Download as pdf or txt
Download as pdf or txt
You are on page 1of 23

PEMBUATAN KEJU ( UNRIPENED CHEESE)

DENGAN STARTER CAMPURAN


Streptococcus lactis Dan Rhizopus oryzae

CHEESEMAKING ( UNRIPENED CHEESE)


WITH STARTER VARIETY FROM COMBINATION BETWEEN
Streptococcus lactis Dan Rhizopus oryzae

Tjahjadi Purwoko, Sutarno dan Solikah Ana Estikomah


Departement of Biology, Faculty of Mathematics and Natural Sciences,
Sebelas maret University, Surakarta.

ABSTACT

Cheese is dairy product resulted from fermented milk in wich the fermentation
process Cheese is dairy product resulted from fermented milk in wich the
fermentation process can be done by lactid acid bacteria or fungus. Unripened cheese
is soft cheese without maturation. Cheese starter is active culture from microorganism
non-patogen wigh growned in milk. It is have role to compose characteristic and
quality in many kinds of milk product. Streptococcus lactis is bacteria acid lactid
often used as starter in cheesemaking. Rhizopus oryzae is kind of microorganism
wich has an ability is produce high lactid acid with better quality than those produced
by bacteria.
This research was aim find out Rhizopus oryzae potention as starter in
cheesemaking by pH value and curd formation and also find cheese quality
according to the differentiation of rendemen value, water, fat, and protein contained.
Then the unripened cheese resulted was analyzed to find out water, fat, and protein
contained using Anava and it was continued with Duncan’s Multiply Range Tes
(DMRT) at significant of 5%. The data preference was analyzed by using Fridman
test and it was continued with Wilcoxon Signed Rigned Rank Test (WSRT) at
significant of 5%.
By using 75% Rhizopus oryzae and 25% Streptococcus lactis we get the best
result because it produce the highest value and protein, the randemen value is 8,96%
DB and protein is 15,70% DB. It also have low water contain. The water contain is
only 32,71%. 75% Rhizopus oryzae and 25% Streptococcus lactis is also produce
color and texture.

Keywords:Unripened cheese, Bacteria acid lactid, Streptococcus lactis, Rhizopus


oryzae
2

PENDAHULUAN

Susu merupakan bahan pangan yang terdiri berbagai nutrisi dengan proporsi
yang seimbang. Penyusun utamanya adalah air, protein, lemak, laktosa, mineral dan
vitamin-vitamin. Kandungan nutrisi yang tinggi ini akan mudah rusak karena adanya
kontaminasi mikrobia. Pada sisi lain, kandungan nutrisi tinggi dapat dimanfaatkan
sebagai substrat bagi mikrobia bakteri asam laktat untuk menghasilkan produk yang
diinginkan seperti keju (Widodo, 2003).
Susu dihasilkan dari hewan ternak seperti sapi, kerbau dan kambing. Di
Indonesia, khususnya di Pulau Jawa terdapat sentra penghasil susu sapi, yaitu
Sukabumi, Boyolali, dan Pasuruan. Produksi susu dari peternak didistribusikan ke
pabrik susu dan diolah sendiri menjadi susu cair siap minum. Susu yang dihasilkan
peternak hanya dapat dijual ke koperasi/pabrik susu dan diolah sendiri menjadi susu
siap minum. Terdapat permasalahan mendasar yang menimpa peternak susu, yaitu
daya tahan susu yang rendah/ mudah rusak, posisi tawar peternak terhadap harga
susu lemah dan sedikitnya daya serap produksi susu oleh pabrik/koperasi serta
minimnya pengetahuan peternak terhadap olahan susu. Disisi lain peternak sapi perah
senantiasa menginginkan agar susu yang diproduksi sapi perah yang dipeliharanya
dapat dimanfaatkan seutuhnya tanpa ada yang mengalami kerusakan ataupun
terbuang percuma.
Pengelolahan susu bertujuan untuk menganekaragamkan produk dan selera,
selain itu tujuan utamanya yaitu mengawetkan susu agar lebih lama bila disimpan.
Salah satu proses pengolahan susu adalah pembuatan keju yang dapat memberikan
dampak positif bagi kesehatan dan secara ekonomis dapat meningkatkan nilai jual
susu (Susilorini, 2006). Selain itu keju merupakan alternatif yang dapat digunakan
untuk memenuhi kebutuhan akan protein hewan (Hidayati, 2003).
Mikroorganisme yang paling banyak digunakan dalam starter, khususnya
starter keju adalah kelompok bakteri asam laktat (BAL) yang menghasilkan asam,
3

terutama asam laktat dengan memfermentasikan laktosa. Galur-galur bakteri asam


laktat yang biasa digunakan sebagai kultur untuk starter keju adalah species-species
yang termasuk genus Streptococcus (Daulay, 1991). Namun disisi lain keberadaan
bakteri ini sulit ditemukan dan harganya mahal. Sehingga perlu dicari alternatif
lainya yaitu dengan penggunaan jamur.
Keterlibatan jamur didalam bahan makanan ternyata tidak hanya bersifat
merugikan tapi juga ada yang bersifat menguntungkan bahkan jamur sering
digunakan dalam fermentasi tradisional. Jamur yang sering digunakan dalam proses
fermentasi tradisional terdiri dari berbagai genera. Pada makanan oriental jamur yang
banyak terlibat adalah genera Rhizopus, yang tergolong ordo ”Mucorales” biasanya
dijumpai pada makanan daerah tropis (Margiono, 1992). Jamur Rhizopus oryzae
sifatnya seperti rennet, mampu menghasilkan protease (Hadiwiyoto, 1983). Selain itu
jamur Rhizopus oryzae mampu menghasilkan asam laktat (Purwoko & Pamudyanti,
2004). Selama ini dalam proses pembuatan keju menggunakan bakteri asam laktat
sebagai starter yang secara ekonomi harganya mahal dan sulit ditemukan
dibandingkan dengan Rhizopus oryzae, selain harganya murah dan mudah didapat
Rhizopus oryzae juga memiliki potensi mampu menghasilkan asam laktat.
Sehingga perlu dilakukan penelitian pembuatan keju dengan menggunakan
starter campuran Streptococcus lactis dan Rhizopus oryzae, yang selanjutnya
dilakukan analisis fisik meliputi perhitungan rendemen curd dan kadar air, analisis
kimia meliputi kadar lemak dan kadar protein serta uji kesukaan untuk mengetahui
tingkat penerimaan konsumen terhadap keju unripened yang terbentuk. Tujuan dari
penelitian ini yaitu :mengetahui potensi Rhizopus oryzae sebagai starter dalam
pembuatan keju (unripened cheese) serta mengetahui kualitas keju (unripened
cheese) hasil dari variasi starter campuran Streptococcus lactis dan Rhizopus oryzae
berdasarkan perbedaan nilai rendemen, kadar air, kadar lemak, kadar protein serta
nilai kesukaan.
4

