Download as pdf or txt
Download as pdf or txt
You are on page 1of 37

See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.

net/publication/341877900

Filantropi Berkeadilan Sosial untuk Milenial

Book · April 2020

CITATIONS READS

0 393

2 authors:

Amelia Fauzia Endi Aulia Garadian


Syarif Hidayatullah State Islamic University Jakarta Syarif Hidayatullah State Islamic University Jakarta
31 PUBLICATIONS   192 CITATIONS    19 PUBLICATIONS   21 CITATIONS   

SEE PROFILE SEE PROFILE

Some of the authors of this publication are also working on these related projects:

Practice of Islamic philanthropy for social justice in Indonesia View project

Islamic philanthropy network in Southeast Asia View project

All content following this page was uploaded by Amelia Fauzia on 03 June 2020.

The user has requested enhancement of the downloaded file.


Australia
Global
Alumni

T R OP I
A N
IL IL AN S OS IAL
F E AD
RK untuk
BE
Milenial

Amelia Fauzia dan Endi Aulia Garadian


Kata Pengantar: Prof. Dr. Komaruddin Hidayat
Filantropi Berkeadilan Sosial untuk Milenial
Amelia Fauzia dan Endi Aulia Garadian
© 2020 STF UIN Jakarta

Tim
Amelia Fauzia (Ketua tim) Endi Aulia Garadian
Elvi Fetrina, Muhammad Zuhdi, & Sri Hidayati

Perancang Sampul dan Tata Letak: Kesep

Buku ini merupakan salah satu bagian dari program:


Making Philanthropy Works: Social Justice Philanthropy Mainstreaming among
Indonesian Millennials through Social Experiment Videos and Infographics

ISBN: 978-623-93509-0-1

Penerbit:
Social Trust Fund (STF) Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta
Alamat: Jln. Ir H. Djuanda no 95 Ciputat Timur, Tangerang Selatan, 15412

Dicetak atas dukungan Pemerintah Australia melalui Skema Hibah Alumni


Australia (Australian Alumni Grant Scheme), yang diadministrasikan oleh Australia
Awards di Indonesia. Namun, pandangan dan pendapat di buku ini bersumber dari
penyusun, dan tidak serta merta menggambarkan pandangan Kementerian Luar
Negeri dan Perdagangan Australia (DFAT), Kedutaan Besar Australia, Australia
Awards di Indonesia dan Australia Global Alumni.

Filantopi Berkeadilan Sosial Untuk Milenials is licensed under the Creative


Commons Attribution-NonCommercial 4.0 International License. To view a copy of
this license, visit http://creativecommons.org/licenses/by-nc/4.0/.
Prakata Penerbit

D i tengah keprihatinan Pandemi virus Corona atau Covid19 melanda dunia,


termasuk Indonesia, buku ini kami terbitkan. Pertama, buku ini memang
sudah direncanakan sejak awal Januari 2020, sebelum pandemi melanda
di negeri kita. Kedua, terbitnya buku ini memperlihatkan bahwa kita masih bisa
produktif bekerja walaupun #dirumahaja, mengikuti anjuran social distancing dan
mentaati aturan pemerintah mengenai Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB)
untuk memutus penyebaaran virus. Ketiga, wabah ini justru menjadi
penyemangat bagi kami untuk terus menerbitkan buku karena fenomena
filantropi semakin nyata terlihat. Aksi kedermawanan, filantropi muncul secara
masif, baik dari individu, organisasi, lembaga bergerak membantu puluhan ribu
korban pandemi dan jutaan orang yang terdampak secara langsung dan tidak
langsung akibat pandemi COVID-19.

Kami bersyukur buku ini bisa terbit disela-sela kesibukan pegiat Social Trust
Fund UIN Jakarta membantu 1000-an mahasiswa yang terdampak pandemi
Covid19. Mahasiswa milenial yang terdampak ini tidak patah semangat, bahkan
sebagian mereka ikut turun juga bekerja sebagai volunteer di STF UIN Jakarta
membantu yang lainnya. Itulah semangat kedermawanan. Seperti halnya yang
disebutkan di buku ini bahwa karitas jangka pendek (seperti bantuan makanan
matang) dan filantropi jangka panjang (seperti beasiswa pendidikan, advokasi
kebijakan) itu saling mengisi, itu yang terjadi di STF UIN Jakarta. Kami berupaya
membantu menyediakan makanan siap saji (matang) dan sembako kepada
mahasiswa rantau baik dari Indonesia maupun internasional yang terdampak, dan
juga mengupayakan beasiswa pendidikan dan advokasi serta riset yang
berdampak jangka panjang. Semoga aksi dan buku ini menjadi pembelajaran bagi
para milenial mengenai filantropi dan filantropi berkeadilan sosial.

Buku ini kami persembahkan kepada pada volunteer yang bekerja tak kenal
lelah dan donatur yang mensupport bantuan baik dana, sembako, barang, dan
dukungan moril.
ISI BUKU

Tentang Social Trust Fund UIN Jakarta ............................................................................ 1


