Professional Documents
Culture Documents
Kewenangan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Dalam Mengadili Perkara Fiktif Positif
Kewenangan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Dalam Mengadili Perkara Fiktif Positif
PENDAHULUAN
Prinsip dasar dalam negara hukum adalah pemerintahan berdasarkan peraturan
perundang-undangan atau Wetmatigheid van Bestuur. Dapat juga dikatakan tindakan hukum
pemerintah baik dalam menjalankan fungsi pengaturan maupun pelayanan. Tindakan tersebut
harus berdasarkan pada wewenang yang diberikan oleh peraturan perundang-undangan yang
diberlakukan.
Istilah pemerintah dalam pengertian luas, adalah kegiatan negara dalam
melaksanakan kekuasaan politik. Sedangkan dalam pengertian sempit, adalah meliputi
kegiatan negara kecuali pembuatan undang-undang dan peradilan.1 Istilah administrasi dan
pemerintah sudah umum digunakan baik oleh pemerintah maupun masyarakat.
Di Indonesia kewenangan untuk menguji kebijakan pemerintah yang berkaitan
dengan hak warga Negara ini diletakkan di dalam satu lembaga dengan hak warga negara ini
yaitu Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN). Keberadaan PTUN ini tak lepas dari komitmen
bangsa Indonesia untuk mendirikan negara hukum dan melindungi kepentingan warga
negaranya.
Kedudukan Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN) dalam Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia 1945 pasca amandemen telah diatur secara tegas, khususnya
dalam Pasal 24 ayat (2) UUD 1945, yang menyatakan bahwa ―Kekuasaan Kehakiman
dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan lain-lain badan-badan peradilan yang berada di
bawahnya dalam lingkungan Peradilan Umum, lingkungan Peradilan Agama, lingkungan
Peradilan Militer, lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara dan oleh Mahkamah Konstitusi‖.
Pengaturan secara tegas kedudukan Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN) secara
tegas dalam konstitusi tersebut dipengaruhi oleh gagasan mengenai perlunya peningkatan
1
Bagian dari sistem pemerintahan ciptaan Montesquieu yang dituangkan dalam bukunya ―L’esprit des lois‖ (jiwa
hukum), yakni legislatif, eksekutif, dan yudikatif atau biasa disebut Trias Politica.
2
W. Riawan Tjandra, Peradilan Tata Usaha Negara; Mendorong Terwujudnya Pemerintahan yang Bersih dan
Berwibawa, (Yogyakarta: Universitas Atma Jaya, 2009), 1.
3
Untuk selanjutnya diubah lagi dengan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 51 Tahun 2009 tentang
Perubahan Kedua Undang-undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata usaha
Negara.
4
Meskipun perubahan sanksi ini dianggap ―kemajuan‖, namun dalam implementasinya masih mengandung
banyak kendala. Lihat ―Jurnal Magister Hukum‖ Vol.1 No.1 Januari (2005) : 108-111.
5
Untuk mengakses prinsip-prinsip dan unsur-unsur yang bersifat keIndonesiaan dalam penelitian ini akan
merujuk antara lain pada, Philipus M. Hadjon, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat di Indonesia, Surabaya : Bina
Ilmu, 1997; Muhammad Tahir Azhary, Negara Hukum, Jakarta: Bulan Bintang, 1992; Padmo
Wahjono, Indonesia Negara Berdasarkan atas Hukum, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1983; Azhary, Negara
Hukum Indonesia, Analisis Yuridis Normatif tentang Unsur-unsurnya, Hamid Attamimi, Peranan Keputusan
Republik Indonesia dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Negara, Disertasi UI, Jakarta, 1990, dan lain-lain.
Sedangkan untuk mengakses prinsip-prinsip umum negara hukum akan merujuk pada buku-buku yang
menyajikan pembahasan negara hukum seperti, E.M.A. Hirsch Ballin, Rechtsstaat&Beleids, W.E.J. Tjeenk
Willink, Zwolle, 1991; H.D. van Wijk/Willem Konijnenbelt, Hoofdstukken van Administratief Recht, Uitgeverij
Lemma BV. Utrecht, 1995; J.B.J.M. ten Berge, Besturen Door De Overheid, W.E.J. Tjeenk Willink, Deventer,
1996; AP Le Sueur dan JW Herberg, Constituonal & Administrative Law, Cavendish Publishing Limited,
London, 1995; P.J.P. Tak,Rechtsvorming in Nederland, Samsom H.D. Tjeenk Willink, 1991; P. de Haan, et.
al.,Bestuursrecht in de Sociale Rechtsstaat, Kluwer, Deventer, 1986, dan lain-lain.
