Download as pdf or txt
Download as pdf or txt
You are on page 1of 13

Sugeng Priyadi, Konflik SosialHUMANIORA

Tabu Nikah pada Masyarakat Perdesaan di Purbalingga dan Banyumas

VOLUME 18 No. 2 Juni 2006 Halaman 165 - 177

KONFLIK SOSIAL TABU NIKAH PADA MASYARAKAT


PERDESAAN DI PURBALINGGA DAN BANYUMAS
Sugeng Priyadi*

ABSTRACT
This study is aimed at discovering the social conflicts which the community experienced leading to
the marriage taboo. The study employs the historical method combined with the folklore and philologi-
cal method. The two later methods are applied to provide the historical sources contained in the texts
and folklores. Then, the historical method is taken to produce a historiography work, i.e. the cultural
history or the intellectual history in the local range of Purbalingga and Banyumas.
The results of study show that the marriage taboo in the rural community of Purbalingga and
Banyumas indicates the phenomenon of plural socio-culture laid on socio-political legitimate. The mar-
riage taboos are inflicted by social conflict as the manifestation of incest marriage, social rivalry, and
legitimate battle. In those conflicts, the communities of Onje, of Banjaranyar, and of Raden Kaligenteng
are the troublemakers. In addition, the communities of Sambeng Kulon, of Sambeng Wetan, of Jompo
Kulon, and of Jompo Wetan can also be categorized into the troublemaker, since they are involved in the
internal conflict, leaving them broken into parts. The marriage taboos indicate something that can be
understood as the shift of cosmos into chaos. The chaotic situation is dominant, for the shift has not
resulted in a new cosmos, i.e. it is always in the liminal or threshold position.

Key words: taboos, liminal, folklore, and conflict.

PENGANTAR Penelitian ini difokuskan kepada masalah


Banyaknya kasus tabu nikah antar- konflik-konflik sosial tabu nikah yang berlaku
penduduk desa yang tampak pada karya-karya di desa Onje-Cipaku, Kecamatan Mrebet,
historiografi tradisional ataupun folklor yang Kabupaten Purbalingga; desa Banjaranyar
masih berlaku hingga hari ini di perdesaan (Kecamatan Sokaraja)-desa Sambeng dan
Purbalingga dan Banyumas sebagian besar Kramat (Kecamatan Kembaran) dan Jompo
berkaitan dengan peristiwa konflik-konflik sosial Kulon (Kecamatan Sokaraja), Kabupaten
yang terjadi pada masa lampau. Tabu nikah Banyumas; serta wilayah yang lebih luas
merupakan pantangan yang memberlakukan cakupannya, yaitu Purbalingga-Banyumas
anggota masyarakat sebuah desa untuk tidak (Sokaraja) sebagaimana dituturkan dalam teks
melakukan hubungan pernikahan sehubungan Babad Purbalingga-Sokaraja atau Babad
dengan sumpah atau pernyataan nenek Kaligenteng beserta dengan versi-versi
moyangnya sebagai akibat perbedaan lisannya. Penelitian ini menggunakan sumber
kepentingan. Tabu itu sendiri merupakan konflik yang berupa naskah dari Museum Sono
yang tidak berbau kekerasan sosial. Budoyo Yogyakarta dan lokal seperti Babad

* Staf Pengajar Program Studi Sejarah, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Muhammadiyah
Purwokerto

165
Humaniora, Vol. 18, No. 2 Juni 2006: 165−177

Banyumas, Babad Onje, Babad Purbalingga, tersebut tidak berupa tabu nikah seperti yang
Serat Sejarah Rupi Onje, Babad Purbalingga- akan dibahas dalam tulisan ini.
Sokaraja, dan sumber folklor yang terdapat Konflik-konflik sosial yang terjadi pada
pada masyarakat perdesaan di Kabupaten masyarakat perdesaan di Purbalingga dan
Purbalingga dan Banyumas yang terletak di Banyumas yang masih memegang dengan
sebelah utara Sungai Serayu. teguh kepercayaan terhadap tabu pada intinya
Penelitian ini diharapkan dapat menjelaskan termasuk dalam kategori konflik yang bersifat
kasus konflik-konflik sosial tabu nikah yang terjadi destruktif. Konflik jenis ini merupakan konflik
sebagai salah satu perilaku sosial pada yang muncul karena perasaan benci dari suatu
masyarakat perdesaan Purbalingga dan komunitas atau masyarakat yang satu ter-
Banyumas. Penelitian ini merupakan penelitian hadap masyarakat yang lain. Rasa benci itu
kebudayaan di tingkat lokal Karesidenan timbul di kalangan tertentu karena adanya
Banyumas, khususnya Kabupaten Purbalingga berbagai perbedaan yang mencolok (Soetrisno
dan Banyumas. Penelitian kebudayaan dapat 2003:16-17) seperti kekayaan, status sosial,
menghasilkan gambaran mengenai budaya lokal rasa superior, rasa inferior, atau pihak tertentu
yang di dalamnya mengandung kearifan lokal merasa diperlakukan tidak senonoh oleh pihak
sehingga dapat disusun suatu karya sejarah, yaitu lain. Ada kalanya pihak tertentu itu menjadi
sejarah kebudayaan lokal Banyumas dan korban kekerasan fisik yang lebih bersifat indi-
selanjutnya ditulis sejarah pemikiran lokal vidual sehingga mereka merasa dirugikan.
Banyumas. Penelitian ini, sebagai perintisan Misalnya, ada pihak yang merasa kehilangan
dalam penelitian sejarah kebudayaan lokal dan harta benda akibat konflik fisik, atau ada korban
sejarah pemikiran lokal di Banyumas, akan jiwa yang jatuh yang diakibatkan oleh peristiwa
memberi sumbangan bagi penelitian sejarah kekerasan sehingga konflik yang bersifat
lokal Banyumas yang komprehensif karena destruktif itu akan berlanjut secara terus-
penelitian sejarah lokal tanpa penanganan terus- menerus sepanjang masa hingga sekarang
menerus tidak mungkin cita-cita tersebut dapat meskipun masyarakat yang menjadi pewaris
dicapai. Cita-cita yang lebih tinggi dari sekedar konflik itu tidak lagi menyadari akar per-
penelitian sejarah lokal adalah sumbangan yang masalahannya, atau mereka sadar, tetapi
diberikan bagi penelitian sejarah Indonesia yang mereka takut untuk melanggar tabu nikah
masih cenderung sebagai hasil penelitian sejarah sebagai hasil konflik yang destruktif itu.
Jawa. Diharapkan juga bahwa penelitian- Di mulut mereka memang sering meluncur
penelitian sejenis ini dilakukan oleh para peneliti rasa ketidakpercayaan terhadap tabu nikah,
lain di lokal lain, khususnya di luar Pulau Jawa, tetapi hati mereka sering juga tersugesti oleh tabu
agar sejarah Indonesia benar-benar mencirikan nikah tersebut sehingga mereka berada pada
keindonesiaan yang sesungguhnya. Artinya, kedudukan ambang yang serba meragukan.
sejarah Indonesia tidak identik dengan sejarah Artinya, mereka merasa antara percaya dengan
Jawa di mata masyarakat Indonesia seluruhnya. tidak percaya. Namun, secara perlahan-lahan,
Penelitian tentang kasus konflik-konflik mereka yang berada di posisi ambang itu
sosial tabu nikah di Purbalingga dan cenderung bergeser ke arah rasa percaya
Banyumas belum dilakukan. Priyadi (2001a dan meskipun tanpa mereka sadari. Tampaknya, tabu
2001b) membahas tabu nikah antara nikah itu memang menjadi beban psikologis yang
masyarakat Wirasaba dengan Toyareka di tidak pernah berakhir di kalangan masyarakat
Purbalingga yang difokuskan pada makna tabu yang terlibat konflik destruktif itu sehingga mereka
nikah yang diakui oleh masyarakat Banyumas lebih baik menghindari persoalan. Dengan kata
sebagai suatu simbol. Pada tulisan yang kedua lain, mereka memutuskan lebih baik untuk tidak
dibahas beberapa pantangan yang terkait melanggar tabu tersebut. Keputusan untuk tidak
dengan leluhur Banyumas, tetapi tabu-tabu melanggar tabu pada hakikatnya juga merupakan

