Download as pdf or txt
Download as pdf or txt
You are on page 1of 19

ASPEK KE-SOEHARTO-AN DALAM KUMPULAN CERPEN

SOEHARTO DALAM CERPEN INDONESIA

Burhan Nurgiyantoro
FBS Universitas Negeri Yogyakarta

Abstract
This research study aims to describe (1) the forms of Soeharto-related aspects
and (2) ways of expressing those aspects in the anthology of short stories entitled
Suharto claim Cerpen Indonesia.
The source of the research data was Soeharto dalam cerpen Indonesia (2001), an
anthology of short stories edited by M. Shoim Anwar. All of the short stories (17)
were selected. The data were collected through reading and recording techniques and
were analyzed by the descriptive qualitative technique involving data comparison,
categorization, tabulation, and inference. Data trustworthiness was assessed through
the semantic and referential validities and data consistency through the intrarater
technique.
Research findings show that 15 short stories clearly contain Soeharto-related
aspects, and two short stories do not reveal these aspects clearly. Soeharto-related
aspects are shown through: (1) personification in the form of physical appearance,
character, verbal and nonverbal behaviors, (ii) governance and economic strategies,
(iii) society’s condition and attitude under his reign, approaching his fall and after his
fall, (iv) spatial and temporal settings related to his reign, (v) the party functioning as
his power apparatus, and (vi) government officials’ life style and attitude. In general
the short stories do not mention Soeharto directly, but only through certain aspects
or symbols easily identified as Soeharto’s characteristics. Soeharto-related aspects
are expressed through various ways, such as parody, irony, cynicism, and dialectics.
The expressions through particular characters parodying Soeharto are the most
apparent, simultaneously using irony and cynicism. The expressions through irony
are the most dominant in the short stories, and in this way the criticisms sound more
subtle and “polite”. This is different from cynicism, which criticizes and defames
ones in a vulgar manner. This is a reflection of control imposed on the writers in the
past, who now feel free to express anything without any fear of being arrested. The
expressions through dialectics are made more intellectually and invite readers to
think.

Key words: Soeharto-related aspects, personification, parody, irony, cynicism,


dialectics

A. Pendahuluan hal tertentu dapat pula dipandang se-


1. Latar Belakang Masalah bagai suatu bentuk “kontrol sosial”.
Sastra hadir karena memang diper- Dalam berbagai sastra dunia terlihat
lukan perannya dalam masyarakat, banyak karya sastra yang hadir dengan
yaitu sebagai salah satu wujud eks- mengemban misi tersebut, misalnya
presi berkesenian, dan bahkan dalam karya sastra yang mengandung unsur

22
23

kritik sosial. Sastra yang berisi kritik dan lain-lam. Namun, setting cerita dan
sosial memiliki fungsi “mengingatkan” saat penulisannya sudah dilakukan se-
akan adanya berbagai bentuk perilaku jak Suharto masih berkuasa, bukan han-
yang tidak sesuai dengan sifat-sifat ke- ya setelah kejatuhannya, sehingga ten-
manusiaan. Hal itu merupakan salah tunya dapat memperkaya personifikasi
satu pertanggungjawaban moral karya tokoh itu dan tafsir yang diberikan ter-
sastra bagi masyarakat. hadapnya.
Salah satu ikon masyarakat Indone- Pengumpulan cerpen-cerpen yang
sia yang amat fenomenal adalah tokoh semula tersebar dalam berbagai me-
Suharto, mantan presiden Republik In- dia massa ke dalam sebuah buku yang
donesia, yang berkuasa selama kurang khusus berdasarkan salah seorang to-
lebih 32 tahun, yaitu sejak tahun 1966 koh nyata merupakan fenomena baru.
hingga 1998. Selama pemerintahannya, Bahwa dewasa ini banyak tokoh pen-
yang kini dikenal sebagai “diktator”, ting, mulai dari kalangan politikus, se-
terdapat berbagai bentuk kontroversi lebritis, sampai olahragawan, beramai-
yang mencakup berbagai aspek kehidu- ramai membukukan biodatanya sendiri,
pan. Orang­orang yang semula tidak be- pengumpulan cerpen-cerpen dengan
rani bersuara karena takut keselamatan- “sumber bahan” yang sama sehingga
nya terancam, setelah kejatuhannya be- mirip dengan buku biografi ke dalam
ramai-ramai berteriak menghujat lewat sebuah buku tetap saja menarik untuk
berbagai kesempatan dan media. Misal- ditanggapi. Apalagi tokoh yang diang-
nya, lewat demonstrasi, pidato di muka kat adalah seorang yang amat dikenal
umum, tulisan di media massa, dan hu- di masyarakat dunia. Kehadiran buku
jatan-hujatan lain yang sering disiarkan tersebut dapat saja dipandang sebagai
televisi. Demikian juga dalam wacana ikut menyemarakkan dan semakin me-
kesastraan, Suharto banyak dijadikan mopulerkan Soeharto lewat tulisan rag-
sumber inspirasi untuk dieksplorasi dan am sastra dalam berbagai genre terlepas
dieksploitasi secara kreatif-literer oleh dari konotasi makna yang ditawarkan.
para penulis. Eksplorasi dan eksploitasi Terlepas apakah karya-karya itu ber-
Soeharto dalam teks-teks sastra bersifat nada menanjung, memuji, menyindir,
khas kesastraan: misalnya dimunculkan mengritik, atau menghujat dengan cara-
sebagai tokoh imajiner, simbolistik, iro- cara yang bagaimanapun tetap saja ber-
ni, untuk sasaran “bulan-bulanan” baik fokus pada tokoh nyata Soeharto. Hal
secara “sembunyi-sembunyi” maupun itu merupakan salah satu alasan yang
terang-terangan. cukup menarik untuk menjadikan kum-
Salah satu tulisan yang berangkat pulan cerpen tersebut sebagai bahan ka-
dari ikon Suharto itu adalah karya sas- jian.
tra yang bergenre cerita pendek yang
dimuat di berbagai media massa. Se- 2. Tujuan Penelitian
bagian dari cerpen tersebut kemudian Sesuai dengan permasalahan yang
dikumpulkan dalam buku kumpulan diteliti, penelitian ini bertujuan untuk
cerpen Soeharto dalam Cerpen Indonesia (i) mendeskripsikan wujud penampilan
(M. Shoim Anwar, 2001). Buku ini me- aspek ke-Suharto-an dalam kumpulan
nampilkan dua puluh buah cerpen yang cerpen Soeharto dalam Cerpen Indone-
ditulis oleh sejumlah pengarang, seperti sia, dan (ii) mendeskripsikan cara pen-
Y.B. Mangunwijaya, Seno Gumira Aji- gungkapan aspek ke-Suharto-an dalam
darma, Agus Noor, Bonari Nabonenar, kumpulan cerpen Soeharto dalam Cerpen
Indonesia.