Bahan dan Metode


Bahan yang digunakan untuk pembuatan keju adalah Susu sapi yang diperoleh
dari sapi perah kabupaten Boyolali Jawa tengah. Rennet diperoleh dari Fakultas
Peternakan Institut Pertanian Bogor, biakan Streptococcus lactis dan Rhizopus oryzae
diperoleh dari fakultas Pertanian Universitas Sebelas Maret. MRS agar medium
penumbuh bakteri, PDA medium penumbuh kapang. Bahan untuk analisis kadar
protein digunkan Lowry A, Lowry B, Lowry C, Lowry D, Lowry E, standart Bovin
Serum Albumin dan untuk analisis kadar protein digunakan eter.
Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan rancangan acak lengkap (RAL) dengan faktor
tunggal yaitu variasi lama perendaman biji (P) dengan 4 perlakuan yaitu sebagai
berikut:

K : 100% Streptococcus lactis dan 0% Rhizopus oryzae.


A : 75% Streptococcus lactis dan 25% Rhizopus oryzae.
B : 50% Streptococcus lactis dan 50% Rhizopus oryzae.
C : 25% Streptococcus lactis dan 75 % Rhizopus oryzae.
D : 0% Streptococcus lactis dan 100% Rhizopus oryzae.
Pembuatan kultur kerja
Kultur kerja adalah kultur Streptococcus lactis dan Rhizopus oryzae yang siap
digunakan untuk pembuatan starter. Kultur kerja didapatkan dengan meremajakan
kultur Rhizopus oryzae yaitu dengan menginokulasikan 1 ose kultur murni Rhizopus
oryzae kedalam PDA miring kemudian diinkubasi pada suhu 37 ° C selam 3-4 hari,
sedangkan sisanya disimpan pada suhu 4 ° C sebagai kultur stok dan diremajakan
setiap 6 bulan ( dimodifikasi dari Wijaya, 2002 dan Suharyanto dkk, 2006).
Sedangkan untuk kultur kerja Streptococcus lactis didapatkan dengan meremajakan
kultur Streptococcus lactis yaitu dengan menginokulasikan 2 ose kultur murni
Streptococcus lactis kedalam MRS agar miring kemudian diinkubasi pada suhu 37 °
C selama 48 jam. Inokulasi dilakukan secara aseptis dengan terlebih dahulu
5

membakar ujung ose sampai membara dan cepat didinginkan. Proses inokulasi juga
dilakukan di dekat bunsen burner (Dimodifikasi dari Widowati dan Misgiyarti, 2002).
Pembuatan Starter
Starter dibuat dengan cara susu skim cair sebanyak 1000 ml dibagi menjadi 2
bagian pada gelas beker masing-masing 500 ml dan diberi label S dan R, gelas beker
S diinokulasi dengan Streptococcus lactis sedangkan gelas beker R diinokulasi
dengan Rhizopus oryzae (Radriyo, 2006).
Pembuatan Keju
Pembuatan keju terdiri dari beberapa tahap yaitu pasteurisasi, pengukuran pH,
fermentasi dan inkubasi, koagulasi susu terfermentasi, pembuangan whey,
pengepresan curd dan penimbangan berat curd, penggaraman.
a. Pasteurisasi
Susu sapi segar 3000 ml dan dibagi menjadi 15 bagian pada botol, masing-
masing 200 ml dan diberi tabel (K, A, B, C, D). Susu masing-masing gelas beker
dipasteurisasi dengan cara dipanaskan pada suhu 65 ° C selama 16 detik, kemudian
didinginkan hingga 37 ° C (Wardhani, 1996). Setelah dingin masing-masing gelas
beker yang berisi susu dimasukkan dengan starter campuran Streptococcus lactis dan
Rhizopus oryzae sebanyak 10% atau 20 ml. Gelas beker K sebagai kontrol
ditambahkan Streptococcus lactis murni, sedangkan gelas beker A, B, C
ditambahkan starter campuran Streptococcus lactis dan Rhizopus oryzae dengan
perbandingan masing-masing 1:3; 1:1; 3:1. Gelas beker D ditambahkan Rhizopus
oryzae murni. Kemudian dilakukan pengukuran pH susu sebelum dan sesudah
inkubasi.
b. Fermentasi dan Inkubasi
Botol kaca yang berisi susu yang telah diinokulasi kemudian diinkubasi dalam
inkubator pada suhu 37 ° C sampai nilai pH mencapai 5,5 (selama 8 jam). Selama
inkubasi botol ditutup dengan aluminium foil ( Wardhani, 1996).
6

c. Koagulasi Susu Terfermentasi


Masing-masing susu terfermentasi ditambah 1 mg rennet (enzim koagulansi).
Kemudian diaduk selama 5 menit dan dibiarkan sampai menjendal menjadi keju
mentah (sekitar 10 jam). Bagian yang menjedal disebut curd sedangkan bagian cairan
disebut whey ( Wardhani, 1996). .
d. Pembuangan whey
Proses pembuangan whey dilakukan dengan pemanasan pada selama 30 menit
pada suhu 40 ° C (Buckle, 1987). Setelah proses pemanasan selesai dikerjakan, lalu
didinginkan selama 1 jam sambil diaduk tiap 5 menit sekali (Hadiwiyoto, 1983).
Kemudian dilakukan penyaringan dengan kain kasa yang bersih. Penyaringan
dilakukan agar curd dan whey terpisah. Yang diambil hanya curd-nya sedangkan
whey-nya dibuang (Legowo, 2003).
e. Pengepresan Curd dan Penimbangan berat Curd
Kemudian curd dibungkus dengan kain kasa bersih dilanjutkan pengepresan.
Maksud pengepresan adalah memberikan kekompakan dan bentuk pada keju.
Disamping itu sisa-sisa whey atau air dapat dikeluarkan/dipisahkan seluruhnya.
Kemudian dilanjutkan dengan penimbangan curd (Hadiwiyoto, 1983).
f. Penggaraman
Curd yang telah ditimbang kemudian diberi garam sebanyak 3%. Garam yang
diberikan dalam bentuk kristal yang telah dihaluskan dan ditaburkan kemudian
diaduk sampai betul-betul rata (Hadiwiyoto, 1983). Penggaraman ini menambah cita
rasa keju menjadi agak asin dan menambah ketahanan keju (Legowo, 2003).
Analisis Nilai Rendemen
Rendemen merupakan rasio antara keju yang terbentuk dengan susu yang digunakan
sebagai bahan dasar ( Daulay, 1991). Ditambahkan Sariyanto (2005) besarnya nilai
rendemen dadih ditentukan dengan perbandingan antara berat produk dadih yang
dihasilkan dan berat bahan awal berupa susu segar.
7

