Download as pdf or txt
Download as pdf or txt
You are on page 1of 8

EKOLOGI HINDU DALAM TEKS ĀDI PARWA

Oleh : Ida Bagus Subrahmaniam Saitya

ABSTRACT

Natural disasters that occur today are closely related to a decrease in environmental
quality caused by human actions, the occurrence of disasters, bringing humans to further
consequences. Therefore, humans must change their behavior and outlook on nature. To create
a harmonious life between humans and their environment in Hinduism, it is called Tri Hita
Karana. The Tri Hita Karana concept is a philosophy of life, it has a concept that can preserve
cultural and environmental diversity amidst the impact of globalization and industrial progress.
Ecology is the study of the relationship between organisms and their environment, both inorganic
(abiotic) and organic (biotic) environments. In Hindu ecology there are 3 (three) dragons, namely
Anantabhoga, Bāsuki, and Takṣaka. In the story of ipdiparwa, the dragon Anantabhoga was
awarded by Bhaṭāra Brahmā for holding the earth. The three dragons are incarnations of the
gods because seeing the state of living beings on earth is very miserable, then Lord Śiwa sent
Lord Brahma to become the dragon Anantabhoga, Lord Wiṣṇu became the dragon Bāsuki, and
Dewa Īśwara became the dragon Takṣaka. Anantabhoga’s dragon was in the ground, the head
of the Bāsuki dragon became the sea and its tail became a mountain, while the winged Takṣaka
dragon entered the sky. In the text of Śiwāgama it is mentioned that after this earth was created
by Bhaṭāra Śiwa and Bhaṭāri Umā, at one time a disaster occurred, plants did not live well, water
was not nutritious, and air caused illness. Therefore, Sanghyang Trimūrti came down to the world
to help humans. Bhaṭāra Brahmā enters the ground and transforms into Anantabhoga’s dragon,
Bhaṭāra Wiṣṇu plunges into the water, transforms into a Bāsuki dragon, and Bhaṭāra Iśwara
enters into the air turning into a Takṣaka dragon.

Keywords: Hindu ecology, text Ādi Parwa

I. PENDAHULUAN nilai yang telah diakui kebenaranya. Fenomena


dunia modern yang didukung oleh kecanggihan
Pesatnya perkembangan teknologi teknologi tinggi dalam penggunaannya telah
pada abad 20 berdampak dengan adanya mengabaikan etika, estetika, dan keseimbangan
krisis multideminsional, dimana krisis diatas alam, telah menimbulkan kerusakan ekosistem
merupakan krisis dalam dimensi moral dan global dan evolusi kehidupan, yang dapat
spiritual, yaitu dengan terabaiakanya sistem mengancam keseimbangan ekologi dan

