Professional Documents
Culture Documents
796 1653 1 SM
796 1653 1 SM
796 1653 1 SM
(KAJIAN ANTROPOLOGI-SOSIOLOGI)
Sardjuningsih
Abstract:
The Muslims in Indonesia, they appreciate the tradition’s value so
much, remarkably, the one which becomes the part of the religiousity
practices and becomes one with it. Therefore, the Islamic religion
manifestation in every community group is different, because of
the tradition’s differences cover it; the position of tradition and the
ancestors precepts which are placed equally with religion,it is toward
the invisible matter or supernatural. Their exiatences are worshipped,
honored, respected and even considdered cult, treated as the God in
religion. Supernatural is often anthropomorphic, it means that the
supernatural is often treated as the other creatures which have the
ability and characters like human, animals, or plants. The community
divinity concept and perception is not purely monotheism, but it is
monopluralistic. Tradition which is accomodated by the in their
religious practices is often connected to the myth existence in it. The
myth truth is the community faith matter, emotion and mental. All of
the religion processes related to doctrine, history and its development
can not be separated from the existence of the myth, included religion
which is claimed as the revelation religion. The myth element becomes
very important in this contextual Islam, because the myth knowledge is
considered as the holy story, the primordialic event about the universe
genesis, the past time, and the other life. Frazer describes that the myth
position in the community religion, is like the holy book in the modern
religion. In every tribe and group who claim as Muslim, they have
the myth practices which become the base in arrenging local Islamic
practices. In the study of anthropology and sociology, the function
and the role of myth, religion, and tradition can not be substancially
distinguished, since everyone contains the invisible element. The myth
as a story which is considered sacred as like the holy book which is
able to describe the transendental primordial event. Myth is related to
the traditional religion and the holy book is related to modern religion.
The Sociology defines that myth is as the social stucture in creating
62 Sardjuningsih
PENDAHULUAN
Praktek Islam di Nusantara menggambarkan cara masyarakat
memaknai agama, sebagai suatu yang penting dan sakral, yang
disetarakan dengan nilai tradisi yang diwarisi dari nenek-moyang,
yang telah menjadi bagian penting dari tata cara hidup mereka.
Pemaknaan ini menjadikan praktek agama dicampuradukkan
dengan praktek tradisi yang berasal ajaran leluhur dan kebiasaan-
kebiasaan, etika sosial, mistis, dan praktek magis, yang telah menjadi
religi yang khas. Percampuran ini menurut Van Bruinessen dianggap
sebagai pola penerimaan pengaruh baru yang digabung dengan kultur
dan religi yang mereka miliki, yang kemudian dilakukan modifikasi
berdasarkan perubahan zamannya.1 Praktek agama yang semacam
ini sering disamakan sebagai Islam tradisi atau Islam lokal. Praktek
Islam Nusantara ini adalah gabungan berbagai ajaran ketuhanan
yang dimodifikasi secara akomodatif dan sinkretis, dan cenderung
elastis dalam kompromi.2 Di setiap suku terdapat praktek kolaboratif
berbagai kepercayaan lokalnya dalam bingkai Islam. Menurut Frazer
yang membedaka antara agama dan religi adalah religi bersifat
politeisme dan agama bersifat monoteisme.3 Sikap mudah menerima
ajaran baru secara akomodatif dengan mengkolaborasi dengan
kepercayan lama yang telah dipraktekkan, kemudian disesuaikan
dengan perkembangan zamannya, menjadi karakter masyarakat
Nusantara. Pola pembentukan agama yang akomodatif ini mem-
bentuk wajah Islam Indonesia yang khas, lebih dikenal sebagai
Islam Nusantara yang berbeda dengan Islam Arab, Islam Afrika, dan
Islam Eropa. Menurut Purwadi sikap ini disebut sebagai “nut jaman
1
Martin Van Bruinessen, Tarekat Naqsyabandiyah di Indonesia (Bandung,
Mizan, 1994), 45.
2
Ibid., 46.