Analisis Kadar Air


Prinsip penghitungan kadar air adalah air yang terkandung dalam bahan akan
menguap seluruhnya apabila dipanaskan pada suhu 105° C (Oser, 1976). Analisis
kadar air dilakukan dengan metode oven. Cara kerjanya yaitu bahan ditimbang sekitar
1 gram sebagai berat awal bahan (a). Kemudian dikeringkan dengan oven dengan
suhu 105 ° C selama 24 jam, setelah itu dikeluarkan dari dalam oven dan didinginkan
di dalam desikator selama 1 jam. Kemudian sample yang telah ditimbang sebagai
berat kering (b)
Analisis Kadar lemak
Analisis lemak menggunakan metode Soxhlet sebagai berikut: Sampel
sebanyak 3 g diambil lalu dimasukkan kedalam timbel. Labu yang telah bersih
dimasukkan kedalam oven, lalu ditambahkan batu didih dan ditimbang sebagai bobot
kosong. Timbel dimasukkan kedalam soxhlet, kemudian labu lemak dihubungkan
dengan soxhlet dan ditambahkan cairan pelarut lemak yaitu eter sebanyak 150 ml
melewati soxhlet. Labu lemak dan soxhlet dihubungkan dengan penangas dan
diekstrak selama 6 jam. Setelah ekstrak selesai, labu lemak dievaporasi untuk
menghilangkan pelarut. Selanjutnya labu lemak dimasukkan kedalam oven bersuhu
105 ° C selama 1 jam. Setelah dingin ditimbang sebagai bobot akhir (bobot labu dan
lemak).
Analisis Kadar Protein
Kadar protein dianalisis dengan metode Lowry-Folin secara spektofotometri
(Sudarmadji dkk., 1984). Pengukuran dimulai dengan pembuatan larutan standart
BSA (Bovine Serum Albumin). Seri pengenceran dibuat dari larutan standart dengan
masing-masing konsentrasi 0,00; 0,06; 0,18; 0,24; dan 0, 30 (mg/ml H2O) dan
dimasukkan kedalam masing-masing tabung reaksi. 1 ml larutan D ditambahkan
kedalam tabung reaksi kemudian divortek selama 5 menit. Setelah itu dilakukan
penambahan reagen E sebanyak 3 ml lalu didiamkan selama 10 menit. Pengukuran
OD dilakukan pada panjang gelombang 560 nm menggunakan spektrofotometer.
Tahap selanjutnya yaitu pengambilan sampel keju sebanyak 1 g dan dilarutkan dalam
8

100 ml aquades kemudian dilakukan pengadukan dengan magnetik stirrer, larutan


kemudian disaring dan ditambahkan 100 ml aquadest. 1 ml larutan sampel diambil
kemudian dimasukkan kedalam tabung reaksi kemudian ditambahkan 1 ml reagen
Lowry D, digojog dengan vortek selama 5 menit. Selanjutnya Reagen lowry E
sebanyak 3 ml ditambahkan kedalam tabung reaksi dan digojog dengan vortex
kemudian diinkubasi pada suhu ruang selama 45 menit. Pengukuran OD pada
panjang gelombang 590 nm menggunakan spektrofotometer.
Uji Kesukaan
Produk yang diperoleh diuji kesukaan oleh 20 responden. Uji ini untuk
mengetahui tingkat penerimaan konsumen terhadap produk yang dihasilkan. Uji
kesukaan yang dinilai meliputi warna, rasa, aroma dan tekstur. Setiap responden
memberikan skor kesukaan. Skala skor dibuat lima tingkat Skor kesukaan 1,2,3,4 dan
5 masing-masing untuk sangat tidak suka, tidak suka, agak suka, suka, dan sangat
suka (Kartika, 1988).
Analisis Data
Data nilai rendemen, kadar air, lemak dan protein keju ( unripened cheese)
hasil fermentasi starter campuran Rhizopus oryzae dan Streptococcus lactis
(masing-masing pelakuan) dianalisis data statistik dengan metode Analisis Varian
(Anava), apabila terdapat perbedaan yang nyata kemudian diuji lanjut dengan
Duncan’s pada taraf signifikansi 5%. Untuk mengetahui adanya korelasi hubungan
keeratan antara rendemen, protein dan lemak, dianalisis data statistik dengan metode
korelasi Pearson pada taraf signifikansi 5%. Angka penerimaan panelis pada uji
kesukaan dianalisis dengan metode non-parametrik dengan Friedman Test jika
terdapat beda nyata dilanjutkan dengan Wilcoxon Sign Rank Test (WSRT) pada taraf
signifikansi 5%.
9

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Curd Keju Unripened Cheese

Nilai rendemen curd yang dinyatakan dalam persen ditentukan sebelum


penyimpanan dengan cara membandingkan berat curd yang dihasilkan dengan berat
susu sapi segar yang digunakan sebagai bahan baku. Semakin tinggi nilai rendemen
menunjukkan produk yang dihasilkan semakin ekonomis (Sariyanto, 2005).
Tabel 1. Nilai Redemen keju (unripened cheese) dengan campuran starter
Steptococcus lactis dan Rhizopus oryzae

Perlakuan Nilai Rendemen (%)

K 8.23a
A 8.75a
B 8.89a
C 8.96a
D 9.07a

Keterangan: kadar rendemen (%) dengan superskrip huruf kecil sama menunjukkan tidak terjadi beda
nyata (P<0,05) pada uji Duncan.
K : 100% Streptococcus lactis dan 0% Rhizopus oryzae.
A : 75% Streptococcus lactis dan 25% Rhizopus oryzae.
B : 50% Streptococcus lactis dan 50% Rhizopus oryzae.
C : 25% Streptococcus lactis dan 75 % Rhizopus oryzae.
D : 0% Streptococcus lactis dan 100% Rhizopus oryzae.

