Professional Documents
Culture Documents
Menerobos Wacana-Wacana Teologis Kristiani Tentang Misteri Allah Tritunggal Dalam Rangka Mengonstruksi Moderasi Dalam Berteologi
Menerobos Wacana-Wacana Teologis Kristiani Tentang Misteri Allah Tritunggal Dalam Rangka Mengonstruksi Moderasi Dalam Berteologi
Menerobos Wacana-Wacana Teologis Kristiani Tentang Misteri Allah Tritunggal Dalam Rangka Mengonstruksi Moderasi Dalam Berteologi
Petrus Lakonawa
Binus University
plakonawa@binus.edu
Abstract: This paper will briefly explore the main discourses about the triune God in the
development of Christian theology to propose some theological moderation about the Divine
mystery which Augustine called as the beauty ever ancient but ever new and increasingly alluring.
Some of the moderation approaches offered by the author in this article are first, the talk about the
Triune God, though imperfect, is finally done so that those who believe in it do not remain silent
about mysteries that are very close but also far transcending in their faith and life experiences.
Second, ethical kriteria are needed as principles that could guide theological effort so that
theologies will be able to produce positive impacts on the real life of all creation. Third, the need to
be aware of the limitations of symbols, expressions, metaphors, definitions and discourses about
God for God transcends human understanding (apophatic theology). Fourth, because God is a
mystery beyond the reach of human understanding, therefore, it needs to be realized that no
theology is absolute and monopolizing all discourses rather it is necessary to talk about God in
various ways and symbols in order to complement one another. Fifth, apophatic awareness that
God is incomprehensible leads to the humility of mystical theology. The study in this paper will
begin by briefly describing the development of the theology of the Trinity from the Early Church to
the Enlightenment, followed by critical notes and proposals developed by contemporary theologians
on the discourse about the Triune God and end up with a concluding note in the form of a way of
moderation in doing theology.
Abstrak: Tulisan ini hendak mengeksplorasi secara singkat wacana-wacana utama tentang Allah
Tritunggal dalam perkembangan teologi Kristen untuk mengusulkan beberapa moderasi teologis
tentang misteri Ilahi yang oleh Agustinus disebut sebagai keindahan lama yang selalu baru dan
semakin memikat. Beberapa pendekatan moderasi yang ditawarkan penulis dalam artikel ini
adalah pertama, pembicaraan tentang Allah Tritunggal, meskipun tidak sempurna, akhirnya
dilakukan agar orang yang mengimaninya tidak berdiam diri tentang misteri yang sangat dekat
namun juga jauh dalam pengalaman hidup dan imannya. Kedua, kriteria etis diperlukan sebagai
prinsip yang memandu upaya berteologi agar sanggup memberikan dampak positif pada kehidupan
nyata seluruh alam ciptaan. Ketiga, perlunya kesadaran akan keterbatasan simbol-simbol,
ungkapan, metafora, definisi dan wacana tentang Allah karena Allah melampaui pemahaman
manusia (teologiapofatik). Keempat, karena Allah adalah misteri di luar jangkauan pemahaman
manusia, oleh karena itu, perlu disadari bahwa tidak ada satu teologi pun yang bersifat mutlak dan
125
126 Ilmu Ushuluddin, Volume 4, Nomor 2, Juli 2017
memonopoli semua diskursus melainkan perlunya berbicara tentang Tuhan dalam berbagai cara
dan simbol agar dapat saling melengkapi. Kelima, kesadaran apofatik akan Allah yang merupakan
misteri maha akbar menuntun proses pencarian akan Allah dalam bentuk kerendahan hati mistikal
(mystical theology). Kajian dalam tulisan ini akan dimulai dengan menggambarkan secara singkat
perkembangan teologi Tritunggal sejak Gereja Perdana hingga Abad Pencerahan, yang diikuti
oleh catatan kritis dan usulan yang dikembangkan oleh para teolog kontemporer atas diskursus
tentang Allah Tritunggal selama ini dan diakhiri oleh catatan penutup berupa jalan moderasi
dalam berteologi.
Kata Kunci: Teologi Allah Tritunggal, Teologi Klasik, Teologi Kontemporer, Teologi Tritunggal
Modalitas, Teologi Tritunggal Sosial, Moderasi, Teologi Apofatik, Jalan Mistikal.