166
Sugeng Priyadi, Konflik Sosial Tabu Nikah pada Masyarakat Perdesaan di Purbalingga dan Banyumas

sikap yang mencirikan antikonflik agar konflik yang lebih mengerucut pada perbedaan status
destruktif yang terjadi pada masa lalu itu tidak sosial, perbedaan penafsiran terhadap etika,
terulang lagi sebab jika ada seorang pemuda yang perbedaan perilaku, dan perbedaan ke-
berkeinginan menyunting seorang gadis yang pentingan politis. Di sini tidak ada fenomena
berasal dari masyarakat yang terlibat tabu, perang antardesa. Sementara itu, pihak-pihak
maka akan muncul reaksi keras dari orang- yang terlibat konflik juga hanya pada kalangan
orang tua mereka. Akibatnya, timbul konflik antara tertentu saja (pation) sehingga kedua pihak
orang tua dan anak. Konflik ini merupakan konflik dapat dianggap sebagai kelompok konflik
internal yang merenggangkan hubungan antara potensial. Namun, dalam perkembangan se-
si pemuda dan si gadis sehingga perkawinan lanjutnya, masing-masing kelompok tersebut
yang mereka mimpikan tidak terlaksana. akan didukung oleh anggota masyarakat atau
Relasi atau hubungan antara pihak-pihak anggota keluarganya (klien) sehingga
yang terlibat konflik pada dasarnya dapat meskipun tidak terorganisasi secara rapi dan
dijelaskan dalam dua tipe, yaitu tipe su- hanya diamini oleh para pendukungnya, kedua
perordinasi dan subordinasi. Tipe yang pertama kelompok tersebut dapat disebut sebagai
menjelaskan relasi antara atasan dengan kelompok konflik aktual. Realitas itulah yang
bawahan, sedangkan tipe yang kedua tampak pada kasus-kasus tabu nikah yang
menerangkan relasi bawahan dengan atasan terjadi dan sampai hari ini masih berlaku atau
(Veeger 1986:215). Tipe superordinasi terwarisi pada masyarakat perdesaan
memang seolah-olah menunjukkan bahwa ada Purbalingga dan Banyumas.
pihak yang berkuasa dan ada pihak yang Penelitian ini ditempuh dengan metode
dikuasai. Pengertian tersebut kiranya terlalu sejarah yang dikombinasikan dengan metode
kaku karena tipe superordinasi dapat saja filologi dan metode penelitian folklor. Metode
diartikan sebagai hubungan antara seseorang filologi dan folklor dipakai di sini karena kedua
yang merasa lebih tinggi derajatnya dengan ilmu tersebut dimanfaatkan sebagai ilmu bantu
orang derajatnya direndahkan atau ada pihak- dalam penelitian sejarah, khususnya kasus
pihak yang merasa superior dan ada pula yang konflik-konflik sosial tabu nikah di perdesaan
merasa inferior atau sebaliknya seperti yang Purbalingga dan Banyumas. Kedua metode
terjadi pada tipe subordinasi. Jika pengertian tersebut dipakai untuk menyediakan data atau
ini dapat diteri-ma, tidak hanya dalam konteks sumber sejarah yang terkandung dalam
kekuasaan atau politik saja tipe superordinasi naskah dan folklor. Sebelum data atau sumber
dan tipe subordinasi muncul seperti yang itu siap pakai, kedua metode itu penting
ditengarai oleh Dahrendrof (Veeger 1986:214). dilakukan. Metode filologi ditempuh karena
Kedua tipe tersebut dapat menyangkut di subjek penelitiannya adalah naskah. Ada enam
berbagai bidang seperti masalah sosial, langkah yang perlu dilakukan dalam penelitian
ekonomi, religi, ilmu pengetahuan, seni, filologi, yaitu (1) inventarisasi naskah, (2)
bahasa, etika, hukum, dan lain-lain. deskripsi naskah, (3) perbandingan teks, (4)
Peneliti setuju bahwa faktor lain yang dasar-dasar penentuan naskah yang akan
penting dalam relasi antara pihak-pihak yang ditransliterasi, (5) singkatan teks, dan (6)
terlibat konflik adalah masalah perbedaan transliterasi naskah (Djamaris 1977:23-24).
kepentingan antara mempertahankan status Enam langkah tersebut merupakan kerja
quo dengan perlunya perubahan (evolusi) atau filologi yang harus dilakukan sebelum dilan-
perombakan total (revolusi). Kedua ke- jutkan dengan analisis teks. Selain itu, karena
pentingan ini cenderung bersifat antagonistis data-data yang dikumpulkan berbentuk folklor,
dan kontradiktoris (Veeger 1986:216) yang metode pengumpulan folklor yang dikem-
dapat diakhiri dengan konflik sosial. Pada bangkan oleh Danandjaja (1985a:1-21; 1985b)
kasus tabu nikah ini, perbedaan kepentingan dapat diterapkan. Informan kunci yang harus

167
Humaniora, Vol. 18, No. 2 Juni 2006: 165−177

ditemukan adalah para pewaris aktif folklor dan nikah yang terdapat pada masyarakat per-
bukan para pewaris pasif folklor. Setelah para desaan di Purbalingga dan Banyumas, kritik
pewaris aktif ditemukan, dilakukan wawancara teks lebih dipertajam sehingga interpretasi yang
dengan dua cara, yaitu wawancara tidak dihasilkan pada langkah yang ketiga ini lebih
terarah dan wawancara terarah (Danandjaja maksimal. Tujuan penelitian tersebut berkisar
1984:187). Setiap kali wawancara, peneliti pada sejarah intelektual yang termasuk pada
harus mencatat identitas pewaris aktif yang terdiri kawasan sejarah ide-ide. Oleh karena itu, pada
dari nama, usia, jenis kelamin, pekerjaan, suku langkah interpretasi terhadap fenomena
bangsa, tempat lahir, bahasa yang dikuasai, sejarahnya, khususnya mentifact diperlukan
tempat wawancara, dan tanggal wawancara pengetahuan yang mendalam tentang latar
(Danandjaja 1984:217). Untuk keperluan belakang sosial-budaya masyarakat
penelitian, catatan lapangan (field notes) atau Purbalingga dan Banyumas karena karya
rekaman tape recorder yang berupa hasil historiografi tradisional sering cenderung
wawancara harus diubah ke dalam bentuk mengaburkan dua macam realitas sejarah,
tertulis atau ditranskripsikan. Hal ini dilakukan yaitu realitas yang objektif terjadi dan realitas
karena akan mempermudah kerja peneliti yang riil dalam diri. Yang pertama adalah fakta
selanjutnya. Selanjutnya, kritik yang dilakukan yang merupakan pengalaman yang aktual,
pada sumber-sumber folklor ditempuh dengan sedangkan yang kedua adalah fakta yang
melakukan penentuan ciri-ciri umum atau berupa penghayatan kultural kolektif (Abdullah
sistem, yakni metode komparatif dengan cara 1985:22-23). Penghayatan kultural kolektif
mengklasifikasikan folklor yang telah di- menjadi penting manakala peneliti berusaha
kumpulkan. Dengan demikian, metode folklor memahami makna karena setiap peristiwa itu
memberikan sumbangan bagi penelitian ini selalu dimaknai oleh masyarakat sehingga
berupa “fakta-fakta sementara” pada sumber terjalin menjadi pandangan dunia yang utuh
folklor yang perlu mendapat kritik ekstern dan (Abdullah 1985:24). Pemaknaan terhadap
kritik intern pada metode sejarah. suatu peristiwa itulah yang dimengerti dan
Metode sejarah terdiri atas empat langkah, dipahami oleh masyarakat sebagai suatu
yaitu (1) heuristik, (2) kritik (verifikasi), (3) realitas yang baru sehingga dapat terjadi
interpretasi (penafsiran), dan (4) historiografi perubahan bentuk (metamorfose) peristiwa,
(penelitian sejarah) (Notosusanto 1978: 35-43 nilai, dan tokoh (bdk. van Peursen 1990:58).
bdk. Gottschalk 1983:34; Kuntowijoyo 1995:89- Di sini dapat terjadi proses personifikasi, yaitu
105). Melalui metode sejarah akan dihasilkan perubahan dari ide, nilai, dan norma menjadi
karya historiografi yang berupa sejarah tokoh historis (Abdullah 1985:26) atau
kebudayaan atau sejarah intelektual di tingkat sebaliknya terjadi depersonifikasi dari tokoh
lokal Purbalingga dan Banyumas. Langkah sejarah menjadi ide, nilai, dan norma. Se-
heuristik (pengumpulan sumber) sudah lanjutnya, hasil interpretasi tersebut disajikan
dilakukan pada penelitian filologi dan folklor pada langkah terakhir, yakni historiografi berupa
yang menghasilkan data sejarah berupa sejarah kebudayaan atau sejarah intelektual di
legenda. Begitu pula dengan langkah kritik yang tingkat lokal Purbalingga Banyumas.
terdiri atas kritik ekstern dan kritik intern. Kritik
ekstern telah dilakukan ketika peneliti ONJE DAB CIPAKU
mendeskripsikan naskah, sedangkan kritik in- Konflik sosial yang menyangkut masya-
tern ketika peneliti melaksanakan kritik teks. rakat desa Onje dan Cipaku menjadi pusat
Dengan demikian, telah didapatkan fakta yang perhatian munculnya tabu nikah. Namun, agak
berupa fakta mental atau kejiwaan (mentifact). aneh konflik Onje-Cipaku itu tidak terjadi hal
Karena tujuan penelitian ini berusaha untuk yang sama dengan Medang atau Pasirluhur.
mengungkapkan konflik-konflik sosial tabu Konflik Onje-Cipaku mencerminkan peristiwa

