Download as pdf or txt
Download as pdf or txt
You are on page 1of 17

Fakultas Hukum Universitas Riau, Jalan Pattimura Nomor 9 Gobah, Kel. Cinta Raja, Kec.

Sail, Pekanbaru, Riau,


Kode Pos 28127. Telp: (+62761)-22539, Fax : (+62761)-21695
E-mail: riaulawjournal@gmail.com / riaulawjournal@unri.ac.id
Website: https://rlj.ejournal.unri.ac.id

Kewenangan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Dalam Mengadili


Perkara Fiktif Positif

Irzha Friskanov Sa, Abdullahb


a
Fakultas Hukum, Universitas Tadulako, Indonesia, Email: irzhafriskanov@untad.ac.id.
b
Fakultas Hukum, Universitas Tadulako, Indonesia, Email: abdullah.sh@untad.ac.id.

Article Info Abstract


Article History: The strict regulation of the position of the State Administrative Court
Received : 22-04-2021 (PTUN) in the constitution is influenced by the idea of the need to
Revised : 18-05-2021 improve the quality of supervision of the government. This is because
Accepted : 20-05-2021 the potential for misuse of authority from government officials is getting
Published : 30-05-2021 bigger, which is clearly detrimental to the general public. The
provisions regarding material law and formal law from the State
Keywords: Administrative Court are then regulated in Law 5/1986 on State
Authority Administrative Courts. With the issuance of Law of the Republic of
State Administrative Court Indonesia Number 5 of 1986, besides having to pay attention to the
State Administrative Decisions provisions of the applicable laws, the government in carrying out legal
actions must also pay attention to the general principles of good
governance. This problem is what motivates the author to discuss it in a
study entitled The Authority of State Administrative Courts (PTUN) in
Adjudicating Positive Fictional Cases to Realize Legal Certainty for
Community Citizens. This study identifies problems, namely what
problems are faced by the PTUN authority related to the completion of
positive fictitious applications according to Law Number 30 of 2014
concerning Government Administration. This research was conducted
with a research method with normative juridical analysis. By using the
general foundation race on the state law and state administrative
administration. As well as identifying with statutory and conceptual
approaches. This approach is used in research because it focuses on the
description of the substance of Law Number 30 of 2014 concerning
Administrasi Pemerintahan.

Informasi Artikel Abstrak


Histori Artikel: Pengaturan ketat kedudukan PTUN dalam konstitusi dipengaruhi oleh
Diterima : 22-04-2021 gagasan perlunya peningkatan kualitas pengawasan pemerintah.
Direvisi : 18-05-2021 Pasalnya, potensi penyalahgunaan wewenang dari pejabat pemerintah
Disetujui : 20-05-2021 semakin besar, yang jelas merugikan masyarakat umum. Ketentuan
Diterbitkan : 30-05-2021 mengenai hukum materil dan hukum formal dari Peradilan Tata Usaha
Negara kemudian diatur dalam Undang-Undang Nomor 5Tahun 1986
Kata Kunci: tentang Peradilan Tata Usaha Negara. Dengan dikeluarkannya Undang-
Kewenangan Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1986, selain harus
PTUN memperhatikan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku,
KTUN pemerintah dalam melakukan perbuatan hukum juga harus
memperhatikan asas-asas umum pemerintahan yang baik. Penelitian ini
mengidentifikasi permasalahan yaitu permasalahan apa saja yang
dihadapi oleh otoritas PTUN terkait penyelesaian lamaran fiktif positif

Riau Law Journal: Vol. 5, No. 1, Mei (2021), 75-91 75


sesuai Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Penyelenggaraan
Pemerintahan. Penelitian ini dilakukan dengan metode penelitian
dengan analisis yuridis normatif. Dengan menggunakan perlombaan
landasan umum tentang hukum negara dan tata usaha negara. Serta
mengidentifikasi dengan pendekatan hukum dan konseptual.
Pendekatan ini digunakan dalam penelitian karena menitikberatkan pada
gambaran substansi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang
Administrasi Pemerintahan.

PENDAHULUAN
Prinsip dasar dalam negara hukum adalah pemerintahan berdasarkan peraturan
perundang-undangan atau Wetmatigheid van Bestuur. Dapat juga dikatakan tindakan hukum
pemerintah baik dalam menjalankan fungsi pengaturan maupun pelayanan. Tindakan tersebut
harus berdasarkan pada wewenang yang diberikan oleh peraturan perundang-undangan yang
diberlakukan.
Istilah pemerintah dalam pengertian luas, adalah kegiatan negara dalam
melaksanakan kekuasaan politik. Sedangkan dalam pengertian sempit, adalah meliputi
kegiatan negara kecuali pembuatan undang-undang dan peradilan.1 Istilah administrasi dan
pemerintah sudah umum digunakan baik oleh pemerintah maupun masyarakat.
Di Indonesia kewenangan untuk menguji kebijakan pemerintah yang berkaitan
dengan hak warga Negara ini diletakkan di dalam satu lembaga dengan hak warga negara ini
yaitu Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN). Keberadaan PTUN ini tak lepas dari komitmen
bangsa Indonesia untuk mendirikan negara hukum dan melindungi kepentingan warga
negaranya.
Kedudukan Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN) dalam Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia 1945 pasca amandemen telah diatur secara tegas, khususnya
dalam Pasal 24 ayat (2) UUD 1945, yang menyatakan bahwa ―Kekuasaan Kehakiman
dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan lain-lain badan-badan peradilan yang berada di
bawahnya dalam lingkungan Peradilan Umum, lingkungan Peradilan Agama, lingkungan
Peradilan Militer, lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara dan oleh Mahkamah Konstitusi‖.
Pengaturan secara tegas kedudukan Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN) secara
tegas dalam konstitusi tersebut dipengaruhi oleh gagasan mengenai perlunya peningkatan

1
Bagian dari sistem pemerintahan ciptaan Montesquieu yang dituangkan dalam bukunya ―L’esprit des lois‖ (jiwa
hukum), yakni legislatif, eksekutif, dan yudikatif atau biasa disebut Trias Politica.