Kristen mayoritas dan dominan pada masa adopsionisme,6 aliran doketisme,7 aliran
setelah itu dengan para penggagas teologi sabellianisme,8 dan sebagainya karena
Tritunggal yang dipandang sesat/bid’ah. dianggap melenceng dari pengertian dasar
yang termaktub dalam Kitab Suci dan menista
Perkembangan Teologi Klasik tentang ajaran resmi yang diyakini dalam gereja
Allah Tritunggal dan Isu-isu Kritis yang perdana dan diteruskan oleh para
Menyertainya pemeluknya.
Sebagaimana telah dijelaskan di atas, Kontroversi dan pertikaian yang lebih
diskursus tentang Allah Tritunggal dimulai serius terjadi di abad keempat. Seorang imam
ketika para pengikut Yesus merenungkan di Mesir bernama Arius menolak keilahian
tentang sejarah keselamatan dalam terang Yesus berdasarkan pada keyakinan utama dan
pengalaman iman mereka akan Yesus yang premis dasarnya bahwa Allah itu satu dan
diyakini sebagai Allah yang menjadi manusia, tidak dapat dibagi, bahwa tidak ada makhluk
Sabda yang menjadi daging (inkarnasi) dan lain yang bias disetarakan dengan
kesaksian-Nya tentang Allah Bapa dan Roh Tuhan. Arius menyangkal gagasan bahwa
Kudus. Kitab Suci Perjanjian Baru tidak Putra ada bersama dengan Bapa dalam
memformulasikan teologi tentang Allah keabadian. Baginya, Bapa tidak memiliki
Tritunggal secara penuh. Adalah generasi permulaan, tidak diasalkan (unoriginated)
Kristen selanjutnya yang secara bertahap sedangkan putra berasal dari Bapa. Dalam
menghadapi kebutuhan yang lebih mendesak pernyataannya yang tersohor dan menjadi
untuk mendefinisikannya. kidung yang populer di masa itu, ia
1. Titik Kritis Pertama: Dari menyebutkan bahwa: “Ada suatu masa ketika
Perdebatan Awal hingga dia tidak ada.”(“There was a time when he
Pengembangan Konsep yang Abstrak was not.”).9 Ia berargumen bahwa Yesus,
tentang Allah Tritunggal Logos Ilahi, sesungguhnya hanyalah makhluk
Pada periode pasca-Alkitablah wacana ciptaan meskipun ia adalah makhluk unggul
teologis tentang Tritunggal dikembangkan
6
yaitu ketika para pengikut Yesus berhadapan Adopsionisme percaya bahwa Yesus adalah
manusia biasa, bukan ilahi melainkan seorang yang
dengan pertanyaan-pertanyaan tentang berbudi luhur, dan karena keluhurannya itu, ia diadopsi
siapakah Dia? Apakah Dia juga Allah? Kalau oleh Allah menjadi Putra Allah dengan turunnya Roh
Kudus atas-Nya. Aliran keyakinan ini dikemukakan
Yesus juga Allah, bagaimana dengan Allah oleh Theodotusdari Byzantium sekitar tahun 190 dan
Bapa yang di surga? Dan Roh Kudus yang dihidupkan kembali oleh Paul dari Samosata,
diwartakan dan dijanjikan-Nya? Byzantium (200-275). Ajaran ini dikutuk sebagai
bid’ah; Theodotus dikucilkan oleh Paus Victor
Orang Kristen pada masa itu kemudian sedangkan Paulus dari Samosata dikutuk oleh Konsili
berusaha menjawab pertanyaan-pertanyaan Antiokhia pada tahun 268.
7
tersebut dan merumuskan iman kepercayaan Doketisme percaya bahwa Yesus adalah roh
murni dan tidak berwujud. Tubuh-Nya hanyalah
atau syahadatnya. Beberapa aliran dianggap sebuah ilusi. Demikian pun penderitaan dan
sesat dan dikutuk, para pendukungnya penyaliban-Nya.
8
Sabellianisme percaya bahwa Bapa, Putra, dan
ditindak dan dipersekusi, seperti: aliran Roh Kudus hanyalah penokohan dari Tuhan Yang Satu
dan Satu-satunya.