Kata Pengantar............................................................................................................................ 3
A. Filantropi: Apa dan Mengapa? ...................................................................................... 7
B. Tentang Kegiatan ............................................................................................................... 9
C. Video Eksperimen Sosial................................................................................................. 11
1. Eksperimen Sosial: Berderma Tidak Memandang Latar Belakang
Agama ............................................................................................................................. 11
Behind the Scene ........................................................................................................ 13
Panti Asuhan ................................................................................................................ 13
Pandangan anak-anak: kental dengan sisi kemanusiaan yang inklusif
........................................................................................................................................... 14
2. Eksperimen Sosial: Kemana Mengalirnya Donasi Kaum Milenial ......... 15
Behind the scene ........................................................................................................ 18
D. Infografis Mengenai Filantropi ..................................................................................... 19
1. Filantropi Apaan Sih? ............................................................................................... 19
2. Filantropi Itu Solusi ................................................................................................... 20
3. Mengapa Harus Filantropi ...................................................................................... 20
4. Menuju Filantropi Berkeadilan Sosial ............................................................... 21
5. Saatnya Perkuat Filantropi Berkeadilan Sosial ............................................. 21
6. Agar Berkeadilan Sosial, Dana Filantropi Digunakan Untuk... ................ 22
7. Filantropi Muslim Melaju Pesat ........................................................................... 22
8. Aktor Filantropi Islam di Indonesia ................................................................... 23
9. Dari Filantropi Untuk Demokrasi ........................................................................ 23
10. Uang 10 Ribu Bisa Jadi Apa Sih?........................................................................... 24
11. Derma Milenial Memperkuat Demokrasi ......................................................... 24
E. Sosialisasi dan Survey Filantropi Milenial ............................................................... 25
Penutup .......................................................................................................................................... 30
Tentang Social Trust Fund UIN Jakarta
Lembaga Filantropi Berbasis Perguruan Tinggi yang Lahir dari
Sebuah Mimpi Besar

Penggagas Social Trust Fund UIN Syarif Hidayatullah Jakarta miris melihat
banyak mahasiswa yang tidak mampu melanjutkan kuliah sehingga
terancam drop out. Selain itu, belum banyak lembaga sosial kemanusiaan
yang fokus pada pendidikan dan menjalani filantropi yang berdampak
jangka panjang dan berkeadilan sosial. Mereka punya mimpi besar yaitu
bagaimana UIN Jakarta bisa memberi beasiswa kepada banyak mahasiswa
dan mendukung universitas memiliki fasilitas dan menjadi kampus kelas
dunia. Salah satu caranya adalah dengan memiliki dana abadi yang sangat
besar.

Rasa “iri” kepada perguruan tinggi besar di dunia seperti Harvard University
menjadi motivasi tersendiri. Harvard, juga universitas besar lainnya di
dunia, seperti Yale, Stanford, Princeton, dan MIT, memiliki dana abadi
(endowment) yang sangat besar. Di tahun 2013 Harvard menyebutkan dana
abadi yang berhasil dihimpunnya sebesar USD 32,3 milyar. Maka wajar,
universitas-universitas di atas dapat memberi beasiswa bagi mahasiswa-
mahasiswa cerdas dari berbagai belahan dunia, dan menyediakan fasilitas
pembelajaran yang sangat baik, sehingga berkontribusi pada penguatan
kapasitas perguruan tinggi. Hasilnya, kualitas pendidikan universitas
mereka tak pernah keluar dari 10 universitas terbaik dunia.

Mimpi besar itu kemudian dirajut melalui langkah-langkah sederhana,


menghimpun dan mengoptimalkan kedermawanan masyarakat, khususnya
di lingkungan terdekat yaitu kampus UIN Jakarta. Dengan tetap fokus pada
bidang pendidikan, STF bekerja pada empat strategi CARE (Charity,
Advokasi, Research & Endowment) dan memiliki visi mewujudkan aktivitas
filantropi untuk kehidupan yang berkeadilan sosial. Agar pengelolaan dana
dilakukan secara profesional, transparan, dan akuntabel, maka STF
memproses sebagai lembaga sosial dan kemanusiaan dengan bentuk
Yayasan pada 20 Juli 2012 dan disahkan oleh Kementerian Hukum dan Hak
Asasi Manusia sebagai badan hukum. Eksistensi STF juga diperkuat dengan
SK Rektor bernomor Un.001/R/HK.00.5/47/2012, sebagai lembaga non-
struktural di bawah UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

1
STF UIN Jakarta berkembang menjadi salah satu lembaga filantropi di
lingkungan perguruan tinggi. Program beasiswa STF terus meningkat, tidak
saja beasiswa prestasi, beasiswa untuk wilayah terpencil, beasiswa
perdamaian, tapi beasiswa yang fokus pada penguatan studi sejarah dan
filantropi yaitu Professor Azyumardi Azra Scholarship. Beasiswa terakhir ini
baru dirilis pada 4 Maret 2020. Selain beasiswa, STF melakukan riset
berkolaborasi dengan lembaga dan universitas tingkat dunia, dan
melakukan advokasi agar praktik kedermawanan masyarakat tidak berhenti
pada karitas jangka pendek, tapi didorong kearah filantropi jangka panjang
yang efektif, berkeadilan sosial, berkelanjutan, inklusif dan non-
diskriminatif.

STF saat ini sudah dipercaya menjadi nazir yang bisa mengelola wakaf
produktif. Salah satu wakaf yang dikembangkan STF adalah CERCONDESO
(Center for Rural Community Development and Social Enterpreneurship). STF
memiliki program advokasi kesehatan dan asuransi mikro BUNGKESMAS
dengan anggota lebih dari 19 ribu orang di seluruh Indonesia. STF juga
menjadi anggota aktif Perhimpunan Filantropi Indonesia, asosiasi Forum
Zakat, calon anggota SEAHUM, masuk sebagai anggota Aliansi Kemanusiaan
Indonesia untuk Myanmar yang menjadi cikal bakal Indonesia Aid, serta
mendapat lisensi dari Badan Wakaf Indonesia untuk mengelola wakaf
produktif.