168
Sugeng Priyadi, Konflik Sosial Tabu Nikah pada Masyarakat Perdesaan di Purbalingga dan Banyumas

kekerasan yang menimpa Putri Cipaku. Konflik baru” sehingga ada perubahan pola perilaku
Onje-Cipaku menggambarkan konflik antara karena dahulu ia tidak menjadi apa-apa dan
ketidakteraturan melawan keteraturan. sekarang ia menjadi penguasa. Perubahan itu
Tampaknya Onje berada di atas angin. Pi-hak juga mewarnai perilaku keturunannya sehingga
Onje dapat memaksakan kehendaknya dengan wajar jika Adipati Onje merasa sok berkuasa,
dikawininya Putri Cipaku oleh Adi-pati Onje. sok hebat, dan lain-lain. Perilaku adigang-
Perkawinan itu jelas telah membalikkan posisi adigung-adiguna itu-lah yang merusak tatanan
yang seharusnya tidak boleh terjadi. Cipaku lama yang berlaku di Cipaku dan sekitarnya.
harus dalam posisi pria (maskulin), sedangkan Onje adalah perempuan dan bukan laki-laki
Onje itu perempuan (feminin). Hal itu memang sejak dahulu. Artinya, Onje adalah pihak
sudah ditegaskan pada nama Cipaku dan Onje pemberi wanita kepada pria Cipaku dan Cipaku
sehingga orang menafsirkan bahwa ada suatu memberikan wanitanya kepada pihak lain,
yang salah dengan nama itu, atau ada kontro- bukan kepada Onje. Namun, Onje adalah
versi yang seharusnya kedudukan Onje itu pelanggar tatanan lama sehingga muncul
diperankan oleh Cipaku atau sebaliknya konflik sosial sebagai reaksi terhadap feno-
kedudukan Cipaku digantikan oleh Onje. mena ketidakteraturan tersebut. Pada
Namun, tradisi konflik Onje-Cipaku tidak boleh hakikatnya, konflik Onje-Cipaku adalah konflik
diubah atau dibalik seenaknya karena masya- antara ketidakteraturan melawan keteraturan.
rakat sudah memiliki label yang menguatkan Orang dapat memandang bahwa peristiwa
hubungan antara Onje dan Cipaku. Jadi, peran tabu nikah itu sesuatu yang disakralkan
Onje tidak mungkin digantikan oleh Cipaku atau sehingga orang-orang dari kedua belah pihak
sebaliknya. Pengetahuan mengenai relasi tidak berani menentangnya karena mereka
keduanya sudah final, artinya masyarakat dari mengalami ketakutan yang dilandasi oleh
kedua belah pihak sudah menerima peran peristiwa ketidakteraturan.
mereka masing-masing meskipun peran itu Orang-orang dari Onje dan Cipaku ingin
menunjukkan fenomena ketidakteraturan. hidup dalam keteraturan dan tidak ada perasaan
Konflik Onje-Cipaku tidak mungkin dapat yang selalu menghimpit pikiran dan hatinya
dipahami orang dalam konteks lain, selain karena hal itu dapat menciptakan rasa sugesti
ketidakteraturan karena justru dengan konteks yang terlalu besar. Sugesti itulah yang justru
tersebut orang dapat melihat bahwa jati diri menjadikan apa yang disebut dengan
Onje dan Cipaku dapat dikenali dengan baik. kemalangan oleh mereka sebagai akibat dari
Dalam konflik, Onje cenderung me- pelanggaran yang mereka lakukan terhadap tabu
nonjolkan diri sebagai pihak yang berada pada nikah. Konflik Onje-Cipaku berlanjut dengan
posisi superordinasi terhadap Cipaku konflik-konflik sosial yang lain seperti Raja
meskipun seharusnya Cipaku yang berposisi Namrut (mengaku keturunan Adipati Onje)
super-ordinasi. Karakter orang Onje dan dengan Mangkurat Amral dan Pangeran Puger,
Cipaku memang berbeda. Cipaku adalah Putri Onje dengan Raden Ayu Kepugeran (putri
masyarakat yang sudah sangat teratur dalam Pangeran Puger, istri Sunan Mangkurat Mas),
sistem kehidupan sosial mereka. Keberadaan dan Arsayuda (Dipayuda III, mengaku keturunan
sebuah pra-sasti dan peninggalan sejarah dari Onje) dengan keturunan Ngabehi Dipayuda I
masa klasik (Hindu-Buddha) sudah me- (Dipayuda Banjarnegara atau keluarga
nunjukkan bahwa Cipaku adalah masyarakat Dipamenggala). Konflik Onje-Cipaku rupanya
kuna, bahkan sangat kuna. Mereka biasa hidup menjadi model bahwa keturunan Onje di mana
dengan sistem sosial yang teratur. Sebaliknya, pun selalu terkait dengan peristiwa konflik.
Onje adalah masyarakat baru yang muncul Teks Babad Purbalingga yang menyebut
pada masa Kesultanan Pajang. Tampilnya nama Raja Namrut sebagai keturunan Adipati
Pajang adalah munculnya “orang berkuasa Onje melakukan pemberontakan terhadap raja

