Download as docx, pdf, or txt
Download as docx, pdf, or txt
You are on page 1of 18

TRANSFORMASI PENDIDIKAN PESANTREN DI KAJEN

MARGOYOSO PATI PERSPEKTIF KH MA SAHAL MAHFUDH

Erviandi Taufiq
IAIN Kudus
Email: erviantaufiq@gmail.com

Abstract
This current study highlights the paradigm of KH. MA Sahal Mahfudh’s
perspective on the concept of social fiqh (a worthy alternative to international
Islamic jurisprudence) and the transformation of education in pesantren (Islamic
boarding school). It was qualitative study by conducting library research. The
findings promote that in his perspective, the education in pesantren is not merely
Islam-oriented (tafaqquh fi al-din), but also plays a pivotal role in the students’
lives as well as the transformation into a shalih (good) and akram (noble) society,
which is in line with the leadership principles of human beings. In relation to the
social fiqh, KH. Sahal has asserted that fiqh does not refer to the concept of dogma
and norms, but the active and progressive one so that fiqh always develops from
time to time. It implies that fiqh does not demonstrate the stagnancy of its
implementation in life. Meanwhile, the transformation of education in pesantren is
generally viewed that this kind of boarding school functions as an institution of
tafaqquh fi al-din, yet it is integrated with the content of additional learning
materials. This content attempts a system of education that provides the students
with various life skills as well in regard to the era of modernization. In KH. Sahal’s
point of view, the transformation of education in pesantren can be identified in
detail through the transformation of education components, namely: institution,
organization, curriculum, methodology, and teachers.

Keyword: Sahal Mahfudh’s, Social Fiqh, Transformation, Pesantren

Abstrak
Penelitian ini membahas tentang paradigma pemikiran KH. Sahal Mahfudh yang
berkaitan dengan konsep fiqh sosial dan transformasi pendidikan pesantren.
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan jenis kepustakaan (library
research). Pendidikan pesantren bukan semata-mata berorientasi keagamaan
(tafaqquh fial-din), namun juga sebagai pusat belajar hidup dan transformasi menuju
tatanan masyarakat yang shalih dan akram, sebagaimana misi kekhalifahan manusia.
Terkait fiqh sosial, bagi Kiai Sahal fiqh bukanlah konsep dogmatis-normatif, tapi
aktif-progresif sehingga fiqh senantiasa berkembang dari waktu ke waktu seiring
perkembangan masa. Sedangkan transformasi pendidikan pesantren, dimaknai bahwa
pesantren tetap berfungsi sebagai lembaga tafaqquh fi al-din, namun juga diberi
muatan tambahan, yakni mengupayakan adanya sebuah sistem pendidikan yang juga
memiliki keterampilan hidup (life skill) sebagai jawaban atas arus modernisasi.
Menurut Kiai Sahal, transformasi pendidikan pesantren dapat diidentifikasi secara
detail melalui transformasi pada komponen-komponen pendidikannya yang meliputi
tujuan, kelembagaan, keorganisasian, kurikulum, metodologi, dan tenaga pengajar.

Kata Kunci: Sahal Mahfudh, Fiqh Sosial, Transformasi, Pesantren.

A. Pendahuluan
Pendidikan berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk
watak serta peradaban bangsa yang bermartabat untuk mencerdaskan kehidupan
bangsa. Tujuan dari pendidikan agar manusia menjadi makhluk yang beriman dan
bertaqwa kepada Tuhan yang Maha Esa, berakhlak mulia, berilmu, kreatif,
mandiri serta bertanggung jawab kepada Negara dan diri sendiri(Subiyantoro,
2013). Tetapi dewasa ini arah pendidikan di Indonesia berdasarkan realitas output
pendidikan malah semakin merosot dan menyimpang dari ajaran nnilai-nilai dasar
kemanusiaan diantaranya penggunaan obat-obat terlarang yang semakin marak
dikalanga remaja, perilaku vandalism, tawuran dan lain sebagainya terjadi di
berbagai daerah di Indonesia.
Pesantren dianggap sebagai Lembaga pendidikan islam tradisional dalam
sejarah isalam Indonesia. Dalam konten pendidikannya, pesantren mengajarkan
hal yang bersifat religius. Pesantren dalam komunitas muslim diposisikan sebagai
pusat transmisi pengetahuan agama, penjaga tradisi islam dan reproduksi ulama.
Pesantren sendiri cenderung berorientasi pada tradisi dan konservatif secara
sosial(Pribadi, 2014). Pada awal abad ke-20 perkembangan pesantren memulai
bentuk transormasinya. Perkembangan tersebut terletak pada kurikulum, metode
mengajar, dan kelembagaan. Salah satunya pesantren di Surakarta mendirikan
Manba’ul Ulum sebagai tempat untuk mendidik calon-calon pejabat agama,
dengan memasukan kurikulum Barat ke dalam pendidikan agama. Pesantren
mulai memasukkan unsur pendidikan umum diantaranya membaca tulisan latin,
dan aljabarpara kiai berupaya mengembangkan pesantrennya dengan memadukan
tradisi dan modernitas. Ini membuktikan bahwa para kiai selalu memiliki sikap
dan tindakan yang dinamis untuk melestarikan dan mengembangkan ajaran Islam
di tengah perubahan masyarakat(Yusuf & Taufiq, 2020).
Pesantren telah memainkan aspek penting dan krusial dalam perubahan
situasi sejarah di Indonesia. Pesantren berperan dalam konteks politik yang
berbeda dan berkelanjutan untuk mengembangkan berubahan sosial enonomi
kemasyarakatan(Falikul Isbah, 2020). Dengan adanya pembaruan tersebut
pesantren yang pada awalnya bersifat tradisional dalam rangka menghadapi
realitas perkembangan zaman, bayak yang bermetamorfosis dengan beradapptasi
pada system yang selama ini menjadi antithesis bagi keberlangsungannya.
