Professional Documents
Culture Documents
1766 7894 2 PB
1766 7894 2 PB
305-324
Tulisan Diterima: 03-02-2021; Direvisi: 18-03-2021; Disetujui Diterbitkan: 25-03-2021
Karya ini dipublikasikan di bawah lisensi
Creative Commons Attribution 4.0 International License
ABSTRACT
The World Health Organization (WHO) declared Covid-19 as a Pandemic on March 11, 2020. Several countries
have already issued several policies to decline the spread of the virus. One of these policies is entry regulation
and travel restrictions. This policy aims to prevent the transmission and spread of the virus due to human
movement. On the other hand, human rights conventions protect the right to move and enter a country and
prohibit discrimination. This paper reviews the perspective of international law concerning entry regulation
policy and discusses Indonesia’s domestic policy in dealing with the outbreak. This paper uses the normative
juridical method with secondary data. It consists of primary legal materials, secondary legal materials, and
tertiary legal materials. This paper summarizes that state policy regarding entry regulation and travel ban
restrictions are allowed under international law. It had already made an impact by reducing the number of
corona outbreaks across national borders. However, this policy may violate human rights if it does not refer
to applicable legal provisions and other human rights conventions. This paper suggests that policymakers be
aware and careful in using the entry regulation policy.
Keywords: human rights; entry regulation and travel ban restriction; covid-19.
ABSTRAK
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyatakan Covid-19 sebagai Pandemi pada 11 Maret 2020. Sejumlah
negara telah membuat berbagai kebijakan untuk menekan penyebaran virus tersebut. Salah satu kebijakan
tersebut adalah regulasi masuk dan pembatasan perjalanan. Kebijakan ini dipandang perlu untuk mencegah
penularan dan penyebaran virus secara masif akibat pergerakan manusia. Di sisi lain, konvensi hak asasi manusia
memberikan perlindungan terhadap hak untuk bergerak dan memasuki suatu negara dan melarang tindakan
diskriminasi. Tulisan ini mengkaji perspektif hukum internasional tentang kebijakan masuk dan pembatasan
perjalanan serta membahas kebijakan domestik Indonesia dalam menanggulangi wabah korona. Penelitian
ini menggunakan metode yuridis normatif, dengan data sekunder yaitu bahan hukum primer, bahan hukum
sekunder dan bahan hukum tersier. Tulisan ini merangkum bahwa kebijakan negara mengenai pengaturan
masuk dan pembatasan larangan bepergian merupakan sesuatu yang dibolehkan menurut hukum internasional.
Hal ini berdampak pada pengurangan jumlah wabah korona lintas batas negara. Meskipun demikian, kebijakan
ini mungkin melanggar hak asasi manusia jika tidak mengacu pada ketentuan hukum yang berlaku seperti
konvensi hak asasi manusia. Tulisan ini menyarankan kepada para pembuat kebijakan untuk berhati-hati dalam
menggunakan kebijakan entry regulation.
Kata Kunci: hak asasi manusia; pembatasan perjalanan dan masuk; covid-19.
305
JURNAL HAM
Volume 12, Nomor 2, Agustus 2021
306
Pembatasan Hak Untuk Bergerak (Right To Move) Melalui Larangan Masuk
Ari Wirya Dinata, M. Yusuf Akbar
rasio gini ini tentunya merupakan akibat dari Ada dua teori mendasar dalam konsep
kebijakan pembatasan berskala besar (PSBB) pemenuhan HAM yaitu teori berdasarkan prinsip
yang diambil oleh Pemerintah dimana salah kebebasan (liberty) di negara-negara common law
satunya adanya pembatasan bergerak orang. dan teori berdasarkan prinsip hak (rights) di negara-
Pembatasan hak untuk bergerak akan negara di civil law. Kedua-duanya mengarah pada
melambankan laju pergerakan ekonomi rakyat. hubungan antara negara dan individu. Berupaya
Keadaan ini seyogyanya mengiring Pemerintah mengatur batasan intervensi pemerintah dalam
pada keadaan dilema dan simalakama yaitu antara kehidupan pribadi individu. Singkat kata, teori
menjaga pertumbuhan ekonomi atau menekan liberty menginginkan bahwa individu bebas dari
laju penyebaran Covid-19. Pemerintah seakan intervensi sewenang-wenangan negara, adapun
dihadapkan pada Fetakompi antara memilih teori rights mendasarkan pada hak-hak yang
mengedepankan ekonomi atau kesehatan. melekat pada individu yang harus dihormati oleh
Meskipun, kedua hal ini penting dan perlu negara.7
diperhatikan. Oleh karena itu, Pemerintah harus Hak untuk bergerak (freedom of movement)
dapat memformulasikan kebijakan yang seimbang sudah dikenal sebagai narasi tentang hak individu
antara kedua hak tersebut dan tanpa mengabaikan untuk bermobilisasi dan memasuki negara
satu diantaranya. Tentu, tidak mudah mencari titik lain, atau dilihat sebagai cara lain untuk dapat
keseimbangan (equilibrium point) pemenuhan hak berkeliling dan masuk ke negara lain tanpa adanya
ekonomi dan hak Kesehatan. Pilihan pembatasan pembatasan imigrasi. Hak untuk bergerak (freedom
hak bergerak yang dipilih oleh Pemerintah tentunya of movement) muncul dalam tiga manifestasi
memberikan dampak baik guna menekan jumlah dalam universal deklarasi hak asasi manusia dan
penyebaran virus korona. Namun, di sisi lain, Konvensi Sipil dan Politik. Sebagaimana dikutip
jika kebijakan ini terus digunakan tanpa ada batas oleh Jane McAdam yaitu first, it encompasses
waktu dan solusi alternatif lainnya, tidak menutup the right to move freely within a country and to
kemungkinan akan memunculkan masalah choose one’s place of residence there, secondly,
sosial baru seperti kemiskinan, kriminalitas dan it includes the right to cross an international
psikologi. border, expressed as the right to leave any country,
Deklarasi Universal tentang HAM including one’s own. Thirdly, it extends to the right
Tahun 1948 adalah puncak perjuangan HAM to return to one’s country.8 Sehingga pada intinya
internasional, tindakan-tindakan yang dilakukan hak untuk bergerak merupakan hak asasi setiap
oleh komunitas internasional ini tidak terlepas individu untuk berpindah/mutasi dari satu wilayah
dari idealisme demokrasi dan konsep negara ke wilayah lain di bumi tanpa adanya pembatasan
hukum (the rule of law), sebagai dari bangunan yang melanggar hak asasi manusia dan dilarang
dasar dari tatanan dunia.6 Demokrasi sebagai diskriminatif.9
paham kedaulatan rakyat menempatkan rakyat
pada centrum kekuasaan yang harus diprioritaskan 7 Sefriani,2016, Peran Hukum Internasional Dalam
pemenuhan hak dan kewajibannya. Begitu pula Hubungan Internasional Kontemporer, (Jakarta:
dengan ciri negara hukum (the rule of law) yang Rajawali Press), 321.
8 Jane Mcadam, “An Intellectual History of
memiliki karakteristik jaminan hak asasi manusia Freedom of Movement in International Law,”
dalam bingkai hukum. Melbourne Journal of International Law 12, no. 1
(2011): 1–30, http://law.unimelb.edu.au/__
data/assets/pdf_file/0011/1686926/McAdam.
diakses Juni 18, 2021, https://ekonomi.bisnis.com/ pdf.
read/20210215/9/1356258/rasio-gini-2020-naik-jadi- 9 Antonio Guterres, “We are all in this Together: Human
0385-covid-19-buat-ketimpangan-makin-lebar. Rights and COVID-19 Response and Recovery | United
6 Jawahir Thontowi dan Pranoto Iskandar, 2006, Nations,” diakses Agustus 3, 2021, https://www.un.org/
Hukum Internasional Kontemporer, (Bandung: Refika en/un-coronavirus-communications-team/we-are-all-
Aditama), 25. together-human-rights-and-covid-19-response-and.