169
Humaniora, Vol. 18, No. 2 Juni 2006: 165−177

Mataram yang akhirnya dihancurkan oleh (Behrend 1990:77-78). Pengakuan lokal


Mangkurat Amral. Nama Raja Namrut tersebut turut secara langsung melegitima-
memang termuat dalam teks Babad Tanah sikan bahwa Onje adalah salah satu sumber
Jawi yang ditafsirkan oleh De Graaf (1989:6- konflik sosial di Purbalingga.
7) sebagai kepala laskar Makassar yang Putri Onje dalam teks Babad Tanah Jawi
bersama gerombolannya melakukan disebut-sebut sebagai salah seorang selir raja
pengacauan di Banyumas. Jadi, Namrut Mataram, Mangkurat III atau yang terkenal juga
menurut konteks tersebut bukan orang lokal dengan Mangkurat Mas. Kedudukan selir putri
keturunan Onje. Babad Tanah Jawi sendiri dari Onje oleh teks Babad Tanah Jawi menjadi
tidak menceritakan asal-usul Namrut dan salah seorang yang menyebabkan putri
hanya menyebut tempat atau benteng Slinga Pangeran Puger yang berkedudukan sebagai
di Purbalingga sebagai pusat kekuasaannya. istri utama merasa tersaingi sehingga ia pulang
Penafsiran De Graaf barangkali di- ke rumah orang tuanya. Tindakan putri
sebabkan bahwa para pemberontak selalu Kapugeran itu ternyata juga tidak menjadikan
diidentikkan dengan orang-orang Makassar suaminya sadar, bahkan ada kecenderungan
atau Bugis. Identitas Namrut dalam teks Babad mengacuhkannya. Mangkurat Amral sa-ngat
Purbalingga dijelaskan bahwa ia adalah cucu prihatin atas perilaku anaknya, Pangeran Adipati
Adipati Onje yang telah membunuh dua orang Anom (Olthof 1941:247-248). Pa-dahal, Raden
istrinya. Namrut berasal dari jalur Putri Medang Ayu wajahnya sangat cantik, tetapi kalah dalam
yang dikatakan sebagai istri tua. Ketika ibunya memperebutkan cinta kasih Pangeran Adipati
meninggal, anak perempuan Adipati Onje itu Anom. Jadi, telah terjadi persaingan di antara
masih berumur 4 tahun yang diserahkan gadis Onje dengan Raden Ayu. Gadis Onje
pengasuhannya kepada seorang dalang ternyata berhasil menggeser kedudukan
wayang golek. Dalang tersebut adalah abdi Raden Ayu. Raden Ayu yang merasa tersisih
dalem Adipati Onje. Dalang wayang golek itu pulang ke rumah orang tuanya. Pada suatu
juga masih menerima tanggapan dari orang ketika, Pangeran Adipati Anom mencium
lain, termasuk Adipati Tegal. Pada waktu gelagat bahwa istrinya mempunyai hubungan
pertunjukan di Tegal, Sang Adipati tertarik dengan lelaki lain, yaitu putra Patih Sindureja.
dengan anak perempuan Adipati Onje yang Akhirnya, putri Kapugeran itu dihukum mati
sudah menginjak usia dewasa. Anak pe- oleh ayahnya dan raja sangat menyesali
rempuan itu memang selalu mengikuti kemana tindakan adiknya yang tega menghukum
pun sang ayah angkat melakukan pertunjukan putrinya sendiri tanpa memberitahukan hal itu
wayang golek, termasuk Tegal. Akhirnya, anak kepadanya.
perempuan Adipati Onje dipersunting oleh Raja Mangkurat Amral mengambil putri
Adipati Tegal dan lahirlah Namrut. Namrut Kapugeran yang lain yang bernama Raden
menyadari bahwa ia masih keturunan Onje, Ajeng Impun diangkat sebagai anak dan dibawa
tetapi ketika ia datang di tanah leluhurnya, ia masuk ke istana. Oleh raja, Pangeran Adipati
melihat bahwa Onje sudah mengalami masa Anom dipaksakan kawin dengan putri
surut, bahkan Onje sudah terhapus dari Kapugeran yang lain, Raden Ajeng Impun.
panggung sejarah. Kemudian, ia membangun Namun, perkawinan paksa ini juga tidak ber-
kekuasaan di daerah di sebelah selatan Onje jalan dengan baik karena istri dari Kapugeran
yang diberi nama Negeri Mesir dan ia memakai dikembalikan kepada orang tuanya bersamaan
gelar Raja Namrut. Kisah lokal Raja Namrut dengan waktu sedekah tujuh hari kematian
agaknya terlupakan juga oleh orang-orang di ayahnya, Mangkurat Amral. Dalam persaingan
sekitarnya karena naskah yang memuat kedua ini tampaknya putri Onje juga berhasil
kisahnya tersimpan dalam koleksi Per- menggeser istri utama yang bergelar Raden
pustakaan Museum Sono Budoyo, Yogyakarta Ayu yang juga berasal dari Kapugeran. Per-

170
Sugeng Priyadi, Konflik Sosial Tabu Nikah pada Masyarakat Perdesaan di Purbalingga dan Banyumas

maisuri pertama mendapat nama peng- Bagus Gugu dikawinkan dengan putri
hormatan Kencana atau Emas, yang berarti Dipayuda II dan nama berganti menjadi
kedudukannya mulia di sisi raja. Gadis Onje Dipawijaya (kelak setelah pensiun bernama
yang diberi nama gelar Ratu Kencana Dipamenggala). Diceritakan oleh teks Babad
menunjukkan bahwa kedudukannya selalu Wirasaba Kejawar bahwa Mas Kertayuda
dapat menggeser istri utama ketika suaminya meninggal dengan keterangan meninggal
masih menjadi putra mahkota dan permaisuri karena sakit terkena dapat akibat perbuatan
pertama ketika suaminya sudah menjadi raja Dipayuda III Purbalingga. Akibat peristiwa itu,
sehingga ia disebut dengan nama Ratu Kulon Dipawijaya menyatakan bahwa keturunannya
setelah sebelumnya bernama Ratu Wetan tidak boleh ber-besanan dengan keturunan
(Moedjanto 1987:139). Dipayuda III Purbalingga. Dipawijaya mem-
Konflik sosial yang terakhir yang terkait punyai anak yang bernama Mas Kadirman
dengan Onje adalah konflik keturunan Dipayuda yang di kemudian hari akan meniti karir menjadi
Purbalingga dengan keturunan Dipayuda bupati Banjarnegara dengan nama Dipayuda
Banjarnegara. Awal-mulanya, Dipayuda putra IV atau disebut juga Dipayuda Banjarnegara.
Tumenggung Yudanegara II dijadikan ngabehi
di Pamerden (Kasdi 2003:401 bdk. Remmelink BANJARANYAR, SAMBENG, KRAMAT,
2002:239). Ia gugur di dalam pertempuran atau JOMPO, DAN BLATER
Perang Mangkubumen di Jenar sehingga ia Julukan troublemaker kiranya juga pantas
mempunyai nama anumerta Dipayuda Seda diberikan kepada masyarakat Banjaranyar
Jenar atau Dipayuda Seda Ngrana. Kakak karena kasus konflik sosial banyak melibatkan
Dipayuda yang bernama Tumenggung desa-desa di sekitar Banjaranyar, yaitu
Yudanegara III setelah Perang Mangkubumen Sambeng Kulon, Sambeng Wetan, Kramat,
dan Palihan Nagari diangkat sebagai Patih Jompo Kulon, dan Jompo Wetan. Masyarakat
Kasultanan Yogyakarta dengan nama Danureja desa Banjaranyar disebut sebagai Bani
I (Ricklefs 2002:112). Ngesrael, sedangkan desanya disebut Bumi
Dipayuda Seda Jenar digantikan oleh ke- Ngesrael yang berbau Timur Tengah ini
menakannya yang juga memakai nama merupakan nama yang berbau olok-olok.
Dipayuda karena anak-anaknya masih kecil dan Kebiasaan saling mengolok-olok pada
ada yang masih dalam kandungan ibunya. masyarakat suatu desa oleh masyarakat desa
Dipayuda ini dikenal dengan nama anumerta lain di masa lampau memang dapat me-
Dipayuda Seda Banda. Ia digantikan oleh nimbulkan konflik sosial. Masyarakat desa
patihnya yang bernama Arsayuda yang juga Banjaranyar merupakan masyarakat yang
kemudian memakai nama Dipayuda sehingga rusak moralnya dan mereka berperilaku buruk.
ia sering disebut Dipayuda III. Anak-anak Hal ini sesungguhnya tidak berbeda
Dipayuda Seda Jenar setelah dewasa dengan masyarakat desa Sambeng (masuk di
mendapat kedudukan meskipun teks babad dalamnya Sambeng Kulon-Wetan dan Kramat)
tidak menjelaskan jabatannya. Yang sulung, yang berkedudukan sebagai daerah basis
yakni Bagus Luwar, setelah dewasa bernama maling. Boleh jadi kedua masyarakat, baik
Kertayuda daerah lungguhnya di Mareden Sambeng maupun Banjaranyar, adalah daerah
(Pamerden), yang kedua, yaitu Bagus Lebda, basis maling atau basis kejahatan. Mereka
setelah menikah bernama Suradipa yang saling bersaing untuk memperebutkan
berkedudukan di Kuripan, sedangkan yang hegemoni dalam dunia kejahatan. Persaingan
bungsu, yaitu Bagus Gugu, setelah dewasa itu dapat menimbulkan konflik sosial yang
mengabdi kepada uwaknya yang menjadi patih berkepanjangan. Maribaya dan keempat
di Yogyakarta. anaknya di Sambeng dapat digolongkan