Mimpi di awal pendirian STF belum tercapai, tapi mimpi itu akan terus
dikejar.

2
Kata Pengantar
Kedermawanan Transformatif dari Para Milenial
Prof. Dr. Komaruddin Hidayat
(Dewan Penasihat STF UIN Jakarta)

Mirip hewan, sesungguhnya manusia itu senang hidup bergerombol agar


bisa bertahan hidup. Namun kebutuhan manusia tidak sekedar bertahan --
lebih jauh dari itu-- melainkan untuk membangun sebuah peradaban. Dalam
bahasa Arab peradaban disebut "hadhoroh" mensyaratkan manusia untuk
hadir dan menetap, bukan nomad, yang kemudian mereka menciptakan
aturan dan konsensus sosial yang dijaga bersama agar kehidupan sosial
berjalan aman dan nyaman. Yang juga menarik direnungkan adalah bahwa
pada dasarnya fitrah manusia itu berderma, merasa hidupnya bermakna
ketika bisa menolong sesamanya. Semaju apapun teknologi artificial
intelligent, ada aspek mendasar yang tidak bisa digantikan, yaitu dorongan
dan kebutuhan untuk saling menyinta, to love and to be loved, kasih-
mengasihi, hidup tolong menolong. Bahkan sering dikatakan, kita hidup di
era kolaborasi.

Oleh karenanya, kata filantropi (cinta kemanusian) merupakan sifat dasar


manusia, antara lain diekspresikan dalam aktivitas derma. Cara kita
berderma sebagai salah satu ekspresi cinta ke orang lain pun bisa dilakukan
dengan berbagai cara. Bukan hanya berupa uang, tapi juga bisa dalam bentuk
tenaga maupun waktu.

Dalam tradisi agama Islam, berderma sudah menjadi pondasi keislaman


yang termaktub dalam Rukun Islam. Muslim yang mampu, wajib
menunaikan zakat. Banyak ayat dalam al-Qur’an menyandingkan kata
menunaikan zakat setelah mendirikan shalat. Lewat Nabi Muhammad,
perintah berzakat (baca: berderma) ini didakwahkan ke masyarakat Muslim
awal sehingga menjadi “tabungan sosial” yang berguna bagi perkembangan
masyarakat.

Indonesia, sebagai negara dengan mayoritas Muslim terbesar di dunia,


punya potensi tabungan sosial yang besar. Doktrin keagamaan tentang
derma begitu mengakar dalam tradisi masyarakat Indonesia. Sebuah survei
(Global@dvisor, 2011) bahkan membeberkan bahwa Muslim Indonesia (91

3
persen) lebih dermawan ketimbang Muslim yang tinggal di negara Arab
Saudi (71 persen) maupun Turki (33 persen).

Bukti lainnya tentang sangat dermawanannya orang Indonesia juga bisa


dilihat di World Giving Index yang rutin dirilis oleh Charities Aid Foundation.
Selama satu lustrum, Indonesia selalu menempati posisi lima negara paling
dermawan di dunia. Bahkan pada 2018, negara kita mampu menduduki
peringkat pertamanya. Selain itu, potensinya juga tidak kecil. Hasil survey
UIN Jakarta pada tahun 2003 menyatakan bahwa besarnya dana zakat dan
sedekah yang didonasikan oleh Muslim di Indonesia adalah 19,3 triliun
rupiah dalam setahun. Riset Social Trust Fund UIN Jakarta memperkirakan
bahwa besaran dana yang disumbangkan Muslim di tahun 2018 sekitar 30
triliun rupiah (baik yang disalurkan melalui lembaga filantropi, disalurkan
secara langsung ke lembaga, maupun diberikan secara langsung kepada
masyarakat yang membutuhkan).

Dari berbagai ilustrasi di atas, maka sangat lazim bila sudah seharusnya
Indonesia tumbuh menjadi negara maju. Aktivitas filantropi yang kuat,
masyarakat sipil menguat, dan secara otomatis memperkuat dan
menstabilkan sistem demokrasi. Sistem demokrasi yang sehat tentu saja
akan berujung pada kemajuan dan kesejahteraan ekonomi. Namun apa daya,
saat ini hal tersebut belum terwujud. Masih jadi teori di atas kertas.

Ketimpangan ekonomi masih mudah ditemukan di sana-sini. Berdasarkan


data, jumlah kekayaan 40 orang terkaya di Indonesia setara dengan 60 juta
jiwa orang miskin. Fakta ini jelas menampar kita semua. Pasalnya. meski
semangat berfilantropi sudah membudaya, tapi kenapa dampaknya belum
begitu terasa. Lantas apa yang salah?

Milenial dan Transformatif

Aktualisasi derma yang belum efektif jadi jawabannya. Selama ini,


masyarakat Indonesia senang berbagi tapi lupa mengawasi. Selain itu gairah
berderma kita masih sebatas pada menolong orang lain hanya di hari itu
sebatas karitatif. Memang baik, tapi kehidupan manusia kemungkinan masih
lebih panjang lagi. Akibatnya kebaikan yang dimaksudkan untuk menambah
pundi-pundi pahala malah bersifat terbatas manfaatnya. Singkat kata,

4
kedermawanan kita belum transformatif. Belum mampu berkontribusi
maksimal dalam mengubah tatanan masyarakat menjadi lebih baik.

Pada era digital ini, para milenial sangat mungkin berkontribusi dalam
mengarusutamakan kedermawanan yang transformatif itu. Memiliki jiwa
kolaborasi dan kepedulian sosial yang tinggi, para milenial ini punya modal
yang baik. Dengan segala potensinya, mereka mampu untuk peduli dan
berfilantropi ala zamannya.