307
JURNAL HAM
Volume 12, Nomor 2, Agustus 2021
308
Pembatasan Hak Untuk Bergerak (Right To Move) Melalui Larangan Masuk
Ari Wirya Dinata, M. Yusuf Akbar
menimbulkan masalah yang lebih besar dari virus bergerak (freedom of movement), tetapi di sisi
Covid-19 itu sendiri. Lalu, di saat yang bersamaan, lain, Indonesia juga memiliki kewajiban asasi
beberapa pemerintahan di beberapa negara di awal untuk memastikan hak atas Kesehatan bagi warga
penanganan menyangkal Covid-19 telah masuk negaranya dalam membuat kebijakan menghadapi
ke negaranya. Lebih lanjut, bahkan banyak pihak pandemi. Ketentuan tersebut dapat ditemukan
yang mencoba mengaitkan penanganan Covid-19 didalam Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Nomor
dengan rezim pemerintahannya karena tidak 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia juncto
berhubungan dengan keberhasilan respons dalam Pasal 28 huruf A Undang-Undang Dasar NRI
penanganan Covid-19.14 1945. Setiap negara termasuk Indonesia harus
Walaupun dalam hal tertentu, hukum mampu melakukan penilaian dan pengukuran atas
internasional membolehkan pembatasan hak setiap kebijakannya terhadap potensi pelanggaran
untuk bergerak demi alasan keamanan seperti HAM yang mungkin terjadi.
yang dicantum dalam Pasal 15 ECHR atau Pasal 4 Salah satu teori yang membahas tentang
ayat 1 ICCPR. Pembatasan atas hak tersebut boleh menilai keadilan dalam kebijakan publik adalah
dilakukan jika diperlukan dengan memperhatikan pemikiran John Rawls tentang konsep Maximin
prinsip proporsional, tidak bersifat diskriminatif (Maximum Minimorum) yaitu setiap kebijakan
dan berdasarkan bukti ilmiah.15 Dengan kata lain, yang dibuat sebaiknya menimbang seberapa besar
hukum internasional mensyaratkan sejumlah manfaat yang dapat dihasilkan dan mudarat yang
parameter yang harus dipenuhi dalam kebijakan akan ditimbulkan. Apabila kebijakan yang dibuat
pembatasan perpindahan orang antar negara. Oleh membuahkan keuntungan yang lebih besar dari
karena itu, kebijakan tersebut harus dilakukan kerugian yang terjadi, kebijakan tersebut dapat
secara hati-hati karena berpotensi melanggar dikatakan baik. Hal ini vis versa apabila kebijakan
hak asasi manusia, terutama apabila tidak patuh yang dibuat menimbulkan dampak kerugian yang
dengan aturan hukum internasional. massif dan besar dibandingkan manfaatnya, maka
Perdebatan antara hak asasi manusia yang seharusnya kebijakan tersebut tidak dipilih.16
mana yang dikedepankan atau diprioritaskan Penilaian atas kebijakan publik dan hukum
dalam penanganan Covid-19 telah menjadi yang diambil dalam masa pandemik ini perlu
diskursus yang panjang dan penuh dengan dinilai dan diuji dari segi pemenuhan hak asasi
dinamika. Hak atas hidup yang melekat pada hak manusia. Kerap kali, aspek pemenuhan hak
atas kesehatan menjadi alasan melegalkan tindakan asasi manusia terabaikan manakala pemerintah
dengan membuat larangan masuk ke negara- membuat kebijakan dalam menghadapi keadaan
negara yang memiliki jumlah kasus relatif tinggi darurat, baik bencana alam maunpun non-alam.
ataupun penutupan. Hal ini dilakukan dengan Sementara, dalam konsep hak asasi manusia,
alasan perlindungan warga negara di wilayahnya pemenuhan HAM tidak mengenal situasi karena
dari negara manapun, baik negara rendah kasus dalam keadaan apapun HAM patut dipenuhi dan
penyebarannya, maupun negara dengan jumlah dihormati.
kasus tinggi dan penanganan yang lemah. Sebagaimana dinukilkan oleh Mahfud MD,
Sebagai contoh, Indonesia mengakui hak sejatinya, ada dua jenis peraturan perundang-
asasi manusia untuk melakukan perjalanan dan undangan yaitu peraturan perundang-undangan
yang responsif yaitu yang mampu menjawab
14 Ibnu Sina Chandranegara, “Diantara yang terbaik dan kebutuhan hukum publik dan peraturan perundang-
terburuk dalam merespon Covid-19 di Asia Tenggara,” undangan yang non-responsif (ortodoks) yaitu
in Makalah pada webinar New Normal dalam
Perspektif Hukum (Solo: Universitas Sebelas Maret
yang tidak mampu menjawab tantangan dan
Surakarta, 2020).
15 Pasal 4 ayat 1 Perjanjian Internasional Tentang Hak- 16 John Rawls, “Justice as Fairness” (Bandung:
Hak Sipil dan Politik Nusamedia, 1999), 219.
309
JURNAL HAM
Volume 12, Nomor 2, Agustus 2021
310
Pembatasan Hak Untuk Bergerak (Right To Move) Melalui Larangan Masuk
Ari Wirya Dinata, M. Yusuf Akbar
warganya jika negara dalam keadaan darurat. memiliki kewajiban untuk melindungi hak untuk
Pasal 15 ECHR mengatur mengenai pembatasan hidup,24yang mungkin dapat dijadikan justifikasi
hak pada saat darurat, mengizinkan negara pada dalam membatasi beberapa hak asasi manusia
saat perang atau keadaan darurat publik lainnya lainnya.
yang mengancam kehidupan Bangsa [..] untuk
B. Situasi Darurat Menurut Hukum
mengambil tindakan yang menyimpang dari
Internasional
kewajibannya…’.20 Ketentuan serupa dapat
Seperti dikatakan sebelumnya, hukum
ditemukan di Pasal 4 (1) Kovenan Internasional
internasional memberikan kelonggaran bagi
tentang Hak Sipil dan Politik (ICCPR), Pasal 27
negara-negara untuk membatasi hak-hak asasi
(1) Konvensi Amerika tentang Hak Asasi Manusia
bagi warganya jika dalam situasi darurat yang
(ACHR), atau Pasal 4 Piagam Arab tentang Hak
membahayakan. Oleh karena itu, penilaian
Asasi Manusia. Satu-satunya regulasi yang tidak
terhadap situasi tersebut dapat dibebankan kepada
memperkenankan pembatasan adalah Piagam
negara. Salah satu contoh lagi dari Konvensi Uni
Afrika yang tidak memuat ketentuan tentang
Eropa Mengenai Hak Asasi Manusia (ECHR).
pengurangan/pembatasan hak. Komisi Afrika
Menurut ECHR, pembatasan hak dapat berlaku
menyimpulkan bahwa tidak ada pembatasan
pada saat perang atau keadaan darurat publik
yang mungkin dilakukan.21 Kemungkinan untuk
lainnya yang mengancam kehidupan bangsa.
melakukan pembatasan hak pada saat darurat
Instrumen hukum yang lebih baru biasanya tidak
tidak menggantikan batasan yang diizinkan atas
mengacu pada perang tetapi berisi referensi
hak asasi manusia. Jika tanpa menggunakan
serupa untuk keadaan darurat yang mengancam
tindakan yang membatasi hak-hak, sebaiknya hal
publik. ICCPR mengacu pada “keadaan darurat
tersebutlah yang dilakukan.