Peningkatan mulai perlakuan K hingga D dan tertingggi berada pada


perlakuan 100% Rhizopus oryzae. Kadar rendemen pada 100 Streptococcus lactis
memilki kadar rendemen yang rendah, karena Streptococcus lactis pada keadaan
normal mampu menghasilkan asam laktat yang tinggi, namun kemudian menurun
10

ketika kondisi terlalu asam (Daulay, 2001). Sedangkan menurut Skory (2000)
Rhizopus oryzae menghasilkan asam laktat dengan kualitas yang lebih baik daripada
yang dihasilkan oleh bakteri.
Menurut Purwandhani dan Suladra (2003), asam laktat merupakan hasil dari
metabolisme glukosa yang digunakan selama pertumbuhan sel dengan jumlah
semakin meningkat seiring bertambahnya waktu. Meningkatnya produksi asam laktat
tersebut ditandai dengan menurunnya pH atau meningkatnya asam akibat timbulnya
ion H+ yang terjadi karena dekomposisi laktosa yang menghasilkan asam-asam yang
mudah menguap dan pecahnya phosphat organik yang terdapat di dalam kasein,
sehingga menghasilkan asam (Mc.Kay et al., 1971). Asam laktat yang terbentuk
berdampak pada koagulasi kasein pembentuk dadih. Sub misel kasein yang terdiri
dari kalsium dan fosfat, ketika terbentuk asam laktat, kalsium dan fosfat akan
berikatan dengan laktat membentuk kalsium laktat dan fosfat laktat, sehingga
gumpalan-gumpalan kasein akan berdiri sendiri yang nantinya akan membentuk curd.
Menurut Daulay (1991), keju dihasilkan karena terjadinya pengendapan protein
terutama kasein dalam keadaan asam. Kasein menggumpal sebagai curd pada titik
isoelektrik yaitu 4,6. Semakin besar nilai curd maka semakin tinggi nilai rendemen
karena nilai rendemen diperoleh dengan cara membandingkan berat curd yang
dihasilkan dengan berat susu sapi segar yang digunakan sebagai bahan baku.

Kadar Air
Kadar air di dalam pembuatan keju memiliki peranan dalam proses
pematangan keju (Daulay, 1991). Data analisis kadar air keju (unripened cheese)
dengan starter campuran Steptococcus lactis dan Rhizopus oryzae dapat dilihat pada
tabel 2.
11

Tabel 2. Kadar air keju (unripened cheese) dengan campuran starter Steptococcus
lactis dan Rhizopus oryzae
Perlakuan Kadar Air (%)
K 34.50a
A 33.54a
B 33.36a
C 33.15a
D 32.71b
Perbedaan kadar air pada keju disebabkan karena air yang ada di dalam keju
berada dalam tiga keadaan yaitu terikat dalam struktur komponen dadih, tertahan
partikel dadih yang bersifat hidrokopis dan air bebas. Keberadaan air bebas dalam
dadih dipengaruhi tingkat penirisan pada saat pengeluaran whey protein dalam dadih
yang sebagian besar merupakan kasein mengikat air sehingga tertahan dalam badan
keju (Scoot, 1981).
Jika dibandingkan dengan penelitian Aly (1997) kadar air pada pembentukan
keju sebesar 45-65%, pada penelitian Jamillatun (2008) sebesar 27-33% dan menurut
Cheesmen (1981) keju unripened merupakan keju lunak yang terbuat dari susu skim
dengan atau tanpa penambahan garam yang mengandung kadar air tinggi yaitu
berkisar antara 50-80%. Berkurangnya kadar air pada keju unripened karena keju
unripened memiliki stuktur yang padat berongga dengan ikatan longgar, sehingga air
banyak yang keluar saat pengaliran whey dan pengepresan yang menyebabkan kadar
air dalam curd sedikit (Murti, 2004).

Lemak
Data analisis kadar lemak keju (unripened cheese) dengan starter campuran
Steptococcus lactis dan Rhizopus oryzae dapat dilihat pada tabel 3.
12

Tabel 3. Perbedaan perlakuan pembuatan keju (uripened cheese) dengan campuran


starter Steptococcus lactis dan Rhizopus oryzae terhadap kadar lemak.

Perlakuan kadar lemak (%) BK


K 35.91a
A 37.26a
B 49.73b
C 50.29b
D 51.50b
Rendahnya kadar lemak pada Steptococcus lactis disebabkan karena sebagian
lemak digunakan sebagai sumber energi untuk aktifitas metabolisme. Lemak ini
digunakan sebagai sumber energi melalui perombakan yang diawali oleh proses
hidrolisis trigliserida menjadi gliserol dan asam lemak dengan bantuan lipase.
Tingginya kadar lemak pada keju hasil fermentasi Rhizopus oryzae ini karena
selama fermentasi energi yang digunakan hasil dari perombakan laktosa susu
(karbohidrat) dan bukan dari lemak. Karbohidrat dapat diubah menjadi lemak.
Melalui asetil KoA menghubungkan metabolisme karbohidrat dengan sintesis asam
lemak. Jika sel tubuh mempunyai glukosa lebih banyak dari yang dibutuhkan untuk
energi, sel akan mengubah sebagian asetil KoA yang diproduksi oleh katabolisme
glukosa menjadi sintesis asam lemak (Wilbrata dan Matta 1992). Pada Bakteri
Streptococcus lactis, menurut Daulay (1991) pemecahan lemak tidak banyak, akan
tetapi beberapa reaksi hidrolisis lemak terjadi selama pemeraman. Kandungan lemak
selama fermentasi mengalami peningkatan akibat adanya kemampuan mikroba
memproduksi enzim lipase yang dapat memecah lemak seperti Rhizopus (Austrop,
1979), serta adanya kenaikan jumlah massa sel mikroba selama fermentasi
(Nurwantoro, 1991).
Dari Tabel 3 dapat dilihat bahwa persen lemak keju hasil fermentasi
Streptococcus lactis dan Rhizopus oryzae relatif tinggi. Jika dibandingkan dengan
kadar lemak keju komersial, Direktorat gizi Departemen pertanian (2001) sebesar
13

