Download as pdf or txt
Download as pdf or txt
You are on page 1of 6

Vol. 3 | No.

3 | Desember 2016| Jurnal Kesehatan Reproduksi: 194-199


PEMAKNAAN MENOPAUSE PADA PEREMPUAN BANGSAWAN
KERATON JAWA
Lisy Sulistiyani1, Eunike Sri Tyas Suci2

ABSTRACT
Background: In most cases, women experience menopause with various kind of physical and psychological
symptoms. Women’s understanding on menopause is influenced by their cultural background. Royal
Javanese women are not sepatared from various Javanese traditions, such as “pitutur-pitutur”, “laku
Jawa”, et cetera. Such traditions are the foundation they construct menopause experience.
Objective: The purpose of this research is to obtain the meaning of menopause as experienced by Royal
Javanese Women.
Method: A qualitative method with in-depth interview is used in this research. Informants are seven Royal
Javanese Women from three Javanese palaces: Solo, Yogyakarta and Cirebon; who were selected with
purposive sampling technique.
Result and Discussion: Based on this research, the meaning of menopause as experienced by Royal
Javanese Women is significantly influenced by their construction of Javanese culture. Menopause is
understood as an important event occurred to woman’s body. As an important event, Royal Javanese
Women carry out several preparations and anticipative efforts prior to Menopause. Preparations are outer
and inner treatment and applied in day-to-day activities such as taking Javanese traditional herbs (jamu)
and carry out Javanese traditions or rituals (fasting, meditation, et cetera).
Conclusion: The Acceptance of manapausal symptoms are the result of cultural exposure and aaptation
in royal live enviroments.

Keywords: Menopause, Javanese Culture, Royal Javanese Women, Meaning

ABSTRAK
Latar Belakang: Pada umumnya perempuan mengalami menopause yang disertai dengan berbagai gejala
fisik dan psikis. Pemahaman perempuan terhadap menopause dipengaruhi oleh latar belakang budayanya.
Perempuan bangsawan keraton Jawa tidak terlepas dari berbagai tradisi budaya Jawa yaitu pitutur-pitutur,
laku Jawa dan lain-lain. Hal ini mendasari mereka mengkonstruksi peristiwa menopause.
Tujuan: Mengeksplorasi makna manapouse menurut pengalaman perempuan bangsawan keraton Jawa
Metode: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran pemaknaan peristiwa menopause pada
perempuan bangsawan keraton Jawa. Metode yang digunakan dalampenelitian ini adalah metode kualitatif
dengan menggunakan teknik wawancara mendalam. Informan terdiri dari tujuh perempuan bangsawan
keraton terdiri dari tiga keraton Jawa, yakni keraton Solo, Yogyakarta dan Cirebon; yang didapatkan dengan
menggunakan teknik purposive sampling.
Hasil dan Pembahasan: Berdasarkan penelitian ini pemaknaan menopause pada perempuan bangsawan
keraton Jawa dipengaruhi oleh konstruksi mereka tentang budaya Jawa.
Menopause dimaknai sebagai suatu peristiwa penting yang terjadi pada tubuh perempuan. Sebagai suatu
peristiwa penting, perempuan bangsawan keraton melakukan berbagai persiapan dan upaya antisipatif
sebelum memasuki masa menopause. Persiapan ini meliputi perawatan lahir dan batin dan diaplikasikan

1,2
Fakultas Psikologi - Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya

194
Lisy Sulistiyani & Eunike Sri Tyas Suci, Pemaknaan Menopause Pada Perempuan Bangsawan Keraton Jawa

dalam perilaku kehidupan sehari-hari seperti minum jamu dan melakukan laku-laku Jawa (tirakat, semedi,
dan lain-lain).
Kesimpulan: Penerimaan terhadap peristiwa manapause merupakan hasil pengenalan dan penyesuaian
terhadap tradisi budaya lingkungan keraton.