6
Muhammad Tahir Azhary, Op. Cit.,. 63. Setelah Amandemen UUD 1945, eksistensi Indonesia sebagai negara
hukum telah memiliki sandaran konstitusional yang pasti setelah dengan tegas disebutkan dalam batang tubuh
UUD 1945, yakni dalam Pasal 1 ayat (3); ―Negara Indonesia adalah negara hukum‖. Sebelum amandemen,
pernyataan bahwa Indonesia tergolong negara hukum hanya disebutkan dalam Penjelasan UUD 1945, yang
diperdebatkan oleh banyak ahli Hukum Tata Negara mengenai validitas dan kekuatan hukumnya.
7
Endrik Safudin, Alternatif Penyelesaian Sengketa dan Arbitrase, (Malang: Intras Publishing, 2018), 6.
8
A Siti Soetami, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, (Bandung: PT Refika Aditama, 2015), 9.
9
Ibid
10
Undang – Undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradillan Tata Usaha Negara.
11
Philipus M Hadjon et al, Pengantar Hukum Administratif Indonesia (Introduction to the Indonesian
Administratife Law), (Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 2002), 316.
12
Ibid
13
Ibid, 317.
14
Budiamin Rodding, ―Keputusan Fiktif Negatif dan Fiktif Positif Dalam Peningkatan Kualitas Pelayanan
Publik‖, Tanjung Pura Law Journal, Vol. 1 Januari 2017, http://jurnal.untan.ac.id/index.php/tlj diakses pada
tanggal 5 Oktober 2020 : 26-37.
15
Ibid.
16
Ibid.
17
Ibid.
Dapat dikatakan bahwa Undang – Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan
Tata Usaha Negara dan Undang – Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi
Pemerintahan mempunyai ketidakharmonisan di dalam peraturan perundang – undangan.
Untuk itu, dalam hal untuk mengatasi disharmonisasi peraturan perundang – undangan dapat
dilakukan yaitu:23
1. mengubah/mencabut pasal tertentu yang mengalami disharmonisasi atau seluruh
pasal peraturan perundang - undangan yang bersangkutan, oleh lembaga/instansi
yang berwenang membentuknya;
2. mengajukan permohonan uji materil kepada lembaga yudikatif;
3. menerapkan asas Lex superior derogat legi inferiori, Lex specialis derogat legi
generalis, Lex posterior derogat legi prior.
Surat permintaan persetujuan dalam hukum administrasi negara dikenal dengan
Keputusan Tata Usaha Negara. Menurut Pasal 1 angka 9 Undang - Undang Nomor 51 Tahun
2009 tentang Perubahan Kedua Atas UU No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha
Negara ("UU 51/2009") yang dimaksud dengan Keputusan Tata Usaha Negara adalah:
―….suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara
yang berisi tindakan hukum tata usaha negara yang berdasarkan peraturan perundang-
undangan yang berlaku, yang bersifat konkret, individual, dan final, yang menimbulkan
akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata.‖ Apabila surat persetujuan
memenuhi ciri-ciri yang disebutkan di dalam Pasal 1 angka 9 Undang-Undang Nomor 51
Tahun 2009 tersebut, maka itu termasuk sebagai Keputusan Tata Usaha Negara. Kemudian,
mengenai apakah permintaan persetujuan yang tidak dibalas dalam jangka waktu tertentu
22
Hasil rumusan Diklat Kapita Selekta Tata Usaha Negara Bagi Pimpinan Pengadilan Tingkat Pertama, mulai
tanggal 19 maret 2017 sampai dengan 25 maret 2017 dipusdiklat mahkamah agung RI, Mega Mendung, Bogor
Dalam jurnal Enrico Simanjuntak, ―Perkara Fiktif Positif dan Permasalahan Hukumnya‖, Op.Cit.
23
Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Direktorat Jendral Peraturan Perundang –
Undangan ―Hukum Tata Negara dan Peraturan Perundang – Undangan‖ http://ditjenpp.kemenkumham.go.id/htn-
dan-puu/421-harmonisasi-peraturan-perundang-undangan.html diakses pada tanggal 7 Oktober 2019.
