Professional Documents
Culture Documents
Model Kerukunan Sosial Pada Masyarakat Multikultural Cina Benteng (Kajian Historis Dan Sosiologis)
Model Kerukunan Sosial Pada Masyarakat Multikultural Cina Benteng (Kajian Historis Dan Sosiologis)
Muhamad Arif
Fakultas llmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Email: arifia555@yahoo.co.id
Abstract
This study was conducted to gain an overview of the historical and sociological perspective of the model of
social harmony in a multicultural society of Cina Benteng, Tangerang. It used descriptive qualitative research
method using an inductive approach in conducting the analysis. Data collection techniques mainly emphasize
on library research techniques, interview, observation, and documentation. There are two important conclusions
generated in this study. The first, models of social cohesion in a multicultural society of Cina Benteng has his-
torically formed since their arrival in the watershed Cisedane. Historical process has made Cina Benteng society
has a unique blend, namely their persistence in holding the customs of their ancestors already hundreds of years
old, as well as their flexibility to enable them to carry out the process of amalgamation, assimilation, and ac-
culturation with the local community and culture as well. Second, in a sociological perspective, the model of social
harmony in Cina Benteng society is not just happening in the field of art, but also occurs in settlement patterns,
language of communication, traditional wedding procession, traditional clothes, gambang kromong music, and
cokek dance.
Keywords: social cohesion, amalgamation, assimilation, acculturation
Abstrak
Penelitian ini dilakukan untuk memperoleh gambaran tentang perspektif historis dan so-
siologis dari model harmoni sosial dalam masyarakat multikultural Cina Benteng, Tangerang.
Studi ini menggunakan metode penelitian deskriptif kualitatif dengan memakai pendekatan
induktif dalam melakukan analisis. Teknik pengumpulan data terutama menekankan pada tek-
nik studi pustaka, wawancara, observasi, dan dokumentasi. Ada dua kesimpulan penting yang
dihasilkan dalam penelitian ini. Yang pertama, model kohesi sosial dalam masyarakat multikul-
tural cina Benteng secara historis terbentuk sejak kedatangan mereka di daerah aliran sungai
Cisedane. Proses sejarah telah membuat masyarakat Cina Benteng memiliki perpaduan unik,
yaitu ketekunan mereka dalam memegang adat istiadat nenek moyang mereka yang sudah ratu-
san tahun, serta fleksibilitas mereka untuk memungkinkan mereka untuk melaksanakan proses
amalgamasi, asimilasi, dan akulturasi dengan masyarakat setempat dan budaya juga. Kedua,
dalam perspektif sosiologis, model harmoni sosial dalam masyarakat Cina Benteng tidak hanya
terjadi di bidang seni, tetapi juga terjadi di pola pemukiman, bahasa komunikasi, prosesi perni-
kahan tradisional, pakaian tradisional, gambang kromong musik, dan cokek tari.
Kata kunci: kohesi sosial, amalgamasi, asimilasi, akulturasi
memaknai masyarakat multikultural sebagai Secara implisit istilah ‘multikultural” itu sendiri
masyarakat yang di dalamnya berkembang adalah konsep kultur yang merujuk pada
banyak kebudayaan.2 Sementara Suryadinata kesamaan bahasa, sejarah, keyakinan agama, asal
mengartikan masyarakat multikultural sebagai wilayah geografis, ras, kebangsaan, dan etnis.4
masyarakat yang tersusun dari berbagai macam Bicara tentang model kerukunan antarumat
bentuk kehidupan dan orientasi nilai.3 beragama dalam perspektif historis dan
Masyarakat multikultural adalah masyarakat sosiologis pada masyarakat Cina Benteng
yang kompleks. Kompleksitas itu membawa Tangerang tidak dapat dilepaskan dari pengaruh
banyak konsekuensi, baik berupa peluang budaya yang kompleks dalam kehidupan
maupun tantangan, dalam pembangunan. masyarakatnya. Masyarakat multikultural yang
Oleh karena itu, kajian terhadap masyarakat berada di wilayah Cina Benteng Tangerang
multikultural menjadi penting, terutama bagi memiliki warna yang sangat beragam dan
bangsa Indonesia yang tengah bersemangat didominasi oleh etnis Sunda, Betawi, Jawa, dan
untuk menggerakkan potensi pembangunan. Cina. Pengaruh kehidupan multikultural sangat
Beberapa kalangan beranggapan bahwa terasa pada komunitas publik dalam kaitannya
keragaman dan keberagamaan tersebut dengan tujuan penelitian ini hal itu antara lain
merupakan akar berbagai konflik sosial yang tampak dalam praktik kerukunan sosial yang
meletus di berbagai kawasan. Ini semakin telah terbangun dalam kehidupan masyarakat
menegaskan bahwa pembentukan karakter Cina Benteng Tangerang.