publik yang mengancam kehidupan bangsa ...”,25
Emilie Hafner-Burton dan kawan kawan
sementara ACHR menyebutkan “waktu perang,
mendefinisikan derogation (pengurangan/
bahaya publik, atau keadaan darurat lainnya yang
pembatasan) sebagai “tindakan rasional yang
mengancam kemerdekaan atau keamanan suatu
dilakukan terhadap ketidakpastian, yang
Negara”.26
memungkinkan Pemerintah untuk mengulur waktu
Di sisi lain, Pengadilan Hak Asasi Manusia
dan ruang bernafas dengan menggunakan hukum
Eropa mendefinisikan “keadaan darurat publik
untuk mengatur masyarakat dan memerangi
yang mengancam kehidupan bangsa sebagai
krisis dengan membatasi sementara kebebasan
situasi krisis atau darurat yang luar biasa yang
sipil dan politik”.22 Sedangkan, klausul derogasi,
mempengaruhi seluruh populasi dan merupakan
menurut Gerald L. Neuman, bertentangan
ancaman bagi kehidupan terorganisir komunitas di
dengan gagasan tentang hak asasi manusia, tetapi
mana Negara disusun”.27 Pengadilan memutuskan
dapat berkontribusi pada perlindungan efektif
bahwa keadaan darurat harus ‘aktual atau segera’.28
bagi manusia.23 Memang, di satu sisi, negara
311
JURNAL HAM
Volume 12, Nomor 2, Agustus 2021
Kriteria sifat darurat yang akan segera terjadi Keputusan Presiden (Keppres) No. 11 Tahun
adalah sangat penting dalam konteks pandemi, 2020 tentang Penetapan Kedaruratan Kesehatan
karena memungkinkan negara untuk segera Masyarakat Corona Virus Disease 2019 (Covid-19).
mengantisipasi dengan mengambil langkah- Sejalan dengan hal tersebut terbit pula Peraturan
langkah pembatasan dini untuk menghindari Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu)
pembatasan yang lebih parah di kemudian hari. No. 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan
Tidak ada keraguan lagi bahwa krisis Covid-19 Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan Untuk
sesuai dengan kriteria tersebut, dengan ancaman Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019
aktual dan yang akan segera terjadi (tergantung (Covid-19) dan/atau Dalam Rangka Menghadapi
negaranya) terhadap hak semua individu atas Ancaman Yang Membahayakan Perekonomian
kesehatan dan hak untuk hidup. Serta negara Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan.
biasanya memiliki beberapa keleluasaan mengenai Dapat kita lihat dari contoh sebelumnya bahwa,
karakterisasi keadaan darurat publik karena negara secara umum banyak yang tidak siap
mereka berada pada posisi yang efektif untuk dalam menghadapi pandemi Covid-19. Sehingga
menilai risikonya. akhirnya banyak negara yang melakukan diskresi
Beberapa negara anggota Uni Eropa untuk tetap memastikan kegiatan pemerintahan
menyatakan negara mereka dalam keadaan darurat negaranya berjalan tetapi tetap menjunjung tinggi
dan mengklaim hak-hak khusus yang diatur dalam Hak Asasi Manusia (HAM).
Pasal 15 ECHR bahwa negara dibolehkan dalam C. Hak atas Bergerak Dimasa Pandemi
keadaan darurat untuk membatasi hak-hak tertentu
Pada hakikatnya setiap negara diwajibkan
dan harus segera dicabut jika situasinya telah usai.
mematuhi setiap ketentuan hukum internasional
Pada pertengahan Agustus 2020 Albania, Armenia,
yang sudah dibuat berdasarkan prinsip pacta
Estonia, Georgia, Latvia, Makedonia Utara,
sunt servanda30. Di mana ketentuan hukum
Moldova, Rumania, San Marino, dan Serbia telah
internasional merupakan undang-undang (hukum)
memberi tahu Sekretaris Jenderal Majelis Eropa
yang mengikat para pihak. Reputasi dan citra
atas niat mereka untuk mengklaim Pasal 15 ECHR
suatu negara sangat tergantung atas ketaatannya
guna menekan penyebaran virus Covid-19 dan
dalam menjalankan setiap hukum internasional
Sekarang ini, Albania, Estonia, Latvia, Makedonia
yang sudah menjadi hukum baik melalui proses
Utara, Moldova, Rumania, dan San Marino
perjanjian yang membentuk hukum (law making
telah menarik keputusan pengurangan, karena
treaty) ataupun kesepakatan kedua belah pihak
laju penyebaran virus Covid-19 telah menurun.
(treaty contract).31
Beberapa negara anggota lainnya memilih
untuk tidak menggunakan Pasal 15 ECHR dan Kegagalan dan ketidakmampuan suatu negara
konsekuensinya mereka tetap harus mematuhi dalam memenuhi kewajiban berdasarkan hukum
ketentuan standar ECHR dalam menanggulangi internasional adalah bentuk pelanggaran hukum
virus Covid-19.29 internasional dan menyebabkan negara tersebut
dipandang tidak memiliki kredibilitas.32 Seperti
Sementara di Indonesia sendiri sudah
dikemukan oleh Louis Henkin “If diplomacy can
menginterpretasikan Covid-19 sebagai “keadaan
maintain a climate of order and provide lawful
darurat kesehatan akibat daripada itu Presiden Joko
means for achieving change, these will induce
Widodo, pada 31 Maret 2020 telah menetapkan
30 Lihat Konvensi Wina 1969 tentang Perjanjian
29 Anja Radjenovic, “Upholding human rights in Europe Internasional
during the pandemic Derogations under the European 31 Anthony Aust, “Modern Law Treaty Practice”
Convention of Human,” no. September (2020): 12, (Cambridge: Cambridge Press, 2002), 404.
https://www.europarl.europa.eu/RegData/etudes/ 32 Damos Dumoli, “Treaties Under Indonesian Law : A
BRIE/2020/652085/EPRS_BRI%282020%29652085_ comparative Study” (Bandung: RosdaKarya, 2014),
EN.pdf. 21.
312
Pembatasan Hak Untuk Bergerak (Right To Move) Melalui Larangan Masuk
Ari Wirya Dinata, M. Yusuf Akbar
the acceptance of law and the development of Negara memang mempunyai kewajiban
institutions for its observance. Habits of accepting untuk menjunjung tinggi hak asasi manusia, namun
and observing law will, in turn, contribute to negara diizinkan pula untuk membatasi kewajiban
international order and stability.”33 Akibatnya hak asasi manusia mereka dengan cara tertentu
dengan adanya ketidakpatuhan akan kewajiban dan dalam keadaan terbatas. ICCPR mengakui
internasional dapat memengaruhi sistem hukum bahwa pembatasan pada hak-hak tertentu dapat
internasional itu sendiri. Konsekuensinya negara- dilakukan selama “keadaan darurat publik yang
negara memiliki kepentingan dalam kepatuhan mengancam kehidupan bangsa”. Pasal 4 kovenan
karena ketidakpatuhan dapat mempengaruhi mengizinkan suatu negara untuk mengambil
stabilitas hukum internasional secara keseluruhan tindakan yang menyimpang, atau mengurangi
yang mungkin dapat merugikan mereka. dari kewajibannya dengan syarat: (1) jika keadaan
Kepatuhan dan ketidakpatuhan negara atas darurat secara resmi diumumkan, (2) pembatasan
pemenuhan HAM akan dinilai dalam institusi tersebut merupakan upaya terakhir dan (3) jika
internasional dan itu berkorelasi dengan citra Tindakan tersebut tidak mengandung diskriminasi
suatu negara dimata internasional. Selain itu semata-mata atas dasar ras, warna kulit, jenis
adanya kepatuhan juga menunjukan komitmen kelamin, bahasa, agama atau asal-usul sosial.
dan dampak perubahan standar penghormatan hak Disisi lain pasal tersebut membatasi kemampuan
individu yang menjadi harapan dari pengaturan untuk membatasi dengan mencantumkan tujuh
Ham internasional.34 hak khusus yang darinya pembatasan tidak
diperbolehkan.36 Ketika melakukan pembatasan
Pemenuhan hak asasi manusia menjadi
hak-hak, negara diwajibkan untuk memberi tahu
kewajiban bagi negara-negara di dunia, apalagi
Sekretaris Jenderal PBB tentang “ketentuan yang
bagi negara-negara yang sudah meratifikasi
telah dibatasi dan alasannya” untuk pembatasan
instrumen HAM internasional. Tidak hanya itu,
tersebut. Pemberitahuan selanjutnya juga
bagi negara yang berpondasi demokrasi dan negara
diperlukan saat pembatasan tersebut berakhir.