Kata kunci: menopause, budaya jawa, perempuan bangsawan, pemaknaan

PENDAHULUAN sistem ini laki-laki ditempatkan sebagai sosok


Perempuan memiliki kodrat yang berbeda yang dominan, dengan kekuatan yang memiliki
dengan laki-laki. Kodrat diartikan sebagai tekanan langsung melalui ritual, tradisi, hukum,
keadaan pada manusia yang dibuat Sang bahasa, adat kebiasaan, etiket, pendidikan, dan
Pencipta. Perempuan secara kodrati  akan pembagian kerja. Selain itu laki-laki dianggap
mengalami menstruasi, kehamilan, melahirkan, dapat menentukan peran apa yang boleh dan
menyusui dan menopause. Kodrat ini sangat tidak boleh dimainkan oleh perempuan, dan
berkaitan dengan sistem reproduksi perempuan. perempuan dianggap lebih rendah dari pada laki-
Pemahaman perempuan akan kodratnya laki. Ditegaskan oleh Beauvoir (dalam Lie,)2bahwa
dipengaruhi oleh latar belakang budaya dimana ia tugas utama perempuan adalah menjadi ibu
berada. Ini juga berlaku pada perempuan dengan sebab hanya perempuan yang memiliki rahim.
latar belakang budaya Jawa. Sebagai salah satu Menjadi ibu adalah kodrat perempuan, kewajiban
budaya tertua dan mayoritas di Nusantara utama perempuan.
maka pengaruh nilai-nilai yangberlaku di dalam Saptandari3 mengatakan bahwa dalam karya
budaya Jawa ikut berperan di saat masyarakat sastra Jawa abad ke-18 dan ke-19 sebagian
mengkonstruksi peran perempuan Jawa. Budaya karya sastra abad ke 18 dan ke-19 berupa
Jawa yang menganut sistem patriarki, merupakan serat-serat piwulang yang berisi ajaran tentang
sistem budaya yang mencerminkan ketidakadilan moral atau nilai-nilai luhur yang dapat dijadikan
pada perempuan dengan mengkonstruksi kodrat pedoman dalam kehidupan secara individul
perempuan untuk kepentingan kaum laki- dan sosial. Di antara serat-serat piwulang itu
laki. Konstruksi sosial yang menciptakan peran ada yang secara sengaja ditulis oleh pujangga
perempuan sebagai istri, ibu dan merawat keraton untuk kaum perempuan, seperti serat
anak-anak serta suami, dengan kata lain posisi wulang putri, serat wulang estri dan serat
perempuan adalah di rumah sebagai pengurus candrarini. Pandangan-pandangan yang berisi
rumah tangga atau keluarga. ajaran etika dan moral untuk perempuan dalam
Hearty mengatakan konstruksi sosial tentang karya tersebut memperteguh pola peran dan
peran perempuan yang berkaitan dengan kedudukan yang dikonstruksikan dalam budaya
keadaan biologis tubuhnya sudah berlangsung Jawa, dimana perempuan diposisikan sebagai
ratusan tahun lalu, dipengaruhi oleh sistem mahluk inferior yang perannya terbatas pada
patriarki, yang mendominasi dalam sistem sosial sektor-sektor domestik, terlukis dalam ungkapan
dan hukum di berbagai masyarakat dunia. Lebih bahwa isteri adalah kanca wingking (teman
lanjut Hearty1 menambahkan bahwa sistem belakang), sedangkan laki-laki sebagai makhluk
patriarki merupakan sistem yang didasarkan superior yang berperan di sektor publik. Selain
atas sistem filsafat, sosial dan politik. Dalam itu identitas perempuan ditentukan hanya oleh
fungsi biologisnya. Sudewa (dalam Susanto,