Kemudian terbentuklah stuktur modern yang disebut sebagai Madrasah yang
merupakan percampuran antara system pendidikan islam tradisional dan
pendidikan modern. Pesantren tradisional mempertahankan bentuknya dengan
menekankan pengajaran berbasis kitab kuning klasik berbahasa Arab, yang
disebut pesantren salafi. Meskipun masih mempertahankan bentuk aslinya,
pesantren beradaptasi secara ‘Arif dengan tantangan zaman dan tuntutan realistis
masyarakat. Alih-alih pesantren tergeser dengan system modern, pesantren terus
bertahan sebagai alternatif pendidikan sekiolah yang lebih cenderung
sekuler(Rizal, 2011).
Wacana perkembangan pesantren pada awalnya muncul karena pengaruh
modernisasi dalam berbagai aspek kehidupan yang lambat laun mempengaruhi
pesantren. Tradisionalitas pesantren mulai dipertanyakan relevansinya dengan
kebutuhan zaman, ada yang ingin pesantren berpegang pada tradisi dan nilai-nilai
luhur yang ada di pesantren, ada pula yang menolak diam dalam merespon
perubahan di antaranya adalah Kyai Sahal Mahfudz. Kata kunci yang sering
digunakan oleh kiai Sahal Mahfudh untuk menjelaskan strategi dalam mengarungi
proses modernisasi sosial budaya adalah kanalisasi. Kanalisasi secara singkat
dapat diartikan terlibat tetapi tidak terbawa arus, misalnya pesantren terlibat
dalam kegiatan pembangunan masyarakat, namun tidak kehilangan jati dirinya
sebagai pesantren yang sudah memiliki peran utama(Umayah, 2021).
Dari hal tersebut timbul pertanyaan, aspek yang seperti apa yang dimiliki
oleh sisem pendidikan pesantren yang diubah untuk mengikuti tuntutan zaman
dan aspek mana yang tetep dipertahanan sebagi tradisi khas yang sekaligus
menjadi unggulan dari Lembaga tersebut yang menjadi daya tarik bagi
masyarakat utuk memilih pesantren sebagai Lembaga yang dipercaya untuk
membina karakter dan kepribadian putra-putri kalangan masyarakat islam.
Artikel ini akan membahas transformasi pendidikan dalam dunia pesantren
yang terkhusus berada di desa Kajen, Margoyoso, Pati. Dalam system pendidikan
pesantren dengan coraknya yang khas dengan perubahan dari tradisional ke
system yang lebih modern pada abad ke-21 ini. Melihat perkembangan zaman
saat ini sudah mulai menjamah keseluruh wilayah Indonesia bahkan sampai ke
pelosok daerah. Seperti apa Kajen sebagai pusat pendidikan pesantren yang
terkemuka di Pati, Jawa Tengah bertransformasi mengikuti perkembangan zaman
yang terjadi.

B. Metode
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif,
untuk mendapatkan data yang relevan, didalam penyusunan artikel ini penulis
menggunakan penelitian kualitatif, dan didukung referensi yang relevan terkait
dengan judul.
C. Landasan Teori
Sejarah Perkembangan Pesantren Di Kajen
Di Pulau Jawa, pondok pesantren dipimpin seorang kiai yang sangat
dihormati (banyak juga yang sampai dikeramatkan) oleh para santri dan
masyarakat di lingkungan setempat. Selain mendidik para santri di pondok, para
kiai ini juga memberikan pelajaran dan pelayanan kepada masyarakat khususnya
dalam ilmu keagamaan. Melalui tarekat, seorang kiai mendampingi murid-
muridnya yang kebanyakan adalah masyarakat umum untuk menapaki perjalanan
spiritual. Di sini, seorang kiai atau syaikh tarekat dipandang sebagai wali (kekasih
Tuhan) dengan segalah kemampuan guru agamanya yang tinggi. Oleh karena itu,
kiai dan tarekat di pesantren sangat dikeramatkan dan berwibawa.
Menurut Qodri Abdillah Azizy, pesantren merupakan sumber inspirasi
yang tidak pernah kering bagi para pecinta ilmu dan peneliti yang berupaya untuk
mengurai anatominya dari berbagai dimensi. Dari institusi pesantren, sebagai
obyek studi, telah lahir para doktor dari berbagai disiplin ilmuilmu, mulai dari
antropologi, sosiologi, pendidikan, politik, agama dan lain sebagainya.
Pada awal berdirinya, sistem pembelajaran di pondok pesantren,
umumnya, sangat sederhana. Sistem yang lazim digunakan dalam proses
pembelajaran adalah wetonan, soro- gan dan bandongan. Pada mulanya, tujuan
utama pondok pesantren adalah menyiapkan santri untuk mendalami ila
pengetahuan agama (Tafaqquh Fiddin). Akan tetapi, sejak 1970-an bersamaan
dengan program modernisasi pondok pesantren mulai membuka diri untuk
mempelajari mata pelajaran umum.
Hal ini bisa dimaknai, bahwva pesantren dengan dina- mika dan
perubahannya ingin eksistensi (keberadaan)nya diakui masyarakat. Persoalan
eksistensi pesantren selalu menjadi pembicaraan menarik dalam diskusi-diskusi
sepu- tar kepesantrenan dan atau pendidikan. Improvisasi atau- pun inovasi yang
dilakukan pesantren untuk mempertahankan eksistensinya dimulai dengan
membuka diri menerima sistem pendidikan klasikal dan kurikulum pemerintah,
baik di bawah naungan Kementerian Agama RI maupun Kementerian Pendidikan
Nasional.