hukum maka ciri fundamental yang harus ada
Sekretaris Jenderal menerbitkan pemberitahuan
adalah jaminan HAM. HAM sendiri dikelompok
ini kepada negara anggota lainnya.
dalam dua tipe yaitu HAM yang mutlak dan HAM
relatif. HAM yang bersifat mutlak, tidak dapat Jelas dari laporan berbagai macam berita
dikurangi dalam pemenuhannya (non- derogable bahwa banyak negara telah menyatakan keadaan
rights). Dikatakan oleh Malcom Shaw “certain darurat dan mengambil tindakan luar biasa
rights may not be derogated from in the various untuk memperlambat penyebaran Covid-19.
human rights instrument even in times of war or Namun, sejauh ini hanya sepuluh negara yang
other public emergency threatening the nation35. telah memberi tahu PBB bahwa mereka telah
Vis versa terdapat hak asasi yang pemenuhannya mengurangi kewajiban ICCPR mereka karena
masih dapat ditoleransi dengan beberapa alasan. pandemi.37 Kewajiban yang dimaksud diatur dalam
Pasal 4 ayat 3 ICCPR yang mengatur kewajiban
Negara untuk segera melapor ke Sekretaris
313
JURNAL HAM
Volume 12, Nomor 2, Agustus 2021
Jenderal PBB atas klaim mereka terhadap keadaan to move) sebagai kebijakan yang dapat diambil
darurat negaranya disertai dengan alasan mengapa dalam penanganan penyebaran penyakit lintas
mereka menyatakan tersebut. Tidak satu pun negara. Ketentuan tersebut termaktub didalam
negara yang terkena dampak paling parah, seperti Pasal 2 IHR 2005. Selengkapnya berbunyi:
China, Italia, Spanyol, dan Amerika Serikat, telah “The purpose and scope of these Regulations
memberikan pemberitahuan, namun mereka jelas are to prevent, protect against, control and
telah mengambil tindakan yang menyimpang dari provide a public health response to the
kewajiban mereka di bawah ICCPR. Dengan tidak international spread of disease in ways
memberikan pemberitahuan, negara melanggar that are commensurate with and restricted
kewajiban hak asasi manusia meskipun kebijakan to public health risks, and which avoid
tertentu yang dilakukan dapat diterima secara unnecessary interference with international
wajar. traffic and trade”.
Kuncinya di sini bahwa negara harus me Berdasarkan ketentuan Pasal 2 IHR 2005
laporkan kepada Sekretaris Jenderal PBB atas diatas bertujuan memberikan panduan dalam
alasan mereka menyimpang dari kewajiban menangani penyebaran penyakit lintas negara
mereka yang tercantum didalam ICCPR. Namun, namun pada frasa terakhir dari ketentuan a quo
walaupun negara tidak melapor kepada Sekretaris mengisyaratkan bahwa kebijakan penanganan
Jenderal PBB. Komite Internasional tetap berhak penyebaran penyakit lintas batas negara sebisa
untuk memantau hukum dan praktik suatu Negara mungkin menghindari penggunaan pembatasan
Anggota untuk memenuhi pasal 4 ICCPR oleh hak untuk bergerak dan pembatasan distribusi
karena Negara Anggota secara otomatis terikat perdagangan lintas negara.
dengan ketentuan tersebut dan tidak bergantung Meskipun adanya rambu larangan
pada apakah Negara Anggota tersebut telah pembatasan hak untuk bergerak, namun bukan
menyampaikan pemberitahuan, sehingga jika ada berarti larangan pembatasan hak untuk bergerak
kebijakan dari negara tersebut yang tidak sesuai bersifat absolut, sebab Pasal 43 IHR 2005
dan melanggar HAM tetap akan dipertanggung membolehkan negara-negara anggota WHO
jawabkan terlepas mereka telah melapor atau tidak untuk melakukan pembatasan bergerak lintas
kepada Sekjen PBB mengenai kebijakan negara negara guna menekan penyebaran suatu penyakit
mereka dalam keadaan darurat. melalui kebijakan tambahan yang bersifat
kasuitis (additional measures). Artinya negara
D. Kepatuhan Negara terhadap Regulasi dapat saja membatasi pergerakan orang masuk
Kesehatan Internasional (IHR 2005)
ke negara mereka dengan alasan-alasan tertentu
Regulasi Kesehatan Internasional sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 43 IHR
(International Health Regulation 2005), 2005. Sehingga pembatasan hak untuk bergerak
selanjutnya disebut IHR 2005, adalah instrumen dapat dilakukan sebagai kebijakan tambahan dan
Hukum Internasional yang mengikat negara- wajib memenuhi parameter yang ditetapkan WHO
negara di dunia, termasuk anggota Organisasi berupa : pertama, adanya bukti ilmiah bahwa
Kesehatan Dunia (WHO). IHR sendiri mempunyai kebijakan tersebut dapat menurunkan penyebaran
tujuan untuk membantu komunitas internasional penyakit lintas negara, kedua, tersedianya bukti
dalam menghadapi penyakit yang mengancam ilmiah dan relevan dengan upaya penuruan
masyarakat dunia termasuk Virus Covid-19. penyebaran penyakit yang dikeluarkan oleh WHO
Ketentuan dalam IHR 2005 memberikan atau organisasi internasional relevan lainnya,
perlindungan bagi warga negara anggota dari ketiga, tersedianya panduan dan saran secara
penyebaran penyakit lintas negara. spesifik yang dikeluarkan oleh WHO.
Di dalam IHR 2005 memuat ketentuan
larangan pembatasan hak untuk bergerak (right
314
Pembatasan Hak Untuk Bergerak (Right To Move) Melalui Larangan Masuk
Ari Wirya Dinata, M. Yusuf Akbar
Sejauh ini total terdapat 194 negara yang adanya pembatasan hak untuk bergerak dalam
menjadi anggota WHO, sebagai negara anggota penanganan penyakit lintas negara sebagaimana
maka mutatis mutandis terikat dengan aturan disebut dalam Pasal 2 IHR 2005. Oleh karena itu,
Regulasi Kesehatan Internasional (IHR 2005) dan masing-masing negara memiliki kewajiban untuk
wajib mengikutinya. Indonesia sebagai salah satu mematuhi ketentuan, pedoman dan rekomendasi
negara anggota telah meratifikasi IHR 2005 dan yang dibuat oleh WHO. ketidakpatuhan untuk
sebagai tindak lanjutnya Pemerintah Indonesia melaporkan kebijakan pembatasan hak atas
mengeluarkan Undang-Undang Nomor 6 Tahun bergerak merupakan pelanggaran hukum
2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan. internasional dan menghambat kinerja WHO
Pada Prakteknya, tertanggal 7 Februari 2020, dalam penanganan penyakit lintas negara.40
terdapat 72 dari 194 negara anggota WHO yang E.
