Download as pdf or txt
Download as pdf or txt
You are on page 1of 115

TUGAS SOSIOLOGI KESEHATAN

Guna memenuhi tugas mata kuliah sosiantropologi kesehatan.

Ahmad Sadewo Putro Iskandar


NIM : 211000098

Universitas Sumatera Utara


Fakultas Kesehatan Masyarakat
Medan 2021
FAKTOR FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEJADIAN TB PARU
DAN UPAYA PENANGGULANGANNYA

Edza Aria Wikurendra


Dosen S1 Ilmu Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kesehatan, Universitas Nahdlatul
Ulama Surabaya, Surabaya, Jawa Timur, Indonesia
Email : edzaaria@unusa.ac.id

ABSTRACT

Tuberculosis is still the main infectious disease in the world and is increasingly
becoming a concern with the presence of HIV / AIDS. In the Ministry of Health's
Strategic Plan for 2015-2019, infectious diseases are one of the main priorities
that must be addressed to realize a Healthy Indonesia. The number of cases of
pulmonary tuberculosis in Indonesia is reported to be 130 / 100,000, every year
there are 539,000 new cases and the number of deaths is around 101,000 per year,
the incidence rate of pulmonary tuberculosis cases is about 110 / 100,000 people.
This paper aims to reveal the problem of influential factors and efforts that must
be made in controlling pulmonary TB disease. This paper is made by tracing
research reports / articles related to the incidence of pulmonary TB. And then a
selection of the collected reports is carried out, so that 20 selected journals /
articles can be reviewed. From selected reports, determined aspects that indicate
the factors that caused the incidence of pulmonary TB and TB prevention efforts
were carried out. Various efforts have been made through various approaches to
treat or at least reduce the incidence of TB. Such as network model strategy
programs and others are expected to provide healing and prevent transmission.
But in the implementation in the field, the success of treatment and prevention
with this strategy experienced several obstacles that did not provide maximum
results.

Kata kunci: tuberculosis, increase

ABSTRAK

Tuberkulosis masih merupakan penyakit menular utama di dunia dan semakin


menjadi perhatian dengan adanya HIV/AIDS. Dalam Rencana Strategis
Kementerian Kesehatan Tahun 2015-2019, penyakit menular menjadi salah satu
prioritas utama yang harus ditangani untuk mewujudkan Indonesia Sehat.
Dilaporkan angka prevalensi kasus penyakit tuberkulosis paru di Indonesia
130/100.000, setiap tahun ada 539.000 kasus baru dan jumlah kematian sekitar
101.000 pertahun, angka insidensi kasus Tuberkulosis paru BTA (+) sekitar
110/100.000 penduduk. Tulisan ini dibuat bertujuan untuk mengungkapkan
masalah faktor yang berpengaruh dan upaya yang harus dilakukan dalam
penanggulangan penyakit TB paru. Tulisan ini dibuat dengan cara menelusuri
laporan penelitian/ artikel yang berkaitan dengan kejadian TB paru. Dan
berikutnya dilakukan seleksi pada laporan yang terkumpul, sehingga dapat
ditelaah sebanyak 20 jurnal/ artikel terpilih. Dari laporan terpilih, ditentukan
aspek-aspek yang menunjukan faktor – faktor penyebab kejadian TB paru dan
upaya penanggulangan TB yang dilakukan. Berbagai upaya telah dilakukan
melalui bermacam-macam pendekatan untuk mengobati atau paling tidak
mengurangi timbulnya TB. Seperti program strategi model jaringan dan yang lain
diharapkan dapat memberikan kesembuhan dan mencegah penularan. Namun
dalam pelaksanaan di lapangan , keberhasilan pengobatan dan pencegahan dengan
strategi tersebut mengalami beberapa hambatan yang tidak memberikan hasil
yang maksimal.

Kata kunci: tuberkulosis, meningkat

PENDAHULUAN mewujudkan Indonesia Sehat. Untuk


Pembangunan kesehatan pada penyakit menular, priotitas masih
hakekatnya adalah upaya yang tertuju pada penyakit HIV/ AIDS,
dilaksanakan oleh semua komponen tubercolusis, malaria, demam
Bangsa Indonesia yang bertujuan berdarah, influeza dan flu burung
untuk meningkatkan kesadaran, (Kepmenkes, 2015).
kemauan, dan kemampuan hidup Tuberkulosis paru merupakan
sehat bagi setiap orang agar terwujud penyakit infeksi menular yang
derajad kesehatan masyarakat yang disebabkan oleh Mycobacterium
setinggi-tingginya, sebagai investasi tuberculosis dan paling sering
bagi pembangunan sumber daya bermanifestasi di paru.
manusia yang produktif secara sosial Mikobakterium ini ditransmisikan
dan ekonomis. Undang-undang melalui droplet di udara, sehingga
Nomor 25 Tahun 2004, tentang seorang penderita tuberkulosis paru
Sistem perencanaan Pembangunan merupakan sumber penyebab
Nasional (SPPN) mengamanatkan penularan tuberkulosis paru pada
bahwa setiap kementerian perlu populasi di sekitarnya. Sampai saat
menyusun Rencana Strategis ini penyakit tuberkulosis paru masih
(Renstra) yang mengacu pada menjadi masalah kesehatan yang
Rencana Pembangunan Jangka utama, baik di dunia maupun di
Menengah Nasional (RPJMN). Indonesia. Menurut WHO (2006)
Untuk mencapai derajat kesehatan dilaporkan angka prevalensi kasus
masyarakat yang optimal Program penyakit tuberkulosis paru di
Pemberantasan Penyakit menitik Indonesia 130/100.000, setiap tahun
beratkan kegiatan pada upaya ada 539.000 kasus baru dan jumlah
mencegah berjangkitnya penyakit, kematian sekitar 101.000 pertahun,
menurunkan angka kesakitan dan angka insidensi kasus Tuberkulosis
kematian serta mengurangi akibat paru BTA (+) sekitar 110/100.000
buruk dari penyakit menular maupun penduduk. Penyakit ini merupakan
tidak menular. Dalam Rencana penyebab kematian urutan ketiga,
Strategis Kementerian Kesehatan setelah penyakit jantung dan
Tahun 2015-2019, penyakit menular penyakit saluran pernapasan
menjadi salah satu prioritas utama (Depkes, 2008).
yang harus ditangani untuk
Sekitar 75% penderita adalah 759 (dengan interval tingkat
tuberkulosis paru adalah kelompok kepercayaan 95% 590-961) 3).
usia produktif secara ekonomis (15- Prevalensi TB paru dengan
50 tahun). Diperkirakan seorang konfirmasi bakteriologis pada semua
penderita tuberkulosis paru dewasa umur per 100.000 penduduk adalah
akan kehilangan rata-rata waktu 601 (dengan interval kepercayaan
kerjanya 3 sampai 4 bulan, hal 95% 466-758); dan 4). Prevalensi TB
tersebut berakibat pada kehilangan semua bentuk untuk semua umur per
pendapatan tahunan rumah 100.000 penduduk adalah 660
tangganya sekitar 20-30%. Jika (dengan interval tingat kepercayaan
meninggal akibat penyakit 95% 523-813), diperkirakan terdapat
tuberkulosis paru, maka akan 1.600.00 (dengan interval tingkat
kehilangan pendapatannya sekitar 15 kepercayaan 1.300.000-2.000.000)
tahun, selain merugikan secara orang dengan TB di Indonesia
ekonomis, Tuberkulosis paru juga (Kepmenkes, 2015).
memberikan dampak buruk lainnya Upaya penanggulangan penyakit
secara sosial bahkan kadang TB sudah dilakukan melalui berbagai
dikucilkan oleh masyarakat (Depkes, program kesehatan di tingkat
2008). Puskesmas, berupa pengembangan
WHO dalam Annual Report on strategi penanggulangan TB yang
Global TB Control (2003) dikenal dengan strategi DOTS
menyatakan terdapat 22 negara (directly observed treatment, short
dikategorikan sebagai high burden course = pengawasan langsung
countries terhadap tuberkulosis paru, menelan obat jangka pendek), yang
termasuk Indonesia. Pada tahun 2004 telah terbukti dapat menekan
diperkirakan 2 juta orang meninggal penularan, juga mencegah
di seluruh dunia karena penyakit perkembanggannya MDR (multi
tuberkulosis paru dari total 9 juta drugs resistance = kekebalan ganda
kasus. Karena jumlah penduduknya terhadap obat) TB, tetapi hasilnya
yang cukup besar, Indonesia masih dirasakan belum sesuai dengan
menempati urutan ketiga di dunia yang diharapkan. Oleh karena itu
dalam hal penderita tuberkulosis paru diharapkan adanya perhatian dari
setelah India dan China. Setiap tahun pihak pihak terkait dalam upaya
angka perkiraan kasus baru berkisar meningkatkan keterlibatan peran
antara 500 hingga 600 orang diantara pelayanan penanganan TB paru
100.000 penduduk (Depkes, 2008). selanjutnya. Oleh karena itu tulisan
Hasil survey prevalensi TB di ini dibuat untuk mengungkapkan
Indonesia Tahun 2013-2014 dengan masalah faktor yang berpengaruh dan
konfirmasi bakteriologis pada upaya yang harus dilakukan dalam
populasi yang berusia 15 tahun ke penanggulangan penyakit TB paru.
atas menghasilkan : 1). Prevalensi
TB paru smear positif per 100.000 BAHAN DAN CARA
penduduk umur 15 tahun ke atas Tulisan ini dibuat dengan cara
adalah 257 (dengan tingkat menelusuri laporan penelitian/ artikel
kepercayaan 95 % 210-303) 2). yang berkaitan dengan kejadian TB
Prevalensi TB paru dengan paru. Dan berikutnya dilakukan
konfirmasi bakteriologis per 100.000 seleksi pada laporan yang terkumpul,
penduduk umur 15 tahun ke atas sehingga dapat ditelaah sebanyak 20
jurnal/ artikel terpilih. Dari laporan pencegahan penyakit TB paru.
terpilih, ditentukan aspek-aspek yang Dengan membuka jendela setiap
menunjukan faktor – faktor penyebab pagi, maka dimungkinkan sinar
kejadian TB paru dan upaya matahari dapat masuk ke dalam
penanggulangan TB yang dilakukan. rumah atau ruangan. Sedangkan
kebiasaan merokok memperburuk
HASIL DAN PEMBAHASAN gejala TB. Demikian juga dengan
Faktor-faktor yang berkaitan perokok pasif yang menghisap
dengan kejadian TB paru rokok, akan lebih mudah terinfeksi
Menurut Eka (2013) terdapat TB paru, 5). Riwayat kontak dengan
beberapa faktor yang mempengaruhi penderita TB paru menyebabkan
kejadian TB paru, antara lain 1). penularan TB paru dimana seorang
Umur berperan dalam kejadian penderita rata-rata dapat menularkan
penyakit TB. Risiko untuk kepaa 2-3 orang di dalam rumahnya,
mendapatkan TB dapat dikatakan sedangkan besar resiko terjadinya
seperti halnya kurva normal tebalik, penularan untuk rumah tangga
yakni tinggi ketika awalnya, dengan penderita lebih dari 1 orang
menurun karena di atas 2 tahun adalah 4 kali dibanding rumah
hingga dewasa memiliki daya tangga dengan hanya 1 orang
tangkal terhadap TB dengan baik. penderita TB paru.
Puncaknya tentu dewasa muda dan Dalam penelitian Girsang (2011)
menurun kembali ketika seseorang dijelaskan bahwa ada dua faktor
atau kelompok menjelang usia tua, resiko yang mengakibatkan
2). Tingkat pendapatan terjadinya penyakit TB paru. Pertama
mempengaruhi angka kejadian TB, faktor lingkungan yaitu kondisi
kepala keluarga yang mempunyai rumah penderita yang tidak
pendapatan dibawah UMR akan memenuhi syarat antara lain dinding
mengkonsumsi makanan dengan tidak permanen, kepadatan hunian
kadar gizi yang tidak sesuai dengan tinggi, tidak ada pembuangan
kebutuhan bagi setiap anggota sampah, rumah berlantai tanah dan
keluarga sehingga mempunyai status mengkonsumsi air yang tidak
gizi yang kurang dan akan memenuhi syarat. Kedua faktor
memudahkan untuk terkena penyakit perilaku yaitu masyarakat masih
infeksi diantaranya TB paru, 3). memiliki pola hidup yang belum
Kondisi rumah menjadi salah satu sehat dan masih banyak masyarakat
faktor resiko penularan TB paru. yang merokok.
Atap, dinding dan lantai dapat Kurniasari (2012) mengatakan
menjadi tempat perkembang biakan bahwa faktor resiko penyakit TB
kuman. Lantai dan dinding yang sulit paru yaitu kondisi sosial ekonomi,
dibersihkan akan menyebabkan pencahayaan ruangan dan luas
penumpukan debu, sehingga akan ventilasi. Kondisi sosial ekonomi
dijadikan sebagai media yang baik yang kurang baik menyebabkan
bagi perkembangbiakan kuman, 4). penderita tidak memiliki kemampuan
Membuka jendela setiap pagi dan untuk membuat rumah yang sehat
merokok berpengaruh terhadap atau memenuhi syarat, kurangnya
kejadian TB paru. Kegiatan pengetahuan untuk mendapatkan
membuka jendela setiap pagi informasi kesehatan, kurangnya
merupakan salah satu upaya mendapat jangkauan layanan
kesehatan dan kurangnya pemenuhan akhirnya membahayakan
gizi yang berakibat pada daya tahan pemakainya. Riwayat penularan
tubuh yang randah sehingga mudah anggota keluarga jika ada yang
untuk terinfeksi. Pencahayaaan yang menderita TB paru akan mampu
kurang menyebabkan kuman menularkan 79,781 kali dari keluarga
tuberkulosis dapat bertahan hidup yang tidak ada yang menderita TB
pada tempat yang sejuk, lembab, dan paru. Riwayat kontak penderita
gelap tanpa sinar matahari sampai dalam satu keluarga dengan anggota
bertahun tahun lamanya, dan mati keluarga yang lain yang sedang
bila terkena sinar matahari. Luas menderita TB paru merupakan hal
ventilasi yang kurang menyebabkan yang sangat penting karena kuman
peningkatan kelembaban ruangan Mycobacterium tuberkulosis sebagai
karena terjadinya proses penguapan etiologi TB paru adalah memiliki
cairan dari kulit dan penyerapan. ukuran yang sangat kecil, bersifat
Kelembaban ruangan yang tinggi aerob dan mampu bertahan hidup
akan menjadi media yang baik untuk dalam sputum yang kering atau
tumbuh dan berkembang biaknya ekskreta lain dan sangat mudah
bakteri-bakteri patogen termasuk menular melalui ekskresi inhalasi
kuman tuberkulosis. baik melalui nafas, batuk, bersin
Sudiantara (2014) mengatakan ataupun berbicara (droplet infection).
bahwa kejadian TB paru yang Sehingga adanya anggota keluarga
berhubungan dengan kondisi yang menderita TB paru aktif, maka
lingkungan fisik rumah tidak berdiri seluruh anggota keluarga yang lain
sendiri oleh satu faktor saja tetapi akan rentan dengan kejadian TB paru
banyak faktor yang berhubungan termasuk juga anggota keluarga
secara bersama-sama adalah dekat. Riwayat kontak anggota
kelembaban dan ventilasi kamar keluarga yang serumah dan terjadi
tidur. Pada keadaan ventilasi yang kontak lebih dari atau sama dengan 3
kurang maka udara terperangkap bulan berisiko untuk terjadinya TB
dalam kamar dan keadaan kamar paru terutama kontak yang
menjadi pengap dan lembab. berlebihan melalui penciuman,
Kelembaban dalam rumah pelukan, berbicara langsung.
memudahkan berkembangbiaknya Hasilpenelitian didapatkan sebesar
kuman Mycobacterium tubercolusis, 63,8% yang terdeteksi menderita TB
demikian juga keadaan ventilasi paru yang berasal dari kontak
udara dalam kamar yang kecil erat serumah dengan keluarga atau orang
kaitannya dengan kejadian penyakit tua yang menderita TB paru.Keadaan
TB paru. Ventilasi kurang dari 15% status gizi dan penyakit infeksi
dari luas lantai beresiko terjadinya merupakan pasangan yang
TB paru 16,9 lebih besar. Ventilasi terkait.Penderita infeksi sering
kamar tidur berperan besar dalam mengalami anoreksia, penggunaan
sirkulasi udara terutama waktuyang berlebih, penurunan
mengeluarkan CO2 termasuk bahan- giziatau gizi kurang akan
bahan yang tercemar seperti kuman memilikidaya tahan tubuh yang
bakteri, sehingga ventilasi suatu rendah dan sangat peka terhadap
ruangan tidak memenuhi standar penularan penyakit. Padakeadaan
minimal, maka ruang akan menjadi gizi yang buruk ,makareaksi
panas dan udara stagnan di dalamnya kekebalan tubuh akan menurun
sehingga kemampuandalam pengetahuan, pendidikan
mempertahankan diriterhadap infeksi berkontribusi terhadap perilaku
menjadi menurun. kesehatan seseorang. Sehingga
Dalam jurnal Firdiansyah (2015) rendahnya tingkat pendidikan akan
ventilasi responden masih belum berpengaruh terhadap seberapa jauh
memenuhi syarat, kondisi lingkungan pengetahuan seseorang khusususnya
yang padat dan rapat berpengaruh dalam berperilaku sehat. Berdasarkan
terhadap jumlah dan ukuran ventilasi hasil penelitian dan pengamatan
di setiap rumah responden. Dengan kondisi lingkungan rumah responden
ventilasi yang kurang akan masih kurang memenuhi syarat
menyebabkan kelembaban udara rumah sehat. Pendapatan merupakan
dalam ruangan akan menjadi tinggi, indikator keadaan ekonomi sebuah
kurangnya cahaya matahari yang keluarga. Dengan pendapatan yang
masuk ke dalam rumah membuat tinggi seseorang akan bisa memenuhi
bakteri atau kuman penyakit akan kebutuhan hidupnya. Pendidikan
berkembangbiak dengan baik dan berpengaruh terhadap tingkat
beresiko terhadap penghuninya. pendapatan, namun dalam penelitian
Selain itu penempatan ventilasi juga ini tingkat pendapatan tidak
penting agar cahaya matahari dapat berpengaruh signifikan dikarenakan
masuk menyinari rumah dengan jenis pekerjaan merupakan faktor
baik. Cahaya yang masuk ke dalam yang dikendalikan (matching).
rumah sangat kurang hal ini terlihat Sehingga antara subyek kasus dan
dengan gelapnya kondisi ruangan subyek kontrol memiliki jenis
rumah. Gelapnya kondisi ruangan di pekerjaan yang sama. Pekerjaan
dalam rumah disebabkan kurangnya responden sebagian besar adalah
ventilasi sehingga akan membuat pedagang dan ibu rumah tangga
cahaya matahari yang masuk ke karena kurangnya tingkat pendidikan
dalam rumah menjadi berkurang dan dan responden yang berumur lanjut
dapat berpengaruh terhadap sehingga kurang produktivitas yang
tingginya kelembaban udara. berpengaruh terhadap kondisi
Kelembaban udara yang terdapat di ekonomi keluarga.
rumah responden belum memenuhi
syarat, kurangnya ventilasi dan UPAYA PENANGGULANGAN
cahaya matahari yang masuk ke TB PARU
dalam rumah responden membuat Upaya penanggulangan yang
kelembaban udara menjadi tinggi dilakukan untuk mengatasi masalah
atau tidak memenuhi syarat. Selain TB paru sangat beragam antara lain
itu kondisi rumah responden yang menurut penelitian Tjekyan (2012)
kurang luas dengan berbagai barang- menggunakan model jaringan. Model
barang yang ada semakin membuat ini melibatkan banyak stake holder
kelembaban udara yang tidak yang bertugas untuk memberikan
memenuhi syarat akan menjadi pengetahuan dan mendata jumlah
tempat yang baik untuk penderita yang ada. Jaringan
berkembangnya kuman TB. Operasional Pemberantasan
Responden sebagian besar berumur Tuberkulosis yang dikembangkan
lanjut yang pada jaman dahulu terdiri dari :
menganggap pendidikan tidak 1. Pembentukan organisasi
seberapa penting. Melalui formal tingkat kecamatan,
yaitu adanya “Jaringan Tuberkulosis kecamatan,
Pemberantasan Penyakit P2TB Puskesmas dan Dinkes.
Tuberkulosis Paru” yang 7. Pencatatan dan pelaporan oleh
dikembangkan oleh Dokter Praktek Swasta
Pemerintah Kecamatan memakai formulir TB 01 dan
melalui pengukuhan dengan TB 06 yang difasilitasi oleh
Surat Keputusan Camat Jaringan Penanggulangan
2. Promosi kesehatan Tuberkulosis Kecamatan yang
Tuberkulosis, berupa kegiatan selanjutnya dilaporkan ke
deteksi, dan perujukan suspek P2TB Puskesmas.
Tuberkulosis Paru oleh Kader 8. Perekerutan kader TB baru
TB Tingkat Rukun Tetangga oleh jaringan dari penderita
ke Dokter Praktek Swasta yang telah sembuh.
Kelurahan dan P2TB Berdasarkan penelitian Laksono
Puskesmas dengan formulir (2012) didapatkan hasil review pada
rujukan khusus. kebijakan penanggulangan penyakit
3. Perekrutan Dokter Praktik tuberculosis di level nasional
Swasta kelurahan mahir maupun global, maka dilakukan
menejemen kasus eksplorasi dan dilanjutkan dengan
Tuberkulosis strategi DOTS pengelompokan setiap indikator
regimen Fixed Dose, sistim berdasarkan tahapan tindakan
pencatatan, pelaporan sebagai penanggulangan penyakit
Unit Pelayanan kesehatan tuberculosis, yaitu tahap penemuan,
Tuberkulosis Paru disetiap penanganan dan surveilans.
kelurahan 1. Indikator Penemuan
4. Diagnosis TB dengan Ada 5 (lima) item yang
pemeriksaan mikroskopis berhasil dieksplorasi dan
sputum dengan sensitifitas disimpulkan pada tahapan
78% dan spesifitas 97% penemuan kasus tuberkulosis,
memakai metoda sentrifugasi yaitu
Natrium Hipoklorit ditingkat a. Pengembangan penentuan
P2TB kecamatan. kriteria suspek Tuberculosis
Laboratorium P2TB Indikator; Angka
ditingkatkan sebagai Pusat Penjaringan Suspek.
Rujukan Mikroskopis terbatas b. Modifikasi pemeriksaan/
khusus untuk kecamatan. pengambilan sampel sputum
5. Pengobatan dengan memakai Sewaktu-Pagi-Sewaktu
Obat Anti Tuberkulosis Fixed (SPS) untuk yang
Dose yang diawasi oleh dua transportasinya sulit
orang Pengawas Menelan terjangkau Indikator; a)
Obat yang terdiri dari keluarga Proporsi BTA (+) di antara
terdekat dan Kader TB suspek; b) Proporsi BTA (+)
Tingkat Rukun Tetangga (two di antara seluruh seluruh
direct oberserver) penderita Tuberculosis
6. Penggunaan Obat Anti c. Optimalisasi Foto Thorax
Tuberkulosis Fixed Dose yang untuk mendukung SPS
jaminan ketersediaannya oleh Indikator; a) Angka
Jaringan Penanggulangan penjaringan suspek; b)
Angka penemuan kasus Indikator Surveilans Ada 4
(Case Detection Rate/ CDR) (empat) item yang berhasil
d. Penegakan diagnosis dieksplorasi dan disimpulkan
Tuberculosis pada anak peneliti pada tahapan
berdasarkan scoring system surveilans tuberkulosis, yaitu;
Indikator; Proporsi a. Pengembangan Kultur
Tuberculosis anak di antara Sputum untuk BTA (+)
seluruh penderita ndikator; Angka kesalahan
Tuberculosis laboratorium (Error Rate)
e. Identifikasi dan evaluasi b. Pengembangan kultur
kontak intensif Indikator; a) untuk Penderita
Angka penemuan kasus Tuberculosis BTA (-)
(Case Detection Rate/CDR); Indikator; Angka kesalahan
b) Angka notifi kasi kasus laboratorium(Error Rate)
Indikator Penanganan. c. Kelengkapan medical
Ada 5 (lima) item yang record Indikator;
berhasil dieksplorasi dan Lengkap/tidak
disimpulkan pada tahapan d. Pelaporan: kasus baru,
penanganan penderita kasus ulangan, hasil
tuberkulosis, yaitu; pengobatan. Indikator;
a. Pengukuran kepatuhan Dilakukan/tidak
minum obat Indikator; a) 2. NGT pada Pelaksana
Angka konversi; b) Angka Lapangan
kesembuhan; c) Angka Nominal Group Technique
keberhasilan pengobatan (NGT) pada pelaksana
b. Manajemen persediaan obat lapangan dilakukan untuk
Indikator; Tersedia/ tidak eksplorasi sekaligus penentuan
c. Penilaian respon obat: sub indikator SPM penyakit
Pemeriksaan sputum 2 tuberkulosis yang terkait
spesimen pada akhir fase dengan indikator MDGs. NGT
intensif. Pemeriksaan dilaksanakan di daerah
sputum 1 X pada akhir penelitian. Langkah ini
bulan ke-5. Pemeriksaan ilakukan untuk mencari
sputum 1 X pada akhir kesepakatan para pelaksana
terapi (bulan ke Indikator; a) kebijakan di lapangan terhadap
Angka konversi; b) Angka draft sub indikator SPM
kesembuhan; c) Angka penyakit tuberkulosis yang
keberhasilan pengobatan terkait dengan indikator
(Success Rate/SR) MDGs. NGT dilaksanakan 3
d. Konseling dan uji HIV (tiga) kali untuk menemukan
untuk Penderita masing-masing indikator dalam
Tuberculosis Indikator; upaya penanggulangan kasus
Dilakukan/tidak tuberculosis. Tiga upaya
e. Ketersediaan Obat Anti- tersebut adalah penemuan,
Tuberkulosis (OAT) lini penanganan dan surveilans.
kedua Indikator;
Tersedia/tidak,
3. FGD oleh Pakar Penyakit tuberkulosis yang berupa
Tuberculosis batuk berdahak lebih dari 2
Langkah terakhir adalah minggu yang tidak bisa
pelaksanaan Focus Group dijelaskan penyebabnya.
Discussion (FGD). FGD Sedang pada anak ada
dilaksanakan dengan riwayat kontak dengan
melibatkan para pakar penyakit pasien yang didiagnosa
tuberkulosis yang beraliran menderita penyakit
public health (kesehatan tuberkulosis. Untuk sub
masyarakat). Untuk itu maka indikator penemuan ini
dipilih para pakar yang terdiri para pakar peserta diskusi
dari akademisi, klinisi, merekomendasikan masih
pemegang program, dan diperlukannya formulasi
penanggung jawab program metode diagnosa penyakit
DOTS penyakit Tuberkulosis. tuberkulosis yang baku
Pada awal FGD didahului sebagai acuan seluruh
dengan paparan hasil NGT di pelaksana di lapangan.
empat daerah penelitian b. Indikator penanganan
terpilih, sebagai salah satu pasien tuberkulosis Success
acuan yang menjadi bahan rate 90% dengan cure rate
pertimbangan. Dalam minimal 85%. Success rate
pelaksanaan FGD ini para adalah tingkat keberhasilan
pakar bersepakat bahwa sub minum obat atau persentase
indikator penyakit tuberkulosis yang menyelesaikan
dalam Standar Pelayanan minum obat dari seluruh
Minimal (SPM) bidang penderita penyakit
kesehatan yang terkait dengan tuberkulosis yang berhasil
Millenium Development Goals ditemukan. Sedang cure
(MDGs) akan dibuat rate adalah tingkat
sesederhana mungkin tetapi keberhasilan/ kesembuhan
masih bisa mewakili seluruh dari seluruh penderita
kegiatan penanggulangan penyakit tuberkulosis yang
penyakit tuberkulosis. Untuk berhasil ditemukan dan
itu para pakar peserta diskusi diobati.
kurang sependapat dengan c. Indikator surveilans
pendapat pelaksana lapangan penyakit tuberkulosis
dalam hasil NGT yang menurut Tingkat validitas
para pakar cenderung pencatatan & pelaporan
memperumit pelaksanaan di yang standar. Untuk
lapangan. Berdasarkan hasil melaksanakan indikator ke-
Focus Group Discussion sub tiga ini para pakar peserta
indikator Standar Pelayanan diskusi merekomendasikan
Minimal yang terkait dengan masih perlunya sebuah
Millenium Development Goals formulasi pencatatan
adalah sebagai berikut: pelaporan yang baku dan
a. Indikator penemuan cara pengukuran
penderita tuberkulosis. validitasnya.
Penemuan suspek penderita
Langkah-langkah penanggulangan sangat tinggi. Penelitian yang
TB di Puskesmas menurut Izza dilakukan oleh (Arsin, 2006), pasien
(2013) : yang menjalani pengobatan TB paru,
1. Penemuan penderita (case fi membutuhkan informasi ataupun
nding) secara pasif yaitu konseling kesehatan tentang
pasien yang berkunjung untuk perawatan dan pengobatan TB.
melakukan pengobatan Pemberian konseling dengan model
dengan keluhan yaitu gejala konseling yang bersifat kelompok
atau tanda-tanda penyakit TB lebih efektif dibanding dengan model
secara klinis dan secara aktif pemberian konseling secara individu
dari keluarga pasien yang hal ini sesuai dengan yang
berisiko tertular penyakit TB. dikemukakan oleh (Egan, 2005)
2. Pemeriksaan laboratorium bahwa pemberian konseling secara
untuk memastikan TB+ atau kelompok lebih efektifitas waktu hal
tidak (suspect). ini terkait dengan sumber dana dan
3. Pasien yang positif menderita sumber daya yang terbatas. Perawat
TB akan dilakukan sebagai tenaga kesehatan dalam
pemeriksaan kunjungan rumah melakukan Home visiteselain
oleh petugas kesehatan yang memberikan konseling dan
bertujuan mengetahui adanya pendidikan kesehatan tentang TB
anggota keluarga yang pernah paru dan mengajarkan keterampilan
kontak dengan penderita perawatan dasar dalam memenuhi
(contact tracing). kebutuhan dasar manusia, perlu juga
4. Selanjutnya dilakukan memberikan dukungan atau support
pencatatan dengan format pada keluarga. Hal ini ditekankan
Community Health Nursing (Dossey, 2005) bahwa dalam proses
(CHN), khusus untuk mendata penyembuhan atau pemulihan pasien,
penderita TB. Adapun form perlu diperhatikan manusia secara
yang perlu diisi yaitu Form menyeluruh (holism), yaitu bio,
TB 01 dan Form TB 02 untuk psiko, sosial kultural, dan spiritual.
pasien serta Form TB 03 Dalam penelitian ini, ditemukan
untuk pencatatan dalam buku peran keluarga terdekat seperti istri
register. dan anak dari penderita TB paru
5. Kasus TB dilaporkan ke sangat bermakna dalam proses
Dinkes Kota setiap bulan penyembuhan penderita TB paru di
untuk pasien baru via sms dan rumah, istri dan anak sebagai care
3 bulan sekali sebagai laporan giver melaksanakan fungsi keluarga
register atau kohort yang yaitu fungsi perawatan kesehatan
sekaligus merupakan keluarga. Seperti yang dikemukakan
monitoring dan evaluasi. oleh (Fredman, 2002) bahwa terdapat
Peningkatan pengetahuan, sikap 5 (lima) fungsi keluarga yaitu 1).
positif dan kepatuhan berobat fungsi afektif (the affectice function);
penderita TB paru dapat diwujudkan 2). Fungsi sosial dan tempat
dengan pemberian Konseling. Hal ini bersosialisasi (socialization and
dikemukakan oleh (Corones, 2009) social placement function); 3).
mengemukakan bahwa kebutuhan Fungsi perawatan kesehatan (the
informasi pada pasien yang health care function), fungsi
menjalankan pengobatan TB paru reproduksi (the reproductive
function), dan fungsi ekonomi (the Dossey, B.M., Keegan, L., Guzzetta,
economic function). Menurut C. (2005). Holistic Nursing ; A
(Suprajitno, 2004) bahwa fasilitas Handbook For Practice. Fourth
pelayanan kesehatan yang memadai Edition. Canada: Jones and
sangat diperlukan untuk memberikan Bartlett Pulishers.
pelayanan kesehatan yang Egan. A. (2005), Tuberkulosis Paru
berkualitas seperti ruang konseling dan Penaganannya. Jakarta :
kesehatan. Salemba Medika.
Firdiansyah, Wahyu Nur. (2015).
KESIMPULAN DAN SARAN Pengaruh Faktor Sanitasi Rumah
TB paru masih merupakan dan Sosial Ekonomi Terhadap
masalah di negara berkembang, Kejadian Penyakit TB Paru BTA
bahkan di negara maju masalah ini Positif di Kecamatan Genteng
kembali muncul dengan adanya HIV- Kota Surabaya. Surabaya :
AIDS. Berbagai upaya telah Pendidikan Geografi Unesa.
dilakukan melalui bermacam-macam Fitriani, Eka. (2013). Faktor Risiko
pendekatan untuk mengobati atau yag Berhubungan Dengan
paling tidak mengurangi timbulnya Kejadian Tuberkulosis Paru.
TB. Seperti program strategi model UJPH 2 (1) (2013).
jaringan dan yang lain diharapkan Friedman, M, Vicky, Bowden,
dapat memberikan kesembuhan dan Elaine, G.J. (2002). Buku Ajar
mencegah penularan. Namun dalam Keperawatan Keluarga : Riset,
pelaksanaan di lapangan , Teori & Praktik (Alih bahasa oleh
keberhasilan pengobatan dan Debora, I & Yoakim, A) Edisi 5.
pencegahan dengan strategi tersebut Jakarta: EGC.
mengalami beberapa hambatan yang Girsang, M., Tobing, K., Rafrizal.
tidak memberikan hasil yang (2011). Faktor Penyebab
maksimal. Faktor-faktor lain yang Kejadian Tuberkulosis Serta
dapat mempengaruhi keberhasilan Hubungannya Dengan
perlu peran serta seluruh komponen Lingkungan Tempat Tinggal di
masyarakat dan melibatkan instansi- Provinsi Jawa Tengah. Kemenkes
instansi lain diluar instansi kesehatan RI : BPPK.
agar penurunan angka kejadian TB Izza’, Nallul, Roosihermietie, Betty.
paru dapat terwujud dengan baik. (2013). Peningkatan Tuberkulosis
di Puskesmas Pacar Keling,
DAFTAR PUSTAKA Surabaya Tahun 2009-2011.
Arsin, A., Azrieful, Aisah. (2006). Buletin Penelitian Sistem
Beberapa Faktor yang Kesehatan – Vol.16 No.1 Januari
Berhubungan dengan Kejadian 2013 : 29-37.
TB Paru di Wilayah Kerja Kurniawan, R.A.S., Suhartono,
Puskesmas Kassi-Kassi Makasar. Cahyo, K., (2012). Faktor Risiko
Makasar: FKM Unhas. Kejadian Tuberkulosis Paru di
Corones, Katina, Flona M. Coyer, Kecamatan Baturetno Kabupaten
Karen A. (2009). Theobald. Wonogiri. Media Kesehatan
Exploring the Information Needs Masyarakat Indonesia,
of Patients. British Journal of Vol.11/No.2, Oktober 2012.
Nursing. 4(3). Pp: 123-130. Laksono, A.D, Astuti W.D, Waty, E.,
Atto’illah., (2012). Kajian
Standar Pelayanan Minimal
Penyakit Tuberkulosis Terkait
Indikator Millenium Development
Goals. Buletin Penelitian Sistem
Kesehatan – Vol.15 No.3 Juli
2012 : 259-270.
Sudiantara, K., Wahyuni, N.P.S.,
Harini, I., (2014). Faktor-faktor
yang Mempengaruhi Peningkatan
Kasus TB-Paru. Denpasar :
Jurusan Keperawatan Poltekkes
Denpasar.
Suprajitno, (2004). Asuhan
Keperawatan Keluarga. Jakarta:
EGC.
Tjekyan, Suryadi. (2012). Hasil Satu
Tahun Intervensi Jaringan
Penanggulangan Tuberkulosis
Paru Kecamatan Ilir Barat II
Kota Palembang.Palembang : FK
Unsri.
Sinopsis jurnal pertama :
Tulisan ini dibuat bertujuan untuk mengungkapkan masalah faktor yang berpengaruh
dan upaya yang harus dilakukan dalam penanggulangan penyakit TB paru. Dari laporan
terpilih, ditentukan aspek-aspek yang menunjukan faktor - faktor penyebab kejadian TB
paru dan upaya penanggulangan TB yang dilakukan. Namun dalam pelaksanaan di
lapangan , keberhasilan pengobatan dan pencegahan dengan strategi tersebut mengalami
beberapa hambatan yang tidak memberikan hasil yang maksimal. Upaya penanggulangan
penyakit TB sudah dilakukan melalui berbagai program kesehatan di tingkat Puskesmas,
berupa pengembangan strategi penanggulangan TB yang dikenal dengan strategi DOTS,
yang telah terbukti dapat menekan penularan, juga mencegah perkembanggannya MDR
TB, tetapi hasilnya masih dirasakan belum sesuai dengan yang diharapkan.

Faktor-faktor yang berkaitan dengan kejadian TB paru Menurut Eka terdapat beberapa
faktor yang mempengaruhi kejadian TB paru, antara lain :
1. Umur berperan dalam kejadian penyakit TB.
2. Tingkat pendapatan mempengaruhi angka kejadian TB.
3. Kondisi rumah menjadi salah satu faktor resiko penularan TB paru.
4. Membuka jendela setiap pagi dan merokok berpengaruh terhadap kejadian TB paru.
5. Riwayat kontak dengan penderita TB paru menyebabkan penularan TB paru dimana
seorang penderita rata-rata dapat menularkan kepada 2-3 orang di dalam rumahnya.

Upaya penanggulangan yang dilakukan untuk mengatasi masalah TB paru sangat


beragam antara lain menurut penelitian Tjekyan (2012) menggunakan model jaringan.
Model ini melibatkan banyak stake holder yang bertugas untuk memberikan
pengetahuan dan mendata jumlah penderita yang ada. Jaringan Operasional
Pemberantasan Tuberkulosis yang dikembangkan terdiri dari :
1. Pembentukan organisasi formal tingkat kecamatan.
2. Promosi kesehatan Tuberkulosis, berupa kegiatan deteksi, dan perujukan suspek
Tuberkulosis Paru oleh Kader TB Tingkat Rukun Tetangga ke Dokter Praktek Swasta
Kelurahan dan P2TB Puskesmas dengan formulir rujukan khusus.
3. Perekrutan Dokter Praktik Swasta kelurahan mahir menejemen kasus Tuberkulosis
strategi DOTS regimen Fixed Dose, sistim pencatatan, pelaporan sebagai Unit
Pelayanan kesehatan Tuberkulosis Paru disetiap kelurahan.
4. Diagnosis TB dengan pemeriksaan mikroskopis sputum dengan sensitifitas 78% dan
spesifitas 97% memakai metoda sentrifugasi Natrium Hipoklorit ditingkat P2TB
kecamatan.
5. Pengobatan dengan memakai Obat Anti Tuberkulosis Fixed Dose yang diawasi oleh
dua orang Pengawas Menelan Obat.
6. Penggunaan Obat Anti Tuberkulosis Fixed Dose.
7. Pencatatan dan pelaporan oleh Dokter Praktek Swasta memakai formulir TB 01 dan
TB 06.
8. Perekerutan kader TB baru oleh jaringan dari penderita yang telah sembuh.

Berdasarkan penelitian Laksono (2012) didapatkan hasil review pada kebijakan


penanggulangan penyakit tuberculosis di level nasional maupun global, maka dilakukan
eksplorasi dan dilanjutkan dengan pengelompokan setiap indikator berdasarkan tahapan
tindakan penanggulangan penyakit tuberculosis, yaitu tahap penemuan, penanganan dan
surveilans.

TB paru masih merupakan masalah di negara berkembang, bahkan di negara maju


masalah ini kembali muncul dengan adanya HIV- AIDS. Berbagai upaya telah dilakukan
melalui bermacam-macam pendekatan untuk mengobati atau paling tidak mengurangi
timbulnya TB. Seperti program strategi model jaringan dan yang lain diharapkan dapat
memberikan kesembuhan dan mencegah penularan. Namun dalam pelaksanaan di
lapangan , keberhasilan pengobatan dan pencegahan dengan strategi tersebut mengalami
beberapa hambatan yang tidak memberikan hasil yang maksimal. Faktor-faktor lain yang
dapat mempengaruhi keberhasilan perlu peran serta seluruh komponen masyarakat dan
melibatkan instansi- instansi lain diluar instansi kesehatan agar penurunan angka
kejadian TB paru dapat terwujud dengan baik.
p-ISSN 2597-5102; e-ISSN 2721-4249
Jurnal Kesehatan dan Sains, September 2020, 4(1): 32-39

FAKTOR – FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KESEHATAN KERJA


PADA PETUGAS CLEANING SERVICE DI RSUD SUMBAWA
TAHUN 2020
Ida Nursiani1, Rusmayadi2, Rihul H. Juliatmi3
1,3
Program Studi S1 Kesehatan Masyarakat STIKES Griya Husada Sumbawa
2
Program Studi S1 Keperawatan Masyarakat STIKES Griya Husada Sumbawa
email: idanursiani2@gmail.com

ABSTRAK
Kesehatan kerja merupakan promosi dan pemeliharaan kesejahteraan fisik, mental dan sosial
pekerja pada jabatan apapun dengan sebaik-baiknya. Petugas cleaning service mempunyai risiko
terkena bahan biologi berbahaya (biohazard), kontak dengan alat medis sekali pakai (disposable
equipment) seperti; jarum suntik bekas maupun selang infus bekas, serta membersihkan seluruh
ruangan di rumah sakit dapat meningkatkan risiko terkena penyakit infeksi yang dapat
mempengaruhi kesehatannya. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang
mempengaruhi kesehatan kerja pada petugas cleaning service di RSUD Sumbawa pada tahun
2020. Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian kuantitatif analitik dengan
menggunakan desain studi cross sectional. Sampel penelitian ini adalah total populasi atau seluruh
petugas cleaning service di RSUD Sumbawa pada saat penelitian dilakukan, yaitu bulan Juni 2020
yang berjumlah 46 responden. Data hasil penelitian dianalisis menggunakan uji Chi Square dengan
tingkat kepercayaan 95% (α: 0,05). Dari hasil uji Chi Square didapatkan ada hubungan antara
beban kerja dengan kesehatan kerja pada petugas cleaning service dengan X² hitung (26,414) > X²
tabel (3,841), ada hubungan antara lingkungan kerja dengan kesehatan kerja pada petugas cleaning
service dengan X² hitung (14,243) > X² tabel (3,841), dan ada hubungan antara penggunaan APD
dengan kesehatan kerja pada petugas cleaning service dengan X² hitung (3,920) > X² tabel (3,841).
Dari hasil penelitian ini disarankan kepada penelitian selanjutnya untuk meneliti mengenai
kesehatan kerja di Rumah Sakit dengan menggunakan metode dan variabel yang lebih banyak lagi.

Kata Kunci : Alat Pelindung Diri (APD); Beban Kerja ; Cleaning Service; Kesehatan Kerja;
Lingkungan Kerja

ABSTRACT
Occupational health is the promotion and maintenance of physical, mental and social welfare of
workers in any position as well as possible. The cleaning service officers have the risk of being
exposed to biohazard, contact with disposable equipment such as used syringes and used infusion
hoses, as well as cleaning the entire room in the hospital, it can increase the risks of infection that
can affect their health. This study was purposed to determine the factors that affect occupational
health of cleaning service officer in RSUD Sumbawa on 2020. This research used a quantitative
analytic study with a design cross sectional study. The sample was 46 respondents that taken from
total population of cleaning service officers in RSUD Sumbawa. Data Collecting was taken on
June 2020. The research data were analyzed using the Chi Square test with a confidence level of
95% (α: 0.05). From the results of the Chi Ssquare test, we found that there is a correlation
between workload with occupational health at cleaning service officer with X² count (26,414)> X²
table (3,841), there is correlations between work environment and occupational health of cleaning
service officer with X² count (14,243)> X² table (3,841), there is correlations between using of
PPE with occupational health of cleaning service officer with X² count (3,920)> X² table (3,841).
From the results of this study it is suggested for further research to examine occupational health in
hospitals by using more methods and variables.

Keywords: Personal Protective Equipment (PPE), Workload, Cleaning Service, Occupational


Health, Work Environment

©LPPM STIKES Griya Husada Sumbawa│32


p-ISSN 2597-5102; e-ISSN 2721-4249
Jurnal Kesehatan dan Sains, September 2020, 4(1):32-39

pasien, tenaga kerja, mesin, lingkungan


A. PENDAHULUAN
kerja, cara melakukan pekerjaan serta
Kesehatan kerja merupakan faktor
proses pelayanan kesehatan itu sendiri.
yang sangat penting bagi peningkatan
Selain memberi dampak positif, faktor
dan pemeliharaan derajat kesehatan
tersebut juga memberikan nilai negatif
fisik, mental dan sosial yang setinggi-
terhadap semua komponen yang terlibat
tingginya bagi pekerja di semua jenis
dalam proses pelayanan kesehatan yang
pekerjaan, pencegahan terhadap
berakhir dengan timbulnya kerugian.
ganguan kesehatan kerja yang
disebabkan oleh kondisi pekerjaan, Bekerja di rumah sakit dapat
perlindungan bagi pekerja dalam menimbulkan risiko untuk tertular
pekerjaanya dari risiko akibat faktor penyakit dari pasien. Risiko ini tidak
yang merugikan kesehatan, dan hanya berpotensi bagi tenaga medis
penempatan serta pemeliharaan saja, tetapi juga terhadap tenaga non
pekerjaan dalam suatu lingkungan kerja medis seperti petugas kebersihan. Saat
yang disesuaikan dengan kondisi bekerja risiko yang selalu dihadapi oleh
fisiologi dan psikologi. Secara ringkas, petugas kebersihan adalah terpapar
kesehatan kerja merupakan penyesuaian faktor biologi dan terpapar bahan kimia
pekerjaan pada manusia kepada pekerja atau obat pembersih. Pekerjaan jasa
dan jabatannya (Depkes, 2012). kebersihan atau cleaning service yang
Rumah sakit adalah industri yang dilakukan setiap hari meliputi
bergerak di bidang pelayanan jasa kebersihan dalam dan luar ruangan
kesehatan yang tujuan utamanya dengan sistem kontrak bulanan dan
memberikan pelayanan jasa terhadap tahunan.
masyarakat sebagai usaha
Petugas cleaning service
meningkatkan derajat kesehatan yang
mempunyai risiko untuk terkena bahan
setinggi-tingginya. Proses pelayanan
biologi berbahaya (biohazard).
kesehatan di rumah sakit, terlihat
Dampaknya adalah iritan pada kulit
adanya faktor-faktor penting sebagai
yang beraksi pada kulit dan
pendukung pelayanan itu sendiri, yang
menyebabkan fibrosis pada paru-paru
selalu berkaitan satu dengan yang
serta dermatitis. Selain itu, adanya
lainnya. Faktor-faktor tersebut meliputi;

©LPPM STIKES Griya Husada Sumbawa│33


p-ISSN 2597-5102; e-ISSN 2721-4249
Jurnal Kesehatan dan Sains, September 2020, 4(1):32-39

kontak dengan alat medis sekali pakai C. HASIL DAN PEMBAHASAN


(disposable equipment) seperti jarum 1. Hasil Penelitian
suntik bekas maupun selang infus a. Pengaruh Beban Kerja dengan
bekas, serta membersihkan seluruh Kesehatan Kerja
ruangan di rumah sakit dapat
Tabel 1. Distribusi Frekuensi Pengaruh
meningkatkan risiko untuk terkena
Beban Kerja terhadap Kesehatan
penyakit infeksi (Farsida dan Zulyanda,
Petugas Cleaning Service di RSUD
M. 2016).
Sumbawa
Tujuan dari penelitian ini adalah
untuk mengetahui faktor-faktor yang
mempengaruhi kesehatan kerja petugas
cleaning service di RSUD Sumbawa
Tahun 2020.

Sumber : Data Primer, 2020


B. METODE PENELITIAN
Berdasarkan Tabel 1., dapat
Jenis penelitian ini adalah analitik
diketahui bahwa hasil dari perhitungan
dengan desain cross sectional, yaitu
uji statistik Chi Square antara variabel
untuk mengetahui faktor-faktor yang
beban kerja dengan kesehatan kerja
mempengaruhi kesehatan kerja pada
didapatkan nilai X² hitung (26,414) >
petugas cleaning service di RSUD
X² tabel (3,841) dan nilai p value 0,000
Sumbawa tahun 2020. Sampel
< 0,05 maka Ho ditolak dan Ha diterima
penelitian ini adalah total populasi atau
artinya ada pengaruh antara beban kerja
seluruh petugas cleaning service di
dengan kesehatan kerja.
RSUD Sumbawa yang berjumlah 46
responden. Data yang digunakan adalah
data primer berupa kuesioner dan data
sekunder yang diperoleh dari rumah
sakit.

©LPPM STIKES Griya Husada Sumbawa│34


p-ISSN 2597-5102; e-ISSN 2721-4249
Jurnal Kesehatan dan Sains, September 2020, 4(1):32-39

b. Pengaruh Lingkungan Kerja > X² tabel (3,841) dan nilai p value


dengan Kesehatan Kerja 0,048 < 0,05 maka Ho ditolak dan Ha
Tabel 2. Distribusi Frekuensi Pengaruh
Lingkungan Kerja terhadap Kesehatan Petugas diterima artinya ada pengaruh antara
Cleaning Service di RSUD Sumbawa
penggunaan APD dengan kesehatan
kerja.