(character building) menjadi penting agar tercapai Penelitian ini akan difokuskan pada
“nation building” dalam masyarakat dengan model kerukunan sosial pada masyarakat Cina
komposisi multikultural. Benteng Tangerang dalam perspektif historis
Fakta-fakta sosiologis berupa konflik- dan sosiologis. Kajian historis dimaksudkan
konflik sosial yang terjadi dari masyarakat untuk mencari hubungan-hubungan kausalitas
di berbagai daerah tak kurang merupakan terbentuknya masyarakat Cina Benteng
hambatan bagi terbentuknya integrasi sosial yang secara kronologis telah terjadi ratusan
dalam sebuah masyarakat besar yang bernama tahun yang lalu. Sementara kajian sosiologis
masyarakat Indonesia. Dalam konteks ini, dimaksudkan untuk memotret realitas empirik
menjadi penting untuk menggali model-model tentang model-model kerukunan sosial yang
kerukunan sosial pada masyarakat multikultural terbangun dalam kehidupan masyarakat Cina
yang justru telah melembaga dalam kehidupan Benteng Tangerang.
masyarakat Indonesia secara nyata. Dalam hal
ini, masyarakat Cina Benteng Tangerang, baik 2. Rumusan Masalah
secarra historis maupun secara sosiologis, Pertanyaan mendasarnya adalah:
bisa dianggap sebagai salah satu model yang bagaimanakah perspektif historis dan sosiologis
menarik untuk diteliti. Seperti yang secara awam model kerukunan sosial pada masyarakat
diketahui bahwa masyarakat Cina Benteng multikultural Cina Benteng Tangerang? Guna
memiliki keunikan tersendiri dibandingkan mempeorleh jawaban secara lebih detail perlu
dengan masyarakat Banten atau bahkan dimunculkan pertanyaan dasar (basic questions)
masyarakat Indonesia pada umumnya. Wilayah sebagai berikut:
Banten, di mana Tangerang menjadi bagiannya, a. Bagaimanakah perspektif historis
telah menjadi melting pot yang mempertemukan tentang keberadaan masyarakat
berbagai macam etnis, agama, dan budaya. multikultural Cina Benteng di
Dengan demikian, masyarakat Cina Benteng, Kabupaten Tangerang?
Tangerang, dengan komposisi kultur yang b. Bagaimanakah perspektif sosiologis
majemuk, merupakan sampel yang representatif. dari model kerukunan sosial pada
Collaboration with TIFA Foundation, Departement of Antropology, Faculty of masyarakat multikultural Cina Benteng
Social and Political Sciences, Univercity of Indonesia, 2004.
2 C.W. Watson, Multiculturalism Concepts in the Social Studies, Open
Tangerang?
University Press, 2000, h.1.
3 Suryadinata, Penduduk Indonesia, Etnis dan Agama dalam Era 4 C.W. Watson, Multiculturalism Concepts in the Social Studies, Open
Perubahan Politik, Jakarta: LP3ES, 2004, h.ix. University Press, 2000, h.1.
