Download as docx, pdf, or txt
Download as docx, pdf, or txt
You are on page 1of 21

PROFIL OPEN DEGLOVING DI RSUD JARAGA SASAMEH

JANUARY 2018-JUNI 2019

KARYA TULIS ILMIAH

Oleh:
RADOT OKTORA TUA PASARIBU
WADHE OS TOBING

RSUD JARAGA SASAMEH


KABUPATEN BARITO SELATAN
2019
ABSTRACT

*Radot Pasaribu, **Wadhe Tobing, Jaraga Sasameh Hospital.


*General Practitioner Jaraga Sasameh Hospital, **General Surgeon Jaraga
Sasameh Hospital

Background: Open degloving is a soft-tissue avulsion injury where most of the


skin and subcutaneous tissue are independent of the underlying fascia, muscle or
bone surface. The management of open degloving injuries is still a challenge for
surgeons today. This study aims to describe the profile of open degloving at
Jaraga Sasameh Hospital.
Method: This study is a descriptive study using a cross-sectional method. The
data was taken from medical records from January 2018 - June 2019. Researchers
collected data on age, sex, location of injury, mechanism of injury, co-injury, and
type of surgery performed on patients.
Results: There were 4.03% (n = 16) patients with open degloving which were 11
male patients (68.75%) and 5 female patients (31.25%). The age of young adults
between 21-50 years has the highest incidence of open degloving (50%). Traffic
accidents are the most common mechanism of injury for open degloving
(68.75%). The location of open degloving was found on lower limb (56.25%).
The management of open degloving was done by debridement and wound
suturing without tension.
Discussion: The rising number of the injured patients in every year allows the
open degloving injuries increase as well. Traffic accidents are the high mechanism
of injury coupled with the increasing number of vehicle users particularly for they
who work in productive age between 21-50 years. Assessment of tissue viability
and adequate debridement are important in the management of open degloving
before wound closure is performed.
Conclusion: Within 1.5 years, the open degloving injury patients at Jaraga
Sasameh Hospital were male with traffic accidents as the main cause. Assessment
of tissue viability, debridement, and adequate wound suturing will provide good
results in the management of open degloving injuries. Further research is needed
on the outcomes after surgery.

Keywords: open degloving, debridement, tissue viability


ABSTRAK

*Radot Pasaribu, **Wadhe Tobing, RSUD Jaraga Sasameh Buntok.


*Dokter Umum RSUD Jaraga Sasameh Buntok, **Dokter Spesialis Bedah RSUD
Jaraga Sasameh Buntok

Latar Belakang: Open degloving merupakan cedera avulsi jaringan lunak, di


mana sebagian besar kulit dan jaringan subkutan terlepas dari fasia, otot, atau
permukaan tulang yang mendasarinya. Tatalaksana cedera open degloving masih
menjadi tantangan bagi ahli bedah saat ini. Penelitian ini bertujuan untuk
mendeskripsikan profil open degloving di RSUD Jaraga Sasameh Buntok.
Metode: Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif, dengan menggunakan
metode cross-sectional. Data diambil dari rekam medis dari Januari 2018 - Juni
2019. Peneliti mengumpulkan data tentang usia, jenis kelamin, lokasi cedera,
mekanisme cedera, cedera penyerta, dan jenis tindakan bedah yang dilakukan
pada pasien.
Hasil: Terdapat 4.03 % (n=16) pasien dengan open degloving. Didapatkan pasien
laki-laki sebanyak 11 orang (68.75%) dan perempuan sebanyak 5 orang (31.25%).
Usia dewasa muda antara 21-50 tahun memiliki kejadian open degloving
terbanyak (50%). Kecelakaan lalu lintas merupakan mekanisme cedera terbanyak
untuk kejadian open degloving (68.75%). Didapatkan lokasi open degloving di
bagian tungkai bawah (56.25%). Telah dilakukan penatalaksanaan dengan
debridemen dan jahit luka tanpa tension .
Diskusi: Pasien cedera meningkat setiap tahunnya, memungkinkan cedera open
degloving juga meningkat. Kecelakaan lalu lintas merupakan mekanisme cedera
yang tinggi, dibarengi semakin meningkatnya pengguna kendaraan. Khususnya
bagi yang bekerja di usia produktif antara 21-50 tahun. Penilaian viabilitas
jaringan dan debridement yang adekuat penting dilakukan dalam penatalaksaan
open degloving sebelum dilakukan penutupan luka.
Kesimpulan: Dalam rentang waktu 1,5 tahun, pasien cedera open degloving di
RSUD Jaraga Sasameh Buntok merupakan laki-laki dengan kecelakaan lalu lintas
sebagai penyebab utama. Penilaian viabilitas jaringan, debridement, dan
penjahitan luka yang adekuat akan memberikan hasil yang baik dalam
penatalaksanaan cedera open degloving. Perlunya penelitian lebih lanjut mengenai
outcome pasca tindakan bedah.