2. Pembahasan
Sumber : Data Primer, 2020 a. Pengaruh Beban Kerja dengan
Berdasarkan Tabel 2., dapat Kesehatan Kerja Petugas Cleaning
Service
diketahui bahwa hasil dari perhitungan Berdasarkan hasil penelitian
uji statistik Chi Square antara variabel diketahui bahwa ada pengaruh antara
lingkungan kerja dengan kesehatan beban kerja dengan kesehatan kerja.
kerja didapatkan nilai X² hitung Beban kerja pada petugas cleaning
(14,243) > X² tabel (3,841) dan nilai p service di RSUD Sumbawa sebagian
value 0,000 < 0,05 maka Ho ditolak dan besar sudah baik. Hal ini ditunjukkan
Ha diterima artinya ada pengaruh antara oleh hasil observasi bahwa sebagian
lingkungan kerja dengan kesehatan besar cleaning service mempunyai jam
kerja. kerja yang sesuai dan jam istirahat yang
cukup sesuai dengan kemampuan
c. Pengaruh penggunaan APD dengan pekerja sehingga sebagian petugas
Kesehatan Kerja
Tabel 3. Distribusi Frekuensi Pengaruh cleaning service juga memiliki
Penggunaan APD terhadap Kesehatan Petugas
Cleaning Service di RSUD Sumbawa
kesehatan kerja yang baik. Dari hal
tersebut dapat disimpulkan bahwa
beban kerja yang baik tentunya akan
berpengaruh kepada kesehatan kerja
yang baik pula. Hal ini sejalan dengan
Sumber: Data Primer, 2020 penelitian Ratnasari (2016) bahwa ada
Berdasarkan Tabel 3., dapat hubungan antara beban kerja dengan
diketahui bahwa hasil dari perhitungan kelelahan kerja dengan tingkat
uji statistik Chi Square antara variabel hubungan kuat pada petugas cleaning
penggunaan APD dengan kesehatan service di Rumah Sakit PKU
kerja didapatkan nilai X² hitung (3,920)

©LPPM STIKES Griya Husada Sumbawa│35


p-ISSN 2597-5102; e-ISSN 2721-4249
Jurnal Kesehatan dan Sains, September 2020, 4(1):32-39

Muhammadiyah Surakarta, sehingga karyawan yang berarti berpengaruh


dapat berpengaruh terhadap kesehatan juga terhadap kesehatan kerjanya.
kerjanya. Penelitian yang dilakukan oleh
b. Pengaruh Lingkungan Kerja Sari,dkk (2016) menyatakan bahwa
dengan Kesehatan Kerja Petugas terdapat pengaruh signifikan, variabel
Cleaning Service
lingkungan kerja fisik dan lingkungan
Berdasarkan hasil penelitian
kerja non-fisik secara simultan
diketahui bahwa ada pengaruh antara
terhadap variabel keselamatan kerja.
lingkungan kerja dengan kesehatan
Begitu halnya dengan para petugas
kerja. Bekerja di rumah sakit dapat
cleaning service di RSUD Sumbawa,
menimbulkan risiko untuk tertular
yang kesehatan kerjanya baik hanya
penyakit dari pasien. Risiko ini tidak
terdapat pada mereka yang tingkat
hanya berpotensi bagi tenaga medis
lingkungan kerja yang baik. Ini
saja, tetapi juga terhadap tenaga non
menunjukkan bahwa semakin baik
medis seperti petugas kebersihan. Saat
lingkungan kerja, maka semakin tinggi
bekerja, risiko yang selalu dihadapi
pula kesehatan kerjanya.
oleh petugas kebersihan adalah
C. Pengaruh Penggunaan APD dengan
terpapar faktor biologi, dan terpapar
Kesehatan Kerja Petugas Cleaning
bahan kimia atau obat pembersih.
Service
Lingkungan kerja yang terlalu panas
Berdasarkan hasil penelitian
atau dingin atau bising atau getaran
diketahui bahwa ada pengaruh antara
berlebihan mengakibatkan terjadinya
penggunaan APD dengan kesehatan
ganguan kenyamanan didalam bekerja
kerja. Sebagian besar petugas cleaning
yang dapat mempengaruhi performans
service sudah baik dalam penggunaan
pekerja. Pencahayaan yang kurang
APD, tetapi masih ada petugas
memadai atau menyilaukan akan
cleaning service yang bekerja tanpa
menimbulkan rasa kantuk (Silaban,
menggunakan APD standar, antara lain
2012). Hasil penelitian ini sejalan
tidak memakai penutup dan tidak
dengan penelitian penelitian yang
memakai sarung tangan saat bekerja.
dilakukan oleh Prasetyo,dkk (2017)
Sesuai hasil wawancara di lapangan,
menyatakan bahwa lingkungan kerja
alasan petugas cleaning service yang
berpengaruh terhadap produktivitas
tidak menggunakan APD antara lain

©LPPM STIKES Griya Husada Sumbawa│36


p-ISSN 2597-5102; e-ISSN 2721-4249
Jurnal Kesehatan dan Sains, September 2020, 4(1):32-39

karena terburu-buru, malas Selain itu, penggunaan APD juga


menggunakan APD, dan terkadang untuk mencegah atau menurunkan
juga kurangnya ketersediaan APD angka kecelakan dan penyakit akibat
yang tentu saja dapat mempengaruhi kerja.
kesehatan dan keselamatan dalam D. SIMPULAN DAN SARAN
bekerja, mengingat Rumah Sakit a. Simpulan
adalah tempat yang memiliki risiko Berdasarkan hasil penelitian dapat
tinggi, apalagi ditambah dengan tidak disimpulkan bahwa :
memakai APD. Hal tersebut sesuai 1. Ada pengaruh antara beban kerja
dengan pernyataan Kamri (2011) terhadap kesehatan kerja petugas
bahwa pelindung tenaga kerja melalui cleaning service di RSUD
usaha teknis pengaman tempat, Sumbawa.
peralatan dan lingkungan kerja adalah 2. Ada pengaruh antara lingkungan
sangat penting dan perlu diutamakan, kerja terhadap kesehatan kerja
dan APD adalah alat yang mempunyai petugas cleaning service di RSUD
kemampuan untuk melindungi Sumbawa.
seseorang dalam pekerjaan yang 3. Ada pengaruh antara penggunaan
berfungsi mengisolasi pekerjaan dari APD terhadap kesehatan kerja
bahaya di tempat kerja. Sedangkan petugas cleaning service di RSUD
menurut Gerry Silaban (2012), cara Sumbawa.
terbaik untuk pencegahan terhadap b. Saran
bahaya kesehatan dan keselamatan 1. Bagi RSUD Sumbawa
kerja, dapat dilakukan dengan Diharapkan kepada
pengendalian terakhir di tempat kerja manajemen RSUD Sumbawa
yakni dengan pemakaian alat dalam hal ini Komite K3RS,
pelindung diri (APD). Tujuan utama hendaknya memberikan informasi
penggunaan alat pelindung diri adalah kepada petugas cleaning service
menghindari terjadinya cedera pada agar menghindari segala gangguan
tubuh dalam keadaan pekerja terpajan kesehatan yang disebabkan oleh
oleh bahaya dengan selalu memikirkan pekerjaanya dan mengikutsertakan
memungkinkan untuk menghindari petugas cleaning service atau yang
timbulnya kondisi bahaya tersebut. mewakili dalam pelatihan K3RS

©LPPM STIKES Griya Husada Sumbawa│37


p-ISSN 2597-5102; e-ISSN 2721-4249
Jurnal Kesehatan dan Sains, September 2020, 4(1):32-39

sehingga petugas cleaning service Disarankan kepada penelitian


dapat terhindar dari keadaaan selanjutnya untuk meneliti
gangguan kesehatan yang lebih mengenai kesehatan kerja di
berat. Rumah Sakit dengan menggunakan
2. Bagi Petugas Cleaning Service metode dan variabel yang lebih
RSUD Sumbawa banyak lagi.
Diharapkan kepada petugas E. DAFTAR PUSTAKA
cleaning service agar lebih Depkes RI. 2012. Standar
memperhatikan kesehatan diri Keselamatan dan Kesehatan
dengan melakukan berbagai Kerja di Rumah Sakit (K3RS).
kegiatan pencegahan seperti Depkes RI. Jakarta.
menggunakan APD dan Farsida dan Zulyanda, M. 2016.
memperhatikan lingkungan kerja Analisis Penggunaan Alat
yang baik, sertamentaati peraturan Pelindung Diri dalam
keselamatan kerja tentang Penanganan Sampah Medis pada
pemakaian alat pelindung diri yang Petugas Cleaning Service di
ditetapkan di rumah sakit. RSUD Kabupaten Bekasi Tahun
3. Bagi perusahaan penyedia jasa 2016. Jurnal Kesehatan Volume
cleaning service 12 No 1Tahun 2019.
Diharapkan kepada perusahaan Kamri, N. 2011. Identifikasi Faktor
penyedia jasa cleaning serviceagar Bahaya di Tempat Kerja.
lebih memperhatikan dan Pendidikan Teknologi Kejuruan
meningkatkan pengawasan Pascasarjana Universitas Negeri
keselamatan dan kesehatan Makassar.
pekerjanya, menyediakan APD Keputusan Menteri Kesehatan
dalam jumlah yang cukup, bila Republik Indonesia Nomor 1087
perlu memberikan peringatan Tahun 2010 tentang Standar
ataupun sanksi bagi pekerja yang Kesehatan dan Keselamatan
tidak patuh terhadap peraturan Kerja Rumah Sakit.
untuk menggunakan APD. Prasetyo, H. B.,Victor P.K, & Lucky
4. Bagi Peneliti selanjutnya O.H. 2017. Pengaruh
Keselamatan Kerja, Kesehatan

©LPPM STIKES Griya Husada Sumbawa│38


p-ISSN 2597-5102; e-ISSN 2721-4249
Jurnal Kesehatan dan Sains, September 2020, 4(1):32-39

Kerja, dan Lingkungan Kerja


terhadap Produktivitas
Karyawan pada PT Air Manado.
Jurnal EMBA Vol.5 No.3,
Hal.4145-4154. Universitas Sam
Ratulangi. Manado.
Ratnasari, N. 2016. Hubungan Antara
Beban Kerja Pada Petugas
Cleaning Service Di Rumah
Sakit PKU Muhammadiyah
Surakarta. Skripsi. Universitas
Muhammadiyah, Surakarta.
Sari, S.C, Hamid, D, dan Utami, H.N.
2016. Pengaruh Lingkungan
Kerja Fisik dan Non Fisik
terhadap Keselamatan dan
Kesehatan kerja (Studi Pada
Karyawan Pabrik Gondorukem
dan Terpentin Sukun Perum
Perhutani Kesatuan Bisnis
Mandiri Industri Gondorukem
dan Terpentin II, Ponorogo).
Jurnal Administrasi Bisnis
(JAB).Vol. 34 No.1. Universitas
Brawijaya. Malang.
Silaban, G. 2012. Keselamatan dan
Kesehatan kerja. Medan : Perc.
CV. Prima Jaya..

©LPPM STIKES Griya Husada Sumbawa│39


Sinopsis jurnal kedua :
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi kesehatan kerja
pada petugas cleaning service di RSUD Sumbawa pada tahun 2020.

Data hasil penelitian dianalisis menggunakan uji Chi Square dengan tingkat kepercayaan
95%. Dari hasil uji Chi Square didapatkan ada hubungan antara beban kerja dengan kesehatan
kerja pada petugas cleaning service dengan X² hitung > X² tabel, ada hubungan antara
lingkungan kerja dengan kesehatan kerja pada petugas cleaning service dengan X² hitung > X²
tabel, dan ada hubungan antara penggunaan APD dengan kesehatan kerja pada petugas cleaning
service dengan X² hitung > X² tabel. Dari hasil penelitian ini disarankan kepada penelitian
selanjutnya untuk meneliti mengenai kesehatan kerja di Rumah Sakit dengan menggunakan
metode dan variabel yang lebih banyak lagi.

Kesehatan kerja merupakan faktor yang sangat penting bagi peningkatan dan pemeliharaan
derajat kesehatan fisik, mental dan sosial yang setinggi-tingginya bagi pekerja di semua jenis
pekerjaan, pencegahan terhadap ganguan kesehatan kerja yang disebabkan oleh kondisi
pekerjaan, perlindungan bagi pekerja dalam pekerjaanya dari risiko akibat faktor yang merugikan
kesehatan, dan penempatan serta pemeliharaan pekerjaan dalam suatu lingkungan kerja yang
disesuaikan dengan kondisi fisiologi dan psikologi. Rumah sakit adalah industri yang bergerak di
bidang pelayanan jasa kesehatan yang tujuan utamanya memberikan pelayanan jasa terhadap
masyarakat sebagai usaha meningkatkan derajat kesehatan yang setinggi-tingginya. Faktor-faktor
tersebut meliputi; pasien, tenaga kerja, mesin, lingkungan kerja, cara melakukan pekerjaan serta
proses pelayanan kesehatan itu sendiri. Bekerja di rumah sakit dapat menimbulkan risiko untuk
tertular penyakit dari pasien. Risiko ini tidak hanya berpotensi bagi tenaga medis saja, tetapi juga
terhadap tenaga non medis seperti petugas kebersihan. Saat bekerja risiko yang selalu dihadapi
oleh petugas kebersihan adalah terpapar faktor biologi dan terpapar bahan kimia atau obat
pembersih. Pekerjaan jasa kebersihan atau cleaning service yang dilakukan setiap hari meliputi
kebersihan dalam dan luar ruangan dengan sistem kontrak bulanan dan tahunan. Petugas cleaning
service mempunyai risiko untuk terkena bahan biologi berbahaya (biohazard). Dampaknya
adalah iritan pada kulit yang beraksi pada kulit dan menyebabkan fibrosis pada paru-paru serta
dermatitis. Selain itu, adanya kontak dengan alat medis sekali pakai (disposable equipment)
seperti jarum suntik bekas maupun selang infus bekas, serta membersihkan seluruh ruangan di
rumah sakit dapat meningkatkan risiko untuk terkena penyakit infeksi (Farsida dan Zulyanda, M.
2016). Dengan tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui faktor-faktor yang
mempengaruhi kesehatan kerja petugas cleaning service di RSUD Sumbawa Tahun 2020.

Jenis penelitian ini adalah analitik dengan desain cross sectional, yaitu untuk mengetahui
faktor-faktor yang mempengaruhi kesehatan kerja pada petugas cleaning service di RSUD
Sumbawa tahun 2020. Sampel penelitian ini adalah total populasi atau seluruh petugas cleaning
service di RSUD Sumbawa yang berjumlah 46 responden. Data yang digunakan adalah data
primer berupa kuesioner dan data sekunder yang diperoleh dari rumah sakit. Berdasarkan hasil
penelitian dapat disimpulkan bahwa adanya pengaruh antara beban kerja terhadap kesehatan
kerja, antara lingkungan kerja terhadap kesehatan kerja, dan antara penggunaan APD terhadap
kesehatan kerja petugas cleaning service di RSUD Sumbawa. Dan dengan saran sebagai berikut :
1. Bagi RSUD Sumbawa
Diharapkan kepada manajemen RSUD Sumbawa dalam hal ini Komite K3RS, hendaknya
memberikan informasi kepada petugas cleaning service agar menghindari segala gangguan
kesehatan yang disebabkan oleh pekerjaanya dan mengikutsertakan petugas cleaning service
atau yang mewakili dalam pelatihan K3RS sehingga petugas cleaning service dapat terhindar
dari keadaaan gangguan kesehatan yang lebih berat.
2. Bagi Petugas Cleaning Service RSUD Sumbawa
Diharapkan kepada petugas cleaning service agar lebih memperhatikan kesehatan diri
dengan melakukan berbagai kegiatan pencegahan seperti menggunakan APD dan
memperhatikan lingkungan kerja yang baik, sertamentaati peraturan keselamatan kerja
tentang pemakaian alat pelindung diri yang ditetapkan di rumah sakit.
3. Bagi perusahaan penyedia jasa cleaning service
Diharapkan kepada perusahaan penyedia jasa cleaning service agar lebih memperhatikan
dan meningkatkan pengawasan keselamatan dan kesehatan pekerjanya, menyediakan APD
dalam jumlah yang cukup, bila perlu memberikan peringatan ataupun sanksi bagi pekerja
yang tidak patuh terhadap peraturan untuk menggunakan APD.
4. Bagi Peneliti selanjutnya
Disarankan kepada penelitian selanjutnya untuk meneliti mengenai kesehatan kerja di
Rumah Sakit dengan menggunakan metode dan variabel yang lebih banyak lagi.
http://jurnal.fk.unand.ac.id 254

Artikel Penelitian

Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Status Gizi Anak


Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Nanggalo Padang

Rona Firmana Putri1, Delmi Sulastri2, Yuniar Lestari3

Abstrak
Status gizi anak balita salah satunya dipengaruhi oleh faktor kondisi sosial ekonomi, antara lain pendidikan
ibu, pekerjaan ibu, jumlah anak, pengetahuan dan pola asuh ibu serta kondisi ekonomi orang tua secara keseluruhan.
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui apakah ada hubungan kondisi sosial ekonomi keluarga terhadap status gizi
anak balita. Penelitian ini adalah survei analitik menggunakan desain cross sectional study dengan jumlah sampel 227
orang yang terdiri dari anak balita dan ibu balita di Wilayah Kerja Puskesmas Nanggalo Padang. Data dikumpulkan
melalui kuesioner yang telah diisi oleh ibu balita yang kemudian di analisis secara bivariat dan multivariat.
Berdasarkan analisis bivariat didapatkan pendidikan ibu (p=0,022), pekerjaan ibu (p=0,000), pendapatan keluarga
(p=0,012), jumlah anak (p=0,008) dan pola asuh ibu (p=0,000). Sementara dari analisis multivariat didapatkan
pendidikan ibu (p=0,004; OR=2,594; CI95%=1,356-4,963), pekerjaan ibu (p=0,000; OR=74,769; CI95%=24,141-
231,577), pendapatan keluarga (p=0,013; OR=3,058; CI95%=1,246-7,4) dan pola asuh ibu (p=0,000; OR=15,862;
CI95%=5,973-42,128). Analisis bivariat menunjukan bahwa terdapat hubungan antara pendidikan ibu, pekerjaan ibu,
pendapatan keluarga, jumlah anak dan pola asuh ibu dengan status gizi anak balita. Berdasarkan hasil analisis
multivariat faktor pekerjaan ibu merupakan faktor yang paling berhubungan dengan status gizi anak balita.
Kata kunci: status gizi, anak balita, faktor sosial ekonomi

Abstract
Nutritional status of children under five years has affected by a political and socio-economic condition factors,
among others, maternal education, maternal occupation, number of children, maternal knowledge and parenting also
parents' economic conditions as a whole. This research is conduct to determine whether there is a relationship
between the socio-economic conditions of families on the nutritional status of children under five.This research is a
analytic survey using a cross sectional study design with the number of samples are 227 people consisting of children
under five and the mothers in the working areas Puskesmas Nanggalo Padang. Data were collected through
questionnaires which is completed by mothers whose later been analyzed in bivariate and multivariateBased on
bivariate analysis we can get the maternal education (p = 0.022), maternal occupation (p = 0.000), household income
(p = 0.012), number of children (p = 0.008) and maternal parenting (p = 0.000). While the multivariate analysis
obtained from the maternal education (p = 0.004; OR = 2.594; CI95% = 1.356 to 4.963), maternal occupation (p =
0.000; OR = 74.769; CI95% = 24.141 to 231.577), household income (p = 0.013; OR = 3.058; CI95% = 1.246 to 7.4)
and maternal parenting (p = 0.000; OR = 15.862; CI95% = 5.973 to 42.128).Bivariate analysis showed that there is a
relationship between maternal education, maternal occupation, family income, number of children and parenting
mothers with a nutritional status of children under five. Based on the results of the multivariate analysis, maternal
occupation is the most associated factor with nutritional status of children under five.
Keywords: Nutritional Status, Children Under Five, Socio-economic Factor

Affiliasi penulis : 1. Pendidikan Dokter FK UNAND (Fakultas Korespondensi :Rona Firmana Putri, E-mail:
Kedokteran Universitas Andalas Padang), 2. Bagian Ilmu Gizi FK ronafirmana@ymail.com, Telp: 085365274073
UNAND, 3. Bagian IKM FK UNAND

Jurnal Kesehatan Andalas. 2015; 4(1)


http://jurnal.fk.unand.ac.id 255

PENDAHULUAN 15% kasus gizi kurang dan gizi buruk yang ditimbang
Pada saat ini balita (bawah lima tahun) berdasarkan BB/U. Data Status Gizi Puskesmas
sebagai generasi penerus bangsa yang diharapkan Nanggalo tahun 2012 menunjukkan dari 1070 anak
menjadi sumberdaya manusia yang berkualitas di balita yang ditimbang berdasarkan BB/U diketahui 1%
masa depan memerlukan perhatian khusus. Usia di gizi sangat kurang, 5% gizi kurang, 2% gizi lebih, dan
bawah lima tahun merupakan “usia emas” dalam berdasarkan TB/U diketahui 5% sangat pendek, 8%
pembentukan sumberdaya manusia baik dari segi pendek, serta berdasarkan BB/TB diketahui 3% kurus,
pertumbuhan fisik maupun kecerdasan, dimana hal ini 8% gemuk. Data tersebut juga menunjukkan bahwa
harus didukung oleh status gizi yang baik karena terdapat 33% anak balita yang berada pada garis
status gizi berperan dalam menentukan sukses kemiskinan.6,7
tidaknya upaya peningkatan sumberdaya manusia.1 Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk
WHO pada tahun 2002 menyebutkan mengetahui hubungan kondisi sosial ekonomi
penyebab kematian anak balita urutan pertama keluarga terhadap status gizi anak balita di wilayah
disebabkan gizi buruk dengan angka 54%. kerja Puskesmas Nanggalo.
Berdasarkan data riset kesehatan dasar (Riskesdas)
tahun 2010, secara nasional prevalensi balita gizi METODE
buruk sebesar 4,9% dan kekurangan gizi 17,9%. Hal Penelitian ini dilakukan di wilayah kerja
ini menunjukkan bahwa di Indonesia masih terdapat Puskesmas Nanggalo Padang dari bulan Januari
balita dengan gizi buruk dan kekurangan gizi sehingga sampai April 2014. Sampel adalah kelompok anak
pembangunan di Indonesia belum sepenuhnya balita dan kelompok ibu balita (responden yang
mampu meningkatkan kualitas hidup sumber daya mengisi kuesioner) yang memenuhi kriteria inklusi
manusia.1-3 yaitu anak balita (1-5 tahun) dan responden bersedia
Prevalensi status gizi anak balita mengisi kuesioner serta tidak memenuhi kriteria
berdasarkan indeks tinggi badan menurut umur (TB/U) eksklusi yaitu anak balita yang sakit atau cacat,
di Indonesia yaitu 17,8% sangat pendek dan di responden yang tidak kooperatif dan tidak tahu umur
Provinsi Sumatera Barat 16,35% juga sangat pendek. anak balitanya dengan menggunakan teknik simple
Sedangkan untuk prevalensi status gizi berdasarkan random sampling. Penelitian ini bersifat analitik
indeks berat badan menurut tinggi badan (BB/TB) dengan desain cross-sectional study. Pengolahan data
persentase di Indonesia yaitu 6,7% dan di Provinsi dilakukan dengan uji chi-square untuk mengetahui
Sumatera Barat 4,1% sangat kurus.4 hubungan antara variabel dependen dengan variabel
Status gizi pada masyarakat dipengaruhi oleh independen dan regresi logistik untuk mengetahui
banyak faktor. Kondisi sosial ekonomi merupakan variabel independen yang paling berhubungan dengan
salah satu faktor penting yang mempengaruhi status variabel dependen menggunakan sistem
gizi. Bila kondisi sosial ekonomi baik maka status gizi komputerisasi. Variabel dependen adalah status gizi
diharapkan semakin baik. Status gizi anak balita akan anak balita dan variabel independen adalah tingkat
berkaitan erat dengan kondisi sosial ekonomi keluarga pendidikan ibu, tingkat pengetahuan ibu, jenis
(orang tua), antara lain pendidikan orang tua, pekerjaan ibu, pendapatan keluarga, jumlah anak dan
pekerjaan orang tua, jumlah anak orang tua, pola asuh ibu.
pengetahuan dan pola asuh ibu serta kondisi ekonomi
orang tua secara keseluruhan.5 HASIL
Berdasarkan Data Prevalensi Status Gizi Berdasarkan hasil penelitian tentang faktor-
Dinas Kesehatan Kota Padang tahun 2012, faktor yang berhubungan dengan status gizi anak
kecamatan Nanggalo termasuk ke dalam empat besar balita di wilayah kerja puskesmas Nanggalo Padang
wilayah yang prevalensi status gizinya berada di didapatkan karakteristik umum subyek penelitian yang
Bawah Garis Merah (BGM) dan terdapat lebih dari ditunjukkan pada tabel dibawah ini:

Jurnal Kesehatan Andalas. 2015; 4(1)


http://jurnal.fk.unand.ac.id 256

Tabel 1. Karakteristik Umum Subjek Penelitian Berdasarkan hasil uji statistik pada tabel 2.
Karakteristik f % didapatkan nilai p < 0,05 pada faktor tingkat
Jenis kelamin pendidikan ibu (p=0,022), jenis pekerjaan ibu
Laki-laki 107 47,1 (p=0,000), pendapatan keluarga (p=0,012), jumlah
perempuan 120 52,9
anak (p=0,008) dan pola asuh ibu (p=0,000) yang
Usia (bulan)
menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang
12-24 86 37,9
bermakna antara tingkat pendidikan ibu, jenis
25-60 141 62,1
Berat badan (kg) pekerjaan ibu, pendapatan keluarga, jumlah anak dan
<10 30 13,2 pola asuh ibu dengan status gizi anak balita.
10-15 174 76,6 Sedangkan pada faktor tingkat pengetahuan ibu tidak
15-20 23 10,2 dapat dinilai hubungannya karena tidak dapat
dilakukan uji statistik.
Pada tabel 1 dapat dilihat bahwa subyek penelitian
sebagian besar berjenis kelamin perempuan yaitu Tabel 3. Hasil Pemodelan Awal Faktor-faktor yang
sebesar 52,9%, usia 25-60 bulan sebesar 62,1% dan Berhubungan dengan Status Gizi Anak Balita
berat badan 10-15 kg sebesar 76,6%. Odds
Variabel B p value CI 95%
Ratio/OR
Tingkat
Tabel 2. Analisis Bivariat 0,949 0,004* 2,584 1,348-4,952
Pendidikan Ibu
Status gizi
Faktor yang
Jenis Pekerjaan 23,858-
p 4,307 0,000* 74,205
berhubungan Kurang Baik Total Ibu 230,801
f % f % f Pendapatan
Tingkat 1,1 0,019* 3,003 1,202-7,503
Keluarga
pendidikan
Jumlah Anak 0,068 0,883 1,071 0,430-2,663
ibu
Rendah Pola Asuh Ibu 2,761 0,000* 15,814 5,951-42,029
41 47,7 45 52,3 86

Sedang 35 28,9 86 71,1 121 0,022

Tinggi 7 35 13 65 20 Berdasarkan uji statistik pada tabel 3. dikeluarkan


Tingkat tahap demi tahap faktor yang berhubungan dengan
pengetahuan
status gizi yang memiliki nilai p < 0,05 dengan uji
ibu
regresi logistik menggunakan metode Backward.
Rendah 59 100 0 0 59
-
Tinggi 24 14,3 144 85,7 168 Tabel 4. Hasil Pemodelan Akhir Faktor-faktor yang
Jenis Berhubungan dengan Status Gizi Anak Balita
pekerjaan ibu
Odds
Variabel B p value CI 95%
Pekerja Ratio/OR
54 76,1 17 23,9 71
Tingkat 0,953 0,004 2,594 1,356-4,963
Tidak 0,000
bekerja 29 18,6 127 81,4 156 Pendidikan
Ibu
Pendapatan Jenis 4,314 0,000 74,769 24,141-231,577
keluarga Pekerjaan Ibu
Pendapatan 1,118 0,013 3,058 1,264-7,4
Rendah 59 43,1 78 56,9 137
0,012 Keluarga
Tinggi 24 26,7 66 73,3 90 Pola Asuh Ibu 2,764 0,000 15,862 5,973-42,128
Jumlah anak

>2 orang 30 50,8 29 49,2 59


0,008 Berdasarkan uji statistik pada tabel 4. didapatkan
≤2 orang 53 31,5 115 68,5 168
bahwa faktor jenis pekerjaan ibu merupakan faktor
Pola asuh
ibu yang paling dominan berhubungan dengan status gizi
Tidak baik 45 60 30 40 75 anak balita.
0,000
Baik 38 25 114 75 152

Jurnal Kesehatan Andalas. 2015; 4(1)


http://jurnal.fk.unand.ac.id 257

PEMBAHASAN maka ibu dapat melakukan pencegahan agar keadaan


Hasil penelitian ini menunjukan masih tersebut tidak semakin buruk.1,11
ditemukan anak balita yang berstatus gizi kurang yaitu Berdasarkan hasil penelitian ini balita dengan
sebesar 36,6%. Penelitian yang dilakukan oleh Supadi status gizi kurang lebih banyak berasal dari kelompok
di Puskesmas Wonosalam II Kabupaten Demak ibu yang berpendidikan rendah yaitu 47,7%
mendapatkan hasil yang tidak jauh berbeda yaitu dibandingkan dengan kelompok ibu yang
sebesar 39,2% anak balita di daerah tersebut berpendidikan tinggi yaitu 35%. Hasil penelitian ini
mengalami status gizi kurang. Apabila kedua sejalan dengan penelitian Ihsan di Desa Teluk Rumbia
penelitian dibandingkan, terlihat bahwa persentase yang menjabarkan dari 32 balita dengan status gizi
kejadian status gizi kurang pada penelitian Supadi kurang, sebanyak 31 orang (31,6%) berasal dari
masih lebih tinggi. Hal ini disebabkan karena pada kelompok ibu dengan pendidikan rendah dan 1 orang
penelitian tersebut didapatkan sebagian besar ibu (12,5%) berasal dari kelompok ibu dengan pendidikan
memiliki tingkat pendidikan yang rendah. Pendidikan tinggi. Hasil penelitian didapatkan seperti yang
yang rendah mempengaruhi tingkat pemahaman dijabarkan tersebut disebabkan oleh kurangnya
terhadap pengasuhan anak termasuk dalam hal pengetahuan ibu mengenai gizi balita.12
perawatan, pemberian makanan dan bimbingan pada Berdasarkan analisis bivariat terdapat
anak yang akan berdampak pada kesehatan dan gizi hubungan yang bermakna antara pendidikan ibu
yang semakin menurun.8,9 dengan status gizi balita. Hasil ini didukung dengan
Berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar hasil analisis multivariat yang menunjukan bahwa
Tahun 2010 secara nasional prevalensi gizi kurang pendidikan ibu memang merupakan faktor yang
adalah 17,9%. Jika dibandingkan dengan data berhubungan dengan status gizi balita. Hasil ini
tersebut maka angka kejadian gizi kurang di wilayah sejalan dengan penelitian sebelumnya yang dilakukan
kerja Puskesmas Nanggalo Padang Tahun 2014 oleh Yoseph yang menunjukan bahwa terdapat
masih terlihat lebih tinggi. Perbedaan prevalensi ini hubungan yang signifikan antara tingkat pendidikan
terjadi karena adanya perbedaan pengambilan ibu dengan status gizi balita. Menurut Gusti, balita
sampel, dimana pada penelitian Riskesdas sampel yang memiliki ibu yang berpendidikan rendah memiliki
diambil di daerah rural dan urban. Sedangkan pada risiko untuk mengalami status gizi kurang
penelitian ini sampel diambil pada daerah rural. Hal ini dibandingkan dengan ibu yang berpendidikan tinggi.
dijelaskan dalam penelitian yang dilakukan oleh Namun penelitian yang dilakukan oleh Masithah
Almarita, bahwa gizi kurang lebih banyak pada daerah memiliki hasil yang berbeda yakni, tidak terdapat
rural jika dibandingkan dengan daerah urban.3,9 hubungan yang bermakna antara tingkat pendidikan
Penelitian yang dilakukan oleh Masithah di dengan status gizi balita. Perbedaan hasil ini terjadi
Desa Mulya Harja Bogor mendapatkan anak balita karena adanya perbedaan dalam metode dan uji
dengan status gizi kurang sebesar 16,9%. Persentase hipotesis yang digunakan.2,10,11
hasil tersebut jauh lebih sedikit dibandingkan dengan Berdasarkan literatur, semakin tinggi tingkat
penelitian ini. Hal ini disebabkan karena sebagian pendidikan seseorang maka semakin mudah diberikan
besar ibu balita di Desa Mulya Harja aktif mengunjungi pengertian mengenai suatu informasi dan semakin
posyandu dan menghadiri berbagai penyuluhan yang mudah untuk mengimplementasikan pengetahuannya
diadakan mengenai ilmu gizi. Sementara pada dalam perilaku khususnya dalam hal kesehatan dan
penelitian ini sesuai yang ditemukan di lapangan, gizi. Dengan demikian, pendidikan ibu yang relatif
sebagian besar ibu balitanya tidak aktif ke posyandu rendah juga akan berkaitan dengan sikap dan
ataupun mengikuti penyuluhan. Menurut Handayani, tindakan ibu dalam menangani masalah kurang gizi
penting bagi ibu untuk aktif berkunjung ke posyandu pada anak balitanya.9
untuk memantau kesehatan dan gizi anaknya, Hasil penelitian menunjukan bahwa balita
sehingga apabila terjadi masalah seperti gizi kurang dengan status gizi kurang lebih banyak berasal dari

Jurnal Kesehatan Andalas. 2015; 4(1)


http://jurnal.fk.unand.ac.id 258

kelompok ibu yang berpengetahuan rendah. Hal ini Selain itu hasil penelitian ini tidak jauh berbeda
disebabkan karena cukup banyak ibu yang dengan hasil penelitian Miko yang mendapatkan
berpendidikan rendah pada penelitian ini. Hal ini proporsi status gizi kurang pada anak umur 6-60 bulan
sesuai dengan teori, bahwa tingkat pendidikan turut mempunyai ibu yang bekerja lebih banyak (22,4%)
menentukan mudah tidaknya seseorang menyerap dibandingkan dengan ibu yang tidak bekerja (19,9%)
dan memahami pengetahuan yang mereka peroleh, di Kecamatan Bojongasih Kabupaten Tasikmalaya
semakin tinggi pendidikan seseorang maka semakin dengan kesimpulan terdapat hubungan pekerjaan
baik pula pengetahuannya.12 dengan status gizi balita.15
Penelitian yang dilakukan oleh Panambunan Menurut kepustakaan, ibu yang tidak bekerja
dan Sjane juga mendapatkan lebih banyak ibu dengan dalam keluarga dapat mempengaruhi asupan gizi
pengetahuan yang rendah memiliki balita dengan balita karena ibu berperan sebagai pengasuh dan
status gizi kurang dibandingkan dengan status gizi pengatur konsumsi makanan anggota keluarga. Ibu
baik. Namun berbeda dengan penelitian yang yang bekerja tidak memiliki waktu yang cukup untuk
dilakukan oleh Yoseph yang menunjukan bahwa balita mengasuh dan merawat anaknya sehingga anaknya
dengan status gizi kurang lebih banyak berasal dari dapat menderita gizi kurang.1
kelompok ibu yang berpengetahuan tinggi Penelitian oleh Ihsan mendapatkan kejadian
dibandingkan dengan kelompok ibu yang status gizi kurang terbanyak pada anak balita dengan
berpengetahuan rendah. Hal ini dikarenakan ibu ibu yang tidak bekerja yaitu 30,2% sedangkan gizi baik
kurang menerapkan pengetahuan yang ia miliki tertinggi pada anak balita dengan ibu yang bekerja
mengenai kebutuhan gizi yang harus dipenuhi untuk yaitu 70%. Hal ini dihubungkan dengan pendapatan
anak balitanya. Berdasarkan penelitian yang dilakukan keluarga yang rendah. Menurut Supariasa kehidupan
oleh Indra, mendapatkan salah satu sebab masalah ekonomi keluarga akan lebih baik pada keluarga
gizi kurang yaitu kurangnya pengetahuan tentang gizi dengan ibu bekerja dibandingkan dengan keluarga
atau kurang menerapkan informasi tersebut dalam yang hanya menggantungkan ekonomi pada kepala
kehidupan sehari-hari.10,13 keluarga atau ayah. Kehidupan ekonomi keluarga
Analisis hubungan antara pengetahuan ibu yang lebih baik akan memungkinkan keluarga mampu
dengan status gizi balita tidak bisa dilakukan karena memberikan perhatian yang layak bagi asupan gizi
terdapat cell yang kosong sehingga hasil ini tidak bisa balita.5,12
dibandingkan dengan penelitian serupa yang Hasil penelitian mendapatkan dari 227 ibu
dilakukan oleh Rahmawati dkk yang mendapatkan balita di wilayah kerja Puskesmas Nanggalo Padang
hasil bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara tahun 2014 persentase pendapatan keluarganya
pengetahuan ibu dengan status gizi balita. Menurut masih rendah yaitu sebesar 60,4% dan persentase
teori, tingkat pengetahuan ibu memang sangat balita yang mengalami status gizi kurang lebih banyak
mempengaruhi status gizi balita karena kebutuhan dan berasal dari keluarga yang pendapatannya rendah
kecukupan gizi anak balita tergantung dari yaitu 43,1% sedangkan pada keluarga yang
pengetahuan ibu mengenai jenis makanan yang berpendapatan tinggi hanya terdapat 26,7% balita
diberikan oleh ibu.11,14 dengan status gizi kurang. Hal ini disebabkan karena
Hasil penelitian ini mendapatkan balita yang pada penelitian ini rata-rata kepala keluarga hanya
mengalami status gizi kurang lebih banyak berasal bekerja sebagai petani dan ibu hanya sebagai ibu
dari keluarga yang ibunya bekerja dengan analisis rumah tangga. Selain itu dalam satu keluarga
bivariat terdapat hubungan yang bermakna antara sebagian besar memiliki anak lebih dari 2 orang
pekerjaan ibu dengan status gizi balita. Hasil bivariat dengan jarak antara satu anak dengan anak yang
ini diperkuat dengan hasil analisis multivariat yang lainnya tidak terlalu jauh. Hasil ini sejalan dengan
menunjukan bahwa pekerjaan ibu merupakan faktor penelitian yang dilakukan oleh Sander yang
yang paling berhubungan dengan status gizi balita. mendapatkan bahwa anak balita dengan status gizi

Jurnal Kesehatan Andalas. 2015; 4(1)


http://jurnal.fk.unand.ac.id 259

yang kurang lebih banyak berasal dari keluarga yang dengan distribusi makanan yang tidak merata akan
berpendapatan rendah yaitu 53,1% dan pada keluarga menyebabkan anak balita dalam keluarga tersebut
yang berpendapatan tinggi sebesar 22%.16 menderita kurang gizi.12,17
Hasil analisis bivariat menunjukan terdapat Pada penelitian yang dilakukan oleh Dewati
hubungan pendapatan keluarga dengan status gizi menunjukan hal yang berbeda yakni, tidak terdapat
balita. Diikuti dengan hasil analisis multivariat yang hubungan antara jumlah anak dengan status gizi
dilakukan menunjukan bahwa pendapatan keluarga balita. Perbedaan hasil ini disebabkan oleh
merupakan salah satu faktor yang berhubungan berbedanya karakteristik jarak umur anak. Pada
dengan status gizi balita. Hasil ini selaras dengan penelitian ini rata-rata didapatkan jumlah anak yang
penelitian yang dilakukan oleh Woge dan Yoseph lebih dari 2 orang dengan jarak umur anak yang dekat.
yang mendapatkan bahwa terdapat hubungan yang Sementara pada penelitian Dewati didapatkan
bermakna antara pendapatan keluarga dengan status sebagian besar jumlah anak juga lebih dari 2 orang
gizi balita di Kecamatan Kelimutu Kabupaten Ende namun jarak umur anak yang satu dengan anak yang
Flores Provinsi Nusa Tenggara Timur. Berbeda lainnya rata-rata 4 tahun keatas.18
dengan Suhendri yang mendapatkan hasil bahwa Jumlah anak yang banyak pada keluarga
tidak terdapat hubungan yang bermakna antara meskipun keadaan ekonominya cukup akan
pendapatan keluarga dengan status gizi balita di mengakibatkan berkurangnya perhatian dan kasih
Puskesmas Sepatan Kecamatan Sepatan Kabupaten sayang orang tua yang di terima anaknya, terutama
Tangerang. Perbedaan hasil ini disebabkan karena jika jarak anak yang terlalu dekat. Hal ini dapat
adanya perbedaan metode dan uji hipotesis yang berakibat turunnya nafsu makan anak sehingga
digunakan.10,17 pemenuhan kebutuhan primer anak seperti konsumsi
Menurut teori, jika suatu keluarga memiliki makanannya akan terganggu dan hal tersebut akan
pendapatan yang besar serta cukup untuk memenuhi berdampak terhadap status gizi anaknya.13-15
kebutuhan gizi anggota keluarga maka pemenuhan Hasil penelitian menunjukan bahwa
kebutuhan gizi pada balita dapat terjamin.1 Sementara persentase anak balita yang mengalami status gizi
Pendapatan yang rendah menyebabkan daya beli kurang lebih banyak terjadi pada ibu dengan pola asuh
rendah sehingga tidak mampu membeli pangan dalam yang tidak baik yaitu 60% dan hasil analisis bivariat
jumlah yang diperlukan dan pada akhirnya berakibat menunjukan terdapat hubungan antara pola asuh
buruk terhadap status gizi anak balitanya.15 dengan status gizi balita. Hasil ini sejalan dengan
Hasil penelitian ini menunjukan bahwa penelitian yang dilakukan Aswin bahwa terdapat
persentase ibu dengan jumlah anak > 2 orang lebih 33,8% balita yang mengalami status gizi kurang akibat
banyak menderita status gizi kurang yaitu 50,8% pola asuh yang tidak baik sedangkan pada pola asuh
dibandingkan dengan ibu yang jumlah ankanya ≤ 2 ibu yang baik hanya terdapat 19,2% balita yang
orang yaitu 31,5%. Hasil bivariat menunjukan terdapat mengalami status gizi kurang dengan hasil uji statistik
hubungan jumlah anak dengan status gizi. Hasil ini menunjukan bahwa terdapat hubungan yang
sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Ihsan di bermakna antara pola asuh ibu dengan status gizi.19
Desa Teluk Rumbia Kecamatan Singkil Kabupaten Penelitian oleh Miko juga menunjukan
Aceh Singkil, pada penelitiannya didapatkan bahwa terdapat hubungan antara pola asuh ibu dengan status
kejadian status gizi kurang tertinggi pada jumlah anak gizi balita dengan persentase anak balita yang
> 2 orang yaitu 32,9% dengan hasil analisis terdapat mengalami status gizi kurang lebih banyak pada ibu
hubungan jumlah anak dengan status gizi balita. yang pola asuhnya tidak baik yaitu 73% sedangkan
Menurut kepustakaan, jumlah anak yang banyak akan pada ibu dengan pola asuh yang baik 42,2%. Diikuti
berpengaruh terhadap tingkat konsumsi makanan, dengan penelitian yang dilakukan oleh Aswin yang
yaitu jumlah dan distribusi makanan dalam rumah mendapatkan bahwa terdapat hubungan antara pola
tangga. Dengan jumlah anak yang banyak diikuti asuh ibu dengan status gizi balita. Hasil analisis

Jurnal Kesehatan Andalas. 2015; 4(1)


http://jurnal.fk.unand.ac.id 260

multivariat pada penelitian ini juga menunjukan bahwa oran/lapnas_riskesdas2010/Laporan_riskesdas_20


pola asuh ibu merupakan faktor yang berhubungan 10.pdf.
dengan status gizi balita.15,19 4. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. Profil
Sampai saat ini, peneliti masih belum Kesehatan Indonesia 2010. Jakarta: Departemen
menemukan perbedaan dari hasil penelitian ini. Rata- Kesehatan Republik Indonesia; 2010.
rata penelitian lain mengenai hubungan pola asuh ibu 5. Supariasa IDN. Penilaian Status Gizi. Jakarta:
terhadap status gizi balita selalu memiliki hasil bahwa EGC; 2002.
terdapat hubungan yang signifikan antara pola asuh 6. Dinas Kesehatan Kota Padang. Laporan Tahunan
ibu dengan status gizi balita. Hal ini sesuai dengan Data Prevalensi Status Gizi tahun 2012. Padang:
teori yang menyatakan bahwa pola asuh sangat Dinas Kesehatan; 2012.
mempengaruhi status gizi seperti memberikan 7. Puskesmas Nanggalo Kota Padang. Laporan
perhatian yang penuh serta kasih sayang pada anak, Tahunan Rekapitulasi Hasil Penimbangan Massal
memberi waktu yang cukup untuk memperhatikan tahun 2012. Padang: Puskesmas Nanggalo; 2012.
asupan gizinya sehingga status gizi anak menjadi 8. Supadi J. Analisis Faktor-faktor Pola Asuh Gizi Ibu
lebih baik. Selain itu berdasarkan penelitian Hamal dengan Status Gizi Anak Balita di Puskesmas
anak-anak yang selalu mendapat tanggapan, respon Wonosalam II Kabupaten Demak. Jurnal Gizi Klinik
dan pujian dari ibunya menunjukan keadaan gizi yang Indonesia. 2002; 2(7):70-6.
2,20
lebih baik. 9. Atmarita TS. Analisis Situasi Gizi dan Kesehatan
Masyarakat. Jakarta: Rineka Cipta; 2004.
KESIMPULAN 10. Woge A, Yoseph R. Faktor-faktor yang
Terdapat hubungan yang bermakna antara berhubungan dengan Status Gizi Anak Balita di
pendidikan ibu, pekerjaan ibu, pendapatan keluarga, Kecamatan Kelimutu Kabupaten Ende Flores
jumlah anak dan pola asuh ibu dengan status gizi Provinsi Nusa Tenggara Timur. Jurnal Gizi Klinik
anak balita. Pekerjaan ibu merupakan faktor yang Indonesia. 2007; 1(3): 92-4.
paling dominan berhubungan dengan status gizi. 11. Masithah T. Hubungan Pola Asuh Ibu dan
Faktor pengetahuan ibu tidak dapat dilakukan uji Kesehatan dengan Status Gizi Balita di Desa
statistik sehingga tidak didapatkan hubungan. Mulya Harja Bogor. Jurnal Gizi dan Pangan. 2005;
34(1): 39-49.
DAFTAR PUSTAKA 12. Ihsan M. Faktor-faktor yang Berhubungan dengan

1. Handayani IS. Hubungan Antara Sosial Ekonomi Status Gizi Anak Balita di Desa Teluk Rumbia

Keluarga dengan Status Gizi Balita Indonesia Kecamatan Singkil Kabupaten Aceh Singkil. Jurnal

[serial online]. 2008 (diunduh 24 Agustus 2013). Gizi Indonesia. 2012; 22(3): 44-54.

Tersedia dari: URL: HYPERLINK 13. Panambunan W, Sjane H. Hubungan Tingkat

http://repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/1234567 Pengetahuan Ibu, Status Pekerjaan Ibu dan Pola

89/50164/G08ish2. Makan terhadap Status Gizi Balita di Desa

2. Gusti AKM. Hubungan Perilaku Ibu dalam Blimbing Kecamatan Sambirejo Kabupaten

Pemberian Gizi Seimbang dengan Status Gizi Sragen. Jurnal Penelitian Gizi dan Makanan. 2006;

pada Balita di Posyandu Kelurahan Depok 48(11): 69-78.

Kecamatan Pancoran Mas Kota Depok (Skripsi). 14. Rahmawati I, Sudargo T, Paramastri I. Pengaruh

Jakarta: Fakultas Ilmu Kesehatan, Universitas Penyuluhan dengan Media Audio Visual Terhadap

Pembangunan Nasional Veteran. (Published); Peningkatan Pengetahuan Sikap dan Perilaku Ibu

2010. Balita Gizi Kurang dan Buruk di Kabupaten

3. Riset Kesehatan Dasar. Laporan Riset Kesehatan Kotowaringin Barat Provinsi Kalimantan Tengah.

Dasar 2010. [serial online]. 2010 (diunduh 1 Maret Jurnal Gizi Klinik Indonesia. 2007; 4(2): 69-77.

2014). Tersedia dari: URL: HYPERLINK 15. Miko H. Faktor-faktor yang Berhubungan dengan

http://litbang.depkes.go.id/sites/download/buku_lap Status Gizi Anak Umur 6-60 bulan di Kecamatan

Jurnal Kesehatan Andalas. 2015; 4(1)


http://jurnal.fk.unand.ac.id 261

Bojongasih Kabupaten Tasikmalaya. Jurnal Gizi 18. Dewati NS. Faktor-faktor yang Mempengaruhi
Indonesia. 2003; 1(1): 7-15. Status Gizi Balita Di Wilayah Kerja Puskesmas
16. Sander S. Hubungan Faktor Sosial Ekonomi, Sewon I Bantul. Jurnal Kesehatan Masyarakat.
Higiene Sanitasi Lingkungan, Tingkat Konsumsi 2008; 6(3): 128-40.
dan Infeksi dengan Status Gizi Anak Balita di 19. Aswin RK. Pengaruh Karakteristik Keluarga dan
Kabupaten Semarang. Jurnal Penelitian Gizi dan Pola Asuh Ibu pada BalitaGizi Kurang dan Gizi
Makanan. 2003; 89(17): 225-33. Buruk di Kabupaten Lombok Barat. Jurnal
17. Suhendri U. Faktor-faktor yang Berhubungan Kesehatan Prima. 2008; 24(3): 333-42.
dengan Status Gizi Anak Balita di Puskesmas 20. Hamal DK, Hubungan Pendidikan dan Pekerjaan
Sepatan Kecamatan Sepatan Kabupaten Orangtua Serta Pola Asuh dengan Status Gizi
Tangerang. (Skripsi), Jakarta: Fakultas Balita di Kota dan Kabupaten Tangerang Banten.
Kedokteran, Universitas Syarif Hidayatullah; Jurnal Penelitian Gizi dan Makanan. 2011;
(Published).2009. 26(2):10-9.