Riau Law Journal: Vol. 5, No. 1, Mei (2021), 75-91 76


kualitas pengawasan terhadap pemerintah.2 Ketentuan mengenai hukum materil dan hukum
formil dari Peradilan Tata Usaha Negara ini kemudian diatur dalam Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara (UU No.5 Tahun 1986/ UU PTUN).
Dengan dikeluarkannya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1986
yang diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2004 tentang
Peradilan Tata Usaha Negara (UU No.9 Tahun 2004)3, maka selain harus memperhatikan
ketentuan perundang-undangan yang berlaku, pemerintah dalam melaksanakan tindakan
hukum harus pula memperhatikan Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik (AAUPB).
Apabila tindakan pemerintah yang diwujudkan dalam terbitnya suatu Keputusan Tata
Usaha Negara (KTUN) atau sikap diamnya, oleh masyarakat dianggap telah melanggar
ketentuan perundang-undangan, maka pemerintah – oleh undang-undang tersebut selanjutnya
disebut Badan atau Pejabat tata Usaha Negara – dapat menggugat secara tertulis ke Peradilan
Tata Usaha Negara.
Tujuan dibentuknya Peradilan Tata Usaha Negara adalah sebagai pengendali yuridis
terhadap tindakan-tindakan Badan/Pejabat Tata Usaha Negara, baik secara preventif maupun
secara represif. Secara preventif dimaksudkan adalah untuk mencegah terjadinya tindakan-
tindakan Badan/Pejabat Tata Usaha Negara yang melawan hukum dan merugikan masyarakat,
sedangkan secara represif ditujukan terhadap tindakan-tindakan badan/pejabat tata usaha
negara yang melawan hukum dan merugikan masyarakat harus dijatuhi sanksi. Selain itu
tujuan peradilan tata usaha negara adalah juga untuk memberikan perlindungan hukum bagi
Badan/Pejabat Tata Usaha Negara itu sendiri apabila telah bertindak benar sesuai dengan
peraturan hukum yang berlaku.
Akan tetapi tidak semua tindakan pemerintah dapat menjadi kompetensi Peradilan
Tata Usaha Negara. Tindakan pemerintah yang tidak masuk kompetensi Peradilan Tata Usaha
Negara selanjutnya akan menjadi kompetensi Peradilan Umum. Sehubungan dengan itu
mengundang pertanyaan apakah yang menjadi ukuran keabsahan suatu tindakan pemerintah
jika dihubungkan dengan ketentuan Peradilan Tata Usaha Negara. Hal ini menjadi penting
bagi perumusan dan isi suatu keputusan yang akan dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata

2
W. Riawan Tjandra, Peradilan Tata Usaha Negara; Mendorong Terwujudnya Pemerintahan yang Bersih dan
Berwibawa, (Yogyakarta: Universitas Atma Jaya, 2009), 1.
3
Untuk selanjutnya diubah lagi dengan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 51 Tahun 2009 tentang
Perubahan Kedua Undang-undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata usaha
Negara.

Riau Law Journal: Vol. 5, No. 1, Mei (2021), 75-91 77


Usaha Negara sehingga keputusan atau tindakan Pejabat Tata Usaha Negara sah secara
hukum.
Kekuasaan kehakiman di Indonesia yang dilaksanakan oleh empat macam peradilan
(Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer dan Peradilan Tata Usaha Negara)
semuanya berpuncak pada Mahkamah Agung sebagai pengadilan negara tertinggi. Masing-
masing pengadilan dalam lingkungan badan-badan peradilan tersebut mempunyai wewenang
untuk menerima, memeriksa dan mengadili serta menyelesaikan perkara sejenis tertentu yang
merupakan kompetensi absolut, karenanya apa yang merupakan kompetensi suatu badan
peradilan secara mutlak tidak mungkin dilakukan oleh badan peradilan lain.
Salah satu pilar negara hukum adalah lembaga peradilan, di antaranya Peradilan
Administrasi atau Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN), yang secara spesifik berwenang
menyelesaikan masalah-masalah administrasi. Keberadaan PTUN di satu sisi dimaksudkan
sebagai sarana perlindungan bagi rakyat dari tindakan pemerintah yang menyimpang, dan di
sisi lain sebagai perlindungan bagi Pejabat Tata Usaha Negara agar bertindak sesuai dengan
koridor hukum yang berlaku, sehingga terwujud penyelenggaraan negara dan pemerintahan
yang baik dan adil. Indonesia sebagai negara hukum telah memiliki pilar tersebut.Hanya saja,
selama beberapa tahun pelaksanaannya, keberadaan PTUN di Indonesia belum memberikan
perlindungan hukum yang maksimal bagi rakyat dan belum mendorong terwujudnya
penyelenggaraan pemerintahan yang baik dan adil. Dengan kata lain, PTUN belum berfungsi
dan berperan secara maksimal dalam mendorong tampilnya wajah negara hukum Indonesia
yang menggembirakan.
Seiring dengan permasalahan di atas dan munculnya usulan perubahan UU PTUN
tersebut, pada tahun 2004 UU No. 5 Tahun 1986 tentang PTUN telah diubah dengan UU No.
9 Tahun 2004 tentang Perubahan UU No. 5 Tahun 1986 tentang PTUN. Di antara perubahan
itu adalah pemberian sanksi bagi pejabat yang tidak mematuhi putusan PTUN, sebagaimana
diatur dalam Pasal 116 ayat (4) dan (5) UU No. 9 Tahun 2004, yakni dalam bentuk
penambahan sanksi yang berupa pengenaan denda dan/atau sanksi administratif, serta
diumumkan di media massa cetak setempat4. Sementara usulan tentang perluasan obyek
sengketa dan pengertian pejabat tata usaha negara, tidak mendapatkan respon. Masalah
sengketa antarbadan tata usaha negara juga tidak dikemukakan sama sekali.

4
Meskipun perubahan sanksi ini dianggap ―kemajuan‖, namun dalam implementasinya masih mengandung
banyak kendala. Lihat ―Jurnal Magister Hukum‖ Vol.1 No.1 Januari (2005) : 108-111.