3
Daniel L Pals, Dekonstruksi Kebenaran: Kritik Tujuh Teori tentang Agama,
terj. Ali Nurzaman (Yogyakarta, Qalam, 2001), 22.
kesejahteraan lahir dan batin. Dilihat dari makna dan tujuan dari
ritual, kepercayaan tersebut tidak berbeda dengan pengungkapan
rasa syukur kepada Allah Swt atas segala berkah yang diberikan.
Selametan memiliki makna yang tidak tunggal, karena meliputi
bentuk rasa syukur, permohonan, sedekah, persembahan, tolak
balak, dan pengorbanan.
Praktek Islam Nusantara terdiri dari jalinan spiritualisme, tradisi,
mitos, dan Islam ini dapat dilihat pada praktek Islam Sasak di Lombok,
Islam Tengger di Probolinggo-Pasuruan-Lumajang, Islam Bubuhan
Kumai di Kalimantan Tengah, Islam Keraton di Yogyakarta, Islam
Dayak di Kalimantan, Islam Tolotang di Sulawesi, Islam Adewattang
Putta Sereng Di Bone Sulawesi, Islam Minangkabau di Sumatra,
Islam Pesisir Palang di Tuban, Islam Alo Tadolo di Toraja, Islam Tua di
Pulau Sangihe, Islam Kejawen atau Islam Abangan pada masyarakat
Jawa, dan lain-lain. Konsep ketuhanan dalam agama-agama tersebut
selalu menjadikan mitos sebagai rujukan penting, yang dapat
mejelaskan posisi dan peran kekuatan supernatural dalam kehidupan
masyarakat. Semua itu menggambarkan konsep dan konstruksi
teologi yang diambil dari sumber mitos yang dikembangkan dengan
setting budaya lokal. Agama-agama lokal ini dalam konsep Robert N.
Bellah disebut dengan agama sipil atau little tradition.5 Semua praktek
Islam tersebut menjadikan mitos sebagai penguat ajaran tradisi yang
diakomodasi dan dimodifikasi dengan Islam. Bentuk agama ini tidak
hanya sebagai sebuah keyakinan kepada Tuhan, tetapi dijadikan
identitas kelompok atau suku.
Oleh Malinowsky, mitos dipahami sebagai true story, bahkan
lebih dari itu: suatu cerita yang diposisikan mulia, sakral, dan sebagai
contoh model.6 Menurut Mircea Eliade dalam bukunya The Sacred
and the Profane, mitos berkaitan dengan sebuah cerita sakral, yaitu
peristiwa primordial yang terjadi pada saat permulaan.7 Ia dianggap
sebagai suatu kepercayaan dan kebenaran mutlak yang dijadikan
rujukan atau dianggap sebagai dogma yang dianggap suci dan memiliki
konotasi upacara. Mitos menjadi bahan baku dari konstruksi teologis
5
Ibid., 47.
6
Mircea Eiade, Myth and Reality (New York: Harper & Row, 1975), 1.
7
Marshal A., “The God Must be Restless: Living in the Shadow of Indonesia’s
Volcanoes”, National Geographic Magazine, vol. xii, 2008.
KAJIAN ANTROPOLOGI
Dalam kajian antropologi: agama, mitos, tradisi, dan religi di-
anggap sebagai sistem pengetahuan tentang kerohanian, yang me-
muat kepercayaan kepada yang gaib, mistis, supernatural, dan
menyangkut masalah kehidupan kini dan sesudah mati. Cara pandang
antropologi ini berakibat pada nilai, makna dan fungsi agama, tradisi,
mitos dan religi memiliki arti sama dalam kehidupan manusia.
Hanya saja masyarakat tertentu, karena pengaruh pengetahuan dan
kebudayaannya dapat membedakan substansi agama, mitos, tradisi,
dan religi. Agama lebih bersifat monoteis, sementara tradisi, mitos,
dan religi lebih bersifat politeis.20 Oleh karena itu kelompok yang
telah memiliki pengetahuan ini menilai bahwa praktek tradisi, mitos,
dan religi adalah bentuk tahayul dan tidak logis. Pertentangan ini
sampai sekarang masih dapat dirasakan dalam hubungan sosial antar
kelompok yang berbeda.