9
Lihat, Gerald O'Collins,SJ, The Tripersonal
GOD: Understanding and Interpreting the Trinity
(New York/Mahwah, N.J: Paulist Press, 1999), 112.
Petrus Lakonawa, Menerobos Wacana-wacana Teologis Kristiani... 129
yang diciptakan sebelum segala sesuatu Kudus se hakikat dan bahwa ketiganya adalah
diciptakan dan bahwa semua ciptaan dibuat satu Allah. Allah Tritunggal yang Maha
melalui dia.10 Putra menunaikan kehendak Kudus.
Bapa dengan menciptakan segala sesuatu Iman akan Allah Tritunggal
yang lain dan bertindak sebagai demiurge11, dikembangkan ke dalam penjelasan dan
yakni Logos yang ditempatkan paling tinggi doktrin teologis yang lebih terperinci. Upaya
dalam hierarki antar-makhluk ciptaan. ini dipimpin oleh tiga teolog terkemuka dari
Menghadapi ajaran ini dan untuk Timur yang dikenal sebagai para teolog dari
melindungi ortodoksi atau ajaran iman yang Kapadokia, Turki modern, yaitu Basilius
resmi dan asali, konsili ekumenis (330-379), Gregorius dari Nazianzen (329-
pertama dalam sejarah Kekristen-an diadakan 389), dan Gregorius dari Nissa (±335-395),15
di Nicea pada tahun 325. Konsili ini serta seorang teolog terkemuka dari Barat
menegaskan bahwa Yesus itu bernama Agustinus (354-430).16
‘homoousios’ dengan Bapa: se hakikat
15
dengan Bapa. Artinya, Yesus memiliki esensi Ketiga teolog ini meskipun berbeda satu sama
atau substansi atau nature yang sama dengan lain, pada dasarnya memiliki pandangan teologis yang
sama tentang Allah Tritunggal. Pertama, Allah adalah
Bapa.12 Konsili ini melahirkan pernyataan satu. Kedua, Allah memanifestasikan Diri-Nya dalam
iman bahwa Yesus Kristus adalah "Allah dari tiga cara yang berbeda. Ketiga, Bapa adalah sumber
eksistensi Putra dan Roh Kudus. Putra berasal dari
Allah, Terang dari Terang, Allah yang Sejati Bapa sebagai sumber dan Roh Kudus berasal dari Bapa
dari Allah yang Sejati.”13 Selanjutnya, pada melalui Putra. Ketiga, cara berada itulah yang
tahun 381 konsili ekumenis yang kedua membedakan ketiganya. Keempat, Ketiganya saling
berhubungan dalam relasi saling memberi dan
diadakan di Konstantinopel dan dalam konsili menerima yang dikenal sebagai hubungan
ini pengakuan iman/syahadat iman ‘perikoretik’. John Thompson, Modern Trinitarian
Perspectives (New York, Oxford: Oxford University
memasukkan pengakuan serupa
Press, 1994), 126-127.
tentang keilahian roh Kudus.14 16
Selain dipengaruhi oleh aliran pemikiran Neo-
Singkatnya, gereja menegaskan secara formal Platonisme (filsafat yang dominan di abad ketiga
sampai dengan keenam yang memandang bahwa
dan mengajarkan bahwa Bapa, Yesus dan Roh semua makhluk mendapatkan tempatnya dalam
lingkaran konsentris yang diasalkan dari sumber
spiritual yang tunggal yang disebut sebagai Yang Satu
10
Sebagaimana orang-orang di masanya di (The One)atau Yang Baik(The Good)), terutama
Aleksandria-Mesir, Arius dipengaruhi oleh ajaran Plotinus, Agustinus mengembangkan teologi
Origen yang mengklaim subordinasi Putra dan Roh Tritunggalnya berdasarkan Kitab Suci. Ia
Kudus di bawah Bapa. Ibid., 111-112. mengembangkan berbagai analogi untuk
11
Dalam Gnostisisme dan filsafat Platonis, membahasakan misteri Allah Tritunggal. Menurutnya,
demiurge (Yunani: demiourgos) dipahami sebagai Tritunggal memiliki satu kesatuan tindakan dan
makhluk surgawi tetapi lebih rendah dari Yang Maha kehendak. Itulah keesaan-Nya. Tetapi kemauan dan
tinggi. Dalam filsafat Plato, demiourgos adalah arsitek tindakan yang sama itu diungkapkan sesuai dengan
ilahi yang merancang dan membangun. Sedangkan subsistensi masing-masing. Setiap subsisten berbeda
dalam pandangan Gnostisisme, demiourgos adalah satu sama lain dalam
dewa rendah yang mengambil peran menciptakan dan kerangka relatio oppositarum yakni suatu hubungan