Riau Law Journal: Vol. 5, No. 1, Mei (2021), 75-91 78


Diskursus tentang lembaga peradilan tidak dapat dipisahkan dengan konsepsi negara
hukum, yang menempatkan peradilan sebagai salah satu pilarnya. Oleh karena itu, perlu
disajikan tentang negara hukum, baik berupa wacana yang bersifat universal, maupun negara
hukum dalam konteks keIndonesiaan5.
Negara hukum sebenarnya merupakan konsep terbuka (openbegrip), tetapi pada
implementasinya akan dipengaruhi oleh falsafah dan budaya bangsa, ideologi negara, sistem
politik, dan lain-lain, sehingga kemudian negara hukum muncul dalam berbagai model seperti
negara hukum menurut Qur’an dan Sunnah atau nomokrasi Islam, negara hukum menurut
konsep Eropa Kontinental yang dinamakan rechtsstaat, negara hukum menurut konsep Anglo-
Saxon, konsep Socialist Legality, dan konsep negara hukum Pancasila6.
Secara sederhana, dapat dikatakan bahwa negara hukum adalah suatu negara yang
menjadikan atau menempatkan hukum sebagai aturan main (spelregel) dalam menata
kehidupan berbangsa dan bernegara. Dalam rangka kemudahan mencari dan mengolah data
penelitian, maka lokasi dalam penelitian ini adalah Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN)
Provinsi Sulawesi Tengah. Pilihan terhadap Lembaga Negara ini setidaknya karena
pertimbangan yaitu problematika apa saja yang dihadapi atas kewenangan PTUN berkaitan
dengan Penyelesaian Permohonan Fiktif Positif menurut Undang-Undang Nomor 30 Tahun
2014 tentang Administrasi Pemerintahan (UU AP).

5
Untuk mengakses prinsip-prinsip dan unsur-unsur yang bersifat keIndonesiaan dalam penelitian ini akan
merujuk antara lain pada, Philipus M. Hadjon, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat di Indonesia, Surabaya : Bina
Ilmu, 1997; Muhammad Tahir Azhary, Negara Hukum, Jakarta: Bulan Bintang, 1992; Padmo
Wahjono, Indonesia Negara Berdasarkan atas Hukum, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1983; Azhary, Negara
Hukum Indonesia, Analisis Yuridis Normatif tentang Unsur-unsurnya, Hamid Attamimi, Peranan Keputusan
Republik Indonesia dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Negara, Disertasi UI, Jakarta, 1990, dan lain-lain.
Sedangkan untuk mengakses prinsip-prinsip umum negara hukum akan merujuk pada buku-buku yang
menyajikan pembahasan negara hukum seperti, E.M.A. Hirsch Ballin, Rechtsstaat&Beleids, W.E.J. Tjeenk
Willink, Zwolle, 1991; H.D. van Wijk/Willem Konijnenbelt, Hoofdstukken van Administratief Recht, Uitgeverij
Lemma BV. Utrecht, 1995; J.B.J.M. ten Berge, Besturen Door De Overheid, W.E.J. Tjeenk Willink, Deventer,
1996; AP Le Sueur dan JW Herberg, Constituonal & Administrative Law, Cavendish Publishing Limited,
London, 1995; P.J.P. Tak,Rechtsvorming in Nederland, Samsom H.D. Tjeenk Willink, 1991; P. de Haan, et.
al.,Bestuursrecht in de Sociale Rechtsstaat, Kluwer, Deventer, 1986, dan lain-lain.
6
Muhammad Tahir Azhary, Op. Cit.,. 63. Setelah Amandemen UUD 1945, eksistensi Indonesia sebagai negara
hukum telah memiliki sandaran konstitusional yang pasti setelah dengan tegas disebutkan dalam batang tubuh
UUD 1945, yakni dalam Pasal 1 ayat (3); ―Negara Indonesia adalah negara hukum‖. Sebelum amandemen,
pernyataan bahwa Indonesia tergolong negara hukum hanya disebutkan dalam Penjelasan UUD 1945, yang
diperdebatkan oleh banyak ahli Hukum Tata Negara mengenai validitas dan kekuatan hukumnya.

Riau Law Journal: Vol. 5, No. 1, Mei (2021), 75-91 79


PERADILAN TATA USAHA DALAM PERKARA FIKTIF POSITIF
Dalam hal penyelesaian suatu masalah yang dialami oleh masyakarakat adalah
melalui jalur hukum, ada dua jalur penyelesaian yang bisa ditawakan yaitu jalur pengadilan/
jalur litigasi (litigation) dan jalur luar pengadilan (non-litigation). Penyelesaian menggunakan
jalur pengadilan (litigation) seperti penggunaan lembaga pengadilan baik Pengadilan Negeri,
Pengadilan Tata Usaha Negara, Pengadilan Militer, Pengadilan Agama dan Mahkamah
Konstitusi.7 Penyelesaian sengketa melalui jalur litigasi salah satunya adalah Peradilan Tata
Usaha Negara. Peradilan Tata Usaha Negara merupakan sarana control on the administration.
Peradilan Tata Usaha Negara adalah salah satu pelaksana kehakiman bagi rakyat pencari
keadilan terhadap sengketa Tata Usaha Negara.8 Pasal 47 Undang – Undang Nomor 5 Tahun
1986 menyebutkan bahwa ―peradilan bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan
menyelesaikan sengketa tata usaha negara.9 sengketa tata usaha dalam Pasal 1 angka (4) UU
No. 5 Tahun 1986 mengatakan bahwa sengketa tata usaha negara sebagai sengketa yang
timbul dalam bidang tata usaha negara antara orang atau badan hukum perdata dengan badan
atau pejabat tata usaha negara baik di pusat maupun di daerah, sebagai akibat dikeluarkannya
Keputusan Tata Usaha Negara.10
Namun tidak setiap Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN) dapat langsung digugat
melalui peradilan tata usaha negara. Hal ini didasarkan pada Pasal 48 UU No. 5 Tahun1986
mengatakan bahwa :11
―Dalam hal suatu badan atau pejabat tata usaha negara diberi wewenang oleh atau
berdasarkan peraturan perundang – undangan untuk menyelesaikan secara
administratif sengketa tata usaha negara tertentu, maka sengketa tata usaha negara
tersebut harus di selesaikan melalui upaya administratif yang tersedia.‖