Bisa dikatakan, upaya mempertahankan kelangsungan lembaga
pendidikan pesantren bukan perkara mudah. la memerlukan pemikiran dan
perjuangan yang berat. Di sini, pesantren dihadapkan pada dua persoalan penting.
Di satu sisi, pesantren dituntut bisa mempertahankan ciri khasnya sebagai
lembaga pendidikan agama dan benteng moral yang mencetak generasi muslim
ideal. Sementara di lain sisi, pesantren juga diharuskan mampu mengimbangi
dinamika kehidupan masyarakat di sekelilingnya dengan merespon perkembangan
zaman.
Terbukti, di tengah perubahan gaya berfikir masyarakat (user)-nya,
pesantren tampil sebagai lembaga pendidikan alternatif. Pesantren mampu
mendisain orientasi belajar siswa dari lembaga pendidikan kebanyakan, yaitu
belajar yang bertujuan untuk memperoleh kebahagiaan (baca: kesuksesan) dunia-
akhirat (sa'adatud darain). Kebahagiaan dunia akhirat tidak lain adalah tujuan
setiap muslim. Dengan orientasi sa'adatud darain, pesantren kemudian yang
kurikulum pendidikan yang mengantarkan anak didiknya mencapai target yang
ditentukan. Pesantren me- milih untuk mengkombinasikan antara pendidikan
kitab- kitab salaf sebagai kurikulum inti dan mengajarkan pula mata pelajaran
umum untuk mengimbangi perkembangan dunia ilmu pengetahuan modern.
Namun demikian, titik merancang tekan pendidikan pesantren tetap konsisten,
yaitu pengua- saan ilmu agama dan akhlak (Ma’mur, Jamal 2012).
Biografi KH MA Sahal Mahfudh
Kiai Sahal memiliki nama lengkap Muhammad Ahmad Sahal bin
Mahfudh bin Abdus Salam Al- Hajaini yang akrab di panggil Kiai Sahal, lahir di
Desa Kajen, Margoyoso, Kabupaten Pati, Pada Tanggal 17 Desember 1937 dari
pasangan KH. Mahfudh ibn KH. Abdus Salam al-Hafidz (w. 1944 M) dan Nyai
Hj. Badriyah (w. 1945 M). Keluarga ini mempunyai jalur nasab dengan KH.
Ahmad Mutamakkin, seorang perintis agama islam yang sangat terkenal di desa
Kajen khususnya dan Kabupaten Pati pada umumnya. Adapun silsilahnya adalah
KH MA Sahal Mahfudh bin KH Mahfudh Salam bin KH Abdus Salam bin KH
Abdullah bin Nyai Mutiroh binti KH Bunyamin bin Nyai Toyyibah binti K. Endro
Muhammad bin KH Ahmad Mutamakkin.
Dari segi pendidikan, Kiai Sahal sudah mulai belajar agama pada usia 6
tahun (1943) di Madrasah Ibtida’iyah Kajen dan tamat pada tahun 1949. Pada
tahun 1950-1953, Kiai Sahal melanjutkan studinya ke Perguruan Islam Mathali’ul
Falah Kajen. Pada saat yang sama dan ditempa yang sama pula, Kiai Sahal juga
mengikuti kursus ilmu umum, seperti filafat, bahasa Inggris, administrasi,
psikologi, dan tat negara dengan H. Amin Fauzan.
Setelah tamat Tsanawiyah, Kiai Sahal muda melanjutkan pendidikannya di
pesantren Bendo, Pare, Kediri (1953-1957), sebuah pesantren yang diasuh oleh
Kiai Muhajir, dan di Pesantren Saran Rembang ( 1957-1960) yang diasuh oleh
Kiai Zubair. Setelah tamat dari sarang, Kiai Sahal melanjutkan studinya di
Makkah selam tiga tahun (1961-1963) di bawah bimbingan KH. M. Yasin Fadani,
ulama hadits terkemuka pada waktu itu.
Disiplin ilmu yang di pelajari Kiai Sahal cukup beragam, mulai dari tafsir,
fiqih, hadis, ushul fiqih, tauhid, tasawuf, mantiq, balaghah dan lain-lain. “Kitab
Kuning” yang sudah di tamatkan juga banyak, seperti Tafsir Jalalain, Fathul
mu’in, Tahrir,asymuny, Jauharul Maknun, Alfiyah, Jami’ul Jawami’, Al Hikam
dan sebagainya. Kitab-kitab itu dipelajari di bawah asuhan parai Kyai ternama
terutama pamannya, KH Abdullah Zen Salam.
Kelebihan Kiai Sahal tidak hanya terlihat ketika dewasa. Sejak belia pun
sudah dipercaya memimpin beberapa organisasi yang melibatkan orang banyak.
Dia tercatat sebagai Ketua Persatuan Islam Indonesia (PII) cabang Margoyoso,
Pati (1947-1952) Ketua Ikatan Santri Se-Karisidenan Pati di Pare, Kediri (1954-
1956) serta Sekretaris Organisasi Persatuan Pesantren di Margoyoso (1951-1953).
Ketika menginjak usia 21 tahun, Kiai Sahal sudah dipercaya memegang jabatan
Ketrua Forum Diskusi Fiqih (1958-1965), sebuah forum yang sarat dengan kerja
intelektual.
Ini membuktikan, Kiai Sahal sejak muda memiliki otak yang cerdas.