mengendalikan dunia fisik agar sesuai dengan cita-cita yang merupakan kebalikan dari dua lainnya: Bapa
rasional dan abadi. bukan Putra. Putra itu bukan Bapa. Putra itu bukan Roh
12
Dari kata bahasa Yunani: ‘homo’ yang berarti Kudus. Bapa bukanlah Roh Kudus. Bapa bukanlah
sama, dan ‘ousios’ yang berarti esensi atau substansi. Putra; dan seterusnya. Agustinus juga menggambarkan
13
Elizabeth A. Johnson, Quest for the Living bahwa Roh Kudus adalah cinta timbal balik antara
God., 205. Bapa dan Putra dalam analogi Kekasih (Lover), Yang
14
Elizabeth A. Johnson, Quest for the Living Dikasihi (Beloved) dan Kasih Timbal Balik (Love)
God., 206. yang menyatukan keduanya. Selain itu, ia juga
130 Ilmu Ushuluddin, Volume 4, Nomor 2, Juli 2017
Secara umum, para teolog Timur olah Allah Bapa terpisah dari Putra dan Roh
mengembangkan gambaran Allah yang Kudus dan seolah-olah Allah Bapa bersikap
monarkis yang bersumber pada Bapa, apatis terhadap penderitaan di dunia dan
yang dari-Nya hadir Putra dan Roh Kudus begitu transenden hingga tidak terlibat dalam
laksana dua buah tangan Ilahi untuk sejarah keselamatan dunia. Lebih dari itu,
menjangkau dunia.17 Sedangkan teolog Barat secara metodologis, pendekatan filosofis,
menempatkan kesatuan Allah (satu hakikat abstrak dan konseptual yang biasanya dipakai
Ilahi yang sama) sebagai prioritas ontologis oleh Aquinas dan para teolog pada zamannya
kemudian menempatkan tiga pribadi ke dalam menghasilkan apa yang Elizabeth A.
kerangka itu. Johnson amati sebagai: "Semakin terpisah
Para teolog abad-abad dari doa dan kehidupan sakramental, doktrin
berikutnya membedakan Allah dalam diri- kehilangan pijakannya dalam pengalaman
Nya (Trinity in se) dan Allah dalam sejarah religius tentang keselamatan dan mulai
keselamatan (Trinity pro nobis). Pembedaan menjadi sesuatu yang rumit dan
18
ini berkembang luas dalam spekulasi teologis elite." Alhasil, pendekatan ini tidak menarik
abad pertengahan. Thomas Aquinas minat umat beriman.
membahas kedua topik tersebut secara Abad Pencerahan (abad ketujuh belas
terpisah. Ia memulai dengan spekulasi tentang dan kedelapan belas di Eropa) memiliki
De Deo Uno (doktrin umum tentang Allah kecenderungan untuk menghasilkan
yang Satu beserta atribut-atribut-Nya) pemikiran yang jelas dan terpilah-pilah
kemudian berbicara tentang Allah sebagai (clara et distincta) tentang segala sesuatu
Allah Tritunggal: De Deo Trino. Pendekatan termasuk tentang Tuhan dengan
Aquinas ini dikritik dalam diskursus teologi menggunakan metode filosofis. Gerakan
kontemporer karena memberi kesan seolah- Pencerahan memiliki ciri khas menolak
otoritas dogmatis agama dan
tradisi demi melakukan investigasi rasional
mengusulkan untuk menggambarkan Tuhan dalam
analogi pikiran, pengetahuan dan kemauan. John berdasarkan kemampuan akal manusia untuk
Thompson, Modern Trinitarian Perspectives., 128. mencari tahu dan menjawab pertanyaan-
17
Basilius, misalnya, mempertahankan urutan pertanyaan kehidupan. Sejalan dengan
internal dalam Allah Tritunggal: Bapa sebagai asal dan
sumber, Putra sebagai pengirim, dan Roh Kudus semangat zaman ini, para teolog Kristen pun
sebagai pembawa pesan. Lihat, Gerald O’Collins, S.J., menggunakan argumen rasional untuk
The Tripersonal GOD.,133. Irenaeus dari
Smyrna (130-±202), seorang uskup Yunani, misalnya,
menjelaskan tentang Allah dan pertanyaan-
ketika menafsirkan Kejadian 1:26 berusaha untuk pertanyaan teologis lainnya; hal mana berbeda
mempertahankan konsep transendensi Bapa. Ia dengan kecenderungan masa sebelumnya
berbicara tentang Putra dan Roh Kudus dalam analogi
dua tangan Allah: “Dalam melaksanakan karya yang membangun teologi di atas dasar Kitab
penciptaan yang dimaksudkannya, Allah tidak Suci, ibadat sakramental, dan tradisi.