54 Sosio Didaktika: Vol. 1, No. 1 Mei 2014
C. Hasil Penelitian dan Pembahasan terdepan bagi pertahanan Belanda di pulau Jawa.
1. Perspektif Historis Keberadaan Menurut Widodo Adi, keberadaan
Masyarakat Multikultural Cina masayarakat Cina Benteng terjadi setelah
Benteng, Tangerang pemberontakan Cina di Batavia pada tahun
Masyarakat Cina Benteng Tangerang saat 1740 di mana sebagian besar orang-orang Cina
ini merupakan generasi keenam atau ketujuh lari ke kawasan Tangerang dan sebagaian lagi ke
jika dihitung sejak awal kedatangannya di Bekasi. Kawasan Kedaung, Kampung Melayu
Indonesia. Profil dan karakteristiknya yang dan Teluk Naga di Tangerang menjadi kantung-
khas menjadikan mereka sebagai anti-stereotype kantung pecinan baru. Pemberontakan terjadi
dari etnis Cina di Indonesia pada umumnya. untuk merespon keputusan Gubernur Jenderal
Sebut saja taraf ekonomi mereka yang rata- Valkenier untuk menangkapi orang-orang Cina
rata masih berada di bawah standard. Seperti yang dicurigai. Mereka akan dikirim ke Srilanka
realitas di lapangan, mata pencaharian umum untuk dipekerjakan di perkebunan-perkebunan
yang digeluti oleh masyarakat Cina Benteng milik VOC. Namun, pemberontakan
tidak jauh beda dengan penduduk setempat. tersebut segera dapat ditumpas dan bahkan
Meski ada beberapa yang relatif sukses sebagai perkampungan-perkampungan Cina di Batavia
pedagang, namun sebagian besar warga Cina dihancurkan. Sedikitnya 10.000 orang tewas.
Benteng masih hidup sederhana, bahkan tidak Sejak saat itu orang-orang Cina mengungsi
sedikit di antara mereka yang hidup di bawah untuk mencari tempat baru di daerah Tangerang,
garis kemiskinan.17 seperti Mauk, Serpong, Cisoka, Legok, dan
Keunikan masyarakat Cina Benteng bahkan sampai Parung di daerah Bogor.18
terletak pada perpaduan antara keteguhan Dalam hal ini Anita Sugianta, et al.
dan sekaligus kelenturan. Mereka merupakan berpendapat bahwa setelah tragedi Batavia pada
masyarakat yang teguh memegang adat istiadat tahun 1740 tersebut, banyak orang Tionghoa
nenek moyang mereka yang sudah ratusan di Batavia yang kemudian pindah bermukim di
tahun. Hal ini terwujud dalam pelaksanaan daerah Tangerang dekat daerah bekas benteng
upacara sekitar siklus kehidupan (perkawinan Belanda. Peristiwa inilah yang kemudian
ciotao, kehamilan, dan kematian) dan menjadi awal dari penyebutan “Cina Benteng”
upacara hari-hari besar agama (tahun baru bagi masyarakat keturunan Tionghoa yang
Imlek, Cap Go Meh, Ceng Beng Peh Cun, tinggal di daerah tersebut. Mereka kemudian
dan lain sebagainya). Seperti halnya rumah- membaur dengan masyarakat setempat, bahkan
rumah warga Tionghoa pada umumnya, di tidak sedikit di antaranya yang memeluk agama
dalam rumah-rumah mereka masih didapati Islam, menolak makan babi, serta menyatu
altar leluhur sebagai ciri utama kebudayaan dengan adat istiadat penduduk setempat.
Tionghoa. Pada sisi yang lain, masyarakat Cina Menyangkut perpindahan agama tersebut
Benteng merupakan masyarakat yang lentur. memang terdapat beberapa penjelasan, antara
Hal ini ditunjukkan dengan proses amalgamasi, lain adalah untuk menghindari pajak kepala
asimilasi, dan akulturasi dengan masyarakat dan yang khusus dikenakan kepada orang-orang
sekaligus kebudayaan setempat. Tionghoa pada saat itu dan agar diterima
Istilah “China Benteng” berasal dari kata secara baik oleh penduduk setempat. Bahkan
“Benteng”, sebuah nama yang bermula dari tidak sedikit di antara mereka yang melakukan
keberadaan sebuah benteng Belanda di kota amalgamasi, yakni dengan menikahi wanita
Tangerang, yakni yang berada di pinggir sungai setempat, sehingga memberikan kemungkinan
Cisedane. Benteng Belanda tersebut dibangun yang lebih besar untuk terciptanya asimilasi dan
sebagai pos pengamanan guna mencegah aulturasi.
serangan yang datang dari Kesultanan Banten. Pada masa kolonial, masyarakat Cina
Dikaitkan dengan keberadaan Kesultanan Benteng memberikan kontribusi yang besar
Banteng, benteng tersebut merupakan benteng terhadap kelangsungan kekuasaan kolonal
17 Anita Sugianta, et al, Analisa Perubahan Sosial Masyarakat Sawan
Lebak Wangi (Perbandingan Era Reformasi dan Orde Baru), Jakarta: Universitas 18 Lihat artikel Widodo Adi dengan judul ”Gambang Kromong Teluk
Bina Nusantara, 2012. Naga”. Harian Kompas, Selasa 1 Desember 2009.