Milenial punya gagasan yang jauh lebih segar daripada generasi sebelumnya.
Melalui inovasi teknologi, para konten kreator, baik yang berbasis platform
YouTube maupun Instagram, mampu mendobrak kedermawanan
tradisional. Model-model kesukarelawanan dalam bentuk tenaga untuk
orang lain bahkan semakin sering bermunculan. Atau bagi yang belum ada
waktu, teknologi memfasilitasi mereka untuk melakukan urun rembug
sosial. Sehingga para milenial ini dapat membuat sebuah kegiatan filantropi
yang sumbangannya tidak hanya berbentuk materi, melainkan tenaga dan
waktu juga. Hal ini tentu sejalan dengan konsep dasar dari filantropi.

Dalam konteks kohesivitas sosial, para milenial ini juga melakukan


penyaluran dana filantropi yang kian inklusif. Saat ini para milenial menjadi
role model dalam melakukan penyaluran lintas agama. Video viral yang
berisi tentang pemberian takjil dan lauk dari seorang Kristiani untuk
seorang supir ojek online yang Muslim menjadi contohnya. Meskipun
berbalut hiburan, toh pesan inklusif bahwa menjadi seorang Indonesia yang
baik adalah merayakan keragaman yang ada sampai juga ke khalayak ramai.

Dengan kekuatan para milenial ini, harapan untuk mewujudkan


kedermawan yang transformatif bukan hanya angan semata. Gerakan
kedermawanan yang berorientasi pada pemberdayaan masyarakat dengan
tujuan terciptanya keberfungsian sosial pun mulai membesar. Bagaikan bibit
pohon yang masih terus disemai dan dirawat, buah kedermawanan
transformatif mungkin belum terasa. Tapi bukan berarti kita berhenti untuk
menyiram dan memupuk pohon ini agar terus tumbuh subur.

Maka dari itu, penting sekali membumikan konsep filantropi di tengah


masyarakat kita. Kedermawanan yang lahir dari rahim agama juga lahir
dalam rangka transformatif itu. Dan tanpa ragu, saya katakan bahwa buku
ini adalah salah satu upaya mewujudkan kedermawan yang kita dengan cita-
citakan bersama tersebut. Berisi sinopsis dari dua video eksperimen dan

5
sebelas infografis, buku ini mampu menjawab kebutuhan zaman tentang
bagaimana mendiseminasi pesan “berat” lewat media yang “ringan”. Isi
kontennya mudah dicerna dan dibuat sesuai dengan gaya milenial. Semoga
buku ini bisa menjadi pupuk bagi pohon bernama kedermawan
transformatif.

6
A. Filantropi: Apa dan Mengapa?
Pertanyaannya, apa itu filantropi dan mengapa harus filantropi? Filantropi
mudahnya adalah segala aktivitas memberi (barang dan uang) dan
kerelawanan dari masyarakat (bukan dari negara) untuk kepentingan
kebaikan bersama. Ya, kedermawanan sosial. Bentuk-bentuk aktivitasnya
beragam, dari sekedar sedekah uang, makanan, kerja gotong royong, zakat,
wakaf, sampai dalam bentuk lembaga filantropi. Istilah filantropi digunakan
karena bisa mewadahi keragaman bentuk kegiatan, juga melingkupi dari
zaman dulu sampai sekarang. Filantropi menjadi semacam istilah generik.
Selain istilah filantropi, ada istilah karitas (charity). Para akademisi
membedakan istilah filantropi dengan karitas. Sedangkan praktisi tidak
terlalu mengindahkan perbedaan ini dan penggunaannya suka
dipertukarkan. Tidak ada yang salah dengan ini. Namun ada konsekuensi
logis dari penggunaan kedua istilah ini yang tidak pada konteksnya, sehingga
menyurutkan dampak dari kegiatan filantropi itu sendiri.

Istilah karitas atau amal, biasanya merujuk kegiatan memberikan bantuan


pada seseorang yang dalam bentuk benda atau barang namun efeknya pada
jangka pendek. Contohnya, pemberian uang pada pengemis. Dalam
kacamata agama, mereka yang membantu akan tetap mendapatkan pahala.
Mau besar ataupun kecil pemberiannya. Walau jelas sifat pemberian ini tidak
berefek jangka panjang. Atau bahkan seperti menutup mata pada
melanggengkan peminta-minta tetap di jalan dan mendorong mengubah
pengemis keluar dari garis kemiskinan.
Sedangkan istilah filantropi (philanthropy) digunakan untuk bantuan yang
bersifat jangka panjang. Memang ada kesan konsep ini (yang berasal dalam
tutur asli bahasa Inggris masa lalu) melekat pada orang yang kaya raya yang
disebut filantropis. Namun saat ini istilah filantropi lebih merujuk pada
bantuan yang kelembagaan, profesional, dan bersifat jangka panjang,
berkelanjutan.
Munculnya gerakan filantropi di abad ke-19 adalah kelanjutan dari kritik
atas gerakan karitas yang tidak mampu mengurangi kemiskinan. Makanya
filantropi sering diistilahkan sebagai gerakan effective giving. Sebagaimana
karitas, bentuknya pun tidak harus uang. Tenaga dan waktu yang
disumbangkan sebagai sukarelawan (volunteer) pun bisa masuk ke dalam
ranah aktivitas filantropi, asal dikelola oleh lembaga secara profesional, dan
bersifat mentarget tujuan jangka panjang.