Kemudian peradilan baru berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan


sengketa tata usaha negara sebagaimana dimaksud dalam ayat 1, jika seluruh upaya
administratif yang bersangkutan telah digunakan.12 Untuk KTUN yang memungkinkan
adanya upaya administratif gugatan langsung ditujukan kepada Pengadilan Tinggi Tata Usaha

7
Endrik Safudin, Alternatif Penyelesaian Sengketa dan Arbitrase, (Malang: Intras Publishing, 2018), 6.
8
A Siti Soetami, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, (Bandung: PT Refika Aditama, 2015), 9.
9
Ibid
10
Undang – Undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradillan Tata Usaha Negara.
11
Philipus M Hadjon et al, Pengantar Hukum Administratif Indonesia (Introduction to the Indonesian
Administratife Law), (Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 2002), 316.
12
Ibid

Riau Law Journal: Vol. 5, No. 1, Mei (2021), 75-91 80


Negara (Pasal 51 ayat 3). Sedangkan KTUN yang tidak mengenal adanya upaya administratif,
gugatan ditujukan kepada Pengadilan Tata Usaha Negara.13
Dalam perkembangannya, instrumen yang digunakan dalam proses penyelesaian
sengketa mengalami penambahan yaitu yang semula Undang – Undang Nomor 5 Tahun 1986
tentang Peradilan Tata Usaha dan saat ini adalah Undang – Undang Nomor 30 Tahun 2014
tentang Administrasi Pemerintahan. Kedua peraturan memiliki salah satu perbedaan, dimana
pada Undang – Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara
mengatakan dalam salah satu pasalnya yaitu Pasal 3 Ayat 3 mengatakan bahwa :
1. apabila Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara tidak mengeluarkan keputusan,
sedangkan hal itu menjadi kewajibannya, maka hal tersebut disamakan dengan
Keputusan Tata Usaha Negara;
2. jika suatu Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara tidak mengeluarkan keputusan
yang dimohonkan, sedangkan jangka waktu sebagaimana ditentukan dalam
peraturan perundang – undangan dimaksud telah lewat, maka Badan atau Pejabat
Tata Usaha Negara tersebut dianggap telah menolak mengeluarkan keputusan
yang dimaksud;
3. dalam hal peraturan perundang – undangan yang bersangkutan tidak menetukan
jangka waktu sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (2), maka setelah lewat
jangka waktu empat bulan sejak diterimanya permohonan, Badan atau Pejabat
Tata Usaha Negara yang bersangkutan dianggap telah mengeluarkan keputusan
penolakan.
Kemudian berbeda halnya dengan Pasal 53 pada Undang – Undang Nomor 30 Tahun
2014 tentang Administratif Pemerintahan yaitu berbunyi :
1. batas waktu kewajiban untuk menetapkan dan/atau melakukan keputusan
dan/atau tindakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang – undangan;
2. jika ketentuan peraturan perundang – undangan tidak menentukan batas waktu
kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1), maka Badan dan/atau Pejabat
Pemerintahan wajib menetapkan dan/atau melakukan keputusan dan/atau
tindakan dalam waktu paling lama 10 (sepuluh) hari kerja setelah permohonan
diterima secara lengkap oleh Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan;

13
Ibid, 317.

Riau Law Journal: Vol. 5, No. 1, Mei (2021), 75-91 81


3. apabila dalam batas waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Badan dan/atau
Pejabat Pemerintahan tidak menetapkan dan/atau melakukan keputusan dan/atau
tindakan, maka permohonan tersebut dikabulkan secara hukum;
4. permohonan mengajukan permohonan kepada pengadilan untuk memperoleh
putusan penerimaan permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (3);
5. pengadilan wajib memutusakan permohonan sebagaimana pada ayat (4) paling
lama 21 dua puluh satu) hari kerja sejak permohonan diajukan;
6. Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan wajib menetapkan keputusan untuk
melaksanakan putusan pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) paling
lama 5 (lima) hari kerja sejak putusan pengadilan ditetapkan.
Berdasakan kedua ketentuan diatas bahwa rumusan dalam Pasal 3 ayat 3 Undang –
Undang Nomor 5 Tahun 1986 menerapkan prinsip ―Fiktif Negatif‖ sedangkan pada Undang –
Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administratif Pemerintahan menganut prinsip ―Fiktif
Positif‖. Pasal 3 Undang – Undang Nomor 5 Tahun 1986 tersebut diistilahkan sebagai fiktif
negatif karena memuat konsteks tentang ―fiktif‖ yang menunjukan bahwa keputusan Tata
Usaha Negara yang digugat sebenarnya tidak berwujud.14 Ia hanya merupakan sikap diam dari
Badan atau Pejabat Tata Usaha negara yang kemudian dianggap disamakan dengan sebuah
Tata Usaha Negara yang nyata tertulis.15 Sedangkan istilah ―negatif‖ menunjukan bahwa
Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat dianggap berisi penolakan terhadap permohonan
yang telah diajukan oleh orang atau badan hukum perdata.16 Apabila Badan atau Pejabat Tata
Usaha Negara tidak mengeluarkan keputusan (diam saja), sedangkan hal itu menjadi
kewajibannya, maka sikap diamnya tersebut disamakan dengan Keputusan Tata Usaha
Negara.17 Berbeda dengan prinsip fiktif postif dalam Undang – Undang Nomor 30 Tahun
2014 tentang Admistratif Pemerintahan bahwa sebuah fiksi hukum yang mensyaratkan
otoritas administrasi untuk menanggapi atau mengeluarkan keputusan/tindakan yang diajukan
kepadanya dalam limit waktu sebagaimana yang ditentukan dan apabila prasyarat ini tidak

14
Budiamin Rodding, ―Keputusan Fiktif Negatif dan Fiktif Positif Dalam Peningkatan Kualitas Pelayanan
Publik‖, Tanjung Pura Law Journal, Vol. 1 Januari 2017, http://jurnal.untan.ac.id/index.php/tlj diakses pada
tanggal 5 Oktober 2020 : 26-37.
15
Ibid.
16
Ibid.
17
Ibid.