Kata kunci: open degloving, debridement, viabilitas jaringan


PENDAHULUAN

Latar Belakang
Kulit merupakan organ tubuh yang terletak paling luar dan memiliki peranan yang
sangat penting. Kulit merupakan organ tipis yang luas. Sebagai penutup, kulit
melindungi tubuh dari trauma mekanis, radiasi, kimiawi, dan dari kuman infeksius. 1
Cedera degloving dihasilkan dari penerapan gaya intensitas tinggi dengan vektor
tangensial yang menentukan kompresi, peregangan, pelintiran dan gesekan jaringan,
menyebabkan avulsi kulit dan jaringan subkutan dari fasia dan bidang otot, dengan
kerusakan pada pembuluh darah perforasi muskulokutan dan fasiokutaneus. Cedera
semacam itu dapat memengaruhi setiap bagian tubuh, tetapi khususnya anggota gerak
badan, batang tubuh, kulit kepala, wajah, dan genitalia. Selain cedera jaringan lokal,
cedera bersamaan yang parah dan kehilangan darah masif biasa terjadi, sehingga kulit dan
jaringan ikat sering nekrosis dengan cepat. 2,3
Deteksi cepat terhadap kerusakan jaringan ikat sangat penting, namun perawatannya
memakan waktu dan seringkali tertunda. Dengan demikian, cedera open degloving yang
parah, jika tidak dikenali dapat berkembang menjadi infeksi atau bahkan menjadi
necrotizing fasciitis. Tingkat keparahan dari komplikasinya tergantung pada mekanisme,
cedera yang terjadi bersamaan, dan sisi anatomi yang terkena dampak dan apakah cedera
degloving terbuka atau tertutup. Banyak faktor yang mempengaruhi hasil, seperti lokasi
anatomi, kekuatan yang menyebabkan cedera, dan adanya cedera terkait. Namun, deteksi
dini merupakan langkah penting untuk hasil yang menguntungkan. 2
Cedera ini terjadi akibat gaya geser sekunder pada jaringan, seperti yang terjadi pada
Kecelakaan Lalu Lintas (KLL). Sering terlibat juga dengan menggunakan sumber energi
tinggi, melibatkan kendaraan kapasitas berat dengan sedikit perlindungan seperti halnya
pengendara sepeda motor. Tren baru ini dikaitkan dengan fraktur yang mendasari pada
40-85%. Muncul sebagai monotrauma atau sebagai polytrauma dengan atau tanpa
kehilangan darah masif; ini memiliki signifikansi dalam estimasi keparahan cedera dan
kebutuhan opsi terapi tambahan.2,3,4
Di Indonesia sendiri, prevalensi kejadian cedera open degloving di tahun 2018
sebanyak 9.2 % meningkat 1% dari tahun 2013. Prevalensi terjadinya cedera di jalan raya
menjadi penyumbang kedua sebanyak 31.4 %. Sebanyak 2.2 % dari angka cedera adalah
(KLL).5
Tatalaksana cedera open degloving masih menjadi tantangan bagi ahli bedah
saat ini. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan profil open degloving di
RSUD Jaraga Sasameh Buntok. Penelitian ini merupakan langkah awal, yang mana
nantinya bisa menjadi bahan untuk penelitian selanjutnya.
TINJAUAN PUSTAKA
Anatomi
Kulit adalah organ kompleks yang meliputi permukaan tubuh dan terus menerus
dengan selaput lendir. Terhitung sekitar 15% dari total berat badan, itu adalah organ
terbesar dalam tubuh manusia. Terdiri dari berbagai jenis jaringan dan sel, kulit yang utuh
melindungi tubuh dari trauma/gangguan eksternal. Namun, kulit juga merupakan sumber
segudang patologi yang meliputi gangguan peradangan, trauma mekanis dan panas,
penyakit menular, dan tumor jinak dan ganas. Asal usul organ ini dan patologi yang
terkait adalah suatu alasan bahwa kulit dan jaringan subkutan tetap menjadi menarik dan
membutuhkan telaah dari berbagai disiplin ilmu bedah yang meliputi bedah plastik,
dermatologi, bedah umum, dan onkologi bedah.6