20,30%, dan hasil penelitian Murwaningsih (2003) sebesar 2 – 3%, pada penelitian
Jamilatun (2008) sebesar 21-36%, pada penelitian Aly (1997) sebesar 0,1-3 %, pada
penelitian Borders sebesar (2002) 0% -10%, maka kandungan lemak keju unripened
dengan menggunakan starter campuran Streptococcus lactis dan Rhizopus oryzae
memiliki kandungan lemak yang lebih tinggi karena bahan baku dalam pembuatan
keju unripened adalah susu segar tanpa pengurangan krim yang mempunyai kadar
lemak yang tinggi. Penggunaan susu skim dalam pembuatan keju dapat
mempengaruhi kadar lemak. Menurut Buckle (1987) susu skim merupakan susu yang
tertinggal sesudah krim diambil sebagian atau seluruhnya. Menurut Burg (1988)
bahwa meningkatnya gumpalan yang dihasilkan juga meningkatkan komponen lemak
yang terperangkap didalam curd, dimana lemak mengisi rongga-rongga terbuka pada
curd. Selain itu tingginya lemak juga dipengaruhi oleh bahan baku pembuat keju
yaitu susu, menurut Basya (1983) sapi yang sedang berada pada awal laktasi terutama
setelah partus (melahirkan) akan menghasilkan susu dengan kadar lemak yang tinggi.
Protein
Protein didalam susu terdiri dari protein whey dan kasein, sedangkan didalam
keju protein yang tertinggal adalah kasein karena whey yang terbentuk telah
dikeluarkan dalam proses pembentukkan keju (Murwaningsih, 2003).
Tabel 4. Perbedaan perlakuan pembuatan keju (uripened cheese) dengan campuran
starter Steptococcus lactis dan Rhizopus oryzae terhadap kadar protein
Perlakuan Kadar Protein (%) BK

K 14.80a
A 15.20a
B 15.47a
C 15.53a
D 15.70a
14

Pada Tabel 4 menunjukkan hasil uji Duncan 5% hasilnya tidak beda nyata.
Kadar protein pada perlakuan D (100% Rhizopus oryzae) menunjukkan kadar protein
tertinggi. Rhizopus oryzae merupakan mikroorganisme yang toleran terhadap asam
dan optimal pada kondisi asam. Rhizopus oryzae tumbuh lebih baik pada kondisi
asam dari pada basa (Fardiaz, 1989). Sehingga enzim proteolitik yang dimiliki
Rhizopus oryzae berkerja secara optimal.
Menurut Direktorat Gizi Departemen Pertanian (2001) kandungan protein
keju unripened komersial sebesar 14%, Jika dibandingkan dengan kadar protein
penelitian Jamilatun (2008) yaitu sebesar 2-8 %, Murwaningsih (2003) sebesar 11-
12% dan menurut Fox (1898) kadar protein keju unripened yaitu sebesar 10%, maka
kandungan protein pada keju unripened dengan menggunakan variasi starter
campuran antara Streptococcus lactis dan Rhizopus oryzae ini lebih tinggi. Tingginya
kadar protein ini disebabkan karena proses pengolahanya menggunakan suhu sekitar
60 0C, menurut Fox (1989) kadar protein dalam keju dipengaruhi oleh suhu,
penggunaan suhu 65 0C pada pengelolahan keju tidak menyebabkan denaturasi
protein yang parah sehingga kadar proteinya cenderung tinggi. Denaturasi dapat
menyebabkan terjadinya perubahan struktur yang sangat lanjut dan terjadi
penyimpangan dari bentuk alamiahnya. Protein yang mengalami denaturasi yaitu
pada protein serum yang tidak tahan panas, jika terjadi denaturasi protein serum
cenderung menyelimuti sub misel dan mengganggu kemampuan koagulasi untuk
bereaksi secara efektif untuk terjadi penggumpalan susu (Daulay, 2001).

Korelasi Rendemen , Protein, Lemak.


Korelasi antara Protein, Lemak terhadap rendemen pada keju (unripened
cheese) dengan menggunakan Pearson dapat dilihat pada tabel 4 dibawah ini.
15

Tabel 4. Menunjukkan adanya korelasi antara protein dan lemak pada curd keju
(unripened cheese)

Korelasi Rendemen Protein Lemak


Rendemen 1 0.578* 0.817*
Protein 0.578* 1 0.588*
Lemak 0.817* 0.588* 1
ket: * menunjukkan adanya korelasi yang signifikan pada taraf 5 %

Data hasil analisis korelasi Pearson menunjukkan adanya korelasi yang


signifikan antara protein, lemak pada curd keju (unripened cheese). Korelasi antara
protein dengan rendemen yaitu sebesar 0. 578, angka tersebut menujukkan adanya
hubungan yang cukup erat antara protein dan rendemen, semakin tinggi protein maka
semakin tinggi pula rendemen yang terbentuk. Menurut Rahman (1992) Banyaknya
curd pada rendemen yang dihasilkan pada pembuatan keju karena banyaknya kasein
yang menggumpal. Kasein merupakan protein yang ada didalam susu. Protein
didalam susu terdiri dari protein whey dan kasein, sedangkan didalam keju protein
yang tertinggal adalah kasein karena whey yang terbentuk telah dikeluarkan dalam
proses pembentukkan keju (Murwaningsih, 2003). Sehingga semakin tinggi kadar
rendemen, maka semakin tinggi proteinnya.
Korelasi antara lemak dengan rendemen yaitu sebesar 0.817, angka tersebut
menujukkan adanya hubungan yang cukup erat antara lemak dan rendemen, begitu
pula korelasi antara lemak dengan protein sebesar 0.588 juga menujukkan adanya
hubungan yang cukup erat antara lemak dan rendemen, hal ini menunjukkan semakin
tinggi lemak maka semakin tinggi pula rendemen yang terbentuk. Menurut Berg
(1988) bahwa meningkatnya gumpalan kasein yang merupakan protein susu yang
dihasilkan juga meningkatkan komponen lemak yang terperangkap didalam
rendemen, menurut Widodo (2003) Komponen utama protein adalah lipoprotein yang
merupakan gabungan lemak dan protein,sehingga menyebabkan semakin tinggi
lemak semakin tinggi pula proteinnya. Menurut Adnan (1984) bahwa semakin
16