Penjelasan antropologi tentang agama dianggap yang terkait
dengan sistem nilai atau sistem evaluatif, dan pola dari tindakan yang
terkait dengan sistem kognitif atau sistem pengetahuan manusia.21
17
Hendro Puspito, Sosiologi Agama (Jakarta: BPK, 1984), 81.
18
Pals, Dekonstruksi, 22.
19
Roland Roberson, Agama dalam Analisa dan Interpretasi Sosiologis (Jakarta,
Raja Grafindo, 1993), 32.
20
Edward B. Tylor dalam Dekonstruksi Kebenaran: Kritik Tujuh Teori tentang
Agama, terj. Ali Nurzaman (Yogyakarta, Qalam, 2001).
21
Cliffort Geertz, Agama sebagai Sistem Budaya (Yogyakarta: Qalam, 2001),
413.
KAJIAN SOSIOLOGIS
Padangan sosiologis tentang agama, tradisi, mitos, dan religi
sebagai suatu sistem moral yang mengikat, yang berisi norma sosial
untuk melestarikan kehidupan bersama. Tidak jauh berbeda cara
pandang ilmu pengetahuan ini dengan analisa antropologi yang
memandang sebagai sistem kebudayaan yang mengatur pola pikir dan
bertindak. Secara sosiologis, agama merupakan kategori sosial dan
tindak empiris. Dalam konteks ini, agama dirumuskan dengan ditandai
oleh tiga corak pengungkapan universal, yaitu pengungkapan teoritis
berwujud kepercayaan (belief system), pengungkaspan praktis sebagai
sistem persembahan (system of worship), dan pengungkapan sosiologis
sebagai sistem hubungan masyarakat (system of social relation).33 Di sini
agama secara teoritis merupakan sistem yang mempunyai daya bentuk
sangat kuat untuk membangun ikatan sosial religius masyarakat.
Bahkan agama mampu membentuk kategori sosial yang terorganisasi
sedemikian rupa atas dasar ikatan psiko-religius, kredo, dogma atau
tata nilai spiritual yang diyakini bersama. Dengan demikian agama
memiliki daya konstruktif, regulatif, dan formatif dalam membangun
tatanan hidup masyarakat, terutama membangun nilai dan norma
yang diterima dan diakui keberadaannya. Hal ini berarti agama
memikiki peran transformatif dan motivator bagi proses sosial
kultural ekonomi-politik dalam masyarakat.
Seorang sosiolog terkemuka asal Perancis, Emile Durkheim,
mendefinisikan agama sebagai: Religion is an interdependent whole
33
Ibid., 2.
36
Jamhari Ma’ruf, Agama dalam Perspektif Antropologis (Jakarta: Depdikbud-
Ditjen Dikti, 1999), 32.
37
Puspito, Sosiologi, 63.
38
Budiwanti, Islam, 65.
39
George Ritzer, Teori Sosial Modern (Jakarta: Prenada Media, 1987), 14.
40
Ibid., 123.
41
Pals, Dekonstruksi, 87.
laut, air terjun, batu, dan lingkungan desa. Roh-roh ini juga
bersemayam pada benda- benda mati, misalnya di rumah, di
tanah, pada pusaka, patung, makam dan lain sebagainya.
Percaya kepada nenek-moyang, bahwa Adam dan Hawa adalah
nenek-moyang mereka yang pertama, sedangkan nini-mamak
mereka adalah nenek-moyang yang paling dekat, yang hidup di
dunia roh, yang disebut dengan alam halus, keramat dan suci, yang
makamnya di dekat rumah. Keberadaan roh nenek-moyang ini
selalu dihormati dengan melakukan ritual-ritual adat.
Karena keberadaannya yang keramat dan suci, alam halus
memiliki hubungan yang dekat dengan Tuhan, dan dapat
membantu keturunan, anak cucunya, untuk menjadi perantara
menyampaikan permohonan kepada Tuhan.