Aspek Ke-Soeharto-an dalam Kumpulan Cerpen Soeharto dalam Cerpen Indonesia


24

3. Landasan Teoretis dan hal itulah yang dijadikan model da-


a. Karya Sastra dalam Konteks Sosi- lam penciptaan dunia novel, dunia sas-
ologi sastra tra. Culler (1975; Faruk, 1994: 47) menga-
Permasalahan apakah sastra sebagai takan bahwa novel merupakan sebuah
cerminan realitas kehidupan sosial se- wacana yang di dalamnya dan lewatnya
lalu menarik untuk dibicarakan. Karya masyarakat mengartikulasikan dunia.
sastra adalah sebuah fakta sosial yang Novel merupakan sebuah model tiruan
dikreasikan oleh pengarang. Di pihak kehidupan sosial tertentu, model per-
lain, pengarang yang adalah anggota sonalitas individual, model hubungan
masyarakat tertentu dan berinteraksi antarindividu dalam suatu masyakarat,
dengan orang-orang dari masyarakat dan model signifikansi dari aspek-aspek
lain yang masing-masing telah memiliki dunia tersebut.
konvensi-konvensi dan adat kebiasaan Sastra tidak pernah ditulis dalam
tentulah mau tidak mau hal itu berpe- situasi kekosongan budaya, tetapi mun-
ngaruh terhadap karya dihasilkan. Pe- cul dari sebuah masyarakat yang telah
ngarang yang dibesarkan dalam suatu memiliki tatanan kehidupan sosial.
konvensi sosial tertentu secara tidak Tatanan inilah yang dijadikan model
terelakkan, sadar atau tidak sadar, akan tiruan dalam penciptaan dunia sastra.
terpengaruh oleh kehidupan sosial bu- Jadi, sastra bersifat “meniru” sesuatu
daya yang melingkupinya. Oleh kare- yang telah bereksistensi sebelumnya,
na itu, Chapman (1980: 26) mengung- dan karenanya dalam batas-batas ter-
kapkan bahwa kelahiran karya sastra tentu sastra dapat dipandang sebagai
diprakondisi oleh kehidupan sosial memparodikan sesuatu yang dijadikan
budaya tempat pengarang hidup dan modelnya tersebut. Dalam hal ini Mar-
dibesarkan sehingga sikap dan panda- garet Rose (via Makaryk, 1995: 604),
ngan hidup pengarang terhadap menyebut parodi sebagai “transcontex-
masalah yang dikisahkan dalam karya- tualized repetition” yang di dalamnya ter-
nya juga mencerminkan kehidupan so- dapat aspek pengulangan intertekstual
sial budaya masyarakatnya itu. Panda- dan ironi. Dengan demikian, pemodelan
ngan Chapman tersebut menunjukkan dalam teks-teks sastra, peniruan dan
bahwa karya merupakan cermin realitas pengulangan terhadap sesuatu yang
kehidupan sosial masyarakat yang di- telah bereksistensi tersebut, dapat juga
jadikan modelnya. dikaitkan dengan teori intertekstual.
Dalam hal pemodelan tersebut Lot- Teks-teks yang dijadikan model, parodi,
man (via Faruk, 1994: 47) mengatakan atau tiruan tersebut tidak hanya terbatas
bahwa sastra merupakan sistem pemod- pada teks-teks tertulis saja, melainkan
elan tingkat kedua. Artinya, sastra meru- juga dapat diperluas dalam pengertian
pakan sistem pemodelan yang ditum- wacana realitas kehidupan sosial.
pangkan pada sistem pemodelan ting- Intertekstualitas itu sendiri oleh
kat pertama, yaitu bahasa. Pemodelan Bakhtin (via Faruk, 1994: 134-37) dike-
itu sendiri menunjuk pada pengertian lompokkan dalam teori dialogis da-
bahwa sastra merupakan suatu wacana lam lingkup sosiologi sastra. Menurut
yang memodelkan semesta yang tidak Bakhtin tidak ada tuturan tanpa hubu-
terbatas dalam satu semesta imajiner ngannya dengan tuturan-tuturan yang
yang terbatas. Semesta (universe) dapat lain. Hubungan dialogis adalah satu
dipahami sebagai sebuah realitas ke- tipe khusus dari hubungan semantik
hidupan yang ada di dalam masyarakat, yang bagian-bagiannya hams dibentuk

LITERA, Volume 4, Nomor 1, Januari 2005


25

oleh keseluruhan tuturan yang di ba- b. Cara Pengungkapan Gagasan da-


liknya berdiri subjek-subjek aktual dan lam Teks Kesastraan
potensial yaitu pengarang­pengarang Kata-kata merupakan sarana strat-
yang bersangkutan. Bakhtin antara egis untuk menyampaikan dan meng-
lain membedakan wacana dialogis ke kreasikan makna serta nada dan suasana
dalam wacana aktif dan pasif, tersurat penuturan. Nada (tone) dapat diartikan
dan tersirat. Wacana pasif mengguna- sebagai pendirian atau sikap penga-
kan wacana yang terdahulu untuk ek- rang terhadap pembaca dan (sebagian)
spresinya seperti dalam parodi, sedang masalah yang dikemukakan (Leech &
wacana aktif menempatkan wacana ter- Short, 1984: 280). Sikap dan pendirian
dahulu tetap di luar dirinya meskipun pengarang terhadap sesuatu tersebut
berhubungan dengannya. Di pihak lain, dapat dibentuk, disiasati, dan dicipta-
wacana tersurat adalah wacana dengan kan lewat pilihan kata-kata, bahasa, atau
kehadiran penuh atau dialog eksplisit, stile. Dengan kata lain, stile diperguna-
sedang wacana tersirat adalah wacana kan sebagai cara untuk mengungkapkan
yang tidak terwujud secara material dan nada, sikap dan pendirian pengarang
hanya tersedia dalam kenangan kolek- terhadap masalah yang diungkapkan
tif. kepada pembaca. Jadi, dilihat dari ke-
Sejarah menunjukkan bahwa ada perluan pengarang, stile dipergunakan
perbedaan karakteristik karya sastra sebagai salah satu cara mengungkap-
dalam menyikapi kiprah Soeharto yang kan sikap dan pendiriannya terhadap
dalam pemerintahannya otoriter dan an- sesuatu, sedang dilihat dari keperluan
tikritik. Ketika Soeharto masih berkuasa pembaca stile dapat dipakai sebagai sa-
para pengarang tidak berani secara rana untuk mengenali dan mengiden-
terang-terangan melancarkan kritik tifikasi sikap dan pendirian pengarang
terhadapnya, kini setelah kejatuhannya terhadap berbagai masalah yang diceri-
mereka beramai-ramai mengritik dan takan.
menghujatnya tanpa takut dibredel atau Dengan cara-cara yang dipilihnya
ditangkap dengan tuduhan subversif. tersebut pengarang ingin mengajak
Dalam kondisi sebelum kejatuhan Soe- pembaca untuk melihat dan merasakan
harto, Emha (Faruk, 1994: 49-50) menga- sesuatu sebagaimana dia melihat dan
takan bahwa konvensi sastra Indonesia merasakannya, menafsirkan sesuatu
dikuasai oleh konvensi “bisu” karena sebagaimana dia menafsirkannya, dan
adanya larangan masuknya kenyataan menyikapi sesuatu sebagaimana dia
sosial-politik ke dalam karya sastra kar- menyikapinya.
ena dipandang dapat membahayakan. Dengan cara-cara tersebut dia ingin
Konvensi sastra menjadi bersifat terikat berbagai pengalaman dengan pembaca
dan cenderung menguntungkan pemer- sebagaimana ia merasakan pengalaman
intah atau kaum establishment. Kini set- tersebut. Cara-cara tersebut dalam ke-
elah kejatuhan Soeharto konvensi bisu sastraan oleh Stanton (via Nurgiyantoro,
tersebut tinggal sejarah dan konvensi 2002: 25) disebut sebagai literary devices,
yang independen yang memberi kebe- ‘sarana pengucapan kesastraan’, sarana
basan berekspresi kepada pengarang kesastraan. Macam sarana kesastraan
sudah terbuka lebar. yang dimaksud dapat berupa pemi-
lihan stile, penggunaan simbolisme,
ironi, sinisme, sudut pandang tertentu,
dan lain-lain. Dengan demikian, sarana