Muhamad Arif: Model Kerukunan Sosial pasa Masyarakat Multikultural 59
Belanda di Tangerang. Tidak sedikit masyarakat itu hubungan warga Cina Benteng dan pribumi
Cina Benteng yang diangkat menjadi kapitein mengalami kemunduran paling ekstrem.
Tionghoa dan mereka sangat loyal terhadap Terlebih setelah Poh An Tuy, kelompok pemuda
pemerintah kolonial Belanda. Saat kedatangan Cina Benteng pro-NICA, mengirim pasukan
pasukan Jepang, mereka melakukan perlawanan bersenjata dan mengungsikan masyarakat Cina
secara habis-habisan meskipun pada akhirnya Benteng yang selamat ke Batavia. Namun
kalah. akhirnya kerusuhan pro-kemerdekaan itu
Pada tahun 1946 terjadi kerusuhan etnis di berhasil diredam oleh koalisi antara tentara Poh
Tangerang yang melibatkan antara masyarakat An Thuy and tentara Kolonial Belanda.
Cina dan penduduk pribumi. Saat itu penduduk Saat itu, semua etnis Cina Benteng nyaris
pribumi menaruh kecurigaan terhadap terusir, dan ketika kembali, mereka tidak lagi
masyarakat Cina terkait dengan keberpihakannya mendapatkan tanah mereka dalam keadaan utuh.
pada Belanda. Salah satu indikasinya adalah Tanah-tanah para tuan tanah diserobot pribumi.
salah seorang tentara dari Cina Benteng yang Tidak sedikit di antara mereka yang mendapati
pro-NICA, yakni Poh An Tuy, mengirim tentara rumah-rumah yang mereka tinggalkan telah rata
dan mengungsikan masyarakat Cina Benteng dengan tanah.20
yang selamat ke Batavia. Penduduk pribumi Orang Cina Benteng dikenal dengan warna
pendatang, terutama masyarakat Jawa dan kulitnya yang sedikit lebih gelap (walaupun tetap
Madura, beserta beberapa kelompok keagamaan berkulit kuning) dibandingkan warga keturunan
dari masyarakat Sunda dan Betawi, melakukan Cina lainnya di Indonesia. Mereka lebih mirip
peyerangan terhadap orang-orang Cina Benteng dengan orang-orang Vietnam ketimbang orang
karena dianggap terlalu loyal terhadap NICA.19 Tiongkok. Kesenian mereka yang terkenal
Kerusuhan tersebut berhasil diredam oleh adalah kesenian campuran Betawi-Tionghoa,
tentara gabungan NICA dan Poh An Tuy yakni Cokek. Cokek merupakan sebuah tarian
yang membela orang Cina Benteng. Orang- berpasangan lelaki dan perempuan dengan
orang Cina Benteng merasa sangat kehilangan iringan musik gambang kromong.
ketika Belanda meninggalkan Tangerang Agama yang dianut beragam antara lain
pada tahun 50-an dan menyerahkan kota itu Konghucu, Buddhisme, Taoisme, Katholik,
kepada Republik, karena mereka kehilangan Protestan, Pemujaan Leluhur, Pemujaan Surga,
pelindung mereka, maka terjadilah penyerangan dan ada sedikit yang beragama Islam.
dan perampasan terhadap orang-orang Cina Meskipun masyarakat Cina Benteng sudah
Benteng. Tidak sedikit di antara orang-orang tidak berbahasa Cina, namun yang menarik
Cina Benteng yang sebelumnya kemudian mereka tetap melestarikan budaya leluhur dan
berubah menjadi miskin karena harta leluhur tradisi Tiongkok. Hal ini dapat dilihat dari tradisi
mereka dirampas. Kehidupan orang-orang Cina pernikahan mereka yang menggunakan upacara
Benteng terbilang sejahtera pada zaman kolonial pernikahan gaya Dinasti Manchu (Qing).