Riau Law Journal: Vol. 5, No. 1, Mei (2021), 75-91 82


terpenuhi, otoritas adminisrasi dianggap mengabulkan permohonan penerbitan
keputusan/tindakan yang dimohonkan kepadanya.18
Hadirnya keputusan fiktif dalam Pasal 53, Pasal 77, dan Pasal 78 UU AP sebagai
perubahan dari konsep fiktif negatif dalam Pasal 3 UU PTUN merupakan embrio dan spirit
perwujudan hadirnya reformasi birokrasi dalam pencegahan maladministrasi bagi Badan
dan/atau Pejabat Pemerintahan.19 Namun jenis keputusan fiktif positif berpotensi
menimbulkan ketidakpastian hukum dalam fungsinya sebagai alat bukti hak yang diberikan
oleh Pejabat/Badan Tata Usaha Negara.20 Serta mengenai keabsahan keputusan fiktif positif
tersebut perlu ditinjau kembali sifat otomatis dikabulkannya.21
Adanya perbedaan diantara keduanya, dapat dilihat dari segi asas lex posterior
derogat legi priori artinya adalah aturan yang baru mengesampingkan aturan yang lama. Asas
lainnya yang dapat menjawab diantara penerapan prinsip fiktif negatif atau penerapan prinsip
fiktif positif adalah asas lex specialis derogat lex generalis artinya bahwa aturan yang khusus
mengesampingkan aturan yang umum.
Melihat bahwa fiktif negatif tidak lagi sesuai dengan perubahan- perubahan yang ada
di masyarakat sehingga pemerintah menerapkan fiktif positif penyelesaian masalah yang
dapat dikatakan ini bagian dari reformasi birokrasi. Namun jika melihat dari kaca mata
hukum, tidak adanya keputusan tertulis dari Badan atau Pejabat yang menyatakan bahwa
permohonannya dikabulkan atau ditolak sehingga ini membuat ketidakpastian meski
selanjutnya orang atau badan hukum perdata meminta putusan kepada Pengadilan Tata Usaha
Negara.
―Dengan berlakunya Ketentuan Pasal 53 UUAP, bukan berarti secara mutatis dan
mutandis ketentuan Pasal 3 UU Peratun menjadi tidak berlaku, karena Lampiran II
huruf C, angka 221 UU No. 12 Tahun 2011, mengatur bahwa pencabutan peraturan
perundang – undangan yang sudah tidak berlaku harus dilakukan secara tegas dalam
peraturan perundang – undangan yang baru. Meskipun secara daya guna norma Pasal
3 UU Peratun sudah tidak efektif, namun demikian pengadilan hendaknya tidak
menolak pendaftaran perkara dengan menggunakan dasar pasal 3 UU Peratun, karena
pada prinsipnya pengadilan tidak boleh menolak perkara yang diajukan oleh
masyarakat. terhadap gugatan tersebut dapat disikapi pada tahap dismisal proses oleh
18
Enrico Simanjuntak, ―Prospek Prinsip Fiktif Positif Dalam Menunjang Kemudahan Berusaha di Indonesia‖,
Jurnal Rechts Vinding (Media Pembinaan Hukum Nasional), Volume 7 Nomor 2 Agustus (2018) : 301-320
http://dx.doi.org/10.33331/rechtsvinding.v7i2.250 diakses pada tanggal 6 Oktober 2020.
19
Bagus Teguh Santoso,‖Keputusan Fiktif Positif Sebagai Bentuk Reformasi Birokrasi Berdasarkan Prinsip
Good Govenance”, Fakultas Hukum Universitas Bhayangkara, diakses pada tanggal 7 September 2020.
20
Kartika Widya Utama, ―Surat Keputusan Tata Usaha Negara Yang Bersifat Fiktif Positif‖, Fakultas Hukum
Universitas Diponegoro, diakses pada tanggal 7 September 2020.
21
Ibid.

Riau Law Journal: Vol. 5, No. 1, Mei (2021), 75-91 83


Ketua Pengadilan dengan menyatakan gugatan tidak dapat diterima (vide pasal 62
ayat (1) huruf (a) UU Peratun). Demikian juga seandainya suatu gugatan telah
diperiksa oleh majelis hakim, maka perkara tersebut dapat disikapi dengan
menyatakan gugatan penggugat tidak dapat diterima dengan mendasar pada asas lex
posteriore derogat legi priori. Pada saat gugatan dengan menggunakan dasar Pasal 3
UU Peratun diajukan ke pengadilan, hendaknya kepaniteraan memberikan saran
adanya ketentuan pasal 53 UU AP tersebut‖22

Dapat dikatakan bahwa Undang – Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan
Tata Usaha Negara dan Undang – Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi
Pemerintahan mempunyai ketidakharmonisan di dalam peraturan perundang – undangan.
Untuk itu, dalam hal untuk mengatasi disharmonisasi peraturan perundang – undangan dapat
dilakukan yaitu:23
1. mengubah/mencabut pasal tertentu yang mengalami disharmonisasi atau seluruh
pasal peraturan perundang - undangan yang bersangkutan, oleh lembaga/instansi
yang berwenang membentuknya;
2. mengajukan permohonan uji materil kepada lembaga yudikatif;
3. menerapkan asas Lex superior derogat legi inferiori, Lex specialis derogat legi
generalis, Lex posterior derogat legi prior.
Surat permintaan persetujuan dalam hukum administrasi negara dikenal dengan
Keputusan Tata Usaha Negara. Menurut Pasal 1 angka 9 Undang - Undang Nomor 51 Tahun
2009 tentang Perubahan Kedua Atas UU No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha
Negara ("UU 51/2009") yang dimaksud dengan Keputusan Tata Usaha Negara adalah:
―….suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara
yang berisi tindakan hukum tata usaha negara yang berdasarkan peraturan perundang-
undangan yang berlaku, yang bersifat konkret, individual, dan final, yang menimbulkan
akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata.‖ Apabila surat persetujuan
memenuhi ciri-ciri yang disebutkan di dalam Pasal 1 angka 9 Undang-Undang Nomor 51
Tahun 2009 tersebut, maka itu termasuk sebagai Keputusan Tata Usaha Negara. Kemudian,
mengenai apakah permintaan persetujuan yang tidak dibalas dalam jangka waktu tertentu

22
Hasil rumusan Diklat Kapita Selekta Tata Usaha Negara Bagi Pimpinan Pengadilan Tingkat Pertama, mulai
tanggal 19 maret 2017 sampai dengan 25 maret 2017 dipusdiklat mahkamah agung RI, Mega Mendung, Bogor
Dalam jurnal Enrico Simanjuntak, ―Perkara Fiktif Positif dan Permasalahan Hukumnya‖, Op.Cit.
23
Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Direktorat Jendral Peraturan Perundang –
Undangan ―Hukum Tata Negara dan Peraturan Perundang – Undangan‖ http://ditjenpp.kemenkumham.go.id/htn-
dan-puu/421-harmonisasi-peraturan-perundang-undangan.html diakses pada tanggal 7 Oktober 2019.