Aspek Ke-Soeharto-an dalam Kumpulan Cerpen Soeharto dalam Cerpen Indonesia


26

kesastraan merupakan sesuatu yang cerpen tersebut sebelumnya telah disiar-


penting dalam rangka pencapaian efek kan baik lewat surat-surat kabar mau-
tertentu pada teks-teks kesastraan dan pun berwujud buku kumpulan cerpen.
karenanya perlu mendapat perhatian Semua cerpen yang dijadikan sumber
dalam penelitian. data. Adapun nama pengarang, judul
Selain dengan cara-cara tersebut cerpen, dan tahun pertama cerpen itu
pengungkapan sesuatu dalam teks-teks terbit dalam media massa sebagaimana
kesastraan juga dapat berbentuk paro- diinformasikan dalam buku ditunjuk-
dial, satins, dan dialektika (Hasanudin, kan sekaligus pada tabel hasuil peneli-
1998: 5). Cara-cara ini dilakukan untuk tian.
mencapai efek tertentu. Cara parodial Pengumpulan data dilakukan
merupakan suatu teknik pengungkapan dengan teknik membaca dan men-
dengan menirukan sesuatu dari orang catat. Teknik membaca dilakukan un-
lain, misalnya berupa gaya, karakter to- tuk mendapatkan data yang berwujud
koh, cara-cara seseorang melakukan se- deskripsi verbal dari cerpen-cerpen
suatu, dan lain-lain. Dalam parodial bi- yang bersangkutan. Analisis data di-
asanya terkandung unsur ironi sebagai lakukan dengan mempergunakan
bagian untuk mencapai efek tertentu. teknik deskriptif kualitatif yang meru-
Karena bersifat peniruan dan di dalam- pakan olah logika. Adapun kegiatan itu
nya terkandung unsur pengulangan, dilakukan dengan langkah-langkah: (i)
Margaret Rose (via Makaryk, 1995: 604), pembandingan antardata: pembandin-
menyebut parodi sebagai “transcontex- gan semua deskripsi verbal per cerpen
tualized repetition” yang di dalamnya ter- untuk memperoleh kategori­kategori
dapat aspek pengulangan intertekstual yang sejenis, (ii) kategorisasi: pengelom-
dan iron. Ironi itu sendiri oleh Samuel pokan data-data ke dalam kategori-ka-
Johnson (via Makaryk, 1995: 572) diarti- tegori yang sejenis sebagai hasil langkah
kan sebagai sebuah cara untuk menge- sebelumnya, (3) penyajian data: penya-
mukakan sesuatu yang maknanya jian data dilakukan dalam bentuk tabel-
bertentangan dengan kata­kata yang tabel frekuensi pemunculan, namun
dipergunakannya. Cara dialektik ada- pada prinsipnya tetap dilakukan dengan
lah pengungkapan sesuatu dengan memakai pertimbangan logika, dan (4)
menampilkan persoalan dan mengajak pembuatan inferensi berdasarkan data-
kita untuk ikut bernalar dengan dialog data hasil penelitian yang diperoleh.
untuk menyelidiki suatu masalah, men-
gajak kita untuk memikirkannya secara C. Hasil Penelitian dan Pembahasan
logis dan teliti. Cara-cara tersebut akan 1. Hasil Penelitian
dipergunakan sebagai bentuk klasifikasi a. Wujud Aspek Ke-Soeharto-an da-
cara-cara pengungkapan aspek ke-Soe- lam Kumpulan Cerpen Soeharto
harto-an yang dikaji dalam penulisan. dalam Cerpen Indonesia
Dari ke-17 buah cerpen yang dimuat
B. Metode Penelitian dalam buku kumpulan itu terdapat 15
Sumber data penelitian ini adalah buah yang secara jelas, walau implisit,
cerpen-cerpen yang mengandung unsur menampilkan aspek ke-Soeharto-an,
ke-Soeharto-an dalam buku kumpulan sedangkan dua buah cerpen yang lain
cerpen Soeharto dalam Cerpen Indonesia tidak secara jelas mengandung aspek
(2001) editor M. Shoim Anwar yang se- ke-Soeharto-an. Wujud aspek ke-Soe-
luruhnya betjumlah 17 buah. Cerpen- harto-an yang ditemukan dalam tiap

LITERA, Volume 4, Nomor 1, Januari 2005


27

cerpen bermacam-macam sebagaimana benar, dan pemarah tidak dapat dikait-


yang ditunjukkan pada Tabel 1. Tetapi, kan begitu saja dengan mantan Presiden
jika dikelompokkan secara substansial Soeharto. Pengaitan Pak Rambo sebagai
mencakup: (1) personifikasi atau aspek personifikasi Soeharto mungkin saja da-
kedirian, terutama dilihat secara ciri pat dilakukan, tetapi bukan hanya Soe-
fisik dan karakter, (2) strategi pemerin- harto yang mempunyai ciri-ciri seperti
tahan, terutama dari segi secara politik Pak Rambo. Jadi, penafsiran Pak Rambo
dan ekonomi, (3) kondisi masyarakat, sebagai personifikasi Soeharto hanya
baik semasa masih berkuasa, menjelang merupakan salah satu bentuk penaf-
jatuh, dan sesudah jatuh, (4) latar tem- siran saja dan tidak terlalu kuat didu-
pat dan waktu pemerintahan Soeharto, kung oleh tanda-tanda semiotik secara
(5) partai, dan (6) sikap hidup dan gaya eksplisit.
hidup pejabat teras masa pemerintahan Demikian pula halnya dengan cer-
Soeharto. Pemunculan keenam kategori pen “Masuklah ke Telingaku Ayah”.
tersebut dirangkum dalam Tabel 2. Data aspek ke-Soeharto-an tidak tam-
Kedua cerpen yang tidak mengand- pak dalam cerpen ini. Menyamakan to-
ung aspek ke-Soeharto-an itu adalah koh Abilawa, yang diambil dari nama
“Tembok Pak Rambo” (Taufik Ikram wayang Jagalabilawa, dengan Soeharto
Jamil) dan “Masuklah ke Telingaku rasanya terlalu jauh walau Soeharto
Ayah” (Triyanto Triwikromo). Bentuk sendiri penggandrung wayang. De-
personifikasi Soeharto dalam “Tembok mikian juga menyamakan penyembe-
Pak Rambo” tidak mudah dipahami le- lihan sapi-sapi oleh Abilawa sebagai
wat tokoh Pak Rambo yang hanya jen- simbolisasi pembantaian banteng yang
dral berbintang tiga. Karakteristik yang lambang PDI, dan gadis kecil anak Abi-
dimiliki seperti orang besar, mempunyai lawa yang berusia enam tahun, Shela,
ajudan, berkuasa, tetapi juga serakah, sebagai Tutut, anak Soeharto sulit un-
memiliki kekayaan dengan cara tidak

Tabel 1. Wujud Aspek Ke-Soeharto-an


dalam Kumpulan Cerpen Soeharto dalam Cerpen Indonesia

Aspek Ke-Soeharto-an dalam Kumpulan Cerpen Soeharto dalam Cerpen Indonesia


28

tuk dilakukan. Hasil penafsiran tersebut dimasukkan dalam buku ini. Adanya
boleh jadi berbeda dengan penafsiran perbedaan penafsiran dalam sebuah
orang lain, misalnya editor kumpulan teks kesastraan haruslah disikapi seba-
cerpen ini yang mengatakan ada aspek gai sesuatu yang wajar.
ke-Soeharto-an di dalamnya sehingga

LITERA, Volume 4, Nomor 1, Januari 2005


29

b. Pengungkapan Aspek Ke-Soehar- 2. Pembahasan Hasil Penelitian


to-an dalam Kumpulan Cerpen a. Aspek Ke-Soeharto-an dalam
Soeharto dalam Cerpen Indonesia Kumpulan Cerpen Soeharto dalam
Pengungkapan aspek ke-Soeharto- Cerpen Indonesia
an dilakukan lewat beberapa cara, yaitu Ada banyak aspek yang diperguna-
parodial, ironi, sinisme, dan dialektikal. kan untuk mengungkap dan menunjuk-
Penggunaan keempat cara tersebut da- kan unsur ke-Soeharto-an yang terlihat
lam cerpen-cerpen yang dikaji tidak pada cerpen-cerpen yang dikumpulkan
sama frekuensi dan intensitasnya. Cara dalam buku Soeharto dalam Cerpen In-
yang paling banyak dipergunakan se- donesia tersebut. Soeharto yang dengan
cara berturut-turut adalah ironi, parodi- kekuasaannya membentang dalam seja-
al, sinisme, dan dialektis. Cerpen mana rah Indonesia sejak tahun 1966 sampai
saja yang mempergunakan satu atau be- dengan 1998 mempunyai daya tarik yang
berapa cara pengungkapan yang dimak- kuat untuk diungkap dan diangkat ke
sud termasuk frekuensi penggunaannya dalam teks-teks kesastraan. Kekuasaan
secara lengkap dapat dilihat pada Tabel Soeharto penuh dengan kontradiksi, pe-
3. nyalahgunaan kekuasaan, kesewenang-
an, represif, pelanggaran HAM berat,
maraknya praktik korupsi, kolusi, dan
nepotisme, dan paling mencolok adalah
pemerkayaan keluarga sendiri, namun
secara luar terkesan amat ramah, keba-

Tabel 2. Pemunculan Kategori Aspek Ke-Soeharto-an


dalam Soeharto dalam Cerpen Indonesia

Aspek Ke-Soeharto-an dalam Kumpulan Cerpen Soeharto dalam Cerpen Indonesia


30

pakan, dan familiar. kekuasaan, dan antikritik. Padahal, se-


Sebenarnya, pemerintahan Soeharto cara umum boleh dikatakan bahwa sas-
bukannya tanpa prestasi karena banyak tra justru lebih banyak menyuarakan
hal yang secara objektif bernilai positif sesuatu yang marginal, tertindas, ter-
bagi bangsa dan negara. Tetapi, yang gusur, menjadi korban, terlanggar hak-
muncul dan diangkat dalam karya sas- haknya, dan lain-lain yang bersifat tidak
tra lebih banyak menyangkut dan me- menyenangkan. Oleh karena itu, begitu
nyoroti hal-hal yang dipandang negatif Soeharto jatuh sesuatu yang sebelum-
karena lewat sastra itu para pengarang nya tidak terucapkan, kini dapat keluar
sekaligus menyampaikan kritik. Selain dengan bebas ibarat air bah dari sebuah
itu, hal ini tampaknya ada kaitannya bendungan bobol.
dengan unsur “balas dendam” para Aspek ke-Soeharto-an yang terli-
pengarang yang semula merasa di- hat meliputi banyak macam variannya
batasi kreativitasnya, sebagaimana yang (Tabel 1), dan secara substansial dapat
diungkapkan oleh Emha (via Faruk, dikategorikan ke dalam enam macam
1994: 49). Pemerintahan Soeharto penuh (Tabel 2). Aspek pertama, yang pemun-
penyimpangan dan penyalahgunaan culannya terbanyak kedua, adalah peng-