banyak kasein yang menggumpal, maka lemak semakin tinggi dan semakin banyak
rendemen yang dihasilkan.
Uji Kesukaan
Uji kesukaan keju dilakukan untuk mengetahui tingkat kesukaan konsumen
terhadap keju yang dihasilkan meliputi kesukaan terhadap tekstur, aroma, warna dan
rasa. Hasil analisis statistik dapat dilihat pada tabel 5.
Tabel 5. Skor uji kesukaan rasa, aroma, warna dan tekstur keju (unripened cheese)
Kode keju Rasa Aroma Warna Tekstur
K 3.68 a 3.48a 2.42 a 2.67 a
A 3.10 a 3.25a 2.53 a 2.72 a
B 2.98 a 2.83a 2.68 a 3.17 a
C 2.80 a 2.98 a 3.43 b 3.18 a
D 2.45 a 2.48 a 3.95 b 3.25 a
Dari Tabel 5 dapat diketahui bahwa rasa keju hasil fermentasi 100%
Streptococcus lactis dan 0% Rhizopus oryzae lebih disukai dari pada yang lain
sedangkan untuk 0% Streptococcus lactis dan 100% Rhizopus oryzae memiliki nilai
rasa yang paling rendah dibanding yang lain. Bila dilihat dari hasil dari campuran
starter yang digunakan maka perlakuan starter campuran 75% Streptococcus lactis
dan 25% Rhizopus oryzae merupakan kombinasi yang terbaik yang diterima oleh
panelis. Pada perlakuan 0% Streptococcus lactis dan 100% Rhizopus oryzae memiliki
nilai rasa yang paling rendah.
Aroma keju muncul terutama disebabkan oleh volatil yang terbentuk selama
pemeraman. Keju unripened merupakan jenis keju segar tanpa pemeraman sehingga
aroma keju belum terbentuk dan masih didominasi oleh aroma susu yang digunakan
(Murwaningsih, 2003). Tabel 5 menunjukan aroma yang tertinggi pada 100%
Streptococcus lactis dan 0% Rhizopus oryzae. Hasil ini berarti bahwa keju hasil
fermentasi dari starter pada 100% Streptococcus lactis paling disukai aromanya.
Penggunaan starter campuran yang paling disukai yaitu 75% Streptococcus lactis dan
25 % Rhizopus oryzae.
17

Dari hasil analisis non-parametrik menunjukkan warna keju hasil fermentasi


100% Rhizopus oryzae lebih disukai dari pada yang lain sedangkan untuk
penggunaan starter campuran yang paling disukai yaitu 25% Streptococcus lactis dan
75 % Rhizopus oryzae hal ini disebabkan karena warna keju yang dihasilkan lebih
kuning dibandingkan dengan starter campuran yang lain. Menurut Buckle et al (1987)
bahwa keju yang dibuat dari susu sapi tanpa pewarna akan menghasilkan keju yang
berwarna putih kekuningan. Warna keju dipengaruhi kadar lemak pada keju. Lemak
pada keju diperoleh dengan bantuan enzim lipase, yang mampu menghidrolisis
trigliserida menjadi gliserol dan asam lemak. Warna kuning berasal dari pigmen
karoten yang larut didalam lemak. Sehingga semakin banyak kadar lemak pada keju
menyebabkan warna keju menjadi semakin kuning, karena semakin banyak pigmen
karoten yang larut, pada 25% Streptococcus lactis dan 75 % Rhizopus oryzae
memiliki kadar lemak yang tinggi dibandingkan dengan campuran lainya sehingga
memiliki warna yang lebih kuning.
Berdasarkan hasil analisis non-parametrik menunjukkan skor penilaian yang
diberikan para panelis terhadap tekstur sampel relatif rendah yaitu tidak suka hingga
agak suka. Kadar air yang tinggi pada keju tanpa peram membuat tekstur yang
lembek dan agak berair. Pada keju (unripened cheese) yang terbuat dengan
menggunakan starter campuran 25% Streptococcus lactis dan 75 % Rhizopus oryzae
paling disukai karena pada memiliki kadar air yang lebih rendah sehingga keju yang
dihasilkan tidak lembek jika dibandingkan dengan keju (unripened cheese) dengan
menggunakan starter campuran lainnya.
Potensi Rhizopus oryzae sebagai starter dalam pembuatan keju
Dari hasil penelitian bahwa Rhizopus oryzae mampu memfermentasikan susu
dalam waktu 10 jam pada suhu 37 ° C yang ditunjukkan dengan perubahan pH yaitu
6,23 pH awal menjadi 4, 85 pH akhir atau terjadi penurunan pH sebesar 1,37.
Penurunan pH karena terbentuknya asam laktat akibat penggunaan subtrat fermentasi
oleh mikroorganisme membantu mengendapkan ion kalsium (Ca ++) yang berperan
18

dalam meningkatkan kecepatan koagulasi dan hasilnya dapat diketahui dengan


terbentuknya rendemen curd (Murti, 2004).
Keju hasil fermentasi dari starter campuran Streptococcus lactis dan Rhizopus
oryzae memiliki potensi yang besar sebagai bahan pangan alternatif. Potensi keju
hasil fermentasi dari starter campuran Streptococcus lactis dan Rhizopus oryzae
dapat diketahui dengan membandingkan nilai nutrisi keju dan nilai kesukaan. Kadar
lemak, protein dan nilai uji kesukaan dapat dilihat pada tabel 6.
Tabel 6. Kadar Rendemen, Protein, Lemak dan Nilai Uji Kesukaan
Perlakuan Rendemen Protein Lemak Rasa Aroma Warna Tekstur
(%) Bk (%) Bk
K 8.23 a 14.80a 35.91a 3.68a 3.48a 2.42a 2.67a
A 8.75a 15.20a 37.26a 3.10a 3.25a 2.53a 2.72a
B 8.89a 15.47a 49.73b 2.97a 2.83a 2.68a 3.17a
C 8.96a 15.53a 50.29b 2.80a 2.98a 3.43b 3.18a
D 9.07a 15.70a 51.50b 2.45a 2.48a 3.95b 3.25a