Alam halus ini harus diperlakukan dengan hormat, karena dapat
mendatangkan mala petaka atas anak-keturunannya.
Tempat suci paksi bayan yang memiliki mitos, yang menjadi
keyakinan mereka, berada di puncak bukit yang disebut Bayan
Belek.
3. Islam Tolotang44
Agama yang berkembang pada mayarakat Amparita-Tellu
Limpoe- Sidenreng-Sulawesi selatan. Masyarakat Amparita adalah
termasuk suku Bugis, yang mayoritas Islam. Agama tolotang terbagi
ke dalam dua aliran, yaitu Towani tolotang yang dipengaruhi oleh
Hindu, dan Tolotang Benteng yang dipengaruhi oleh Islam.
Agama Towani tolotang, ajarannya: percaya kepada Dewata,
yang dinamakan Dewata Seuwae, artinya Tuhan yang Maha esa;
Perayaan hari suci disebut dengan Mabbolong yang dilaksanakan
setahun sekali pada bulan Januari, yaitu mengunjungi makam
leluhur, berdasarkan mitos sebagai pembawa ajaran Tolotang; dan
Ritual Mappenre, sebagai adat tradisi persembahan kepada U’wata,
yaitu pemuka Towani Tolotang, yang dilaksanakan setahun sekali,
setelah panen.
b. Tolotang Benteng 45: Ajaran Tolotang Benteng yang dipengaruhi
oleh ajaran Islam, antara lain: Mengakui Suewae sebagai Dewata;
44
Hasse J., Agama dan Kearifan Lokal dalam Tantangan Global (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 208), 240-248.
45
Ibid., 249.
4. Islam Keraton
Adalah hasil penelitian Mark R.Woodward yang mengidentifikasi
agama pada masyarakat Yogyakarta sebagai Islam yang kontekstual
dengan budaya keraton Yogyakarta. Praktek Islam Keraton ini
diidentifikasi sebagai Islam Jawa, yang terjalin dari unsur pra Islam,
mitos dan tradisi yang menekankan mistik, ritual, kasekten, dan
pemujaan roh halus. Masyarakat Jawa khususnya masyarakat Keraton
meyakini mitos dari kosmologi keraton Yogyakarta yang dijaga dan
dipagari oleh alam nonindrawi, yang berbentuk mahluk spiritual
yang terdiri dari:
Sang Senopati sebagai pendiri Dinasti Mataram.
Kanjeng Ratu Kidul sebagai ratu dunia roh halus.
Sunan Gunung Merapi yang menguasai roh halus yang bertahta
di atas Gunung Merapi.
Sunan Lawu yang bersemayam di atas Gunung Lawu.
Sunan Kalijaga sebagai wali dan ulama Kraton.
Semar, sebagai penasehat spiritual Keraton.
Mitos ini paling penting bagi masyarakat Yogyakarta dan Jawa,
sebagai kompleksitas mistis yang menjadi legitimasi dan basis
otoritas Keraton: kehendak Allah dan kekuatan gaib, yang menjadi
pusat kepercayaan antromorphisme Islam Keraton. Ritual-ritual
tradisi mengalir dari keyakinan terhadap roh-roh gaib tersebut, yang
berbentuk: Grebeg Mulud, Grebeg Syawal, Wiyosan Jumenengan
Ndalem, dan Grebeg suro. Inti dari ritual tradisi tersebut adalah
sebagai wadah dari kepercayaan mistik yang didasarkan atas mitos
Keraton.
46
Islam yang sarat dengan tradisi lokal, bentuk praktek Islam di masyarakat
sangat mengakomodasi lokalitas, oleh karennya Nur Syam menyimpulkannya
sebagai Islam Kolaboratif.
47
Syam, Islam, 108.
52
Ibid., 235.
53
Islam yang diidentifikasi sebagai Islam mistis, karena tradisi mitos menjadi
bagian penting dalam praktek Islam di wilayah ini. Kekayaan mitos baik mitos
pesisiran maupun mitos lokal menjadi sumber ajaran religi yang khas.