Jurnal Kesehatan Andalas. 2015; 4(1)


Sinopsis Jurnal Ketiga
Pada saat ini balita (bawah lima tahun) sebagai generasi penerus bangsa yang diharapkan
menjadi sumberdaya manusia yang berkualitas di masa depan memerlukan perhatian khusus. Usia
di bawah lima tahun merupakan “usia emas” dalam pembentukan sumberdaya manusia baik dari
segi pertumbuhan fisik maupun kecerdasan, dimana hal ini harus didukung oleh status gizi yang
baik karena status gizi berperan dalam menentukan sukses tidaknya upaya peningkatan sumberdaya
manusia. Status gizi pada masyarakat dipengaruhi oleh banyak faktor. Kondisi sosial ekonomi
merupakan salah satu faktor penting yang mempengaruhi status gizi. Bila kondisi sosial ekonomi
baik maka status gizi diharapkan semakin baik. Status gizi anak balita akan berkaitan erat dengan
kondisi sosial ekonomi keluarga (orang tua), antara lain pendidikan orang tua, pekerjaan orang tua,
jumlah anak orang tua, pengetahuan dan pola asuh ibu serta kondisi ekonomi orang tua secara
keseluruhan.

Berdasarkan Data Prevalensi Status Gizi Dinas Kesehatan Kota Padang tahun 2012, kecamatan
Nanggalo termasuk ke dalam empat besar wilayah yang prevalensi status gizinya berada di Bawah
Garis Merah (BGM) dan terdapat lebih dari 15% kasus gizi kurang dan gizi buruk yang ditimbang
berdasarkan BB/U. Data Status Gizi Puskesmas Nanggalo tahun 2012 menunjukkan dari 1070 anak
balita yang ditimbang berdasarkan BB/U diketahui 1% gizi sangat kurang, 5% gizi kurang, 2% gizi
lebih, dan berdasarkan TB/U diketahui 5% sangat pendek, 8% pendek, serta berdasarkan BB/TB
diketahui 3% kurus, 8% gemuk. Data tersebut juga menunjukkan bahwa terdapat 33% anak balita
yang berada pada garis kemiskinan. Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui
hubungan kondisi sosial ekonomi keluarga terhadap status gizi anak balita di wilayah kerja
Puskesmas Nanggalo.

Penelitian ini dilakukan di wilayah kerja Puskesmas Nanggalo Padang dari bulan Januari sampai
April 2014. Sampel adalah kelompok anak balita dan kelompok ibu balita (responden yang mengisi
kuesioner) yang memenuhi kriteria inklusi yaitu anak balita (1-5 tahun) dan responden bersedia mengisi
kuesioner serta tidak memenuhi kriteria eksklusi yaitu anak balita yang sakit atau cacat, responden yang
tidak kooperatif dan tidak tahu umur anak balitanya dengan menggunakan teknik simple random
sampling. Penelitian ini bersifat analitik dengan desain cross-sectional study. Pengolahan data
dilakukan dengan uji chi-square untuk mengetahui hubungan antara variabel dependen dengan variabel
independen dan regresi logistik untuk mengetahui variabel independen yang paling berhubungan
dengan variabel dependen menggunakan sistem komputerisasi. Variabel dependen adalah status gizi
anak balita dan variabel independen adalah tingkat pendidikan ibu, tingkat pengetahuan ibu, jenis
pekerjaan ibu, pendapatan keluarga, jumlah anak dan pola asuh ibu.

Hasil penelitian ini menunjukan masih ditemukan anak balita yang berstatus gizi kurang yaitu
sebesar 36,6%. Berdasarkan hasil penelitian ini balita dengan status gizi kurang lebih banyak
berasal dari kelompok ibu yang berpendidikan rendah yaitu 47,7% dibandingkan dengan kelompok
ibu yang berpendidikan tinggi yaitu 35%. Menurut Gusti, balita yang memiliki ibu yang
berpendidikan rendah memiliki risiko untuk mengalami status gizi kurang dibandingkan dengan ibu
yang berpendidikan tinggi. Namun penelitian yang dilakukan oleh Masithah memiliki hasil yang
berbeda yakni, tidak terdapat hubungan yang bermakna antara tingkat pendidikan dengan status
gizi balita.

Penelitian yang dilakukan oleh Panambunan dan Sjane juga mendapatkan lebih banyak ibu
dengan pengetahuan yang rendah memiliki balita dengan status gizi kurang dibandingkan dengan
status gizi baik. Namun berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Yoseph yang menunjukan
bahwa balita dengan status gizi kurang lebih banyak berasal dari kelompok ibu yang
berpengetahuan tinggi dibandingkan dengan kelompok ibu yang berpengetahuan rendah. Analisis
hubungan antara pengetahuan ibu dengan status gizi balita tidak bisa dilakukan karena terdapat cell
yang kosong sehingga hasil ini tidak bisa dibandingkan dengan penelitian serupa yang dilakukan
oleh Rahmawati dkk yang mendapatkan hasil bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara
pengetahuan ibu dengan status gizi balita.
Hasil penelitian ini mendapatkan balita yang mengalami status gizi kurang lebih banyak berasal
dari keluarga yang ibunya bekerja dengan analisis bivariat terdapat hubungan yang bermakna
antara pekerjaan ibu dengan status gizi balita. Hasil penelitian mendapatkan dari 227 ibu balita di
wilayah kerja Puskesmas Nanggalo Padang tahun 2014 persentase pendapatan keluarganya masih
rendah yaitu sebesar 60,4% dan persentase balita yang mengalami status gizi kurang lebih banyak
berasal dari keluarga yang pendapatannya rendah yaitu 43,1% sedangkan pada keluarga yang
berpendapatan tinggi hanya terdapat 26,7% balita dengan status gizi kurang. Hasil penelitian
menunjukan bahwa persentase anak balita yang mengalami status gizi kurang lebih banyak terjadi
pada ibu dengan pola asuh yang tidak baik yaitu 60% dan hasil analisis bivariat menunjukan
terdapat hubungan antara pola asuh dengan status gizi balita.

Terdapat hubungan yang bermakna antara pendidikan ibu, pekerjaan ibu, pendapatan keluarga,
jumlah anak dan pola asuh ibu dengan status gizi anak balita. Pekerjaan ibu merupakan faktor yang
paling dominan berhubungan dengan status gizi. Faktor pengetahuan ibu tidak dapat dilakukan uji
statistik sehingga tidak didapatkan hubungan.
JNK
JURNAL NERS DAN KEBIDANAN
http://jnk.phb.ac.id/index.php/jnk

Faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku penatalaksanaan


Hipertensi oleh penderita di Wilayah Kerja Puskesmas
Sekernan Ilir Kabupaten Muaro Jambi Tahun 2018

1
Netha Damayantie, 2Erna Heryani, 3Muazir
1,2,3
Fakultas Keperawatan, Politeknik Kesehatan Kemenkes Jambi

Info Artikel Abstrak

Sejarah Artikel: Hipertensi atau tekanan darah tinggi merupakan penyakit dengan tekanan sistolik
Diterima, 24/10/2018 140 mmHg atau tekanan diastolik 90 mmHg. Faktor yang mempe-ngaruhi
Disetujui, 28/12/2018 perilaku penderita hipertensi diantaranya persepsi individu tentang penyakitnya,
Di Publikasi, 28/12/2018 kelompok sosial, latar belakang budaya, ekonomi dan kemudah-an akses
pelayanan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui beberapa faktor-faktor yang
Kata kunci: berhubungan dengan perilaku penatalaksanaan hipertensi oleh penderita di
Hipertensi, Perilaku, wilayah kerja Puskesmas Sekernan Ilir Kabupaten Muaro Jambi tahun 2018.
Penatalaksanaan Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kuantitatif dengan pendekatan
desain penelitian cross sectional, jumlah sampel dalam penelitian ini sebanyak 68
responden. Pengambilan sampel menggunakan Proportional Random Sampling.
Pengumpulan Data dengan wawancara menggunakan kuesioner. Data dianalisis
secara univariat dan bivariat (T-Test Dependent). Hasil analisis bivariat
menunjukan adanya hubungan antara persepsi sakit (p-value=0,001) dan
dukungan keluarga (p-value=0,015) dengan perilaku penatalaksanaan hipertensi
oleh penderita, dan tidak adanya hubung-an antara akses pelayanan kesehatan (p-
value=0,605) dengan perilaku penata-laksanaan hipertensi oleh penderita. Perawat
memiliki peran dalam mengubah perilaku sakit penderita hipertensi. Pihak
Puskesmas Sekernan Ilir diharapkan memberikan pendidikan kesehatan,
melaksanakan PIS-PK dengan pendekatan keluarga untuk meningkatkan status
kesehatan penderita hipertensi. Bagi penelitian selanjutnya dapat menggunakan
rancangan studi yang berbeda agar dapat melihat hubungan variabel yang lain.


Correspondence Address:
Poltekkes Kemenkes Jambi - Central Sumatra, Indonesia P-ISSN : 2355-052X
Email: nethafauz1996@gmail.com E-ISSN : 2548-3811
This is an Open Access article under
The CC BY-SA license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/)
DOI: 10.26699/jnk.v5i3.ART.p224–232

224
Damayantie, Heryani, Muazir, Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perilaku... 225

The correlation of knowledge level and the preventive behavior of Diabetic Wound
Article Information

History Article: Abstract

Received, 24/10/2018 High blood pressure or hypertension is a disease with a systolic pressure
Accepted, 28/12/2018  140 mmHg or diastolic pressure  90 mmHg. Factors that affect the
Published, 28/12/2018 behavior of hypertension sufferers include the individual’s perception about
his illness, social groups, cultural background, economic services and
Keywords: ease of access. This research aimed to know some of the factors related to
Hypertension, Behavior, the behavior of hypertension treatment by the sufferers in Puskesmas
Treatment Sekernan Ilir Kabupaten Muaro Jambi in 2018. This research was quanti-
tative descriptive research with cross sectional design approach. The
sample was 68 respondents. The sampling technique used Proportional
Random Sampling. The data collection used interviews by questionnaire.
The data was analyzed in univariate and bivariat analysis (T-Test Depen-
dent). Bivariat analysis results showed a correlation between pain per-
ception (p-value = 0.001) and family support (p-value = 0,015) with the
behavior treatment of hypertension by sufferers, and the absence of a cor-
relation between access to medical services (p-value = 0.605) with the
behavior treatment of hypertension by sufferers. Nurses have a role in chang-
ing the behavior of sufferers hypertension. Puskesmas Sekernan Ilir is ex-
pected to provide health education, carry out PIS-PK to improving the
health status of hypertension sufferers. For further research, it is recom-
mended to use different study designs in order to see the correlation of
other variables can be.

© 2018 Journal of Ners and Midwifery


226 Jurnal Ners dan Kebidanan, Volume 5, Nomor 3, Desember 2018, hlm. 224–232

LATAR BELAKANG Menurut hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskes-


Transisi epidemiologi yang terjadi di dunia saat das) Indonesia tahun 2013 prevalensi hipertensi di
ini telah mengakibatkan berbagai perubahan pola Indonesia yang didapat melalui pengukuran pada
penyakit, yaitu dari penyakit menular ke penyakit umure”18 tahun sebesar 25,8%, tertinggi di Bangka
tidak menular. Peningkatan kejadian penyakit tidak Belitung (30,9%), diikuti Kalimantan Selatan
menular berhubungan dengan peningkatan faktor (30,8%), Kalimantan Timur (29,6%) dan Jawa Barat
risiko akibat perubahan gaya hidup seiring dengan (29,4%). Prevalensi hipertensi di Indonesia yang
perkembangan dunia yang makin modern, pertum- didapat melalui kuesioner terdiagnosis tenaga kese-
buhan populasi dan peningkatan usia harapan hidup. hatan sebesar 9,4%, yang di diagnosis tenaga kese-
(Kemenkes RI, 2012). Penyakit Tidak Menular hatan atau sedang minum obat sebesar 9,5%. Jadi,
(PTM) telah menjadi masalah kesehatan masyara- ada 0,1% yang minum obat sendiri. Hal ini menanda-
kat baik secara global, nasional, regional bahkan kan bahwa masih ada kasus hipertensi di masyarakat
lokal. World Health Organization (WHO) tahun yang belum terdiagnosis dan terjangkau pelayanan
2015 melaporkan bahwa PTMmembunuh 40 juta kesehatan. (Kemenkes, 2013).
orang setiap tahunnya atau setara dengan 70% Penatalaksanaan hipertensi dilakukan sebagai
kematian di seluruh dunia. Penyakit kardiovaskular upaya pengurangan resiko naiknya tekanan darah
menjadi penyebab terbanyak kematian akibat PTM dan pengobatannya. Dalam penatalaksanaan hiper-
atau 17,7 juta orang setiap tahun, diikuti oleh kanker tensi upaya yang dilakukan berupa upaya farmo-
sebesar 8,8 juta, penyakit pernafasan sebesar 3,9 kologis (obat-obatan) dan upaya nonfarmakologis
juta, dan diabetes sebesar 1,6 juta.(WHO, 2017). (memodifikasi gaya hidup). Beberapa pola hidup
Hipertensi adalah tekanan darah sistolik sama sehat yang dianjurkan oleh banyak guidelines (pe-
dengan atau diatas 140 mmHg dan/atau tekanan doman) adalah dengan penurunan berat badan,
darah diastolik sama dengan atau diatas 90 mmHg. mengurangi asupan garam, olah raga yang dilakukan
(WHO, 2013). Hipertensi adalah suatu keadaan secara teratur, mengurangi konsumsi alkohol dan
ketika tekanan darah di pembuluh darah meningkat berhenti merokok.
secara kronis. Hal tersebut dapat terjadi karena Dalam penatalaksanaan hipertensi perawat
jantung bekerja lebih keras memompa darah untuk memiliki peran dalam mengubah perilaku sakit
memenuhi kebutuhan oksigen dan nutrisi tubuh. penderita dalam rangka menghindari suatu penyakit
Kriteria hipertensi yang digunakan pada penetapan atau memperkecil risiko dari sakit yang diderita.
kasus merujuk pada kriteria diagnosis Joint National Perawat mempunyai peran sebagai educator ten-
Committee (JNC) VII tahun 2003, yaitu hasil peng- tang informasi hipertensi dalam menambah penge-
ukuran tekanan darah sistolik  140 mmHg atau tahuan pasien dan dapat membentuk sikap yang
tekanan darah diastolik  90 mmHg. (Kemenkes positif agar dapat melakukan perawatan hipertensi
secara mandiri sehingga komplikasi dapat dicegah.
RI, 2013).
(Cahyono, 2015).
Menurut World Health Organization (WHO)
Perilaku sakit merupakan perilaku orang sakit
Hipertensi memberikan kontribusi untuk hampir 9,4
yang meliputi: cara seseorang memantau tubuhnya,
juta kematian akibat penyakit kardiovaskuler setiap
mendefinisikan dan menginterpretasikan gejala yang
tahun. Hal ini juga meningkatkan risiko penyakit
dialami, melakukan upaya penyembuhan, dan peng-
jantung koroner sebesar 12% dan meningkatkan
gunaan sistem pelayanan kesehatan. Seorang indi-
risiko stroke sebesar 24% (WHO, 2013). Data Glo-
vidu yang merasa dirinya sedang sakit, maka perilaku
bal Status Report on Noncommunicable Diseases
sakit bisa berfungsi sebagai mekanisme koping.
2010 dari WHO, menyebutkan 40% negara
Faktor yang mempengaruhi perilaku sakit diantara-
ekonomi berkembang memiliki penderita hipertensi,
nya faktor internal berupa persepsi individu terhadap
sedangkan negara maju hanya 35%. Kawasan Asia
gejala dan sifat sakit yang dialami dan asal atau
Tenggara, terdapat 36% orang dewasa yang mende-
jenis penyakit yang dialaminya. Faktor eksternal
rita hipertensi dan telah membunuh1,5 juta orang
yang mempengaruhi perilaku sakit adalah gejala
setiap tahunnya. Jumlah penderita hipertensi akan
yang dapat dilihat, kelompok sosial, latar belakang
terus meningkat tajam, diprediksikan pada tahun
budaya, ekonomi dan kemudahan akses pelayanan
2025 sekitar 29% atau sekitar 1,6 miliar orang
kesehatan. (Potter & Perry, 2009). Penelitian yang
dewasa di seluruh dunia menderita hipertensi (Ke-
dilakukan oleh Susanto Edi (2010) yang menganalisis
menkes RI, 2013).
Damayantie, Heryani, Muazir, Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perilaku... 227

faktor-faktor yang berhubungan dengan praktik lan- HASIL PENELITIAN


sia hipertensi dalam mengendalikan kesehatannya Karakteristik dan gambaran perilaku penatalak-
di Puskesmas Mranggen Demak, menyimpulkan sanaan hipertensi, persepsi sakit, dukungan keluarga
adanya hubungan antara akses pelayanan kesehatan dan akses pelayanan kesehatan oleh responden
dengan Praktik lanjut usia hipertensi dalam dapat dilihat pada Tabel dibawah ini
mengendalikan kesehatannya (p = 0.026). serta
adanya hubungan antara dukungan keluarga terha-
dap lanjut usia yang menderita penyakit hipertensi Tabel 1 Karakteristik responden (n = 68)
dengan praktik lanjut usia hipertensi dalam mengen-
dalikan kesehatannya (p = 0.048). Karakteristik Responden f %
Puskesmas Sekernan Ilir memiliki Incidence Jenis Kelamin
Rate (IR) penderita hipertensi yang terus meningkat Laki-laki 21 30,9
sejak 2 (dua) tahun terakhir yaitu 5,77% di tahun Perempuan 47 69,1
2016 dan 7,95% di tahun 2017 dengan peningkatan Umur
sebesar 72%. (Dinkes Muaro Jambi, 2017). Berda- 25-55 Tahun 50 73,5
sarkan survei awal didapatkan 6 pasien (60%) >55 Tahun 18 26.,5
mengatakan bahwa mereka masih sering mengkon- Pendidikan Terakhir
sumsi makanan berlemak seperti rendang, santan Tidak Sekolah 3 4,4
dan mengkonsumsi garam berlebih, 5 pasien (50%) SD 24 35,3
jarang melakukan kontrol tekanan darah, penderita SMP 21 30,9
melakukan kunjungan ke Puskesmas saat merasa SMA 15 22,1
tidak enak badan dan sudah menganggu aktivitas PT 5 7,4
sehari-hari, dan 3 pasien (30%) tidak menghabiskan Pekerjaan
obat penurun tekanan darah yang telah diberikan Tidak Bekerja 4 5,9
dokter. Tani 24 35,3
Swasta 23 33,8
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
Dagang 13 19,1
faktor-faktor yang berhubungan dengan perilaku PNS 4 5,9
penatalaksanaan hipertensi oleh penderita di wilayah
Jumlah 68 100.0
kerja Puskesmas Sekernan Ilir Kabupaten Muaro
Jambi.
Karakteristik responden lebih dari sebagian
BAHAN DAN METODE perempuan, responden berusia dewasa. Terbanyak
responden berpendidikan SD dan terbanyak
Penelitian ini menggunakan desain cross
responden yang berkerja sebagai petani.
sectional yang merupakan penelitian non eksperi-
mental. Populasi dalam penelitian ini adalah semua
penderita hipertensi di wilayah Kerja Puskesmas Tabel 2 Perilaku Penatalaksanaan Hipertensi (n = 68)
Sekernan Ilir tahun 2017 yaitu sebanyak 805 orang.
Teknik pengambilan sampel secara proportional Perilaku Penatalaksanaan
f %
random sampling dengan jumlah sampel 68 orang Hipertensi
responden, terdiri dari: Desa Sekernan 33 orang, Kurang Baik 33 48.5
Desa Tunas Mudo 17 orang, Desa Berembang 9 Baik 35 51.5
orang dan Desa Tunas Baru 9 orang. Penelitian Jumlah 68 100.0
dilaksanakan pada bulan Juni sampai Juli 2018. Data
dikumpulkan melalui wawancara dengan menggu-
nakan kuesioner yang terdiri dari pertanyaan tentang Berdasarkan Tabel 2 diatas responden memiliki
Penatalaksanaan hipertensi, Persepsi sakit, Dukung- perilaku penatalalsanaan hipertensi yang kurang
an keluarga dan Akses pelayanan kesehatan. Ana- baik yaitu sebanyak 33 (48,5%).
lisis data dilakukan secara univariat dan bivariat
dengan menggunakan uji chi-square dengan tingkat
kepercayaan 95 % ( = 0,05).
228 Jurnal Ners dan Kebidanan, Volume 5, Nomor 3, Desember 2018, hlm. 224–232

Tabel 3 Persepsi sakit (n = 68) Tabel 5 Akses pelayanan kesehatan (n = 68)

Persepsi Sakit f % Akses Pelayanan Kesehatan f %


Kurang Baik 32 47.1 Kurang Baik 30 44.1
Baik 36 52.9 Baik 38 55.9
Jumlah 68 100.0 Jumlah 68 100.0

Berdasarkan Tabel 3, responden memiliki per-


Berdasarkan Tabel 5 diatas responden memiliki
sepsi sakit yang kurang baik yaitu sebanyak 32
akses pelayanan kesehatatan yang kurang baik
(47,1%).
yaitu sebanyak 30 (44,1%).
Dalam penelitian ini analisis bivariat dilakukan
Tabel 4 Dukungan keluarga (n = 68)
untuk melihat hubungan antara variabel independen
dengan variabel dependen dengan menggunakan uji
Dukungan Keluarga f %
chi-square.
Kurang Baik 28 41.2 Hasil uji statistikdiperoleh nilai p-value = 0.001
Baik 40 58.8 (p<0,05). Hasil uji ini menunjukkan terdapat hu-
Jumlah 68 100.0 bungan yang signifikan antara persepsi sakit dengan
perilaku penatalaksanaan hipertensi oleh penderita
di wilayah kerja Puskesmas Sekernan Ilir Kabu-
Responden memiliki dukungan keluarga yang
paten Muaro Jambi.
kurang baik yaitu sebanyak 28 (41,2%).

Tabel 6 Hubungan persepsi sakit dengan perilaku penatalaksanaan hipertensi (n = 68)

Penatalaksanaan Hipertensi
Jumlah
Persepsi Sakit Kurang Baik Baik p-value
n % n % n %
Kurang 23 71.9 9 28.1 32 100 0,001
Baik 10 27.8 26 72.2 36 100

Tabel 7 Hubungan dukungan keluarga dengan perilaku penatalaksanaan hipertensi (n = 68)

Penatalaksanaan Hipertensi
Dukungan Jumlah
Kurang Baik Baik p-value
Keluarga
n % n % n %
Kurang 19 67.9 9 32.1 28 100 0,015
Baik 14 35.0 26 65.0 40 100

Hasil uji statistik dengan menggunakan chi- dengan perilaku penatalaksanaan hipertensi oleh
square pada  = 0,05 diperoleh nilai p-value=0.015 penderita di wilayah kerja Puskesmas Sekernan Ilir
(p<0,05). Hasil uji ini menunjukkan terdapat hu- Kabupaten Muaro Jambi.
bungan yang signifikan antara dukungan keluarga
Damayantie, Heryani, Muazir, Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perilaku... 229

Tabel 8 Hubungan akses pelayanan kesehatan dengan perilaku penatalaksanaan hipertensi (n = 68)

Berikut ini adalah hasil penelitian yang


Penatalaksanaan Hipertensi
Akses Pelayanan Jumlah
Kurang Baik Baik p-value
Kesehatan
n % n % n %
Kurang 13 43.3 17 56.7 30 100 0,605
Baik 20 52.6 18 47.4 38 100

Hasil uji statistik diperoleh nilai p-value=0.605 Berdasarkan uji statistik dengan menggunakan
(p>0,05). Hasil uji ini menunjukkan tidak terdapat uji chi-Square didapatkan p-value sebesar 0,001
hubungan yang signifikan antara akses pelayanan (p<0,05), ada hubungan yang bermakna antara
kesehatan dengan perilaku penatalaksanaan hiper- persepsi sakit dengan perilaku penatalaksanaan
tensi oleh penderita di wilayah kerja Puskesmas Se- hipertensi oleh penderita. Hal ini senada dengan
kernan Ilir Kabupaten Muaro Jambi. penelitian yang dilakukan Adawiyah (2014) tentang
Perilaku penatalaksanaan hipertensi yang ku- Persepsi lansia dengan upaya pencegahan hipertensi
rang baik dalam penelitian ini ada pada persoalan di Posbindu Bumi Asri RW IV Kelurahan Sambiroto
modifikasi diet dengan makan makanan gizi seim- Semarang menyatakan ada hubungan yang bermak-
bang yang masih belum diterapkan oleh sebagian na antara persepsi manfaat dengan upaya pencegah-
responden. Terbukti masih banyaknya responden an hipertensi (p <0,003).
yang tidak mengkonsumsi makanan yang banyak Hasil penelitian yang dilakukan Soesanto
mengandung protein nabati seperti Tempe, tahu, (2010) setelah uji statistik dengan uji Chi Squarei
kacang tanah, kacang hijau, kacang kedele, kacang diperoleh niilai p-value=0,000 ,ada hubungan antara
merah, dan kacang-kacangan lain yang dimasak persepsi lanjut usia tentangmanfaat dari tindakan
tanpa garam dapur (67,65%) dan masih banyak kesehatan yang akandilakukan terhadap penyakit
responden yang tidak menghindari makanan yang hipertensi yang dideritanya dengan praktik lanjut
tinggi lemak jenuh dan kolesterol seperti goreng- usia hipertensi dalam mengendalikan kesehatannya.
gorengan dan makanan bersantan (55,88%). Meng- Menurut Potter & Perry (2009), persepsi
atur menu makanan sangat dianjurkan bagi pende- tentang gejala dan sifat sakit Jika mereka meng-
rita hipertensi untuk menghindari dan membatasi anggap gejala tersebut menggangu kegiatan sehari-
makanan yang dapat meningkatkan kadar kolesterol hari, mereka akan mencari bantuan layanan kese-
darah serta meningkatkan tekanan darah, sehingga hatan, terutama jika sakit tersebut dianggap serius
tidak terjadi komplikasi. Menurut Almatsier (2007) bahkan mengancam jiwa. Arifin (2016) menyatakan
dalam Nur Kholifah, F, dkk (2014) beberapa makan- persepsi positif tentang penyakit yaitu seseorang da-
an yang dianjurkan bagi penderita hipertensi adalah: pat memahami penyakit dan cara untuk mengontrol
Sumber karbohidrat (Beras, kentang, singkong, penyakitnya dengan baik, akan tetapi sebaliknya
makanan yang diolah tanpa garam dapur dan soda). apabila persepsi negatif tentang penyakit yaitu sese-
Sumber protein hewani (Daging dan ikan maksimal orang tidak dapat dengan baik memahami penyakit
100 g sehari, telur maksimal 1 butir sehari) Sumber dan cara yang tepat untuk mengontrol penyakitnya.
protein nabati (Semua kacang-kacangan dan hasil Menurut Septiaji, F (2014) Setiap orang
olahannya yang diolah dan dimasak tanpa garam mempunyai kecenderungan dalam melihat benda
dapur). Sayuran (Semua sayuran segar, sayuran yang sama dengan cara yang berbeda-beda. Per-
yang diawet tanpa garam dapur dan natrium bedaan tersebut bisa dipengaruhi oleh banyak faktor,
benzoat). Buah-buahan (Semua buah-buahan segar, diantaranya adalah pengetahuan, pengalaman dan
buah yang diawet tanpa daram dapur). Lemak sudut pandangnya. Baiknya persepsi sakit respon-
(Minyak goreng, margarin, dan mentega tanpa ga- den pada penelitian ini tidak terlepas dari pengetahuan
ram). Minuman (Teh, kopi). Bumbu (Semua bumbu tentang hipertensi yang telah diberikan oleh tenaga
kering yang tidak mengandung garam dapur). kesehatan dari Puskesmas Sekernan Ilir. Dalam hal
230 Jurnal Ners dan Kebidanan, Volume 5, Nomor 3, Desember 2018, hlm. 224–232

penanggulangan penyakit tidak menular (PTM) ter- kondisi ini dapat menjadi salah satu penyebab masih
masuk penatalaksanaan penyakit hipertensi, Pus- adanya dukungan keluarga yang kurang baik, karena
kesmas Sekernan Ilir senantiasa melakukan penyu- dukungan keluarga yang baik tidak terlepas dari
luhan baik itu di dalam gedung puskesmas melalui bagaimana pemahaman dan pengetahuan keluarga
bagian konseling PTM, maupun di luar gedung tersebut dalam memberikan dukungan kepada
puskesmas melalui kegiatan Pusling, Posbindu serta anggota keluarganya untuk mengatasi masalah ke-
kegiatan Perkesmas. Saat ini Puskesmas Sekernan sehatan yang sedang dialami. Puskesmas Sekernan
Ilir juga sedang melaksanakan program Indonesia Hilir harus aktif dalam mensukseskan Program
Sehat dengan Pendekatan Keluarga, melaksakan Indonesia Sehat dengan Pendekatan Keluarga (PIS-
pendataan keluarga untuk mengidentifikasi masalah PK). Pendekatan keluarga adalah salah satu cara
dan status kesehatan keluarga. Puskesmas untuk meningkatkan jangkauan sasaran
Hasil uji statistik dengan menggunakan chi- dan mendekatkan/ meningkatkan akses pelayanan
square pada  = 0,05 diperoleh nilai p-value=0.015 kesehatan di wilayah kerjanya dengan mendatangi
(p<0,05) menunjukkan terdapat hubungan yang keluarga khusunya yang memiliki penderita hiper-
signifikan antara dukungan keluarga dengan perila- tensi.
ku penatalaksanaan hipertensi oleh penderita di Keterjangkauan akses pelayanan kesehatan
wilayah kerja Puskesmas Sekernan Ilir Kabupaten adalah kemampuan setiap orang dalam mencari
Muaro Jambi. Hasil ini sejalan dengan penelitian pelayanan kesehatan sesuai dengan yang mereka
Maharani, dkk (2016) tentang Faktor Yang Berhu- butuhkan. Dari hasil penelitian diketahui bahwa tidak
bungan Dengan Perilaku pengendalian Tekanan ada hubungan yang signifikan antara akses ke
Darah Pada Penderita Hipertensi Di Puskesmas pelayanan kesehatan dengan perilaku penatalaksa-
Harapan Raya Kota Pekanbaru Tahun 2016 yang naan hipertensi oleh penderita di wilayah kerja Pus-
menyimpulkan adanya hubungan antara dukungan kesmas Sekernan Ilir Kabupaten Muaro Jambi
keluarga dengan perilaku pengendalian tekanan dengan nilai p-value=0,605. Hal ini menandakan
darah (p-value=0,032). akses pelayanan kesehatan bukan menjadi
Menurut Setiadi (2008) faktor-faktor yang hambatan bagi penderita untuk berperilaku sehat.
mempengaruhi dukungan keluarga ada faktor inter- Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian
nal dan faktor eksternal. Faktor internal meliputi ta- yang dilakukan oleh Annisa, dkk (2013) yang
hap perkembangan, pendidikan atau tingkat pengeta- menyimpulkan tidak ada hubungan antara keter-
huan, faktor emosi dan spiritual, sedangkan faktor jangkauan pelayanan kesehatan dengan kepatuhan
eksternal meliputi praktik dikeluarga, sosial ekonomi berobat hipertensi p-value=0,063. Berbeda dengan
dan latar belakang budaya. Perawat mempunyai penelitian yang dilakukan oleh Zulkardi (2015) yang
peran sebagai educator. Friedman (1998) dalam menyatakan ada hubungan antara keterjangkauan
Rachmawati, (2013), menyatakan adanya beberapa akses pelayanan kesehatan dengan kepatuhan pe-
aspek dukungan keluarga yaitu dukungan emosional, natalaksanaan hipertensi pada lansia di Puskesmas
dukungan instrumental, dukungan informatif, serta Pajangan Bantul p-value=0,000. Dalam penelitian-
dukungan penghargaan. Dalam meningkatkan peran nya diketahui jarak yang jauh dan transportasi yang
keluarga perawat dapat mengedukasi keluarga sulit mengakibatkan ketidakpatuhan penatalaksana-
dengan mengajarkan keluarga untuk melaksanakan an hipertensi.
lima tugas kesehatan keluarga, sehingga keluarga Keberadaan Puskesmas Sekernan Ilir yang
dapat mengenali masalah kesehatan yang dialaminya terletak di pinggir jalan lintas timur yang dapat ditem-
dan dapat memberi dukungan. puh dengan kendaraan pribadi maupun angkutan
Upaya kesehatan berbasis masyarakat meru- umum, menjadikannya mudah dijangkau oleh para
pakan salah satu bentuk pelayanan kesehatan di penderita hipertensi dalam upaya pengendalian
Puskesmas, termasuk upaya pembinaan kesehatan penyakit yang mereka derita baik itu untuk pemerik-
keluarga. Pelaksanaan program keluarga binaan saan, pengobatan maupun konseling. Walaupun
yang dilakukan tenaga kesehatan di Puskemas demikian masih terdapat responden yang menyata-
Sekernan Ilir kurang maksimal karena tenaga yang kan sulit menjangkau pelayanan karena berada
terbatas dan wilayah kerja yang luas, sehingga be- dilingkungan perkebunan dengan kondisi jalan yang
lum bisa mengcover keperawatan keluarga secara rusak, tapi keadaan tersebut tidak menjadi masalah
keseluruhan, terutama dengan masalah hipertensi. bagi mereka untuk tetap menuju pelayanan kese-
Damayantie, Heryani, Muazir, Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perilaku... 231

hatan, hal ini dikarenakan baiknya persepsi sakit DAFTAR PUSTAKA


responden dan adanya dukungan keluarga yang Adawiyah, Utin. (2014). Persepsi lansia dengan upaya
mereka miliki. pencegahan hipertensi di Posbindu Bumi Asri RW
IV Kelurahan Sambiroto Semarang. Semarang:
SIMPULAN SKRIPSI Prodi Ilmu Keperawatan Universitas
Muhammadiyah.
Perilaku penatalaksanaan hipertensi oleh pen-
Annisa Fitria, dkk. (2013). Faktor Yang Berhubungan
derita hipertensi di wilayah kerja Puskesmas Seker- Dengan Kepatuhan Berobat Hipertensi Pada Lan-
nan Ilir Kabupaten Muaro Jambi baik, persepsi sakit sia Di Puskesmas Pattingalloang Kota Makassar.
terhadap penyakit hipertensi yang baik , dukungan Bagian Epidemiologi Fakultas Kesehatan Masya-
keluarga yang baik dan akses pelayanan yang. Ada rakat Universitas Hasanuddin.
hubungan persepsi sakit dengan perilaku penatalak- Arifin, Faisal Fachrur. (2016). Hubungan Antara Persepsi
sanaan hipertensi oleh penderita di wilayah kerja Tentang Penyakit Dengan Kepatuhan Minum
Puskesmas Sekernan Ilir Kabupaten Muaro Jambi, Obat Hipoglikemik Oral (Oho) Di Puskesmas
Ada hubungan dukungan keluarga dengan perilaku Srondol Kota Semarang. Semarang: Skripsi Prodi
penatalaksanaan hipertensi oleh penderita di wilayah Ilmu Keperawatan UNDIP.
Cahyono, AD. (2015). Hubungan Pengetahuan Tentang
kerja Puskesmas Sekernan Ilir Kabupaten Muaro
Hipertensi Dengan Sikap Perawatan Hipertensi Pada
Jambi dan Tidak ada hubungan akses pelayanan Pasien Hipertensi. Kediri: Jurnal AKP Vol.6 no.1.
kesehatan dengan perilaku penatalaksanaan hiper- Dinkes Kabupaten Muaro Jambi. (2017). Laporan Kasus
tensi oleh penderita di wilayah kerja Puskesmas Penyakit Tidak Menular (PTM) Kab. Muaro
Sekernan Ilir Kabupaten Muaro Jambi. Jambi. P2PTM Dinkes Kab. Muaro Jambi.
Kemenkes RI. (2012). Penyakit Tidak Menular Buletin
SARAN Jendela Data dan Informasi Kesehatan. Jakarta:
Direktorat pengendalian penyakit tidak menular.
Bagi Puskesmas Sekernan Ilir Kementerian Kesehatan RI.
Memberikan pendidikan kesehatan kepada pen- (2013). Pedoman Teknis Penemuan dan
derita hipertensi dan juga kepada keluarga atau Tatalaksana Penyakit Hipertensi. Jakarta: Direk-
orang terdekat penderita hipertensi agar dapat ikut torat pengendalian penyakit tidak menular. Kemen-
serta mengingatkan dan memberikan motivasi pada terian Kesehatan RI.
penderita hipertensi. __________ (2013). Riset Kesehatan Dasar 2013
(Riskesdas 2013).Jakarta: Balitbangkes Kemente-
Melaksanakan dan terlibat secara aktif dalam
rian Kesehatan RI.
PIS-PK dengan pendekatan keluarga untuk meng- Nur Kholifah, F.dkk. (2014). Hubungan Asupan Serat,
identifikasi masalah dan status kesehatan penderita Status Gizi Dengan Tekanan Darah Pada Pasien
hipertensi sehingga diharapkan keluarga dapat mem- Hipertensi Rawat Inap Di Rumah Sakit Umum
berikan dukungan yang maksimal dalam meman- Daerah Tugurejo Semarang. Prodi D III Gizi
faatkan fasilitas kesehatan yang ada di masyarakat Fakultas Ilmu Keperawatan dan Kesehatan Univer-
Menyediakan media berisi informasi mengenai sitas Muhammadiyah Semarang
tatalaksana penyakit hipertensi agar dapat menam- Potter & Perry. (2009). Fundamental Keperawatan. Edisi
bah pengetahuan masyarakat dengan pendekatan 7Buku 1.Jakarta: Salemba Medika.
keluarga sehat Rachmawati, YA. (2013). Dukungan Keluarga Dalam
Penatalaksanaan Hipertensi di Puskesmas Can-
Membuat contoh/role model dengan memilih
direjo Magetan. Surakarta: SKRIPSI. Universitas
pasien yang perilaku perawatan hipertensinya baik Muhammadiyah.
sehingga bisa dicontoh penderita lainnya. Septiaji, Fajar. (2014). Hubungan Persepsi Pola Asuh
Bagi Peneliti selanjutnya, Bagi peneliti selanjut- Orang Tua Dan Dukungan Sosial Dengan Koping
nya yang ingin meneliti masalah yang sama, disaran- Stres Pada Remaja Di Desa Sokaraja Kulon, Kabu-
kan agar menggunakan rancangan studi yang ber- paten Banyumas. Purwokerto: SKRIPSI. Fakultas
beda agar dapat melihat dapat hubungan variabel Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah Pur-
yang lain. wokerto.
232 Jurnal Ners dan Kebidanan, Volume 5, Nomor 3, Desember 2018, hlm. 224–232

Setiadi. (2008). Konsep & keperawatan keluarga. ______(2017). Media centre:Noncommunicable


Yogyakarta: Graha ilmu diseases.Tersedia dalam http://www.who.int/
Soesanto, Edy. (2010). Praktik Lansia Hipertensi dalam mediacentre/factsheets/fs355/en/ [Diakses 14
Mengendalikan Kesehatan Diri di Wilayah Februari 2018]
Puskesmas Mranggen Demak. Jurnal Promosi Zulkardi. (2015). Faktor-Faktor Yang Berhubungan
Kesehatan Indonesia Vol. 5 / No. 2 Dengan Kepatuhan Penatalaksanaan Hipertensi
WHO. (2013). A Global Brief On HypertensionSilent Pada Lansia Di Puskesmas Pajangan Bantul
killer, Global Public Health Crisis. Tersedia dalam Program Studi Ilmu Keperawatan. Yogyakarta:
http://www.who.int/cardiovascular_diseases/ Skripsi. STIKES Jend. Achmad Yani.
publications/ [Diakses 14 Februari 2018]
Sinopsis Jurnal Keempat
Puskesmas Sekernan Ilir memiliki Incidence Rate (IR) penderita hipertensi yang terus
meningkat sejak 2 (dua) tahun terakhir yaitu 5,77% di tahun 2016 dan 7,95% di tahun 2017
dengan peningkatan sebesar 72%. (Dinkes Muaro Jambi, 2017). Berdasarkan survei awal
didapatkan 6 pasien (60%) mengatakan bahwa mereka masih sering mengkonsumsi makanan
berlemak seperti rendang, santan dan mengkonsumsi garam berlebih, 5 pasien (50%) jarang
melakukan kontrol tekanan darah, penderita melakukan kunjungan ke Puskesmas saat merasa
tidak enak badan dan sudah menganggu aktivitas sehari-hari, dan 3 pasien (30%) tidak
menghabiskan obat penurun tekanan darah yang telah diberikan dokter. Tentunya penelitian ini
bertujuan untuk mengetahui beberapa faktor-faktor yang berhubungan dengan perilaku
penatalaksanaan hipertensi oleh penderita di wilayah kerja Puskesmas Sekernan Ilir Kabupaten
Muaro Jambi tahun 2018.

Penelitian ini menggunakan desain cross sectional yang merupakan penelitian non
eksperimental. Populasi dalam penelitian ini adalah semua penderita hipertensi di wilayah Kerja
Puskesmas Sekernan Ilir tahun 2017 yaitu sebanyak 805 orang. Teknik pengambilan sampel
secara proportional random sampling dengan jumlah sampel 68 orang responden, terdiri dari:
Desa Sekernan 33 orang, Desa Tunas Mudo 17 orang, Desa Berembang 9 orang dan Desa
Tunas Baru 9 orang. Penelitian dilaksanakan pada bulan Juni sampai Juli 2018. Data
dikumpulkan melalui wawancara dengan menggunakan kuesioner yang terdiri dari pertanyaan
tentang Penatalaksanaan hipertensi, Persepsi sakit, Dukungan keluarga dan Akses pelayanan
kesehatan. Analisis data dilakukan secara univariat dan bivariat dengan menggunakan uji chi-
square dengan tingkat kepercayaan 95 % ( = 0,05).

Perilaku penatalaksanaan hipertensi yang kurang baik dalam penelitian ini ada pada
persoalan modifikasi diet dengan makan makanan gizi seimbang yang masih belum diterapkan
oleh sebagian responden. Mengatur menu makanan sangat dianjurkan bagi penderita hipertensi
untuk menghindari dan membatasi makanan yang dapat meningkatkan kadar kolesterol darah
serta meningkatkan tekanan darah, sehingga tidak terjadi komplikasi.

Perilaku penatalaksanaan hipertensi oleh penderita hipertensi di wilayah kerja Puskesmas


Sekernan Ilir Kabupaten Muaro Jambi baik, persepsi sakit terhadap penyakit hipertensi yang
baik, dukungan keluarga yang baik dan akses pelayanan yang. Ada hubungan persepsi sakit
dengan perilaku penatalaksanaan hipertensi oleh penderita di wilayah kerja Puskesmas
Sekernan Ilir Kabupaten Muaro Jambi, Ada hubungan dukungan keluarga dengan perilaku
penatalaksanaan hipertensi oleh penderita di wilayah kerja Puskesmas Sekernan Ilir Kabupaten
Muaro Jambi dan Tidak ada hubungan akses pelayanan kesehatan dengan perilaku
penatalaksanaan hipertensi oleh penderita di wilayah kerja Puskesmas Sekernan Ilir Kabupaten
Muaro Jambi.

Memberikan pendidikan kesehatan kepada penderita hipertensi dan juga kepada keluarga
atau orang terdekat penderita hipertensi agar dapat ikut serta mengingatkan dan memberikan
motivasi pada penderita hipertensi. Melaksanakan dan terlibat secara aktif dalam Program
Indonesia Sehat dengan Pendekatan Keluarga (PIS-PK) dengan pendekatan keluarga untuk
mengidentifikasi masalah dan status kesehatan penderita hipertensi sehingga diharapkan
keluarga dapat memberikan dukungan yang maksimal dalam memanfaatkan fasilitas kesehatan
yang ada di masyarakat. Menyediakan media berisi informasi mengenai tatalaksana penyakit
hipertensi agar dapat menamah pengetahuan masyarakat dengan pendekatan keluarga sehat.
Membuat contoh/role model dengan memilih pasien yang perilaku perawatan hipertensinya
baik sehingga bisa dicontoh penderita lainnya.
Jurnal Keperawatan
Volume 13 Nomor 1, Maret 2021
e-ISSN 2549-8118; p-ISSN 2085-1049
http://journal.stikeskendal.ac.id/index.php/Keperawatan

GAMBARAN FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KESEHATAN MENTAL


PERAWAT PADA MASA PANDEMI COVID-19: LITERATUR REVIEW
Nurfadillah*, Rosyidah Arafat, Saldy Yusuf
Fakultas Keperawatan, Universitas Hasanuddin, Tamalanrea Indah, Kec. Tamalanrea, Kota Makassar, Sulawesi
Selatan, Indonesia 90245
*nurfadhillahsabir28@gmail.com

ABSTRAK
Seiring dengan bertambahnya kasus terkonfirmasi COVID-19 menjadi tantangan besar bagi staf medis
terkhusus perawat sebagai garda terdepan dalam penanganan pasien COVID-19, hal ini menjadikan
perawat cenderung lebih berisiko menimbulkan masalah kesehatan mental. Sehingga penelitian ini
bertujuan untuk mengetahui gambaran faktor-faktor yang mempengaruhi masalah kesehatan mental
yang dialami perawat pada masa pandemi COVID-19. Studi ini merupakan literatur review yang
dianalisa dengan menggunakan PI(E)O dengan mengidentifikasi artikel-artikel ilmiah cross-sectional
study yang diterbitkan dari tahun 2002-2020, berbahasa inggris dan full text. Database yang digunakan
yaitu PubMed, Wiley, Science Direct dan Google Scholar dengan total artikel 2805 teridentifikasi
dengan menggunakan kata kunci Nursing OR Nurses AND COVID-19 OR Coronavirus AND MERS
OR Middle East Respiratory Syndrome AND SARS OR Severe Acute Respiratory Syndrome AND
mental health OR Anxiety OR Depresi OR stress AND Factor OR Influencing. Hasil studi didapatkan 7
artikel yang membahas faktor-faktor yang mempengaruhi masalah kesehatan mental perawat di masa
pandemic COVID-19, diantaranya faktor personal meliputi usia, jenis kelamin seorang wanita, sudah
menikah, memiliki anak, memiliki orang tua yang berumur lansia, berprofesi sebagai seorang perawat
dan bekerja di tempat yang berisiko tinggi. Sedangkan, faktor situasional yang mempengrauhi
kesehatan mental, diantaranya risiko paparan, dukungan social, APD, stigma dan beban kerja.
Kesehatan mental perawat sebagai frontline dimasa pandemic menjadi sangat penting untuk
diperhatikan, oleh sebab itu meminimalkan faktor-faktor situasional dapat menurunkan tingkat atau
gejala kesehatan mental perawat.

Kata kunci: covid-19, mental health, mers, nursing, sars

DESCRIBE FACTORS AFFECTING THE MENTAL HEALTH NURSE’S DURING


PANDEMIC COVID-19: LITERATURE REVIEW

ABSTRACT
Along with the increasing number of confirmed cases of COVID-19, it becomes a big challenge for
medical staff, especially nurses, as the frontline in handling COVID-19 patients, this makes nurses
more likely to cause mental health problems. So, this research aims to describe the factors that affect
mental health problems experienced by nurses during the pandemic COVID-19. This study is a
literature review analyzed using PI(E)O by identifying cross-sectional study scientific articles
published from 2002-2020, in English and in full text. The databases used are PubMed, Wiley,
ScienceDirect, and Google Scholar with a total of 2805 articles identified using the keywords Nursing
OR Nurses AND COVID-19 OR Coronavirus AND MERS OR Middle East Respiratory Syndrome
AND SARS OR Severe Acute Respiratory Syndrome AND Mental health OR Anxiety OR Depression
OR Stress AND Factor OR Influencing. The results of the study found seven articles discussing factors
that influence mental health problems of nurses during the pandemic COVID-19, including personal
factors that are; age, the gender of a woman, married, having children, having elderly parents,
working as a nurse, and work in high-risk places. Meanwhile, situational factors that affect mental
health include the risk of exposure, social support, PPE, stigma, and workload. Nurse's mental health
as a frontline during a pandemic is very important to note, therefore minimizing situational factors
can reduce the level of symptoms of mental health nurses.

125
Jurnal Keperawatan Volume 13 No 1, Hal 125 - Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan
138, Maret 2021 Kendal
Keywords: COVID-19, mental health, mers, nursing, sars

PENDAHULUAN
Pada awal tahun Januari 2020, World Health Organitation (WHO) mengumumkan COVID-19
sebagai wabah penyakit coronavirus terbaru pada Public Health Emergency of International
Concern (PHEIC) dan pada bulan Maret 2020 COVID-19 ditetapkan sebagai pandemi (World
Health Organization (WHO), 2020). COVID-19 merupakan penyakit pneumonia jenis baru
yang muncul dan dilaporkan terjadi sejak akhir bulan Desember 2019 di kota Wuhna, China
dan telah menyebar dengan cepat ke negara lain di seluruh dunia (Li et al., 2020). Pada 26
Juni 2020 total 9.473.214 kasus secara global dengan kematian 484.249 orang (CFR 5,1%) di
215 negara terjangkit, Indonesia sebanyak 51.427 kasus dengan kematian 2.683 (CFR 5,2%)
lebih tinggi dari global dan Sulawesi Selatan sebanyak 1907 kasus terkonfirmasi covid-19
dengan kematian 80 orang (CFR 3,5 %) dengan urutan ke 3 terbanyak se-Indonesia dan
diperkirakan jumlah kasus terus bertambah sampai waktu yang belum dapat ditentukan
(Kementrian Kesehatan Republik Indonesia (Kemenkes RI), 2020).