171
Humaniora, Vol. 18, No. 2 Juni 2006: 165−177

sebagai para pemimpin kelompok maling atau yang kelihatannya sangat remeh. Tuduhan
kecu yang umum dikenal dengan istilah Adipati Ngesam terhadap orang-orang
benggol-benggol yang memiliki kesaktian, Banjaranyar itu wajar dilakukan karena
kebal, dan ilmu kanuragan. Maribaya dan anak- masyarakat tetangganya itu sudah di-
anaknya sering merampok rombongan mantri stereotipikkan dengan Bani Ngesrael. Orang-
pamajegan dari sebelah barat Wirasaba yang orang Banjaranyar pantas dituduh sebagai
membawa upeti ke Pajang yang melalui pencuri baling-baling yang dipasang di
Sambeng. Atau mereka menjadi musuh Adipati perbatasan Sambeng dan Banjaranyar. Karena
Wirasaba yang berkuasa atas daerah mereka persoalan pencurian itu terjadi di perbatasan
karena para mantri pamajegan itu harus itu, orang-orang Kramat yang sebenarnya
berkumpul di Wirasaba sebelum berangkat ke merupakan bagian dari masyarakat Sambeng
Pajang. Jadi, kelompok Maribaya dapat merasa juga menjadi tertuduh seperti halnya
dikategorikan antikemapanan atau protes orang-orang Banjaranyar. Akibatnya, orang-
sosial terhadap Adipati Wirasaba di tingkat lokal orang Kramat menyatakan antipatinya
dan kerajaan Pajang di tingkat pusat. Maribaya terhadap Sambeng.
melakukan penolakan terhadap dominasi kultur Peristiwa tertuduhnya orang-orang Kramat
Pajang atau gerakan anti-Pajang sehingga menimbulkan konflik sosial yang baru sehingga
tindakan antipati itu dicetuskan dalam bentuk mereka kelak akan berpisah dengan Sambeng.
tindakan kecu atau merampok. Konflik eksternal Sambeng dan Banjaranyar itu
Daerah utara Sungai Serayu, khususnya di disambung dengan konflik internal antara
sebelah timur Sungai Pelus rupanya menjadi Sambeng dan Kramat. Tabu nikah Sambeng
daerah hitam. Sebenarnya, daerah tersebut (termasuk di dalamnya Kramat) dan Ban-
merupakan daerah subur, tetapi penduduknya jaranyar meluas menjadi tabu nikah Sambeng
malas dan tidak ulet sehingga kesan sebagai dan Kramat. Dengan demikian, satu peristiwa
daerah hitam itu tercetus di dalam folklor, menimbulkan tabu nikah segitiga, yaitu (1)
misalnya penyebutan bagi orang-orang Sambeng-Banjaranyar, (2) Sambeng-Kramat,
Banjaranyar dengan Bani Ngesrael, orang dan (3) Kramat-Banjaranyar. Tabu segi tiga ini
Kramat cenderung bertindak brahol-brahol (nakal merupakan gejala yang menarik karena
atau jahat), orang Sambeng yang merasa menggambarkan perkembangan dari konflik
bangga terhadap Maribaya sebagai cikal-bakal, dua pihak menjadi konflik segitiga. Konflik
orang Jompo yang malas dan miskin sehingga segitiga menurut versi Kramat yang lain.
mereka dihinakan oleh orang Banjaranyar. Kramat juga menjadi korban yang tertuduh oleh
Label jelek dan jahat melekat pada kehidupan orang Banjaranyar. Pihak Banjaranyar
orang-orang masa lalu yang dikarakterkan pada menuduh orang Kramat yang telah merusak
orang-orang yang hidup pada masa kini sebagai bendungan di Sungai Berem. Berkat tuduhan
pencerminan stereotipik masyarakat perdesaan. itu, orang Banjaranyar tidak boleh berbesanan
Orang-orang desa sering dipandang serba statis, dengan orang Kramat. Hal itu menunjukkan
pasif, fatalistik, dan dikuasai oleh sindrom ke- bahwa antara Banjaranyar dengan Kramat
miskinan. Kehidupan orang desa yang serba terjadi konflik sosial. Orang Kramat yang
negatif dipengaruhi oleh cara hidup sehingga merasa tidak melakukan pengrusakan itu
masyarakat Jawa menyebutnya dengan menjadi marah dan tersinggung akibat
ungkapan desa mawa cara (Kartodirdjo tu-duhan pihak Banjaranyar sehingga mereka
1990:148) sebagai penjelasan terhadap mencoba mencari tahu pelaku yang se-
kekhasan masing-masing budaya masyarakat benarnya. Ternyata yang menjadi pelaku yang
di perdesaan. sesungguhnya adalah orang Sambeng.
Konflik sosial antara Sambeng dengan Karena orang Sambeng yang berperilaku tidak
Banjaranyar agaknya disebabkan oleh masalah baik itu, Kramat mendapat tuduhan yang