24
Indroharto, Usaha Memahami Undang-Undang Tentang Peradilan Tata Usaha Negara Buku I: Beberapa
Pengertian Dasar Hukum Tata Usaha Negara, Cetakan ke-3, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1993), 185-187.
25
https://m.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt5108602302e5e/apakah-sikap-diam-pejabat-tun-berarti-
setuju/ diakses pada tanggal 19 September 2020.
26
https://business-law.binus.ac.id/2018/02/22/ktun-fiktif-positif-apakah-berlaku-otomatis/ diakses pada tanggal
19 September 2020.
27
https://m.hukumonline.com/index.php/berita/baca/lt577f09bf44b74/iius-constituendum-i-kepatuhan-terhadap-
putusan-ptun/ diakses pada tanggal 19 September 2020.
SIFAT EKSEKUSI
Sebelum ada revisi UU No. 5 Tahun 1986, eksekusi putusan Peradilan TUN lebih
dipengaruhi asas self respect atau self obedience dan sistem floating execution. Artinya,
kewenangan melaksanakan putusan sepenuhnya diserahkan kepada Badan atau Pejabat TUN
yang berwenang tanpa ada kewenangan PTUN menjatuhkan sanksi. Setelah UU No. 5 Tahun
1986 direvisi, sifatnya berubah menjadi fixed execution, yakni eksekusi yang pelaksanaannya
dapat dipaksakan pengadilan melalui sarana-sarana pemaksa yang diatur dalam perundang-
undangan. Publikasi putusan melalui media massa, misalnya, dapat mendorong kontrol sosial.
Salah satu perkembangan penting dalam eksekusi putusan PTUN yang berkekuatan
hukum tetap adalah lahirnya UU No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan.
Undang-Undang ini mengatur sanksi administrasi seperti dwangsom yang dapat dijatuhkan
kepada Pejabat Pemerintahan. Kalaupun belum ada aturan teknis, tidak dilarang memasukkan
petitum pembayaran uang dwangsom dan sanksi administratif. Faktanya, sudah ada
pengadilan yang memasukkan dwangsom dalam amar majelis hakim, misalnya, putusan No.
47/G/2008 di PTUN Semarang.
Sangat penting untuk segera mengatur eksekutabilitas putusan PTUN. Apakah jika
diatur, maka ada jaminan pejabat otomatis patuh? Tidak dipatuhinya putusan PTUN bukan
hanya terletak pada pengaturan yang tidak tegas atau tidak ada peraturan pelaksanaan upaya
paksa, tetapi juga pada lembaga mana yang seharusnya memastikan pelaksanaan putusan
KESIMPULAN
Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN) merupakan salah satu instrumen pemerintah
yang paling sering muncul dalam interaksi antara warga negara dan pemerintah, terutama
dalam bentuk izin. Tanggapan pemerintah terhadap permohonan yang diajukan oleh warga
negara dapat berupa mengabulkan, menolak atau bersikap diam. Sikap diam pemerintah,
tentunya setelah lewat jangka waktu yang ditetapkan, dalam konteks UU Peradilan Tata
Usaha Negara diartikan sebagai penolakan atau disebut sebagai KTUN Fiktif Negatif.
Sedangkan, dalam konteks UU Administrasi Negara, sikap diam pemerintah dianggap sebagai
mengabulkan permohonan tersebut, sehingga kerap disebut sebagai KTUN Fiktif Positif.
Perihal pengajuan permohonan KTUN Fiktif Positif, Mahkamah Agung melalui
Perma Nomor 5 Tahun 2015 yang selanjutnya dicabut oleh Perma Nomor 8 Tahun 2017
tentang Pedoman Beracara Untuk Memperoleh Putusan Atas Penerimaan Permohonan Guna
Mendapatkan Keputusan dan/atau Tindakan Badan/Pejabat Pemerintah, telah mengatur
mengenai prosedur permohonan dimaksud. KTUN Fiktif Positif tidak berlaku secara
otomatis, namun perlu dilakukan upaya berupa pengajuan permohonan kepada Pengadilan
Tata Usaha Negara di tempat kedudukan termohon. Permohonan pun dapat ditolak atau tidak
diterima.