Seiring dengan bertambahnya kasus terkonfirmasi COVID-19, menjadi masalah besar bagi
staf medis terkhusus perawat sebagai garda terdepan (frontline) dalam penangan pasien
COVID-19, hal ini menjadikan perawat cenderung lebih berisiko terpapar infeksi karena
merawat secara langsung pasien ditambah jam kerja lebih lama dari biasanya (Lai et al., 2020).
Selain faktor risiko infeksi, perlindungan yang kurang memadai misalnya alat pelindung diri
(APD) yang kurang dan tidak sesuai standar, pekerjaan yang relatif lebih banyak, diskriminasi,
frustasi, isolasi sehingga berkurangnya kontak dengan kelurga serta adanya kelelahan (Kang,
Li, et al., 2020). Selain itu pada temuan lain menunjukkan bahwa pandemi COVID-19
mengakibatkan peningkatan beban kerja (Cai et al., 2020), kelelahan yang tinggi (Cao et al.,
2020), dukungan yang buruk dari keluarga dan teman-teman (Kim & Choi, 2016) serta
stigmatisasi yang dihadapi oleh staf medis (Khanal et al., 2020). Hal inilah yang dapat
menimbulkan masalah kesehatan mental bagi perawat sebagai garda terdepan.

Pada awal pandemi COVID-19 dilakukan survei terhadap 1257 staf medis di 34 rumah sakit
di Cina menemukan bahwa 1/2 responden mengalami depresi ringan dan 1/3 menderita
insomnia, diantaranya hampir 16% perawat, wanita, front line yang menunjukkan gejala
depresi sedang atau berat, kecemasan, insomnia, dan tekanan yang lebih serius (Lai et al.,
2020). Selain itu, dilaporkan juga staf medis mengalami tekanan emosional, tekanan mental
dan tekanan kerja serta dampak negatif pandemi COVID-19 seperti peningkatan kecemasan,
depresi, stress pasca trauma, kesepian dan ketidakberdayaan (Xiang et al., 2020b; Xiang et al.,
2020; Bao, Sun, Meng, Shi, & Lu, 2020; Cai et al., 2020).

Masalah kesehatan mental staf medis juga terjadi pada wabah severe acute respiratory
syndrome (SARS), dimana staf medis mengalami tekanan psikologis yang muncul secara
bertahap dimulai dari ketakutan dan kecemasan, kemudian gejala depresi, gejala stres pasca
trauma yang dapat berlangsung lama (P. Wu et al., 2009). Hal ini dipengaruhi oleh beberapa
faktor yaitu berprofesi perawat, ketakutan akan penularan infeksi keluarga, teman, dan teman
kerja, isolasi sosial, stres kerja, merasakan ketidakpastian dan stigmatisasi (Bai et al., 2004;
Maunder et al., 2004). Selain itu, masalah kesehatan mental juga dirasakan pada petugas
kesehatan selama wabah middle east respiratory syndrome (MERS), dimana petugas
kesehatan mengalami tingkat stres tinggi dan mengakibatkan post-traumatic stress disorder
(PTSD) (Lee et al., 2018; Tam et al., 2004), yang dipengaruhi oleh factor stigma, kekerasan,
dan stress (Park et al., 2018).

126
Jurnal Keperawatan Volume 13 No 1, Hal 125 - Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan
138, Maret 2021 Kendal
Berdasarkan hasil temuan beberapa penelitian yang menunjukkan bahwa masalah kesehatan
mental pada staf medis terkhususnya perawat dalam masa pandemi sangat penting untuk
diperhatikan, namun belum terdapat review artikel yang memaparkan secara khusus mengenai
faktor yang mempengaruhi kesehatan mental perawat selama pandemi. Oleh karena itu, kami
melakukan literatur review untuk menggambarkan secara jelas mengenai faktor-faktor yang
mempengaruhi kesehatan mental perawat pada masa pandemic COVID-19.

METODE
Studi ini merupakan literatur review yang dianalisa dengan menggunakan PI(E)O (patient,
intervention/exposure and outcome) dengan mengidentifikasi semua jenis artikel tentang
faktor-faktor yang mempengaruhi kesehatan mental perawat pada masa pandemi COVID-19
(Eriksen & Frandsen, 2018). Database elektronik yang digunakan adalah PubMed, Wiley
Online Library, Science Direcct dan Google Scholar.

Pubmed Science Direct Wiley Online Library Google Scholar

30 208 197 2370


Identification

Artikel diidentifikasi (n =
2805)
Filter:
• Tahun publikasi: 2002-2020
• English
• Full text
• Jurnal/artikel, research artikel.
Screening

Hasil disaring (n
= 2432 )

Ekslusi:
Artikel ganda, tidak dapat
terdownload
Eligibility

Artikel yang layak (n = 2426)

Eksklusi:
Tidak sesuai dengan pertanyaan
penelitian
Included

Artikel yang inklusi (n = 7)

Gambar 1. Algoritma pencarian artikel

Tabel 1.
Sintesis Grid

127
Jurnal Keperawatan Volume 13 No 1, Hal 125 - Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan
138, Maret 2021 Kendal
Design Variabel dan
Penulis/ Tujuan Sampel
Penelitia Hasil Penelitian
Negara Penelitian Penetilian instrumennya
n
(Park et Untuk A cross- Sebanyak 187 Variabel yang Kesehatan mental
al., mengidentifi sectional peserta diteliti; perawat selama
2018), kasi efek (nonprobability • Kesehatan Mental, epidemi MERS-CoV,
Korea langsung dan sampling). menggunakan ditentukan oleh efek
Selatan tidak Kriteria inklusi; instrumen Short langsung dan efek
langsung Perawat ruang Form-36 (SF-36), tidak langsung.
kesehatan isolasi, unit terdiri 36 item, 8 Pada efek langsung,
mental perawatan subskala. terdapat pengaruh
perawat. intensif, unit • Stres, yang signifikan dari
gawat darurat, menggunakan ketahanan dan stigma
kantor instrumen terhadap kesehatan
pengendalian Perceived Stress mental saat
infeksi, bangsal Scale-10 (PSS-10), mengontrol stress
pernapasan, dan terdiri dari 10 item. (p<0,001).
klinik rawat • Ketahanan, Sedangkan pada efek
jalan. menggunakan tidak langsung,
instrumen stigma dan ketahan
Dispositional memberikan efek
Resilience Scale-15 melalui stress
(DRS-15), terdiri (p<0,001).
dari 15 item, 3
subskala.
• Stigma,
menggunakan
skala stigma yang
baru
dikembangkan
tentang MERS-
CoV, yang terdiri
dari 13 item.
(Chen Untuk A cross- Sebanyak 178 Variabel yang Faktor-faktor yang
et al., mengevaluas sectional responden, diteliti; mempengaruhi
2020), i status yang diabgi • Data demografi kesehatan mental
China kesehatan menjadi 2 • Kondisi mental, pada 2 kelompok
mental, kelompok yaitu menggunakan tidak ada perbedaan
stressor dan T1 (perawat kuesioner Self yang siginifikan
penyesuaian yang bekerja di Reporting dalam status
diri perawat bangsal isolasi Questionnaire-20 demografi. Namun,
di bangsal selama 7-10 (SQQ-20), yang terdapat faktor utama
isolasi. hari) dan T2 mencakup yang mempengaruhi
(perawat yang kecemasan, kesehatan mental
bekerja di depresi, dan gejala yaitu stress dan
bangsal isolasi somatik. status anak tunggal
selama 2 • Stresor dan insiden (p<0,05). Selain itu
bulan). serta penyesuaian penyebab stress yang
Kriteria inklusi: diri, menggunakan paling umum pada
Perawat klinis kuesioner yang kelompk T1 yaitu
yang merawat digabungkan dari populasi terinfeksi
pasien COVID- beberapa literatur yang besar,
19 selama lebih yang terdiri dari 20 infektivitas tinggi,
dari seminggu item, 4 dimensi. prihatin terhadap

128
Jurnal Keperawatan Volume 13 No 1, Hal 125 - Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan
138, Maret 2021 Kendal
dan menyetujui, status kesehatan
serta sukarela keluarga, mortalitas
untuk tinggi jika tidak
berpartisipasi. diobati tepat waktu.
Sedangkan untuk T2
jangka waktu
pandemic yang lama,
terpisah dari
keluarga.
(Kang, Untuk A cross- Sampel Variabel yang Hasil penelitian
Ma, et mengeksplor sectional penelitian diteliti; menunjukkan faktor
al., asi status study diantaranya • Data demografi yang mempengaruhi
2020), kesehatan dokter atau • Risiko paparan kesehatan mental
China mental staf perawat yang • Layanan kesehatan secara signifikan
medis dan bekerja di mental yang yaitu faktor risiko
keperawatan Wuhan dari 29 diakses paparan termasuk
di Wuhan, Januari 2020, • Kebutuhan pasien terinfeksi,
kemanjuran hingga 4 psikologis keluarga, teman,
perawatan Februari 2020, • Status kesehatan kolega, tetangga,
psikologis yang berjumlah • Kesehatan mental teman serumah
yang diakses, 994 peserta, dengan dengan gejala yang
dan termasuk 183 menggunakan dicurigai (p<0,05).
kebutuhan (18,4%) dokter kuesioner Patient Kesehatan
perawatan dan 811 mental
Health mempengaruhi
psikologis. (81,6%) Questionnare
perawat. persepsi kesehatan
(PHQ-9) untuk fisik secara subjektif.
depresi, Selain itu tidak ada
Generalized perbedaan signifikan
Anxiety Disorder dalam hal demografi
(GAD-7) untuk (p>0.05).
kecemasan,
Insomnia Severity
Index (ISI) untuk
insomnia, dan
Impact of Event
Scale-Revised
(IESR) untuk
menilai respon
terhadap kejadian.
(Han et Untuk A cross- Sampel Variabel yang Faktor-faktor yang
al., mengetahui sectional penelitian diteliti; mempengarhui
2020), kecemasan survey berjumlah • Demografi depresi dan
China dan depresi 22.034 perawat • Infeksi COVID-19, kecemasan, yaitu:
perawat yang bekerja di yang menggunakan jenis kelamin, usia,
klinis garis 14 rumah sakit kuesioner status perkawinan,
depan. kota di Provinsi membahas tentang perlu merawat anak-
Gansu, Cina, kekhwatiran terkait anak, perlu merawat
yang dilakukan COVID-19 dan kerabat lanjut usia,
antara 7-10 dampaik COVID- bekerja di rumah
Februari 2020. 19 pada perawat. sakit yang ditunjuk,
• Kecemasan dengan bekerja di daerah
menggunakan dengan paparan
kuesioner Self- COVID-19, dan
Rating Anxiety merawat pasien yang

129
Jurnal Keperawatan Volume 13 No 1, Hal 125 - Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan
138, Maret 2021 Kendal
Scale (SAS) yang terkonfirmasi
terdiri dari 20 item. COVID-19 atau
• Depresi dengan dicurigai. mengambil
menggunakan cuti dari pekerjaan,
kuesioner Self- menghindari kontak
Rating Depression dengan keluarga dan
Scale (SDS) yang teman-teman, dan
terdiri dari 20 item. ingin mendapatkan
lebih banyak
pengetahuan yang
terkait COVID-19
(p<0.001).
(Pourali Untuk A cross- Sampel Variabel yang Faktor yang
zadeh et menilai sectional berjumlah 441 diteliti; mempengaruhi
al., dampak responden dari • Demografi tingkat kecemasan
2020), psikologis 25 RS. • Kecemasan yang secara signifikan
Iran dari wabah Kriteria inklusi; diukur dengan yaitu perempuan,
COVID-19 Perawat yang menggunakan bekerja di rumah
pada perawat bekerja di salah kuesioner sakit yang ditunjuk,
di RS satu RS di Generalized dicurigai terinfeksi
Universitas GUMS selama Anxiety Disorder COVID-19, APD
Ilmu pandemic (GAD-7). yang tidak memadai
Kedokteran COVID-19 dan • Depresi yang (p<0,05). Sedangkan
Guilan. memiliki akses diukur dengan depresi yang
ke platform menggunakan dipengaruhi secara
elektronik. Patient Health signifikan oleh faktor
Questionnaire perempuan, memiliki
(PHQ-9). penyakit kronis,
dicurigai atau
terinfeksi COVID-19
serta APD yang tidak
memadai (p<0,05).
(Wang Untuk A cross- Sebanyak 202 Variebel yang Hasil penelitian
et al., menyelidiki sectional peserta dari 3 diteliti: menunjukkan bahwa
2020), faktor-faktor and RS tersier yang • Demografi faktor yang
China yang correlatio dipilih secara • PTSD, mempengaruhi post-
berpotensi nal study acak dari Hubei menggunakan traumatic stress
terlibat provinsi di Cina kuesioner PTSD disorder (PTSD)
dalam PTSD dengan kriteria Checklist-Civilian adalah usia 29-40
pada perawat inklusi; (PCL-C) tahun (p<0.001),
yang terpajan 1. Staf Perawat; • Koping, perempuan
COVID-19 2. Perawat yang menggunkan (p<0,001),
di Cina. terpajan kuesioner Simple pengalaman kerja 6-
COVID-19. Coping Style 19 tahun (p<0,001)
Sedangkan, Questionnaire dan tidak puas
kriteria eksklusi (SCSQ) dengan kinerja
1. Perawat (p<0.001). Selain itu
tidak mau PTSD berkorelasi
disurvei; negative dengan
2. Asisten coping positif,
perawat. begitupula
sebaliknya (p<0.05).

(Maund Untuk A cross- Sebanyak 1557 Variabel yang Hasil penelitian


er et al., mengukur sectional staf medis di 3 diteliti: menunjukkan bahwa

130
Jurnal Keperawatan Volume 13 No 1, Hal 125 - Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan
138, Maret 2021 Kendal
2004), tekanan study RS Toronto • Demografi tekanan psikologis
Kanada psikologis pada Mei dan • Tekanan dipengaruhi oleh
staf medis Juni 2003, Psikologis, diukur beberapa faktor,
dan faktor- dengan 430 dengan yaitu: ketakutan,
faktor yang perawat menggunakan isolasi sosial, stres
mungkin (27,6%). kuesioner Impact kerja, kontak dengan
mempengaru of Event Scale pasien SARS, profesi
hi. (IES) perawat, jenis
pekerjaan,
penghindaran,
ketidakpuasan
dengan sistem dan
proses, keraguan
tentang perlindungan
(p<0.001).

Hasil pencarian dibatasi tahun 2002-2020 serta memilih artikel cross-sectional study yang
relevan dengan pertanyaan penelitian. Kata kunci yang digunakan dalam pencarian di
beberapa literatur, sebegai berikut: “Nursing OR Nurses” AND “COVID-19 OR
Coronavirus” AND “MERS OR Middle East Respiratory Syndrome” AND “SARS OR
Severe Acute Respiratory Syndrome” AND “mental health OR Anxiety OR Depresi OR
stress” AND “Factor OR Influencing” (Gambar 1). Didapatkan total artikel 2805
teridentifikasi, namun hanya 7 artikel yang membahas faktor-faktor yang mempengaruhi
kesehatan mental perawat di masa pandemic COVID-19 (Tabel 1).

HASIL
Hasil pencarian literatur didapatkan Kang, Ma, et al., (2020) memaparkan hasil penelitian di
masa pandemic COVID-19, pada 994 perawat dan dokter ditemukan hasil bahwa faktor risiko
pajanan mempengaruhi kesehatan mental dan mempengaruhi persepsi kesehatan fisik secara
subjektif, selain itu tidak ada perbedaan signifikan dalam hal demografi. Penelitian juga
dilakukan oleh Wang et al., (2020) pada 202 staf medis didapatkan hasil penelitian, faktor
yang mempengaruhi post-traumatic stress disorder (PTSD) pada pandemic COVID-19 adalah
jenis kelamin dan tingkat kepuasan kerja.

Penelitian lain dari Maunder et al., (2004) pada 1557 staf medis di 3 RS dengan jumlah
perawat 430 orang, didapatkan hasil tekanan psikologis pada wabah SARS dipengaruhi oleh
beberapa faktor, yaitu: ketakutan, isolasi sosial, stres kerja, kontak dengan pasien SARS,
profesi perawat, jenis pekerjaan, penghindaran, ketidakpuasan dengan sistem dan proses,
keraguan tentang perlindungan. Park et al., (2018) melakukan penelitian pada 187 perawat
yang bekerja di unit perawatan intensif (ICU), unit gawat darurat (IGD), kantor pengendalian
infeksi, bangsal pernapasan, dan klinik rawat jalan, didapatkan bahwa kesehatan mental
perawat selama epidemi MERS-CoV, ditentukan oleh efek langsung dan efek tidak langsung
seperti; stigma, kekerasan dan stress.

Penelitian juga dilakukan oleh Chen et al., (2020) pada 178 responden yang bekerja di
bangsal isolasi didapatkan hasil bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi kesehatan mental
tidak ada perbedaan yang siginifikan dalam status demografi. Namun, terdapat faktor utama
yang mempengaruhi kesehatan mental yaitu stress dan status anak tunggl (p<0,05). Selain itu
penyebab stress yang paling umum yaitu populasi terinfeksi yang besar, infektivitas tinggi,
prihatin terhadap status Kesehatan keluarga, mortalitas tinggi jika tidak diobati tepat waktu,
jangka waktu pandemi yang lama dan terpisah dari keluarga.

131
Jurnal Keperawatan Volume 13 No 1, Hal 125 - Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan
138, Maret 2021 Kendal

Selanjutnya penelitian dari Han et al., (2020) pada 22.034 perawat yang bekerja di 14 rumah
sakit kota di Provinsi Gansu, Cina, dan ditemukan hasil penelitian bahwa faktor-faktor yang
mempengarhui depresi dan kecemasan, yaitu: jenis kelamin, usia, status perkawinan, perlu
merawat anak-anak dan kerabat lanjut usia, bekerja di rumah sakit yang ditunjuk, bekerja di
daerah dengan paparan COVID-19, dan merawat pasien yang terkonfirmasi COVID-19 atau
dicurigai. mengambil cuti dari pekerjaan, menghindari kontak dengan keluarga dan teman-
teman, dan ingin mendapatkan lebih banyak pengetahuan yang terkait COVID-19 (p<0.001).

Pouralizadeh et al., (2020) memaparkan hasil penelitian pada 441 perawat yang bekerja di 25
RS Guilan University of Medical Sciences (GUMS) selama pandemic COVID-19, ditemukan
bahwa faktor yang mempengaruhi tingkat kecemasan secara signifikan yaitu perempuan,
bekerja di rumah sakit yang ditunjuk, dicurigai terinfeksi COVID-19, APD yang tidak
memadai (p<0,05). Sedangkan depresi yang dipengaruhi secara signifikan oleh factor
perempuan, memiliki penyakit kronis, dicurigai atau terinfeksi COVID-19 serta APD yang
tidak memadai (p<0,05).

PEMBAHASAN
Pandemi COVID-19 yang terjadi saat ini memberikan tekanan emosional dan dampak negatif
bagi kesehatan mental staf medis (Xiang et al., 2020). Kesehatan mental merupakan suatu
kondisi kesejahteraan dimana seseorang menyadari kemampuannya, dapat mengatasi masalah,
tekanan serta mampu bekerja secara produktif yang memberikan konstribusi kepada
masyarakat (World Health Organization (WHO), 2019).

Kesehatan mental yang dialami oleh perawat diantaranya sebanyak 39,1% mengalami
gangguan psikologis yaitu stress, kecemasan dan depresi (Chew et al., 2020; Y. Liu et al.,
2019; Dai et al., 2020; H. Cai et al., 2020). Selain itu, staf medis juga mengalami gejala
somatisasi yang lebih tinggi, gejala stress pasca-trauma (SPT), memiliki kualitas tidur buruk
(K. Wu & Wei, 2020); insomnia (W. Zhang et al., 2020; mengalami burnout (Y. Wu et al.,
2020), gejala obsesif-kompulsif (Zhang et al., 2020) dan post-traumatic stress disorder (PTSD)
(Wang et al., 2020). Hal ini dipengaruhi oleh faktor personal maupun situasional (Lazarus &
Folkman, 1984).

Faktor personal, dalam beberapa penelitian menyebutkan bahwa jenis kelamin perempuan
mengalami masalah kesehatan mental paling banyak dan tekanan psikologis jauh lebih tinggi,
jika dibandingkan dengan laki-laki (Han et al., 2020; Pouralizadeh et al., 2020; Wang et al.,
2020). Namun, penelitian lain menyebutkan bahwa kesehatan mental tidak memiliki
perbedaan secara signifikan dalam hal demografi (Chen et al., 2020; Kang, Ma, et al., 2020),
selain itu terdapat juga penelitian yang menyatakan bahwa laki-laki lebih cenderung
mengalami gejala depresi dan gangguan stress pasca-trauma (PTSD) (Song et al., 2020).
Selain jenis kelamin, usia juga menjadi salah satu faktor yang berpengaruh, dilaporkan bahwa
berusia 29-40 tahun atau 50an lebih mudah mengalami gejala depresi dan PTSD (Song et al.,
2020)(Wang et al., 2020), selain itu terdapat kematian tertinggi diusia lansia pada masa
pandemic yang mengakibatkan lansia cenderung mengalami stress sebagai dampak psikologis
(Qiu et al., 2020; Zhu et al., 2020). Namun, terdapat juga penelitian yang menyebutkan usia
25-31 tahun lebih mudah mengalami stress (Chekole et al., 2020), selain itu pada masa wabah
SARS usia di bawah 50 tahun lebih cenderung memiliki tingkat gejala stress yang tinggi (Wu
P et al., 2009), hal ini dikarenakan memperoleh sejumlah besar informasi dari media sosial
yang dapat memicu terjadinya stress (Qiu et al., 2020).

132
Jurnal Keperawatan Volume 13 No 1, Hal 125 - Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan
138, Maret 2021 Kendal
Selanjutnya, status perkawinan juga mempengaruhi masalah kesehatan mental. Perempuan
yang sudah menikah memiliki ketakutan yang lebih besar untuk tertular, hal ini dikarenakan
tanggung jawab dan peran dalam keluarga (Han et al., 2020; C.-Y. Liu et al., 2020; Wu P et
al., 2009). Hal ini dihubungkan dengan seorang perawat yang memiliki anak (Han et al.,
2020) atau memiliki keluarga yang berusia 60 tahun atau lebih, juga cenderung mengalami
kecemasan dan depresi (Koksal et al., 2020).

Kemudian, bekerja sebagai seorang perawat juga mengalami tingkat kecemasan, depresi,
insomnia dan distress (Lai et al., 2020; Khanal et al., 2020). Didapatkan bahwa profesi
perawat mengalami stress 8 kali lebih mungkin dibandingkan dengan dokter (Chekole et al.,
2020). Hal ini juga diperberat jika perawat bekerja di daerah berisiko tinggi akan mengalami
2-3 kali lebih mungkin memiliki PTSD yang tinggi daripada mereka yang tidak memiliki
paparan tersebut (Wu P et al., 2009).

Faktor situasional, perawat yang bekerja sebagai frontline merupakan hal yang paling berisiko
terpapar virus, dikarenakan kontak langsung dengan pasien COVID-19 (C.-Y. Liu et al.,
2020; Kang, Ma, et al., 2020), sehingga menimbulkan kekhawatiran akan terinfeksi dan
menginfeksi keluarga serta teman (kolega) (Lu et al., 2020)(W. Wu et al., 2020). Pada wabah
SARS kontak langsung perawat dengan pasien, akan meningkatkan risiko terinfeksi (Maunder
et al., 2004), namun pada masa epidemi paparan tidak hanya berasal dari pasien dan
lingkungan, melainkan dapat berasal dari teman atau kerabat dekat (Wu P et al., 2009),
sehingga perawat cenderung mengalami stress dan kecemasan (N. Lee et al., 2003; Varia et
al., 2003).

Kecemasan dan kekhawatiran perawat setelah kontak dengan pasien COVID-19 ditemukan
ada sekitar 50% yang mengalami pembatasan sosial (Han et al., 2020). Dilaporkan juga ada
sekitar 70% perawat memilih untuk mengasingkan diri dan menghindari menghadiri acara
sosial (Chen et al., 2020; Han et al., 2020), namun disisi lain perawat juga membutuhkan
dukungan dari keluarga dan teman dekat (Song et al., 2020). Perawat yang bekerja di gawat
darurat yang merawat pasien terinfeksi MERS ditemukan bahwa dukungan yang buruk dari
keluarga dan teman-teman secara signifikan berkontribusi terhadap kelelahan perawat (Kim &
Choi, 2016).

Selain itu, faktor alat pelindung diri (APD) juga berpengaruh terhadap stress yang dialami
perawat. Pemakaian APD yang kurang memadai juga menjadi salah satu faktor penyebab
infeksi (H. Sun et al., 2020; Lu et al., 2020; Pouralizadeh et al., 2020; Xiao et al., 2020)
Selain menjadi faktor penyebab infeksi, pemakaian APD juga dapat menimbulkan kecemasan
bagi staf medis (Cai et al., 2020; Shanafelt et al., 2020).

Kesehatan mental staf medis selama epidemi MERS dipengaruhi oleh stigma (Park et al.,
2018). Hal ini juga berlaku pada pandemic COVID-19, stigma dapat menimbulkan kecemasan,
depresi dan insomnia (Khanal et al., 2020; Z. Zhu et al., 2020). Pada suatu penelitian
didapatkan perbedaan staf medis yang dikarantina dan tidak dikarantina pada wabah SARS,
staf medis yang dikarantina secara signifikan melaporkan stigmatisasi dan penolakan dari
orang-orang dilingkungannya, memperlakukan mereka berbeda, menghindar, menaruh
kecurigaan dan ketakutan serta membuat komentar buruk (Bai et al., 2004).

SIMPULAN
Gambaran faktor yang mempengaruhi kesehatan mental perawat pada masa pandemi COVID-
19 terdiri atas faktor personal maupun faktor situasional. Faktor personal meliputi usia, jenis

133
Jurnal Keperawatan Volume 13 No 1, Hal 125 - Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan
138, Maret 2021 Kendal
kelamin perempuan, sudah menikah, memiliki anak, memiliki orang tua yang berumur lansia,
berprofesi sebagai seorang perawat dan bekerja di tempat yang berisiko tinggi. Sedangkan,
faktor situasional yang mempengrauhi kesehatan mental, diantaranya risiko paparan,
dukungan social, APD dan stigma. Sehingga kesehatan mental perawat sebagai frontline
dimasa pandemic menjadi sangat penting untuk diperhatikan dan meminimalkan faktor-faktor
situasional serta memberikan intervensi sesuai kebutuhan psikologis yang dapat menurunkan
tingkat atau gejala kesehatan mental perawat.

DAFTAR PUSTAKA
Bai, Y. M., Lin, C. C., Lin, C. Y., Chen, J. Y., Chue, C. M., & Chou, P. (2004). Survey of
stress reactions among health care workers involved with the SARS outbreak.
Psychiatric Services, 55(9), 1055–1057. https://doi.org/10.1176/appi.ps.55.9.1055
Bao, Y., Sun, Y., Meng, S., Shi, J., & Lu, L. (2020). 2019-nCoV epidemic: address mental
health care to empower society. The Lancet, 6736(20), 2019–2020.
https://doi.org/10.1016/S0140-6736(20)30309-3
Cai, H., Tu, B., Ma, J., Chen, L., Fu, L., Jiang, Y., & Zhuang, Q. (2020). Psychological
Impact and Coping Strategies of Frontline Medical Staff in Hunan Between January and
March 2020 During the Outbreak of Coronavirus Disease 2019 (COVID‑19) in Hubei,
China. Medical Science Monitor : International Medical Journal of Experimental and
Clinical Research, 26, e924171. https://doi.org/10.12659/MSM.924171
Chekole, Y. A., Yimer, S., Mekuriaw, B., & Mekonnen, S. (2020). Prevalence and risk factors
of perceived stress on COVID-19 among health care providers in Dilla Town Health
institutions , Southern Ethiopia : A cross- sectional study. Research Square, 1–15.
Chen, H., Sun, L., Du, Z., Zhao, L., & Wang, L. (2020). A cross-sectional study of mental
health status and self-psychological adjustment in nurses who supported Wuhan for
fighting against the COVID-19. 11. https://doi.org/10.1111/jocn.15444
Chew, N. W. S., Lee, G. K. H., Tan, B. Y. Q., Jing, M., Goh, Y., Ngiam, N. J. H., Yeo, L. L.
L., Ahmad, A., Ahmed Khan, F., Napolean Shanmugam, G., Sharma, A. K.,
Komalkumar, R. N., Meenakshi, P. V., Shah, K., Patel, B., Chan, B. P. L., Sunny, S.,
Chandra, B., Ong, J. J. Y., … Sharma, V. K. (2020). A multinational, multicentre study
on the psychological outcomes and associated physical symptoms amongst healthcare
workers during COVID-19 outbreak. Brain, Behavior, and Immunity, April, 0–1.
https://doi.org/10.1016/j.bbi.2020.04.049
Dai, Y., Hu, G., Xiong, H., Qiu, H., Yuan, X., Yuan, X., Hospital, T., Avenue, J. F., Qiu, H.,
& Hospital, T. (2020). Psychological impact of the coronavirus disease 2019 (COVID-
19) outbreak on healthcare workers in China. 2019(1095).
Eriksen, M. B., & Frandsen, T. F. (2018). The impact of patient , intervention , comparison ,
outcome (PICO) as a search strategy tool on literature search quality : a systematic
review. Journal of the Medical Library Association, 106(October), 420–431.
Han, L., Wong, F. K. Y., She, D. L. M., Li, S. Y., Yang, Y. F., Jiang, M. Y., Ruan, Y., Su, Q.,
Ma, Y., & Chung, L. Y. F. (2020). Anxiety and Depression of Nurses in a North West
Province in China During the Period of Novel Coronavirus Pneumonia Outbreak.
Journal of Nursing Scholarship : An Official Publication of Sigma Theta Tau
International Honor Society of Nursing. https://doi.org/10.1111/jnu.12590

134
Jurnal Keperawatan Volume 13 No 1, Hal 125 - Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan
138, Maret 2021 Kendal
Kang, L., Li, Y., Hu, S., Chen, M., Yang, C., Yang, B. X., Wang, Y., Hu, J., Lai, J., Ma, X.,
Chen, J., Guan, L., Wang, G., Ma, H., & Liu, Z. (2020). The mental health of medical
workers in Wuhan, China dealing with the 2019 novel coronavirus. The Lancet
Psychiatry, 7(3), e14. https://doi.org/10.1016/S2215-0366(20)30047-X
Kang, L., Ma, S., Chen, M., Yang, J., Wang, Y., Li, R., Yao, L., Bai, H., Cai, Z., Xiang Yang,
B., Hu, S., Zhang, K., Wang, G., Ma, C., & Liu, Z. (2020). Impact on mental health and
perceptions of psychological care among medical and nursing staff in Wuhan during the
2019 novel coronavirus disease outbreak: A cross-sectional study. Brain, Behavior, and
Immunity, March, 1–7. https://doi.org/10.1016/j.bbi.2020.03.028
Kementrian Kesehatan Republik Indonesia (Kemenkes RI). (2020). Situasi Terkini
Perkembangan Novel Coronavirus (COVID-19).
Khanal, P., Devkota, N., Dahal, M., Paudel, K., & Joshi, D. (2020). Mental health impacts
among health workers during COVID-19 in a low resource setting : a cross- sectional
survey from Nepal. Research Square, 1–27. https://doi.org/10.21203/rs.3.rs-40089/v1
Kim, J. S., & Choi, J. S. (2016). Factors Influencing Emergency Nurses’ Burnout During an
Outbreak of Middle East Respiratory Syndrome Coronavirus in Korea. Asian Nursing
Research, 10(4), 295–299. https://doi.org/10.1016/j.anr.2016.10.002
Koksal, E., Dost, B., Terzi, Ö., Ustun, Y. B., Özdin, S., & Bilgin, S. (2020). Evaluation of
depression and anxiety levels and related factors among operating theatre workers
during the novel Coronavirus (COVID-19) pandemic. Journal of PeriAnesthesia
Nursing. https://doi.org/10.1016/j.jopan.2020.06.017
Lai, J., Ma, S., Wang, Y., Cai, Z., Hu, J., Wei, N., Wu, J., Du, H., Chen, T., Li, R., Tan, H.,
Kang, L., Yao, L., Huang, M., Wang, H., Wang, G., Liu, Z., & Hu, S. (2020). Factors
Associated With Mental Health Outcomes Among Health Care Workers Exposed to
Coronavirus Disease 2019. JAMA Network Open, 3(3), 1–12.
https://doi.org/10.1001/jamanetworkopen.2020.3976
Lazarus, R. S., & Folkman, S. (1984). Stress, Appraisal, and Coping. Springer Publishing
Company.
Lee, N., Hui, D., Wu, A., Chan, P., Cameron, P., Joynt, G. M., Ahuja, A., Yung, M. Y.,
Leung, To, K. F., Lui, S. F., Szeto, C. C., Chung, S., & Sung, J. J. Y. (2003). A Major
Outbreak of Severe Acute Respiratory Syndrome in Hong Kong. The New England
Journal of Medicine Original, 348(20), 1986–1984.
https://doi.org/10.2214/ajr.181.1.1810011
Lee, S. M., Kang, W. S., Cho, A. R., Kim, T., & Park, J. K. (2018). Psychological impact of
the 2015 MERS outbreak on hospital workers and quarantined hemodialysis patients.
Comprehensive Psychiatry, 87, 123–127.
https://doi.org/10.1016/j.comppsych.2018.10.003
Li, Q., Guan, X., Wu, P., Wang, X., Zhou, L., Tong, Y., Ren, R., Leung, K. S. M., Lau, E. H.
Y., Wong, J. Y., Xing, X., Xiang, N., Wu, Y., Li, C., Chen, Q., Li, D., Liu, T., Zhao, J.,
Liu, M., … Feng, Z. (2020). Early Transmission Dynamics in Wuhan, China, of Novel
Coronavirus-Infected Pneumonia. The New England Journal of Medicine, 382(13),
1199–1207. https://doi.org/10.1056/NEJMoa2001316

135
Jurnal Keperawatan Volume 13 No 1, Hal 125 - Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan
138, Maret 2021 Kendal
Liu, C.-Y., Yang, Y., Zhang, X.-M., Xu, X., Dou, Q.-L., Zhang, W.-W., & Cheng, A. S.
(2020). The prevalence and influencing factors in anxiety in medical workers fighting
COVID-19 in China: A cross-sectional survey. Epidemiology & Infection, May 2020.
https://doi.org/10.1017/S0950268820001107.Epidemiology
Liu, Y., Liu, X., Gao, B., Li, C., & Liang, X. (2019). Mental distress among frontline
healthcare workers outside the central epidemic area during the novel coronavirus
disease ( COVID-19 ) outbreak in China : A cross-sectional study. Research Square, 1–
15.
Lu, W., Wang, H., Lin, Y., & Li, L. (2020). Psychological status of medical workforce during
the COVID-19 pandemic : A cross-sectional study. Psychiatry Research Journal,
288(April), 1–5. https://doi.org/10.1016/j.psychres.2020.112936
Maunder, R. G., Lancee, W. J., Rourke, S., Hunter, J. J., Goldbloom, D., Balderson, K.,
Petryshen, P., Steinberg, R., Wasylenki, D., Koh, D., & Fones, C. S. L. (2004). Factors
associated with the psychological impact of severe acute respiratory syndrome on
nurses and other hospital workers in Toronto. Psychosomatic Medicine, 66(6), 938–942.
https://doi.org/10.1097/01.psy.0000145673.84698.18
Park, J. S., Lee, E. H., Park, N. R., & Choi, Y. H. (2018). Mental Health of Nurses Working
at a Government-designated Hospital During a MERS-CoV Outbreak: A Cross-
sectional Study. Archives of Psychiatric Nursing, 32(1), 2–6.
https://doi.org/10.1016/j.apnu.2017.09.006
Pouralizadeh, M., Bostani, Z., Maroufizadeh, S., Ghanbari, A., Khoshbakht, M., Alavi, S. A.,
& Ashrafi, S. (2020). Anxiety and Depression and the Related Factors in Nurses of
Guilan Univer‐ sity of Medical Sciences Hospitals During COVID-19: A Web-based
Cross- Sectional Study. International Journal of Africa Nursing Sciences.
https://doi.org/10.1016/j.ijans.2020.100233
Qiu, J., Shen, B., Zhao, M., Wang, Z., Xie, B., & Xu, Y. (2020). A nationwide survey of
psychological distress among Chinese people in the COVID-19 epidemic: Implications
and policy recommendations. General Psychiatry, 33(2), 1–4.
https://doi.org/10.1136/gpsych-2020-100213
Shanafelt, T., Ripp, J., & Trockel, M. (2020). Understanding and Addressing Sources of
Anxiety among Health Care Professionals during the COVID-19 Pandemic. JAMA -
Journal of the American Medical Association, 323(21), 2133–2134.
https://doi.org/10.1001/jama.2020.5893
Song, X., Fu, W., Liu, X., Luo, Z., Wang, R., Zhou, N., Yan, S., & Lv, C. (2020). Mental
health status of medical staff in emergency departments during the Coronavirus disease
2019 epidemic in China. Brain, Behavior, and Immunity, June, 0–1.
https://doi.org/10.1016/j.bbi.2020.06.002
Sun, H., Lu, M., Chen, S., Cheng, Z., Xiong, Y., & Wang, X. (2020). Nosocomial SARS-
CoV-2 infection among nurses in Wuhan from a single center. The Journal of Infection,
xxxx, 13–14. https://doi.org/10.1016/j.jinf.2020.03.036
Tam, C. W. C., Pang, E. P. F., Lam, L. C. W., & Chiu, H. F. K. (2004). Severe acute
respiratory syndrome (SARS) in Hongkong in 2003: Stress and psychological impact
among frontline healthcare workers. Psychological Medicine, 34(7), 1197–1204.

136
Jurnal Keperawatan Volume 13 No 1, Hal 125 - Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan
138, Maret 2021 Kendal
https://doi.org/10.1017/S0033291704002247
Varia, M., Wilson, S., Sarwal, S., Mcgeer, A., Gournis, E., & Galanis, E. (2003).
Investigation of a Nosocomial Outbreak of SARS in Toronto Canada. Canadian
Medical Association Journal, 169(4), 285–292.
Wang, Y.-X., Guo, H.-T., Du, X.-W., Song, W., Lu, C., & Hao, W.-N. (2020). Factors
associated with post-traumatic stress disorder of nurses exposed to corona virus disease
2019 in China. Medicine, 99(26), e20965.
https://doi.org/10.1097/md.0000000000020965
World Health Organization (WHO). (2019). Fact sheet - Mental Health. RC63 Fact Sheet on
Mental Health. Geneva, World Health Organization, 1–5.
http://www.who.int/healthinfo/global_burden_disease/2004_report_update/en,%5Cnhtt
p://www.who.int/mental_health/publications/mental_health_atlas_2011/en,
World Health Organization (WHO). (2020). Mental Health and Psychosocial Considerations
During COVID-19 Outbreak. World Health Organization, January, 1–6.
Wu, K., & Wei, X. (2020). Analysis of Psychological and Sleep Status and Exercise
Rehabilitation of Front-Line Clinical Staff in the Fight Against COVID-19 in China.
Medical Science Monitor Basic Research, 26, e924085-7.
https://doi.org/10.12659/MSMBR.924085
Wu, P., Fang, Y., Guan, Z., Fan, B., Kong, J., Yao, Z., Liu, X., Fuller, C. J., Susser, E., Lu, J.,
& Hoven, C. W. (2009). The psychological impact of the SARS epidemic on hospital
employees in China: Exposure, risk perception, and altruistic acceptance of risk.
Canadian Journal of Psychiatry, 54(5), 302–311.
https://doi.org/10.1177/070674370905400504
Wu, W., Zhang, Y., Wang, P., Zhang, L., Wang, G., Lei, G., Xiao, Q., Cao, X., Bian, Y., Xie,
S., Huang, F., Luo, N., Zhang, J., & Luo, M. (2020). Psychological stress of medical
staffs during outbreak of COVID-19 and adjustment strategy. Journal of Medical
Virology, April, 1–9. https://doi.org/10.1002/jmv.25914
Wu, Y., Wang, J., Luo, C., Hu, S., Lin, X., Anderson, A. E., Bruera, E., Yang, X., Wei, S., &
Qian, Y. (2020). A comparison of burnout frequency among oncology physicians and
nurses working on the front lines and usual wards during the COVID-19 epidemic in
Wuhan, China. Journal of Pain and Symptom Management.
https://doi.org/10.1016/j.jpainsymman.2020.04.008
Xiang, Y., Yang, Y., Li, W., Zhang, L., Zhang, Q., Cheung, T., & Ng, C. H. (2020). Timely
mental health care for the 2019 novel coronavirus outbreak is urgently needed. The
Lancet Psychiatry, 0366(20), 1–2. https://doi.org/10.1016/S2215-0366(20)30046-8
Xiao, X., Zhu, X., Fu, S., Hu, Y., Li, X., & Xiao, J. (2020). Psychological impact of
healthcare workers in China during COVID-19 pneumonia epidemic: A multi-center
cross-sectional survey investigation. Journal of Affective Disorders, 274(March), 405–
410. https://doi.org/10.1016/j.jad.2020.05.081
Zhang, W., Wang, K., Zhao, W., & Xue, Q. (2020). Mental Health and Psychosocial
Problems of Medical Health Workers during the COVID-19 Epidemic in China.
Psychother Psychosom, 100053(45), 1–9. https://doi.org/10.1159/000507639

137
Jurnal Keperawatan Volume 13 No 1, Hal 125 - Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan
138, Maret 2021 Kendal
Zhu, Z., Xu, S., Wang, H., Liu, Z., Wu, J., Li, G., Miao, J., Zhang, C., Yang, Y., Sun, W.,
Zhu, S., Fan, Y., Chen, Y., Hu, J., Liu, J., & Wang, W. (2020). COVID-19 in Wuhan:
Sociodemographic characteristics and hospital support measures associated with the
immediate psychological impact on healthcare workers. EClinicalMedicine, 000,
100443.https://doi.org/10.1016/j.eclinm.2020.100443
Zhu, Z., Xu, S., Wang, H., Liu, Z., Wu, J., Li, G., Miao, J., Zhang, C., Yang, Y., Sun, W.,
Zhu, S., Fan, Y., Hu, J., Liu, J., & Wang, W. (2020). COVID-19 in Wuhan : Immediate
Psychological Impact on 5062 Health Workers. 1095, 1–24.
https://doi.org/https://doi.org/10.1101/2020.02.20.20025338 .

138
Sinopsis Jurnal Kelima
Seiring dengan bertambahnya kasus terkonfirmasi COVID-19, menjadi masalah besar bagi
staf medis terkhusus perawat sebagai garda terdepan (frontline) dalam penangan pasien COVID-
19, hal ini menjadikan perawat cenderung lebih berisiko terpapar infeksi karena merawat secara
langsung pasien ditambah jam kerja lebih lama dari biasanya (Lai et al., 2020). Selain faktor
risiko infeksi, perlindungan yang kurang memadai misalnya alat pelindung diri (APD) yang
kurang dan tidak sesuai standar, pekerjaan yang relatif lebih banyak, diskriminasi, frustasi,
isolasi sehingga berkurangnya kontak dengan kelurga serta adanya kelelahan (Kang, Li, et al.,
2020). Selain itu pada temuan lain menunjukkan bahwa pandemi COVID-19 mengakibatkan
peningkatan beban kerja (Cai et al., 2020), kelelahan yang tinggi (Cao et al., 2020), dukungan
yang buruk dari keluarga dan teman-teman (Kim & Choi, 2016) serta stigmatisasi yang dihadapi
oleh staf medis (Khanal et al., 2020). Hal inilah yang dapat menimbulkan masalah kesehatan
mental bagi perawat sebagai garda terdepan.

Pada awal pandemi COVID-19 dilakukan survei terhadap 1257 staf medis di 34 rumah sakit
di Cina menemukan bahwa 1/2 responden mengalami depresi ringan dan 1/3 menderita
insomnia, diantaranya hampir 16% perawat, wanita, front line yang menunjukkan gejala depresi
sedang atau berat, kecemasan, insomnia, dan tekanan yang lebih serius (Lai et al., 2020). Selain
itu, dilaporkan juga staf medis mengalami tekanan emosional, tekanan mental dan tekanan kerja
serta dampak negatif pandemi COVID-19 seperti peningkatan kecemasan, depresi, stress pasca
trauma, kesepian dan ketidakberdayaan (Xiang et al., 2020b; Xiang et al., 2020; Bao, Sun,
Meng, Shi, & Lu, 2020; Cai et al., 2020).

Berdasarkan hasil temuan beberapa penelitian yang menunjukkan bahwa masalah kesehatan
mental pada staf medis terkhususnya perawat dalam masa pandemi sangat penting untuk
diperhatikan, namun belum terdapat review artikel yang memaparkan secara khusus mengenai
faktor yang mempengaruhi kesehatan mental perawat selama pandemi. Oleh karena itu, kami
melakukan literatur review untuk menggambarkan secara jelas mengenai faktor-faktor yang
mempengaruhi kesehatan mental perawat pada masa pandemic COVID-19.

Studi ini merupakan literatur review yang dianalisa dengan menggunakan PI(E)O (patient,
intervention/exposure and outcome) dengan mengidentifikasi semua jenis artikel tentang faktor-
faktor yang mempengaruhi kesehatan mental perawat pada masa pandemi COVID-19 (Eriksen
& Frandsen, 2018). Database elektronik yang digunakan adalah PubMed, Wiley Online Library,
Science Direcct dan Google Scholar.

Gambaran faktor yang mempengaruhi kesehatan mental perawat pada masa pandemi
COVID- 19 terdiri atas faktor personal maupun faktor situasional. Faktor personal meliputi usia,
jenis kelamin perempuan, sudah menikah, memiliki anak, memiliki orang tua yang berumur
lansia, berprofesi sebagai seorang perawat dan bekerja di tempat yang berisiko tinggi.
Sedangkan, faktor situasional yang mempengrauhi kesehatan mental, diantaranya risiko paparan,
dukungan social, APD dan stigma. Sehingga kesehatan mental perawat sebagai frontline dimasa
pandemic menjadi sangat penting untuk diperhatikan dan meminimalkan faktor-faktor
situasional serta memberikan intervensi sesuai kebutuhan psikologis yang dapat menurunkan
tingkat atau gejala kesehatan mental perawat.
M. Sultan Tantra D dan TA. Larasati | Faktor- Faktor Sosial yang Mempengaruhi Stres Kerja

Faktor-Faktor Sosial yang Mempengaruhi Stres Kerja

M. Sultan Tantra D1 , TA. Larasati2


1Mahasiswa, Fakultas Kedokteran, Universitas Lampung
2Bagian Ilmu Kedokteran Komunitas, Fakultas Kedokteran, Universitas Lampung

Abstrak
Stres merupakan stimulus yang menghasilkan respon. Stres ini dapat berimplikasi baik apabila stresor yang menstimulus
dalam kadar yang dapat dikompensasi, hal ini disebut eustress. Bila stresor dalam kadar berlebih maka dapat
mengakibatkan dekompensasi yang mengakibatkan gangguan badani dan psikologis. Berdasarkan kondisi sosial, stres
dibagi menjadi tiga yaitu stres kerja, stres akademik dan stres rumah tangga. Dari ketiga jenis stres tersebut, stres kerja
merupakan jenis stres dengan implikasi langsung terhadap perekonomian. Stres kerja merupakan suatu kondisi yang
muncul akibat interaksi antara individu dengan pekerjaan mereka, dimana terdapat ketidaksesuaian karakteristik dan
perubahan-perubahan yang tidak jelas yang terjadi dalam perusahaan. Stres kerja sendiri dapat disebabkan faktor sosial,
faktor individu dan faktor diluar organisasi. Faktor sosial merupakan faktor yang paling mudah untuk diidentifikasi dan
intervensi. Faktor sosial terkait stres kerja terdiri atas pengembangan karir, struktur dan iklim kerja, konflik peran, beban
kerja, dan hubungan relasi. Faktor-faktor sosial stres kerja juga dapat menimbulkan eustress dan distress tergantung
kadarnya. Bila faktor sosial stres kerja dalam taraf fisiologis maka dapat meningkatkan kinerja, sebaliknya jika dalam taraf
berlebih dapat menimbulkan penurunan kinerja dan ganggguan kesehatan berupa gejala fisik, gejala perilaku dan gejala di
tempat kerja.

Kata Kunci: faktor sosial, stres kerja

Social Factors Affecting Job Stress


Abstract
Stress is a stimulus that produces a response. This stress could have implications well if stressors stimulate the levels that
can be compensated, this is called eustress. When stressors in excessive levels, it can result in decompensation resulting in
physical and psychological disorders. Based on social conditions, stress is divided into three, work stress, academic stress
and stress households. Of the three types of stress, work stress is a type of stress with direct implications for the economy.
Job stress is a condition that arises from the interaction between individuals and their work, where there is a mismatch
characteristics and changes were not evident that occur in the company. Work stress itself can be caused by social factors,
individual factors and factors outside the organization. The social factor is a factor that is most easily identified and
intervention. Social factors related to the stress of work consists of career development, structure and working
environment, role conflict, workload, and relationships. Social factors can also lead to job stress eustress and distress
depending levels. When the social factors of work stress in the physiological level, it can improve the performance,
otherwise if the level of excess can cause performance degradation and disruption to health in the form of physical
symptoms, behavioral symptoms and symptoms in the workplace.

