan layang (Decapterus russelli
Ruppell) dalam menunjang perikanan yang berkelanjutan di perairan Selat
Makassar, Sulawesi Selatan. Torani, September.

Najamuddin. 2006. Analisis Ukuran Mata Jaring Minimum Alat Penangkap Ikan
Layang Deles (Decapterus macrosoma Bleeker) di Perairan Selat Makassar
Sulawesi Selatan. Jurnal Kopertis. 1(1): Hal 1-13.

Nikijuluw V. 2002. Rezim Pengelolaan Sumberdaya Perikanan. Pusat


Pemberdayaan dan Pembangunan Regional (P3R). Jakarta. 254 hal.

Nikolsky, G.V. 1963. The Ecology Fishes. Academic Press. London. 350 pp.

Nontji. 1993. Laut Nusantara. PT. Djambatan. Jakarta. 386 hal.

Nontji A. 2002. Laut Nusantara. Jakarta. Djambatan. 130 hlm.

Nontji A. 2007. Laut Nusantara. Edisi Revisi. Djambatan. 372 hlm.

Nugroho D. 2005. Kondisi Trend Biomassa Ikan Layang (Decapterus spp) Di


Laut Jawa dan Sekitarnya. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia. Vol. 12,
No.3. Pusat Riset Periakanan Tangkap. Badan Riset Kelautan dan Perikanan.
Departemen Kelautan dan Perikanan. Jakarta. Hal 167-182.

Nugroho D dan S Mardlijah. 2006. Hubungan Panjang Bobot, Perbandingan Jenis


Kelamin, dan Tingkat Kematangan Gonad Tuna Mata Besar (Thunnus
162

obesus) di Perairan Laut Banda. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia. Vol.


12, No.3. Pusat Riset Periakanan Tangkap. Badan Riset Kelautan dan
Perikanan. Departemen Kelautan dan Perikanan. Jakarta. Hal 196 – 198.

Pauly. 1979. Fish Population Dynamics in Tropical Waters : a Manual for use with
Programmable calculators. ICLARM Stud. Rev. (8) : 325 pp.

Pauly D. 1983. Some Simple Methods for The Assessment of Tropical Fish
Stocks. Fao Fisheries Technical Paper No. 234. 52p.

Pelabuhan Perikanan Nusantara Ternate. 2008. Statistik Perikanan Pelabuhan


Nusantara Ternate Tahun 2007. Ternate. 52 hal.

Purbayanto A., dan Baskoro M. 1999. Tinjauan Singkat Tentang Pengembangan


Teknologi Penangkapan Ikan Ramah Lingkungan. Mini Review on the
Development of Environmental Friendly Fishing Technology. Graduate
Student at Tokyo University of Fisheries. Departemen of Marine Science
and Technology. Tokyo. 5 hal.

Purbayanto 2003. Konsep Pembangunan Perikanan Tangkap Berkelanjutan Untuk


Meningkatkan Kesejahteraan Nelayan. Konsep Pembangunan Sektor
Perikanan dan Kelautan DI Indonesia. Departemen Pemanfaatan
Sumberdaya Perikanan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut
Pertanian Bogor. Hal 41-44.

Purwanto. 1990. Bioekonomi Perubahan Teknologi Penangkapan Ikan. Oseana


Vol. XV, Nomor 3 : 115 – 126. Jakarta

Reinthal, P & J. Stegen. 2005. Ichthyology. http://eebweb.arizona.edu/courses/eco


1482_582/Lecture120056.pdf [18-11-2006].

Ricker J.S. 1975. Compilasi and Interpretation of Biologi Cal Statistic of Fish
Population. Bull Fish Ress Board Can No 119.

Riyanto B. 1991. Dasar-dasar Pembelanjaan Perusahaan. Edisi ketiga, cetakan


keempatbelas. Yayasan Badan Penerbit Gadjah Mada Yogyakarta: 317 hal.

Royce, W. F. 1972. Introduction to the Fishery Sciences. Academic Press. New


York and London. 351 p.

Saanin H. 1994. Taksanomi dan Kunci Identifikasi Ikan Jilid I dan II. Penerbit Bina
Cipta. Bandung. 85 hal.

Samuel. 2003. Composition of Spesies Caught by Some Fishing Gears in The


Middle Part of Musi River Basins. Jurnal Ilmu-ilmu Perikanan dan Budidaya
Perairan. 1(1): Hal 89-100.
163

Sardjana. 1998. Laporan Kegiatan Penelitian Keragaan Sosial Ekonomi Perikanan


Malalugis di Perairan Laut Sulawesi, Laut Maluku dan Teluk Tomini: 12 hal
(interin Report).

Schaefer M.B. 1954. Some Aspects of the Dynamic of Populations Important to


the Management of Commercial Marine Fisheries . Bulletin of the Inter-
American Tropical Tuna Commission: 25-56.

Schaefer M.B. 1975. Some Aspects of the Dynamic of Populations Important to


the Management of Commercial Marine Fisheries . Bulletin of the Inter-
American Tropical Tuna Commission: 25-56.

Schnute J.T and R. Hilbom.1993. Analysis of Contradictory Data Sources in


Fish Stock Assessment. Can. J. Fish. Aquat. Sci. 50:1916-1923.

Shepherd, J.G. 1992. Aide Memoire on Scientific Advice on Fisheries


Management Directorate of Fisheries Research. Lowesroft. UK. Pg 17.

Seiijo J.C, Defeo O. and S. Salas. 1998. Fisheries Bioeconomics (Theory,


Modeling and Management). FAO-UN, Rome:108 p.

Simbolon D. 2003. Pengembangan Perikanan Pole and Line yang Berkelanjutan


di Perairan Sorong. Suatu Pendekatan Sistem. [Disertasi]. Sekolah
Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor. 153 hal.

Siswanto. 1993. Goal Programming dengan Menggunakan LINDO. PT. Elex


Media Komputindo Kelompok Gramedia. Jakarta. 242 hal.

Soekartawi. 1995. Programasi Tujuan Ganda Teori dan Aplikasinya. Penerbit PT.
Gramedia Widiasarana Indonesia. Jakarta. 234 hal.

Soumokil A. 1996. Telaah Beberapa Parameter Populasi Ikan Momar Putih


(Decapterus russellli) di Perairan kecamatan Amahai, Maluku Tengah dan
Alternatif Pengelolaannya. [Tesis]. Sekolah Pascasarjana. Institut Pertanian
Bogor. Bogor. 103 hal.

Sparre P, Venema SC. 1999. Introduksi Pengkajian Stok Ikan Tropis, Buku 1:
Manual. Pusat Penelitian dan Pengembangan Perikanan, Jakarta. 438 him.

Suardi. 2005. Pengembangan Perikanan Tangkap Pelagis Kecil Untuk


Pemberdayaan Nelayan DI Kota Palopo Provinsi Sulawesi Selatan. [Tesis].
Sekolah Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor. 127 hal.

Subani W. dan H.R. Barus. 1989. Alat Penangkap Ikan Dan Udang Laut Di
Indonesia (Fishing Gears for marine Fish and Shrimp in Indonesia). No.50
Tahun 1988/1989. Edisi Khusus. Jumal Penelitian Perikanan Laut. Balai
Penelitian Perikanan Laut. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian
Departemen Pertanian. Jakarta. 248 hal.
164

Sudirman dan Mallawa, A. 2003. Teknik Penangkapan Ikan. Penerbit Rineka


Cipta. Jakarta. 168 hal.

Suharyanto. 1998. Selektivitas faring Insang Hanyut terhadap Ikan Tongkol di


Perairan Lepas Pantai Pelabuhanratu, Jawa Barat. Thesis (tidak
dipublikasikan). Program Pascasarjana IPB. Bogor. 109 hal.

Sumadhiharga, K. 1991. Struktur Populasi dan Reproduksi Ikan Momar Merah


(Decpterus russelli) di Teluk Ambon. Dalam : Perairan Maluku dan
Sekitaarnya. BPPSL. Pusat Penenelitian dan Pengembangan Oseanologi -
LIPI, Ambon . 39 - 47.

Sultan M. 2004. Pengembangan Perikanan Tangkap di Kawasan Taman Nasional


Laut Taka Bonerate. [Disertasi]. Bogor: IPB. 174 hal.

Suwarso dan T. Hariati. 1988. Pendugaan Kematangan Gonad dan Musim


Pemijahann Ikan layang (Decapterus russelli) di Laut Jawa. Jurnal
Penelitian Perikanan Laut No. 46. Lembaga Penelitian Perikanan Laut. Hal
1- 9

Syafrin N. 1993. Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pendapatan Usaha


Penangkapan Ikan (tidak dipublikasikan). Program Pasca Sarjana IPB. Bogor:
hal 79.

Sparre P. E. And Venema. 1992. Introduction to Tropical Fish Stock Assessment.


Part 1. Manual FAO Fish. Tech. Paper. No. 306/1 (Revisi). 376p.

Sparre P, Venema SC. 1999. Introduksi Pengkajian Stok Ikan Tropis, Buku 1:
Manual. Pusat Penelitian dan Pengembangan Perikanan, Jakarta. 438 hal.

Steel R.G.D. and J.H. Torrie. 1981. Principles and Procedues of Statistic. McGraw-
Hill. Tokyo: 748 p.

Stevenson, W.J. 1989. Introduction to Management Science. Homewood. Boston.

Suhendrata, T. dan Rusmadji. 1991. Pendugaan ukuran pertama kali matang


gonada dan perbandingan kelamin ikan kembung perempuan (Rastrelliger
brachysoma) di perairan sebelah Utara Tegal. J. Pen. Perikanan Laut No.
64 : 59-63.

Sumadhiharga K. 1991. Struktur Populasi dan Reproduksi Ikan layang Merah


(Decapterus russelli) di Teluk Ambon. Dalam Perairan Maluku dan
Sekitarnya, Praseno dkk. (eds). Balai Penelitian dan Pengembangan
Sumberdaya Laut, P3O-LIPI, Ambon. Hal 39-74

Suwarso, D., W.A. Pralampita, dan M.M. Wahyono. 2000. Biologi reproduksi
malalugis biru (D. macarellus) di Sulawesi Utara. Prosiding Seminar Hasil
Penelitian Perikanan 1999/2000. Pusat Penelitian dan Pengembangan
Eksplorasi Laut dan Perikanan, Jakarta.
165

Tiews, K., I. A. and L. M. Santos. 1972. On the Biology of Anchovies


(Stolephorus lacepede) in Philippines waters. Proc. Indo. Pasific Fish.
Counc. 12(2):1-25.

Udupa KS. 1986. Statistical methods of estimating the size at first maturity in
fishes. Fishbyte 4(2): Hal 8-10.

Wahyuningsih H. dan Barus T. A. (2006). Buku Ajar Iktiologi. HIbah


Kompetisikonten Matakuliah E-Learning. Usu-Inherent. Fakultas
Matematikan dan Ilmu Pengetahuan Alam. Universitas Sumatera Utara.

Weber, M. and De Beaufort, L.F. 1931. The Fishes of the Indo-Australian


Archiopelago. Vol. VI. E.J. Brill Leiden Ltd:192-201.

Weatherley, L.A. 1972 Growth and Ecology of Fish Population. Academic Press.
Inc, London 293 p.

Widodo J. 1988. Population Dynamics and Management of Ikan layang


Decapterus spp) (Carangidae) in the Java Sea. Jurnal Penelitian Perikanan
Laut (47). Hal 11- 44

Widodo J. 1998. Population Dynamics and Management of “ikan layang”, Scad


Mackeral Decapterus spp. (Pisces: Carangidae) in the Java Sea. Dissertation
of Philosophy. University of Washington. 150 p.

Wiyono E.S. 1993. Studi tentang pengaruh pola musim dan perubahan teknologi
penangkapan ikan layang (Decapterus spp) di perairan Laut Jawa. [Skripsi]
(tidak dipublikasikan). Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB. Bogor.

Yuliansyah, H. 2002. Pengembangan Perikanan Tangkap untuk Pemberdayaan


Nelayan di Kepulauan Riau dalam Perpestif Otonomi Daerah. [Tesis].
Bogor: IPB. 231 hal.

Yusuf S.A, dan M.S. Hamzah. 1995. Pengaruh Musim Terhadap Produksi Ikan
Momar (Decapterus spp) Dikaitkan Dengan Kondisi Hidrologi Di Perairan
Kepulauan Lease Maluku Tengah. Diacu Dalam Prosiding Simposium
Perikanan Indonesia I. Buku II: Bidang Sumberdaya Perikanan Dan
Penangkapan. Puslitbang Perikanan: hal. 93-101.
166

LAMPIRAN
167

Lampiran 1 Peta Provinsi Maluku Utara dan lokasi penelitian

126°30' 127°00' 127°30' 128°00' 128°30' 129°00' 129°30'

SAMUDRA PASIFIC
2°30'

2°30'
Berebere
P. Rau
P. MOROTAI

Asimiro Sabatai Baru


2°00'

2°00'
Laloda PPI
Î
Tobelo
1°30'

1°30'
P. Mayao
Lolobata

o
a
K

P. Tifure
k
l u

Wasile
e
1°00'

1°00'
T

PPN / PPI
P. Ternate
Î
P. Tidore
P. HALMAHERA
0°30'

0°30'
Segea
P. Moti

P. Makian

Mafa
L A U T H A L M A H E R
L A U T M A L U K P. Gebe
P. Kayoa
0°00'

0°00'
Gurapin

Malidi

P. KASIRUTA

Yaba
0°30'

0°30'

P. BACAN
Busu
Î
PPI Sepi

P. MANDIOLI

P. Damar
1°00'

1°00'

126°30' 127°00' 127°30' 128°00' 128°30' 129°00' 129°30'

Peta Lokasi Penelitian Peta Tunjuk : Digambar Oleh :


di Perairan Maluku Utara Keterangan : Irham
C461060071
Garis Pantai
N
Î Lokasi PPI / PPN
Darat
W E
Kedalaman Program Studi Perikanan
Sekolah Pascasarjana
S 0 - 200 m
Institut Pertanian Bogor (IPB)
Skala 1 : 2.000.000 200 - 1000 m
Sumber Peta :
> 1000 m 1. Peta RBI Bakosurtanal
30 0 30
2. C - Map World Windows V.3.0
Km
3. Survey Lapangan
168

Lampiran 2 Analisis kelayakan perikanan ikan layang dengan alat tangkap mini
purse seine menggunakan program DSS-BALI ANALISIS

Asumsi dan koefisien

No. Uraian Satuan Nilai Perubahan Nilai Akhir


Mode
1 Produktifitas
Jumlah Trip
Trip/musim 75 0 75
Musim Puncak
Jumlah Trip
Trip/musim 45 0 45
Musim Biasa
2 Pendanaan
Modal Sendiri % 80 0 60
Bunga Pinjaman %/tahun 15 0 15
Jangka Waktu
tahun 10 0 10
Pengembalian
Tenggang
Waktu tahun 1 0 1
Pengembalian
Sistem Bagi
3
Hasil
a. Pemilik Alat
bagian 60 0 60
Tangkap
b. Crew bagian 40 0 40
Juragan Laut bagian 2 0 2
Juru Mesin bagian 1.5 0 1.5
Nelayan
bagian 1 0 1
ABK
4 Lain - Lain
Pajak % 0 0 0
Retribusi % 1.5 0 1.5
Upah Minimum
Rp./tahun 8,400,000.00 0 7,200,000.00
Provinsi
Biaya
Rp./tahun 7,300,000.00 0 7,300,000.00
Perawatan
Distribusi
5
Jumlah Crew
Juragan Laut orang 1
Juru Mesin orang 2
Nelayan ABK orang 10
Total Crew 13
169

Faktor
15
Pembagian

Lanjutan lampiran 2 Produksi dan pendapatan serta Pembiyaan operasional


nelayan mini purse seine

Produksi dan pendapatan

No. Uraian Satuan Volume Harga Jumlah


Mode
Pendapatan Musim
1 Puncak Rp./trip
Ikan layang Kg./trip 650 6,000 3,900,000
Pendapatan Per
Trip Rp./trip 3,900,000
Jumlah Trip
Musiman trip/musim 75
Pendapatan
Tahunan Rp./musim 292,500,000

Pendapatan musim
2 sedang Rp./trip
Ikan layang Kg./trip 400 6,000 2,400,000
Pendapatan Per
Trip Rp./trip 2,400,000
Jumlah Trip
Musiman trip/musim 45
Pendapatan
Tahunan Rp./musim 108,000,000
Total Pendapatan Tahunan Rp./tahun 400,500,000

Pembiyaan operasional nelayan

No. Uraian Satuan Nilai Perubahan Nilai Akhir


Mode
1 Biaya Operasional Nelayan
Minyak tanah Rp./trip 600,000 0 600,000
Bensin Rp./trip 35,000 0 35,000
Oli Rp./trip 50,000 0 50,000
Ransum Rp./trip 75,000 0 75,000
Es Rp./trip 180,000 0 180,000
Sub Total Rp./trip 940,000
2 Biaya Operasional Tahunan
Biaya Operasional Rp./tahun 112,800,000
170

Biaya Retribusi Rp./tahun 6,007,500


Total Biaya
Operasional Rp./tahun 118,807,500

Lanjutan lampiran 2 Pendapatan nelayan mini purse seine

No. Uraian Satuan Volume Harga Jumlah


1 Pendapatan
a. Pendapatan
Musim Puncak Rp./musim 1 292,500,000 292,500,000
b. Pendapatan
Musim Sedang Rp./musim 1 108,000,000 108,000,000
Total Pendapatan
Tahunan Rp./musim 400,500,000
2 Pengeluaran
a. Biaya
Operasional
Minyak tanah Rp./trip 120 600,000 72,000,000
Bensin Rp./trip 120 35,000 4,200,000
Oli Rp./trip 120 50,000 6,000,000
Ransum Rp./trip 120 75,000 9,000,000
Es Rp./trip 120 180,000 21,600,000
Sub Total Rp./tahun 112,800,000
b. Biaya Retribusi Rp./tahun 6,007,500
Total Pengeluaran Rp./tahun 118,807,500
Pendapatan Setelah
3 Retribusi Rp./tahun 281,692,500
4 Sistem Bagi Hasil
a. Pemilik Alat
Tangkap Rp. 169,015,500
b. Crew Rp. 112,677,000
Juragan Laut Rp./orang 15,023,400
Juru Mesin Rp./orang 11,275,600
Nelayan ABK Rp./orang 7,511,800
171

Lanjutan lampiran 2 Investasi dan penyusutan perikanan mini purse seine

Umur
No. Uraian Satuan Nilai Perubahan Nilai Akhir Ekonomis Nilai Sisa Penyusutan
Mode
1 Investasi 247,000,000 33,900,000
Perahu Rp. 125,000,000 0 125,000,000 10 20,000,000 10,500,000
Mesin kapal Rp. 60,000,000 0 60,000,000 5 10,000,000 10,000,000
Alat Tangkap Rp. 50,000,000 50,000,000 5 10,000,000 8,000,000
Rumpon Rp. 9,000,000 0 9,000,000 2 0 4,500,000
Keranjang ikan Rp. 1,500,000 0 1,500,000 5 0 300,000
Jeregen Rp. 500,000 0 500,000 5 0 100,000
Lampu petromkas Rp. 1,000,000 0 1,000,000 2 0 500,000
Total Investasi Rp. 247,000,000
172

Lanjutan lampiran 2 Perkiraan arus uang perikanan mini purse seine

No Uraian 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
1 Inflow 169015500 169015500 169015500 169015500 189015500 169015500 169015500 169015500 169015500 229015500
Porsi Pendapatan Pemilik 169015500 169015500 169015500 169015500 169015500 169015500 169015500 169015500 169015500 169015500
Nilai Sisa Modal 0 0 0 0 20000000 0 0 0 0 60000000
Perahu 0 0 0 0 0 0 0 0 0 20000000
Mesin kapal 0 0 0 0 10000000 0 0 0 0 20000000
Alat tangkap 0 0 0 0 10000000 0 0 0 0 20000000
Rumpon 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
Keranjang ikan 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
Jeregen 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
Lampu petromaks 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
Lain - Lain 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
2 Outflow 247000000 41200000 61552956 51552956 61552956 1635572956 61552956 51552956 61552956 51552956 51552956
Investasi 247000000 0 10000000 0 10000000 112000000 10000000 0 10000000 0 0
Perahu 125000000 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
Mesin kapal 60000000 0 0 0 0 60000000 0 0 0 0 0
Alat tangkap 50000000 0 0 0 0 50000000 0 0 0 0 0
Rumpon 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
Keranjang ikan 9000000 0 9000000 0 9000000 1500000 9000000 0 9000000 0 0
Jeregen 1500000 0 0 0 0 500000 0 0 0 0 0
Lampu petromaks 500000 0 1000000 0 1000000 0 1000000 0 1000000 0 0
Lain - Lain 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0

Biaya Operasional 0 41200000 51552956 51552956 51552956 51552956 169157956 169157956 169157956 169157956 169157956
Biaya Perawatan 7300000 7300000 7300000 7300000 7300000 7300000 7300000 7300000 7300000 7300000
Penyusutan 33900000 33900000 33900000 33900000 33900000 33900000 33900000 33900000 33900000 33900000
Pengembalian
Pinjaman 0 10352956 10352956 10352956 10352956 10352956 10352956 10352956 10352956 10352956
173

Lanjutan lampiran 2 Perkiraan arus uang perikanan mini purse seine

No Uraian 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

Laba Bersih
3 -247000000 127815500 107462544 117462544 107462544 25462544 107462544 117462544 107462544 117462544 117462544
Sebelum Pajak

4 Pajak 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0

5 Laba Bersih -247000000 127815500 107462544 117462544 107462544 25462544 107462544 117462544 107462544 117462544 117462544

6 BEP (Rp) 71251072,84

7 BEP (kg) 16883,69

8 NPV 408,587,579

9 IRR 58..67

10 Payback-Periode 2.00

11 Benefit-CostRatio 2.98
174

Lampiran 3 Analisis kelayakan perikanan ikan layang menggunakan


produktivitas ideal alat mini purse seine dengan program DSS-
BALI ANALISIS

Asumsi dan koefisien

No. Uraian Satuan Nilai Perubahan Nilai Akhir


Mode
1 Produktifitas
Jumlah Trip
Trip/musim 75 0 75
Musim Puncak
Jumlah Trip
Trip/musim 45 0 45
Musim Biasa
2 Pendanaan
Modal Sendiri % 80 0 60
Bunga Pinjaman %/tahun 15 0 15
Jangka Waktu
tahun 10 0 10
Pengembalian
Tenggang
Waktu tahun 1 0 1
Pengembalian
Sistem Bagi
3
Hasil
a. Pemilik Alat
bagian 60 0 60
Tangkap
b. Crew bagian 40 0 40
Juragan Laut bagian 2 0 2
Juru Mesin bagian 1.5 0 1.5
Nelayan
bagian 1 0 1
ABK
4 Lain - Lain
Pajak % 0 0 0
Retribusi % 1.5 0 1.5
Upah Minimum
Rp./tahun 8,400,000.00 0 7,200,000.00
Provinsi
Biaya
Rp./tahun 7,300,000.00 0 7,300,000.00
Perawatan
Distribusi
5
Jumlah Crew
Juragan Laut orang 1
Juru Mesin orang 2
Nelayan ABK orang 10
Total Crew 13
Faktor
15
Pembagian
175

Lanjutan lampiran 3 Produksi ideal dan pendapatan ideal serta pembiyaan


operasional nelayan mini purse seine

Produksi dan ideal

No. Uraian Satuan Volume Harga Jumlah


Mode
Pendapatan Musim
1 Puncak Rp./trip
Ikan layang Kg./trip 1000 6,000 6,000,000
Pendapatan Per
Trip Rp./trip 6,000,000
Jumlah Trip
Musiman trip/musim 75
Pendapatan
Tahunan Rp./musim 450,000,000

Pendapatan musim
2 sedang Rp./trip
Ikan layang Kg./trip 500 6,000 3,000,000
Pendapatan Per
Trip Rp./trip 3,000,000
Jumlah Trip
Musiman trip/musim 45
Pendapatan
Tahunan Rp./musim 135,000,000
Total Pendapatan Tahunan Rp./tahun 585,000,000

Pembiyaan operasional nelayan

No. Uraian Satuan Nilai Perubahan Nilai Akhir


Mode
1 Biaya Operasional Nelayan
Minyak tanah Rp./trip 600,000 0 600,000
Bensin Rp./trip 35,000 0 35,000
Oli Rp./trip 50,000 0 50,000
Ransum Rp./trip 75,000 0 75,000
Es Rp./trip 180,000 0 180,000
Sub Total Rp./trip 940,000
2 Biaya Operasional Tahunan
Biaya Operasional Rp./tahun 112,800,000
Biaya Retribusi Rp./tahun 8,775,000
Total Biaya
Operasional Rp./tahun 121,575,000
176

Lanjutan lampiran 3 Pendapatan nelayan mini purse seine yang ideal

No. Uraian Satuan Volume Harga Jumlah


1 Pendapatan
a. Pendapatan
Musim Puncak Rp./musim 1 450,000,000 450,000,000
b. Pendapatan
Musim Sedang Rp./musim 1 135,000,000 135,000,000
Total Pendapatan
Tahunan Rp./musim 585,000,000
2 Pengeluaran
a. Biaya
Operasional
Minyak tanah Rp./trip 120 600,000 72,000,000
Bensin Rp./trip 120 35,000 4,200,000
Oli Rp./trip 120 50,000 6,000,000
Ransum Rp./trip 120 75,000 9,000,000
Es Rp./trip 120 180,000 21,600,000
Sub Total Rp./tahun 112,800,000
b. Biaya Retribusi Rp./tahun 8,775,000
Total Pengeluaran Rp./tahun 121,575,000
Pendapatan Setelah
3 Retribusi Rp./tahun 463,425,000
4 Sistem Bagi Hasil
a. Pemilik Alat
Tangkap Rp. 278,055,000
b. Crew Rp. 185,370,000
Juragan Laut Rp./orang 24,716,000
Juru Mesin Rp./orang 18,537,000
Nelayan ABK Rp./orang 12,358,000
177

Lanjutan lampiran 3 Investasi dan penyusutan perikanan mini purse seine

Umur
No. Uraian Satuan Nilai Perubahan Nilai Akhir Ekonomis Nilai Sisa Penyusutan
Mode
1 Investasi 247,000,000 33,900,000
Perahu Rp. 125,000,000 0 125,000,000 10 20,000,000 10,500,000
Mesin kapal Rp. 60,000,000 0 60,000,000 5 10,000,000 10,000,000
Alat Tangkap Rp. 50,000,000 50,000,000 5 10,000,000 8,000,000
Rumpon Rp. 9,000,000 0 9,000,000 2 0 4,500,000
Keranjang ikan Rp. 1,500,000 0 1,500,000 5 0 300,000
Jeregen Rp. 500,000 0 500,000 5 0 100,000
Lampu petromkas Rp. 1,000,000 0 1,000,000 2 0 500,000
Total Investasi Rp. 247,000,000
178

Lanjutan lampiran 3 Perkiraan arus uang perikanan mini purse seine

No Uraian 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
1 Inflow 278,055,000 278,055,000 278,055,000 278,055,000 298,055,000 278,055,000 278,055,000 278,055,000 278,055,000 338,055,000
Porsi Pendapatan Pemilik 278,055,000 278,055,000 278,055,000 278,055,000 278,055,000 278,055,000 278,055,000 278,055,000 278,055,000 278,055,000
Nilai Sisa Modal 0 0 0 0 20000000 0 0 0 0 60000000
Perahu 0 0 0 0 0 0 0 0 0 20000000
Mesin kapal 0 0 0 0 10000000 0 0 0 0 20000000
Alat tangkap 0 0 0 0 10000000 0 0 0 0 20000000
Rumpon 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
Keranjang ikan 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
Jeregen 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
Lampu petromaks 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
Lain - Lain 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
2 Outflow 247000000 41200000 61552956 51552956 61552956 1635572956 61552956 51552956 61552956 51552956 51552956
Investasi 247000000 0 10000000 0 10000000 112000000 10000000 0 10000000 0 0
Perahu 125000000 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
Mesin kapal 60000000 0 0 0 0 60000000 0 0 0 0 0
Alat tangkap 50000000 0 0 0 0 50000000 0 0 0 0 0
Rumpon 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
Keranjang ikan 9000000 0 9000000 0 9000000 1500000 9000000 0 9000000 0 0
Jeregen 1500000 0 0 0 0 500000 0 0 0 0 0
Lampu petromaks 500000 0 1000000 0 1000000 0 1000000 0 1000000 0 0
Lain - Lain 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0

Biaya Operasional 0 41200000 51552956 51552956 51552956 51552956 169157956 169157956 169157956 169157956 169157956
Biaya Perawatan 7300000 7300000 7300000 7300000 7300000 7300000 7300000 7300000 7300000 7300000
Penyusutan 33900000 33900000 33900000 33900000 33900000 33900000 33900000 33900000 33900000 33900000
Pengembalian
Pinjaman 0 10352956 10352956 10352956 10352956 10352956 10352956 10352956 10352956 10352956
179

Lanjutan lampiran 3 Perkiraan arus uang perikanan mini purse seine

No Uraian 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

Laba Bersih
3 -247000000 236855000 216502044 226502044 216502044 134502044 216502044 226502044 216502044 226502044 286502044
Sebelum Pajak

4 Pajak 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0

5 Laba Bersih -247000000 236855000 216502044 226502044 216502044 34502044 216502044 226502044 216502044 226502044 286502044

6 BEP (Rp) 55852303,64

7 BEP (kg) 11750,77

8 NPV 884,451,986

9 IRR 105,11

10 Payback-Periode 1.06

11 Benefit-CostRatio 5,28
180

Lampiran 4 Analisis kelayakan perikanan ikan layang dengan alat tangkap


jaring insang hanyut menggunakan program DSS-BALI ANALISIS

Asumsi dan koefisien

No. Uraian Satuan Nilai Perubahan Nilai Akhir


Mode
1 Produktifitas
Jumlah Trip
Musim Puncak Trip/musim 75 0 75
Jumlah Trip
Musim Biasa Trip/musim 45 0 45
2 Pendanaan
Modal Sendiri % 80 0 80
Bunga Pinjaman %/tahun 15 0 15
Jangka Waktu
Pengembalian tahun 10 0 10
Tenggang Waktu
Pengembalian tahun 1 0 1
Sistem Bagi
3 Hasil
a. Pemilik Alat
Tangkap bagian 50 0 50
b. Crew bagian 50 0 50
Juragan Laut bagian 2 0 2
Juru Mudi bagian 0 0 0
Juru Mesin bagian 1.5 0 1.5
Nelayan ABK bagian 1 0 1
4 Lain - Lain
Pajak % 0 0 0
Retribusi % 1.5 0 1.5
Upah Minimum
Provinsi Rp./tahun 8,400,000.00 0 7,200,000.00
Biaya Perawatan Rp./tahun 6,150,000.00 0 6,150,000.00
Distribusi
5 Jumlah Crew
Juragan Laut orang 1
Juru Mesin orang 1
Nelayan ABK orang 2
Total Crew 4
Faktor
Pembagian 6
181

Lanjutan lampiran 4 Produksi dan pendapatan serta pembiayaan operasional


nelayan jaring insang

Produksi dan pendapatan

No. Uraian Satuan Volume Harga Jumlah


Mode
1 Pendapatan Musim Puncak Rp./trip
Layang Kg./trip 125 6,000 750,000
Pendapatan Per Trip Rp./trip 750,000
Jumlah Trip Musiman trip/musim 75
Pendapatan Tahunan Rp./musim 56,250,000
2 Pendapatan musim sedang Rp./trip
Layang Kg./trip 83 6,000 498,000
Pendapatan Per Trip Rp./trip 498,000
Jumlah Trip Musiman trip/musim 45
Pendapatan Tahunan Rp./musim 22,410,000
Total Pendapatan Tahunan Rp./tahun 78,660,000

Pembiyaan operasional nelayan

No. Uraian Satuan Nilai Perubahan Nilai Akhir


Mode
1 Biaya Operasional Nelayan
Bensin Rp./trip 105,000 0 105,000
Minyak tanah Rp./trip 8,000 0 8,000
Oli Rp./trip 25,000 0 25,000
Ransum Rp./trip 40,000 0 40,000
Es Rp./trip 90,000 0 90,000
Sub Total Rp./trip 268,000
2 Biaya Operasional Tahunan
Biaya Operasional Rp./tahun 32,160,000
Biaya Retribusi Rp./tahun 1,179,900
Total Biaya
Operasional Rp./tahun 33,339,900
182

Lanjutan lampiran 4 Model pendapatan nelayan jaring insang hanyut

No. Uraian Satuan Volume Harga Jumlah


1 Pendapatan
a. Pendapatan Musim Puncak Rp./musim 1 56,250,000 56,250,000
b. Pendapatan Musim Sedang Rp./musim 1 22,410,000 22,410,000
Total Pendapatan Tahunan Rp./tahun 78,660,000
2 Pengeluaran
a. Biaya Operasional
Minyak tanah Rp./trip 120 105,000 12,600,000
Bensin Rp./trip 120 8,000 960,000
Oli Rp./trip 120 25,000 3,000,000
Ransum Rp./trip 120 40,000 4,800,000
Es Rp./trip 120 90,000 10,800,000
Sub Total Rp./tahun 32,160,000
b. Biaya Retribusi Rp./tahun 1,179,900
Total Pengeluaran Rp./tahun 33,339,900
3 Pendapatan Setelah Retribusi Rp./tahun 45,320,100
4 Sistem Bagi Hasil
a. Pemilik Alat Tangkap Rp. 22,660,050
b. Crew Rp. 22,660,050
Juragan Laut Rp./orang 8,240,018
Juru Mesin Rp./orang 6,180,014
Nelayan ABK Rp./orang 4,120,009
183

Lanjutan lampiran 4 Investasi dan penyusutan jaring insang hanyut

Umur
No. Uraian Satuan Nilai Perubahan Nilai Akhir Ekonomis Nilai Sisa Penyusutan
Mode
Investasi 31,000,000 -2,000,000
Perahu Rp. 15,000,000 0 15,000,000 10 20,000,000 -500,000
Mesin kapal Rp. 7,500,000 0 7,500,000 5 10,000,000 -500,000
Alat tangkap Rp. 7,500,000 0 7,500,000 5 10,000,000 -500,000
Alat bantu Rp. 1,000,000 0 1,000,000 2 2,000,000 -500,000
Total Investasi Rp. 31,000,000
184

Lanjutan lampiran 4 Perkiraan arus uang perikanan jaring insang hanyut

No Uraian 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
1 Inflow 22,660,050 24,660,050 22,660,050 24,660,050 42,660,050 24,660,050 22,660,050 24,660,050 22,660,050 92,660,050
Porsi Pendapatan Pemilik 22,660,050 22,660,050 22,660,050 22,660,050 22,660,050 22,660,050 22,660,050 22,660,050 22,660,050 22,660,050
Nilai Sisa Modal 0 2,000,000 0 2,000,000 20,000,000 2,000,000 0 2,000,000 0 70,000,000
Perahu 0 0 0 0 0 0 0 0 0 20,000,000
Mesin kapal 0 0 0 0 10,000,000 0 0 0 0 20,000,000
Alat tangkap 0 0 0 0 10,000,000 0 0 0 0 20,000,000
Alat bantu penangkapan 0 2,000,000 0 2,000,000 0 2,000,000 0 2,000,000 0 10,000,000
2 Outflow 31,000,000 4,150,000 6,449,359 5,449,359 6,449,359 20,449,359 6,449,359 5,449,359 6,449,359 5,449,359 5,449,359
Investasi 31,000,000 0 1,000,000 0 1,000,000 15,000,000 1,000,000 0 1,000,000 0 0
Perahu 15,000,000 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
Mesin kapal 7,500,000 0 0 0 0 7,500,000 0 0 0 0 0
Alat tangkap 7,500,000 0 0 0 0 7,500,000 0 0 0 0 0
Alat bantu penangkapan 1,000,000 0 1,000,000 0 1,000,000 0 1,000,000 0 1,000,000 0 0
Biaya Operasional 0 4,150,000 5,449,359 5,449,359 5,449,359 5,449,359 5,449,359 5,449,359 5,449,359 5,449,359 5,449,359
Bagi Hasil Nelayan 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
Biaya Perawatan 6,150,000 6,150,000 6,150,000 6,150,000 6,150,000 6,150,000 6,150,000 6,150,000 6,150,000 6,150,000
Penyusutan -2,000,000 -2,000,000 -2,000,000 -2,000,000 -2,000,000 -2,000,000 -2,000,000 -2,000,000 -2,000,000 -2,000,000
Pengembalian Pinjaman 0 1,299,359 1,299,359 1,299,359 1,299,359 1,299,359 1,299,359 1,299,359 1,299,359 1,299,359
185

Lanjutan lampiran 4 Perkiraan arus uang perikanan jaring insang hanyut

No Uraian 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

3 Laba Bersih Sebelum Pajak -31,000,000 18,510,050 18,210,691 17,210,691 18,210,691 22,210,691 18,210,691 17,210,691 18,210,691 17,210,691 87,210,691

4 Pajak 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0

5 Laba Bersih -31,000,000 18,510,050 18,210,691 17,210,691 18,210,691 22,210,691 18,210,691 17,210,691 18,210,691 17,210,691 87,210,691

6 BEP (Rp) 15699104.77

7 BEP (kg) 8660.12

8 NPV 59,430,223

9 IRR 53.75

10 Payback-Periode 2.44

11 Benefit-CostRatio 3.85
186

Lampiran 5 Analisis kelayakan perikanan ikan layang dengan alat tangkap


bagan perahu menggunakan program DSS-BALI ANALISIS

Asumsi dan koefisien

No. Uraian Satuan Nilai Perubahan Nilai Akhir


Mode
1 Produktifitas
Jumlah Trip Musim
Puncak Trip/musim 40 0 40
Jumlah Trip Musim
Biasa Trip/musim 20 0 20
2 Pendanaan
Modal Sendiri % 80 0 80
Bunga Pinjaman %/tahun 15 0 15
Jangka Waktu
Pengembalian tahun 10 0 10
Tenggang Waktu
Pengembalian tahun 1 0 1
3 Sistem Bagi Hasil
a. Pemilik Alat
Tangkap bagian 60 0 60
b. Crew bagian 40 0 40
Juragan Laut bagian 2 0 2
Juru Mesin bagian 1.5 0 1.5
Nelayan ABK bagian 1 0 1
4 Lain - Lain
Pajak % 0 0 0
Retribusi % 1.5 0 1.5
Upah Minimum
Provinsi Rp./tahun 8,400,000.00 0 8,400,000.00
Biaya Perawatan Rp./tahun 9,000,000.00 0 9,000,000.00
Distribusi Jumlah
5 Crew
Juragan Laut orang 1
Juru Mesin orang 1
Nelayan ABK orang 6
Total Crew 8
Faktor Pembagian 10
187

Lanjutan lampiran 5 Produksi dan pendapatan serta pembiayaan operasional


nelayan bagan perahu

Produksi dan pendapatan

Uraian Satuan Volume Harga Jumlah

Pendapatan Musim
Puncak Rp./trip
Layang Kg./trip 520 6,000 3,120,000
Pendapatan Per Trip Rp./trip 3,120,000
Jumlah Trip Musiman trip/musim 40
Pendapatan Tahunan Rp./musim 124,800,000
Pendapatan musim
sedang Rp./trip
Layang Kg./trip 247 6,000 1,482,000
Pendapatan Per Trip Rp./trip 1,482,000
Jumlah Trip Musiman trip/musim 20
Pendapatan Tahunan Rp./musim 29,640,000
Rp./tahun 154,440,000

Pembiyaan operasional nelayan

Nilai
No. Uraian Satuan Nilai Perubahan Akhir
Mode
1 Biaya Operasional Nelayan
bensin Rp./trip 40,000 0 40,000
Minyak tanah Rp./trip 280,000 0 280,000
Oli Rp./trip 7,500 0 7,500
Ransum Rp./trip 60,000 0 60,000
Es Rp./trip 90,000 0 90,000
Sub Total Rp./trip 477,500
2 Biaya Operasional Tahunan
Biaya Operasional Rp./tahun 28,650,000
Biaya Retribusi Rp./tahun 2,316,600
Total Biaya
Operasional Rp./tahun 30,966,600
188

Lanjutan lampiran 5 Model pendapatan nelayan bagan perahu

No. Uraian Satuan Volume Harga Jumlah


1 Pendapatan
a. Pendapatan Musim Puncak Rp./musim 1 124,800,000 124,800,000
b. Pendapatan Musim Sedang Rp./musim 1 29,640,000 29,640,000
Total Pendapatan Tahunan Rp./tahun 154,440,000
2 Pengeluaran
a. Biaya Operasional
Minyak tanah Rp./trip 60 40,000 2,400,000
Bensin Rp./trip 60 280,000 16,800,000
Oli Rp./trip 60 7,500 450,000
Ransum Rp./trip 60 60,000 3,600,000
Es Rp./trip 60 90,000 5,400,000
Sub Total Rp./tahun 28,650,000
b. Biaya Retribusi Rp./tahun 2,316,600
Total Pengeluaran Rp./tahun 30,966,600
3 Pendapatan Setelah Retribusi Rp./tahun 123,473,400
4 Sistem Bagi Hasil
a. Pemilik Alat Tangkap Rp. 74,084,040
b. Crew Rp. 49,389,360
Juragan Laut Rp./orang 7,598,363
Juru Mesin Rp./orang 5,698,772
Nelayan ABK Rp./orang 3,799,182
189

Lanjutan lampiran 5 Investasi dan penyusutan usaha perikanan bagan perahu

Umur
No. Uraian Satuan Nilai Perubahan Nilai Akhir Ekonomis Nilai Sisa Penyusutan
Mode
1 Investasi 145,000,000 13,600,000
Perahu Rp. 90,000,000 0 90,000,000 10 20,000,000 7,000,000
Mesin kapal Rp. 20,000,000 0 20,000,000 5 10,000,000 2,000,000
Alat tangkap Rp. 25,000,000 0 25,000,000 5 10,000,000 3,000,000
Alat bantu Rp. 10,000,000 0 10,000,000 5 2,000,000 1,600,000
Total Investasi Rp. 145,000,000
190

Lanjutan lampiran 5 Perkiraan arus uang perikanan bagan perahu

No Uraian 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
1 Inflow 74,084,040 74,084,040 74,084,040 74,084,040 96,084,040 74,084,040 74,084,040 74,084,040 74,084,040 138,084,040

Porsi Pendapatan Pemilik 74,084,040 74,084,040 74,084,040 74,084,040 74,084,040 74,084,040 74,084,040 74,084,040 74,084,040 74,084,040
Nilai Sisa Modal 0 0 0 0 22,000,000 0 0 0 0 64,000,000
Perahu 0 0 0 0 0 0 0 0 0 20,000,000
Mesin kapal 0 0 0 0 10,000,000 0 0 0 0 20,000,000
Alat tangkap 0 0 0 0 10,000,000 0 0 0 0 20,000,000
Alat bantu penangkapan 0 0 0 0 2,000,000 0 0 0 0 4,000,000
2 Outflow 145,000,000 22,600,000 28,677,646 28,677,646 28,677,646 83,677,646 28,677,646 28,677,646 28,677,646 28,677,646 28,677,646
Investasi 145,000,000 0 0 0 0 55,000,000 0 0 0 0 0
Perahu 90,000,000 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
Mesin kapal 20,000,000 0 0 0 0 20,000,000 0 0 0 0 0
Alat tangkap 25,000,000 0 0 0 0 25,000,000 0 0 0 0 0
Alat bantu penangkapan 10,000,000 0 0 0 0 10,000,000 0 0 0 0 0
Biaya Operasional 0 22,600,000 28,677,646 28,677,646 28,677,646 28,677,646 28,677,646 28,677,646 28,677,646 28,677,646 28,677,646
Bagi Hasil Nelayan 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
Biaya Perawatan 9,000,000 9,000,000 9,000,000 9,000,000 9,000,000 9,000,000 9,000,000 9,000,000 9,000,000 9,000,000
Penyusutan 13,600,000 13,600,000 13,600,000 13,600,000 13,600,000 13,600,000 13,600,000 13,600,000 13,600,000 13,600,000
Pengembalian Pinjaman 0 6,077,646 6,077,646 6,077,646 6,077,646 6,077,646 6,077,646 6,077,646 6,077,646 6,077,646
191

Lanjutan lampiran 5 Perkiraan arus uang perikanan bagan perahu

No Uraian 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Laba Bersih Sebelum -
3 Pajak 145,000,000 51,484,040 45,406,394 45,406,394 45,406,394 12,406,394 45,406,394 45,406,394 45,406,394 45,406,394 109,406,394

4 Pajak 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
-
5 Laba Bersih 145,000,000 51,484,040 45,406,394 45,406,394 45,406,394 12,406,394 45,406,394 45,406,394 45,406,394 45,406,394 109,406,394

6 BEP (Rp) 30165337.47

7 BEP (kg) 11238.09

8 NPV 135,510,727

9 IRR 39.33

10 Payback-Periode 3.15

11 Benefit-CostRatio 2.19
192

Lampiran 6 Standarisasi upaya penangkapan ikan layang di Maluku Utara


A. Data produksi dan upaya penangkapan sebelum standarisasi

Mini purse seine Jaring insang hanyut Bagan perahu


Tahun
Kg Trip Kg Trip Kg Trip
1998 11.283.600 14.400 1.359.360 12.500 2039040 11.970
1999 9.923.975 8.400 1.056.530 8.520 1.584.795 9.450
2000 9.642.438 8.520 1.152.325 8.760 1.728.488 10.395
2001 12.938.700 15.000 1.725.160 19.200 2.587.740 11.340
2002 11.565.875 17.400 1.675.450 20.880 2.513.175 11.403
2003 13.614.795 18.960 1.815.306 21.600 2.722.959 16.065
2004 14.007.795 21.840 1.867.706 20.640 2.801.559 12.096
2005 15.724.418 23.880 2.096.589 21.000 3.144.884 19.404
2006 15.978.915 24.960 2.130.522 21.000 3.195.783 20.286
2007 17.257.803 25.560 2.567.707 20.520 3.851.561 20.286
Total 130.849.912,5 17.8920 17446655.0 1.74.620 26.169.982,5 142695
Rata-rata 13,084,991,3 17.892 1744665.5 17.462 2.616.998.3 14.270

B. Produktivitas dan FPI (Fishing Power Indeks)


Alat Tangkap FPI Produktivitas (Kg/Trip)
Mini purse seine 1 731.33195
Jaring insang 0.13662 99.91212
Bagan perahu 0.25077 183.39803
193

Lanjutan lampiran 6
C. Total hasil dan upaya penangkapan baku setelah standarisasi
Total Hasil Effort standar (Trip) Total effoert CPUE
Tahun
Tangkapan (Kg) Purse siene Jaring insang hanyut Bagan perahu (Trip) (Kg/Ttrip)
1998 14,682,000 14400 1,707.71 3,001.75 19109 768.31070
1999 12,565,300 7200 1,163.97 2,369.80 10734 1170.63193
2000 12,523,250 8520 1,196.76 2,606.78 12324 1016.20530
2001 17,251,600 15000 2,623.04 2,843.76 20467 842.90651
2002 15,754,500 17400 2,852.56 2,859.56 23112 681.65546
2003 18,153,060 18960 2,950.92 4,028.66 25940 699.82084
2004 18,677,060 21840 2,819.77 3,033.35 27693 674.42977
2005 20,965,890 23880 2,868.95 4,865.99 31615 663.16396
2006 21,305,220 24960 2,868.95 5,087.17 32916 647.25788
2007 23,677,070 25560 2,803.37 5,087.17 33451 707.82310
194

Lampiran 7 Data regresi antara upaya penangkapan, CPUE, nilai intersep (a)
dan slope (b) ikan layang di Maluku Utara

Total Hasil Effort standard CPUE


Tahun
Tangkapan (Kg) (Trip) (Kg/Ttrip)
1998 14682000 19109 768.31
1999 12565300 10734 1170.63
2000 12523250 12324 1016.21
2001 17251600 20467 842.91
2002 15754500 23112 681.66
2003 18153060 25940 699.82
2004 18677060 27693 674.43
2005 20965890 31615 663.16
2006 21305220 32916 647.26
2007 23677070 33451 707.82
195

Lampiran 8 Hasil analisis program MAPLE IX terhadap tingkat produksi


lestari (MSY) dan nilai Bioekonomik (MEY) sumberdaya ikan
layang di Maluku Utara

> a:=1239.5;
a := 1239.5

> b:=-0.0191;
b := -0.0191

> c:=988375;
c := 988375

> p:=6000;
p := 6000

> Emsy:=-a/(2*b);
Emsy := 32447.64398

> h:=a*E+b*E^2;
2
h := 1239.5 E - 0.0191 E

> TR:=p*h;
6 2
TR := 7.4370000 10 E - 114.6000 E

> plot(TR,E=0..65000);

> hmsy:=a*Emsy+b*Emsy^2;
7
hmsy := 2.010942735 10

> TRmsy:=p*hmsy;
196

Lanjutan lampiran 8
TRmsy := 1.206565641 1011

> TCmsy:=c*Emsy;
TCmsy := 3.207044012 1010

> phimsy:=TRmsy-TCmsy;
phimsy := 8.858612398 1010

> h:=a*E+b*E^2;
2
h := 1222.2 E - 0.0181 E

> plot(h,E=0..65000);

> TR:p*h;
7.4370000 106 E - 114.6000 E 2

> plot(TR,E=0..65000);
197

Lanjutan lampiran 8

> TC:=c*E;
TC := 988375 E

¾ plot(TC,E=0..65000);

¾ plot({TR,(E),TC(E)},E=0..65000,color=[red,blue]);

> fsolve(TR=TC,E);
198

Lanjutan lampiran 8

0., 56270.72426

> phi:=p*h-c*E;
6 2
f := 6.4486250 10 E - 114.6000 E

> fsolve(phi,E);
0., 56270.72426

> Y:=diff(phi,E);
Y := 6.4486250 106 - 229.2000 E

> fsolve(Y=0,E);
>
28135.36213

> Emey:=28135.36213;
Emey := 28135.36213

> hmey:=a*Emey+b*Emey^2;
hmey := 1.975424806 107

> TRmey:=p*hmey;
TRmey := 1.185254884 1011

> TCmey:=c*Emey;
10
TCmey := 2.780828855 10

> phiemy:TRmey-TCmey;
10
9.071719985 10

> Eoa:=56270.72426;
Eoa := 56270.72426

> hoa:=a*Eoa+b*Eoa^2;
hoa := 9.26942951 106

> TRoa:=p*hoa;
10
TRoa := 5.561657706 10

> TCoa:=c*Eoa;
TCoa:= 5.561657709 1010

> phioa:=TRoa-TCoa;
phioa ;=0
199

Lampiran 9 Jumlah sampel ikan layang biru (Decapterus macarellus)


berdasarkan minggu pengamatan, Januari – Mei 2008

Periode Jenis Kelamin


Pengamatan Jantan Betina Jumlah Bulan
(Minggu) (ekor) (ekor) (ekor)
I 24 75 100
II 34 70 100
Januari
III 35 72 100
IV 25 65 100
I 35 65 100
II 45 60 100
Pebruari
III 35 62 100
IV 30 68 100
I 30 68 100
II 33 65 100
Maret
III 22 75 100
IV 30 77 100
I 30 73 100
II 35 68 100
April
III 35 62 100
IV 30 67 100
I 30 73 100
II 35 65 100
Mei
III 38 60 100
IV 34 65 100
TOTAL 645 1355 2000
200

Lampiran 10 Distribusi frekuensi panjang ikan layang biru (Decapterus


macarellus) jantan (a) dan betina (b) di perairan Maluku Utara,
Januari 2008 – Mei 2008

(a)
Nilai Tengah
Frekuensi (Periode Bulan Pengamatan)
Panjang Total
(mm) Januari Februari Maret April Mei Frekuensi
216 4 3 0 0 0 7
227 20 12 2 2 5 41
238 30 37 16 14 31 128
249 20 20 6 6 33 85
260 17 28 28 25 23 121
271 11 35 34 39 21 140
282 16 10 24 40 23 113
293 0 0 1 2 0 3
304 0 0 3 2 1 6
315 0 0 1 0 0 1
Jumlah 118 145 115 130 137 645

(b)
Nilai Tengah Frekuensi (Periode Bulan
Panjang Pengamatan) Total
(mm) Januari Februari Maret April Mei Frekuensi
219.5 16 7 0 0 0 23
229.5 35 21 5 5 4 70
239.5 89 62 30 40 39 260
249.5 43 60 32 37 35 207
259.5 35 48 55 48 54 240
269.5 32 14 85 77 75 283
279.5 32 42 68 54 53 249
289.5 0 0 2 1 0 3
299.5 0 1 4 6 2 13
309.5 0 0 1 1 0 2
319.5 0 0 3 1 1 5
Jumlah 282 255 285 270 263 1355
201

Lampiran 11 Distribusi frekuensi panjang ikan layang biru (Decapterus


macarellus) gabungan (jantan + betina) di perairanMaluku Utara,
Januari – Mei 2008

Nilai Tengah Frekuensi (Periode Bulan Pengamatan) Total


(mm) Januari Pebruari Maret April Mei Frekuensi
215.5 8 0 0 0 0 8
225.5 46 36 4 1 3 90
235.5 72 52 36 28 28 216
245.5 122 106 40 64 76 408
255.5 46 77 47 72 82 324
265.5 35 59 98 26 73 291
275.5 40 32 91 156 97 416
285.5 31 37 71 41 37 217
295.5 0 0 5 5 2 12
305.5 0 1 4 5 1 11
315.5 0 0 4 2 1 7
Jumlah 400 400 400 400 400 2000
202

Lampiran 12 Tingkat kematangan gonad ikan layang biru (Decapterus macarellus) jantan pada kelas ukuran panjang

Nilai Tengah Jumlah


Selang Tingkat Kematangan Gonad Jumlah Belum Jumlah
Panjang Contoh ikan
TKG TKG TKG TKG TKG Matang Gonad Matang Gonad
Kelas (mm) (ekor)
I II III IV V (ekor) (ekor)
211 - 221 216 7 5 2 0 0 0 7 0
222 - 232 227 41 30 11 0 0 0 41 0
233 - 243 238 128 50 49 16 8 5 104 24
244 - 254 249 85 20 30 19 12 4 54 31
255 - 265 260 121 23 32 23 34 9 64 57
266 - 276 271 140 5 47 18 47 23 75 65
277 - 287 282 113 5 18 31 54 5 28 85
288 - 298 293 3 0 0 0 2 1 1 2
299 - 309 304 6 0 0 1 5 0 0 6
310 - 320 315 1 0 0 0 1 0 0 1
Jumlah 645 138 189 108 163 47 374 271
203

Lampiran 13 Tingkat kematangan gonad ikan layang biru (Decapterus macarellus) betina pada kelas ukuran panjang

Nilai Tengah Jumlah


Selang Tingkat Kematangan Gonad Jumlah Belum Jumlah
Panjang Contoh ikan
TKG TKG TKG TKG TKG Matang Gonad Matang Gonad
Kelas (mm) (ekor)
I II III IV V (ekor) (ekor)
215 - 224 219.5 23 15 8 0 0 0 23 0
225 - 234 229.5 70 43 27 0 0 0 70 0
235 - 244 239.5 260 112 95 48 4 1 208 52
245 - 254 249.5 207 43 77 39 41 7 127 80
255 - 264 259.5 240 30 35 65 90 20 85 155
265 - 274 269.5 283 30 52 59 112 30 112 171
275 - 284 279.5 249 26 20 39 117 47 93 156
285 - 294 289.5 3 0 0 0 2 1 1 2
295 - 304 299.5 13 0 0 4 8 1 1 12
305 - 314 309.5 2 0 0 0 2 0 0 2
315 - 324 319.5 5 0 0 0 5 0 0 5
Jumlah 1355 299 314 254 381 107 720 635
204

Lampiran 14 Pendugaan ukuran ikan layang biru (Decapterus macarellus) jantan saat mencapai kematangan gonad pertama

Tengah Log Jumlah Contoh Jumlah Matang % Matang Gonad Selisih Log
Kelas
Kelas T. Kelas ikan (ekor) Gonad (ekor) Gonad Tengah Kelas qi pi*qi/ni-1
(mm) (ni) (ri) pi =(ri/ni) (X) (1-pi)
211 - 221 216 2.3345 7 0 0.000000 1.000000 0.0000
222 - 232 227 2.3560 41 0 0.000000 0.021572 1.000000 0.0000
233 - 243 238 2.3766 128 24 0.187500 0.020551 0.812500 0.0012
244 - 254 249 2.3962 85 31 0.364706 0.019622 0.635294 0.0028
255 - 265 260 2.4150 121 57 0.471074 0.018774 0.528926 0.0021
266 - 276 271 2.4330 140 65 0.464286 0.017996 0.535714 0.0018
277 - 287 282 2.4502 113 85 0.752212 0.017280 0.247788 0.0017
288 - 298 293 2.4669 3 2 0.666667 0.016619 0.333333 0.1111
299 - 309 304 2.4829 6 6 1.000000 0.016006 0.000000 0.0000
310 - 320 315 2.4983 1 1 1.000000 0.015437 0.000000 0.0000
Total 645 271 4.906 0.1639 5.0936

Log m = Xk + X/2 – (XΣpi)


= 2.4829 + 0.016006/2 (0.016006 x 4.906)
= 2.4123

M' = anti log m


= anti log 2.4123
= 258 mm = 25,8 cm
205

Lampiran 15 Pendugaan ukuran ikan layang biru (Decapterus macarellus) betina saat mencapai kematangan gonad pertama

Tengah Log Jumlah Contoh Jumlah Matang % Matang Gonad Selisih Log
Kelas
Kelas T. Kelas ikan (ekor) Gonad (ekor) Gonad Tengah Kelas qi pi*qi/ni-1
(mm) (ni) (ri) pi =(ri/ni) (X) (1-pi)
215 - 224 219.5 2.3414 23 0 0.000000 1.000000 0.000000
225 - 234 229.5 2.3608 70 0 0.000000 0.019348 1.000000 0.000000
235 - 244 239.5 2.3793 260 52 0.200000 0.018523 0.800000 0.000618
245 - 254 249.5 2.3971 207 80 0.386473 0.017765 0.613527 0.001151
255 - 264 259.5 2.4141 240 155 0.645833 0.017067 0.354167 0.000957
265 - 274 269.5 2.4306 283 171 0.604240 0.016421 0.395760 0.000848
275 - 284 279.5 2.4464 249 156 0.626506 0.015823 0.373494 0.000944
285 - 294 289.5 2.4616 3 2 0.666667 0.015267 0.333333 0.111111
295 - 304 299.5 2.4764 13 12 0.923077 0.014748 0.076923 0.005917
305 - 314 309.5 2.4907 2 2 1.000000 0.014264 0.000000 0.000000
315 - 324 319.5 2.5045 5 5 1.000000 0.013810 0.000000 0.000000
Total 1355 635 6.0528 0.1630 4.9472

Log m = Xk + X/2 – (XΣpi)


= 2.4907 + 0.014264/2 (0.014264 x 6.0528)
= 2.4115

M' = anti log m


= anti log 2.4115
= 58 mm = 25,8 cm
206

Lampiran 16 Rata-rata produksi ikan layang (kg) di PPN Ternate tahun 2003 – 2007

Tahun
Bulan Jumlah Rata-rata
2003 2004 2005 2006 2007
Januari 208085 165392 223823 164506 182974 944781 188956
Februari 168548 130337 221893 173540 173376 867695 173539
Maret 163005 206149 225037 292666 333739 1220594 244119
April 167762 187779 215648 267188 205538 1043915 208783
Mei 147962 204115 223600 181711 268067 1025454 205091
Juni 235045 233563 261256 201700 65880 997444 199489
Juli 271679 285659 279088 369586 364552 1570565 314113
Agustus 319697 85297 381158 594289 595508 1975949 395190
September 249330 268395 320543 227661 348937 1414866 282973
Oktober 206258 220505 250311 283464 447877 1408415 281683
Nopember 155182 144330 172212 159494 173112 804331 160866
Desember 116049 75778 121431 126675 160073 600005 120001
207

Lampiran 17 Jumlah rata-rata effort standard bulanan ikan layang yang beroperasi di perairan Maluku Utara tahun 2003 – 2007

Tahun
Bulan Jumlah Rata-rata
2003 2004 2005 2006 2007
Januari 72 209 150 133 129 693 139
Februari 104 194 112 155 145 710 142
Maret 88 170 177 140 148 724 145
April 126 141 82 133 180 661 132
Mei 103 145 75 156 161 640 128
Juni 93 142 68 173 254 729 146
Juli 102 174 169 189 126 761 152
Agustus 90 287 207 177 413 1175 235
September 100 197 143 157 156 753 151
Oktober 125 225 106 125 116 696 139
Nopember 86 146 148 170 158 708 142
Desember 69 160 109 137 141 615 123
208

Lampiran 18 CPUE rata-rata ikan layang di perairan Maluku Utara tahun 2003-2007

Tahun
Bulan Jumlah Rata-rata
2003 2004 2005 2006 2007
Januari 2910.91 855.509 1545.185 1310.990 1433.815 8056 1611
Februari 1717.50 1014.994 2164.524 1393.947 1336.690 7628 1526
Maret 2007.15 1461.121 1634.393 2292.666 2344.279 9740 1948
April 1507.10 1525.766 2771.728 2267.149 1329.320 9401 1880
Mei 1559.42 1507.248 2651.252 1398.480 1748.214 8865 1773
Juni 2709.50 1760.259 3900.402 1447.157 912.207 10730 2146
Juli 2714.29 1727.633 1777.539 1987.867 2533.176 10741 2148
Agustus 3633.99 1295.634 1537.933 3130.718 1232.266 10831 2166
September 2574.11 1475.999 2415.391 1806.943 2400.366 10673 2135
Oktober 1702.40 1033.747 2503.657 2348.080 2927.052 10515 2103
Nopember 1861.36 1038.926 1308.786 1164.874 1128.336 6502 1300
Desember 1773.04 853.940 1345.540 1211.252 1272.136 6456 1291
209

Lampiran 19 Perkembangan produksi bulanan ikan layang di PPN Ternate tahun 2003 – 2007

Produksi dengan alat tangkap pukat cincin satuan: kg


Tahun
Bulan Jumlah Rata-rata
2003 2004 2005 2006 2007
Januari 191000 150000 203000 141000 164748 849748 169950
Februari 142000 106000 191000 137000 144984 720984 144197
Maret 132000 178000 188000 250000 300626 1048626 209725
April 140000 163000 181000 229000 175960 888960 177792
Mei 122000 181000 159000 146000 240416 848416 169683
Juni 214000 206000 222000 159000 32828 833828 166766
Juli 235000 249000 247000 319000 324820 1374820 274964
Agustus 281000 49000 339000 541000 553986 1763986 352797
September 218000 241000 282000 177000 313986 1231986 246397
Oktober 182000 196000 240000 250000 319020 1187020 237404
Nopember 128000 117000 149000 122000 143640 659640 131928
Desember 88000 48000 96000 88000 129732 449732 89946
Jumlah 2073000 1884000 2497000 2559000 2844746 11857746 2371549
Rata-rata 172750 157000 208083 213250 237062 988145.5 197629.1
210

Lanjutan lampiran 19

Produksi dengan alat tangkap jaring insang satuan: kg


Tahun
Bulan Jumlah Rata-rata
2003 2004 2005 2006 2007
Januari 1182 1477 944 1639 1329 6571 1314
Februari 2954 3693 1401 4099 3324 15471 3094
Maret 2718 3398 1679 3772 3058 14625 2925
April 1300 1625 1571 1804 1463 7762 1552
Mei 1064 1330 1478 1476 1197 6545 1309
Juni 1064 1330 1780 1476 1197 6847 1369
Juli 12173 15216 1455 16890 13694 59428 11886
Agustus 6500 8125 1912 9019 7313 32868 6574
September 6618 8273 2654 9183 7446 34174 6835
Oktober 8746 10932 921 12135 9839 42572 8514
Nopember 9454 11818 1052 13118 10636 46079 9216
Desember 8626 10783 1153 11969 9705 42236 8447
Jumlah 62400 78000 18000 86580 70200 315180 63036
Rata-rata 5200 6500 1500 7215 5850 26265 5253
211

Lanjutan lampiran 19

Produksi dengan alat tangkap bagan perahu satuan: kg


Tahun
Bulan Jumlah Rata-rata
2003 2004 2005 2006 2007
Januari 15903 13915 19879 21867 16897 88462 17692
Februari 23594 20644 29492 32441 25068 131239 26248
Maret 28286 24751 35358 38894 30054 157343 31469
April 26462 23154 33077 36385 28115 147193 29439
Mei 24898 21785 31122 34234 26454 138493 27699
Juni 29981 26233 37476 41224 31855 166768 33354
Juli 24506 21443 30633 33696 26038 136317 27263
Agustus 32197 28172 40246 44271 34209 179095 35819
September 24711 19122 35889 41478 27506 148706 29741
Oktober 15512 13573 19390 21329 16482 86286 17257
Nopember 17728 15512 22160 24376 18836 98612 19722
Desember 19422 16995 24278 26706 20636 108037 21607
Jumlah 283200 245300 359000 396900 302150 1586550 317310
Rata-rata 23600 20442 29917 33075 25179 132213 26443
212

Lampiran 20 Perkembangan upaya tangkap bulanan ikan layang di PPN Ternate tahun 2003 – 2007

Upaya alat tangkap mini purse seine satuan: trip


Tahun
Bulan Jumlah Rata-rata
2003 2004 2005 2006 2007
Januari 66 190 136 114 117 623 125
Februari 88 158 96 125 124 591 118
Maret 71 147 148 120 135 621 124
April 105 122 69 112 155 563 113
Mei 85 129 62 125 145 546 109
Juni 81 125 58 136 125 525 105
Juli 88 152 150 162 115 667 133
Agustus 79 165 171 159 130 704 141
September 87 177 126 122 144 656 131
Oktober 110 210 98 110 110 638 128
Nopember 71 129 128 130 140 598 120
Desember 52 118 86 95 122 473 95
Jumlah 983 1822 1328 1510 1562 7205 1441
Rata-rata 82 152 111 126 130 600 120
213

Lanjutan lampiran 20

Upaya alat tangkap jaring insang hanyut satuan: trip


Tahun
Bulan Jumlah Rata-rata
2003 2004 2005 2006 2007
Januari 65 152 176 97 105 595 119
Februari 64 195 115 80 104 558 112
Maret 99 153 123 96 100 571 114
April 90 166 127 108 110 601 120
Mei 119 183 164 120 115 701 140
Juni 118 176 175 124 145 738 148
Juli 120 153 162 130 115 680 136
Agustus 99 147 149 125 120 640 128
September 78 140 138 119 123 598 120
Oktober 100 134 120 84 101 539 108
Nopember 70 114 132 104 109 529 106
Desember 79 80 119 89 90 457 91
Jumlah 1101 1793 1700 1276 1337 7207 1441
Rata-rata 92 149 142 106 111 601 120
214

Lanjutan lampiran 20

Upaya alat tangkap bagan perahu satuan: trip


Tahun
Bulan Jumlah Rata-rata
2003 2004 2005 2006 2007
Januari 72 61 71 72 89 365 73
Februari 58 43 50 57 57 265 53
Maret 54 45 52 59 59 269 54
April 55 46 53 54 60 268 54
Mei 59 57 66 66 68 316 63
Juni 71 61 71 72 79 354 71
Juli 75 58 66 68 73 340 68
Agustus 62 52 61 63 68 306 61
September 61 49 57 58 64 289 58
Oktober 58 46 53 55 63 275 55
Nopember 60 47 54 55 61 277 55
Desember 55 42 48 54 45 244 49
Jumlah 740 607 702 733 786 3569 714
Rata-rata 62 51 59 61 66 297 59
215

Lampiran 21 Perhitungan indeks musim penangkapan ikan layang dengan


metode rata-rata bergerak
CPUE
Tahun Bulan RGi RGPi Rbi
standar
2003 Januari 2910.912
Februari 1717.505
Maret 2007.149
April 1507.097
Mei 1559.421
Juni 2709.496 2222.564
Juli 2714.289 2051.281 2136.923 1.270
Agustus 3633.990 1992.738 2022.010 1.797
September 2574.113 1947.236 1969.987 1.307
Oktober 1702.400 1948.792 1948.014 0.874
Nopember 1861.360 1944.444 1946.618 0.956
Desember 1773.042 1865.341 1904.892 0.931
2004 Januari 855.509 1783.120 1824.230 0.469
Februari 1014.994 1588.257 1685.688 0.602
Maret 1461.121 1496.747 1542.502 0.947
April 1525.766 1441.026 1468.887 1.039
Mei 1507.248 1372.490 1406.758 1.071
Juni 1760.259 1295.898 1334.194 1.319
Juli 1727.633 1353.371 1324.635 1.304
Agustus 1295.634 1449.165 1401.268 0.925
September 1475.999 1463.605 1456.385 1.013
Oktober 1033.747 1567.435 1515.520 0.682
Nopember 1038.926 1662.768 1615.102 0.643
Desember 853.940 1841.114 1751.941 0.487
2005 Januari 1545.185 1845.272 1843.193 0.838
Februari 2164.524 1920.812 1883.042 1.149
Maret 1634.393 1999.095 1959.954 0.834
April 2771.728 2121.588 2060.341 1.345
Mei 2651.252 2144.076 2132.832 1.243
Juni 3900.402 2185.043 2164.559 1.802
Juli 1777.539 2165.526 2175.285 0.817
Agustus 2202.114 2101.312 2133.419 1.032
September 2415.391 2156.168 2128.740 1.135
Oktober 2503.657 2114.120 2135.144 1.173
Nopember 1308.786 2009.722 2061.921 0.635
Desember 1345.540 1805.285 1907.503 0.705
216

Lanjutan lampiran 21

CPUE
Tahun Bulan RGi RGPi Rbi
standar
2006 Januari 1310.990 1832.357 1818.821 0.721
Februari 1393.947 1944.612 1888.485 0.738
Maret 2292.666 1893.908 1919.260 1.195
April 2267.149 1880.943 1887.426 1.201
Mei 1398.480 1868.951 1874.947 0.746
Juni 1447.157 1857.760 1862.878 0.777
Juli 2102.409 1867.995 1862.878 1.129
Agustus 3549.173 1863.224 1865.610 1.902
September 1806.943 1867.525 1865.375 0.969
Oktober 2348.080 1789.373 1828.449 1.284
Nopember 1164.874 1818.517 1803.945 0.646
Desember 1211.252 1771.892 1795.205 0.675
2007 Januari 1433.815 1836.195 1804.044 0.795
Februari 1336.690 1643.120 1739.658 0.768
Maret 2344.279 1692.572 1667.846 1.406
April 1329.320 1740.819 1716.696 0.774
Mei 1748.214 1737.775 1739.297 1.005
Juni 887.657 1742.848 1740.311 0.510
Juli 2874.047
Agustus 1232.266
September 2400.366
Oktober 2927.052
Nopember 1128.336
Desember 1272.136
217

Lanjutan lampiran 21

Jul-03 Jul-04 Jul-05 Jul-06 Total


Bulan RRBi IMPi
Jun-04 Jun-05 Jun-06 Jun-07 Rbi
Juli 1.270 1.304 0.817 1.129 4.520 1.130 113.986
Agustus 1.797 0.925 1.032 1.902 5.656 1.414 142.640
September 1.307 1.013 1.135 0.969 4.423 1.106 111.547
Oktober 0.874 0.682 1.173 1.284 4.013 1.003 101.192
Nopember 0.956 0.643 0.635 0.646 2.880 0.720 72.624
Desember 0.931 0.487 0.705 0.675 2.798 0.700 70.566
Januari 0.469 0.838 0.721 0.795 2.823 0.706 71.185
Februari 0.602 1.149 0.738 0.768 3.258 0.815 82.160
Maret 0.947 0.834 1.195 1.406 4.381 1.095 110.483
April 1.039 1.345 1.201 0.774 4.360 1.090 109.935
Mei 1.071 1.243 0.746 1.005 4.066 1.016 102.521
Juni 1.319 1.802 0.777 0.510 4.408 1.102 111.162
JRRBi 11.897
FK 100.868787
218

Lampiran 22 Lokasi perairan dan titik koordinat daerah penangkapan ikan


layang di perairan Maluku Utara

Lokasi Perairan Titik Koordinat


Perairan Morotai 02º 31' 55'' LU, 128º 04' 47'' BT
Perairan Morotai 02º 01' 08'' LU, 128º 37' 10'' BT
Perairan Teluk Kao 01º 33' 34,9'' LU, 128º 13' 45,8'' BT
Perairan Teluk Kao 01º 44' 16,5'' LU, 128º 20' 17,8'' BT
Perairan Batang Dua 01º 29' 40,6'' LU, 126º 48' 59,4'' BT
Perairan Batang Dua 01º 12' 31,7'' LU, 126º 48' 59,4'' BT
Perairan Ternate - Tidore 00º 35' 49,3'' LU, 127º 18' 00'' BT
Perairan Ternate - Tidore 00º 35' 11,7'' LU, 127º 18' 27,8'' BT
Perairan Moti 00º 23' 38,7'' LU, 127º 19' 22,7'' BT
Perairan Moti 00º 25' 08,5'' LU, 127º 19' 27,4'' BT
Perairan Makian 00º 19' 36,5'' LU, 127º 19' 28,5'' BT
Perairan Makian 00º 20' 49,2'' LU, 127º 19' 27,3'' BT
Perairan Kayoa 00º 36' 20'' LU, 129º 19' 30,57'' BT
Perairan Kayoa 00º 18' 51'' LU, 129º 16' 39'' BT
Laut Maluku 01º 16' 24'' LU, 127º 03' 04'' BT
Laut Maluku 01º 34' 14'' LU, 127º 12' 23'' BT
Laut Maluku 00º 52' 21'' LS, 126º 37' 11'' BT
Perairan P. Kasiruta 00º 24' 38'' LS, 126º 55' 47'' BT
Perairan P. Kasiruta 00º 47' 32'' LS, 126º 49' 36'' BT
Sumber: Data primer, 2008.
219

Lampiran 23 Dokumentasi hasil penelitian

Gambar 1 Kapal mini purse seine yang beroperasi di perairan Maluku Utara.