7
Di atas gerakan filantropi, ada gerakan filantropi berkeadilan sosial. Gerakan
ini bukan saja mendorong pengelolaan dilakukan oleh lembaga khusus
filantropi agar bisa efektif, fokus pada dampak jangka panjang,
berkelanjutan, tetapi juga mentarget akar persoalan penyebab kemiskinan.
Akar persoalan antara lain adalah ketimpangan sosial, diskriminasi sosial
berbasis perbedaan ras, etnis, suku, keyakinan/agama, dan kelompok. Oleh
karena itu, salah satu ciri filantropi berkeadilan sosial adalah inklusif dan
non-diskriminatif.
Buku ini mengarusutamakan konsep filantropi, terkhusus filantropi
berkeadilan sosial. Filantropi bukan sekedar aktivitas di ruang hampa. Tapi
kedermawanan ini dibentuk bukan saja oleh tradisi, keyakinan doktrinal,
dan juga faktor-faktor sosial, politik, ekonomi, sosial, dan budaya yang
mempengaruhi perkembangan masyarakat sebagai pelakunya. Atas dasar
itu, upaya apapun yang hendak dilakukan untuk mendayagunakan filantropi
untuk kemaslahatan sosial harus mempertimbangkan adanya perbedaan
antara harapan dan kenyataan.

8
B. Tentang Kegiatan
Para pembaca yang budiman. Buku yang sekarang ini sedang Anda baca
merupakan sebuah upaya dari kami, STF UIN Jakarta, dalam membumikan
konsep filantropi berkeadilan sosial. Buku ini berisi cuplikan-cuplikan video
eksperimen sosial dan infografis yang sebelumnya hanya bisa dinikmati
secara online. Buku ini bertujuan untuk mendokumentasikan proses
pembuatan eksperimen sosial serta pembuatan infografis, serta
memperlihatkan hasil eksperimen sosial tersebut.
Perlu diketahui bahwa buku ini merupakan sebuah bagian dari proyek
bernama “Making Philanthropy Works”. Sebuah proyek yang punya harapan
supaya para pemuda Indonesia dapat memahami konsep-konsep filantropi.
Alasannya sederhana. Walau masyarakat kita senang berderma, namun
filantropi belum terlihat menggerakan perubahan besar yang dapat
mengurangi kemiskinan dan problem sosial. Filantropi msyarakat Muslim
pun sangat potensial. Dengan donasi zakat dan sedekah sebesar sekitar 30
triliun rupiah dalam setahun (lihat infografis no 7), hanya sekitar 6 triliun
saja yang disalurkan dan dikelola oleh lembaga filantropi. Mayoritas derma
dikelola tidak oleh lembaga filantropi. Oleh karena itu, melalui proyek ini
kami berikhtiar supaya generasi milenial lebih memahami filantropi
sehingga mendorong pengarusutamaan filantropi dibanding karitas jangka
pendek, dan pengarusutamaan praktik filantropi yang berkeadilan sosial.
Pada awalnya, kami tidak pernah memikirkan untuk membuat media-media
promosi seperti membuat video eksperimen dan infografis. Namun kami
tersadar bahwa pengarusutamaan dari riset yang dilakukan oleh STF minim
dibaca oleh publik khususnya generasi milenial. Dunia memang sudah
berubah, apalagi di era Revolusi Industri 4.0. Kami memberanikan diri
mengikuti perubahan dunia, dan mencoba menggaet generasi milenial dan
melakukan pengarusutamaan ala generasi ini. Di sini kami menemukan
urgensi untuk lebih bekerjasama dengan dan untuk generasi milenial dan
menggunakan cara ala generasi ini di era kini. Penggunaan teknologi digital
untuk gerakan kemanusiaan juga sudah dimulai. Karena itu, kami
menggunakan video dan infografis untuk mengenalkan konsep filantropi
berkeadilan sosial. Selain itu, gambar bisa lebih efektif dari rentetan kata-
kata.
Dalam pengeksekusiannya, kami melewati tiga fase pengerjaan. Fase
pertama, kami mengekstrak hasil-hasil penelitian kami yang kiranya pas
untuk divisualisasi dalam bentuk video maupun infografis. Kedua, kami
memasuki tahap pembuatan video eksperimen sosial dan infografis. Kami

9
juga melakukan uji coba mempertontonkan video ke beberapa milenial (baik
itu mahasiswa maupun staf lembaga filantropi) untuk melihat respon dan
mendapat masukan. Fase ketiga adalah diseminasi dan promosi. Sesuai
namanya, di fase ini kami melakukan penyebaran produk ini di berbagai
kanal media, terutama media sosial. Buku kecil ini, masuk ke dalam fase yang
ketiga.
Proyek ini mendapat dukungan dari Pemerintah Australia melalui Skema
Hibah Alumni Australia (Australian Alumni Grant Scheme/AGS) yang
diadminstrasikan oleh Australia Awards di Indonesia (AAI). Sebab itu, kami
berterima kasih sebanyak-banyaknya pada AGS dan AAI, tanpa dukungan
mereka proyek ini tidak akan pernah terwujud. Kami juga mengucapkan
terima kasih kepada semua pihak, Prof Azyumardi Azra (konsultan),
narasumber FGD, Adam Giant Rabbani dan tim Nathadisastra Picture
(pembuat video eksperimen sosial), Fakriza Ahmad (pembuat infografis),
para milenial responden video eksperimen, adik-adik dan pengasuh di Panti
Asuhan Annajah di Petukangan Selatan serta Panti Asuhan Yayasan Kasih
mandiri Bersinar di Pasar Minggu, Volunteer dan staf STF, FOZ, mahasiswa
yang memberi komentar dan masukan, dan semua yang membantu program
ini, yang telah mendermakan waktu, pikiran, dan tenaga, supaya proyek ini
dapat terwujud. Ucapan terima kasih ini terlalu kecil untuk mengapresiasi
kontribusi mereka semua.