Tabel 3. Cara Pengungkapan Aspek Ke-Soeharto-an


dalam Kumpulan Cerpen Soeharto dalam Cerpen Indonesia

LITERA, Volume 4, Nomor 1, Januari 2005


31

gunaan bentuk personifikasi, baik yang Peang termangu-mangu di de-


menyangkut aspek fisik, karakter, pe- pan televisi, memperhatikan Ba-
namaan, maupun citraan yang lain. Pe- pak Presiden yang renyah ketika
munculannya dalam cerpen dapat salah menjawab pertanyaan-pertanyaan
satu atau beberapa varian sekaligus, petani, atau nelayan, atau orang­
misalnya aspek penamaan dan karakter orang cilik lainnya. Betapa menye-
atau fisik dan karakter. Pelukisan aspek- jukkan senyum itu. Arif. Penuh
aspek tersebut terlihat terang-terangan, pengayoman dan pengertian. Juga
atau tidak langsung, tetapi mudah dipa- saat Bapak Presiden menyerahkan
hami karena terdapat “kata-kata kunci” penghargaan Kalpataru yang disiar-
yang menunjukkan bahwa yang dimak- kan langsung televisi, Peang mem-
sud adalah Soeharto. Penggunaan ben- bayangkan kalau dirinya berada
tuk personifikasi Soeharto ditemukan di deretan orang­orang yang dapat
dalam cerpen-cerpen “Bapak Presiden penghargaan itu. Ia bayangkan na-
yang Terhormat”, “Bukan Titisan Se- manya dibacakan, ia bayangkan di-
mar”, “Kaki Druhun”, “Paman Gober”, rinya melangkah pelan dan Bapak
“Monolog Kesunyian”, dan lain-lain. Presiden menyambutnya dengan
Satu-satunya aspek ke-Soeharto- senyum ramah, menjabat tangan
an dalam wujud penamaan ditemukan dan menepuk-nepuk pundaknya.
dalam cerpen “Senotaphium” (Agus (Soeharto dalam Cerpen Indonesia,
Noor), yaitu yang memasang tokoh uta- 2001:11)
ma cerita Papa Hartanaga yang bertem-
pat tinggal di Jalan Canderanasia. Papa Maka, menjelang hari jadi desa
Hartanaga dapat dengan mudah dike- yang kelima puluh sekian, dikum-
nali sebagai nama samaran Soeharto, pulkanlah segenap dalang yang
dan itu diperkuat dengan latar tempat ada di seluruh desa, dan dikeluar-
tinggal di Jalan Cendana yang disamar- kanlah perintah untuk mencipta-
kan menjadi Jalan Canderanasia. Selain kan lakon: Titisan Kiai Semar. Ini
itu, juga disebut salah seorang nama menjadi proyek besar. Berhari-hari
jendralnya, yaitu Jenderal Wirenatopo- bersidang, para dalang itu ternyata
lus yang secara mudah dikenali sebagai belum juga menghasilkan lakon Tit-
Jenderal Wiranto, Menteri Pertahanan isan Kiai Semar.
dan Keamanan pada saat menjelang ke- (Soeharto dalam Cerpen Indonesia,
jatuhan Soeharto. Penggambaran tokoh 2001:57)
yang secara fisik dan karakter memper-
lihatkan sifat kebapakan, senyumnya Contoh kutipan cerpen pertama
yang khas, ramah, dan penuh kearifan, mengungkapkan Soeharto yang seorang
pengayoman, pengertian, dan berbagai presiden itu lewat angan tokoh Peang,
tingkah laku lain yang menunjukkan namun tidak secara jelas baik secara
bahwa itu Soeharto, misalnya dapat di- fisik maupun karakter menunjuk pada
lihat pada cerpen “Bapak Presiden yang diri Soeharto. Sebaliknya, pada kuti-
Terhormat” (Ages Noor) dan “Bukan pan cerpen yang kedua jatidiri Soeharto
Titisan Semar” (Bonari Nabonenar) se- hanya dapat dikenali lewat karaktemya
bagaimana terlihat dalam nukilan beri- yang menganggap dirinya sebagai titi-
kut. san Semar dan permintaannya kepada
para dalang untuk membuatkan lakon
wayang. Pada pertengahan tahun 1990-

Aspek Ke-Soeharto-an dalam Kumpulan Cerpen Soeharto dalam Cerpen Indonesia


32

an, tepatnya 1996, saat ulang tahun atau pemerintahan Soeharto secara te-
Negara Republik Indonesia yang ke- gas, terutama pada karya-karya yang
51, Presiden Soeharto meminta kepada ditulis sebelum kejatuhannya. Tetapi,
para dalang untuk menciptakan lakon pembaca akan segera mengerti bahwa
wayang kulit dengan cerita Semar Babar kondisi yang dimaksud adalah kondisi
Jati Diri (Nurgiyantoro, 1998:200). Jadi, pemerintahan Soeharto karena terdapat
peristiwa nyata tersebutlah yang diang- sejumlah “tanda” yang menunjukkan
kat ke dalam cerpen dengan mengganti ke arah itu secara jelas. Cerpen-cerpen
tokoh Soeharto menjadi Kepala Desa yang menampilkan hal-hal tersebut aan-
Kadhungmakmur. tara lain adalah “Menembak Banteng”,
Di samping tokoh Kepala Desa “Diam”, “Bukan Titisan Semar”, “Kaki
Kadhungmakmur tersebut, tokoh Kaki Druhun”, “Paman Gober”, “Monolog
Druhun dalam cerpen “Kaki Druhun” Kesunyian”, “Orang Besar”, dan lain-
(Bonari Nabonenar) juga merupakan lain.
personifikasi Soeharto baik dilihat dari Pada cerpen “Diam” (Moes Loin-
deskripsi fisik, karakter, maupun ling- dong) dikisahkan bahwa pada masa
kungan (la tar) yang digambarkannya. pemerintahan wayang, simbolisme
Misalnya, adanya kata-kata: “Gelar baru Soeharto, rakyat dipaksa untuk diam
pun diperolehnya: Pelopor Pembangunan menyaksikan kiprah pemerintahannya
Desa Kerebabar! Dan jangan lupa, sejak itu- dan tabu melontarkan kritik, dan jika
lah buki yang angker itu diberi nama: Bukit tidak diam tentu akan berakibat kurang
Druhun” (Soeharto dalam Cerpen Indone- menyenangkan. Maka, “diam menjadi
sia, 2001:67). Gelar itu analogi dengan kepatuhan sosial yang merata, disebar rata,
gelar yang diberikan kepada Soeharto, menjadi pemerataan keresahan.... Stabilitas
yaitu Bapak Pembangunan, sedang pe- kediaman harus dipertahankan demi keber-
namaan “Bukit Druhun” tersebut analo- hasilan dalang, melaksanakan pembangunan
gi dengan nama salah sebuah bukit di lakon” (Soeharto dalam Cerpen Indonesia,
Indonesia yang diberi nama Bukit Soe- 2001:27). Strategi politik “mendiamkan”
harto. rakyat adalah salah cara yang ditempuh
Aspek ke-Soeharto-an kedua yang oleh Soeharto untuk mencapai stabilitas
justru paling banyak ditemukan dalam nasional. Rakyat tidak diberi hak untuk
cerpen-cerpen yang diteliti adalah unsur bersuara secara berbeda, semua harus
strategi terutama yang berwujud strate- seragam demi keberhasilan pembangu-
gi politik, pemerintahan, dan manage- nan. Kemungkinan adanya perubahan
men ekonomi. Masa pemerintahan Soe- haruslah menunggu sekali dalam lima
harto yang selama 32 tahun dan penuh tahun, itu pun pada kenyataannya tidak
dengan langkah-langkah represif, oto- terjadi.
riter, pelaksanaan pemilu hanya bersifat Pemilu di Indonesia dilaksanakan
simbolistis daripada sebagai ekspresi lima tahun sekali, tetapi pelaksanaan
demokratis (Mcbeth & Vatikiotis, via pemilu sebagaimana dikemukakan
Baehaqi, 1999:5) yang hanya demi ke- di atas hanyalah pura­pra demokratis,
langsungan kekuasaan saja. Demikian bersifat simbolistik, dan hanya bertu-
juga masalah ekonomi yang hanya di- juan untuk melanggengkan kekuasaan.
kuasai oleh segelintir orang, yaitu kelu- Strategi politik untuk mempertahankan
arga dan kroninya. Kondisi tersebut di- kekuatan itu diungkap dan dipertan-
ungkap dalam cerpen-cerpen pada um- yakan dalam cerpen “Paman Gober”
umnya tidak menyebut nama Soeharto (Seno Gumira Adjidarma). “Memang,