Gambar 2 Alat tangkap mini purse seine di Maluku Utara.

Gambar 3 Operasi penangkapan mini purse seine di Maluku Utara.


220

Lanjutan lampiran ampiran 23

Gambar 4 Perahu jaring insang hanyut yang beroperasi


di perairan Maluku Utara.

Gambar 5 Alat tangkap jaring insang hanyut di Maluku Utara.

Gambar 6 Operasi penangkapan jaring insang hanyut di


perairan Maluku Utara.
221

Lanjutan lampiran 23

Gambar 7 Bagan perahu yang beroperasi di perairan Maluku Utara.

Gambar 8 Perahu pembantu bagan perahu di Maluku Utara.

Gambar 9 Daerah penangkapan ikan layang di Maluku Utara.


222

Lanjutan lampiran 23

Gambar 10 Hasil tangkapan ikan layang.

Gambar 11 Aktivitas pendaratan ikan di Pelabuhan Perikanan.

Gambar 12 Ikan layang yang siap dipasarkan ke Jakarta dan Surabaya.


223

Lanjutan lampiran 23

Gambar 13 Kegiatan wawancara dengan responden.

Gambar 14 Pengukuran panjang dan berat tubuh ikan.

Gambar 15 Pembedahan ikan.


224

Lanjutan lampiran 23

Gambar 16 Gonad ikan betina fase 4.

Gambar 17 Pengukuran berat gonad.

Gambar 18 Identifkasi gonad.


225

Lanjutan lampiran 23

Gambar 19 Butiran telur.


i

POLA PENGEMBANGAN BERKELANJUTAN


SUMBERDAYA IKAN LAYANG (Decapterus spp)
DI PERAIRAN MALUKU UTARA

IRHAM

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2009
ii

PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN


SUMBER INFORMASINYA

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Pola Pengembangan


Berkelanjutan Sumberdaya Ikan Layang (Decapterus spp) di Perairan Maluku
Utara adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum
diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Bogor, Mei 2009

Irham
C461060071
iii

ABSTRACT

IRHAM. Sustainable Development Pattern of Scad Resources (Decapterus spp) in


North Maluku Waters. Under the direction of SUGENG HARI WISUDO, JOHN
HALUAN and BUDY WIRYAWAN.
The potential of scad resources in North Maluku waters is expected to be
abundant with the utilization level considered as developing, however, specifically
there is different fishing stress on scad resources. The objectives of the research
are: 1) to determine the main priority for scad fishing technology based on
biological, technical, social, economic, and environmentally friendly aspects; 2) to
determine the optimization of scad fishery management; 3) to determine
biological characteristics of scad (Decapterus macarelluas) based on fish
population parameter approach; 4) to determine minimum net mesh size of the
selected fishing gear; 5) to determine the pattern of fishing season and the impact
on catch of scad; and 6) to arrange the sustainable development pattern of scad
resources in North Maluku waters. The research used survey and observation
method. The method applied in the analysis was scoring and value function,
Gordon-Schaefer model on sustainable production function and bio-economy,
Linear Goal Programming model, fish population parameter analysis, simple
linear regression analysis, moving average method, and descriptive model. Result
showed that scad fishing technology that is appropriate to be developed is mini
purse seine. Estimation of scad catch result optimum value is 19.754, 248 ton per
year with optimum catch effort is 28.135 mini purse seine standard trip, and thus
the maximum profit obtained is Rp. 90.717.199.850,00. The allocation of
recommended mini purse seine fishing unit is 202 units that employ around 2626
fishermen. The analysis of several scad (Decapterus macerellus) population
parameters resulted faster growth of female scad compare to the male and both
reached maximum length in the age of 4 years. Scad growth characteristic is
“Alometric minor”, which means that the growth of its body length is faster than
its weight. Scad caught was dominated by immature gonad. The highest amount
of mature gonad scad was found in March and the size at first gonad maturity is
reached at 25,8 cm total length. The spawning period is during April/May.
Fecundity obtained is around 28875-84000 with the total length vary from 268-
310 mm. The amount of egg is highly influenced by the fish’s total length. The
pattern of fishing season is following the scad’s abundance pattern. The peaks of
scad fishing season occurs in March-October with the highest point reached in
August. While fishing ground December – February indicated by lowest catch.
Catch area and scad fishing season in various waters in North Maluku covers: (1)
the center part of North Maluku, with fishing season from February -May and July
- September; (2) southern part of North Maluku with fishing season from April -
October; and (3) northern part of North Maluku with fishing season from April -
September. A sustainable development pattern of scad resources in North Maluku
waters has been arranged, which covers 5 components: Selected scad fishing
technology, optimization of scad fishery management, scad biology, minimum
mesh size of chosen fishing gear, and the pattern of fishing season.

Key word: development pattern, scad, fishing technology, North Maluku waters.
iv

RINGKASAN
IRHAM. Pola Pengembangan Berkelanjutan Sumberdaya Ikan Layang
(Decapterus spp) di Perairan Maluku Utara. Dibimbing oleh SUGENG HARI
WISUDO, JOHN HALUAN, dan BUDY WIRYAWAN.

Potensi sumberdaya ikan layang di perairan Maluku Utara diduga cukup


melimpah dengan tingkat pemanfaatannya dalam tahap berkembang, namum
secara spesifik kondisi yang terjadi adalah tekanan penangkapan yang berbeda
terhadap jenis sumberdaya ikan layang. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor
antara lain: (1) jenis ikan tersebut mudah ditangkap oleh nelayan dengan
menggunakan beragam jenis alat tangkap (2) umumnya berada pada daerah
operasi penangkapan yang terbatas (inshore atau artisanal fishery) (3) minat
masyarakat untuk mengkonsumsi jenis ikan tersebut cukup tinggi, dan (4)
memiliki permintaan pasar yang relatif tinggi, baik pasar interinsuler maupun
pasar ekspor. Tujuan dari penelitian ini adalah: 1) menentukan prioritas utama
teknologi penangkapan ikan layang berdasarkan kriteria aspek biologi, teknis,
sosial dan ekonomi dan keramahan lingkungan; 2) menentukan optimalisasi
pengelolaan perikanan ikan layang; 3) menentukan karakteristik biologi ikan
layang yang dominan tertangkap berdasarkan pendekatan beberapa parameter
populasi ikan; 4) menentukan ukuran mata jaring minimum terhadap alat tangkap
terpilih dalam pemanfaatan sumberdaya ikan layang; 5) menentukan pola musim
penangkapan dan pengaruhnya terhadap hasil tangkapan ikan layang; dan 6)
menyusun suatu pola pengembangan berkelanjutan sumberdaya ikan layang di
perairan Maluku Utara.
Penelitian ini menggunakan metode survei dan observasi dengan
menggunakan metoda skoring dan fungsi nilai untuk menentukan prioritas unit
penangkapan ikan layang yang layak dikembangkan, model fungsi produksi
lestari dan bio-ekonomi Gordon-Schaefer untuk menentukan produksi lestari dan
nilai bio-ekonomi sumberdaya ikan layang, model Linear Goal Programming di
gunakan untuk alokasi jumlah unit penangkapan ikan layang yang optimum,
analisis parameter populasi ikan digunakan untuk menentukan pertumbuhan
ikan, hubungan panjang berat, tingkat kematangan gonad, fekunditas dan ukuran
ikan pertama kali matang gonad, analisis regresi linear sederhana untuk
menghitung hubungan antara lingkar badan dan panjang ikan layang guna
penentuan mesh size minimum jaring, metode rata-rata bergerak untuk
menentukan pola musim penangkapan, dan model deskriptif untuk menyusun pola
pengembangan berkelanjutan sumberdaya ikan layang di perairan Maluku Utara.
Prioritas teknologi penangkapan ikan layang terpilih sesuai dengen kriteria
aspek biologi, teknis, sosial, ekonomi menempatkan alat tangkap mini purse seine
pada urutan pertama, jaring insang hanyut pada urutan kedua dan bagan perahu
pada urutan ketiga. Sedangkan dari segi keramahan lingkungan alat tangkap jaring
insang hanyut berada pada urutan pertama sedangkan alat tangkap mini purse
seine dan bagan perahu masing-masing pada urutan kedua dan ketiga.
Berdasarkan total standarisasi keseluruhan aspek unit penangkapan ikan layang
maka yang menjadi prioritas pengembangan adalah alat tangkap mini purse seine
pada urutan pertama, jaring insang hanyut pada urutan kedua dan bagan perahu
pada urutan ketiga. Hal ini menunjukkan bahwa dalam usaha perikanan ikan
layang yang layak untuk dikembangkan adalah alat tangkap mini purse seine.
v

Estimasi nilai optimum dari komponen perikanan ikan layang menghasilkan hasil
tangkapan optimum yang memberikan keuntungan rasional bagi tingkat
pengusahaan sumberdaya ikan layang sebesar 19.754, 248 ton per tahun dengan
upaya penangkapan optimum 28.135 trip stándar mini purse seine sehingga
keuntungan maksimum yang diperoleh sebesar Rp. 90.717.199.850,00. Untuk
alokasi unit penangkapan mini purse seine sebagai alat tangkap yang
diprioritaskan direkomendasikan sebanyak 202 unit. Dan jumlah nelayan yang
optimum yang terserap pada unit penangkapan mini purse seine sebanyak 2626
orang. Hasil analisis beberapa parameter populasi ikan layang biru (Decapterus
macarellus) menunjukkan bahwa pertumbuhan ikan layang biru betina lebih
cepat dari pada ikan jantan dan keduanya mencapai panjang maksimum pada usia
4 tahun. Pola pertumbuhan ikan layang biru jantan maupun betina bersifat
alometrik minor, yang berarti pertumbuhan panjang tubuh ikan lebih cepat dari
pertumbuhan beratnya. Pengamatan gonad menunjukkan ikan yang tertangkap
didominasi ikan-ikan yang belum matang gonad. Jumlah terbanyak ikan layang
biru yang matang gonad ditemukan pada bulan Maret dan kematangan gonad
pertama kali di capai pada ukuran panjang total 25,8 cm. Pemijahan ikan layang
biru berlangsung pada bulan April/Mei. Fekunditas yang diperoleh berkisar antara
28875-84000 butir dengan kisaran panjang total 268-310 mm. Jumlah telur
sangat dipengaruhi oleh panjang total ikan. Hasil analisis pola musim
penangkapan menunjukkan bahwa musim penangkapan ikan layang di perairan
Maluku Utara berlangsung dari bulan Maret hingga Oktober dengan puncak
musimnya dicapai pada bulan Agustus yaitu pada musim timur. Sedangkan bukan
musim penangkapan yaitu pada bulan Desember hingga Februari bertepatan
dengan musim barat. Untuk pembagian daerah penangkapan dan musim
penangkapan ikan layang di berbagai wilayah perairan Maluku Utara meliputi :
(1) bagian tengah Maluku Utara yaitu sekitar perairan Ternate hingga ujung Utara
Halmahera yang mencakup perairan Batang Dua, Ternate, Tidore, Mare, Moti,
Makian dan Kayoa dengan musim penangkapan terjadi pada akhir bulan Februari
- Mei dan bulan Juli hingga September; (2) bagian selatan Maluku Utara terletak
sepanjang ujung selatan Halmahera hingga bagain barat pulau Bacan yaitu antara
perairan Obi dan Bacan hingga mencapai perairan laut Maluku dengan muism
penangkapan pada bulan April - Oktober; (3) bagian Utara Maluku Utara
mencakup perairan Utara Morotai dan perairan sekitar Teluk Kao dengan musim
penangkapan berlangsung pada bulan April - September. Berdasarkan keragaan
nilai optimal dari komponen perikanan ikan layang yang dikaji dapat disusun
suatu pola pengembangan berkelanjutan sumberdaya ikan layang di perairan
Maluku Utara. Pola ini mencakup 5 kompenen yaitu : mini purse seine sebagai
alat tangkap ikan layang pilihan, pemanfaatan sumberdaya ikan layang optimal,
biologi ikan layang, mesh size optimum alat tangkap pilihan (mini purse seine)
serta waktu dan daerah penangkapan ikan layang yang tepat.

Kata kunci: Pola pengembangan, ikan layang, teknologi penangkapan, perairan


Maluku Utara.
vi

© Hak cipta milik IPB, tahun 2009


Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
yang wajar IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya tulis
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
vii

POLA PENGEMBANGAN BERKELANJUTAN


SUMBERDAYA IKAN LAYANG (Decapterus spp)
DI PERAIRAN MALUKU UTARA

IRHAM

Disertasi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Doktor pada
Program Studi Teknologi Kelautan

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2009
viii

Penguji Luar Komisi Ujian Tertutup :

1. Prof. Dr. Ir. Mulyono S Baskoro, M.Sc


2. Dr. Ir. Domu Simbolon, M.Si

Penguji Luar Komisi Ujian Terbuka :

1. Prof. Dr. Ir. Muhajir K Marsaoli, M.Si


2. Dr. Ir. Fedi Alfiadi Sondita, M.Sc
ix

Judul Disertasi : Pola Pengembangan Berkelanjutan Sumberdaya Ikan


Layang (Decapterus spp) di Perairan Maluku Utara
Nama : Irham
NRP : C461060071

Disetujui

Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Sugeng Hari Wisudo, M.Si.


Ketua

Prof. Dr. Ir. John Haluan, M.Sc. Dr. Ir. Budy Wiryawan, M.Sc .
Anggota Anggota

Mengetahui

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana


Teknologi Kelautan

Prof. Dr. Ir. John Haluan, M.Sc. Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, M.S.

Tanggal Ujian : 22 Mei 2009 Tanggal Lulus :


x

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-
Nya sehingga disertasi ini berhasil diselesaikan. Disertasi ini berjudul” Pola
Pengembangan Berkelanjutan Sumberdaya Ikan Layang (Decapterus spp) di
Perairan Maluku Utara” disusun sebagai salah satu syarat penyelesaian program
pendidikan Strata 3 di Sekolah Pascasarjana IPB.
Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan
yang tulus kepada:
1. Dr. Ir. Sugeng H. Wisudo, M.Si, selaku ketua Komisi Pembimbing, Prof. Dr.
Ir. John Haluan, M.Sc dan Dr. Ir. Budy Wiryawan, M.Sc selaku anggota
Komisi Pembimbing, yang telah berkenaan memberikan arahan dan
bimbingan untuk menyelesaikan disertasi ini.
2. Dosen Penguji Luar Komisi, Prof. Dr. Ir. Muhajir K Marsaoli, M.Si (Kepala
Bappeda Provinsi Maluku Utara) dan Dr. Ir. Fedi Alfiadi Sondita, M.Sc
(Dosen Departemen PSP Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB Bogor)
atas kesdiannya untuk memberikan pengujian serta masukan pada ujian
terbuka.
3. Rektor, Dekan sekolah pascasarjana, Dekan Fakultas Perikanan dan Ilmu
Kelautan, Ketua Program Studi Teknologi kelutan Insitut Pertanian Bogor
beserta staf pengajar yang telah memberikan ilmu pengetahuan selama studi.
4. Rektor dan Dekan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelutan Unkhair yang telah
memberikan izin untuk melanjutkan studi di Program Studi Teknologi
Kelautan IPB - Bogor.
5. Direktur Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional, yang telah
memberikan bantuan dana pendidikan melalui Beasiswa Program
Pascasarjana (BPPS).
6. Kepala Bappeda provinsi Maluku Utara, Kepala Dinas Perikanan dan Ilmu
Kelautan provinsi Maluku Utara, Kepala Pelabuhan Perikanan Nusantara
Ternate dan Kepala Karantina Ikan Kelas II Babullah Ternate serta segenap
jajarannya atas izin yang diberikan serta bantuan fasilitas selama penelitian
berlangsung.
7. Secara khusus ucapan terima kasih yang tak terhingga kepada kedua orang tua
penulis (Almarhum Yusuf Hi. Ichsan dan Hj. Siti Hawa Musa), yang walau
dalam perjalanan hidup penulis banyak menyusahkan mereka, namun dengan
segala curahan kasih sayang dan doa yang terus diberikan, akhirnya penulis
dapat menuai pendidikan yang begitu berarti.
8. Istri dan putri yang tercinta yang begitu ikhlas dan penuh pengorbanan,
sehingga mampu menghantarkan penulis menyelesaikan studi ini.
9. Kakak-kakakku, Sarifa Hi. Ichsan, Ardan Hi Ichsan, Kusdi Hi. Ichsan, Marwia
Hi. Ichsan, Abuhari Hamzah dan Martini Djamhur yang telah banyak
membantu baik moril mapupun matril selama studi.
10. Rekan-rekan mahasiswa Program Studi Teknologi Kelautan atas segala
kerjasama dan dukungannya selama ini.
Semoga disertasi ini bermanfaat.

Bogor, Mei 2009


Irham
xi

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Ternate pada tanggal 3 Desember 1979 sebagai anak


bungsu dari pasangan (Alm) Yusuf. Hi. Ichsan dan Hj. Siti Hawa Musa.
Pendidikan sarjana ditempuh di Jurusan Manajemen Sumberdaya Perairan,
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan UNKHAIR Ternate, lulus pada tahun 2002.
Pada tahun 2004, penulis diterima di Program Studi Teknologi Kelautan pada
Sekolah Pascasarjana IPB dan menamatkannya pada tahun 2006. Kesempatan
untuk melanjutkan ke program doktor pada program studi dan pada perguruan
tinggi yang sama diperoleh pada tahun 2006. Beasiswa pendidikan pascasarjana
(BPPS) diperolah dari DIKTI.
Penulis bekerja sebagai Staf Pengajar di Fakultas Perikanan dan Ilmu
Kelautan Universitas Khairun Ternate sejak tahun 2002. Sebuah artikel telah
diterbitkan dengan judul Analisis Pengembangan Perikanan Mini Purse Seine
Berbasis Optimasi Sumberdaya Ikan Pelagis Kecil di Provinsi Maluku Utara pada
Buletin PSP Volume XVII. No.1 April 2008. Artikel lain berjudul Parameter
Populasi dan Pola Musim Penangkapan Ikan Layang (Decapterus spp) di Perairan
Maluku Utara akan diterbitkan pada Buletin PSP Volume XVIII. No.1 April 2009.
Karya - karya ilmiah tersebut merupakan bagian dari program S3 penulis.
xii

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL................................................................................... xiii

DAFTAR GAMBAR. ............................................................................. xv

DAFTAR LAMPIRAN........................................................................... xviii

DAFTAR ISTILAH. ............................................................................... xx

1 PENDAHULUAN. ........................................................................... 1
1.1 Latar Belakang. ......................................................................... 1
1.2 Perumusan Masalah.. ................................................................ 5
1.3 Tujuan Penelitian.. .................................................................... 7
1.4 Manfaat Penelitian. ................................................................... 7
1.5 Hipotesis Penelitian................................................................... 8
1.6 Kerangka Pemikiran.................................................................. 8

2 TINJAUAN PUSTAKA. .................................................................. 13


2.1 Karakteristik Lokasi Penelitian....... .......................................... 13
2.1.1 Letak geografis dan administrasi. ................................... 13
2.1.2 Karakteristik iklim. ......................................................... 13
2.1.3 Karakteristik oseanografi. ............................................... 14
2.2 Pengembangan Usaha Perikanan Tangkap.. ............................. 15
2.3 Usaha Perikanan yang Berkelanjutan ....................................... 16
2.4 Determinasi Usaha Perikanan Tangkap... ................................. 17
2.5 Konsep Dasar Sistem Penangkapan Ikan Ramah Lingkungan.. 18
2.6 Sumberdaya Ikan (Decapterus spp) . ........................................ 20
2.6.1 Sistematika dan morfologi ikan layang........................... 20
2.6.2 Siklus hidup, distribusi dan ruaya ikan layang. .............. 24
2.6.3 Pertumbuhan ................................................................... 27
2.6.4 Hubungan panjang berat ................................................. 28
2.6.5 Tingkat kematangan gonad ............................................. 29
2.6.6 Indeks kematangan gonad ............................................... 29
2.6.7 Fekunditas ....................................................................... 30
2.7 Alat Tangkap Ikan Layang........................................................ 30
2.7.1 Pukat cincin (purse seine) ............................................... 30
2.7.2 Jaring insang hanyut........................................................ 32
2.7.3 Bagan perahu................................................................... 33
2.8 Pendekatan Analisis Optimalisasi Perikanan Ikan Layang....... 34
2.8.1 Standarisasi upaya tangkap ............................................. 34
2.8.2 Model produksi surplus................................................... 35
2.8.3 Model bioekonomi .......................................................... 35
2.9 Teori Pogram Linear ................................................................. 37
xiii

2.10 Musim Penangkapan Ikan ........................................................ 38


2.11 Penelitian Tentang Perikanan Layang...................................... 39

3 METODOLOGI.... ............................................................................ 41
3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian.. ................................................... 41
3.2 Alat dan Bahan........................................................................... 41
3.3 Metode Pengumpulan Data. ....................................................... 42
3.4 Metode Analisis Data................................................................. 48
3.4.1 Metode skoring dan fungsi nilai ...................................... 49
3.4.2 Model surplus produksi dan bio-ekonomi . ..................... 52
Gordon-Schaefer. .............................................................
3.4.3 Model linear goal programming....................................... 56
3.4.4 Analisis Parameter populasi ikan layang
(Decapterus macarellus).................................................. 57
3.4.4.1 Analisis parameter pertumbuhan......................... 57
3.4.4.2 Analisis hubungan panjang berat. ....................... 58
3.4.4.3 Metode pengamatan tingkat kematangan gonad . 59
3.4.4.4 Analisis indeks kematangan gonad. .................... 59
3.4.4.5 Perhitungan fekunditas........................................ 60
3.4.4.6 Metode Sperman Karber. .................................... 60
3.4.5 Analisis penentuan mesh size minimum jaring . ............. 61
3.4.6 Metode rata-rata bergerak (moving average).................. 61
3.4.7 Model deskriptif .............................................................. 64

4 HASIL ...................... ........................................................................ 65


4.1 Kondisi Perikanan Ikan Layang di Maluku Utara...................... 65
4.1.1 Deskripsi unit penangkapan ikan.......... .......................... 65
4.1.1.1 Mini purse seine. ................................................. 65
4.1.1.2 Jaring insang hanyut............................................ 70
4.1.1.3 Bagan perahu....................................................... 72
4.1.2 Produksi dan upaya penangkapan... ................................ 76
4.1.3 Kondisi nelayan dan sistem bagi hasil......... ................... 78
4.1.4 Kelembagaan nelayan........................................... .......... 81
4.1.5 Pemasaran................................................................ ....... 82
4.2 Teknologi Penangkapan Ikan Layang Pilihan............................ 83
4.2.1 Aspek biologi............. ..................................................... 84
4.2.2 Aspek teknis................................................... ................. 85
4.2.3 Aspek sosial................................................... ................. 86
4.2.4 Aspek ekonomi................................................................ 87
4.2.5 Aspek keramhaan lingkungan. ........................................ 88
4.2.6 Aspek biologi, teknis, sosial, ekonomi dan
keramahan lingkungan.. .................................................. 90
4.3 Optimalisasi Pengelolaan Perikanan Ikan Layang..................... 91
4.3.1 Potensi lestari maximum sustainable yield /MSY) ........... 91
4.3.2 Potensi ekonomi lestari (maximum economic yield/MEY) 93
4.3.2.1 Biaya penangkapan. .............................................. 93
4.3.2.2 Harga ikan hasil tangkapan. .................................. 94
4.3.2.3 Bio-ekonomi perikanan layang. ............................ 94
xiv

4.4 Alokasi Optimum Upaya Penangkapan Ikan Layang . .............. 98


4.5 Biologi Ikan Layang Biru (Decapterus macarellus)................. 101
4.5.1 Rasio kelamin dan sebaran frekuensi panjang ................ 101
4.5.2 Parameter pertumbuhan. ................................................. 106
4.5.3 Hubungan panjang berat. ................................................ 107
4.5.4 Tingkat kematangan gonad ............................................. 109
4.5.5 Ukuran ikan pertama kali matang gonad ........................ 111
4.5.6 Fekunditas. ..................................................................... 112
4.6 Mesh Size Minimum Alat Tangkap Ikan Layang Pilihan.. ...... 113
4.7 Pola Musim dan Daerah Penangkapan Ikan Layang. ............... 115
4.7.1 Indeks musim penangkapan ikan layang. ....................... 115
4.7.2 Pemetaan daerah dan musim penangkapan
ikan layang ...................................................................... 117

5 PEMBAHASAN... ............................................................................ 120


5.1 Teknologi Penangkapan Ikan Layang Pilihan............................ 120
5.1.1 Aspek biologi. .................................................................. 120
5.1.2 Aspek teknis. .................................................................... 121
5.1.3 Aspek sosial. .................................................................... 122
5.1.4 Aspek ekonomi. ............................................................... 123
5.1.5 Aspek keramahan lingkungan.. ........................................ 125
5.1.6 Aspek gabungan biologi, teknis, sosial, ekonomi
dan keramahan lingkungan. ............................................. 126
5.2 Optimalisasi Pengeloaan Perikanan Ikan Layang. ...................... 127
5.2.1 Potensi lestari (maximum sustainable yield/MSY). ........... 127
5.2.2 Bioekonomik perikanan layang. ....................................... 128
5.3 Alokasi Optimum Upaya Penangkapan Ikan Layang . ............... 130
5.4 Biologi Ikan Layang Biru (Decapterus macarellus)................... 131
5.5 Mesh Size Minimum Alat Tangkap Ikan Layang Pilihan. .......... 137
5.6 Pola Musim dan Daerah Penangkapan Ikan Layang. ................. 139
5.7 Pola Pengembangan Berkelanjutan Sumberdaya
Ikan Layang di Perairan Maluku Utara....................................... 143

6 KESIMPULAN DAN SARAN......................................................... 154


6.1 Kesimpulan. ............................................................................... 154
6.2 Saran........................................................................................... 155

DAFTAR PUSTAKA. ............................................................................ 156

LAMPIRAN............................................................................................ 166
xv

DAFTAR TABEL

Halaman

1 Jenis dan daerah penyebaran ikan layang di perairan Indonesia........ 26

2 Klasifikasi tingkatan kematangan gonad .......................................... 59

3 Spesifikasi kapal mini purse seine di Maluku Utara......................... 68

4 Spesifikasi perahu jaring insang hanyut di Maluku Utara ................ 72

5 Spesifikasi perahu pembantu pada bagan perahu di Maluku Utara .. 75

6 Produksi sumberdaya ikan layang di Maluku Utara, tahun


1998-2007 ......................................................................................... 76

7 Produksi ikan layang per alat tangkap di Maluku Utara, tahun


tahun 1998-2007............................................... ................................ 77

8 Unit penangkapan ikan layang di Maluku Utara, tahun 1998-2007 . 78

9 Hasil skoring dan standarisasi setiap fungsi nilai aspek


biologi unit penangkapan ikan layang (mini purse seine, jaring
insang hanyut dan bagan perahu) di perairan Maluku Utara ............ 84

10 Hasil skoring dan standarisasi setiap fungsi nilai aspek teknis


unit penangkapan ikan layang (mini purse seine, jaring
insang hanyut dan bagan perahu) di perairan Maluku Utara ............ 85

11 Hasil skoring dan standarisasi setiap fungsi nilai aspek sosial


unit penangkapan ikan layang (mini purse seine, jaring
insang hanyut dan bagan perahu) di perairan Maluku Utara ............ 86

12 Hasil skoring dan standarisasi setiap fungsi nilai aspek ekonomi


unit penangkapan ikan layang (mini purse seine, jaring insang
hanyut dan bagan perahu) di perairan Maluku Utara........................ 87

13 Hasil skoring dan standarisasi setiap fungsi nilai aspek keramahan


lingkungan unit penangkapan ikan layang (mini purse seine, jaring
insang hanyut dan bagan perahu di perairan Maluku Utara.............. 89

14 Pengelompokan jenis alat tangkap berdasarkan tingkat


keramahan lingkungan ...................................................................... 90
xvi

15 Total standarisasi aspek biologi, teknis, sosial, ekonomi dan


keramahan lingkungan unit penangkapan ikan layang
mini seine, jaring insang hanyut dan bagan perahu) di perairan
Maluku Utara, .................................................................................. 90

16 Struktur biaya penangkapan ikan layang dengan alat tangkap


standar (mini purse seine) di Maluku Utara tahun 2007 di
Maluku Utara. ................................................................................... 94

17 Optimalisasi bio-ekonomi dalam berbagai kondisi


pengelolaan dan kondisi aktual ikan layang di Maluku Utara .......... 94

18 Jumlah contoh ikan layang biru (D. macarellus) yang tertangkap


selama periode bulan pengamatan ................................................... 101

19 Ukuran morfologi ikan layang biru (D. macarellus) yang


tertangkap selama periode bulan pengamatan, Januari - Mei 2008. . 101

20 Nilai dugaan parameter pertumbuhan ikan layang biru


di perairan Maluku Utara .................................................................. 106

21 Hasil analisis hubungan panjang berat ikan layang biru


(D. macarellus) di perairan Maluku Utara, Januari – Mei 2008....... 107

22 Persentase tingkat kematangan gonad ikan layang biru


(D. macarellus) jantan (a) dan betina (b) di perairan
Maluku Utara, Januari – Mei 2008 ................................................... 109

23 Variasi fekunditas terhadap panjang tubuh ikan layang biru


(D. macarellus) di perairan Maluku Utara, bulan Januari-Mei 2008 112

24 Data panjang dan lingkar badan ikan layang biru pada ukuran
pertama kali matang gonad di perairan Maluku Utara...................... 113

25 Indeks musim penangkapan (IMP) ikan layang di perairan


Maluku Utara, tahun 2003-2007 ....................................................... 116
xvii

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1 Perkembangan produksi ikan layang (Decapterus spp)


di Maluku Utara tahun 1998-2007...... .............................................. 3

2 Kerangka pemikiran pola pengembangan berkelanjutan


sumberdaya ikan layang di perairan Maluku Utara .......................... 12

3 Ikan layang (Decapterus russelli) ..................................................... 22

4 Ikan layang (Decapterus macrosoma) .............................................. 22

5 Ikan layang (Decapterus macarellus) ............................................... 23

6 Ikan layang (Decapterus kurroides).................................................. 24

7 Konstruksi mini purse seine di Maluku Utara.................................. 66

8 Desain Kapal mini purse seine (kapal utama) di Maluku Utara ...... 67

9 Konstruksi jaring insang hanyut di Maluku Utara ............................ 71

10 Desain perahu jaring insang hanyut di Maluku Utara...................... 71

11 Konstruksi bagan perahu di Maluku Utara ....................................... 74

12 Sistem bagi hasil usaha perikanan layang di Maluku Utara ............. 80

13 Hubungan CPUE dengan upaya penangkapan ikan layang


(effort) di Maluku Utara tahun 1998 – 2007 .................................... 92

14 Hubungan antara produksi lestari ikan layang dengan upaya


penangkapan model Schaefer di perairan Maluku Utara .................. 93

15 Perbandingan hasil tangkapan ikan layang pada setiap kondisi


pengelolaan periode 1998-2007 di Maluku Utara............................. 95

16 Perbandingan tingkat upaya penangkapan ikan layang pada setiap


kondisi pengelolaan tahun 1998-2007 di Maluku Utara. .................. 96

17 Perbandingan rente ekonomi penangkapan ikan layang pada


setiap kondisi pengelolaan tahun 1998-2007 di Maluku Utara......... 96

18 Keseimbangan Bio-ekonomi Gordon-Schaefer untuk pengelolaan


sumberdaya ikan layang di perairan Maluku Utara ......................... 97
xviii

19 Hasil analisis data Linear Goal Programming.. ............................... 100

20 Histogram frekuensi panjang ikan layang biru (D. macarellus)


jantan selama penelitian , Januari - Mei 2008................................... 103

21 Histogram frekuensi panjang ikan layang biru (D. macarellus)


betina selama penelitian, Januari-Mei 2008...................................... 104

22 Histogram frekuensi panjang ikan layang biru (D. macarellus)


Jantan dan betina selama penelitian, Januari-Mei 2008.................... 105

23 Pertumbuhan panjang ikan layang biru (D. macarellus) jantan


dan betina di perairan Maluku Utara, bulan Januari-Mei 2008 ........ 107

24 Hubungan panjang berat ikan layang biru (D. macarellus)


jantan (a) dan betina (b) di perairan Maluku Utara
Januari - Mei 2008 ............................................................................ 108

25 Fluktuasi tingkat kematangan gonad ikan layang biru


(D. macarellus) jantan (a) dan betina (b) berdasarkan bulan
Pengamatan, Januari - Mei 2008....................................................... 110

26 Jumlah ikan layang biru (D. macarellus) jantan dan betina yang
matang gonad berdasarkan periode bulan pengamatan,
Janurai - Mei 2008 ............................................................................ 111

27 Hubungan lingkar badan dan panjang ikan layang biru.................... 114

28 Pola musim penangkapan ikan layang di perairan Maluku Utara..... 117

29 Peta daerah penangkapan dan musim penangkapan ikan layang


di perairan Maluku Utara .................................................................. 119

30 Pola pengembangan berkelanjutan sumberdaya ikan layang


di perairan Maluku Utara .................................................................. 144
xix

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1 Peta Provinsi Maluku Utara dan lokasi penelitian............ ................ 167

2 Analisis kelayakan perikanan ikan layang dengan alat tangkap


mini purse seine menggunakan program DSS-BALI ANALISIS. ...... 168

3 Analisis kelayakan perikanan ikan layang menggunakan


produktivitas ideal alat tangkap mini purse seine dengan
program DSS-BALI ANALISIS. .......................................................... 174

4 Analisis kelayakan perikanan ikan layang dengan alat tangkap


jaring insang hanyut menggunakan program
DSS-BALI ANALISIS.......................................................................... 180

5 Analisis kelayakan perikanan ikan layang dengan alat tangkap


bagan perahu menggunakan program DSS-BALI ANALISIS ............ 186

6 Standarisasi upaya penangkapan ikan layang di Maluku Utara......... 192

7 Data regresi antara upaya penangkapan, CPUE, nilai intersep (a)


dan slope (b) ikan layang di Maluku Utara........................................ 194

8 Hasil analisis program MAPLE IX terhadap tingkat produksi


lesatari (MSY) dan nilai Bioekonomik (MEY) sumberdaya ikan
layang di Maluku Utara..................................................................... 195

9 Jumlah sampel ikan layang biru (Decapterus macarellus)


berdasarkan minggu pengamatan, Januari – Mei 2008...................... 199

10 Distribusi frekuensi panjang ikan layang biru


(Decapterus macarellus) jantan (a) dan betina (b) di perairan
Maluku Utara, Januari - Mei 2008. . ................................................. 200

11 Distribusi frekuensi panjang ikan layang biru


(Decapterus macarellus)gabungan (jantan + betina), di perairan
Maluku Utara, Januari – Mei 2008 ................................................... 201

12 Tingkat kematangan gonad ikan layang biru


(Decapterus macarellus) jantan pada kelas ukuran panjang............. 202

13 Tingkat kematangan gonad ikan layang biru


(Decapterus macarellus betina pada kelas ukuran panjang.............. 203

14 Pendugaan ukuran ikan layang biru (Decapterus macarellus)


Jantan saat mencapai matang gonad pertama.................................... 204
xx

15 Pendugaan ukuran ikan layang biru (Decapterus macarellus)


betina saat mencapai matang gonad pertama .................................... 205

16 Rata-rata produksi ikan layang (kg) di PPN Ternate tahun


2003 - 2007 ....................................................................................... 206

17 Jumlah rata-rata effort standard bulanan ikan layang yang beroperasi


di perairan Maluku Utara tahun 2003 - 2007 ................................... 207

18 CPUE rata-rata ikan layang di perairan Maluku Utara tahun


2003 - 2007 ...................................................................................... 208

19 Perkembangan produksi bulanan ikan layang di PPN Ternate


tahun 2003 - 2007 ............................................................................ 209

20 Perkembangan upaya tangkap bulanan ikan layang di PPN Ternate


tahun 2003 - 2007 ............................................................................ 212

21 Perhitungan indeks musim penangkapan ikan layang dengan


metode rata-rata bergerak ................................................................. 215

22 Lokasi perairan dan titik koordinat daerah penangkapan


ikan layang di perairan Maluku Utara .............................................. 218

22 Dokumentasi hasil penelitian ............................................................ 219


xxi

DAFTAR ISTILAH

ABK : Anak buah kapal.


Allometrik : Bentuk tubuh ikan.
Allometrik minor : Pertumbuhan ukuran panjang ikan lebih cepat dari
ukuran berat.

Berkelanjutan : Pemanfaatan sumberdaya secara lestari, yaitu di


mana laju pemanfaatan harus lebih kecil atau sama
dengan laju pemulihan sumber daya tersebut.

Biodervisity : Keanekaragaman hayati yang ada di dalam suatu


habitat yang menunjukkan produktivitas suatu
perairan.

Biological overfishing : Tangkapan lebih secara biologi.

By-catch : Hasil tangkapan sampingan; merupakan bagian


dari hasil tangkapan yang didapatkan pada saat
operasi penangkapan sebagai tambahan dari tujuan
utama penangkapan (target spesies).

Catch and effort : Hasil tangkapan dan upaya penangkapan.


Close season : Penutupan musim penangkapan.
Code of conduct for : Tata laksana untuk perikanan yang bertanggung
for responsible fisheries jawab.

Common propperty : Sumberdaya milik umum (bersama).

CPUE : Catch per unit effort (hasil tangkapan per upaya).

Economical overfishing : Tangkapan lebih secara ekonomi.


Effort : Upaya penangkapan ikan.

et al. : Dan kawan-kawan.

FAO : Food Agriculture Organization, badan pangan


dunia di PBB.

Fishing base : Pangkalan pendaratan ikan.

Fishing ground : Daerah penangkapan ikan.

Fixed cost : Biaya tetap.


xxii

Floatline : Tali ris atas.

Growth overfishing : Kelebihan tangkap ikan dalam masa pertumbuhan.


Hauling : Tahap pengangkatan alat tangkap pada saat operasi
penangkapan ikan.

IKG : Indeks kematangan gonad.

Leadline : Tali ris bawah

LGP : Linear Goal Programming.

LINDO : Sebuah program paket yang didesain khusus oleh


Prof. Linus Schrage, Graduate School of Business
Chicago, untuk menyelesaikan soal pemrograman
linear, termasuk pemograman linear intejer binari.

Maturing : Pematangan/proses ke dewasa.

Mature : Bunting/dewasa.

Mesh size : Lebar mata jaring.

MEY : Maximum economic yield (hasil tangkapan


maksimum ekonomi lestari.

Migrasi : Perpindahan atau pergerakan biota dari suatu tempat


ke tempat lainnya.

MSY : Maximum sustainable yield (hasil tangkapan


maksimum lestari).

Nelayan : Orang yang secara aktif melakukan pekerjaan dalam


operasi penangkapan ikan atau binatang air lainnya
atau tanaman air.

Net Benefit Cost : Perbandingan antara total penerimaan bersih dan


(Net B/C) total biaya produksi.

Net Present Value : Selisih antara nilai sekarang dari penerimaan


(NPV) dengan nilai sekarang dari pengeluaran pada tingkat
bunga tertentu.

Open acces : Akses terbuka untuk siapa saja.

Partial spawning : Pemijahan yang bersifat sebagian-sebagian.


xxiii

Pengembangan : Usaha perubahan dari suatu nilai yang kurang


kepada sesuatu yang lebih baik; proses yang menuju
pada suatu kemajuan.
Perikanan : Semua kegiatan yang berhubungan dengan
pengelolaan dan pemanfaatan SDI dan
lingkungannya mulai dari praproduksi, produksi,
pengolahan sampai dengan pemasaran, yang
dilaksanakan dalam suatu sistem bisnis perikanan.

Perikanan tangkap : Kegiatan untuk memperoleh ikan di perairan yang


tidak dalam keadaan dibudidayakan dengan alat
atau cara apa pun, termasuk kegiatan yang
mengunakan kapal untuk memuat, mengangkut,
menyimpan, mendinginkan, menangani, mengolah,
dan/atau mengawetkannya.

PPI : Pangkalan Pendaratan Ikan.

PPN : Pelabuhan Perikanan Nusantara.

Renewable resources : Sumberdaya yang bersifat dapat pulih.

Selvedge : Pinggir badan jaring.

Setting : Tahap peletakan alat tangkap pada saat operasi


penangkapan.

Stakeholder : Pemangku kepentingan (para pihak).

Time series : Seri data runtut beberapa tahun.

TAC : Total Allowable Catch (pembatasan jumlah


tangkapan).

TKG : Tingkat kematangan gonad.

TNI-AL : Tentara Nasional Indonesia (Angkatan Laut).

Unit Penangkapan : Satu kesatuan teknis dalam suatu operasi


penangkapan ikan yang terdiri dari kapal perikanan,
alat tangkap, dan nelayan.

Up-welling : Penaikan masa air dari lapisan bawah ke lapisan


atas dengan membawa unsur hara.

Variable cost : Biaya variabel.


1

1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Pengelolaan perikanan seperti diuraikan oleh FAO (1997), adalah proses
yang terintegrasi dalam pengumpulan informasi, analisis, perencanaan, konsultasi,
pembuatan keputusan, alokasi sumberdaya dan implementasi dari aturan-aturan
dibidang perikanan dalam rangka menjamin kelangsungan produktivitas
sumberdaya, dan pencapaian tujuan perikanan lainnya. Berdasarkan pengertian
ini, pengelolaan perikanan membutuhkan bukti-buti ilmiah terbaik (best scientific
evidence) untuk analisis dan perencanaan perikanan yang memadai, proses diskusi
melalui konsultasi dengan berbagai pemangku kepentingan (stakeholders) dan
penetapan berbagai tujuan dan strategi pengelolaan melalui pembuatan keputusan,
alokasi sumberdaya dan implementasi aturan.
Sumberdaya perikanan laut merupakan aset bangsa yang harus dimanfaatkan
secara bijaksana. Meskipun sumberdaya tersebut bersifat dapat pulih (renewable),
namun tingkat kecepatan pemulihannya dapat saja tidak seimbang dengan laju
pemanfaatannya. Dengan status pemanfaatan yang berlebihan di beberapa
perairan, maka dapat dikatakan bahwa penurunan produksi tangkapan per upaya
akan terjadi di daerah-daerah itu karena jumlah ikan yang tertangkap telah melebihi
kemampuan sumberdaya untuk melakukan rekruitmen. Bila upaya penangkapan
tidak ditata dengan baik, maka intensitas penangkapan akan cenderung meningkat,
penurunan produksi tangkapan per upaya akan terus berlanjut hingga akhirnya
merusak sumberdaya ikan dan lingkungannya. Kondisi ini dikenal dengan
tangkapan lebih secara biologi (biological overfishing). Oleh karena itu sasaran
pembangunan perikanan antara lain adalah memaksimalkan tangkapan dengan
upaya yang optimal. Di sisi lain, penurunan produksi ini akan menurunkan
penerimaan dan pendapatan nelayan sehingga mungkin saja akan mengalami
kerugian ekonomi (economic overfishing) yang berarti bahwa biaya yang ditanam
melebihi penghasilan yang diperlukan untuk memperoleh hasil tangkapan
maksimum.
Pengembangan perikanan di masa yang akan datang harus diarahkan melalui
pemanfaatan sumberdaya ikan secara merata, yang mana untuk daerah yang telah
2

mengalami eksploitasi secara berlebihan ditutup pada musim-musim tertentu


sampai batas waktu yang ditentukan, kemudian dibuka kembali untuk dieksploitasi.
Sementara di pihak lain, daerah yang masih rendah tingkat pemanfaatan
sumberdayanya dikembangkan dengan memperhatikan daya dukungnya, sehingga
akan tetap memperhatikan jumlah upaya optimum yang menghasilkan tangkapan
maksimum.
Maluku Utara yang dikenal sebagai provinsi yang memiliki sebagian luas
wilayahnya adalah perairan laut menjadikan wilayah ini sangat potensial untuk
kegiatan perikanan dan industri perikanan tangkap yang merupakan aset penting
bagi keberlanjutan pembangunan dalam konsep otonomi daerah. Sumberdaya
perikanan tentunya dapat dimanfaatkan seutuhnya secara lestari sebagai sumber
ekonomi yang diharapkan mampu mengangkat harkat masyarakat Maluku Utara
ke jenjang yang lebih sejahtera (Dinas Perikanan dan Kelautan 2006).
Perikanan tangkap merupakan salah satu kegiatan ekonomi yang
berkembang dan menjadi salah satu prime mover sektor perikanan di wilayah
Maluku Utara karena memberikan kontribusi lebih besar dibandingkan
perikanan budidaya dan pengolahan, yaitu 83.758,64 ton per tahun atau 86,44%
dari produksi total perikanan tahun 2006. Kegiatan perikanan tangkap
menghasilkan berbagai jenis hasil tangkapan berupa ikan konsumsi ekonomis
penting baik jenis ikan pelagis maupun ikan demersal.
Badan Riset Departemen Kelautan dan Perikanan, dan Komisi Nasional
Stock Assessment, menyimpulkan bahwa wilayah perairan Maluku Utara berada
dalam wilayah pengelolaan Laut Seram dan Laut Maluku memiliki potensi
sumberdaya ikan (standing stock ) yang diperkirakan mencapai 1.035.230,00 ton
dengan jumlah potensi lestari (maximum sustainable yield) yang dapat
dimanfaatkan sebesar 828.180,00 ton per tahun. Potensi tersebut terdiri atas ikan
pelagis besar 424.260 ton per tahun, pelagis kecil sebesar 169.834 ton per tahun
dan ikan demersal sebesar 101.872 ton per tahun dengan tingkat pemanfaatan
hingga tahun 2005 baru mencapai 19,34% untuk ikan pelagis dan 13,65% untuk
ikan demersal. Hal ini menunjukan bahwa sumberdaya perikanan di Maluku Utara
tingkat pemanfaatannya masih rendah (under exploitation) (Dinas Perikanan dan
Kelautan Maluku Utara, 2006).
3

Melihat letak geografis yang sangat strategis sebagai daerah potensial


perikanan dengan tingkat pemanfaatan dalam tingkat berkembang menunjukan
bahwa prospek pembangunan perikanan menjadi salah satu kegiatan ekonomi
yang strategis dan sangat cerah bagi Maluku Utara.
Potensi sumberdaya ikan yang cukup besar ini merupakan bahan pangan
yang mempunyai potensi cukup tinggi untuk dimanfaatkan dalam pembangunan
Maluku Utara khususnya sebagai protein hewani dan sebagai sumber pendapatan
daerah (PAD). Di antaranya salah satu jenis sumberdaya ikan pelagis di daerah ini
yang mempunyai nilai ekonomis penting adalah ikan layang (Decapterus spp).
Ikan layang termasuk kelompok ikan pelagis kecil, hidup bergerombol
dengan jenis ikan pelagis kecil lainnya seperti, siro (Sardinella sirm), tembang
(Sardinella fimbriata, Sardinella perforata), kembung (Rastrelliger kanagurta,
Rastrelliger brachisoma), selar (Caranx spp) dan ekor kuning (Caesio spp).
Ikan layang di wilayah Maluku Utara dikenal dengan nama ikan “sorihi”.
Jenis ikan ini menduduki urutan ke satu dari produksi jenis komoditi perikanan
khusunya ikan pelagis kecil dan selanjutnya berturut-turut disusul oleh ikan
tongkol (Euthynnus spp), kembung (Rastrelliger spp), selar (Selaroides spp),
julung-julung (Hemirhamphus spp) dan ikan teri (Stolephorus spp). Pada tahun
2007 produksi ikan layang di wilayah ini mencapai 23.677.070 ton (Dinas
Perikanan dan Kelautan Provinsi Maluku Utara 2007). Perkembangan produksi
ikan layang (Decapterus spp) di Maluku Utara tahun 1998-2007 (Gambar 1).

25000

20000 Layang
Produksi (ton)

Teri
15000
Tongkol
Julung-Julung
10000
Selar
5000 Kembung

0
1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007

Tahun

Gambar 1 Perkembangan produksi ikan layang (Decapterus spp) di


Maluku Utara tahun 1998-2007.
4

Seperti halnya jenis ikan pelagis lainnya, ikan layang dimanfaatkan untuk
konsumsi lokal oleh masyarakat di sekitar wilayah Maluku Utara. Ikan layang
memiliki permintaan pasar yang relatif tinggi baik pasar interinsuler maupun
pasar ekspor. Jenis ikan ini dipasarkan ke wilayah Jakarta dan Surabaya bahkan
mencapai pasar Jepang untuk digunakan sebagai ikan umpan tuna long-line.
Pengusahaan jenis ikan ini di wilayah Maluku Utara terutama dilakukan oleh
industri perikanan rakyat berskala kecil, penangkapannya dengan berbagai jenis
alat tangkap seperti pukat cincin, jaring insang hanyut, bagan perahu, pancing
tonda dan pancing ulur. Alat tangkap yang dominan dan efektif digunakan untuk
penangkapan ikan layang di daerah ini adalah mini purse seine, yang oleh
masyarakat Maluku Utara dikenal dengan "soma pajeko".
Ditinjau dari teknologi penangkapan ikan, modal usaha dan sumberdaya
manusia yang memanfaatkan sumberdaya ikan layang di Maluku Utara dapat
diduga tingkat eksploitasi sumberdaya ikan layang masih dalam tahap
perkembangan. Namun demikian aktifitas pemanfaatan terhadap sumberdaya ikan
layang di wilayah perairan Maluku Utara semakin meningkat, yaitu tingginya
intensitas penangkapan ikan di perairan pantai yang dapat mengakibatkan
penurunana stok ikan layang. Kecenderungan tersebut dapat dilihat dari trend
produksi ikan layang yang terus meningkat dari tahun ke tahun dan sebaliknya
produktivitas alat tangkap ikan layang yang cendrung menurun. Dengan demikian
jika peningkatan pemanfaatan ini tidak sebanding dengan kemampuan daya pulih
dari sumberdaya ikan tersebut, maka dipastikan pada suatu ketika kondisi ini
dapat mempengaruhi kegiatan usaha dan stok ikan yang mengarah ke gejala
overfishing. Kondisi produktivitas nelayan yang rendah juga merupakan penyebab
rendahnya pendapatan yang diterima oleh nelayan perikanan layang di Maluku
Utara.
Peningkatan kuantitas upaya penangkapan di suatu perairan akan
meningkatkan pula nilai ekonomi sumberdaya tersebut dan berdampak terhadap
kesejahteraan nelayan dan khusunya bagi pengusaha perikanan, namun
pemanfaatan potensi sumberdaya ikan harus dilaksanakan secara terkendali,
sehingga kelestarian sumberdaya ikan di setiap wilayah ini senantiasa dapat
dipertahankan agar produktivitas optimum dapat terjaga.
5

Dalam rangka mempertahankan kondisi usaha perikanan tangkap khususnya


perikanan ikan layang di Maluku Utara saat sekarang dan masa yang akan datang
maka pengelolaan sumberdaya ikan harus selalu berasakan prinsip kehati-hatian
dan berkelanjutan. Untuk itu, tahap awal yang harus dilakukan adalah kajian yang
mendasar terhadap pemanfaatan sumberdaya ikan layang di wilayah Maluku
Utara. Selain itu penelitian tentang perikanan ikan layang dan hal yang terkait
dengan pemanfaatan dan pengembangannya di wilayah Maluku utara belum
pernah dilakukan, sehingga penelitian ini perlu didekati dengan kajian dengan
berbagai aspek bioteksosionomi dan lingkungan sehingga diharapkan dapat
memperoleh suatu pola pengembangan berkelanjutan sumberdaya ikan layang dan
menjadi acuan untuk pengeloaan sumberdaya ikan layang di Muluku Utara.

1.2 Perumusan Masalah


Ikan layang merupakan salah satu sumberdaya perikanan pelagis kecil yang
dominan di Maluku Utara turut memberikan kontribusi dalam sektor perikanan
laut di wilayah tersebut. Hal ini ditunjukkan dengan perkembangan jumlah
produksi dari tahun ke tahun yang semakin meningkat.
Usaha perikanan ikan layang di Maluku Utara dilakukan oleh nelayan di
sepanjang pesisir pantai Kota Ternate, Kota Tidore Kepulauan, Kabupaten
Halmahera Selatan dan Kabupaten Halmahera Utara dengan skala usaha
penangkapan dalam tingkat berkembang yang ditandai dengan kapal penangkapan
yang berukuran relatif kecil dan peralatan penangkapan yang relatif sederhana.
Kegiatan penangkapan ikan yang dilakukan berlangsung di sekitar perairan pantai
dengan jangkauan daerah penangkapan yang masih terbatas. Pemanfaatan sumber
daya ikan layang di daerah ini masih dilakukan dengan pengetahuan dan
ketrampilan yang diperoleh secara turun temurun yang belum dibarengi dengan
upaya pengelolaan yang memadai, sehingga kondisi tersebut mendorong
terjadinya upaya pemanfaatan sumberdaya ikan layang secara kontinyu berupa
tingginya intensitas penangkapan ikan di perairan pantai dengan tujuan untuk
meningkatkan produksi tanpa berpikir pada kelestarian sumberdaya ikan dan
keberlanjutan usaha penangkapannya. Indikasi yang jelas terlihat dari produksi
ikan layang yang makin meningkat setiap tahunnya, namum sebaliknya
6

produktivitas (CPUE) alat tangkap yang digunakan dalam mengeksploitasi


sumberdaya ikan layang makin menurun yang mengakibatkan penurunan stok
ikan sehingga berdampak pada gejala over fishing. Permasalahan masih
rendahnya produktivitas nelayan juga merupakan pemicu rendahnya pendapatan
yang diterima oleh nelayan dalam usaha perikanan layang di Maluku Utara.
Kondisi ini dapat terjadi diduga disebabkan oleh beberapa faktor antara
lain: (1) ikan layang mudah ditangkap oleh nelayan dengan menggunakan
beragam jenis alat tangkap (2) umumnya berada pada daerah operasi penangkapan
yang terbatas (inshore atau artisanal fishery), (3) minat masyarakat untuk
mengkonsumsi jenis ikan layang cukup tinggi, dan (4) ikan layang memiliki
permintaan pasar yang relatif tinggi, baik pasar interinsuler maupun pasar ekspor.
Untuk menjaga kontinuitas usaha perikanan tangkap khususnya perikanan
ikan layang tetap terjamin, maka perlu pengkajian secara menyeluruh dan
terintegrasi untuk menjawab berbagai permasalahan utama yang berkaitan dengan
pemanfaatan sumberdaya perikanan ikan layang di Maluku Utara. Secara spesifik
permasalahan pokok untuk mengembangkan sumberdaya perikanan ikan layang di
Maluku Utara didekati melalui pertanyaan penelitian sebagai berikut:
(1) Apa jenis teknologi penangkapan yang tepat yang digunakan sebagai
prioritas utama dalam memanfaatkan sumberdaya ikan layang di perairan
Maluku Utara ?
(2) Berapa jumlah unit penangkapan optimum untuk mencapai tingkat produksi
dan keuntungan ekonomi maksimum dalam pemanfaatan sumberdaya ikan
layang di perairan Maluku Utara ?
(3) Bagaimana karakteristik biologi ikan layang yang dominan tertangkap di
perairan Maluku Utara ?
(4) Berapa mesh size jaring minimum alat tangkap terpilih yang digunakan
untuk mengeksploitasi sumberdaya ikan layang ?
(5) Kapan waktu yang tepat dan dimana daerah penangkapan yang cocok untuk
melakukan operasi penangkapan ikan layang di perairan Maluku Utara ?

Agar di satu pihak sumberdaya ikan ini dapat dimanfaatkan dengan optimal,
dan di lain pihak kegiatan penangkapan yang dilakukan tidak memberikan
tekanan eksploitasi yang berlebihan terhadap sumberdaya ikan dan
7

lingkungannya, maka upaya pemecahan masalah yang yang harus dilakukan


dalam pengembangan sumberdaya ikan layang di Maluku Utara adalah
bagaimana mengoptimalkan pemanfaatan sumberdaya perikanan ikan layang
yang ada yang dilaksanakan secara terkendali, sehingga kelestarian sumberdaya
ikan senantiasa dapat dipertahankan agar produktivitas optimum dapat terjaga.
Pada prinsipnya, untuk mengembangkan usaha perikanan ikan layang di
perairan Maluku Utara, diperlukan suatu pola atau acuan yang jelas dan
komprehensif. Oleh karena itu, penulis merasa berkepentingan untuk meneliti
tentang pola pengembangan berkelanjutan sumberdaya ikan layang di Maluku
Utara sebagai upaya meningkatkan pendapatan nelayan secara berkelanjutan.

1.3 Tujuan Penelitian


1. Menentukan prioritas utama teknologi penangkapan ikan layang berdasarkan
kriteria aspek biologi, teknis, sosial, ekonomi dan keramahan lingkungan.
2. Menentukan optimalisasi pengelolaan perikanan ikan layang di Maluku
Utara.
3. Menentukan karakteristik biologi ikan layang yang dominan tertangkap
berdasarkan pendekatan beberapa parameter populasi ikan.
4. Menentukan mesh size jaring minimum terhadap alat tangkap terpilih dalam
pemanfaatan sumberdaya ikan layang.
5. Menentukan pola musim penangkapan dan daerah penangkapan ikan layang
di perairan Maluku Utara.
6. Menyusun suatu pola pengembangan berkelanjutan sumberdaya ikan
layang di perairan Maluku Utara.

1.4 Manfaat Penelitian


1. Sebagai bahan informasi kepada nelayan dan para pengusaha perikanan
dalam mengembangkan usaha perikanan ikan layang di wilayah Maluku
Utara.
2. Sebagai bahan masukan bagi pemerintah daerah dalam menentukan
kebijakan mengenai pengembangan perikanan ikan layang di wilayah
Maluku Utara.
8

3. Sebagai bahan rujukan bagi para peneliti selanjutnya dalam melakukan


penelitian lanjutan kaitannya dengan pengembangan perikanan ikan
layang.

1.5 Hipotesis Penelitian


1. Pemanfaatan sumberdaya ikan layang di perairan Maluku Utara belum
optimal.
2. Ikan layang yang tertangkap di perairan Maluku Utara didominasi oleh
ukuran belum layak tangkap.
3. Alat tangkap yang digunakan untuk memanfaatkan sumberdaya ikan layang
di perairan Maluku Utara belum selektif.
4. Musim penangkapan ikan layang di perairan Maluku Utara berlangsung
sepanjang tahun.