Keyword: social factors, work stress

Korespondensi : M. Sultan Tantra D., alamat Jl.Manggis No. 13 Pasir Gintung, Tanjung Karang Pusat, B. Lampung, HP
081996888840, email dewansultan@yahoo.com

Pendahuluan yang muncul akibat interaksi antara individu


Dalam kehidupan modern yang makin dengan pekerjaan mereka, dimana terdapat
kompleks, manusia akan cenderung mengalami ketidaksesuaian karakteristik dan perubahan-
stres kerja apabila ia kurang mampu perubahan yang tidak jelas yang terjadi dalam
mengadaptasikan tuntutan pekerjaan. Stres perusahaan.1,2,3
kerja merupakan permasalahan yang sangat Pada tahun 2015 di Amerika Serikat,
penting dikarenakan dapat mempengaruhi stres patologis yang menimbulkan gejala
produktifitas. Pemahaman akan sumber- secara regular mencapai angka 77%. Stres di
sumber stres kerja yang disertai dengan Amerika Serikat sendiri paling banyak
pemahaman terhadap cara-cara mengatasinya, diakibatkan oleh stres kerja. Diperkirakan
adalah penting sekali bagi karyawan dan siapa terjadi kerugian lebih dari 300 milyar US Dollar
saja yang terlibat dalam organisasi demi tiap tahunnya akibat stres kerja. Sedangkan di
kelangsungan organisasi yang sehat dan Inggris pada tahun yang 2014/2015, prevalensi
efektif. Stres kerja merupakan suatu kondisi stres kerja, depresi dan ansietas sebesar

Majority | Volume 4 | Nomor 9 | Desember 2015 |58


M. Sultan Tantra D dan TA. Larasati | Faktor- Faktor Sosial yang Mempengaruhi Stres Kerja

440.000 kasus. Stres terhitung 35% dari total Stres dapat dikonsepkan sebagai suatu
penyakit berhubungan dengan kerja dan respon. Setiap tujuan memiliki berbagai
menyumbang 43% hari kerja yang hilang dari halangan dan rintangan, maka dari itu kita
seluruh hari kerja yang hilang akibat penyakit harus berjuang menghadapinya. Hal ini
yang berhubungan dengan kerja.4,5 merupakan stresor bagi kita. Setiap terjadi
Stres kerja ini dapat disebabkan faktor gangguan pada keseimbangan fisik dan atau
sosial, faktor individu dan faktor diluar jiwa kita, maka kita berusaha
organisasi. Faktor sosial merupakan faktor yang mengembalikannya. Usaha ini dinamakan
paling mudah untuk diidentifikasi dan stres. Jadi, stres adalah usaha penyesuaian
intervensi. Faktor sosial salah satunya adalah diri. Bila kita tidak mengatasinya, maka dapat
beban kerja berlebih. Hal ini menyebabkan muncul gangguan fisik, perilaku tidak sehat,
tidak tercapainya target atau ekspektasi yang gangguan perasaan hingga gangguan jiwa.
diemban. Selain itu, masalah konflik peran dan Berdasarkan kondisi sosial, stres dibagi menjadi
tanggung jawab terhadap orang lain tiga yaitu stres kerja, stres akademik dan stres
berpengaruh pada stres kerja. Stres kerja rumah tangga. Stres kerja merupakan stres
mempunyai hubungan bermakna dengan yang berimplikasi langsung terhadap
gejala gangguan mental emosional melalui perekonomian.12,13
stresor tanggung jawab terhadap orang lain. Menurut Beer dan Newman stres kerja
Masa penugasan pada stresor konflik peran adalah suatu kondisi yang muncul akibat
dan tanggung jawab terhadap orang lain interaksi antara individu dengan pekerjaan
berisiko terhadap stres kerja. Ketaksaan atau mereka, dimana terdapat ketidaksesuaian
ambiguitas dalam penugasan juga akan karakteristik dan perubahan-perubahan yang
menjadikan sumber ketegangan dan stres kerja tidak jelas yang terjadi dalam perusahaan.
yang tinggi. Salah satu penelitian yang pernah Menurut Gibson stres kerja adalah suatu
dilakukan oleh sebuah lembaga manajemen di tanggapan penyesuaian diperantarai
Jakarta pada tahun 2002 menemukan bahwa perbedaan individu dan proses psikologis yang
krisis ekonomi yang berkepanjangan, PHK, merupakan konsekuensi dari setiap tindakan,
pemotongan gaji, dan keterpaksaan untuk sikap, atau peristiwa yang menetapkan
bekerja pada bidang kerja yang tidak sesuai permintaan psikologis dan fisik berlebih. Oleh
dengan keahlian yang dimiliki merupakan Gibson stres kerja dikonseptualisasi menjadi
stresor utama pada saat itu.6,7,8,9 tiga pendekatan, yaitu stres kerja sebagai
Stresor tersebut dapat menimbulkan stimulus, stres kerja sebagai respon dan stres
stres kerja. Menurut Nurdini potensi tak kerja sebagai stimulus-respon.2, 3, 14
berkembang, menurunnya motivasi, Pendekatan pertama memfokuskan pada
kompetensi tak berkembang, tidak terpenuhi lingkungan kerja, stres kerja sebagai stimulus,
standar kinerja yang ditetapkan oleh tempat yaitu kondisi dimana mendorong orang untuk
kita bekerja merupakan dampak yang dapat melakukan tindakan. Pendekatan kedua
ditimbulkan oleh stres terkait kerja, yang pada melihat stres kerja sebagai respon, yaitu
akhirnya dapat menurunkan kualitas kinerja memfokuskan pada reaksi orang terhadap
perusahaan secara keseluruhan. Dampak stresor kerja. Pendekatan ketiga
negatif lain akibat stres kerja adalah mendeskripsikan stres adalah proses yang
munculnya tingkah laku negatif seperti melibatkan stresor dan ketegangan, tetapi
merokok, minum minuman keras, menambahkan dimensi relasi antara orang dan
mengkonsumsi junk food dan paling parah lingkungan. Proses ini melibatkan interaksi
adalah bunuh diri.10,11 kontinyu dan pengaturan (disebut transaksi)
Berdasarkan uraian diatas, stres kerja antara orang dan lingkungan. Untuk stres kerja
berlebih dapat menimbulkan gangguan fisik sendiri meskipun terdapat berbagai definisi
dan perilaku. Untuk itu pekerja perlu dan perdebatan mengenai pengertian stres
mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi kerja, dapat definisikan ”interaksi individu
stres kerja, terutama faktor sosial terkait stres dengan lingkungan,” tetapi kemudian mereka
kerja. memperinci definisi sebagai berikut; ”respon
adaptif yang dihubungkan oleh perbedaan
Isi individu dan atau proses psikologi yang
merupakan konsekuensi tindakan, situasi, atau
Majority | Volume 4 | Nomor 9 | Desember 2015 |59
M. Sultan Tantra D dan TA. Larasati | Faktor- Faktor Sosial yang Mempengaruhi Stres Kerja

kejadian eksternal (lingkungan) yang menarik, dan kehilangan semangat. Gejala


menempatkan tuntutan psikologis dan atau perilaku yang kedua adalah kesulitan dalam
fisik yang berlebihan pada seseorang.14 berkonsentrasi, berfikir jernih, membuat
Ketiga pendekatan stres kerja tersebut keputusan. Gejala perilaku yang ketiga adalah
mempengaruhi dan dipengaruhi satu sama hilangnya kreatifitas, gairah dalam penampilan,
lain. Menurut pandangan ini stres kerja bukan minat terhadap orang lain. Gejala-gejala di
hanya stimulus atau respon, tetapi respon tempat kerja sebagian besar waktu bagi
dimana manusia adalah agen yang aktif pegawai berada di tempat kerja, dan jika dalam
menyebarkan efek dari stresor lewat keadaan stres, gejala-gejala dapat
kebiasaan, kognitif dan emosiona.l14, 15, 16 mempengaruhi kita di tempat kerja, antara lain
Stres dibagi menjadi dua, yaitu eustress kepuasan kerja rendah, kinerja yang menurun,
dan distress. Eustress merupakan bentuk stres semangat dan energi hilang, komunikasi tidak
yang bersifat baik, hal ini memacu kita untuk lancar, pengambilan keputusan jelek,
berusaha lebih keras untuk mencapai tujuan, kreatifitas dan inovasi berkurang, dan bergulat
sedangkan distress merupakan bentuk stres pada tugas-tugas yang tidak produktif.3
patologis. Konsep ini juga berlaku pada stres Kinerja karyawan yang menurun pada
kerja. Bila tidak ada stres kerja, tantangan kerja akhirnya berdampak kepada perusahaan.
juga tidak ada dan kinerja cenderung menurun. Rendall Schuller mengidentifikasi beberapa
Ransangan yang terlalu kecil, tuntutan dan perilaku negatif karyawan yang berpengaruh
tantangan yang terlampau sedikit dapat terhadap organisasi. Menurut peneliti ini, stres
menyebabkan kebosanan, frustasi, dan kerja yang dihadapi oleh karyawan berkorelasi
perasaan bahwa kita tidak sedang dengan penurunan prestasi kerja, peningkatan
menggunakan kemampuan-kemampuan kita ketidakhadiran kerja serta tendesi mengalami
secara penuh. Sejalan dengan meningkatnya kecelakaan. Secara singkat beberapa dampak
stres kerja, kinerja cenderung naik, karena negatif yang ditimbulkan oleh stres kerja dapat
stres kerja membantu karyawan untuk berupa terjadinya kekacauan, hambatan baik
mengarahkan segala sumber daya dalam dalam manajamen maupun operasional kerja,
memenuhi kebutuhan kerja, adalah suatu mengganggu kenormalan aktivitas kerja,
ransangan sehat yang mendorong para menurunkan tingkat produktivitas, dan
karyawan untuk menangapi tantangan menurunkan pemasukan dan keuntungan
pekerjaan. Akhirnya stres kerja mencapai titik perusahaan. Kerugian finansial yang dialami
stabil yang kira–kira sesuai dengan perusahaan karena tidak imbangnya antara
kemampuan prestasi karyawan. Selanjutnya produktivitas dengan biaya yang dikeluarkan
bila stres kerja manjadi terlalu besar, kinerja untuk membayar gaji, tunjangan, dan fasilitas
akan mulai menurun karena stres kerja lainnya.2
menganggu pelaksanaan pekerjaan. Karyawan Stres kerja dipengaruhi banyak faktor,
kehilangan kemampuan untuk menurut Greenberg terdapat tiga faktor yang
mengendalikanya. Akibat yang paling ekstrem berperan yaitu faktor sosial, faktor individu dan
adalah kinerja menjadi nol, karyawan menjadi faktor diluar organisasi. Faktor sosial
tidak kuat lagi bekerja, putus asa, keluar atau merupakan yang paling berhubungan, terdiri
menolak bekerja untuk menghindari stres atas sumber intrinsik pekerjaan, peran di
kerja.1, 12 dalam organisasi, perkembangan karier,
Carry Cooper dan Alison Straw membagi hubungan relasi, dan struktur organisasi serta
gejala stres kerja menjadi tiga yaitu gejala fisik, iklim kerja. Hal ini serupa dengan yang
gejala perilaku dan gejala di tempat kerja. diungkapkan Gibson, ia berpendapat faktor
Gejala fisik mencakup nafas memburu, mulut sosial yang mempengaruhi adalah konflik
dan kerongkongan kering, tangan lembab, peran, ketaksaan peran, beban kerja, tanggung
merasa panas, otot tegang, pencernaan jawab terhadap orang lain, ketiadaan
terganggu, mencret- mencret, sembelit, letih kemajuan karir dan rancangan pengembangan
yang tak beralasan, sakit kepala, salah urat, karir. Hurrel juga mendukung hal ini, ia
dan gelisah. Gejala perilaku yang pertama membagi faktor sosial menjadi lima kelompok
adalah perasaan, berupa bingung, cemas, dan besar yaitu tuntutan dari luar
sedih, jengkel, salah paham, tak berdaya, tak organisasi/pekerjaan, peran individu,
mampu berbuat apa- apa, gelisah, gagal, tak
Majority | Volume 4 | Nomor 9 | Desember 2015 |60
M. Sultan Tantra D dan TA. Larasati | Faktor- Faktor Sosial yang Mempengaruhi Stres Kerja

hubungan dalam pekerjaan, struktur dan iklim Menurut Gibson, faktor sosial stres kerja
organisasi, serta faktor intrinsic.2, 14, 17, 18 adalah konflik peran, ketaksaan peran, beban
Greenberg membagi tiga faktor-faktor kerja, tanggung jawab terhadap orang lain,
yang mempengaruhi stres kerja yaitu, faktor ketiadaan kemajuan karir dan rancangan
sosial, faktor individu dan faktor diluar pengembangan karir. .Sedangkan menurut
organisasi. Faktor individu yang mempengaruhi Hurrel faktor sosial pada stres kerja
stres kerja terdiri atas tingkat kecemasan, dikelompokkan kedalam lima kelompok besar,
tingkat neurotisme individu, toleransi terhadap yaitu faktor intrinsik dalam pekerjaan adalah
ketidakjelasan dan pola tingkah laku tipe A. yang pertama. Faktor intrinsik adalah tuntutan
Faktor di luar organisasi meliputi masalah tugas. Faktor-faktor tugas mencakup: kerja
keluarga, peristiwa krisis kehidupan dan malam, beban kerja, dan penghayatan dari
kesulitan finansial. Sedangkan faktor sosial resiko dan bahaya. Lalu yang kedua adalah
stres kerja berupa sumber intrinsik pekerjaan, peran individu. Setiap tenaga kerja mempunyai
peran di dalam organisasi, perkembangan tugas spesifik yang harus dilakukan sesuai
karier, hubungan relasi, dan struktur organisasi dengan aturan-aturan dan ekspektasi atasan.
serta iklim kerja.17 Namun tidak semua pekerja dapat
Pada faktor sosial pertama yaitu yang melakukannya. Kurang baik berfungsinya
berasal dari sumber intrinsik pekerjaan, peran, yang merupakan pembangkit stres yaitu
mencakup tuntutan fisik dan tuntutan tugas. meliputi konflik peran dan ketaksaan peran.
Tuntutan fisik mencakup kebisingan, vibrasi Konflik peran adalah keadaan dimana terdapat
dan higienitas, sedangkan pada tuntutan tugas tugas yang sama pada dua atau lebih individu
mencakup kerja shift/kerja malam, beban dalam organisasi. Pertentangan antara tugas-
kerja, kondisi kerja yang sedikit menggunakan tugas yang harus ia lakukan dan antara
aktifitas fisik, waktu kerja yang sempit dan tanggung jawab yang ia miliki berupa nilai-nilai
penghayatan resiko pekerjaan. Pada faktor individu dan keyakinannya berbenturan
sosial kedua yaitu peran dalam organisasi, dengan tugasnya. Dalam persepsinya, tugas
setiap pekerja diharapkan bekerja sesuai yang diberikan merupakan bagian tugas orang
perannya yang artinya memiliki tugas dan lain. Tuntutan-tututan yang bertentangan dari
aturan yang ditetapkan atasannya. Namun atasan, rekan, bawahannya, atau orang lain
demikian tak semua pekerja dapat yang dinilai penting bagi dirinya.2, 14
melaksanakan perannya tanpa ada gangguan. Ketaksaan peran terjadi ketika pekerja
Pada faktor sosial ketiga yaitu pengembangan yang tidak memiliki cukup informasi untuk
karir, terdiri dari promosi kejenjang yang lebih dapat melaksanakan tugasnya, atau tidak
tinggi atau penurunan tingkat, tingkat mengerti perannya dalam tugas yang
keamanan kerja yang kurang, ambisi karir yang diberikan. Faktor-faktor yang dapat
terhambat. Promosi dapat menjadi faktor menimbulkan ketaksaan berupa tanggung
sosial apabila terjadi mendadak, hal ini jawab yang ambigu, prosedur kerja tidak jelas,
dikarenakan tidak disiapkannya pekerja untuk pengharapan pemberi tugas yang tidak jelas,
promosi. Pada faktor sosial keempat yaitu dan ketidakpastian tentang produktifitas kerja.
hubungan relasi, terdiri atas hubungan dengan Ketidakjelasan sasaran mengarah pada
atasan, tim kerja, bawahan dan kesulitan ketidakpuasan pekerjaan, kurang memiliki
mendelegasikan pertanggungjawaban. Pada kepercayaan diri, rasa tak berguna, rasa harga
faktor sosial kelima yaitu struktur organisasi diri menurun, depresi, motivasi rendah untuk
dan iklim kerja terpusat pada sejauh mana bekerja, peningkatan tekanan darah dan
pekerja mendapat dukungan sosial. Konsep denyut nadi, dan kecenderungan untuk
diatas disempurnakan kembali oleh Dwiyanti, meninggalkan pekerjaan. Hal ini merupakan
ia menambahkan faktor sosial berupa tanda stres dalam bekerja. Lalu yang ketiga
perubahan tipe pekerjaan dan perbedaan nilai adalah hubungan dalam pekerjaan. Menurut
kemanusiaan antar pekerja dan atasan. Kahn hubungan kerja yang tidak baik tercermin
Perubahan tipe pekerjaan sering menjadi dengan adanya kepercayaan yang rendah
stresor akibat tak sesuainya pekerjaan yang sesama anggota, dan minat yang rendah dalam
diberikan, hal ini biasanya akibat mutasi. pemecahan masalah dalam organisasi. Kedua
Perbedaan nilai kemanusiaan berkaitan pada hal ini dapat dilihat dari kualitas dan intensitas
etik dan moralitas yang dijunjung tinggi.2,18 pembicaraan yang terjadi antar anggota
Majority | Volume 4 | Nomor 9 | Desember 2015 |61
M. Sultan Tantra D dan TA. Larasati | Faktor- Faktor Sosial yang Mempengaruhi Stres Kerja

kelompok. Ketidakpercayaan secara positif apabila dalam taraf fisiologis, bila stres dalam
berhubungan dengan ketaksaan peran yang kadar berlebih maka akan mengakibatkan
tinggi, yang mengarah ke komunikasi antar gangguan badani dan psikologi yang pada
pribadi yang tidak sesuai antara pekerja dan akhirnya menurunkan kinerja. Untuk itu stres
ketegangan psikologikal dalam bentuk yang berlebih harus diintervensi agar dapat
kepuasan pekerjaan yang rendah, penurunan memaksimalkan potensi individu. Faktor sosial
dari kondisi kesehatan, dan rasa diancam oleh merupakan hal yang paling mudah dan
atasan dan rekan-rekan kerjanya.14 memungkinkan untuk dilakukannya intervensi
Untuk stresor yang keempat adalah agar individu dapat memaksimalkan
struktur dan iklim organisasi. Hal ini terfokus potensinya.
pada sejauh mana tenaga kerja dapat terlihat
atau berperan serta pada dukungan sosial yang Daftar Pustaka
tersedia. Kurangnya peran serta atau 1. Noviansyah , Zunaidah. Pengaruh Stres
partisipasi dalam pengambilan keputusan Kerja Dan Motivasi Kerja Terhadap Kinerja
berhubungan dengan suasana hati dan perilaku Karyawan PT. Perkebunan Minanga Ogan
negatif. Peningkatan peluang untuk berperan Baturaja. Jurnal Manajemen dan Bisnis
serta menghasilkan peningkatan produktivitas, Sriwijaya. 2008; 9(18):43-58.
dan kesehatan mental dan fisik sehingga hal ini 2. Novitasari, A. Pengaruh Stres Kerja dan
harus diwadahi oleh pemimpin. Lalu untuk Motivasi Kerja terhadap Kinerja Karyawan
stresor yang terakhir adalah tuntutan dari luar pada Karyawan Divisi Transportasi PT.
organisasi/pekerjaan. Kategori pembangkit H.M. Sampoerna Surabaya. [Tesis].
stres potensial ini mencakup segala unsur Malang. Universitas Airlangga; 2013
kehidupan seseorang yang dapat berinteraksi 3. Azzinar. Hubungan Antara Prokrastinasi
dengan peristiwa-peristiwa kehidupan dan Dengan Stres Kerja Pada Pegawai Negeri
kerja di dalam satu organisasi, dan dapat Sipil [Skripsi]. Medan. Universitas
memberi tekanan pada individu. Isu-isu Sumatera Utara; 2010
tentang keluarga, krisis kehidupan, kesulitan 4. Statistic Brain Research Institute.
keuangan, keyakinan-keyakinan pribadi dan [internet]. USA: American Institute of
organisasi yang bertentangan, konflik antara Stress; 2015 [disitasi tanggal 25 November
tuntutan keluarga dan tuntutan perusahaan, 2015]. Tersedia dari :
semuanya dapat merupakan tekanan pada http://www.statisticbrain.com/stress-
individu dalam pekerjaannya, sebagaimana statistics/
halnya stres dalam pekerjaan mempunyai 5. Work related stress, anxiety and
dampak yang negatif pada kehidupan keluarga depression statistics in Great Britain
dan pribadi.14 2014/15 [internet]. England: Health and
Safety Executive; 2015 [disitasi tanggal 25
Ringkasan November 2015]. Tersedia dari :
Stres kerja adalah suatu kondisi yang http://www.hse.gov.uk/statistics/causdis/
muncul akibat interaksi antara individu dengan stress/index.htm
pekerjaan mereka, dimana terdapat 6. Levin S, France DJ, Hemphill R, Jones I,
ketidaksesuaian karakteristik dan perubahan- Chen KY, Rickard D. Tracking Workload in
perubahan yang tidak jelas yang terjadi dalam The Emergency Department Fall. 2006;
perusahaan. Hal ini dipengaruhi faktor individu, 48(3): 526-539.
faktor sosial dan faktor diluar organisasi. Faktor 7. Setiawan, ZY. Stres Kerja dan
sosial merupakan faktor yang dapat Kecenderungan Gejala Gangguan Mental
diidentifikasi dan mudah diintervensi. Faktor Emosional pada Pekerja Redaksi Harian PT
sosial ini terdiri dari pengembangan karir, RMM di Jakarta. [Tesis]. Perpustakaan
struktur dan iklim kerja, konflik peran, beban Universitas Indonesia.
kerja, dan hubungan relasi. 8. Hidayati R, Purwanto Y, Yuwono S.
Kecerdasan Emosi, Stres Kerja dan Kinerja
Simpulan Karyawan. Jurnal Psikologi. 2008 [disitasi
Stres merupakan hal yang dialami oleh tanggal 25 November 2015]; 2(1): 91-96.
semua orang termasuk pekerja. Stres dapat Tersedia dari:
menjadi stimulus untuk bekerja lebih baik

Majority | Volume 4 | Nomor 9 | Desember 2015 |62


M. Sultan Tantra D dan TA. Larasati | Faktor- Faktor Sosial yang Mempengaruhi Stres Kerja

http://ejournal.gunadarma.ac.id/index.ph 13. Prabowo, H. Arsitektur Psikologi dan


p/psiko/article/download/249/190 Masyarakat. Jakarta: Penerbit
9. Saragih, EH. Manajemen stres di tempat Gunadarma; 2009
kerja [internet]. Indonesia: PPM school of 14. Hermita. Pengaruh Stres Kerja terhadap
management; 1967 [diperbarui tanggal 4 Kinerja Karyawan pada PT. Semen Tonasa
Mei 2010; diakses tanggal 25 November (PERSERO) Pangkep. [Skripsi]. Universitas
2015]. Tersedia dari: http://ppm- Hasanuddin Makassar; 2011
manajemen.ac.id/manajemen-stres-di- 15. Yulianti. Pengaruh Stres Kerja Terhadap
tempat-kerja/#sthash.gU2d2HD8.dpuf Motivasi dan Kinerja Karyawan Koperasi
10. Fitriana, QA. Peran Kecenderungan Nusantara Daerah KORWIL V Jawa Barat.
Kepribadian Neuroticm dan Problem [Tesis]. Bandung. Universitas Widyatama;
Focused Coping dalam menjelaskan Stres 2008.
Akademik pada Mahasiswa Tingkat Akhir 16. Bernard LC, Krupat E. Health Psychology:
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Bio-psychosocial Factors in Health and
Universitas Brawijaya [internet]. Illness. [internet]. New York: New York:
Indonesia: Academia; 2009 [disitasi Harcourt Brace College. 1994 [disitasi
tanggal 25 November 2015] Tersedia dari: tanggal 25 November 2015]. Tersedia dari:
https://www.academia.edu/4343370/Per https://www.researchgate.net/publicatio
an_Neuroticism_dan_Problem_Focused_C n/232598751_Health_Psychology_Bio-
oping_dalam_Menjelaskan_Stres_Akadem psychosocial_Factor_in_Health_and_Illnes
ik_pada_Mahasiswa_Tingkat_Akhir_FISIP_ s
Universitas_Brawijaya 17. Kristanto. Faktor-faktor penyebab stres
11. Sutjiato M, Kandou GD, Tucunan AAT. kerja pada perawat ICU Rumah Sakit tipe C
Hubungan Faktor Internal dan Eksternal di kota Semarang. [Skripsi]. Semarang.
dengan Tingkat Stres pada Mahasiswa Universitas Diponegoro; 2009.
Fakultas Kedokteran Universitas Sam 18. Muthmaina I. Faktor-faktor penyebab
Ratulangi Manado. JIKMU. 2015; 5(1): 30- stress kerja di ruangan icu pelayanan
42. jantung terpadu dr cipto mangunkusumo
12. Maramis W, Maramis AA. Catatan Ilmu Jakarta. [Skripsi]. Jakarta. Universitan
Kedokteran Jiwa Edisi 2. Surabaya: Pusat Indonesia; 2012.
Penerbitan dan Percetakan (AUP); 2009.

Majority | Volume 4 | Nomor 9 | Desember 2015 |63


Sinopsis Jurnal Keenam
Stres kerja merupakan permasalahan yang sangat penting dikarenakan dapat mempengaruhi
produktifitas. Pemahaman akan sumber-sumber stres kerja yang disertai dengan pemahaman
terhadap cara-cara mengatasinya, adalah penting sekali bagi karyawan dan siapa saja yang terlibat
dalam organisasi demi kelangsungan organisasi yang sehat dan efektif. Stres kerja merupakan suatu
kondisi yang muncul akibat interaksi antara individu dengan pekerjaan mereka, dimana terdapat
ketidaksesuaian karakteristik dan perubahan-perubahan yang tidak jelas yang terjadi dalam
perusahaan. Stres kerja dipengaruhi banyak faktor, menurut Greenberg terdapat tiga faktor yang
berperan yaitu :
1. Faktor sosial merupakan yang paling berhubungan, terdiri atas sumber intrinsik pekerjaan,
peran di dalam organisasi, perkembangan karier, hubungan relasi, dan struktur organisasi
serta iklim kerja.
2. Faktor individu yang mempengaruhi stres kerja terdiri atas tingkat kecemasan, tingkat
neurotisme individu, toleransi terhadap ketidakjelasan dan pola tingkah laku tipe A.
3. Faktor di luar organisasi meliputi masalah keluarga, peristiwa krisis kehidupan dan kesulitan
finansial.

Stres dapat dikonsepkan sebagai suatu respon. Setiap tujuan memiliki berbagai halangan dan
rintangan, maka dari itu kita harus berjuang menghadapinya. Hal ini merupakan stresor bagi kita.
Setiap terjadi gangguan pada keseimbangan fisik dan atau jiwa kita, maka kita berusaha
mengembalikannya. Usaha ini dinamakan stres. Jadi, stres adalah usaha penyesuaian diri. Bila kita
tidak mengatasinya, maka dapat muncul gangguan fisik, perilaku tidak sehat, gangguan perasaan
hingga gangguan jiwa. Berdasarkan kondisi sosial, stres dibagi menjadi tiga yaitu stres kerja, stres
akademik dan stres rumah tangga. Stres kerja merupakan stres yang berimplikasi langsung terhadap
perekonomian.

Oleh Gibson stres kerja dikonseptualisasi menjadi tiga pendekatan, yaitu stres kerja sebagai
stimulus, stres kerja sebagai respon dan stres kerja sebagai stimulus-respon. Ketiga pendekatan stres
kerja tersebut mempengaruhi dan dipengaruhi satu sama lain. Menurut pandangan ini stres kerja
bukan hanya stimulus atau respon, tetapi respon dimana manusia adalah agen yang aktif
menyebarkan efek dari stresor lewat kebiasaan, kognitif dan emosiona.

Stres merupakan hal yang dialami oleh semua orang termasuk pekerja. Stres dapat menjadi
stimulus untuk bekerja lebih baik apabila dalam taraf fisiologis, bila stres dalam kadar berlebih maka
akan mengakibatkan gangguan badani dan psikologi yang pada akhirnya menurunkan kinerja. Untuk
itu stres yang berlebih harus diintervensi agar dapat memaksimalkan potensi individu. Faktor sosial
merupakan hal yang paling mudah dan memungkinkan untuk dilakukannya intervensi agar individu
dapat memaksimalkan potensinya.
Lembaga Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat Universitas Hasanuddin

JURNAL NASIONAL ILMU KESEHATAN (JNIK)


Volume 1. Edisi Juni 2018 ISSN: 2621-6507

FAKTOR FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KUALITAS HIDUP MASYARAKAT KARUBAGA


DISTRICT SUB DISTRICT TOLIKARA PROPINSI PAPUA
Delwien Esther Jacob, Sandjaya

ABSTRACT

Background : Quality life are individual perception about his position in the life based on
culture, system of value which related with purpose of life, hope, standart and all related
ones. Problems that related with quality of life are phisical health status, phsicology status,
personal social and environment.
Objectives : The objective of this research are to know the factors that affecting society of
Karubaga District, Tolikara region quality of life.
Method : This research are cross sectional research, in Health Department of Tolikara region.
Population are all society of Karubaga District which in age range between 18 to 40 years
old. The data was came from quisioner and be analyzed with chi-square test.
Result : Quality of life from society of Karubaga District were affecting by physical factors
(p-value 0,000; RP= 4,030; CI95% = 2,120 – 7,664), phsicology factors (p-value 0,000; RP=
4,788; CI95% = 2,560 – 8,955), social factors (p-value 0,000; RP= 7,875; CI95%= 4,342 –
14,282) and environment factors (p-value 0,000; RP= 23,324; CI95%= 5,591 – 89,125).
Dominan factors that affecting quality of life society of Karubaga district was environment
factors.
Key Words : Physical, Phsicology, Social, Environment, Quality of Life.

A. PENDAHULUAN

Kualitas hidup adalah persepsi individual terhadap posisinya dalam kehidupan,


dalam konteks budaya, sistem nilai dimana mereka berada dan hubungannya terhadap
tujuan hidup, harapan, standar, dan lainnya yang terkait. Masalah yang mencakup
kualitas hidup sangat luas dan kompleks termasuk masalah kesehatan fisik, status
psikologik, tingkat kebebasan, hubungan sosial dan lingkungan dimana mereka berada
(World Health Organization, 2012).
Definisi sehat menurut World Health Organization (WHO) adalah suatu keadaan
dimana tidak hanya terbebas dari penyakit atau kelemahan, tetapi juga adanya
keseimbangan antara fungsi fisik, mental, dan sosial. Sehingga pengukuran kualitas
hidup yang berhubungan dengan kesehatan meliputi tiga bidang fungsi yaitu: fisik,
psikologi (kognitif dan emosional), dan sosial. Sampai saat ini faktor penyebab turunnya
kualitas hidup pada manusia baik secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama belum
diketahui secara pasti. Masalahnya antara lain sulitnya melakukan penelitian terhadap
manusia untuk mencari hubungan sebab-akibat. Diakui masalahnya sangat kompleks dan
banyak faktor (multifaktorial) yang berpengaruh terhadap kualitas hidup manusia.

Jurnal Nasional Ilmu Kesehatan (JNIK) LP2M Unhas, Vol 1, Juni 2018 1
Beberapa penulis menyatakan kualitas hidup pada manusia dipengaruhi oleh faktor-
faktor: kondisi global, kondisi eksternal, kondisi interpersonal, dan kondisi personal.
Mengingat pentingnya informasi tentang kualitas hidup, muncul berbagai cara
untuk mencoba mengukur kualitas hidup seseorang dari berbagai aspek kehidupan
manusia. Misalnya WHO yang telah mencoba membuat alat ukur instrumen untuk
mengukur kualitas hidup manusia yang dikenal sebagai World Health Organization
Quality Of Life 100 (WHOQOL-100) serta versi pendeknya yaitu World Health
Organization Quality Of Life-BREF (WHOQOL-BREF). Instrumen ini mencoba
mengukur kualitas hidup manusia dari beberapa domain seperti fisik, psikologis,
hubungan sosial dan lingkungan. Instrumen ini telah digunakan secara luas, terutama
untuk menilai kualitas hidup seseorang dengan beberapa penyakit tertentu.
Kabupaten Tolikara merupakan hasil pemekaran dari Kabupaten Jayawijaya yang
terdiri dari 46 distrik, 4 kelurahan, dan 541 kampung. Karubaga adalah salah satu dari 46
distrik yang ada di kabupaten Tolikara. Karubaga terdiri dari 1 kelurahan dan 23
kampung. Jumlah penduduk Kabupaten Tolikara sampai dengan akhir tahun 2015 adalah
296.871 Jumlah tersebut terdiri dari 163.447 laki – laki dan 133.433 Perempuan. Jumlah
rumah tangga mencapai 60.906. sehingga rata – rata penduduk per rumah tangga adalah
5 jiwa. Dengan sex ratio sebesar 124 yang berarti dari 100 perempuan terdapat 124 laki –
laki. Perkembangan pembangunan manusia di Kabupaten Tolikara selama periode 2004-
2013 mengalami trend yang positif. Walaupun lambat namun pergerakan arah Indeks
Pempangunan Masyarakat (IPM) menuju trek yang benar. Secara kuantitatif, capaian
IPM mengalami kenaikan sebesar 5,86 point, dari 47,2 pada tahun 2004 menjadi 53,06
pada tahun 2013. IPM terpuruk pada peringkat 16 dalam lingkup Provinsi Papua. IPM
Kabupaten Tolikara meningkat dari 52,66 pada tahun 2012 menjadi 53,06 pada tahun
2013, Dengan percepatan pertumbuhan IPM menuju IPM ideal sebesar 0,86. Beberapa
permasalahan di Kabupaten Tolikara adalah jumlah penduduk yang hidup dibawah garis
kemiskinan relatif masih sangat tinggi, masih rendahnya kualitas sumberdaya manusia di
berbagai sektor kehidupan, yang tercermin dari rendahnya prakarsa, kreativitas dan peran
serta masyarakat dalam proses pembangunan, tingginya angka kematian sebagai akibat
dari terbatasnya jangkauan dan pelayanan kesehatan serta minimnya sarana dan
prasarana, masih rendahnya kualitas gizi ibu dan anak.
Masih rendahnya pola hidup sehat di kalangan masyarakat sehingga rentan
terhadap berbagai penyakit, masih rendahnya kualitas pendidikan masyarakat, masih
rendahnya kesadaran masyarakat dalam meningkatkan kualitas sumberdaya manusia,
terbatasnya sarana dan prasarana pendidikan di semua jenjang baik secara kualitatif
maupun kuantitatif, masih rendahnya komitmen Pemerintah Daerah dalam kebijakan di
sektor pendidikan yang tercermin dari rendahnya alokasi anggaran pendidikan, masih
rendahnya peran lembaga-lembaga keagamaan dalam menciptakan kerukunan hidup
antar umat beragama, terbatasnya sarana dan prasarana keagamaan dalam upaya
mengoptimalkan pembinaan keagamaan, masih rendahnya penghormatan dan
penghayatan terhadap nilai-nilai budaya yang tumbuh dan berkembang di masyarakat
sebagai warisan leluhur, rendahnya eksplorasi terhadap nilai-nilai budaya lokal sebagai
kekayaan daerah yang merupakan bagian dari khazanah kebudayaan nasional, masih
lemahnya peran lembaga-lembaga adat sebagai bagian dari potensi daerah dalam proses
pembangunan, terbatasnya jaringan jalan dan jembatan sehingga menghambat mobilisasi
manusia, barang dan jasa, terbatasnya jaringan dan kualitas jalan kabupaten sehingga
menghambat kelancaran transportasi darat, terbatasnya sarana/prasarana transportasi
udara menyebabkan rendahnya mobilitas dan aksesibilitas sehingga memperlambat
proses pembangunan dan masih terbatasnya jaringan listrik baik di perkotaan maupun di
kampung-kampung (Profil Kab.Tolikara,2014).

Jurnal Nasional Ilmu Kesehatan (JNIK) LP2M Unhas, Vol 1, Juni 2018 2
Berdasarkan uraian diatas, maka peneliti bermaksud melakukan penelitian
tentang faktor-faktor yang mempengaruhi kualitas hidup masyarakat Kabupaten Tolikara
yang dinilai dengan kuesioner World Health Organization Quality Of Life-BREF
(WHOQOL-BREF). Hal ini berdasarkan kesesuaian sampel yang akan diuji, kehandalan
dan kepraktisan instrumen ini. Dengan mengetahui kualitas masyarakat Kabupaten
Tolikara diharapkan akan berguna dalam perencanaan dan pelaksanaan pelayanan
kesehatan baik preventif, kuratif, rehabilitatif, maupun promotif.

B. METODE PENELITIAN

Penelitian ini merupakan penelitian cross sectional dengan mengidentifikasi dan


mengukur kualitas hidup masyarakat Distrik Karubaga Kabupaten Tolikara pada waktu
hanya satu kali tanpa melakukan follow up. Penelitian dilakukan mulai tanggal 1 Januari
2017 sampai dengan 30 Januari 2017 di Distrik Karubaga, Kabupaten Tolikara, di area
kota Karubaga di khususkan pada 1 kelurahan di lokasi di mana masyarakat banyak
berkumpul seperti tempat ibadah, kantor distrik, rumah sakit, puskesmas. Penelitian
difokuskan pada identifikasi dan pengukuran kualitas hidup masyarakat di distrik
Karubaga Kabupaten Tolikara kemudian dihubungkan dengan faktor fisik, faktor
psikologis, faktor sosial dan faktor lingkungan. Data diperoleh menggunakan kuesioner
dan dianalisis mengunakan chi square dan regresi binari logistik.

C. HASIL PENELITIAN

1. Karakteristik Responden
Tabel 1. Distribusi Responden di Kelurahan Karubaga Distrik Karubaga Kabupaten
Tolikara
No Variabel Frekuensi (n) Presentase (%)
1 Umur
18-20 tahun 10 10
21-30 tahun 38 38
31-40 tahun 52 52
2 Jenis Kelamin
Laki – Laki 46 46
Perempuan 54 54
3 Pendidikan
Tidak sekolah 35 35
SD 17 17
SMP 22 22
SMA 19 19
Perguruan Tinggi 7 7
4 Pekerjaan
Tidak Kerja 53 53
Petani 20 20
Swasta 15 15
PNS 12 12
5 Status Perkawinan
Menikah 81 81
Belum Menikah 15 15
Janda/Duda 4 4
6 Lama Tinggal
1-5 tahun 11 11

Jurnal Nasional Ilmu Kesehatan (JNIK) LP2M Unhas, Vol 1, Juni 2018 3
6-10 tahun 24 24
> 10 tahun 65 65
Jumlah 100 100
Sumber: Data Primer, 2016
Berdasarkan tabel 4.7, menunjukkan bahwa responden terbanyak pada
kelompok umur 21-30 tahun sebanyak 38 orang (38%), jenis kelamin perempuan
sebanyak 46 orang (46%), tidak sekolah sebanyak 35 orang (35%), tidak bekerja
sebanyak 53 orang (53%), status perkawinan menikah sebanyak 81 orang (81%) dan
lama tinggal > 10 tahun sebanyak 65 orang (65%).

2. Variabel Independen dan Dependen


Tabel 2. Distribusi Responden di Kelurahan Karubaga Distrik Karubaga Kabupaten
Tolikara
No Variabel Frekuensi (n) Presentase (%)
1 Faktor Fisik
Kurang 25 25
Baik 75 75
2 Faktor Psikologis
Kurang 24 24
Baik 76 76
3 Faktor Sosial
Kurang 21 21
Baik 79 79
4 Faktor Lingkungan
Kurang 16 16
Baik 84 84
5 Kualitas Hidup
Kurang 34 34
Baik 66 66
Jumlah 100 100
Sumber: Data Primer, 2016
Berdasarkan tabel 4.8, menunjukkan bahwa responden terbanyak dengan faktor
fisik baik sebanyak 75 orang (75%), faktor psikologis baik sebanyak 76 orang (76%),
faktor sosial baik sebanyak 79 orang (79%), faktor lingkungan baik sebanyak 84
orang (84%). Kualitas hidup responden sebagian besar baik sebanyak 66 orang (66%).
3. Analisa Bivariat
a. Pengaruh Faktor Fisik Terhadap Kualitas Hidup
Tabel 3. Pengaruh Faktor Fisik Terhadap Kualitas Hidup di Kelurahan
Karubaga Distrik Karubaga Kabupaten Tolikara
Kualitas Hidup
No Faktor Fisik Kurang Baik n %
n % n %
1 Kurang 14 58,3 10 41,7 24 100
2 Baik 11 14,5 65 85,5 76 100
Total 25 25 75 75 100 100
p-value < 0,001; RP = 4,030; CI95% (2,120 – 7,664)

Jurnal Nasional Ilmu Kesehatan (JNIK) LP2M Unhas, Vol 1, Juni 2018 4
Sumber: Data Primer, 2016
Tabel 4.9 menunjukkan bahwa dari 24 orang dengan faktor fisik kurang,
sebanyak 14 orang (58,3%) kualitas hidup kurang dan 10 orang (41,7%) kualitas
hidup baik. Sedangkan dari 76 orang dengan faktor fisik baik, sebanyak 11 orang
(14,5%) kualitas hidup kurang dan 65 orang (85,5%) kualitas hidup baik. Hasil uji
statistik chi square pada nilai kemaknaan 95% ( = 0,05) diperoleh p-value <0,001
atau p < α (0,05), dengan demikian ada pengaruh faktor fisik terhadap kualitas
hidup di Kelurahan Karubaga Distrik Karubaga Kabupaten Tolikara. Bila dilihat
dari nilai RP = 4,030; CI95% (2,120 – 7,664) yang diinterpretasikan bahwa faktor
fisik yang kurang berpeluang 4,030 kualitas hidup kurang dibandingkan dengan
responden dengan faktor fisik baik.
b. Pengaruh Faktor Psikologis Terhadap Kualitas Hidup
Tabel 4. Pengaruh Faktor Psikologis Terhadap Kualitas Hidup di Kelurahan
Karubaga Distrik Karubaga Kabupaten Tolikara
Kualitas Hidup
No Faktor Psikologis Kurang Baik n %
n % n %
1 Kurang 14 66,7 7 33,3 21 100
2 Baik 11 13,9 68 86,1 79 100
Total 25 25 75 75 100 100
p-value < 0,001; RP = 4,788; CI95% (2,560 – 8,955)
Sumber: Data Primer, 2016

Tabel 4.10 menunjukkan bahwa dari 21 orang dengan faktor psikologis


kurang, sebanyak 14 orang (66,7%) kualitas hidup kurang dan 7 orang (33,3%)
kualitas hidup baik. Sedangkan dari 79 orang dengan faktor psikologis baik,
sebanyak 11 orang (13,9%) kualitas hidup kurang dan 68 orang (86,1%) kualitas
hidup baik. Hasil uji statistik chi square pada nilai kemaknaan 95% ( = 0,05)
diperoleh p-value < 0,001 atau p < α (0,05), dengan demikian ada pengaruh faktor
psikologis terhadap kualitas hidup di Kelurahan Karubaga Distrik Karubaga
Kabupaten Tolikara. Bila dilihat dari nilai RP = 4,788; CI95% (2,560 – 8,955)
yang diinterpretasikan bahwa faktor psikologis yang kurang berpeluang 4,788
kualitas hidup kurang dibandingkan dengan responden dengan faktor psikologis
baik.
c. Pengaruh Faktor Sosial Terhadap Kualitas Hidup
Tabel 5. Pengaruh Faktor Sosial Terhadap Kualitas Hidup di Kelurahan
Karubaga Distrik Karubaga Kabupaten Tolikara
Kualitas Hidup
No Faktor Sosial Kurang Baik n %
n % n %
1 Kurang 15 93,8 1 6,3 16 100
2 Baik 10 11,9 74 88,1 84 100
Total 25 25 75 75 100 100
p-value < 0,001; RP = 7,875; CI95% (4,342 – 14,282)
Sumber: Data Primer, 2016
Tabel 4.11 menunjukkan bahwa dari 16 orang dengan faktor sosial kurang,
sebanyak 15 orang (93,8%) kualitas hidup kurang dan 1 orang (6,3%) kualitas
hidup baik. Sedangkan dari 84 orang dengan faktor sosial baik, sebanyak 10 orang
(11,9%) kualitas hidup kurang dan 74 orang (88,1%) kualitas hidup baik. Hasil uji

Jurnal Nasional Ilmu Kesehatan (JNIK) LP2M Unhas, Vol 1, Juni 2018 5
statistik chi square pada nilai kemaknaan 95% ( = 0,05) diperoleh p-value <0,001
atau p < α (0,05), dengan demikian ada pengaruh faktor sosial terhadap kualitas
hidup di Kelurahan Karubaga Distrik Karubaga Kabupaten Tolikara. Bila dilihat
dari nilai RP = 7,875; CI95% (4,342 – 14,282) yang diinterpretasikan bahwa faktor
sosial yang kurang berpeluang 7,875 kualitas hidup kurang dibandingkan dengan
responden dengan faktor sosial baik.

d. Pengaruh Faktor Lingkungan Terhadap Kualitas Hidup


Tabel 6. Pengaruh Faktor Lingkungan Terhadap Kualitas Hidup di Kelurahan
Karubaga Distrik Karubaga Kabupaten Tolikara
Kualitas Hidup
Faktor
No Kurang Baik n %
Lingkungan
n % n %
1 Kurang 23 67,6 11 32,4 34 100
2 Baik 2 3 64 97 66 100
Total 25 25 75 75 100 100
p-value <0,001; RP = 23,324; CI95% (5,591 – 89,125)
Sumber: Data Primer, 2016
Tabel 4.12 menunjukkan bahwa dari 34 orang dengan faktor lingkungan
kurang, sebanyak 23 orang (67,6%) kualitas hidup kurang dan 11 orang (32,4%)
kualitas hidup baik. Sedangkan dari 66 orang dengan faktor lingkungan baik,
sebanyak 2 orang (3%) kualitas hidup kurang dan 64 orang (97%) kualitas hidup
baik. Hasil uji statistik chi square pada nilai kemaknaan 95% ( = 0,05) diperoleh
p-value <0,001 atau p < α (0,05), dengan demikian ada pengaruh faktor lingkungan
terhadap kualitas hidup di Kelurahan Karubaga Distrik Karubaga Kabupaten
Tolikara. Bila dilihat dari nilai RP = 23,324; CI95% (5,591 – 89,125) yang
diinterpretasikan bahwa faktor lingkungan yang kurang berpeluang 23,324 kualitas
hidup kurang dibandingkan dengan responden dengan faktor lingkungan baik.
4. Analisis Multivariat
Analisis multivariat digunakan untuk memperoleh jawaban faktor mana yang
berpengaruh terhadap kualitas hidup mengunakan uji regresi logistik dengan metode
backward. Hasil p value faktor fisik, psikologis, sosial dan lingkungan memiliki nilai
p < 0,25 dengan hasil uji regresi binari logistik dapat dilihat pada tabel 4.13 di bawah
ini.
Tabel 7. Analisis Variabel Regresi Logistik Berganda
p- 95% C. I. for Exp (B)
No Variabel B OR
value Lower Upper
1 Faktor Fisik 0,983 0,343 2,671 0,351 20,314
2 Faktor Psikologis 19,591 0,996 322410373,307 0,000 0
3 Faktor sosial 3,754 0,006 42.682 2,919 624,126
4 Faktor lingkungan 21,028 0,996 1356469806.503 0,000 0
Constant -68,309 0,996
Sumber: Data Primer, 2016
Tabel 4.11 di atas, hasil analisis regresi, yaitu Ŷ = b0 + b1X1 + b2X2 + b3X3 + e,
maka persamaan regresi yang diperoleh adalah Ŷ = -68,309 + 0,983 + 19,591 + 3,754
+ 21,028 + e
a. Nilai konstanta sebesar -68,309 jika tidak ada faktor fisik (X1), faktor psikologi
(X2), faktor sosial (X3) dan faktor sosial (X4), maka besarnya kualitas hidup (Y)
sebesar 68,309.

Jurnal Nasional Ilmu Kesehatan (JNIK) LP2M Unhas, Vol 1, Juni 2018 6
b. Nilai koefisien regresi untuk variabel faktor fisik (X1) adalah sebesar 0,983. Hal ini
menunjukan jika variabel faktor psikologi (X2), faktor sosial (X3) dan faktor sosial
(X4) berubah 1 nilai, maka dengan asumsi variabel faktor fisik (X1) tetap, kualitas
hidup (Y) akan menurun sebesar 0,983.
c. Nilai koefisien regresi untuk variabel faktor psikologi (X2) adalah sebesar -19,591.
Hal ini menunjukkan jika variabel faktor fisik (X1), faktor sosial (X3) dan faktor
sosial (X4) berubah 1 nilai, maka dengan asumsi variabel faktor psikologi (X2)
tetap, kualitas hidup (Y) akan menurun sebesar 19,591.
d. Nilai koefisien regresi untuk variabel faktor sosial (X3) adalah sebesar 3,754. Hal
ini menunjukkan jika variabel faktor fisik (X1), faktor psikologi (X2) dan faktor
sosial (X4) berubah 1 nilai, maka dengan asumsi variabel faktor sosial (X 3) tetap,
kualitas hidup (Y) akan menurun sebesar 21,028.
Berdasarkan hasil koefisien regresi, maka faktor lingkungan merupakan faktor
dominan terhadap kualitas hidup di Kelurahan Karubaga Distrik Karubaga Kabupaten
Tolikara.