membutuhkan bantuan malaikat, seolah-olah Allah Pendekatan Abad Pencerahan berupaya
tidak memiliki tangannya sendiri. Allah senantiasa
memiliki di sisi-Nya: Firman (Putra) dan Roh Kudus mencari pengetahuan yang obyektif tentang
(Kebijaksanaan). Melalui Mereka dan di dalam
Mereka, Allah menciptakan semua hal atas kehendak-
18
Nya sendiri. Dan kepada Mereka, Allah berkata, mari Elizabeth A. Johnson, Quest for the Living
kita membuat manusia menurut gambar dan rupa Kita.” God., 207. Bandingkan dengan para teolog Gereja
(AdversusHaereses, 4.20.1). Lihat, Gerald O’Collins, Timur yang mengembangkan doktrin Tritunggal
S.J., The Tripersonal GOD., 99. melalui ibadah, liturgi, doksologi, dan cerita-cerita.
Petrus Lakonawa, Menerobos Wacana-wacana Teologis Kristiani... 131
Allah tanpa memperhatikan rekaman biblis olah Allah sudah ditangkap dengan akal budi
akan peristiwa-peristiwa pewahyuan Allah dan penjelasan yang mumpuni. Allah
dalam sejarah keselamatan yang diriwayatkan diteropong, dianalisis dan dipahami secara
dalam Kitab Suci. Melalui metode deduktif komprehensif.21 Elizabeth A. Johnson,
dan logika yang ketat, para teolog di Abad seorang teolog feminis terkemuka masa kini,
Pencerahan menarik kesimpulan untuk menyindir pendekatan ini dengan mengatakan
mengonstruksi konsep-konsep tentang Tuhan, bahwa “Istilah-istilah Trini tarian yang jelas
contohnya: “Allah itu tidak terbatas (infinite)” dan terpilah-pilah memberi kesan bahwa
sebagai kesimpulan dari kontras yang teologi telah menyelidiki Allah melalui
disandingkan dengan realitas alam ciptaan teleskop berkemampuan tinggi, dengan
yang terbatas (finite). Dari situ memberikan deskripsi-deskripsi tentang tiga
dipertanggungjawabkanlah gagasan-gagasan Pribadi Ilahi dari Allah Tritunggal untuk
seperti Allah itu kekal (hanya makhluk dipahami secara harfiah.”22
ciptaanlah yang berubah); Allah itu Selama berabad-abad, para teolog klasik
inkorporeal (tubuh atau materi fisik alam mencabut wacana tentang Allah Tritunggal
ciptaanlah yang dapat berubah); Allah tidak dan memutuskan kaitannya dengan
dapat menderita (makhluklah yang pengalaman iman Kristiani. Allah Tritunggal
menderita); Allah maha kuasa, maha tahu, ditelaah layaknya teka-teki matematika dan
hadir di mana saja, berbeda dengan makhluk dipecahkan secara intelektual, abstrak dan
yang terbatas dalam kuasa, dalam konseptual. Cara ini membuat doktrin tentang
pengetahuan, dan terbatasi pula oleh ruang Allah Tritunggal tidak relevan bagi
dan waktu.19 kehidupan.23 Hasilnya, diskursus teologi
Sekarang ini, wacana-wacana teologi Allah Tritunggal terpinggirkan dalam arena
klasik tentang Allah Tritunggal mendapat akademis. Sebagaimana yang diamati oleh
banyak sorotan dan kritik. Pertama-tama, Elizabeth A. Johnson, pada abad kedelapan
karena konsep mereka tentang Allah belas, seorang teolog hebat bernama Friedrich
cenderung mengabaikan pengalaman konkret Schleiermacher bahkan menempatkan topik
sejarah keselamatan umat beriman, sementara Tritunggal ke beberapa halaman terakhir dari
pada kenyataannya, iman kepada Allah buku maha karyanya yang berjudul The
Tritunggal lahir dari pergumulan hidup Christian Faith lantaran diskusi tentang Allah
konkret dari komunitas Kristen Perdana akan Tritunggal dianggap tidak memberikan
pelayanan penebusan Yesus. Melupakan dampak besar bagi kehidupan kristiani dan
pengalaman sejarah keselamatan dalam Kitab kurang memiliki hubungan dengan iman
Suci membuat teologi menjadi semata-mata Kristen.