Instrumen Hukum Penanganan
diidentifikasi menerapkan pembatasan hak untuk Penyebaran Virus Covid-19 di Indonesia
bergerak dengan menutup perbatasan dan arus
Hans Kelsen dalam bukunya General
masuk orang ke negara mereka. Namun Indonesia
Theory of Law and State (1973) menjelaskan
bukanlah negara yang menerapkan ketentuan
tentang struktur hierarki norma hukum, berkaitan
Pasal 43 tersebut, dari 72 negara yang menerapkan
dengan posisi UUD 1945 sebagai norma tertinggi
pembatasan hak untuk bergerak yang diatur dalam
di Indonesia, maka sesungguhnya tidak bisa
Pasal 43 IHR 2005, hanya 23 negara saja (32%)
dilepaskan dari fungsinya sebagai konstitusi
yang melaporkan kebijakan pembatasan hak
negara. Dimana konstitusi memuat norma-norma
untuk bergerak tersebut secara resmi kepada
yang bersifat umum yang kemudian dapat di
WHO. Baru tertanggal 9 Maret 2020, bertambah
intrepretasikan dalam berbagai kebijakan hukum
menjadi 45 negara anggota yang memberikan
dibawahnnya.41
alasan bahwa pembatasan hak atas bergerak yang
Sri Soemantri Martosoewignjo mengatakan
dilakukan adalah demi keselamatan kesehatan
inti dari konstitusi adalah adanya pembatasan
masyarakat kepada WHO. Hal ini menunjukkan
kekuasaan yang mencakup tiga hal yaitu
bahwa banyak negara tidak mematuhi ketentuan
(1) jaminan hak asasi manusia, (2) susunan
dalam Pasal 43 IHR.38 Padahal kebijakan
ketatanegaraan yang mendasar, (3) aturan tugas
pembatasan hak atas bergerak yang dilakukan
dan wewenang dalam negara.42 Karena hak
dalam penanganan penyebaran Covid-19 tersebut
asasi manusia merupakan salah satu materi
berpotensi melanggar hak asasi manusia.
muatan yang ada didalam konstitusi khususnya
Padahal WHO telah menegaskan bahwa
konstitusi modern maka pemenuhan atas jaminan
ketiadaan manfaat pembatasan hak untuk
HAM tersebut perlu disoroti. Posisi Undang-
bergerak akan berakibat kebijakan tersebut
Undang Dasar sebagai hukum dasar inilah yang
bertentangan dengan ketentuan IHR 2005 itu
memberikan konsekuensi hukum bahwa setiap
sendiri yang mensyaratkan harus ada data
materi yang diatur dalam peraturan perundang-
ilmiah yang mendukung efektiftas kebijakan
undangan yang berada dibawahnya tidak boleh
tambahan berupa pembatasan hak atas bergerak
bertentangan dengan materi dalam UUD 1945. Hal
itu.39 Sebab sejatinya, WHO tidak menyarankan
40 WHO, “Coronavirus disease 2019 (COVID-19)
38 Barbara von Tigerstrom dan Kumanan Wilson, Situation Report – 39,” last modified Februari 28, 2020,
“COVID-19 travel restrictions and the International diakses Juli 30, 2021, https://www.who.int/docs/default-
Health Regulations (2005),” BMJ Global Health 5, no. source/coronaviruse/situation-reports/20200228-
5 (Mei 17, 2020): 2629, diakses Juli 30, 2021, https:// sitrep-39-covid-19.pdf?sfvrsn=5bbf3e7d_4.
www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC7237384/. 41 Aziz Syamsyuddin, “Proses dan Teknik Penyusunan
39 Switzerland, “Revision of the International Health Undang-Undang,” Edisi 2. (Jakarta: Sinar Grafika,
Regulations Comments by the Swiss Government ,” 2013), 32.
last modified 2004, diakses Agustus 3, 2021, https:// 42 Sri Soemantri, “Prosedur dan Sistem Perubahan
www.who.int/ihr/revisionprocess/swissIHR.pdf?ua=1. Konstitusi” (Bandung: Alumni, 2006), 23.
315
JURNAL HAM
Volume 12, Nomor 2, Agustus 2021
ini berkaitan dengan salah satu fungsi konstitusi (machtstaat). Bahkan pemikiran Hatta ini didukung
dalam suatu negara sebagaimana dikemukan oleh pula oleh M Yamin yang justru menginginkan
Hence Van Masrseveen, sebagai a politico legal Pasal tentang HAM tidak hanya dirumuskan
document, yaitu dokumen politik dan hukum dalam satu Pasal saja di dalam konstitusi tetapi
suatu negara yang berfungsi sebagai alat untuk dalam berbagai pasal atau lebih dari satu pasal.45
membentuk sistem politik dan sistem hukum Pasca amandemen Undang-Undang
suatu negara. Dasar 1945, Konstitusi Indonesia memiliki
Sebelum Perubahan Undang-Undang Dasar nuansa perlindungan HAM yang lebih rimbun
1945, Nuansa perlindungan hak asasi manusia dibandingkan dengan konstitusi di awal
tidak menjadi materi yang muncul banyak sebagai kemerdekaan UUD NRI 1945 bahkan pada
materi muatan konstitusi di awal kemerdekaan. Hal tahapan perubahan Undang-Undang Dasar 1945
demikian terjadi karena muncul perdebatan antara yang berlangsung dalam kurun 4 tahun mulai 1999,
para pendiri bangsa (founding fathers) tentang 2000, 2001, dan 2002 itu perubahan konstitusi
gagasan HAM di dalam konstitusi.43 Perdebatan ini berlangsung sangat ekstrim dan radikal. Menurut
berujung dengan nuansa perlindungan HAM yang Jimly Asshiddiqie, UUD 1945 hasil perubahan
tidak muncul secara implisit dalam konstitusi. mengalami perubahan yang luar biasa yaitu 300
Hal demikian dikarenakan, pemikiran paham % berubah dari aslinya. Yaitu yang awalnya terdiri
integralistik (kekeluargaan) yang diutarakan oleh atas: pembukaan (4 alinea), 16 Bab, 37 Pasal, 49
Soepomo.44 ayat, 4 Pasal aturan peralihan dan 2 ayat aturan
Pemikiran Soepomo tersebut dibantah tambahan serta penjelasan berubah menjadi terdiri
oleh Hatta. Pada prinsipnya Hatta, sama-sama atas: pembukaan (4 alinea), 21 Bab, 73 Pasal, 170
menentang dan menolak negara berdasarkan ayat, 3 pasal aturan peralihan dan 2 pasal aturan
paham individualisme-liberal sebagaimana tambahan. Bahkan sebagian ahli beranggapan
Soepomo, dan setuju dengan konsep negara bahwa yang terjadi bukanlah perubahan atau
integralistik (kekeluargaan) yang diusulkan. amandemen konstitusi melainkan lahirnya
Meskipun demikian, menurut Hatta jaminan konstitusi baru.46
hak asasi manusia tetaplah dibutuhkan dalam Kelahiran Pasal HAM mendapatkan porsi
konstitusi Indonesia merdeka. Alasannya adalah yang cukup banyak bahkan terdapat bab khusus
untuk mencegah negara berdasarkan kekuasaan yang lahir dan mengatur mengenai hak asasi
manusia yaitu Bab XA yang terdiri atas Pasal
43 Para pendiri bangsa terbagi menjadi 2 (dua) 28 huruf A hingga J. Pengaturan perlindungan
kelompok yaitu kelompok yang menolak HAM dalam konstitusi Indonesia ini tentunya
pencantuman pasal HAM dalam konstitusi
memberikan sinyal komitmen bangsa Indonesia
Indonesia (Sukarno & Soepomo) dan kelompok
yang menginginkan jaminan HAM muncul di untuk memberikan perlindungan dan jaminan
dalam materi muatan konstitusi Indonesia seperti pemenuhan HAM bagi seluruh rakyatnya sebagai
deklarasi HAM yang dimiliki oleh Perancis
(Muhammad Hatta & Yamin). salah satu syarat negara hukum (rule of law).
44 Ia sebagai salah satu Begawan hukum Indonesia saat Bahkan kesungguhan bangsa Indonesia dalam
itu berkeyakinan seyogyanya dalam negara Indonesia memberikan jaminan HAM tersebut diikuti
merdeka yang ingin dibentuk adalah negara berdasarkan
paham integralistik (kekeluargaan) sehingga tidak dengan langkah meratifikasi sejumlah konvensi
diperlukan adanya jaminan ham diatur didalam internasional yang mengatur tentang HAM.
konstitusi Indonesia merdeka. Sebab dalam konsep
negara integralistik hubungan negara dan warga negara
diibaratkan hubungan ayah dan anak. Sehingga tidak 45 Jimly Asshiddiqqie, “Pokok-Pokok Hukum Tata
mungkin kemudian ayah (negara) membuat aturan Negara Indonesia Pasca Reformasi” (Jakarta: Jakarta:
yang melanggar hak asasi anaknya (warga negara). PT Bhuana Ilmu Populer, 2007), 629–630.