1.6 Kerangka Pemikiran


Sebagai provinsi kepulauan yang memiliki karakteristik spesifik dengan
potensi sumberdaya ikan yang cukup besar merupakan kekuatan dan peluang
dalam peningkatan pertumbuhan ekonomi. Salah satu sumberdaya perikanan yang
turut memberikan kontribusi terhadap peningkatan pertumbuhan ekonomi dan
bernilai ekonomis di wilayah ini adalah sumberdaya ikan layang.
Meskipun secara umum sumberdaya ikan layang di perairan Maluku Utara
cukup melimpah dengan tingkat pemanfaatannya dalam tahap berkembang,
namun secara spesifik kondisi yang terjadi adalah tekanan penangkapan yang
berbeda berupa tingginya intensitas penangkapan ikan layang di perairan pantai.
Hal ini dapat dilihat dari perkembangan produksi ikan layang yang makin
meningkat setiap tahunnya dan sebaliknya kecenderungan produktivitas alat
tangkapnya makin menurun, yang merupakan salah satu indikasi gejala over
fishing. Rendahnya produktivitas nelayan turut memberi dampak pada rendahnya
pendapatan yang diterima nelayan dalam usaha perikanan ikan layang di Maluku
Utara. Untuk memecahkan masalah penelitian seperti yang telah diuraikan di atas,
maka di dalam penelitian ini dilakukan kajian yang memerlukan suatu kerangka
pemikiran yang sistimatis seperti disajikan pada Gambar 2.
9

Agar pemanfaatan sumberdaya ikan, khususnya perikanan ikan layang di


Maluku Utara dapat dilakukan secara optimal dan berkelanjutan, maka perlu
menentukan jenis teknologi alat tangkap yang layak dikembangkan, yang ditinjau
dari aspek biologi, teknis, sosial, ekonomi dan keramahan lingkungan. Setelah
ditentukan jenis teknologi alat tangkap yang tepat, maka langkah selanjutnya
adalah menyusun strategi pengembangan perikanan ikan layang untuk teknologi
alat tangkap terpilih. Pemilihan teknologi alat tangkap dilakukan dengan
menggunakan aplikasi metoda skoring dengan fungsi nilai.
Analisis potensi lestari sumberdaya ikan layang di perairan Maluku Utara
diperlukan guna melihat sejauh mana kemampuan sumberdaya ikan layang dapat
dieksploitasi tiap tahunnya (potensi lestari) tanpa menggangu proses regenerasi
pada tahun berikutnya. Analisis potensi lestari (MSY) ikan layang dilakukan
melalui pendekatan secara biologi menggunakan surplus production model dan
pendekatan secara ekonomi menggunakan bioekonomi model Gordon- Schaefer.
Pengalokasian upaya penangkapan dalam hal ini adalah jumlah unit
penangkapan terpilih yang optimal bertujuan untuk melakukan pembatasan dan
pembagian secara proporsional pemanfaatan sumberdaya ikan layang sehingga
kegiatan perikanan layang di Maluku Utara dapat berjalan efisien, lestari dan
berkelanjutan. Data-data yang diperoleh dari hasil analisis upaya penangkapan
optimum (Emey) dan produksi ikan layang optimum (Cmey) digunakan sebagai
faktor tujuan dalam melakukan penentuan alokasi unit penagakapan ikan layang.
Analisis ini menggunakan pendekatan linear goal programming (LGP).
Informasi tentang biologi ikan yaitu berkaitan dengan beberapa parameter
populasi ikan layang secara umum dapat menjelaskan kondisi stok ikan tersebut.
Pertumbuhan ikan, adalah saling berpengaruh dengan ukuran stok ikan. Ukuran
ikan yang tertangkap secara langsung dapat menjelaskan kondisi stok ikan di
suatu daerah penangkapan. Semakin kecil ukuran ikan yang tertangkap berarti
kondisi stok ikan semakin dalam bahaya karena ikan yang tertangkap diduga
belum sempat memijah sehingga pada periode berikutnya individu baru semakin
berkurang. Untuk menduga parameter pertumbuhan ikan layang terlebih dahulu di
lakukan analisis kelompok umur ikan dengan metode Tanaka, selanjutnya
dilkukan pendugaan nilai koefisien pertumbuhan (K) dan panjang infinity (L ∞ )
10

dengan metode Ford-Walford, kemudian untuk menghitung nilai t0 yang


merupakan umur teoritis ikan digunakan rumus empiris Pauly (Gulland 1983).
Dengan mengetahui nilai-niali K, L ∞ dan to, dapat ditentukan model pertumbuhan
dan hubungan umur serta panjang ikan layang dengan memasukkan nilai-nlai
parameter pertumbuhan tersebut ke dalam model pertumbuhan Von Bartalanffy.
Pengukuran panjang dan berat ikan bermanfaat untuk menaksir pertumbuhan ikan
pada waktu tertentu. Untuk melihat hubungan panjang berat digunakan regresi
linear sederhana, yaitu dengan menghitung dahulu logaritma dari tiap-tiap panjang
dan berat ikan. Pengetahuan tentang tingkat kematangan gonad perlu untuk
mengetahui musim-musim ikan memijah, sehingga penangkapannya dapat
dikontrol. Tingkat kematangan gonad dianalisis secara makroskopik (visual)
dengan melihat karakteristik gonad. Pengetahuan tentang fekunditas secara tidak
langsung kita dapat menaksir jumlah anak ikan yang akan dihasilkan dan akan
menentukan pula jumlah ikan dalam kelas umur yang bersangkutan. Perhitungan
fekunditas (jumlah telur) dilakukan dengan cara gabungan gravimetrik,
volumetrik dan hitung.
Pendugaan ukuran pertama kali matang gonad merupakan salah satu cara
untuk mengetahui perkembangan populasi dalam suatu perairan, seperti bilamana
ikan akan memijah, baru memijah atau sudah selesai memijah. Berkurangnya
populasi ikan dimasa mendatang dapat terjadi karena ikan yang tertangkap adalah
ikan yang akan memijah atau ikan belum pernah memijah, sehingga sebagai
tindakan pencegahan diperlukan penggunaan alat tangkap yang selektif. Analisis
ukuran ikan pertama kali matang gonad dilakukan dengan metode Sperman
Karber (Udupa 1986).
Penentuan ukuran mata jaring minimun sangat penting dalam penerapan
kode etik perikanan yang bertanggung jawab. Ukuran mata jaring yang digunakan
memberikan gambaran ukuran ikan yang akan tertangkap. Ukuran pertama kali
matang gonad sangat penting digunakan sebagai rujukan dalam pengaturan ukuran
mata jaring. Untuk penentuan ukuran mata jaring minimum terlebih dahulu
dilakukan analisis hubungan antara lingkar badan dengan panjang total rata-rata
ikan yang dianalisis dengan menggunakan regresi linear sederhana. Berdasarkan
perhitungan ukuran pertama kali matang gonad diperoleh nilai panjang total rata-
11

rata ikan pertama kali matang gonad. Nilai panjang tersebut disubstitusikan pada
persamaan regresi untuk mendapatkan nilai lingkar badan ikan. Selanjutnya nilai
lingkar badan ikan tersebut dibandingkan dengan ukuran mata jaring pada alat
tangkap yang digunakan dalam mengeksploitasi sumberdaya ikan layang di
Maluku Utara saat ini untuk menentukan ukuran mata jaring minimum yang
seharusnya digunakan.
Informasi tentang waktu dan daerah penangkapan yang tepat dalam
melakukan kegiatan penangkapan ikan layang sangat diperlukan agar kegiatan
pemanfaatan dapat berlangsung secara efektif dan efisien dengan
mempertimbangkan aspek keberlanjutan dari stok sumberdaya ikan. Untuk itu
dilakukan analisis pola musim penangkapan ikan dengan pendekatan nilai Indeks
Musim Penangkapan (% IMP), menggunakan metode rata-rata bergerak (moving
average). Untuk pemetaan daerah dan musim penangkapan ikan layang
dilakukan dengan mengoverlay data hasil wawancara dengan responden
(nelayan) dan data titik koordinat lokasi pemasangan rumpon menggunakan
bantuan perangkat lunak AreView Gis 33, sehingga membentuk suatu peta
tematik yang merupakan peta daerah penangkapan dan musim penangkapan ikan
layang di perairan Maluku Utara.
Perumusan pola pengembangan berkelanjutan sumberdaya ikan layang di
Maluku Utara dilakukan dengan pendekatan deskriptif model yaitu berdasarkan
nilai keragaan optimal komponen perikanan layang yang telah diperoleh pada sub-
sub bab sebelumnya . Dengan demikian dihasilkan bebarapa implikasi kebijakan
yang dapat menjadi acuan dalam pengembangan perikanan ikan layang di Maluku
Utara.
12
Permasalahan :
- Penangkapan instensif di perairan pantai
- Kecenderungan produktivitas (CPUE) alat
tangkap ikan layang menurun
- Gejala pemanfaatan berlebihan (over fishing)
- Rendahnya produktivitas nelayan
- Rendahnya pendapatan nelayan

Optimalisasi Pengelolaan Biologi Layang Biru dengan Penentuan Mesh size Pola musim Penangkapan
Teknologi Perikanan Pendekatan Parameter Minimum Alat Tangkap Layang dan
Perikanan
Tangkap yang Tersedia Pilihan Penentuan DPI
Ikan Layang Populasi Ikan

Identifikasi jenis Teknologi - Potensi biologi lestari (MSY) Analisis Parameter - Ukuran panjang rata-rata - CPUE bulanan
Penangkapan Ikan Layang - Potensi ekonomi lestari (MEY) pertumbuhan, Hub panjang ikan pertama kali matang - Indeks Musim
- Penentuan alokasi unit berat, TKG , IKG, Fekunditas gonad Penangkapan (IMP)
Penangkapan layang optimum dan Ukuran ikan pertama kali - Ukuran lingkar badan rata- - Posisi Tangkapan Ikan
Seleksi T P I Layang : dan berkelankjutan rata ikan pertama kali Layang
matang gonad matang gonad
- aspek bioogi
- aspek teknis
- aspek sosial Surplus production model,
- aspek ekonimi Bionomik Gordon-Schaefer Model analisis Parameter Metode rata-rata bergerak
Analisis Regresi Linear
- aspek lingkungan model, Model LGP Populasi Ikan dan Metode dan Overlay mengguankan
Sederhana
Sperman Karber AreView Gis 33

Metode Skoring dan


Produksi opt, Upaya Laju pertumbuhan, Panjang & Umur
Fungsi nilai Ukuran Mesh size Waktu dan Daerah
Penangkapan opt, Keuntungan maks, Pola pertumbuhan, Jumlah &
max, Alokasi Unit penangkapan Waktu dominan ikan matang gonad, Minimum Alat Tangkap Penangkapan Ikan Layang
Teknologi Penangkapan Ikan Opt & Jumlah opt nelayan yang Panjang pertama matang gonad, Pilihan yang Disarankan yang Tepat
Layang Pilihan terserap Jumlah telur & Pola pemijahan

Pola Pengembangan Berkelanjutan Sumberdaya


Ikan Layang di Perairan Maluku Utara

Implikasi Kebijakan

Gambar 2 Kerangka pemikiran pola pengembangan berkelanjutan


sumberdaya ikan layang di perairan Maluku Utara.
13

2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Karakteristik Lokasi Penelitian


2.1.1.Letak geografis dan administrasi
Provinsi Maluku Utara secara georafis terletak antara 03000’00” Lintang
Utara sampai 03000’00” Lintang Selatan dan antara 124000’00” Bujur Barat
sampai 129000’00” Bujur Timur. Wilayah provinsi ini merupakan kesatuan dari
gugusan pulau besar dan kecil dengan batasan-batasan sebagai berikut :
- Sebelah Selatan berbatasan dengan laut Seram dan Laut Banda
- Sebelah Utara berbatasan dengan samudera Pasifik
- Sebelah Barat berbatasan dengan laut Maluku
- Sebelah Timur berbatasan dengan laut Halmahera
Secara administratif Provinsi Maluku Utara memilki luas 140 255.36 km2,
terdiri dari luas perairan laut sekitar 106 977.32 km2 atau 77% dan luas
2
daratannya 33 278.04 km atau 23% dari luas wilayahnya secara keseluruhan
(Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Maluku Utara, 2006).

2.1.2 Karakteristik iklim


Iklim adalah gabungan berbagai kondisi sehari-hari dimana unsur
penyusunnya adalah temperatur dan curah hujan, sehingga tipe iklim disuatu
wilayah dapat ketahui dengan cara mengetahui karakteristik temperatur dan curah
hujan wilayah tersebut.
Kondisi wilayah penelitian dipengaruhi oleh iklim tropis dengan curah hujan
rata-rata 1.000 – 2.000 mm per tahun. Kelembaban nisbi rata-rata yang tercatat
pada Stasiun Meteorologi Babullah Ternate (1997) diacu dalam Dinas Perikanan
dan Kelautan (2006) adalah 71% (lower) pada bulan Agustus dan 87% (higher)
pada bulan Februari.
Berdasarkan klasifikasi Schmidt dan Ferguson wilayah Maluku Utara
beriklim tipe A dan B, sedangkan menurut klasifikasi Koppen adalah bertipe A.
Secara umum dipengaruhi oleh 4 musim, yaitu musim Utara atau Barat dan
musim Selatan atau Timur dan 2 musim peralihan. Akibat dari pengaruh kondisi
iklim yang terjadi, menyebabkan wilayah Maluku Utara mengalami musim
penghujan antara bulan Desember-Februari, musim barat pada bulan Oktober-
14

Maret dan musim pancaroba pada bulan April. Musim Selatan pada bulan April-
Nopember yang diselingi oleh angin Timur dan pancaroba.
Data Stasiun Meteorologi Babullah Ternate pada tahun 2004 menunjukkan
bahwa musim hujan jatuh pada bulan Desember-Mei dengan jumlah curah hujan
tertinggi pada bulan April (336 mm) dan jumlah hari hujan 11-21 hari. Suhu udara
maksimum berkisar 29.5-32.30C dan suhu minimum berkisar 22.1-24.10C dengan
suhu rata-rata 26.60C. Kelembaban nisbi berkisar 75-87% dengan rata-rata 80.3%.
Persentase penyinaran matahari rata-rata berkisar 37% (Februari)-97% (Agustus).
Kecepatan angin pada bulan Nopember-Mei bertiup dari arah Barat Daya dengan
kecepatan maksimum 24 knot, bulan Juni-September bertiup angin dari arah
Selatan dengan kecepatan maksimum 21 knot.

2.1.3 Karakteristik oseanografi


Perairan Maluku Utara secara langsung berbatasan dengan laut lepas,
sehingga kondisi yang terjadi di perairan ini dipengaruhi oleh karakteristik
perairan yang berbatasan dengan wilayah perairan Maluku Utara. Beberapa laut
yang mempengaruhi secara langsung perairan Maluku Utara adalah laut Maluku,
Seram dan lautan Pasifik. Selain memiliki topografi yang landai sampai terjal,
perairan Maluku Utara terdapat berbagai palung yang dalam. Kedalaman perairan
Maluku Utara mulai dari daerah inshore sampai pada daerah offshore adalah 200-
700 m. Sedangkan pada daerah atau perairan pantai yang terlindung dan memiliki
topografi yang landai terutama pada kawasan pulau-pulau kecil kedalamannya
tidak lebih dari 200 meter.
Kondisi parameter oseanografi perairan Maluku Utara tidak jauh berbeda
dengan perairan tropis lainnya, kondisi ini bisa terjadi secara harian, tahunan dan
jangka panjang. Kondisi pasang surut bergantung pada tipe pasang surut yang
terjadi di perairan tersebut, terutama di perairan yang kedalamannya dangkal
(inshore), sedangkan untuk pergerakan arus dan gelombang bergantung pada
topografi pulau.
Pasang surut yang terjadi di perairan pantai Maluku Utara adalah tipe pasang
diurnal, yaitu pergerakan naik turunya permukaan air laut pada interval waktu
yang sama antara siang dan malam. Selanjutnya pergerakan arus yang
berlangsung menurut skala waktu dapat dibedakan menjadi arus musiman akibat
15

perubahan musim, yaitu Barat dan Timur dan arus harian yang dipengaruhi oleh
pergerakan pasang surut. Data Dishidros TNI-AL (1992) diacu dalam Dinas
Perikanan dan Kelautan (2006) kecepatan arus tertinggi terjadi di Selat Capalulu
mencapai 90 mil/jam, sedangkan arus lokal bervariasi pada saat arah angin
menuju Timur Laut sampai Tenggara dan ke arah Selatan sampai Barat dengan
variasi antara 1-45 cm/detik.
Parameter oseanografi penting lainnya adalah gelombang, informasi
mengenai kondisi gelombang dapat memprediksikan kondisi perairan dan aktifitas
di laut termasuk aktifitas perikanan tangkap.
Variasi pergerakan gelombang berdasarkan data Dishidros TNI-AL (1992)
dan LON-LIPI Ambon (1994) diacu dalam Dinas Perikanan dan Kelautan (2004)
gelombang besar terjadi pada bulan September-Desember dengan ketinggian
mencapai 1.50 – 2.00 m.

2.2 Pengembangan Usaha Perikanan Tangkap


Pengembangan merupakan suatu istilah yang berarti suatu usaha perubahan
dari suatu yang dinilai kurang kepada sesuatu yang dinilai lebih baik. Manurung et
al., (1998), memberikan pengertian tentang pengembangan sebagai suatu proses
yang membawa peningkatan kemampuan penduduk (khususnya di pedesaan)
mengenai lingkungan sosial yang disertai dengan meningkatkan taraf hidup
mereka sebagai akibat dari penguasaan mereka. Dengan demikian pengembangan
adalah suatu proses yang menuju pada suatu kemajuan.
Untuk dapat mencapai kemajuan dalam usaha meningkatkan
kesejahteraan masyarakat ditempuh melalui pembangunan. Dalam rangka
pembangunan, segala kegiatan harus ditumpahkan demi pembaharuan sosial
serta pertumbuhan ekonomi, yang kedua-duanya harus berjalan serasi dan
seirama Mubyarto (1996).
Syafrin (1993), mengatakan bahwa pengembangan usaha perikanan
tangkap sangat tergantung pada ketersediaan sumberdaya perikanan di suatu
perairan dan fluktuasi kegiatan usaha perikanan pada akhirnya mempengaruhi
nelayan yang beroperasi di sekitar perairan tersebut.
Seleksi teknologi menurut Haluan dan Nurani (1988), dapat dilakukan
melalui pengkajian-pengkajian aspek "bio-technico-socio-economic-approach"
16

oleh karena itu ada empat aspek yang harus dipenuhi oleh suatu jenis teknologi
penangkapan ikan yang akan dikembangkan, yaitu : (1) bila ditinjau dari segi
biologi tidak merusak atau mengganggu kelestarian sumberdaya, (2). Secara
teknis efektif digunakan, (3) dari segi sosial dapat diterima masyarakat nelayan,
(4) secara ekonomi teknologi tersebut bersifat menguntungkan. Satu aspek
tambahan yang tidak dapat diabaikan yaitii adanya izin dari pemerintah (kebijakan
dan peraturan pemerintah).
Apabila pengembangan perikanan di suatu wilayah perairan ditekankan pada
perluasan kesempatan kerja, maka menurut Monintja (1987), teknologi yang perlu
dikembangkan adalah jenis unit penangkapan ikan yang relatif dapat menyerap
tenaga kerja banyak, dengan pendapatan per nelayan memadai. Selanjutnya
menurut Monintja (1987), dalam kaitannya dengan penyediaan protein untuk
masyarakat Indonesia, maka dipilih unit penangkapan ikan yang memiliki
produktifitas unit serta produktifitas nelayan per tahun yang tinggi, namun masih
dapat dipertanggung jawabkan secara biologis dan ekonomis.

2.3 Usaha Perikanan yang Berkelanjutan


Pembangunan berkelanjutan didefinisikan sebagai pembangunan yang dapat
memenuhi kebutuhan generasi saat ini tanpa mengurangi kemampuan generasi
yang akan datang. Konsep pembangunan berkelanjutan adalah pembangunan yang
mengintegrasikan masalah ekologi, ekonomi, dan sosial (Munasinghe 2002).
Selanjutnya dikatakan konsep pembangunan berkelanjutan harus berdasarkan
pada empat faktor, yaitu: (1) terpadunya konsep "equity" lingkungan dan ekonomi
dalam pengambilan keputusan; (2) dipertimbangkan secara khusus aspek
ekonomi; (3) dipertimbangkan secara khusus aspek lingkungan; dan (4)
dipertimbangkan secara khusus aspek sosial budaya.
Monintja (1997), menyatakan bahwa kriteria usaha perikanan yang
berkelanjutan adalah :
(1) Menerapkan teknologi penangkapan ikan yang ramah lingkungan.
(2) Jumlah hasil tangkapan tidak melebihi jumlah tnagkapan yang
diperbolahkan.
(3) Investasi rendah.
(4) Penggunaan bahan bakar minyak rendah.
17

(5) Memenuhi ketentuan hukum dan perundang-undangan yang berlaku.


Pengembangan usaha perikanan haruslah ditinjau secara bio-technico-
socio-economic aproach. Hal ini berarti bahwa pengembangan suatu alat
tangkap dalam usaha perikanan harus mempertimbangkan hal-hal berikut
(Kasteven, 1973 diacu dalam Simbolon, 2003)
Menurut Monintja (1997), perlu ada pertimbangan dalam pemilihan suatu
teknologi yang tepat untuk diterapkan di dalam pengembangan usaha
perikanan. Pertimbangan dimaksud dapat dikelompokkan menjadi teknologi
penangkapan ikan ramah lingkungan, teknologi penangkapan ikan yang secara
teknis, ekonomis, mutu dan pemasaran menguntungkan dan kegiatan
penangkapan ikan berkelanjutan.

2.4 Determinasi Usaha Perikanan Tangkap


Tujuan determinasi unit penangkapan ikan adalah untuk mendapatkan jenis
alat tangkap ikan yang mempunyai keragaan (performance) yang baik ditinjau
dari aspek biologi, teknis, sosial dan ekonomi, sehingga merupakan alat tangkap
yang cocok untuk dikembangkan. Haluan dan Nurani (1988) mengemukakan
bahwa untuk menentukan unit usaha perikanan tangkap pilihan digunakan metoda
skoring. Penilaian metoda skoring mencakup analisis terhadap aspek-aspek
sebagai berikut :
(1) Aspek biologi mencakup : lama waktu musim penangkapan ikan dan musim
ikan dengan melihat jumlah bulan musim ikan yang diperoleh dari hasil
wawancara dengan nelayan dan melihat mesh size jaring yang digunakan
untuk menganalisa selektivitas alat tangkap.
(2) Aspek teknis mencakup: produksi per trip, produksi per tenaga kerja dan
produksi per tenaga penggerak kapal.
(3) Aspek sosial meliputi: jumlah tenaga kerja per unit penangkapan dan
pendapatan nelayan per unit penangkapan serta kemungkinan kepemilikan
unit penangkapan ikan oleh nelayan yang diperoleh dari pendapatan nelayan
per tahun dibagi investasi dari unit penangkapan.
(4) Aspek ekonomi mencakup: analisis aspek ekonomi dan finansial yaitu
meliputi penerimaan kotor per tahun, penerimaan kotor per tenaga kerja dan
penerimaan kotor per tenaga penggerak kapal. Sedangkan untuk analisis
18

finansial meliputi penilaian dengan Net Present Value (NPV), Benefit Cost
Ratio (Net B/C) dan Internal Rate of Return (IRR).
Prinsip dasar untuk penentuan berdasarkan cara skoring terhadap unit
perikanan tangkap adalah untuk penilaian pada kriteria yang mempunyai satuan
berbeda dan penilaiannya dilakukan secara subjektif. Penilaian terhadap semua
kriteria secara terpadu dan dilakukan standarisasi nilai dari kriteria masing-masing
unit penangkapan ikan. Kemudian skor tersebut dijumlahkan, makin besar jumlah
skor berarti lebih baik atau efisien dan sebaliknya (Mangkusubroto dan Trisnadi,
1985).

2.5 Konsep Dasar Sistem Penangkapan Ikan Ramah Lingkungan

Berbagai permasalahan sumberdaya maupun lingkungan yang sedang


dihadapi pada saat ini, telah menjadi dasar dan alasan penting bahwa
pengembangan teknologi penangkapan ikan dimasa mendatang lebih dititik
beratkan pada kepentingan konservasi sumberdaya dan perlindungan lingkungan.
Usaha-usaha untuk menjaga kelestarian sumberdaya ikan dari ancaman
kepunahan, sebenarnya telah dilakukan sejak lama oleh berbagai ahli
penangkapan ikan di seluruh dunia. Sebagai contoh, industri penangkapan ikan di
laut Utara telah melakukan berbagai usaha untuk mengurangi buangan hasil
tangkap sampingan lebih dari 100 tahun yang lalu (Purbayanto dan Baskoro
1999).
Kegiatan ini pada akhirnya telah mengarahkan kepada pengembangan
penelitian selektivitas mata jaring yang dilakukan oleh sebagian besar negara-
negara di benua Eropa. Hal tersebut kemudian diikuti oleh negara-negara di Asia.
Usaha-usaha tersebut di atas belum dapat dikatakan berhasil, setelah diketahui
bahwa hampir sebagian besar ikan-ikan yang lolos dari alat tangkap melalui
selektivitas dilaporkan mengalami kematian akibat luka atau stres yang diterima
selama proses penangkapan dan pelolosan (Purbayanto dan Baskoro 1999).
Terlebih lagi dengan kerusakan lingkungan bumi dan sumberdaya alam yang
telah melampaui ambang batas dan menghawatirkan bagi kelangsungan hidup
generasi mendatang akhir-akhir ini, telah menggugah kepedulian masyarakat
dunia untuk segera bertindak. Akhir abad ke-20 kiranya dapat disebut sebagai
19

abad sadar lingkungan dengan telah dicanangkannya dua isu penting internasional
yaitu pemeliharaan lingkungan bumi dan jaminan penyediaan pangan (earth
environmental conservation and food security) (Purbayanto dan Baskoro 1999).
Perhatian internasional tentang tingkat stres dan kematian dari ikan-ikan
setelah lolos dari alat tangkap dan diperlukannya standarisasi dari penelitian
selektivitas telah membawa kedua isu ini menjadi fokus perhatian para ahli
penangkapan ikan. Penelitian mengenai survival dan selektivitas telah menjadi
suatu topik utama dalam beberapa tahun terakhir ini. Hal ini sejalan dengan
International Code of Conduct for Responsible Fisheries yang dihasilkan dari
pertemuan konsultasi ahli-ahli perikanan dunia (FAO) tahun 1995. Untuk
mewujudkan pengembangan selektivitas alat tangkap secara sukses tanpa
mengakibatkan kematian ikan-ikan yang lolos melalui proses seleksi alat tangkap,
telah direkomendasikan bahwa kegiatan penelitian survival dan selektivitas harus
saling terkait (Purbayanto dan Baskoro 1999).
Memasuki awal melenium III, trend pengembangan teknologi penangkapan
ikan di tekankan pada teknologi penangkapan ikan yang ramah lingkungan
(environmental friendly fishing technology) dengan harapan dapat memanfaatkan
sumberdaya perikanan secara berkelanjutan. Teknologi penangkapan ikan ramah
lingkungan adalah suatu alat tangkap yang tidak memberikan dampak lingkungan,
yaitu sejauh mana alat tangkap tersebut merusak dasar perairan (benthic
disturbance), kemungkinan hilangnya alat tangkap, serta kontribusinya terhadap
polusi (Arimoto 1999).
Faktor lain bagaimana dampaknya terhadap bio-diversity dan target
resources yaitu komposisi hasil tangkapan, adanya by catch serta tertangkapnya
ikan-ikan muda. Berbagai permasalahan sumberdaya maupun lingkungan yang
sedang dihadapi pada saat ini telah menjadi dasar dan alasan penting bahwa
pengembangan teknologi penangkapan ikan dimasa mendatang dititik beratkan
pada kepentingan konservasi sumberdaya dan perlindungan lingkungan
(Purbayanto dan Baskoro 1999).
Proses seleksi alat tangkap ramah lingkungan dimulai dengan melihat
spesies ikan yang menjadi tujuan penangkapan. Apakah spesies tersebut termasuk
kategori dilindungi atau terancam punah, jika ya maka tidak dilakukan
20

penangkapan. Jika spesies termasuk kategori yang diperbolehkan, maka dapat


dilanjutkan dengan memilih teknologi penangkapan yang ada di perairan tersebut,
dengan memenuhi syarat ramah lingkungan dan berkelanjutan (Monintja 2000).
Beberapa kriteria alat tangkap ramah lingkungan dan berkelanjutan adalah:
1) Mempunyai selektivitas yang tinggi.
2) Tidak merusak habitat.
3) Tidak membahayakan operator.
4) Menghasilkan ikan berkualitas tinggi.
5) Produk yang dihasilkan tidak membahayakan konsumen.
6) By-catch rendah.
7) Tidak berdampak buruk terhadap biodiversity.
8) Tidak menangkap ikan-ikan yang dilindungi.
9) Dapat diterima secara sosial.
10) Hasil tangkapan tidak melebihi TAC.
11) Tingkat keuntungan tinggi.
12) Nilai investasi rendah.
13) Penggunaan bahan bakar rendah.
14) Secara hukum legal.

2.6 Sumberdaya Ikan Layang (Decapterus spp)


2.6.1 Sistematika dan morfologi ikan layang
Menurut Weber dan Beaufort (1931) diacu dalam Najamuddin (2004)
sistematika ikan layang (Decapterus spp) adalah sebagai berikut:

Kelas : Pisces
Sub kelas : Teleostei
Ordo : Percomorphi
Sub Ordo : Percoidae
Devisi : Carangi
Famili : Carangidae
Sub Famili : Caranginae
Genus : Decapterus
Spesies : Decapterus russelli, (Ruppel)
D. macrosoma, (Bleeker)
21

D. lajang, (Bleeker)
D. Kurroides, (Bleeker)
D. maruadsi, (Temminck dan Schlegel)

Nama Decapterus terdiri dari dua suku kata yaitu Deca artinya sepuluh dan
Pteron artinya sayap. Jadi Decapterus berarti ikan yang mempunyai sepuluh
sayap. Nama ini berkaitan dengan layang yang berarti jenis ikan yang mampu
bergerak sangat cepat di air laut. Kecepatan tinggi ini memang dapat dicapai
karena bentuknya seperti cerutu dan sisiknya halus. Selanjutnya dikatakan bahwa
genus marga ini mudah dibedakan dari 26 marga lainnya dalam suku Carangidae,
karena mempunyai tanda khusus yaitu terdapat finlet di belakang sirip punggung
dan sirip dubur, mempunyai bentuk tubuh yang bulat memanjang dan pada bagian
belakang garis sisi (lateral line) terdapat sisik-sisik berlengir (lateral scute)
(Burhanuddin et al. (1983) diacu dalam Najamuddin (2004).
Berikut ini deskripsi dari beberapa jenis ikan layang menurut Saanin (1984);
Nontji (1993) adalah sebagai berikut: Decapterus russelli (Ruppell), Decapterus
macrosoma (Bleeker), Decapterus macarellus (Cuvier), dan Decapterus kurroides
(Bleeker).
Decapterus russelli nama Indonesia disebut ikan layang dan nama daerah
khusus untuk Jawa disebut Benggol, Kerok, layang; Jabar/Jakarta : Layang;
Madura: Kaban padara, Kaban patek, Lajeng rencek bulus, Rencek kaban, Rencek
padara, Rencek patek ; Maluku (Ambon) : Momar merah ; Nusa Tenggara Timur :
Layang. Decapterus russelli mempunyai badan memanjang, agak gepeng. Dua
sirip punggung, sirip punggung pertama berjari-jari 9 (1 meniarap + 8 biasa), sirip
punggung kedua berjari-jari keras 1 dan 30 – 32 lemah. Sirip dubur berjari-jari
keras 2 (lepas) dan 1 bergabung dengan 22 – 27 jari-jari sirip lemah. Baik
dibelakang sirip punggung kedua dan dubur terdapat 1 jari-jari sirip tambahan
(finlet). Termasuk pemakan plankton (invertebrata).
Decapterus russelli hidup di perairan lepas pantai, kadar garam tinggi,
membentuk gerombolan besar. Dapat mencapai panjang 30 cm umumnya 20 – 25
cm. Warna biru kehijauan, hijau pupus bagian atas, putih perak bagian bawah.
Sirip-siripnya abu-abu kekuningan atau pucat dan satu totol hitam terdapat pada
tepian atas penutup insang (Gambar 3).
22

Gambar 3 Ikan layang (Decapterus russelli).


Sumber. Allen Gerry (1999).

Decapterus macrosoma nama Indonesia disebut ikan layang dan nama


daerah khusus untuk Jawa disebut benggol deles, layang deles, layang lidi, luncu;
Jawa Barat/Jakarta : layang deles; Madura : bulus blanseng, Kaban bulus: bawean
: Bulus ; Muna-Buton : Lada Seram : Iya biya; Ambon : momar, momol, momare,
kela mahu; Saparua : momar papeda; Nusa Tenggara Timur : layang.
Decapterus macrosoma mempunyai badan memanjang,seperti cerutu. Badan
sepintas lalu seperti tongkol. Sirip punggung pertama berjari-jari keras 8; sirip
punggung kedua berjari-jari keras 1 dan 32 – 35 lemah. Sirip dubur berjari-jari
keras 2 (lepas), 1 jari-jari keras bergandeng dengan 26 – 30 jari-jari lemah. Di
belakang sirip punggung kedua dan dubur terdapat 1 jari-jari sirip tambahan
(finlet). Terdapat 25 – 30 sisik duri pada garis sisinya.
Decapterus macrosoma termasuk pemakan plankton kasar. Hidup
bergerombol di perairan lepas pantai, daerah-daerah pantai laut dalam, kadar
garam tinggi. Dapat mencapai panjang 40 cm, umumnya 25 cm. Warna biru
kehijauan bagian atas, putih perak bagian bawah. Sirip-siripnya kuning pucat atau
kuning kotor. Satu totol hitam pada bagian atas penutup insang, dan pangkal sisip
dada (Gambar 4).

Gambar 4 Ikan layang (Decapterus macrosoma).


Sumber. Allen Gerry (1999).
23

Decapterus macarellus nama Indonesia disebut ikan malalugis biru. Jari-


jari sirip terdiri dari D VIII; I, 31 – 37, A. II; I, 27 – 31, GR 9 – 31 + 31 – 39.
Mempunyai tubuh memanjang dan ramping; sirip punggung pendek, tidak sampai
melebihi garis vertical dari ujung posterior duri-duri perut; garis lateral terdiri dari
68 – 79. Sisik berbentuk kurva, 19 – 33 sisik berbentuk lurus diikuti dengan 23 –
32 scute; tidak mempunyai gigi pada rahang atas, membran sub spesifik rahang
atas berwarna putih; ujung rahang atas berbentuk lurus dan jaringan adipose mata
berkembang dengan baik. Berwarna biru metalik sampai kehitaman pada bagian
atas, putih keperakan pada bagian bawah, terdapat bintik/noda hitam kecil pada
garis tepi operkulum. Sirip ekor berwarna kuning kehitaman, sedang sirip lainnya
berwarna putih kehitaman. Panjang tubuh bisa mencapai 28 cm (Gambar 5).

Gambar 5 Ikan layang (Decapterus macarellus ).


Sumber. Allen Gerry (1999).

Jari-jari sirip Decapterus kurroides terdiri dari D VIII, I, 28 – 30, A. II; I 22


– 26, GR 9 – 12 + 26 – 32. Mempunyai tubuh memanjang dan sedikit gepeng.
Jaringan adipose menutup seluruh mata dan terdapat sebuah celah. Sisik berada
diatas kepala dan menyebar mendekati garis tepi anterior mata. Sirip dada
memanjang mendekati sebuah garis vertikal dari sirip dorsal lemah. Rahang atas
dengan rangkaian gigi, rahang bawah memiliki sederatan gigi yang tidak teratur.
Lateral line melengkung kebawah didepan terdapat 47 – 55 scute pada bagian
yang lurus. Badan bagian atas berwarna biru kehijauan dan bagian bawah
berwarna putih keperak-perakan. Terdapat satu bintik noda hitam pada garis tepi
operkulum. Sirip ekor berwarna merah, spinous dorsal dan sirip dorsal lemah
kadang-kadang berwarna kehitaman, sedangkan sirip lainnya berwarna putih.
Panjang tubuh 17 cm ( Gambar 6).
24

Gambar 6 Ikan layang (Decapterus kurroides).


Sumber . Allen Gerry (1999).

2.6.2 Siklus hidup, distribusi dan ruaya ikan layang


Siklus hidup ikan layang harus diketahui agar dapat dimanfaatkan secara
optimal tanpa mengganggu kelestarian sumberdaya (Widodo 1998). Perhatian
terhadap proses-proses yang terdapat dalam perkembangan awal hidup ikan
layang merupakan hal yang menarik karena berhubungan dengan stabilitas
populasi ikan tersebut dalam suatu perairan. Mortalitas pada awal perkembangan
hidup ikan umumnya sangat besar dimana fluktuasi mortalitas mempunyai andil
yang besar dalam menentukan variasi produksi pada tiaptiap tahunnya.
Menurut Widodo (1998) secara ringkas siklus hidup ikan layang dimulai
dari telur, fase larva, anakan, populasi muda, dewasa, memijah dan akhirnya
mati.. Ikan layang memulai kehidupannya sebagai plankton yang berukuran kecil
yang hidupnya terombang-ambing oleh arus lautan.
Layang umumnya merupakan filter feeder, yaitu jenis ikan pemakan
plankton dengan jalan menyaring plankton yang masuk untuk memilih jenis
plankton yang disukainya . Pada siang hari ikan layang berada di dasar perairan
membentuk gerombolan yang padat dan kompak, sedangkan pada malam hari
naik ke permukaan membentuk gerombolan yang menyebar. Ikan juga dapat
muncul ke permukaan pada siang hari, apabila cuaca mendung disertai hujan
gerimis (Sumadhiharga 1991).
Ikan layang muncul di permukaan laut oleh karena dipengaruhi oleh ruaya
harian dari organisme-organisme lain yang terdapat di suatu perairan. Pada siang
hari gerombolan-gerombolan ikan ini bergerak ke lapisan atas, dimana
perpindahan tersebut disebabkan oleh adanya perpindahan massal plankton nabati
25

yang diikuti oleh plankton hewani, kemudian organisme hewan-hewan kecil,


seterusnya oleh organisme-organisme yang lebih besar termasuk ikan (Asikin,
1971). Ikan layang biasanya memanfaatkan benda-benda terapung seperti rumpon
sebagi substrat untuk meletakkan telurnya dan sebagai tempat berlindung dari
predator maupun tempat untuk mencari makan.
Penyebaran ikan layang sangat luas di dunia. Jenis-jenis ikan ini mendiami
perairan tropis dan sub tropis di Indo-Pasifik dan Lautan Atlantik. Walaupun jenis
ikan ini hidup di wilayah yang luas, namun setiap jenis mempunyai wilayah
sebaran tertentu . Ikan layang di Perairan Indonesia terdapat 5 jenis ikan layang
yakni Decapterus russelli, Decapterus kurroides, Decapterus lajang, Decapterus
macrosoma dan Decapterus maruadsi. Namun dari kelima spesies tersebut hanya
Decapterus russelli yang mempunyai daerah sebaran yang luas di Indonesia mulai
dari Kepulauan Seribu hingga Bawean dan Pulau Masalembo. Decapterus lajang
senang hidup di perairan dangkal seperti di Laut Jawa ( termasuk Selat Sunda,
Selat Madura, dan Selat Bali), Ambon dan Ternate.
Decapterus macrosoma banyak dijumpai di Selat Bali, Laut Banda, Selat
Makasar dan Sangihe. Ikan layang Deles (Decapterus macrosoma) termasuk
dalam kelompok ikan pelagis kecil yang sudah dieksploitasi secara intensif di
perairan Selat Makassar. Decapterus kurroides terdapat di Selat Bali, Labuhan
dan Pelabuhan Ratu. Decapterus maruadsi termasuk ikan yang berukuran besar,
hidup di laut dalam seperti di Laut Banda. Ikan ini tertangkap pada kedalaman
100 meter atau lebih (Gafa et al. (1993) diacu dalam Nontji (1993)).
Layang (Decapterus spp) terutama terkonsentrasi di perairan utara Jawa,
utara dan selatan Sulawesi. Daerah penyebarannya mulai dari barat Sumatera,
selatan Jawa, timur Kalimantan, Nusa Tenggara, selatan dan barat Kalimantan,
Maluku dan Irian Jaya (Direktorat Jenderal Perikanan 1997). Jenis dan daerah
penyebaran ikan layang di perairan Indonesia dapat dilihat pada Tabel 1.
26

Tabel 1 Jenis dan daerah penyebaran ikan layang di perairan Indonesia

No Jenis Ikan Daerah Penyebaran


1 Deapterus russelli Kepulauan Seribu hingga Bawean dan
Pulau Masalembo
2 Decapterus kurroides Selat Bali, Labuhan dan Pelabuhan Ratu
3 Decapterus lajang Laut Jawa (Selat Sunda, Selat Madura
dan Selat Bali), Selat Makasar, Ambon
dan Ternate
4 Decapterus macrosoma Selat Bali, Selat Makasar dan Sangihe
5 Decapterus maruadsi Laut Banda

Menurut (Hardenberg, 1973 diacu dalam Djamali, 1995) di Laut Jawa


populasi layang ada tiga macam yaitu layang utara, layang barat, dan layang
timur. Pada Musim Timur populasi layang disebut layang timur, jadi disini yang
akan dibahas adalah populasi layang timur. Selanjutnya ia menyatakan bahwa
ruaya layang di perairan Indonesia mempunyai hubungan dengan pergerakan
massa air laut, walaupun secara tidak langsung. Selama musim timur berlangsung
air dengan salinitas tinggi mengalir dari Laut Flores masuk ke Laut Jawa dan
keluar melalui Selat Gaspar, Selat Karimata, dan Selat Sunda. Pada tahap
permulaan layang yang masih kecil berasal dari Laut Flores bermigrasi ke barat
dan sampai di Pulau Bawean. Pada musim timur pada bulan Juni sampai
September terdapat banyak layang di Laut Jawa. Ia menyebut populasi ikan ini
sebagai layang timur. Menurut Burhanuddin dan Djamali (1977), layang timur
terdiri dari dua populasi. Populasi pertama berasal dari Selat Makasar dan
populasi ke dua berasal dari Laut Flores. Jadi pengamatan ini memperkuat
hipotesa (Hardenberg, 1937 diacu dalam Djamali, 1995) dengan tambahan adanya
populasi layang dari Selat Makasar.
Pada umumnya ruaya layang berkaitan erat dengan pergerakan massa air
laut walaupun secara tidak langsung. Dalam hal pola pergerakan arus sangat
mempengaruhi ruaya layang, karena layang cenderung melakukan ruaya
mengikuti massa air, sebaran salinitas yang tinggi, serta ketersediaan makanan
(Djamali, 1995). Layang sangat peka terhadap perubahan lingkungan. Salah satu
faktor lingkungan yang berpengaruh terhadap kehidupan dan kesediaan layang
adalah arus. Karena layang biasanya melakukan ruaya mengikuti kadar garam dan
ketersediaan makanan. Dengan mengikuti pergerakan arus tersebut layang
27

cenderung beruaya mengikuti arus, di mana di daerah tersebut banyak


mengandung ketersediaan makanan (plankton) dan bersalinitas tinggi di atas
o
32 /oo (Djamali, 1995).
Ikan layang termasuk jenis ikan perenang cepat, bersifat pelagik, tidak
menetap dan suka bergerombol, tergolong stenolaline, hidup di perairan yang
berkadar garam tingg (32 - 34 permil), menyenangi perairan yang jernih, banyak
tertangkap di perairan yang berjarak 20 - 30 mil dari pantai (Weber dan Beaufort,
1931; Hardenberg, 1938 diacu dalam Djamali 1995). Sifat bergerombol atau
membentuk schooling ini merupakan suatu gejala biososial yang elemen-elemen
penyebabnya merupakan suatu pendekatan yang bersifat timbal balik. Bagi ikan
yang hidup bergerombol dapat memberikan kesempatan yang lebih besar untuk
menyelamatkan dari predator, karena terlindung dalam suatu gerombolan; dan
bagi beberapa jenis ikan yang hidup bergerombol dapat memberikan pengaruh
stres yang lebih kecil dibanding hidup menyendiri (Royce, 1972 diacu dalam
Djamali 1995).

2.6.3 Pertumbuhan
Umumnya, ikan mengalami pertumbuhan secara terus menerus sepanjang
hidupnya. Pertumbuhan merupakan salah satu aspek yang dipelajari dalam dunia
perikanan dikarenakan pertumbuhan menjadi indikator bagi kesehatan individu
dan populasi yang baik bagi ikan.
Menurut Wahyuningsih dan Barus (2006), pengertian pertumbuhan dalam
istilah sederhana yaitu sebagai pertambahan ukuran panjang atau berat dalam
suatu waktu, sedangkan pertumbuhan bagi populasi sebagai pertambahan jumlah.
Akan tetapi kalau kita lihat lebih lanjut, sebenarnya pertumbuhan itu merupakan
proses biologis yang komplek dimana banyak faktor mempengaruhinya.
Menurut Weatherley (1972) diacu dalam Wahyuningsih dan Barus (2006),
pertumbuhan ikan merupakan suatu pola kejadian yang kompleks dan melibatkan
banyak faktor yang berbeda termasuk di dalamnya seperti : (1) temperatur dan
kualitas air, (2) ukuran, ketersediaan dan kualitas makanan, (3) ukuran, umur dan
jenis ikan itu sendiri, dan (4) jumlah ikan-ikan lain yang memanfaatkan' sumber-
sumber yang sama.
28

Pertumbuhan individu adalah pertumbuhan ukuran panjang dalam suatu


periode waktu tertentu, sedangkan pertumbuhan populasi adalah pertambahan
jumlah dan biomas totalnya. Pertumbuhan tersebut merupakan proses biologi
yang kompleks dengan banyak faktor yang mempengaruhinya. Beberap faktor
yang mempengaruhi pertumbuhan diantaranya jumlah makanan yang tersedia,
jumlah ikan yang menggunakan sumber makanan yang sama, suhu, oksigen
terlarut, umur, ukuran ikan dan kemmatangan gonad (Effendie, 1997).

2.6.4 Hubungan panjang berat


Pengukuran panjang dan berat ikan bermanfaat untuk menaksir pertumbuhan
ikan pada waktu tertentu. Panjang tubuh sangat berhubungan dengan berat tubuh.
Hubungan panjang dengan berat seperti hukum kubik yaitu bahwa berat sebagai
pangkat tiga dari panjangnya. Namun, hubungan yang terdapat pada ikan
sebenarnya tidak demikian karena bentuk dan panjang ikan bebeda-beda. Menurut
Effendie (1997) harga eksponen ini telah diketahui dari 398 populasi ikan berkisar
1,2 – 4,0, namun kebanyakan dari harga n tadi berkisar dari 2,4 – 3,5. Bilamana
harga n sama dengan 3 menunjukkan bahwa pertumbuhan ikan tidak berubah
bentuknya yaitu pertambahan panjang ikan seimbang dengan pertambahan
beratnya. Pertumbuhan demikian seperti telah dikemukakan ialah pertumbuhan
isometrik. Apabila n lebih besar atau lebih kecil dari 3 dinamakan pertumbuhan
allometrik. Harga n yang kurang dari 3 menunjukkan keadaan ikan yang kurus
yaitu pertambahan panjangnya lebih cepat dari pertambahan beratnya, sedangkan
harga n lebih besar dari 3 menunjukkan ikan itu montok, pertambahan berat lebih
cepat dari pertambahan panjangnya.
Cara yang dapat digunakan untuk menghitung panjang berat ikan ialah
dengan menggunakan regresi, yaitu dengan menghitung dahulu logaritma dari
tiap-tiap panjang dan berat ikan atau dengan mengikuti jalan pendek seperti
dikemukakan oleh Carlander (1968) diacu dalam Wahyuningsih dan Barus
(2006), yaitu dengan mengadakan pengkelasan berdasarkan logaritma. Dasar
perhitungan dari cara tersebut adalah sama namun metoda yang dikemukakan oleh
Carlender lebih pendek dan dapat dipakai tanpa menggunakan mesin hitung. Nilai
praktis yang didapat dari perhitungan panjang berat ini ialah kita dapat menduga
berat dari panjang ikan atau sebaliknya, keterangan tentang ikan mengenai
29

pertumbuhan kemontokan, dan perubahan dari lingkungan serta baik digunakan


terutama untuk ikan-ikan yang besar. Namun, kelemahan dari perhitungan ini
yaitu hanya berlaku untuk sementara waktu saja (Reinthal, P & J. Stegen, 2005).

2.6.5 Tingkat kematangan gonad


Effendie (1992), menyatakan bahwa tingkat kematangan gonad adalah tahap
tertentu perkembangan gonad sebelum dan sesudah ikan memijah. Pertumbuhan
ikan akan menjadi lambat pada saat mulai matang gonad karena sebelum terjadi
pemijahan, sebagian besar hasil metabolisme tertuju untuk perkembangan gonad.
Gonad semakin bertambah berat bersamaan dengan semakin bertambah besar
ukurannya, termasuk diametar telur . Selanjutnya dikatakan bahwa berat gonad
akan bertambah maksimum sesaat ikan berpijah, kemudian berat gonad akan
menurun dengan cepat selama pemijahan berlangsung sampai selesai. Untuk
mengetahui perubahan gonad secara kuantitatif dinyatakan dengan indeks
kematangan gonad.
Menurut Devados (1969) diacu dalam Soumokil (1996), pengetahuan
tentang tingkat kematangan gonad perlu untuk mengetahui musim-musim ikan
memijah, sehingga penangkapannya dapat dikontrol. Salah satu cara untuk
mengetahui tingkat kematangan gonad ikan yaitu mengukur perbandingan
panjang gonad dengan rongga tubuh (body cavity), disamping mengetahui warna
gonad, pembuluh darah dan butir-butir di dalamnya (Effendie, 1992).

2.6.6 Indeks kematangan gonad


Proses sebagain besar hasil metabolisme tertuju pada perkembangan gonad.
Berat gonad akan semaki bertambah dan mencapai maksimum ketika ikan itu
akan memijah, kemudian berat ikan akan menurun setelah pemijahan. Perubahan-
perubahan kondisi gonad ini dinyatakan dengan suatu indeks, yaitu Indeks
Kematangan Gonad atau ”matuarity indeks” (Ganaisa dan Djamali, 1983).
Secara umum Indeks Kematangan Gonad sangat bervariasi menurut panjang
tubuh maupun tingkat kematangan gonadnya, namun terdapat kecenderungan
hubungan yang positif antara indeks gonad dengan tingkat kematangannya. Indeks
Kematangan Gonad akan semakin tinggi mengikuti perkembangan kematangan
seksual (gonad) karena makin bertambahnya berat gonad (Suwarso et al., 1988).
30

2.6.7 Fekunditas
Pengetahuan mengenai fekunditas merupakan salah satu aspek yang
memegang peranan penting dalam biologi perikanan. Fekunditas ikan telah
dipelajari bukan saja merupakan salah satu aspek dari natural history, tetapi
sebenarnya ada hubungannya dengan studi dinamikan populasi , sifat-sifat rasial,
produksi dan persoalan stok-rekruitmen (Bagenal 1978 diacu dalam Effendie
1979). Dari fekunditas secara tidak langsung kita dapat menaksir jumlah anak
ikan yang akan dihasilkan dan akan menentukan pula jumlah ikan dalam kelas
umur yang bersangkutan.
Talah banyak usaha-usaha untuk menerangkan dan membuat definisi
mengenai fekunditas. Menurut Nikolsky (1963) diacu dalam Effendie (1992)
jumlah telur yang terdapat dalam ovari ikan dinamakan fekunditas individu,
fekunditas mutlak atau fekunditas total. Adapun pengertian fekunditas total
menurut Royce (1972) diacu dalam Effendie (1992) adalah jumlah telur yang
dihasilkan ikan selama hidup. Selanjutnya dikemukakan yang dimaksud dengan
fekunditas relatif adalah jumlah telur per satuan berat atau panjang.
Nikolsky (1963) diacu dalam Effendie (1992) menyatakan ikan-ikan yang
tua dan besar ukurannya mempunyai fekunditas relatif lebih kecil. Umumnya
fekunditas relatif lebih tinggi dibanding dengan fekunditas individu. Fekunditas
relatif akan menjadi maksimum pada golongan ikan yang masih muda.
Tiews et al., (1972) diacu dalam Soumokil (1996) mengatakan bahwa ikan
Decapterus spp umumnya bertelur pada malam hari sekitar pukul 22.00 – 24.00
dan menetas pada keesokan harinya sekitar pukul 09.00. Pemijahan ikan layang
umunya terjadi di perairan sekitar pulau-pulau karang. Pemijahan ini berlangsung
relatif lama dan bersifat seagian-sebagian (partial spawning).

2.7 Alat Tangkap Ikan Layang


2.7.1 Pukat cincin (purse seine)
Alat tangkap purse seine atau pukat cincin adalah jaring yang umumnya
berbentuk empat persegi panjang, dilengkapi dengan tali kerut yang dilewatkan
melalui cincin yang diikatkan pada bagian bawah jaring (tali ris bawah), sehingga
dengan menarik tali kerut bagian bawah jaring dapat dikuncupkan dan jaring akan
31

berbentuk seperti mangkok (Baskoro 2002). Disebut pukat cincin karena alat
tangkap ini dilengkapi dengan cincin. Fungsi cincin dan tali kerut/tali kolor ini
penting terutama pada waktu pengoperasian jaring. Adanya tali kerut tersebut
jaring yang semula tidak berkantong bandingkan dengan jaring payang (seine net)
akan terbentuk kantong pada tiap akhir penangkapan ikan (Subani dan Barus
1989).
Menurut Brandt (1984) purse seine dibentuk dari dinding jaring yang sangat
panjang, biasanya tali ris bawah (leadline) sama atau lebih panjang daripada tali
ris atas (floatline). Floatline memuat rangkaian pelampung (float) yang menjaga
posisi jaring agar tetap berada di permukaan air. Leadline adalah tali ris bawah
yang merangkai kumpulan pemberat (sinker) yang terbuat dari timah sehingga
memungkinkan jaring untuk melebar secara vertikal dengan maksimal. Pada pukat
cincin mata, jaring hanya berfungsi sebagai penghadang gerak ikan, bukan
penjerat seperti pada gillnet (Ayodhyoa 1981).
Pukat cincin yang kurang lebih sejenis di Indonesia sudah sejak lama
dikenal walaupun dengan nama dan konstruksi yang sedikit berbeda, seperti pukat
langgar, pukat senangin, gae dan giob. Pukat cincin pertama kali diperkenalkan di
pantai utara Jawa oleh BPPL pada tahun 1970. Kemudian diaplikasikan
1973/1974 di Muncar dan berkembang pesat sampai sekarang (Subani dan Barus
1989).
Baskoro (2002) menyatakan bahwa purse seine dioperasikan dengan cara
melingkari gerombolan ikan baik dengan menggunakan satu kapal ataupun dua
unit kapal. Setelah gerombolan ikan terkurung, kemudian bagian bawah jaring
dikerutkan hingga tertutup dengan menarik tali kerut yang dipasang sepanjang
bagian bawah melalui cincin. Alat penangkapan ini ditujukan untuk menangkap
gerombolan ikan permukaan (pelagic fish). Tingkah laku ikan layang membentuk
gerombolan dekat dasar perairan pada siang hari dan mencari makan pada malam
hari di permukaan perairan (Jaiswar et al. 2001). Hasil tangkapan yang
mendominasi hasil tangkapan pukat cincin biasanya adalah jenis ikan layang yaitu
antara Decapterus russelli dan Decapterus macrosoma (Subani dan Burus, 1989).
Menurut Subani dan Barus (1989) umumnya perikanan purse seine di dunia
menggunakan satu kapal. Ada dua tipe kapal purse seine, yaitu tipe Amerika dan
32

tipe Skandinavia (Eropa). Kapal purse seine tipe Amerika mempunyai bridge
(anjungan) dan ruang akomodasi pada bagian haluan. Kapal purse seine tipe
Skandinavia (Eropa) mempunyai bridge (anjungan), dan ruang akomodasi di
buritan. Kegiatan penurunan jaring dilakukan pada sisi kanan kapal (starboart),
sedangkan sisi kiri kapal (portside) ditempati untuk ruang kemudi.
Alat penangkapan purse seine disimpan pada bagian buritan dan power
block, biasanya terletak di sisi anjungan kapal Fyson (1985). Menurut Fridman
(1986) diacu dalam Baskoro (2002), jenis purse seine yang dioperasikan dengan
satu unit kapal memiliki kantong (bunt) yang terletak pada salah satu ujung jaring,
sedangkan kantong (bunt) pada purse seine yang manggunakan dua unit kapal
terletak pada bagian tengah jaring.

2.7.2 Jaring insang hanyut


Gill net sering diterjemahkan dengan istilah jaring insang atau jaring rahang
dan lain-lain. Istilah gill net didasarkan pada pemikiran bahwa ikan-ikan yang
tertangkap gill net terjerat pada bagian operculumnya pada bagian jaring.
Penamaan gill net di Indonesia beraneka ragam, ada yang menyebutnya
berdasarkan jenis ikan yang tertangkap (jaring koro, jaring udang dan
sebagainya), ada pula disertai dengan nama tempat dan sebagainya (Sudirman dan
Mallawa 2003).

Salah satu jenis jaring insang adalah jaring insang hanyut (drift gill net).
Jaring insang hanyut adalah jaring insang yang pengoperasiannya dibiarkan
hanyut dibiarkan hanyut di perairan, baik itu dihanyutkan di permukaan perairan,
kolom perairan atau dihanyutkan di dasar perairan (Martasuganda 2002).
Tertangkapnya ikan-ikan dengan gill net adalah dengan cara ikan tersebut
terjerat (gilled) pada mata jaring ataupun terbelit (entangled) pada tubuh jaring.
Pada umumnya ikan-ikan yang menjadi tujuan penangkapan gill net adalah ikan-
ikan yang bermigrasi secara horizontal dan bermigrasi secara vertilal tidak
seberapa aktif. Dengan kata lain, migrasi dari ikan-ikan tersebut terbatas pada
suatu range layer-depth tertentu. Berdasarkan depth dari swimming layer ini lebar
jaring dapat ditentukan (Sudirman dan Mallawa 2003).
33

Jaring insang hanyut dapat digunakan untuk mengejar gerombolan ikan dan
merupakan suatu alat penangkap yang penting untuk perikanan laut bebas. Karena
posisinya tidak ditentukan oleh jangkar, maka pengaruh dari kecepatan arus
terhadap kekuatan tubuh jaring dapat dilakukan atau gerakan jaring bersamaan
dengan gerakan arus, sehingga besarnya tahanan dari jaring terhadap arus dapat
diabaikan (Sudirman dan Mallawa 2003).

2.7.3 Bagan perahu


Bagan merupakan alat penangkapan ikan yang diklasifikasikan ke dalam
jaring angkat (lift net). Dalam pengoperasiannya, jaring atau waring diturunkan
secara vertikal ke dalam perairan. Penangkapan ikan dengan bagan umumnya
dilakukan pada malam hari (light fishing) terutama pada hari bulan gelap dengan
menggunakan lampu sebagai alat bantu penangkapan (Subani dan Barus, 1989).
Berdasarkan cara pengoperasiannya bagan di kelompokkan ke dalam jaring
angkat (lift net) namun karena menggunakan lampu untuk mengumpulkan ikan
maka disebut light fishing (Subani dan 1989). Bagan terdiri dari komponen-
komponen penting yaitu jaring bagan, rumah (anjang-anjang atau kadang tanpa
anjang-anjag), serok dan lampu. Lampu bermacam-macam digunakan oleh
bagan, ada jenis lampu petromaks dan listrik . Penggunaan lampu tergantung pada
jenis kemampuan bagan mengadopsi teknologi. Di pelataran bagan terdapat alat
penggulung (roller) yang terbuat dari kayo berfungsi untuk menurunkan atau
mengangkat jaring bagan saat dioperasikan (Subani dan Burus, 1989). Selanjutnya
pengelompokkan bagan berdasarkan bentuk dan cara pengoperasiannya menjadi
tiga macam, yaitu bagan rakit, bagan perahu dan bagan tancap.
Bagan rakit merupakan jaring angkat yang digunakan oleh nelayan Maluku
Utara dalam penengkapan ikan-ikan pelagis. Dalam pengoperasiannya dapat
dipindah-pindahkan ke daerah penangkapan yang dianggap banyak sumberdaya
ikan. Di sebelah kanan dan kiri bagian bawah bagan terdapat rakit dari bambu
yang berfungsi sebagai landasan dan sekaligus sebagai alat apung. Pada bagian ini
juga terdapat anjang-anjang. Bagan perahu lebih sederhana dibandingkan bagan
rakit dan lebih ringan, sehingga memudahkan dalam pemindahan ke tempat yang
dikehendaki. Bagan perahu terbagi dua berdasarkan jumlah perahu yang
digunakan, yaitu bagan yang menggunakan satu perahu dan bagan dua perahu.
34

Bagian depan dan belakang bagan dua perahu dihubungka oleh dua batang
bambu, sehingga berbentuk bujur sangkar. Bambu tersebut berfungsi sebagai
tempat menggantung jaring atau waring.
Operasi penangkapan ikan menggunakan bagan dimulai pada saat matahari
terbenam. Terlebih dahulu jaring bagan diturunkan sampai kedalaman yang
diinginkan, kemudian lampu mulai dinyalakan untuk menarik perhatian ikan agar
segera berkumpul di sekitar bagan. Apabila hasil pengamatan menunjukan ikan-
ikan sudah mulai berkumpul dibawah sinar lampu, maka jaring bagan diangkat
sampai berada diatas permukaan air dan hasil tangkapan diambil dengan
menggunakan sero (Sadori , 1985 diacu dalam Arifin , 2008).

2.8 Pendekatan Analisis Optimalisasi Perikanan Ikan Layang


2.8.1 Standarisasi upaya tangkap
Setiap jenis alat tangkap mampu menangkap berbagai jenis ikan di suatu
daerah penangkapan. Bila di suatu daerah terdapat berbagai alat tangkap maka
salah satunya harus dipakai sebagai standar dan alat tangkap yang lain
distandarisasikan terhadap alat tangkap tersebut. Hal ini disebabkan kemampuan
tangkap dari masing-masing alat tangkap tersebut berbeda-beda dalam
menangkap suatu jenis ikan (Gulland 1983).
Standarisasi alat tangkap perlu dilakukan sebelum melakukan perhitungan
catch per unit effort (CPUE), yaitu dengan cara membandingkan hasil
tangkapan per unit upaya masing-masing alat tangkap (Gulland 1983).
Standarisasi bertujuan untuk menyeragamkan satuan-satuan yang berbeda
menjadi satuan upaya (jumlah satuan operasi) yang sama. Alat tangkap yang
digunakan sebagai standar adalah jenis alat tangkap yang paling dominan
menangkap jenis ikan tertentu di suatu daerah (mempunyai laju tangkapan rata-
rata per CPUE terbesar pada periode waktu tertentu) dan memiliki nilai faktor
daya tangkap (fishing power index, FPI) sama dengan satu. FPI dari masing-
masing alat tangkap lainnya dapat diketahui dengan cara membagi laju
tangkapan rata-rata masing-masing alat tangkap dengan laju tangkapan rata-rata
alat tangkap yang dijadikan standar (Gulland 1983).
35

2.8.2 Model produksi surplus


Umumnya pendekatan yang digunakan untuk mempelajari biologi
perikanan multispesies adalah dengan memisahkan spesies secara bersamaan.
Pendekatan ini cukup sederhana untuk memperlakukan keseluruhan
percampuran spesies sebagaimana mereka berperan sebagai persediaan spesies
tunggal dan untuk menganalisisnya dengan menggunakan model produksi
surplus atau Model Total Biomassa Schaefer (TBSM) ( Panayotou 1985; Clark
1985 diacu dalam Fauzi 2001). Pendekatan ini cukup populer karena hanya
memerlukan pencarian dan perolehan data, yang relatif mudah didapatkan (Fauzi
2001).
Pertambahan biomassa suatu stok ikan dalam waktu tertentu di suatu
perairan merupakan salah satu parameter populasi yang disebut produksi.
Biomassa yang diproduksi ini diperlukan untuk mengganti biomassa karena
kematian. Produksi yang berlebihan dari kebutuhan pengganti ini dianggap
sebagai kelebihan (surplus) yang selanjutnya dapat dipanen. Apabila kuantitas
biomassa yang diambil melalui kegiatan perikanan sama dengan surplus yang
diproduksi, berarti keseimbangan tersebut berada dalam keadaan seimbang
(equilibrium) (Schaefer 1954; Caddy dan Criddle 1993).
Aplikasi dari model produksi dimaksudkan untuk mengetahui upaya
tangkap optimum (fMSY) dan hasil maksimum lestari (MSY) dari suatu perairan.
Nilai tersebut diperoleh berdasarkan upaya tangkap (catch) dan hasil tangkap
per unit upaya (CPUE) pada suatu perairan dengan data berdasarkan kurun
waktu tertentu (time series) (Schaefer 1954).

2.8.3 Model bioekonomi


Dalam studi bioekonomik perikanan, umumnya dilakukan pencarian dan
perolehan data akibat ketiadaannya informasi mengenai penghitungan persediaan.
Beberapa model menggunakan time series dan data penangkapan dan usaha untuk
dianalisis. Salah satu metode tersebut adalah model jenis produksi surplus. Model
ini cukup dikenal dalam literatur perikanan dan telah digunakan selama lebih dari
empat puluh tahun. Hal ini dikarenakan adanya suatu fakta bahwa bukan hanya
modelnya yang secara relatif sederhana untuk dihitung, tetapi model tersebut juga
harus memerlukan kurun waktu (time series) dari data penangkapan dan usaha
36

yang tersedia pada pusat perikanan (Fauzi 2001).


Kebanyakan model perikanan telah dikembangkan yang ada kaitannya
dengan spesies tunggal di kawasan temperate. Pada model tersebut, yang biasa
dilakukan adalah memperlakukan setiap spesies dan persediaan sebagai unit
manajemen independen atau terpisah, mengabaikan berbagai interaksi yang
dapat muncul seperti hubungan mangsa dengan predator dan interaksi teknologi
antara jenis yang berbeda dari target yang dicapai oleh spesies yang berbeda
(Fauzi 2001).
Jika dikaitkan dengan perikanan tropis yang memiliki multispesies, maka
nampak bahwa pendekatan ini seringkali tidak memuaskan (Pauly 1979). Hal ini
disebabkan adanya fakta bahwa bukan hanya perikanan tropis benar-benar
memiliki penyebaran spesies yang tinggi, tetapi juga karena mereka berada
dalam suatu ekosistem yang kompleks.
Sumberdaya pada open acces adalah salah satu sumberdaya yang
pengeksploitasinya tidak dapat dikontrol, siapapun dapat mengambil hasil dari
sumberdaya tersebut. Untuk mengendalikan hal ini, maka pengaruh ekonomi
dapat menjadi variabel, sehinga model bioekonomi ini dapat digunakan untuk
membantu menguraikan alasan-alasan dibalik keberagaman (Clark 1985).
Pendekatan bioekonomi akan memadukan kekuatan ekonomi yang
mempengaruhi industri penangkapan dan faktor biologi yang menentukan
produksi dan masukan ikan (Clark 1985 dan Charles 1989). Model bioekonomi
perikanan dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu model statik dan model
dinamik. Model statik tidak memperhatikan dinamika dari faktor waktu,
sedangkan model dinamik memasukkan faktor waktu dalam analisis.
Model statik, terdiri dari model harga tetap dan model harga berubah. Pada
penelitian ini digunakan model bioekonomi statik dengan harga tetap yang
digunakan untuk menentukan tingkat optimum pemanfaatan sumberdaya
perikanan (Schnute and Hilbom 1993).
Model statik dikembangkan pertama kali oleh Gordon dengan dasar fungsi
produksi biologis Schaefer, sehingga disebut model Gordon-Schaefer (Seijo et
al. 1998). Asumsi-asumsi yang mendasari model ini adalah : a) Populasi ikan
menyebar merata, b) Tidak ada kejenuhan penggunaan unit alat tangkap di
37

wilayah perairan, c) Semua unit upaya tangkap aktif melakukan kegiatan


penangkapan, d) Unit penangkapan (alat tangkap) homogen) e) Biaya
penangkapan per unit upaya penangkapan ikan adalah konstan, f) Harga ikan per
satuan hasil tangkap adalah konstan.

2.9 Teori Program Linear


Program linear adalah salah satu teknik analisis dari kelompok teknik riset
operasi yang memakai model matematika. Tujuannya adalah untuk mencari,
memilih, dan menentukan alternatif yang terbaik dari sekian alternatif layak yang
tersedia. Dikatakan linear karena peubah-peubah yang membentuk model program
linear dianggap linear. Program linear pada hakekatnya merupakan suatu teknik
perencenaan yang bersifat analitis dengan tujuan menemukan beberapa kombinasi
alternatif pemecahan masalah, kemudian dipilih mana yang terbaik diantaranya
dalam menyusun strategi dan langkah-langkah kebijakan lebih lanjut tentang
alokasi sumberdaya dan dana yang terbatas guna mencapai tujuan atau sasaran
yang diinginkan secara optimal (Agrawal and Heady 1973).
Linear goal programming (LGP) merupakan pengembangan metode linear
programming (LP) yang diperkenalkan oleh Charnel dan Cooper pada awal tahun
enam puluhan. Perbedaan utama antara LGP dan LP terletak pada struktur dan
penggunaan fungsi tujuan. Pada LP fungsi tujuannya hanya mengandung satu
tujuan, sementara dalam LGP semua tujuan baik satu atau beberapa digabungkan
dalam sebuah fungsi tujuan. Ini dapat dilakukan dengan mengekspresikan tujuan
itu dalam bentuk sebuah kendala (goal constraint), memasukkan suatu variabel
simpangan (deviational variable) dalam kendala itu untuk mencerminkan
seberapa jauh tujuan itu dicapai, dan menggabungkan variabel simpangan dalam
fungsi tujuan. Pada LP tujuannya bisa maksimisasi atau minimisasi, sementara
dalam LGP tujuannya adalah meminimumkan penyimpangan-penyimpangan dari
tujuan-tujuan tertentu. Ini berarti semua masalah LGP adalah masalah minimisasi
(Mulyono 1991).
Menurut Stevenson (1989) diacu dalam Sultan (2004) mengatakan bahwa
goal programming merupakan variasi dari model linear programming yang dapat
digunakan untuk menangani masalah yang mempunyai banyak sasaran.
Selanjutnya Siswanto (1993), mengatakan bahwa dalam model goal programming
38

terdapat variabel deviasional dalam fungsi kendala. Variasi tersebut berfungsi


untuk menampung penyimpangan hasil penyelesaian terhadap sasaran yang
hendak dicapai, dimana dalam proses pengolahan model tersebut jumlah variabel
deviasional akan diminimumkan di dalam fungsi tujuan.