Komponen jaringan epitel, konektif, vaskular, otot, dan saraf diatur menjadi tiga
lapisan histologis (epidermis, dermis, dan hipodermis), yang bervariasi dalam konsistensi
antara berbagai bagian tubuh. Ketebalan setiap lapisan, distribusi pelengkap jaringan
kulit, kepadatan dan jenis ujung saraf, dan distribusi melanosit hanyalah beberapa
variabel yang berbeda berdasarkan lokasi dan tujuan. Epidermis dan pelengkapnya
berasal dari ektodermal, sedangkan dermis dan hipodermis berasal dari mesodermal. 6
1. Lapisan Epidermis
Epidermis terdiri dari epitel bertingkat yang mengalami regenerasi terus menerus.
Sembilan puluh hingga sembilan puluh lima persen dari sel-sel epitel ini adalah
Anatomi Kulit Manusia. Sumber: Brunicardi FC,
keratinosit yang diturunkan secara ektodermal. Selama diferensiasinya, keratinosit
Andersen DK et al.2015
membentuk sel-sel anukleat yang pipih dan akhirnya terlepas dari permukaan kulit.
Proses ini menghasilkan pembentukan lapisan sel yang berbeda (dari dalam ke
superfisial): stratum basale (lapisan sel tunggal), stratum spinosum (tebal 5 hingga 15
sel), stratum granulare (1 hingga 3 sel), dan stratum corneum (5 hingga 10 sel), yang
kemudian dibagi lagi menjadi lapisan stratum compactum yang dalam dan kompak dan
lapisan stratum disjunctum longgar yang lebih dangkal. Di daerah palmoplantar, lapisan
tambahan, stratum lucidum, dapat dilihat antara strata granulare dan korneum. Waktu
transit (keratinisasi) adalah sekitar 30 hari. Ketebalan epidermis berbeda antara daerah
kulit, mulai dari 50 μm pada kelopak mata hingga 1 mm di atas sol. Intervensi seperti
ekspansi jaringan mengakibatkan penebalan epidermis (dan penipisan dermis). 6
2. Dermis
Dermis adalah jaringan ikat elastis yang kompresibel yang mendukung dan
melindungi epidermis, pelengkap jaringan kulit, dan pleksus neurovaskular. Ini terdiri
dari sel, molekul berserat, dan zat dasar. Itu berputar terus menerus, diatur oleh
mekanisme yang mengendalikan sintesis dan degradasi komponen proteinnya. Ketebalan
dermis sangat bervariasi dengan lokasi anatomi (lebih tebal di bagian belakang, telapak
tangan, dan sol daripada di kelopak mata).6
Dermis papiler (superfisial) membentuk proyeksi ke atas berbentuk kerucut (papilla
dermal) bergantian dengan rete ridge epidermal, sehingga meningkatkan permukaan
kontak antara dermis dan epidermis dan memungkinkan adhesi yang lebih baik di antara
lapisan-lapisan ini. Ini berisi beberapa jenis sel (fibroblas, dermal dendrosit, dan sel
mast), pembuluh darah, dan ujung saraf. Itu terbuat dari serat kolagen diatur dalam
bundel longgar dan serat elastis tipis yang membentang tegak lurus ke persimpangan
dermal-epidermal. Di ekstremitas distal, papila dermal mengandung sel-sel taktil, ujung
saraf khusus bertindak sebagai reseptor mekanik. Dermis reticular (dalam) terbuat dari
bundel kolagen kasar, cenderung terletak sejajar dengan permukaan kulit. Jaringan elastis
juga lebih tebal di lapisan ini. Dermis retikuler berisi bagian dalam pelengkap kulit dan
pleksus vaskular dan saraf.6
3. Hipodermis
Jaringan lemak adalah bagian terdalam kulit, memisahkannya dari fasia otot yang
mendasarinya atau periosteum. Ini memainkan peran penting dalam termoregulasi,
isolasi, penyimpanan energi, dan perlindungan dari cedera mekanis. 6
Sel-sel utama hipodermis adalah adiposit yang besar, sel-sel bulat dengan sitoplasma
yang sarat lipid (trigliserida, asam lemak) menekan nukleus terhadap membran sel.
Adiposit diatur dalam lobulus primer dan sekunder, morfologi yang bervariasi sesuai
dengan jenis kelamin dan wilayah tubuh. Lobulus ini dipisahkan oleh sel-sel jaringan ikat
yang mengandung sel (fibroblas, dendrosit, sel mast), bagian terdalam kelenjar keringat,
dan pembuluh dan saraf berkontribusi pada pembentukan pleksus dermal yang sesuai. 6

Definisi
Cedera degloving atau cedera degloving jaringan lunak telah didefinisikan sebagai
avulsi jaringan lunak, di mana sebagian besar kulit dan jaringan subkutan terlepas dari
fasia, otot, atau permukaan tulang yang mendasarinya. Dinamakan degloving karena
dianalogikan dengan proses melepas glove (sarung tangan). Terminologi degloving
terutama digunakan untuk cedera pada ektremitas atau anggota gerak atau yang berbentuk
tabung.2,4,7

Etiologi
Trauma open degloving dapat disebabkan beberapa faktor, antara lain karena
kecelakaan lalu lintas seperti terlindas dari kendaraan atau kecelakaan akibat dari olah
raga. Trauma open degloving ini mengakibatkan penurunan suplai darah ke kulit, yang
pada akhirnya dapat terjadi kerusakan kulit. 1,6,7
Adapun penyebab lainnya bisa berupa kecelakaan pada escalator atau biasa juga
disebabkan oleh trauma tumpul. Degloving minimal biasa terjadi pada pasien yang sudah
tua, misalnya benturan terhadap meja. 1,6,7