Memasukan pengaturan HAM dipandang menggeser 46 Jimly Asshiddiqqie, “Komentar atas Perubahan Pasal-
paham integralistik menjadi negara berdasarkan paham Pasal Undang-Undang Dasar 1945” (Jakarta: Rajawali
individualisme-liberal Press, 2008), 52.
316
Pembatasan Hak Untuk Bergerak (Right To Move) Melalui Larangan Masuk
Ari Wirya Dinata, M. Yusuf Akbar
Indonesia dikatakan sebagai negara yang paling Penyebaran wabah Covid-19 direspon agak
besar progresnya dalam meratifikasi konvensi terlambat oleh Pemerintah Indonesia, di mana
internasional berkaitan dengan HAM di kawasan pada awal isu penyebaran Covid-19 awalnya
Asia Tenggara.47 Kebangkitan akan kesadaran sudah masif terjadi di Wuhan-China, Pemerintah
jaminan perlindungan HAM tidak terlepas Indonesia belum merespon secara responsif dan
dari sejarah ketatanegaraan yang mengalami cepat pada saat itu karena Covid-19 merupakan
kepemimpinan yang otoriter dibawah kekuasaan jenis simpton dan penyakit baru dalam dunia
Presiden Soeharto sehingga dalam perubahan kesehatan dan kebijakan hukum di banyak negara
konstitusi memasukan berbagai Pasal HAM termasuk di Indonesia belum mampu memitigasi
tersebut.48 hal tersebut sehingga saat setelah itu pemerintah
Setidaknya, di dalam UUD NRI 1945 baru menanggapi secara responsif mengenai
perubahan dapat ditemukan sejumlah pasal yang kasus penyebaran Covid-19 dengan mengeluarkan
memberikan jaminan Kesehatan seperti Pasal sejumlah ketentuan hukum dalam hal ihwal
28 A tentang hak untuk hidup, Pasal 28 E ayat kegentingan yang memaksa seperti peraturan
(1) hak untuk memilih tempat tinggal artinya pemerintah pengganti undang-undang (Perppu)
berhubungan dengan kebebasan berpindah dari Nomor 1 Tahun 2020, Peraturan Pemerintah
satu tempat ke tempat yang lain baik dalam Nomor 21 Tahun 2020 tentang pembatasan sosial
maupun luar negeri, Pasal 28 H ayat (1) tentang berskala besar (PSBB), Keputusan Presiden Nomor
hak atas Kesehatan, lingkungan hidup yang 11 Tahun 2020 tentang penetapan kedaruratan
baik dan pelayanan Kesehatan. Dan hak asasi kesehatan masyarakat Covid-19, Peraturan
diatas Sebagian tergolong dalam hak yang tidak Menteri Kesehatan Nomor 9 Tahun 2020 tentang
dapat dikurangi pemenuhannya sesuai dengan Pedoman Pembatasan Sosial Berskala Besar
ketentuan Pasal 28 I ayat (1) UUD 1945 yaitu hak dalam rangka percepatan penanganan Covid-19
untuk hidup (Pasal 28A), namun selain hak atas dll.
hidup tersebut tergolong sebagai hak yang dapat 1. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018
saja pemenuhannya dikurangin (non-derogable tentang Kekarantinaan Kesehatan
rights) berdasarkan ketentuan Pasal 28 J ayat (1) Disebutkan pada bagian menimbang poin
juncto Pasal 28 J ayat (2) UUD 1945 atas dasar c bahwa Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018
pertimbangan keamanan dan ketertiban umum. tentang Kekarantinaan Kesehatan adalah Undang-
Oleh karenanya secara konstitusional pembatasan Undang yang lahir sebagai bentuk komitmen
larangan masuk dan perjalanan memiliki landasan Indonesia melakukan upaya untuk mencegah
konstitusi dalam pemberlakuannya. Apalagi dalam kedaruratan Kesehatan dan komitmen Indonesia
keadaan ihwal kegentingan memaksa UUD 1945 yang telah meratifikasi regulasi international di
memberikan ruang kebijakan hukum darurat bagi bidang kesehatan. Dalam UU a quo memberikan
presiden sebagaimana dijamin dalam Pasal 22 definisi yang berbeda mengenai karantina wilayah
dan kemampuan untuk menyatakan negara dalam dan pembatasan sosial berskala besar (PSBB).
keadaan bahaya sebagaimana diatur dalam Pasal Dimana isu karantina wilayah dan PSBB ini
12 jika dibutuhkan upaya penanganan keadaan sempat menjadi debat/diskursus pada awal
darurat yang ekstra luar biasa. Indonesia merespon isu penyebaran Covid-19
diawal tahun 2020 yang lalu.
47 Azkar Ahsinin et al., “Kesenjangan dalam Komitmen
dan Implementasi: Mengurai Hambatan Birokratik Definisi dari karantina wilayah (Pasal 1 angka
dalam Penegakan HAM di Indonesia | Perpustakaan 10) menyebutkan pembatasan penduduk dalam
ELSAM,” last modified 2017, diakses Agustus 3, 2021,
suatu wilayah termasuk wilayah pintu masuk
http://perpustakaan.elsam.or.id/index.php?p=show_de
tail&id=15254&keywords=kesenjangan. berserta isinya yang diduga terinfeksi penyakit
48 Denny Indrayana, “Indonesian Constitutional Reform, dan/atau terkontaminasi sedemikian rupa untuk
1999-2002 : An Evaluation of Constitution-Making in
Transition” (Jakarta: Kompas Press, 2008), 19.
317
JURNAL HAM
Volume 12, Nomor 2, Agustus 2021
318
Pembatasan Hak Untuk Bergerak (Right To Move) Melalui Larangan Masuk
Ari Wirya Dinata, M. Yusuf Akbar
perlindungan kepada setiap orang untuk bebas UU Penanggulangan Bencana adalah salah
bergerak, berpindah dan bertempat tinggal dalam satu undang-undang yang dirujuk oleh Pemerintah
wilayah negara Republik Indonesia, termasuk Indonesia pada saat mengatasi Pandemi sebagai
hak untuk meninggalkan dan masuk kembali ke Bencana Non-alam. Sehingga pemberlakuan
wilayah negara Republik Indonesia, sesuai dengan sejumlah kebijakan berkaitan dengan penanganan
ketentuan peraturan perundang-undangan (Pasal penyebaran Covid-19 harus sejalan dengan
27 ayat (1) dan (2) UU Ham) prinsip dalam UU ini. Di antaranya, koordinasi
Klausul terakhir yang menyebutkan “sesuai lintas kelembagaan menjadi syarat yang perlu
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan” dipatuhi, keterpaduan tiap kebijakan, transparansi
sejatinya adalah norma yang memberikan ruang dalam pelaporan perkembangan dan akuntabilitas
kepada negara untuk membatasi hak berpindah pemerintah dalam menangani pandemic ini.
orang dalam wilayah Indonesia. Sehingga Selain itu kebijakan yang dibuat juga tidak boleh
penerapan pembatasan masuk dan pembatasan diskriminasi.
perjalanan menjadi memiliki basis hukum dalam 4. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011
pelaksanaannya. Lebih lanjut pembatasan dan tentang Keimigrasian
larangan tersebut juga diatur dalam Bab VI tentang Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011
Pembatasan dan Larangan Pasal 73 berbunyi “ hak tentang Keimigrasian tidak mengatur secara
dan kebebasan yang diatur dalam undang-undang spesifik larangan atau pembatasan perjalanan
ini hanya dapat dibatasi oleh dan berdasarkan khususnya untuk penanganan Covid-19. Hanya
undang-undang, semata-mata untuk menjamin saja dalam UU a quo mengatur mengenai
pengakuan dan penghormatan terhadap hak asasi pencegahan dan penangkalan orang untuk keluar
manusia serta kebebasan dasar lain, kesusilaan, dan masuk Indonesia dengan alasan keimigrasian.