D. PEMBAHASAN

1. Pengaruh Faktor Fisik Terhadap Kualitas Hidup


Hasil penelitian diperoleh bahwa ada pengaruh faktor fisik terhadap kualitas
hidup di Kelurahan Karubaga Distrik Karubaga Kabupaten Tolikara (p-value
<0,001).
Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Kosim (2015)
pada Penduduk di Desa Sentul Kecamatan Sumbersuko Kabupaten Lumajang bahwa
ada pengaruh faktor fisik terhadap kualitas hidup penduduk. Hal ini disebabkan
karena pelayanan kesehatan yang ada sudah menjangkau masyarakat, sehingga
kesehatan penduduk cukup baik.
Hasil analisis diperoleh bahwa pernyataan responden tentang pencegahan rasa
sakit dalam beraktivitas sesuai kebutuhan dengan total skor 304 berada dalam rentang
kategori baik. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat yang ada di Kelurahan
Karubaga Distrik Karubaga Kabupaten Tolikara telah memperhatikan kesehatannya
agar dapat beraktivitas sesuai kebutuhan. Selain itu dari pernyataan terapi medis untuk
dapat berfungsi dalam kehidupan sehari-hari dengan total skor 276 dengan kategori
cukup. Hal ini disebabkan bahwa di Kelurahan Karubagan Distrik Karubaga
Kabupaten Tolikara telah tersedia pelayanan kesehatan yang cukup memadai,
sehingga masyarakat dapat berobat atau mudah mengakses pelayanan kesehatan. Hal
ini menyebabkan sebagian besar responden memiliki tenaga atau stamina dalam
beraktivitas dan bekerja serta bersosialisasi dengan masyarakat sekitar.
Sasaran pembangunan dalam arti khusus dalam bidang ekonomi adalah untuk
meningkatkan perekonomian yang mandiri sebagai peningkatan kemakmuran yang
merata dan stabilitas nasional yang dinamis. Dasar dari tujuan
pembangunan di negara berkembang adalah mengatasi tingginya tingkat pertumbuhan
populasi. Oleh karena harus memperhatikan kualitas hidup sumber daya manusia
(SDM) sebagaimana perencana ekonomi dengan menekankan program yang
bertujuan mengendalikan penyakit dan meningkatkan kesehatan serta gizi dan
memperbaiki pendidikan (Samuelson, 2001).
Faktor fisik yang diraskaan responden terbanyak dengan faktor fisik baik
sebanyak 75 orang (75%). Dari hasil tabulasi silang diperoleh bahwa responden
dengan faktor fisik kurang, sebanyak 14 orang (58,3%) kualitas hidup kurang dan 10
orang (41,7%) kualitas hidup baik. Sedangkan responden dengan faktor fisik baik

Jurnal Nasional Ilmu Kesehatan (JNIK) LP2M Unhas, Vol 1, Juni 2018 7
sebanyak 11 orang (14,5%) kualitas hidup kurang dan 65 orang (85,5%) kualitas
hidup baik. Hal ini menunjukkan bahwa fakrtor fisik yang semkain tinggi dirasakan
baik semakin meningkatkan kualita hidup masyarakat di Kelurahan Karubaga Distrik
Karubaga Kabupaten Tolikara.
Gambaran mengenai pernyataan faktor fisik dari tujuh pertanyaan faktor fisik
dengan nilai indeks maksimum skor maksimum = 5 dan minimum = 1 dengan maka
pembagian skor total tanggapan responden mengenai faktor fisik dalam bentuk dari
jumlah skor total tanggapan responden tentang faktor fisik dari 7 pertanyaan diperoleh
total skor 2456 dan total skor ideal 3500 dengan persentase 70,17% yang
dikategorikan baik.
Hasil capaian IPM Kabupaten Tolikara unutk Angka Harapan Hidup (AHH)
periode 2006 – 2014 mengalami peningkatan dari tahun ke tahun, meski tidak terlalu
signifikan dan AHH Kabupaten Tolikara masih lebih rendah dibanding AHH
keseluruhan Kabupaten/Kota di Provinsi Papua yang mencapai 69,13. Sedangkan jika
dibanding dengan kabupaten pemekaran Jayawijaya lainnya, tidak berbeda signifikan,
dimana AHH Tolikara sama dengan Kabupaten Pegunungan Bintang (66,24) namun
lebih rendah dari Kabupaten Yahukimo (67,44), dan Jayawijaya (66,86).
Pada tahun 2016 jumlah sarana prasarana kesehatan puskesmas di Kabupaten
Tolikara sebanyak 26 puskesmas dan 26 puskesmas pembantu. jumlah tenaga medis
yang tersedia sebanyak 215 orang rincian 17 orang dokter, 144 orang perawat dan 54
orang tenaga bidan. Hal ini menyebabkan sebagian penduduk Masing-masing tenaga
medis mempunyai peranan penting terhadap kesehatan masyarakat dengan rata-rata
setiap orang tenaga medis melayani sekitar 593 penduduk Kabupaten Tolikara. Masih
sedikitnya jumlah sarana dan tenaga kesehatan yang ada di Kabupaten Tolikara dapat
menghambat masyarakat dalam mengakses layanan kesehatan. Apalagi sebaran sarana
dan tenaga medis tersebut tidak merata, dari 35 distrik yang ada sarana kesehatan
puskesmas hanya terdapat di 26 distrik.
Selain itu, salah satu faktor yang mempengaruhi masih rendahnya AHH di
Kabupaten Tolikara adalah belum meningkatnya kesadaran penduduk terhadap
kesehatan yang terlihat dari sedikitnya pemanfaatan tenaga medis dalam persalinan
dan melakukan pengobatan di fasilitas-fasilitas kesehatan yang disediakan
pemerintah. Hal ini juga dibuktikan dari hasil penelitian dari 100 orang responden
sebanyak 35% responden tidak sekolah, SD 17% dan SMP 22%. Rendahanya
pendidikan juga mempengaruhi kesdaran dalam pemanfaatan pelayanan kesehatan,
sehingga mempengaruhi faktor fisik masyarakat di Kelurahan Karubaga, dimana
faktor fisik masih 25% dirasakan kurang, dimana dari hasil rasio prevalensi diperoleh
bahwa faktor fisik yang kurang berpeluang 4,030 kualitas hidup kurang dibandingkan
dengan responden dengan faktor fisik baik
Perlu adanya pernhatian pemerintah dalam program pembangunan dibidang
kesehatan antara lain dengan memberikan penyuluhan kepada masyarakat tentang
pemanfaatan pelayanan kesehatan dan menerapkan pola hidup sehat, serta pendidikan
kelas paket belajar bagi masyarakat yang tidak sekolah.
2. Pengaruh Faktor Psikologis Terhadap Kualitas Hidup
Hasil penelitian diperoleh bahwa ada pengaruh faktor psikologis terhadap
kualitas hidup di Kelurahan Karubaga Distrik Karubaga Kabupaten Tolikara (p-value
<0,001).
Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Putri (2009)
pada penduduk di Jabodetabek pada dewasa muda mengungkapkan bahwa ada
pengaruh faktor psikologis terhadap kualitas hidup. Hal ini disebbakan pada dewasa

Jurnal Nasional Ilmu Kesehatan (JNIK) LP2M Unhas, Vol 1, Juni 2018 8
muda yang tidak bekerja menyebabkan stres persepsi terhadap kesehatan, kepuasan
hidup dan kebahagiaan.
Dimensi psikologis yaitu bodily dan appearance, perasaan negatif, perasaan
positif, self – esteem, berfikir, belajar, memori, dan konsentrasi. Aspek sosial meliputi
relasi personal, dukungan sosial dan aktivitas seksual. Kemudian aspek lingkungan
yang meliputi sumber finansial, freedom, physical safety dan security, perawatan
kesehatan dan sosial care lingkungan rumah, kesempatan untuk mendapatkan berbagai
informasi baru dan keterampilan, partisipasi dan kesempatan untuk melakukan
rekreasi atau kegiatan yang menyenangkan serta lingkungan fisik dan transportasi
(Sekarwiri, 2008).
Hasil analisis diperoleh bahwa rata – rata responden masyarakat di Kelurahan
Karubaga Distrik Karubaga Kabupaten Tolikara diperoleh skor dalam menikmati
hidup sebesar 378 dalam rentang kategori baik begitu pula dengan pernyataan yang
merasa hidup sebesar 363 dalam rentang kategori baik, sehingga responden
menyatakan mampu berkonsentrasi dengan baik, dapat menerima penampilan tubuh
kurang memiliki perasaan negatif sehingga rata – rata sebagian besar diperoleh puas
terhadap diri sendiri yang tidak menimbulkan cemas dan stres.
Faktor psikologis dalam dimensi kualitas hidup diperoleh sebesar 76% baik,
artinya bahwa sebagain responden tidak mengalami gangguan psikologis yang beratri
dalam menjalani kehidupannya. Sedangkan 24% merasa stress. Hal ini dapat
disebabkan pada dewasa muda penduduk Kelurahan Karubaga Distrik Karubaga
Kabupaten Tolikara dari 100 responden sebagian besar tidak bekerja sebanyak 53
orang (53%).
Gambaran mengenai pernyataan faktor psikologis dari enam pertanyaan faktor
psikologis dengan nilai indeks maksimum skor maksimum = 5 dan minimum = 1
dengan maka pembagian skor total tanggapan responden mengenai faktor psikologis
dari 6 pertanyaan diperoleh total skor 2097 dan total skor ideal 3000 dengan
persentase 69,90% yang dikategorikan baik.
Berdasarkan pemaparan di atas, yaitu tidak dimilikinya pekerjaan
pada usia dewasa muda akan mempengaruhi kualitas hidup maka kondisi tersebut
juga akan mempengaruhi kebahagiaan individu. Hal ini diperkuat oleh Izawa (2004)
yang menyatakan pekerjaan sebagai salah satu faktor demografi yang penting
mempengaruhi kebahagiaan dibandingkan faktor demografi lain.
Pekerjaan menjadi hal yang utama karena pekerjaan memberikan aktivitas yang
menghabiskan sepertiga waktu individu (8 jam perhari), dimana waktu ini setara
dengan waktu yang dihabiskan individu untuk tidur dan melakukan berbagai
aktivitas lainnya. Selain itu, bila dikaitkan dengan fenomena pengangguran yang
sudah dijelaskan sebelumnya, berbagai dampak negatif dan positif dari kondisi
tidak bekerja tentu juga akan berpengaruh terhadap kebahagiaan yang ia rasakan
dan lebih jauh lagi dapat mempengaruhi kualitas hidupnya.
Akibat tingginya tingkat pengangguran serta peluang usaha yang tidakdapat
dilakukan maksimal oleh penduduk, sehingga mempengaruhi psikologis masyarakat
di Kelurahan Karubaga, dimana semakin tinggi faktor psikologi semakin rendah
kualitas hidup. Hasil tabulias diperoleh bahwa responden dengan faktor psikologis
kurang, sebanyak 14 orang (66,7%) kualitas hidup kurang dan 7 orang (33,3%)
kualitas hidup baik. Sedangkan dari 79 orang dengan faktor psikologis baik, sebanyak
11 orang (13,9%) kualitas hidup kurang dan 68 orang (86,1%) kualitas hidup baik.
Hasil uji rasio prevalensi diperoleh bahwa faktor psikologis yang kurang berpeluang
4,788 kualitas hidup kurang dibandingkan dengan responden dengan faktor psikologis
baik.

Jurnal Nasional Ilmu Kesehatan (JNIK) LP2M Unhas, Vol 1, Juni 2018 9
Kemampuan membaca dan menulis dipandang sebagai kemampuan dasar
minimal yang harus dimiliki oleh setiap individu, agar paling tidak memiliki peluang
untuk terlibat dan berpartisipasi dalam pembangunan. Angka Melek Huruf (AMH)
menunjukkan persentase penduduk usia 15 tahun ke atas yang dapat membaca dan
menulis sebesar 33,56 persen. Dengan kata lain, masih banyak penduduk di
Kabupaten Tolikara yang masih buta huruf (66,44 persen) dan belum menikmati
pendidikan dengan baik. Dengan pendidikan yang rendah mempengaruhi masyarakat
atau penduduk dalam bekerja atau memaksimalkan hasil pekerjaan seperti berkebun
dalam meningkatkan kuantitas produksi sebagai pendapatan yang dapat
mempengaruhi kesejahteraan masyarakat dalam memenuhi kebutuhan hidup.
Wahl, dkk (2004) dalam (Nofitri, 2009) menemukan bahwa status pekerjaan
berhubungan dengan kualitas hidup baik pada pria maupun wanita. Hasil
penghitungan data IPM Kabupaten Tolikara, diperoleh gambaran rata-rata
pengeluaran riil penduduk Kabupaten Tolikara tahun 2016, yaitu sekitar Rp. 621,150,-
per tahun. Angka ini lebih tinggi dibanding keadaan tahun 2010 (Rp. 611.635,-).
Dibanding dengan capaian pengeluaran riil yang ideal sebesar Rp 737.720,- bisa
dikatakan kemampuan penduduk Kabupaten Tolikara untuk memenuhi penghidupan
yang layak masih jauh dari target seharusnya. Hal ini mengindikasikan pembangunan
manusia di Kabupaten Tolikara kedepannya perlu lebih memfokuskan terutama
peningkatan pembangunan ekonomi baik dari segi laju pertumbuhannya maupun
pemerataan hasilnya.
3. Pengaruh Faktor Sosial Terhadap Kualitas Hidup
Hasil penelitian diperoleh bahwa ada pengaruh faktor sosial terhadap kualitas
hidup di Kelurahan Karubaga Distrik Karubaga Kabupaten Tolikara (p-value <0,001).
Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Kosim (2015)
pada Penduduk di Desa Sentul Kecamatan Sumbersuko Kabupaten Lumajang bahwa
ada pengaruh faktor sosial terhadap kualitas hidup penduduk. Hal ini disebabkan
karena pelayanan kesehatan yang ada sudah menjangkau masyarakat, sehingga
kesehatan penduduk cukup baik.
Dimensi hubungan sosial mencakup relasi personal, dukungan sosial dan
aktivitas sosial. Relasi personal merupakan hubungan individu dengan orang lain.
Dukungan sosial yaitu menggambarkan adanya bantuan yang didapatkan oleh
individu yang berasal dari lingkungan sekitarnya. Sedangkan aktivitas seksual
merupakan gambaran kegiatan seksual yang dilakukan individu (Sekarwiri, 2008).
Hasil analisis diperoleh bahwa pernyataan responden terkait dalam dimensi
kualitas hidup dari faktor sosial bahwa hubungan pesonal/sosial responden diperoleh
skor 362 dalan rentang kategori baik dan skor 345 dalam rentang kategori baik
terhadap kepuasan hidup terhadap seksual serta skor 374 dalam rentang kategori baik
mendapat dukungan dari teman dan keluarga.
Faktor sosial pada responden di Kelurahan Karubaga Distrik Karubaga
Kabupaten Tolikara sebagian besar dalam kategori baik sebanyak 79 orang (79%).
Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar dalam faktor sosial baik. Sedangkan
siswanya 21% merasakan kurang dalam faktor sosial.
Gambaran mengenai pernyataan faktor sosial dari tiga pertanyaan faktor sosial
dengan nilai indeks maksimum skor maksimum = 5 dan minimum = 1 dengan maka
pembagian skor total tanggapan responden mengenai faktor sosial dari 3 pertanyaan
diperoleh total skor 1084 dan total skor ideal 1500 dengan persentase 72,27% yang
dikategorikan baik.
Pengamatan yang peneliti lakukan tinggnya faktor sosial disebabkan karena
dukungan khususnya masyarakat Kelurahan Karubaga sesama penduduk pribumi

Jurnal Nasional Ilmu Kesehatan (JNIK) LP2M Unhas, Vol 1, Juni 2018 10
sangat erat dan memiliki persahabatan yang tinggi, sehingga masyarakat yang non
pribumi setempat dapat berinteraksi sosial dengan baik. Selain itu adanya dukungan
keluarga termasuk pasangan suami isteri, sehingga faktor sosial dalam seksual
memuaskan bagi masyarakat.
Responden yang merasa kurang dengan faktor sosial sebagian kecil dirasakan
pada masyarakat yang belum menikah atau janda dan duda, sehingga mengurangi
interaksi sosial, sehingga interaksi sosial masih dirasakan kurang dan kurang puas
terhadap hidup yang dijalani.
Hasil tabulias diperoleh bahwa responden dengan faktor sosial kurang, sebanyak
15 orang (93,8%) kualitas hidup kurang dan 1 orang (6,3%) kualitas hidup baik.
Sedangkan responden faktor sosial baik, sebanyak 10 orang (11,9%) kualitas hidup
kurang dan 74 orang (88,1%) kualitas hidup baik. Hal ini menunjukkan bahwa faktor
sosial semakin baik meningkatkan kualitas hidup, dimana faktor sosial yang kurang
berpeluang 7,875 kualitas hidup kurang dibandingkan dengan responden dengan
faktor sosial baik. Hal ini disbebabkan dari faktor status perkawinan yang mendukung
dalam berinteraksi sosial, dimana yang belum menikah sebanyak 15% dan status
janda/duda sebesar 4%. Namun adanya dukungan pada responden, sehingga sebagian
responden merasa puas dalam menjalani hidup.
4. Pengaruh Faktor Lingkungan Terhadap Kualitas Hidup
Hasil penelitian diperoleh bahwa ada pengaruh faktor lingkungan terhadap
kualitas hidup di Kelurahan Karubaga Distrik Karubaga Kabupaten Tolikara (p-value
<0,001).
Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Putri (2009)
pada penduduk di Jabodetabek pada dewasa muda mengungkapkan bahwa ada
pengaruh faktor lingkungan terhadap kualitas hidup. Hal ini disebbakan pada dewasa
muda dengan lingkungan yang baik memiliki motivasi hidup yang baik, sehingga
meningkatkan kualitas hidup yang baik.
Adapun dimensi lingkungan yaitu mencakup sumber financial, freedom,
physical safety dan security, perawatan kesehatan dan sosial care, lingkungan rumah,
kesempatan untuk mendapatkan berbagai informasi baru dan keterampilan, partisipasi
dan kesempatan untuk melakukan rekreasi atau kegiatan yang menyenangkan,
lingkungan fisik serta transportasi (Sekarwiri, 2008).
Hasil analisis diperoleh bahwa reponden menyatakan aman dengan total skor
388 dalam rentang kategori baik, hal ini disebabkan karena lingkungan tempat tinggai
dapat memenuhi kebutuhan. Namun rendah ketersediaan informasi, hal ini disebabkan
tidak semua belum mendapat aliran listrik dna terjadwal, sehingga informasi masih
dirasakan kurang melalui media televisi dan radio. Selain itu pembangunan yang
masih dirasakan lambat, sehingga tempat – tempat rekreasi tidak ada, namun
masyarakat menyatakn puas dengan keadaan alam yang masih alami sehingga
menjadikan tempat hiburan walaupuan sifatnya statis atau tidak ada hiburan lainnya
yang dapat mengurangi stres. Selain itu saran transportasi yang kurang mendukung,
sehingga rekreasi jarang dilakukan.
Gambaran mengenai pernyataan faktor sosial dari tiga pertanyaan faktor sosial
dengan nilai indeks maksimum skor maksimum = 5 dan minimum = 1 dengan maka
pembagian skor total tanggapan responden mengenai faktor lingkungan dari 8
pertanyaan diperoleh total skor 2629 dan total skor ideal 4000 dengan persentase
65,73% yang dikategorikan baik.
Hasil analisis diperoleh bahwa faktor lingkungan sebagian besar dinyatakan
baik sebanyak 84 orang (84%), dimana responden dengan faktor lingkungan kurang,
sebanyak 23 orang (67,6%) kualitas hidup kurang dan 11 orang (32,4%) kualitas

Jurnal Nasional Ilmu Kesehatan (JNIK) LP2M Unhas, Vol 1, Juni 2018 11
hidup baik. Sedangkan dari 66 orang dengan faktor lingkungan baik, sebanyak 2
orang (3%) kualitas hidup kurang dan 64 orang (97%) kualitas hidup baik. Hal ini
menunjukkan bahwa sebagian penduduk menerima dengan keadaan perkembangan
teknologi dan infromasi karena keadaan geografis yang cukup sulit, sehingga
membutuhkan waktu dalam perkembangan ekonomi maupun teknologi. Namun
responden yang lama tinggal kurang 1-5 tahun atau non pribumi merasakan bahwa
faktor lingkungan masih diraskaan kurang karena merasakan atau bertempat tinggal
sebelumnya di daerah yang sudah memadai seperti daerah perkotaan. Namun
masyarakat yang sudah lama tinggal 6-10 tahun atau > 10 tahun sudah dapat
menerima kenyataan dengan perkembangan yang ada dengan lingkungan daerah
setempat.
5. Faktor dominan terhadap kualitas hidup
Hasil penelitian diperoleh faktor lingkungan merupakan faktor dominan
terhadap kualitas hidup di Kelurahan Karubaga Distrik Karubaga Kabupaten Tolikara.
Hal ini menunjukkan bahwa kondisi lingkungan Kelurahan Karubaga Distrik
Karubaga Kabupaten Tolikara belum dapat memberikan kepuasan hidup. Hal ini
disebabkan perkembangan teknologi dan informasi serta infrastruktur yang belum
memadai, sehingga masyarakat lebih beraktivitas terbatas dibandingkan dengan
daerah perkotaan, yang semuanya tersedia dan masyarakat dapat menikmati setiap
perkembangan tersebut. Beda halnya dengan di Kelurahan Karubaga yang serba
terbatas, sehingga aktivitas masyarakat sedikit dan monoton.
Setiap individu mengejar kebahagiaan dalam hidupnya. Kebahagiaan
sendiri merupakan keadaan psikologis yang positif ditandai dengan tingginya
derajat kepuasan hidup, emosi positif, dan rendahnya derajat emosi negatif (Carr,
2004). Selain itu, menurut Veenhoven (2001) kebahagiaan merupakan komponen
penting yang turut menentukan kualitas hidup individu. Kualitas hidup secara umum
dibedakan menjadi kualitas eksternal dan internal individu (Veenhoven, dalam Filep,
2004).
Kualitas eksternal berkaitan dengan kondisi lingkungan individu, sedangkan
kualitas internal berhubungan dengan kondisi subjektif individu seperti otonomi,
kreativitas, kontrol terhadap realitas, serta kesejahteraan subjektif dan kebahagiaan
yang dirasakan individu. Kondisi subjektif dianggap lebih berperan dalam
mempengaruhi kualitas hidup, karena kondisi kehidupan tertentu tidak menghasilkan
reaksi yang sama pada setiap individu, tiap-tiap individu memiliki definisi masing-
masing mengenai hal-hal yang mengindikasikan kualitas hidup yang baik dan buruk
(Brown et al., 1997).
Dalam hal kebahagiaan, faktor lingkungan memiliki pemaknaan yang berbeda
terhadap kebahagiaan yang ia rasakan dengan merasakan aman, kebersihan
lingkungan, dapat memenuhi kebutuhan. Salah satu faktor penting adalah informasi
dan tempat hiburan lainnya. Minimnya sarana komunikasi dan tempat rekreasi,
sehingga mempengaruhi kualitas hidup masyarakat, dimana sarana tersebut dapat
dijadikan sebagai tempat unutk melepaskan kejenuhan dan kebosanan untuk
mencegah stres dan akan mempengaruhi kepuasan terhadap lingkungannya. Kondisi
geografis yang cukup sulit juga mempengaruhi akses pelayanan kesehatan terhadap
kebutuhan kesehatan yang didapatkan.
Hal ini sesuai dengan teori yang dikemukakn oleh Veenhoven (2001),
kebahagiaan berhubungan dengan seberapa individu menikmati hidupnya secara
keseluruhan. Disisi lain, menurut O’Connor (1993) faktor utama yang menentukan
kualitas hidup individu adalah persepsi individu terhadap kesenjangan antara apa yang
ada dengan apa yang mungkin terjadi. Hal ini menunjukkan bahwa kualitas hidup

Jurnal Nasional Ilmu Kesehatan (JNIK) LP2M Unhas, Vol 1, Juni 2018 12
lebih menekankan pada penilaian secara kognitif dan mencakup tentang aspek-aspek
kehidupan tertentu yang dimaknai secara berbeda oleh setiap individu. Oleh karena
itu, untuk melihat penilaian individu tentang kualitas kehidupannya perlu dilakukan
pengukuran kebahagiaan secara umum dan pengukuran kualitas hidup yang lebih
spesifik pada aspek-aspek kehidupan yang dianggap penting oleh individu, sehingga
walaupun kebahagiaan merupakan bagian dari kualitas hidup, peneliti melihat perlu
dilakukan pengukuran yang berbeda untuk keduanya.

E. SIMPULAN

1. Ada pengaruh faktor fisik terhadap kualitas hidup di Kelurahan Karubaga Distrik
Karubaga Kabupaten Tolikara. Bila dilihat dari nilai (p-value <0,001; RP = 4,030;
CI95% = 2,120 – 7,664).
2. Ada pengaruh faktor psikologis terhadap kualitas hidup di Kelurahan Karubaga
Distrik Karubaga Kabupaten Tolikara. Bila dilihat dari nilai (p-value <0,001;RP =
4,788; CI95% = 2,560 – 8,955).
3. Ada pengaruh faktor sosial terhadap kualitas hidup di Kelurahan Karubaga Distrik
Karubaga Kabupaten Tolikara. Bila dilihat dari nilai (p-value <0,001; RP = 7,875;
CI95%= 4,342 – 14,282)
4. Ada pengaruh faktor lingkungan terhadap kualitas hidup di Kelurahan Karubaga
Distrik Karubaga Kabupaten Tolikara. Bila dilihat dari nilai (p-value <0,001; RP =
23,324; CI95% = 5,591 – 89,125).
5. Faktor dominan terhadap kualitas hidup di Kelurahan di Kelurahan Karubaga Distrik
Karubaga Kabupaten Tolikara adalah faktor lingkungan.

F. SARAN

1. Bagi Pemerintah Daerah


a. Penambahan dan peningkatan Pembangunan sarana dan prasarana sebagai tempat
yang dapat menunjang kenyamanan dan kreatifitas serta pengembangan diri dalam
meningkatkan kualitas hidup masyarakat kelurahan karubaga.
b. Meningkatkan sarana transportasi dan jalan agar masyarakat lebih mudah
mengakses pelayanan kesehatan.
c. Pembangunan infrastruktur dengan penyediaan sarana listrik, sehingga masyarakat
dapat mengakses informasi dengan mudah melalui radio dan televisi.
d. Peningkatan pendidikan bagi masyarakat yang tidak sekolah dan putus sekolah
dengan kelas paket belajar, agar dapat menurunkan angka buta melek huruf yang
dapat meningkatkan wawasan pengetahuan masyarakat melalui membaca.
2. Bagi peneliti selanjutnya
Menambah variabel sosial ekonomi, keterjangkauan akses pelayanan serta
indikator kesejahteraan sehingga dapat menjawab permasalahan yang lebih kompleks
terhadap kualitas hidup.

Jurnal Nasional Ilmu Kesehatan (JNIK) LP2M Unhas, Vol 1, Juni 2018 13
G. DAFTAR PUSTAKA

Bonomi, Amy E.,dkk. 2000. Validation of the United States Version of The World Health
Organization Quality of Life (WHOQOL) Instrument. Journal of Clinical Epidemiology
53.

Brown, Jackie, dkk. 2004. Models of Quality of Life: Taxonomy, Overview and Systematic
Review of Literatur. European Forum on Population Ageing Research.

Balai Pusat Statistik. 2014. Indeks Pembangunan Manusia Kabupaten Tolikara. Kabupaten
Tolikara.

Dinas Kesehatan Kabupaten Tolikara. 2014. Profil Kesehatan Dinas Kesehatan


Kabupaten Tolikara. Kabupaten Tolikara.

Dockery, M.A. (2004). Happiness, life satisfaction and the role of work: Evidence from two
Australian surveys.

Dowling, M. (2005). Homeostatis and Well Being. Diakses pada tanggal 24 Oktober 2016
dari http:// www.economics.smu.edu.sg.

Duffy, Karen G. & Atwater, E. (2004). Psychology for Living: Adjustment, Growth, and
Behavior Today 8th Ed. New Jersey: Pearson Education, Inc.

De Haan R., Aaronson N., Limburg M., Hewer R.L., and van Crevel H.1993. Measuring
quality of life in stroke. Stroke. 24:320-327.

Eddington, N. dan Shuman, R. (2005). Subjective Well Being (Happiness).

Fayers P.M., Machin D. (eds). 2007. Quality of Life: the assessment, analysis, and
interpretation of patient-reported outcomes. 2nd ed. England: Jhon Wiley & Sons Ltd,
pp: 4-5.

Hamid. 2000. Aspek Spiritual dalam Keperawatan. Jakarta : Widya Medika

Harmaini F. 2006. Uji Keandalan dan Kesahihan Formulir European Quality of Life – 5
Dimensions (EQ-5D) untuk Mengukur Kualitas Hidup Terkait Kesehatan pada Usia
Lanjut di RSUPNCM. Indonesia. Universitas Indonesia. Tesis.

Handayani S, 2010. Kamus Ilmiah Bahasa Indonesia. Jakarta: Arcan.

Hoyer. 2003. Adult Development Aging, 5th edition. New York : Mc Grow Hill

Hurlock. 2002. Psikologi Perkembangan : Suatu pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan.


Edisi Kelima (terjemahan). Jakarta : Erlangga.
Kementrian Kesehatan RI. 2014. Peraturan Men teri Kesehatan no.97tahun 2014 tentang
Pelayanan Kesehatan. Jakarta.

Jurnal Nasional Ilmu Kesehatan (JNIK) LP2M Unhas, Vol 1, Juni 2018 14
Larasati. 2012. Kualitas Hidup Wanita Menapouse.
www.gunadarma.ac.id/library/articles/.../Artikel_10504128.pdf. Tanggal 24 Oktober
2016. Jam 01.05 WIT

Lemme. 1995. Development in Adulthood. USA: Allyn&Bacon.

Notoatmodjo. 2010.Metodologi Penelitian Kesehatan.Jakarta:PT.Rineka Cipta.

, 2011. Kesehatan Masyarakat, Ilmu dan Seni. Rineka Cipta, Jakarta.


Novita Kurnia Sari. 2013. Status gizi, Penyakit Kronis, dan konsumsi obat terhadap kualitas
hidup dimensi kesehatan hidup Lansia. Artikel Ilmiah. Ilmu Gizi Fakultas Kedokteran
Universitas Diponegoro Semarang.

Nofitri, N. F. M. (2009). Gambaran Kualitas Hidup Penduduk Dewasa di Jakarta. Skripsi.


Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia.

R.Khairiyatul Afiyah. 2010. Kualitas Hidup perempuan yang mengalami Histerektomi serta
faktor-faktor yang mempengaruhinya di wilayah DKI Jakarta-Study Grounded Theory.
Tesis. Depok : Program Studi Magister Fakultas Keperawatan Universitas Indonesia.

Renwick. 2000. Quality of Life Concepts.


http://www.utoronto.ca/qol/profile/adultversion.htm. Tanggal 31 Oktober 2016. Jam
05.15 WIT.

Samuelson, P.A. 2001. Ilmu Makro Ekonomi. Jakarta : PT Media Global Edukasi

Sekarwiri. 2008. Hubungan antara Kualitas Hidup dengan Sense Of Community pada Warga
DKI yang tinggal di Daerah Rawan Banjir. Skripsi. Fakultas Psikologi. Depok :
Universitas Indonesia

Susanto A, 2013. Kesehatan Reproduksi. http://www.fk_ui.co.id. diakses 2 Desember 2016.

Sugiyono. 2009. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D. Bandung : Alfabeta.

Santrock, Jhon W. 2002. Life Span Development : Perkembangan Masa Hidup. Jilid 2 Edisi
Kelima (terjemahan). Jakarta: Erlangga.

Titisari Raharjo. 2008. Hubungan Dukungan Sosial dengan Kualitas Hidup pada Lanjut Usia.
Skripsi Fakultas Psikologi. Universitas Airlangga. Tidak dipublikasikan.
Wardhani, Vini. (2006). Gambaran Kualitas Hidup Dewasa Muda Berstatus Lajang melalui
Adaptasi Instrumen WHOQOL-BREF dan SRPB. Thesis. Depok: Pascasarjana Fakultas
Psikologi Universitas Indonesia.

World Health Organization. 2010. WHO Quality of Life-BREF (WHOQOL-BREF).


http://www.who.int/substance abuse/research tools/whoqolbref/en/. Tanggal 31
Oktober 2016. Jam 23.58 WIT.

Yuliati,et.al. 2011. Perbedaan Kualitas Hidup Lansia yang Tinggal di Komunitas dengan di
Pelayanan Sosial Lanjut Usia. Bagian Epidemiologi dan Biostatistika Kependudukan,

Jurnal Nasional Ilmu Kesehatan (JNIK) LP2M Unhas, Vol 1, Juni 2018 15
Fakultas Kesehatan Masyarakat Bagian Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku. Fakultas
Kesehatan Masyarakat. Universitas Jember.

Jurnal Nasional Ilmu Kesehatan (JNIK) LP2M Unhas, Vol 1, Juni 2018 16
Terjemahan Abstrak
Latar Belakang : Kualitas hidup adalah persepsi individu tentang posisinya dalam
kehidupan berdasarkan budaya, sistem nilai yang berkaitan dengan tujuan hidup,
harapan, standar dan semua yang terkait. Masalah yang berhubungan dengan kualitas
hidup adalah status kesehatan fisik, status fisiologis, sosial pribadi dan lingkungan.
Tujuan : Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi
kualitas hidup masyarakat Kecamatan Karubaga Kabupaten Tolikara.
Metode : Penelitian ini merupakan penelitian cross sectional, di Dinas Kesehatan
Kabupaten Tolikara. Populasi adalah seluruh masyarakat Kabupaten Karubaga yang
berusia antara 18 sampai dengan 40 tahun. Data diperoleh dari kuisioner dan dianalisis
dengan uji chi-square.
Hasil : Kualitas hidup masyarakat Kabupaten Karubaga dipengaruhi oleh faktor fisik (p-
value 0,000; RP= 4.030; CI95% = 2.120 – 7.664), faktor fisiologis (p-value 0,000; RP=
4.788; CI95% = 2.560 – 8.955), faktor sosial (p-value 0,000; RP= 7.875; CI95%= 4.342
–14.282) dan faktor lingkungan (p-value 0,000; RP= 23.324; CI95%= 5.591 – 89.125).
Faktor dominan yang mempengaruhi kualitas hidup masyarakat Kabupaten Karubaga
adalah faktor lingkungan.
Key Words : Physical, Phsicology, Social, Environment, Quality of Life.

Sinopsis Jurnal Ketujuh


Kualitas hidup adalah persepsi individual terhadap posisinya dalam kehidupan, dalam konteks
budaya, sistem nilai dimana mereka berada dan hubungannya terhadap tujuan hidup, harapan,
standar, dan lainnya yang terkait. Masalah yang mencakup kualitas hidup sangat luas dan kompleks
termasuk masalah kesehatan fisik, status psikologik, tingkat kebebasan, hubungan sosial dan
lingkungan dimana mereka berada (World Health Organization, 2012).

Definisi sehat menurut World Health Organization (WHO) adalah suatu keadaan dimana tidak
hanya terbebas dari penyakit atau kelemahan, tetapi juga adanya keseimbangan antara fungsi fisik,
mental, dan sosial. Sehingga pengukuran kualitas hidup yang berhubungan dengan kesehatan
meliputi tiga bidang fungsi yaitu: fisik, psikologi (kognitif dan emosional), dan sosial. Sampai saat
ini faktor penyebab turunnya kualitas hidup pada manusia baik secara sendiri-sendiri maupun
bersama-sama belum diketahui secara pasti. Masalahnya antara lain sulitnya melakukan penelitian
terhadap manusia untuk mencari hubungan sebab-akibat. Diakui masalahnya sangat kompleks dan
banyak faktor (multifaktorial) yang berpengaruh terhadap kualitas hidup manusia.

Berdasarkan uraian diatas, maka peneliti bermaksud melakukan penelitian tentang faktor-faktor
yang mempengaruhi kualitas hidup masyarakat Kabupaten Tolikara yang dinilai dengan kuesioner
World Health Organization Quality Of Life-BREF (WHOQOL-BREF). Hal ini berdasarkan
kesesuaian sampel yang akan diuji, kehandalan dan kepraktisan instrumen ini. Dengan mengetahui
kualitas masyarakat Kabupaten Tolikara diharapkan akan berguna dalam perencanaan dan
pelaksanaan pelayanan kesehatan baik preventif, kuratif, rehabilitatif, maupun promotif.

Penelitian ini merupakan penelitian cross sectional dengan mengidentifikasi dan mengukur
kualitas hidup masyarakat Distrik Karubaga Kabupaten Tolikara pada waktu hanya satu kali tanpa
melakukan follow up. Penelitian dilakukan mulai tanggal 1 Januari 2017 sampai dengan 30 Januari
2017 di Distrik Karubaga, Kabupaten Tolikara, di area kota Karubaga di khususkan pada 1 kelurahan
di lokasi di mana masyarakat banyak berkumpul seperti tempat ibadah, kantor distrik, rumah sakit,
puskesmas. Penelitian difokuskan pada identifikasi dan pengukuran kualitas hidup masyarakat di
distrik Karubaga Kabupaten Tolikara kemudian dihubungkan dengan faktor fisik, faktor psikologis,
faktor sosial dan faktor lingkungan. Data diperoleh menggunakan kuesioner dan dianalisis
mengunakan chi square dan regresi binari logistik.

Dari penelitian yang diperoleh dari identifikasai dan pengukuran kualitas hidup masyarakat di
distrik Karubaga Kabupaten Tolikara, dapat disimpulkan faktor yang mempengaruhi kualitas hidup
yaitu :
1. Ada pengaruh faktor fisik terhadap kualitas hidup di Kelurahan Karubaga Distrik Karubaga
Kabupaten Tolikara. Bila dilihat dari nilai (p-value <0,001; RP = 4,030; CI95% = 2,120 – 7,664).
2. Ada pengaruh faktor psikologis terhadap kualitas hidup di Kelurahan Karubaga Distrik Karubaga
Kabupaten Tolikara. Bila dilihat dari nilai (p-value <0,001;RP = 4,788; CI95% = 2,560 – 8,955).
3. Ada pengaruh faktor sosial terhadap kualitas hidup di Kelurahan Karubaga Distrik Karubaga
Kabupaten Tolikara. Bila dilihat dari nilai (p-value <0,001; RP = 7,875; CI95%= 4,342 – 14,282)
4. Ada pengaruh faktor lingkungan terhadap kualitas hidup di Kelurahan Karubaga Distrik Karubaga
Kabupaten Tolikara. Bila dilihat dari nilai (p-value <0,001; RP = 23,324; CI95% = 5,591 –
89,125).
5. Faktor dominan terhadap kualitas hidup di Kelurahan di Kelurahan Karubaga Distrik Karubaga
Kabupaten Tolikara adalah faktor lingkungan.

Dari penelitian ini ada beberapa saran yang dapat disampaikan kepada pemerintah daerah, dan
peniliti selanjutnya, yaitu :
1. Bagi Pemerintah Daerah
a. Penambahan dan peningkatan Pembangunan sarana dan prasarana sebagai tempat yang dapat
menunjang kenyamanan dan kreatifitas serta pengembangan diri dalam meningkatkan kualitas
hidup masyarakat kelurahan karubaga.
b. Meningkatkan sarana transportasi dan jalan agar masyarakat lebih mudah mengakses pelayanan
kesehatan.
c. Pembangunan infrastruktur dengan penyediaan sarana listrik, sehingga masyarakat dapat
mengakses informasi dengan mudah melalui radio dan televisi.
d. Peningkatan pendidikan bagi masyarakat yang tidak sekolah dan putus sekolah dengan kelas
paket belajar, agar dapat menurunkan angka buta melek huruf yang dapat meningkatkan
wawasan pengetahuan masyarakat melalui membaca.
2. Bagi peneliti selanjutnya
Menambah variabel sosial ekonomi, keterjangkauan akses pelayanan serta indikator
kesejahteraan sehingga dapat menjawab permasalahan yang lebih kompleks terhadap kualitas
hidup.
Journal of Nutrition and Food, 2011, 6(1): 59–65 Jurnal Gizi dan Pangan, 2011, 6(1): 59–65

FAKTOR-FAKTOR SOSIAL EKONOMI DAN KESEHATAN MASYARAKAT KAITANNYA


DENGAN MASALAH GIZI UNDERWEIGHT, STUNTED, DAN WASTED DI INDONESIA:
PENDEKATAN EKOLOGI GIZI
(Socioeconomic and Public Health Factors Related to Underweight, Stunted, and Wasted in
Indonesia: Eco-nutrition Approach)

Dian Hani Ulfani1, Drajat Martianto1, dan Yayuk Farida Baliwati1*


1 Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor, Bogor 16680.
* Alamat korespondensi: Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian
Bogor, Bogor 16680. Telp: 0251-8621258; Fax: 0251-8622276; E-mail: yayuk_gm@yahoo.com

ABSTRACT

Malnutrition is an ecological problem in the sense influenced by various aspects, as


explained in the framework of UNICEF (1988). Indonesia as developing country at present
still faced such a problem. Eco-nutrition is important to understand related factors affecting
malnutrition in Indonesia to find out more effective programs. Eco-nutrition have three key
areas : public health (access to quality water, sanitation and health services), socio economic
(livelihood assets) and malnutrition. The purpose of this research was to study the linkages
between socioeconomic and public health factors with the problem of underweight, stunted,
and wasted in Indonesia.This research was conducted using cross-sectional study design,
analyzed the 424 districts/cities in Indonesia. Data prevalence of underweight, stunted,
wasted, level of education and public health factors (access to quality water, hygiene
behavior, utilization of Posyandu, complete immunization coverage, incidence of diarrhea,
and the incidence of acute respiratory infections (ARI) obtained from Riset Kesehatan Dasar
(Riskesdas ) 2007. Socio-economic data (level of poverty and GDP/capita) obtained from the
Central Statistic Agency (BPS). Statistical test of Pearson correlation and stepwise linear
regression method were implemented to understand factors affecting underweight, stunted,
wasted and correlation among variables. The study shows that factors affecting underweight
were educational level, poverty level, hygiene behavior and use of Posyandu. While factors
affecting stunted were GDP/capita, education level, poverty level, hygiene behavior, and
utilization of Posyandu. Factors affecting wasted were hygiene behavior, utilization of
Posyandu and complete immunization.
Key words: underweight, stunted, wasted, socioeconomic factors, public health, eco-
nutrition

Terjemahan Abstract
Abstrak

Gizi buruk merupakan masalah ekologi dalam arti dipengaruhi oleh berbagai
aspek, sebagaimana dijelaskan dalam kerangka kerja UNICEF (1988). Indonesia
sebagai negara berkembang saat ini masih menghadapi masalah tersebut. Eco-
nutrition penting untuk memahami faktor-faktor terkait yang mempengaruhi
malnutrisi di Indonesia untuk mengetahui program yang lebih efektif. Eko-nutrisi
memiliki tiga bidang utama: kesehatan masyarakat (akses ke air berkualitas, sanitasi dan
layanan kesehatan), sosial ekonomi (aset mata pencaharian) dan malnutrisi. Tujuan
penelitian ini adalah untuk mempelajari hubungan antara faktor sosial ekonomi dan
kesehatan masyarakat dengan masalah gizi kurang, stunting, dan wasting di
Indonesia. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan desain studi potong lintang,
menganalisis 424 kabupaten/kota di Indonesia. Data prevalensi gizi kurang, stunting,
wasting, tingkat pendidikan dan faktor kesehatan masyarakat (akses air bersih, perilaku
hidup bersih, pemanfaatan posyandu, cakupan imunisasi lengkap, kejadian diare, dan
kejadian infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) diperoleh dari Riset Kesehatan Dasar
(Riskesdas) 2007. Data sosial ekonomi (tingkat kemiskinan dan PDRB/kapita) diperoleh
dari Badan Pusat Statistik (BPS) Uji statistik korelasi Pearson dan metode regresi linier
bertahap dilakukan untuk memahami faktor-faktor yang mempengaruhi berat badan
59
Jurnal Gizi dan Pangan, 2011, 6(1): 59–65 Journal of Nutrition and Food, 2011, 6(1): 59–65

kurang, stunting, pemborosan dan korelasi antar variabel Hasil penelitian menunjukkan
bahwa faktor yang mempengaruhi berat badan kurang adalah tingkat pendidikan, tingkat
kemiskinan, perilaku hidup bersih dan pemanfaatan posyandu, sedangkan faktor yang
mempengaruhi stunting adalah PDRB/kapita, tingkat pendidikan, tingkat kemiskinan,
perilaku hidup bersih, dan pemanfaatan posyandu. Faktor yang mempengaruhi wasting
adalah perilaku hidup bersih, pemanfaatan posyandu dan imunisasi lengkap.
Key words: underweight, stunted, wasted, socioeconomic factors, public health, eco-
nutrition

PENDAHULUAN 36.8%. Sebanyak 25 provinsi mempunyai preva-


lensi wasted di atas prevalensi nasional.
Masalah gizi kurang yang terjadi di
Masalah gizi merupakan masalah ekolo-
Indonesia yaitu kurang energi protein (KEP).
gi, karena adanya interaksi antara berbagai
KEP merupakan masalah gizi kurang akibat
faktor lingkungan, baik fisik, sosial, ekonomi,
konsumsi pangan tidak cukup mengandung
budaya maupun politik (Jelliffe and Jelliffe,
energi dan protein serta karena gangguan ke-
1989). Secara operasional, faktor-faktor yang
sehatan. Manifestasi KEP ditentukan dengan
menjadi pencetus timbulnya masalah gizi dian-
pengukuran status gizi (Rimbawan & Baliwati,
taranya kemiskinan, daya beli, pengetahuan
2004). Berdasarkan pengukuran status gizi ter-
gizi, besar keluarga, kebiasaan makan, dan
dapat kategori status gizi balita KEP yaitu un-
faktor lainnya (Suhardjo, 1989). Selain itu, di-
derweight (BB/U), wasted atau kekurusan
pengaruhi juga oleh status kesehatan (penyakit
(BB/TB), dan stunted atau pendek (TB/U).
menular/infeksi).
Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas)
tahun 2007, sebanyak 19 provinsi mempunyai Jika permasalahan kurang gizi tidak se-
prevalensi underweight di atas prevalensi nasi- gera diatasi, maka akan berdampak pada ke-
onal. Prevalensi balita stunted, masih ditemu- matian anak, penurunan kemampuan belajar,
kan di 17 provinsi di Indonesia yang memiliki kemampuan kognitif, anggaran pencegahan
prevalensi di atas prevalensi nasional yaitu dan perawatan yang meningkat dan penurunan
produktivitas kerja. Oleh karena itu, perlu dia-

60
Journal of Nutrition and Food, 2011, 6(1): 59–65 Jurnal Gizi dan Pangan, 2011, 6(1): 59–65

nalisis faktor-faktor yang berkaitan dengan Pengolahan dan Analisis Data


masalah kurang gizi (underweight, stunted,
Data yang diperoleh dan terkumpul dia-
dan wasted) berdasarkan pendekatan ekologi
nalisa dengan menggunakan Microsoft excel
gizi, sehingga permasalahan gizi kurang terse-
2007 for windows dan SPSS 16.0 for windows.
but dapat segera dicegah dan diatasi. Tiga ka-
Tahap pengolahan data pertama adalah clean-
ta kunci dalam pendekatan ekologi gizi yaitu:
ing dan pengeditan data yang sudah ada, ke-
1) akses terhadap air bersih, pelayanan kese-
mudian dipilih berdasarkan variabel yang akan
hatan; 2) aset ekonomi dan sosial sebagai cer-
diteliti. Data prevalensi masalah gizi under-
minan akses pangan secara sosial ekonomi; 3)
weight, stunted, dan wasted dikategorikan
kurang gizi (Crahay et al. 2010; Kinabo, 2010).
berdasarkan pengkategorian prevalensi dari
Faktor-faktor yang akan dianalisis adalah akses
WHO 1995.
pangan secara sosial ekonomi (Produk Domes-
tik Regional Bruto/PDRB, tingkat pendidikan Tingkat pendidikan diperoleh dari per-
dan tingkat kemiskinan), aspek kesehatan sentase ibu balita yang menempuh pendidikan
masyarakat (akses air bersih, pemanfaatan minimal SMA di tiap-tiap kabupaten/kota. Data
posyandu, cakupan imunisasi lengkap, kejadian PDRB/kapita tanpa migas dan tingkat kemis-
diare, kejadian ISPA dan perilaku higiene*. kinan kabupaten/kota langsung dikategorikan
berdasarkan interval kelas.
Penelitian ini bertujuan untuk mempela-
jari keterkaitan antara faktor-faktor sosial Perilaku higiene ditentukan berdasarkan
ekonomi dan kesehatan masyarakat dengan pertanyaan perilaku mencuci tangan memakai
masalah gizi underweight, stunted, dan wast- sabun (sebelum makan, sebelum menyiapkan
ed di Indonesia. makanan, setelah memegang binatang, dan se-
telah buang air besar), tempat buang air besar
yang benar yaitu di jamban, dan memasak air
METODE sebelum dikonsumsi. Rumah tangga dikatakan
memiliki perilaku higiene yang baik jika ja-
Desain, Waktu dan Tempat waban dari pertanyaan-pertanyaan tersebut
“ya” (benar). Klasifikasi perilaku higiene dite-
Penelitian ini dilaksanakan dengan meng
tapkan berdasarkan interval kelas untuk rumah
gunakan desain penelitian cross-sectional de-
tangga yang berperilaku higiene yang baik.
ngan menganalisis determinan masalah gizi ku-
rang. Data yang digunakan adalah data sekun- Untuk akses air bersih, rumah tangga di-
der dari Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) katakan akses air bersihnya baik jika tidak ada
2007, data PDRB/kapita tanpa migas dan ting- pencemar dalam radius <10m dari sumber air,
kat kemiskinan dari Badan Pusat Statistik Indo- air tidak keruh, tidak berwarna, tidak berbau,
nesia 2007. Pengolahan, analisis dan interpret- tidak berasa, dan tidak berbusa, jarak mem-
asi data dilakukan bulan Mei - Agustus 2010 di peroleh air < 1km, waktu untuk memperoleh
Kampus IPB Darmaga Bogor, Jawa Barat. air < 30 menit dan mudah dalam memperoleh
air sepanjang tahun. Klasifikasi akses air bersih
Jumlah dan Cara Pengambilan Contoh ditetapkan berdasarkan interval kelas untuk
rumah tangga yang memiliki akses air bersih
Penelitian ini menggunakan sampel yang
yang baik.
digunakan dalam Riset Kesehatan Dasar (Ris-
kesdas) 2007. Balita yang digunakan sebagai Untuk pemanfaatan posyandu, dihitung
contoh sebanyak 79,479 yang berasal dari 424 persentase rumah tangga yang memanfaatkan
kabupaten/kota di 32 propinsi. posyandu selama 3 bulan terakhir di masing-
masing kabupaten/kota. Untuk cakupan imuni-
Jenis dan Cara Pengumpulan Data sasi lengkap (BCG 1 kali, polio 3 kali, DPT 3 ka-
li, campak 1 kali dan hepatitis 3 kali), dilihat
Data yang digunakan dalam penelitian
dari persentase balita yang diimunisasi lengkap
ini seluruhnya merupakan data sekunder. Data
di masing-masing kabupaten/kota.
diperoleh dari Riset Kesehatan Dasar (Riskes-
das) 2007 diantaranya data masalah gizi under- Kejadian ISPA dan diare ditentukan oleh
weight, stunted dan wasted, tingkat pendidik- pernah tidaknya didiagnosis menderita ISPA
an, perilaku higiene, akses air bersih, peman- dan diare dalam 1 bulan terakhir oleh tenaga
faatan posyandu, cakupan imunisasi lengkap, kesehatan. Kemudian dihitung persentase bali-
kejadian ISPA dan kejadian diare. PDRB/kapita ta menderita diare dalam 1 bulan terakhir pa-
tanpa migas dan tingkat kemiskinan diperoleh da setiap kabupaten/kota.
dari Badan Pusat Statistik (BPS).
Setelah didapatkan persentase dari ma-
sing-masing variabel, dilakukan pengkategori-