Klasifikasi
Berbagai klasifikasi telah dijelaskan berdasarkan 4 pola degloving (terbatas dengan
abrasi/ avulsi, nonsirkumferensial, bidang tunggal sirkumferensial, dan degloving
multiplane sirkumferensial). Cedera ini dapat terjadi baik dalam isolasi atau jarang dalam
kombinasi. Selain itu, semua cedera degloving diklasifikasikan sebagai terbuka atau
tertutup. Morel-Lavallée Lession (MLL) adalah salah satu jenis yang paling penting dan
merupakan cedera jaringan lunak yang signifikan terkait dengan trauma panggul (30%)
dan paha (20%), meskipun hal ini juga dapat dijumpai di lokasi anatomi lainnya. Lesi
semacam itu dapat terkait dengan olahraga atau disebabkan oleh tabrakan kendaraan
bermotor.3
Cedera jaringan lunak jatuh ke dalam pola yang berbeda sebagai berikut:
Pola 1- degloving terbatas dengan abrasi / avulsi
Terdapat kehilangan jaringan sebagai akibat dari kekuatan abrasif. Ada sedikit
merusak tepi kulit yang tersisa. Karena sebagian besar kasus ini terjadi pada tulang yang
menonjol (seperti malleoli) terdapat tulang / sendi yang terbuka. 8

(a) Pola 1-degloving terbatas dengan abrasi/avulsi, (b) Pemindahan jaringan bebas
seringkali wajib untuk memperbaiki ekstremitas dalam pola ini seperti yang terjadi
di sini. Sumber: Arnez ZM, Khan U, et al. 2010

Pola 2 - Degloving nonsirkumferensial


Dalam pola ini, sebagian besar kulit masih ada sebagai flap atau sebagai area
perusak yang luas. Bidang avulsi, pada dasarnya, terbatas pada satu lapisan tunggal
(biasanya antara fasia profunda dan lemak subkutan dan kulit). 8

(a) Pola-degloving non sirkumferensial. (b) Diikuti dengan eksisi, tertutupi


split skin graft. Sumber: Arnez ZM, Khan U, et al. 2010
Pola 3 - Degloving bidang tunggal sirkumferensial
Baik degloving melingkar terbuka atau tertutup dari integumen terbatas pada bidang
tunggal (biasanya antara fasia profunda dan lemak subkutan dan kulit). 8

(a) Pola degloving bidang tunggal sirkumferensial. (b) Penyelamatan anggota


badan dilakukan dengan transfer jaringan bebas. Sumber: Arnez ZM, Khan U, et
al. 2010

Pola 4- Degloving multiplane sirkumferensial


Selain pola 3 ada juga kerusakan kelompok otot dan bahkan antara otot dan
periosteum. Jelas pola ini menunjukkan tingkat perbaikan yang lebih tinggi pada anggota
gerak.8

(a) Di sini deformasi sangat besar sehingga fasia profunda dirusak dan trauma ditopang
oleh kelompok otot yang mendasarinya (multiplanar degloving). (b) Rekonstruksi definitif
seperti yang terjadi dalam kasus ini. Sumber: Arnez ZM, Khan U, et al. 2010
Mekanisme Trauma
Semua kecelakaan "tumpang tindih" menghasilkan cedera degloving. Kendaraan
yang berat dan bergerak lambat dengan ban besar telah dianggap sebagai yang paling
mungkin menyebabkan cedera degloving, mungkin karena korban lebih mungkin
bersentuhan dengan ban daripada bagian lain dari kendaraan. 9
Mekanisme penting dari cedera ini, seperti yang dijelaskan oleh Slack (1952)
melibatkan avulsi kulit dan lapisan subkutan dengan pemisahan pada bidang di luar fasia
yang dalam dan pecahnya pembuluh muskulo-kutaneus yang perforasi. 9
Jika roda berputar, ban dan jalan bekerja dengan arah yang sama untuk menarik kulit
dari ekstremitas. Kulit dapat tetap utuh menghasilkan "closed" degloving atau pecah di
sisi yang berlawanan, menghasilkan luka terbuka. Jika roda kemudian berjalan melindas
anggota badan, kemungkinan akan terjadi penumpukan dan patah tulang. 9
Jika roda terkunci di bawah pengereman ada kecenderungan yang lebih besar untuk
ekstremitas didorong di depan roda dengan gesekan dari jalan dan ban menghasilkan gaya
puntir yang parah pada kulit di sekitar sumbu pertengahan tungkai. Di sini kulit bisa
pecah pada titik mana pun dan luka bakar pada kulit atau otot lebih mungkin terjadi. Kulit
biasanya mempertahankan beberapa perlekatan perifer sebagai flap, tetapi kadang-kadang
dapat terlepas sepenuhnya.9

Mekanisme trauma cedera degloving.