Setelah pulang dari Makkah, 1963, pada usia 26 tahun, Kiai Sahal memegang
kembali Pesantren Maslakul Huda, sekaligus sebagai Direktur Perguruan Islam
Mathali’ul Falah. Dua institusi ini merupakan ujung tombak pengembangan
masyarakat desa Kajen dan sekitarnya. Pada waktu nyantri di Sarang, Kiai Sahal
juga diserahi tugas mengajar oleh gurunya, KH Zubair Dahlan di Pesantren
Sarang, Rembang (1958-1961). Beliau juga pernah menjadi dosen di Kuliyyah
Tahassus Fiqih di Kajen (1966-1970), dan menjadi staf pengajar di Universitas
Cokroaminoto (Uncok) Pati (1974-1976), menjadi dosen di Fakultas Syari’ah
IAIN Walisongo Semarang (1982-1985), dan sejak tahun 1989 menjadi Rektor
Institut Islam Nahdlatul Ulama Jepara.
Kiai Sahal aktif di berbagai Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dan
organisasi sosial. Atas peran dan kontribusinya dalam melakukan pemberdayaan
masyarakat dan transformasi pesantren, Kiai Sahal banyak mendapatkan
penghargaan, di antaranya Tokoh Perdamaian Dunia (1984), Manggala Kencana
Kelas I (1985-1986), Bintang Maha Putra Utarna (2000) dan Tokoh Pemersatu
Bangsa (2002). Dalam bidang kesehatan, Kiai Sahal mendapat penghargaan dari
WHO dengan gagasannya mendirikan taman gizi yang digerakkan para santri
untuk menangani anak-anak balita (Mudatsir, 1985: 209). Pada tanggal 18 Juni
Tahun 2003 Kiai Sahal memperoleh gelar Doktor Honoris Causa (DR HC) dari
Universitas Islam Negri Jakarta, karena kealimannya dalam ilmu fiqih dan
keberhasilannya dalam pengembangan pesantren dan masyarakat, sehingga dia
dikenal sebagai ahli fiqih abad modern. Kiai sahal wafat pada Jumat, 24 Januari
2014 dalam usia 77 tahun di Rumah Sakit Dr. Karyadi Semarang dan
dimakamkan di kompleks pemakaman Syeikh Ahmad Mutamakkin Margoyoso,
Pati(Ma’mur, Jamal 2012).
D. Pembahasan
1. Pemikiran KH MA Sahal Mahfudh Tentang Pendidikan Pesantren
Landasan Epistimologi dan Paradigma
Sebagai seorang kiai multidispliner, Kiai Sahal berpegang pada sumber
otoritatif Islam (al-Qur’an-Hadits). Selain itu, ia juga banyak mendasarkan
landasan pemikirannya pada produk-produk ilmu sosial kontemporer, terutama
kaitannya dalam membangun pemikiran yang terkait dengan kemaslahatan
masyarakat (maslahah al‘ammah). Menurut Kiai Sahal, untuk menyikapi
perubahan nilai-nilai yang berjalan secara gradual, maka nilai-nilai lama yang
terbukti positif dipertahankan dan diperkuat dengan mengadopsi nilai-nilai baru
yang bersifat kreatif-produktif. Di tangannya, tradisi pesantren terlihat selalu
berkembang dan dinamis sesuai dengan semangat zaman. Oleh karenanya,
pendidikan agama dapat diperpadukan dengan pendidikan umum dan gerakan
LSM. Hal ini, menurutnya, adalah bagian dari kontekstualisasi kitab kuning.
Setidaknya, terdapat dua faktor yang mempengaruhi pemikiran Kiai Sahal, yaitu:
(1) lingkungan keluarga. Seperti diketahui bahwa ayah Kiai Sahal (Kiai Mahfudh)
adalah orang yang menaruh perhatian dan kepedualian yang tinggi pada
masyarakat. Masyarakat sekitar pesantren, selalu mengadukan permasalahan dan
problema kehidupan yang dihadapinya pada Kiai Mahfudh. Sehingga mereka
beranggapan bahwa Kiai Mahfudh adalah bapak mereka yang penuh kasih dan
perhatian. Ini yang kemudian membekas dalam diri Sahal muda sehingga ia
memiliki perhatian mendalam atas problematika kemasyarakatan; (2) dari segi
intelektual, Kiai Sahal sangat dipengaruhi oleh pemikiran Imam Ghazali. Hal ini
sangat nampak dalam tulisan-tulisannya yang banyak mengutip pemikiran al-
Ghazali, seperti kriteria seorang ulama yang dipersyaratkan harus faqih fi
mashalih al-khalq yakni memahami dengan baik segi-segi kemaslahatan
masyarakat (Mahfudh, 1994:4).
2. Transformasi Pendidikan Pesantren Di Kajen Margoyoso Pati
Istilah transformasi seringkali dihadirkan dalam wacana posmodernisme
sebagai antitesis modernisme. Posmodernisme sendiri diartikan oleh Anthony
Giddens sebagai “sebuah estetika, sastra, politik atau filsafat sosial, yang
merupakan dasar dari upaya untuk menggambarkan suatu kondisi yang berkaitan
dengan perubahan pada lembaga-lembaga dan kondisi sebagai postmodenitas”. Ini
berarti posmodernisme merupakan kondisi budaya yang memunculkan banyak
transformasi yang mengubah rule of the game dalam bidang sains, sastra, dan
seni. Di bidang pendidikan terkhususnya dalam pendidikan pesantren,
transformasi berupa perubahan aturan main dalam hal aspek, praktik, dan institusi
pendidikan yang bertanggung jawab dan mentransmisikan ilmu pengetahuan dan
seni(Samsuddin, n.d.).