JURNAL SPHATIKA VOL 10, NO 2, SEPTEMBER 2019


30
kehidupan manusia. Ekologi sudah seharusnya eksploitatif terhadap sumber daya alam. Paham
diberikan perhatian yang serius mengingat ini ditunjang dengan paham materialisme,
berbagai kerusakan terhadapnya sudah Kedua, permasalahan politik ekonomi global.
mencapai tingkat yang begitu mengkhawatirkan. Sebagai imbas paham materialisme, kapitalisme,
Dari tahun ke tahun kerusakan dan kekerasan dan pragmatisme, negara-negara maju (Barat)
terhadap ekologi bukannya menurun, malah telah mendirikan pabrik-pabrik industri yang
semakin meningkat secara drastis. Kebakaran, telah menimbulkan pencemaran dan kerusakan
penebangan hutan, penambangan dan pabrik lingkungan. Ketiga, permasalahan pemahaman
kimia, pencemaran air, polusi udara, dan masih keagamaan. Di kalangan umat beragama, masih
banyak yang lainnya, mungkin merupakan terdapat golongan yang menganut paham teologi
fenomena yang umum terjadi di Indonesia (Rusli, yang bercorak teosentrik. Orang yang berpaham
2008; Kalim, 2017:189-190). Bencana alam yang demikian memahami bencana alam seperti
terjadi dewasa ini berkaitan erat dengan adanya tsunami, banjir dan sebagainya sebagai takdir
penurunan kualitas lingkungan yang disebabkan Tuhan, dan tidak memandang krisis ekologis ini
oleh ulah tangan manusia, terjadinya bencana, sebagai imbas dari krisis kemanusiaan dan krisis
membawa manusia pada konsekuensi lebih moralitas sosial serta kegagalan manusia dalam
lanjut. Oleh karena itu, manusia harus mengubah memahami hukum alam (Harfin, 2015; Kalim,
perilaku dan cara pandangnya terhadap alam. 2017:190).
Agama yang merupakan keyakinan diharapkan Untuk menciptakan kehidupan yang
selalu menjadi landasan dalam setiap langkah harmonis antara manusia dengan lingkungannya
penganutnya, ternyata seringkali dituding dalam ajaran Hindu dinamakan Tri Hita Karana.
tidak peduli lingkungan. Ketika agama Konsep Tri Hita Karana merupakan falsafah
melalui berbagai ajarannya berusaha mengatur hidup, falsafah tersebut memiliki konsep yang
bagaimana manusia sebaiknya bersikap, isu dapat melestarikan keanekaragaman budaya dan
lingkungan tampaknya jarang sekali disentuh lingkungan di tengah hantaman globalisasi dan
bahkan dikatakan tidak pernah. kemajuan industri. Pada dasarnya hakikat ajaran
Ada beberapa alasan yang melatarbelakangi Tri Hita Karana menekankan tiga hubungan
adanya krisis ekologi yang terjadi pada manusia dalam kehidupan di dunia ini. Ketiga
dasawarsa sekarang ini. Pertama, permasalahan hubungan itu meliputi hubungan dengan sesama
fundamental filosofis. Permasalahan ini berakar manusia, hubungan dengan alam sekeliling, dan
pada kesalahan cara pandang manusia terhadap hubungan dengan Tuhan, yang saling terkait satu
dirinya, alam, dan posisi manusia dalam kese sama lain. Prinsip pelaksanaan Tri Hita Karana
luruhan ekosistem. Cara pandang manusia yang harus seimbang, selaras antara satu dan lainnya.
mengganggap dirinya superior telah mendorong Hidup manusia akan seimbang, tentram, dan
manusia untuk bersikap hegemonik terhadap damai. Hubungan antara manusia dengan alam
inferioritas alam. Akibatnya, pola perilaku lingkungan perlu terjalin secara harmonis.
manusia cenderung bersifat konsumtif dan Tidak disadari bahwa alam lingkungan telah