2.10 Musim Penangkapan Ikan


Ikan layang dalam keadaan dewasanya tinggal di lautan atau di perairan
teluk. Puncak produksi ikan layang di Laut Jawa terjadi dua kali dalam setahun
yang kurang lebih jatuh pada bulan Januari-Maret dan Juli-September. Puncak-
puncak musim ini dapat berubah maju atau mundur sesuai dengan perubahan
musim. Di perairan sebelah timur Pulau Seribu layang mulai tertangkap pada
akhir Juni atau sampai awal Juli berukuran kecil. Pada pekan-pekan berikutnya
ikan layang menjadi besar hingga mencapai ukuran lebih 15 cm dan
produksinyapun meningkat.
Menurut (Mubarak, 1972 diacu dalam Djamali, 1995) yang telah melakukan
penelitian layang di perairan Tegal dan mendapatkan jenis Decapterus russelli
sebanyak 88% dan Decapterus macrosoma 12%. Puncak musim penangkapan
terjadi pada bulan April-Mei dan bulan Oktober-November. Produksi pada bulan
Oktober-November lebih besar daripada bulan April-Mei.
Pengamatan yang dilakukan Lembaga Oseanologi Nasional LIPI di perairan
seperti Labuhan, Kota Agung (Lampung), Ujung Pandang, Kendari, Pulau
MasaLembu, Pulau Bawean, Tegal, Tuban, Situbondo, Banyuwangi, dan Muncar
jumlah hasil tangkapan baru tercatat pada musim peralihan dan musim timur
untuk jenis layang Decapterus russelli. Menurut catatan (Hardenberg, 1937 diacu
dalam Djamali, 1995) layang di Laut Jawa tertangkap dalam jumlah banyak pada
puncak musim timur. Pada saat itu layang sudah berukuran besar dan musim
relatif tenang memungkinkan nelayan tradisional menangkap ikan ini di laut yang
agak jauh dari daratan.
Fluktuasi hasil tangkapan dipengaruhi oleh keberadaan ikan, jumlah upaya
penangkapan dan tingkat keberhasilan operasi penangkapan. Respon ikan
terhadap musim antara lain akan mendekati atau menjauhi suatu daerah, mudah
atau sulit untuk ditangkap, menyebar atau bergerombol dan terjadinya
perubahan stok perikanan karena kondisi oseanografi. Respon upaya
39

penangkapan ikan terhadap musim di antaranya adalah banyaknya ikan yang


ditangkap, keadaan cuaca dan keuntungan yang diperoleh. Hasil tangkapan tidak
hanya dipengaruhi oleh kelimpahan ikan pada suatu saat, tetapi bergantung juga
pada jumlah unit dan efisiensi unit alat tangkap, lamanya operasi penangkapan
dan ketersediaan ikan yang akan ditangkap (Laevastu and Favorite 1988).
Untuk dapat melakukan operasi penangkapan dengan efisien diperlukan
adanya informasi yang tepat seperti saat musim penangkapan yang baik. Informasi
mengenai pola musim penangkapan digunakan untuk menentukan waktu yang
tepat dalam operasi penangkapan. Perhitungan pola musim penangkapan
menggunakan data hasil tangkapan dan upaya penangkapan bulanan. Pola musim
penangkapan seperti halnya data 1ainnya yang bersifat musiman dapat dianalisis
dengan menggunakan pendekatan metode rata-rata bergerak (moving average)
yang dikemukakan oleh Dajan (1986). Lebih lanjut Dajan (1986) menyatakan
keuntungan menggunakan metode rata-rata bergerak yaitu dapat mengisolasi
fluktuasi musiman sehingga dapat menentukan saat yang tepat untuk melakukan
operasi penangkapan dan dapat menghilangkan trend atau kecenderungan yang
bisa dijumpai pada metode deret waktu. Kerugian dari metode ini adalah tidak
dapat menghitung pola musim penangkapan sampai tahun terakhir data.

2.11 Penelitian Tentang Perikanan Layang


Penelitian-penelitian tentang perikanan ikan layang selama ini telah
banyak dilakukan oleh beberapa peneliti, namun penelitian-penelitian tersebut
umumnya hanya dilakukan secara parsial, yaitu mengkaji dari satu atau dua
aspek saja, tidak melihat secara komperhensif mencakup berbagai aspek (biologi,
teknis, ekonomi, sosial, dan lingkungan) seperti yang telah dilakukan penulis saat
ini. Dan khususnya di wilayah perairan Maluku Utara penelitian yang berkaitan
dengan pengembangan berkelanjutan sumberdaya ikan layang belum pernah
dilakukan.
Adapun penelitian - penelitian yang berkaitan dengan perikanan ikan layang
yang pernah dilakukan di lokasi lain sejak tahun tujuh puluhan hingga saat ini
anatara lain: Burhanuddin dan Djamali (1977), melakukan kajian berkaitan
dengan biologi ikan layang (Decapterus russellli RUPPEL) di perairan pulau
Panggang, pulau-pulau Seribu, di sekitar Teluk Jakarta. Sumadhiharga (1991),
40

meneliti tentang struktur populasi dan reproduksi ikan layang merah (Decapterus
russelli) di Teluk Ambon. Soumokil (1996), melakukan telaah terhadap beberapa
parameter populasi ikan momar putih (Decapterus russellli) di perairan
Kecamatan Amahai, Maluku Tengah. Suwarso et al., (2000), mengkaji biologi
reproduksi malalugis biru (D. macarellus) di Sulawesi Utara. Luasunaung (2001),
melakukan kajian tentang pendugaan musim ikan “Malalugis Biru” (Decapterus
macarellus) di perairan sekitar Bitung. Hariati (2004), meneliti tentang ikan
layang biru (Decapterus macarellus), sebagai salah satu spesies ikan pelagis kecil
di sekitar perairan Banda Aceh dan Teluk Tomini. Najamuddin et al., (2004),
melakukan pendugaan terhadap ukuran pertama kali matang gonad ikan layang
(Decapterus russelli Ruppell). Najamuddin (2006), meneliti tentang ukuran mata
jaring minimum alat penangkapan ikan layang deles (Decapterus macrosoma
Bleeker). Amri et al., (2006), meneliti tentang kondisi hidrologis dan kaitannya
dengan hasil tangkapan ikan malalugis (Decapterus macarellus) di perairan Teluk
Tomini, dan Arifin (2008), meneliti tentang optimasi perikanan Layang di
Kabupaten Selayar Provinsi Sulawesi Selatan.
41

3 METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian


Penelitian ini dilaksanakan selama 12 (dua belas bulan) di mulai dari bulan
Januari 2008 sampai Desember 2008, dengan kegitan dimulai dari penelitian
lapangan hingga tahap pengolahan dan analisis data serta penyusunan disertasi.
Lokasi penelitian sebagai tempat pengumpulan data adalah wilayah Provinsi
Maluku Utara. Tempat pendaratan ikan yang menjadi obyek penelitian berada di
empat Kabupaten/Kota yaitu, Kota Ternate, Kota Tidore Kepulauan, Kabupaten
Halmahera Selatan dan Kabupaten Halmahera Utara. Di pilihnya wilayah-wilayah
tersebut sebagai lokasi pengambilan data karena ke empat wilayah ini merupakan
sentral kegiatan usaha perikanan ikan layang di Maluku Utara (Peta lokasi
penelitian disajikan pada Lampiran 1 ).

3.2 Alat dan Bahan


Alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian ini di bagi atas 2 bagian
yaitu:
1) Alat dan bahan yang digunakan dalam pengambilan data di lapangan yang
meliputi: kuisioner sebagai pedoman pengumpulan data, alat tulis menulis,
seperangkat komputer untuk rekapitulasi dan analisis data, alat perekam
berupa tape recorder, kamera digital untuk kepentingan dokumentasi
penelitian. Objek penelitian berupa unit penangkapan ikan layang yang
menggunakan alat tangkap mini purse seine, jaring insang hanyut dan bagan
perahu. Sedangkan bahan yang digunakan adalah ikan layang sebagai hasil
tangkapan.
2) Alat dan bahan yang digunakan di laboratorium untuk analisis biologi ikan
(panjang berat ikan, tingkat kematangan gonad dan fekunditas) terdiri dari :
pengaris dengan papan ukur berukuran minimal, timbangan ohaus atau
digital, kertas label, jarum pentul, seperangkat alat bedah lengkap, botol
sample (botol film), cawan petri (petridisk), tisue, tabel klasifkasi tingkat
kematangan gonad, gelas ukur 10 ml, pipet tetes, Mikroskop elektron, gelas
obyek, gelas penutup. Sedangkan bahan yang dipakai adalah ikan contoh,
telur contoh dan formalin.
42

3.3 Metode Pengumpulan Data


Penelitian ini di laksanakan dengan metode survei terhadap obyek nelayan
sebagai pelaku. Pengumpulan data dilakukan melalui observasi langsung ke lokasi
penelitian. Data primer diperoleh melalui pengukuran dan pengamatan langsung
terhadap unit penangkapan ikan layang serta kegiatan wawancara menggunakan
kuesioner yang telah disusun sesuai dengan kebutuhan analisis dan tujuan
penelitian. Wawancara dilakukan terhadap nelayan pemilik alat penangkapan ikan
layang, nelayan sebagai pekerja dan para stakeholders di lokasi penelitian. Data
sekunder yang diperlukan berkaitan erat dengan keragaan perikanan ikan layang,
data produksi dan nilai produksi ikan layang tahunan (time series data) provinsi
Maluku Utara dari tahun 1998-2007 yang diperoleh dari DKP Provinsi Maluku
Utara, deskripsi wilayah penelitian yang meliputi aspek fisik, sosial, ekonomi, dan
kelembagaan yang mampu menjelaskan kondisi usaha perikanan tangkap
khususnya usaha perikanan ikan layang, tulisan yang pernah dilakukan yang ada
hubungannya dengan penelitian penulis melalui penelusuran pustaka (studi
pustaka), data statistik dan sarana penunjang serta data pilihan pengembangan
perikanan tangkap dan kebijakan pemerintah.
Responden dikumpulkan secara purposive sampling, yaitu dengan cara
memastikan diperolehnya sejumlah sampel yang mewakili populasi yang akan
diteliti. Jumlah responden sebanyak 120 orang dari 4 wilayah (kota Ternate, kota
Tidore Kepulauan, kabupeten Halmahera Selatan dan Kabupaten Halmahera
Utara), tiap wilayah 30 orang (10 orang nelayan pukat cincin, 10 orang nelayan
jaring insang hanyut dan 10 orang nelayan bagan perahu).
Data yang dikumpulkan untuk menentukan prioritas unit penangkapan ikan
layang yang layak dikembangkan berupa data masing-masing aspek kajian (aspek
biologi, teknis, sosial, ekonomi dan keramahan lingkungan). Secara rinci data-data
yang dikumpulkan adalah :

1) Aspek biologi
Pengukuran parameter biologi pada penelitian ini dilakukan terhadap
sumberdaya ikan layang sebagai hasil tangkapan utama dari alat tangkap mini
purse seine, jaring insang hanyut dan bagan perahu. Parameter biologi yang
menjadi kajian terhadap sumberdaya layang seperti komposisi target spesies dari
43

ketiga alat tangkap yang diteliti, ukuran hasil tangkapan utama yaitu ikan layang
dan lama waktu nelayan melakukan operasi penangkapan ikan layang (dalam
satuan bulan).

2) Aspek teknis
Pengukuran parameter teknis dilakukan pada kapal/perahu dan alat
penangkapan ikan layang. Parameter teknis penting untuk diketahui karena
menyangkut masalah produksi unit penangkapan ikan layang yang dioperasikan.
Parameter teknis yang dikumpulkan antara lain: ukuran kapal/perahu, jenis mesin,
jenis bahan bakar, material yang digunakan, ukuran alat tangkap, bahan alat
tangkap, produksi hasil tangkapan per tahun, produksi per trip, dan produksi per
tenaga kerja.

3) Aspek sosial
Pengukuran parameter sosial dalam penelitian ini diarahkan kepada nelayan
sebagai pelaku utama dalam kegiatan penangkapan ikan layang. Parameter sosial
yang dianalisis menyangkut masalah sumberdaya manusia yang mengoperasikan
unit penangkapan ikan layang. Parameter sosial yang dikumpulkan antara lain
jumlah nelayan yang terserap setiap unit penangkapan, pendapatan nelayan per
tahun dan tingkat penguasaan teknologi.

4) Aspek ekonomi
Pengukuran parameter ekonomi dalam penelitian ini dilakukan untuk
mengetahui manfaat ekonomi dari suatu penangkapan ikan layang untuk diketahui
kelayakan usaha dari alat tangkap tersebut. Parameter ekonomi yang dikumpulkan
dalam penelitian ini seperti biaya investasi, biaya operasional, biaya perawatan,
dan nilai produksi.

5) Aspek keramahan lingkungan


Kriteria utama penilaian terhadap keramahan lingkungan mengacu pada
pendapat Monintja (2000), bahwa alat tangkap ikan dikatakan ramah lingkungan
apabila memenuhi 9 kriteria diantaranya adalah:
(1) Mempunyai selektivitas yang tinggi
Suatu alat tangkap dikatakan mempunyai selektitivitas yang tinggi apabila
alat tangkap tersebut di dalam operasionalnya hanya menangkap sedikit spesies
44

dengan ukuran yang relatif seragam. Selektivitas alat tangkap ada dua macam
yaitu selektif terhadap spesies dan selektif terhadap ukuran dengan nilai masing-
masing sub kriteria :
a. Menangkap lebih dari tiga spesies ikan dengan variasi ukuran yang
berbeda jauh.
b. Menangkap tiga spesies ikan atau kurang dengan variasi ukuran yang
berbeda jauh.
c. Menangkap kurang dari tiga spesies dengan ukuran yang relatif seragam.
d. Menangkap ikan satu spesies dengan ukuran yang relatif seragam.
(2) Tidak merusak habitat
Suatu alat tangkap dianggap tidak merusak habitat dimana pemberian bobotnya
didasarkan pada :
a. Menyebabkan kerusakan habitat pada wilayah yang luas.
b. Menyebabkan kerusakan habitat pada wilayah yang sempit.
c. Menyebabkan kerusakan sebahagian habitat pada wilayah yang sempit.
d. Aman bagi habitat.
(3) Menghasilkan ikan berkualitas tinggi
Kualitas ikan hasil tangkapan sangat ditentukan oleh jenis alat tangkap yang
digunakan, metode penangkapan dan penanganannya. Untuk menentukan level
kualitas ikan dengan berbagai jenis alat tangkap didasarkan pada kondisi hasil
tangkap yang terlihat secara morfologis, yaitu :
a. Ikan mati dan busuk.
b. Ikan mati, segar, cacat fisik.
c. Ikan mati dan segar.
d. Ikan hidup.
(4) Tidak membahayakan nelayan
Tingkat bahaya atau risiko yang diterima oleh nelayan dalam
mengoperasikan alat tangkap sangat tergantung pada jenis alat tangkap dan
keterampilan yang dimiliki oleh nelayan. Risiko tingkat bahaya yang dialami oleh
nelayan didasarkan pada dampak yang mungkin diterima, yaitu :
a. Bisa berakibat kematian pada nelayan.
b. Bisa berakibat cacat permanen pada nelayan.
45

c. Hanya bersifat ganguan kesehatan yang bersifat sementara.


d. Aman bagi nelayan.
(5) Produksi tidak membahayakan konsumen
Tingkat bahaya yang diterima oleh konsumen terhadap produksi yang
dimanfaatkan tergantung dari ikan yang diperoleh dari proses penangkapan.
Apabila dalam proses penangkapan nelayan menggunakan bahan-bahan beracun
atau bahan-bahan lainnya yang berbahaya, maka akan berdampak pada tingkat
keamanan konsumsi pada konsumen. Tingkat bahaya yang mungkin dialami oleh
konsumen, diantaranya adalah :
a. Berpeluang besar menyebabkan kematian pada konsumen.
b. Berpeluang menyebabkan gangguan kesehatan pada konsumen.
c. Relatif aman bagi konsumen.
(6) By-cath rendah
Suatu spesies dikatakan hasil tangkapan sampingan apabila spesies tersebut
tidak termasuk dalam target penangkapan. Hasil tangkapan yang didapat ada yang
dimanfaatkan dan ada yang dibuang ke laut (discard). Beberapa kemungkinan by-
catch yang didapat adalah :
a. By-catch ada berapa spesies dan tidak laku dijual di pasar.
b. By-catch ada berapa spesies dan ada jenis yang laku di pasar
c. By-catch kurang dari tiga spesies dan laku di pasar.
d. By-catch kurang dari tiga spesies dan mempunyai harga yang tinggi.
(7) Dampak ke biodiversity
Dampak buruk yang diterima oleh habitat akan berpengaruh buruk pula
terhadap biodiversity yang ada di lingkungan tersebut. Hal ini tergantung dari
bahan yang digunakan dan metode pengoperasiannya. Pengaruh pengoperasian
alat tangkap terhadap biodervisity yang ada adalah :
a. Menyebabkan kematian semua makhluk hidup dan merusak habitat.
b. Menyebabkan kematian beberapa spesies dan merusak habitat.
c. Menyebabkan kematian beberapa spesies tetapi tidak merusak habitat.
d. Aman bagi biodiversity.
(8) Tidak membahayakan ikan-ikan yang dilindungi
46

Suatu alat tangkap dikatakan berbahaya terhadap spesies yang dilindungi


apabila alat tangkap tersebut mempunyai peluang yang cukup besar untuk
tertangkapnya spesies yang dilindungi. Tingkat bahaya alat tangkap terhadap
spesies yang dilindungi berdasarkan kenyataan di lapangan adalah :
a. Ikan yang dilindungi sering tertangkap.
b. Ikan yang dilindungi beberapa kali tertangkap.
c. Ikan yang dilindungi pernah tertangkap.
d. Ikan yang dilindungi tidak pernah tertangkap.
(9) Dapat diterima secara sosial
Penerimaan masyarakan terhadap suatu alat tangkap yang digunakan
tergantung pada kondisi sosial, ekonomi dan budaya masyarakat setempat. Suatu
alat tangkap dapat diterima secara sosial oleh masyarakat apabila :
a. Biaya investasi murah.
b. Menguntungkan.
c. Tidak bertentangan dengan budaya setempat.
d. Tidak bertentangan dengan peraturan yang ada.
Ada beberapa kemungkinan yang ditemui di lapangan dalam menentukan
alat tangkap pada suatu area penangkapan, yaitu :
a. Alat tangkap memenuhi 1 dari 4 kriteria di atas.
b. Alat tangkap tersebut memenuhi 2 dari 4 kriteria yang ada.
c. Alat tangkap tersebut memenuhi 3 dari 4 kriteria.
d. Alat tangkap tersebut memenuhi semua kriteria yang ada.

Analisis biologi ikan layang di perairan Maluku Utara dilakukan dengan


pendekatan parameter populasi ikan yaitu menggunakan jenis ikan contoh layang
biru (Decapterus macarellus) yang ditangkap dengan mini purse seine. Contoh
ikan layang biru hanya diambil dari hasil tangkapan mini purse seine, dengan
tujuan agar ikan yang tertangkap dapat mewakali struktur ukuran ikan layang di
perairan Maluku Utara, mengingat karena alat tangkap ini memilki ukuran mata
jaring yang bervariasi. Sedangkan di pilihnya jenis ikan layang biru karena ikan
jenis ini adalah yang dominan tertangkap oleh nelayan di lokasi penelitian.
Pengambilan dilakukan secara acak dari kapal mini purse seine yang mendaratkan
ikan di Pelabuhan Nusantara Ternate. Berdasarkan hasil wawancara dengan awak
47

kapal kapal-kapal mini purse seine tersebut daerah penangkapannya di sekitar


perairan Ternate hingga ujung Utara Halmahera, sepanjang ujung selatan
Halmahera hingga bagain barat pulau Bacan dan mencapai perairan laut Maluku.
Perairan utara Morotai hingga sekitar Teluk Kao. Dengan demikian ikan contoh
tersebut dapat mewakili populasi ikan pada perairan Maluku Utara.
Ikan contoh yang diperoleh dibawa ke di laboratorium stasiun karantina ikan
kelas II Babullah Ternate untuk dianalisis. Ikan contoh dikelompokkan
berdasarkan ukuran panjang, jenis kelamin dan tingkat kematangan gonadnya.
Pengukuran dilakukan selama lima bulan, dimana setiap satu minggu sekali
dilakukan pengukuran sebanyak 100 ekor secara terpisah untuk tiap jenis kelamin.
Dengan demikian jumlah ikan contoh yang diamati selama penelitian sebanyak
2000 ekor. Untuk keperluan pendugaan data parameter pertumbuhan, data
hubungan panjang berat dan data tingkat kematangan gonad digunakan
keseluruhan contoh ikan, sedangkan untuk keperluan data fekunditas diambil ikan
contoh untuk keperluan data fekunditas diambil sub contoh ikan sebanyak 100
ekor.

1) Pengukuran panjang-berat tubuh ikan


Panjang seluruh ikan contoh di ukur dengan menggunakan papan pengukur
ikan (fish-measuring board) dengan tingkat ketelitian 1,0 mm. Jenis pengukuran
yang dilakukan adalah panjang total yaitu panjang dari ujung terdepan bagian
kepala (ujung mulut) hingga ujung terakhir bagian ekor. Sedangkan berat tubuh
ikan di ukur dengan menggunakan timbangan dengan ketelitian 0,1 gram.
Pengukuran dilakukan di laboratorium stasiun karantina ikan kelas II Babullah
Ternate. Ikan contoh yang di ukur ini adalah ikan contoh yang tertangkap dengan
alat tangkap mini purse seine.

2) Penentuan tingkat kematangan gonad


Pengamatan tingkat kematangan gonad ikan layang biru dilakukan secara
makroskopis langsung di laboratorium. Tingkat kematangan gonad masing-
masing jenis kelamin ikan contoh ditentukan berdasarkan tingkat kematangan
gonad ikan pelagis modifiikasi dari Lassie yang dikemukakan Effendie (1979).
48

3) Perhitungan fekunditas
Untuk perhitungan fekunditas 20 ovari diambil setiap bulan dari ikan contoh
betina yang matang telur (TKG 4) secara acak, sehingga selama penelitian diamati
100 ovari. Contoh ovari tersebut diawetkan dengan larutan gilson, dan di analisis
di laboratorium stasiun karantina ikan kelas II Babullah Ternate, kemudian
dilakukan perhitungan jumlah butiran telurnya dengan cara gabungan gravimetrik,
volumetrik dan hitung'(Effendie, 1979). Cara gabungan tersebut sebagai berikut :
setelah ovari seluruhnya ditimbang dan diketahui beratnya, ambil 5 bagian telur
contoh secara acak data satu gonad yang akan diamati, kemudian ditimbang
seluruh gonad contoh tersebut. Hitung Volume gonad contoh tersebut. Encerkan
gonad contoh tadi sampai 10 atau 15 CC. Ambil gonad yang sudah diencerkan
tadi sebanyak 1 CC dengan mengunakan pipet tetes kemudian di hitung jumlah
telur yang ada pada 1 CC tersebut dan selanjutnya di hitung fekunditasnya.

3.4 Metode Analisis Data


Berdasarkan tujuan yang ingin dicapai, maka metoda analisis yang
digunakan dalam penelitian ini adalah: (1) metoda skoring dan fungsi nilai
bertujuan untuk menentukan prioritas unit penangkapan ikan layang yang layak
dikembangkan; (2) model fungsi produksi lestari dan bioekonomi Gordon-
Schaefer digunakan untuk menentukan produksi lestari dan nilai bioekonomik
sumberdaya ikan layang; (3) model Linear Goal Programming (LGP) di gunakan
untuk alokasi jumlah unit penangkapan ikan layang yang optimum dan
berkelanjutan; (4) pendekatan analisis parameter populasi ikan digunakan untuk
menentukan karakteristik biologi ikan layang biru; (5) analisis regresi linear
sederhana untuk menghitung hubungan antara lingkar badan dan panjang ikan
layang guna menentuan mesh size minimum jaring; (6) metode rata-rata bergerak
(moving average) untuk menentukan pola musim penangkapan ikan layang.
Pemetaan daerah dan musim penangkapan ikan layang dilakukan dengan
mengoverlay data hasil wawancara dan data titik koordinat lokasi pemasangan
rumpon menggunakan bantuan perangkat lunak AreView Gis 33 sehingga
membentuk peta tematik daerah penangkapan dan musim penangkapan ikan
layang di perairan Maluku Utara; 7) Menyusun pola pengembangan
berkelanjutan sumberdaya ikan layang di Maluku Utara digunakan pendekatan
49

model deskriptif yaitu berdasarkan nilai keragaan optimal dari komponen


perikanan layang dan hubungan dari kompenen-komponen tersebut yang di
peroleh pada sub - sub bab sebelumnya.

3.4.1 Metode skoring dan fungsi nilai


Pemilihan jenis teknologi penangkapan ikan yang sesuai untuk
dikembangkan dilakukan dengan analisis aspek biologi, teknis, sosial dan
ekonomi. Jenis unit penangkapan ikan yang terdapat di lokasi penelitian,
ditetapkan dengan pertimbangan jumlah unit banyak, jumlah unit sedikit tetapi
hasil tangkapan totalnya besar dan jumlah maupun hasil tangkapan totalnya
sedikit tetapi nilai dari hasil tangkapannya tinggi.
Penilaian dari aspek-aspek tersebut didasarkan atas pertimbangan bahwa (1)
ditinjau dari segi biologis, teknologi penangkapan yang akan dikembangkan tidak
merusak atau mengganggu kelestarian sumberdaya perikanan, (2) secara teknis,
efektif untuk dikembangkan, (3) dari segi sosial, dapat diterima masyarakat
nelayan, (4) secara ekonomis teknologi bersifat menguntungkan, dan (5) tidak
merusak lingkungan
Selanjutnya dari masing-masing aspek tersebut ditentukan suatu kriteria
penilaian. Kriteria untuk aspek biologis adalah melalui ukuran alat tangkap ,
waktu dan musim penangkapan ikan, kriteria untuk aspek teknis adalah produksi
per tahun, produksi per trip, produksi per jam operasi, produksi per tenaga kerja
dan produksi per tenaga penggerak kapal. Kriteria untuk aspek sosial adalah
melalui penerimaan nelayan per unit penangkapan ikan, jumlah tenaga kerja per
unit penangkapan ikan serta kemungkinan kepemilikannya. Kritreia aspek
ekonomi meliputi penerimaan kotor per tahun, penerimaan kotor per trip,
penerimaan kotor per tenaga kerja dan penerimaan kotor per penggerak kapal.
Kelayakan finansial dihitung berdasarkan aspek kriteria Net Present Value (NPV),
Benefit Cost Ratio (B/C) dan Internal Rate of Return (IRR), Break Even Point
(BEP). Kriteria-kriteria yang sering digunakan untuk menilai kelayakan finansial
suatu usaha dalam analisis biaya manfaat (Cost-Benefit Analysis) adalah sebagai
berikut :
50

1) Net Present Value (NPV)

Net present value (NPV) digunakan untuk menilai manfaat investasi, yaitu
berapa nilai kini (present value) dari manfaat bersih proyek yang dinyatakan
dalam rupiah . Proyek dinyatakan layak untuk dilanjutkan apabila NPV > 0,
sedangkan apabila NPV< 0, maka investasi dinyatakan tidak menguntungkan
yang berarti proyek tersebut tidak layak untuk dilaksanakan. Pada keadaan ini
nilai NPV = 0 maka berarti pada proyek tersebut hanya kembali modal atau tidak
untung dan juga tidak rugi. Menurut Kadariyah (1978), rumus yang digunakan
untuk menghitung NPV adalah:
n
Bt − Ct
NPV = ∑
t =1 (1 + i )
dimana : B = benefit; C = coast; i = discount rate dan t = periode.

2) Internal Rate Return (IRR)

IRR merupakan suku bunga maksimal sehingga NPV bernilai sama dengan
nol, jadi keadaan batas untung rugi. IRR dapat disebut juga sebagai nilai discount
rate (t) yang membuat NPV dari suatu proyek sama dengan nol. Oleh karena itu
IRR juga dianggap sebagai tingkat keuntungan bersih atau investasi, dimana
benefit bersih yang positif ditanam kembali pada tahun berikutnya dan
mendapatkan tingkat keuntungan yang sama dan diberi bunga selama sisa umur
proyek. Menurut Kadariyah (1978), IRR dapat dirumuskan sebagai berikut:
⎛ NPV+ ⎞
IRR = i NPV + + (i NPV+ − i NPV − )⎜⎜ ⎟⎟
⎝ NPV+ − NPV− ⎠
Keterangan: i = discount rate; i NPV + = discount rate dimana NPV masih positif

i NPV − = discount rate dimana NPV sudah negatif

3) Net Benefit-Cost Ratio (Net B/C)

Net benefit-cost ratio (Net B/C) merupakan perbandingan dimana sebagai


pembilang terdiri atas present value total yang bernilai positif, sedangkan sebagai
penyebut terdiri atas present value total yang bernilai negatif, yaitu biaya kotor
lebih besar daripada manfaat(benefit) kotor. Menurut Kadariyah (1978), Net
benefit-cost ratio dapat dihitung sebagai berikut:
51

12
Bt − C t
∑1 (1 − i ) t
( Bt − C t ) > 0
Net B-C ratio =
12
Bt − C t
∑1 (1 − i ) t
( Bt − C t ) < 0

Ketarangan: B = benefit; C = cost; i = discount; t = periode


Persamaan ini menunjukkan bahwa nilai B/C akan terhingga bila paling
sedikit ada satu nilai Bt-Ct yang bernilai negatif. Pada saat NPV = 0 maka nilai
Net B/C = 1, dan apabila NPV > 0 maka Net B/C akan bernilai > 1. Dengan
demikian apabila Net B/C ≥ 1 menunjukkan bahwa suatu proyek layak untuk
dilanjutkan, sedangkan bila Net B/C < 1 merupakan tanda tidak layaknya suatu
proyek.

4) Break Even Point (BEP)

Break Even Point dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu; 1. Atas Unit, dan
2. Atas dasar nilai jual dalam rupiah (Riyanto 1991).
(1) Analisis Break Even Point atas dasar produksi (banyaknya hasil
tangkapan) dapat dilakukan dengan rumus :
Biaya tetap x produksi
BEP (Kg) =
Hasil penjualan - Biaya variabel

(2) Analisis Break Even Point atas dasar harga jual dapat dilakukan dengan
menggunakan rumus sebagai berikut:
Biaya tetap
BEP (Rp)
Biaya variabel
1-
Hasil penjualan

Analisis aspek ekonomi dapat dijabarkan menjadi aspek ekonomi kriteria


efisiensi usaha. Aspek ekonomi kelayakan usaha meliputi kriteria Net B/C (X1),
BEP (X2), dan IRR (X3) dan Payback-Period (X4).
Selanjutnya untuk analisis keramahan lingkungan untuk beberapa subkriteria
meliputi yaitu mempunyai selektivitas yang tinggi (X1), tidak merusak habitat
52

(X2), menghasilkan ikan berkualitas tinggi (X3), tidak membahayakan nelayan


(X4), produksi tidak membahayakan konsumen (X5), by-catch rendah (X6),
dampak ke biodiversity (X7), tidak membahayakan ikan-ikan yang dilindungi
(X8), dapat diterima secara sosial (X9).
Penilian pada kriteria yang mempunyai satuan berbeda dan penilaian secara
subjektif dilakukan dengan skoring. Skoring diberikan dengan nilai terendah
sampai tertinggi. Untuk nilai tertinggi diberikan urutan prioritas 1 begitu sampai
seterusnya. Untuk menilai semua kriteria atau aspek digunakan nilai tukar,
sehingga semua nilai mempunyai standar yang sama. Unit usaha yang mempunyai
nilai tinggi berarti lebih baik dari pada yang lain. Untuk menghindari pertukaran
yang terlalu banyak, maka digunakan fungsi nilai yang menggambarkan
preferensi pengambil keputusan dalammenghadapi kriteria majemuk.
Untuk penilaian pada seluruh kriteria secara terpadu dilakukan standarisasi
nilai dengan metode fungsi nilai (Kuntoro dan Listiarini, 1983) diacu dalam
(Haluan dan Nurani, 1988). Rumus fungsi nilai sebagai berikut:
X − X0
V (X) =
X1 − X 0
n
V (A) = ∑V ( X )
i −1
i i , i = 1,2,3

Keterngan :
V (X) = Fungsi nilai dari variabel X
X = Nilai variabel X
X1 = Nilai tertinggi pada kriteria X
X0 = Nilai terendah pada kriteria X
V (A) = Fungsi nilai alternatif A
V (X) = Fungsi dari alternatif pada kriteria ke-i

3.4.2 Model surplus produksi dan bio-ekonomi Gordon-Schaefer


1) Standarisasi alat tangkap
Sebelum melakukan analisis optimasi terlebih dahulu perhitungan catch per
unit effort (CPUE) yang akan digunakan dalam analisis perhitungan fungsi
produksi lestari dan analisis maksimum ekonomi yield (MEY). Standarisasi upaya
penangkapan perlu dilakukan terlebih dahulu sebelum melakukan perhitungan
53

CPUE, yaitu dengan cara membandingkan hasil tangkapan per upaya


penangkapan masing-masing unit penangkapan.
Unit penangkapan yang dijadikan standar adalah jenis unit penangkapan
yang paling dominan menangkap jenis-jenis ikan tertentu di suatu daerah dan
memiliki nilai faktor daya tangkap (fishing power indeks) sama dengan satu.
Perhitungan fishing power indeks (FPI) adalah sebagai berikut :
HTs
CPUEs =
FEs

HTi
CPUEi =
FE i

CPUE s
FPI S =
CPUE s
Upaya standarisasi diperoleh dengan menggunakan persamaan sebagai
berikut (Gulland 1991) yaitu :

SE = FPI I × FEi

keterangan :
CPUE s = Catch per unit effort atau jumlah hasil tangkapan per satuan upaya unit

penangkapan standar pada tahun ke-i;


CPUEi = Catch per unit effort atau jumlah hasil tangkapan per satuan upaya jenis

penangkapan yang akan distandarisasi;


HTs = Jumlah hasil tangkapan (catch) jenis unit penangkapan yang dijadikan

standar pada tahun ke-i;


HTi = Jumlah hasil tangkapan (catch) jenis unit penangkapan yang akan
distandarisasi pada tahun ke-i;
FE s = Jumlah upaya penangkapan (effort) jenis unit penangkapan ikan yang

dijadikan standar pada tahun ke-i;


FEi = Jumlah upaya penangkapan (effort) jenis unit penangkapan ikan yang
aka distandarisasi pada tahun ke-i;
FPI S = Fishing power indeks atau faktor daya tangkap jenis unit penangkapan

standar pada bulan ke-i;


54

FPI i = Fishing power indeks atau daya tangkap jenis unit penangkapan yang
akan distandarisasi pada tahun ke-i;
SE = Upaya penangkapan (effort) hasil standarisasi pada tahun ke-i

2) Model surplus produksi


Metode surplus produksi merupakan salah satu metode untuk menentukan
tingkat upaya penangkapan optimum, yaitu kegiatan penangkapan yang
menghasilkan tangkapan maksimum tanpa mempengaruhi prtoduktivitas populasi
ikan dalam waktu panjang. Hubungan hasil tangkapan dengan upaya penangkapan
dilihat dengan menggunakan metode surplus produksi Schaefer (Sparre and
Venema 1999).
Hubungan fungsi tersebut adalah :
Y = α + βx + e
dimana : Y = peubah tak bebas (CPUE) dalam kg/unit
x = peubah bebas (effort) dalam unit kapal
e = simpangan
α,β = parameter regresi penduga nilai a dan b.
Kemudian diduga dengan fungsi dugaan, yaitu : Y= a + bx
Nilai a dan b dapat ditentukan menggunankan rumus :

∑ y − b∑ x n∑ xy − ∑ x∑ y
a= b=
n n∑ 2 − (∑ x)2
Selanjutnya dapat ditentukan dengan persamaan berikut :
(1) Hubungan antara CPUE dengan upaya penangkapan (f),
CPUE = a − bE
(2) Hubungan antara hasil tangkapan (C) dengan upaya penangkapan (f),
C = aE − bE
(3) Upaya penangkapan optimum (fopt) diperoleh dengan cara menyamakan
turunan pertama hasil tangkapan terhadap upaya penangkapan sama dengan
nol sebagai berikut :
C = aE − bE
C ' = a − 2bE = 0
Eopt = a / 2b
55

(4) Produksi maksimum lestari (MSY) diperoleh dengan cara mensubstitusikan


nilai upaya penangkapan optimum ke dalam persamaan (2)
Cmax = a(a / 2b) − b(a 2 / 4b 2

MSY = a 2 / 4b
(5) CPUE optimum diperoleh dengan cara menyamakan turunan pertama hasil
tangkapan terhadap CPUE sama dengan nol
CPUEopt = a / 2 atau CPUEopt = MSY / Eopt

3) Model bio-ekonomi Gordon-Schaefer


Model bio-ekonomi penangkapan dalam penelitian ini diduga dengan
menggunakan model Gordon Schaefer, dengan berdasarkan pada model biologi
Schaefer (1975) dan model ekonomi Gordon (1954). Model bio-ekonomi yang
digunakan adalah model bio-ekonomi statik dengan harga tetap. Model ini
disusun dari model parameter biologi , biaya penangkapan dan harga ikan.
Berdasarkan asumsi bahwa harga ikan per kg (p) dan biaya penangkapan
per unit upaya tangkap adalah konstan, maka total penerimaan nelayan dari usaha
penangkapan (TR) adalah :
TR = p.C
Keterangan :
TR = total revenue (penerimaan total)
P = harga rata-rata ikan hasil survey per kg (Rp)
C = jumlah produksi ikan (kg)
Total biaya penangkapan (TC) dihitung dengan persamaan :
TC = c.E
Keterangan :
TC = total cost (biaya penangkapan total)
C = total pengeluaran rata-rata unit penangkapan ikan (Rp)
E = jumlah upaya penangkapan untuk menangkap sumberdaya ikan (unit) maka
keuntungan bersih usaha penangkapan ikan (π) adalah :
π = TR − TC
π = p.Y − c.E
π = p(aE − bE 2 ) − cE
56

3.4.3 Model linear goal programming


Soekartawi (1995) menyatakan bahwa prinsip optimasi dalam penggunaan
faktor produksi pada dasarnya adalah bagaimana menggunakan faktor produksi
tersebut seefisien mungkin. Pengoptimalan alokasi beberapa unit penangkapan
ikan secara bersamaan akan dibatasi oleh berbagai kendala maka dapat digunakan
model linear goal programming.
Stevenson (1989) diacu dalam Sultan (2004) mengatakan bahwa linear goal
programming merupakan variasi dari model linear programming yang dapat
digunakan untuk menangani masalah yang mempunyai banyak sasaran. Model
linear goal programming terdapat variabel deviasional dalam fungsi kendala.
Variabel tersebut berfungsi untuk menampung penyimpangan hasil penyelesaian
terhadap sasaran yang hedak dicapai. Dalam proses pengolahan model tersebut,
jumlah variabel deviasional akan diminimumkan di dalam fungsi tujuan
(Siswanto 1993).
Model linear goal programming untuk optimasi jenis armada penangkapan
menggunakan model matematik:
Fungsi tujuan:
m
Z = ∑ (DBi + DAi )
i =1

Fungsi kendala-kendala

a11 x1 + a12 x 2 + ... + a1n x n + DB1 − DA1 = b1


a 21 x1 + a 22 x 2 + ... + a 2 n x n + DB2 − DA2 = b2
.
.
.
a m11 x1 + a m 2 x 2 + ... + a mn x n + DBm − DAm = bm
Keterangan:
Z = Fungsi tujuan (total deviasi) yang akan diminimumkan
DB = Deviasi bawah kendala ke-i
DA = Deviasi atas kendala ke-i
Cj = Parameter fungsi tujuan ke-j
b = Kapasitas / ketersedian kendala ke-i
57

aij = Parameter fungsi kendala ke-i pada variabel keputusan ke-j kendala
Xj = Variabel putusan ke-j (jumlah unit penangkapan)
Xj, DAi dan DBi > 0, untuk I = 1,2,….,m dan j =1,2….,n

3.4.4 Analisis Parameter populasi ikan layang biru (Decapterus macarellus)


3.4.4.1 Analisis parameter pertumbuhan
Untuk menduga pertumbuhan ikan layang biru terlebih dahulu ditentukan
frekuensi panjang ikan. Selanjutnnya di tentukan kelompok umur ikan dengan
metode Tanaka. Hasil pengelompokkan Cohort terhadap data frekuensi panjang
diperoleh panjang rata-rata dari tiap kelempok umur. Nilai panjang rata-rata
tersebut kemudian diplot terhadap umur seingga dioeroleh bentuk kurva
pertumbuhannya.
Pendugaan nilai koefisien pertumbuhan (K) dan panjang infinity (L ∞ )
diperoleh berdasarkan pada metode Ford-Walford (Sparre et al., 1992), yaitu
dengan cara meregresikan panjang ikan pada umur t (Lt) dengan panjang ikan
pada umur t+1 (Lt+1), sehingga didapat persamaan parameter pertumbuhan
K= -Ln.b dan L ∞ = a/(1-b). Kemudian untuk menghitung nilai to yang merupakan
umur teoritis ikan digunakan rumus empiris (Pauly, 1983) yaitu :
Log (-to) = -03922 – 0,2752 log L ∞ - 1,038 log K

Setelah mengetahui nilai-niali K, L ∞ dan to, dapat ditentukan model


pertumbuhan dan hubungan umur - panjang ikan layang biru di perairan Maluku
Utara dengan memasukkan nilai-nlai parameter pertumbuhan tersebut ke dalam
model pertumban Von Bartalanffy sebagai berikut:
Lt = L∞ (1 − e − K (t −t0 ) )
Keterangan :
Lt = panjang ikan pada saat umur t
L∞ = panjang infinity
K = koefisien pertumbuhan
t = waktu
to = umur pada saat panjangnya sama dengan nol.
58

3.4.4.2 Analisis hubungan panjang berat


Hubungan panjang-berat dilakukan secara terpisah antara ikan contoh jantan
dan betina. Perhitungan hubungan panjang-berat mengacu pada rumus Effendie
1979), yaitu :
W = a Lb
Keterangan : W = Berat tubuh (gram)
L = Panjang total (cm)
a dan b = Konstanta
Selanjutnya nilai a dan b diperoleh dengan merubah parameter di atas ke
dalam bentuk aditif melalui transformasi logaritma sehingga terbentuk persamaan
regrasi linier sederhana sebagai berikut:
Log W= Log a + bLogL
Untuk melihat apakah model regresi linier tersebut dapat digunakan sebagai
penduga hubungan berat tubuh dengan panjang total, model diuji dengan analisis
keragaman yaitu:
Sumber Derajat Jumlah Kuadrat F hitung F tabel
Keragaman Bebas Kuadrat Tengah 5% 1%
(∑x.∑y)
b∑xy−
Regresi 1 n JKR/dbR KTR/KTG
Galat n-2 JKT/JKR
(∑ y ) 2

Total n-1
∑y 2

n JKG/dbG

Untuk menguji nilai b terhadap 3, dilakukan menurut kaidah Calender diacu


dalam Effendie (1979) yaitu :
( xy )
∑ d y.x = ∑ ∑ x
2
2

∑ 2

S 2
yx =
∑ d 2
y .x
n − 1
2
S y . x
S 2
b =
∑ x 2

Sb = S 2
b
3 − b
thit =
Sb
59

Menurut Ricker (1975), jika nilai b < 3 atau b > 3, disebut pola pertumbuhan
alometrik, dan jika b = 3 disebut pola pertumbuhan isometrik.

3.4.4.3 Metode pengamatan tingkat kematangan gonad


Tingkat kematangan gonad dideterminasikan secara makroskopik (visual)
dengan melihat karakteristik gonad yang mengacu pada tingkat kematangan gonad
ikan belanak (Mugil dussumieri) yang dikemukakan oleh Effendie (1979).
Pengamatan tingkat kematangan gonad hanya dilakukan secara terpisah terhadap
ikan contoh jantan dan betina.

Tabel 2 Klasifikasi tingkatan kematangan gonad

TKG Betina Jantan

I - ovari seperti benang - ukuran seperti pendek


- panjang sampai ke depan tubuh - ujungnya di rongga tubuh
- warna jernih - warna jernih
- permukaan licin
II - ukuran lebih besar - ukuran testis lebih besar
- pewarnaan gelap kekuningan - berwarna putih susu
- telur belum terlihat dengan jelas - bentuk lebih jelas dari TKG I
III - ovari berwarna kuning - permukaan testis nampak
- secara morfologi telur sudah bergerigih
kelihatan butirnya - warna makin putih
oleh mata - morfologi telur dalam
keadaan diawetkan mudah
putus
IV - ovari makin besar - seperti TKG III
- telur berwarna kuning - tampak lebih jelas
- mudah dipisahkan butirnya - testis makin pejal
- minyak tak tampak - rongga tubuh mulai penuh
- mengisi 1/2 - 2/3 rongga tubuh - warna putih susu

V - usus terdesak - testis di bagian belakang


- ovari berkerut kempis
- dinding tebal - bagain pelepasan masih berisi
- butir telur sisa terdapat
- di dekat pelepasan

3.4.4.4 Analisis indeks kematangan gonad


Indeks kematangan gonad dianalisis dengan formula dari Effendie (1979)
Wg
yaitu: IKG = x100%
W
60

Keterangan: IKG = Indeks kematangan gonad (%)


Wg = Berat gonad (gr)
W = Berat tubuh (gr)
3.4.4.5 Perhitungan fekunditas
Perhitungan fekunditas (Jumlah telur) dilakukan dengan cara gabungan
gravimetrik, volumetrik dan hitung (Effendie, 1979). Rumus yang digunakan
untuk menghitung fekunditas ialah :
GxVxX
F =
Q
Keterangan:
F = Fekunditas
G = Berat gonad (gram)
V = Isi pengenceran (cc)
X = Jumlah telur tiap cc
Q = Berat telur contoh (gram)

3.4.4.6 Metode Sperman Karber


Penentuan ukuran pertama kali matang gonad di analisis berdasarkan kriteria
tingkat kematangan gonad mengunakan metode Cassie modifikasi Effendy
(1997). Selanjutnya ukuran pertama kali matang gonad dapat di tentukan dengan
metode Sperman Karber (Udupa, 1986).
n
X
log m = X k +
2
−(X
i =1
∑ p )

Keterangan :
Xk = logaritma nilai tengah pada saat ikan matang gonad 100%
X = selisih logaritma nilai tengah kelas
p = r/n
r = jumlah ikan matang gonad pada kelas ke i
n = jumlah ikan pada kelas ke i
q =i–p
⎡ pi * qi ⎤
Ragam = X2 ∑ ⎢ ni −1 ⎥
⎣ ⎦
61

Selang kepercayaan 95% yaitu :


m ± Zα / 2 ragam

Metode ini sudah digunakan beberapa peneliti terdahulu yaitu pada ikan
malalugis biru (Decapterus maracellus) (Suwarso et al., 2000), ikan kembung
perempuan (Rastrelliger brachysoma) (Suhendrata dan Rusmadji, 1991), ikan
layang (Decapterus russelli) Najamuddin et al., (2004). Pada prinsipnya, metoda
ini sejalan dengan metode kurva sigmoid, hanya dalam metoda ini dihitung secara
matematik kisaran ukurannya, sehingga lebih meyakinkan dalam penentuan
ukuran rujukan.

3.4.5 Analisis penentuan mesh size minimum jaring

Ukuran mata jaring minimum ditentukan berdasarkan pendekatan biologis


merujuk pada ukuran ikan dewasa yaitu ikan sudah pernah memijah minimal satu
kali. Penentuna mesh size jaring minimum didasarkan pada panjang berapa ikan
pertama kali matang gonad dan berapa lingkar badan ikan pada ukuran tersebut.
Hubungan antara lingkar badan dengan panjang total ikan dianalisis
dengan menggunakan regresi linear sederhana (Steel and Torrie, 1981) dengan
persamaan sebagai berikut :
Y=a+bX
Keterangan :
Y = panjang ikan (cm)
X = lingkar badan di belakang operculum (tutup insang) (cm)

3.4.6 Metode rata-rata bergerak (moving average)


Data hasil tangkapan dari ikan layang dianggap merupakan indikator
keberadaannya pada suatu daerah penangkapan. Data hasil tangkapan bulanan
sumberdaya ikan layang di tempat pendaratan dianalisis berdasarkan
perbandingan antara total ikan yang didaratkan dengan banyaknya upaya yang
dilakukan pada bulan tersebut (CPUE). Banyaknya upaya penangkapan dihitung
dari jumlah kapal yang melakukan pendaratan ikan pada bulan yang bersangkutan.
Secara matematik CPUE tersebut dapat dituliskan sebagai berikut :
62

C
CPUE =
E

Keterangan :
CPUE : Jumlah total tangkapan per upaya penangkapan bulan ke-i (kg/trip)
C : Total hasil tangkapan bulan ke-i (kg)
E : Total upaya penangkapan bulanan ke-i (trip)
Pola musim penangkapan dianalisis dengan menggunakan pendekatan
metode rata-rata bergerak (moving average) seperti yang dikemukakan oleh Dajan
(1986). Langkah-langkah perhitungannya adalah sebagai berikut :

(1) Menyusun deret CPUEi bulan Januari 2003 sampai Desember 2007
n : CPUEi
Keterangan :
i : 1,2,3, 60
n : CPUE urutan ke-i

(2) Menyusun rata-rata bergerak CPUE selama 12 bulan (RG)


1 ⎡ i +5 ⎤
RG = ⎢ ∑
12 ⎣i = i − 6
CPUE ⎥

Keterangan :
RG : Rata rata bergerak 12 bulan urutan ke-i
CPUEi : CPUE urutan ke-i

(3) Menyusun rata-rata bergerak CPUE terpusat (RGP)


1 ⎡ i =i ⎤
RGP = ∑ RGi⎥⎦
2 ⎢⎣ i = i
Keterangan :
RGP : Rata-rata bergerak CPU terpusat ke-i
RG : Rata-rata bergerak 12 bulan urutan ke-i
(4) Rasio rata-rata bulan (Rb)
CPUE
Rbi =
RGP
63

Keterangan:
Rbi : Rasio rata-rata bulan urutan ke-i
CPUE : CPUE urutan kei
(5) Menyusun nilai rata-rata dalam suatu matrik berukuran i x j yang disusun
untuk setiap bulan, yang dimulai dari bulan juni-juli. Selanjutnya
menghitung nilai total rasio rata-rata tiap bulan, kemudian menghitung total
rasio rata-rata secara keseluruhan dan pola musim penangkapan.
1) Rasio rata-rata untuk bulan ke-i (RBBi)

1⎛ n ⎞
RBBi = ⎜ ∑ RBij ⎟

n ⎝ j =1 ⎟

Keterangan :
RBBi : Rata-rata Rbij untuk bulan ke-i
Rbij : Rasio rata-rata bulanan dalam matriks ukuran i x j
i : 1,2.....,..12
j : 1,2,3...,..,n

2) Jumlah rasio rata-rata bulanan (JRBB)


12
JRRB = ∑ RRBi
i =i

Keterangan :
JRRB : Jumlah rasio rata-rata bulan
RBBi : Rata-rata Rbij untuk bulan ke-i
i : 1,2......,..12
3) Menghitung faktor koreksi: 1200 JRBB
1200
FK =
JRBB
Keterangan :
FK : Nilai faktor koreksi
JRBB : Jumlah rasio rata-rata bulanan
4) Indeks musim penangkapan
IMPi = RRBi x FK
64

Keterangan :
IMPi : Indeks musim penangkapan bulan ke-i
RBBi : Rasio rata-rata uiituk bulanan ke-i
i : 1,2,3,.....,.....12

3.4.7 Model deskriptif

Pola pengembangan perikanan ikan layang disusun dengan pendekatan


deskriptif yaitu berdasarkan nilai keragaan optimum komponen perikanan ikan
layang dan hubungan dari komponen-komponen tersebut yang telah diperoleh
pada sub-sub bab seperti: tentang kondisi perikanan ikan layang; prioritas unit
penangkapan ikan layang yang layak dikembangkan; optimalisasi pengelolaan
perikanan layang; alokasi jumlah unit penangkapan layang terpilih yang optimum
dan berkelanjutan; biologi ikan layang biru; mesh size minimum jaring alat
tangkap terpilih; serta pola musim dan daerah penangkapan ikan layang yang
tepat.
65

4 HASIL

4.1 Kondisi Perikanan Ikan Layang di Maluku Utara

4.1.1 Deskripsi Unit Penangkapan Ikan


Unit penangkapan ikan yang dominan menghasilkan ikan layang di perairan
Maluku Utara adalah mini purse seine. Beberapa alat tangkap lain yang juga
menghasilkan ikan layang di wilayah perairan ini adalah jaring insang hanyut dan
bagan perahu. Ketiga alat tangkap tersebut dapat dioperasikan pada waktu siang
atau malam hari saja dan trip operasinya bersifat harian (one day fishing).
Identifikasi deskripsi unit penangkapan dilakukan terhadap ketiga alat tangkap
tersebut.

4.1.1.1 Mini purse seine


Mini purse seine di Maluku Utara dikenal dengan nama pajeko. Alat
tangkap ini terdiri dari kantong (bunt), badan jaring, sayap, jaring pada pinggir
badan jaring. (selvedge), tali ris atas (floatline), tali ris bawah (leadline), pemberat
(sinkers), pelampung (floats) dan cincin (purse rings).
Panjang jaring mini purse seine yang digunakan di Maluku Utara berkisar
antara 200-300 m dan lebar berkisar 40-60 m. Kantong sebagai tempat
berkumpulnya ikan terbuat dari bahan PA 210/D12 dengan ukuran mesh size 0,75
inci. Badan jaring terbuat dari bahan PA 210/D9 dengan ukuran mesh size
sebesar dan 1 inci. Bagian sayap yang berfungsi sebagai pagar pada waktu
penangkapan gerombolan ikan dan mencegah ikan keluar dari bagian kantong,
terbuat dari bahan PA 210/D6 dengan ukuran mesh size l,50 inci.
Jaring pada pinggir badan jaring (selvedge) terbuat dari bahan PVA 380/D15
dengan ukuran mata jaring (mesh size) 1.50 inci yang terdiri dari 3 mata untuk
arah ke bawah. Tali ris atas (floatline) terbuat dari bahan PVA dengan panjang 410
m, dan diameter tali sebesar 14 mm, tali ris bawah (leadline) terbuat dari bahan
PVA dengan diameter tali sebesar 14 mm yang memiliki panjang 470 m.
Jumlah pemberat dalam satu unit mini purse seine terdiri dari 2200 buah,
dengan berat 100 gr/buah. Pemberat pada pukat cincin memiliki panjang 2,9 cm
dengan diameter tengah 2,8 cm yang terbuat dari bahan timah hitam. Jarak antar
pemberat berkisar 10-15 cm. Tali pemberat pada pukat cincin terbuat dari bahan
66

PVA dengan diameter tali 12 mm. Jumlah pelampung dalam satu unit pukat
cincin terdiri dari 1100 buah, dengan jarak antar pelampung sekitar 15-20 cm.
Pelampung pukat cincin berbentuk elips dengan panjang 12,7 cm dan diameter
tengah 9,5 cm yang terbuat dari bahan sintetis rubber.
Jumlah cincin dalam satu unit rata-rata terdiri dari 50 buah. Cincin
digunakan oleh nelayan pukat cincin di Maluku Utaraa memiliki diameter luar 10
cm dan diameter dalam 6,6 cm. Cincin yang digunakan terbuat dari bahan
kuningan dengan jarak antar cincin berkisar 5-110 m. Purse line pada pukat
cincin terbuat dari bahan PVA dengan diameter tali 20 mm yang memiliki
panjang 600 m. Konstruksi mini purse seine dapat di lihat pada Gambar 7.

200 - 300 m

S Sayap Badan Kantong Badan Sayap S


e e
l PA 210/D6 PA 210/D6 PA 210/D6 PA 210/D9 PA 210/D6 l
v MS 1,50 inci MS 1 inci MS: 0,75inci MS: 1 inci MS 1,50 inci v
d e
g 45 – 65 m 45 – 65 m d
e 40 - 60 m 40 – 60 m g
30 - 50 m

40 m – 60 m

Tali pelampung
Pelampung PVC

Tali ris atas

Jaring
Tali ris bawah
Tali Pemberat Cincin Tali kolor
pemberat (Timah Hitam) (Kuningan) (PVA)

Gambar 7 Konstruksi mini purse seine di Maluku Utara.


67

Kapal mini purse seine yang dioperasikan untuk kegiatan penangkapan ikan
layang menggunakan tipe dua buah kapal (two boat system) yaitu terdiri atas
kapal utama yang berfungsi untuk melingkarkan jaring pada saat operasi
penangkapan berlangsung dan menarik purse line setelah pelingkaran jaring
selesai (Gambar 8). Sedangkan kapal jhonson yang berfungsi sebagai kapal
pembawa hasil tangkapan ke fishing base. Kedua kapal tersebut terbuat dari bahan
kayu. Kapal utama di Maluku Utara memiliki ukuran berkisar 13 – 18 GT dengan
panjang (L) antara 12,80-13,90 m, lebar (B) 3,15-3,30 m dan dalam (D) 1,90 -2
m, sedangkan untuk kapal johnson memiliki ukuran 3 – 6 GT dengan panjang
antara 10-11,50 m, lebar 2,50-2,60 dan dalam 1,20-1,30 m. Spesifikasi kapal mini
purse seine yang dioperasikan di Maluku Utara dapat dilihat pada Tabel 3.

Tampak atas

Tampak samping

6 5 4 3 2 1

Keterangan :
1. Tempat perbekalan
2. Tempat penyimpanan jangkar
3. Tempat penyimpanan jaring
4. Tempat penyimpanan hasil tangkapan (palka)
5. Kemudi
6. Mesin Outboard

Gambar 8 Desain Kapal mini purse seine (kapal utama) di Maluku Utara.
68

Tenaga penggerak yang digunakan untuk kedua kapal adalah sama yaitu
baik kapal utama maupun kapal johnson menggunakan mesin tempel (outboard)
masing-masing berjumlah dua buah dengan kekuatan 40 PK yang bermerek
Yamaha (Tabel 3). Tenaga penggerak pada kedua kapal menggunakan bahan
bakar campuran yaitu minyak tanah, bensin dan oli.
Kapal utama mini purse seine memilki palkah. Kapasitas dari palkah
tersebut dapat memuat hasil tangkapan sekitar 1 - 2 ton. Palkah ini hanya
dipergunakan jika pada saat kegiatan penangkapan memperoleh hasil tangkapan
yang banyak dan pada kapal johnson tidak dapat lagi meletakkan hasil tangkapan,
namun pada umumnya hasil tangkapan yang diperoleh akan diletakkan pada kapal
johnson. Kapasitas hasil tangkapan untuk kapal johnson berkisar antara 3 - 4 ton.

Tabel 3 Spesifikasi kapal mini purse seine di Maluku Utara


No Spesifikasi Kapal utama Kapal jhonson
1 Dimensi utama
a. Panjang (L) 12,80-13,90 m 10-11,50 m
b. Lebar (B) 3,15-3,30 m 2,50-2,60 m
c. Dalam (D) 1,90-2 m 1,20-1,30 m
2 Tonage 13 – 18 GT 3 – 6 GT
3 Mesin Outboard (Yamaha Outboard (Yamaha
Enduro 40 PK) Enduro 40 PK)
Sumber. Hasil wawancara dengan nelayan, 2008.

Berdasarkan pengamatan langsung dengan mengikuti operasi penangkapan,


umumnya kegiatan operasi penangkapan dimulai pada pagi dini hari yaitu nelayan
mulai berangkat sekitar pukul 03.00 WIT hingga menjelang siang yaitu sekitar jam
7.00 WIB dan selesai atau kembali ke fishing base sekitar jam 9.00 WIT.
Informasi mengenai metode operasi penangkapan mini purse seine dibagi kedalam
beberapa tahap yaitu meliputi tahap persiapan, penurunan jaring dan penarikan
jaring.

1) Tahap Persiapan
Tahap persiapan meliputi kegiatan pemeriksaan mesin kapal utama maupun
mesin johnson, pemeriksaan alat tangkap, penyiapan bahan bakar dan perbekalan.
2) Kapal mini purse seine berangkat menuju rumpon yang merupakan daerah
penangkapan ikan (fishing ground). Pada umumnya membutuhkan waktu sekitar
69

1-2 jam untuk menuju daerah penangkapan. Penentuan daerah penangkapan ikan
(rumpon) yang tepat yang akan menjadi tujuan daerah penangkapan berdasarkan
hasil pemantauan oleh nelayan pemantau yang telah dilakukan pada malam
harinya sebelum kapal pukat cincin berangkat, dan jika kegiatan penangkapan
sebelumnya mendapatkan hasil tangkapan yang banyak, maka kegiatan
penangkapan berikutnya tidak akan jauh dari daerah penangkapan (rumpon).
3) Setting
Setelah tiba di daerah penangkapan ikan (rumpon), kemudian dilakukan
proses setting yang diawali dengan penurunan pukat cincin pada bagian kantong
dari kapal utama yang berada di bagian buritan sebelah kiri. Tali selambar pada
bagian pukat cincin dilemparkan pada kapal johnson untuk dilakukan proses
setting. Kapal johnson menunggu proses setting hingga selesai untuk melakukan
proses selanjutnya yaitu penarikan purse line. Proses pelingkaran gerombolan
ikan oleh kapal utama (ketinting) harus dilakukan dengan kekuatan penuh. Hal ini
dilkukan dengan agar gerombolan ikan yang menjadi target tidak lolos baik dari
arah horizontal maupun vertikal. Proses pelingkaran geromblan ikan
membutuhkan waktu ± 5 menit. Dalam satu trip nelayan pukat cincin melakukan
setting atau tawur rata-rata sebanyak 1-2 kali. Hal ini sangat ditentukan oleh
jumlah hasil tangkapan yang diperoleh.
4) Hauling
Setelah proses pelingkaran gerombolan ikan selesai oleh kapal utama, salah
satu nelayan yang berada pada kapal utama melempar purse line pada kapal
johnson untuk dilakukan penarikan purse line dengan kekuatan penuh yang
arahnya menjauhi kapal utama. Pada saat dilakukan penarikan purse line oleh
kapal johnson, proses penarikan pukat cincin juga dilakukan oleh nelayan pada
kapal utama. Setelah proses penarikan mini purse seine selesai, kapal johnson
kembali dan mendekati mini purse seine yang sudah membentuk sebuah
mangkuk, kemudian dilakukan pengangkatan pelampung yang berada di kantong.
Penarikan pukat cincin selesai hingga tersisa bagian kantong, maka dilakukan
pengangkatan hasil tangkapan oleh nelayan yang berada pada kapal johnson untuk
diletakkan pada kapal johnson. Proses penarikan (setting) mini purse seine
hingga selesai membutuhkan waktu 45-90 menit.
70

5) Penanganan hasil tangkapan


Penarikan mini purse seine hingga bagian kantong, ikan hasil tangkapan
diambil oleh nelayan yang berada pada kapal johnson dengan menggunakan
serok untuk ditempatkan pada kapal johnson. Pukat cincin yang selesai digunakan
untuk kegiatan penangkapan ikan, disusun dan dirapikan kembali sebagai
persiapan untuk kembali ke pantai.

4.1.1.2 Jaring insang hanyut


Jaring insang yang digunakan untuk penangkapan ikan layang adalah jaring
insang hanyut permukaan karena berdasarkan letaknya dalam perairan. Jaring
insang hanyut di Maluku Utara dikenal dengan nama “ soma”.
Alat tangkap yang digunakan terdiri dari jaring terbuat dari bahan
multifilament (PA 210 D/9) dengan mesh size 2 inci dan panjang 60 -100 meter
dan tinggi 5-7 meter. Tali pelampung, tali ris atas, tali ris bawah dan tali pemberat
terbuat dari bahan polyetheline dengan ukuran tali nomor 6. Pada jaring ini
digunakan 2 macam pelampung yaitu pelampung utama dan pelampung tanda.
Pelampung utama berbentuk elips yang terbuat dari fiberglass dengan diameter
4,6 sebanyak 50 buah untuk setiap bagian, jarak tiap pelampung 25 mata jaring
yang dipasang. Pelampung berbentuk bola yang terbuat dari fibreglass dengan
diameter 20 cm sebanyak 6 buah untuk satu bagian jaring jarak tiap pelampung
170 mata jaring. Sedangkan pemberat yang digunakan berbentuk tabung yang
terbuat dari timah dengan diameter 2 cm sebanyak 80 buah yang dipasang pada
tali pemberat untuk satu bagian jaring. Secara jelas deskripsi jaring insang hanyut
disajikan pada Gambar 9.
71

60 m – 100 m

5 m -7 m

Keterangan :
1. Pelampung 5. Pemberat
2. Tali pelampung 6. Tali Pemberat
3. Pelampung utama 7. Tali ris bawah
4. Tali ris atas 8. Tali selembar

Gambar 9 Konstruksi jaring insang hanyut di Maluku Utara.

Perahu gill net yang digunakan untuk menangkap ikan layang memiliki
panjang 8 - 10 meter, lebar 1,20 - 1,25 meter dan dalam 1,5 – 1,60 meter, terbuat
dari bahan kayu dengan kontruksi yang sederhana. Adapun desain perahu jaring
insang hanyut yang digunakan pada penelitian disajikan pada Gambar 10.

2
4
1
3

Keterangan :
1. Jaring 3. Mesin
2. Palkah 4. Keranjang Ikan

Gambar 10 Desain perahu jaring insang hanyut di Maluku Utara.


72

Tenaga penggerak yang digunakan untuk perahu gill net tersebut adalah
menggunakan mesin ketinting dengan kekuatan 5-7 PK . Tenaga penggerak pada
perahu ini menggunakan bahan bakar bensin. Perahu gill net ini memilki
kapasitas palkah 500 – 800 kg. Secara jelas spesifikasi perahu jaring insang
hanyut di sajikan pada Tabel 4.

Tabel 4 Spesifikasi perahu jaring insang hanyut di Maluku Utara


No Spesifikasi Perahu
1 Dimensi utama
a. Panjang (L) 8 m - 10 m
b. Lebar (B) 1,20 m - 1,25 m
c. Dalam (D) 1,50 m– 1,60 m
2 Tonage 1 GT
3 Mesin Ketinting (5 – 7 PK)
Sumber. Hasil wawancara dengan nelayan, 2008.
Operasi penangkapan ikan layang dengan jaring insang hayut dilakukan
pada malam hari. Pengoperasian alat tangkap ini rata-rata hanya dilakukan satu
trip dalam sehari. Pemberangkatan dari fishing base di mulai npukul 17.00-16.00
WIT dan kembali dari fishing ground sekitar pukul 02.00-03.00 dini hari.
Tahap pertama yang dilakukan setelah tiba di fishing ground adalah
mematikan mesin perahu, menyalakan lampu tanda, selanjutnya dilakukan
penurunan jaring. Pertama-tama yang diturunkan ke perairan adalah pelampung
tanda, kemudian lampu tanda dan selanjutnya jaring diturunkan secara perlahan-
lahan. Waktu yang dibutuhkan dalam melakukan setting berkisar antara 30 menit
- 1 jam. Setelah semua jaring turun dan terbentang dengan sempurna maka dalam
jangka waktu selama 3 - 5 jam kemudian dilakukan penarikan jaring (hauling).
Setelah penarikan jaring, ikan-ikan hasil tangkapan dilepas dari jaring,
Kegiatan pengoperasian diakhiri dengan penyortiran hasil tangkapan dan
penyusunan kembali jaring di atas perahu .

4.1.1.3 Bagan perahu


Bagan perahu termasuk klasifikasi jenis jaring angkat (lift net) yang
berbentuk segi empat bujur sangkar. Bagan ini memiliki kelebihan
dibandingkan dengan bagan tancap (statis), diantaranya adalah bagan ini dapat
dipindah-pindahkan dari satu fishing ground ke fishing ground yang dikehendaki
73

Jaring yang digunakan pada alat tangkap bagan terdiri dari sisi kiri dan sisi
kanan yang dirangkai satu demi satu sehingga berbentuk segi empat untuk
mempermudah pada saat penarikan jaring (hauling) dan penurunan jaring (setting)
saat pengoperasian. Pada setiap tepi jaring dilengkapi dengan tali ris agar jaring tidak
terbelit. Konstruksi alat tangkap bagan perahu yang digunakan di Maluku Utara di
sajikan pada Gambar 11.
Badan bagan yang terbuat dari jenis kayu damar yang berbentuk empat
persegi panjang dan diletakan di atas badan perahu, panjang keseluruhan dari badan
bagan adalah 20 meter dengan lebar 20 meter. Jarak antara kayu satu dengan kayu
yang lain adalah 75 cm, jumlah keseluruhan kayu yang digunakan pada bagan
adalah 15 buah. Jaring terbuat dari bahan polyethylene (PE) dengan anyaman yang
sangat halus dan dibuat sedemikian rupa sehingga ikan-ikan kecilpun sulit untuk
lalos. Panjang jaring yang digunakan adalah 1200 meter. Katrol terbuat dari
bahan kayu yang di pasang pada bagian tengah badan bagan dengan fungsi untuk
menaikan dan menurunkan jaring. Panjang tali katrol 30 meter. Menggunakan
batu sebagai pemberat sebanyak 10 buah yang dirangkai dengan tali yang
berfungsi untuk menenggelamkan jaring dan menahan jaring dari pengaruh arus
pada waktu jaring berada di dalam air, sekaligus menahan jaring agar tidak naik
ke permukaan dan tidak mengerut pada waktu jaring diangkat. Kawat baja
berfungsi untuk menahan badan bagan yang bertumpu pada tiang. Panjang kawat
21 meter dan berjumlah 80 buah. Digunakan 2 buah mesin generator. Lampu yang
digunakan pada operasi penangkapan adalah lampu permukaan (petromaks)
dengan jumlah lampu yang digunakan adalah 8 buah dan dua buah mesin
generator.
74

Keterangan :
1. Panjang perahu 8. Rumah bagan
2. Lebar perahu 9. Roller
3. Tinggi perahu 10. Jaring
4. Tinggi tiang perahu 11. Tali penarik jaring
5. Panjang rangka bagan 12. Tali tiang dari kawat baja
6. Lebar rangka bagan 13. Lampu pemikat ikan
7. Tinggi rangka bagan 14. Lampu pengkonsentrasi ikan

Gambar 11 Konstruksi bagan perahu di Maluku Utara.