LITERA, Volume 4, Nomor 1, Januari 2005


33

Paman Gober adalah ketua terlama per- kan segenap unggas? Terus terang,
kumpulan Unggas Kaya. Entah mengapa sebenarnya, sih, aku lebih suka
ia selalu terpilih kembali, meski pemilihan mengurus peternakan.
selalu berlangsung seolah-olah demokratis. (Soeharto dalam Cerpen Indonesia,
Begitu seringnya ia terpilih, sampai-sampai 2001:24)
seperti tidak ada talon yang lain lagi” (Soe-
harto dalam Cerpen Indonesia, 2001:22). Soeharto memang memiliki usaha
Pemilu yang menjadi sarana ekspresi pertanian, perkebunan, dan peternakan
demokratis rakyat tetapi dimanipulasi yang sering dibanggakannya, terutama
oleh Soeharto -yang diparodikan den- adalah peternakan sapi di Tapos. Tamu-
gan tokoh dunia bebek-kartun Paman tamu negara yang berkunjung ke Indo-
Gober ciptaan Walt Disney- merupakan nesia tidak jarang diajak untuk melihat
salah satu hal yang menarik dan banyak usaha peternakannya tersebut. Setelah
digugat di dunia nyata dan dijadikan Soeharto jatuh tanah yang dikuasai-
sindiran dan sinisme di dunia fiksi. nya untuk peternakan tersebut diminta
Soeharto sendiri bukannya tidak kembali oleh warga, para pemilik tanah
mengerti jika terdapat banyak orang sebelumnya, yang mengaku bahwa ta-
yang tidak lagi menyukai kepemimpi- nahnya diminta dengan paksa.
nannya dan menghendaki mundur Jati diri Seharto juga diungkap da-
dari kedudukan presiden, tetapi orang- lam strategi ekonomi terutama strate-
orang yang bersikap demikian akan gi untuk memperkaya keluarga dan
disingkirkannya. Sebaliknya, ia sering kroninya. Misalnya, masalah monopoli
berkelit bahwa dirinya masih dibutuh- perniagaan cengkeh (BPPC, Badan Pe-
kan rakyat, dan hasil pemilu itu yang di- nyangga Pemasaran Cengkeh) yang
jadikan bukti konkret legitimasi dirinya. dikelola oleh anak kesayangannya,
la bersikap munafik dengan merendah Tomy Soeharto. Para petani dibujuk
bahwa seandainya ada tokoh lain yang dan dipaksa hanya menjual cengkeh ke-
dapat menggantikannya, ia pun lebih pada BPPC dengan harga yang sangat
suka melakukan aktivitas lain. Hal ini murah, dan selanjutnya BPPC-lah yang
disindir secara sinis oleh Seno dalam menjual ke pabrik-pabrik rokok dengan
“Paman Gober”. harga yang tetap saja tinggi. Kebijakan
itu sangat merugikan petani, dan se-
“Paman Gober,” kata Donal baliknya semakin memperkaya Tomy,
suatu hari. “Mengapa Paman tidak tetapi rakyat tidak berani protes. Petani
mengundurkan diri saja, pergi ke yang tidak tahu dibujuk, seolah-olah
pertanian seperti Nenek, menyepi ditolong dan diberi jalan keluar yang
dan merenungkan arti hidup? Su- bagus dan menguntungkan. Hal itu di-
dah Waktunya Paman tidak terlibat ungkap dalam cerpen “Kaki Druhun”
lagi dengan urusan duniawi.” (Bonari Nabonenar): “... Tetapi jika nanti
“Lho, aku mau saja Donal. Aku benar-benar berhasil, dan kita panen, jangan
mau hidup jauh dari Kota Bebek jual Ice mana-mana basil panen kita. Hanya
ini. Memancing, main golf, makan itu syaratnya. Mengerti?” (Soeharto dalam
sayur asem, dan membuka butir- Cerpen Indonesia, 2001:66).
butir falsafah hidup bangsa bebek. Aspek ke-Soeharto-an selanjutnya
Tapi, apa mungkin aku menolak un- terlihat dalam hal situasi dan kondisi
tuk dicalonkan? Apa mungkin aku masyarakat baik semasa berkuasa, keti-
menolak kehormatan yang diberi- ka jatuh, maupun sesudah kejatuhannya.

Aspek Ke-Soeharto-an dalam Kumpulan Cerpen Soeharto dalam Cerpen Indonesia


34

Artinya, eksistensi Soeharto dalam karena itu, orang yang sudah jenuh
cerpen­cerpen yang bersangkutan dilihat dengan kondisi pemerintahan hanya
dari tanda-tanda yang terdapat di dalam menginginkan satu berita: kapan Paman
masyarakat. Tanda-tanda yang dimak- Gober (baca: Soeharto) meninggal. Beri-
sud dapat berwujud keadaan, sikap, pe- ta itu selalu ditunggu setiap pagi begitu
rilaku, dan tindakan masyarakat yang begitu mereka bangun tidur dan mem-
secara langsung atau tidak langsung baca koran.
berkaitan atau dapat dikaitkan dengan Kondisi diam dan tertekan terse-
Soeharto, baik semasa berkuasa, menje- but sangat kontras dengan keadaan
lang dan saat jatuh, serta masa sesudah masyarakat menjelang dan sesudah
kejatuhannya. Ada dua hal yang secara kejatuhan Soeharto. Masyarakat yang
mencolok menunjukkan perbedaan amat marah kepada Soeharto dan pe-
keadaan dan sikap masyarakat di antara merintahannya seolah­olah melakukan
ketiga masa tersebut yang berwujud balas dendam dengan berbuat apa saja
sikap, reaksi, perilaku, dan tindakan termasuk perilaku negatif. Keadaan
masyarakat. Keadaan itu pada umum- masyarakat itu ibarat bendungan jebol
nya juga terkait langsung dengan waktu yang kemudian melanda apa saja yang
penulisan cerpen tersebut, yaitu sebelum menghalangi. Pada intinya masyarakat
atau sesudah kejatuhan Soeharto. Cer- menginginkan kebebasan yang selama
pen-cerpen yang mengandung aspek- tiga dekade tersumbat, menginginkan
aspek tersebut antara lain “Bapak Presi- perubahan, dan reformasi di segala bi-
den yang Terhormat”, “Diam”, “Paman dang. Keadaan masyarakat yang paling
Gober”, “Celeng”, “Saran ‘Groot Ma- mencolok adalah adanya demonstrasi
joor’ Prakosa”, “Senotapium”, “Orang besar-besaran yang dipelopori oleh
Besar”, dan lain-lain. mahasiswa, demonstrasi yang semula
Keadaan masyarakat ketika Soehar- menuntut pengunduran Soeharto se-
to masih berkuasa digambarkan sebagai bagai presiden kemudian berkembang
sangat tertekan, tidak berani berbicara menjadi penuntutan dan pengadilan
sebab jika berbicara takut dituduh se- presiden Soeharto.
bagai subversif, hanya mampu menon- Aspek ke-Soeharto-an berikut yang
ton sang dalam pembangunan dengan terungkap dalam cerpen-cerpen itu
tidak berdaya, dan hanya bisa diam adalah latar baik latar tempat maupun
karena diam dianggap dapat mencip- waktu. Latar tempat adalah tempat
takan stabilitas diungkap dalam cerpen yang menunjukkan tempat kediaman
“Diam” (Moes Loindong). Masyarakat Soeharto baik secara eksplisit maupun
lebih memilih diam demi keselamatan implisit, sedang latar waktu adalah saat
diri, walau hal itu bertentangan de- yang menunjukkan atau dapat diidenti-
ngan kata hati, sambil menunggu ke- fikasi sebagai menunjukkan keberadaan
mungkinan adanya perubahan dalam Soeharto. Cerpen-cerpen yang men-
lima tahun sekali. Tetapi, perubahan itu gandung aspek ke-Soeharto-an kondisi
tidak pernah terjadi. Hal itu disebabkan, masyarakat baik sebelum, semasa, mau-
sebagaimana diungkap dalam cerpen pun setelah kejatuhan Soeharto diatas
“Paman Gober”, pemilu hanya bersifat dapat dipandang sebagai menunjuk-
pura-pura daripada betul-betul sebagai kan latar waktu keberadaan Soeharto.
pesta demokratis dalam arti yang sebe- Misalnya, cerpen-cerpen “Bapak Presi-
narnya dan lebih bertujuan untuk me- den yang Terhormat”, “Diam”, “Paman
langgengkan kekuasaan presiden. Oleh Gober”, “Celeng”, “Saran ‘Groot Ma-