ketertiban umum dan kepentingan bangsa” Yang dimaksud dengan alasan keimigrasian
dengan kata lain, pembatasan hak berpindah/ adalah alasan yang berkaitan dengan kedaulatan
bergerak dapat dilakukan oleh Pemerintah dengan dan keselamatan rakyat dan negara. Sebagaimana
membentuk aturan selevel UU saja. didefinisikan dalam Pasal 1 angka 1, angka
3. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 28 juncto angka 29 UU a quo.
tentang Penanggulangan Bencana Selain itu disebutkan juga dalam Pasal 13
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 ayat (1) huruf f, bahwa Pejabat Imigrasi menolak
tentang Penanggulangan Bencana adalah orang asing masuk wilayah Indonesia dalam hal
instrumen hukum yang digunakan untuk orang asing tersebut menderita penyakit menular
menghadapi bencana yang terjadi di Indonesia. yang membahayakan. Lebih lanjut Pasal 75 ayat
Berdasarkan jenisnya, penyebaran Covid-19 yang (1) mengatakan bahwa Pejabat Imigrasi dapat
terjadi di Indonesia dikategorikan sebagai bencana melakukan tindakan administratif keimigrasian
non alam. Bencana non alam adalah bencana terhadap WNA yang melakukan kegiatan
yang diakibatkan oleh peristiwa atau serangkaian berbahaya dan patut diduga membahayakan
peristiwa non alam yang diantara lain berupa keamanan dan ketertiban umum atau tidak
gagal teknologi, gagal moderenisasi, epidemi menghormati atau tidak menaati peraturan
dan wabah penyakit (pasal 1 angka 3). Dan untuk perundang-undangan.
menanggulanginya maka terdapat sejumlah prinsip Artinya dalam kondisi penanganan
yang perlu diperhatikan Pasal 3 ayat (2). Prinsip penyebaran Covid-19 yang merupakan ancaman
itu terdiri atas: a) cepat dan tepat; b)prioritas; c) yang membahayakan tindakan pembatasan hak
koordinasi; d) keterpaduan; e)berdaya guna dan f) untuk bergerak dimungkinkan. Lebih dalam
berhasil guna; g) transparansi; h)akuntabilitas; i) lagi Pasal 75 ayat (2) huruf c menyebutkan
non-diskriminasi; k) non proletisi larangan untuk berada di satu atau beberapa tempat
319
JURNAL HAM
Volume 12, Nomor 2, Agustus 2021
tertentu di wilayah Indonesia. Artinya atas dasar 6. Surat Edaran Nomor 8 Tahun 2021
peraturan perundang-undang seseorang dapat tentang Protokol Kesehatan Perjalanan
saja dilarang untuk memasuki wilayah Indonesia Internasional Pada Masa Pandemi Corona
termasuk larangan masuk yang disebabkan adanya Virus Disease 2019 (Covid-19)
penyebaran Covid-19. Dalam surat edaran ini diatur mengenai
5. Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi protokol kesehatan perjalanan internasional
Manusia Nomor 11 Tahun 2020 Tentang ditengah pandemik. Pertama, Pelaku perjalanan
Larangan Sementara Orang Asing Masuk internasional yang berstatus warga negara
Wilayah Negara Republik Indonesia Indonesia (WNI) dari luar negeri diijinkan
Dalam ketentuan PerMenKumHam Nomor 11 memasukan Indonesia dengan tetap mengikuti
Tahun 2020 ini menyebutkan tentang ada larangan protocol kesehatan ketat sebagaimana ditetapkan
sementara orang asing untuk memasuki/transit oleh pemerintah. Kedua, Larangan memasuki
di wilayah Indonesia sebagaimana disebutkan wilayah Indonesia baik secara langsung maupun
di dalam Pasal 2 Peraturan a quo. Meski ada transit di negara asing tetap diberlakukan bagi
pembatasan sementara bagi orang asing tetapi pelaku perjalanan internasional yang berstatus
pembatasan tersebut tidak berlaku secara umum. warga negara asing (WNA) kecuali yang memenuhi
Pelarangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal kriteria sebagai berikut: a) sesuai ketentuan dalam
2 PerMenKumHam a quo mengecualikan bagi Permenkumham Nomor 26 Tahun 2020 tentang
beberapa kelompok orang tertentu sebagaimana visa dan izin dalam masa adaptasi kebiasaan baru;
disebut dalam Pasal 3 ayat (1) yaitu a)orang Asing b)sesuai skema perjanjian bilateral travel corridor
pemegang Izin Tinggal Terbatas dan Izin Tinggal arrangement (TCA) dan/atau; c)mendapatkan
Tetap; b)orang Asing pemegang Visa Diplomatik pertimbangan/izin khusus secara tertulis dari
dan Visa Dinas; c)orang Asing pemegang Izin kementerian/ Lembaga.
Tinggal Diplomatik dan Izin Tinggal Dinas; d) Berbagai instrumen hukum yang ada di
tenaga bantuan dan dukungan medis, pangan Indonesia baik berupa peraturan perundang-
dan alasan kemanusiaan; e)awak alat angkut; undangan yang lahir sebelum maupun pada saat
dan Orang Asing yang akan bekerja pada proyek Covid-19 hadir adalah satu kesatuan upaya dalam
strategis nasional. memenuhi hak asasi manusia ditengah wabah
Orang Asing dapat masuk wilayah Indonesia pandemi korona. Meski tidak dapat dipungkiri
setelah memenuhi persyaratan: a)surat keterangan bahwa peraturan-peraturan ini tidak akan efektif
sehat dalam bahasa Inggris dari otoritas kesehatan menekan angka penyebaran virus Covid-19
di masing-masing negara; b)telah berada 14 (empat manakala tidak diikuti dengan ketegasan
belas) hari di wilayah/negara yang bebas virus penegakan hukum penanganan virus Covid-19 dan
Covid-19; c)Pernyataan bersedia masuk karantina kesadaran publik untuk mematuhi setiap peraturan
selama 14 (empat belas) hari yang dilaksanakan yang telah dibuat oleh Pemerintah.
oleh Pemerintah Republik Indonesia. 7. Pelaksanaan Peraturan Penanganan
Sedangkan bagi WNA pemegang izin tinggal Covid-19 di Indonesia
kunjungan, pemegang izin tinggal terbatas dan Sebagaimana dinukilkan oleh Lawrence
izin tinggal tetap yang akan berakhir dan/ atau W Friedmen bahwa kekuatan dalam sistem
tidak dapat diperpanjang, dilakukan penangguhan hukum berada pada tiga elemen. Pertama,
sementara untuk tetapi tinggal di Indonesia. (Pasal keberadaan substansi hukum (legal substance)
4 dan Pasal 5 PerMenkumHam a quo) yang memadai dan disusun berdasarkan keadilan.