Lalu, jika upaya penyebaran video dan infografis dilakukan melalui media
sosial ala generasi milenial, mengapa buku ini ada? Karena,
pengarusutamaan tidak bisa hanya dilakukan dengan satu cara, online. Cara-
cara offline, misalnya melalui buku, pendidikan formal, kegiatan-kegiatan
fisik, masih strategis dilakukan. Setidaknya, jika membludaknya data di
media digital, media sosial, membuat informasi mengenai filantropi ini tidak
terlalu mengemuka jejaknya, maka buku ini bisa menjadi obat penawar
melawan lupa.

10
C. Video Eksperimen Sosial

1. Eksperimen Sosial: Berderma Tidak Memandang Latar


Belakang Agama

Bekerjasama dengan dua panti asuhan, tim mendapat total 10


responden berusia antara 13 sampai 15 tahun untuk melakukan
eksperimen sosial. Eksperimen dilakukan di masing-masing panti
asuhan. Tiap anak diberi dua uang kertas senilai 50 ribu rupiah untuk
mereka. Lalu mereka ditanya, akan digunakan apa uang itu. Macam-
macam jawaban, ada yang ingin beli tas karena sudah rusak, ada yang
mau beli sepatu, celana, beli buku, baju, ada yang ingin beli kebutuhan
sehari-hari, ada pula yang ingin disumbangkan karena di panti ia
sudah mendapat semuanya.
Dalam eksperimen, mereka kemudian diminta menonton cuplikan
video. Bagi anak panti Muslim, video memperlihatkan anak Nasrani
yang berjalan ke sekolah dengan sepatu rombeng. Bagi anak panti
Nasrani, mereka menonton video anak Muslim dengan kondisi yang
sama, nyeker, tidak mengenakan sepatu ketika berangkat sekolah.

11
Anak-anak mengekspresikan rasa kasihan dan sedih mereka setelah
menonton video itu. Lalu anak-anak ini ditanya, apakah mereka mau
membantu anak dalam video tersebut? Ekspresi sedih berubah
menjadi semangat ingin membantu. Dan mereka memberikan semua
uang untuk membantu dan memasukkannya ke dalam celengan! Lalu
ketika ditanya, mengapa mereka mau membantu padahal anak di
video itu beda agama dengannya? Anak-anak menjawab dengan
beragam tapi penuh keyakinan, jawaban yang menyentuh yang
intinya mereka berderma dengan tulus tanpa melihat perbedaan
agama.
Video eksperimen sosial dari anak-anak ini memperlihatkan
solidaritas dan nilai inklusivitas yang tinggi. Bahkan anak-anak ini
berpikir dan mempraktikkan berderma kepada siapa yang
membutuhkan tanpa memandang perbedaan latar belakang. Selain
itu, anak-anak yang notabene hidup berkekurangan, ternyata empati,
solidaritas, religiusitas dan kemanusiaan mereka sangat tinggi.
Temuan dari eksperimen sosial di dua panti asuhan berbasis agama di
atas memang tidak bisa dijadikan bahan untuk menggeneralisasi
generasi milenial. Tapi paling tidak bisa memberikan gambaran
bagaimana konsep filantropi yang inklusif dan nondiskriminatif
cukup kuat ada di kalangan milenial.
Saksikan videonya di: https://youtu.be/2J2bTLdPqn8
atau scan kode bar berikut:

12
Behind the Scene
Sebelum infografis dan video
eksperimen dibuat, kami
mengundang para professional
yang terbiasa membuat produk-
produk ini dalam kegiatan FGD
yang dilaksanakan pada 09 Mei
2019. Meski dilakukan pada siang
hari di bulan Ramadhan, M. Rifsal
Brahim dari DAAI TV dan Adam Giant Rabbani dari Nathadisastra
Picture memberikan masukan-masukannya dengan bersemangat dan
antusias. Kami mendapatkan masukan konstruktif dan positif di
segala aspek, mulai dari konsep, pengambilan gambar, dan hal-hal
detail lainnya yang sedang digandrungi oleh kalangan milenial.

Panti Asuhan

Pengambilan gambar
pertama untuk video ini
diambil dan bekerjasama
dengan dua panti asuhan
pada tanggal 20 Juli 2019.
Satu panti asuhan Muslim,
satu lagi panti asuhan
Nasrani. Pengambilan
gambar di dua panti tersebut
dilakukan di hari yang sama,
namun di dua tempat yang
berbeda.
Pertama, kami melakukan pengambilan gambar di Panti Asuhan
Annajah, Petukangan Selatan, Jakarta Selatan. Panti ini merupakan
panti asuhan khusus Muslim yang ada di bawah yayasan pendidikan
Annajah. Ada lima anak yang kami ajak untuk berpartisipasi dalam

13
kegiatan ini, 1 perempuan dan
4 laki-laki. Proses
pengambilan gambar berjalan
seru dan lucu, meski
menghabiskan waktu relatif
lama. Anak-anak begitu polos
memberikan jawaban-
jawabannya, kadangkala
membuat seisi ruangan takjub
kadang terpingkal-pingkal.
Proses seperti ini yang kemudian membuat proses pengambilan
gambar dilakukan berulangkali.
Kedua, pengambilan gambar di Panti Asuhan Yayasan Kasih Mandiri
Bersinar, Pasar Minggu, Jakarta. Anak-anak yang terlibat pada
pengambilan gambar kedua kali ini terdiri dari 2 perempuan dan 3
laki-laki. Meski sudah sore dan kru mulai kelelahan, tingkah polos dan
jenaka anak-anak yang terulang kembali pada pengambilan gambar
kali ini membuat semangat terisi kembali.