195
Vol. 3 | No. 3 | Desember 2016| Jurnal Kesehatan Reproduksi: 194-199

2000)4 mengatakan bahwa dalam ajaran serat perempuan justru tidak bermasalah dengan
panitisastra gubahan karya sastra Jawa Kuna masa menopause. Seperti dalam penelitian
oleh Paku Buwono V, perempuan dihargai dari Nosex, Kennedy dan Gudmundsdottir yang
segi fungsi reproduksi dan daya tarik seksual. mengatakan, pada tahun 2010, ada hampir 400
Pendapat tersebut menimbulkan konstruksi juta perempuan di seluruh dunia mengalami usia
budaya berupa tuntutan perempuan ideal yang menopause (45-54 tahun), banyak perempuan
mencakup tiga hal yaitu perempuan harus macak mengalami transisi menopause dengan mudah,
(dapat tampil cantik), manak (dapat memberi beberapa dari mereka mengalami kesulitan
keturunan), dan masak (dapat mengolah atau yang menyebabkan penurunan dalam kualitas
menyiapkan makanan) untuk suaminya. hidupnya.7
Salah satu kodrat perempuan adalah Penulisan berbagai karya sastra yang berisi
mengalami menopause yang dianggap sebagai ajaran-ajaran tertentu merupakan upaya antisipasi
suatu peristiwa dimana perempuan mengalami yang bisa dipelajari oleh perempuan Jawa yang
masa berakhir fungsi reproduksinya. Pada saat hidup di lingkungan keraton untuk menghadapi
itu perempuan sudah tak menghasilkan sel telur perubahan tubuh dan fungsi reproduksi yang
untuk dibuahi. Ini menjadi pertanda bahwa dialaminya, termasuk menopause. Ajaran-ajaran
perempuan sudah tidak bisa hamil dan tentu tidak tersebut disosialisasikan secara turun temurun
bisa juga melahirkan. Dengan berbagai keluhan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Hal ini
fisik lainnya, maka perempuan juga mengangap dapat dimengerti karena pada budaya keraton
dirinya tidak mampu memberikan kepuasan Jawa, perempuan hanya dinilai dari segi daya
seksual pada pasangannya. Pada tahapan inilah tarik seksual dan fungsi reproduksinya, sehingga
perempuan sering memaknai menopause mereka berusaha untuk menjaga, merawat dan
sebagai suatu momok yang menakutkan. mempertahankan penampilan fisiknya. Salah
Menopause merupakan masa berakhirnya satu usahanya adalah dengan menggunakan
fungsi reproduksi perempuan, karena pada ramuan tradisional yang terbuat dari bahan
masa itu perempuan sudah tidak punya sel telur alami (rempah berkhasiat) yang dikenal dengan
dalam uterus sehingga terjadi perubahan siklus jamu. Diperkuat oleh pendapat Soedibyo 8 yang
menstruasi. Umumnya menopause dialami oleh mengatakan bahwa sejak dahulu jamu digunakan
perempuan berusia antara 45 hingga 55 tahun untuk menanggulangi permasalahan kesehatan,
(Burns, et al, 2005).5 Pada sebagian budaya, ada selain itu dipersiapkan untuk menyongsong
anggapan bahwa memasuki masa menopause tahap-tahap dalam kehidupan yang dianggap
berarti berhentinya kehidupan seksual karena ia penting bagi perempuan, diantaranya haid
sudah tidak bisa hamil dan melakukan hubungan pertama, menjelang dan hari pertama
seksual. Anggapan seperti ini menimbulkan melahirkan, sehabis melahirkan sampai 40
perasaan tertentu pada perempuan seperti hari, dan masa menghadapi menopause. Lebih
merasa tidak berarti karena secara fisik sudah lanjut dikatakan pula bahwa putri-putri keraton
tidak menarik lagi bagi pasangannya .6 sangat memperhatikan perawatan kesehatan
dan kecantikan secara tradisional dengan
Pada sebagian perempuan yang mengalami menggunakan jamu, kosmetik tradisional dan
menopause, perubahan-perubahan fisik laku (tirakat) tertentu .8 Ditambahkan pula bahwa
dan psikis kadang menjadi masalah yang perawatan kesehatan dan kecantikan tradisional
sangat mengganggu, bahkan merupakan yang secara turun-temurun diwariskan di
sebuah penderitaan yang menimbulkan lingkungan perempuan keraton Jawa menjadi
ketidakbahagiaan. Tetapi pada sebagian