61
Jurnal Gizi dan Pangan, 2011, 6(1): 59–65 Journal of Nutrition and Food, 2011, 6(1): 59–65

an berdasarkan interval kelas dengan perhi- prevalensi underweight (BB/U) sedang berda-
tungan sebagai berikut (Slamet, 1993): sarkan standar klasifikasi masalah gizi WHO
(1995). Rata-rata prevalensi underweight ada-
Interval kelas = Range lah 20.27±7.3182%. Kabupaten/kota yang me-
Jumlah kelas miliki prevalensi underweight tertinggi adalah
Kabupaten Aceh Tenggara, Propinsi Nangroe
Range = skor tertinggi – skor terendah
Aceh Darusalam (48.8%).
Tabel 1. Cara Pengklasifikasian Variabel Prevalensi stunted (TB/U) kabupaten/
No. Variabel Klasifikasi
kota di Indonesia, sebagian besar berada pada
1. Rendah (<10)
tingkat sangat tinggi (42.7%) dengan rata-rata
2. Sedang (10-19) prevalensi stunted adalah 38.45±9.11%. Kabu-
1 Underweight
3. Tinggi (20-29) paten/kota yang memiliki prevalensi stunted
4. Sangat tinggi (≥30) tertinggi adalah Kabupaten Seram Bagian Ti-
1. Rendah (<20) mur (67.9%), Propinsi Maluku. Menurut Salimar
2. Sedang (20-29)
2 Stunted
3. Tinggi (30-39) et al. (2009), prevalensi balita pendek terting-
4. Sangat tinggi ≥40) gi berada di pedesaan (65.1%), karena sebagi-
1. Rendah (<5) an besar balita berada di pedesaan di empat
3 Wasted
2. Sedang (5-9) wilayah (Sumatera, Bali dan Indonesia Timur,
3. Tinggi (10-14) Kalimantan dan Sulawesi) di Indonesia.
4. Sangat tinggi (≥15)

Tingkat
1. Rendah (<17%) Sebagian besar kabupaten/kota memiliki
4 Pendidikan 2. Sedang (17-34.9%) prevalensi wasted (BB/TB) sangat tinggi, yaitu
3. Tinggi (>34.9%)
sebanyak 206 kabupaten/kota (48.6%). Berda-
1. Rendah (<94,832,000)
PDRB/kapita
2. Sedang (94,832,000-188,535,000) sarkan Riskesdas 2007, prevalensi wasted nasi-
5 wilayah
3. Tinggi (>188,535,000) onal adalah 13.6%, tetapi pada penelitian ini
1. Rendah (<10%) ditemukan kabupaten/kota yang mempunyai
Tingkat
6 kemiskinan 2. Sedang (10-20%) prevalensi stunted di atas prevalensi nasional
3. Tinggi (>20%) dan lebih besar dari 15% (WHO 1995). Rata-
1. Rendah (<19.8%)
7
Perilaku
2. Sedang (19.9-39.6%)
rata prevalensi stunted adalah 15.21±5.99%.
sehat
3. Tinggi (>39.6%) Target Millenium Development Goals
1. Rendah (<33%) (MDGs) Indonesia tahun 1990-2015 adalah me-
Akses air
8 2. Sedang (33-62%)
bersih
3. Tinggi (>62%) nurunkan proporsi penduduk yang menderita
1. Rendah (<38.6%) kelaparan menjadi setengahnya antara tahun
9 Posyandu 2. Sedang (38.6-68.3%) 1990 sampai tahun 2015. Indikator yang dipa-
3. Tinggi (>68.3%) kai dalam pencapaian target tersebut adalah
1. Rendah (<25.7%) persentase anak-anak berusia di bawah 5 ta-
10 Imunisasi 2. Sedang (25.7-51.5%)
3. Tinggi (>51.5%)
hun yang mengalami gizi kurang (moderate
1. Rendah (<29.4%)
underweight) mencapai 18.5% (Bappenas,
11 ISPA 2. Sedang (29.4-58.4%) 2007). Target Rencana Pembangunan Jangka
3. Tinggi (>58.4%) Menengah (RPJM) Indonesia tahun 2015 untuk
1. Rendah (<31%) program perbaikan gizi adalah 20%. Bila diban-
12 Diare 2. Sedang (31-61.4%) dingkan dengan target-target tersebut, maka
3. Tinggi (>61.4%)
secara nasional Indonesia telah melampaui tar-
get. Hal tersebut terlihat pada prevalensi se-
Analisis hubungan variabel bebas dan ti-
bagian kabupaten/kota berada pada tingkat
dak bebas menggunakan uji korelasi Pearson.
sedang (10-19%).
Besarnya pengaruh variabel bebas karakteristik
sosial ekonomi, perilaku higiene serta akses air
PDRB/kapita
bersih, dan status kesehatan terhadap variabel
tidak bebas masalah gizi underweight, stunt- PDRB/kapita yang dipakai dalam peneli-
ed, dan wasted diuji dengan uji analisis regresi tian ini adalah PDRB yang berasal dari sektor
linear berganda metode stepwise. usaha: pertanian, industri pengolahan, listrik,
gas, dan air bersih, bangunan (konstruksi),
perdagangan, hotel dan restoran, pengangkut-
HASIL DAN PEMBAHASAN an dan komunikasi, keuangan, persewaan dan
jasa perusahaan, dan jasa-jasa termasuk pela-
Prevalensi Kurang Gizi di Indonesia. yanan pemerintah, kecuali sektor usaha peng-
galian dan pertambangan. Sebagian besar ka-
Berdasarkan hasil penelitian, lebih dari
bupaten/kota (72.1%) memiliki PDRB/kapita
separuh kabupaten/kota di Indonesia memiliki
yang rendah, dimana nilai PDRB/kapitanya ku-

62
Jurnal Gizi dan Pangan, 2011, 6(1): 59–65 Journal of Nutrition and Food, 2011, 6(1): 59–65

rang dari Rp 12,128,150. Rata-rata kabupaten/ Pemanfaatan posyandu


kota memiliki PDRB/kapita sebesar Rp Pemanfaatan posyandu di Indonesia ma-
10,999,150 ± 8502.22. Perbedaan nilai PDRB di sih berada pada tingkat sedang, dimana 38-68%
kabupaten/kota dikarenakan adanya perbeda- rumah tangga memanfaatkan posyandu dalam
an sumber daya alam dan pemanfaatannya 3 bulan terakhir. Posyandu dapat dimanfaat-
dalam mendukung kegiatan perekonomian di kan oleh penduduk sebagai sarana untuk me-
wilayah tersebut. mantau pertumbuhan anak. Penimbangan bu-
lanan yang dilaksanakan di posyandu merupa-
Tingkat kemiskinan kan sarana melakukan aksi koreksi secara dini
Sebanyak 39.2% kabupaten/kota di Indo- jika terjadi gangguan pertumbuhan terhadap
nesia tingkat kemiskinannya tinggi. Rata-rata anak sehingga tidak berkembang menjadi gizi
tingkat kemiskinan di kabupaten/kota di Indo- kurang atau gizi buruk.
nesia sebesar 18.41±10.46%. Masalah kemiskin-
an akan berdampak pada kurangnya akses Cakupan imunisasi lengkap
masyarakat terhadap pemenuhan kebutuhan Sama halnya dengan pemanfaatan pos-
pangan maupun pelayanan kesehatan. Jumlah yandu, pemanfaatan imunisasi berada pada
orang miskin mencerminkan kelompok yang tingkat sedang. Terdapat 204 kabuapaten/kota
tidak mempunyai akses pangan, jika persenta- di Indonesia, hanya sekitar 26-52% rumahtang-
senya lebih dari 20%, maka akses pangannya ga yang memanfaatkan imunisasi lengkap (BCG
termasuk dalam kategori rendah. Kemiskinan 1 kali, polio 3 kali, DPT 3 kali, campak 1 kali
merupakan indikator ketidakmampuan untuk dan Hepatitis B 3 kali). Hasil penelitian me-
mendapatkan cukup pangan, karena rendahnya nunjukkan jenis imunisasi yang umumnya be-
kemampuan daya beli atau hal ini mencermin- lum lengkap diberikan kepada balita adalah
kan ketidakmampuan untuk memenuhi kebu- imunisasi DPT, hepatitis B, polio dan campak.
tuhan dasar, seperti, makanan, pakaian, peru-
mahan, pendidikan, dan lain-lain (BKP, 2008). Tingkat Kesehatan
Status kesehatan penduduk di suatu wi-
Tingkat pendidikan layah dapat dilihat dari kejadian penyakit
Tingkat pendidikan ibu yang rendah ma- infeksi seperti infeksi saluran pernapasan akut
sih terdapat di 193 kabupaten/kota di Indone- (ISPA) dan diare. Sebagian besar kabupa-
sia (Tabel 4). Hal tersebut sejalan dengan pe- ten/kota di Indonesia memiliki tingkat kejadi-
nelitian Permanasari et al pada tahun 2009, an ISPA dan diare yang rendah. Rata-rata ke-
persentase pendidikan ibu yang kurang dari jadian ISPA dan diare berturut-turut adalah
SLTA adalah sebesar 49.4%. 11.77±7.45% dan 17.13±11.61%.

Menurut Atmarita dan Fallah (2004) ting- Faktor-faktor yang Mempengaruhi Masalah
kat pendidikan yang lebih tinggi akan memu- Kurang Gizi
dahkan seseorang untuk mengimplementasikan
pengetahuannya dalam perilaku khususnya da- Faktor-faktor yang mempengaruhi under-
lam hal kesehatan dan gizi. Dengan demikian, weight
pendidikan ibu yang relatif rendah akan ber- Berdasarkan analisis korelasi Pearson,
kaitan dengan sikap dan tindakan ibu dalam diketahui bahwa faktor-faktor yang berhu-
menangani masalah kurang gizi pada anak bungan dengan underweight adalah PDRB/
balitanya. kapita, tingkat pendidikan, tingkat kemiskin-
an, perilaku higiene, akses air bersih, peman-
Akses terhadap kesehatan faatan posyandu, imunisasi lengkap, dan keja-
dian diare.
Akses air bersih
Akses air bersih rumah tangga tergolong Dengan analisis regresi linier (step-wise
sedang (67.2%) atau hanya 33-62% rumah tang- regression) diketahui pengaruh dari setiap fak-
ga di wilayah kabupaten/kota yang memiliki tor tersebut. Berdasarkan hasil analisis regresi
akses air bersih dengan rata-rata 52.35 ± 14.27 diketahui bahwa tingkat pendidikan, tingkat
%. Jika dilihat dari indikator akses air bersih, kemiskinan, perilaku higiene, dan pemanfaat-
masih terdapat kabupaten/kota yang sekitar an posyandu berpengaruh terhadap under-
50% rumah tangganya memiliki sumber air ber- weight (BB/U). Persamaan liniernya adalah
dekatan dengan pencemar (jarak kurang dari sebagai berikut:
10m), kemudian masih terdapat rumah tangga Y1 = 27.593 – 0.107X2 + 0.123X3 – 0.170X4 – 0.056X6
yang kesulitan memperoleh air sepanjang Y1 : prevalensi underweight (BB/U)
tahun. X2 : tingkat pendidikan
X3 : tingkat kemiskinan

62
Journal of Nutrition and Food, 2011, 6(1): 59–65 Jurnal Gizi dan Pangan, 2011, 6(1): 59–65

X4 : perilaku higiene positif terhadap stunted. Kondisi ini menun-


X6 : pemanfaatan posyandu
jukkan semakin tinggi persentase penduduk
yang berperilaku higiene, penduduk yang ber-
Tabel 2. Faktor yang Berhubungan dan Faktor pendidikan tinggi dan tingginya PDRB/kapita
yang Berpengaruh pada Underweight wilayah, maka semakin rendah prevalensi
Prevalensi Underweight
stunted, semakin tinggi tingkat kemiskinan
Variabel Koefisien Koefisien Sig. maka prevalensi stunted semakin meningkat.
korelasi (r) regresi regresi Dengan persamaan liniernya seba- gai berikut:
PDRB/kapita (X1) -0.197**
Y2 = 48.037 – (4.347x10-8)X1 – 0.129X2 + 0.116X3
Tingkat pendidikan -0.391** -0.107 0.000 - 0.143X4 – 0.061X6
(X2) Y2 : prevalensi stunted
Tingkat kemiskinan 0.342** 0.123 0.000 X1 : PDRB/kapita
(X3)
X2 : tingkat pendidikan
Perilaku higiene -0.393** -0.170 0.000
(X4) X3 : tingkat kemiskinan
X4 : perilaku higiene
Akses air bersih -0.097* X6 : pemanfaatan posyandu
(X5)
Pemanfaatan -0.160** 0.056 0.007
posyandu (X6) Faktor-faktor yang mempengaruhi wasted
Imunisasi lengkap -0.272**
(X7) Wasted (BB/TB) dapat menjelaskan pro-
Kejadian ISPA (X8) -0.045 ses yang mengarah pada terjadinya kehilangan
Kejadian diare (X9) 0.114* berat badan, sebagai konsekuensi dari kelapar-
an akut dan atau penyakit berat dengan nilai
**. Hubungan nyata (p<0.01)
*. Hubungan nyata (p<0.05) pengukuran z skornya kurang dari -2.0 SD sam-
pai dengan -3,0 SD (Riyadi 2001). Indeks BB/TB
ini merupakan indikator yang baik untuk meni-
Faktor-faktor yang mempengaruhi stunted lai status gizi saat ini. Berikut akan dijelaskan
Berdasarkan analisis korelasi Pearson, mengenai faktor penyebab wasted (BB/TB).
diketahui bahwa faktor-faktor yang berhu-
bungan dengan stunted adalah PDRB/kapita, Tabel 4. Faktor yang Berhubungan dan Faktor
tingkat pendidikan, tingkat kemiskinan, perila- yang berpengaruh Terhadap Wasted
ku higiene, pemanfaatan posyandu, imunisasi Prevalensi Wasted
lengkap dan kejadian diare. Variabel Koefisien Koefisien Sig.
korelasi (r) regresi regresi
PDRB/kapita (X1) 0.018
Tabel 3. Faktor yang Berhubungan dan Faktor Tingkat pendidikan
yang Berpengaruh terhadap Stunted -0.081
(X2)
Tingkat kemiskinan
Prevalensi Stunted (X3) 0.084
Variabel Koefisien Koefisien Sig.
Perilaku higiene (X4) -0.241** -0.094 0.000
korelasi (r) regresi regresi
Akses air bersih (X5) -0.091
PDRB/kapita (X1) -0.294** -4.347x10-8 0.005
Pemanfaatan
Tingkat pendidikan posyandu (X6) -0.225** -0.062 0.002
(X2) -0.388** -0.129 0.000
Imunisasi lengkap
Tingkat kemiskinan (X7) -0.220** -0.045 0.010
(X3) 0.326** 0.116 0.007
Kejadian ISPA (X8) -0.073
Perilaku higiene (X4) -0.320** -0.143 0.000
Akses air bersih (X5) Kejadian diare (X9) 0.022
-0.003
Pemanfaatan **. Hubungan nyata (p<0.01)
0.121* -0.061 0.022 *. Hubungan nyata (p<0.05)
posyandu (X6)
Imunisasi lengkap
(X7) -0.153**
Berdasarkan analisis korelasi Pearson,
Kejadian ISPA (X8) 0.003
diketahui bahwa faktor-faktor yang berhu-
Kejadian diare (X9) 0.144**
bungan dengan wasted adalah perilaku higi-
**. Hubungan nyata (p<0.01) ene, pemanfaatan posyandu, dan imunisasi
*. Hubungan nyata (p<0.05)
lengkap. Berdasarkan hasil analisis regresi lini-
er dapat diketahui bahwa ketiga faktor terse-
Dengan analisis regresi linier (stepwise but berpengaruh negatif terhadap prevalensi
regression) diketahui pengaruh dari setiap wasted. Artinya semakin tinggi perilaku higi-
faktor tersebut. Berdasarkan hasil analisis reg- ene, pemanfaatan posyandu dan cakupan
resi linier tersebut dapat diketahui bahwa imunisasi lengkap, maka semakin rendah pre-
PDRB/kapita, tingkat pendidikan, dan perilaku valensi wasted. Persamaan linier dari model
higiene berpengaruh negatif terhadap stunted, regresinya sebagai berikut:
sedangkan tingkat kemiskinan berpengaruh

63
Jurnal Gizi dan Pangan, 2011, 6(1): 59–65 Journal of Nutrition and Food, 2011, 6(1): 59–65

Y3 = 22.180 – 0.094X4 – 0.062X6 – 0.045X7 hambatan dalam menempuh pendidikan yang


Y3 : prevalensi wasted lebih tinggi.
X3 : perilaku higiene
X4 : pemanfaatan posyandu
X5 : imunisasi lengkap Tabel 5. Faktor-faktor yang Berhubungan dan
Berpengaruh terhadap Underweight,
Berdasarkan hasil penelitian, masalah Wasted dan Stunted
gizi akut maupun kronis masih terjadi di
Indonesia. Masalah gizi akut diperlihatkan oleh Masalah Gizi
Variabel
masalah underweight dan wasted, sedangkan Underweight Stunted Wasted
masalah gizi kronis ditunjukkan oleh masalah PDRB/kapita xxx xxx* -
stunted. Secara keseluruhan, faktor-faktor Tingkat kemiskinan xxx* xxx* -
yang berhubungan dan berpengaruh terhadap Tingkat pendidikan xxx* xxx* -
ketiga masalah gizi (underweight, stunted, Perilaku higiene xxx* xxx* xxx*
Akses air bersih xx - -
dan wasted) dapat dilihat pada tabel 38.
Pemanfaatan
Faktor yang bersama-sama mempengaruhi posyandu
xxx* xx* xxx*
ketiga masalah gizi adalah perilaku higiene Cakupan imunisasi
xxx xxx xxx*
dan pemanfaatan posyandu. lengkap
Kejadian diare xx xxx -
Faktor perilaku higiene berpengaruh Kejadian ISPA - - -
penting terhadap masalah gizi meskipun faktor
xxx : berhubungan sangat kuat
ini bukan merupakan faktor yang secara xx : berhubungan kuat
langsung berpengaruh terhadap masalah * : berpengaruh
kurang gizi. Perilaku higiene berpengaruh
langsung terhadap penyakit infeksi yang
umumnya dialami oleh sebagian besar balita, KESIMPULAN
khususnya penyakit infeksi diare dan ISPA.
Kedua penyakit ini berpengaruh langsung Sebagian besar kabupaten/kota di Indo-
terhadap status gizi balita. Seorang balita yang nesia memiliki prevalensi underweight sedang,
menderita penyakit infeksi nafsu makannya namun prevalensi stunted dan wasted yang
cenderung berkurang sehingga asupan gizinya sangat tinggi. Berdasarkan kareksteristik sosial
pun berkurang. Jika berlangsung dalam waktu ekonomi, sebagian besar kabupaten/kota di
yang lama dengan frekuensi berkali-kali maka Indonesia memiliki PDRB/kapita yang rendah,
akan berdampak pada kurang gizi. sebagian kabupaten/kota di Indonesia memiliki
tingkat pendidikan rendah. Rata-rata tingkat
Sementara itu, pemanfaatan posyandu
kemiskinan kabupaten/kota di Indonesia ada-
juga memegang peran penting terhadap
lah 18.41±10.46%. Perilaku higiene kabupaten/
masalah gizi. Posyandu merupakan salah satu
kota di Indonesia tergolong masih rendah. Se-
sarana untuk memantau kesehatan dan
mentara itu, akses air bersih kabupaten/kota
pertumbuhan balita. Masalah gizi yang terjadi
di Indonesia tergolong rendah. Dalam hal pe-
pada balita akan lebih dideteksi secara dini
manfaatan posyandu, rata-rata sekitar 64.97 ±
jika pertumbuhan balita dipantau secara rutin
14.89% rumah tangga di kabupaten/kota yang
melalui posyandu. Oleh karena itu, ibu yang
memanfaatkan posyandu. Cakupan imunisasi
secara rutin memantau pertumbuhan balitanya
lengkap kabupaten/kota di Indonesia rata-
akan lebih mampu memperbaiki masalah gizi
ratanya adalah 33.0766±17.15% balita yang
secara dini, sehingga masalah tersebut tidak
mendapatkan imunisasi lengkap. Kemudian
menjadi lebih parah.
rata-rata kejadian ISPA dan diare di kabupa-
Kedua faktor di atas dipengaruhi pula ten/kota Indonesia adalah 17.13±11.61% dan
oleh faktor-faktor sosial ekonomi karena pada 11.77±7.45%.
hakikatnya perilaku higiene dan pemanfaatan
Faktor yang berhubungan nyata terha-
posyandu merupakan pola asuh kesehatan ter-
dap underweight adalah PDRB/kapita, tingkat
hadap balita. Pola asuh ibu terhadap balita di-
pendidikan, tingkat kemiskinan, perilaku higi-
bentuk dari pengetahuan ibu yang diimplemen-
ene, akses air bersih, pemanfaatan posyandu,
tasikan dalam kehidupan sehari-harinya. Pe-
imunisasi lengkap, dan kejadian diare. Faktor
ngetahuan didapatkan dari proses pendidikan
yang berhubungan nyata terhadap stunted
dan kemampuan mengakses informasi. Oleh
adalah PDRB/kapita, tingkat pendidikan, peri-
karena itu, akses terhadap pendidikan harus
laku higiene, pemanfaatan posyandu, imunisasi
ditingkatkan. Salah satunya dengan meningkat-
lengkap, dan kejadian diare. Faktor yang ber-
kan kesejahteraan dan perekonomian pendu-
hubungan nyata terhadap wasted adalah peri-
duk karena tingkat kesejahteraan dan pereko-
laku higiene, pemanfaatan posyandu, dan
nomian yang rendah merupakan salah satu
imunisasi lengkap.

64
Journal of Nutrition and Food, 2011, 6(1): 59–65 Jurnal Gizi dan Pangan, 2011, 6(1): 59–65

Berdasarkan uji regresi linier, faktor


yang berpengaruh terhadap underweight ada- Manary MJ & Solomons NW. 2008. Aspek Ke-
lah tingkat pendidikan, tingkat kemiskinan, sehatan Masyarakat pada Gizi Kurang.
perilaku higiene dan pemanfaatan posyandu. Gibney MJ et al (Eds.), Gizi Kesehatan
Faktor ekologi yang berpengaruh terhadap Masyarakat. EGC, Jakarta.
stunted adalah PDRB/kapita, tingkat pendidik-
an, tingkat kemiskinan, perilaku higiene, dan Rasmaliah. 2004. Infeksi Saluran pernapasan
pemanfaatan posyandu. Faktor ekologi yang akut (ISPA) dan penanggulangannya. Fa-
berpengaruh terhadap wasted adalah perilaku kultas Kesehatan Masyarakat, Univer-
higiene, pemanfaatan posyandu dan imunisasi sitas Sumatera Utara.
lengkap.
Rimbawan & Yayuk B. 2004. Masalah pangan
Faktor ekologi yang sama-sama berpe-
dan gizi. Dalam Yayuk B et al. (Eds.),
ngaruh terhadap ketiga masalah gizi (under-
Pengantar Pangan dan Gizi. Penebar
weight, stunted dan wasted) adalah perilaku
Swadaya, Jakarta.
higiene dan pemanfaatan posyandu.
Riyadi H. 2001. Metode Penilaian Status Gizi.
Fakultas Pertanian, Institut Pertanian
DAFTAR PUSTAKA
Bogor, Bogor.
Alhanannasir. 1999. Hubungan konsumsi
Salimar et al. 2009. Karakteristik masalah
makanan dan morbiditas dengan status
pendek (stunting) pada balita di seluruh
gizi anak balita transmigran. Tesis
wilayah Indonesia. Jurnal Penelitian Gizi
Magister Sekolah Pasca Sarjana, Institut
dan Makanan, 3(67), 63-74.
Pertanian Bogor, Bogor.
Santoso S & Ranti AL. 1999. Kesehatan dan
Almatsier S. 2004. prinsip Dasar Ilmu Gizi. PT
Gizi. PT Rineka Cipta, Jakarta.
Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Scortino R. 2007. Menuju Kesehatan Madani.
Atmarita & Fallah TS. 2004. Analisis Situasi
Gadjah Mada University Press, Yogya-
Gizi dan Kesehatan Masyarakat. Widya-
karta.
karya Nasional pangan dan gizi VIII. LIPI,
Jakarta.
Slamet. 1993. Analisis Kuantitatif untuk Data
Sosial. Dabara Publisher, Solo.
. 2009. Produk Domestik Regional Bru-
to Kabupaten/Kota Di Indonesia 2004-
Yunarko A. 2007. Analisis pengaruh tingkat in-
2008. Badan Pusat Statistik, Jakarta.
vestasi, pendapatan asli daerah dan te-
naga kerja terhadap PDRB Jawa Tengah.
Crahay P et al. 2010. The threats of climate
Skripsi Sarjana, Fakultas Ekonomi, Uni-
change on undernutrition – a neglected
versitas Negeri Semarang, Semarang.
issue that requires further analysis and
urgent actions. SCN News, 38(2010), 4-
Zulkifli. 2003. Posyandu dan kader kesehatan.
10.
Fakultas Kesehatan Masyarakat, Univer-
sitas Sumatera Utara.
Jelliffe & Jelliffe. 1989. Community Nutrition-
al Assessment. Oxford University Press,
Zuraida R. 2009. Pengaruh penyuluhan gizi dan
Oxford.
pemanfaatan pekarangan terhadap ting-
kat pengetahuan, sikap dan perilaku gizi
Kinabo J. 2010. Food security, adequate care
ibu dan status gizi anak balita. Tesis Ma-
and environment quality: Development
gister Sekolah Pasca Sarjana, Institut
and testing of eco-nutrition guidelines
Pertanian Bogor, Bogor.
for community actions in the context of
climate change. SCN News, 38(2010) 87.

65
Sinopsis Jurnal Kedelapan
Masalah gizi kurang yang terjadi di Indonesia yaitu kurang energi protein (KEP). KEP
merupakan masalah gizi kurang akibat konsumsi pangan tidak cukup mengandung energi dan
protein serta karena gangguan kesehatan. Manifestasi KEP ditentukan dengan pengukuran
status gizi (Rimbawan & Baliwati, 2004). Berdasarkan pengukuran status gizi terdapat kategori
status gizi balita KEP yaitu underweight (BB/U), wasted atau kekurusan (BB/TB), dan stunted
atau pendek (TB/U). Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007, sebanyak 19
provinsi mempunyai prevalensi underweight di atas prevalensi nasional. Prevalensi balita
stunted, masih ditemukan di 17 provinsi di Indonesia yang memiliki prevalensi di atas
prevalensi nasional yaitu 36.8%. Sebanyak 25 provinsi mempunyai prevalensi wasted di atas
prevalensi nasional.

Masalah gizi merupakan masalah ekologi, karena adanya interaksi antara berbagai faktor
lingkungan, baik fisik, sosial, ekonomi, budaya maupun politik (Jelliffe and Jelliffe, 1989).
Secara operasional, faktor-faktor yang menjadi pencetus timbulnya masalah gizi diantaranya
kemiskinan, daya beli, pengetahuan gizi, besar keluarga, kebiasaan makan, dan faktor lainnya
(Suhardjo, 1989). Selain itu, dipengaruhi juga oleh status kesehatan (penyakit menular/infeksi).
Jika permasalahan kurang gizi tidak segera diatasi, maka akan berdampak pada kematian anak,
penurunan kemampuan belajar, kemampuan kognitif, anggaran pencegahan dan perawatan
yang meningkat dan penurunan produktivitas kerja. Tiga kata kunci dalam pendekatan ekologi
gizi yaitu: 1) Akses terhadap air bersih, pelayanan kesehatan; 2) Aset ekonomi dan sosial
sebagai cerminan akses pangan secara sosial ekonomi; 3) Kurang gizi (Crahay et al. 2010;
Kinabo, 2010). Faktor-faktor yang akan dianalisis adalah akses pangan secara sosial ekonomi
(Produk Domestik Regional Bruto/PDRB, tingkat pendidikan dan tingkat kemiskinan), aspek
kesehatan masyarakat (akses air bersih, pemanfaatan posyandu, cakupan imunisasi lengkap,
kejadian diare, kejadian ISPA dan perilaku hygiene).

Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari keterkaitan antara faktor-faktor sosial ekonomi
dan kesehatan masyarakat dengan masalah gizi underweight, stunted, dan wasted di Indonesia.
Penelitian ini dilaksanakan dengan menggunakan desain penelitian cross-sectional dengan
menganalisis determinan masalah gizi kurang. Data yang digunakan adalah data sekunder dari
Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2007, data PDRB/kapita tanpa migas dan tingkat
kemiskinan dari Badan Pusat Statistik Indonesia 2007. Penelitian ini menggunakan sampel
yang digunakan dalam Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2007. Data diperoleh dari Riset
Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2007 diantaranya data masalah gizi underweight, stunted dan
wasted, tingkat pendidikan, perilaku higiene, akses air bersih, pemanfaatan posyandu, cakupan
imunisasi lengkap, kejadian ISPA dan kejadian diare. PDRB/kapita tanpa migas dan tingkat
kemiskinan diperoleh dari Badan Pusat Statistik (BPS).

Sebagian besar kabupaten/kota di Indonesia memiliki prevalensi underweight sedang,


namun prevalensi stunted dan wasted yang sangat tinggi. Berdasarkan kareksteristik sosial
ekonomi, sebagian besar kabupaten/kota di Indonesia memiliki PDRB/kapita yang rendah,
sebagian kabupaten/kota di Indonesia memiliki tingkat pendidikan rendah. Rata-rata tingkat
kemiskinan kabupaten/kota di Indonesia adalah 18.41±10.46%. Perilaku higiene kabupaten/
kota di Indonesia tergolong masih rendah. Sementara itu, akses air bersih kabupaten/kota di
Indonesia tergolong rendah. Dalam hal pemanfaatan posyandu, rata-rata sekitar 64.97±14.89%
rumah tangga di kabupaten/kota yang memanfaatkan posyandu. Cakupan imunisasi lengkap
kabupaten/kota di Indonesia rata-ratanya adalah 33.0766±17.15% balita yang mendapatkan
imunisasi lengkap. Kemudian rata-rata kejadian ISPA dan diare di kabupa- ten/kota Indonesia
adalah 17.13±11.61% dan 11.77±7.45%.
Faktor yang berhubungan nyata terhadap underweight adalah PDRB/kapita, tingkat
pendidikan, tingkat kemiskinan, perilaku higiene, akses air bersih, pemanfaatan posyandu,
imunisasi lengkap, dan kejadian diare. Faktor yang berhubungan nyata terhadap stunted adalah
PDRB/kapita, tingkat pendidikan, perilaku higiene, pemanfaatan posyandu, imunisasi lengkap,
dan kejadian diare. Faktor yang berhubungan nyata terhadap wasted adalah perilaku higiene,
pemanfaatan posyandu, dan imunisasi lengkap. Berdasarkan uji regresi linier, faktor yang
berpengaruh terhadap underweight adalah tingkat pendidikan, tingkat kemiskinan, perilaku
higiene dan pemanfaatan posyandu. Faktor ekologi yang berpengaruh terhadap stunted adalah
PDRB/kapita, tingkat pendidikan, tingkat kemiskinan, perilaku higiene, dan pemanfaatan
posyandu. Faktor ekologi yang berpengaruh terhadap wasted adalah perilaku higiene,
pemanfaatan posyandu dan imunisasi lengkap. Faktor ekologi yang sama-sama berpengaruh
terhadap ketiga masalah gizi (underweight, stunted dan wasted) adalah perilaku higiene dan
pemanfaatan posyandu.
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perilaku Kesehatan Mahasiswa Fakultas Ilmu Olahraga Universitas Negeri Surabaya

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PERILAKU KESEHATAN MAHASISWA


FAKULTAS ILMU OLAHRAGA UNIVERSITAS NEGERI SURABAYA
Nufi Saidatus Tsaniyah*, Endang Sri Wahjuni
S1 Pendidikan Jasmani, Kesehatan dan Rekreasi , Fakultas Ilmu Olahraga
Universitas Negeri Surabaya
*nufitsaniyah16060464034@mhs.unesa.ac.id

Abstrak

Pada saat memasuki perguruan tinggi, mahasiswa mencoba untuk beradaptasi dengan lingkungan sekitar
dan kegiatan baru mereka. Pada masa transisi seseorang banyak mengalami perubahan psikologi, sosial,
dan ekonomi. Perubahan tersebut bisa melakukan tindakan yang cenderung tidak terkontrol tanpa
dipertimbangkan dampak dan risikonya. Sehingga mereka bisa melakukan hal-hal yang merugikan
dirinya sendiri maupun orang lain dan mencoba melakukan hal-hal baru misalnya merokok, tawuran,
minum-minuman keras dan melakukan perilaku yang tidak sehat lainnya. Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui gambaran dan faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku kesehatan mahasiswa Fakultas Ilmu
Olahraga Universitas Negeri Surabaya. Penelitian ini termasuk penelitian survei yang pemilihan
sampelnya menggunakan teknik cluster random sampling. Sampel yang digunakan adalah mahasiswa
angkatan 2017 kelas A Fakultas Ilmu Olahraga yang berjumlah 112 mahasiswa. Teknik yang digunakan
untuk mengetahui faktor yang mempengaruhi perilaku kesehatan adalah teknik regresi logistik ganda.
Berdasarkan hasil penelitian perilaku kesehatan yang diperoleh terdapat 42 (37,5%) mahasiswa dengan
kategori kurang, dan 70 (62,5%) mahasiswa dengan kategori baik. Faktor-faktor yang mempengaruhi
perilaku kesehatan Mahasiswa Fakultas Ilmu Olahraga Universitas Negeri Surabaya antara lain adalah
faktor Pendidikan Ibu dengan nilai signifikasi 0,045 dan faktor kondisi ekonomi keluarga dengan nilai
signifikasi sebesar 0,027.

Kata Kunci: faktor perilaku kesehatan, perilaku kesehatan

Abstract

When students enter college, students try to adapt their surroundings and new activities. During a period
of transition a person experiences many psychological, social and economic changes. These changes can
take actions that tend to be uncontrolled without considering the impact and risk. So they tend to do
negative things and try to do new things such as smoking, fighting, drinking and doing other unhealthy
behaviors. This research aims to determine the description and factors that influence the health behavior
of students of the Faculty of Sports Science, State University of Surabaya. This research is a survey
research with sample selection using cluster random sampling technique. The sample used was a class of
2017 class A student of the Faculty of Sport Sciences, totaling 112 students. The technique used to
determine the factors that influence health behavior is the multiple logistic regression technique. Based on
the results of health behavioral research obtained there are 42 (37.5%) students with less categories, and
70 (62.5%) students with good categories. Factors that influence the health behavior of university
students Faculty of Sport Science, State University of Surabaya, among others, are the Mother's
Education factor with a significance value of 0.045 and a family economic condition factor with a
significance value of 0.027.

Keywords: health behavior factors, health behavior

https://ejournal.unesa.ac.id/index.php/jurnal-pendidikan-jasmani/issue/archive 15
Jurnal Pendidikan Olahraga dan Kesehatan Volume 08 Nomor 01 Tahun 2020, 15 - 19

studeis and academic stress”. Menyatakan bahwa “Pada


PENDAHULUAN saat memasuki perguruan tinggi, mahasiswa akan
Perilaku adalah kegiatan makhluk hidup untuk menghadapi banyak tantangan seperti jauh dari rumah,
mencapai tujuan tertentu. Manusia, hewan, dan menyesuaikan diri dengan kehidupan mandiri,
tumbuhan mempunyai perilaku masing-masing untuk menghadapi teman baru mereka dan mencoba bersaing
mencapai suatu tujuan tertentu. Manusia sebagai dengan para mahasiswa lainnya”. Mahasiswa mencoba
makhluk hidup mempunyai aktivitas yang sangat untuk beradaptasi dengan lingkungan sekitar dan
banyak mulai dari bernafas, berjalan, berlari, makan, menghadapi pekerjaan dan lingkungan baru mereka.
minum, dan sebagainya. Menurut Skinner (dalam Ditambah lagi dengan tanggung jawab yang baru dan
Notoatmodjo, 2010) perilaku adalah reaksi makhluk gaya hidup yang cenderung tidak terkontrol dari
hidup yang muncul karena adanya stimulus (rangsangan kehidupan yang sebelumnya, sehingga mereka memiliki
dari luar). kebebasan yang lebih besar dan cenderung melakukan
Sehat diartikan sebagai keadaan seseorang dalam hal-hal sesuka hati tanpa dipertimbangkan dampak dan
kondisi yang tidak terserang penyakit dan bisa resikonya. Masa tersebut bisa dikatakan sebagai periode
menjalankan kehidupan sehari hari tanpa adanya transisi, transisi untuk membangun perilaku hidup sehat.
keluhan. Berdasarkan UU tentang kesehatan Nomor 36 Pada masa transisi seseorang banyak mengalami
Tahun 2009, kesehatan adalah keadaan sehat diukur dari perubahan psikologi, sosial, dan ekonomi. Ketika
aspek sosial, fisik, dan metal yang bisa juga diukur seseorang memasuki jenjang tersebut, mereka akan
dengan produktivitas dalam menghasilkan sesuatu. menghadapi banyak tantangan seperti jauh dari
Sedangkan menurut WHO (2019) mengatakan bahwa rumahnya, menjalani hidup mandiri, bertemu dengan
kesehatan adalah keadaan dimana seseorang tidak hanya orang-orang baru yang harus memahami sikap dan
bebas dari suatu penyakit atau kelemahan tetapi karakteristik yang berbeda-beda.
mempunyai fisik dan mental yang sempurna serta Menurut UU RI No.12 Tahun 2012 mahasiswa
keadaan sosial yang baik. Jadi dapat disimpulkan bahwa merupakan peserta didik yang sedang menempuh
kesehatan adalah keadaan seseorang yang dapat diukur jenjang pendidikan tinggi. Seharusnya sebagai
baik fisik maupun jiwanya. Perilaku sehat bisa diartikan mahasiswa yang dianggap sebagian masyarakat
sebagai perilaku seseorang yang ikut terlibat dalam mempunyai ilmu atau nilai yang tinggi, mahasiswa
pemeliharaan kesehatan untuk menghindari suatu harus berperilaku positif pula. Akan tetapi kenyataannya
penyakit. tidak seperti itu. Sehingga mereka bisa melakukan hal-
Hal ini diungkapkan oleh Von AH, et al., (2004: 465) hal yang merugikan dirinya sendiri maupun orang lain
bahwa “That bad health behaviors also have bad dan mencoba melakukan hal-hal baru yang menurutnya
effects, so the body is very susceptible to disease”. akan dapat menarik perhatian terhadap orang-orang
Menyatakan bahwa “Perilaku sehat yang kurang baik disekitarnya, misalnya merokok, tawuran, minum-
juga memiliki efek yang kurang baik juga sehingga minuman keras dan melakukan perilaku yang tidak
tubuh mudah sekali terserang penyakit”. Para peneliti sehat lainnya.
menunjukkan secara global bahwa banyak mahasiswa Menurut data Riskesdas tahun 2018 menunjukkan
yang terlibat dalam perilaku kesehatan yang banyak bahwa jumlah konsumen rokok di atas 15 tahun
mengandung resiko terutama yang terjadi pada sebanyak 33,8%. Dan dari jumlah tersebut terdiri dari
mahasiswa yang sudah menempuh jenjang pendidikan 62,9% konsumen laki-laki serta sebanyak 4,8%
perguruan tinggi selama tiga tahun. Hal ini seperti yang konsumen perempuan. Jumlah penderita dikarenakan
diungkapkan oleh Steptoe dan Wardle (1991: 926) mengonsumsi rokok juga berpengaruh pada beban
bahwa “Consume alcohol, smoke, use drugs, etc. That kesehatan negara. Tingkat kasus pada suatu wilayah
activities can’t be optimally because students (prevalensi) merokok di Indonesia sangatlah tinggi di
experience the effects of these behaviors”. Menyatakan berbagai lapisan masyarakat. Menurut Kemenkes (2013)
bahwa “Mengonsumsi alkohol, merokok, menggunakan kecenderungan merokok terus meningkat dari tahun ke
narkoba dan sebagainya. Sehingga aktivitas bisa tidak tahun, data ini berdasarkan hasil Survei Sosial Ekonomi
dikerjakan secara maksimal karena mahasiswa Nasional (Susenas) menunjukkan bahwa prevalensi
mengalami dampak dari perilaku tersebut”. merokok di Indonesia untuk semua kelompok umur
Menurut Tong, et al., (2016: 162) bahwa “When mengalami suatu peningkatan yang lumayan tinggi.
students enter university, they face numerous challanges Kegiatan merokok juga sering ditemukan di lingkungan
such as being away from home, adjustment to masyarakat, termasuk di lingkungan Universitas Negeri
independent living, the needs to estabilish new Surabaya. Berdasarkan pengamatan yang telah
friendships in addition to coping with higher-level dilakukan, diketahui masih banyak mahasiswa Fakultas

16 ISSN : 2338 – 798X


Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perilaku Kesehatan Mahasiswa Fakultas Ilmu Olahraga Universitas Negeri Surabaya

Ilmu Olahraga Universitas Negeri Surabaya (FIO melingkari sub jawaban yang sesuai dengan keadaan
UNESA) yang menjadi perokok aktif meskipun mereka responden.
sebagian besar sudah mengetahui bahaya merokok dan Analisis kuisioner IHBS menggunakan skala likert.
mereka juga berprofesi sebagai atlet. Aktivitas merokok Skala likert digunakan untuk mengukur sikap, pendapat
yang dilakukan oleh mahasiswa kebanyakan ditemui di dan persepsi seseorang atau sekelompok orang tentang
ruang terbuka seperti warung kopi, cafe dan tempat kejadian atau gejala sosial (Sugiyono, 2013: 132).
terbuka yang lain, dan mereka tidak mengaku bahwa Instrumen IHBS yang berskala likert atau memiliki
mereka merokok di lingkungan kampus. jenjang bisa diberikan nilai 0-4, kemudian di setiap item
Berdasarkan uraian di atas peneliti akan mengadakan pertanyaan akan dijumlahkan total nilainya. Setelah
penelitian mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi dijumlah total nilainya, kemudian digunakan norma
perilaku kesehatan pada mahasiswa Fakultas Ilmu dalam bentuk persentase (dari total nilai).
Olahraga Universitas Negeri Surabaya.
Tabel 1. Norma Pengukuran IHBS
Nilai (%) Keterangan
METODE 100 - 80 Sangat Baik
Penelitian ini termasuk penelitian survei. 79 - 60 Baik
Penelitian ini mempunyai tujuan agar mengetahui 59 - 40 Sedang
gambaran serta mengidentifikasi faktor apa saja yang 39 - 20 Kurang
bisa mempengaruhi perilaku kesehatan mahasiswa FIO 19 - 0 Sangat Kurang
UNESA. Pemilihan sampel yang digunakan pada Untuk mengetahui faktor apa saja yang mempengaruhi
penelitian ini adalah dengan teknik cluster random perilaku kesehatan peneliti menggunakan teknik analisis
sampling. Total sampel dalam penelitian ini adalah 112 regresi logistik ganda yang terdiri dari dua uji, yaitu uji
mahasiswa diantaranya yaitu 32 mahasiswa dari Jurusan bivariat dan uji multivariat.
Pendidikan Olahraga, 40 mahasiswa dari Jurusan
Pendidikan Jasmani Kesehatan dan Rekreasi, dan 40 HASIL DAN PEMBAHASAN
mahasiswa dari Jurusan Pendidikan Kepelatihan Deskripsi data dari penelitian ini dipaparkan
Olahraga. berupa tabel. Data penelitian ini didapat dari pengisian
Pelaksanaan penelitian ini dilakukan 3 kali pertemuan. kuesioner International Health Behavior Survey.
Pertemuan pertama dilakukan pengambilan data di
Jurusan Pendidikan Kepelatihan Olahraga, pertemuan Tabel 2. Distribusi Data Perilaku Kesehatan
Mahasiswa FIO UNESA
kedua dilakukan pengambilan data di Jurusan
Kategori
Pendidikan Kesehatan dan Rekreasi, dan pertemuan Perilaku
Mean SD Kurang Baik
ketiga dilakukan pengambilan data di Jurusan Kesehatan
N % N %
Pendidikan Olahraga. Penelitian ini dilaksanakan di FIO PENOR 75.90 5.75 12 37,5 20 62,5
UNESA. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh PKO 75.19 9.02 17 42,5 23 57,5
Mahasiswa FIO UNESA. PENKES
78.30 8.80 13 32,5 27 67,5
Instrumen yang digunakan untuk mengumpulkan data REK
adalah kuesioner International Health Behavior Survey FIO 76.50 8.18 42 37,5 70 62,5
(IHBS) yang diadopsi dari Steptoe dan Wardle (2019). Keterangan tabel:
PENOR : Pendidikan Olahraga
Steptoe dan Wardle menyatakan bahwa “IHBS is a
PKO : Pendidikan Kepelatihan Olahraga
questionnaire about health behavior, risk awareness PENKESREK : Pendidikan Kesehatan dan Rekreasi
and related health attitudes that has been experienced FIO : Fakultas Ilmu Olahraga
by students around the world”. Menyatakan bahwa
Pada distribusi data perilaku kesehatan ada dua kategori
IHBS merupakan kuesioner tentang perilaku yang
nilai yaitu kategori kurang dan kategori baik. Kategori
berhubungan dengan kesehatan, kesadaran risiko dan
kurang jika nilai yang dihasilkan dari pengisian
sikap kesehatan yang terkait yang telah dilakukan oleh
kuesioner IHBS kurang dari 75. Sedangkan kategori baik
mahasiswa di seluruh. Kuesioner IHBS terdiri dari 3
jika nilai yang dihasilkan dari pengisian kuesioner IHBS
bagian dengan jumlah 61 pertanyaan. Bagian pertama
lebih dari 75. Menurut informasi dari data tabel di atas
berisi pertanyaan tentang aspek gaya hidup mahasiswa
dapat diketahui bahwa Jurusan PKO memiliki nilai
sejumlah 31 pertanyaan. Bagian kedua berisi pertanyaan
kurang paling banyak dibandingkan dengan dua jurusan
tentang kesadaran pentingnya perilaku kesehatan
yang lain dengan persentase sebesar 42,5%. Sedangkan
sejumlah 20 pertanyaan. Bagian ketiga berisi pertanyaan
Jurusan PENKESREK memiliki nilai baik paling banyak
tentang perilaku kehidupan secara umum sejumlah 10
pertanyaan. Kuesioner IHBS diisi dengan cara

https://ejournal.unesa.ac.id/index.php/jurnal-pendidikan-jasmani/issue/archive 17
Jurnal Pendidikan Olahraga dan Kesehatan Volume 08 Nomor 01 Tahun 2020, 15 - 19

dibandingkan dengan dua jurusan yang lain dengan diketahui tingkat akses informasi mahasiswa sebanyak
persentase sebesar 67,5%. 44 (39,3%) mahasiswa memiliki akses informasi yang
rendah, dan 68 (60,7%) mahasiswa memiliki akses
Tabel 3. Data Kategori Jenjang Pendidikan Orang
Tua informasi yang tinggi.
Kategori Ibu Ayah Tabel 7. Analisis Bivariat Faktor-faktor yang
N % N % Mempengaruhi Perilaku Kesehatan
≤ Menengah 36 32.1 77 68.8 Mahasiswa FIO UNESA
≥ Strata 76 67.9 35 31.2 Variabel Sig.
Total 112 100 112 100 Pendidikan Ayah 0.401
Berdasarkan di atas diketahui bahwa jenjang pendidikan Pendidikan Ibu 0.240
Latar Belakang Pendidikan
ibu lebih banyak yang menempuh pendidikan strata dari 0.926
Ayah
pada jenjang menengah. Pendidikan strata ibu juga lebih Latar Belakang Pendidikan Ibu 0.904
banyak dibanding pendidikan ayah. Ekonomi 0.038
Tabel 4. Data Kategori Latar Belakang Pendidikan Akses Informasi 0.627
Orang Tua Hasil analisis bivariat menunjukkan nilai signifikasi
Ibu Ayah kebanyakan variabel adalah >0,25, kecuali variabel
Kategori
N % N %
ekonomi dan pendidikan ibu. Sedangkan untuk
Lainnya 78 69.6 77 68.8
melanjutkan ke analisis multivariat dibutuhkan nilai
Kesehatan, Keguruan,
34 30.4 35 31.2 signifikasi <0,25. Tetapi meskipun variabel tersebut
Sains
Total 112 100 112 100 mempunyai nilai signifikasi >0,25 namun secara
substansi penting, maka variabel tersebut dapat
Berdasarkan tabel diatas data latar belakang pendidikan
dimasukkan ke dalam analisis multivariat.
ayah lebih banyak yang berlatar belakang pendidikan
dalam bidang sains dibandingkan dengan ibu. Latar Tabel 8. Analisis Multivariat Faktor-faktor yang
belakang pendidikan orang tua bisa memberi pengaruh Mempengaruhi Perilaku Kesehatan
pola pikir mereka dalam merawat atau mendidik, dan Mahasiswa FIO UNESA
Step 1 Step 2 Step 3 Step 4 Step 5
memberi contoh anaknya dalam berperilaku. Variabel
Sig. Sig. Sig. Sig. Sig.
Tabel 5. Data Kategori Kondisi Ekonomi Pendidikan
0.401 0.368 0.372 0.395
Kategori N % Ayah
Rendah 63 56.3 Pendidikan
0.240 0.242 0.036 0.035 0.045
Tinggi 49 43.8 Ibu
Total 112 100.0 LBP Ayah 0.926
LBP Ibu 0.904 0.914
Berdasarkan tabel di atas, sebayak 63 (56,3%) Ekonomi 0.038 0.037 0.037 0.040 0.027
mahasiswa berada di kategori kondisi ekonomi rendah, Akses
dan sebanyak 49 (43,8%) mahasiswa berada pada 0.627 0.632 0.639
Informasi
kategori kondisi ekonomi tinggi.
Menurut Wardle (1991), ada beberapa faktor yang
Tabel 6. Data Kategori Akses Informasi mempengaruhi perilaku kesehatan, antara lain adalah
Kategori N % jenjang pendidikan ayah dan ibu, latar belakang
Rendah 44 39.3 pendidikan ayah dan ibu, kondisi ekonomi, dan akses
Tinggi 68 60.7 informasi.
Total 112 100.0 Dari hasil analisis step 1 keseluruhan variabel terlihat
Akses informasi pada saat ini sangat dibutuhkan oleh masih banyak yang nilai signifikasi >0,25 untuk
semua orang. Semua orang bisa mengakses apapun dilakukan analisis multivariat. Sehingga beberapa
lewat media yang telah disediakan oleh kecanggihan variabel harus dikeluarkan (nilai yang paling besar) agar
teknologi pada saat ini. Media komunikasi pada zaman mendapat nilai signifikasi yang diharapkan. Step 1
sekarang sangat mudah didapatkan baik elektronik keseluruhan hasil analisis bivariat dimasukkan. Step 2
maupun media cetak. Penggunaan media elektronik variabel latar belakang pendidikan ayah dikeluarkan.
telah digunakan hampir semua orang untuk mengakses Step 3 variabel latar belakang pendidikan ibu
atau mendapatkan sebuah informasi. Internet adalah dikeluarkan. Step 4 variabel akses informasi dikeluarkan.
salah satu sarana yang menyediakan akses infomasi Step 5 variabel pendidikan ayah dikeluarkan. Dengan
mahasiswa FIO UNESA. Berdasarkan tabel diatas mengeluarkan variabel melalui beberapa langkah,