Pengoperasian bagan perahu dibantu dengan satu unit perahu yang


berfungsi untuk mengangkut hasil tangkapan, bahan makanan, air tawar, dan
bahan bakar dan serfungsi pula sebagai penarik bagan dari fishing base ke fishing
ground dan sebaliknya. Panjang perahu adalah 11 meter lebar 1,20 meter, dalam
1,50 m dan daya tampung 3 ton . Perahu pengangkut hasil tangkapan adalah jenis
motor tempel dengan tenaga penggerak menggunakan mesin Yamaha Enduro 45
pk yang berjumlah 2 buah. Spesifikasi perahu pembantu bagan perahu di sajikan
pada Tabel 5.
75

Tabel 5 Spesifikasi perahu pembantu pada bagan perahu di Maluku Utara


No Spesifikasi Perahu
1 Dimensi utama
a. Panjang (L) 11 m
b. Lebar (B) 1,20 m
c. Dalam (D) 1,50 m
2 Tonage 3 GT
3 Mesin Yamaha Enduro (40 PK)
Sumber. Hasil wawancara dengan nelayan, 2008.
Operasi penangkapan bagan perahu dilakukan pada malam hari dengan
memanfaatkan cahaya lampu . Tahap awal dilakukan pengoperasian adalah tahap
persiapan. Tahap ini dilakukan pemeriksaan terhadap semua peralatan dan bahan-
bahan yang dibutuhkan pada saat pengoperasian seperti lampu-lampu, baling-
baling kapal, mesin kapal, bahan bakar dan bahan makanan yang diperlukan
dalam proses pengoperasian.
Setelah sampai di daerah penangkapan dilakukan penurunan jangkar oleh
ABK kapal yang letaknya di haluan kapal. Operasi penangkapan dimulai pada
pukul 19.00 WIT yang dimulai dengan menurunkan jaring dan menyalakan lampu
yang terdapat di haluan kapal dengan tujuan untuk menarik gerombolan ikan agar
berkumpul.
Selama proses menunggu gerombolan ikan (soaking) berlangsung juragan
sekaligus fishing master dalam operasi penangkapan mengawasi adanya
gerombolan ikan dibawah permukaan air. Antara setting dan hauling tidak
dibatasi oleh waktu tetapi ditentukan oleh ada tidaknya gerombolan ikan yang
berkumpul. Hauling dilakukan setelah terlihat banyak bergerombol ikan diareal
bagan.
Pengangkatan jaring ditandai dengan pemadaman lampu yang dimulai pada
lampu merkuri bagian depan, setelah beberapa lama kemudian salah satu lampu
merkuri berwarna merah yang terdapat di sisi kapal di matikan sehingga yang
menyala hanya salah satu lampu merkuri yang terdapat disalah satu sisi bagan,
kemudian lampu merkuri yang masih menyala tersebut di tutup dengan
menggunakan tudung selama kurang lebih 10 menit. Jaring diangkat perlahan-
lahan dengan menggunakan roller oleh para ABK. Setelah mulut jaring berada
dipermukaan air, semua lampu dinyalakan kembali, sedangkan ikan-ikan yang
76

berada dalam jaring digiring menuju buritan kapal. Ikan yang telah digiring
menuju ke daerah bunuhan dinaikkan ke atas kapal dengan menggunakan sebuah
serok dan dimasukkan ke dalam keranjang. Ikan-ikan tersebut akan dijual
langsung bila ada kapal penadah yang datang atau ikan tersebut di bawah ke
Tempat Pendaratan Ikan.

4.1.2 Produksi dan upaya penangkapan


Produksi kan layang di Maluku Utara sebagian besar didaratkan di 3 wilayah
Kabupaten/Kota, yang mana terdapat pelabuhan pendaratan ikan yaitu Kota
Ternate (PPN Ternate), Kabupaten Halmahera Selatan (PPI Bacan) dan
Kabupaten Halmahera Utara (PPI Tobelo).
Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan terlihat bahwa produksi
tangkapan ikan layang di Maluku Utara dalam 10 tahun terakhir (1998-2007)
mengalami fluktuasi dengan produksi rata-rata mencapai 17555.495 ton dengan
produksi tertinggi pada tahun 2007 sebesar 23677 ton.
Tahun 1998 total hasil tangkapan 14.682 ton, kemudian mengalami
penurunan pada tahun 1999 hingga tahun 2000 dengan total hasil tangkapan
masing-masing 12.565 ton dan 12.523 ton. Selanjutnya mengalami peningkatan
pada tahun 2001 yaitu sebesar 17.252 ton. Tahun 2002 hasil tangkapan kembali
menurun yaitu mencapai 15.755. Selanjutnya total hasil tangkapan mengalami
peningkatan hingga tahun 2007 yaitu sebesar 23.677 ton. Secara rinci
perkembangan produksi ikan layang di Maluku Utara di sajikan pada Tabel 6.
Tabel 6 Produksi sumberdaya ikan layang di Maluku Utara, tahun 1998-2007
Tahun Produksi (kg) Produksi (ton)
1998 14.682.000 14.682
1999 12.565.300 12.565
2000 12.523.250 12.523
2001 17.251.600 17.252
2002 15.754.500 15.755
2003 18.153.060 18.153
2004 18.677.060 18.677
2005 20.965.890 20.966
2006 21.305.220 21.305
2007 23.677.070 23.677
Total 175.554.950 175.555
Rata-rata 17.555.495 17.555,49
Sumber. DKP Provinsi Maluku Utara, 2008.
77

Fluktuasinya produksi ikan layang dapat diakibatkan oleh berbagai faktor


yang saling berinteraksi dalam kegiatan perikanan tangkap. Faktor yang saling
berinteraksi tersebut adalah upaya penangkapan dan ketersedian stok ikan layang
di perairan Maluku Utara.
Produksi ikan layang di Maluku Utara dihasilkan menggunakan alat tangkap
mini purse seine, jaring insang hanyut dan bagan perahu. Mini purse seine adalah
penghasil utama ikan layang dengan persentase produksi rata-rata terbesar dari
total hasil tangkapan yaitu 13.084.991,3 kg (75%), bagan perahu 2.616.998,3 kg
(15%) dan jaring insang hanyut 1.744.665,5 kg (10%). Produksi ikan layang per
jenis alat tangkap di Maluku Utara di sajikan pada Tabel 7.

Tabel 7 Produksi ikan layang per alat tangkap di Maluku utara tahun 1998 - 2007
Mini purse seine Jaring insang hanyut Bagan perahu
Tahun
Kg Kg Kg
1998 11.283.600 1.359.360 2.039.040
1999 9.923.975 1.056.530 1.584.795
2000 9.642.438 1.152.325 1.728.488
2001 12.938.700 1.725.160 2.587.740
2002 11.565.875 1.675.450 2.513.175
2003 13.614.795 1.815.306 2.722.959
2004 14.007.795 1.867.706 2.801.559
2005 15.724.418 2.096.589 3.144.884
2006 15.978.915 2.130.522 3.195.783
2007 17.257.803 2.567.707 3.851.561
Total 130.849.912,5 17.446.655 26.169.982,5
Rata-rata 13.084.991,3 1.744.665,5 2.616.998,3
Sumber. DKP Provinsi Maluku Utara, 2008.

Armada dan alat tangkap yang dioperasikan di perairan Maluku Utara dalam
operasi penangkapan ikan layang adalah perahu tanpa motor (PTM) dan perahu
motor tempel (PMT). Sampai dengan tahun 2007 unit armada penangkapan yang
beroperasi dalam kegiatan penangkapan ikan layang sebanyak 1.970 unit, terdiri
dari perahu tanpa motor sebanyak 1.264 unit dan perahu motor tempel sebanyak
706 unit. Sedangkan unit alat tangkap yang digunakan diantaranya mini purse
seine, jaring insang , bagan, bagan perahu. Semua jenis armada dan alat tangkap
yang digunakan memiliki jangkauan dan kemampuan yang masih terbatas, karena
ukuran yang relatif kecil dan terbatas.
78

Tahun 2007, unit penangkapan mini purse seine mencapai 213 unit, jaring
insang hanyut 171 unit dan bagan perahu 322 unit. Perkembangan jumlah unit
penangkapan ikan layang di Maluku Utara di sajikan pada Tabel 8.
Tabel 8 Unit penangkapan ikan layang di Maluku Utara, tahun 1998 – 2007
Unit penangkapan lkan Layang (unit)
Tahun
Mini purse seine Jaring insang hanyut Bagan perahu
1998 120 104 200
1999 70 71 158
2000 71 73 173
2001 125 160 189
2002 145 174 190
2003 158 180 268
2004 182 172 192
2005 199 175 308
2006 208 175 322
2007 213 171 322
Sumber. DKP Provinsi Maluku Utara, 2008.

4.1.3 Kondisi nelayan dan sistem bagi hasil


Jumlah nelayan tahun 2007 yang beraktivitas di perairan Maluku Utara
adalah 36.984 orang. Mereka tersebar di 8 daerah Kabupaten/Kota yaitu, Kota
Ternate, Kota Todore Kepulauan, Kabupaten Halmahera Selatan, Kabupaten
Halmahera Barat, Kabupaten Halmahera Utara, Kabupaten Halmahera Timur,
Kabupaten Halmahera Tengah dan Kepulauan Sula. Namun yang terlibat secara
langsung terhadap eksploitasi sumberdaya ikan layang adalah mereka yang berada
di beberapa wilayah di antaranya: Kota Ternate, Kota Tidore Kepulauan,
Kabupaten Halmahera Selatan dan Kabupaten Halmahera Utara. Jumlah mereka
adalah 3.698 orang atau sekitar 10% dari jumlah total nelayan di Maluku Utara.
Adapun jumlah ABK rata-rata pada setiap unit penangkapan yang digunakan
untuk mengeksploitasi sumberdaya ikan layang di perairan Maluku Utara, yaitu
untuk mini purse seine adalah 13 orang, jaring insang hanyut 4 orang dan bagan
perahu sebanyak 8 orang.
Nelayan merupakan salah satu faktor yang sangat berperan dalam usaha
penangkapan di Maluku Utara, terutama dalam mengelola faktor-faktor yang
terdapat dalam unit penangkapan sehubungan dengan pemanfaatan sumberdaya
perikanan yang ada di daerah tersebut. Sebagian besar nelayan yang
79

mengeksploitasi sumberdaya ikan layang di Maluku Utara merupakan penduduk


asli daerah setempat. Profesi nelayan merupakan mata pencaharian utama dari
penduduk setempat, sedangkan mereka tidak keluar melaut yaitu terutama pada
musim kurang ikan nelayan bekerja sampingan sebagai petani dan memancing.
Nelayan yang megeksploitasi sumberdaya ikan layang di Maluku Utara
terbagi menjadi 2 kelompok, yaitu nelayan pemilik dan nelayan buruh. Nelayan
pemilik rata-rata berpendidikan terakhir SMP dan SMA, sedangkan nelayan buruh
umunya berpendidikan terakhir dari tingkat SD sampai SMA. Nelayan pemilik
umumnya hanya memiliki masing-masing satu unit alat tangkap.
Sistem bagi hasil usaha penangkapan ikan layang di Maluku Utara untuk
alat tangkap mini purse seine dan bagan perahu memiliki sistem pembagian yang
sama, yaitu setelah diperoleh hasil penjualan (laba kotor) dan setelah dikurangi
dengan biaya operasional dan biaya retribusi, maka diperoleh pendapatan bersih.
Selanjutnya dilakukan pembagian 60% hasil penjualan (laba bersih) menjadi hak
pemilik kapal (pemilik usaha), sedangkan 40% sisanya dibagi untuk nelayan
(Crew). Khusus untuk alat tangkap jaring insang hanyut sistem pembagian hasil
usaha yaitu setalah didapatkan laba bersih, maka 50% menjadi hak pemilik usaha
dan 50% lagi dibagi untuk nelayan (Crew). Pembagian pendapatan untuk nelayan
(Crew) berdasarkan fungsi kerja berlaku sama untuk ketiga alat tangkap yaitu
bagian untuk juragan laut (fishing master) 2 bagian, Juru mesin 1,5 bagian dan
untuk nelayan ABK masing-masing memperoleh 1 bagian. Khusus Juragan laut
pada alat tangkap mini purse seine biasanya mendapat tambahan (bonus) ketika
hasil tangkapan (keuntungan) yang diperolah melebihi standar yang ditargetkan
pemilik modal. Secara jelas sistem bagi hasil usaha perikanan layang di Maluku
Utara disajikan pada Gambar 12.
80

Produksi

Pendapatan
kotor

Biaya operasional &


retribusi

Pendapatan
Bersih

Mini purse seine & Jaring insang


Bagan perahu hanyut

Pemilik Nelayan (Crew) Pemilik Nelayan (Crew)


60% 40% 50% 50%

Bonus (mini
purse seine)
Juragan laut Juru mesin ABK
(2 bagian) (2 bagian) (1 bagian)

Gamabar 12 Sistem bagi hasil usaha perikanan layang di Maluku Utara.

Hasil pengamatan di lapangan terhadap ketiga alat tangkap ikan layang,


menunjukkan bahwa pendapatan bersih per tahun tertinggi diperoleh unit mini
purse seine yaitu sebesar Rp 281.692.500,00, kemudian disusul oleh bagan perahu
sebesar Rp 123.473.400,00 dan jaring insang Rp 45.320.100,00.
Berdasarkan sistem pembagian hasil yang berlaku dalam usaha perikanan
layang di Maluku Utara seperti terlihat pada Gambar 15, maka untuk mini purse
seine dan bagan perahu untuk pemilik alat tangkap memperoleh pendapatan bersih
per tahun masing-masing sebesar Rp 169.015,500,00 dan Rp 74.084.040,00.
Sedangkan Nelayan (Crew) mini purse seine memperoleh Rp 112.677.000,00 dan
81

Nelayan (Crew) bagan perahu mendapatkan Rp 49.389.360,00. Pendapatan


nelayan (Crew) tersebut selanjutnya dibagi lagi, sehingga pada alat tangkap mini
purse seine Juragan laut memperoleh Rp 15.023.400,00, Juragan mesin Rp
11.275.600 dan Nelayan ABK Rp 7.511.800,00. Sedangkan pada alat tangkap
bagan perahu masing-masing untuk Juragan laut memperoleh Rp 7.598.772,00,
Juru mesin Rp 5.698.772,00 dan Nelayan ABK Rp 3.799.182,00 (Lampiran 2 dan
Lampiran 5).
Untuk alat tangkap jaring insang hanyut, pendapatan pemilik alaat tangkap
yang diperoleh sebasar Rp 22.660.050,00 dan Nelayan (Crew) Rp 22.660.050,00.
Hasil pendapatan yang di peroleh Nelayan (Crew) selanjutnya dibagi untuk
Juragan Laut Rp 8.240.018,00, Juru mesin Rp 6.180.014,00 dan Nelayan ABK
memperoleh Rp 4.120.009,00 (Lampiran 4).
Beradasarkan pendapatan bersih yang diterima nelayan pada ketiga alat
tangkap, menunjukkan bahwa Nelayan ABK merupakan bagian yang menerima
pendapatan paling rendah dibandingka dengan Juragan laut dan Juragan mesin.
Bila dihitung pendapatan rata-rata per bulan yang diterima Nelayan ABK masing-
masing alat tangkap, maka diperoleh untuk Nelayan ABK pada mini purse seine
Rp 6.25.983,00, Nelayan ABK bagan perahu Rp 3.16.599,00 dan Nelayan ABK
jaring insang hanyut Rp 3.43.334,00. Dengan demikian nilai pendapatan yang
diterima Nelayan ABK dalam usaha perikanan layang di Maluku Utara masih di
bawah satandard Upah Minimum Provinsi (UMP) yaitu rata-rata per bulan Rp
700.000,00.

4.1.4 Kelembagaan nelayan


Penguatan kelembagaan di bidang perikanan dan kelautan merupakan salah
satu strategi untuk meningkatkan produktivitas usaha dalam memanfaatkan
sumberdaya perikanan di propinsi Maluku Utara. Sampai dengan tahun 2007
jumlah nelayan sebanyak 36. 984 orang atau 4.4 % dari total jumlah penduduk
Maluku Utara. Dari jumlah tersebut tergabung dalam 320 kelompok usaha
bersama (KUB) dengan jumlah kelompok antara 5 – 7 orang, dengan demikian
jumlah nelayan yang tergabung dalam kelompok usaha berjumlah 533 orang.
Kelembagaan perikanan yang penting lainnya adalah koperasi perikanan,
terdiri dari koperasi primer dan sekunder. Dari 30 koperasi nelayan yang ada
82

memiliki jumlah anggota sebanyak 2. 836 orang atau 7.7 %, sedangkan koperasi
sekunder berjumlah 2 koperasi, yaitu Pusat Koperasi Perikanan Kie raha di
kecamatan Bacan dan Pusat Koperasi Sonyinga Bahari di kecamatan Tidore.

4.1.5 Pemasaran
Komoditas perikanan dan kelautan yang ada di wilayah Maluku Utara
dipasarkan baik dalam negeri (domestik) maupun luar negeri (ekspor). Pemasaran
dalam negeri, yaitu ke Jakarta, Surabaya, Banyuwangi, Makassar, dan Manado,
sedangkan yang diekspor, yaitu ke pasar tradisional Jepang, Cina dan Hongkong.
Pemasaran dalam negeri hingga tahun 2007 terdiri dari 13 jenis komoditas
dengan jumlah volume produksi sebesar 118.554 ton dengan nilai produksi
sebesar Rp.54 544 230 000. Untuk ekspor terdiri dari 7 jenis komoditas antara lain
: kerapu hidup, napoleon hidup, lobster hidup, cakalang beku, tuna beku, ikan
beku campuran dan ikan hidup campuran dengan jumlah volume produksi
sebesar 1 311.57 ton dengan nilai produksi sebesar US.$.927 442.67.
Untuk komoditas ikan layang di Maluku Utara selain dipasarkan untuk
pasar lokal jenis komoditas ini juga dipasarkan ke luar daerah. Jenis ikan layang
yang benilai ekspor adalah jenis layang biru. Pemasaran ikan layang biru ini
terutama ke daerah Surabaya dan Jakarta. Di Muara Baru Jakarta sejak 3 tahun
terakhir didapati ikan layang yang didatangkan dari Surabaya. Dan ternyata dari
hasil penelitian menunjukkan bahwa ikan-ikan layang tersebut termasuk ikan yang
didatangkan dari Maluku Utara.
Sejak tahun 1990-an permintaan akan ikan layang makin meningkat karena
jenis ikan ini dapat digunakan untuk umpan dalam perikanan tuna longline
menggantikan ikan saury (Cololabris saira) dari Jepang yang semakin sulit di
peroleh. Menurut Mayaut (1989) diacu dalam Yusuf dan Hamzah (1995), ikan
layang biru sangat cocok untuk di pergunakan sebagai ikan umpan dalam
perikanan tuna, karena selain sisi tubuhnya berwarna keperak-perakan, juga
memiliki tekstur dagaing, warna dan bau yang mirip ikan saury.
Ikan layang biru di Maluku Utara sekarang ini merupakan komoditas ekspor.
Menurut Sardjana (1998), untuk kepentingan ekspor terdapat tiga kelas yang di
perlukan yaitu kelas 1 (60 ekor per 10 kg), kelas 2 (80 sampai 85 ekor per 10 kg)
dan kelas 3 (90 sampai 120 ekor per 10 kg). Di Maluku Utara untuk kepentingan
83

pasar ikan layang biru dikategorikan dalam 2 kleas, yaitu kelas ekspor (50 – 80
ekor per 10 kg) dan kelas lokal (30 – 40 ekor per 10 kg).
Ikan layang biru di Maluku Utara di beli oleh 3 perusahan distributor yaitu
PT. Dwi Poli, UD Hermanto, dan UD Irwan. Harga beli yang digunakan untuk
membeli ikan tersebut dari nelayan berkisar antara Rp. 6000 – Rp. 6500 per kg.
Sedangkan harga jual dari perusahan distributor ke Surabaya dan Jakarta berkisar
RP. 100.000 – Rp. 120.000 per 1 karton (1 karton berisi 10 kg).
Permasalahan utama yang dialami nelayan yang mengeksploitasi
sumberdaya ikan layang di Maluku Utara, adalah tidak memiliki fasilitas cold
storage, sehingga kesulitan dalam penanganan ikan apabila hasil tangkapan yang
diperoleh melimpah (saat musim puncak).
Disamping itu untuk lebih menggairahkan pangsa pasar ikan layang di
Maluku Utara yang diharapkan oleh nelayan adalah masuknya investasi dari luar
untuk peningkatan usaha perikanan layang. Dengan adanya investasi dari luar
tersebut, terutama investasi dari pihak swasta diharapkan dapat memperkecil
kelemahan yang ada sekarang ini, terutama kelemahan pada modal usaha (biaya)
pengadaan alat tangkap, pendapatan nelayan dan pembagian hasil usaha yang
selama ini tidak merata pada nelayan skala kecil, dikaitkan dengan peluang yang
ada pada permintaan pasar lokal dan regional.

4.2 Teknologi Penangkapan Ikan Layang Pilihan

Untuk mengetahui urutan prioritas teknologi penangkapan ikan layang di


Maluku Utara yang optimum dan berkelanjutan, maka dilakukan analisis terhadap
ketiga alat tangkap, yaitu mini purse seine, jaring insang hanyut dan bagan
perahu. Ketiga alat tangkap tersebut dianalisis berdasarkan tinjauan aspek biologi,
teknis, sosial, ekonomi dan keramahan lingkungan untuk menentukan urutan
prioritas alat tangkap terbaik yang layak untuk dikembangkan dalam
pengembangan perikanan ikan layang di Maluku Utara.
84

4.2.1 Aspek biologi


Aspek biologi yang dianalisis meliputi, komposisi target spesies dalam %,
ukuran hasil tangkapan utama (panjang ikan layang) dalam cm dan lama waktu
musim penangkapan ikan layang dalam bulan. Keseluruhan data tersebut
diperoleh dari hasil observasi dan wawancara dengan nelayan di lokasi penelitian.
Hasil skoring dan standarisasi terhadap fungsi nilai aspek biologi ketiga unit
penangkapan dapat disajikan pada Tabel 9. Setiap kriteria diberikan urutan
prioritas dan urutan prioritas pada masing-masing kriteria tersebut mempunyai
nilai yang berbeda.
Tabel 9 Hasil skoring dan standarisasi setiap fungsi nilai aspek biologi unit
penangkapan ikan layang (mini purse seine, jaring insang hanyut dan
bagan perahu) di perairan Maluku Utara
Unit Kriteria Penilaian
Penangkapan X1 X2 X3 V(A)1 UP
Ikan Layang V1 X1 V2 X2 V3X3
70 25,5 8
2,7 1
Mini purse seine 1,00 0.69 1,00
40 27,7 8
2,3 2
Jaring insang hanyut 0,25 1,00 1,00
30 20,5 7
0,0 3
Bagan perahu 0,00 0,00 0,00
Keterangan :
X1 = Komposisi dari target spesies ikan layang (%)
X2 = Ukuran rata-rata hasil tangkapan utama ikan layang (cm)
X3 = Lama waktu musim penangkapan ikan layang (bulan)
V(A) = Fungsi nilai dari alternatif A, yaitu jumlah dari Vi(Xi)
UP = Urutan prioritas
Berdasarkan hasil skoring dari analisis aspek biologi menunjukkan bahwa
alat tangkap mini purse seine berada pada urutan prioritas pertama dari segi
komposisi dari target spesies ikan layang yaitu dengan nilai 70%, selanjutnya
jaring insang hanyut berada pada urutan prioritas kedua dengan nilai 40% dan
bagan perahu pada urutan prioritas ketiga dengan nilai 30%.
Dilihat dari aspek ukuran dari hasil tangkapan utama menunjukkan bahwa
mini purse seine mampu menangkap ikan layang dengan ukuran rata-rata 25,5 cm,
jaring insang hanyut 27,7 cm dan bagan perahu mendapatkan ikan layang pada
85

kuran rata-rata 20,5 cm. Dari hasil ini menunjukkan bahwa jaring insang hanyut
adalah alat tangkap yang mampu menangkap ikan layang dalam ukuran rata-rata
lebih besar bila dibandingkan dengan mini purse seine dan bagan perahu. Adapun
untuk lama waktu penangkapan ikan layang mini purse seine dan jaring insang
memliliki jumlah yang sama yaitu 8 bulan sedangkan bagan perahu musim
penangkapan lebih kecil yaitu 7 bulan. Setelah dilakukan standarisasi berdasarkan
keseluruhan fungsi nilai yang telah diperoleh menunjukkan bahwa mini purse
seine berada pada urutan prioritas pertama, jaring insang hanyut prioritas kedua
dan bagan perahu pada prioritas ketiga.

4.2.2 Aspek teknis


Analisis terhadap aspek teknis dalam penentuan teknologi penangkapan ikan
layang yang tepat kaitannya dengan pengoperasian ketiga alat tangkap dilakukan
dalam kajian ini dengan tujuan untuk melihat apakah aspek-aspek teknis yang
dikaji bernilai efektif atau tidak. Adapun kriteria penilaian yang digunakan dalam
aspek ini adalah nilai produksi per tahun, produksi per trip dan produksi per
tenaga kerja per alat tangkap. Data yang digunakan diperoleh dari hasil
wawancara dengan nelayan. Adapun nilai terhadap unit penangkapan ikan layang
tersebut dapat dilihat pada Tabel 10. Setiap kriteria diberikan urutan prioritas dan
urutan prioritas pada masing-masing kriteria tersebut mempunyai nilai yang
berbeda.
Tabel 10 Hasil skoring dan standarisasi setiap fungsi nilai aspek teknis unit
penangkapan ikan layang (mini purse seine, jaring insang hanyut dan
bagan perahu) di perairan Maluku Utara
Unit Kriteria Penilaian
Penangkapan X1 X2 X3 V(A)2 UP
Ikan Layang V1 X1 V2 X2 V3X3
66750 556,25 42
2,6 1
Mini purse seine 1,00 1,00 0,43
13110 109,25 27
0,0 3
Jaring insang hanyut 0,00 0,00 0,00
25740 429 53
2,0 2
Bagan perahu 0,24 0,72 1,00

Keterangan :
X1 = Produksi per tahun (kg)
X2 = Produksi per trip (kg)
86

X3 = Produksi per tenaga kerja (kg)


V(A) = Fungsi nilai dari alternatif A, yaitu jumlah dari Vi(Xi)
UP = Urutan prioritas

Berdasarkan hasil skoring dan standarisasi berdasarkan aspek teknis maka


mini purse seine menempati urutan pertama, bagan perahu pada urutan kedua dan
jaring insang hanyut pada urutan ketiga. Hal ini menunjukkan bahwa alat tangkap
mini purse seine dari aspek teknis merupakan alat tangkap yang produktif untuk
menangkap ikan layang di perairan Maluku Utara.

4.2.3 Aspek sosial


Analisis terhadap aspek sosial dalam penentuan teknologi penangkapan ikan
layang yang tepat dalam penelitian ini dikaitkan dengan beberapa faktor di
antaranya, penyerapan tenaga kerja masing-masing unit penangkapan, penerimaan
nelayan per unit penangkapan, dan tingkat penguasaan teknologi alat tangkap.
Keseluruhan data tersebut diperoleh berdasarkan hasil wawancara langsung
dengan nelayan (Tabel 11).

Tabel 11 Hasil skoring dan standarisasi setiap fungsi nilai aspek sosial unit
penangkapan ikan layang (mini purse seine, jaring insang hanyut dan
bagan perahu) di perairan Maluku Utara
Unit Kriteria Penilaian
Penangkapan X1 X2 X3 V(A)3 UP
Ikan Layang V1 X1 V2 X2 V3X3
13 112.677.000 2
3,0 1
Mini purse seine 1,00 1,00 1,00
4 22.660.050 1
0,0 3
Jaring insang hanyut 0,00 0,00 0,00
8 49.389.360 2
1,7 2
Bagan perahu 0,44 0,30 1,00
Keterangan :
X1 = Jumlah tenaga kerja
X2 = Pendapatan nelayan per tahun
X3 = Tingkat penguasaan teknologi (1) mudah; (2) sedang; (3) sedikit sukar;
dan (4) sukar
V(A) = Fungsi nilai dari alternatif A, yaitu jumlah dari Vi(Xi)
UP = Urutan prioritas
87

Berdasarkan hasil skoring untuk aspek sosial alat tangkap mini purse seine
berada pada urutan prioritas pertama sedangkan bagan perahu pada urutan kedua
dan jaring insang hanyut menempati urutan prioritas ketiga.

4.2.4 Aspek ekonomi


Analisis aspek ekonomi meliputi kelayakan usaha dari alat tangkap sehingga
semua data yang dikumpulkan diolah untuk mengetahui analisis kelayakan usaha
alat tersebut. Parameter penilaian kelayakan usaha didasarkan pada 4 kriteria yaitu
Net B/C ratio, BEP (kg) dan IRR dan Payback-periode . Hasil analisis
perhitungan kelayakan usaha dari alat tangkap pukat cincin, jaring insang hanyut
dan bagan perahu secara rinci lebih dapat dilihat pada Tabel 12.

Tabel 12 Hasil skoring dan standarisasi setiap fungsi nilai aspek ekonomi unit
penangkapan ikan layang (Mini purse seine, jaring insang hanyut dan
bagan perahu di perairan Maluku Utara
Unit Kriteria Penilaian
Penangkapan X1 X2 X3 X4 V(A)4 UP
Ikan Layang V1 X1 V2 X2 V3X3 V4X4
2,98 16883,89 58,67 2 2,48 1
Mini purse seine 0,48 1,00 1,00 0.00
3,85 8660,12 53,75 2,44 2,13 2
Jaring insang hanyut 1,00 0,00 0,75 0,38
2,19 11238,09 39,33 3,15 1,31 3
Bagan perahu 0,00 0,31 0,00 1,00

Keterangan :
X1 = Net B/C
X2 = BEP (kg)
X3 = IRR
X4 = Payback-periode
V(A) = Fungsi nilai dari alternatif A, yaitu jumlah dari Vi(Xi)
UP = Urutan prioritas
Berdasarkan hasil skoring dan standarisasi setiap fungsi nilai aspek ekonomi
pada Tabel 12, menunjukkan bahwa nlai Net B/C alat tangkap mini purse seine
dan nilai Net B/C dari alat tangkap jaring insang hanyut lebih tinggi dari pada
nilai B/C alat tangkap bagan perahu. Untuk nilai IRR yang diperoleh mini purse
88

seine yaitu 58,67% lebih besar dibandingkan dengan alat tangkap jaring insang
hanyut dan bagan perahu yaitu dengan nilai 53, 75% dan 39,33%.
Berdasarkan hasil perhitungan BEP yang dihasilkan dari unit penangkapan
mini purse seine diperoleh nilai produksi per tahun sebesar Rp. 71.251.072,84
dengan volume produksi per tahun sebesar 16883,89 kg. Nilai payback periode
yang diperoleh alat tangkap mini purse seine yaitu 2 tahun. Nilai yang diperoleh
ini lebih kecil dibandingkan dengan alat tangkap jaring insang hanyut dan bagan
perahu yaitu masing-masing 2 tahun 4 bulan dan 3 tahun 1 bulan. Dengan
demikian unit penangkapan pukat cincin membutuhkan periode waktu yang lebih
singkat dalam pengembalian modal usaha dibandingkan alat tangkap jaring insang
hanyut dan bagan perahu.
Berdasarkan hasil skoring untuk aspek ekonomi untuk kriteria kelayakan
usaha alat tangkap mini purse seine menempati urutan prioritas pertama
sedangkan jaring insang hanyut menempati urutan prioritas kedua dan bagan
perahu beraada pada prioritas ketiga.

4.2.5 Aspek keramahan lingkungan


Analisis terhadap aspek keramahan lingkungan dalam penentuan teknologi
penangkapan ikan layang yang tepat hubungannya dengan ke 9 kriteria alat
tangkap yang tergolong kedalam alat tangkap yang ramah lingkungan.
Keseluruhan data yang diperoleh berdasarkan hasil wawancara langsung dengan
nelayan di lokasi penelitian (Tabel 13).
89

Tabel 13 Hasil skoring dan standarisasi setiap fungsi nilai aspek keramahan
lingkungan unit penangkapan ikan layang (mini purse seine, jaring
insang hanyut dan bagan perahu) di perairan Maluku Utara

Unit Kriteria Penilaian

VA5
Penangkapan X1 X2 X3 X4 X5 X6 X7 X8 X9 UP
V2
V1 V3 V4 V5 V6 V7 V8 V9
Ikan layang X1 X2 X3 X4 X5 X6 X7 X8 X9

Mini purse 2 4 3 4 3 3 3 4 3
seine 6 2
1 0
1 1 0 2 0 1 0
Jaring
3 4 3 3 4 4 4 4 4
Insang
Hanyut 10 1
1 0
2 0 1 3 1 1 1

Bagan 1 4 3 4 4 2 3 3 3
Perahu 4 3
0 1 0 1 1 1 0 0 0

Keterangan :
X1 = Selektivitas yang tinggi
X2 = Tidak merusak habitat
X3 = Menghasilkan ikan yang berkualitas tinggi
X4 = Tidak membahayakan nelayan
X5 = Produksi tidak membahayakan konsumen
X6 = By-catch rendah
X7 = Dampak ke biodiversity
X8 = Tidak membahayakan ikan-ikan yang dilindungi
X9 = Dapat diterima secara sosial
V(A) = Fungsi nilai dari alternatif A, yaitu jumlah dari Vi(Xi)
UP = Urutan prioritas.
Berdasarkan hasil analisis dari ketiga alat tangkap di atas dengan melihat
hasil skoring maka alat tangkap jaring insang hanyut termasuk kategori alat
tangkap ramah lingkungan, mini purse seine dan bagan perahu termasuk alat
tangkap yang kurang ramah lingkungan (Tabel 14).
90

Tabel 14 Pengelompokan jenis alat tangkap berdasarkan tingkat keramahan


lingkungan
No. Kategori Jenis Alat Tangkap
1 Tidak ramah lingkungan (Total <3)
Kurang ramah lingkungan Mini purse seine
2
(3 ≤ Total ≤ 6) Bagan perahu
3 Ramah lingkungan (Total > 6) Jaring insang hanyut

4.2.6 Aspek biologi, teknis, sosial, ekonomi dan keramahan lingkungan

Tujuan pemilihan unit penangkapan ikan layang adalah untuk mendapatkan


jenis alat tangkap ikan layang yang mempunyai nilai yang baik ditinjau dari aspek
biologi, teknis, sosial, ekonomi, dan keramahan lingkungan sehingga alat tangkap
yang terpilih sebagai alat tangkap yang prioritas digunakan merupakan alat
tangkap yang pantas untuk dikembangkan. Hasil skoring yang dilakukan terhadap
ketiga jenis alat tangkap yaitu mini purse seine, jaring insang hanyut dan bagan
perahu yang digunakan dalam perikanan tangkap ikan layang di Maluku Utara
dari kelima aspek tersebut dapat dilihat pada Tabel 15.

Tabel 15 Total standarisasi aspek biologi, teknis, sosial, ekonomi dan keramahan
lingkungan unit penangkapan ikan layang (mini purse seine, jaring
insang hanyut dan bagan perahu) di perairan Maluku Utara
Unit
Penangkapan Kriteria Penilaian VA UP
Ikan Layang V(A)1 V(A)2 V(A)3 V(A)4 V(A)5 Total
Mini purse seine 2,7 2,4 3,0 2,48 6 16,6 1
Jaring insang
2,3 0,0 0,0 2,13 10 14,4 2
hanyut
Bagan perahu 0,0 2,0 1,7 1,31 4 9,0 3
Keterangan :
V(A)1 = Aspek biologi
V(A)2 = Aspek teknis
V(A)3 = Aspek sosial
V(A)4 = Aspek ekonomi
V(A)5 = Aspek keramahan lingkungan
91

Berdasarkan hasil dari total standarisasi aspek biologi, teknis, sosial,


ekonomi, dan keramahan lingkungan unit penangkapan ikan layang (mini purse
seine, jaring insang hanyut, bagan perahu) di perairan Maluku Utara maka yang
menjadi prioritas pengembangan adalah alat tangkap mini purse seine pada urutan
pertama, jaring insang hanyut pada urutan kedua dan bagan perahu pada urutan
ketiga.

4.3 Optimalisasi Pengelolaan Perikanan Ikan Layang


4.3.1 Potensi lestari (maximum sustainable yield/MSY)
Potensi sumberdaya ikan layang di Maluku Utara tertangkap dengan
menggunakan alat tangkap mini purse seine, jaring insang hanyut dan bagan
perahu. Untuk menentukan produksi lestari sumberdaya ikan tersebut maka
langkah pertama adalah dilakukan standarisasi dengan menggunakan masing-
masing nilai fishing power indeks dari alat tangkap sehingga diperoleh catch
gabungan, total effort standar dan CPUE standar. Hasil standarisasi menunjukkan
bahwa alat tangkap mini purse seine sebagai alat tangkap standar, karena alat
tangkap ini mempunyai nilai CPUE per tahun lebih besar dibandingkan alat
tangkap jaring insang hanyut dan bagan perahu (Lampiran 6).
Nilai CPUE dengan upaya penangkapan (effort) perlu diketahui korelasinya
sehingga dapat diketahui kecenderungan produktivitas alat tangkap ikan layang
yang dicerminkan oleh CPUE. Gambar 13, menunjukkan korelasi antara CPUE
dengan effort menunjukkan hubungan yang negatif, yaitu semakin tinggi effort
semakin rendah nilai CPUE. Korelasi negatif antara CPUE dengan effort
mengindikasikan bahwa produktivitas alat tangkap layang akan menurun apabila
effort mengalami peningkatan. Dengan demikian CPUE ikan layang di Maluku
Utara dapat digambarkan sebagai berikut CPUE=1239,5 – 0,0191E, hal ini
menunjukkan bahwa setiap penambahan effort sebesar satuan E maka akan
menurunkan CPUE sebesar 0.0191 ton kali satuan E.
92

1400
CPUE = 1239,5 - 0.0191 E
1200

CPUE (kg/trip)
1000 R2 = 0.781
800
600
400
200
0
0 5000 10000 15000 20000 25000 30000 35000 40000

Effort (trip/tahun)

Gambar 13 Hubungan CPUE dengan upaya penangkapan ikan layang


(effort) di Maluku Utara tahun 1998 – 2007.

Berdasarkan perhitungan hubungan antara catch per unit effort dan effort
standar yang digunakan dalam pemanfaatan sumberdaya ikan layang mempunyai
nilai intersep (a) sebesar 1239,5 dan koefisien independent (b) sebesar -0,0191
(Lampiran 6 ), sehingga hubungan antara CPUE dengan effort penangkapan ikan
layang dinyatakan dengan persamaan sebagai berikut CPUE = 1239,5 - 0,0191
E2. Hubungan antara hasil dengan effort yang lebih dikenal sebagai fungsi
produksi lestari dapat dinyatakan sebagai berikut h=1239,5E-0,0191 E2.
Selanjutnya dengan menggunakan program MAPLE IX dapat diketahui effort
pada tingkat produksi lestari maksimum (Emsy) ikan layang sebesar 32.448 trip
per tahun (Lampiran 8 ).
Perhitungan matematis hasil tangkapan pada kondisi MSY di peroleh sebesar
20.109.430 kg per tahun atau 20.109,43 ton per tahun. Hubungan kuadratik antara
upaya penangkapan dengan hasil tangkapan ikan layang di perairan Maluku Utara
dapat disajikan pada Gambar 14.
93

Produksi (kg/thn)
Cmsy = 20.109.430 kg/thn
2006
2005 2007

2003
2004
2001
2002

1998
1999
2000

Emsy 32.448 trip

Gambar 14 Hubungan antara produksi lestari ikan layang dengan upaya


penangkapan model Schaefer di perairan Maluku Utara.

4.3.2 Potensi ekonomi lestari (maximum economic yield/MEY)

Untuk menghitung potensi ekonomi lestari, dua komponen penting yang


diperlukan untuk menghitung nilai hasil tangkapan yang memberikan keuntungan
maksimum tersebut adalah harga ikan (p) dan biaya operasional (c).

4.3.2.1 Biaya penangkapan

Biaya penangkapan yang digunakan dalam anlalisis ini adalah biaya


penangkapan pada alat tangkap standard ((mini purse seine), dimana dalam usaha
penangkapan ikan layang memerlukan biaya tetap (fixed cost) dan biaya variabel
(variable cost).
Hasil penelitian yang di lakukan di Maluku Utara menunjukan bahwa biaya
penangkapan untuk alat tangkap standard dalam ekspolitasi sumberdaya ikan
layang sebesar Rp. 988,375 per trip penangkapan. Secara rincin struktur biaya
penangkapan disajikan pada Tabel 16.
94

Tabel 16 Struktur biaya penangkapan ikan layang dengan alat tangkap standar
(mini purse seine) di Maluku Utara tahun 2007
Biaya Nilai Persenatse
penangkapan (Rp) (%)
Minyak tanah 600.000 60,71
Bensin 35.000 3,54
Oli 50.000 5,06
Ransum 75.000 7,59
Es 180.000 18,21
Retribusi 48.375 4,89
Total biaya penangkapan per trip 988.375 100.00
per unit armada
Sumber. Data primer 2008.

4.3.2.2 Harga ikan hasil tangkapan


Sesuai dengan asumsi yang dianut dalam Model Gordon-Schaefer, harga
persatuan output (produksi) adalah konstan. Harga produksi dihitung berdasarkan
rata-rata harga jual hasil tangkapan responden pada waktu penelitian
dilaksanakan. Harga jual ikan layang (Decapterus spp) menurut responden
berkisar antara Rp.5500,00 sampai dengan Rp.6500,00 dengan harga rata-rata (p)
sebesar Rp.6.000,00 per kg .

4.3.2.3 Bio-ekonomik perikanan layang


Analisis bio-ekonomi pada penelitian ini dikaji berdasarkan pada berbagai
kondisi pengeloaan sumberdaya ikan layang di perairan Maluku Utara yang
dianalisis mengukuti pendekatan Model Gordon-Schaefer.
Hasil analisis perbandingan hasil tangkapan pada berbagai kondisi
pengelolaa yaitu: kondisi aktual, maximum sustainable yield (MSY), maximum
economic yield (MEY) dan kondisi open acces (Oa), disajikan pada Tabel 17.

Tabel 17 Optimalisasi bio-ekonomi dalam berbagai kondisi pengelolaan dan


kondisi aktual ikan layang di Maluku Utara
Kondisi Effort Hasil Total penerimaan Total biaya Rente
(ton/thn)
Pengelolaan (trip) trip/tahun (Rp) Ekonomi

Aktual 25.560 17.257,80 103.546.815.000,00 25.262.865.000,00 78.283.950.000,00


MSY 32.448 20.109,43 120.656.564.100,00 32.070.440.120,00 88.586.123.980,00
MEY 28.135 19.754,25 118.525.488.400,00 27.808.288.550,00 90.717.199.850,00
Open acces 56.271 9.269,43 55.616.577.060,00 55.616.577.060,00 0
95

Optimalisasi Bio-ekonomi dalam Tabel 17, dapat diplot menjadi grafik yang
menunjukkan perbandingan hasil tangkapan, effort dan rente ekonomi yang
dilakukan untuk masing-masing kondisi yaitu kondisi aktual, maximum
suistanable yield, maximum economi yield dan open acces dalam periode 1998-
2007 dapat dilihat pada Gambar 15-17.

25000 19754.25
20109.43
17257.80
20000
Produksi (ton/thn)

15000
9269.43

10000

5000

0
Aktual MSY MEY Open acces

Gambar 15 Perbandingan hasil tangkapan ikan layang pada setiap


kondisi pengelolaan periode 1998-2007 di Maluku Utara.

Gambar 15 memperlihatkan bahwa hasil tangkapan yang didapat pada


kondisi pengusahaan sumberdaya MSY di Maluku Utara tahun 1998-2007 sebesar
20.109,43 ton per tahun. Hasil tangkapan tersebut lebih besar jika dibandingkan
dengan hasil tangkapan yang didapat pada pengusahaan sumberdaya MEY yaitu
sebesar 19.754,248 ton), dan kondisi aktual yaitu sebesar 17.257,80 ton per tahun.
Sedangkan hasil tangkapan ikan layang pada kondisi open acces adalah 9.269,43
ton per tahun.
Perbandingan upaya penangkapan pada kondisi aktual, maximum suistanable
yield, maximum economi yield dan open acces dalam periode 1998-2007 dapat
dilihat pada Gamba 16. Gambar 16 memperlihatkan rata-rata upaya penangkapan
yang dilakukan armada penangkapan ikan layang pada tingkat open acces sebesar
56.271 trip. Upaya penangkapan tersebut lebih besar jika dibandingkan dengan
upaya penangkapan yang dilakukan pada tingkat produksi MSY yakni 32.448 trip
dan pada kondisi MEY yaitu 28.135 trip.
96

56271
60000

50000

Effort (trip/thn)
32448
40000 28135
25560
30000

20000

10000

0
Aktual MSY MEY Open acces

Gambar 16 Perbandingan tingkat upaya penangkapan ikan layang pada


setiap kondisi pengelolaan tahun 1998-2007 di Maluku
Utara.

Perbandingan rente ekonomi upaya pengelolaan sumberdaya ikan layang


pada kondisi aktual, maximum sustainable yield (MSY), maximum economic yield
(MEY) dan pada kondisi open acces (Oa) dalam periode 1998-2007 dapat dilihat
pada Gambar 17.

88586.12 90717.20
100000
78283.95
90000
Rente Ekonomi (Rp juta)

80000
70000
60000
50000
40000
30000
20000
10000 0
0
Aktual MSY MEY Open acces

Gambar 17 Perbandingan rente ekonomi penangkapan ikan layang


pada setiap kondisi pengelolaan tahun 1998-2007 di
Maluku Utara.

Rente ekonomi tertinggi atau keuntungan optimum lestari yang diperoleh


nelayan dalam upaya pengelolaan sumberdaya ikan layang, tercapai pada tingkat
effort (Emey) sebesar 28.135 hari operasi per tahun dengan hasil produksi (hmey)
sebesar 19.754,25 ton per tahun, dengan penerimaan total (TRmey) yang diperoleh
sebesar Rp. 118.525.488.400,00 per tahun dan biaya penangkapan total (TCmey)
97

sebesar Rp. 27.808.288.550,00 per tahun. Berdasarkan nilai tersebut, maka rente
ekonomi yang di peroleh sebesar Rp. 90.717.199.850,00.
Gambar 18, dapat dilihat grafik Bio-ekonomi hubungan total penerimaan
dan biaya penangkapan kegiatan pengelolaan sumberdaya ikan layang di Maluku
Utara. Dalam pemanfaatan sumberdaya ikan layang, TRmsy tercapai pada saat Emsy
sebesar 32.448 hari operasi per tahun dengan hmsy sebesar 20.109,43 ton per tahun.
Berdasarkan nilai tersebut, maka TRmsy diperoleh sebesar Rp. 120.656.564.100,00
per tahun dengan TCmsy sebesar Rp. 32.070.440.120,00 per tahun, sehingga rente
ekonominya (selisih antara TR dengan TC) diperoleh sebesar Rp.
88.586.123.980,00 per tahun (Lampiran 8). Apabila effort terus dinaikan,
sehingga melampaui Emsy, maka total penerimaannya justru akan mengalami
penurunan, sementara total biaya penangkapan semakin meningkat.
Pada usaha pengelolaan ikan layang di Maluku Utara, bioeconomic
equilibrium of open acces fishery terjadi pada saat effort (Eoa) mencapai 56.271
trip per tahun dan tingkat hasil produksi (hoa) sebesar 9.269,43 ton per tahun.
Dengan demikian penerimaan total (TRoa) diperoleh sebesar Rp.
55.616.577.060,00 per tahun dan biaya penangkapan total (TCoa) sebesar Rp.
55.616.577.060,00 per tahun.

Rente ekonomi MEY


MSY
AKTUAL

Oa

Gambar 18 Keseimbangan Bio-ekonomi Gordon-Schaefer untuk pengelolaan


sumberdaya ikan layang di perairan Maluku Utara.
98

4.4 Alokasi Optimum Upaya Penangkapan Ikan Layang


Berdasarkan data-data yang diperoleh dari hasil analisis upaya penangkapan
optimum (fmey) dan produksi ikan layang yang optimum (hmey), maka
selanjutnya data tersebut digunakan sebagai faktor tujuan dalam melakukan
penentuan alokasi unit penangkapan ikan layang. Analisis ini menggunakan
pendekatan linear goal programming (LGP), dimana unit penangkapan yang
akan dialokasikan adalah unit penangkapan terpilih yaitu mini purse seine. Ada 3
(tiga) tujuan utama yang ingin dicapai dalam pengalokasikan ini, yaitu: (1)
mengoptimalkan hasil tangkapan sumberdaya ikan layang dengan pertimbangan
MEY, (2) mengoptimalkan upaya penangkapan/jumlah hari operasi penangkapan
sesuai dengan upaya penangkapan pada tingkat fMEY, dan (3) mengoptimalkan
penyerapan tenaga kerja. Untuk variabel keputusannya adalah alat tangkap
terpilih (mini purse seine).
Secara matematis tujuan-tujuan utama yang hendak dicapai dan merupakan
batasan yang harus dipenuhi dalam mengoptimalkan alokasi unit penangkapan
mini purse seine di perairan Maluku Utara dapat diuraikan sebagai berikut:
1. Mengoptimalkan hasil tangkapan sumberdaya ikan layang dengan
pertimbangan MEY.
Nilai estimasi MEY ikan layang di perairan Maluku Utara berdasarkan hasil
analisis diperoleh sebesar 19.754,25 ton per tahun. Produktivitas ideal unit
penangkapan pilihan (mini purse siene) sebesar 97,5 ton per tahun.
Produktivitas ideal ini merupakan nilai produksi yang selayaknya dicapai
oleh unit mini purse seine agar pendapatan yang diterima oleh nalayan
(ABK) melebihi standard Upah Minimum Provinsi di Maluku Utara (UMP).
Berdasarkan hasil analisis tingkat pendapatan nelayan mini purse seine saat
ini (Lampiran 2), menunjukkan bahwa pendapatan yang diterima nelayan
(ABK) sebesar Rp 7.511.800,00 per tahun atau Rp 6.26.433,00 per bulan.
Nilai tersebut bila dibandingkan dengan nilai UMP Maluku Utara yaitu
sebesar Rp 8.400.000,00 per tahun atau Rp 700.000,00 per bulan, maka
pendapatan yang diterima nelayan (ABK) masih di bawah standard UMP.
Nilai pendapatan tersebut diperoleh berdasarkan total produksi tangkapan
yang dihasilkan saat penelitian yaitu 66,75 ton per tahun yang dikalikan
99

dengan harga ikan rata-rata yaitu Rp 6000,00, maka pendapatan tahunan


yang diperoleh sebesar Rp 400.500.000,00. Setelah dikurangi dengan biaya
variabel per tahun (biaya operasional + biaya perawatan) sebasar Rp.
118.807.500,00 dan biaya retribusi per tahun Rp 6.007.500, maka
pendapatan bersih yang diterima sebesar Rp 281.895.000,00. Berdasarkan
sistem bagi hasil yang berlaku pada usaha perikanan layang di Maluku Utara
yaitu 60% untuk pemilik model dan 40% untuk nelayan, maka pemilik
modal memperoleh Rp 169.015.500,00 dan nelayan (crew) memperoleh Rp
112.677.000,00. Untuk nelayan (crew) dibagai lagi berdasarkan fungsi kerja
di lapangan yaitu juragan laut memperoleh 2 bagian sebesar Rp
15.023.400,00 per tahun, juragan mesin 1,5 bagian sebasar Rp
11.275.600,00 per tahun dan untuk nelayan (ABK) hanya memperoleh 1
bagian sebasar Rp. 7.511.800,00 per tahun atau Rp 6.26.433,00 per bulan.
Agar pendapatan yang diterima nelayan (ABK) bisa melebihi standard upah
minimum di Maluku Utara maka produktivitas mini purse seine yang ideal
yang harus dihasilkan sebasar 97,5 ton per tahun. Dengan demikian
pendapatan yang diterima nelayan (ABK) mencapai Rp 12.358.000,00 atau
1.029.833 per bulan (Lampiran 3).
Berdasarkan informasi ini maka dapat dibuat persamaan kendala tujuan
untuk hasil tangkapan ikan layang yang optimal yaitu :
DB1 - DA1 + 97,5 X1 = 19.754,25

2. Mengoptimalkan jumlah hari operasi sesuai dengan upaya penangkapan


pada tingkat fMEY
Berdasarkan hasil analisis effort optimum (Emey) pemanfaatan sumberdaya
ikan layang dengan mini purse seine sebagai unit penangkapan terplilih di
perairan Maluku Utara diperoleh nilai effort sebesar 28.135 trip per tahun.
Hasil observasi dan wawancara di lapangan menunjukkan bahwa unit
penangkapan mini purse seine dapat melakukan trip penangkapan rata-rata
sebesar 120 trip per tahun. Dengan demikian dapat di buat persamaan
kendala tujuan sebagai berikut :
120 X1 - DA2 <= 28.135
100

3. Mengoptimalkan tingkat penyerapan tenaga kerja


Jumlah tenaga kerja (nelayan) yang terserap dalam kegiatan pemanfaatan
perikanan layang di Maluku Utara sebanyak 3.698 orang. Hasil observasi
dan wawancara di lapangan menunjukkan bahwa unit penangkapan mini
purse seine dapat menyerap rata-rata jumlah nelayan sebanyak 13 orang per
unit. Berdasarkan informasi ini maka dapat ditulisakn persamaan kendala
tujuan untuk penyerapan tenaga kerja unit penangkapan terpilih (mini purse
seine) yang optimal sebagai berikut :
DB3 + 13 X1 >= 3698

Hasil olahan program computer LINDO ditunjukkan pada Gambar 19. Hasil
analisis ini menunjukkan bahwa alokasi unit penangkapan ikan layang pilihan
(mini purse seine) dalam mengeksploitasi sumberdaya ikan layang di perairan
Maluku Utara sebasar 202 unit. Adapun tenaga kerja (nelayan) optimum yang
terserap dalam pemanfaatan sumberdaya ikan layang dengan alat tangkap mini
purse seine sebesar 2626 0rang.

MIN DA1 + DB1 + DA2 + DB3


SUBJECT TO
DB1 - DA1 + 97.5 X1 = 19754.248
120 X1 - DA2 <= 28135
DB3 + 13 X1 >= 3698
END

LP OPTIMUM FOUND AT STEP 0

OBJECTIVE FUNCTION VALUE

1) 1064.100

VARIABLE VALUE REDUCED COST


DA1 0.000000 0.866667
DB1 0.000000 1.133333
DA2 0.000000 1.000000
DB3 1064.099976 0.000000
X1 202.607697 0.000000

Gambar 19 Hasil analisis data Linear Goal Programming.


101

4.5 Biologi Ikan Layang Biru (Decapterus macarellus)


4.5.1 Rasio kelamin dan sebaran frekuensi panjang
Berdasarkan pengamatan yang dilakukan terhadap 2000 ekor ikan layang
biru yang terdiri dari 645 ekor ikan jantan (32,25 %) dan 1355 ekor ikan betina
(67,75 %) dengan rasio kelamin jantan dan betina adalah 1 : 1,8 (Tabel 18). Tabel
18 secara jelas terlihat rasio kelamin ikan layang biru berdasarkan bulan
pengamatan memilki variasi yang nyata. Untuk bulan Januari rasio kelamin jantan
betina adalah 1 : 2, pada bulan Februari rasio kelamin jantan betina adalah 1 : 1,
bulan Maret dan bulan April rasio kelamin jantan adalah 1 : 2, sedangkan pada
bulan Mei rasio kelamin jantan betina adalah 1 : 1.

Tabel 18 Jumlah contoh ikan layang biru (D. macarellus) yang tertangkap
selama periode bulan pengamatan

Pengamatan Ikan Jantan Ikan Betina Rasio Ikan Ikan Jantan + Betina
(Bulan) (ekor) (ekor) Jantan Betina (ekor)
Januari 118 282 1:2 400
Pebruari 145 255 1:1 400
Maret 115 285 1:2 400
April 130 270 1:2 400
Mei 137 263 1:1 400
Jumlah 645 1355 1 : 1.8 2000
Persen 32,25 67,75 100,00

Hasil pengukuran panjang dan berat ikan layang biru selama penelitian
berdasarkan periode bulan pengamatan disajikan pada Tabel 19.

Tabel 19 Ukuran morfologi ikan layang biru (D. macarellus) yang tertangkap
selama periode bulan pengamatan, Januari - Mei 2008
Pengamatan Panjang Total (mm) Berat (gram)
Jantan Betina Jantan Betina
Januari 211 - 280 215 -279 101,8 – 219,8 110,3 – 270,4
Pebruari 216 - 282 218 - 299 106,2 – 235,8 113,5 – 279,8
Maret 223 - 311 225 - 315 115,5 – 288,3 110,3 – 307,5
April 225 - 304 228 - 312 121,8 – 265,8 120,2 – 298,8
Mei 224 - 302 226 - 310 109,5 – 265,5 125,3 – 291,4
Kisran 211 - 311 215 - 315 101,8 – 288,3 113 ,5- 307,5
102

Berdasarkan Tabel 19, menunjukkan bahwa panjang total terkecil dari ikan
layang biru jantan adalah 211 mm dengan berat 101,8 gram/ekor dan ikan layang
biru betina 215 mm dengan berat 113,5, sedangkan panjang total terbesar dari
ikan layang biru jantan 311 dengan berat 288,3 gram/ekor dan untuk betina 315
mm dengan berat 307,5 gram/ekor. Sebaran frekuensi ikan layang biru jantan,
betina maupun gabungan (jantan+betina) selama penelitian di sajikan pada
Gambar 20 - 22. Data selangakapnya dapat dilihat pada Lampiran 10 dan
lampiran 11.
Hasil pengukuran panjang total berdasarkan periode bulanan terhadap 2000
ekor ikan layang biru diperoleh kelompok ikan layang (gabungan) yang dominan
berbeda-beda. Kelompok ikan dengan frekuensi terbesar pada bulan Januari
berkisar antara 241 - 250 mm (30,5 %), pada bulan Februari frekuensi terbesar
masih berada pada kisaran 241 - 250 mm (26,50 %), pada bulan Maret berkisar
antara 261 - 270 mm (24,50 %), untuk bulan April dan Mei berada pada kisaran
ukuran yang sama yaitu 271 - 280 mm dengan persentase masing-masing (39 %)
dan (24,25 %). Adapun untuk hasil analisis frekuensi panjang ikan layang biru
dengan metode Tanaka menunjukkan bahwa baik ikan jantan maupun betina
masing-masing terdiri dari 3 (tiga) kelompok umur dengan modus ukuran atau
panjang rata-rata untuk ikan jantan 233,81 mm, 265,26 mm dan 286,47 mm
sedangkan kelompok umur untuk ikan betina dengan modus ukuran atau panjang
rata-rata 236,18 mm, 264,62 mm dan 284,93 mm.
103

Januari
35
N= 118
30

Fr ekuensi
25
20
15
10
5
0
216 227 238 249 260 271 282 293 304 315
Nilai Tengah Panjang (mm)

Pebruari
40 N= 145
35
Fr ekuensi

30
25
20
15
10
5
0
216 227 238 249 260 271 282 293 304 315
Nilai Tengah Panjang (mm)

40 Maret
N=115
35
Fr ekuensi

30
25
20
15
10
5
0
216 227 238 249 260 271 282 293 304 315
Nilai Tengah Panjang (mm)

45 April
40 N=130
35
Frekuensi

30
25
20
15
10
5
0
216 227 238 249 260 271 282 293 304 315
Nilai Tengah Panjang (m m )

35 Mei N=137
30
Fr e k ue ns i

25
20
15
10
5
0
216 227 238 249 260 271 282 293 304 315
Nilai Tengah Panjang (mm)

Gambar 20 Histogram frekuensi panjang ikan layang biru (D. macarellus)


jantan selama penelitian , Januari - Mei 2008.
104

Januari
100 N= 282

Fr ekuensi
80
60
40
20
0
220 230 240 250 260 270 280 290 300 310 320
Nilai Tengah Panjang (mm)

70 Pebrauri
60 N= 255
Fr ekuensi

50
40
30
20
10
0
220 230 240 250 260 270 280 290 300 310 320
Nilai Tengah Panjang (mm)

Maret
100 N= 285
Fr ekuensi

80
60
40
20
0
220 230 240 250 260 270 280 290 300 310 320
Nilai tengah Panjang (mm)

April
100
N=270
Fr ekuensi

80
60

40
20
0
220 230 240 250 260 270 280 290 300 310 320
Nilai Tengah Panjang (mm)

80
Mei
70
N=263
Fr ekuensi

60
50
40
30
20
10
0
220 230 240 250 260 270 280 290 300 310 320
Nilai Tengah Panjang (mm)

Gambar 21 Histogram frekuensi panjang ikan layang biru (D. macarellus)


betina selama penelitian, Januari - Mei 2008.
105

140 Januari
N=400
120

Fr ek uens i
100
80
60
40
20
0
215.5 225.5 235.5 245.5 255.5 265.5 275.5 285.5 295.5 305.5 315.5
Nilai Tengah Panjang (mm)

Pebruari
120
N=400
100
Fr ekuensi

80
60
40
20
0
215.5 225.5 235.5 245.5 255.5 265.5 275.5 285.5 295.5 305.5 315.5
Nilai Tengah Panjang (mm)

120 Maret
N=400
100
Fr ekuensi

80
60
40
20
0
215.5 225.5 235.5 245.5 255.5 265.5 275.5 285.5 295.5 305.5 315.5
Nilai Tengah Panjang (mm)

180 April
160 N=400
140
Fr ekuensi

120
100
80
60
40
20
0
215.5 225.5 235.5 245.5 255.5 265.5 275.5 285.5 295.5 305.5 315.5
Nilai Tengah Panjang (mm)

120 Mei
N=400
100
Fr ekuensi

80

60

40

20

0
215.5 225.5 235.5 245.5 255.5 265.5 275.5 285.5 295.5 305.5 315.5
Nilai Tengah Panjang (mm)

Gambar 22 Histogram frekuensi panjang ikan layang biru


(D. macarellus) jantan dan betina selama penelitian,
Januari - Mei 2008.
106

4.5.2 Parameter pertumbuhan


Hasil analisis frekuensi panjang menggunakan metode Tanaka menghasilkan
3 kelompok umur, yaitu kelompok umur pertama lebih muda dari kelompok umur
berikutnya sejalan dengan semakin penjangnya ukuran ikan. Dari hasil analisis
garis pertumbuhan berdasarkan metode Tanaka yang dilanjutkan dengan analisis
metode Plot Ford-Walford di peroleh nilai dugaan parameter pertumbuhan Von
Bartalanffy dari ikan layang biru di perairan Maluku Utara yang di sajikan pada
Tabel 20.

Tabel 20 Nilai dugaan parameter pertumbuhan ikan layang biru di


perairan Maluku Utara

Parameter pertumbuhan
Jenis kelamin ikan
L ∞ (L inf) K (bulan) t0
Layang jantan 330,34 0,33 -0,21
Layang betina 335,73 0,39 -0,25

Dengan demikian diperoleh persamaan pertumbuhan ikan layang biru


masing-masing sebagai berikut:
-0,33 (t + 0,21)
Lt = 330,34 [ 1- e ] untuk ikan layang biru jantan
-0,39 (t + 0,25)
Lt = 335,73 [ 1- e ] untuk ikan layang biru betina

Nilai dugaan parameter pertumbuhan yang diperoleh mengekspresikan


hubungan pola pertumbuhan dan umur maksimum dari populasi ikan layang biru
jantan dan betina di perairan Maluku Utara yang secara jelas dapat digambarkan
dalam bentuk kurva pertumbuhan yang disajikan pada Gambar 23.
107

L inf (Jantan) = 330.34 mm L inf (Betina) = 335.73 mm

350
300

P anjan g To tal (m m )
250
200
150
100
50
0
0 4 8 12 16 20 24 28 32 36 40 44 48
Umur (bulan)

Gambar 23 Pertumbuhan panjang layang biru (D. macarellus) jantan


dan betina di perairan Maluku Utara, bulan Januari - Mei
2008.

4.5.3 Hubungan panjang berat


Hasil analisis hubungan panjang berat ikan layang biru yang di hitung
secara terpisah jantan dan betina selanjutnya di masukkan ke dalam logaritma
dengan persamaan linier sederhana sesuai dengan Effendie (1997), di peroleh
model pertumbuhan : Log W = -3.2619 + 2.2853 Log L (untuk ikan jantan)
dan Log W = -4.9068 + 2.9809 Log L ( untuk ikan betina ) dengan nilai r 0,763
untuk ikan jantan dan 0,801 untuk ikan betina (Tabel 21 ).

Tabel 21 Hasil analisis hubungan panjang berat ikan layang biru (D. macarellus)
di perairan Maluku Utara, Januari – Mei 2008

Parameter Ikan jantan Ikan betina Gabungan (jantan + betina)

Jumlah contoh (n) 645 1355 2000

Kisaran L (mm) 211 - 311 215 - 315 211 - 315

Intercept (a) -3.2619 -4.9068 -4.3210

Slope (b) 2.2853 2.9809 2.7336

R Square (R2) 0.7635 0.8010 0.7661


108

Nilai r pada penelitian ini mengandung arti bahwa adanya keeratan


hubungan antara panjang dan berat tubuh dari ikan layang. Nilai koefisien regresi
(b) yang diperoleh menunjukkan keseimbangan pertumbuhan panjang dan berat
ikan. Dari model pertumbuhan yang dihasilkan, diperoleh nilai b (slope) untuk
ikan layang biru jantan maupun betina lebih kecil dari 3 (b < 3). Hal ini
menunjukkan bahwa pertumbuhan ikan layang biru di perairan Maluku Utara
berpola ”Alometrik Minor, yang mengandung arti pertumbuhan panjang tubuh
ikan lebih cepat dari pertumbuhan beratnya. Model hubungan panjang berat ikan
layang biru jantan dan betina di perairan Maluku Utara disajikan pada Gambar 24.

(a) jantan
3.00

2.50

2.00
B e ra t (L o g W )

Log W = - 3.2619 + 2.2853 Log L


1.50 R2 = 0.7635

1.00

0.50

0.00
2.30 2.32 2.34 2.36 2.38 2.40 2.42 2.44 2.46 2.48 2.50 2.52
Panjang (Log L)

(b) betina

3.00

2.50
Berat (L o g W )

2.00

1.50
Log W = - 4.9068 + 2.9809 Log L
1.00 R2 = 0.801

0.50

0.00
2.32 2.34 2.36 2.38 2.40 2.42 2.44 2.46 2.48 2.50 2.52
Panjang (Log L)

Gambar 24 Hubungan panjang berat ikan layang biru (D. macarellus)


jantan (a) dan betina (b) di perairan Maluku Utara,
Januari - Mei 2008.
109

4.5.4 Tingat kematangan gonad

Hasil pengamatan tingkat kematangan gonad (TKG) terhadap 645 ekor ikan
layang biru contoh jantan dan 1355 ekor ikan layang biru contoh betina, diperoleh
beberapa tingkat kematangan gonad yaitu TKG I (inmature), TKG II (maturing)
TKG III (mature), TKG IV (ripe) dan TKG V (spent). Persentase tingkat
kematangan gonad ikan layang biru jantan dan betina berdasarkan periode bulan
pengamatan di sajikan pada Tabel 22. Tabel 22 terlihat jelas bahwa ikan layang
biru jantan maupun betina yang tertangkap didominasi ikan-ikan yang belum
matang gonad yaitu 57,93% ikan jantan dan 53,14% ikan betina, sedangakan ikan
layang biru yang sudah matang gonad sebanyak 42.07% untuk ikan jantan dan
46,86% ikan betina.