196
Lisy Sulistiyani & Eunike Sri Tyas Suci, Pemaknaan Menopause Pada Perempuan Bangsawan Keraton Jawa

bukti dari persiapan mereka saat mengalami METODE


perubahan-perubahan tertentu. Ajaran tersebut Penelitian ini menggunakan pendekatan
diwariskan secara menyeluruh baik aspek lahir kualitatif dalam bentuk wawancara mendalam.
maupun batin. Upaya ini sudah dimulai dalam Wawancara menggali proses terbentuknya
tahap-tahap kehidupan perempuan, yaitu tahap pemaknaan kejadian menopause pada perempuan
menstruasi pertama sampai tahap perempuan bangsawan keraton Jawa. Informan jumlahnya
mengalami menopause .8 tujuh orang yang berasal dari tiga keraton Jawa
Berdasarkan uraian di atas, penulis ingin yaitu Solo (Kasunanan dan Mangkunegaran),
mengetahui bagaimana pemaknaan menopause Yogyakarta (Kasultanan dan Pakualaman), dan
pada perempuan bangsawan keraton Jawa yang Cirebon (Kasultanan dan Kanoman).Informan
mengalami menopause. diperoleh dengan menggunakan teknik purposive
sampling, dengan kriteria batasan usia 45-55
Dalam rangka mengetahui pemaknaan
tahun, sudah menopause, dan tinggal di keraton.
tersebut diatas maka landasan konseptual yang
Data dianalisis dengan menggunakan analisis isi
digunakan dalam penelitian ini adalah teori
(content analysis).
konstruksi sosial dari Berger & Luckmann. Teori
yang memiliki asumsi dasar: realitas merupakan HASIL DAN PEMBAHASAN
hasil ciptaan manusia kreatif melalui kekuataan
Penelitian ini dilakukan pada tujuh partisipan
konstruksi sosial terhadap dunia sosial di
selaku perempuan bangsawan keraton Jawa yang
sekelilingnya, hubungan antara pemikiran
gambaran secara lengkapnya dapat dilihat pada
manusia dan konteks sosial tempat pemikiran itu
Tabel 1 (terlampir).
timbul bersifat berkembang dan dilembagakan,
kehidupan masyarakat itu dikonstruksi secara
terus menerus, melalui tiga proses yaitu
eksternalisasi, obyektivasi dan internalisasi .9

Tabel 1. Gambaran Umum Partisipan


Partisipan Penelitian
Deskripsi
1 2 3 4 5 6 7
ELI- SRI-
Nama AMI-SL 1 RENI-SL 2 YANI-SL 3 FEBI-CRB 1 RISA-CRB 2
YK 1 YK 2
Usia 55 54 52 51 50 52 54
Pendidikan S1 SMA S1 S1 SMA S1 SMA
Agama Islam Islam Islam Islam Islam Islam Islam
Status Menikah Menikah Menikah Menikah Menikah Menikah Menikah
Pernikahan
Jumlah anak 2 2 3 3 2 2 2
Konsultan Ibu rumah Wiraswasta Pegawai Ibu Rumah Pimp. Ibu
Hukum tangga Negeri tangga Organisasi rumah
Pekerjaan
Sipil Wanita tangga
Yogya
Kota asal Solo Solo Solo Cirebon Cirebon Yogya Yogya