Riau Law Journal: Vol. 5, No. 1, Mei (2021), 75-91 84


maka dianggap menyetujui? Untuk menjawab hal ini kita perlu merujuk pada ketentuan Pasal
3 sebagai berikut:
1. Apabila Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara tidak mengeluarkan keputusan,
sedangkan hal itu menjadi kewajibannya, maka hal tersebut disamakan dengan
Keputusan Tata Usaha Negara;
2. Jika suatu Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara tidak mengeluarkan keputusan
yang dimohon, sedangkan jangka waktu sebagaimana ditentukan dalam peraturan
perundang-undangan dimaksud telah lewat, maka Badan atau Pejabat Tata Usaha
Negara tersebut dianggap telah menolak mengeluarkan keputusan yang
dimaksud;
3. Dalam hal peraturan perundang-undangan yang bersangkutan tidak menentukan
jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), maka setelah lewat jangka
waktu empat bulan sejak diterimanya permohonan, Badan atau Pejabat Tata
Usaha Negara yang bersangkutan dianggap telah mengeluarkan keputusan
penolakan.
Di dalam penjelasan Pasal 3 ayat (2) disebutkan: ―Badan atau Pejabat Tata Usaha
Negara yang menerima permohonan dianggap telah mengeluarkan keputusan yang berisi
penolakan permohonan tersebut apabila tenggang waktu yang ditetapkan telah lewat dan
Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara itu bersikap diam, tidak melayani permohonan yang
telah diterimanya.‖ Berdasarkan ketentuan Pasal 3 ayat (2) serta penjelasannya, dapat
diketahui bahwa jika Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara tidak mengeluarkan jawaban atas
permohonan keputusan yang diajukan, maka dapat dipersamakan dengan penolakan untuk
mengeluarkan keputusan. Kemudian, jika peraturan perundang-undangan yang bersangkutan
tidak menentukan jangka waktu, maka menurut Pasal 3 ayat (3) setelah lewat jangka waktu
empat bulan sejak diterimanya permohonan, Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang
bersangkutan juga dianggap telah mengeluarkan keputusan penolakan.
Pasal 3 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986, berpendapat sebagaimana24 bahwa
apabila yang dimohon oleh pemohon itu merupakan bidang wewenang yang menjadi
kewajibannya, maka sikap diam seperti itu menurut Pasal 3 juga dianggap sebagai telah
mengeluarkan suatu penetapan tertulis yang berisi suatu penolakan dari Badan atau Jabatan

24
Indroharto, Usaha Memahami Undang-Undang Tentang Peradilan Tata Usaha Negara Buku I: Beberapa
Pengertian Dasar Hukum Tata Usaha Negara, Cetakan ke-3, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1993), 185-187.

Riau Law Journal: Vol. 5, No. 1, Mei (2021), 75-91 85


Tata Usaha Negara yang menerima permohonan itu. Jadi sebenarnya dalam hal ini hanya ada
Keputusan Tata Usaha Negara yang fiktif dan negatif sifatnya, karena Badan atau Jabatan
Tata Usaha Negara yang menerima permohonan itu bersikap diam tidak berbuat apa-apa dan
tidak mengeluarkan suatu keputusan apa pun tetapi oleh undang-undang dianggap telah
mengeluarkan suatu penetapan tertulis yang berisi suatu penolakan atas suatu permohonan
yang telah diterimanya itu.
Tetapi apakah yang dimohonkan itu benar merupakan kewajiban dari Badan atau
Jabatan Tata Usaha Negara yang menerima permohonan atau bukan tentunya barulah dapat
ditentukan secara pasti setelah hal itu diputuskan oleh Hakim Tata Usaha Negara. Dengan
demikian, maka sikap diam yang dimaksud oleh Pasal 3 ayat (1) tersebut selalu dapat digugat
di muka Pengadilan Tata Usaha Negara. Dalam keseluruhannya Pasal 3 itu memperluas
pengertian penetapan tertulis karenanya juga berarti memperluas ruang lingkup kompetensi
Pengadilan Tata Usaha Negara.25
Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN) merupakan salah satu instrumen pemerintah
yang paling sering muncul dalam interaksi antara warga negara dan pemerintah, terutama
dalam bentuk izin. Tanggapan pemerintah terhadap permohonan yang diajukan oleh warga
negara dapat berupa mengabulkan, menolak atau bersikap diam. Sikap diam pemerintah,
tentunya setelah lewat jangka waktu yang ditetapkan, dalam konteks UU Peradilan Tata
Usaha Negara diartikan sebagai penolakan atau disebut sebagai KTUN Fiktif Negatif.
Sedangkan, dalam konteks UU Administrasi Negara, sikap diam pemerintah dianggap sebagai
mengabulkan permohonan tersebut, sehingga kerap disebut sebagai KTUN Fiktif Positif.
Pertanyaan selanjutnya adalah apakah KTUN Fiktif Positif berlaku secara otomatis.26
Dalam UU Administrasi Negara, untuk melaksanakan suatu KTUN Fiktif Positif,
pemohon mengajukan terlebih dahulu permohonan ke Pengadilan Tata Usaha Negara. Perihal
pengajuan permohonan KTUN Fiktif Positif, Mahkamah Agung melalui Perma Nomor 5
Tahun 2015 yang selanjutnya dicabut oleh Perma Nomor 8 Tahun 2017 tentang Pedoman
Beracara Untuk Memperoleh Putusan Atas Penerimaan Permohonan Guna Mendapatkan
Keputusan dan/atau Tindakan Badan/Pejabat Pemerintah, telah mengatur mengenai prosedur
permohonan dimaksud. Dalam Perma Nomor 8 Tahun 2017, permohonan dapat tidak diterima

25
https://m.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt5108602302e5e/apakah-sikap-diam-pejabat-tun-berarti-
setuju/ diakses pada tanggal 19 September 2020.
26
https://business-law.binus.ac.id/2018/02/22/ktun-fiktif-positif-apakah-berlaku-otomatis/ diakses pada tanggal
19 September 2020.