Tabel 22 Persentase tingkat kematangan gonad ikan layang biru (D. macarellus)
jantan (a) dan betina (b) di perairan Maluku Utara , Januari - Mei 2008

(a)
Periode Belum Matang Gonad Matang Gonad Jumlah
Pengamatan Jumlah Persen Jumlah Persen Contoh
(Bulan) (ekor) (%) (ekor) (%) (ekor)
Januari 85 72,03 33 27,97 118
Pebruari 87 60,00 58 40,00 145
Maret 53 46,09 62 53,91 115
April 70 53,85 60 46,15 130
Mei 79 57,66 58 42,34 137
Total 374 57,93 271 42,07 645

(b)
Periode Belum Matang Gonad Matang Gonad Jumlah
Pengamatan Jumlah Persen Jumlah Persen Contoh
(Bulan) (ekor) (%) (ekor) (%) (ekor)
Januari 200 70,92 82 29,08 282
Pebruari 149 58,43 106 41,57 255
Maret 118 41,40 167 58,60 285
April 126 46,67 144 53,33 270
Mei 127 48,29 136 51,71 263
Total 720 53,14 635 46,86 1355
110

Ikan layang biru jantan dan betina yang sudah matang gonad (TKG III dan
IV), ditemukan sepanjang periode penelitian. Jumlah terbanyak ikan layang biru
jantan yang matang gonad yaitu pada bulan Maret 53,91% dan jumlah terbanyak
ikan layang biru betina yang matang gonad ditemukan pula pada bulan Maret
58,60 %.
Fluktuasi tingkat kematangan gonad tiap jenis kelamin ikan layang biru
berdasarkan periode bulan pengamatan disajikan pada Gambar 25.
(a)

40.00
Persen (% ) C ontoh

35.00
TKG I
30.00
25.00 TKG II
20.00 TKG III
15.00 TKG IV
10.00
TKG V
5.00
0.00
Januari Pebruari Maret April Mei
Periode Pengamatan (bulan)

(b)
45
40
35
Persen (%) Contoh

TKG I
30
TKG II
25
TKG III
20
TKG IV
15
TKG V
10
5
0
Januari Pebruari Maret April Mei
Periode Pengamatan (bulan)

Gambar 25 Fluktuasi tingkat kematangan gonad ikan layang biru (D.


macarellus) jantan (a) dan betina (b) berdasarkan bulan
pengamatan Januari - Mei 2008.

Penyebaran tingkat kematangan gonad berdasarkan waktu pengamatan dari


tiap jenis ikan contoh menunjukkan adanya suatu pola pemijahan yang tetap. Hal
ini digambarkan dari persentase jumlah ikan layang biru (Decapterus macarellus)
contoh yang matang gonad (TKG III dan IV). Pada Gambar 26, menjelaskan
111

bahwa peningkatan jumlah ikan layang biru (Decapterus macarellus) contoh


betina yang matang gonad selalu diikuti dengan peningkatan jumlah ikan layang
biru contoh jantan. Hal tersebut memberi peluang yang cukup baik bagi induk-
induk ikan layang biru untuk melakukan perkawinan.

Jumlah Matang Gonad (%)


70 jantan
58.60
betina
60 53.91 53.33 51.71
50 46.15
41.57 42.34
40.00
40
29.08
27.97
30
20
10
0
Januari Pebruari Maret April Mei

Periode Pengamatan (bulan)

Gambar 26 Jumlah ikan layang biru (D. macarellus) jantan dan betina
yang matang gonad berdasarkan periode bulan
pengamatan, Januari - Mei 2008.

4.5.5 Ukuran ikan pertama kali matang gonad

Sebanyak 2000 ekor ikan layang biru (Decapterus macarellus) diukur dan
diamati, terdiri dari 645 ekor jantan dan 1355 ekor betina. Distribusi ikan layang
biru jantan berdasarkan niali tengah panjang, tingkat kematangan gonad serta
perhitungan ukuran panjang pertama kali matang gonad dan distribusi ikan layang
biru betina berdasarkan nilai tengah panjang, tingkat kematangan gonad serta
perhitungan ukuran pertama kali matang gonad dapat dilaihat pada Lampiran 14
dan 15. Ikan layang biru jantan mempunyai kisaran panjang antara 211-311 mm
dan ikan betina antara 215 – 315 mm. Ikan layang biru jantan yang matang
gonad sebanyak 271 ekor ekor (42,07 %) dan ikan betina yang matang gonad
sebanyak 635 ekor (46,86 %). Hal ini menunjukkan bahwa pada penelitian ini
ikan yang belum matang gonad lebih mendominasi hasil tangkapan yaitu 55 %
dari total hasil tangakapan 2000 ekor.
Hasil pengamatan terhadap jumlah ikan layang biru yang matang gonad
pada berbagai ukuran panjang tubuh menunjukkan bahwa ikan layang biru jantan
112

maupun betina mencapai kematangan gonad pertama kali pada ukuran panjang
total rata-rata 258 mm atau 25,8 cm.
Berdasarkan data pengamatan, ikan layang biru jantan maupun betina
dengan panjang total < 25,8 cm, diperoleh sebanyak 336 ekor (52.1 %) untuk ikan
jantan dari total 645 ekor yang diamati. Sedangkan ikan layang biru betina
didapatkan sebanyak 741 ekor (54,7 %) dari total 1355 ekor. Kenyataan ini
menunjukkan bahwa ikan layang biru yang tertangkap didominasi ukuran yang
lebih kecil dari ukuran pertama kali matang gonad.

4.5.6 Fekunditas
Hasil pengamatan gonad pada TKG IV ikan layang biru betina sebanyak
100 gonad, diperoleh kisaran fekunditas ikan layang biru di perairan Maluku
Utara antara 28875 - 84000 butir. Adanya variasi jumlah telur pada berbagai
ukuran panjang ikan layang biru menunjukkan kemungkinan adanya kegiatan
pengeluaran telur yang terjadi setiap saat. Hasil perhitungan fekunditas ikan
layang biru contoh dapat dilihat pada Tabel 23.

Tabel 23 Variasi fekunditas terhadap panjang tubuh ikan layang biru


(D. macarellus) di perairan Maluku Utara, bulan Januari – Mei 2008

Nilai Tengah Panjang Frekuensi Fekunditas (butir/ikan) Rata-rata


(mm) Interval
219,5 0 0 0
229,5 0 0 0
239,5 0 0 0
249,5 4 28875 - 33750 31313
259,5 13 30900 - 44850 37875
269,5 19 33150 - 51750 42450
279,5 45 40125 - 63750 51938
289,5 3 54375 - 61575 57975
299,5 9 60225 - 74100 67163
309,5 2 65175 - 76575 70875
319,5 5 65625 - 84000 74813

Hasil analisis regresi antara panjang total ikan dengan jumlah telur
memperoleh suatu hubungan yang erat dengan koefisien korelasi (r = 0.80), dan
persamaa garis regresinya F = -154463.45 + 736.52 L, dimana F adalah fekunditas
113

(jumlah telur) dan L adalah panjang total ikan (mm), artinya bahwa respon jumlah
telur sangat dipengaruhi oleh panjang total sebesar 80 % atau bisa dikatakan
besarnya sumbangan panjang total terhadap jumlah telur adalah sebesar 80 %. Hal
tersebut mengandung arti bahwa semakain panjang induk ikan maka semakin
bertambah jumlah telurnya.

4.6 Mesh Size Minimum Alat Tangkap Ikan Layang Pilihan


Mesh Size jaring minimum ditentukan berdasarkan pendekatan biologis
merujuk pada ukuran ikan dewasa yaitu ikan sudah pernah memijah minimal satu
kali atau ukuran ikan pertama kali matang gonad. Oleh karena itu, maka pertama-
tama harus dihitung pada panjang berapa ikan pertama kali matang gonad, berapa
lingkar badan ikan pada ukuran tersebut dan selanjutnya ditentukan mesh size
jaring. Data panjang dan lingkar badan ikan layang biru pada ukuran pertama kali
matang gonad selama penelitian disajikan pada Tabel 24.

Tabel 24 Data panjang dan lingkar badan ikan layang biru pada ukuran pertama
kali matang gonad di perairan Maluku Utara

Jumlah
Panjang (mm) Lingkar badan (mm)
Sampel Ikan
1 211 99
2 212 99
3 215 104
4 222 108
5 229 109
. . .
. . .
. . .
. . .
2000 315 160

Hasil perhitungan hubungan antara lingkar badan dengan panjang ikan


diperoleh hubungan yang linear dengan koefisien korelasi 0,89. Persamaan
hubungan antara panjang ikan (X) dan lingkar kepala (Y) didapatkan Y = -2.3283
+ 0.4836 X seperti disajikan pada Gambar 27.
114

180 y = 0.4836x - 2.3283

Lingkar Badan (mm)


160 R2 = 0.8992
140
120
100
80
60
40
20
0
0 50 100 150 200 250 300 350
Panjang Ikan (mm)

Gambar 27 Hubungan lingkar badan dan panjang ikan layang biru.

Berdasarkan perhitungan ukuran pertama kali matang gonad diperoleh


panjang total rata-rata 258 mm (25,8 cm) untuk jantan maupun betina. Sebagai
faktor kehati-hatian dan keamanan populasi, maka dalam penentuan ukuran mata
jaring sebagai faktor pembanding merujuk pada ukuran ikan pertama kali matang
gonad yang diperoleh yaitu 258 mm (25,8 cm). Dari panjang tersebut
disubsitusikan pada persamaan regresi dan didapatkan lingkar badan rata-rata ikan
layang biru yaitu 10,15 cm. Alat tangkap mini purse seine yang digunakan dalam
menangkap ikan layang di perairan Maluku Utara memiliki mesh size 2,54 cm –
3.81 (1 inci – 1,5 inci) untuk bagian badan dan sayap, sedangkan bagian kantong
ukuran mesh size 1.90 cm (0,75 inci). Dengan demikian mesh siz jaring alat
tangkap yang digunakan dalam menangkap ikan layang biru tersebut tidak
mampu meloloskan ikan pada ukuran pertama kali matang gonad dan ukuran
ikan dibawah ukuran pertama kali matang gonad atau dengan kata lain mesh size
alat tangkap yang digunakan tidak selektif terhadap ukuran ikan yang baru
pertama kali memijah. Dari total data sampel hasil tangkapan yang diperoleh
menunjukkan 1077 ekor atau 53,85% ikan layang biru berukuran panjang lebih
kecil dari 25,8 cm.
115

4.7 Pola Musim dan Daerah Penangkapan Ikan Layang

4.7.1 Indeks musim penangkapan ikan layang

Untuk menduga pola musim penangkapan, maka dilakukan analisis indeks


musim penangkapan (IMP). Analisis ini dilakukan berdasarkan data upaya (effort)
dan hasil tangkap (catch) yang didaratkan di Pelabuhan Perikanan Nusantara
Ternate. Asumsi yang digunakan dalam analisis ini di antaranya : (1) ikan
menyebar merata diseluruh perairan Maluku Utara; (2) jumlah upaya tangkap
(effort) dan hasil tangkapan (catch) yang didaratkan di PPN Ternate berasal dari
perairan Maluku Utara; (3) perairan Maluku Utara dianggap tertutup bagi
masuknya jenis ikan layang dari perairan lain; (4) data hasil tangkapan per upaya
penangkapan ikan yang diambil dari PPN Ternate dari tahun 2003 - 2007
mencerminkan fluktuasi data hasil tangkapan di perairan Maluku Utara.
Nilai indeks musim penangkapan (IMP) digunakan untuk menentukan
waktu yang tepat dalam melakukan operasi penangkapan ikan. Kriteria untuk
menentukan musim penangkapan ikan layang adalah jika nilai IMP sama dengan
atau lebih dari 100% dikatakan sebagai musim penangkapan, sedangkan bukan
musim penangkapan jika nilai IMP dibawah atau kurang dari 100%. Nilai IMP
juga digunakan untuk menduga keberadaan ikan di suatu perairan. Jika nilai IMP
lebih atau sama dengan 100% mengindikasikan bahwa ikan di perairan tersebut
cukup melimpah, begitu pun sebaliknya jika nilai IMP kurang dari 100% berarti
jumlah ikan di perairan tersebut dibawah kondisi normal.
Hasil analisis Indeks Musim Penangkapan ikan layang di perairan Maluku
Utara menunjukkan bahwa nilai IMP lebih dari 100% dicapai pada bulan Maret
- Oktober dan nilai IMP tertinggi dicapai pada bulan Agustus (142,64%).
Selanjutnya secara berturut-turut nilai IMP dari yang terbesar-terkecil yaitu:
bulan Juli (113,99%), September (111,55%), Juni (111,16%), Maret (110,48%)
April (109,94 %), Mei (102,52 %), dan Oktober (101,19%) sedangkan nilai IMP
dibawah 100% dicapai pada bulan Nopember - Februari dengan nilai IMP
terendah terjadi pada bulan Desember (70,57%), selanjutnya pada bulan Januari
(71,18 %), Nopember (72,62%) dan Februari (82,16%). Secara rincin niali IMP
ikan layang di Maluku Utara disajikan pada Tabel 25.
116

Tabel 25 Indeks musim penangkapan (IMP) ikan layang di perairan Maluku


Utara, tahun 2003-2007
No Bulan Indeks Musim Penangkapan (IMP %)
1 Desember 70,57
2 Januari 71,18
3 Februari 82,16
4 Maret 110,48
5 April 109,94
6 Mei 102,52
7 Juni 111,16
8 Juli 113,99
9 Agustus 142,64
10 September 111,55
11 Oktober 101,19
12 Nopember 72,62

Berdasarkan hasil tersebut menunjukkan sebagai musim penangkapan dan


puncak musimnya terjadi pada bulan Agustus yang ditandai dengan nilai IMP
tertinggi. Sedangkan selain bulan-bulan yang memiliki nilai IMP dibawah 100%
bukan merupakan musim penangkapan ikan layang. Namun berdasarkan
keseluruhan nilai IMP terlihat bahwa pada setiap bulan kisarannya diatas 50%,
hal ini dapat diduga bahwa ikan layang di Maluku Utara tidak mengalami musim
peceklik.
Hasil analisis pola musim penangkapan, menunjukkan bahwa musim
penangkapan ikan layang terjadi pada saat musim timur, musim peralihan timur-
barat dan musim peralihan barat-timur . Sedangkan pada musim barat barat (bulan
Desember - Pebruari) bukan merupakan musim penangkapan ikan. Pada bulan-
bulan ini hanya sedikit perahu maupun kapal penangkapan yang melakukan
kegiatan penangkapan ikan. Hal ini disebabkan pada bulan-bulan tersebut ditandai
dengan adanya gelombang yang cukup besar, sehingga dapat menghambat
jalannya proses mengoperasian alat tangkap. Grafik pola musim penangkapan
ikan layang di perairan Maluku Utara terdapat pada Gambar 28.
117

160
140
120

IM P (%) 100
80
60
40
20
0
Des Jan Feb Mar Apr Mei Jun Juli Ags Sep Okt Nov

Barat B-T Timur T-B

BULAN

Gambar 28 Pola musim penangkapan ikan layang di perairan


Maluku Utara.

4.7.2 Pemetaan daerah dan musim penangkapan ikan layang

Pemetaan daerah penangkapan dan musim penangkapan ikan layang di


perairan Maluku Utara dilakukan dengan menggunakan data dan informasi yang
bersumber dari hasil wawancara dengan nelayan yang berpangkaalan di PPP
Bacan, PPI Dufa-dufa, PPP Tobelo dan PPN Ternate serta data titik koordinat
lokasi pemasangan rumpon yang di catat secara langsung dengan menggunakan
GPS (Global position system) ketika mengikuti operasi penangkapan. Dari kedua
jenis data tersebut dioverlay dan membentuk suatu peta tematik yang merupakan
peta daerah penangkapan dan musim penangkapan ikan layang di perairan
Maluku Utara.
Hasil plot pada peta tematik menggunakan perangkat lunak AreView Gis 33,
pada Gambar 29, menunjukkan bahwa daerah penangkapan ikan layang di
perairan Maluku Utara umumnya berada di daerah pantai atau berjarak 2 - 3 mil.
Hal demikian terjadi karena pemanfaatan sumberdaya ikan layang umumnya
dilakukan oleh nelayan skala kecil dengan menggunakan unit penangkapan yang
relatif kecil sehingga nelayan tidak memilki keberanian untuk menjangkau daerah
penagkapan ikan di laut lepas.
118

Daerah penangkapan ikan layang di Maluku Utara tidak tersebar merata di


setiap perairan, hanya terkonsentrasi pada daerah tertentu. Pemanfaatan ikan
layang di bagian tengah Maluku Utara dilakukan oleh nelayan yang berpangkalan
di PPN Ternate dan PPI Dufa-dufa dan sebagian besar daerah penangkapannya
berada di perairan barat Halmahera antara pulau Ternate hingga ujung Utara
Halmahera diantaranya mencakup wilayah perairan Batang Dua, Ternate,
Tidore, Mare, Moti, Makian hingga perairan sekitar pulau Kayoa. Dan biasanya
kegiatan penangkapan di lokosi-lokasi tersebut di lakukan pada akhir bulan
Februari hingga Mei dan bulan Juli hingga September.
Pemanfaatan ikan layang di bagian selatan Maluku Utara tersebar di
sepanjang ujung selatan Halmahera hingga bagian barat pulau Bacan tepatnya di
perairan antara pulau Kasiruta hingga perairan laut Maluku. Kegiatan
penangkapan di daerah tersebut biasanya dilakukukan oleh nelayan yang
berpangkalan di PPP Bacan dan kegiatan penangkapan dilakukan sekitar bulan
April - Oktober. Sedangkan pemanfaatan ikan layang di perairan bagian Utara
Maluku Utara dilakukan oleh nelayan yang berpangkalan di PPP Tobelo yaitu
sebagian besar tersebar di perairan utara Morotai dan perairan sekitar Teluk Kao,
di mana waktu penangkapan dilakukan dari bulan April - September. Umumnya
puncak-puncak waktu penangkapan ikan layang di perairan Maluku utara dimulai
dari bulan Maret hingga Oktober.
119

126°30' 127°00' 127°30' 128°00' 128°30' 129°00' 129°30'

SAMUDRA PASIFIC

2°30'

2°30'
Berebere
P. Rau
P. MOROTAI

Musim Penangkapan :
April - September
Asimiro Sabatai Baru
2°00'

2°00'
Laloda PPI
Î
Tobelo
1°30'

1°30'
P. Mayao
Lolobata

o
a
K
P. Tifure

k
l u
Wasile

e
1°00'

1°00'
Musim Penangkapan :

T
Februari - Mei dan
Juli - September PPN / PPI
P. Ternate
Î
P. Tidore
P. HALMAHERA
0°30'

0°30'
Segea
P. Moti

P. Makian

Mafa
L A U T H A L M A H E R
L A U T M A L U K P. Gebe
P. Kayoa
0°00'

0°00'
Gurapin

Malidi Musim Penangkapan :


P. KASIRUTA April - Oktober

Yaba
0°30'

0°30'
P. BACAN
Busu
Î
PPI Sepi

P. MANDIOLI

P. Damar
1°00'

1°00'

126°30' 127°00' 127°30' 128°00' 128°30' 129°00' 129°30'

Peta Lokasi Penangkapan Ikan Peta Tunjuk : Digambar Oleh :


Keterangan : Irham
di Perairan Maluku Utara C461060071
Garis Pantai
N
Î Lokasi PPI / PPN
Lokasi Penangkapan
W E Ikan Layang
Darat Program Studi Perikanan
Sekolah Pascasarjana
S Kedalaman Institut Pertanian Bogor (IPB)
Skala 1 : 2.000.000 0 - 200 m
Sumber Peta :
30 0 30 200 - 1000 m 1. Peta RBI Bakosurtanal
> 1000 m 2. C - Map World Windows V.3.0
Km
3. Survey Lapangan

Sumber. Data diolah, 2008.

Gambar 29 Peta daerah penangkapan dan musim penangkapan ikan layang di


perairan Maluku Utara.
120

5 PEMBAHASAN

5.1 Teknologi Penangkapan Ikan Layang Pilihan


Teknologi penangkapan ikan layang yang digunakan oleh nelayan Maluku
Utara saat ini adalah mini purse seine, jaring insang hanyut dan bagan perahu.
Ketiga alat tangkap ini dianalisis berdasarkan aspek biologi, teknis, sosial,
ekonomi, dan keramahan lingkungan untuk mengetahui urutan prioritas
pengembangan perikanan layang di Maluku Utara.

5.1.1 Aspek biologi


Berdasarkan analisis kriteria aspek biologi (Tabel 9), untuk spesies
komposisi target spesies (%), ukuran hasil tangkapan utama (cm), dan lama waktu
musim penangkapan ikan layang (bulan) alat tangkap mini purse seine menempati
pada urutan prioritas pertama, jaring insang hanyut pada urutan prioritas kedua
dan bagan perahu pada urutan prioritas ketiga. Hal ini disebabkan karena sifat alat
yang dioperasikan dengan cara melingkari gerombolan ikan dengan menarik tali
kerut bagian bawah jaring dapat dikuncupkan dan jaring akan berbentuk seperti
mangkok, pada kondisi ini ikan-ikan yang sudah terkurung sulit untuk meloloskan
diri. Hal ini sesuai dengan pernyataan Baskoro (2002), bahwa pukat cincin
dioperasikan dengan cara melingkari gerombolan ikan baik dengan menggunakan
satu kapal ataupun dua unit kapal. Setelah gerombolan ikan terkurung, kemudian
bagian bawah jaring dikerutkan hingga tertutup dengan menarik tali kerut yang
dipasang sepanjang bagian bawah melalui cincin.
Hal lain yang menyebabkan persentase ikan layang lebih banyak tertangkap
dengan pukat cincin karena alat tangkap pukat cincin didesain untuk menangkap
gerembolan ikan yang hidup di permukaan air dan memanfaatkan sifat tingkah
laku dari ikan yang senang membentuk schooling. Nugroho (2005) menyatakan
hasil tangkapan yang mendominasi hasil tangkapan pukat cincin biasanya adalah
jenis ikan layang yaitu antara Decapterus russelli dan Decapterus macrosoma.
Jaiswar et al.( 2001), menyatakan bahwa pukat cincin adalah alat
penangkapan yang bertujuan untuk menangkap gerombolan ikan permukaan
(pelagic fish). Selanjutnya dikatakan tingkah laku ikan layang membentuk
121

gerombolan dekat dasar perairan pada siang hari dan mencari makan pada malam
hari di permukaan perairan.
Hasil analisis (Tabel 9), menunjukkan bahwa jaring insang hanyut adalah
alat tangkap yang mampu menangkap ikan layang dalam ukuran rata-rata terbesar
bila dibandingkan dengan pukat cincin dan bagan perahu. Hal tersebut sangat
berkaitan dengan selektivitas dari ketiga alat tangkap tersebut, dimana jaring
insang hanyut adalah alat tangkap yang memilki selektivitas yang tinggi di
bandingkan dengan alat tangkap pukat cincin dan bagan perahu. Sebagaimana
penelitian yang dilakukan di kabupaten Selayar, Sulawesi Selatan oleh Arifin
(2008) menyatakan bahwa alat tangkap jaring insang hanyut termasuk kategori
alat tangkap ramah lingkungan, sedangkan pukat cincin dan bagan perahu
termasuk alat tangkap yang kurang ramah lingkungan.

5.1.2 Aspek teknis


Berdasarkan analisis aspek teknis (Tabel 10), yang dikaji berkaitan dengan
efektivitas suatu unit penangkapan ikan, dimana alat tangkap tersebut dikatakan
efektif jika alat tangkap tersebut memiliki produktivitas yang tinggi. Berdasarkan
kriteria-kriteria penilaian yang digunakan dalam aspek ini adalah nilai produksi
per tahun, produksi per trip dan produksi per tenaga kerja menempatkan alat
tangkap mini purse seine menempati urutan pertama dalam usaha perikanan
layang yang ada di perairan Maluku Utara.
Tingginya produktivitas yang dihasilkan alat tangkap mini purse seine
disebabkan karena prinsip pengoperasian alat tangkap ini yang bersifat aktif
dengan cara melingkari tujuan penangkapan, mengkerucutkan bagian bawah
jaring sehingga membentuk kantong menyebabkan ikan-ikan layang yang telah
berada dalam catchable area akan sulit untuk meloloskan diri. Sedangkan untuk
alat tangkap jaring insang hanyut dan bagan perahu yang bersifat pasif dengan
prinsip pengoperasian menghadang gerakan renang ikan sehingga peluang untuk
mendapatkan hasil tangkapan relatif lebih sedikit dibandingkan dengan alat
tangkap mini purse seine.
Faktor lain yang menunjang tingginya produktiviatas alat tangkap mini
purse seine adalah banyaknya jumlah tenaga kerja per armada tangkap dan ukuran
alat tangkap (ukuran jaring) yang relatif lebih besar dibandingkan dengan ukuran
122

alat tangkap jaring insang hanyut dan bagan perahu serta trip penangkapan
bersifat one day fishing, artinya jumlah hari penangkapan juga lebih banyak
dibandingkan dengan kedua alat tangkap lainnya. Hal ini sesuai dengan hasil
penelitian Irham et al., (2008), bahwa faktor-faktor teknis produksi yang
berpengaruh nyata terhadap produksi tangkapan alat tangkap mini purse seine
antara lain jumlah tenaga kerja, jumlah bahan bakar, jumlah hari tangkapan, tinggi
jaring dan panjang jaring.

5.1.3 Aspek sosial


Dalam suatu usaha perikanan FAO dalam Asian Productivity Organisation
Development menyatakan bahwa dalam bidang perikanan berkelanjutan faktor
sosial harus menjadi perhatian penting. Berdasarkan hasil skoring untuk aspek
sosial (Tabel 11), alat tangkap mini purse seine berada pada urutan pertama,
bagan perahu pada urutan kedua dan jaring insang hanyut menempati urutan
prioritas ketiga. Hal ini disebabkan karena alat tangkap mini purse seine mampu
memberikan kontribusi pendapatan nelayan yang lebih tinggi dibandingkan alat
tangkap jaring insang hanyut dan bagan perahu. Demikian juga dari aspek tenaga
kerja alat tangkap mini purse seine mampu menyerap tenaga kerja lebih banyak
dibandingkan dengan kedua alat tangkap lainnya. Tingkat penguasaan teknologi
ketiga alat tangkap tersebut tidak mengalami kesulitan, hal ini disebabkan pada
umumnya nelayan sudah beberapa tahun menggunakan alat tangkap tersebut, dan
pada umumnya setelah tamat sekolah mereka terjun menjadi nelayan untuk
membantu perekonomian keluarga dan pekerjaan sebagai nelayan merupakan
pekerjaan yang diwariskan secara turun-temurun.
Tingkat ketergantungan terhadap sumberdaya perairan pada masyarakat
nelayan di Maluku Utara sangat tinggi. Pofesi nelayan umumnya dijalani seumur
hidup. Keadaan ini menunjukkan bahwa perikanan telah menjadi bagian dari
kehidupan nelayan, dan bahkan menjadi suatu cara hidup. Artinya, apabila terjadi
gangguan pada kondisi ekologi sumberdaya perikanan, maka gangguan ini akan
mempengaruhi juga pada kehidupan nelayan umumnya. Sulit pula dihindarkan
sifat sumberdaya perikanan yang bersifat public property. Impliksinya adalah
“milik setiap orang bukanlah milik siapapun” (Andrianto, 2006). Oleh karena itu
123

kompetisi dan tindakan-tindakan lain yang bersifat mencemari atau merusak


menjadi gejala yang tidak bisa dihindarkan.

5.1.4 Aspek ekonomi


Berdasarkan hasil skoring untuk aspek ekonomi (Tabel 12), yang dikaji dari
segi kelayakan usaha menempatkan tangkap alat tangkap mini purse seine pada
urutan prioritas pertama sedangkan jaring insang hanyut menempati urutan
prioritas kedua dan bagan perahu beraada pada prioritas ketiga
Hasil analisis kriteria kelayakan usaha pada aspek ekonomi dilakukan guna
mengetahui kelayakan usaha penangkapan dari setiap alat tangkap untuk
mengetahui keuntungan usaha yang di terima nelayan. Hasil analisis perhitungan
nilai Net B/C mengambarkan skala penerimaan atas biaya dan modal adalah
untuk alat tangkap mini purse seine sebesar 2,88. Hal ini mempunyai arti bahwa
pendapatan yang diperoleh sebesar 2,88 kali dari atas besarnya biaya yang
dikeluarkan sehingga usaha tersebut layak untuk dikembangkan.
Nilai Net B/C alat tangkap mini purse seine dan nilai Net B/C dari alat
tangkap jaring insang hanyut lebih tinggi dari pada nilai B/C alat tangkap bagan
perahu . Sedangkan untuk nilai NPV mini purse seine lebih besar dari kedua alat
tangkap lainnya yaitu sebesar Rp 379.547.452 dimana nilai NPV > 0
menunjukkan nilai rata-rata keuntungan bersih yang diperoleh selama 10 tahun ke
depan atau dengan kata lain nilai ini menunjukkan bahwa investasi usaha
perikanan mini purse seine di Maluku Utara memberikan keuntungkan sebesar
379.547.452 selama 10 tahun menurut nilai sekarang.
Nilai IRR yang diperoleh sebesar 55,53 % untuk alat tangakp mini purse
seine. Nilai ini menunjukkan bahwa investasi usaha perikanan mini purse seine di
Maluku Utara setiap satu rupiah yang akan diinvestasikan akan memberikan
keuntungan sebesar Rp. 55,53 %, nilai IRR yang diperoleh mini purse seine lebih
besar dibandingkan dengan alat tangkap jaring insang hanyut dan bagan perahu
yaitu dengan nilai sebesar 53, 75% dan 39,33 %.
Berdasarkan hasil perhitungan BEP yang dihasilkan dari unit penangkapan
mini purse seine diperoleh nilai produksi per tahun sebesar Rp. 68.399.099,76
dengan volume produksi per tahun sebesar 31.019,66 kg. BEP merupakan
jumlah dan nilai minimal yang harus diperoleh agar dapat menutupi total biaya
124

nilai produksi per tahun sehingga usaha ini akan memberikan keuntungan apabila
berada pada titik sama atau lebih besar dari Rp. 68.399.099,76 dengan volume
produksi per tahun sebesar 31.019,66 kg.
Nilai payback periode yang diperoleh alat tangkap mini purse seine yaitu 2
tahun 1 bulan. Nilai yang diperoleh ini lebih kecil dibandingkan dengan alat
tangkap jaring insang hanyut dan bagan perahu yaitu masing-masing 2 tahun 4
bulan dan 3 tahun 1 bulan. Dengan demikian unit penangkapan mini purse seine
membutuhkan periode waktu yang lebih singkat dalam pengembalian modal usaha
dibandingkan alat tangkap jaring insang hanyut dan bagan perahu.
Berdasarkan ketiga nilai kriteria kelayakan tersebut, dengan NPV bernilai
positif, IRR lebih besar dari tingkat diskonto yang digunakann dan nilai Net B/C
lebih dari satu, maka unit penagkapan mini purse seine di Maluku Utara layak
untuk dikembangkan secara finansial dan menjadi prioritas utama dalam
pengembangan perikanan ikan layang di Maluku Utara.
Dalam pengembangan perikanan ikan layang di Maluku Utara alat tangkap
mini purse seine merupakan alat tangkap prioritas yang disarankan untuk
dikembangkan harus tetap memperhatikan berapa jumlah alat tangkap yang
optimal untuk dioperasikan di perairan Maluku Utara sehingga tidak akan akan
terjadi kelebihan penggunaan alat tangkap ini. Dalam beberapa penelitian juga
dikatakan bahwa alat tangkap purse seine mampu memberikan keuntungan yang
maksimal tetapi selain dengan melakukan analisis finansial juga untuk ke depan
terlebih perlu faktor-faktor produksi terhadap usaha perikanan purse seine.
Masyahoro (2001) menyatakan bahwa faktor lama operasi/trip dan ukuran
panjang jaring purse seine akan memberikan pengaruh yang nyata terhadap
besarnya hasil tangkapan dalam operasi penangkapan ikan layang mengunakan
alat tangkap purse seine.
Keunggulan alat tangkap tangkap pukat cincin disebabkan antara lain karena
tingginya produktivitas menyebabkan pendapatan kotor yang cukup besar
dibandingkan kedua alat tangkap tersebut sehingga dari segi ekonomi alat tangkap
mini purse seine menempati urutan pertama, jaring insang hanyut pada urutan
kedua dan bagan perahu pada urutan ketiga.
125

5.1.5 Aspek keramahan lingkungan


Berdasarkan hasil analisis keramahan lingkungan dari ketiga alat tangkap
(Tabel 13), menempatkan alat tangkap jaring insang hanyut pada urutan prioritas
pertama, selanjutnya mini purse seine, sedangkan bagan perahu termasuk alat
tangkap yang dianggap kurang ramah lingkungan dan berada pada prioritas ke
tiga.
Jaring insang hanyut dikategorikan alat tangkap yang ramah lingkungan
karena alat tangkap ini dioperasikan di kolom air. Selain itu, ukuran ikan dan jenis
ikan yang tertangkap juga selektif sehingga tidak akan mempengaruhi
keseimbangan struktur umur populasi ikan (Suharyanto, 1998).
Tujuan utama penangkapan dari alat tangkap pukat cincin adalah kelompok
ikan pelagis kecil dan ikan yang dominan tertangkap pada alat tangkap ini adalah
ikan layang atau di Maluku Utara dikenal dengan “ikan sorihi”. Berdasarkan hasil
pengelompokkan alat tangkap pada tingkat keramahan lingkungan pukat cincin di
kategorikan pada alat tangkap yang kurang ramah lngkungan. Hal ini sesuai
dengan pendapat (Atmaja dan Haluan, 2003) bahwa alat tangkap purse seine
memang cukup selektif terhadap ukuran dan jenis ikan target spesies sehingga
tidak mengganggu siklus hidup dan pertumbuhan populasi, namun demikian pada
kondisi-kondisi tertentu terdapat beberapa populasi yang ukurannya berbeda dan
berukuran kecil. Bila menggunakan rumpon maka beberapa ikan yang berukuran
kecil juga ikut tertangkap, sehingga kategori ramah lingkungan alat tangkap pukat
cincin tergolong dalam kategori sedang.
Bagan perahu dikategorikan alat tangkap yang kurang ramah lingkungan
disebabkan karena selektivitas dan hasil tangkapan sampingan (by catch) memiliki
nilai yang rendah mampu menangkap semua jenis ikan yang ada dalam areal
penangkapan dari berbagai jenis dan ukuran ini dibandingkan dengan alat
tangkap lainnya dan jika dihubungkan dengan nilai aspek biologi menunjukkan
bahwa hasil-hasil tangkapan ikan layang yang diperoleh relatif berukuran kecil.
Hal ini sesuai dengan pendapat Najamuddin (2004), yang menyatakan alat
tangkap bagan perahu termasuk alat tangkap yang tidak selektif dimana
menangkap banyak jenis ikan dengan ukuran mulai dari kecil sampai besar.
126

Menurut Shepherd (1992), menyatakan bahwa penangkapan ikan-ikan kecil


lebih berbahaya dari pada penangkapan ikan memijah, karena lebih banyak
jumlah ikan yang diambil dengan berat yang sama, dan juga ikan-ikan lebih kecil
lebih mudah ditangkap bertahun-tahun sampai memijah. Jika ditangkap pada fase-
fase sebelum memijah, mereka tidak mempunyai kesempatan untuk memijah,
sementara tidak semua ikan yang memijah dapat ditangkap dan mereka
mempunyai kesempatan memijah sekurang-kurangnya sekali.
Hal ini sesuai dengan pendapat Monintja (2000), bahwa alat tangkap ikan
disebut ramah lingkungan bila memenuhi 9 kriteria tersebut selanjutnya menurut
Arimoto (1999) diacu dalam Samuel (2003), teknologi penangkapan ikan ramah
lingkungan adalah suatu alat tangkap yag tidak memberikan dampak lingkungan,
tidak merusak dasar perairan (benthik disturbance), kemungkinan hilangnya alat
tangkap kecil, serta kontribusinya terhadap polusi rendah.

5.1.6 Aspek gabungan biologi, teknis, sosial, ekonomi dan keramahan


lingkungan

Berdasarkan hasil dari total standarisasi aspek biologi, teknis, sosial,


ekonomi, dan keramahan lingkungan unit penangkapan ikan layang (mini purse
seine, jaring insang hanyut, bagan perahu) di perairan Maluku Utara (Tabel 15),
maka yang menjadi prioritas pengembangan adalah alat tangkap mini purse seine
pada urutan pertama, jaring insang hanyut pada urutan kedua dan bagan perahu
pada urutan ketiga. Hal ini menunjukkan bahwa dalam usaha perikanan ikan
layang yang diprioritaskan untuk dikembangkan adalah alat tangkap mini purse
seine sesuai dengan pendapat Haluan dan Nurani (1988), dan Yuliansyah (2002)
yang menyatakan bahwa alat tangkap purse seine adalah alat tangkap yang paling
produktif untuk dikembangkan.
Analisis aspek gabungan dari aspek biologi, teknik, sosial, ekonomi dan
keramahan lingkungan dimaksudkan untuk menilai penampilan alat tangkap
secara menyeluruh. Hasil dari analisis ini merupakan salah satu indikator
menyeluruh tentang bagaimana keberlanjutan dari suatu usaha penangkapan ikan
layang yang ada di perairan Maluku Utara dan urutan prioritas dari alat tangkap
yang ada.
127

5.2 Optimalisasi Pengelolaan Perikanan Ikan Layang


5.2.1 Potensi lestari (maximum sustainable yield/MSY)
Data produksi dan upaya tangkap yang digunakan dalam penelitian ini
didasarkan pada jenis alat tangkap yaitu, mini purse seine, jaring insang hanyut
dan bagan perahu. Standarisasi alat tangkap sangat diperlukan untuk
menyeragamkan kemampuan suatu alat tangkap ikan dalam menangkap ikan.
sehingga diperoleh catch gabungan, total effort standar dan CPUE standar. Hasil
standarisasi menghasilkan mini purse seine sebagai alat tangkap standar, karena
alat tangkap ini mempunyai nilai CPUE per tahun lebih besar dibandingkan alat
tangkap jaring insang hanyut dan bagan perahu.
Hasil korelasi antara CPUE dengan effort pada Gambar 16 menunjukkan
hubungan yang negatif, yaitu semakin tinggi effort semakin rendah nilai CPUE.
Korelasi negatif antara CPUE dengan effort mengindikasikan bahwa produktivitas
alat tangkap layang akan menurun apabila effort mengalami peningkatan.
Perhitungan potensi maksimum lestari yang dianalisis menggunakan metode
Schaefer menghasilkan nilai hasil tangkapan maksimum yang diperbolehkan
(Cmsy) sebesar 20.109,43 ton per tahun. Nilai Cmsy yang diperoleh menunjukkan
tingkat produksi maksimum lestari yaitu hasil tangkapan ikan layang yang dapat
ditangkap tanpa mengancam kelestarian sumberdaya perikanan yang terdapat di
perairan Maluku Utara. Sedangkan nilai upaya penangkapan lestari yang
diperoleh sebesar 32.448 trip standard mini purse seine . Nilai upaya penangkapan
yang diperoleh ini sudah mendekati nilai upaya penangkapan aktual (2007). Hal
ini berarti peluang untuk penambahan armada penangkapan ikan layang di
perairan Maluku Utara sangat kecil.
Hubungan antara upaya penangkapan dan hasil tangkapan ikan layang di
perairan Maluku Utara (Gambar 17) berbentuk parabola (fungsi kuadratik),
artinya setiap penambahan tingkat upaya penangkapan (E) maka akan
meningkatkan hasil tangkapan (C) sampai mencapai titik maksimum, kemudian
akan terjadi penurunan hasil tangkapan untuk tiap peningkatan intensitas
pengusahaan sumberdaya.
128

5.2.2 Bio-ekonomik perikanan layang


Potensi ekonomi lestari (MEY) adalah nilai maksimum hasil tangkapan yang
dapat memberikan keuntungan maksimum. MEY perlu dihitung agar aktivitas
eksploitasi sumberdaya perikanan dapat berjalan dengan sehat, dan efisien untuk
mendapatkan keuntungan yang maksimum tanpa mengganggu proses regenerasi
atau daya pulih sumberdaya tersebut. Harga ikan dan biaya operasional
merupakan komponen penting yang diperlukan untuk menghitung nilai hasil
tangkapan yang memberikan keuntungan maksimum.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa biaya penangkapan yang dibutuhkan
dalam ekspolitasi sumberdaya ikan layang sebesar Rp 988,375 per trip
penangkapan. Biaya penangkapan yang digunakan ini adalah biaya penangkapan
pada alat tangkap standard ((mini purse seine), dimana dalam usaha penangkapan
ikan layang memerlukan biaya tetap (fixed cost) dan biaya variabel (variable)
cost). Dalam penelitian ini, yang dimaksud biaya tetap adalah biaya yang sifatnya
tidak habis digunakan dalam satu kali operasional penangkapan. Biaya tetap
terdiri atas penyusutan kapal, penyusutan alat tangkap, penyusutan mesin dan
perlengkapan lainnya. Biaya tidak tetap adalah biaya yang sifatnya habis pakai
pada setiap operasi penangkapan. Biaya tidak tetap meliputi biaya bahan bakar,
es ,ransum dan retribusi. Adapun harga jual ikan layang (Decapterus spp) di
Maluku Utara berkisar antara Rp 5500,00 sampai dengan Rp 6500,00 dengan
harga rata-rata (p) sebesar Rp 6.000,00 per kg .
Analisis optimalisasi bio-ekonomi yang dilakukan dalam penelitian ini
menggunakan model Gordon-Schaefer pada berbagai kondisi pengelolaan
menunjukkan bahwa pada kondisi pengeloaan MSY memiliki hasil tangkapan
lebih besar dibandingkan dengan hasil tangkapan yang diperoleh pada kondisi
pengelolaan MEY, aktual dan open acces. Hasil tangakpan ikan layang pada
kondisi MSY adalah kondisi hasil tangkapan yang maksimum lestari dimana jika
hasil tangkapan sudah melebihi kondisi hasil tangkapan ini maka mengakibatkan
sumberdaya ikan layang tersebut menjadi tidak sustainable.
Perbandingan upaya penangkapan pada berbagai kondisi pengelolaan
(Gambar 19), mengilustrasikan bahwa upaya penangkapan yang dilakukan armada
penangkapan ikan layang pada kondisi open acces lebih besar dibandingkan pada
129

ketiga kodisi pengeloaan lainnya. Sebaliknya bila dilihat dari rente ekonomi
tertinggi atau keuntungan optimum lestari yang diperoleh nelayan dalam upaya
pengelolaan sumberdaya ikan layang di perairan Maluku Utara, dicapai pada
kondisi pengelolaan MEY dan terendah yaitu pada kondisi open acces.
Berkurangnya nilai rente ekonomi dalam pengusahaan perikanan laying ini akan
terus berlangsung hingga dicapai keuntungan normal yaitu pada saat tingkat upaya
penangkapan yang dilakukan mencapai keseimabangan open acces ( π = 0 ). Jika
terjadi peningkatan upaya penangkapan melebihi kondisi ini maka akan
mengakibatkan kerugian bagi nelayan. Dengan adanya keuntungan dalam
pengelolaan sumberdaya menjadi pendorong bagi nelayan untuk mengembangkan
armada penangkapan maupun upaya penangkapan dengan tujuan untuk
memperoleh keuntungan sebanyak-banyaknya.
Pada kondisi pengelolaan open acces, meskipun total penerimaan semakin
menurun, selagi total penerimaan masih lebih besar dari total biaya penangkapan
(rente ekonomi positif), maka kondisi ini akan tetap dijalankan oleh nelayan untuk
bertahan dalam usaha penangkapan, dimana nelayan akan meningkatkan effort.
Jika tingkat effort sudah berlebihan, sehingga total penerimaan lebih kecil dari
total biaya penangkapan, maka sebagian pelaku perikanan akan keluar dari
kegiatan penangkapan tersebut, yang berarti menurunkan effort.
Pemanfaatan sumberdaya perikanan secara lestari perlu dilakukan, guna
sustainability spesies tertentu, stok yang harus lestari, walaupun rekruitmen oleh
alam terus berjalan, namun effort yang meningkat tajam setiap tahunnya akan
berimbas kepada produksi dan pendapatan nelayan itu sendiri. Pada kondisi open
acces tidak ada batasan bagi nelayan untuk tetap memanfaatkan sumberdaya.
Secara ekonomi pengusahaan sumberdaya pada kondisi open access tidak
menguntungkan karena keuntungan komparatif sumberdaya akan terbagi habis.
Akibat sifat sumberdaya yang open access maka nelayan cenderung akan
mengembangkan jumlah armada penangkapan maupun tingkat upaya
penangkapannya untuk mendapatkan hasil tangkapan yang sebanyak-banyaknya,
maka tidak efisien secara ekonomi karena keuntungan yang diperoleh lama
kelamaan akan berkurang atau tidak memperoleh keuntungan sama sekali. Oleh
karena itu pengusahaan sumberdaya perlu dibatasi pada kondisi maximum
130

economic yield atau terkendali agar dapat memberikan keuntungan yang


maksimum dikarenakan upaya penangkapan yang terkendali sehingga total
penerimaan yang diperoleh lebih besar dari pada total pengeluaran.

5.3 Alokasi Optimum Upaya Penangkapan Ikan Layang


Pengalokasian jumlah unit penangkapan dari teknologi penangkapan ikan
terpilih dilakukan dengan tujuan agar kegiatan perikanan layang di Maluku Utara
dapat berjalan efisien, lestari dan berkelanjutan.
Model linear goal programming yang digunakan dalam penelitian ini
memiliki tiga variabel keputusan dan tiga kendala tujuan. Variabel keputusan
yang dimaksud adalah jumlah unit penangkapan ikan layang terpilih (mini purse
seine) sebagai (X1). Adapun ketiga kendala tujuan yang dimaksud adalah: (1)
mengoptimalkan hasil tangkapan sumberdaya ikan layang dengan pertimbangan
MEY, (2) mengoptimalkan upaya penangkapan/jumlah hari operasi penangkapan
sesuai dengan upaya penangkapan pada tingkat fMEY, dan (3) mengoptimalkan
tingkat penyerapan tenaga kerja.
Hasil olahan LINDO dalam optimasi alokasi armada penangkapan ikan
layang pilihan di perairan Maluku Utara memperlihatkan nilai fungsi tujuan
sebesar 1064. Hal ini menunjukkan bahwa dari tujuan atau target yang diinginkan,
maka tujuan atau target yang tercapai adalah mengoptimalkan hasil tangkapan
sumberdaya ikan layang dengan pertimbangan MEY dan mengoptimalkan jumlah
hari operasi sesuai dengan upaya penangkapan pada tingkat EMEY. Hal ini
ditunjukkan dari nilai variabel deviasional (DA atau DB) sama dengan nol.
Sedangkan tujuan untuk mengoptimalkan tingkat penyerapan tenaga kerja
merupakan tujuan yang tidak tercapai, dimana jumlah tenaga kerja yang terserap
hanya mencapai 2626 orang.
Jika dibandingkan hasil analisis alokasi unit penangkapan mini purse siene
(202 unit) dengan jumlah mini purse siene yang ada pada tahun 2007 (213 unit),
maka jelas perlu adanya rasionalisasi jumlah unit penangkapan, yaitu disarankan
untuk melakukan pengurangan jumlah mini purse siene sebesar 11 unit.
Pengurangan ini sangat tergantung dari nilai parameter yang digunakan untuk
131

analisis pengalokasian unit penangkapan, utamanya adalah produktivitas unit


penangkapan dan jumlah hasil tangkapan pada kondisi maximum economic yield
(Cmey) nya.
Nilai poduktivitas dalam analisis ini menggunakan nilai produktivitas ideal
usaha yang menguntungkan, yang nilainya nyata lebih tinggi dari nilai
produktivitas aktual sekarang, dengan demikian jumlah unit penangkapan yang
dialokasikan jelas lebih sedikit dari yang ada.
Selanjutnya, untuk mengimplementasikan hasil yang diperoleh, tentunya
tidak langsung dilakukan pengurangan atau pembatasan jumlah mini purse siene
secara drastis. Hal ini dapat dilakukan secara bertahap dan rasional, seperti
melakukan pengalihan usaha dari unit penangkapan yang berlebih ke unit
penangkapan yang belum optimal, dan tidak lagi memperpanjang ijin usaha unit
penangkapan mini purse siene hingga mencapai titik optimalnya.

5.4 Biologi Ikan Layang Biru (Decapterus macarellus)

Hasil pengamatan terhadap 2000 ekor ikan layang biru yang terdiri dari 645
ekor ikan jantan dan 1355 ekor ikan betina diperoleh perbandingan rasio kelamin
jantan dan betina adalah 1 : 1,8 (Tabel 18).
Berdasarkan data rasio kelamin tersebut menunjukkan bahwa persentase
ikan layang biru betina lebih besar dari ikan jantan, hal tersebut diduga di
pengaruhi oleh tingginya faktor kematian penangkapan disamping itu diduga laju
mortalitas alaminya juga berbeda. Hal lain yang menyebabkan ketidak
seimbangan rasio kelamin jantan dan betina diduga karena pada bulan-bulan
tersebut sebagian besar ikan-ikan betina melakukan pemijahan. Hal tersebut
sesuai pernyataan Kilingbell (1978), bahwa terjadinya penyimpangan dari konsep
keseimbangan rasio kelamin merupakan suatu pertanda bahwa proses pemijahan
sedang terjadi. Wahyono dan Dharmadi (2000), melakukan penelitian di perairan
Sulawesi Utara tentang beberapa aspek biologi perikanan malalugis biru
dihasilkan rasio kelamin jantan dan betina adalah 1 : 1.
Menurut Bal dan Rao (1984) diacu dalam Nugroha dan Mardilijah (2006),
variasi dalam perbandingan kelamin sering terjadi dikarenakan 3 faktor yaitu
perbedaan tingkah laku seks, kondisi lingkungan dan penangkapan. Pendugaan
132

rasio jenis kelamin sangat dibutuhkan sebagai bahan pertimbangan dalam


produksi, rekruitmen dan konservasi sumberdaya ikan tersebut.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa ikan layang biru yang tertangkap
memiliki ukuran yang bervariasi, dimana panjang rata-rata maupun berat rata-rata
ikan betina lebih besar dibandingkan dengan ikan jantan. Frekuensi panjang ikan
layang biru yang tertangkap di perairan Maluku Utara umumnya berukuran relatif
besar dibandingkan dengan jenis ikan pelagis kecil lainnya. Penelitian Hariati
(2004) di perairan Banda Aceh menunjukkan bahwa ikan layang biru yang
ditemukan berukuran antara 16 – 32 cm FL, dengan modus 28,5 cm. Sementara di
perairan sebelah barat Sumatera Utara berukuran antara 16 – 26 cm FL dengan
modus 20,5 dan 23,5 cm. Sedangkan di perairan Parigi (Teluk Tomini) berukuran
16 cm – 27 cm FL, dengan modus 19,5 dan 25 cm. Dengan demikian maka
ukuaran ikan layang biru yang tertangkap di perairan Maluku Utara berukuran
relatif lebih besar dibandingakan dengan ukuran ikan yang di temukan pada
penelitian-penelitian tersebut.
Ukuran panjang total layang biru yang diperoleh selama penelitian
menunjukkan varaisi ukuran yang berbeda. Adanya variasi ukuran dari ikan
layang biru jantan maupun betina tersebut, diduga karena populasi ikan layang di
perairan Maluku Utara terdiri dari beberapa kelompok, dimana hal tersebut dapat
terlihat jelas dari pergeseran ukuran kelompok panjang dalam populasi
berdasarkan waktu dari ikan tersebut.
Frekuensi panjang ikan layang biru jantan dan betina yang diperoleh selama
penelitian memiliki 3 (tiga) kelompok umur, yaitu kelompok umur pertama lebih
muda dari kelompok umur berikutnya sejalan dengan semakin penjangnya ukuran
ikan. Kelompok umur tersebut jelas menunjukkan adanya variasi ukuran ikan
layang biru yang tertangkap di lokasi penelitian.
Berdasarkan dugaan parameter pertumbuhan ikan layang biru di perairan
Maluku Utara dengan metode Plot Ford-Walford di peroleh nilai dugaan
parameter pertumbuhan Von Bartalanffy yaitu panjang maksimum (L ∞ ), nilai
koefiesien pertumbuhan (K ) dan umur teoritis (t0) ikan layang biru betina lebih
besar dibandingkan dengan layang biru jantan.
133

Kurva pertumbuhan panjang layang biru jantan jantan maupun betina


(Gambar 26), mengekspresikan hubungan pola pertumbuhan dan umur maksimum
dari populasi ikan layang biru jantan dan betina di perairan Maluku Utara. Dari
kurva tersebut terlihat bahwa ikan layang biru jantan mencapai panjang
maksimum 330,34 mm pada umur 48 bulan atau 4 tahun, demikian pula ikan
layang biru betina mencapai panjang maksimum 335,73 mm pada umur 48 bulan
atau 4 tahun. Dengan umur tersebut menunjukkan pada umur 48 bulan atau 4
tahun tidak terjadi lagi pertumbuhan atau penambahan panjang baik untuk ikan
layang biru jantan maupun betina. Hal ini sesuai dengan pernyataan Widodo
(1988), menjelaskan bahwa umur maksimum dari ikan layang kira-kira 5 tahun.
Panjang infinity (L ∞ ) merupakan ukuran panjang maksimum ikan layang di
tersebut di daerah penangkapan atau bisa disebut juga dengan panjang maksimum.
Nilai L ∞ dan K yang diperoleh dalam penelitian ini (Tabel 20) apabila

dibandingkan dengan nilai penelitian L ∞ dan K hasil penelitian Widodo (1998)

dengan ikan spesies yang sama di Laut Jawa dengan nilai L ∞ = 256 mm dan
K = 0,50 per bulan menunjukkan perbedaan yang cukup besar. Menurut Csirke
(1988) diacu dalam Merta (1992) perbedaan nilai parameter pertumbuhan (L ∞
dan K) dari spesies ikan yang sama pada lokasi yang berbeda di pengaruhi oleh
faktor lingkungan masing-masing perairan seperti ketersediaan makanan, suhu
perairan, oksigen terlarut, ukuran ikan, kematangan gonad. Widodo (1988)
kecenderungan ketidaktepatan nilai parameter pertumbuhan ikan dipengaruhi
oleh komposisi ikan contoh yang dianalisis dari pada cara atau metode yang
digunakan.
Menurut Effendie (1997), pertumbuhan ikan di suatu perairan banyak
dipengaruhi oleh faktor lingkungan antara lain jumlah makanan yang di makan,
jumlah ikan di suatu perairan tersebut, jenis makanan yang dimakan, kondisi
oseanografi perairan (suhu, oksigen dan lain-lain) dan kondisi ikan (umur,
keterunan dan genetik).
Berdasarkan hasil analisis hubungan panjang berat ikan layang biru yang di
hitung secara terpisah baik jantan maupun betina di peroleh nilai koefiseien
regresi lebih kecil dari 3 dan nilai r yaitu untuk ikan jantan 0.7635 dan ikan betina
134

0.8010. Nilai koefisien regresi (b) yang diperoleh menunjukkan keseimbangan


pertumbuhan panjang dan berat ikan. Hal ini menunjukkan bahwa pertumbuhan
ikan layang biru di perairan Maluku Utara berpola ”Alometrik Minor, yang
mengandung arti pertumbuhan panjang tubuh ikan lebih cepat dari pertumbuhan
beratnya. Sedangkan nilai r yang tinggi mengindikasikan bahwa adanya keeratan
hubungan antara panjang dan berat tubuh dari ikan layang.
Penelitian pernah dilakukan oleh beberapa peneliti pada daerah yang
berbeda diantaranya, di Laut Jawa dilakukan oleh Widodo (1988) didapatkan nilai
b = 2,997 untuk ikan jantan dan b = 3,034 untuk ikan betina dan di perairan Teluk
Ambon dilakukan oleh Sumadhiharga (1991) diperoleh nilai b = 2,298. Perbedaan
nilai b dari beberapa penelitian ini diduga karena dipengaruhi oleh perbedaan
musim dan tingkat kematangan gonad serta oleh aktivitas penangkapan. Menurut
Graham (1935) diacu dalam Soumokil (1996) tekanan penangkapan yang cukup
tinggi pada suatu daerah turut mempengaruhi kehidupan dan pertumbuhan
populasi ikan.
Tingkat kematangan gonad adalah tahap tertentu perkembangan gonad
sebelum dan sesudah ikan memijah (Effendie, 1979). Penentuan tingkat
kematangan gonad sangat penting di lakukan, karena sangat berguna untuk
mengetahui perbandingan antara gonad yang masak dengan stok yang ada di
perairan, ukuran pemijahan, musim pemijahan dan lama pemijahan dalam suatu
siklus (Effendie, 1997). Penentuan tingkat kematangan gonad dapat dilakukan
dengan 2 cara yaitu secara morfologis (visual) dan secara histologis. Untuk
penelitian di perairan Maluku Utara penentuan tingkat kematangan gonad
dilakukan secara morfologis (visual).
Hasil pengamatan tingkat kematangan gonad ikan layang biru contoh jantan
dan betina selama peneltian, ditemukan dalam beberapa tingkat kematangan
gonad yaitu TKG I (inmature), TKG II (maturing) TKG III (mature), TKG IV
(ripe) dan TKG V (spent). Berdasarkan Tebel 22, menjelaskan bahwa Ikan layang
biru jantan dan betina yang tertangkap selama penelitian didominasi ikan-ikan
yang belum matang gonad. Kondisi seperti ini apabila terjadi dalam waktu yang
panjang, maka berdampak buruk pada kelangsungan hidup dari sumberdaya ikan
layang di perairan Maluku Utara.
135

Hasil pengamatan menunjukkan ikan layang biru jantan dan betina yang
telah matang gonad ditemukan sepanjang periode penelitian dengan jumlah
terbanyak ditemukan pada bulan Maret. Hal ini menunjukkan bahwa untuk ikan
layang biru betina di perairan Maluku Utara diduga memijah hampir setiap bulan
dengan puncak pemijahan pada bulan April atau Mei. Hal tersebut senada dengan
pernyataan Widodo (1988), berdasarkan hasil penelitian terhadap musim
pemijahan ikan layang di Laut Jawa, diperoleh ikan jenis tersebut dengan tingkat
kematangan gonad IV terbanyak pada bulan Maret dan bulan Juli dengan puncak
pemijahan terjadi pada bulan April/Mei dan Agustus/September.
Gambar 29, menjelaskan bahwa peningkatan jumlah ikan layang biru
(Decapterus macarellus) contoh betina yang matang gonad selalu diikuti dengan
peningkatan jumlah ikan layang biru contoh jantan. Hal tersebut memberi peluang
yang cukup baik bagi induk-induk ikan layang biru untuk melakukan perkawinan.
Berdasarkan hal tersebut dapat diduga bahwa ikan layang biru (Decapterus
macarellus) di perairan Maluku Utara dapat memijah beberapa kali dalam satu
musim dengan puncak musim pemijahan pada bulan April atau bulan Mei. Hal ini
sesuai di kemukakan oleh Suwarso dan Hariati (1988), bahwa dari variasi indeks
kematangan gonad menurut ukuran dan tingkat kematangan gonad diketahui
pemijahan ikan layang biru berlangsung relatif lama dan bersifat sebagian-
sebagian (partial spawning).
Pendugaan ukuran pertama kali matang gonad merupakan salah satu cara
untuk mengetahui perkembangan populasi dalam suatu perairan, seperti bilamana
ikan akan memijah, baru memijah atau sudah selesai memijah. Berkurangnya
populasi ikan di masa mendatang dapat terjadi karena ikan yang tertangkap adalah
ikan yang akan memijah atau ikan belum pernah memijah, sehingga sebagai
tindakan pencegahan diperlukan penggunaan alat tangkap yang selektif.
Hasil pengamatan terhadap jumlah ikan layang biru yang matang gonad
pada berbagai ukuran panjang tubuh menunjukkan bahwa ikan layang biru jantan
maupun betina mencapai kematangan gonad pertama kali pada ukuran panjang
total rata-rata 25,8 cm. Hasil penelitian ini berbeda dengan hasil penelitian
Hariati (2004), yang dilakukan di perairan Banda Aceh menghasilkan panjang
rata-rata pertama kali matang gonad ikan layang biru (Decapterus macarellus)
136

yaitu 24,9 cm, sedangkan di perairan Teluk Tomini dan di periaran Laut Sulawesi
pada tahun 1997 adalah 22,8 cm. Saat pertama kali ikan mencapai kematangan
gonad menurut Effendie (1992), di pengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya,
spesies, umur ikan, ukuran dan kemampuan adaptasi ikan terhadap lingkungan
(faktor internal) serta makanan, suhu dan arus (faktor eksternal). Perbedaan
ukuran ikan pada saat pertama kali matang gonad tidak sama disebabkan oleh
perbedaan strategi hidup atau pola adaptasi ikan itu sendiri.
Dengan tertangkapnya khususnya ikan layang biru betina yang matang
gonad pada berbagai ukuran mulai dari ukuran yang terkecil sampai ukuran yang
besar memberikan petunjuk bahwa ikan-ikan tersebut bertelur dan memijah lebih
dari satu kali dalam hidupnya. Selain melalui pengamatan tingkat kematangan
gonad, musim pemijahan ikan dilakukan di suatu perairan dapat diteliti melalui
pengamatan terhadap jumlah telur yang sudah masak sebelum dikeluarkan pada
waktu ikan memijah (Batts,1972).
Fekunditas adalah jumlah telur masak sebelum dikeluarkan pada waktu ikan
memijah. Menurut Effendie (1992), kegunaan fekunditas adalah sebagai bagaian
dari studi sistimatik atau studi mengenai ras, dinamika populasi, produkstivitas,
potensi reproduksi dan sebagainya. Sedangkan dalam bidang akuakultur jumlah
telur yang dihasilkan berguna dalam persiapan fasilitas kultur ikan.
Hasil pengamatan terhadap contoh ikan layang biru betina yang telah,
diperoleh kisaran fekunditas ikan layang biru di perairan Maluku Utara antara
28875 - 84000 butir. Adanya variasi jumlah telur pada berbagai ukuran panjang
ikan layang biru menunjukkan kemungkinan adanya kegiatan pengeluaran telur
yang terjadi setiap saat.
Fekunditas yang diperoleh dalam penelitian ini memiliki kisaran yang
berbeda dengan hasil penelitian beberapa penelitian sebelumnya antara lain.
Soumokil (1996) yang meghitung jumlah telur dari 100 ekor ikan Decapterus
russelli betina dengan ukuran nilai tengah panjang 170 mm-280 mm mengandung
telur sebanyak 20874 -70112 butir. Burhanuddin dan Djamali (1977) yang telah
mencacah 20 ekor ikan Decapterus russelli betina dari perairan Pulau Panggang
(Pulau-Pulau Seribu) dengan ukuran panjang baku 166-299 mm mengandung
telur sebanyak 20000-80000 butir. Penelitian yang pernah dilakukan di perairan
137

Teluk Ambon diperoleh ikan momar betina mengandung telur sebanyak 6641 -
97724 butir. Adanya perbedaan jumlah telur dari berbagai hasil penelitian
disebabkan oleh perbedaan ukuran panjang dan diameter telur yang diteliti
(Burhanuddin dan Djamali, 1977).
Hasil analisis regresi antara panjang total ikan dengan jumlah telur
memperoleh suatu hubungan yang erat dimana respon jumlah telur sangat
dipengaruhi oleh panjang total ikan layang biru betina yang telah siap memijah.
Atau mengandung arti bahwa semakain panjang induk ikan maka semakin
bertambah jumlah telurnya.

5.5 Mesh Size Minimum Alat Tangkap Ikan Layang Pilihan


Pembatasan mesh size jaring yang dapat digunakan untuk menangkap jenis
ikan tertentu merupakan suatu keharusan dalam penerapan kode etik perikanan
bertanggung jawab (CCRF). Penentuan ukuran mata jaring harus didasarkan pada
kondisi biologi ikan-ikan yang ada dilapangan.
Lingkar badan ikan diukur sebagai dasar dalam penentuan ukuran mata
jaring. Pada umumnya ikan akan terjerat pada jaring apabila lingkar kepala ikan
sama dengan ukuran mata jaring.
Hasil perhitungan ukuran pertama kali matang gonad ikan layang biru
jantan dan betina selama penelitian diperoleh panjang total rata-rata 258 mm (25,8
cm). Sebagai faktor kehati-hatian dan keamanan populasi, maka dalam penentuan
ukuran mata jaring sebagai faktor pembanding merujuk pada ukuran ikan pertama
kali matang gonad yang diperoeh yaitu 258 mm (25,8 cm). Dari panjang tersebut
disubstitusikan pada persamaan regresi dan didapatkan lingkar badan ikan layang
biru yaitu 10,15 cm. Alat tangkap mini purse seine yang digunakan dalam
menangkap ikan layang di Maluku Utara memiliki ukuran mesh size 2,54 cm –
3.81 (1 inchi – 1,5 inchi) untuk bagian badan dan sayap, sedangkan bagian
kantong ukuran mesh size 1.90 cm (0,75 inchi). Dengan demikian ukuran mata
jaring alat tangkap yang digunakan dalam menangkap ikan layang biru tersebut
tidak mampu meloloskan ikan pada ukuran pertama kali matang gonad dan ukuran
ikan dibawah ukuran pertama kali matang gonad atau dengan kata lain mesh size
138

alat tangkap yang digunakan tidak selektif terhadap ukuran ikan yang baru
pertama kali memijah.
Data sampel hasil tangkapan yang diperoleh menunjukkan 1077 ekor atau
53,85% ikan layang biru berukuran panjang lebih kecil dari 25,8 cm. Hal ini
menunjukkan bahwa hasil tangkapan didominasi oleh ikan-ikan yang belum
pernah memijah. Secara biologis, hal ini sangat mengganggu keberlanjutan
populasi ikan layang. Melihat kondisi tersebut dan untuk lebih mempertahankan
keberlanjutan populasi ikan layang biru di perairan Maluku Utara, diperlukan
penerapan aturan penggunakan ukuran mata jaring minimum.
Dalam rangka penerapan perikanan yang bertanggung jawab, pengaturan
mata jaring (mesh size) alat tangkap mni purse seine terhadap ukuran ikan di
perairan Maluku Utara perlu diperhatikan, agar dapat diloloskan ukuran ikan yang
belum pernah memijah (panjang total < 25,8 cm). Ukuran mata jaring alat tangkap
mini purse seine yang sebaiknya digunakan agar dapat meloloskan ukuran ikan
yang belum pernah memijah yaitu 5,08 cm (2 inchi) untuk bagian badan dan
sayap, sedangkan bagian kantong ukuran mesh size 2,54 cm (1 inchi).
Sebagaimana telah di atur dalam Peraturan Menteri Pertanian Nomor
123/Kpt/Um/3/1975 tentang ketentuan lebar mata jaring purse seine yang
digunakan dalam penangkapan ikan-ikan pelagis kecil, menetapkan bahwa
melarang penggunaan ukuran mata jaring purse seine kurang dari dua inci pada
bagian sayap dan kurang dari satu inci pada bagian kantong.
Pengaturan ukuran mata jaring minimum lebih ditekankan pada bagian
badan dan sayap karena kedua bagian ini memiliki persentase ukuran terbesar
dari total panjang alat tangkap yaitu mencapi 80%. Di samping itu pengaturan
kembali mesh size pada bagian badan dan sayap dilakukan dengan tujuan agar
ikan-ikan pada ukuran pertama kali matang gonad dan ukuran ikan di bawah
ukuran pertama kali matang gonad dapat lolos ketika proses pelingkaran jaring
(setting) di lakukan.
Perbaikan selektivitas alat penangkap ikan dapat dilakukan dengan
penerapan ukuran mata jaring minimum atau dengan sistem penggunaan jaring
tertentu dengan ukuran mata jaring yang lebih besar yang berfungsi sebagai jalan
bagi ikan-ikan ukuran kecil untuk meloloskan diri karena menurut (FAO, 1995),
139

informasi ukuran mata jaring minimun sangat penting dalam penerapan kode etik
perikanan yang bertanggung jawab. Ukuran mata jering yang digunakan
memberikan gambaran ukuran ikan yang akan tertangkap.
Pembatasan ukuran mata jaring yang dapat digunakan untuk menangkap
jenis ikan tertentu merupakan suatu keharusan dalam penerapan kode etik
perikanan bertanggung jawab (CCRF). Penentuan ukuran mata jaring harus
didasarkan pada kondisi biologi ikan-ikan yang ada di lapangan
Keberlanjutan pemanfaatan sumberdaya ikan layang di perairan Maluku
Utara sangat tergantung dari bagaimana sumberdaya ikan layang tersebut
dieksploitasi. Oleh karena itu perlu digunakan alat tangkap yang selektif yang
mampu meloloskan ikan-ikan yang berukuran tertentu, yaitu yang belum pernah
mencapai kematangan gonad. Dengan demikian, ikan-ikan yang tertangkap
minimal sudah pernah melakukan reproduksi sekali dalam masa hidupnya.
Disamping itu dalam menjaga kesimbungan sumberdaya ikan layang di Maluku
Utara, maka hal yang terpenting yang harus dihindari adalah dengan tidak
melakukan penangkapan ikan pada saat musim pemijahan, sehingga ikan-ikan
dengan bebas melakukan pemijahan tanpa ada gangguan akibat tekanan
penangkapan.