197
Vol. 3 | No. 3 | Desember 2016| Jurnal Kesehatan Reproduksi: 194-199

Pemaknaan menopause pada perempuan penerimaan diri yang lebih menonjol. Hal ini
bangsawan keraton Jawa merupakan hasil tiga disebabkan karena sejak kecil mereka ditempa
proses secara simultan dan berkesinambungan dengan aturan-aturan keraton, melaksanakan
yaitu eksternalisasi, obyektivasi dan internalisasi. laku-laku Jawa (tirakat, puasa, semedi dan lain-
Eksternalisasi merupakan adaptasi atau lain). Selain itu mereka lebih memperhatikan
penyesuaian diri terhadap kebiasaan, aturan, tubuhnya (care) dan mempersiapkan diri dengan
norma, tradisi dan budaya yang berkaitan perawatan dan minum jamu.
dengan kehidupan perempuan di lingkungan Ketujuh partisipan mengalami kekhawatiran
keraton seperti pitutur-pitutur pada saat mulai ketika akan mengalami kejadian menopause,
berfungsi dan berakhirnya organ reproduksi seperti khawatir pasangan atau suami berpaling
yakni pada saat menstruasi pertama (menarche) pada perempuan lain. Hal ini dilatarbelakangi
dan sebelum pernikahan serta diikuti tradisi oleh konstruksi budaya Jawa yang menilai
perawatan tradisional dengan jamu. Objektivasi perempuan dari segi fisik yaitu sisi fungsi
merupakan interaksidiri dengan dunia sosio- reproduksi dan daya tarik seksual. Selain itu
kultural yakni kesadaran dan keyakinan diri yang budaya keraton menganut poligami, yang
didapatkan melalui proses interaksi dengan memperbolehkan laki-laki memiliki istri lebih
dunia sosial, yaitu lingkungan di dalam dan luar dari satu. Yang mana para partisipan mengalami
keraton yang memberikan tambahan wawasan secara langsung memiliki ibu lebih dari satu.
dan informasi tentang masa berakhirnya fungsi Sosialisasi dari ibu dan eyang putri yang secara
reproduksi perempuan dengan berbagai gejala tidak langsung mempersiapkan mental dengan
fisik dan psikis yang mungkin dialami oleh laku-laku Jawa dan minum jamu, sehingga
perempuan menopause. Internalisasi merupakan mereka dapat menetralisir kekhawatiran. Selain
identifikasidiri dengan dunia sosio-kultural yakni itu berkembangnya wawasan para partisipan
menerima dan menyadari bahwa ia adalah tentang menopause membuat mereka lebih
perempuan yang secara kodrati akan mengalami menerima kejadian menopause.
masa berakhirnya fungsi reproduksi yang ditandai
dengan berhentinya menstruasi atau mengalami Empat dari tujuh informan mengatakan
menopause dengan segala dampaknya. perempuan menopause dimaknai sebagai
perempuan yang sudah tua, kulit mengalami
Ketujuh partisipan selaku perempuan kekeringan dan mulai keriput. Hal ini disadari,
bangsawan keraton yang sudah beradaptasi sejak diterima dan diantisipasi dengan melakukan
dini dengan berbagai kebiasaan, aturan, tradisi, perawatan diri, minum jamu, pasrah pada Tuhan,
norma, adat istiadatdan budaya keraton seperti olahraga, selektif terhadap makanan dan tetap
pitutur-pitutur saat berfungsi dan berakhirnya rutin beraktivitas atau bekerja.
organ reproduksi perempuan. Hal mana
disampaikan pada saat menstruasi pertama Tiga dari tujuh informan memiliki keyakinan
dan sebelum acara pernikahan oleh Ibu, atau bahwa perempuan menopause di keraton
eyang putri atau tante dan atau para saudara mempunyai kelas tersendiri yakni dihormati
perempuan, memaknai kejadian menopause dan dituakan, memiliki kualitas diri yang tinggi.
sebagai peristiwa alami, dipahami sebagai salah Karena itu perempuan menopause dianggap
satu kodratnya sebagai perempuan. sebagai panutan dan menjadi tauladan.

Empat dari tujuh partisipan yang sejak Tiga dari tujuh informan sejak awal tidak
kecil sampai dewasa tinggal di keraton memiliki tinggal di keraton walaupun ketiganya merupakan