Sumber: Mcgrouther Da, Sully L.1980
Diagnosis
Cedera open degloving sulit untuk didiagnosis. Penilaian klinis dari cedera open
degloving adalah prediktor yang lemah dari tingkat cedera. Penggunaan fluorescen
intravena telah diusulkan sebagai metode penilaian yang lebih baik, tetapi mungkin
menjadi perkiraan yang berlebihan antara kulit yang masih baik dan yang tidak dapat
diperbaiki. Diagnosis cedera open degloving merupakan sebuah tantangan karena pada
awalnya terkonsentrasi pada keadaan yang paling urgen dan masalah-masalah yang
mengancam anggota tubuh lainnya. Juga terdapat fakta bahwa beberapa dari cedera ini
pada awalnya ringan dan cenderung memburuk seiring waktu menjadi jelas terlihat,
seperti pembengkakan atau perubahan kulit sehingga beberapa lesi dapat terlewatkan dari
diagnosis pada stadium akhir. Jika aliran arteri cukup, jaringan lunak dapat didebridemen
dan ditutup tanpa tension. Setelah avulsi yang tidak lengkap, warna kulit, suhu kulit,
reaksi tekanan, dan perdarahan atau kurangnya pendarahan harus diperiksa dengan cermat
untuk menilai viabilitas.3,10
Diagnosis akurat MLL sering tertunda hingga sepertiga dari pasien, karena
presentasi klinis yang tidak konsisten dan dikarenakan memar kulit awal dapat menutupi
pentingnya cedera jaringan lunak yang mendasarinya. Pada sebagian besar pasien,
diagnosis dibuat dari deteksi klinis daerah yang berfluktuasi dikombinasikan dengan
temuan modalitas pencitraan yang tepat. Penanda serum inflamasi kadang-kadang berada
dalam batas normal. Ultrasonografi, computed tomography (CT), dan magnetic
resonance imaging (MRI) adalah alat yang berguna untuk diagnosis yang tepat. MRI
adalah modalitas pilihan untuk mengevaluasi MLL.3

2.7. Tatalaksana
Prinsip terapi
• Pertahankan struktur sebanyak mungkin
• Penutupan kulit definitif sesegera mungkin
• Debridement dan perbaikan struktur di bawahnya (ORIF, OREF, repair otot,
tendon, dsb)
• Penilaian vitalitas jaringan
• Penutup kulit berkualitas baik
• Pengembalian fungsi segera
• Kemungkinan pengerjaan prosedur sekunder
• Fisioterapi
• Refinement
Pada pasien lanjut usia, perlu diperhatikan pula risiko terjadinya hematom yang
dapat menyebabkan komplikasi pada infeksi, bahkan berpotensi menjadi massa jaringan
lunak. Proses aging mempengaruhi turgor dan menurunkan resistensi terhadap cedera.
Penting untuk menginvestigasi penyebab cedera dan mencari kondisi medis yang
menyertai, seperti neuropati diabetik dan penyakit vaskular pada ekstremitas bawah. 11
Pengobatan cedera jaringan lunak degloving mungkin kompleks dan membutuhkan
penilaian yang hati-hati terhadap luasnya jaringan yang rusak dan suplai darah ke
jaringan yang terkena. Prinsip-prinsip perawatan umum, yaitu mempertahankan jaringan
sebanyak mungkin, penutup kulit primer yang definitif pada tahap awal, penutup kulit
yang berkualitas baik, kembalinya ke fungsi awal, dan perlunya setiap prosedur
sekunder.11
Pada cedera open degloving di ekstremitas, sangat penting untuk memilih modalitas
tatalaksana sembari mempertimbangkan kelangsungan flap avulsi. Banyak teknik telah
didefinisikan untuk menilai kelayakan flap avulsi dalam literatur. Masalah yang paling
penting adalah memutuskan jaringan mana yang akan dilindungi dan jaringan mana yang
akan dibuang.12
Saat ini, perawatan yang digunakan dalam kasus-kasus cedera open degloving
dengan cedera ekstremitas yang kompleks, termasuk debridemen jaringan yang rusak dan
memperbaiki cacat pada jaringan lunak yang sehat. Prinsip-prinsip tersebut juga berlaku
untuk cedera tipe avulsi. Namun, tidak selalu mungkin untuk menilai kelayakan flap
avulsi. Oleh karena itu, berbagai prosedur telah ditetapkan, termasuk adaptasi ulang flap,
rekonstruksi dengan graft, flap bebas atau lokal, revaskularisasi, replantasi, dll. 13
Untuk cedera jari, pilihan bedah pertama dan terbaik adalah selalu prosedur
replantasi dan revaskularisasi. Seringkali, ketika kulit yang telah lepas sepenuhnya dari
tubuh pasien, dapat dikembalikan dengan replantasi. Namun, prosedur ganda ini
membutuhkan keahlian dan biaya yang besar. Selain itu, pasien trauma sering memiliki
cedera yang mengancam jiwa lainnya yang tidak memungkinkan untuk prosedur
replantasi dan revaskularisasi yang lama. 3
Untuk pasien dengan cedera open degloving yang lebih terbatas dengan abrasi
dan/atau avulsi, prosedur transfer jaringan bebas dapat dilakukan untuk menutupi setiap
tendon, tulang, dan sendi yang mendasari luka yang terbuka. Juga, dianjurkan untuk
melakukan eksisi jaringan minimal (termasuk refreshing luka minimal). Rekonstruksi
flap mengarah pada penyembuhan primer yang cepat. Teknik transfer jaringan bebas
meliputi teknik mikrovaskuler satu tahap. Jaringan yang ditransfer dapat berupa flap paha
anterolateral, yaitu flap kulit, atau flap otot latissimus dorsi, yang ditutup dengan cangkok
kulit. Sayangnya, hanya beberapa pusat RS di dunia yang dapat melakukan jenis jaringan
yang dapat ditransfer; prosedur pemindahan jaringan bebas juga dibatasi oleh kebutuhan
akan keahlian dalam bedah mikrovaskuler. Selain itu, setelah rekonstruksi tangan atau
jari yang mengalami cedera open degloving, prosedur sekunder tertentu mungkin
diperlukan (seperti revisi bekas luka, penipisan flap, atau pelepasan secara sindaktili). 11
METODE PENELITIAN
Penelitian ini adalah penelitian deskriptif dengan desain cross-sectional. Desain
penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan profil open degloving di RSUD Jaraga
Sasameh Buntok 2018-2019. Variabel risiko serta efek tersebut diukur menurut keadaan
atau statusnya pada waktu observasi, jadi pada desain cross-sectional tidak ada prosedur
tindak lanjut atau follow-up.Penelitian ini dilakukan mulai bulan Januari 2018 sampai
Juni 2019.
Besar sampel yang digunakan adalah semua pasien yang berhubungan dengan
kejadian cedera open degloving.Teknik pengambilan sampel pada penelitian ini adalah
purposive sampling, yaitu peneliti memilih data berdasarkan pada pertimbangan subyektif
dan praktis, maka dilakukan pengambilan sampel dilakukan dengan memilih secara
sengaja menyesuaikan dengan tujuan penelitian dan kriteria yang telah ditentukan.
Kriteria Inklusi
Kriteria inklusi dalam penelitian ini, yaitu:
a. Memiliki data rekam medis yang jelas,
b. Pasien umum, BPJS atau asuransi lainnya.
Kriteria Eksklusi
Kriteria eksklusi dalam penelitian ini, yaitu:
a. Pasien tanpa rekam medis yang jelas.
Peneliti mengambil data dengan bekerjasama dengan bagian rekam medis RSUD
Jaraga Sasameh Buntok. Sebelumnya melihat data SIRS yang ada di bagian data rekam
medis. Kemudian peneliti memilah pasien bedah yang berhubungan langsung dengan
kriteria inklusi dan eksklusi. Setelah itu peneliti mengambil sampel langsung ke ruang
rekam medis. Dengan membagi sesuai variabel berikut yang dinilai:
i. Karakteristik pasien: jenis kelamin (laki-laki dan perempuan); usia anak (≤20
tahun), dewasa muda (21-50 tahun) dan lanjut usia (>50 tahun)
Analisis data karakteristik pasien akan dilakukan dengan menentukan frekuensi
dan persentasenya. Penyajian data menggunakan tabel distribusi frekuensi.
ii. Karakteristik luka: anatomi, mekanisme trauma, kerusakan penyerta.
Analisis data karakteristik luka akan dilakukan dengan menentukan frekuensi
dan persentasenya. Penyajian data menggunakan tabel distribusi frekuensi.
iii. Karakteristik tindak lanjut: rawatan, tindakan bedah.
Analisis data karakteristik tindak lanjut dilakukan dengan menentukan
frekuensi dan persentasenya. Penyajian data menggunakan tabel distribusi
frekuensi.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil Penelitian
Deskripsi Karakteristik Pasien
Jumlah pasien trauma dari Januari 2018 sampai Juni 2019 adalah 397 orang. Pasien
dengan open degloving berjumlah 16 orang (4.03%). Pasien laki-laki berjumlah 11 orang
(68.75%); pasien perempuan berjumlah 5 orang (31.25%). Berdasarkan usia, anak (≤20
tahun) berjumlah 6 orang (37.50%); dewasa muda (21-50 tahun) berjumlah 8 orang
(50%); lanjut usia (>50 tahun) berjumlah 2 orang (12.50) %.
Karakteristik n (Jumlah) % (Persentase)
Jenis Kelamin
Laki-laki 11 68.75
Perempuan 5 31.25
Usia
Anak (≤20 tahun) 6 37.50
Dewasa Muda (21-50 8 50.00
tahun)
Lanjut Usia (>50 tahun) 2 12.50