Belanda. Mereka juga mengenakan pakaian gaya Dinasti
Warga Cina Benteng sempat bersitegang Manchu seperti Manchu Robe dan Manchu Hat
dengan penduduk pribumi setelah Proklamasi pada saat menikah. Orang Cina Benteng adalah
Kemerdekaan. Pada 23 Juni 1946, rumah-rumah satu-satunya komunitas Tionghoa di Indonesia
etnis Tionghoa di Tangerang menjadi sasaran yang memiliki darah orang Manchu. Tidak
kemarahan penduduk. Penduduk yang didukung heran jika hanya orang Cina Benteng yang
oleh kaum Republik menjarah rumah-rumah masih tetap menggunakan upacara nikah gaya
warga Cina Benteng. Kemarahan penduduk Dinasti Manchu setelah Dinasti Qing runtuh
pribumi dipicu oleh ulah seorang tentara NICA pada tahun 1912.21
dari etnis Tionghoa yang menurunkan bendera Dengan demikian, model kerukunan sosial
Merah Putih dan menggantinya dengan bendera pada masyarakat multikultural Cina Benteng
Belanda. Rosihan Anwar dalam harian Merdeka Tangerang terbentuk secara historis sejak
tanggal 13 Juni 1946 menulis bahwa pada saat
20 Ibid.
19 Ibid. 21 Ibid.
60 Sosio Didaktika: Vol. 1, No. 1 Mei 2014
kedatangan mereka di daerah aliran sungai fisik, Ong Gian adalah representasi masyarakat
Cisedane. Proses historis telah menjadikan Cina Benteng pada umumnya. Tidak heran jika
masyarakat Cina Benteng yang memiliki masyarakat Cina Benteng diidentifikasi sebagai
perpaduan yang unik, yakni keteguhan mereka stereotip orang Cina berkulit gelap, jagoan bela
dalam memegang adat istiadat nenek moyang diri, dengan kehidupan yang serba atau malah
mereka yang sudah ratusan tahun, serta miskin.
kelenturan mereka sehingga memungkinkan Wilayah Cina Benteng merupakan wilayah
mereka untuk melakukan proses amalgamasi, yang memiliki beberapa keunikan. Tentu
asimilasi, dan akulturasi dengan masyarakat dan saja keunikan tersebut ditopang oleh kondisi
sekaligus kebudayaan setempat. masyarakat pendukungnya yang bersifat
multikultural. Secara umum tampak rumah-
2. Perspektif Sosiologis Model Kerukunan rumah dan pola permukiman yang khas Cina,
Sosial pada Masyarakat Multikultural lengkap dengan Wihara Maha Bodhi (Tjong
Cina Benteng Tangerang Tek Bio) yang konon sudah berdiri sejak tahun
Dilihat dari ciri fisiologis masyarakat 1837 Masehi.
Cina Benteng tampak berkulit hitam dan nyaris Kondisi sosial masyarakat Cina Benteng
tidak tampak kecinaannya, kecuali pada boleh disebut sebagai salah satu model kerukunan
unsur-unsur religi dan budayanya yang masih sosial yang ada di negeri ini. Di tengah-tengah
mempertahankan tradisi nenek moyang mereka kehidupan masyarakat Cina Benteng terdapat
namun berakulturasi dengan corak lokal. Bisa beberapa rumah ibadah yang mencerminkan
dikatakan bahwa masyarakat Cina Benteng telah adanya umat dari beberapa agama yang berbeda.
mengalami pribumisasi dengan berbaur seperti Sebut saja kelenteng sebagai rumah ibadah bagi
generasi pendahulunya. penganut Khonghuncu, masjid sebagai rumah
Seperti yang diuraikan pada bagian ibadah bagi penganut Islam lengkap dengan
sebelumnya, bahwa setelah tragedi Batavia pada taman pendidikan al-Qur’an, serta gereja
tahun 1740, banyak orang Tionghoa di Batavia sebagai rumah ibadah penganut Kristen. Letak
yang kemudian pindah bermukim di daerah ketiga rumah beribadah yang saling berdekatan
Tangerang dekat daerah bekas benteng Belanda. menunjukkan bahwa masyarakat Cina Benteng
Mereka ingin diterima dengan baik oleh warga memiliki toleransi beragama yang sangat tinggi.