54
Sarjuningsih, Religiusitas, 56
55
Sulaiman Al-Kumayi, Islam Bubuhan Kumai dalam Perspektif Awam
(Jakarta: Kementrian Agama, 2011), 1.
tuk dibedakan mana agama dan mana tradisi. Percampuran ini terlihat
dalam upacara Nyanggar dan Babarasih Banua. Nyanggar adalah
upacara untuk menghormati makhluk halus yang menghuni sungai-
sungai yang dikeramatkan. Makhluk halus ini dipersonifikasikan
sebagai seekor Naga, Buaya putih, tapah dan Pedatuan.56 Babarasih
adalah upacara tradisi bersih desa, dengan tujuan agar masyarakat
yang hidup di wilayah ini aman, sejahtera, makmur dan dijauhkan
dari berbagai mala-petaka.57 Kepercayaan terhadap makhluk halus
dan kekuatan gaib atau dewa-dewa ini dipengaruhi oleh lingkungan
alam mereka, sehingga konstruksi ketuhanannya berdasarkan apa
yang mereka pikirkan tentang alam. Tuhan Allah dikonsepsikan
sebagai kekuatan gaib yang ada di sekitarnya, berdasarkan konsepi
tradisi lokal. Oleh karenanya masyarakat selalu beribadah kepada
Allah dengan menggunakan beselamatan setiap hari Jumat dengan
mengumpukan orang-orang dekat untuk melakukan doa. Upacara
ini dilakukan dalam rangka membuka lahan baru, mulai menyadap
karet, berburu hewan, dan lain- lain.
Melihat praktek Islam pada komunitas ini menunjukkan adanya
penggabungan unsur lokal yang berasal dari tradisi dan mitos dengan
Islam. Sehingga tampak jelas bahwa konsep Tuhan yang dipercayainya
adalah kekuatan gaib atau mahluk halus yang bersemayam di sekitar
lingkungannya. Oleh karena itu mereka melakukan beselamatan
dalam rangka untuk memohon keselamatan dan berkah. Allah Swt
sebagai Tuhan yang Maha pencipta menciptakan alam nyata dan
isinya, dan alam gaib dengan setan, malaikat, Jin dan makhluk halus
sebagai penghuninya, yang dirangkum dalam mitos lokal, menjadi
bagian penting dari kepercayaan tradisi.
ANALISIS
Berdasarkan paparan praktek Islam mitis yang ada di Indonesia
ini, maka perlu kiranya menengok ke belakang sejarah masyarakat.
Jauh sebelum masyarakat memeluk Islam, masyarakat telah memiliki
sistem kepercayaan animisme-dinamisme, Hindu dan Budha yang
telah berkembang sedemikian rupa dan telah menjadi agama resmi
masyarakat. Perkembangan dan pertumbuhan agama yang memakan
waktu beratus-ratus tahun tentu telah menjadi nilai kehidupan
56
Ibid., 2.
57
Ibid., 2.
Lebba Pongsibanne, “Islam dan Budaya Lokal”, Bahan Kuliah Islam dan
58
64
Daniel L. Pals, Seven Theories of Religion (Oxford University Press, 1996),
32.
65
Ibid., 35.
67
Ibid., 260.
68
Ritzer, Teori,123.
KESIMPULAN
Menurut ahli antropologi dan sosiologi, mitos sebagai basis
spiritual masyarakat, memiliki makna yang setara dengan agama,
tradisi, magis, dan mistik. Semuanya menyangkut aspek kepercayaan,
keyakinan, pengetahuan, emosional, dan kekuatan batin. Jadi agama
bagi masyarakat menjadi struktur yang kompleks, yakni sebagai
kepercayaan, doktrin, dan ideologi. Sebagai kepercayaan terhadap
makhluk gaib yang mengikat batin, emosi, dan perasaan masyarakat,
Kodifikasia, Volume, 9 No. 1 Tahun 2015
Islam Mitos Indonesia 97
DAFTAR PUSTAKA