LITERA, Volume 4, Nomor 1, Januari 2005


35

joor’ Prakosa”, “Senotaphium”, “Orang “Menembak Banteng” mengisahkan


Besar”, dan lain-lain. Selain menunjuk- Jendral Pumawirawan Basudewo yang
kan latar waktu cerpen “Celeng” dan mempunyai hobi berburu mendapat or-
“Senotaphium” sekaligus juga memper- der untuk menembak banteng dari men-
lihatkan latar tempat. teri negara urusan satwa liar di Taman
Cerpen “Celeng” (Agus Noor) meng- Nasional Ujung Kulon karena populasi
isahkan keresahan warga yang diteror banteng dinilai sudah terlalu banyak
oleh kemunculan celeng yang sering dan dikhawatirkan mengganggu eksis-
membunuh dengan menghisap darah tensi badak bercula satu. Setelah sehar-
bayi hingga mati kering. Masyarakat ian berburu banteng, di tengah hutan
kemudian memutuskan untuk membu- itu malam harinya Basudewo makan
runya. Karena dicegat dan dibubarkan daging panggang dengan nikmatnya
oleh aparat keamanan, mereka memi- dan anak buahnya pun bersuka ria. Jadi,
lih lewat gorong-gorong untuk terus para pemimpin itu di tempat yang tidak
memburu celeng dan sampailah di kota semestinya pun tetap saja menunjukkan
besar yang penuh beton yang ternyata gaya hidupnya yang mewah, padahal
adalah Jakarta. Saat itu di Jakarta ter- mereka baru saja membunuhi lawan-
jadi demonstrasi dan rombongan pem- lawan politiknya.
buru celeng termasuk yang dibubarkan. Dalam cerpen “Orang Besar” diki-
Rombongan yang tinggal 20 orang terus sahkan seorang warga desa yang kurang
memburu celeng yang baunya semakin mampu yang dikejar-kejar hutang, yaitu
terasa menyentuk hidung. Bau celeng Wasito, disanjung­sanjung di depan war-
tercium semakin keras dari sebuah ga kalurahan oleh Mulawarman yang
jalan, dan ketika nama jalan itu dibaca dulu pemah berhutang tiga ekor kamb-
ternyata berbunyi: Jalan cendana. Jalan ing untuk disembelih dalam proyek
Cendana adalah jalan tempat kediaman filmnya. Wasito yang semula bermak-
Soeharto. Jadi, bau celeng itu berasal sud menagih utang itu diancam Pak
dari kediaman Soeharto, dan saat itu Lurah agar tidak menemui Mulawar-
Soeharto baru panen demonstrasi. man karena kini is telah menjadi orang
Aspek ke-Soeharto-an dalam cer- besar dan bahkan menjadi calon bupati
pen-cerpen itu juga terungkap lewat di daerah itu sehingga ulah Wasito itu
gaya para pemimpin semasa Soeharto dapat mempermalukannya. Namun,
berkuasa. Gaya yang dimaksud dapat ternyata Mulawarman tidak memberi
berupa tingkah laku, tindakan, sikap uang kepada Wasito sehingga ketika
yang bergaya hidup mewah, berfoya­ Carik Dirgono datang menagih hutang,
foya, sok penting, beda antara apa Wasito tidak berani menemuinya lagi.
yang diucapkan dan apa yang dilaku- Tokoh Mulawarman adalah sebagian
kan, figur yang semestinya melayani gambaran pejabat yang turun ke daerah
masyarakat tetapi justru minta dilayani, dan dipuja-puja oleh rakyat, orang atau
dan lain-lain. Tingkah laku yang de- pejabat pemerintah memuji-memuji per-
mikian adalah pemandangan yang an rakyat secara munafik untuk kepent-
biasa dan mudah ditemukan pada saat ingannya sendiri, tetapi mereka rakyat
itu. Cerpen yang mengungkap aspek kecil itu tetap saja dilupakan. Lurah
ke-Soeharto-an lewat sikap dan gaya Desa dan Carik Dirgono adalah cermin
hidup para pemimpin tersebut adalah pejabat pemerintahan lebih rendah yang
“Menembak Banteng” (F. Rahadi) dan suka mencari muka kepada pejabat yang
“Orang Besar” (Jujur Prananto). Cerpen lebih tinggi untuk mencari selamat.

Aspek Ke-Soeharto-an dalam Kumpulan Cerpen Soeharto dalam Cerpen Indonesia


36

b. Pengungkapan Aspek Ke­Soeharto- Tokoh-tokoh cerpen yang secara


an dalam Kumpulan Cerpen Soe- jelas terlihat diparodikan dari Soeharto
harto dalam Cerpen Indonesia itu misalnya adalah tokoh Paman Gober
Sebagaimana terlihat pada Tabel 3, (“Paman Gober”, Seno Gumira Aji-
pengungkapan aspek ke-Soeharto-an darma), Kepala Desa Kadhungmakmur
dilakukan lewat beberapa cara, yaitu (“Bukan Titisan Semar”, Bonari Nab-
parodial, ironi, sinisme, dan dialektis. onenar), Kaki Druhun (“Kaki Druhun”,
Cara yang paling banyak dipergunakan Bonari Nabonenar), Jawad (“Monolog
secara berturut-turut adalah ironi, par- Kesunyian”, Indra Tranggono), Papa
odial, sinisme, dan dialektis. Namun, Hartanaga (“Senotaphium”, Agus
pada umumnya dalam satu cerpen da- Noor), dan lain-lain. Sebagai tokoh cer-
pat ditemukan lebih dari cara pengung- ita yang hidup dalam dunianya sendiri
kapan, misalnya cara parodial, ironi, tentu saja tidak semua jati diri tokoh-to-
dan sinisme sekaligus, atau yang lain, koh tersebut diparodikan dari Soeharto.
serta hanya satu cerpen yang diungka- Jati diri ke-Soeharto-an yang diparodi-
pan dengan cara, yaitu “Saran ‘Groot kan dalam diri para tokoh itu hanyalah
Majoor’ Prakosa” dengan cara dialektis. berupa aspek-aspek tertentu baik yang
Parodial adalah pengungkapan berupa tindakan, kata-kata, maupun
yang berintikan peniruan sesuatu dari aspek-aspek yang lain.
orang lain, misalnya berupa gaya, Tokoh Paman Gober dikisahkan se-
karakter tokoh, cara-cara seseorang bagai Ketua Perkumpulan Unggas Kaya
melakukan sesuatu, dan lain-lain. Itu- yang amat kaya dan berkuasa, tetapi
lah sebabnya di dalamnya peniruan itu pelit dan kejam. Tetapi, herannya ia
terkandung unsur pengulangan dari amat dicintai anak-anak sedunia. Orang
sesuatu yang ditirunya. Cara parodial yang berani mengecamnya justru tidak
dalam cerpen-cerpen dalam kumpulan mendapat simpati. Ia selalu mengan-
cerpen Soeharto dalam Cerpen Indonesia cam orang yang berani mengritiknya,
pada umumnya dimaksudkan untuk maka hampir tidak ada orang yang be-
menampilkan tokoh-tokoh cerita yang rani mengitik. Sudah berpuluh tahun ia
memparodikan Presiden Soeharto. Atau menjadi pemimpin negara, tetapi tidak
sebaliknya, Soeharto ditampilkan lewat ada yang dapat dan berani mengganti-
tokoh-tokoh cerita yang memparodikan kannya. Demokrasi berjalan, tetapi tidak
jati dirinya. Tingkah laku Soeharto yang memikirkan pimpinan karena memang
diparodikan itu dapat berwujud kara- hanya ada satu pimpinan. Setiap kali ter-
kter, tindakan, gaya bicara, tampilan pilih kembali, dengan berpura-pura ia
fisik, kata­katanya, dan lain-lain yang bi- menyesalkan mengapa tidak ada calon
asanya telah dikenal orang sebagai khas lain karena ia sudah amat tua. Ia bahkan
milik Soeharto. Namun, dalam konteks sudah menyiapkan istana tempat untuk
cerpen itu Soeharto yang diparodikan menguburnya kelak jika sudah mati.
itu sekaligus dalam pemaknaan ironis. Kisah tentang Paman Gober di atas,
Oleh karena itu, dalam kaitan ini Mar- walau berkisah di dunia unggas dan
garet Rose (via Makaryk, 1995: 604) se- dengan tokoh unggas pula, secara jelas
bagaimana dikemukakan, menyebut merupakan kisah Soeharto. Gambaran
parodi sebagai “transcontextualized rep- tokoh yang sebagai ketua perkumpulan
etition” yang di dalamnya terdapat aspek unggas, kaya dan amat berkuasa, kejam,
pengulangan intertekstual dan ironi. sudah berpuluh tahun menjadi kepala
negara, demokrasi semu, tidak ada