setempat dalam rangka memperoleh kepastian Uniknya, sebagai peranakan Tionghoa, secara
untuk melangsungkan kehidupan secara umum masyarakat Cina Benteng mengakui
normal. Itulah sebabnya mereka berusaha sebagai orang Betawi.
membaur dengan masyarakat setempat. Untuk Perlu dicatat bahwa sepanjang sejarah
mendukung proses pembauran tersebut masyarakat Cina Benteng tidak pernah
mereka melakukan beberapa langkah, antara terjadi konflik yang disebabkan oleh faktor
lain: (1) memeluk agama Islam dan berusaha perbedaan agama dan keyakinan. Dengan
untuk melaksanakan ajarannya, di antaranya demikian, kerukunan sosial pada masyarakat
adalah dengan tidak memakan daging babi, Cina Benteng, terutama kerukunan antarumat
(2) melaksanakan budaya, adat istiadat, dan beragama, merupakan sebuah realitas sosial
tradisi yang terdapat pada masyarakat setempat, yang belum terbantahkan. Justru yang terjadi
serta (3) melakukan amalgamasi, yakni dengan adalah adanya proses asimilasi dan akulturasi,
menikahi wanita setempat. Diduga, amalgamasi sehingga terbentuklah masyarakat Cina Benteng
inilah yang menjelaskan mengapa ciri-ciri fisik yang sama sekali berbeda dengan masyarakat
masyarakat Cina Benteng lebih mirip sebagai Cina di negeri leluhurnya. Salah satu buktinya
penduduk pribumi dibandingkan dengan adalah terlalu sedikitnya warga Cina Benteng
peranakan Cina pada umumnya. Ong Gian yang dapat berbahasa Cina karena telah terbiasa
(47), misalnya. Peranakan Cina Benteng ini dengan penggunaan bahasa Indonesia atau
kulitnya cenderung gelap seperti pribumi, bahasa Betawi sebagai bahasa komunikasi
sementara matanya tidak sipit sebagaimana dalam kehidupan sehari-hari. Kendatipun
peranakan Cina pada umumnya. Dalam hal ciri demikian, mayoritas warga Cina Benteng tetap
Muhamad Arif: Model Kerukunan Sosial pasa Masyarakat Multikultural 61
mempertahankan agama leluhur mereka, yakni perkawinan, sistem religi dan kepercayaan,
Khonghucu dan Budha. termasuk dalam penggunaan bahasa. Bahasa
Produk budaya peranakan Tionghoa tidak di sini menjadi penting karena berfungsi
lepas dari segi kehidupan masyarakat Indonesia. sebagai transmitter komunikasi sehingga
Budaya ini merambah masuk ke dalam segala lambat laun menjadi faktor determinan dalam
hal seperti ritual pernikahan, kuliner, tari-tarian, membentuk sebuah pola pergaulan. Secara
musik, dan lain-lain. Perkembangan budaya teori, proses asimilasi dan akulturasi hanya
pada masyarakat Cina Benteng menjadi bagian terjadi melalui interaksi damai dalam waktu
hidup yang menarik untuk ditelusuri sebagai yang lama. Faktanya, pada masyarakat Cina
salah satu aset budaya bangsa Indonesia. Benteng terdapat beberapa produk budaya
Asimilasi dan akulturasi pada masayarakat sebagai hasil asimilasi dan akulturasi. Produk-
Cina Benteng tidak hanya terjadi dalam lapangan produk asimilasi dan akulturasi tersebut dapat
keseniannya, melainkan juga terjadi pada tradisi diperhatikan dalam Tabel 1 berikut ini.
Tabel 1
Produk asimilasi dan akulturasi pada masyarakat Cina Benteng
No. Produk Keterangan
asimilasi dan
akulturasi
1. Pola Seperti penjelasan David Kwa, peranakan Tionghoa, kaum Tionghoa, untuk
permukiman selanjutnya disebut dengan Cina Benteng, banyak yang tinggal di luar Pecinan,
tepatnya di daerah pedesaan di sekitar daerah aliran sungai Cisedane yang
sekarang dikenal dengan istilah Pasar Lama dan Pasar Baru. Intensitas hubungan
sosial antara masyarakat Cina Benteng dengan masyarakat Betawi lambat laun
menciptakan kemungkinan bagi terjadinya proses asimilasi dan akulturasi
kebudayaan, yakni budaya Tionghoa dengan budaya Betawi. Proses asimilasi dan
akulturasi itulah yang, menurut David Kwa, telah menjadikan masyarakat Cina
Benteng tidak identik dengan kebudayaan Cina asli. Masyarakat Cina Benteng tidak
merayakan Tahun Baru Imlek seperti yang dilakukan oleh orang Cina. Misalnya,
dalam perayaan Tahun Baru Imlek masyarakat Cina Benteng melengkapi hidangan
dengan menyuguhkan nastar dan/atau lepet yang diadopsi dari tradisi Betawi.