Secara garis besar pesantren berkedudukan dan berperan besar dalam
mempengaruhi terhadap perkembangan sistem pendidikan di Indonesia. Oleh
sebab itu, dapat diketahui bahwa kedudukan pesantren yang memiliki dua fungsi
utama yakni;
a. Lembaga pendidikan, pesantren menyelenggarakan pendidikan formal
(sekolah, madrasah dan perguruan tinggi), dan pendidikan nonformal yang
secara khusus mengajarkan kitab-kitab klasik abad ke-7-13 M yang meliputi
kitab tauhid, tafsir, hadis, fikih, usul fikih, tasawuf, gramatikal bahasa Arab
(nahwu, saraf, balagah, dan tajwid), mantik dan akhlak.
b. Lembaga sosial, pesantren menerima santri dari berbagai kalangan
masyarakat. Untuk kalangan santri, biaya hidup dan belajar relatif murah
bahkan untuk anak-anak yatim dan keluarga miskin gratis. Sedangkan untuk
masyarakat umum, pesantren menjadi tempat dalam menyelesaikan
persoalan hidup, seperti menjodohkan anak, kelahiran, sekolah, urusan
rumah tangga, warisan dan masalah lainnya. Di samping itu, pesantren
menjadi tempat bagi masyarakat umum sebagai tempat pengajian, dan
kegiatankegiatan keagamaan lainnya(Kamal & Tengah, 2018).
Transformasi pendidikan pesantren bukanlah hal yang terjadi begitu saja
tanpa sebab yang melatarbelakanginya. Transformasi pendidikan didasari adanya
perubahan sosial yang terjadi di masyarakat secara kolektif. Sebagaimana
dijelaskan George Ritzer bahwa perubahan sosial yang ditimbulkan oleh revolusi
politik, revolusi industri, dan urbanisasi membawa dampak besar pada ranah
religi.
Pondok pesantren adalah lembaga pendidikan agama Islam. Jika
modernisasi yang terjadi dalam masyarakat mampu menyentuh ranah religius
yang merupakan wajah pendidikan pesantren, maka sangat wajar jika dalam
pesantren terjadi transformasi pendidikan untuk menjawab tantangan modernisasi
yang terjadi di dalam masyarakat global. Ciri dari peradaban mutakhir itu ialah
teknologi. Sedangkan pengetahuan modern ditopang oleh empirisme. Inilah yang
kita maksud dengan pengetahuan modern. Selain empirisme yang menonjol, ilmu
pengetahuan modern berbeda dengan ilmu pengetahuan klasik, karena sikapnya
yang selalu memandang ke depan, sehingga ilmu pengetahuan tidak terhenti pada
suatu tapal batas (frontier). Dari itu, eksplorasi dan riset (research) merupakan
bagian mutlak ilmu pengetahuan modern.
Sampai di mana budaya modern sudah menyentuh aspek kehidupan
terutama pondok pesantren? Saat ini, pondok pesantren telah mengalami
pergeseran akibat modernisasi. Kini, kiai bukan satusatunya sumber belajar.
Banyaknya media komunikasi menyebabkan santri dapat menemukan banyak
sumber belajar. Pada akhirnya, ini kemudian mengubah hubungan antara kiai
dengan santri. Entitas hubungan keduanya menjadi lebih terbuka dan rasional.
Sebaliknya kedekatan hubungan personal dan emosional akan semakin memudar.
Di samping itu juga, hubungan umat dan ulama yang semula diikat oleh emosi
keagamaan yang kuat, kini semakin mencair. Hubungan sosial antara tokoh,
ulama, dan umat pengikut mulai didasarkan atas berbagai pertimbangan rasional
dan kepentingan pragmatis(Ali Asyhar, 2016).
Tranformasi Kurikulum Pendidikan Pesantren
Pengembangan kurikulum pendidikan pondok pesantren dapat ditafsirkan
sebagai upaya pembaruan pesantren di bidang kurikulum, sebagai akibat
kehidupan masyarakat yang berubah, dalam rangka mendukung pendidikan yang
dapat memenuhi kebutuhan peserta didik (siswa atau santri) (Sulthon, 2006: 145).
Kurikulum yang diwakili oleh kitab kuning yang hanya lebih menekankan pada
bidang fiqih, teologi, tasawuf dan bahasa. Fiqih inipun biasanya hanya terbatas
pada madzhab Syafii dan kurang memberikan alternatif pada madzhab lain seperti
Hanafi, Hambali dan Maliki. Kajian kebahasaan dalam kurikulum pendidikan
pesantren juga masih berkutat pada dataran kognitif dan masih mengesampingkan
aspek afektif dan psikomotorik dan kecerdasan dalam bidang nahwu shorof juga
belum dapat diimplementasikan dalam praktek-praktek komunikasi sosial secara
efektif. Karena pembelajaran bahasa ini hanya berkutat pada masalah-masalah
hafalan dan belum sampai pada usahabagaiamana menerapkannya dalam
komunikasi. Proses pendidikan sendiri harus dibedakan dari pengajaran dan
pelatihan. Pendidikan juga tidak boleh dibatasi oleh waktu.
Menurut Kiai Sahal, semua manusia dituntut untuk dapat melaksanakan
kedua tugas (‘Abd Allâh dan Khalîfah Allâh) di atas secara baik dan seimbang.
Tugas kehambaan, harus diimbangi dengan tugas kekhalifahan untuk
memakmurkan bumi (imârat al-ard). Dengan demikian, nyata jelasnya bahwa
untuk mengisi pembangunan dan memakmurkan bumi, diperlukan adanya ilmu
keduanya. Sebab bila salah satunya tidak bisa, maka yang terjadi adalah
ketimpangan, seperti seorang ahli ibadah yang acuh-tak acuh terhadap lingkungan
sekitarnya, dan atau sebaliknya, seorang professional yang tidak bisa mengenal
Tuhan-Nya. Ini merupakan istifâdah yang dapat kita petik dari fungsi
kekhalifahan manusia. Di samping, tentunya, manusia berkewajiban menghamba
pada Tuhan Pencipta alam raya ini.