Pandangan anak-anak: kental dengan sisi kemanusiaan yang


inklusif
Dari eksperimen dan pengambilan gambar di dua panti, kami
mendapat banyak informasi mengenai kentalnya sisi kemanusiaan
para responden. Sayangnya karena video final hanya beberapa menit,

14
maka tidak semua hasil wawancara ini kami masukkan dalam video
yang dirilis di media sosial.

Di bawah ini beberapa ucapan dari anak-anak panti asuhan ketika


ditanya mengapa mereka mau bemberi kepada orang yang berbeda
agama:
- “karena Tuhan menciptakan manusia tuh sama, gak berbeda.
Semua di dunia ini tuh sama, saudara. Kita tidak boleh tidak
peduli pada orang lain. Kita harus mengasihi mereka…”
- Dia lebih membutuhkan dari saya. Nggak masalah beda agama,
karena dia lebih membutuhkan.
- “Kan kita itu semua diciptakan oleh Allah, jadi nggak ada yang
berbeda satupun.”
- “dia lebih membutuhkan daripada saya, saya sudah enak di
sini”
- “karena rasulullah mengajarkan untuk bersedekah”
- “…tidak memandang agama, kita kan Bhinneka Tunggal Ika.
Jadi kita berbeda-beda tetapi tetap satu, bersaudara.”
- Kita harus berbagi kepada orang lain, agar dia bisa berbahagia.
Kita nggak usah memandang agama, ras, suku. Tapi kita harus
memberi dengan tulus, tanpa mengharap kembali.
Berbasis dari pandangan anak-anak ini, sangat mungkin filantropi
berkeadilan sosial bisa kuat di kalangan generasi milenial, jika
informasi dan pengarusutamaan lebih digiatkan.

2. Eksperimen Sosial: Kemana Mengalirnya Donasi Kaum


Milenial

STF UIN mengajak enam orang generasi milenial untuk melakukan


eksperimen sosial. 60 persen dari total populasi penduduk Indonesia
didominasi usia di bawah 30 tahun, dan mereka inilah kaum milenial.
Pertanyaannya, ke manakah para milenial ini berderma dan
bagaimana?

15
Video eksperimen sosial ini ingin melihat ke mana mereka berderma
dan apakah program pemberdayaan jangka panjang menjadi pilihan
para milenial ini dalam berderma. Ada empat pilihan kotak derma
yang dijadikan eksperimen: 1) memberi makanan, 2) memberi kursi
roda, 3) memberi beasiswa studi, dan 3) berdonasi via lembaga untuk
program pemberantasan korupsi. Lalu responden diberi uang
lembaran 100 ribu rupiah sebanyak 5 lembar. Mereka diminta untuk
berdonasi lalu memilih memasukkan ke kotak mana. Terlihat di video
bahwa donasi program pemberantasan korupsi menjadi yang terkecil,
dibandingkan dengan pilihan yang lain. Lalu responden diminta
membaca surat yang dilampirkan di masing-masing kotak. Surat
bercerita mengenai dampak donasi.
Para responden terperangah ketika tahu dampak dari derma empat
kotak yang berbeda. Ketika ditanya, mereka baru paham mengenai
ada derma jangka pendek, dan ada yang berdampak jangka panjang.
Bahkan ada yang berpikir untuk mengubah pilihan dermanya jika saja
tahu dari awal dampaknya. Di akhir responden menyampaikan bahwa
filantropi jangka panjang itu menjadi urgensi.

16
Video eksperimen sosial ini tidak saja memperlihatkan pilihan derma
generasi milenial, tapi juga memberi wawasan dan membukakan mata
para responden milenial itu sendiri mengenai pilihan derma untuk
tujuan jangka pendek dan filantropi untuk jangka panjang. Memang
eskperimen ini tidak bisa dijadikan bahan untuk menggeneralisasi
milenial. Tapi paling tidak bisa memberikan gambaran bagaimana
milenial merespon bentuk kedermawanan yang karitatif maupun
filantropi.

Saksikan videonya di: https://youtu.be/RxzCQvBwWF0


atau scan kode bar berikut:

17
Behind the scene
Pengambilan gambar
dilakukan di salah satu
studio di bilangan Jakarta
Selatan pada tanggal 13 Juli
2019. Seru, lucu, asyik,
santuy. Di tengah
ekeperimen sosial ini
terjadi ketegangan.
Bagaimana tidak, setelah
dicek, data rekaman dari salah satu kamera dianggap tidak tersimpan
karena ketidaksesuaian format. Untungnya drama ini tidak lama, data
rekaman gambar bisa ditemukan, dan hanya satu volunteer responden
yang melakukan pengambilan gambar ulang. Selain drama kecil ini,
proses eksperimen sosial dan pengambilan gambar berjalan lancar.
Pada eksperimen sosial ini, ada 3 perempuan dan 3 laki-laki yang
terlibat sebagai responden. Mereka berasal dari latar belakang
pekerjaan yang bervariasi, mulai dari wartawan hingga seniman.