Berdasarkan tabel diatas dapat diketahui bahwa kadar protein, nilai kesukaan
terhadap warna dan tekstur pada 25% Streptococcus lactis dan 75% Rhizopus oryzae
lebih tinggi dibandingkan dengan keju hasil fermentasi campuran starter
Streptococcus lactis dan Rhizopus oryzae yang lainya. Sedangkan pada 75%
Streptococcus lactis dan 25% Rhizopus oryzae memiliki keunggulan dalam kadar
lemak yang rendah, rasa dan aroma. Sehingga dapat diketahui bahwa keju
(unripened cheese) dari starter campuran 75% Streptococcus lactis dan 25% Rhizopus
oryzae lebih baik nilai nutrisinya karena kadar lemaknya rendah dan kadar proteinnya
tidak berbeda nyata dengan kadar protein keju (unripened cheese) yang lain, selain
itu rasa dan aromanya juga lebih disukai. Namun bila dilihat dari segi ekonomis
penggunaan starter campuran 25% Streptococcus lactis dan 75% Rhizopus oryzae
19

lebih menguntungkan karena menghasilkan nilai rendemen yang banyak, kadar


protein tinggi, selain itu juga menghasilkan warna, tekstur yang paling disukai.
KESIMPULAN
Rhizopus oryzae berpotensi sebagai starter dalam pembuatan keju karena
kemampuannya membentuk asam laktat yang ditunjukkan dengan adanya penurunan
pH sebesar 1,37 selama inkubasi 10 jam dan terbentuk rendemen sebesar 8-9 %..
Penggunaan variasi starter campuran Streptococcus lactis dan Rhizopus oryzae
menghasilkan perbedaan secara nyata pada kadar air dan kadar lemak. Kualitas keju
(unripened cheese) terbaik pada starter campuran 75 % Rhizopus oryzae dan 25 %
Streptococcus lactis menghasilkan nilai rendemen dan kadar protein tertinggi pada
yaitu sebesar 8.96 % BK dan 15,70% BK, memiliki kadar air yang rendah yaitu
sebesar 32,71 % serta menghasilkan warna dan tekstur yang paling disukai

DAFTAR PUSTAKA

Adnan, M. 1984. Kimia dan Teknologi Pengelolahan Air Susu. Andi Offset.
Yogyakarta.

Aly. Gamay. 1997. Low fat cheese curd products. United States Patent 5612073

Apriyantono, A., D, Fardiaz, N.L. Puspitasari, Sedarnawati dan S. Budiyanto. 1989.


Petunjuk Laboratorium Analisis Pangan. Departemen Pendidikan Dan
Kebudayaan Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi Pusat Antar Universitas
Pangan dan Gizi Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Aunstrup, K. 1979. Production, isolasi and economic of extracellular Enzymes in:


L.E. Wingard, E. K. Katzir and Goldstein (Eds). Aplied Biochemistry
Bioegineering Enzymes Tecnology. Academic Press New York.

Burg, J.C.T. Van Den. 1988. Dairy Tecnology in The Tropic And Subtropic. Pudoc
Wageningen, Netherlands.

Basya, S. 1983. Berbagai Faktor yang Mempengaruhi Kadar Lemak Susu Sapi
Perah. Wartazoa. Pusat Penelitian dan Pengembangan peternakan. Bogor.
20

Borders, Cheryl. 2002. Use of isolated soy protein for making fresh, unripened cheese
analogs. United States Patent 6413569

Buckle, K.A., R.A. Edward, G.H. Fleet, dan M. Wooton. 1987. Ilmu Pangan.
Diterjemahkan oleh H. Purnomo dan Adiono. Penerbit Univesitas Indonesia.
Jakarta.

Cheesemen, G.C. 1981. Rennet and cheesemaking. In: Enzim and food Processing.
Applied Science Publishers, Ltd. London.

Chairani, R. 2003. Pengaruh Kombinasi Susu Kambing dan Susu Sapi Skim Sebagai
Bahan Dasar Terhadap Nilai pH, Kadar Protein dan Sifat Organoleptik keju
Cottage. Skripsi. UNDIP. Semarang.

Daulay, Djundjung. 1991. Fermentasi keju. IPB. Bogor.

Direktorat Gizi Departemen Pertanian. 2001. Cottage Cheese. Nutrient Data


Laboratory Home Page, http://www.nal.gov/fnic/foodcomp[6 September
2007].

Eckles, C.H., W.B. Combs dan H. Macy. 1980. Milk and milk Product. Tata Mc
Graw Hill Publishing. Co. ltd., Bombay.

Fardiaz, S. 1989. Mikrobiologi Pangan. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan


Direktorat Jenderal Tinggi Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi IPB,
Bogor.

Fox, P.F. 1993. Cheese : Chemistry, Physics and Microbiology. 2nd ed. Chapman
Hall. London

Hadiwiyoto, Soewedo. 1983. Hasil Olahan Susu, Ikan , Daging, dan Telur. Liberty.
Yogyakarta.

Hidayati, D. 2003. Pembentukan Conjugated Linoleic Acid ( CLA) Oleh Bakteri


Asam Laktat Selama Fermentasi Susu Kedelai. Tesis. Prodi Ilmu dan
Teknologi Pangan. Program Pasca Sarjana jurusan Ilmu Pertanian UGM.
Yogyakarta.

Kuswanto, R.K., Sudarmadji, Slamet. 1989. Mikrobiologi Pangan. UGM.


Yogyakarta.

Kusumaningrum, H.D., M. Anggreini, dan A. Saefullah .1996. Peningkatan Kadar


Vitamin B12 dalam Yoghurt Ubi Jalar dan Kadar Merah melalui Kombinasi
21

Starter Yoghurt dengan Propionibacterium freudenchii. Jurnal Ilmu dan


Teknologi Pangan. 1(1):34-39.

Legowo, M.A., Nurwantoro., Albaarri, A.N., Chairani, Reni., dan Purbasari Connida.
2003. Kadar Protein, Lemak, Nilai pH Dan Mutu Hedonik Keju Cottage
Dengan Bahan Dasar Susu kambing Dan Susu Sapi Krim. Prosiding Seminar
Nasional. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan. Bogor. Hal : 272-
277.