Deskripsi Karasteristik Luka


Luka berdasarkan letak anatomi, ekstremitas atas berjumlah 6 orang (37.50%);
ekstremitas bawah berjumlah 9 orang (56.25 %); kepala berjumlah 1 orang (6.25%);
batang tubuh berjumlah 0 rang (0 .00 %).
Luka berdasarkan mekanisme cedera, KLL berjumlah 11 orang (68.75 %);
Kecelakaan Kerja berjumlah 3 orang (18.75 %); Keceklakaan Kegiatan Sehari-hari
berjumlah 2 orang (12.50 %).
Luka berdasarkan cedera penyerta, Trauma Arteri berjumlah 2 orang (12.50 %);
Tanpa trauma arteri berjumlah 14 orang (87.50 %). Sedangkan, fraktur berjumlah 4 orang
(25.00 %); Tanpa Fraktur berjumlah 12 orang (75.00 %)
Karakteristik n (Jumlah) % (Persentase)
Anatomi
Ekstremitas Atas 6 37.50
Ekstremitas Bawah 9 56.25
Kepala 1 6.25
Batang Tubuh 0 0.00
Mekanisme cedera
KLL 11 68.75
Kecelakaan Kerja 3 18.75
Kecelakaan Kegiatan 2 12.50
Sehari-hari
Cedera Penyerta
Trauma Arteri 2 12.50
Tanpa Trauma Arteri 14 87.50
Fraktur 4 25.00
Tanpa Fraktur 12 75.00
Deskripsi Karakteristik Tindak Lanjut
Pasien dengan debridemen dan wound suturing tanpa raw surface sebanyak 10
(83.33%); Pasien dengan debridemen dan wound suturing dengan raw surface sebanyak 2
(16.67%).
Karakteristik n (Jumlah) % (Persentase)
Jenis Penatalaksanaan
Debridemen dan wound 10 83.33
suturing tanpa raw
surface
Debridemen dan wound 2 16.67
suturing dengan raw
surface