172
Sugeng Priyadi, Konflik Sosial Tabu Nikah pada Masyarakat Perdesaan di Purbalingga dan Banyumas

menyakitkan sehingga mereka menyatakan pembangkangan terhadap penguasa, bahkan


tabu menikah dengan orang-orang Sambeng. masalah tersebut sangat vital dan menjadi tolok
Dengan demikian, konflik segi tiga tersebut ukur kesetiaan seseorang kepada raja.
menggambarkan adanya saling tuduh dan Pembangkangan semacam itu pada umumnya
saling menyalahkan atau masing-masing pihak ditangani dengan kekerasan oleh penguasa
merasa benar sendiri dengan contoh kasus dan di Sungai Arus itu dimungkinkan banyak
atau masalah yang berbeda. Jika dilihat dari korban yang tertumpah darahnya sehingga
kasus baling-baling, Banjaranyar dan Kramat sungai itu berbau anyir atau amis. Kiranya
menjadi pihak tertuduh, sedangkan pada kasus nama sungai tersebut merupakan ingatan
bendungan yang tertuduh adalah orang Kramat. masa lampau yang tersisa dari peristiwa
Di satu pihak, Sambeng menyatakan dirinya pemisahan dua Sambeng yang disertai dengan
benar, sedangkan di pihak lain adalah peristiwa pertumpahan darah. Arti yang kedua
Banjaranyar yang benar. Sementara itu, Kramat menjelaskan seolah-olah bahwa Sambeng
selalu dalam posisi tertuduh dan selalu salah. Kulon dan Sambeng Wetan itu layak dan
Hal itu wajar saja sebab Kramat berada di pantas berpisah karena masalah kesetiaan
perbatasan atau ia berada pada posisi ambang. seorang hamba yang tidak konsisten. Jika
Pada posisi ambang itu, kedudukan Kramat Sambeng Wetan melakukan penolakan berarti
sesungguhnya tampak sebagai pihak yang ia tidak berada lagi di bawah pengaruh
dikambing-hitamkan atau disalahkan. Berarti Sambeng Kulon atau dengan kata lain,
Kramat itu sesungguhnya berposisi sebagai Sambeng Wetan berkedudukan setara dengan
pihak yang benar dan tidak bersalah. Jadi, konflik Sambeng Kulon yang diperintah oleh Adipati
eksternal Kramat-Banjaranyar bergeser menuju Ngesam.
konflik internal Kramat-Sambeng. Rupanya, persaingan di antara kedua
Terbaginya Sambeng menjadi dua me- Sambeng itu masih tersisa dalam bentuk
nambah luasnya konflik sosial karena baik konflik sosial, yaitu pelarangan terhadap salah
Sambeng Kulon maupun Sambeng Wetan juga satu pihak untuk menandingi pihak lain,
terlibat tabu dengan Banjaranyar dan Kramat. misalnya masyarakat Sambeng Kulon akan
Perluasan tersebut mengubah jumlah peristiwa mementaskan pertunjukan wayang kulit, maka
konflik, yaitu Sambeng Kulon-Kramat dan pada saat yang bersamaan atau dalam waktu
Sambeng Wetan-Kramat. Relasi antara dua rentang yang cukup lama masyarakat
Sambeng tidak terdapat tabu nikah. Pe- Sambeng Wetan tidak boleh menyeleng-
misahan dua Sambeng terjadi pada masa garakan pertunjukan yang serupa atau
Pajang ketika pihak Sambeng Wetan tidak sebaliknya. Jika salah satu pihak melanggar
bersedia menyerahkan upeti kepada Adipati pantangan ini, pihak yang lain akan melakukan
Ngesam yang akan diserahkan kepada raja protes dengan keras. Pada intinya, di kedua
sehingga Sambeng Wetan tidak lagi di bawah Sambeng itu tidak boleh ada persaingan dalam
pengawasan Sang Adipati. bentuk apapun yang tajam karena hal itu akan
Kedua wilayah Sambeng itu dibatasi oleh menimbulkan konflik sosial dalam bentuk
Sungai Arus. Kata arus berarti ’anyir’ atau konflik fisik. Meskipun di kedua Sambeng itu
’amis’, atau dapat diartikan ’pantas, layak, dan dihindari pantangan dalam bentuk persaingan,
senonoh’ (Prawiroatmojo 1988:18). Arti yang tetapi masalah tabu nikah di antara keduanya
pertama berkaitan dengan bau darah. Apakah tidak ditemukan. Jadi, orang Sambeng Kulon
telah terjadi konflik fisik antara Sambeng Kulon dan Sambeng Wetan tidak diwarisi tradisi tabu
dan Sambeng Wetan sehingga menumpahkan nikah. Mereka bebas untuk saling berbesanan
darah dari kedua belah pihak? Kemungkinan satu sama lain meskipun mereka sudah
ini dapat terjadi sebab penolakan untuk terpisah menjadi dua desa yang berdiri sendiri
menyerahkan upeti itu merupakan simbol yang dibatasi oleh Sungai Arus.

173
Humaniora, Vol. 18, No. 2 Juni 2006: 165−177

Konflik sosial yang menyangkut Banjar- menjadi dua, Jompo Kulon dan Jompo Wetan
anyar adalah konflik Banjaranyar dengan juga terlibat tabu nikah dengan Banjaranyar.
Jompo Kulon dan Jompo Wetan. Konflik sosial Gejala Jompo-Banjaranyar hampir mirip
tersebut juga tampaknya disebabkan oleh dengan Sambeng-Banjaranyar. Di kalangan
peristiwa yang remeh, yaitu peristiwa orang Jompo juga terlibat konflik internal
pertarungan antara kerbau Banjaranyar dengan sehingga mereka berpisah. Perpisahan itu
kerbau Jompo. Peristiwa adu kerbau itu digambarkan oleh sebuah versi bahwa antara
dimenangkan oleh kerbau Banjaranyar. Namun, Jompo Kulon dengan Jompo Wetan juga
orang Banjaranyar tidak merasa puas dengan terlibat tabu nikah. Jika versi tersebut dapat
kemenangan itu. Mereka ingin meneruskan adu dipertanggungjawabkan, maka pada kasus
kerbau itu hingga kerbau Jompo mati. Jompo-Banjaranyar juga terlibat konflik sosial
Keinginan orang Banjaranyar dianggap oleh segitiga, yaitu (1) Jompo Kulon-Banjaranyar,
orang Jompo sebagai perilaku yang meng- (2) Jompo Wetan-Banjaranyar, dan (3) Jompo
hinakan mereka sehingga Kiai Jempo Kulon-Jompo Wetan.
menabukan orang Jompo menikah dengan Selanjutnya, pihak Banjaranyar pada kasus
orang Banjaranyar. konflik sosial yang lain digantikan posisinya
Versi lain, meskipun agak sedikit berbeda, oleh Blater karena Blater merasa memiliki
tetapi pada intinya berisi mengenai masalah nenek-moyang yang sama dengan Banjar-
penghinaan juga. Orang Jompo yang hidup anyar sehingga terlibat tabu nikah juga dengan
dalam sindrom kemiskinan menjadi bulan- Jompo Kulon dan Jompo Wetan. Di sini, pun
bulanan orang Banjaranyar sebagai objek terdapat konflik segitiga, yaitu (1) Blater-Jompo
pelecehan sosial. Ketersinggungan orang Kulon, (2) Blater-Jompo Wetan, dan (3) Jompo
Jompo menimbulkan kemarahan yang me- Kulon-Jompo Wetan. Konflik-konflik segitiga
muncak terhadap orang-orang Banjaranyar. yang menyangkut Sambeng, Banjaranyar, dan
Kiai Jempo berhasil meredakan kemarahan Jompo memperlihatkan bahwa Sambeng dan
warganya agar tidak terlibat konflik fisik dengan Jompo pun secara samar-samar dapat pula
orang Banjaranyar. Selanjutnya, Kiai Jempo disebut sebagai troublemaker seperti halnya
juga menabukan orang Jompo berbesanan Banjaranyar. Hal itu dapat ditunjukkan dengan
dengan orang Banjaranyar. Konflik sosial adanya konflik-konflik internal yang me-
Jompo-Banjaranyar diperparah dengan nyangkut mereka. Sambeng mengalami dua
masalah penguasaan tanah Jompo oleh orang- kali konflik internal. Yang pertama adalah
orang Banjaranyar. Di situ, ada gejala bahwa konflik Sambeng dan Kramat dengan posisi
orang Banjaranyar akan merebut tanah Jompo. Sambeng sebagai superodinasi, sedangkan
Perebutan tanah juga sering diartikan Kramat selalu tersubordinasikan. Yang kedua
sebagai bentuk kolonisasi atau penjajahan adalah konflik antara Sambeng Kulon dengan
sehingga orang-orang Jompo yang merasa Sambeng Wetan sebagai bentuk pem-
terancam eksistensinya tentu akan melawan bangkangan pihak yang tinggal di sebelah timur
karena pada hakikatnya meskipun tanah itu Sungai Arus terhadap Adipati Ngesam. Konflik
hanya kecil dan tidak luas harus tetap internal yang pertama diakhiri dengan
dipertahankan. Prinsip tersebut menjelaskan pemisahan dan tabu nikah, sedangkan konflik
bahwa masyarakat Jompo tidak mau yang kedua hanya diakhiri dengan pemisahan
kehilangan wilayahnya seperti yang sudah dan tabu untuk melakukan persaingan di antara
mereka alami ketika Jompo Wetan me- kedua Sambeng itu.
misahkan diri. Ancaman Banjaranyar terhadap Konflik internal Jompo Kulon dan Jompo
kedaulatan Jompo dianggap sebagai salah satu Wetan menyebabkan dua wilayah yang
faktor munculnya tabu nikah antara Banjar- dibatasi oleh Sungai Jompo itu terpisah dan
anyar dengan Jompo. Ketika Jompo terbagi berdiri sendiri. Pemisahan itu tidak hanya pada