LITERA, Volume 4, Nomor 1, Januari 2005


37

orang yang berani mengritik, telah me- berwarna dasar kuning; para dhemit
nyiapkan kuburan, dan lain-lain adalah yang bertekad mengangkat Kaki Dru-
sebagian jati diri Soeharto. Jadi, walau hun adalah suara sebagian masyarakat
Paman Gober adalah tokoh unggas yang waktu itu yang berkebulatan tekad
bermain di dunia unggas, ia adalah per- mengangkat kembali Soeharto sebagai
sonifikasi dan sekaligus parodinya Soe- presiden yang kesekian.
harto. Cerpen ini syarat kritik, namun Tokoh Paman Gober dan Kaki Dru-
dengan mengambil tokoh binatang kri- hun, juga Kepala Desa Kadhungmak-
tik yang disampaikan terasa menjadi mur, memiliki kesamaan karakter dan
tidak terlalu vulgar walau masih mudah tingkah laku yang secara jelas dipar-
dikenali dan sasaran yang dituju. Hal ini odikan dari Soeharto. Ketiga tokoh ini
mengingat cerpen tersebut ditulis (1996) sama-sama seorang kepala, yaitu kepala
ketika Soeharto masih amat berkuasa. negara dan kepala desa. Ketiganya sa-
Jadi, unsur kehati-hatian masih dilaku- ma-sama ditakuti dan dibenci rakyat,
kan, dan Seno sendiri pada tulisan lain antikritik, dan selalu terpilih kembali
mengatakan bahwa ketika hati pers dan menjadi kepala pemerintahan. Paman
nurani dibungkam, maka cerita meru- Gober ditulis sebelum Soeharto jatuh,
pakan pilihan untuk berekspresi. sedang Kaki Druhun dan Kepala Desa
Tokoh Kaki Druhun juga merupa- Kadhungmakmur setelah kejatuhan
kan parodinya Soeharto. Kaki Druhun Soeharto, namun dalam hal parodi, iro-
dikisahkan sebagai tokoh yang sangat ni, dan nada sinisme yang dikandung-
terpandang di desa Kerebabar. Di desa nya kurang lebih sama.
itu terdapat bukit Druhun, sebuah nama Pengungkapan aspek ke-Soeharto-
yang diambil dari nama Kaki Druhun. an lewat ironi adalah cara yang paling
Ketika harga cengkeh naik, Kaki Dru- banyak ditemukan selain cara parodial
hun mengajak warga desa untuk mena- dan sinisme. Dalam banyak cerpen ketiga
nam cengkeh, tetapi hasil cengkehnya cara tersebut atau cara ironi dan sinisme
nanti harus dijual kepadanya. Suatu ditemukan secara bersamaan. Artinya,
ketika bukit itu terbakar habis dan yang dalam satu cerpen mengandung ketiga
tersisa tinggal pohon kemuning. Kaki atau kedua cara itu sekaligus. Cara par-
Druhun terkejut dan mencoba meman- odial yang memparodikan aspek ke-
jat bukit itu, tetapi jatuh dan tersangkut Soeharto-an dari segi yang negatif, pada
dahan pohon itu. Kini ia tinggal men- umumnya sekaligus terkandung unsur
jadi manusia tua yang rapuh. Orang- ironi dan bahkan sinisme sekaligus. Hal
orang yang semula membenci mulai itu misalnya terlihat dalam kutipan dari
berani bersuara dan menentang. Tetapi, cerpen “Bukan Titisan Semar” berikut.
para dhemit di bukit itu telah bertekad
bulat untuk mengangkat Kaki Druhun Maka Kepala Desa Kadhun-
menjadi raja dhemit. Gambaran jati gmakmur itu jadilah seorang
diri Kaki Druhun tersebut secara mu- pemimpim berwajah dewa; na-
dah dikenali sebagai sebagian dari jati mun sayangnya: berhati setan. Di
diri Soeharto. Penamaan Bukit Druhun mimbar­mimbar resmi, dia bisa
misalnya, adalah analogi dengan nama berkhotbah bak para dai. Di hada-
Bukit Soeharto; Kaki Druhun yang jatuh pan warga desa yang sedang ber-
tersangkut pohon kemuning adalah sedih, dia bisa menjadi penghibur.
simbolisasi kejatuhan Soeharto yang Dia bisa menjadi sangat dermawan,
masih terselamatkan oleh Golkar yang seperti halnya gembong lintah darat

Aspek Ke-Soeharto-an dalam Kumpulan Cerpen Soeharto dalam Cerpen Indonesia


38

yang tiba-tiba juga bisa menjadi yang ingin mereka ketahui Cuma
sangat dermawan, di hadapan para satu: apakah hari ini Paman Gober
wartawan dan kamera televisi. Pa- sudah mati. Setiap pagi mereka ber-
dahal, dia itu, tak kurang dan tak harap akan membaca berita kema-
lebih adalah bangsat! tian Paman Gober di halaman per-
Dengan otot-ototnya yang tama.
kekar, sesungguhnya dia teramat (Soeharto dalam Cerpen Indonesia,
lemah di hadapan wanita, terlebih 2001:25)
jika wanita itu adalah istrinya send-
iri. Dan di balik kedermawanannya, Pengungkapan dengan cara ironi
dia adalah seorang mahabajingan, dilakukan dengan menuturkan sesuatu
yang kadang membagikan secuil yang maknanya bertentangan atau tidak
dari hasil jarahannya kepada para ada kesesuaian antara apa yang dilaku-
korbannya. kan dan dikatakan dengan keadaan
Banyak warga desa yang me- yang sebenamya. Cara ini banyak diper-
nyadarinya, namun mereka masih gunakan dalam pengungkapan sesuatu
juga memaafkannya, karena se- dalam teks-teks kesastraan untuk men-
bagian besar di antara mereka telah dialogkan sesuatu dengan pembaca dan
pula termakan keyakinan bahwa dia pembaca pun dapat menerimanya den-
itu, Kepala Desa Kadhungmakmur, gan senyum-paham. Dengan demikian,
tak lain dan tak bukan adalah titisan dalam sebuah penuturan yang ironis
Kiai Semar. sekaligus terkandung kritik, kritik yang
(Soeharto dalam Cerpen disampaikan dengancara yang halus.
Indonesia,2001:56-7) Hal itu berbeda dengan cara sinisme,
yang dapat dipandang sebagai kelan-
Sinisme masyarakat akan “keaba- jutan ironi, yang mengandung kritik
dian” kepemimpinan Paman Gober, vulgar dan sarkastis sebagaimana di-
sedang mereka tidak berani bersuara, contohkan di atas. Dengan cara ironi
mengritik, apalagi menggugat, diwu- sesuatu yang dikritik terkesan lebih
judkan dengan penantian akan datang- “sopan” karena tidak secara langsung
nya kematiannya. Kematian paman menunjuk hidung. Namun, justru den-
Gober merupakan berita yang paling gan cara itu sesuatu yang sebenamya
ditunggu setiap hari. Hal itu adalah dimaksudkan akan memberikan kesan
bentuk sinisme yang paling memuncak yang lebih mendalam.
karena ekspresi yang lain dari warga Cerpen yang secara kuat mengung-
yang amat membenci tetapi tak berdaya kapkan sesuatu secara ironi adalah “Ba-
tidak lagi dimungkinkan. Jadi, yang ada pak Presiden yang Terhormat” (Agus
hanyalah menunggu, menunggu berita Noor) dan “Orang Besar” (Jujur Pranan-
kematian. Berita kematian adalah berita to). “Bapak Presiden yang Terhormat”
yang paling ditunggu. Sungguh, sebuah mengisahkan tokoh rakyat jelata, Peang,
ironi yang amat sinis. yang ingin mengadukan nasibnya yang
kena gusur di kampungnya kepada Ba-
Semua bebek menunggu kema- pak Presiden. Peang memperoleh gam-
tian paman Gober. Tiada lagi yang baran presiden sebagaimana yang ser-
bisa dilakukan selain menunggu- ing dilihatnya di televisi tetangga: tokoh
nunggu saat itu. Setiap kali pen- yang amat ramah, senyum yang me-
duduk Kota Bebek membuka koran, nyejukkan, kebapakan, yang mau men-