Pembahasan
Karakteristik responden
Lekuya et al pada penelitiaannya menunjukkan laki-laki lebih banyak mendapat
cedera open degloving dibandingkan perempuan dengan perbandingan 2:1 di Uganda.
Usia rerata yang terkena open degloving memang di usia produktif rerata usia 29-31
tahun. Penelitian ini menunjukkan hasil sama dengan penelitian sebelumnya, terdapat 11
laki-laki dan 5 perempuan. Sebanyak 8 orang pada usia 21-50 tahun mengalami cedera
open degloving.Peneliti berpendapat bahwa laki-laki muda sering terkena cedera open
degloving karena lebih memiliki banyak aktivitas di luar rumah. 2, 4, 8,10

Karakteristik luka
Letak cedera open degloving paling sering adalah pada ekstremitas
bawah.Mcgrouther et al dalam penelitiannya di Inggris juga menemukan mayoritas
cedera open degloving terjadi di ekstremitas bawah.Hal yang sama juga terlihat di
penelitian Yan H et al di Shanghai, China. Peneliti berpendapat bahwa temuannya hampir
sama dikarenakan bagian ekstremitas bawah adalah paling dekat dengan tanah sehingga
9,14
sering terjadi cedera, apalagi dengan penyebab kecelakaan lalu lintas.
Penelitian ini menemukan 68.75 % cedera open degloving diakibatkan oleh
mekanisme cedera Kecelakaan Lalu Lintas (KLL). Temuan ini hampir sama dengan
penelitian sebelum-sebelumnya dimana KLL-berhubungan dengan cedera dari 45%-97%.
Dengan semakin banyaknya orang berkendara, maka angka kejadiannya kecelakaan juga
meningkat. Peneliti berpendapat bahwa dengan banyaknya akses jalan dan orang yang
memiliki kendaraan semakin banyak juga meningkatkan angka kejadian cedera open
degloving. 2, 4, 8, 13
Lekuya et al dalam penelitiannya menunjukkan cedera open degloving dengan
fraktur lebih banyak dari yang tanpa fraktur. Berbeda dengan penelitian ini, peneliti
mendapatkan data dengan cedera penyerta tanpa fraktur lebih banyak. Sedangkan Piranci
et al dalam penelitiannya mengungkapkan bahwa cedera open degloving tanpa fraktur
lebih banyak daripada dengan fraktur. Peneliti berpendapat bahwa perlunya sampel atau
penelitian lebih panjang agar lebih terdeskripsikan. 4,12
Piranci et al dalam penelitiannya menunjukkan bahwa 2 dari 9 pasien mengalami
amputasi karena ruptur arteri di bagian distal, sehingga dilakukan amputasi pada jari.
Pada penelitian ini ada 2 orang yang terkena trauma arteri namun bisa diatasi dengan
baik, karena tindakan cepat langsung dibuat.4
Karakteristik tindak lanjut
Cedera open degloving adalah cedera parah dengan potensi risiko infeksi, pemulihan
berkepanjangan, dan amputasi. Pasien dengan open degloving di RSUD Jaraga Sasameh
dilakukan debridemen luka dan jahit luka. Sebagai tantangan tatalaksana yang tepat untuk
menilai jaringan yang masih utuh agar bisa tumbuh dengan baik, dengan meninggalkan
jaringan sisa sebanyak mungkin. Akan tetapi terdapat 2 pasien yang dilakukan
debridemen luka dan jahit luka dengan raw surface. Sebenarnya perlu follow-up, untuk
menilai dan mengevaluasi hasil pemulihan lukanya. Peneliti berpendapat bahwa perlu
penelitian lebih lanjut tentang manajemen luka cedera open degloving ini.
Penatalaksanaan open degloving juga harus sebersih mungkin dilakukan debridemen
karena sumber infeksi dapat menjadikan luka susah untuk sembuh. 15
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Kesimpulan yang dapat diambil dalam penelitian ini, yaitu:
a. Pada penelitian ini, jumlah pasien laki-laki 11 orang (68.75%) sedangkan
perempuan 5 orang (32.25%). Umur dewasa muda (21-50 tahun)
berjumlah 8 orang (50.00%).
b. Penilaian viabilitas jaringan, debridement, dan penjahitan luka yang
adekuat akan memberikan hasil yang baik dalam penatalaksanaan cedera
open degloving.
Saran dan Keterbatasan Penelitian
Saran
Saran pada peneliti selanjutnya, hasil penelitian ini dapat dijadikan data awal
atau pendorong peneliti lainnya untuk meneliti ke tahap lebih lanjut di lingkup
kedokteran. Pada penelitian ini kemungkinan karena pasien sedikit, disarankan
pada peneliti selanjutnya untuk memperbanyak jumlah atau lama penelitian untuk
hasil yang lebih baik. Peningkatan keakuratan penelitian, peneliti selanjutnya
disarankan perlu menganalisis hubungan ataupun pengaruh berdasarkan variable
deskripsi pada penelitian ini.