JURNAL SPHATIKA VOL 10, NO 2, SEPTEMBER 2019 31


memberikan kebebasan kepada manusia dapat berfungsi sebagai pendekatan untuk
untuk dimanfaatkan sebesar-besarnya guna mengakaji dan menganalisis suatu masalah yang
kesejahteraan hidupnya. berhubungan dengan lingkungan hidup. Dalam
ekologi, maakhluk hidup dipelajari sebagai satu
Hakikat mendasar Tri Hita Karana
kesatuan atau sistem dengan lingkungannya.
mengandung pengertian tiga penyebab
kesejahteraan itu bersumber pada keharmonisan Ekologi merupakan studi keterkaitan
hubungan antara manusia dengan Tuhan- diantara organisme-organisme dengan
Nya, manusia dengan alam lingkungannya, lingkungannya, baik lingkungan anorganik
dan manusia dengan sesamanya. Dengan (abiotik) maupun lingkungan organik (biotik).
menerapkan falsafah tersebut diharapkan dapat Lingkungan abiotik terdiri dari atmosfer, cahaya
menggantikan pandangan hidup modern yang air, dan seterusnya. Dan semua faktor lingkungan
lebih mengedepankan individualisme dan diatas saling terkait
materialisme. Oleh karena itu, selanjutnya akan Melestarikan lingkungan hidup merupakan
dibahas mengenai ekologi Hindu dalam teks Ādi kebutuhan yang tidak bisa ditunda lagi dan bukan
Parwa. hanya menjadi tanggung jawab pemerintah atau
pemimpin negara saja, melainkan tanggung
II. PEMBAHASAN jawab setiap insan di bumi, dari balita sampai
manula. Setiap orang harus melakukan usaha
II.1 Konsep Ekologi
untuk menyelamatkan lingkungan hidup
Istilah ekologi dikenalkan pertama kali oleh disekitar nya sesuai dengan kapasitasnya
seorang ahli biologi jerman, yang bernama Ernest masing-masing.
Heackle pada tahun 1969. Dia mengemukakan
adanya hubungan antara makhluk hidup di suatu II.2 Ekologi dalam Teks Ādiparwa
tempat dengan lingkungannya. Konsepnya
Ādiparwa merupakan bagian awal dari
didasarkan atas ilhamnya pada saat mempelajari
kitab Mahābhārata. Menurut Zoetmulder
kehidupan kolektif beberapa makhluk di suatu
(1994:80), Ādiparwa dapat dipandang terdiri
tempat. Mereka memiliki hubungan bukan
atas 2 (dua) bagian tersendiri. Bagian pertama,
secara kebetulan tapi berlangsung berdasarkan
menyajikan kerangka mengenai epos Bhārata
kaidah keseimbangan alamiah yang bersifat
adalah cerita mengenai upacara korban atas
saling menguntungkan (Soerjani, 1987:8).
perintah Raja Janamejaya dengan tujuan
Menurut Soerjani (1987:10), ekologi untuk memusnahkan para naga dikarenakan
adalah ilmu tentang hubungan timbal balik Raja Parikṣit yang merupakan ayah dari Raja
antara makhluk hidup dengan sesamanya. Janamejaya dibunuh oleh naga Taksaka. Bagian
Secara terminologis, ekologi adalah ilmu yang kedua, berisikan silsilah para Pandawa dan
mempelajari tentang hubungan antara organisme Korawa, kelahiran dan masa muda mereka
(makhluk hidup) dengan alam sekitarnya. hingga pernikahan Arjuna dengan Subhadrā. Di
Menurut Soemarwoto (Zulfikli, 2014:1) ekologi samping cerita di atas, di dalam Ādiparwa juga
JURNAL SPHATIKA VOL 10, NO 2, SEPTEMBER 2019
32
terdapat cerita mengenai Garuda, Garuda anak Adapun kata sang Winatā: “Ya tuan
dari Bhāgawan Kasyapa dan Dewi Winatā. Para pendeta, tidak usah banyak anugerahmu
naga, dengan naga yang terkenal, yaitu Takṣaka, kepada saya, dua orang anak sajalah,
Anantabhoga, dan Bāsuki. Perputaran gunung tetapi hendaknya kesaktiannya lebih
Mandara, yang pada saat perputaran tersebut daripada kesaktian anak sang Kadrū, itu
muncul kūrmarāja. sajalah anugerahmu kepada saya”.
Ekologi Hindu di dalam teks Ādiparwa
Demikian kata sang Winatā. Ia lalu
tidak dapat dilepaskan dari ketokohan 3 (tiga)
diberinya dua butir telur. Dijaganya
naga, yaitu naga Takṣaka, naga Bāsuki, dan naga
dengan hati-hati telur pemberian
Ananthaboga, seperti yang dijelaskan berikut
suaminya itu, disimpan di dalam jun
ini.
(tempayan) dan dibelanya.
Mangkana ling sang Kadrū. Irikā ta sira
Setelah lima ratus tahun berlalu, anak
wineh antiga sewu, makatêtêsana dlāha.
sang Kadrū seribu butir telur menetaslah.
Kunang ling sang Winatā:
Semua berwujud naga, sebagai
Sojar mpungku! Haywākeh paweh pemukanya sang Anantabhoga, sang
rahadyan sanghulun putra ri kami, Bāsuki, sang Takṣaka, semuanya sangat
rwang siki juga! Anghing lwiha ring sakti (Zoetmulder, 2006:52-53).
kaśaktin sangkeng anak sang Kadrū,
yatikā paweha ra mpu ri nghulun.
Kutipan teks Ādiparwa di atas, Bhagawān
Nāhan ta ling sang Winatā. Wineh ta Kaśyapa memberikan 1000 (seribu) butir telur
sira hantiga rwang siki. Ya ta pinahayu kepada Dewi Kadrū agar ia memiliki anak dan
nira ikang antiga, paweh sang swāmi 500 (lima ratus) tahu kemudian menetaslah telur
kinêkêsan ira ring dyun rinakṣa nira. tersebut yang semuanya adalah naga. Ada 3
Limang atus tahun lawasnya, anêtês (tiga) naga yang menjadi pemimpin para naga,
ta anak sang Kadrū hantiga sewu. yaitu Anantabhoga, Bāsuki, dan Takṣaka. Dalam
yatikātĕmahan nāga, pinakādinya sang cerita Ādiparwa selanjutnya, naga Anantabhoga
Anantabhoga, sang Bāsuki, Takṣaka dianugerahi oleh Bhaṭāra Brahmā untuk menahan
kapwa pada mahāśakti sira kabeh. bumi, hal tersebut diuraikan berikut ini.
(Ādiparwa V.25) Sojar mpungku, tan sangsaya rahadyan