4. Pakaian adat Pakaian adat masyarakat Cina Benteng merupakan perpaduan antara pakaian adat
Tionghoa (suku Hokian) dan pakaian adat Betawi. Pakaian adat kaum lelaki berupa
baju koko hitam, celana panjang, dengan topi yang khas yang mirip dengan caping.
Sedangkan pakaian adat wanita yang disebut hwa-kun, berupa blus dan bawahan
lengkap dengan hiasan kepala serta tirai penutup wajah. Selain itu, wanita Cina
Benteng juga mengenakan kebaya encim dengan aksen kembang goyang sebagai
hiasan kepala. Ini menunjukkan pengaruh Betawi dalam pakaian tersebut.
5. Musik Bentuk akulturasi dari budaya Cina dan budaya Betawi juga terlihat pada kesenian
Gambang Lenong yang dimeriahkan oleh orkes pengiring Gambang Kromong. Sebagai
Kromong orkes pengiring, Gambang Kromong dilengkapi dengan beberapa instrumen
musik yang merupakan perpaduan antara alat-alat kesenian Cina dan alat-alat
kesenian lokal. Unsur alat-alat musik Cina terlihat pada musik gesek Cina, yakni
kongahyan, tehyan, dan skong. Unsur alat-alat musik setempat dapat terlihat pada
kecrek, gendang, kempul dan gong. Sementara, terkait dengan Lagu-lagu yang
biasa dibawakan dalam orkes tersebut, selain perpaduan antara lagu-lagu lokal
seperti kicir-kicir, ondel-ondel, jali-jali, dan lagu-lagu Cina pobin mano Kongjilok,
Bankinhwa, Posilitan, dan Caicusiu meskipun pada umumnya hanya disajikan secara
instrumental. Menurut Widodo Adi, Gambang Kromong tercipta ketika orang-
orang Tionghoa peranakan di waktu senggangnya memainkan lagu-lagu Tionghoa
dengan instrumen gesek asal negeri leluhur mereka berupa su-kong, the-hian, dan
kong-a-hian yang dipadu dengan bangsing (suling), kecrek, ningning, dan gambang yang
asli Betawi. Pada tahun 1880-an ditambah lagi dengan kromong, kendang, kempul,
dan gong. Dari sinilah istilah Gambang Kromong berasal.1
6. Tari Cokek Tari Cokek dianggap sebagai tari unggulan yang dipentaskan pada pesta-pesta
hiburan, mulai dari pesta sunatan hingga pesta perkawinan. Pada awalnya Tari
Cokek dibina dan dimiliki oleh kelompok elit, yakni cukong-cukong peranakan
Cina yang kaya raya. Pada dasarnya Tari Cokek tidak dapat dipisahkan dari musik
Gambang Kromong. Dalam Gambang Kromong dikenal perkembangan lagu-
lagu, mulai dari instrumentalia yang berasal dari lagu tradisional Tionghoa yang
berasal propinsi Hokian Cina Selatan, hingga lagu dalem yang dinyanyikan dalam
bentuk pantun berbahasa Betawi yang dibawakan oleh Wayang Cokek. Istilah
cokek berasal dari kata chioun-khek, yang berarti menyanyi dalam bahasa Hokian).
Dalam perkembangan selanjutnya muncul lagu sayur yang diciptakan untuk
ngibing (menari) sehingga menambah peran dari wayang cokek yang tidak sekedar
menyanyi melainkan juga merangkap menjadi penari untuk menemani ngibing
bersama tamu. Ngibing itu sendiri mengindikasikan semakin kuatnya pengaruh
budaya Melayu, Sunda, dan Jawa, di samping tradisi budaya Tionghoa itu sendiri.