198
Lisy Sulistiyani & Eunike Sri Tyas Suci, Pemaknaan Menopause Pada Perempuan Bangsawan Keraton Jawa

keturunan bangsawan keraton. Namun demikian meliputi persiapan lahir, batin dan diaplikasikan
mereka tetap mengikuti dan menjalani berbagai dalam perilaku kehidupan sehari-hari.
tradisi keraton. Mereka memaknai kejadian Faktor utama yang memengaruhi pemaknaan
menopause sebagai hal alami yang merupakan menopause adalah kedalaman memaknai
kodrat seorang perempuan. kejadian menopause yang disertai dengan usaha
Ketujuh informan tetap melakukan aktifitas untuk mempraktekan atau melakukannya dalam
saat menopause yang bertujuan menunjang kehidupan pribadi. Perempuan bangsawan
pendapatan keluarga, empat dari tujuh bekerja keraton Jawa secara rutin merawat diri, minum
secara penuh di luar rumah (pegawai swasta jamu dan melakukan laku-laku Jawa (tirakat,
dan negeri), sedangkan tiga partisipan bekerja puasa, semedi, dan lain-lain).
sambilan di rumah (buka toko kecil).
DAFTAR PUSTAKA
Ketujuh informan mempunyai latar
1. Hearty, F.Keadilan Jender: Perspektif Feminis Muslim
belakang pendidikan yang berbeda, empat
dalam Sastra Timur Tengah. Jakarta. Aksara, 2011.
orang berpendidikan sarjana (S1), tiga orang
2. Lie, S. Pembebasan Tubuh Perempuan: Gugatan Etis
berpendidikan SMA. Dengan pendidikan yang
Simone de Beauvoir terhadap Budaya Patriarkat.
tinggi, partisipan lebih proaktif dalam menggali Jakarta. PT. Gramedia, 2005.
dan mencari berbagai referensi ketika mengalami 3. Saptandari, P. Beberapa Pemikiran tentang
menopause. Perempuan dalam Tubuh dan Existensi. Diunduh
pada 30 Juni 2015. Dari Departemen Antropologi
KESIMPULAN DAN SARAN FISIP Universitas Airlangga Surabaya, 2013.
Penerimaan terhadap peristiwa menopause 4. Susanto,B., Sudiarja dan Praptadiharja. Citra Wanita
merupakan hasil dari proses pengenalan dan dan Kekuasaan. Yogyakarta. PT. Kanisius, 2000.
penyesuaian diri dengan tradisi dan adat istiadat 5. Burns,A. A., Maxwell, J., Lovich, R., Shapiro, K. Bila
Perempuan Tidak Ada Dokter. Panduan Perawatan
budaya di lingkungan keraton.  Tradisi keraton
Kesehatan dan Pengobatan Bagi Perempuan.
Jawa menjadi sumber utama pemahaman Penyunting edisi Indonesia-Yogyakarta. INSIST
mereka tentang proses dimulai dan berakhirnya Press, 2005.
fungsi reproduksi perempuan dimana 6. Nurrachman, N. Perempuan dan Peran Ibu.
perempuan keraton menjalani berbagai ritual Nurrachman, N. dan Bachtiar, I. (Ed.)Psikologi
tertentu sepanjang masa kehidupannya. Berbagai Perempuan: Pendekatan Kontekstual Indonesia.
tambahan pengetahuan yang didapatkan dari Jakarta: Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya,
luar keraton juga memengaruhi terjadinya 2011.
penerimaan diri tersebut. Menopause dimaknai 7. Nosex, M., Kennedy, H.P, dan Gudmundsdottir, M.
sebagai suatu peristiwa penting yang terjadi Distress During the Menopause Transition, 2012.
Diunduh pada 13 September 2014. Dari http://
pada tubuh perempuan. Perempuan bangsawan
www.Sageopen.com
keraton Jawa jauh lebih memperhatikan (care)
8. Soedibyo, M. Alam Sumber Kesehatan. Jakarta.
terhadap setiap perubahan yang terjadi pada Balai Pustaka, 1998.
tubuhnya, seperti pada saat menopause. Sebagai
9. Berger, P. L., dan Luckman, T. Tafsir Sosial atas
suatu peristiwa penting, mereka melakukan Kenyataan: Risalah tentang Sosiologi Pengetahuan.
berbagai persiapan dan upaya antisipatif sebelum Jakarta. Pustaka LP3ES, 1990.
memasuki masa menopause. Persiapan ini

199

You might also like