Keterbatasan Penelitian
Penelitian ini memiliki beberapa keterbatasan, yaitu:
 Peneliti belum banyak mendapatkan informasi karena tidak
melakukan follow up terhadap pasien-pasien cedera open degloving.
DAFTAR PUSTAKA

1. de Jong W, Sjamsuhidajat R et al. Buku Ajar Ilmu Bedah: Edisi 3. Jakarta: EGC.
2016; 395
2. Mello DF, Assef JC, et al. Degloving Injuris of trunk and limbs: comparison of
outcomes of early versus delayed assessment by the plastic surgery team. Rev.
Col. Bras. Cir. 2015; 42(3):143-8. Available from:
http://www.scielo.br/pdf/rcbc/v42n3/0100-6991-rcbc-42-03-00143.pdf [Accessed
April, 22nd 2019]
3. Latifi R, El-Henawy H, et al. The therapeutic challenges of degloving soft-tissue
injuries. Journal of Emergencies, Trauma, and Shock. 2014; 7(3):228-32.
Available from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC4126125/
[Accessed April, 22nd 2019]
4. Lekuya HM, Alenyo R, et al. Degloving injuries with versus without underlying
fracture in a sub-Saharan African tertiary hospital: a prospective observational
study. Journal of Ortopaedic Surgery and Research. 2018; 13(2): 1-12 Available
from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC5756448/ [Accessed April,
22nd 2019]
5. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Hasil Utama Riskesdas 2018. Badan
Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementrian Kesehatan RI. 2018: 102-
18. Available from: http://www.depkes.go.id/resources/download/info-
terkini/hasil-riskesdas-2018.pdf [Accessed April, 22nd 2019]
6. Brunicardi FC, Andersen DK et al. Schwartz’s Principles of Surgery:Tenth
Edition.United States: McGrawHill Education. 2015; 473-4
7. Gitto L, Maiese A, Bollino G. A traffic accident resulting in a degloving injury of
the passenger: Case report and biomechanical theory. Rom J Leg Med. 2013; 21:
165-8. Available from: http://www.rjlm.ro/index.php/arhiv/300 [Accessed May,
10th 2019]
8. Arnez ZM, Khan U, et al. Classification of soft-tissue degloving in limb trauma.
Journal of Plastic, Reconstructive & Aesthetic Surgery. 2010; 63: 1865-9.
Available from: https://www.jprasurg.com/article/S1748-6815(09)00804-
3/fulltext [Accessed May, 20th 2019]
9. Mcgrouther Da, Sully L. Degloving Injuries of the Limbs: Long-Term Review
And Management Based On Whole-Body Fluorescence. British Journal of Plastic
Surgery. 1980; 33: 9-24. Avalilable from: https://www.jprasurg.com/article/0007-
1226(80)90046-6/fulltext [Accessed May, 22th 2019]
10. Hakim S, Ahmed K, et al. Patterns and management of degloving injuries: a
single national level 1 trauma center experience. World Journal of Emergency
Surgery. 2016; 11(35): 1-8. Available from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC4962500/ [Accessed May, 21th
2019]
11. Krishnamoorthy R, Karthikeyan G. Degloving injuries of the hand. Indian
Journal Plastic Surgery. 2011; 44: 227-36. Available from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3193635/ [Accessed May, 21 th
2019]
12. Pilanci O, Saydam FA, et al. Management of soft tissue extremity degloving
injuries with full-thickness grafts obtained from the avulsed flap. Ulus Travma
Acil Cerr Derg. 2013; 19(6): 512-20. Available from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/24347210 [Accessed May, 21th 2019]
13. Khan AT, Tahmeedullah, Obaidullah. Degloving injuries of the lower limb. J
Coll Physicians Surg Pak. 2004;14(7):416–8. Available from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/24347210 [Accessed May, 21th 2019]
14. Yan H, Gao W, et al. The management degloving injuries of lower
extremities:Technical Refinement and Classification. Journal of Trauma and
Acute Care Surgery. 2013; 74 (2):604-10. Available from:
https://journals.lww.com/jtrauma/Abstract/2013/02000/The_management_of_deg
loving_injury_of_lower.37.aspx [Accessed May, 21th 2019]
15. Zagrocki L, Ross A et al. Management of Degloving Injuries of the Lower
Extremity: A Case Report of a Forklift Injury. Foot & Ankle Specialist. 2013;
6(2):150-3. Available from:
https://journals.sagepub.com/doi/abs/10.1177/1938640012473147 [Accessed
May, 21th 2019]

You might also like