LITERA, Volume 4, Nomor 1, Januari 2005


39

jawab berbagai pertanyaan dan keluhan “Groot Majoor” Prakosa, seorang veter-
petani seperti dalam Klompencapir, an perang kemerdekaan. Mbah Prakosa
yang mempertemukan presiden den- kemudian bercerita seputar perang ke-
gan para petani seluruh tanah air, dan merdekaan yang intinya adalah perjuan-
lain-lain yang serba baik. Dengan citra gan yang akan dicapai harus dilakukan
seperti yang diperolehnya itu, Peang ya- berdasarkan cara-cara konstitusional,
kin Bapak Presiden pasti mau menerima bukan dengan cara liar. Segala sesuatu
aduannya lewat surat yang dibawanya. dapat dibicarakan, dimusyawarahkan
Tetapi, fakta menunjukkan lain. Ia mus- lewat sidang parlemen sehingga se-
tahil dapat menemuinya untuk mem- galanya mempunyai kerangka kerja
berikan surat. Semua orang sebenarnya yang jelas. Cerita Mbah Prakosa tersebut
sudah tahu hal itu, namun di sinilah sebenarnya berupa sindiran kepada para
letak ironinya. Gambaran yang tentang demonstran yang lebih mengutamakan
presiden yang diperolehnya lewat tele- gerakan “liar” dan mengesampingkan
visi itu sama sekali menyesatkan, tak cara-cara konstitusional, misalnya lewat
ada sama sekali senyum keramahan dan sidang istimewa DPR/MPR. Pada prin-
sikap kebapakan. Artinya, keadaan itu sipnya cara damai yang konstitusional
ironis sekali. mestinya yang diutamakan, bukan den-
Pengungkapan aspek ke­Soeharto- gan cara demonstrasi yang amat marak
an yang berikutnya adalah dengan cara saat menjelang kejatuhan Soeharto. Ma-
dialektis. Cara pengungkapan sesuatu hasiswa pendemo yang mendengarkan
lewat dialektis adalah cara yang intelek- cerita Mbah Prakosa pun mau mengerti.
tual, yaitu dengan menyodorkan per- Jadi, dengan berpikir secara dialektis itu
masalahan untuk dikemudian dipecah- berbagai persoalan dipikirkan penyele-
kan. Permasalahan yang dimaksud saiannya, termasuk penyelesaian peris-
diungkapkan lewat dialog atau cerita, tiwa Soeharto yang panen demonstrasi
lewat penalaran, dan kemudian menga- kala itu.
jak kita untuk memikirkan bagaimana
seharusnya menyikapi persoalan terse- D. Kesimpulan
but. Cara berpikir dialektis menurut (1) Dari ke-17 buah cerpen yang dimuat
Hegel misalnya, berpandangan bahwa dalam buku kumpulan cerpen Soe-
selalu ada pertentangan dari dua per- harto dalam Cerpen Indonesia, editor
soalan yang menimbulkan adanya hal M. Shoim Anwar (2001), ke-15 di
lain. Jadi, cara berpikir dialektis men- antaranya secara jelas mengandung
gandaikan adanya dua persoalan yang aspek ke-Soeharto-an, sedang dua
bertentangan untuk kemudian ditemu- buah yang lain kurang secara jelas
kan sesuatu yang dua hal tersebut. mengandung aspek tersebut. Pen-
Cerpen yang menampilkan cara gungkapan aspek ke-Soeharto-an,
dialektis hanya ditemukan dalam yang dimaksudkan sebagai hal­hal
“Saran ‘Groot Majoor’ Prakosa” (YB. yang menunjukkan jati diri Soehar-
Mangunwijaya). Cerpen ini mengisah- to, dalam cerpen-cerpen itu ditemu-
kan perjuangan para mahasiswa yang kan lewat berbagai hal, yaitu lewat:
berdemonstrasi menuntut turunnya (i) bentuk personifikasi baik secara
Soeharto dari kekuasaannya dan mer- fisik, karakter, maupun tingkah laku
eka dikejar-kejar aparat keamanan. Da- verbal dan nonverbal, (ii) strategi
lam pelarian menghindari aparat para pemerintahan dan perekonomian,
demonstran bersembunyi di rumah atau berbagai kebijakan semasa

Aspek Ke-Soeharto-an dalam Kumpulan Cerpen Soeharto dalam Cerpen Indonesia


40

pemerintahan Soeharto, (iii) kon- cara dalam mengungkapkan jati diri


disi dan sikap masyarakat semasa ke­-Soeharto-an itu, dan yang paling
berkuasa, menjelang, dan sesudah banyak adalah cara parodial, ironi,
kejatuhan Soeharto yang berwujud dan sinisme tersebut. Pengungka-
berbagai perilaku dan tindakan ter- pan dengan cara dialektis yang di-
tentu yang mereaksi Soeharto, (iv) lakukan secara lebih intelektual dan
latar tempat dan waktu yang ada mengajak kita untuk berpikir hanya
kaitannya dengan (kekuasaan) Soe- ditemukan dalam satu cerpen.
harto, (v) partai, yaitu partai yang
menjadi alat Soeharto untuk selalu Daftar Pustaka
berkuasa, dan (vi) gaya dan sikap Baehaqi, Imam (Penyunting). 1999. Soe-
hidup para pejabat semasa Soehar- harto Lengser, Perspektif Luar Negeri.
to. Pada umumnya cerpen-cerpen Yogyakarta: LKiS.
itu tidak menyebut nama Soeharto Chapman, Seymour. 1980. Story and Dis-
secara langsung, melainkan “han- course, Narrative Structure in Fiction
ya” lewat aspek-aspek tersebut atau and Film. Itacha: Cornell University
simbol-simbol tertentu, tetapi gam- Press.
baran yang terungkap secara jelas Faruk. 1994. Pengantar Sosiologi Sastra,
dan mudah dikenali sebagai jati diri dari Strukturalisme Genetik sampai
Soeharto. Post-Modernisme. Yogyakarta: Pus-
(2) Pengungkapan aspek ke-Soeharto-an taka Pelajar.
dalam cerpen-cerpen tersebut di- Hasanudin WS. 1998. “Pengaruh Mitos
lakukan dengan cara-cara yang ber- dalam Karya Sastra Indonesia Mo-
variasi, dan cara-cara yang ditemu- dern Warna Lokal Minangkabau”,
kan adalah lewat parodi, ironi, dalam Humanus, Vol.1, No.1, hlm.
sinisme, dan dialektikal. Pengung- 1- 12.
kapan lewat tokoh-tokoh tertentu Leech, Geoffrey N. dan Michael H. short.
yang memparodikan Soeharto terli- 1984. Style in Fiction, a Linguistic In-
hat paling jelas dan mudah dikena- troduction to English Fictional Prose.
li, dan sekaligus juga mengandung London: Longman.
cara ironi dan sinisme. Pengungka- Makaryk, Irena R. (ed). 1995. Encyclope-
pan dengan cara ironi yang banyak dia of Contemporary Literary Theory,
ditemukan dalam cerpen-cerpen itu, Approaches, Scholars, Terms. Toronto:
dan lewat cara ini unsur kritik yang University of Toronto Press.
ingin disampaikan terlihat men- Nurgiyantoro, Burhan. 2002. Transfor-
jadi lebih halus dan terkesan lebih masi Unsur Pewayangan dalam Fiksi
“sopan”. Hal itu berbeda dengan Karya Indonesia. Yogyakarta: Gadjah
cara sinisme yang mengritik, atau Mada University Press.
bahkan menghujat, yang terkesan
lebih vulgar dan terang-terangan.
Hal itu bisa jadi merupakan refleksi
keterkekangan para penulis selama
ini untuk berekspresi yang kini
merasa bebas untuk mengungkap-
kan apa saja tanpa takut ditangkap.
Namun, pada umumnya dalam satu
cerpen ditemukan lebih dari satu

LITERA, Volume 4, Nomor 1, Januari 2005

You might also like