Dialog para milenial yang menjadi responden eksperimen sangat


menarik, memperlihatkan pola pikir mereka yang cukup rasional,
kritis, dan terbuka pada informasi yang mereka tidak ketahui. Narasi
bahwa ada jenis derma yang berdampak jangka pendek dan ada yang
berdampak jangka panjang yang lebih berkelanjutan, cukup diterima
dengan baik. Rata-rata
mengatakan wah baru tahu
mengenai konsep filantropi,
dan optimisme bahwa ke
depan mereka akan
mendorong pada derma
jangka panjang. Eksperimen
ini memberi optimism
mengenai adanya potensi
penguatan praktik fillantropi
pada generasi milenial, jika upaya pengarusutamaan diperkuat.

18
D. Infografis Mengenai Filantropi
Di bawah ini 11 infografis yang dibuat berdasarkan hasil riset
fenomena filantropi Islam berkeadilan sosial, sebuah penelitian yang
dilakukan STF UIN Jakarta pada 2017-2018.

1. Filantropi Apaan Sih?

19
2. Mengapa Harus Filantropi

3. Filantropi Itu Solusi

20
4. Menuju Filantropi Berkeadilan Sosial

5. Saatnya Perkuat Filantropi Berkeadilan Sosial

21
6. Agar Berkeadilan Sosial, Dana Filantropi Digunakan Untuk...

7. Filantropi Muslim Melaju Pesat

22
8. Aktor Filantropi Islam di Indonesia

9. Dari Filantropi Untuk Demokrasi

23
10. Uang 10 Ribu Bisa Jadi Apa Sih?

11. Derma Milenial Memperkuat Demokrasi

24
E. Sosialisasi dan Survey Filantropi Milenial
Program “Making Philanthropy Works”, melakukan sosialisasi video
eksperimen dan infografis secara offline dan online. Berikut ini
beberapa gambar kegiatan sosialisasi yang kami lakukan.

Gambar 1 dan 2. Sosialisasi di hadapan Volunteer STF UIN Jakarta


(Agustus 2019)

Gambar 3. Sosialisasi dan diskusi di Fakultas Adab dan Humaniora


(Agustus 2019)

25
Gambar 4 dan 5. Sosialisasi di Festival Filantropi 2-3 November 2019

Gambar 6 dan 7. Sosialisasi di kantor Forum Zakat

26
Sosialisasi offline menjaring lebih dari 500 viewers, terbanyak adalah
mahasiswa UIN Jakarta, khususnya dari Fakultas Adab dan
Humaniora, Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Fakultas Sains dan
Teknologi, serta Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan. Dari
sosialisasi tersebut, ada penonton yang secara sukarela mengisi
kuesioner online. Kami menjaring 81 tanggapan dari para penonton.
Ringkasan hasil survey yang menurut kami menarik, kami tampilkan
di bawah ini.

1. Umur Responden

Sebagian besar responden berumur 19 Tahun


UMUR RESPONDEN
60 53
50
40
30
20 12
7
10 4 2
1 1 1
0
17 18 19 20 21 22 25 35

2. Apakah Para Penonton dapat menangkap pesan dari kedua


video?

(42% responden memberikan skor 10 karena videonya


dapat memudahkan penonton menangkap pesan)

27
3. Apakah video eksperimen sosial dapat memudahkan
penonton memahami konsep filantropi?

(lebih dari 72% responden merasa video eksperimen


sosial dapat memudahkan seseorang dalam memahami
konsep filantropi)

4. Apakah sudah bisa membedakan konsep “charity” dan


“philanthropy” setelah menonton video kami?

(Lebih dari 72% responden sudah bisa membedakan


kedua konsep tersebut)

28
5. Bolehkah berderma ke orang yang berbeda agama??

(95,1% responden mengganggap boleh memberikan


derma ke orang yang berbeda agama?)

6. Setelah menonton dua video mengenai filantropi, kamu akan


memilih berdonasi ke mana?

[Jika ada pilihan seperti di bawah, setelah menonton video, 84


persen responden milenial akan menyalurkan donasinya
melalui lembaga kemanusiaan]

29
7. Apakah video seperti ini perlu dibuat lagi?

(95,1% setuju bila STF UIN Jakarta membuat lagi video


seperti ini)

Penutup

Buku kecil ini adalah salah satu upaya Social Trust Fund
mempromosikan filantropi, khususnya konsep filantropi yang
berkeadilan sosial bagi generasi milenial. Generasi milenial adalah
masa depan dunia.

Eksperimen sosial yang didokumentasikan melalui pembuatan video


menunjukkan kalau konsep filantropi belum dipahami dengan baik,
apalagi filantropi berkeadilan sosial! Ini tidak mengagetkan, karena
toh generasi X juga banyak yang belum paham. Terbukti sekarang,
karitas dan pemberian langsung (tidak melalui lembaga), masih
mendominasi. Namun eksperimen sosial ini memberi optimisme
makin kuatnya praktik filantropi ke depan. Milenial punya kekuatan
rasionalitas, kritisisme, keterbukaan, serta wawasan dan skill bahasa
serta teknologi. Dengan ini, tidak terlalu sulit bagi generasi milenial
untuk menerima konsep filantropi berkeadilan sosial. Tentu saja, jika
upaya pengarusutamaan dilakukan dengan kuat. Kita, anda, juga bisa
ikut melakukannya, kuy!.

30
Social Trust Fund UIN Syarif Hidayatullah
Komplek Rektorat (Samping Daycare) Jl. Ir. H. Juanda No 95 Ciputat 15412
Telp/Fax: 021 7499531 | www.stfuinjakarta.org
Bank BNI 0265.536.255 | Bank Mandiri 164.0000.585440
a/n Social Trust Fund UIN Jakarta

Australia
Global
Alumni

View publication stats

You might also like