Terjemahannya: sanghulun mangke, ulah nikang nāga


ri huwusnyān śināpa de sang ibu glana
Demikian kata sang Kadrū. Pada waktu āśā śoka, ikang nāga anak atuha de
itu ia lalu diberinya telur seribu butir, sang Kadrū amrih ta yāgawe tapa sira,
yang kelak akan menetas. umārādhana bhaṭāra Brahmānugraha
ta sira, sumanggā pṛthiwītala, tan
katêkāna de ning sarwaduḥka, “kadi

JURNAL SPHATIKA VOL 10, NO 2, SEPTEMBER 2019 33


lwirku ta lwiranta”. Mangkana ling keadaan makhluk hidup di bumi sangat sengsara,
bhaṭāra Brahmā irikang nāga, ya ta maka Dewa Śiwa mengutus Dewa Brahmā
matang yan adharaṇa pṛthiwi, sira ta untuk menjadi naga Anantabhoga, Dewa Wiṣṇu
sang Anantabhoga ngaran ira. kunang menjadi naga Bāsuki, dan Dewa Īśwara menjadi
wwang sānaknya kabeh, makādi sang naga Takṣaka. Naga Anantabhoga berada di
Bāsuki sira tāhöm umālocita de nikā. dalam tanah, kepala dari naga Bāsuki menjadi
Kapwākira-kiramājar i sang Bāsuki, laut dan ekornya menjadi gunung, sedangkan
lingnya: naga Takṣaka yang bersayap terbang memasuki
lapisan angkasa.
(Ādiparwa VII.2)
Dalam teks Śiwāgama disebutkan setelah
Terjemahannya:
bumi ini diciptakan oleh Bhaṭāra Śiwa dan
Baiklah tuanku, janganlah tuanku kuatir. Bhaṭāri Umā, pada suatu saat terjadi bencana,
Para naga sesudah dikutuk ibunya tumbuh-tumbuhan tidak hidup dengan baik,
menjadi gundah-gulana putus asa dan air tidak berkhasiat, serta udara menimbulkan
bersedih hati. penyakit. Oleh karena itu, Sanghyang Trimūrti
turun ke dunia untuk membantu para manusia.
Naga yang tua, anak sang Kadrū itu,
Bhaṭāra Brahmā masuk ke dalam tanah dan
bertapa memuja kepada batara Brahmā,
berubah menjadi naga Anantabhoga, Bhaṭāra
diberinya pekerjaan, menahan bumi,
Wiṣṇu terjun ke dalam air berubah wujud
tidak mengenal susah: “Seperti akulah
menjadi naga Bāsuki, dan Bhaṭāra Iśwara masuk
keadaanmu!” Demikian kata batara
ke dalam udara berubah menjadi naga Takṣaka
Brahmā kepada naga, karenanya
(Titib, 2003:398).
lalu menahan bumi, yaitu namanya
Anantabhoga. Tiga naga tersebut merupakan perwujudan
dari Bhaṭāra Brahmā, Bhaṭāra Wiṣṇu, dan
Adapun sanak-saudaranya dengan Bhaṭāra Iśwara yang turun ke dunia untuk
dipimpin oleh sang hyang Bāsuki, membantu umat manusia. Anantabhoga, terdiri
bersidang, meperbincangkan, bagaimana dari kata ananta berarti ‘tidak habis’, dan bhoga
caranya mendapatkan ketentraman. berarti ‘makanan’. Jadi, naga Anantabhoga
Semua memikirkannya, lalu ada yang berarti makanan yang tidak pernah habis, oleh
berkata kepada sang Bāsuki, katanya: karena itu maka naga Anantabhoga masuk ke
(Zoetmulder, 2006:77) dalam tanah dan memberikan segala makanan
yang tidak akan pernah habis kepada makhluk
Oleh karena para naga dikutuk oleh ibunya,
hidup. Bāsuki berarti ‘kemakmuran’, maka naga
maka Anantabhoga memuja Bhaṭāra Brahmā
Bāsuki masuk ke dalam laut yang memberikan
dan dianugerahi untuk menahan bumi. Mitos 3
kemakmuran kepada seluruh makhluk hidup di
(naga) ini menurut Wiana (2009:26-27) adalah
bumi. Naga Takṣaka yang masuk ke dalam udara
penjelmaan dari para dewa karena melihat