analisis muskil, rumit namun tidak relevan Karl Rahner (1904-1984), teolog besar
karena kurang dikaitkan dengan kehidupan Katolik abad ini, menyesalkan perkembangan
sehingga tidak memiliki dampak bagi teologi tentang Allah Tritunggal sejauh ini
kehidupan manusia.20 Kedua , teologi ini
21
menyajikan penjelasannya dalam tendensi Ibid.
22
Elizabeth A. Johnson, She Who Is: The Mystery
yang literal, harfiah dan menyeluruh seolah- of God in Feminist Theological Discourse (New York:
Crossroad, 1994), 192.
19 23
Ibid.,15. Elizabeth A. Johnson, Quest for the Living
20
Ibid., 207-208. God., 203.
132 Ilmu Ushuluddin, Volume 4, Nomor 2, Juli 2017
yang dinilainya telah mengasingkan Allah kita pahami sekarang yakni sebagai individu
dari keseharian hidup orang-orang Kristen. dengan kesadaran dan kebebasan independen.
Konsepnya begitu sulit dicerna sehingga pada Dengan demikian, titik kritis dari
akhirnya tidak digubris orang. Sehingga, penggunaan istilah tiga Pribadi dalam
seloroh Rahner, jika pun secara resmi Tritunggal adalah bahwa ia cenderung berarti
diumumkan bahwa telah ditemukan lagi tritheism. Di sisi lain, penekanan yang
Pribadi Ilahi yang keempat maka mungkin berlebihan terhadap kesatuan Tuhan juga
pengumuman resmi itu tidak akan dapat merugikan konsep keanekaragaman dan
menimbulkan reaksi apa-apa. Doktrin tentang independensi dari ketiga pribadi di dalam
Allah Tritunggal telah menjadi ajaran yang Allah Tritunggal. Oleh karena itu, Karl Barth
esoteris dan abstrak. Hal ini sangatlah ironis dan Karl Rahner mencoba menghidupkan
karena semestinya ajaran ini merupakan kembali istilah ‘cara-cara berada’ atau modes
ajaran inti, fundamental dan sentral dari iman of being yang pernah dipopulerkan oleh para
Kristen lantaran ia menyangkut gambaran Bapa Gereja dan teolog dari
tentang Allah yang dipercayai oleh pemeluk Kapadokia. Namun, istilah modes of being
agama Kristen. atau cara-cara berada ini pun memiliki nuansa
impersonal. Para teolog lain, dengan begitu,
2. Titik Kritis yang Kedua: Metafora- tetap memilih istilah Pribadi dalam kerangka
metafora yang Problematis serta kesatuan relasional antar-Pribadi-Pribadi Ilahi
Struktur yang Tidak Adil yang yang beragam dalam kesatuan persekutuan
Dibangun di dalam Teologi tentang atau koinonia. Pendekatan terakhir ini dikenal
Allah Tritunggal dengan sebutan teologi Tritunggal sosial
a.Istilah Pribadi (‘Persona’ dalam (social Trinity) dan merupakan pendekatan
Bahasa Latin) yang paling kontemporer dalam diskursus
Istilah pribadi atau person dalam teologi belakangan ini yang menekankan
menyebut Allah Tritunggal sebagai satu Allah aspek Allah dalam komunitas (God in
tiga ‘Pribadi’ sesungguhnya merupakan communion) dan Allah yang berelasi
terjemahan (atau salah terjemahan) yang (relasional God) untuk mengkritik
popular dari kata Bahasa Yunani, hypostasis. individualisme dan konsep Allah yang apatis.