Artinya peraturan dibuat secara baik dan tegas
dengan mempertimbangkan kebermanfaaatan
bagi kemaslahatan rakyat (the greatest happiness
320
Pembatasan Hak Untuk Bergerak (Right To Move) Melalui Larangan Masuk
Ari Wirya Dinata, M. Yusuf Akbar
for the greatest numbers). Kedua, adanya dan kekurangan pemahaman aparatur dalam
sistem dan mekanisme mitigasi dan penegak melakukan penegakan hukum dalam penanganan
hukum (legal structure) yang profesional dan penyebaran Covid-19 berujung kepada konflik
mumpuni baik secara kualitas dan kuantitas untuk horizontal yang terjadi dilapangan. Keempat,
menegakan hukum dan aturan selama penanganan pada pembuat kebijakan (antar kementerian) isu
Covid-19. Pemerintah harus mengukur kesiapan, ketidakkonsistennya kebijakan pun terjadi, seperti
proporsionalitas dan kemampuan sistem yang ada adanya kelonggaran bagi beberapa WNA untuk
dalam menangani dan menegakan hukum yang dapat masuk ke wilayah Indonesia, atau kebijakan
telah dibuat. Ketiga, kesadaran berperilaku dan yang blunder dalam mencegah penyebaran seperti
kepedulian sosial publik untuk memahami bahwa yang terjadi pada musim perayaan hari besar
wabah korona tidak dapat diselesaikan sendiri keagamaan (mudik) dan pembukaan fasilitas
namun dibutuhkan Kerjasama semua elemen umum. Sehingga tujuan dari adanya pembatasan
masyarakat (legal culture). hak untuk bergerak menjadi tidak efektif dalam
Melihat kondisi saat ini, maka penanganan upaya untuk menurunkan kasus penyebaran
Covid-19 di Indonesia memiliki beberapa catatan Covid-19 di Indonesia.
masalah dimasing-masing elemen sebagaimana
diuraikan diatas. Pertama, dari segi pengaturan KESIMPULAN
perundang-undangan yang hanya mengedepankan Virus Korona adalah masalah kesehatan
pelarangan hak untuk bergerak (right to move) dan pandemik yang dihadapi oleh semua negara
melalui kebijakan pembatasan sosial berskala di dunia. Penanganan penyebaran korona
besar (PSBB) namun seyogyanya kebijakan dilakukan oleh setiap negara dengan menerapkan
PSBB harus tetap diikuti dengan kompensasi pembatasan hak untuk bergerak (freedom of
atas akibat pelarangan tersebut seperti adanya movement). Pembatasan hak untuk bergerak dan
pemenuhan hajat masyarakat. Walaupun dapat larangan/pembatasan perjalanan adalah salah
dipahami di dalam kebijakan PSBB memang tidak satu kebijakan yang diterapkan dengan tujuan
membebankan tanggung jawab kepada Pemerintah menurunkan angka penularan virus. Sebagaimana
untuk melakukan pemenuhan kebutuhan dasar diketahui, hak untuk bergerak merupakan salah
bagi kelompok terdampak. Sejatinya usaha satu hak asasi manusia yang bersifat personal
membantu meringankan beban ekonomi dan yang dijamin dalam berbagai instrumen hukum
sosial yang ditanggung oleh masyarakat telah hak asasi manusia internasional. Dalam perspektif
diupayakan oleh Pemerintah melalui bantuan hukum internasional, negara dibolehkan untuk
sosial dan berbagai insentif, namun sepertinya melakukan pembatasan dan mengurangi
kebijakan tersebut belum efektif dan efesien kewajiban pemenuhan hak asasi manusia termasuk
mengurangi resiko dalam kebijakan PSBB. pembatasan hak untuk begerak. Adapun beberapa
instrumen hukum internasional yang memberikan
Kedua yaitu kepatuhan publik atas peraturan
lampu hijau pembatasan hak untuk bergerak
yang sudah dibuat karena masyarakat dihadapkan
adalah Konvensi Uni Eropa tentang Hak Asasi
dengan isu Kesehatan publik vis a vis isu ekonomi
Manusia (ECHR), Konvensi Amerika tentang Hak
untuk melanjutkan kehidupan. Kepatuhan publik
Asasi Manusia (ACHR), Konvenan Internasional
untuk menerapkan anjuran dan aturan pemerintah
tentang Hak Sipil dan Politik (ICCPR) dan
semakin melemah dan berkurang dikarenakan
Regulasi Kesehatan Internasional (IHR) yang
dihadapkan pada dilema kesehatan vs kebutuhan
dikeluarkan oleh WHO.
ekonomi. Ketiga, ketersedian penegak hukum dan
pemahaman penegak hukum dalam menjalankan Keseluruhan instrumen hukum internasional
peraturan perundang-undangan berkaitan dengan tersebut memberikan kewenangan kepada negara
penanganan Covid-19. Tidak jarang ketidaksiapan untuk mengambil tindakan pembatasan hak
321
JURNAL HAM
Volume 12, Nomor 2, Agustus 2021
untuk bergerak dan larangan perjalanan dalam Kedua, Indonesia sebagai negara demokrasi
menghadapi keadaan darurat (state emergency), yang berlandaskan kedaulatan rakyat, yang
baik darurat kesehatan maupun darurat sosial. identik dengan mengedepankan kepentingan
Di Indonesia, kebijakan pembatasan hak dan keselamatan rakyat (salus populi suprema
untuk bergerak juga diterapkan sejalan dengan lex) harus melakukan pembatasan-pembatasan
penanganan penyebaran Covid-19, diantaranya hak untuk bergerak bagi WNA maupun WNI
diatur dalam sejumlah peraturan perundang- dengan sangat hati-hati, penuh pertimbangan,
undangan baik yang sudah ada sebelum Covid-19 dan berkeadilan tanpa diskriminasi. Selain
maupun yang dibentuk khusus dalam penanganan itu, Pemerintah Indonesia harus mendasarkan
Covid-19 seperti Undang-Undang Nomor 6 kebijakan pembatasan hak untuk bergerak (right
Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan, to move) berdasarkan prinsip keadilan seperti
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang yang diutarakan oleh John Rawl yaitu “Maximin”
Hak Asasi Manusia, Undang-Undang Nomor 24 (maximum minimorum) yaitu menimbang manfaat
Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, dan mudarat dari kebijakan yang dbuat. Kebijakan
PerMenKumHAM Nomor 26 Tahun 2020 tentang pembatasan yang dibuat harus seimbang dan
Visa dan Izin Tinggal Dalam Masa Adaptasi mengakomodasi keadaan faktual masyarakat yang
Kebiasaan Baru dan dalam bentuk Surat Edaran beragam. Pembatasan hak untuk bergerak juga
Nomor 8 Tahun 2021 tentang Protokol Kesehatan harus memikirkan dampak sosial dan ekonomi
Perjalanan Internasional Pada Masa Pandemi yang akan ditanggung oleh masyarakat rentan
Corona Virus Diseasea 2019 (Covid-19). ekonomi dan termaginalkan sehingga Pemerintah
berkewajiban untuk memberikan kompensasi dan
SARAN insentif.
Adapun saran Penulis adalah sebagai
berikut. Pertama, sejumlah instrumen hukum UCAPAN TERIMAKASIH
internasional memberikan kewenangan bagi Terimakasih Penulis ucapkan kepada
negara untuk melakukan pembatasan pemenuhan pihak-pihak terkait yang telah membantu dalam
hak asasi manusia sebagaimana dijamin di penyelesaian penulisan ini. Fakultas Hukum
dalam instrument hukum hak asasi manusia. Universitas Bengkulu, khususnya Pimpinan
Meskipun terdapat kewenangan pembatasan, Fakultas dan Perpustakaan Fakultas Hukum
hukum internasional juga memberikan rambu- Universitas Bengkulu, yang telah memudahkan
rambu dalam pengambilan kebijakan pembatasan dalam mencari referensi untuk menyelesaikan
tersebut yaitu hanya dapat dilakukan dalam tulisan ini dan seluruh Tim Tentara Biru (Blue
keadaan darurat (emergency), tidak untuk masa Army), Philip C Jessup International Law Moot
waktu yang terlalu lama, dan tidak dilakukan Court Fakultas Hukum Universitas Bengkulu yang
secara diskriminatif. Oleh karena itu, masing- berkompetisi pada putaran dunia (Global Round)
masing negara yang melakukan pembatasan Tahun 2020 yang membahas kasus penyebaran
kebebasan bergerak (freedom of movement) virus dalam moot problem: JVID-18.
harus melakukan dengan sangat hati-hati dan
diikuti dengan pertimbangan serta analisa resiko
kebijakan secara arif. Tidak hanya itu, kebijakan
pembatasan juga harus dilakukan secara adil
dan tegas tanpa mendiskriminasi negara-negara
tertentu.
322
Pembatasan Hak Untuk Bergerak (Right To Move) Melalui Larangan Masuk
Ari Wirya Dinata, M. Yusuf Akbar
323
JURNAL HAM
Volume 12, Nomor 2, Agustus 2021
324