ISSN : 2338 – 798X


18
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perilaku Kesehatan Mahasiswa Fakultas Ilmu Olahraga Universitas Negeri Surabaya

didapatkan hasil variabel pendidikan ibu dengan nilai DAFTAR PUSTAKA


signifikasi 0,045 dan ekonomi 0,027 yang nilai tersebut Kemenkes. (2013). Perilaku Merokok Masyarakat
sesuai dengan nilai signifikasi yang diharapkan yaitu Indonesia. Jakarta: Pusat Data dan Informasi
lebih dari 0,05 yang artinya kondisi ekonomi dan riwayat Kementrian Kesehatan Republik Indonesia.
pendidikan ibu menjadi faktor yang paling ber pengaruh
Notoatmodjo, S. (2010). Ilmu Perilaku Kesehatan.
pada perilaku kesehatan mahasiwa FIO UNESA. Jenjang Jakarta: Rineka Cipta.
pendidikan ibu menjadi faktor yang mempengaruhi
Republik Indonesia. (2009). Undang-undang Republik
perilaku kesehatan mahasiwa FIO UNESA karena ibu
Indonesia No. 36 Tahun 2009 Tentang
bisa menjadi acuan atau contoh berperilaku seorang Kesehatan Pasal 1. Sekretariat Negara. Jakarta.
anaknya. Namun hal tersebut juga banyak dipengaruhi
oleh beberapa hal, salah satunya adalah riwayat Republik Indonesia. (2012). Undang-undang Republik
Indonesia No. 12 Tahun 2012 Tentang
pendidikan orang tua dan latar belakang pendidikan
Pendidikan Tinggi Pasal 1, 5, 12, 13. Sekretariat
orang tua. Pendidikan orang tua bisa memberi pengaruh Negara. Jakarta.
pola pikir mereka dalam merawat atau mendidik, dan
Spencer, N. (2003). Social, Economic, and Political
memberi contoh anaknya dalam berperilaku. Selain itu
Determinants of Child Health. Official Journal of
kondisi ekonomi keluarga juga menjadi faktor yang The American Academy Pediatrics. 112(3): 704-
mempengaruhi perilaku kesehatan. Menurut Spencer 706
(2003), kondisi ekonomi keluarga yang rendah
Steptoe, A., Wardle, J. (1991). The European Health
berpengaruh terhadap perilaku seseorang. Seperti
and Behaviour Survey: Rationale, Methods and
kemampuan berkonsentrasi yang rendah untuk Initial Results from The United Kingdom.
mengerjakan sebuah pekerjaan, sulit berkomunikasi, dan Journal of Social Science and Medicine, 33(8):
kurang bisa bekerjasama dalam sebuah kelompok. 925-936.
. (2019). International Health Behaviour
PENUTUP Survey Questionnaire. (online).
Simpulan https://www.ucl.ac.uk/epidemiology-health-
Berdasarkan dari hasil analisis data yang telah care/research/bsh/research/psychobiology/health-
and-behaviour-survey. Diakses 26 September
dilakukan oleh peneliti, maka dapat disimpulkan bahwa:
2019.
1. Gambaran perilaku kategori perilaku kesehatan yang
baik dengan persentase sebesar 70 mahasiswa Tong, W. T., Islam, A., Low, W. H., Clire, W. Y. C.,
Adina, A. (2016). Health Behviours and Its
(62,5%) dan 42 mahasiswa (37,5 %) menunjukkan
Associated Factors among Undergraduate
kategori perilaku kesehatan kurang. Dari hasil Students in Kuala Lumpur, Malaysia.
tersebut bisa diartikan bahwa perilaku kesehatan Proceeding of 2nd International Meeting of
mahasiswa FIO UNESA sebagian besar sudah cukup Public Health 2016 with theme “Public Health
baik. Prespective of Sustainable Development Goals.
2. Faktor yang dapat mempengaruhi perilaku kesehatan The Challenges And Opportunities in Asia-
mahasiswa FIO UNESA adalah pendidikan ibu dan Pasific Region”, KnE Life Science, 161-172.
DOI 10.18502/kls.V4i4. 2274.
kondisi ekonomi. Dibuktikan dengan nilai
signifikasi 0,045 dan Odds Ratio 2,3 sedangkan Von, A.H. D., Ebert, S., Ngamvitiroj A., Park N., Kang
kondisi ekonomi dengan nilai signifikasi 0,027 dan D. H. (2004). Predictors of Health Behaviours in
College Students. Journal of Advanced Nursing,
Odds Ratio 2,5.
48(5): 463-474.
Saran WHO. 2019. World Health Organization (Online).
Adapun saran dalam penelitian ini adalah https://www.who.int/about/who-we-
are/frequently-asked-questions. Diakses 26
sebagai berikut:
September 2019.
1. Penelitian perilaku kesehatan pada mahasiswa FIO
UNESA ini perlu dilakukan secara berkala sehingga
dapat diketahui penyebab jika ada suatu masalah
pada saat kegiatan pembelajaran.
2. Perlu adanya upaya peningkatan atau suatu hal yang
bisa menambah wawasan agar mahasiswa bisa
mempertahankan atau meningkatkan nilai perilaku
kesehatan.

https://ejournal.unesa.ac.id/index.php/jurnal-pendidikan-jasmani/issue/archive 19
Sinopsis Jurnal Kesembilan
Perilaku adalah kegiatan makhluk hidup untuk mencapai tujuan tertentu. Manusia, hewan, dan
tumbuhan mempunyai perilaku masing-masing untuk mencapai suatu tujuan tertentu. Manusia sebagai
makhluk hidup mempunyai aktivitas yang sangat banyak mulai dari bernafas, berjalan, berlari, makan,
minum, dan sebagainya.

Sehat diartikan sebagai keadaan seseorang dalam kondisi yang tidak terserang penyakit dan bisa
menjalankan kehidupan sehari hari tanpa adanya keluhan. Berdasarkan UU tentang kesehatan Nomor 36
Tahun 2009, kesehatan adalah keadaan sehat diukur dari aspek sosial, fisik, dan metal yang bisa juga
diukur dengan produktivitas dalam menghasilkan sesuatu. Sedangkan menurut WHO (2019)
mengatakan bahwa kesehatan adalah keadaan dimana seseorang tidak hanya bebas dari suatu penyakit
atau kelemahan tetapi mempunyai fisik dan mental yang sempurna serta keadaan sosial yang baik. Jadi
dapat disimpulkan bahwa kesehatan adalah keadaan seseorang yang dapat diukur baik fisik maupun
jiwanya. Perilaku sehat bisa diartikan sebagai perilaku seseorang yang ikut terlibat dalam pemeliharaan
kesehatan untuk menghindari suatu penyakit.

Menurut UU RI No.12 Tahun 2012 mahasiswa merupakan peserta didik yang sedang menempuh
jenjang pendidikan tinggi. Seharusnya sebagai mahasiswa yang dianggap sebagian masyarakat
mempunyai ilmu atau nilai yang tinggi, mahasiswa harus berperilaku positif pula. Akan tetapi
kenyataannya tidak seperti itu. Sehingga mereka bisa melakukan hal- hal yang merugikan dirinya
sendiri maupun orang lain dan mencoba melakukan hal-hal baru yang menurutnya akan dapat menarik
perhatian terhadap orang-orang disekitarnya, misalnya merokok, tawuran, minum- minuman keras dan
melakukan perilaku yang tidak sehat lainnya.

Menurut data Riskesdas tahun 2018 menunjukkan bahwa jumlah konsumen rokok di atas 15 tahun
sebanyak 33,8%. Dan dari jumlah tersebut terdiri dari 62,9% konsumen laki-laki serta sebanyak 4,8%
konsumen perempuan. Jumlah penderita dikarenakan mengonsumsi rokok juga berpengaruh pada beban
kesehatan negara. Tingkat kasus pada suatu wilayah (prevalensi) merokok di Indonesia sangatlah tinggi
di berbagai lapisan masyarakat. Menurut Kemenkes (2013) kecenderungan merokok terus meningkat
dari tahun ke tahun, data ini berdasarkan hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) menunjukkan
bahwa prevalensi merokok di Indonesia untuk semua kelompok umur mengalami suatu peningkatan
yang lumayan tinggi.

Kegiatan merokok juga sering ditemukan di lingkungan masyarakat, termasuk di lingkungan


Universitas Negeri Surabaya. Berdasarkan pengamatan yang telah dilakukan, diketahui masih banyak
mahasiswa Fakultas Ilmu Olahraga Universitas Negeri Surabaya (FIO UNESA) yang menjadi perokok
aktif meskipun mereka sebagian besar sudah mengetahui bahaya merokok dan mereka juga berprofesi
sebagai atlet. Aktivitas merokok yang dilakukan oleh mahasiswa kebanyakan ditemui di ruang terbuka
seperti warung kopi, cafe dan tempat terbuka yang lain, dan mereka tidak mengaku bahwa mereka
merokok di lingkungan kampus.

Berdasarkan uraian di atas peneliti akan mengadakan penelitian mengenai faktor-faktor yang
mempengaruhi perilaku kesehatan pada mahasiswa Fakultas Ilmu Olahraga Universitas Negeri
Surabaya.

Berdasarkan dari hasil analisis data yang telah dilakukan oleh peneliti, maka dapat disimpulkan
bahwa:
1. Gambaran perilaku kategori perilaku kesehatan yang baik dengan persentase sebesar 70 mahasiswa
(62,5%) dan 42 mahasiswa (37,5 %) menunjukkan kategori perilaku kesehatan kurang. Dari hasil
tersebut bisa diartikan bahwa perilaku kesehatan mahasiswa FIO UNESA sebagian besar sudah
cukup baik.
2. Faktor yang dapat mempengaruhi perilaku kesehatan mahasiswa FIO UNESA adalah pendidikan ibu
dan kondisi ekonomi. Dibuktikan dengan nilai signifikasi 0,045 dan Odds Ratio 2,3 sedangkan
kondisi ekonomi dengan nilai signifikasi 0,027 dan Odds Ratio 2,5.

Adapun saran dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:


1. Penelitian perilaku kesehatan pada mahasiswa FIO UNESA ini perlu dilakukan secara berkala
sehingga dapat diketahui penyebab jika ada suatu masalah pada saat kegiatan pembelajaran.
2. Perlu adanya upaya peningkatan atau suatu hal yang bisa menambah wawasan agar mahasiswa bisa
mempertahankan atau meningkatkan nilai perilaku kesehatan.
KOSALA: Jurnal Ilmu Kesehatan Vol. 8 No. 2
November 2020

ANALISIS FAKTOR- FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KESEHATAN


MENTAL EMOSIONAL MASYARAKAT DI DUKUH GUMUK SARI
DAN GERJEN, PUCANGAN, KARTASURA

Tunjung Sri Yulianti, Dinar Ariasti

STIKES PANTI KOSALA SURAKARTA, Sukoharjo, Jawa Tengah, Indonesia

Abstrak

Latar Belakang. Kesehatan jiwa atau kesehatan mental emosional adalah kondisi
seseorang yang terus tumbuh berkembang dan mempertahankan keselarasan dalam
pengendalian diri, serta terbebas dari stres yang serius. Kemajuan teknologi membawa
perubahan gaya hidup masyarakat dan perubahan cara berfikir yang membawa
konsekuensi pada kesehatan jiwa karena tidak semua orang mampu menyesuaikan diri,
akibatnya akan menimbulkan ketegangan dan kecenderungan peningkatan gangguan
kesehatan jiwa. Di Indonesia, jumlah kasus gangguan jiwa terus bertambah yang
berdampak pada penambahan beban negara dan penurunan produktivitas manusia.
Tujuan. Mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi kesehatan mental emosional
masyarakat.
Subyek dan Metode. Subjek adalah warga Dukuh Gumuk Sari dan Gerjen, Pucangan,
Kartasura. Jenis penelitian analitik dengan desain korelasi. Uji statistik dengan regresi
logistik.
Hasil. Terdapat pengaruh faktor somatik (p=0,001 dan OR=50,708), faktor sosial budaya
(p=0,004 dan OR=7,054) serta faktor psikologis (p=0,058 dan OR=3,800) terhadap
kesehatan mental emosional masyarakat.
Kesimpulan. Faktor somatik, sosial budaya dan psikologis secara bersama-sama
berpengaruh terhadap kesehatan mental emosional masyarakat. Faktor somatik memiliki
pengaruh paling besar terhadap kesehatan mental emosional responden.

Kata kunci: kesehatan mental emosional, psikologis, somatik, sosial budaya

ANALYSIS OF FACTORS THAT INFLUENCE THE MENTAL EMOTIONAL HEALTH


OF THE COMMUNITY AT GUMUK SARI AND GERJEN HAMLET,
PUCANGAN, KARTASURA

Tunjung Sri Yulianti, Dinar Ariasti

Abstract

Background. Mental health or mental emotional health is a condition of someone who


continues to grow and maintain harmony in self-control, and free from serious stress.
Advances in technology bring changes in people’s lifestyle and change in way of thinking
that have consequences in mental health because not everyone can adjust, the result will
be to couse tension and a tendency to increase mental health disorders. In Indonesia the
number of cases of mental disorderes continues to grow which has an impact on
increasing the country’s burden and decreasing human productivity.
The Aim of the Study. To determine the factors that influence the mental emotional health
of the community.
Subject and Method. The subjects were residents of Dukuh Gumuk Sari and Gerjen,
Pucangan, Kartasura. This is analytic research with correlation design, statistical test with
logistic regression.
Results. There is an influence of somatic factors (p value= 0.000 and OR=50,708), socio-
cultural factors (p value= 0.004 and OR= 7,054) and psychological factors (p value=
0.058 and OR=3,800) on mental emotional health of the community.
Conclusion. Somatic, socio-cultural and psychologic factors together have an influence
on the emotional mental health of the community. Somatic factors have the greatest

53
KOSALA: Jurnal Ilmu Kesehatan Vol. 8 No. 2
November 2020

influence on the emotional mental health of respondents.

Keywords: emotional mental health, psychological, social culture, somatic

Korespondensi: Tunjung S. Yulianti. STIKES PANTI KOSALA SURAKARTA, Jalan Raya


Solo - Baki KM. 4 Gedangan, Grogol, Sukoharjo, Jawa Tengah.
Email: tejeyulianti@gmail.com.

LATAR BELAKANG komunitasnya. Umumnya manusia


Hasil Riset Kesehatan Dasar memiliki kemampuan untuk
menyatakan kesehatan jiwa masih menyesuaikan diri dengan baik,
menjadi salah satu permasalahan mampu berfikir secara rasional,
kesehatan yang signifikan di dunia, mampu menghadapi lingkungan
termasuk di Indonesia (Depkes, secara efektif, serta mampu
2013). Menurut data Word Health mengatur dan mengendalikan emosi
Organization (2016), terdapat secara efektif.
sekitar 35 juta orang terkena Di era globalisasi dan modernisasi
depresi, 60 juta orang terkena akibat kemajuan teknologi
bipolar, 21 juta terkena skizofrenia, membawa perubahan gaya hidup
serta 47,5 juta terkena demensia. Di masyarakat modern dan perubahan
Indonesia, dengan berbagai faktor dalam cara berfikir. Perubahan
biologis, psikologis dan sosial tersebut akan membawa
dengan keanekaragaman konsekuensi di bidang kesehatan
penduduk, maka jumlah kasus jiwa karena tidak semua orang
gangguan jiwa terus bertambah mampu menyesuaikan diri,
yang berdampak pada penambahan akibatnya akan menimbulkan
beban negara dan penurunan ketegangan dan kecenderungan
produktivitas manusia untuk jangka peningkatan gangguan kesehatan
panjang. Data Riset Kesehatan jiwa (Azizah, Zainuri dan Akbar,
Dasar (Depkes, 2013) menunjukkan 2016). Jika seseorang mengalami
prevalensi ganggunan mental perubahan fisik atau tingkah laku,
emosional yang ditunjukkan dengan menurunnya semua fungsi kejiwaan
gejala-gejala depresi dan seperti proses berfikir, emosi dan
kecemasan untuk usia 15 tahun ke kemauan dalam memperoleh
atas mencapai sekitar 14 juta orang sesuatu itu merupakan salah satu
atau 6% dari jumlah penduduk bentuk penyimpangan perilaku
Indonesia. Sedangkan prevalensi dalam gangguan jiwa. Keliat (2011)
gangguan jiwa berat, seperti menjelaskan gangguan jiwa
skizofrenia mencapai sekitar merupakan suatu perubahan pada
400.000 orang atau sebanyak 1,7 fungsi jiwa yang menyebabkan
per 1.000 penduduk. adanya gangguan pada fungsi jiwa,
Menurut Undang-Undang penderitaan pada individu dan atau
Kesehatan Jiwa No 18 tahun 2014 hambatan dalam melaksanakan
kesehatan jiwa adalah kondisi peran sosial. Menurut Yosep dan
dimana seorang individu dapat Sutini (2014) sumber penyebab
berkembang secara fisik, mental, gangguan jiwa dipengaruhi oleh
spiritual, dan sosial sehingga faktor dari ketiga unsur yaitu
individu tersebut menyadari somatogenik (badan), sosiogenik
kemampuan sendiri, dapat (sosial) dan psikogenik (psikologis).
mengatasi tekanan, dapat bekerja Biasanya tidak terdapat penyebab
secara produktif, dan mampu tunggal, akan tetapi beberapa
memberikan kontribusi untuk penyebab sekaligus dari berbagai

54
KOSALA: Jurnal Ilmu Kesehatan Vol. 8 No. 2
November 2020

unsur tersebut saling mempengaruhi Pucangan Kecamatan Kartasura


atau kebetulan terjadi bersamaan. Kabupaten Sukoharjo. Di Dukuh
Penelitian Rinawati dan Alimansur Gumuk Sari maupun Gerjen kondisi
(2016) tentang analisa faktor-faktor ekonomi penduduk rata-rata cukup
penyebab gangguan jiwa baik, hampir semua penduduk
menggunakan pendekatan adaptasi bekerja dan berpenghasilan cukup.
stres Stuart, disimpulkan bahwa Hubungan sosial di Dukuh Gerjen
kesehatan jiwa merupakan bagian sangat baik, banyak kegiatan
yang tidak terpisahkan dari masyarakat yang dilakukan setiap
kesehatan secara umum serta minggu, sementara di Dukuh Gumuk
merupakan dasar bagi pertumbuhan Sari jarang ada pertemuan warga.
dan perkembangan manusia. Terdapat warga yang menunjukkan
Penyebab gangguan jiwa terdiri dari gejala gangguan kesehatan jiwa di
faktor predisposisi dan presipitasi. kedua dukuh tersebut.
Faktor ini ditinjau dari aspek
biologis, psikologis dan sosial. TUJUAN PENELITIAN
Faktor predisposisi terbanyak pada Mengetahui faktor-faktor yang
aspek biologis adalah pernah mempengaruhi kesehatan mental
mengalami gangguan jiwa emosional masyarakat di Dukuh
sebelumnya 32 responden (36,2%), Gumuk Sari dan Gerjen, Pucangan,
pada aspek psikologis adalah tipe Kartasura.
kepribadian 39 responden (29,4%)
dan penyebab pada aspek sosial METODE
adalah klien tidak bekerja 41 Penelitian ini merupakan penelitian
responden (23,8%), sedangkan analitik dengan desain korelasi
faktor presipitasi, penyebab pada untuk mengetahui faktor-faktor yang
aspek biologis terbanyak adalah mempengaruhi kesehatan mental
putus obat 32 responden (69,6%), emosional masyarakat. Data
penyebab pada aspek psikologis dianalisis menggunakan analisis
terbanyak adalah pengalaman tidak multivariat yaitu uji Regresi Logistik
menyenangkan 21 responden Ganda.
(45,8%) dan penyebab pada aspek
sosial terbanyak adalah konflik SUBJEK
dengan keluarga atau teman 17 Populasi pada penelitian ini adalah
responden (37%). Sedangkan warga Dusun Gumuk Sari dan
penelitian Yanuar (2012) tentang Gerjen. Dengan quota sampling
Faktor yang Berhubungan dengan diperoleh sampel 219 orang yang
Kejadian Gangguan Jiwa di Desa terdiri dari Dusun Gumuk Sari 92
Paringan Kecamatan Jenangan orang dan Dusun Gerjen 127
Kabupaten Ponorogo dengan hasil orang.
faktor genetik (p=0,030),
kepribadian (p=0,033) dan konsep HASIL PENELITIAN
diri (p = 0,033) memiliki pengaruh Berdasarkan hasil penelitian
besar untuk menentukan terjadinya diketahui distribusi frekuensi
gangguan mental. Jenis pekerjaan karakteristik responden dalam
(p=0,777), dukungan keluarga (p=0, penelitian ini adalah sebagai berikut:
593), tingkat pendidikan (p=0,871),
dan pendapatan nominal (p=0,848),
bukan merupakan penyebab
gangguan mental.
Dusun Gumuk Sari dan Gerjen
berada dalam satu kebayanan yaitu
Kebayanan I di Kelurahan

55
KOSALA: Jurnal Ilmu Kesehatan Vol. 8 No. 2
November 2020

Tabel 1. Hasil analisis bivariat dapat disajikan


Distribusi Frekuensi sebagai berikut:
Karakteristik Responden
Karakteristik f % Tabel 4.
Jenis Kelamin Tabulasi Silang
Laki-laki 99 45,2 Kesehatan Mental
Perempuan 120 54,8 Kategori Tidak p
Mengalami
mengalami
Umur n = 45
n = 174
< 30 tahun 36 16,4 Somatik
31–60 tahun 159 72,6 23 2
Ada
> 60 tahun 24 11 (10,5) (0,9) 0,001
Pendidikan Tidak 22 172
Ada (10,1) (78,5)
SD 23 10,5
Psikologi
SMP 23 10,5 18
Ada 7
SMA 99 45,2 0,001
(8,2) (3,2)
Sarjana 74 33,8 Tidak 27 167
Ada (12,3) (76,3)
Distribusi frekuensi karakteristik pada Sos-Bud
setiap variabel adalah sebagai 19 6
Ada 0,001
berikut: (8,7) (2,7)
Tidak 26 168
Tabel 2. Ada (11,9) (76,7)
Distribusi Frekuensi
Variabel Dependen Dari tabel di atas, jumlah responden
yang memiliki masalah pada faktor
Variabel f %
somatik dan mengalami gejala
Faktor Somatik gangguan kesehatan mental
Ada 25 11,4 emosional sebanyak 23 orang
Tidak Ada 194 88,6 (10,5%). Responden yang memiliki
Faktor psikologis masalah pada faktor psikologis dan
Ada 25 11,4 mengalami gejala gangguan
Tidak ada 194 88,6 kesehatan mental emosional
Faktor Sos-bud sebanyak 18 orang (8,2%).
Responden yang memiliki masalah
Ada 25 11,4
terkait sosial budaya dan mengalami
Tidak ada 194 88,6 gangguan mental emosional
sebanyak 19 orang (8,7%).
Tabel 3. Hasil analisa bivariat terhadap
Distribusi Frekuensi ketiga variabel diperoleh nilai p =
Kesehatan Mental 0.001, sehingga dapat disimpulkan
Kesehatan Mental bahwa ketiga variabel bebas
f %
Emosional semuanya memiliki pengaruh
Mengalami 45 20,5 terhadap variabel terikat sehingga
Tidak mengalami 174 79,5 memenuhi syarat untuk dilakukan
Jumlah 219 100 analisa lebih lanjut dengan
multivariat.
Hasil analisis multivariat dapat
disajikan sebagai berikut:

56
KOSALA: Jurnal Ilmu Kesehatan Vol. 8 No. 2
November 2020

Tabel 5. fisik biasanya diawali dengan


Analisis Multivariat Faktor Somatik, munculnya perasaan rendah diri.
Psikologi, Sosial Budaya dan Hal tersebut sesuai dengan paparan
Kesehatan Mental Emosional dari Yosep dan Sutini (2014) bahwa
Nilai faktor presipitasi dari harga diri
Variabel Nagel rendah biasanya adalah kehilangan
Exp
B Sig kerke R bagian tubuh atau perubahan
(B)
Square penampilan/bentuk tubuh,
Faktor kegagalan atau produktivitasnya
3,926 ,000 50,708 ,526
somatik menurun. Selain rasa rendah diri
Faktor akibat masalah pada fisiknya,
1,335 ,058 3,800 seseorang dengan penyakit
psikologis
Faktor kronis/menahun atau penyakit
1,954 ,004 7,054 berat/terminal juga akan mengalami
sosbud
masalah mental emosional. Individu
tersebut dapat mengalami depresi.
Dari tabel di atas dapat diketahui
Hal tersebut sesuai dengan paparan
bahwa secara bersama-sama faktor
dari Sutejo (2017) bahwa gangguan
somatik, faktor psikologis dan faktor
harga diri kronis biasanya terjadi
sosial budaya mempunyai pengaruh
karena adanya kondisi sakit fisik
terhadap gangguan mental
yang dapat mempengaruhi kerja
emosional. Dilihat dari nilai
hormon secara umum. Hal ini juga
Nagelkerke R Square pengaruhnya
berdampak pada keseimbangan
sebesar 52,6%. Nilai OR untuk
neurotransmitter di otak, seperti
faktor somatik sebesar 50,708,
menurunnya kadar serotonin yang
faktor sosial budaya sebesar 7,054
dapat mengakibatkan klien
dan faktor psikologis sebesar 3,800.
mengalami depresi. Yosep dan
Sutini (2014) juga memaparkan
PEMBAHASAN
bahwa penyakit fisik terutama
Data menunjukkan dari analisis
penyakit kronis dan terminal serta
bivariat maupun multivariat terhadap
cidera merupakan salah satu
faktor somatik diperoleh nilai p=
sumber stress yang dapat
0,001. Hasil ini menunjukkan bahwa
menimbulkan depresi dan
faktor somatik memiliki pengaruh
kecemasan.
signifikan terhadap kesehatan
Hasil statistik multivariat untuk
mental emosional responden. Faktor
variable somatik menunjukkan nilai
somatik dalam penelitian ini adalah
B = 3,296, Sig = 0,001 dan OR =
kondisi yang berupa gangguan fisik
50,708. Berdasarkan hasil statistik
atau penyakit yang dapat
tersebut dapat kita lihat bahwa
mempengaruhi kesehatan mental
faktor somatik mempunyai korelasi
emosional. Dari data diketahui
positif terhadap kesehatan mental
bahwa jumlah responden yang
emosional, semakin tinggi/banyak
memiliki masalah pada faktor
gangguan somatik maka semakin
somatik lebih banyak yang
tinggi resiko mengalami masalah
mengalami gejala gangguan
kesehatan mental emosional yaitu
kesehatan mental emosional yaitu
sebesar 50,708. Hasil ini senada
23 orang (10,5%).
dengan penelitian analisis lanjut dari
Faktor somatik atau aspek biologis
data Riskesdas tahun 2007 yang
memiliki peran dalam menyebabkan
dikutip oleh Wardhani, et al. (2016),
gangguan jiwa pada seseorang.
tentang pelayanan kesehatan
Kondisi mental emosional atau
mental dalam hubungannya dengan
keseimbangan jiwa yang terganggu
disabilitas dan gaya hidup
akibat kondisi tubuh atau gangguan
masyarakat Indonesia, yang

57
KOSALA: Jurnal Ilmu Kesehatan Vol. 8 No. 2
November 2020

menunjukkan hasil terdapat asosiasi aspek biologis, psikologis dan


(hubungan) yang bermakna antara sosial. Faktor predisposisi terbanyak
disabilitas dan gangguan mental pada aspek biologis adalah klien
emosional. Kondisi ini dapat pernah mengalami gangguan jiwa
dipahami karena seseorang yang sebelumnya (36,2%), pada aspek
mengalami disabilitas fisik dan psikologis adalah tipe kepribadian
disabilitas sosial akan dapat (29,4%) dan penyebab pada aspek
mempengaruhi kondisi kejiwaan sosial adalah klien tidak bekerja
mereka. Bahwa kondisi fisik dapat (23,8%), sedangkan faktor
menyebabkan persoalan mental dan presipitasi, penyebab pada aspek
sebaliknya masalah/kesulitan biologis terbanyak adalah putus
mental dapat memperburuk gejala obat (69,6%), penyebab pada
fisik. Hasil penelitian lain yang aspek psikologis terbanyak adalah
menguatkan adalah penelitian yang pengalaman tidak menyenangkan
dilakukan oleh Widakdo, Giri dan (45,8%) dan penyebab pada aspek
Besral (2013) tentang efek penyakit sosial terbanyak adalah konflik
kronis terhadap gangguan mental dengan keluarga atau teman (37%).
emosional dimana diperoleh hasil Untuk faktor sosial budaya hasil
responden yang menderita satu analisa bivariat diperoleh nilai p=
penyakit kronis beresiko 2,6 kali 0,001, sedangkan dari analisis
lebih besar untuk mengalami multivariat diperoleh nilai p= 0,004.
gangguan mental emosional, begitu Hasil tersebut menunjukkan bahwa
juga yang menderita dua penyakit faktor sosial budaya memiliki
kronis beresiko 4,6 kali dan yang pengaruh terhadap kesehatan
menderita tiga penyakit kronis atau mental emosional responden. Faktor
lebih beresiko 11 kali. sosial budaya adalah faktor yang
Data penelitian ini juga berupa gangguan nilai, tata sosial
menunjukkan hal lain, dimana dan tata laku manusia yang dapat
responden yang tidak memiliki mempengaruhi kesehatan mental
masalah pada faktor somatik tetapi emosional masyarakat. Dari data
mengalami gangguan mental diketahui bahwa jumlah responden
emosional sebanyak 22 orang yang memiliki masalah pada faktor
(10,1%). Hal ini menunjukkan sosial budaya lebih banyak yang
bahwa gangguan mental emosional mengalami gejala gangguan
yang dialami responden mungkin kesehatan mental emosional yaitu
dipengaruhi oleh faktor yang lain. 19 orang (8,7%).
Karena gangguan jiwa dapat Menurut teori dari Caplan dan Szasz
disebabkan oleh multi faktor seperti yang dikutip oleh Yosep dan Sutini
yang dipaparkan oleh Yosep dan (2014) seseorang akan mengalami
Sutini (2014) bahwa sumber gangguan jiwa atau penyimpangan
penyebab gangguan jiwa perilaku apabila banyak faktor sosial
dipengaruhi oleh faktor dari ketiga dan faktor lingkungan yang akan
unsur yaitu somatogenik (badan), memicu munculnya stress pada
sosiogenik (sosial) dan psikogenik seseorang. Stresor lingkungan
(psikologis). Data ini senada dengan misalnya kebisingan, tuntutan
hasil penelitian Rinawati dan pekerjaan, polusi, sampah dan lain-
Alimansur (2016) tentang Analisa lain. Stressor dari lingkungan
Faktor-Faktor Penyebab Gangguan diperparah oleh stressor dalam
Jiwa menggunakan Pendekatan hubungan sosial misalnya masalah
Adaptasi Stres Stuart, disimpulkan dengan teman kerja, atasan,
bahwa penyebab gangguan jiwa masalah dengan pasangan,
terdiri dari faktor predisposisi dan tetangga, sekolah, guru yang
presipitasi. Faktor ini ditinjau dari mengancam dan lain-lain. Teori dari

58
KOSALA: Jurnal Ilmu Kesehatan Vol. 8 No. 2
November 2020

Stuart yang dikutip oleh Yosep dan ketahui bahwa pada era globalisasi
Sutini (2014) juga menjelaskan dan persaingan bebas ini
bahwa stress dapat timbul dari kecenderungan terhadap
kondisi kronis diantaranya adalah peningkatan gangguan jiwa semakin
masalah dalam keluarga yang besar, hal ini disebabkan karena
berlangsung terus menerus, stresor dalam kehidupan semakin
ketidakpuasan dalam pekerjaan dan kompleks yang meningkatkan resiko
kesendirian. Pada umumnya timbulnya masalah pada kesehatan
stressor terjadi pada perkawinan, mental emosional masyarakat.
problem orangtua, hubungan Akan tetapi dari analisa data juga
interpersonal, pekerjaan, lingkungan ditemukan responden yang tidak
hidup, keuangan, hukum, memiliki masalah pada faktor sosial
perkembangan, faktor keluarga dan budaya tetapi mengalami gangguan
lain-lain. mental emosional sebanyak 26
Hasil statistik multivariat orang (1,9 %). Hal ini sesuai dengan
menunjukkan nilai B = 1,954, Sig = paparan yang telah disampaikan
0,004 dan OR= 7,054. Berdasarkan sebelumnya bahwa kesehatan
hasil statistik tersebut dapat kita lihat mental emosional dipengaruhi oleh
bahwa faktor sosial budaya multifaktor. Yosep dan Sutini (2014)
mempunyai korelasi positif terhadap memaparkan bahwa manusia
kesehatan mental emosional, yaitu bereaksi secara keseluruhan,
semakin tinggi/banyak masalah secara holistik atau secara somato-
sosial budaya maka semakin tinggi psiko-sosial. Dalam mencari
resiko mengalami gangguan penyebab gangguan jiwa, maka
kesehatan mental emosional yaitu ketiga unsur ini harus diperhatikan.
sebesar 7,054 kali. Hasil ini sesuai Untuk faktor psikologi, berdasarkan
dengan penelitian yang dilakukan analisa bivariat menunjukkan
oleh Suerni dan Livana (2019) pengaruh yang signifikan terhadap
tentang gambaran faktor kesehatan mental emosional
predisposisi pasien isolasi sosial dengan nilai p = 0,001. Setelah
dimana diperoleh hasil bahwa salah dianalisis bersama-sama dengan
satu faktor predisposisi adalah faktor somatik dan sosial budaya
faktor sosial budaya yaitu perasaan diperoleh nilai p = 0,058 dan OR =
terintimidasi oleh lingkungan 3,800. Sehingga dapat diambil
sekolah, sosial dan pekerjaan. kesimpulan bahwa pada penelitian
Penelitian serupa yang dilakukan ini yang paling berpengaruh pada
oleh Utomo (2013) tentang kesehatan mental emosional adalah
hubungan antara faktor somatik, faktor somatik sebesar 50,708, dan
psikososial dan sosial-kultural faktor sosial budaya sebesar 7,054.
dengan kejadian skizofrenia Sedangkan faktor psikologis secara
memperoleh hasil yang senada bersama-sama dengan faktor
yaitu ada hubungan antara faktor somatik dan sosial budaya memiliki
sosial-kultural dengan kejadian pengaruh yang paling kecil terhadap
skizofrenia dan responden yang kesehatan mental emosional
mengalami masalah pada faktor responden yaitu sebesar 3,800.
sosial-kultural beresiko 3 kali Hasil ini sangat mungkin
terkena skizofrenia daripada yang dipengaruhi oleh usia dan tingkat
tidak memiliki faktor resiko tersebut. pendidikan responden. Dari data
Dari paparan di atas dapat dipahami yang diperoleh, sebagian besar
bila hasil yang ditemukan responden berusia antara 31-60
menunjukkan pengaruh faktor sosial tahun (72,6%), berpendidikan SMA
budaya terhadap kesehatan mental (45,2%) dan Sarjana (33,8%). Dari
emosional responden. Seperti kita segi usia, sebagian besar

59
KOSALA: Jurnal Ilmu Kesehatan Vol. 8 No. 2
November 2020

responden berada pada usia 31-60 yang dihadapinya. Pendidikan yang


tahun yang masuk pada kategori cukup baik juga akan berkontribusi
dewasa tengah. Menurut Schie pada kepercayaan diri seseorang.
sebagaimana dikutip oleh Mar’at Kepercayaan diri yang tinggi ini
(2015) pada usia ini biasanya nilai akan berdampak pada harga diri
pemeliharaan berkembang yang seseorang. Menurut Yosep dan
terungkap dalam kepedulian kepada Sutini (2014) individu yang memiliki
orang lain, keinginan memberikan harga diri tinggi mampu menghadapi
perhatian, berbagi pengetahuan dan lingkungan secara aktif dan mampu
pengalaman bagi yang beradaptasi secara efektif untuk
membutuhkan. Hal ini membuat berubah serta cenderung merasa
orang dewasa merasa dibutuhkan aman.
dan memiliki arti yang membuat Dari paparan di atas dapat dipahami
mereka tidak terlalu asyik dan larut bila usia dewasa dan tingkat
dengan diri mereka sendiri. Orang pendidikan yang dimiliki responden
dewasa yang berusia antara 40 dapat berkontribusi terhadap
tahun sampai dengan awal 60 kesiapan responden dalam
tahun adalah orang-orang yang beradaptasi dengan lingkungan dan
suka instrospeksi, banyak berbuat menghadapi masalah-masalah yang
sesuatu untuk sisa waktu hidupnya. mungkin muncul dalam hidupnya
Orang dalam usia ini secara mental sehingga memiliki ketahanan
juga akan mempersiapkan diri untuk psikologis yang baik.
sewaktu-waktu menghadapi Data dalam penelitian ini juga
persoalan yang terjadi. Dari paparan menunjukkan responden yang tidak
di atas dapat dipahami apabila memiliki masalah pada faktor
responden memiliki kesiapan mental psikologis tetapi mengalami
yang baik untuk menghadapi gangguan mental emosional
persoalan hidupnya karena sebanyak 27 orang (12,3%). Hal ini
sebagian besar responden berada bisa dipahami karena biasanya tidak
pada usia dewasa. terdapat penyebab tunggal, akan
Sedangkan dari faktor pendidikan, tetapi beberapa penyebab sekaligus
sebagian besar responden memiliki dari berbagai unsur tersebut saling
tingkat pendidikan SMA (45,2%) dan mempengaruhi atau kebetulan
sarjana (33,8%). Dari data tersebut terjadi bersamaan. Reponden
menunjukkan tingkat pendidikan mungkin tidak memiliki masalah
responden cukup baik. Menurut pada faktor psikologis akan tetapi
Wawan dan Dewi (2010) pendidikan memiliki masalah pada faktor
dapat mempengaruhi perilaku somatik atau sosial budayanya
seseorang, pada umumnya makin ataupun sebaliknya sehingga hal
tinggi tingkat pendidikan seseorang tersebut mempengaruhi kesehatan
maka makin mudah menerima mental emosionalnya. Dari uraian di
informasi. Berdasarkan paparan di atas dapat dipahami apabila dalam
atas dapat dipahami bila orang penelitian ini juga ditemukan
dengan pendidikan tinggi lebih responden yang tidak mengalami
memiliki wawasan yang luas, masalah psikologis tetapi
memahami dan memiliki pola hidup mengalami gangguan kesehatan
sehat, mengetahui cara mental emosional.
menyelesaikan masalah, dan cara Berdasarkan paparan pada
mengaktualisasikan potensi diri. pembahasan di atas dapat diketahui
Dalam hal ini responden yang bahwa dalam penelitian ini terdapat
sebagian besar memiliki tingkat beberapa faktor yang berpengaruh
pendidikan yang tinggi akan mampu terhadap kesehatan mental
mengatasi problema kehidupan emosional. Secara bersama-sama

60
KOSALA: Jurnal Ilmu Kesehatan Vol. 8 No. 2
November 2020

dengan faktor sosial budaya dan mengalami gangguan mental


faktor psikologis, faktor somatik emosional pada masyarakat dengan
adalah faktor yang memiliki nilai p = 0,001 dan OR 50,708.
pengaruh paling besar untuk Faktor sosial budaya berpengaruh
meningkatkan resiko mengalami terhadap kesehatan mental
gangguan mental emosional pada emosional dengan nilai p= 0,004
masyarakat. Keluhan somatik, dan OR 7,054. Sedangkan faktor
penyakit kronis atau penyakit psikologik berpengaruh terhadap
terminal menjadi stresor yang dapat kesehatan mental emosional
menyebabkan kecemasan dan dengan nilai p = 0,058 dan
depresi. Menurut Hawari (2011) OR=3,800.
setiap permasalahan kehidupan
yang menimpa pada diri seseorang SARAN
(stresor psikososial) dapat Puskesmas (Community Mental
mengakibatkan gangguan Health Nurse) membentuk kader
fungsi/faal organ tubuh. Reaksi kesehatan jiwa masyarakat dengan
tubuh ini dinamakan stres, memberikan pelatihan terkait
manakala fungsi organ tubuh dengan masalah kesehatan jiwa
sampai terganggu dinamakan masyarakat, selanjutnya kader
distres. Depresi merupakan reaksi memberikan perhatian terhadap
kejiwaan seseorang terhadap stres faktor resiko gangguan mental
yang dihadapinya. Oleh karena emosional terutama faktor somatik
dalam diri manusia itu antara fisik dengan cara memberikan support
dan psikis tidak dapat dipisahkan atau pendampingan terhadap warga
satu sama lain dan saling yang memiliki penyakit kronis atau
mempengaruhi. Serangan yang terminal dan mengoptimalkan
terjadi pada gangguan jiwa biasanya dukungan keluarga, serta
berupa perasaan khawatir berkoordinasi dengan perangkat
berlebihan terhadap hampir semua dan tokoh masyarakat dalam
aspek kehidupan, perasaan lelah mewujudkan desa siaga sehat jiwa.
berlebihan yang tidak disebabkan
karena faktor kelelahan fisik, iritabel DAFTAR PUSTAKA
atau mudah tersinggung, dan gejala Azizah, L. M., I. Zainuri dan A.
fisik seperti kaku otot, pegal-pegal, Akbar. 2016. Buku Ajar
gangguan tidur atau sulit merasa Keperawatan Kesehatan Jiwa.
santai. Ketika penderita mengalami Teori dan Aplikasi Praktik
gangguan tersebut terkadang Klinik. Indomedika Pustaka,
penderita mengabaikannya yang Yogyakarta.
berakibat pada bertambah parahnya Depkes RI. 2013. Laporan Hasil
gangguan yang dialami oleh Riset Kesehatan Dasar
penderita. Oleh karena itu (RIKESDAS) Nasional. Badan
diperlukan adanya upaya Penelitian dan Pengembangan
peningkatan pemahaman DEPKES RI, Jakarta.
masyarakat untuk mencegah Hawari, D. 2011. Manajemen Stres,
terjadinya gangguan jiwa tersebut. Cemas dan Depresi. Fakultas
Kedokteran Universitas
KESIMPULAN Indonesia, Jakarta.
Terdapat beberapa faktor yang Keliat, B. A. 2011. Keperawatan
berpengaruh terhadap kesehatan Kesehatan Jiwa Komunitas.
mental emosional. Secara bersama- EGC, Jakarta.
sama faktor somatik adalah faktor Mar’at, S. 2015. Psikologi
yang memiliki pengaruh paling Perkembangan. PT Remaja
besar untuk meningkatkan resiko Rosdakarya, Bandung.

61
KOSALA: Jurnal Ilmu Kesehatan Vol. 8 No. 2
November 2020

Rinawati, F. dan M. Alimansur. Wawan, A. dan M. Dewi. 2010. Teori


2016. “Analisis Faktor-faktor dan Pengukuran Pengetahuan,
Penyebab Gangguan Jiwa Sikap dan Perilaku Manusia,
Menggunakan Pendekatan Nuha Medika, Yogyakarta.
Model Adaptasi Stress Stuart”. World Health Organization (WHO).
Jurnal Ilmu Kesehatan. Edisi V. (2016). Mental Health.
Kediri. Diakses pada tanggal http://www.who.int/mental_heal
24 April 2019. th/en/ Diakses tanggal 24 April
Suerni, T. dan Livana P.H. 2019. 2019
“Gambaran Faktor Predisposisi Widakdo, Giri dan Besral. 2013.
Pasien Isolasi Sosial”. Jurnal “Efek Penyakit Kronis terhadap
Keperawatan. Diunduh pada Gangguan Mental Emosional”.
tanggal 13 April 2020. Jurnal Kesehatan Masyarakat.
Sutejo. 2017. Keperawatan Diunduh pada tanggal 13 April
Kesehatan Jiwa. Pustaka Baru 2020.
Press, Yogyakarta. Yanuar, R. 2012. “Analisis Faktor-
Utomo, T. L. 2013. “Hubungan Faktor yang Berhubungan
Antara Faktor Somatik, dengan Kejadian Gangguan
Psikososial dan Sosio-Kultur Jiwa di Desa Paringan
dengan Kejadian Skizofrenia”. Kecamatan Jenangan
Thesis. Universitas Kabupaten Ponorogo. Jurnal
Muhammadiyah Surakarta. Ilmu Kesehatan Masyarakat.
Diunduh pada tanggal 13 April Diunduh pada tanggal 25 April
2020. 2019.
Wardhani, Y. Fauziah, Paramita dan Yoseph, H. I dan T. Sutini. 2014.
Astridya. 2016. “Pelayanan Buku Ajar Keperawatan Jiwa
Kesehatan Mental dalam dan Advance Mental Health
Hubungannya dengan Nursing. PT Refika Aditama,
Disabilitas dan Gaya Hidup Bandung.
Masyarakat Indonesia”. Buletin
Penelitian Sistem Kesehatan.
Diunduh pada tanggal 13 April
2020.

62
Sinopsis Jurnal Kesepuluh
Kesehatan jiwa atau kesehatan mental emosional adalah kondisi seseorang yang
terus tumbuh berkembang dan mempertahankan keselarasan dalam pengendalian
diri, serta terbebas dari stres yang serius. Kemajuan teknologi membawa perubahan
gaya hidup masyarakat dan perubahan cara berfikir yang membawa konsekuensi
pada kesehatan jiwa karena tidak semua orang mampu menyesuaikan diri, akibatnya
akan menimbulkan ketegangan dan kecenderungan peningkatan gangguan kesehatan
jiwa.

Dusun Gumuk Sari dan Gerjen berada dalam satu kebayanan yaitu Kebayanan I
di Kelurahan Pucangan Kecamatan Kartasura Kabupaten Sukoharjo. Di Dukuh
Gumuk Sari maupun Gerjen kondisi ekonomi penduduk rata-rata cukup baik, hampir
semua penduduk bekerja dan berpenghasilan cukup. Hubungan sosial di Dukuh
Gerjen sangat baik, banyak kegiatan masyarakat yang dilakukan setiap minggu,
sementara di Dukuh Gumuk Sari jarang ada pertemuan warga. Terdapat warga yang
menunjukkan gejala gangguan kesehatan jiwa di kedua dukuh tersebut.

Tujuan dari penelitian adalah untuk mengetahui faktor-faktor yang


mempengaruhi kesehatan mental emosional masyarakat di Dukuh Gumuk Sari dan
Gerjen, Pucangan, Kartasura. Dengan metode penelitian analitik dengan desain
korelasi untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi kesehatan mental
emosional masyarakat. Data dianalisis menggunakan analisis multivariat yaitu uji
Regresi Logistik Ganda. Populasi pada penelitian ini adalah warga Dusun Gumuk
Sari dan Gerjen. Dengan quota sampling diperoleh sampel 219 orang yang terdiri
dari Dusun Gumuk Sari 92 orang dan Dusun Gerjen 127 orang.

Terdapat beberapa faktor yang berpengaruh terhadap kesehatan mental


emosional. Secara bersama-sama faktor somatik adalah faktor yang memiliki
pengaruh paling besar untuk meningkatkan resiko mengalami gangguan mental
emosional pada masyarakat dengan nilai p = 0,001 dan OR 50,708. Faktor sosial
budaya berpengaruh terhadap kesehatan mental emosional dengan nilai p= 0,004 dan
OR 7,054. Sedangkan faktor psikologik berpengaruh terhadap kesehatan mental
emosional dengan nilai p = 0,058 dan OR=3,800.

Puskesmas (Community Mental Health Nurse) membentuk kader kesehatan jiwa


masyarakat dengan memberikan pelatihan terkait dengan masalah kesehatan jiwa
masyarakat, selanjutnya kader memberikan perhatian terhadap faktor resiko
gangguan mental emosional terutama faktor somatik dengan cara memberikan
support atau pendampingan terhadap warga yang memiliki penyakit kronis atau
terminal dan mengoptimalkan dukungan keluarga, serta berkoordinasi dengan
perangkat dan tokoh masyarakat dalam mewujudkan desa siaga sehat jiwa.

You might also like