Riau Law Journal: Vol. 5, No. 1, Mei (2021), 75-91 86


dalam hal (1) permohonan tidak memenuhi syarat formal; (2) pemohon tidak mempunyai
kedudukan hukum (legal standing); atau (3) pengadilan tidak berwenang. Dan permohonan
ditolak apabila alasan permohonan tidak berdasarkan hukum. Adapun kriteria permohonan
guna mendapatkan keputusan dan/atau tindakan Badan/Pejabat Pemerintahan, yaitu:
(1)Permohonan dalam lingkup kewenangan Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan;
(2)Permohonan terhadap keputusan dan/atau tindakan untuk menyelenggarakan fungsi
pemerintahan; (3)Permohonan terhadap keputusan dan/atau tindakan yang belum pernah
ditetapkan dan/atau dilakukan Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan; dan (4)Permohonan
untuk kepentingan pemohon secara langsung. Sedangkan, permohonan dianggap gugur
apabila pemohon tidak hadir dalam persidangan 2 (dua) kali berturut-turut pada sidang
pertama dan kedua tanpa alasan yang sah atau pemohon tidak serius.
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa KTUN Fiktif Positif tidak
berlaku secara otomatis, namun perlu dilakukan upaya berupa pengajuan permohonan kepada
Pengadilan Tata Usaha Negara di tempat kedudukan termohon. Permohonan pun dapat
ditolak atau tidak diterima dengan berdasarkan alasan-alasan sebagaimana diuraikan di atas.

PENEGAKAN HUKUM ADMINISTRASI NEGARA SEBAGAI UPAYA


MEWUJUDKAN KEPASTIAN HUKUM BAGI MASYARAKAT
Sebuah penelitian sederhana telah dilakukan tim Puslitbang Hukum dan Peradilan
Mahkamah Agung, dikoordinasi Tri Cahya Indra Permana dengan studi kepustakaan
ditambah menyebar kuesioner kepada 100 orang pihak yang berperkara dan pengunjung di
Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta sepanjang Oktober 2015. Dari jumlah itu hanya 58
responden yang menjawab pertanyaan peneliti dengan sungguh-sungguh dan lengkap.27
Efektivitas putusan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) dalam upaya paksa
belum efektif menjamin kepatuhan pejabat terhadap putusan PTUN. Kepatuhan pejabat
memang telah lama menjadi problem PTUN. Sudah beberapa kali penelitian dilakukan yang
membuktikan itu. Termasuk penelitian yang dilakukan Supandi (kini Hakim Agung di kamar
TUN) di PTUN Medan, dan penelitian Istiwibowo di PTUN Jakarta dalam periode 2008-
2013. Istibowo, juga hakim TUN, menemukan fakta dari 276 putusan hanya 15 putusan yang
dilaksanakan. Dengan kata lain, 261 (setara 95%) tidak dilaksanakan.

27
https://m.hukumonline.com/index.php/berita/baca/lt577f09bf44b74/iius-constituendum-i-kepatuhan-terhadap-
putusan-ptun/ diakses pada tanggal 19 September 2020.

Riau Law Journal: Vol. 5, No. 1, Mei (2021), 75-91 87


Upaya paksa yang bisa dikenakan bisa dibaca dalam Pasal 116 Undang-Undang
Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara. Pada dasarnya tergugat harus melaksanakan
putusan yang sudah berkekuatan hukum tetap (BHT) secara sukarela. Jika dalam waktu 60
hari setelah putusan BHT, tergugat tak juga melaksanakan kewajibannya, maka Keputusan
Tata Usaha Negara (KTUN) yang disengketakan tidak mempunyai kekuatan hukum lagi.
Jika tergugat membandel juga penggugat bisa minta Ketua Pengadilan untuk
memerintahkan tergugat melaksanakan putusan. Jika masih tetap membandel, Pejabat TUN
bersangkutan dapat dikenakan pembayaran sejumlah uang paksa dan/atau sanksi
administratif. Selanjutnya, ada pula upaya mengumumkan pejabat yang tak mematuhi putusan
itu lewat media massa. Selain itu, Ketua Pengadilan bisa mengirimkan surat kepada Presiden
untuk memerintahkan pejabat yang dihukum melaksanakan putusan pengadilan.

SIFAT EKSEKUSI
Sebelum ada revisi UU No. 5 Tahun 1986, eksekusi putusan Peradilan TUN lebih
dipengaruhi asas self respect atau self obedience dan sistem floating execution. Artinya,
kewenangan melaksanakan putusan sepenuhnya diserahkan kepada Badan atau Pejabat TUN
yang berwenang tanpa ada kewenangan PTUN menjatuhkan sanksi. Setelah UU No. 5 Tahun
1986 direvisi, sifatnya berubah menjadi fixed execution, yakni eksekusi yang pelaksanaannya
dapat dipaksakan pengadilan melalui sarana-sarana pemaksa yang diatur dalam perundang-
undangan. Publikasi putusan melalui media massa, misalnya, dapat mendorong kontrol sosial.
Salah satu perkembangan penting dalam eksekusi putusan PTUN yang berkekuatan
hukum tetap adalah lahirnya UU No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan.
Undang-Undang ini mengatur sanksi administrasi seperti dwangsom yang dapat dijatuhkan
kepada Pejabat Pemerintahan. Kalaupun belum ada aturan teknis, tidak dilarang memasukkan
petitum pembayaran uang dwangsom dan sanksi administratif. Faktanya, sudah ada
pengadilan yang memasukkan dwangsom dalam amar majelis hakim, misalnya, putusan No.
47/G/2008 di PTUN Semarang.
Sangat penting untuk segera mengatur eksekutabilitas putusan PTUN. Apakah jika
diatur, maka ada jaminan pejabat otomatis patuh? Tidak dipatuhinya putusan PTUN bukan
hanya terletak pada pengaturan yang tidak tegas atau tidak ada peraturan pelaksanaan upaya
paksa, tetapi juga pada lembaga mana yang seharusnya memastikan pelaksanaan putusan