174
Sugeng Priyadi, Konflik Sosial Tabu Nikah pada Masyarakat Perdesaan di Purbalingga dan Banyumas

tataran kebudayaan, juga pada tataran admin- Purbalingga pada intinya meliputi empat kali
istratif politik. Pemisahan dua Jompo tidak konflik, yaitu (1) konflik Raden Kaligenteng-Ki
hanya menjadi dua desa, tetapi juga menjadi Ageng Ngorean, (2) konflik Raden Kaligenteng-
wilayah dua kecamatan dan kabupaten yang Adipati Jebugkusuma, (3) konflik Raden
berbeda. Jompo Wetan masuk wilayah admin- Kaligenteng-Raden Kuncung, dan (4) konflik
istratif Kecamatan Kalimanah, Kabupaten Adipati Kertabangsa-Adipati Jebugkusuma.
Purbalingga, sedangkan Jompo Kulon masuk Keempat konflik di atas menyatakan bahwa
wilayah administratif Kecamatan Sokaraja, Raden Kaligenteng adalah trouble-maker
Kabupaten Banyumas. karena ia adalah tokoh yang selalu menim-
Pemisahan Jompo memang tergolong bulkan masalah yang berakhir dengan konflik.
unik dan menarik karena dibatasi oleh Sungai Konflik yang pertama terjadi disebabkan
Jompo, bahkan keterlibatan masyarakat desa oleh ketidakpercayaan atau kecurigaan Raden
Blater dalam konflik Jompo-Banjaranyar Kaligenteng terhadap Ki Ageng Ngorean yang
menambah keunikan itu. Blater termasuk mengatakan bahwa pusaka Setan Kober tidak
wilayah administratif Kecamatan Kalimanah, berada lagi di Kendal Bolong, tetapi sedang
Purbalingga. Namun, anehnya mereka ber- dipinjam oleh Adipati Jebugkusuma di Sokaraja.
pihak kepada Banjaranyar karena mereka Tujuan Raden Kaligenteng ke Kendal Bolong
merasa memiliki nenek moyang yang sama, adalah meminjam pusaka Setan Kober untuk
yakni Prabu Brawijaya atau Panembahan kepentingan legitimasi kekuasaan di
Gedhe. Begitu pula Jompo Wetan berpihak Purbalingga sehubungan dirinya akan diangkat
kepada Jompo Kulon karena mereka memiliki sebagai adipati. Namun, usaha Raden
cikal-bakal yang sama, yaitu Kiai Jempo. Jadi, Kaligenteng ini gagal karena ia tidak dapat
konflik Jompo-Banjaranyar adalah konflik di menahan nafsu kemarahannya sehingga
antara dua desa di Kecamatan Sokaraja, menurut pandangan Ki Ageng Ngorean dan
Kabupaten Banyumas yang sekarang ini Adipati Jebugkusuma, Raden Kaligenteng tidak
melibatkan masyarakat dari luar kecamatan memiliki etika. Dalam konflik yang pertama,
dan luar kabupaten karena mereka secara Raden Kaligenteng mengalami kekalahan,
psikologis masih memiliki hubungan ke- tetapi ia cukup percaya diri untuk pergi ke
kerabatan. Artinya, ada dukungan dari Blater Sokaraja dengan maksud yang sama.
dan Jompo Wetan sebagai orang-orang luar, Padahal, Ki Ageng Ngorean sudah terlebih
tetapi sesungguhnya mereka itu adalah orang- dahulu sampai di Sokaraja. Ia sudah me-
orang dalam. Dengan demikian, konflik Jompo- nuturkan segala perbuatan Raden Kaligenteng
Banjaranyar adalah konflik internal yang terjadi di Kendal Bolong. Kedatangan Raden
di Kecamatan Sokaraja sekarang yang Kaligenteng di Sokaraja menimbulkan konflik
pengaruhnya sampai di daerah perbatasan dua yang kedua.
kabupaten, yaitu Purbalingga dan Banyumas. Adipati Jebugkusuma merasa tidak dapat
Konflik di daerah perbatasan itu telah me- menerima perlakuan Raden Kaligenteng
nunjukkan bahwa Purbalingga dan Banyumas kepada gurunya sehingga mereka terlibat
sudah terlibat konflik sosial sejak lama. konflik. Dalam konflik kedua, Raden Kali-
genteng juga mengalami kekalahan dan
BANYUMAS DAN PRUBALINGGA melarikan diri dengan cara menerjunkan diri ke
Konflik sosial yang menggambarkan konflik Sungai Pelus. Sekembalinya di Purbalingga,
Banyumas-Purbalingga dituturkan oleh Babad Raden Kaligenteng menceritakan semua
Purbalingga-Sokaraja, baik lisan maupun peng-alamannya kepada ayahnya. Raden
tulisan, serta folklor yang diwariskan kepada Kaligenteng mendapat hukuman dari ayahnya
pihak Sokaraja (Banyumas) dan masyarakat agar tidak keluar dari kamarnya selama 40 hari.
Kalimanah (Purbalingga). Konflik Sokaraja- Namun, hukuman ini tidak menjadikan jera

175
Humaniora, Vol. 18, No. 2 Juni 2006: 165−177

Raden Kaligenteng karena sebelum waktu 40 menyatukan senjata Setan Kober dan tombak
hari, ia sudah lolos dari kadipaten untuk pergi Umbul Waringin. Kemenangan Sokaraja atas
ke Watukumpul karena di sana akan digelar Purbalingga ini justru menjadikan eksistensi
pertunjukan wayang jemblung. Yang menjadi Sokaraja menuju chaos karena status Sokaraja
da-langnya adalah Raden Kuncung, putra tidak lagi menjadi kadipaten, bahkan Adipati
Adipati Jebugkusuma, yang sedang melakukan Jebugkusuma hanya menjadi panewu atau
penyamaran. Ia memakai nama Dalang Merta wedana. Versi yang ketiga menerangkan
Kanda atau Maca Kanda. Dalam pertunjukan bahwa perdamaian yang ditempuh oleh kedua
itu, Raden Kaligenteng meminta dilakonkan adipati itu diikuti dengan pernyataan Adipati
Babad Purbalingga-Sokaraja atau Babad Jebugkusuma yang menyatakan bahwa
Sokaraja-Purbalingga atau Babad Purbalingga. keturunan Sokaraja tidak boleh berbesanan
Dalang jemblung Merta Kanda ketika dengan keturunan Purbalingga. Tabu nikah ini
menceritakan kepribadian Raden Kaligenteng di-sebabkan oleh konflik-konflik yang terjadi
sangat menyinggung perasaan putra Adipati sebelumnya. Nasib Raden Kaligenteng yang
Kertabangsa itu. Raden Kaligenteng menjadi troublemaker dalam konflik-konflik
dikisahkan selalu menemui kekalahan dalam Sokaraja-Purbalingga diharuskan bertapa oleh
dua konflik yang sudah dijalaninya. Karena ayahnya di lereng Gunung Slamet, yakni di
merasa tersinggung, Raden Kaligenteng Gunung Cliring. Konflik-konflik dan tabu nikah
menumpahkan kemarahannya kepada Dalang yang menyangkut Sokaraja-Purbalingga pada
Merta Kanda sehingga terjadi konflik. Pada saat hakikatnya adalah proses pergeseran dari cos-
itu, Dalang Merta Kanda mengaku jati dirinya mos menuju chaos karena tabu nikah me-
sebagai putra Adipati Jebugkusuma yang rupakan konflik yang tiada akhir. Tabu nikah
bernama Raden Kuncung. yang seperti itu berada pada posisi liminal atau
Konflik antara kedua putra adipati itu posisi ambang karena ia tidak berada pada
berakhir dengan kekalahan Raden Kaligenteng kutub cosmos (tidak ada di sana) dan tidak
karena terkena keris Setan Kober. Raden berada pada kutub chaos (tidak ada di sini).
Kaligenteng berubah menjadi seekor ular dan
pulang ke Purbalingga. Adipati Kertabangsa SIMPULAN
melihat nasib anaknya merasa sangat marah Berdasarkan uraian konflik-konflik sosial
sehingga ia bersiap-siap ke Sokaraja. Per- yang terjadi pada masyarakat perdesaan
temuan Adipati Kertabangsa dengan Adipati Purbalingga dan Banyumas yang diakhiri
Jebugkusuma berakhir dengan dua cara dengan tabu nikah di antara pihak-pihak yang
berdasarkan versi-versi teks Babad Purba- bertikai telah mendekonstruksikan cosmos
lingga-Sokaraja. Versi pertama menjelaskan menjadi chaos. Artinya, keteraturan menjadi
adanya konflik antara kedua adipati itu yang ketidakteraturan, atau wujud menjadi tanpa
diakhiri dengan tewas dan mukswanya mereka wujud, karena tabu nikah masih berlaku dan
berdua dan munculnya pusaka tombak Umbul semuanya tidak diketahui kapan hal itu akan
Waringin sebagai pusaka Sokaraja. Versi yang berakhir. Sepanjang masyarakat masih
kedua dan ketiga menerangkan bahwa antara memberlakukan tabu nikah tersebut, situasi
Adipati Kertabangsa dengan Adipati Jebug- chaos tidak akan bergeser kembali menuju
kusuma tidak terlibat konflik, tetapi mereka cosmos.
melakukan perdamaian. Versi yang kedua Konflik-konflik sosial yang melibatkan Onje
menonjolkan tampilnya Raden Kuncung yang paling krusial adalah konflik Onje-Cipaku
sebagai pengganti Adipati Kertabangsa di yang selanjutnya diikuti oleh kasus-kasus
Purbalingga karena Raden Kaligenteng disuruh konflik yang lain, yaitu Namrut dengan Raja
bertapa ke Gunung Si Kasur. Raden Kuncung Mangkurat Amral, Putri Onje dengan dua orang
bergelar Adipati Kertabangsa II dengan Raden Ayu dari Kapugeran, dan Arsayuda