Transformasi Metode Pendidikan Pesantren
Pemikiran Kiai Sahal ketika berpendapat mengenai pendidikan yang baik
adalah pendidikan yang setidaknya menjunjung nilai-nilai persamaan dan
demokrasi. Sikap demokrat harus dimiliki oleh setiap pendidik supaya
menemukan kebenaran, berkreasi dan berkarya, dimulai dari tingkatan yang
paling rendah sampai perguruaan tinggi yang meliputi pendidikan formal maupun
non formal. Transformasi utama yang harus dilakukan pesantren dalam hal ini,
yaitu memperbaiki metode pendidikan. Metode merupakan alat bantu untuk
menyampaikan materi, menenamkan sikap, dan karakter yang baik untuk siswa.
Karena kitab kuning menjadi materi yang sangat di tekankan dalam pendidikan
pesantren, sudah bisa dilihat dari mayoritas pesantren masih menggunakan
metode tradisional yang pengajarannya lebih menekankan pada penangkapan
harfiah atas suatu teks.
Penjelasan diatas dikuatkan dari pernyataan Kiai Sahal “Persoalannya
bagaimana si pendidik itu bisa menerapkan demokrasi, sekarang kita melihat
pendidik itu jarang yang demokrat. Dosen itu sendiri tidak demokrat kok. Maunya
apa yang disampaikan harus dianggap benar. Masyarakat kita hanya disuapin,
tidak dianjurkan untuk kreatif” (Mahfudh, 1997: 7).
Disisi lain Kiai Sahal juga menolak adanya metode instruksional yang
pendekatannya tidak diimbangi dengan keteladanan guru juga tidak mengena
untuk mencapai tujuan yang diinginkan, begini ujarnya “Bagi dunia akademis,
diperlukannya kebijakan pendidikan demokratis yang transformatif lebih daripada
sekedar menjadikan demokrasi sebagai “proyek intelektual.” Pendidikan
demokrasi harus mampu memotivasi dan menginspirasi perilaku demokratis
dalam kehidupan nyata sehari-hari. Tanpa itu, demokrasi kita hanya akan sangat
berkembang di atas kertas, tetapi kehilangan korelasi dan relevansinya dengan
realitas moral, sosial dan politik, wilayah di mana seharusnya demokrasi
mewujudkan segala teorinya bagi penghormatan nilainilai kemanusiaan”.
Dari beberapa pendapat yang sudah diuraikan di atas, Kiai Sahal
menerapkannya dalam sebuah wadah, yaitu Pesantren Maslakul Huda (PMH) dan
Perguruan Islam Mathaliul Falah (PIM) merupakan metamorfosis dari pendidikan
Islam tradisional menuju sistem pendidikan modern, dengan tetap
mempertahankan keutuhan nilai-nilai Islam. Adapun tiga aspek yang terkandung
dalam tujuan pendidikan yang hendak direalisasikan, yaitu: pertama, membentuk
anak didik menjadi hamba Allah yang mengabdi kepada-Nya semata. Kedua,
bernilai edukatif yang mengacu pada petunjuk al-Quran. Ketiga, ialah berkaitan
dengan motivasi dan kedisiplinan sesuai ajaran al-Quran yang disebut dengan
pahala dan siksaan.

Transformasi Manajemen dan Kelembagaan Pendidikan Pesantren


Keberhasilan dalam sebuah pesantren juga tidak terlepas dari penataan
sistem manajerial yang bagus. Biasanya pola manajemen pendidikan pesantren
cenderung dilakukan apa adanya secara insidental sehingga kurang
memperhatikan tujuan-tujuannya yang telah disistemastisasikan secara hirarkis
(Wahid, 1975, 124).
Semakin bercampurnya budaya lokal, sudah saatnya pesantren untuk
membuka diri melihat perkembangan dunia luar. Karena sekarang masyarakat
belajar di pesantren tidak hanya untuk mempelajari dan mendalami ilmu agama
saja, tetapi juga ingin mendapatkan ketrampilan dan ijazah. Menurut Kiai Sahal,
pendidikan keagamaan seperti pesantren harus mampu secara kontinyu dan
berkesinambungan untuk mengembangkan dan meningkatkan peran dirinya demi
kepentingan masyarakat sekitar.
Mahfudh (2003: 278) memandang bahwa “Pendidikan agama harus
mampu menumbuhkan sikap dan tingkah laku pribadi yang tanggap terhadap
masalah sektoral yang terjadi dalam kehidupan, baik yang berwawasan makro
maupun mikro. Konsekwensinya, pendidikan agama harus menumbuhkan
keberanian manusia didiknya untuk melakukan pilihan-pilihan yang dianggap
tepat bagi kehidupan, untuk merumuskan sendiri jawaban yang dituntut oleh
kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi”.
Dari pernyataan di atas tertulis jelas bahwa pendidikan harus mampu
menumbuhkan sikap sikap dan tingkah laku yang berwawasan luas, yang
memiliki cakrawala tak terbatas dan dapat melihat perkembangan dunia dengan
kacamata yang jernih. Hakikat pendidikan yang diungkapkan Kiai Sahal sangatlah
global dan terkesan etik. Sebab Kiai Sahal seolah-olah berpandangan bahwa
pendidikan sebagai upaya peningkatan kualitas hubungan manusia, baik dengan
Allah (habl min Allâh) maupun hubungan antarmanusia (habl min al-nâs) dan
hubungan dengan alam semesta (habl min al-‘âlam) yang inhern dengan anatomi
akhlak, minimal dalam sekala kerangka konseptual. Namun, disisi lain secara
spesifik, Kiai Sahal menyatakan bahwa hakekat pendidikan Islam merupakan
proses penanaman ajaran agama Islam kepada peserta didik, serta penghayatan
dan pengamalannya dalam kehidupan sehari-hari. Ini merupakan penekanan dari
penyiapan dan pembentukan peserta didik yang akrâm (hubungan vertikal dengan
Tuhan) dan shâlih (hubungan horizontal dengan sesama). Uraian diatas
berdasarkan pada tulisan Kiai Sahal Mahfudh (1983: 5): “Tujuan pokoknya
adalah mempersiapkan peserta didik agar mampu menjadi khalifah Allah yang
akram (mulia) yang berarti lebih bertakwa kepada Allah dan yang shalih dalam
arti mampu mengelola, mengembangkan dan melestarikan alam”.