JURNAL SPHATIKA VOL 10, NO 2, SEPTEMBER 2019


34
memberikan kehidupan bagi seluruh makhluk Terjemahannya:
hidup. Perwujudan 3 (tiga) naga tersebut dapat
Maka awan pun datanglah dari semua
dimaknai secara simbolis sebagai bumi (tanah,
penjuru (arah), gunung dan laut semua
air, dan udara) yang digambarkan sebagai induk
penuh dengan awan, datang menyergap
dari para naga, yaitu Anantabhoga, Bāsuki, dan
dengan kilat dan guruhnya. Lalu hujan
Takṣaka.
pun turunlah, sehingga akhirnya api tadi
Selain itu, proses pengadukan laut Kṣīra padam.
juga merupakan ekologi dalam agama Hindu.
Lemak segala binatang yang terbakar,
Setelah penciptaan alam semesta beserta isinya
demikian pula minyak-minyak kayu,
oleh Sanghyang Śangkara (Śiwa) makhluk
semua mengalir ke laut Lawana. Makin
hidup dapat menikmati alam semesta ini. Dalam
kentallah airnya; dewa dan asura
proses kosmologi Tuhan menciptakan sesuatu
memutarnya diperlebat, karena sudah
yang dapat dimanfaatkan atau dapat memberikan
diberi kesaktian oleh batara Wiṣṇu, Tatah
kemakmuran oleh semua makhluk hidup, dalam
ksīrād abhūd ghṛtam.
teks Ādiparwa proses pengadukan laut Kṣīra
berikut ini. Kemudian keluarlah minyak dari air susu
itu. Demikianlah keadaannya. Keluar
Mijil ta ya sakeng daśadeśa, parwata pula Ardhacandra, lalu batari Śri, lalu
sāgara kahêban megha lwirnya sang Dewi Lakṣmi, lalu Uccaihśrawa,
sumahab, saha kilatnya, gêrêhnya. kemudian Kastubhamaṇi (Zoetmulder,
Yatikenudanakê paḍêm ikang apuy 2006:57).
wêkasan. Kunang wuduk nikang
satwa kabeh, kagêsêngan dening
agni, tan wāktan gêtih ning kayu- Proses kosmologi dalam teks Ādiparwa
kayu, yatikā pada kahili tumus mareng di atas, dari gunung Mandara keluar minyak,
Lawansāgara. Mangkin ta yālikêt, ardhacandra, Bhaṭāri Srī, Dewi Lakṣmi,
hinosakên ta ya sinêrêng dening kuda Uccaihśrawa, Kastubhami, dan amṛta.
dewāsura amutêr, huwus wineh kaśaktin Keluarnya isi gunung Mandara ini ditafsirkan
de bhaṭāra Wiṣṇu. secara hermeneutika bahwa Tuhan sudah
menyediakan segala apapun untuk dapat
Tatah ksīrād abhūdghṛtam. Mijil tang dimanfaatkan oleh makhluk hidup. Di dalam
minak wêkasan sangkeng pêhan. Na Bhagavadgītā disebutkan.
lwirnya ng Ardhacandra rumuhun.
Tumūt ta bhaṭāri Śrī, tumūt ta sira śri saha-yajñāḥ prajāḥ sṛṣṭvā
Lakṣmīdewī, tumūt tang Uccaihśrawā, purovāca prajāpatiḥ,
tumūt tang Kastubhamani. anena prasaviṣyadhvam

(Ādiparwa V.35) eṣa vo ‘stv iṣṭa-kāma-dhuk.


(Bhagavadgītā III.10)