176
Sugeng Priyadi, Konflik Sosial Tabu Nikah pada Masyarakat Perdesaan di Purbalingga dan Banyumas

(mengaku keturunan Onje) dengan keturunan dan Budaya. Yogyakarta: Gadjah Mada University
Dipayuda Banjarnegara. Onje tampaknya Press.
menjadi troublemaker di dalam kasus-kasus De Graaf, H.J. 1989. Terbunuhnya Kapten Tack: Kemelut di
Kartasura Abad XVII. Terjemahan Dick Hartoko.
konflik tersebut. Kedudukan itu juga diikuti oleh Jakarta: Grafitipers.
Banjaranyar yang masyarakatnya diberi julukan Djamaris, Edwar. 1977. “Filologi dan Cara Kerja
Bani Ngesrael karena keterlibatannya pada kasus PenelitianFilologi,”dalam Bahasa dan Sastra, Tahun
tabu nikah dengan sejumlah masyarakat di III, Nomor 1.
sekitarnya, yaitu Sambeng Kulon, Sambeng Gottschalk, Louis. 1983. Mengerti Sejarah. Terjemahan
Wetan, Kramat, Jompo Kulon, dan Jompo Nugroho Notosusanto. Jakarta: UI-Press.
Kartodirdjo, Sartono. 1990. Kebudayaan Pembangunan
Wetan. Kasus tabu nikah juga melibatkan
dalam Perspektif Sejarah. Yogyakarta: Gadjah Mada
Sambeng Kulon dan Sambeng Wetan dengan University Press.
Kramat. Padahal, ketiga masyarakat desa Kasdi, Aminuddin. 2003. Perlawanan Penguasa Madura atas
tersebut dahulunya merupakan satu masyarakat Hegemoni Jawa: Relasi Pusat-Daerah pada Periode Akhir
yang mengalami pemisahan desa. Namun, di Mataram (1726-1745). Yogyakarta: Jendela.
antara Sambeng Kulon dengan Sambeng Wetan Kuntowijoyo. 1995. Pengantar Ilmu Sejarah. Yogyakarta:
tidak ada kasus tabu nikah meskipun mereka Bentang Budaya.
Moedjanto, G. 1987. Konsep Kekuasaan Jawa, Penerapannya
juga terlibat konflik sebelum berpisah. Jika dilihat
oleh Raja-raja Mataram. Yog-yakarta: Kanisius.
dari keterlibatan dalam beberapa konflik, Notosusanto, Nugroho. 1978. Masalah Penelitian Sejarah
Sambeng Kulon dan Sambeng Wetan pun dapat Kontemporer.Jakarta:Idayu.
disebut sebagai troublemaker juga. Begitu pula Olthof, W.L. 1941. Poenika Serat Babad Tanah Djawi wiwit
antara Jompo Kulon dan Jompo Wetan. Mereka saking Nabi Adam doemoegi ing Taoen 1647.‘s-
terlibat konflik internal yang menyebabkan Gravenhage: Martinus Nijhoff.
Prawiroatmojo, S. 1988. Bausastra Jawa-Indonesia, Jilid I.
mereka berpisah dan muncul tabu nikah. Jompo
Jakarta: Haji Masagung.
Kulon dan Jompo Wetan juga terlibat tabu nikah Priyadi, Sugeng. 2001a. Makna Pantangan Sabtu Pahing.
dengan Blater karena masyarakat Blater merasa Yogyakarta: Kaliwangi Offset.
menjadi bagian yang tak terpisahkan dengan ————. 2001b. “Babad Banyumas: Budaya Pantangan
Banjaranyar pada masa lampau. Sementara itu, dan Pantangan Sabtu Pahing.” Bahasa dan Seni. Tahun
yang menjadi troublemaker pada kasus tabu 29 edisi khusus (Oktober): 378-395. Malang:
nikah antara Sokaraja dengan Purbalingga Fakultas Sastra Universitas Negeri Malang.
Remmelink, Willem. 2002. Perang Cina dan Runtuhnya
adalah Raden Kaligenteng. Tokoh ini selalu
Negara Jawa 1725-1743. Terjemahan Akhmad
menciptakan konflik-konflik yang memperuncing Santoso. Yogyakarta: Jendela.
hubungan antara Sokaraja dan Purbalingga. Ricklefs,M.C.2002. Yogyakarta di Bawah Sultan Mangkubumi
1749-1792. Terjemahan Hartono Hadikusumo & E.
DAFTAR RUJUKAN Setiyawati Alkhatab. Yogyakarta: Matabangsa.
Soetrisno, Loekman. 2003. Konflik Sosial: Studi Kasus
Abdullah, Taufik. 1985. Sejarah Lokal di Indonesia. Indonesia. Yogyakarta: Tajidu Press.
Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Van Peursen, C.A. 1990. Fakta, Nilai, Peristiwa. Tentang
Behrend, T.E. 1990. Katalog Induk Naskah-Naskah Hubungan antara Ilmu Pengetahuan dan Etika.Jakarta:
Nusantara, Jilid 1, Museum Sono Budoyo Yogyakarta. Gramedia.
Jakarta: Djambatan. Veeger, K.J. 1986. Realitas Sosial: Refleksi Filsafat Sosial
Danandjaja, James. 1984. Folklor Indonesia: Ilmu Gosip, atas Hubungan Individu Masyarakat dalam Cakrawala
Dongeng, dan Lain-lain.Jakarta:Grafitipers. Sejarah Sosiologi. Redaksi K. Bertens & A.A. Nugroho.
— — — — . 1985a. “Mengumpulkan Folklore Bali Aga di Jakarta: Gramedia.
Trunyan,” dalam Koentjaraningrat & Donald D. Winangun, Y.W. Wartaya. 1990. Masyarakat Bebas Struktur:
Emmerson. Aspek Manusia dalam Penelitian Masyarakat. Liminalitas dan Komunitas Menurut Victor Turner.
Jakarta: Yayasan Obor Indonesia-Gramedia. Yogyakarta: Kanisius.
— — — — . 1985b. “Kegunaan Folklor sebagai Sumber
Sejarah Lokal Desa-desa di Indonesia,” dalam Sulastin-
Sutrisno, Darusuprapta, & Sudaryanto. Bahasa Sastra

177

You might also like