Dengan demikian, Gambang Kromong dan/atau Tari Cokek mengindikasikan
sebagai kesenian yang berperan sebagai media komunuikasi antarbudaya.
perpaduan yang unik, yakni keteguhan mereka Agama dalam Era Perubahan Politik. Jakarta:
dalam memegang adat istiadat nenek moyang LP3ES. 2000.
mereka yang sudah ratusan tahun, serta Chinese Indonesians, State Policy, Monoculture and
kelenturan mereka sehingga memungkinkan Multiculture. Easten University Press.
mereka untuk melakukan proses amalgamasi, 2000.
asimilasi, dan akulturasi dengan masyarakat dan Lash, S. and Feathersone, M. (ed). Recognition
sekaligus kebudayaan setempat. Poin penting And Difference: Politics, Identity Multiculture.
yang perlu digarisbawahi dari kelenturan London:Sage Publication. 2002.
masyarakat Cina Benteng antara lain: (1) adanya Watson, CW. Multiculturalism Concepts in the Social
usaha memeluk agama Islam dan berusaha Studies. Open University Press. 2000.
untuk melaksanakan ajarannya kendatipun Adi, W.”Gambang Kromong Teluk Naga”.
masih dalam level terbatas, (2) adanya usaha Harian Kompas, Selasa 1 Desember 2009.
untuk melaksanakan budaya, adat istiadat, dan Suparlan, P. Menuju Masyarakat Indonesia
tradisi yang terdapat pada masyarakat setempat, Yang Multikultural, Makalah, Disajikan
serta (3) melakukan amalgamasi, yakni dengan pada Simposium Internasional Jurnal
menikahi wanita setempat. Antropologi Indonesia ke-3, Membangun
Kedua, dalam perspektif sosiologis, model Kembali “Indonesia yang Bhinneka Tunggal
kerukunan sosial pada masyarakat Cina Benteng Ika”, Menuju Masyarakat Multikultural,
semakin terbentuk memalui proses amalgamasi Universitas Udayana, Denpasar, Bali, 16-
sehingga memberikan kemungkinan yang lebih 19 Juli 2002
terbuka bari proses asimilasi dan akulturasi Karim, A.G. Multikulturalisme. Yogyakarta:
dalam jangka waktu yang panjang. Secara teori, Bahan Ajar Program Pascasarjana
proses asimilasi dan akulturasi hanya terjadi Universitas Gajah Mada. 2010.
melalui interaksi damai dalam waktu yang Haris, S. Paradigma Baru Otonomi Daerah. Jakarta:
lama. Adapun produk asimilasi dan akulturasi Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu
setidaknya dapat diperhatikan dalam hal pola Pengetahuan Indonesia (P2P LIPI). 2001.
permukiman, bahasa komunikasi, prosesi Snelbecker, G. 1984. Learning Theory Instructional
pernikahan tradisional, pakaian adat, musik Theory, and Psycho-educational Design. USA:
gambang kromong, dan tari cokek. McGrau-Hill, Inc.
Suriasumantri, J.S. Berfikir Sistem:Konsep,
Daftar Pustaka Penerapan Teknologi dan Strategi Implementasi.
Jakarta: FPS IKIP Jakarta. 1996.
Parekh, B. Rethingking Multiculturalism: Cultural Sugianta, A. et al. Analisa Perubahan Sosial
Diversity and Political Theory. Cambridge: Harvard Masyarakat Sawan Lebak Wangi
University Press. 2000. (Perbandingan Era Reformasi dan
Denzim, N.K. dan Yvonna S.L. ed. Handbook of Orde Baru). Jakarta: Universitas Bina
Qualitatif Research. Sage Publication. 1996. Nusantara. 2012.
Kamanto, S. “Multicultural Education in Schools: Raco, J.R. Metode Penelitian Kualitatif: Jenis,
Challenges in Its Implementation” Jurnal Karakteristik dan Keunggulannya. Jakarta:
Antropologi Indonesia in Collaboration Grasindo. 2010.
with TIFA Foundation, Departement Moleong, L.J. Metodologi Penelitian Kualitatif: Edisi
of Antropology, Faculty of Social Revisi. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
and Political Sciences, Univercity of 2007.
Indonesia. 2004. Nazir, M. Metode Penelitian. Jakarta: Ghalia
Suryadinata, L. Penduduk Indonesia, Etnis dan Indonesia. 2003.