Terjemahan tersebut bermasalah karena kata
hypostasis tidak memaksudkan pribadi b. Istilah Bapa
sebagai mana dimengerti dalam perspektif Istilah 'Bapa' tentu saja jelas bermasalah,
psikologi modern dewasa ini. terutama dari perspektif teologi
Hypostasis (ὑπόστασις) sesungguhnya berarti feminis. Melekatkan istilah ini secara
keadaan atau substansi yang mendasar; atau eksklusif dan dominan kepada Pribadi
realitas fundamental yang menunjang segala Pertama dalam Tritunggal serta merta
sesuatu; atau dasar yang kuat dari mana memberi kesan bahwa Kekristenan
sesuatu berdiri dan berada (the firm ground menjunjung, mempromosikan,
from out of which a thing stands forth and memperjuangkan dan melanggengkan sistem
exists).24 Pengertian ini sangat berbeda dari patriarki. Harus ditegaskan bahwa Allah itu
makna semantik kata Pribadi sebagaimana bukan bapa. Allah itu bukan manusia. Kitab
Suci Perjanjian Lama misalnya dengan jelas
24
Ibid., 211.
Petrus Lakonawa, Menerobos Wacana-wacana Teologis Kristiani... 133
menekankan bahwa Allah benar-benar 1:1-2:4). Melalui Sabda Allah, segala hal
transenden dan tidak memiliki menjadi tertata rapi dan teratur (Sirakh
seksualitas. Tuhan bukan laki-laki atau 43:26). “Oleh Firman TUHAN langit telah
perempuan. Sabda TUHAN dalam Hosea 11: dijadikan, semua tentara-Nya dibentuk oleh
9 berbunyi: "Aku adalah Tuhan dan bukan Nafas mulut-Nya.” (Mazmur 33: 6).
manusia, yang Kudus di tengah-tengah Kata Roh yang dalam bahasa
kamu". Tuhan melampaui representasi apa Ibrani disebut Ruah dan dalam bahasa
pun di dunia ini. Yunani Pneuma adalah juga berbentuk
Dengan demikian, sebutan Bapa feminin. Kata Roh sering digunakan juga
hanyalah sebuah metafora yang tidak patut untuk berbicara tentang Allah. Saat
dipahami secara harfiah. Metafora ini penciptaan alam semesta sebagaimana
hanyalah satu dari sekian banyak yang ada digambarkan dalam Kitab Kejadian 1:2, Roh
untuk membahasakan tentang Allah. Tersedia Allah melayang-layang di atas permukaan air.
pula metafora lain dari pengalaman khas Dalam Kitab Suci Perjanjian Baru, Yesus
perempuan yang bisa digunakan dan sering sendiri membandingkan kegiatan
digunakan untuk itu. Allah misalnya penyelamatan Allah dengan seorang
dianalogikan sebagai seorang perempuan perempuan yang mencari uang koin yang
yang sedang menderita sakit bersalin (Yesaya hilang (Lukas 15: 8-10) atau seorang
42:14). Allah juga digambarkan sebagai bidan perempuan yang membuat roti (Lukas 13:20-
perempuan (Mazmur 22:9-10), dan 21; Matius 13:33). Injil Yohanes
sebagainya. Selain itu, tradisi alkitabiah menggambarkan momen Yesus di kayu salib
menggambarkan Allah dalam berbagai dalam gambaran pengalaman persalinan yang
personifikasi perempuan seperti: menyakitkan dengan potret yang jelas tentang
Kebijaksanaan, Sabda/Firman dan Roh. darah dan air yang mengucur dari lambung-
Dalam Perjanjian Lama, Allah kerap kali Nya. Gambaran ini mengonotasikan
disebut dalam konotasi feminine sebagai pengalaman perempuan saat bersalin
Kebijaksanaan atau Hokmah (dalam tradisi (Yohanes 7:37-39; 19:34) yang oleh para
dan Bahasa Ibrani) atau Sophia (dalam tradisi teolog diinterpretasikan sebagai momen
dan Bahasa Yunani) yang diterjemahkan kelahiran gereja dan sakramen-sakramennya.