Jamilatun, Makhabbah. 2004. Uji Kandungan Lemak dan Protein Keju Cottage
dengan Starter Rhizopus oryzae Setelah Penambahan Asam dan Saat
Koagulasi. Skripsi. UNS. Surakarta.

Margino, Sebastian., Rahayu, Sutriswati Endang. 1992. Molekuler Genetika


Mikrobia. UGM. Yogyakarta.

Margino, Sebastian., Rahayu, Sutriswati Endang. 1992. Mikrobiologi Pengelolahan


Pangan. UGM. Yogyakarta.

Mc. Kay, L.L., W.E. Sandine and P.R. Elliker. 1971. Lactose Utilization by Lactic
Acid and Bacteria. J. Dairy Science. 37: 493.

Midarmadi, S., Sadeghi, H., Sharafi, N., Falah pour, M., Mihseni., F. Dan Bakhtiari,
M.R. 2002. Comparison of Lactic Acid Isomers Produced by Fungal and
Bacterial Strain. Iran biomed. J.6 (2&3): 69-75.
Murti, T.W. 2004. Aneka keju. Fakultas Peternakan. UGM. Yogjakarta.

Murwaningsih, J. 2003. Kualitas Kimia Susu Sapi Frisian Holstein (FH) Dan Keju
Cottage Yang Dihasilkan Pada Genotipe Kappa Kasein Berbeda. Skripsi. IPB.
Bogor.

Nur, H.S. 2005. Pembentukan Asam Organik Oleh Isolat Bakteri Asam Laktat Pada
Media Ekstrak Daging Buah Durian (Durio ziberthinus Murr). Bioscientiae.
Volume 2. Nomor 1. Halaman 15-24. Univ Lambung Amangkurat.

Nurwantoro. 1991. Pola Pemecahan Karbohidrat selama Fermentasi Tape Ubi Kayu
Dengan Menggunakan Inokulum Murni Kering. Tesis. Institut Pertanian
Bogor.

Nout, M.J.R dan J.L Kiers. 2005. Tempe fermentasi, innovation and functionality:
update into the thirt millennium. J.Applied Microbiology. 98: 789-809
22

Oser, B. L. 1976. Hawk’s Psisiological Chemistry. Tata McGraw. Hill Publishing


Company Limited. New Delhi.

Purwoko, T., I.R. Pramudyanti. 2004. Pengaruh CaCO3 pada Fermentasi Asam Laktat
oleh Rhizopus oryzae. J.mikrobiologi. Indonesia. 9: 19-22.

Rahman, A., Srikandi, F., Winiarti, P.R., dan C. C., Nurwitri. 1992. Teknologi
Fermentasi Susu. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktoral
Jenderal Pendidikan Tinggi PAU Pangan dan Gizi IPB. Bogor.

Randriyo, R.P. 2006. Pengaruh Kombinasi Starter (Steptococcus lactis Dan Rhizopus
oryzae) Terhadap Kadar Lemak, Kadar Total Asam Dan kesukaan Keju
Berbahan Dasar Susu Sapi. Skripsi. Fakultas Peternakan UNDIP. Semarang

Sariyanto. 2005. Sifat Fisik dan Organoleptik Dadih Susu Sapi Hasil Fermentasi
Bakteri Prebiotik Yang Disimpan Pada Suhu Berbeda. Skripsi. IPB. Bogor.

Scoot, R. 1981. Cheesemaking Practice. Applied Science Publishers, Ltd. London.

Septiani, Y. 2004. Studi Karbohidrat, Lemak dan protein pada kecap dari tempe.
Skripsi. Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas
Sebelas Maret. Surakarta.

Skory, C.D. 2000. Lactic acid by Rhyzopus oryzae With Increased Lactate
Dehyrogenase.Http://www.Ars.usda.gov/research/publications/publication.ht
m?seq_no_115=151614 ( 5 September 2007).

Soetrisno, N. Sapuan. 1996. Bunga Rampai Tempe Indonesia. Yayasan Tempe


Indonesia. Jakarta.

Sudarmadji, S., Haryono., B. Dan Suhadi. 1984. Analisis Bahan Makanan dan
Pertanian. Edisi II. Penerbit Alumni, Bandung.

Suharyanto, T. Panji, Abdullah dan K. Syamsu. 2006. Biokonversi CPO dengan


Denaturase Amobil Sistem Kontinu pada Skala Semipilot untuk Produksi
Minyak Mengandung GLA. Menara Perkebunan. 74(2) : 97-108.

Susilorini, T.E. dan Sawitri, M.E. 2006. Produk Olahan Susu.Penebar Swadaya.
Yogyakarta.

Suwaryono, Oyon. 1988. Fermentasi Bahan Pangan. UGM. Yogyakarta.


23

Tranggono dan Setiaji B. 1898. Biokimia Pangan. Pusat Antar Universitas Panagn
Gizi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Wardhani, B. 1996. Mempelajari Penggunaan Beberapa Jenis Renet Dalam
Pembuatan Keju Cottage. Skripsi. IPB. Bogor.

Weiser , H. H. 1962. Practical Food Microbiology and Technology. The Avi


Publishing Company, Inc. London.

Widodo, 2003. Mikrobiologi Pangan Dan Industri Hasil Ternak. Lacticia press,
Yogyakarta.

Widowati, S dan Migiyarta. 2002. Efektivitas Bakteri Asam Laktat ( BAL) pada
Pembuatan Produksi Fermentasi Berbasis Protein/ Susu Nabati.
Prosiding Seminar Hasil Rintisan dan Bioteknologi tanaman. 360-373.
Bogor.

Wijaya, S. 2002. Isolasi Kitinase dari Scleroderma columnare dan Trichoderma


harzianum. Jurnal Ilmu dasar. 3(1):30-35.

Winarno, F.G. 1997. Kimia Pangan dan Gizi. PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.

Yuniah, Yuyun. 1996. Pengaruh Fermentasi Biji Sorgum Coklat Dengan Aspergilus
niger, Aspergilus oryzae atau Rhizopus oryzae terhadap Perubahan Komposisi
Zat-Zat Makanan. Skripsi. IPB. Bogor.

Yousef, Ahmed Elmetelgy. 2003. Food microbiology: A Laboratory Manual.


Interscience Publication. United States of America.

You might also like