Kemudian untuk posisi keilmuan sendiri dalam agama Islam juga
dijelaskan oleh Kiai Sahal, melalui sebuah pernyataannya “Posisi ilmu
pengetahuan dalam tatanan Islam memiliki dua standar pokok. Yaitu standar
ketuhanan dan kemanusiaan. Segala penilaian terhadap ilmu pengetahuan tertentu,
berada dalam skema dua standar pokok tersebut. Standar ketuhanan menyeleksi
ilmu pengetahuan dengan ketentuan, sejauh mana ia mampu secara mantap dan
sempurna memenuhi kebutuhan pemahaman hubungan antara manusia dengan
Allah SWT dan hubungannya dengan sesama makhluk dalam kaitannya dengan
nilai keagamaan, etika dan tata hubungan bermasyarakat. Standar kemanusiaan
menelaah kualitas ilmu pengetahuan dalam tata peradaban dan kemanusiaan,
sehingga menyangkut pola komunikasi dan pola manusiawi dalam kehidupan.
Meskipun begitu, tidak berarti bahwa timbul dikotomi dalam kedua standar
tersebut. Hanya saja skala prioritas yang berlaku, lebih menekankan pada
pendalaman ilmu pengetahuan yang masuk dalam standar yang pertama”. Lebih
lanjut, Mahfudh (1986) berujar, “Pesantren yang mampu mengembangkan dua
potensinya, yaitu potensi pendidikan dan potensi kemasyarakatan, maka bisa
diharapkan melahirkan ulama yang tidak saja luas ilmu pengetahuan agamanya,
luas wawasan pengetahuan, dan cakrawala pemikirannya, tetapi akan mampu
memenuhi tuntutan zamannya dalam rangka pemecahan persoalan
kemasyarakatan”.
Transformasi Pendidik
Kewajiban mendidik dinyatakan dalam firman Allah, “Hai orang-orang
yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan
bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar,
keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada
mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.”(QS. alTahrîm/66:6).
Dalam hal ini Kiai Sahal berpandangan bahwa “Secara umum, paling
tidak seorang guru harus memiliki beberapa sifat, yaitu zuhud, ikhlas, suka
memaafkan, memahami tabiat murid, berkepribadian yang bersih, bersikap
sebagaimana bapak terhadap anaknya, dan menguasai mata pelajaran yang
menjadi bidangnya”. Kiai Sahal menyampaikan apa yang menjadi karakteristik
dari guru atau pendidik yang professional. Artinya seorang guru harus benar-
benar ikhlas dalam mendidik dan mengajar, bisa memahami karakteristik murid-
muridnya serta mengontrol emosinya Selain itu, pendidik yang professional
merupakan pendidik yang tidak mementingkan diri sendiri dan egois, bersih dari
segala sifat tercela, mengasihi anak didiknya sebagimana mengasihi dan
menyayngi anak sendiri serta professional.
Kiai Sahal berkata: “Dari sudut pedagogis, guru yang ideal itu mempunyai
fungsi ganda, yaitu sebagai obyek (terdidik) dan sebagai subyek (pendidik).Kedua
fungsi yang melekat pada diri guru ini harus sama-sama aktif.Oleh karenanya
guru dalam posisi atau fungsi apapun dituntut untuk berwatak kreatif, produktif,
dan inovatif. Dalam setiap kondisi dan situasi ia haruslah selalu dalam proses
yang dinamis, tidak monoton. Sifat monoton dapat menumbuhkan situasi statis”.
Dari pernyataan Kiai Sahal diatas bisa difahami bahwa transformasi
pendidik yang terjadi di Pesantren Maslakul Huda (PMH) dan Perguruan Islam
Mathaliul Falah (PIM) merupakan bagian dari transformasi aspek-aspek dalam
sistem pendidikan yang ada di dalamnya. Termasuk juga terkait dengan tenaga
pengajar dan para ustadz, selian direkrut dari para santri senior, mereka juga harus
memiliki kompetensi sosial yang peka terhadap dinamika perkembangan
zaman(Nikmah, 2020).
Transformasi Peserta Didik
Sekarang ini, terjadi pergeseran sebuah paradigma di tengah-tengah
peserta didik yang dulunya seseorang menjadi santri tujuannya hanya untuk
memperdalam ilmu agama dan mencari ridlha Allah dan tidak ada maksud lain,
termasuk untuk mencari pekerjaan. Tetapi saat ini, tujuan mencari ilmu di
pesantren telah mengalami pergeseran, selain untuk mencari ijazah formal dan
penghidupan (ma’isyah) yang mapan. Hal ini disikapi dengan pendirian sekolah
formal sehingga memiliki ijazah formal untuk kelengkapan melanjutkan jenjang
pendidikan di atasnya atau sebagai persyaratan bekerja.
E. Kesimpulan
Proses transformasi pendidikan di Pesantren Maslakul Huda (PMH) dan
Perguruan Islam Mathaliul Falah (PIM) berlangsung secara gradual dan ditandai
dengan berdirinya lembaga pendidikan formal. Pesantren juga merumuskan visi,
misi, tujuan, kurikulum, metode pengajaran, sarana-prasarana, tenaga pendidik,
peserta didik dan evaluasi. Model transformasi yang diterapkan ini menghasilkan
perkembangan yang pesat bagi pondok pesantren dan masyarakat sekitar.