Riau Law Journal: Vol. 5, No. 1, Mei (2021), 75-91 88


PTUN. Jika semata menggunakan prinsip kesukarelaan (self obedience), efektivitasnya sangat
bergantung pada budaya hukum si pejabat.
Selain dwangsom, gijzeling alias paksa badan menjadi alternatif. Artinya, terhadap
pejabat yang tidak melaksanakan putusan dikenakan paksa badan. Dalam hal ini, yakni
gijzeling pejabat tampaknya belum memungkinkan mengingat kultur di Indonesia dan sanksi
itu akan sangat mengganggu layanan publik. Salah satu opsi dalam konteks ini adalah RUU
Tindak Pidana Penyelenggaraan Peradilan dan Penghinaan di Luar Pengadilan yang telah
disusun Ikatan Hakim Indonesia (Ikahi) dan diserahkan ke Badan Legislasi DPR. RUU ini –
publik mengenalnya sebagai RUU Contempt of Court—menjadi salah satu hukum masa
depan yang didambakan bisa mengatasi problem eksekutabilitas putusan TUN yang telah
berkekuatan hukum tetap.

KESIMPULAN
Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN) merupakan salah satu instrumen pemerintah
yang paling sering muncul dalam interaksi antara warga negara dan pemerintah, terutama
dalam bentuk izin. Tanggapan pemerintah terhadap permohonan yang diajukan oleh warga
negara dapat berupa mengabulkan, menolak atau bersikap diam. Sikap diam pemerintah,
tentunya setelah lewat jangka waktu yang ditetapkan, dalam konteks UU Peradilan Tata
Usaha Negara diartikan sebagai penolakan atau disebut sebagai KTUN Fiktif Negatif.
Sedangkan, dalam konteks UU Administrasi Negara, sikap diam pemerintah dianggap sebagai
mengabulkan permohonan tersebut, sehingga kerap disebut sebagai KTUN Fiktif Positif.
Perihal pengajuan permohonan KTUN Fiktif Positif, Mahkamah Agung melalui
Perma Nomor 5 Tahun 2015 yang selanjutnya dicabut oleh Perma Nomor 8 Tahun 2017
tentang Pedoman Beracara Untuk Memperoleh Putusan Atas Penerimaan Permohonan Guna
Mendapatkan Keputusan dan/atau Tindakan Badan/Pejabat Pemerintah, telah mengatur
mengenai prosedur permohonan dimaksud. KTUN Fiktif Positif tidak berlaku secara
otomatis, namun perlu dilakukan upaya berupa pengajuan permohonan kepada Pengadilan
Tata Usaha Negara di tempat kedudukan termohon. Permohonan pun dapat ditolak atau tidak
diterima.

Riau Law Journal: Vol. 5, No. 1, Mei (2021), 75-91 89


DAFTAR PUSTAKA
Azhary, Muhammad Tahir. Negara Hukum. Jakarta: Bulan Bintang. 1992.
Hadjon, Philipus M et al. Pengantar Hukum Administratif Indonesia (Introduction to the
Indonesian Administratife Law).Yogyakarta: Gajah Mada University Press. 2002.
https://m.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt5108602302e5e/apakah-sikap-diam-pejabat-
tun-berarti-setuju/ diakses pada tanggal 19 September 2020.
https://business-law.binus.ac.id/2018/02/22/ktun-fiktif-positif-apakah-berlaku-otomatis/
diakses pada tanggal 19 September 2020.
https://m.hukumonline.com/index.php/berita/baca/lt577f09bf44b74/iius-constituendum-i-
kepatuhan-terhadap-putusan-ptun/ diakses pada tanggal 19 September 2020.
Indroharto. Usaha Memahami Undang-Undang Tentang Peradilan Tata Usaha Negara Buku
I: Beberapa Pengertian Dasar Hukum Tata Usaha Negara, Cetakan ke-3. Jakarta:
Pustaka Sinar Harapan.1993.
Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Direktorat Jendral
Peraturan Perundang – Undangan ―Hukum Tata Negara dan Peraturan Perundang –
Undangan‖ http://ditjenpp.kemenkumham.go.id/htn-dan-puu/421-harmonisasi-
peraturan-perundang-undangan.html diakses pada tanggal 7 Oktober 2019
Rodding, Budiamin ―Keputusan Fiktif Negatif dan Fiktif Positif dalam Peningkatan Kualitas
Pelayanan Publik‖, Tanjung Pura Law Journal, Vol. 1 Januari 2017,
http://jurnal.untan.ac.id/index.php/tlj : 26-37.
Safudin, Endrik. Alternatif Penyelesaian Sengketa dan Arbitrase. Malang: Intras Publishing.
2018.
Santoso, Bagus Teguh.‖Keputusan Fiktif Positif Sebagai Bentuk Reformasi Birokrasi
Berdasarkan Prinsip Good Govenance”, Fakultas Hukum Universitas Bhayangkara,
diakses pada tanggal 7 September 2020.
Simanjuntak, Enrico ―Prospek Prinsip Fiktif Positif Dalam Menunjang Kemudahan Berusaha
di Indonesia‖, Jurnal Rechts Vinding (Media Pembinaan Hukum Nasional), Volume
7 Nomor 2 Agustus (2018) : 301-320
http://dx.doi.org/10.33331/rechtsvinding.v7i2.250.
Soetami, A Siti. Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara. Bandung: PT Refika Aditama.
2015.

Riau Law Journal: Vol. 5, No. 1, Mei (2021), 75-91 90


Tjandra,W. Riawan. Peradilan Tata Usaha Negara; Mendorong Terwujudnya Pemerintahan
yang Bersih dan Berwibawa. Yogyakarta: Universitas Atma Jaya. 2009.
Utama, Kartika Widya. ―Surat Keputusan Tata Usaha Negara Yang Bersifat Fiktif Positif‖,
Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, diakses pada tanggal 7 September 2020.

Riau Law Journal: Vol. 5, No. 1, Mei (2021), 75-91 91

You might also like