JURNAL SPHATIKA VOL 10, NO 2, SEPTEMBER 2019 35


Terjemahannya: lingkungan dapat menyebabkan pengurangan
terhadap resiko bencana alam. Ketidak
Sesungguhnya sejak dahulu dikatakan,
harmonisan antara manusia dengan alam dapat
Tuhan setelah menciptakan manusia
menimbulkan bencana yang membahayakan
melalui yajña, berkata: dengan (cara) ini
kehidupan manusia. Perkembangan ilmu
engkau akan berkembang, sebagaimana
pengetahuan dan teknologi yang telah dicapai
sapi perah yang memenuhi keinginanmu
disamping memberikan dampak kekuatan hidup,
(sendiri) (Pudja, 1999:84).
juga memberikan dampak merugikan. Oleh
Sloka di atas dapat dimaknai bahwa karena alam tempat hidup manusia dan sarwa
manusia diciptakan oleh Tuhan melalui yajña, prani diperas habis-habisan untuk kepentingan
dengan cara yajña manusia berkembang untuk kenikmatan kehidupan manusia. Keseimbangan
memenuhi kebutuhannya. Dalam memenuhi yang diciptakan oleh Tri Hita Karana didukung
kebutuhan manusia, Tuhan sudah menciptakan ilmu pengetahuan, seni dan teknologi yang
segala isi alam semesta melalui proses berupaya menyerasikan alat, cara dan lingkugan
kosmologi seperti yang terdapat dalam teks kerja terhadap kemampuan, kebolehan dan
Ādiparwa di atas. Jadi, manusia dikehendaki segala keterbatasan manusia, sehingga manusia
untuk memanfaatkan segala sumber daya alam dapat bekerja secara optimal.
yang sudah diciptakan oleh Tuhan dan tidak
serakah untuk menghabisinya. III. PENUTUP

Annād bhavanti bhtāni Ekologi merupakan hubungan antara


makhluk hidup dengan lingkungannya, dalam
Parjanyād anna-sambhavaḥ,
perspektif agama Hindu, hubungan antara
Yajñād bhavati parjanyo
manusia dan lingkungannya disebut Tri
yajñaḥ karma-samudbhavaḥ. Hita Karana, yang terdiri dari Parhyangan
(Bhagavadgītā III.14) (hubungan manusia dengan Tuhan), Pawongan
(hubungan manusia dengan manusia), dan
Terjemahannya:
Palemahan (hubungan manusia dengan alam).
Adanya makhluk hidup karena makanan, Teks Ādiparwa mengajarkan melalui tokoh
adanya makanan karena hujan, adanya naga Takṣaka, Bāsuki, dan Anantabhoga untuk
hujan karena yajña, adanya yajña karena melestarikan dan menjaga lingkungan. Naga
karma (Pudja, 1999:87). Takṣaka merupakan penjaga udara, Bāsuki
Bhagavadgītā diatas memberikan makna penjaga lautan, dan Anantabhoga penjaga bumi,
bahwa karena karma yang menyebabkan adanya ketiga naga tersebut disimbolkan untuk manusia
tetap menjaga kelestarian lingkungan agar
makhluk hidup. Dengan melaksanakan karma
kehidupan makhluk hidup menjadi harmonis.
baik, seperti melestarikan alam lingkungan
maka keharmonisan akan terjadi. Menjaga

JURNAL SPHATIKA VOL 10, NO 2, SEPTEMBER 2019


36
DAFTAR PUSTAKA

Harfin, M, Z. 2015. “Fiqh Al-Bî’ah: Tawaran


Hukum Islam Dalam Mengatasi Krisis
Ekologi”. Jurnal Al-‘Adalah, XII(4).

Kalim, Abd.2017. “Fiqih Berwawasan


Spiritualisasi Ekologi (Kajian Materi
Fiqih Ekologi)”. Genetika (Jurnal Tadris
Biologi), 1(1). Halaman 188-201.189-190)

Rusli, 2008. “Fikih Ekologi dan


Kearifantradisional: Tinjauan Terhadap
Konsep Ihyâ Al-Mawât dan Hiimâ”. Jurnal
Hunafa, 5(3).

Pudja, G.1999. Bhagavadgītā. Surabaya:


Pāramita.

Soerjani dkk.1987. Lingkungan: Sumber


Daya Alam dan Kependudukan dalam
Pembangunan. Jakarta: UI Press.

Titib, I Made.2003. Teologi & Simbol-Simbol


dalam Agama Hindu. Surabaya: Pāramita.

Wiana, I Ketut.2009. Air sebagai Ratna Permata


Bumi. Naskah lengkap The 3rd SSEASR
Confrence. Denpasar, 3-6 juni 2009.

Zoetmulder, P.J.1994. Kalangwan Sastra Jawa


Kuno Selayang Pandang (Dick Hartoko,
Pentj.). Jakarta: Djambatan.

Zoetmulder, P.J.2006. Ādiparva Bahasa Jawa


Kuna dan Indonesia. Surabaya: Pāramita.

Zulkifli, Arif.2014. Dasar-Dasar Ilmu


Lingkungan. Jakarta: Salemba Teknika.

JURNAL SPHATIKA VOL 10, NO 2, SEPTEMBER 2019 37

You might also like