5.6 Pola Musim dan Daerah Penangkapan Ikan Layang


Berdasarkan hasil analisis indeks musim penangkapan, menunjukkan bhawa
musim penangkapan ikan layang di perairan Maluku Utara berlangsung dari bulan
Meret -Oktober dan titik puncak terjadi pada bulan Agustus. Musim penangkapan
ikan layang terjadi pada saat musim timur, musim peralihan timur-barat dan
musim peralihan barat-timur. Sedangkan pada musim barat barat (bulan Desember
- Februari) bukan merupakan musim penangkapan ikan. Pada bulan-bulan ini
hanya sedikit perahu maupun kapal penangkapan yang melakukan kegiatan
penangkapan ikan. Hal ini disebabkan pada bulan-bulan tersebut ditandai dengan
adanya gelombang yang cukup besar, sehingga dapat menghambat jalannya
proses mengoperasian alat tangkap.
Berdasarkan grafik pola musim penangkapan ikan layang (Gambar 30),
menunjukkan bahwa pada musim timur yaitu bulan Juli - September, merupakan
140

musim yang sangat baik untuk melakukan penangkapan ikan layang di perairan
Maluku Utara. Waktu penangkapan yang baik ini juga didukung dengan adanya
pola musim yang memungkinkan ikan layang hidup dan berkembang di perairan
Maluku Utara, sehingga hasil tangkapannya pun menguntungkan.
Perbedaan musim penangkapan ikan ini terutama dipengaruhi oleh
perubahan hembusan angin, dimana di Indonesia dikenal dengan 4 jenis musim
angin yaitu, musim Barat, musim Timur, musim peralihan Barat-Timur dan
musim peralihan Timur-Barat. Sebagaimana di jelaskan oleh Nontji (2007), angin
yang berhembus di perairan Indonesia terutama adalah angin musim yang dalam
satu tahun terjadi dua kalai pembalikan arah yang masing-masing disebut dengan
angin musim barat dan musim timur, sedangkan antara dua kali perubahan musim
terdapat juga dua kali musim peralihan yaitu musim peralihan Barat-Timur dan
musim peralihan Timur-Barat.
Pada musim timur (Juni - Agustus) kondisi perairan relatif tenang sehingga
sangat membantu bagi nelayan dalam mengoperasikan alat tangkapnya. Saat
musim timur perairan laut Banda dan Laut Maluku diduga lebih subur, hal ini
sesuai dengan pernyataan Nontji (2002), bahwa gerakan arus yang cenderung
berasal dari belahan bumi Selatan, namun setelah masuk ke Laut Banda
mengakibatkan terjadinya Upwelling. Akibat dari upwelling ini ditemukannya
suhu air yang rendah di permukaan yaitu rata-rata 3ºC lebih rendah dari pada
musim barat, sedangkan salinitas 1% lebih tinggi. Kandungan fosfat dan nitrat
juga ikut naik menjadi dua kali lipat dan kandungan plankton pun mengalami
peningkatan. Dilanjutkan oleh Nontji (2007), bahwa pada bulan Juni-Agustus
aruas kuat datang dari utara Papua yang terlebih dahulu melingkari ujung selatan
Halmahera untuk kemudian berbelok ke utara dan kembali ke Samudera Pasifik
bersatu dengan arus Sakal Khatulistiwa (Equatorial Counter Current).
Dengan adanya arus maka masa air dilapisan permukaan akan terbawa
mengalir, sebagai akibatnya air dari lapisan bawah naik ke permukaan yang
dikenal dengan upwelling yang kaya akan unsur hara. Konsentrasi unsur hara
yang tinggi di lokasi upwelling meningkatkan kesuburan perairan sehingga
mendukung kelimpahan dan pertumbuhan plankton yang kemudian memberikan
daya tarik bagi ikan-ikan untuk mencari makan.
141

Hasil penelitian Amri et al., (2006) tentang kondisi hidrologis dan


kaitannya dengan hasil tangkapan ikan malalugis biru di perairan Teluk Tomini
menunjukkan bahwa hasil tangkapan ikan malalugis biru berkorelasi dengan
peningkatan konsentrasi kesuburan perairan yang terjadi pada musim Timur
(bulan Agustus sampai dengan September) akibat terjadi upwelling di bagian
Mulut Teluk. Selanjutnya hasil penelitian Arifin (2006), menemukan bahwa
upwelling, front dan sebaran klorofil-a di perairan Maluku terjadi pada bulan Juli
dan Agustus. Dengan demikian pada bulan-bulan tersebut kondisi perairan kaya
akan unsur hara. Kondisi lingkungan seperti ini sangat mendukung keberadaan
ikan layang dalam mendapatkan makanan untuk kelangsungan hidupnya.
Sebagaimana dikemukakan oleh Laevastu dan Hela (1970), bahwa ikan layang
sangat peka terhadap perubahan lingkungan dan biasanya beruaya mengikuti
kadar garam dan ketersediaan makanan. Habitat lingkungan yang disenangi
umumnya sekitar upwelling dan turbulensi. Demikian pula dikemukakan
Syahailatua (2004) diacu dalam Amri et al., (2006), bahwa daerah upwelling
merupakan daerah penangkapan ikan-ikan pelagis kecil.
Faktor oseanografi seperti salinitas yang cocok juga turut berperan bagi
keberadaa ikan layang di perairan Maluku Utara, dimana kisaran salinitas di
perairan Maluku Utara pada musim timur berkisar antara 32,5-33,5 promil.
Kondisi salinitas seperti ini, memang sesuai dengan kebiasaan hidup dari ikan
layang yang senang beruaya pada perairan dengan salinitas yang tinggi.
Sebagaimana dikemukakan oleh (Djamali, 1995), layang cenderung melakukan
ruaya mengikuti massa air, sebaran salinitas yang tinggi (di atas 32 promil), serta
ketersediaan makanan.
Selain faktor kondisi perairan dan unsur hara musim penangkapan ikan
layang di Maluku Utara diduga dipengaruhi oleh waktu pemijahan dari ikan
tersebut. Hal ini terjadi karena pada saat musim-misim pemijahan biasanya di
manfaatkan nelayan sebagai musim penangkapan bagi ikan layang, dan hal ini
terjadi sebagaimana hasil analisis musim pemijahan pada sub bab sebelumnya
diperoleh puncak musim pemijahan ikan layang di Maluku Utara diduga terjadi
pada bulan April/Mei. Demikian pula yang di temukan Widodo (1998) di perairan
Jawa terhadap jenis ikan yang sama diduga musim puncak pemijahan terjadi
142

pada bulan Agustus/September. Sedangkan musim penangkapan ikan layang di


Maluku Utara terjadi dimulai dari bulan Maret - September dengan musim puncak
terjadi pada bulan Agustus. Kondisi seperti ini bila terjadi secara terus menerus
maka akan memberikan dampak yang buruk terhadap ketersediaan sumberdaya
ikan layang di alam.
Berdasarkan data hasil wawancara dengan nelayan dan data titik koordinat
posisi lokasi pemasangan rumpon, maka dengan bantuan perangkat lunak
AreView Gis 33 dapat dipetakan daerah penangkapan dan musim penangkapan
ikan layang di perairan Maluku Utara.
Daerah penangkapan ikan layang di Maluku Utara tidak tersebar merata di
setiap perairan, hanya terkonsentrasi pada daerah tertentu. Pemanfaatan ikan
layang di bagian tengah Maluku Utara dilakukan oleh nelayan yang berpangkalan
di PPN Ternate dan PPI Dufa-dufa dan sebagian besar daerah penangkapannya
berada di perairan barat Halmahera antara pulau Ternate hingga ujung Utara
Halmahera diantaranya mencakup wilayah perairan Batang Dua, Ternate,
Tidore, Mare, Moti, Makian hingga perairan sekitar pulau Kayoa. Dan biasanya
kegiatan penangkapan di lokosi-lokasi tersebut di lakukan pada akhir bulan
Februari hingga Mei dan bulan Juli hingga September.
Pemanfaatan ikan layang di bagian selatan Maluku Utara tersebar
disepanjang ujung selatan Halmahera hingga bagain barat pulau Bacan tepatnya di
perairan antara pulau Kasiruta hingga mencapai perairan laut Maluku bagi armada
yang berukuran relatif besar. Kegiatan penangkapan di daerah tersebut biasanya
dilakukukan oleh nelayan yang berpangkalan di PPP Bacan dan kegiatan
penangkapan dilakukan sekitar bulan April - Oktober. Sedangkan pemanfaatan
ikan layang di perairan bagian Utara Maluku Utara dilakukan oleh nelayan yang
berpangkalan di PPP Tobelo yaitu sebagian besar tersebar di perairan utara
Morotai dan perairan sekitar Teluk kao di mana waktu penangkapan dilakukan
dari bulan April - September. Umumnya puncak-puncak waktu penangkapan ikan
layang di perairan Maluku utara dimulai dari bulan Maret hingga Oktober.
Pemetaan sebaran ikan layang secara bulanan di perairan Maluku Utara
bervariasi sepanjang tahun, hal tersubut disebabkan ikan akan selalu mencari
habitatnya yang cocok untuk melangsungkan kehidupannya. Keberadaan ikan
143

pada suatu daerah penangkapan sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor


lingkungan. Suhu dan salinitas merupakan faktor oseanografi yang sangat
berpengaruh terhadap sebaran ikan pelagis termasuk ikan layang (Leavestu dan
Hayes 1981). Daerah penangkapan ikan dikatakan baik bila tersedia ikan,
parameter oseanografi mendukung, serta kondisi perairan mendukung untuk
pengoperasian alat tangkap.

5.7 Pola Pengembangan Berkelanjutan Sumberdaya Ikan Layang di


Perairan Maluku Utara

Pola pengembangan yang dimaksud dalam kajian ini adalah sebuah bentuk
atau kerangka pengembangan berkelanjutan terhadap sumberdaya ikan layang di
provinsi Maluku Utara, bukan merupakan pemodelan atau model matematis.
Secara umum pola pengembangan berkelanjutan sumberdaya ikan layang adalah
bentuk pengaturan terhadap jumlah hasil tangkapan dan ukuran ikan yang
ditangkap sebagai respon terhadap kondisi perikanan dan tingkat eksploitasi yang
terus meningkat.
Setalah mempertimbangkan aspek-aspek yang telah dikaji pada hasil dan
pembahasan, maka diperoleh keragaan nilai optimal untuk semua kompenen
perikanan layang yang menjadi fokus kajian di perairan Maluku Utara yaitu terdiri
dari: (1) alat tangkap ikan layang pilihan (mini purse seine), (2) pemanfaatan
sumberdaya ikan layang optimal, (3) biologi ikan layang, (4) mesh size optimum
alat tangkap pilihan (mini purse seine), serta (5) waktu dan daerah penangkapan
ikan layang yang tepat. Keragaan nilai optimal ini selanjutnya menjadi pola bagi
pengembangan berkelanjutan sumberdaya ikan layang di Maluku Utara. Secara
jelas pola pengembangan berkelanjutan sumberdaya ikan layang di perairan
Maluku Utara dapat dirangkum pada Gambar 30.
144

POLA PENGEMBANGAN

Mesh Size Optimum Pemanfaatan Sumberdaya


Alat Tangkap Pilihan Alat Tangkap Ikan Ikan Layang Optimal
(mini purse seine) Layang Pilihan
C opt = 19.754, 248 ton/thn
- Bagian badan & sayap = 5,08 cm Mini purse seine E opt = 28.135 trip/thn
(2 inci) π max = Rp. 90.717.199.850,00
- Bagian kantong = 2,54 cm (1 inci) Alokasi E opt = 202 unit
Tenaga kerja opt = 2626 orang

Biologi Ikan Layang


- Kisaran panjang 211 – 315 mm
- Rasio kalamin jantan dan betina Usaha Perikanan Ikan
1 : 1,8. Layang Berkelanjutan
- Pertumbuhan ikan betina lebih cepat
dari ikan jantan.
- Panjang maks ikan betina (335,73)
mm dan jantan (330,34 mm) di capai
pada usia 4 tahun.
- Pola pertumbuhan Alometrik minor Waktu dan Daerah Penangkapan Ikan Layang yang Tepat
- Matang gonad terbanyak pada bulan ¾ Pola musim penangkapan: bulan Maret - Oktober dengan puncak
Maret dan ukuran panjang pertama musimnya bulan Agustus (musim timur).
kali matang gonad 25,8 cm. ¾ Musim penangkapan ikan layang pada tiap DPI:
- Pola pemijahan terjadi beberapa kali • Bagian tengah Maluku Utara: Perairan Batang Dua, Ternate,
selama musim pemijahan dengan Mare, Moti, Makian dan Perairan Kayoa. Musim penangkapan
puncaknya bulan April/Mei. bulan Feb - Mei dan Juli - Sept.
- Fekunditas sebanyak 288875 – 84000 • Bagian selatan Maluku Utara: Perairan Obi, Bacan dan Laut
buitr dengan kisaran panjang ikan Maluku. Musim penangkapan bulan April - Okt.
268 – 310 mm.
• Bagian Utara Maluku Utara: Perairan Utara Morotai dan Teluk
Kao. Musim penangkapan bulan Apr -Sept.

Implikasi Kebijakan
- Mini purse seine, unit penangkapan prioritas yang dikembangkan dalam perikanan layang.
- Pembatasan jumlah produksi agar tidak melebihi nilai produksi optimum, yaitu sebasar 19.754,24 ton/thn,
sehingga dapat mengurangi tingkat upaya untuk mengcegah terjadinya biolgical dan economical overfishing.
- Pengurangan dan pembatasan jumlah unit mini purse seine hingga mencapai jumlah optimal yaitu 202 unit, dan
tidak lagi memperpanjang ijin usahanya hingga mencapai titik optimalnya.
- Pembatasan semantara waktu operasi penangkapan pada waktu puncak musim pemijahan.
- Penerapan batas minimum mesh size mini purse seine dan pelarangan pendaratan ikan-ikan dibawah ukuran
belum pernah memijah.
- Perluasan DPI layang hingga mencapai 4 – 6 mil laut dari fishing base.
- Melakukan pengalihan unit mini purse seine yang berlebih ke unit penangkapan lainnya yang belum optimal,
seperti pada usaha penangkapan ikan demersal.
- Mengarahkan nelayan yang tidak terserap, dengan melakukan kegiatan usaha perikanan lainnya yang dianggap
belum optimal, seperti perikanan tangkap ikan demersal, usaha pengolahan dan budidaya ikan.
- Pengaturan kembali sistem bagi hasil dalam usaha perikanan ikan layang.
- Peningkatan kapasitas cool storage dan penerapan teknologi tepat guna untuk menjaga mutu ikan layang dengan
tujuan untuk meningkatkan pendapatan nelayan yang selama ini hanya tertumpuh pada penjualan ikan segar.
- Koordinasi antara pemerintah Kabupaten/Kota dengan pemerintah Provinsi Maluku Utara untuk melakukan
pengawasan terhadap kebijakan yang diterapkan.

Gambar 30 Pola pengembangan berkelanjutan sumberdaya ikan layang di perairan Maluku Utara.
145

Berdasarkan keragaan nilai optimal dari komponen perikanan layang dikaji


serta keterkaitan antara berbagai kompenen tersebut, maka dihasilkan beberapa
implikasi kebijakan yang nantinya sangat berguna dan diharapkan akan menjadi
acuan dalam pengembangan berkelanjutan sumberdaya ikan layang di perairan
Maluku Utara.
Beberapa implikasi kebijakan yang dihasilkan dari pola pengembangan
berkelanjutan sumberdaya ikan layang di Maluku Utara adalah sebagai berikut :
1) Mini purse siene adalah jenis teknologi penangkapan yang diprioritaskan
untuk dikembangkan dalam mengeksploitasi sumberdaya ikan layang di
perairan Maluku Utara.
2) Pembatasan produksi hasil tangkapan ikan layang agar tidak melebihi nilai
produksi optimum, yaitu sebasar 19.754,24 ton per tahun, sehingga dapat
mengurangi tingkat upaya untuk mengcegah terjadinya biological dan
economical overfishing.
3) Membuat dan menetapkan regulasi tentang pengurangan dan pembatasan
jumlah unit mini purse seine hingga mencapai jumlah optimal yaitu 202
unit dan tidak lagi memperpanjang ijin usahanya hingga mencapai titik
optimalnya.
4) Perlu dilakukan pembatasan sementara waktu operasi penangkapan pada
waktu (bulan) musim puncak pemijahan ikan layang.
5) Perlu diterapkannya batas minimum mesh size alat tangkap mini purse seine
dan pelarangan pendaratan ikan-ikan di bawah ukuran belum pernah
memijah.
6) Kegiatan penangkapan dibatasi pada daerah dekat pantai dan sebaiknya
diarahkan hingga mencapai 4 - 6 mil laut dari fishing base.
7) Melakukan pengalihan unit mini purse seine yang berlebih ke unit
penangkapan yang belum optimal, seperti pada usaha penangkapan ikan
demersal.
8) Mengarahkan nelayan yang tidak terserap, dengan melakukan kegiatan
usaha perikanan lainnya yang dianggap belum optimal, seperti perikanan
tangkap ikan demersal, usah pengolahan dan budidaya ikan.
146

9) Pengaturan kembali sistem bagi hasil dalam usaha perikanan ikan layang.
10) Peningkatan kapasitas cool storage dan penerapan teknologi tepat guna
untuk menjaga mutu ikan layang dengan tujuan untuk meningkatkan
pendapatan nelayan yang selama ini hanya tertumpuh pada penjualan ikan
segar.
11) Pemerintah daerah Kabupaten/Kota perlu berkoordinasi dengan pemerintah
Provinsi Maluku Utara untuk melakukan pengawasan terhadap kebijakan
yang diterapkan dalam pemanfaatan sumberdaya ikan layang.

Hasil identiifikasi jenis teknologi penangkapan terpilih berdasarkan kaidah


aspek biologi, teknis, sosial, ekonomi masing-masing memilih mini purse seine
sebagai alat tangkap yang layak dikembangkan. Penekanan terhadap aspek
keramahan lingkungan maka mini purse seine berada pada posisi prioritas kedua
setalah jaring insang hanyut. Namun tinjauan terhadap keseluruhan aspek memilih
mini purse seine sebagai alat tangkap utama yang layak dikembangkan dalam
pemanfaatan sumberdaya ikan layang di perairan Maluku Utara. Hasil ini sesuai
dengan pernyataan Haluan dan Nurani (1988), dan Yuliansyah (2002) yang
menyatakan bahwa alat tangkap purse seine adalah alat tangkap yang paling
produktif untuk dikembangkan. Penelitian tentang penentuan unit penangkapan
pilihan ikan layang juga pernah dilakukan oleh Arifin (2008) di Kabupaten
Selayar Provinsi Sulawesi Selatan, memilih purse seine sebagai alat tangkap yang
di prioritaskan untuk dikembangkan di daerah tersebut.
Beberapa keunggulan mini purse seine yang telah diidentifikasi antara lain
adalah penyerapan yang paling tinggi terhadap kebutuhan tenaga kerja, memilki
produkstivitas yang tinggi, hasil tangkapan bermutu baik, dan tingginya
keuntungan bersih yang dicapai.
Keunggulan mini purse seine yang perlu dipertahankan dan dikembangkan
adalah kemampuan menyerap tenaga kerja yang cukup besar dan produktivitas
yang paling tinggi yang memungkinkan mendapat keuntungan yang tinggi pula.
Hal senada juga dihasilkan oleh Suardi (2005), yang mengkaji tentang
pengembangan perikanan tangkap pelagis kecil untuk pemberdayaan nelayan di
Kota Palopo, yang mana merekomendasikan pukat cincin sebagai unit
penangkapan unggulan karena memiliki trend produktivitas yang produktif.
147

Berdasarkan keunggulan-keunggulan yang dimilki alat tangkap mini purse seine


tersebut, dapat menggambarkan bahwa aspek sosial dan ekonomi dalam
pemanfaatan sumberdaya ikan layang di Maluku Utara merupakan prioritas utama
yang dipertimbangkan.
Kelebihan lain dari mini purse seine adalah ikan hasil tangkapannya bermutu
baik. Hal ini disebabkan oleh fungsi jaring pada mini purse seine yang hanya
sebagai dinding penghalang lolosnya ikan yang telah dikelilingi. Namun disisi
lain kelebihan tersebut membawa dampak negatif dari mini purse seine yang
kecilnya mesh size jaring sehingga ikan-ikan yang berukuran kecil sulit untuk
meloloskan diri ketika sudah dikelilingi alat tangkap.
Keunggulan mini purse seine perlu dipertahankan dan dapat dikondisikan
serta dioptimalkan di lapangan. Sedangkan kekurangannya diupayakan untuk
diminimalkan. Dengan mengenali keunggulan dan kekurangan mini purse seine
secara baik dan megantisipasi efek negitifnya, maka pemanfaatan sumberdaya
ikan layang secara berkelanjutan dapat tercapai.
Alokasi hasil tangkapan yang dianjurkan dalam pemanfaatan sumberdaya
ikan layang di perairan Maluku adalah sebasar 19.754, 248 ton per tahun,
sehingga dapat mengurangi tingkat upaya untuk mengcegah terjadinya biolgical
dan economical overfishing. Mengingat keterbatasan akses dan sumberdaya ikan
layang yang hanya terkonsentrasi disekitar perairan pantai, pembatasan jumlah
hasil tangkapan sebnyak 19.754, 248 ton tersebut harus dilakukan walaupun
secara biologi belum mencapai titik MSY. Dengan adanya pembatasan tersebut
diharapkan kontinuitas sumberdaya ikan layang pada tahun-tahun berikutnya
tetap terjaga.
Jumlah unit penangkapan mini purse seine yang ada pada tahun 2007 adalah
213 unit. Sedangkan jumlah unit mini purse seine yang optimal yang dialakosikan
sebesar 202 unit. Dengan demikian perlu dilakukan pengurangan jumlah upaya
sebesar 11 unit. Disamping itu tidak lagi dilakukan perpanjangan ijin usaha unit
penangkapan mini purse siene hingga mencapai titik optimalnya. Pengurangan
jumlah unit penangkapann yang berlebih dan pembatasan izin usaha untuk
sementara adalah sangat dianjurkan agar kegiatan operasi penangkapan dapat
berlangsung efisien.
148

Penetapan hasil tangkapan sesuai dengan quota untuk pengelolaan


sumberdaya ikan layang di perairan Maluku Utara perlu dilakukan guna mengatur
pemanfaatan stok dari sumberdaya ikan layang di wilayah ini. Bergin dan Haward
(1994) melaporkan bahwa sejak 1985, Australia, Jepang, dan Selandia Baru
sebagi pemilik hak quota telah menentukan quota tahunan untuk memanfaatkan
stok tuna sirip biru. Holden (1995) menambahkan bahwa alokasi hasil tangkapan
dan upaya penangkapan ikan telah diterapkan beberapa dekade yang lalu seperti
untuk stok ikan plaice, round fish, cod, haddok dan whitting di Laut Utara (sistem
TAC), ikan tuna di Samudera Pasifik, Atlantik, dan Hindia (sistem quota), dan
stok mackerel di perairan English dan Bristol Channel (pembatasan jumlah alat
tangkap dan close season).
Bergin dan Haward (1994) memberikan fakta untuk kasus stok tuna sirip
biru, walaupun kebijakan sistem quota telah diterapkan sejak tahun 1985,
kolepsnya sumberdaya ikan tersebut tidak dapat dicegah oleh karena adanya
permintaan pasar yang tinggi terhadap konsumsi ikan tersebut, sehingga hasil
tangkapan mengalami penurunan drastis. Oleh karena itu Bergin dan Haward
(1994) dan FAO (1994) agar pembatasan alokasi hasil tangkapan juga disertai
dengan peraturan lainnya seperti mengurangi tingkat upaya penangkapan,
melakukan penutupan area (closed area) di tempat yang diduga sebagai tempat
bertelur selama musim bertelur (closed season).
Keberhasilan nelayan dalam menangkap ikan sangat dipengaruhi oleh
ketersedian stok ikan di perairan. Nelayan biasanya tidak akan pergi melaut untuk
beberapa waktu bila hasil tangakapan yang diperoleh sebelumnya sedikit dan
akan melaut kembali atau meningkatkan upaya penangkapan ketika tiba musim
ikan.
Pola musim penangkapan ikan layang di Maluku Utara berdasarkan hasil
analisis berlangsung pada bulan Maret-Oktober dengan puncak penangkapan
berlangsung pada bulan Agustus yang bertepatan dengan musim timur. Pada
musim timur merupakan musim penangkapan ikan layang disebabkan pada
musim ini kondisi perairan relatif tenang sehingga sangat membantu bagi nelayan
dalam mengoperasikan alat tangkapnya. Disamping itu pada musim timur di
perairan Maluku dan Maluku Utara diduga lebih subur, karena terjadinya
149

upwelling, sehingga kondisi perairan menjadi kaya akan unsur hara dan sangat
mendukung bagi keberadaan ikan layang untuk mendapatkan makanan. Kondisi
salinitas yang relatif tinggi pada musim timur ternyata turut memberikan dampak
positif bagi keberadaan ikan layang di perairan Maluku Utara.
Pola musim sangat berpengaruh pada hasil tangkapan ikan layang, karena
waktu penangkapan yang baik dapat memungkinkan ikan layang hidup dan
berkembang di perairan Maluku Utara, sehingga hasil tangkapannya pun
menguntungkan.
Berdasarkan hasil penelitian tentang parameter populasi ikan layang yaitu
berkaitan dengan musim pemijahan ikan layang menunjukkan bahwa puncak
pemijahan ikan layang terjadi pada bulan April atau Mei. Hasil kajian tersebut
menunjukkan bahwa pola musim penangkapan ikan layang di perairan Maluku
Utara berlangsung pada saat musim pemijhan ikan. Oleh karena itu perlu di
dilakukan pembatasan waktu operasi penangkapan pada saat musim puncak
pemijahan ikan layang. Dengan kata lain perlu diterapkan kabijakan penutupan
musim penangkapan bagi para nelayan, karena kondisi seperti ini bila terjadi
secara terus menerus maka akan memberikan dampak yang buruk terhadap
ketersediaan sumberdaya ikan layang di alam.
Penutupan musim penangkapan ikan merupakan pendekatan pengelolaan
sumberdaya ikan, yang umumnya dilakukan di negara dimana sistem penegakan
hukumnya sudah maju. Pelaksanaan pendekatan ini didasarkan pada sifat sumber
daya ikan yang sangat tergantung pada musim, dan sering kali hanya ditujukan
pada satu spesies saja dalam kegiatan perikanan yang bersifat multi species.
Beddington dan Ratting (1984) diacu dalam Nikijuluw (2002) mengemukakan
adanya dua bentuk penutupan musim, yaitu : (1) Penutupan musim penangkapan
ikan pada waktu tertentu untuk memungkinkan ikan melakukan aktivitas
pemijahan dan berkembang biak, (2) Penutupan kegiatan penangkapan ikan
dengan alasan sumber daya ikan telah mengalami degradasi dan ikan yang
ditangkap semakin sedikit.
Informasi biologi yang digunakan sebagai dasar penerapan batas minimum
adalah ukuran lingkar badan ikan. Hasil penelitian menghasilkan persamaan
hubungan yang linear antara lingkar badan dengan panjang ikan dengan koefisien
150

korelasi 0,89. Hubungan antara panjang ikan (X) dan lingkar badan (Y)
ditunjukkan oleh persamaan Y = -2.3283 + 0.4836 X.
Perhitungan ukuran pertama kali matang gonad diperoleh panjang total ikan
258 mm (25,8 cm) untuk layang jantan maupun betina. Sedangkan panjang
lingkar badan ikan layang biru yang tertangkap ketika matang gonad adalah 10,15
cm. Alat tangkap mini purse seine yang digunakan dalam menangkap ikan layang
biru memilki ukuran mesh size 2,54 cm – 3,81 cm (1 inchi – 1,5 inchi) untuk
bagian badan dan sayap sedangkan bagian sayap 1,90 cm (0,75 inchi). Dengan
demikian ukuran mata jaring alat tangkap yang digunakan dalam menangkap ikan
layang biru tidak mampu meloloskan ikan pada ukuran pertama kali matang
gonad dan ukuran ikan dibawah ukuran pertama kali matang gonad. Berdasarkan
fakta tersebut maka mata jaring mini purse seine idial yang seyogianya digunakan
agar dapat meloloskan ukuran ikan yang belum pernah memijah yaitu 5,08 cm (2
inchi) untuk bagian badan dan sayap, sedangkan bagian kantong ukuran mesh size
2.54 cm (1 inchi).
Alasan yang menjadi dasar penerapan batas minimum mesh size jaring atau
ukuran ikan yang tertangkap dalam pemanfaatan sumber daya ikan layang adalah
memberi kesempatan ikan muda dan atau yang berukuran kecil untuk meloloskan
diri sebelum proses penangkapan berakhir. Penerapan Kebijakan ini sangat
diperlukan untuk tetap mempertahankan keberadaan ikan layang di perairan
Maluku Utara, agar tidak terjadi kelebihan tangkap ikan dalam masa pertumbuhan
(growth overfishing).
Bentuk kebijakan ini pada hakekatnya lebih ditujukan untuk mencapai atau
mempertahankan struktur umur yang paling produktif dari stok ikan. Hal ini
dilakukan dalam rangka memberi kesempatan pada ikan yang masih muda untuk
tumbuh, dan bertambah nilai ekonominya serta kemungkinan berreproduksi
sebelum ikan tersebut ditangkap. Kebijakan ini akan berdampak pada komposisi
hasil tangkapan dan ukuran individu ikan yang tertangkap. Penerapan kebijakan
ini secara tunggal (tidak diikuti oleh kebijakan lain), akan mengakibatkan tidak
terkontrolnya jumlah hasil tangkapan, karena jumlah kapal yang melakukan
penangkapan tidak terkontrol. Oleh karena itu penerapan kebijakan batas
minimum mesh size jaring perlu disertai dengan peraturan pelarangan pendaratan
151

ikan-ikan dibawah ukuran yang diizinkan, yaitu menghilangkan setiap keinginan


dari nelayan mempergunakan mesh size jaring yang lebih kecil.
Beddington dan Retting (1984) diacu dalam Bintoro (2005) mengemukakan
alasan pembatasan minimum mesh size adalah ikan muda yang umumnya
berukuran kecil akan mampu meloloskan diri dari penangkapan yang
menggunakan alat tangkap jaring yang mempunyai mesh size besar sehingga
dapat meningkatkan kemungkinan ikan muda untuk tumbuh dan menambah
kepadatan stok ikan tersebut pada musim berikutnya. Untuk pemanfaatan sumber
daya ikan layang di perairan Maluku Utara, minimum mesh size alat tangkap perlu
ditentukan agar ikan muda mempunyai kesempatan untuk berkembang dan
menambah stok ikan layang pada musim berikutnya.
Usaha pemanfaatan sumberdaya ikan layang di perairan Maluku Utara
menjadi sensitif karena eksploitasi biasanya dilakukan di sekitar pantai yang
menjadi wilayah kritis bagi keberlanjutan stok sumber daya. Kegiatan
penangkapan ikan layang lebih dominan di lakukan oleh kapal-kapal mini purse
seine dengan kapasitas 13 - 18 GT dengan panjang jaring 200 - 300 meter dan
daerah penangkapannya hanya berjarak sekitar 2 hingga 3 mil dari fishing base,
sehingga apabila kegiatan ini dilakukan dalam waktu yang berkepanjangan maka
berdampak pada terjadi over fishing, yang mana faktor pemicunya karena
lemahnya penegakkan hukum dan aturan-aturan terhadap jalur-jalur penangkapan
ikan berdasarkan ukuran effort.
Berdasarkan batas wilayah laut yang diperuntukan sesuai dengan kawasan
yang layak untuk perikanan tangkap dengan jalur penangkapan alat tangkap purse
seine dengan ukuran kurang dari 150 meter berada pada jalur penangkapan 3
sampai 6 mil laut (Departemen Kelautan dan Perikanan, 2002). Dengan demikian
penggunaan daerah penangkapan untuk eksploitasi sumber daya ikan layang di
Maluku Utara perlu di lakukan perluasan. Ditambahkan oleh Purbayanto (2003),
salah satu konsep pembangunan berkelanjutan yang harus diupayakan adalah
membatasi dan mengendalikan jumlah armada penangkapan ikan tradisional yang
beroperasi di wilayah perairan pantai pada jalur penangkapan Ia (perairan pantai
hingga 3 mil). Pembatasan ini dilakukan dengan cara hanya memperbolehkan
penggunaan alat tangkap yang bersifat ramah lingkungan (yaitu alat tangkap yang
152

memiliki keragaan selektivitas tinggi dan tidak bersifat destruktif) dan


dioperasikan dengan perahu tanpa motor maupun perahu motor tempel, melalui
pemberian izin penangkapan ikan hanya bagi armada-armada tersebut.
Agar hal ini dapat berjalan sesuai yang diharapkan maka penerapan
kebijakan perluasan daerah penangkapan ikan layang di perairan Maluku Utara
sudah saatnya dilakukan dengan membuat aturan mengacu pada jalur-jalur
penangkapan ikan berdasarkan ukuran effort.
Berdasarkan hasil analisis alokasi optimum upaya penangkapan ikan layang
di Maluku Utara, salah tujuan utama yang tidak tercapai adalah mengoptimalkan
tingkat penyerapan tenaga kerja, karena masih berada di bawah target pencapaian
yaitu sebanyak 2626 orang. Sesuai dengan kondisi ideal untuk usaha penangkapan
ikan layang, maka perlu mengarahkan sebagian nelayan yang tidak terserap dalam
pengalokasian ini, untuk mengisi kebutuhan tenaga kerja pada usaha perikanan
tangkap yang belum optimal sebagai sumber alternative income seperti pada
usaha perikanan demersal dengan alat tangkap hand line, usaha pengolahan dan
usaha budidaya ikan melalui program peningkatan kualitas dan ketrampilan
nelayan. Pengalihan tenaga kerja yang tidak terserap pada unit penangkapan yang
berlebihan sangat dianjurkan guna menghindari terjadinya pengangguran.
Pengaturan kembali sistem bagi hasil dalam usaha perikanan ikan layang di
Maluku Utara perlu ditinjau kembali oleh pemerintah dalam hal ini instansi yang
terkait agar nelayan ABK sebagai tulang punggung dalam kegiatan usaha
penangkapan tidak lagi menerima pembagian hasil usaha paling rendah
dibandingkan dengan Pemilik modal, Juragan laut dan Juru Mesin. Sehingga
diharapkan dengan hasil kerja yang dilakukan bisa memperoleh upah yang layak
dangan rata-rata per bulannya di atas standard upah minimum. Kondisi yang
sama juga dialami nelayan purse seine di Provinsi Bali, sebagaimana yang
kemukakan oleh Bangkit (2005), bahwa berdasarkan hasil analisis pendapatan
nelayan diperoleh pendapatan nelayan buruh (ABK) dinyatakan tidak layak,
sedangkan pendapatan nelayan lainnya serta pemilik modal adalah layak.
Peningkatan kapasitas cold storage dan penerapan teknologi tepat guna
untuk menjaga mutu ikan layang, bertujuan untuk meningkatkan pendapatan
nelayan skala kecil yang selama ini hanya tertumpuh pada penjualan ikan segar.
153

Kebijakan ini diambil untuk mengurangi kelemahan modal usaha (biaya)


pengadaan alat tangkap oleh nelayan skala kecil dengan memanfaatkan peluang
dalam pengadaan cold storage dan kapal penampung ikan hasil tangkapan.
Peningkatan kapsitas cold storage perlu dilakukan agar dapat menampung
ikan-ikan yang tertangkap pada saat musim penangkapan. Selain itu juga
dimaksudkan agar ikan yang tertangkap tersebut selain dapat dipasarkan di
pasaran lokal, juga dapat dipasarkan keluar daerah (dalam lingkup regional)
maupun dapat diekspor ke luar negeri
Pengawasan dan pengendalian terhadap aplikasi kebijakan perlu dilakukan
agar regulasi berupa aturan tentang pengembangan berkelanjutan sumberdaya
ikan layang di Maluku Utara dapat berjalan secara baik. Sebagaimana
dikemukakan oleh Barston (1995), bahwa kebijakan terbaikpun untuk konservasi
sumberdaya akan mengalami kegagalan jika tanpa disertai dengan pengawasan
yang efektif terhadap penerapan kebijakannya. Pengawasan ini harus melibatkan
sistem koordinasi yang baik antara pemerintah daerah kabupaten/kota dengan
pemerintah Provinsi Maluku Utara. Seperti halnya yang dilaporkan oleh Kusnadi
(2003), bahwa dalam pemanfaatan sumberdaya perikanan di Teluk Tomini,
pemerintah Daerah Kabupaten/Kota dan Provinsi di sekitar Teluk Tomini telah
berupaya saling bekerja sama dalam membuat aturan untuk mengendalikan
eksploitasi sumberdaya perikanan di perairan tersebut dan melakukan pengawasan
terhadap penerapan peraturan yang telah disusun.
154

6 KESIMPULAN DAN SARAN

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah diuraikan pada bab
sebelumnya, maka dapat disimpulkan sebagai berikut:

6.1 Kesimpulan
1. Alat tangkap pilihan dalam pemanfaatan sumberdaya ikan layang di perairan
Maluku Utara adalah “mini purse seine”.
2. Hasil tangkapan optimum ikan layang di Maluku Utara sebesar 19.754, 25
ton per tahun dengan upaya penangkapan optimum 28.135 trip stándar mini
purse seine sehingga keuntungan maksimum yang diperoleh Rp.
90.717.199.850,00. Alokasi optimum unit penangkapan pilihan (mini purse
seine) 202 unit dan jumlah nelayan optimum yang terserap 2626 orang.
3. Hasil penelitian biologi ikan layang biru (ikan layang yang dominan
tertangkap) menunjukkan pertumbuhan ikan betina lebih cepat dari pada
ikan jantan dan keduanya mencapai panjang maksimum pada usia 4 tahun.
Pola pertumbuhan bersifat ”alometrik minor”. Ikan yang tertangkap
didominasi ikan-ikan yang belum matang gonad. Jumlah terbanyak matang
gonad ditemukan pada bulan Maret. Kematangan gonad pertama kali di
capai pada ukuran panjang total rata-rata 25,8 cm. Puncak pemijahan
berlangsung pada bulan April/Mei. Fekunditas yang diperoleh berkisar dari
28875 - 84000 butir dengan kisaran panjang 268 - 310 mm. Jumlah telur
dipengaruhi oleh panjang ikan, yaitu semakin panjang ukuran induk ikan
maka semakin bertambah jumlah telurnya.
4. Mesh size minimum alat tangkap mini purse seine yang sebaiknya
digunakan dalam mengeksploitasi sumberdaya ikan layang di perairan
Maluku Utara adalah 5,08 cm (2 inci) untuk bagian badan dan sayap,
sedangkan bagian kantong berukuran 2,54 cm (1 inci).
5. Musim penangkapan ikan layang di perairan Maluku Utara berlangsung dari
bulan Maret hingga Oktober dengan puncak musimnya dicapai pada bulan
Agustus yaitu pada musim timur, sedangkan bukan musim penangkapan
yaitu pada bulan Desember hingga Februari bertepatan dengan musim barat.
155

Daerah penangkapan dan musim penangkapan ikan layang di berbagai


daearah di wilayah perairan Maluku Utara:
- Bagian tengah Maluku Utara : Perairan Batang Dua, Ternate, Tidore,
Mare, Moti, Makian dan Kayoa. Musim penangkapan pada bulan
Februari - Mei dan bulan Juli - September.
- Bagian selatan Maluku Utara: Perairan Obi, Bacan dan laut Maluku.
Muism penangkapan pada bulan April – Oktober.
- Bagian Utara Maluku Utara: Perairan Utara Morotai dan Teluk Kao.
Musim penangkapan pada bulan April – September.
6. Telah disusun suatu pola pengembangan berkelanjutan sumberdaya ikan
layang di perairan Maluku Utara. Pola ini mencakup 5 kompenen yaitu :
Mini purse seine sebagai alat tangkap ikan layang pilihan, pemanfaatan
sumberdaya ikan layang optimal, biologi ikan layang, mesh size optimum
alat tangkap pilihan (mini purse seine) serta waktu dan daerah penangkapan
ikan layang yang tepat .

6.2 Saran
1. Pemerintah Daerah Maluku Utara dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota
di wilayah Maluku Utara harus berkoordinasi untuk membuat peraturan
yang kuat dengan melibatkan nelayan sebagai salah satu stakeholder sebagai
dasar guna mengontrol dan mengendalikan pelaksanaan kebijakan yang
direkomendasikan dalam pengembangan berkelanjutan sumberdaya ikan
layang.
2. Pengkajian stok terhadap sumberdaya ikan layang harus dilakukan setiap
tahun untuk menentukan nilai hasil tangkapan dan upaya penangkapan
optimum.
3. Diharapkan pola ini dapat di terapkan dan ditindaklanjuti dalam program
pengembangan perikanan pelagis kecil dan lebih spesifik lagi untuk
perikanan ikan layang di provinsi Maluku Utara.
4. Saran nomor 1 - 4 akan rasional apabila terdapat rencana pengelolaan
perikanan di wilayah Maluku Utara.
156

DAFTAR PUSTAKA
Agrawal RC, and Earl O Heady. 1973. Operations Research Methods for
Agricultural Decisions. The Law State University Pres, Ames. Pg 303 .

Allen G. 1999. Marine Fishes of South-East Asia. Western Australian Museum.


292 p.

Amri K. Suwarso. Awaludin. 2006. Konisi Hidrologis dan Kaitannya dengan


Hasil Tangkapan Ikan Malalugis (Decapterus macarellus) di Perairan Teluk
Tomini. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia. Vol. 12, No.3. Pusat Riset
Perikanan Tangkap. Badan Riset Kelautan dan Perikanan. Departemen
Kelautan dan Perikanan. Jakarta. Hal 183 – 191.

Andrianto L. 2006. Agenda Makro Revitalisasi Perikanan yang Berkelanjutan.


Inovasi, Vol 6/XVII. Jepang,. pp: 23-29.

Arifin I. 2006. Penentuan Daerah Penangkapan Ikan Cakalang dengan Data Satelit
Multi Sensor di Perairan Laut Maluku [tesis]. Sekolah Pascasarjana. Institut
Pertanian Bogor. Bogor. 94 hlm.

Arifin F. 2008. Optimasi Perikanan Layang di Kabupaten Selayar Propinsi


Sulawesi Selatan. [tesis]. Sekolah Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor.
Bogor. 97 hal.

Arimoto T. 1999. Research and Education System of Fishing Technology in


Japan. The 3 rd JSPS International Seminar. Suistainable Fishing
Technology in Asia Toward the 21 st Century. Pg 32-37.

Asikin D. 1971. Synopsis Biologi Ikan Layang (Decapterus spp). Lembaga


Penelitian Perikanan Laut. Jakarta. 29 hal.

Atmaja, S.B. dan Haluan, J. 2003. Perubahan Hasil Tangkapan Lestari Ikan
Pelagis di Laut Jawa dan Sekitarnya. Bulletin PSP, Vol. X11 No. 2.
Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan. Institut Pertanian
Bogor. Bogor. Hal: 31-40.

Atmajaya, S.B. dan Nugroho, D. 2005. Aplikasi Model Beverton dan Holt bagi
Ikan Layang (Decapterus spp) di Laut Natuna dan sekitarnya. Jurnal
Penelitian Perikanan 11(6): Hal 1-6.

Ayodhyoa A.U. 1981. Metode Penangkapan Ikan. Yayasan Dewi Sri. Bogor.
81 hal.

Balai Penelitian Perikanan Laut. 1992. Ikan-ikan Laut Ekonomis Penting


Indonesia. Pusat Penelitian dan Pengembangan Perikanan. Badan Penelitian
dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian Republik Indonesia.
Jakarta.170 hal.
157

Bangkit Y. 2005. Sistem Penunjang Keputusan Dalam Pengembangan Perikanan


Pukat cincin (Purse seine) DI Provinsi Bali. [Tesis]. Sekolah Pascasarjana.
Institut Pertanian Bogor. Bogor. 320 hal.

Barston R. 1995. United Nation Converence on Straddling and Highly Migratory


Fish Stock. Marine Policy 19 (2): 159-166.

Barus H.R. Badrudin, dan N. Naamin. 1991. Potensi Sumberdaya Perikanan Laut
dan Strategi Pemanfaatannya Bagi Pengembangan Perikanan yang
Berkelanjutan. Prosiding Forum II Perikanan Sukabumi, 18 – 21 Juni 1991.
Pusat Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian.
Jakarta.. 165-180 hal

Baskoro M.S. 2002. Metode Penangkapan Ikan. Diktat Pengajaran Kuliah Jurusan
Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan.
Institut Pertanian Bogor. 54 hal.

Baskoro M.S. 2006. Alat Penangkapan Ikan Berwawasan Lingkungan. Kumpulan


Pemikiran Tentang Teknologi Perikanan Tangkap yang Bertanggungjawab.
Kenangan Purnabakti Prof. Dr. Ir. Daniel R. Monintja. Departemen
Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan. Fakultas Perikanan. IPB Bogor.

Batts B.S. 1972. Sexual Matuarity, Fecundity and Sex Ratio of Skipjack Tuna
(Katsuwonus pelamis, Linn.) in North Carolina Waters. Trans. Amer. Fish.
Soc. 101 (4): Hal 626 – 637.

Bergin A. dan M. Haward. 1994. Soutern bluefin tuna Fishery: Recent


Development in International Management. Marine Policy 8 (3): 263-273.

Bintoro G. 2005. Pemanfaatan Berkelanjutan Sumberdaya Ikan Tembang


(sardinella fimbriata Valenciennes, 1847) di Selat Madura Jawa Timur.
[disertasi ]. Sekolah Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor. 292 hal.

Brandt A. von. 1984. Fish Catching Methods of The World. 3rd Edition.Warwickshire:
Avon Litho Ltd., Stratford-upon-Avon.: 418 pp.

Burhanuddin dan Djamali. 1977. Penelitian Biologi ikan layang (Decapterus


russellli RUPPEL) di Perairan Pulau Panggang, Pulau-Pulau Seribu. Dalam.
Teluk Jakarta Sumberdaya, Sifat-Sifat Oseanologi serta Permasalahannya.
(Ed. M. Hutomo et al). Lembaga Oseanologi Nasional LIPI : Hal 139 – 149.

Burhanuddin, Djamali, A, Maryosewojo S, Muljanto. 1983. Evalusi tentang


Potensi dan Usaha Pengelolaan Sumberdaya Ikan Layang (Decapterus
spp). Lembaga Oseanologi Nasional-LIPI. Jakarta. 61 hal.

Caddy J.F. 1983. Surplus Production Models, pp.29-55. In : Selected Lectures from the
CIDA/FAO/CECAF Seminar on Fishery Resource Evaluation. Casablanca.
Morocco. 6-24 March 1978 : Rome, FAO Canada Funds-in-Trust, FAO/TF/INT
180 Suppl. 166 pp. Issued Also in French.
158

Charles A.T. 1989. Bio-Socio-Economic Fishery Models : Labour Dynamics and


Muib-Objective Management. Can. J. Fish. Aquat. Sci.. 233 p.

Clark C.W. 1985. Bioeconomic Modelling and Fisheries Management. Department of


Mathematics University of British Columbia. A Willey-Interscience Publication
John Wiley ans Sons. New York. 300 p

Cochrane K.L. 2002. Fisheries Management. In Cochrrane, K.L (Editor). A


Fishery Manager’s Guidebook. Management Measure and Their
Application. FAO Fisheries 424. Rome. Pp 1-20.

Criddle K.R. 1993. Optiimal Control of Dynamic Multispecies Fisheries. Univ. Alaska
Sea Grant College Program, Rep. No.93-02:609-629.

Clark C.W. 1985. Bioeconomic Modelling and Fisheries Management. Department of


Mathematics University of British Columbia. A Willey-Interscience Publication
John Wiley ans Sons. New York. 300 p

Dajan A. 1986. Pengantar Metode Statistik Jilid 1. LP3ES. Jakarta. 424 him.

Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Maluku Utara . 2004. Statistik Perikanan
Provinsi Maluku Utara 2003. Pemerintah Provinsi Maluku Utara. 44 hal.

Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Maluku Utara. 2005. Statistik Perikanan
Provinsi Maluku Utara 2004. Pemerintah Provinsi Maluku Utara. 63 hal.

Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Maluku Utara . 2006. Statistik Perikanan
Provinsi Maluku Utara 2005. Pemerintah Provinsi Maluku Utara. 66 hal.

Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Maluku Utara. 2007. Statistik Perikanan
Provinsi Maluku Utara 2006. Pemerintah Provinsi Maluku Utara. 61 hal.

Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Maluku Utara. 2008. Statistik Perikanan
Provinsi Maluku Utara 2007. Pemerintah Provinsi Maluku Utara. 61 hal.

Direktorat Jenderal Perikanan.1979. Buku Pedoman Pengenalan Sumberdaya


Perikanan Laut. Bagian I. Jenis-jenis Ikan Ekonomis Penting. Departemen
Pertanian. Jakarta. 64 hal Fauzi. 2001.
Djamali A. 1995. Sumberdaya Ikan Layang (Decapterus spp) dan
Pengelolaannya di Perairan Indonesia. Pidato Pengukuhan Ahli Peneliti
Utama. Puslitbang Oseanologi LIPI. Jakarta. 50 hal.
Effendie M. I. 1979. Metode Biologi Perikanan. Cetakan Pertama.Yayasan Dewi
Sri. Bogor. 112 hal

Effendie, M.I. 1997. Biologi Perikanan. Yayasan Pustaka Nusatama, Yogyakarta.

FAO (Food Agriculture Organiszation). 1995. Code of Conduct for Responsible


Fisheries. Jakarta (Terjemahan). 104 p.
159

FAO. 1995a. Code of Conduct for Responsible Fisheries. FAO Fisheries


Department (Online), (http://fao/fisheries/code of conduct, diakses 10 Juli
2007). 24 pp.

Fauzi A. 2001. An Economic Analysis of the Surplus Production Function : An


Application for Indonesian Small Pelagic Fishery. Paper Presented at the
Nasional Seminar Organized by Persada (Japanese Alumni Association). Bogor
20 January 2001. 135 p.

Fauzi A. dan Ana S. 2005. Pemodelan Sumberdaya Perikanan dan Kelautan.


untuk Analisis Kebijakan . PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. 339 hal.

Fridman, A.L. 1986. Calculations for Fishing Gear Design (ed. By Carrothers,
P.J.G. FAO Fishing Manuals, Fishing News Books. Ltd. Pg 183-203.

Fyson, J. 1985. Design of Small Fishing Vessel. London : FAO Fishing. News Books.
Ltd. Pg 183 – 203.

Gafa, B., Bahar, S. dan Karyana. 1993. Potensi Sumberdaya Perikanan di Perairan
Laut Flores dan Selat Makassar. Jurnal Penelitian Perikanan Laut 72:43-53.

Ganaisa A. S. dan Djamali. 1983. Beberapa Aspek Biologi Ikan Layang


(Decapterus lajang, Bleeker) di Perairan Pulau Panggang, Pulau-Pulau
Seribu. Makalah pada Kongres Nasional Biologi Ke-IV Surabaya. Balai
Penelitian Biologi Laut. Pusat Penelitian dan Pengembangan Oseanologi.
LIPI. Jakarta. hal: 1-3.

Gordon H.S. 1954. The Economic Theory of a Common Property Resources: the
Fishery. Journal of Political Economy 62:124-142.

Gulland JA. 1983. Fish Stock Assesment. A Manual of Basic Methods. John
Wiley and Sons, Chichester-New York-Brisbane-Toronto-Singapore. 223 p.

Haluan, J. dan T. W. Nurani. 1988. Penerapan Metode Skoring dalam Penelitian


Teknologi Penangkapan Ikan yang Sesuai Untuk dikembangkan di Suatu
Wilayah Perairan. Bulletin PSP (2):3-16.

Hardenberg, J.D.F. 1937. Preliminary Report on A Migration of Fish in The Java


Sea. Treubia 16 (2) : 295 - 300.

Hariati T. 2004. Ikan Layang Biru (Decapterus macarellus), Salah Satu Spesies
Ikan Pelagis Kecil Laut Dalam di Indonesia. Warta Penelitian Perikanan
Indonesia. Edisi Sumberdaya dan Penangkapan. Vol: 11, Nomor 5, 2005.
Pusat Riset Periakanan Tangkap. Badan Riset Kelautan dan Perikanan.
Departemen Kelautan dan Perikanan. Jakarta. Hal 15 – 18.

Holden. M. 1995. The Common Fishery Policy: Origin, Evaluation and Future.
Fishing New Books Ltd. London. 274 pp.
160

Irham. Wisudo S.H., Haluan J., dan Wiryawan B. 2008. Analisis Pengembangan
Perikanan Mini Purse Seine Berbasis Optimasi Sumberdaya Ikan Pelagis
Kecil di Provinsi Maluku utara. Buletin PSP. ISSN 0251-286X. Volume
XVII. No. 1 April 2008. Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan.
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Jaiswar, A. K., S. K.Chakraborty and R.P. Swamy. 2001. Studies on the Age,
Growth and Mortality Rates of Indian Scad Decapterus russelli (Ruppell)
from Mubai Waters. Fisheries Research 53:303-308.

Kadariah. 1978. Pengantar Evaluasi Proyek. Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi


Universitas Indonesia

Kilingbell R. A. 1978. Sraulis mordax,ex Ratio of the Northeren Anchovy,


Engraulis mordax, off Southern California. Calif. Fish and Game 64 (3): Hal
200 – 209.

Laevastu, T and I. Hela, 1970. Fisheries Oceanography. Fishing News Books, Ltd
London. 238 p.

Laevastu T, Favorite F. 1988. Fishing and Stock Fluktuations. Fishing News


(Books) Ltd, London. 240 p.

Laevastu T, Hayes ML. 1981. Fisheries Oceanography and Ecology. England:


Fishing News Books Ltd. 199 p.

Luasunaung A. 2001 .Pendugaan Musim Ikan “Malalugis Biru” (Decapterus


macarellus) di Perairan Sekitar Bitung. Sulawesi Utara. Jurnal Fakultas
Perikanan April 2000 Volume II No.1. Fakultas Perikanan dan Ilmu
Kelautan. Universitas Samratulangi Manado. Manado.

Mangkusbroto dan Trisnadi. 1985. Analisa Keputusan Pendekatan System dalam


Manajemen Usaha dan Proyek. Ganeca Exact. Bandung. 271 hal.

Manurung, V.T, T. Pranadji; A.Mintoro; M.N. Kirom; Isetiajie; A. Murtiningsih,


dan Sugiarto., 1998. Laporan Hasil Penelitian Pengembangan Ekonomi
Desa Pantai. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian. Badan Litban
Pertanian. Deptan. Jakarta.

Martasuganda, S. 2002. Jaring Insang (Gillnet). Jurusan Pemanfaatan Sumberdaya


Perikanan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor.
Bogor. 68 hal.

Masahoro, A. 2001. Analisis Berbagai Faktor Produksi pada Perikanan Purse


Seine di Perairan Teluk Tomini. Jurnal Ilmu-Ilmu Pertanian Agroland.
Fakultas Pertanian Universitas Tadulako. 8(2):216-233.

Merta I. G. S. 1992. Dinamika Populasi Ikan Lemuru. Sardinela lemuru


BLEEKER 1953 (Pisces Clupeidae) di Perairan Selat Bali dan Alternatif
Pengelolaannya. [Tesis]. Fakultas Pascasarjana IPB.
161

Monintja D.R. 1987. Beberapa Teknologi Pilihan untuk Pemanfaatan Sumberdaya


Hayati Laut di Indonesia. Bulletin Jurusan PSP. Volume 1 no 1. Fakultas
Perikanan; IPB. Hal 14-25.

Monintja D.R. 1997. Agribisnis Penangkapan Ikan. Bahan Pelatihan Analisis


Investasi Agribisnis Bidang penangkapan Ikan. Bank BNI-LPSDM IPB. 24
hal.

Monintja D.R. 2000. Prosiding Pelatihan untuk Pelatih Pengelolaan Wilayah


Pesisir Terpadu. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan. Institut
Pertanian Bogor. Bogor. 156 hal.

Mulyono, S. 1991. Operations Research. Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi


Universitas Indonesia. Jakarta. 247 hal.

Munasinghe, M. 2002. Analysing the nexus of sustainable and climate change: An


overview. France: OECD. 53 p.

Najamuddin. 2004. Kajian Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Layang (Decapterus


spp) Berkelanjutan di Perairan Selat Makassar. [Disertasi]. Program
Pascasarjana Universitas Hasanuddin. Makassar. 263 hal.

Najamuddin, Mallawa, A., Budimawan dan Indar, M.Y.N. 2004. Pendugaan


ukuran pertama kali matang gonad ikan layang (Decapterus russelli
Ruppell) dalam menunjang perikanan yang berkelanjutan di perairan Selat
Makassar, Sulawesi Selatan. Torani, September.

Najamuddin. 2006. Analisis Ukuran Mata Jaring Minimum Alat Penangkap Ikan
Layang Deles (Decapterus macrosoma Bleeker) di Perairan Selat Makassar
Sulawesi Selatan. Jurnal Kopertis. 1(1): Hal 1-13.

Nikijuluw V. 2002. Rezim Pengelolaan Sumberdaya Perikanan. Pusat


Pemberdayaan dan Pembangunan Regional (P3R). Jakarta. 254 hal.

Nikolsky, G.V. 1963. The Ecology Fishes. Academic Press. London. 350 pp.

Nontji. 1993. Laut Nusantara. PT. Djambatan. Jakarta. 386 hal.

Nontji A. 2002. Laut Nusantara. Jakarta. Djambatan. 130 hlm.

Nontji A. 2007. Laut Nusantara. Edisi Revisi. Djambatan. 372 hlm.

Nugroho D. 2005. Kondisi Trend Biomassa Ikan Layang (Decapterus spp) Di


Laut Jawa dan Sekitarnya. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia. Vol. 12,
No.3. Pusat Riset Periakanan Tangkap. Badan Riset Kelautan dan Perikanan.
Departemen Kelautan dan Perikanan. Jakarta. Hal 167-182.

Nugroho D dan S Mardlijah. 2006. Hubungan Panjang Bobot, Perbandingan Jenis


Kelamin, dan Tingkat Kematangan Gonad Tuna Mata Besar (Thunnus
162

obesus) di Perairan Laut Banda. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia. Vol.


12, No.3. Pusat Riset Periakanan Tangkap. Badan Riset Kelautan dan
Perikanan. Departemen Kelautan dan Perikanan. Jakarta. Hal 196 – 198.

Pauly. 1979. Fish Population Dynamics in Tropical Waters : a Manual for use with
Programmable calculators. ICLARM Stud. Rev. (8) : 325 pp.

Pauly D. 1983. Some Simple Methods for The Assessment of Tropical Fish
Stocks. Fao Fisheries Technical Paper No. 234. 52p.

Pelabuhan Perikanan Nusantara Ternate. 2008. Statistik Perikanan Pelabuhan


Nusantara Ternate Tahun 2007. Ternate. 52 hal.

Purbayanto A., dan Baskoro M. 1999. Tinjauan Singkat Tentang Pengembangan


Teknologi Penangkapan Ikan Ramah Lingkungan. Mini Review on the
Development of Environmental Friendly Fishing Technology. Graduate
Student at Tokyo University of Fisheries. Departemen of Marine Science
and Technology. Tokyo. 5 hal.

Purbayanto 2003. Konsep Pembangunan Perikanan Tangkap Berkelanjutan Untuk


Meningkatkan Kesejahteraan Nelayan. Konsep Pembangunan Sektor
Perikanan dan Kelautan DI Indonesia. Departemen Pemanfaatan
Sumberdaya Perikanan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut
Pertanian Bogor. Hal 41-44.

Purwanto. 1990. Bioekonomi Perubahan Teknologi Penangkapan Ikan. Oseana


Vol. XV, Nomor 3 : 115 – 126. Jakarta

Reinthal, P & J. Stegen. 2005. Ichthyology. http://eebweb.arizona.edu/courses/eco


1482_582/Lecture120056.pdf [18-11-2006].

Ricker J.S. 1975. Compilasi and Interpretation of Biologi Cal Statistic of Fish
Population. Bull Fish Ress Board Can No 119.

Riyanto B. 1991. Dasar-dasar Pembelanjaan Perusahaan. Edisi ketiga, cetakan


keempatbelas. Yayasan Badan Penerbit Gadjah Mada Yogyakarta: 317 hal.

Royce, W. F. 1972. Introduction to the Fishery Sciences. Academic Press. New


York and London. 351 p.

Saanin H. 1994. Taksanomi dan Kunci Identifikasi Ikan Jilid I dan II. Penerbit Bina
Cipta. Bandung. 85 hal.

Samuel. 2003. Composition of Spesies Caught by Some Fishing Gears in The


Middle Part of Musi River Basins. Jurnal Ilmu-ilmu Perikanan dan Budidaya
Perairan. 1(1): Hal 89-100.
163

Sardjana. 1998. Laporan Kegiatan Penelitian Keragaan Sosial Ekonomi Perikanan


Malalugis di Perairan Laut Sulawesi, Laut Maluku dan Teluk Tomini: 12 hal
(interin Report).

Schaefer M.B. 1954. Some Aspects of the Dynamic of Populations Important to


the Management of Commercial Marine Fisheries . Bulletin of the Inter-
American Tropical Tuna Commission: 25-56.

Schaefer M.B. 1975. Some Aspects of the Dynamic of Populations Important to


the Management of Commercial Marine Fisheries . Bulletin of the Inter-
American Tropical Tuna Commission: 25-56.

Schnute J.T and R. Hilbom.1993. Analysis of Contradictory Data Sources in


Fish Stock Assessment. Can. J. Fish. Aquat. Sci. 50:1916-1923.

Shepherd, J.G. 1992. Aide Memoire on Scientific Advice on Fisheries


Management Directorate of Fisheries Research. Lowesroft. UK. Pg 17.

Seiijo J.C, Defeo O. and S. Salas. 1998. Fisheries Bioeconomics (Theory,


Modeling and Management). FAO-UN, Rome:108 p.

Simbolon D. 2003. Pengembangan Perikanan Pole and Line yang Berkelanjutan


di Perairan Sorong. Suatu Pendekatan Sistem. [Disertasi]. Sekolah
Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor. 153 hal.

Siswanto. 1993. Goal Programming dengan Menggunakan LINDO. PT. Elex


Media Komputindo Kelompok Gramedia. Jakarta. 242 hal.

Soekartawi. 1995. Programasi Tujuan Ganda Teori dan Aplikasinya. Penerbit PT.
Gramedia Widiasarana Indonesia. Jakarta. 234 hal.

Soumokil A. 1996. Telaah Beberapa Parameter Populasi Ikan Momar Putih


(Decapterus russellli) di Perairan kecamatan Amahai, Maluku Tengah dan
Alternatif Pengelolaannya. [Tesis]. Sekolah Pascasarjana. Institut Pertanian
Bogor. Bogor. 103 hal.

Sparre P, Venema SC. 1999. Introduksi Pengkajian Stok Ikan Tropis, Buku 1:
Manual. Pusat Penelitian dan Pengembangan Perikanan, Jakarta. 438 him.

Suardi. 2005. Pengembangan Perikanan Tangkap Pelagis Kecil Untuk


Pemberdayaan Nelayan DI Kota Palopo Provinsi Sulawesi Selatan. [Tesis].
Sekolah Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor. 127 hal.

Subani W. dan H.R. Barus. 1989. Alat Penangkap Ikan Dan Udang Laut Di
Indonesia (Fishing Gears for marine Fish and Shrimp in Indonesia). No.50
Tahun 1988/1989. Edisi Khusus. Jumal Penelitian Perikanan Laut. Balai
Penelitian Perikanan Laut. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian
Departemen Pertanian. Jakarta. 248 hal.
164

Sudirman dan Mallawa, A. 2003. Teknik Penangkapan Ikan. Penerbit Rineka


Cipta. Jakarta. 168 hal.

Suharyanto. 1998. Selektivitas faring Insang Hanyut terhadap Ikan Tongkol di


Perairan Lepas Pantai Pelabuhanratu, Jawa Barat. Thesis (tidak
dipublikasikan). Program Pascasarjana IPB. Bogor. 109 hal.

Sumadhiharga, K. 1991. Struktur Populasi dan Reproduksi Ikan Momar Merah


(Decpterus russelli) di Teluk Ambon. Dalam : Perairan Maluku dan
Sekitaarnya. BPPSL. Pusat Penenelitian dan Pengembangan Oseanologi -
LIPI, Ambon . 39 - 47.

Sultan M. 2004. Pengembangan Perikanan Tangkap di Kawasan Taman Nasional


Laut Taka Bonerate. [Disertasi]. Bogor: IPB. 174 hal.

Suwarso dan T. Hariati. 1988. Pendugaan Kematangan Gonad dan Musim


Pemijahann Ikan layang (Decapterus russelli) di Laut Jawa. Jurnal
Penelitian Perikanan Laut No. 46. Lembaga Penelitian Perikanan Laut. Hal
1- 9

Syafrin N. 1993. Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pendapatan Usaha


Penangkapan Ikan (tidak dipublikasikan). Program Pasca Sarjana IPB. Bogor:
hal 79.

Sparre P. E. And Venema. 1992. Introduction to Tropical Fish Stock Assessment.


Part 1. Manual FAO Fish. Tech. Paper. No. 306/1 (Revisi). 376p.

Sparre P, Venema SC. 1999. Introduksi Pengkajian Stok Ikan Tropis, Buku 1:
Manual. Pusat Penelitian dan Pengembangan Perikanan, Jakarta. 438 hal.

Steel R.G.D. and J.H. Torrie. 1981. Principles and Procedues of Statistic. McGraw-
Hill. Tokyo: 748 p.

Stevenson, W.J. 1989. Introduction to Management Science. Homewood. Boston.

Suhendrata, T. dan Rusmadji. 1991. Pendugaan ukuran pertama kali matang


gonada dan perbandingan kelamin ikan kembung perempuan (Rastrelliger
brachysoma) di perairan sebelah Utara Tegal. J. Pen. Perikanan Laut No.
64 : 59-63.

Sumadhiharga K. 1991. Struktur Populasi dan Reproduksi Ikan layang Merah


(Decapterus russelli) di Teluk Ambon. Dalam Perairan Maluku dan
Sekitarnya, Praseno dkk. (eds). Balai Penelitian dan Pengembangan
Sumberdaya Laut, P3O-LIPI, Ambon. Hal 39-74

Suwarso, D., W.A. Pralampita, dan M.M. Wahyono. 2000. Biologi reproduksi
malalugis biru (D. macarellus) di Sulawesi Utara. Prosiding Seminar Hasil
Penelitian Perikanan 1999/2000. Pusat Penelitian dan Pengembangan
Eksplorasi Laut dan Perikanan, Jakarta.
165

Tiews, K., I. A. and L. M. Santos. 1972. On the Biology of Anchovies


(Stolephorus lacepede) in Philippines waters. Proc. Indo. Pasific Fish.
Counc. 12(2):1-25.