Tuntutan perubahan di tengah-tengah masyarakat juga menjadi faktor pendorong
transformasi pendidikan pesantren. Orang tua santri saat ini lebih suka bila
anaknya menjadi orang yang pandai (‘alim) sekaligus memiliki ijazah sebagai
bukti kelulusannya. Sehingga kondisi ini ditangkap oleh Pesantren Maslakul Huda
(PMH) dan Perguruan Islam Mathaliul Falah (PIM) dengan mendirikan
pendidikan formal yang memiliki ijazah yang diakui oleh negara.
F. Daftar Pustaka

Azizy, A. Q. (1999). Kata Pengantar. Dalam Sumanto Alqurtuby (Ed.), KH. MA. Sahal
Mahfudh Era Baru Fiqih Indonesia. Yogyakarta: Cermin.
Ali Asyhar. (2016). MODEL TRANSFORMASI PENDIDIKAN PONDOK PESANTREN
DI PULAU BAWEAN GRESIK. 1.
Falikul Isbah, M. (2020). Pesantren in the changing indonesian context: History and
current developments. Qudus International Journal of Islamic Studies, 8(1), 65–106.
https://doi.org/10.21043/QIJIS.V8I1.5629
Gunawan, A. H. (2010). Sosiologi Pendidikan: Suatu Analisis Sosiologi tentang Pelbagai
Problem Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta.
Kamal, F., & Tengah, J. (2018). TRANSFORMASI PENDIDIKAN PESANTREN
SEBAGAI LEMBAGA PENDIDIKAN ISLAM ABAD 21. 1(2).
Mahfudh, S. (1997, Juli). “Dhu’afa Problema Indonesia,” wawancara dalam Majalah
Sautul Qur’an, Edisi 01/Th. VIII.
Mahfudh, S. (1997, Juni). Pendidikan Agama dan Pengaruhnya terhadap Penghayatan
dan Pengamalan Budi Pekerti,” makalah tidak diterbitkan. disampaikan pada
Sarasehan Peningkatan Moral Warga Negara Berdasarkan Pancasila BP7 Prop. Dati
I Jawa Tengah.
Mahfudh, S. (1985, Februari). Pendidikan Sosial Keagamaan, makalah tidak diterbitkan,
disampaikan pada acara Sarasehan Pengurus HSM.
Mahfudh, S. (1986, Desember). Pengalaman di Lapangan Pelaksanaan Pendidikan
Kependudukan di Pesantren. Jakarta.
Mahfudh, S. (1983, September). Peranan Pesantren dalam Pembangunan Desa dan
Program KKB.
Mahfudh, S. (1983, Oktober). Perkembangan dan Pengembangan Madrasah di
Lingkungan Nahdlatul Ulama, makalah disampaikan pada Diskusi Panel Ikatan
Alumni Madrasah Qudsiyah di Kudus.
Mahfudh, S. (1986, Oktober). Perspektif Pembinaan Umat Lewat Pesantren. Majalah
Tebuireng, Ed. 5.
Mahfudh, S. (2003, Oktober). Pesantren dalam Dinamika Perjuangan Bangsa, makalah
tidak diterbitkan. Disampaikan pada Halaqah Pengasuh Pondok Pesantren tentang
Kontribusi Pesantren dalam Pengembangan Pendidikan Nasional, Semarang.
Mahfudh, S. (1994, Desember). “Re-orientasi Pemahaman Fiqih, Menyikapi Pergeseran
Perilaku Masyarakat”,
Mahfudh, S. (1986, Desember). Sumbangan Wawasan tentang Madrasah & Ma’arif,.
Ma’mur, Jamal dkk. [2012]. Mempersiapkan Insan Shalih Akrom. Pati: Perguruan Islam
Mathali’ul Falah
Munawir, A. W. (1997). yang berarti “ belajar ” . Kata madrasah sebagai.
Nikmah, F. (2020). IMPLEMENTASI NILAI DASAR SHALIH AKROM DALAM
PEMBENTUKAN KARAKTER SISWA DI PERGURUAN ISLAM MATHALI ’ UL
FALAH KAJEN. (2), 70–79.
Pribadi, Y. (2014). Religious networks in Madura pesantren, Nahdlatul Ulama and Kiai
as the core of santri culture. Al-Jami’ah, 51(1), 1–32.
https://doi.org/10.14421/ajis.2013.511.1-32
Rizal, A. S. (2011). Transformasi corak edukasi dalam sistem pendidikan pesantren, dari
pola tradisi ke pola modern. Ta, 1051(9), 95–112.
Rozin, Abdul Ghaffar. Perguruan Tinggi Riset Berbasis Nilai-nilai Pesantren sebagai
Paradigma Pendidikan Tinggi Islam,Disampaikan pada Sidang Terbuka dan Wisuda
I STAI Mathaliul Falah, 1 Desember 2012.
Samsuddin. (n.d.). FORMAT BARU TRANSFORMASI PENDIDIKAN ISLAM.
ISLAMICA, Volume 7,.
Subiyantoro. (2013). Pengembangan Model Pendidikan Nilai Humanis-Religius Berbasis
Kultur Madrasah. Jurnal Cakrawala Pendidikan, 3(3), 326–340.
https://doi.org/10.21831/cp.v3i3.1622
Umayah, S. (2021). STUDY ON THE PESANTREN EDUCATION IN THE. 1(2), 23–43.
Yusuf, M. A., & Taufiq, A. (2020). The Dynamic Views Of Kiais In Response. Qudus
International Journal of Islamic Studies (QIJIS) Volume, 8(1), 1–32.

You might also like