Udupa KS. 1986. Statistical methods of estimating the size at first maturity in
fishes. Fishbyte 4(2): Hal 8-10.

Wahyuningsih H. dan Barus T. A. (2006). Buku Ajar Iktiologi. HIbah


Kompetisikonten Matakuliah E-Learning. Usu-Inherent. Fakultas
Matematikan dan Ilmu Pengetahuan Alam. Universitas Sumatera Utara.

Weber, M. and De Beaufort, L.F. 1931. The Fishes of the Indo-Australian


Archiopelago. Vol. VI. E.J. Brill Leiden Ltd:192-201.

Weatherley, L.A. 1972 Growth and Ecology of Fish Population. Academic Press.
Inc, London 293 p.

Widodo J. 1988. Population Dynamics and Management of Ikan layang


Decapterus spp) (Carangidae) in the Java Sea. Jurnal Penelitian Perikanan
Laut (47). Hal 11- 44

Widodo J. 1998. Population Dynamics and Management of “ikan layang”, Scad


Mackeral Decapterus spp. (Pisces: Carangidae) in the Java Sea. Dissertation
of Philosophy. University of Washington. 150 p.

Wiyono E.S. 1993. Studi tentang pengaruh pola musim dan perubahan teknologi
penangkapan ikan layang (Decapterus spp) di perairan Laut Jawa. [Skripsi]
(tidak dipublikasikan). Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB. Bogor.

Yuliansyah, H. 2002. Pengembangan Perikanan Tangkap untuk Pemberdayaan


Nelayan di Kepulauan Riau dalam Perpestif Otonomi Daerah. [Tesis].
Bogor: IPB. 231 hal.

Yusuf S.A, dan M.S. Hamzah. 1995. Pengaruh Musim Terhadap Produksi Ikan
Momar (Decapterus spp) Dikaitkan Dengan Kondisi Hidrologi Di Perairan
Kepulauan Lease Maluku Tengah. Diacu Dalam Prosiding Simposium
Perikanan Indonesia I. Buku II: Bidang Sumberdaya Perikanan Dan
Penangkapan. Puslitbang Perikanan: hal. 93-101.
166

LAMPIRAN
167

Lampiran 1 Peta Provinsi Maluku Utara dan lokasi penelitian

126°30' 127°00' 127°30' 128°00' 128°30' 129°00' 129°30'

SAMUDRA PASIFIC
2°30'

2°30'
Berebere
P. Rau
P. MOROTAI

Asimiro Sabatai Baru


2°00'

2°00'
Laloda PPI
Î
Tobelo
1°30'

1°30'
P. Mayao
Lolobata

o
a
K

P. Tifure
k
l u

Wasile
e
1°00'

1°00'
T

PPN / PPI
P. Ternate
Î
P. Tidore
P. HALMAHERA
0°30'

0°30'
Segea
P. Moti

P. Makian

Mafa
L A U T H A L M A H E R
L A U T M A L U K P. Gebe
P. Kayoa
0°00'

0°00'
Gurapin

Malidi

P. KASIRUTA

Yaba
0°30'

0°30'

P. BACAN
Busu
Î
PPI Sepi

P. MANDIOLI

P. Damar
1°00'

1°00'

126°30' 127°00' 127°30' 128°00' 128°30' 129°00' 129°30'

Peta Lokasi Penelitian Peta Tunjuk : Digambar Oleh :


di Perairan Maluku Utara Keterangan : Irham
C461060071
Garis Pantai
N
Î Lokasi PPI / PPN
Darat
W E
Kedalaman Program Studi Perikanan
Sekolah Pascasarjana
S 0 - 200 m
Institut Pertanian Bogor (IPB)
Skala 1 : 2.000.000 200 - 1000 m
Sumber Peta :
> 1000 m 1. Peta RBI Bakosurtanal
30 0 30
2. C - Map World Windows V.3.0
Km
3. Survey Lapangan
168

Lampiran 2 Analisis kelayakan perikanan ikan layang dengan alat tangkap mini
purse seine menggunakan program DSS-BALI ANALISIS

Asumsi dan koefisien

No. Uraian Satuan Nilai Perubahan Nilai Akhir


Mode
1 Produktifitas
Jumlah Trip
Trip/musim 75 0 75
Musim Puncak
Jumlah Trip
Trip/musim 45 0 45
Musim Biasa
2 Pendanaan
Modal Sendiri % 80 0 60
Bunga Pinjaman %/tahun 15 0 15
Jangka Waktu
tahun 10 0 10
Pengembalian
Tenggang
Waktu tahun 1 0 1
Pengembalian
Sistem Bagi
3
Hasil
a. Pemilik Alat
bagian 60 0 60
Tangkap
b. Crew bagian 40 0 40
Juragan Laut bagian 2 0 2
Juru Mesin bagian 1.5 0 1.5
Nelayan
bagian 1 0 1
ABK
4 Lain - Lain
Pajak % 0 0 0
Retribusi % 1.5 0 1.5
Upah Minimum
Rp./tahun 8,400,000.00 0 7,200,000.00
Provinsi
Biaya
Rp./tahun 7,300,000.00 0 7,300,000.00
Perawatan
Distribusi
5
Jumlah Crew
Juragan Laut orang 1
Juru Mesin orang 2
Nelayan ABK orang 10
Total Crew 13
169

Faktor
15
Pembagian

Lanjutan lampiran 2 Produksi dan pendapatan serta Pembiyaan operasional


nelayan mini purse seine

Produksi dan pendapatan

No. Uraian Satuan Volume Harga Jumlah


Mode
Pendapatan Musim
1 Puncak Rp./trip
Ikan layang Kg./trip 650 6,000 3,900,000
Pendapatan Per
Trip Rp./trip 3,900,000
Jumlah Trip
Musiman trip/musim 75
Pendapatan
Tahunan Rp./musim 292,500,000

Pendapatan musim
2 sedang Rp./trip
Ikan layang Kg./trip 400 6,000 2,400,000
Pendapatan Per
Trip Rp./trip 2,400,000
Jumlah Trip
Musiman trip/musim 45
Pendapatan
Tahunan Rp./musim 108,000,000
Total Pendapatan Tahunan Rp./tahun 400,500,000

Pembiyaan operasional nelayan

No. Uraian Satuan Nilai Perubahan Nilai Akhir


Mode
1 Biaya Operasional Nelayan
Minyak tanah Rp./trip 600,000 0 600,000
Bensin Rp./trip 35,000 0 35,000
Oli Rp./trip 50,000 0 50,000
Ransum Rp./trip 75,000 0 75,000
Es Rp./trip 180,000 0 180,000
Sub Total Rp./trip 940,000
2 Biaya Operasional Tahunan
Biaya Operasional Rp./tahun 112,800,000
170

Biaya Retribusi Rp./tahun 6,007,500


Total Biaya
Operasional Rp./tahun 118,807,500

Lanjutan lampiran 2 Pendapatan nelayan mini purse seine

No. Uraian Satuan Volume Harga Jumlah


1 Pendapatan
a. Pendapatan
Musim Puncak Rp./musim 1 292,500,000 292,500,000
b. Pendapatan
Musim Sedang Rp./musim 1 108,000,000 108,000,000
Total Pendapatan
Tahunan Rp./musim 400,500,000
2 Pengeluaran
a. Biaya
Operasional
Minyak tanah Rp./trip 120 600,000 72,000,000
Bensin Rp./trip 120 35,000 4,200,000
Oli Rp./trip 120 50,000 6,000,000
Ransum Rp./trip 120 75,000 9,000,000
Es Rp./trip 120 180,000 21,600,000
Sub Total Rp./tahun 112,800,000
b. Biaya Retribusi Rp./tahun 6,007,500
Total Pengeluaran Rp./tahun 118,807,500
Pendapatan Setelah
3 Retribusi Rp./tahun 281,692,500
4 Sistem Bagi Hasil
a. Pemilik Alat
Tangkap Rp. 169,015,500
b. Crew Rp. 112,677,000
Juragan Laut Rp./orang 15,023,400
Juru Mesin Rp./orang 11,275,600
Nelayan ABK Rp./orang 7,511,800
171

Lanjutan lampiran 2 Investasi dan penyusutan perikanan mini purse seine

Umur
No. Uraian Satuan Nilai Perubahan Nilai Akhir Ekonomis Nilai Sisa Penyusutan
Mode
1 Investasi 247,000,000 33,900,000
Perahu Rp. 125,000,000 0 125,000,000 10 20,000,000 10,500,000
Mesin kapal Rp. 60,000,000 0 60,000,000 5 10,000,000 10,000,000
Alat Tangkap Rp. 50,000,000 50,000,000 5 10,000,000 8,000,000
Rumpon Rp. 9,000,000 0 9,000,000 2 0 4,500,000
Keranjang ikan Rp. 1,500,000 0 1,500,000 5 0 300,000
Jeregen Rp. 500,000 0 500,000 5 0 100,000
Lampu petromkas Rp. 1,000,000 0 1,000,000 2 0 500,000
Total Investasi Rp. 247,000,000
172

Lanjutan lampiran 2 Perkiraan arus uang perikanan mini purse seine

No Uraian 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
1 Inflow 169015500 169015500 169015500 169015500 189015500 169015500 169015500 169015500 169015500 229015500
Porsi Pendapatan Pemilik 169015500 169015500 169015500 169015500 169015500 169015500 169015500 169015500 169015500 169015500
Nilai Sisa Modal 0 0 0 0 20000000 0 0 0 0 60000000
Perahu 0 0 0 0 0 0 0 0 0 20000000
Mesin kapal 0 0 0 0 10000000 0 0 0 0 20000000
Alat tangkap 0 0 0 0 10000000 0 0 0 0 20000000
Rumpon 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
Keranjang ikan 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
Jeregen 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
Lampu petromaks 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
Lain - Lain 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
2 Outflow 247000000 41200000 61552956 51552956 61552956 1635572956 61552956 51552956 61552956 51552956 51552956
Investasi 247000000 0 10000000 0 10000000 112000000 10000000 0 10000000 0 0
Perahu 125000000 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
Mesin kapal 60000000 0 0 0 0 60000000 0 0 0 0 0
Alat tangkap 50000000 0 0 0 0 50000000 0 0 0 0 0
Rumpon 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
Keranjang ikan 9000000 0 9000000 0 9000000 1500000 9000000 0 9000000 0 0
Jeregen 1500000 0 0 0 0 500000 0 0 0 0 0
Lampu petromaks 500000 0 1000000 0 1000000 0 1000000 0 1000000 0 0
Lain - Lain 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0

Biaya Operasional 0 41200000 51552956 51552956 51552956 51552956 169157956 169157956 169157956 169157956 169157956
Biaya Perawatan 7300000 7300000 7300000 7300000 7300000 7300000 7300000 7300000 7300000 7300000
Penyusutan 33900000 33900000 33900000 33900000 33900000 33900000 33900000 33900000 33900000 33900000
Pengembalian
Pinjaman 0 10352956 10352956 10352956 10352956 10352956 10352956 10352956 10352956 10352956
173

Lanjutan lampiran 2 Perkiraan arus uang perikanan mini purse seine

No Uraian 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

Laba Bersih
3 -247000000 127815500 107462544 117462544 107462544 25462544 107462544 117462544 107462544 117462544 117462544
Sebelum Pajak

4 Pajak 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0

5 Laba Bersih -247000000 127815500 107462544 117462544 107462544 25462544 107462544 117462544 107462544 117462544 117462544

6 BEP (Rp) 71251072,84

7 BEP (kg) 16883,69

8 NPV 408,587,579

9 IRR 58..67

10 Payback-Periode 2.00

11 Benefit-CostRatio 2.98
174

Lampiran 3 Analisis kelayakan perikanan ikan layang menggunakan


produktivitas ideal alat mini purse seine dengan program DSS-
BALI ANALISIS

Asumsi dan koefisien

No. Uraian Satuan Nilai Perubahan Nilai Akhir


Mode
1 Produktifitas
Jumlah Trip
Trip/musim 75 0 75
Musim Puncak
Jumlah Trip
Trip/musim 45 0 45
Musim Biasa
2 Pendanaan
Modal Sendiri % 80 0 60
Bunga Pinjaman %/tahun 15 0 15
Jangka Waktu
tahun 10 0 10
Pengembalian
Tenggang
Waktu tahun 1 0 1
Pengembalian
Sistem Bagi
3
Hasil
a. Pemilik Alat
bagian 60 0 60
Tangkap
b. Crew bagian 40 0 40
Juragan Laut bagian 2 0 2
Juru Mesin bagian 1.5 0 1.5
Nelayan
bagian 1 0 1
ABK
4 Lain - Lain
Pajak % 0 0 0
Retribusi % 1.5 0 1.5
Upah Minimum
Rp./tahun 8,400,000.00 0 7,200,000.00
Provinsi
Biaya
Rp./tahun 7,300,000.00 0 7,300,000.00
Perawatan
Distribusi
5
Jumlah Crew
Juragan Laut orang 1
Juru Mesin orang 2
Nelayan ABK orang 10
Total Crew 13
Faktor
15
Pembagian
175

Lanjutan lampiran 3 Produksi ideal dan pendapatan ideal serta pembiyaan


operasional nelayan mini purse seine

Produksi dan ideal

No. Uraian Satuan Volume Harga Jumlah


Mode
Pendapatan Musim
1 Puncak Rp./trip
Ikan layang Kg./trip 1000 6,000 6,000,000
Pendapatan Per
Trip Rp./trip 6,000,000
Jumlah Trip
Musiman trip/musim 75
Pendapatan
Tahunan Rp./musim 450,000,000

Pendapatan musim
2 sedang Rp./trip
Ikan layang Kg./trip 500 6,000 3,000,000
Pendapatan Per
Trip Rp./trip 3,000,000
Jumlah Trip
Musiman trip/musim 45
Pendapatan
Tahunan Rp./musim 135,000,000
Total Pendapatan Tahunan Rp./tahun 585,000,000

Pembiyaan operasional nelayan

No. Uraian Satuan Nilai Perubahan Nilai Akhir


Mode
1 Biaya Operasional Nelayan
Minyak tanah Rp./trip 600,000 0 600,000
Bensin Rp./trip 35,000 0 35,000
Oli Rp./trip 50,000 0 50,000
Ransum Rp./trip 75,000 0 75,000
Es Rp./trip 180,000 0 180,000
Sub Total Rp./trip 940,000
2 Biaya Operasional Tahunan
Biaya Operasional Rp./tahun 112,800,000
Biaya Retribusi Rp./tahun 8,775,000
Total Biaya
Operasional Rp./tahun 121,575,000
176

Lanjutan lampiran 3 Pendapatan nelayan mini purse seine yang ideal

No. Uraian Satuan Volume Harga Jumlah


1 Pendapatan
a. Pendapatan
Musim Puncak Rp./musim 1 450,000,000 450,000,000
b. Pendapatan
Musim Sedang Rp./musim 1 135,000,000 135,000,000
Total Pendapatan
Tahunan Rp./musim 585,000,000
2 Pengeluaran
a. Biaya
Operasional
Minyak tanah Rp./trip 120 600,000 72,000,000
Bensin Rp./trip 120 35,000 4,200,000
Oli Rp./trip 120 50,000 6,000,000
Ransum Rp./trip 120 75,000 9,000,000
Es Rp./trip 120 180,000 21,600,000
Sub Total Rp./tahun 112,800,000
b. Biaya Retribusi Rp./tahun 8,775,000
Total Pengeluaran Rp./tahun 121,575,000
Pendapatan Setelah
3 Retribusi Rp./tahun 463,425,000
4 Sistem Bagi Hasil
a. Pemilik Alat
Tangkap Rp. 278,055,000
b. Crew Rp. 185,370,000
Juragan Laut Rp./orang 24,716,000
Juru Mesin Rp./orang 18,537,000
Nelayan ABK Rp./orang 12,358,000
177

Lanjutan lampiran 3 Investasi dan penyusutan perikanan mini purse seine

Umur
No. Uraian Satuan Nilai Perubahan Nilai Akhir Ekonomis Nilai Sisa Penyusutan
Mode
1 Investasi 247,000,000 33,900,000
Perahu Rp. 125,000,000 0 125,000,000 10 20,000,000 10,500,000
Mesin kapal Rp. 60,000,000 0 60,000,000 5 10,000,000 10,000,000
Alat Tangkap Rp. 50,000,000 50,000,000 5 10,000,000 8,000,000
Rumpon Rp. 9,000,000 0 9,000,000 2 0 4,500,000
Keranjang ikan Rp. 1,500,000 0 1,500,000 5 0 300,000
Jeregen Rp. 500,000 0 500,000 5 0 100,000
Lampu petromkas Rp. 1,000,000 0 1,000,000 2 0 500,000
Total Investasi Rp. 247,000,000
178

Lanjutan lampiran 3 Perkiraan arus uang perikanan mini purse seine

No Uraian 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
1 Inflow 278,055,000 278,055,000 278,055,000 278,055,000 298,055,000 278,055,000 278,055,000 278,055,000 278,055,000 338,055,000
Porsi Pendapatan Pemilik 278,055,000 278,055,000 278,055,000 278,055,000 278,055,000 278,055,000 278,055,000 278,055,000 278,055,000 278,055,000
Nilai Sisa Modal 0 0 0 0 20000000 0 0 0 0 60000000
Perahu 0 0 0 0 0 0 0 0 0 20000000
Mesin kapal 0 0 0 0 10000000 0 0 0 0 20000000
Alat tangkap 0 0 0 0 10000000 0 0 0 0 20000000
Rumpon 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
Keranjang ikan 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
Jeregen 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
Lampu petromaks 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
Lain - Lain 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
2 Outflow 247000000 41200000 61552956 51552956 61552956 1635572956 61552956 51552956 61552956 51552956 51552956
Investasi 247000000 0 10000000 0 10000000 112000000 10000000 0 10000000 0 0
Perahu 125000000 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
Mesin kapal 60000000 0 0 0 0 60000000 0 0 0 0 0
Alat tangkap 50000000 0 0 0 0 50000000 0 0 0 0 0
Rumpon 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
Keranjang ikan 9000000 0 9000000 0 9000000 1500000 9000000 0 9000000 0 0
Jeregen 1500000 0 0 0 0 500000 0 0 0 0 0
Lampu petromaks 500000 0 1000000 0 1000000 0 1000000 0 1000000 0 0
Lain - Lain 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0

Biaya Operasional 0 41200000 51552956 51552956 51552956 51552956 169157956 169157956 169157956 169157956 169157956
Biaya Perawatan 7300000 7300000 7300000 7300000 7300000 7300000 7300000 7300000 7300000 7300000
Penyusutan 33900000 33900000 33900000 33900000 33900000 33900000 33900000 33900000 33900000 33900000
Pengembalian
Pinjaman 0 10352956 10352956 10352956 10352956 10352956 10352956 10352956 10352956 10352956
179

Lanjutan lampiran 3 Perkiraan arus uang perikanan mini purse seine

No Uraian 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

Laba Bersih
3 -247000000 236855000 216502044 226502044 216502044 134502044 216502044 226502044 216502044 226502044 286502044
Sebelum Pajak

4 Pajak 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0

5 Laba Bersih -247000000 236855000 216502044 226502044 216502044 34502044 216502044 226502044 216502044 226502044 286502044

6 BEP (Rp) 55852303,64

7 BEP (kg) 11750,77

8 NPV 884,451,986

9 IRR 105,11

10 Payback-Periode 1.06

11 Benefit-CostRatio 5,28
180

Lampiran 4 Analisis kelayakan perikanan ikan layang dengan alat tangkap


jaring insang hanyut menggunakan program DSS-BALI ANALISIS

Asumsi dan koefisien

No. Uraian Satuan Nilai Perubahan Nilai Akhir


Mode
1 Produktifitas
Jumlah Trip
Musim Puncak Trip/musim 75 0 75
Jumlah Trip
Musim Biasa Trip/musim 45 0 45
2 Pendanaan
Modal Sendiri % 80 0 80
Bunga Pinjaman %/tahun 15 0 15
Jangka Waktu
Pengembalian tahun 10 0 10
Tenggang Waktu
Pengembalian tahun 1 0 1
Sistem Bagi
3 Hasil
a. Pemilik Alat
Tangkap bagian 50 0 50
b. Crew bagian 50 0 50
Juragan Laut bagian 2 0 2
Juru Mudi bagian 0 0 0
Juru Mesin bagian 1.5 0 1.5
Nelayan ABK bagian 1 0 1
4 Lain - Lain
Pajak % 0 0 0
Retribusi % 1.5 0 1.5
Upah Minimum
Provinsi Rp./tahun 8,400,000.00 0 7,200,000.00
Biaya Perawatan Rp./tahun 6,150,000.00 0 6,150,000.00
Distribusi
5 Jumlah Crew
Juragan Laut orang 1
Juru Mesin orang 1
Nelayan ABK orang 2
Total Crew 4
Faktor
Pembagian 6
181

Lanjutan lampiran 4 Produksi dan pendapatan serta pembiayaan operasional


nelayan jaring insang

Produksi dan pendapatan

No. Uraian Satuan Volume Harga Jumlah


Mode
1 Pendapatan Musim Puncak Rp./trip
Layang Kg./trip 125 6,000 750,000
Pendapatan Per Trip Rp./trip 750,000
Jumlah Trip Musiman trip/musim 75
Pendapatan Tahunan Rp./musim 56,250,000
2 Pendapatan musim sedang Rp./trip
Layang Kg./trip 83 6,000 498,000
Pendapatan Per Trip Rp./trip 498,000
Jumlah Trip Musiman trip/musim 45
Pendapatan Tahunan Rp./musim 22,410,000
Total Pendapatan Tahunan Rp./tahun 78,660,000

Pembiyaan operasional nelayan

No. Uraian Satuan Nilai Perubahan Nilai Akhir


Mode
1 Biaya Operasional Nelayan
Bensin Rp./trip 105,000 0 105,000
Minyak tanah Rp./trip 8,000 0 8,000
Oli Rp./trip 25,000 0 25,000
Ransum Rp./trip 40,000 0 40,000
Es Rp./trip 90,000 0 90,000
Sub Total Rp./trip 268,000
2 Biaya Operasional Tahunan
Biaya Operasional Rp./tahun 32,160,000
Biaya Retribusi Rp./tahun 1,179,900
Total Biaya
Operasional Rp./tahun 33,339,900
182

Lanjutan lampiran 4 Model pendapatan nelayan jaring insang hanyut

No. Uraian Satuan Volume Harga Jumlah


1 Pendapatan
a. Pendapatan Musim Puncak Rp./musim 1 56,250,000 56,250,000
b. Pendapatan Musim Sedang Rp./musim 1 22,410,000 22,410,000
Total Pendapatan Tahunan Rp./tahun 78,660,000
2 Pengeluaran
a. Biaya Operasional
Minyak tanah Rp./trip 120 105,000 12,600,000
Bensin Rp./trip 120 8,000 960,000
Oli Rp./trip 120 25,000 3,000,000
Ransum Rp./trip 120 40,000 4,800,000
Es Rp./trip 120 90,000 10,800,000
Sub Total Rp./tahun 32,160,000
b. Biaya Retribusi Rp./tahun 1,179,900
Total Pengeluaran Rp./tahun 33,339,900
3 Pendapatan Setelah Retribusi Rp./tahun 45,320,100
4 Sistem Bagi Hasil
a. Pemilik Alat Tangkap Rp. 22,660,050
b. Crew Rp. 22,660,050
Juragan Laut Rp./orang 8,240,018
Juru Mesin Rp./orang 6,180,014
Nelayan ABK Rp./orang 4,120,009
183

Lanjutan lampiran 4 Investasi dan penyusutan jaring insang hanyut

Umur
No. Uraian Satuan Nilai Perubahan Nilai Akhir Ekonomis Nilai Sisa Penyusutan
Mode
Investasi 31,000,000 -2,000,000
Perahu Rp. 15,000,000 0 15,000,000 10 20,000,000 -500,000
Mesin kapal Rp. 7,500,000 0 7,500,000 5 10,000,000 -500,000
Alat tangkap Rp. 7,500,000 0 7,500,000 5 10,000,000 -500,000
Alat bantu Rp. 1,000,000 0 1,000,000 2 2,000,000 -500,000
Total Investasi Rp. 31,000,000
184

Lanjutan lampiran 4 Perkiraan arus uang perikanan jaring insang hanyut

No Uraian 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
1 Inflow 22,660,050 24,660,050 22,660,050 24,660,050 42,660,050 24,660,050 22,660,050 24,660,050 22,660,050 92,660,050
Porsi Pendapatan Pemilik 22,660,050 22,660,050 22,660,050 22,660,050 22,660,050 22,660,050 22,660,050 22,660,050 22,660,050 22,660,050
Nilai Sisa Modal 0 2,000,000 0 2,000,000 20,000,000 2,000,000 0 2,000,000 0 70,000,000
Perahu 0 0 0 0 0 0 0 0 0 20,000,000
Mesin kapal 0 0 0 0 10,000,000 0 0 0 0 20,000,000
Alat tangkap 0 0 0 0 10,000,000 0 0 0 0 20,000,000
Alat bantu penangkapan 0 2,000,000 0 2,000,000 0 2,000,000 0 2,000,000 0 10,000,000
2 Outflow 31,000,000 4,150,000 6,449,359 5,449,359 6,449,359 20,449,359 6,449,359 5,449,359 6,449,359 5,449,359 5,449,359
Investasi 31,000,000 0 1,000,000 0 1,000,000 15,000,000 1,000,000 0 1,000,000 0 0
Perahu 15,000,000 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
Mesin kapal 7,500,000 0 0 0 0 7,500,000 0 0 0 0 0
Alat tangkap 7,500,000 0 0 0 0 7,500,000 0 0 0 0 0
Alat bantu penangkapan 1,000,000 0 1,000,000 0 1,000,000 0 1,000,000 0 1,000,000 0 0
Biaya Operasional 0 4,150,000 5,449,359 5,449,359 5,449,359 5,449,359 5,449,359 5,449,359 5,449,359 5,449,359 5,449,359
Bagi Hasil Nelayan 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
Biaya Perawatan 6,150,000 6,150,000 6,150,000 6,150,000 6,150,000 6,150,000 6,150,000 6,150,000 6,150,000 6,150,000
Penyusutan -2,000,000 -2,000,000 -2,000,000 -2,000,000 -2,000,000 -2,000,000 -2,000,000 -2,000,000 -2,000,000 -2,000,000
Pengembalian Pinjaman 0 1,299,359 1,299,359 1,299,359 1,299,359 1,299,359 1,299,359 1,299,359 1,299,359 1,299,359
185

Lanjutan lampiran 4 Perkiraan arus uang perikanan jaring insang hanyut

No Uraian 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

3 Laba Bersih Sebelum Pajak -31,000,000 18,510,050 18,210,691 17,210,691 18,210,691 22,210,691 18,210,691 17,210,691 18,210,691 17,210,691 87,210,691

4 Pajak 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0

5 Laba Bersih -31,000,000 18,510,050 18,210,691 17,210,691 18,210,691 22,210,691 18,210,691 17,210,691 18,210,691 17,210,691 87,210,691

6 BEP (Rp) 15699104.77

7 BEP (kg) 8660.12

8 NPV 59,430,223

9 IRR 53.75

10 Payback-Periode 2.44

11 Benefit-CostRatio 3.85
186

Lampiran 5 Analisis kelayakan perikanan ikan layang dengan alat tangkap


bagan perahu menggunakan program DSS-BALI ANALISIS

Asumsi dan koefisien

No. Uraian Satuan Nilai Perubahan Nilai Akhir


Mode
1 Produktifitas
Jumlah Trip Musim
Puncak Trip/musim 40 0 40
Jumlah Trip Musim
Biasa Trip/musim 20 0 20
2 Pendanaan
Modal Sendiri % 80 0 80
Bunga Pinjaman %/tahun 15 0 15
Jangka Waktu
Pengembalian tahun 10 0 10
Tenggang Waktu
Pengembalian tahun 1 0 1
3 Sistem Bagi Hasil
a. Pemilik Alat
Tangkap bagian 60 0 60
b. Crew bagian 40 0 40
Juragan Laut bagian 2 0 2
Juru Mesin bagian 1.5 0 1.5
Nelayan ABK bagian 1 0 1
4 Lain - Lain
Pajak % 0 0 0
Retribusi % 1.5 0 1.5
Upah Minimum
Provinsi Rp./tahun 8,400,000.00 0 8,400,000.00
Biaya Perawatan Rp./tahun 9,000,000.00 0 9,000,000.00
Distribusi Jumlah
5 Crew
Juragan Laut orang 1
Juru Mesin orang 1
Nelayan ABK orang 6
Total Crew 8
Faktor Pembagian 10
187

Lanjutan lampiran 5 Produksi dan pendapatan serta pembiayaan operasional


nelayan bagan perahu

Produksi dan pendapatan

Uraian Satuan Volume Harga Jumlah

Pendapatan Musim
Puncak Rp./trip
Layang Kg./trip 520 6,000 3,120,000
Pendapatan Per Trip Rp./trip 3,120,000
Jumlah Trip Musiman trip/musim 40
Pendapatan Tahunan Rp./musim 124,800,000
Pendapatan musim
sedang Rp./trip
Layang Kg./trip 247 6,000 1,482,000
Pendapatan Per Trip Rp./trip 1,482,000
Jumlah Trip Musiman trip/musim 20
Pendapatan Tahunan Rp./musim 29,640,000
Rp./tahun 154,440,000

Pembiyaan operasional nelayan

Nilai
No. Uraian Satuan Nilai Perubahan Akhir
Mode
1 Biaya Operasional Nelayan
bensin Rp./trip 40,000 0 40,000
Minyak tanah Rp./trip 280,000 0 280,000
Oli Rp./trip 7,500 0 7,500
Ransum Rp./trip 60,000 0 60,000
Es Rp./trip 90,000 0 90,000
Sub Total Rp./trip 477,500
2 Biaya Operasional Tahunan
Biaya Operasional Rp./tahun 28,650,000
Biaya Retribusi Rp./tahun 2,316,600
Total Biaya
Operasional Rp./tahun 30,966,600
188

Lanjutan lampiran 5 Model pendapatan nelayan bagan perahu

No. Uraian Satuan Volume Harga Jumlah


1 Pendapatan
a. Pendapatan Musim Puncak Rp./musim 1 124,800,000 124,800,000
b. Pendapatan Musim Sedang Rp./musim 1 29,640,000 29,640,000
Total Pendapatan Tahunan Rp./tahun 154,440,000
2 Pengeluaran
a. Biaya Operasional
Minyak tanah Rp./trip 60 40,000 2,400,000
Bensin Rp./trip 60 280,000 16,800,000
Oli Rp./trip 60 7,500 450,000
Ransum Rp./trip 60 60,000 3,600,000
Es Rp./trip 60 90,000 5,400,000
Sub Total Rp./tahun 28,650,000
b. Biaya Retribusi Rp./tahun 2,316,600
Total Pengeluaran Rp./tahun 30,966,600
3 Pendapatan Setelah Retribusi Rp./tahun 123,473,400
4 Sistem Bagi Hasil
a. Pemilik Alat Tangkap Rp. 74,084,040
b. Crew Rp. 49,389,360
Juragan Laut Rp./orang 7,598,363
Juru Mesin Rp./orang 5,698,772
Nelayan ABK Rp./orang 3,799,182
189

Lanjutan lampiran 5 Investasi dan penyusutan usaha perikanan bagan perahu

Umur
No. Uraian Satuan Nilai Perubahan Nilai Akhir Ekonomis Nilai Sisa Penyusutan
Mode
1 Investasi 145,000,000 13,600,000
Perahu Rp. 90,000,000 0 90,000,000 10 20,000,000 7,000,000
Mesin kapal Rp. 20,000,000 0 20,000,000 5 10,000,000 2,000,000
Alat tangkap Rp. 25,000,000 0 25,000,000 5 10,000,000 3,000,000
Alat bantu Rp. 10,000,000 0 10,000,000 5 2,000,000 1,600,000
Total Investasi Rp. 145,000,000
190

Lanjutan lampiran 5 Perkiraan arus uang perikanan bagan perahu

No Uraian 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
1 Inflow 74,084,040 74,084,040 74,084,040 74,084,040 96,084,040 74,084,040 74,084,040 74,084,040 74,084,040 138,084,040

Porsi Pendapatan Pemilik 74,084,040 74,084,040 74,084,040 74,084,040 74,084,040 74,084,040 74,084,040 74,084,040 74,084,040 74,084,040
Nilai Sisa Modal 0 0 0 0 22,000,000 0 0 0 0 64,000,000
Perahu 0 0 0 0 0 0 0 0 0 20,000,000
Mesin kapal 0 0 0 0 10,000,000 0 0 0 0 20,000,000
Alat tangkap 0 0 0 0 10,000,000 0 0 0 0 20,000,000
Alat bantu penangkapan 0 0 0 0 2,000,000 0 0 0 0 4,000,000
2 Outflow 145,000,000 22,600,000 28,677,646 28,677,646 28,677,646 83,677,646 28,677,646 28,677,646 28,677,646 28,677,646 28,677,646
Investasi 145,000,000 0 0 0 0 55,000,000 0 0 0 0 0
Perahu 90,000,000 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
Mesin kapal 20,000,000 0 0 0 0 20,000,000 0 0 0 0 0
Alat tangkap 25,000,000 0 0 0 0 25,000,000 0 0 0 0 0
Alat bantu penangkapan 10,000,000 0 0 0 0 10,000,000 0 0 0 0 0
Biaya Operasional 0 22,600,000 28,677,646 28,677,646 28,677,646 28,677,646 28,677,646 28,677,646 28,677,646 28,677,646 28,677,646
Bagi Hasil Nelayan 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
Biaya Perawatan 9,000,000 9,000,000 9,000,000 9,000,000 9,000,000 9,000,000 9,000,000 9,000,000 9,000,000 9,000,000
Penyusutan 13,600,000 13,600,000 13,600,000 13,600,000 13,600,000 13,600,000 13,600,000 13,600,000 13,600,000 13,600,000
Pengembalian Pinjaman 0 6,077,646 6,077,646 6,077,646 6,077,646 6,077,646 6,077,646 6,077,646 6,077,646 6,077,646
191

Lanjutan lampiran 5 Perkiraan arus uang perikanan bagan perahu

No Uraian 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Laba Bersih Sebelum -
3 Pajak 145,000,000 51,484,040 45,406,394 45,406,394 45,406,394 12,406,394 45,406,394 45,406,394 45,406,394 45,406,394 109,406,394

4 Pajak 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
-
5 Laba Bersih 145,000,000 51,484,040 45,406,394 45,406,394 45,406,394 12,406,394 45,406,394 45,406,394 45,406,394 45,406,394 109,406,394

6 BEP (Rp) 30165337.47

7 BEP (kg) 11238.09

8 NPV 135,510,727

9 IRR 39.33

10 Payback-Periode 3.15

11 Benefit-CostRatio 2.19
192

Lampiran 6 Standarisasi upaya penangkapan ikan layang di Maluku Utara


A. Data produksi dan upaya penangkapan sebelum standarisasi

Mini purse seine Jaring insang hanyut Bagan perahu


Tahun
Kg Trip Kg Trip Kg Trip
1998 11.283.600 14.400 1.359.360 12.500 2039040 11.970
1999 9.923.975 8.400 1.056.530 8.520 1.584.795 9.450
2000 9.642.438 8.520 1.152.325 8.760 1.728.488 10.395
2001 12.938.700 15.000 1.725.160 19.200 2.587.740 11.340
2002 11.565.875 17.400 1.675.450 20.880 2.513.175 11.403
2003 13.614.795 18.960 1.815.306 21.600 2.722.959 16.065
2004 14.007.795 21.840 1.867.706 20.640 2.801.559 12.096
2005 15.724.418 23.880 2.096.589 21.000 3.144.884 19.404
2006 15.978.915 24.960 2.130.522 21.000 3.195.783 20.286
2007 17.257.803 25.560 2.567.707 20.520 3.851.561 20.286
Total 130.849.912,5 17.8920 17446655.0 1.74.620 26.169.982,5 142695
Rata-rata 13,084,991,3 17.892 1744665.5 17.462 2.616.998.3 14.270

B. Produktivitas dan FPI (Fishing Power Indeks)


Alat Tangkap FPI Produktivitas (Kg/Trip)
Mini purse seine 1 731.33195
Jaring insang 0.13662 99.91212
Bagan perahu 0.25077 183.39803
193

Lanjutan lampiran 6
C. Total hasil dan upaya penangkapan baku setelah standarisasi
Total Hasil Effort standar (Trip) Total effoert CPUE
Tahun
Tangkapan (Kg) Purse siene Jaring insang hanyut Bagan perahu (Trip) (Kg/Ttrip)
1998 14,682,000 14400 1,707.71 3,001.75 19109 768.31070
1999 12,565,300 7200 1,163.97 2,369.80 10734 1170.63193
2000 12,523,250 8520 1,196.76 2,606.78 12324 1016.20530
2001 17,251,600 15000 2,623.04 2,843.76 20467 842.90651
2002 15,754,500 17400 2,852.56 2,859.56 23112 681.65546
2003 18,153,060 18960 2,950.92 4,028.66 25940 699.82084
2004 18,677,060 21840 2,819.77 3,033.35 27693 674.42977
2005 20,965,890 23880 2,868.95 4,865.99 31615 663.16396
2006 21,305,220 24960 2,868.95 5,087.17 32916 647.25788
2007 23,677,070 25560 2,803.37 5,087.17 33451 707.82310
194

Lampiran 7 Data regresi antara upaya penangkapan, CPUE, nilai intersep (a)
dan slope (b) ikan layang di Maluku Utara

Total Hasil Effort standard CPUE


Tahun
Tangkapan (Kg) (Trip) (Kg/Ttrip)
1998 14682000 19109 768.31
1999 12565300 10734 1170.63
2000 12523250 12324 1016.21
2001 17251600 20467 842.91
2002 15754500 23112 681.66
2003 18153060 25940 699.82
2004 18677060 27693 674.43
2005 20965890 31615 663.16
2006 21305220 32916 647.26
2007 23677070 33451 707.82
195

Lampiran 8 Hasil analisis program MAPLE IX terhadap tingkat produksi


lestari (MSY) dan nilai Bioekonomik (MEY) sumberdaya ikan
layang di Maluku Utara

> a:=1239.5;
a := 1239.5

> b:=-0.0191;
b := -0.0191

> c:=988375;
c := 988375

> p:=6000;
p := 6000

> Emsy:=-a/(2*b);
Emsy := 32447.64398

> h:=a*E+b*E^2;
2
h := 1239.5 E - 0.0191 E

> TR:=p*h;
6 2
TR := 7.4370000 10 E - 114.6000 E

> plot(TR,E=0..65000);

> hmsy:=a*Emsy+b*Emsy^2;
7
hmsy := 2.010942735 10

> TRmsy:=p*hmsy;
196

Lanjutan lampiran 8
TRmsy := 1.206565641 1011

> TCmsy:=c*Emsy;
TCmsy := 3.207044012 1010

> phimsy:=TRmsy-TCmsy;
phimsy := 8.858612398 1010

> h:=a*E+b*E^2;
2
h := 1222.2 E - 0.0181 E

> plot(h,E=0..65000);

> TR:p*h;
7.4370000 106 E - 114.6000 E 2

> plot(TR,E=0..65000);
197

Lanjutan lampiran 8

> TC:=c*E;
TC := 988375 E

¾ plot(TC,E=0..65000);

¾ plot({TR,(E),TC(E)},E=0..65000,color=[red,blue]);

> fsolve(TR=TC,E);
198

Lanjutan lampiran 8

0., 56270.72426

> phi:=p*h-c*E;
6 2
f := 6.4486250 10 E - 114.6000 E

> fsolve(phi,E);
0., 56270.72426

> Y:=diff(phi,E);
Y := 6.4486250 106 - 229.2000 E

> fsolve(Y=0,E);
>
28135.36213

> Emey:=28135.36213;
Emey := 28135.36213

> hmey:=a*Emey+b*Emey^2;
hmey := 1.975424806 107

> TRmey:=p*hmey;
TRmey := 1.185254884 1011

> TCmey:=c*Emey;
10
TCmey := 2.780828855 10

> phiemy:TRmey-TCmey;
10
9.071719985 10

> Eoa:=56270.72426;
Eoa := 56270.72426

> hoa:=a*Eoa+b*Eoa^2;
hoa := 9.26942951 106

> TRoa:=p*hoa;
10
TRoa := 5.561657706 10

> TCoa:=c*Eoa;
TCoa:= 5.561657709 1010

> phioa:=TRoa-TCoa;
phioa ;=0
199

Lampiran 9 Jumlah sampel ikan layang biru (Decapterus macarellus)


berdasarkan minggu pengamatan, Januari – Mei 2008

Periode Jenis Kelamin


Pengamatan Jantan Betina Jumlah Bulan
(Minggu) (ekor) (ekor) (ekor)
I 24 75 100
II 34 70 100
Januari
III 35 72 100
IV 25 65 100
I 35 65 100
II 45 60 100
Pebruari
III 35 62 100
IV 30 68 100
I 30 68 100
II 33 65 100
Maret
III 22 75 100
IV 30 77 100
I 30 73 100
II 35 68 100
April
III 35 62 100
IV 30 67 100
I 30 73 100
II 35 65 100
Mei
III 38 60 100
IV 34 65 100
TOTAL 645 1355 2000
200

Lampiran 10 Distribusi frekuensi panjang ikan layang biru (Decapterus


macarellus) jantan (a) dan betina (b) di perairan Maluku Utara,
Januari 2008 – Mei 2008

(a)
Nilai Tengah
Frekuensi (Periode Bulan Pengamatan)
Panjang Total
(mm) Januari Februari Maret April Mei Frekuensi
216 4 3 0 0 0 7
227 20 12 2 2 5 41
238 30 37 16 14 31 128
249 20 20 6 6 33 85
260 17 28 28 25 23 121
271 11 35 34 39 21 140
282 16 10 24 40 23 113
293 0 0 1 2 0 3
304 0 0 3 2 1 6
315 0 0 1 0 0 1
Jumlah 118 145 115 130 137 645

(b)
Nilai Tengah Frekuensi (Periode Bulan
Panjang Pengamatan) Total
(mm) Januari Februari Maret April Mei Frekuensi
219.5 16 7 0 0 0 23
229.5 35 21 5 5 4 70
239.5 89 62 30 40 39 260
249.5 43 60 32 37 35 207
259.5 35 48 55 48 54 240
269.5 32 14 85 77 75 283
279.5 32 42 68 54 53 249
289.5 0 0 2 1 0 3
299.5 0 1 4 6 2 13
309.5 0 0 1 1 0 2
319.5 0 0 3 1 1 5
Jumlah 282 255 285 270 263 1355
201

Lampiran 11 Distribusi frekuensi panjang ikan layang biru (Decapterus


macarellus) gabungan (jantan + betina) di perairanMaluku Utara,
Januari – Mei 2008

Nilai Tengah Frekuensi (Periode Bulan Pengamatan) Total


(mm) Januari Pebruari Maret April Mei Frekuensi
215.5 8 0 0 0 0 8
225.5 46 36 4 1 3 90
235.5 72 52 36 28 28 216
245.5 122 106 40 64 76 408
255.5 46 77 47 72 82 324
265.5 35 59 98 26 73 291
275.5 40 32 91 156 97 416
285.5 31 37 71 41 37 217
295.5 0 0 5 5 2 12
305.5 0 1 4 5 1 11
315.5 0 0 4 2 1 7
Jumlah 400 400 400 400 400 2000
202

Lampiran 12 Tingkat kematangan gonad ikan layang biru (Decapterus macarellus) jantan pada kelas ukuran panjang

Nilai Tengah Jumlah


Selang Tingkat Kematangan Gonad Jumlah Belum Jumlah
Panjang Contoh ikan
TKG TKG TKG TKG TKG Matang Gonad Matang Gonad
Kelas (mm) (ekor)
I II III IV V (ekor) (ekor)
211 - 221 216 7 5 2 0 0 0 7 0
222 - 232 227 41 30 11 0 0 0 41 0
233 - 243 238 128 50 49 16 8 5 104 24
244 - 254 249 85 20 30 19 12 4 54 31
255 - 265 260 121 23 32 23 34 9 64 57
266 - 276 271 140 5 47 18 47 23 75 65
277 - 287 282 113 5 18 31 54 5 28 85
288 - 298 293 3 0 0 0 2 1 1 2
299 - 309 304 6 0 0 1 5 0 0 6
310 - 320 315 1 0 0 0 1 0 0 1
Jumlah 645 138 189 108 163 47 374 271
203

Lampiran 13 Tingkat kematangan gonad ikan layang biru (Decapterus macarellus) betina pada kelas ukuran panjang

Nilai Tengah Jumlah


Selang Tingkat Kematangan Gonad Jumlah Belum Jumlah
Panjang Contoh ikan
TKG TKG TKG TKG TKG Matang Gonad Matang Gonad
Kelas (mm) (ekor)
I II III IV V (ekor) (ekor)
215 - 224 219.5 23 15 8 0 0 0 23 0
225 - 234 229.5 70 43 27 0 0 0 70 0
235 - 244 239.5 260 112 95 48 4 1 208 52
245 - 254 249.5 207 43 77 39 41 7 127 80
255 - 264 259.5 240 30 35 65 90 20 85 155
265 - 274 269.5 283 30 52 59 112 30 112 171
275 - 284 279.5 249 26 20 39 117 47 93 156
285 - 294 289.5 3 0 0 0 2 1 1 2
295 - 304 299.5 13 0 0 4 8 1 1 12
305 - 314 309.5 2 0 0 0 2 0 0 2
315 - 324 319.5 5 0 0 0 5 0 0 5
Jumlah 1355 299 314 254 381 107 720 635
204

Lampiran 14 Pendugaan ukuran ikan layang biru (Decapterus macarellus) jantan saat mencapai kematangan gonad pertama

Tengah Log Jumlah Contoh Jumlah Matang % Matang Gonad Selisih Log
Kelas
Kelas T. Kelas ikan (ekor) Gonad (ekor) Gonad Tengah Kelas qi pi*qi/ni-1
(mm) (ni) (ri) pi =(ri/ni) (X) (1-pi)
211 - 221 216 2.3345 7 0 0.000000 1.000000 0.0000
222 - 232 227 2.3560 41 0 0.000000 0.021572 1.000000 0.0000
233 - 243 238 2.3766 128 24 0.187500 0.020551 0.812500 0.0012
244 - 254 249 2.3962 85 31 0.364706 0.019622 0.635294 0.0028
255 - 265 260 2.4150 121 57 0.471074 0.018774 0.528926 0.0021
266 - 276 271 2.4330 140 65 0.464286 0.017996 0.535714 0.0018
277 - 287 282 2.4502 113 85 0.752212 0.017280 0.247788 0.0017
288 - 298 293 2.4669 3 2 0.666667 0.016619 0.333333 0.1111
299 - 309 304 2.4829 6 6 1.000000 0.016006 0.000000 0.0000
310 - 320 315 2.4983 1 1 1.000000 0.015437 0.000000 0.0000
Total 645 271 4.906 0.1639 5.0936

Log m = Xk + X/2 – (XΣpi)


= 2.4829 + 0.016006/2 (0.016006 x 4.906)
= 2.4123

M' = anti log m


= anti log 2.4123
= 258 mm = 25,8 cm
205

Lampiran 15 Pendugaan ukuran ikan layang biru (Decapterus macarellus) betina saat mencapai kematangan gonad pertama

Tengah Log Jumlah Contoh Jumlah Matang % Matang Gonad Selisih Log
Kelas
Kelas T. Kelas ikan (ekor) Gonad (ekor) Gonad Tengah Kelas qi pi*qi/ni-1
(mm) (ni) (ri) pi =(ri/ni) (X) (1-pi)
215 - 224 219.5 2.3414 23 0 0.000000 1.000000 0.000000
225 - 234 229.5 2.3608 70 0 0.000000 0.019348 1.000000 0.000000
235 - 244 239.5 2.3793 260 52 0.200000 0.018523 0.800000 0.000618
245 - 254 249.5 2.3971 207 80 0.386473 0.017765 0.613527 0.001151
255 - 264 259.5 2.4141 240 155 0.645833 0.017067 0.354167 0.000957
265 - 274 269.5 2.4306 283 171 0.604240 0.016421 0.395760 0.000848
275 - 284 279.5 2.4464 249 156 0.626506 0.015823 0.373494 0.000944
285 - 294 289.5 2.4616 3 2 0.666667 0.015267 0.333333 0.111111
295 - 304 299.5 2.4764 13 12 0.923077 0.014748 0.076923 0.005917
305 - 314 309.5 2.4907 2 2 1.000000 0.014264 0.000000 0.000000
315 - 324 319.5 2.5045 5 5 1.000000 0.013810 0.000000 0.000000
Total 1355 635 6.0528 0.1630 4.9472

Log m = Xk + X/2 – (XΣpi)


= 2.4907 + 0.014264/2 (0.014264 x 6.0528)
= 2.4115

M' = anti log m


= anti log 2.4115
= 58 mm = 25,8 cm
206

Lampiran 16 Rata-rata produksi ikan layang (kg) di PPN Ternate tahun 2003 – 2007

Tahun
Bulan Jumlah Rata-rata
2003 2004 2005 2006 2007
Januari 208085 165392 223823 164506 182974 944781 188956
Februari 168548 130337 221893 173540 173376 867695 173539
Maret 163005 206149 225037 292666 333739 1220594 244119
April 167762 187779 215648 267188 205538 1043915 208783
Mei 147962 204115 223600 181711 268067 1025454 205091
Juni 235045 233563 261256 201700 65880 997444 199489
Juli 271679 285659 279088 369586 364552 1570565 314113
Agustus 319697 85297 381158 594289 595508 1975949 395190
September 249330 268395 320543 227661 348937 1414866 282973
Oktober 206258 220505 250311 283464 447877 1408415 281683
Nopember 155182 144330 172212 159494 173112 804331 160866
Desember 116049 75778 121431 126675 160073 600005 120001
207

Lampiran 17 Jumlah rata-rata effort standard bulanan ikan layang yang beroperasi di perairan Maluku Utara tahun 2003 – 2007

Tahun
Bulan Jumlah Rata-rata
2003 2004 2005 2006 2007
Januari 72 209 150 133 129 693 139
Februari 104 194 112 155 145 710 142
Maret 88 170 177 140 148 724 145
April 126 141 82 133 180 661 132
Mei 103 145 75 156 161 640 128
Juni 93 142 68 173 254 729 146
Juli 102 174 169 189 126 761 152
Agustus 90 287 207 177 413 1175 235
September 100 197 143 157 156 753 151
Oktober 125 225 106 125 116 696 139
Nopember 86 146 148 170 158 708 142
Desember 69 160 109 137 141 615 123
208

Lampiran 18 CPUE rata-rata ikan layang di perairan Maluku Utara tahun 2003-2007

Tahun
Bulan Jumlah Rata-rata
2003 2004 2005 2006 2007
Januari 2910.91 855.509 1545.185 1310.990 1433.815 8056 1611
Februari 1717.50 1014.994 2164.524 1393.947 1336.690 7628 1526
Maret 2007.15 1461.121 1634.393 2292.666 2344.279 9740 1948
April 1507.10 1525.766 2771.728 2267.149 1329.320 9401 1880
Mei 1559.42 1507.248 2651.252 1398.480 1748.214 8865 1773
Juni 2709.50 1760.259 3900.402 1447.157 912.207 10730 2146
Juli 2714.29 1727.633 1777.539 1987.867 2533.176 10741 2148
Agustus 3633.99 1295.634 1537.933 3130.718 1232.266 10831 2166
September 2574.11 1475.999 2415.391 1806.943 2400.366 10673 2135
Oktober 1702.40 1033.747 2503.657 2348.080 2927.052 10515 2103
Nopember 1861.36 1038.926 1308.786 1164.874 1128.336 6502 1300
Desember 1773.04 853.940 1345.540 1211.252 1272.136 6456 1291
209

Lampiran 19 Perkembangan produksi bulanan ikan layang di PPN Ternate tahun 2003 – 2007

Produksi dengan alat tangkap pukat cincin satuan: kg


Tahun
Bulan Jumlah Rata-rata
2003 2004 2005 2006 2007
Januari 191000 150000 203000 141000 164748 849748 169950
Februari 142000 106000 191000 137000 144984 720984 144197
Maret 132000 178000 188000 250000 300626 1048626 209725
April 140000 163000 181000 229000 175960 888960 177792
Mei 122000 181000 159000 146000 240416 848416 169683
Juni 214000 206000 222000 159000 32828 833828 166766
Juli 235000 249000 247000 319000 324820 1374820 274964
Agustus 281000 49000 339000 541000 553986 1763986 352797
September 218000 241000 282000 177000 313986 1231986 246397
Oktober 182000 196000 240000 250000 319020 1187020 237404
Nopember 128000 117000 149000 122000 143640 659640 131928
Desember 88000 48000 96000 88000 129732 449732 89946
Jumlah 2073000 1884000 2497000 2559000 2844746 11857746 2371549
Rata-rata 172750 157000 208083 213250 237062 988145.5 197629.1
210

Lanjutan lampiran 19

Produksi dengan alat tangkap jaring insang satuan: kg


Tahun
Bulan Jumlah Rata-rata
2003 2004 2005 2006 2007
Januari 1182 1477 944 1639 1329 6571 1314
Februari 2954 3693 1401 4099 3324 15471 3094
Maret 2718 3398 1679 3772 3058 14625 2925
April 1300 1625 1571 1804 1463 7762 1552
Mei 1064 1330 1478 1476 1197 6545 1309
Juni 1064 1330 1780 1476 1197 6847 1369
Juli 12173 15216 1455 16890 13694 59428 11886
Agustus 6500 8125 1912 9019 7313 32868 6574
September 6618 8273 2654 9183 7446 34174 6835
Oktober 8746 10932 921 12135 9839 42572 8514
Nopember 9454 11818 1052 13118 10636 46079 9216
Desember 8626 10783 1153 11969 9705 42236 8447
Jumlah 62400 78000 18000 86580 70200 315180 63036
Rata-rata 5200 6500 1500 7215 5850 26265 5253
211

Lanjutan lampiran 19

Produksi dengan alat tangkap bagan perahu satuan: kg


Tahun
Bulan Jumlah Rata-rata
2003 2004 2005 2006 2007
Januari 15903 13915 19879 21867 16897 88462 17692
Februari 23594 20644 29492 32441 25068 131239 26248
Maret 28286 24751 35358 38894 30054 157343 31469
April 26462 23154 33077 36385 28115 147193 29439
Mei 24898 21785 31122 34234 26454 138493 27699
Juni 29981 26233 37476 41224 31855 166768 33354
Juli 24506 21443 30633 33696 26038 136317 27263
Agustus 32197 28172 40246 44271 34209 179095 35819
September 24711 19122 35889 41478 27506 148706 29741
Oktober 15512 13573 19390 21329 16482 86286 17257
Nopember 17728 15512 22160 24376 18836 98612 19722
Desember 19422 16995 24278 26706 20636 108037 21607
Jumlah 283200 245300 359000 396900 302150 1586550 317310
Rata-rata 23600 20442 29917 33075 25179 132213 26443
212

Lampiran 20 Perkembangan upaya tangkap bulanan ikan layang di PPN Ternate tahun 2003 – 2007

Upaya alat tangkap mini purse seine satuan: trip


Tahun
Bulan Jumlah Rata-rata
2003 2004 2005 2006 2007
Januari 66 190 136 114 117 623 125
Februari 88 158 96 125 124 591 118
Maret 71 147 148 120 135 621 124
April 105 122 69 112 155 563 113
Mei 85 129 62 125 145 546 109
Juni 81 125 58 136 125 525 105
Juli 88 152 150 162 115 667 133
Agustus 79 165 171 159 130 704 141
September 87 177 126 122 144 656 131
Oktober 110 210 98 110 110 638 128
Nopember 71 129 128 130 140 598 120
Desember 52 118 86 95 122 473 95
Jumlah 983 1822 1328 1510 1562 7205 1441
Rata-rata 82 152 111 126 130 600 120
213

Lanjutan lampiran 20

Upaya alat tangkap jaring insang hanyut satuan: trip


Tahun
Bulan Jumlah Rata-rata
2003 2004 2005 2006 2007
Januari 65 152 176 97 105 595 119
Februari 64 195 115 80 104 558 112
Maret 99 153 123 96 100 571 114
April 90 166 127 108 110 601 120
Mei 119 183 164 120 115 701 140
Juni 118 176 175 124 145 738 148
Juli 120 153 162 130 115 680 136
Agustus 99 147 149 125 120 640 128
September 78 140 138 119 123 598 120
Oktober 100 134 120 84 101 539 108
Nopember 70 114 132 104 109 529 106
Desember 79 80 119 89 90 457 91
Jumlah 1101 1793 1700 1276 1337 7207 1441
Rata-rata 92 149 142 106 111 601 120
214

Lanjutan lampiran 20

Upaya alat tangkap bagan perahu satuan: trip


Tahun
Bulan Jumlah Rata-rata
2003 2004 2005 2006 2007
Januari 72 61 71 72 89 365 73
Februari 58 43 50 57 57 265 53
Maret 54 45 52 59 59 269 54
April 55 46 53 54 60 268 54
Mei 59 57 66 66 68 316 63
Juni 71 61 71 72 79 354 71
Juli 75 58 66 68 73 340 68
Agustus 62 52 61 63 68 306 61
September 61 49 57 58 64 289 58
Oktober 58 46 53 55 63 275 55
Nopember 60 47 54 55 61 277 55
Desember 55 42 48 54 45 244 49
Jumlah 740 607 702 733 786 3569 714
Rata-rata 62 51 59 61 66 297 59
215

Lampiran 21 Perhitungan indeks musim penangkapan ikan layang dengan


metode rata-rata bergerak
CPUE
Tahun Bulan RGi RGPi Rbi
standar
2003 Januari 2910.912
Februari 1717.505
Maret 2007.149
April 1507.097
Mei 1559.421
Juni 2709.496 2222.564
Juli 2714.289 2051.281 2136.923 1.270
Agustus 3633.990 1992.738 2022.010 1.797
September 2574.113 1947.236 1969.987 1.307
Oktober 1702.400 1948.792 1948.014 0.874
Nopember 1861.360 1944.444 1946.618 0.956
Desember 1773.042 1865.341 1904.892 0.931
2004 Januari 855.509 1783.120 1824.230 0.469
Februari 1014.994 1588.257 1685.688 0.602
Maret 1461.121 1496.747 1542.502 0.947
April 1525.766 1441.026 1468.887 1.039
Mei 1507.248 1372.490 1406.758 1.071
Juni 1760.259 1295.898 1334.194 1.319
Juli 1727.633 1353.371 1324.635 1.304
Agustus 1295.634 1449.165 1401.268 0.925
September 1475.999 1463.605 1456.385 1.013
Oktober 1033.747 1567.435 1515.520 0.682
Nopember 1038.926 1662.768 1615.102 0.643
Desember 853.940 1841.114 1751.941 0.487
2005 Januari 1545.185 1845.272 1843.193 0.838
Februari 2164.524 1920.812 1883.042 1.149
Maret 1634.393 1999.095 1959.954 0.834
April 2771.728 2121.588 2060.341 1.345
Mei 2651.252 2144.076 2132.832 1.243
Juni 3900.402 2185.043 2164.559 1.802
Juli 1777.539 2165.526 2175.285 0.817
Agustus 2202.114 2101.312 2133.419 1.032
September 2415.391 2156.168 2128.740 1.135
Oktober 2503.657 2114.120 2135.144 1.173
Nopember 1308.786 2009.722 2061.921 0.635
Desember 1345.540 1805.285 1907.503 0.705
216

Lanjutan lampiran 21

CPUE
Tahun Bulan RGi RGPi Rbi
standar
2006 Januari 1310.990 1832.357 1818.821 0.721
Februari 1393.947 1944.612 1888.485 0.738
Maret 2292.666 1893.908 1919.260 1.195
April 2267.149 1880.943 1887.426 1.201
Mei 1398.480 1868.951 1874.947 0.746
Juni 1447.157 1857.760 1862.878 0.777
Juli 2102.409 1867.995 1862.878 1.129
Agustus 3549.173 1863.224 1865.610 1.902
September 1806.943 1867.525 1865.375 0.969
Oktober 2348.080 1789.373 1828.449 1.284
Nopember 1164.874 1818.517 1803.945 0.646
Desember 1211.252 1771.892 1795.205 0.675
2007 Januari 1433.815 1836.195 1804.044 0.795
Februari 1336.690 1643.120 1739.658 0.768
Maret 2344.279 1692.572 1667.846 1.406
April 1329.320 1740.819 1716.696 0.774
Mei 1748.214 1737.775 1739.297 1.005
Juni 887.657 1742.848 1740.311 0.510
Juli 2874.047
Agustus 1232.266
September 2400.366
Oktober 2927.052
Nopember 1128.336
Desember 1272.136
217

Lanjutan lampiran 21

Jul-03 Jul-04 Jul-05 Jul-06 Total


Bulan RRBi IMPi
Jun-04 Jun-05 Jun-06 Jun-07 Rbi
Juli 1.270 1.304 0.817 1.129 4.520 1.130 113.986
Agustus 1.797 0.925 1.032 1.902 5.656 1.414 142.640
September 1.307 1.013 1.135 0.969 4.423 1.106 111.547
Oktober 0.874 0.682 1.173 1.284 4.013 1.003 101.192
Nopember 0.956 0.643 0.635 0.646 2.880 0.720 72.624
Desember 0.931 0.487 0.705 0.675 2.798 0.700 70.566
Januari 0.469 0.838 0.721 0.795 2.823 0.706 71.185
Februari 0.602 1.149 0.738 0.768 3.258 0.815 82.160
Maret 0.947 0.834 1.195 1.406 4.381 1.095 110.483
April 1.039 1.345 1.201 0.774 4.360 1.090 109.935
Mei 1.071 1.243 0.746 1.005 4.066 1.016 102.521
Juni 1.319 1.802 0.777 0.510 4.408 1.102 111.162
JRRBi 11.897
FK 100.868787
218

Lampiran 22 Lokasi perairan dan titik koordinat daerah penangkapan ikan


layang di perairan Maluku Utara

Lokasi Perairan Titik Koordinat


Perairan Morotai 02º 31' 55'' LU, 128º 04' 47'' BT
Perairan Morotai 02º 01' 08'' LU, 128º 37' 10'' BT
Perairan Teluk Kao 01º 33' 34,9'' LU, 128º 13' 45,8'' BT
Perairan Teluk Kao 01º 44' 16,5'' LU, 128º 20' 17,8'' BT
Perairan Batang Dua 01º 29' 40,6'' LU, 126º 48' 59,4'' BT
Perairan Batang Dua 01º 12' 31,7'' LU, 126º 48' 59,4'' BT
Perairan Ternate - Tidore 00º 35' 49,3'' LU, 127º 18' 00'' BT
Perairan Ternate - Tidore 00º 35' 11,7'' LU, 127º 18' 27,8'' BT
Perairan Moti 00º 23' 38,7'' LU, 127º 19' 22,7'' BT
Perairan Moti 00º 25' 08,5'' LU, 127º 19' 27,4'' BT
Perairan Makian 00º 19' 36,5'' LU, 127º 19' 28,5'' BT
Perairan Makian 00º 20' 49,2'' LU, 127º 19' 27,3'' BT
Perairan Kayoa 00º 36' 20'' LU, 129º 19' 30,57'' BT
Perairan Kayoa 00º 18' 51'' LU, 129º 16' 39'' BT
Laut Maluku 01º 16' 24'' LU, 127º 03' 04'' BT
Laut Maluku 01º 34' 14'' LU, 127º 12' 23'' BT
Laut Maluku 00º 52' 21'' LS, 126º 37' 11'' BT
Perairan P. Kasiruta 00º 24' 38'' LS, 126º 55' 47'' BT
Perairan P. Kasiruta 00º 47' 32'' LS, 126º 49' 36'' BT
Sumber: Data primer, 2008.
219

Lampiran 23 Dokumentasi hasil penelitian

Gambar 1 Kapal mini purse seine yang beroperasi di perairan Maluku Utara.

Gambar 2 Alat tangkap mini purse seine di Maluku Utara.

Gambar 3 Operasi penangkapan mini purse seine di Maluku Utara.


220

Lanjutan lampiran ampiran 23

Gambar 4 Perahu jaring insang hanyut yang beroperasi


di perairan Maluku Utara.

Gambar 5 Alat tangkap jaring insang hanyut di Maluku Utara.

Gambar 6 Operasi penangkapan jaring insang hanyut di


perairan Maluku Utara.
221

Lanjutan lampiran 23

Gambar 7 Bagan perahu yang beroperasi di perairan Maluku Utara.

Gambar 8 Perahu pembantu bagan perahu di Maluku Utara.

Gambar 9 Daerah penangkapan ikan layang di Maluku Utara.


222

Lanjutan lampiran 23

Gambar 10 Hasil tangkapan ikan layang.

Gambar 11 Aktivitas pendaratan ikan di Pelabuhan Perikanan.

Gambar 12 Ikan layang yang siap dipasarkan ke Jakarta dan Surabaya.


223

Lanjutan lampiran 23

Gambar 13 Kegiatan wawancara dengan responden.

Gambar 14 Pengukuran panjang dan berat tubuh ikan.

Gambar 15 Pembedahan ikan.


224

Lanjutan lampiran 23

Gambar 16 Gonad ikan betina fase 4.

Gambar 17 Pengukuran berat gonad.

Gambar 18 Identifkasi gonad.


225

Lanjutan lampiran 23

Gambar 19 Butiran telur.


iii

ABSTRACT

IRHAM. Sustainable Development Pattern of Scad Resources (Decapterus spp) in


North Maluku Waters. Under the direction of SUGENG HARI WISUDO, JOHN
HALUAN and BUDY WIRYAWAN.
The potential of scad resources in North Maluku waters is expected to be
abundant with the utilization level considered as developing, however, specifically
there is different fishing stress on scad resources. The objectives of the research
are: 1) to determine the main priority for scad fishing technology based on
biological, technical, social, economic, and environmentally friendly aspects; 2) to
determine the optimization of scad fishery management; 3) to determine
biological characteristics of scad (Decapterus macarelluas) based on fish
population parameter approach; 4) to determine minimum net mesh size of the
selected fishing gear; 5) to determine the pattern of fishing season and the impact
on catch of scad; and 6) to arrange the sustainable development pattern of scad
resources in North Maluku waters. The research used survey and observation
method. The method applied in the analysis was scoring and value function,
Gordon-Schaefer model on sustainable production function and bio-economy,
Linear Goal Programming model, fish population parameter analysis, simple
linear regression analysis, moving average method, and descriptive model. Result
showed that scad fishing technology that is appropriate to be developed is mini
purse seine. Estimation of scad catch result optimum value is 19.754, 248 ton per
year with optimum catch effort is 28.135 mini purse seine standard trip, and thus
the maximum profit obtained is Rp. 90.717.199.850,00. The allocation of
recommended mini purse seine fishing unit is 202 units that employ around 2626
fishermen. The analysis of several scad (Decapterus macerellus) population
parameters resulted faster growth of female scad compare to the male and both
reached maximum length in the age of 4 years. Scad growth characteristic is
“Alometric minor”, which means that the growth of its body length is faster than
its weight. Scad caught was dominated by immature gonad. The highest amount
of mature gonad scad was found in March and the size at first gonad maturity is
reached at 25,8 cm total length. The spawning period is during April/May.
Fecundity obtained is around 28875-84000 with the total length vary from 268-
310 mm. The amount of egg is highly influenced by the fish’s total length. The
pattern of fishing season is following the scad’s abundance pattern. The peaks of
scad fishing season occurs in March-October with the highest point reached in
August. While fishing ground December – February indicated by lowest catch.
Catch area and scad fishing season in various waters in North Maluku covers: (1)
the center part of North Maluku, with fishing season from February -May and July
- September; (2) southern part of North Maluku with fishing season from April -
October; and (3) northern part of North Maluku with fishing season from April -
September. A sustainable development pattern of scad resources in North Maluku
waters has been arranged, which covers 5 components: Selected scad fishing
technology, optimization of scad fishery management, scad biology, minimum
mesh size of chosen fishing gear, and the pattern of fishing season.

Key word: development pattern, scad, fishing technology, North Maluku waters.

You might also like