sebagai Lady Wisdom dalam Bahasa Inggris Oleh karena itu, sebutan Bapa perlu
atau Perempuan Kebijaksanaan dalam Bahasa disikapi secara kritis dan kreatif. Sebutan
Indonesia. Tradisi ini sangat banyak tersebut bukan untuk dimaknai secara lateral
ditemukan dan menjadi bagian utama dalam melainkan simbolis. Selain itu, ia mendorong
kitab Ayub, Amsal, Pengkhotbah, Yesus bin upaya-upaya kreatif guna mencari dan
Sirakh dan Kebijaksanaan. menemukan sebutan, metafora, simbol
Di samping itu, Allah juga sering kali maupun analogi lain yang kaya dan beragam
disebut sebagai Sabda atau Firman dalam untuk menyebut tentang Tuhan agar terhindar
tradisi Alkitabiah yang menggunakan bentuk dari dominasi, pemutlakan atau pengkultusan
tata bahasa feminin. Sabda dipersonifikasikan dan sakralisasi simbol atau cara bicara
sebagai ada bersama Allah dan berkreasi tertentu.
bersama Allah sejak awal mula dalam
menciptakan seluruh alam semesta (Kejadian
134 Ilmu Ushuluddin, Volume 4, Nomor 2, Juli 2017
Karena itu, sebagaimana diamati oleh seolah-olah kelelakian itu sakral dan
Agustinus, pembicaraan tentang Allah superioritas laki-laki diinstitusikan secara
Tritunggal dilakukan bukan untuk Ilahi menurut gambar dan rupa (citra) Ilahi.
memberikan gambaran yang lengkap dan Jika hal ini diterima begitu saja maka simbol
akurat tentang Allah tetapi agar kita tidak Allah Tritunggal dapat disalahgunakan untuk
tinggal diam28 di hadapan misteri yang melegitimasi sistem patriarkal yang merepresi
mengagumkan sekaligus menggetarkan itu. perempuan.
Hal mana dibahasakan oleh Leonardo Boff Struktur hierarkis yang terbangun dalam
lebih jauh, Teologi Klasik oleh gagasan bahwa Putra dan
“Berhadapan dengan misteri persekutuan Roh Kudus diasalkan dari Bapa atau lebih lagi
Allah Tritunggal yang mengagumkan, Putra menerima segalanya dari Bapa
kita harus diam. Tetapi kita dapat diam, kemudian Bapa dan Putra menghembuskan
hanya setelah mencoba berbicara Roh Kudus (dalam tradisi Gereja Barat30) atau
secukup mungkin tentang realitas yang Bapa saja (dalam tradisi Gereja Timur31)
tidak dapat diungkapkan oleh kata-kata sebagai primus inter pares menghembuskan
manusia secara tepat. Mari kita diam di Roh Kudus mengukuhkan hierarki dalam diri
akhir dan bukan di awal. Hanya diakhiri persekutuan Allah Tritunggal seolah-olah
diam itu layak dan suci. (Diam) di awal Bapa memiliki superioritas atas dua Pribadi
itu akan merugikan dan tidak sopan."29 Ilahi yang lainnya. Sebagaimana simbol
tentang Allah menjadi rujukan hidup umat
Simbol-simbol Patriarkal dan Struktur beriman maka konsep hierarki semacam ini
Hirarkis dalam Teologi Allah Tritunggal dapat melanggengkan relasi-relasi asimetris
Penggunaan simbol-simbol laki-laki yang dan represif di dalam gereja, keluarga,
dominan dan cenderung memonopoli serta masyarakat dan dunia.
sistem hierarki yang dibangun dalam teologi Sadar akan potensi bahaya serta dampak
Allah Tritunggal merupakan salah satu isu dari visi asimetris dan subordinatif yang dapat
utama yang diangkat para teolog feminis. dihasilkan oleh teologi ini, dan akan konteks
Metafora Bapa yang secara eksklusif zaman yang makin berkembang dan semakin
digunakan untuk menggambarkan Pribadi mempertanyakan isu-isu ketidakadilan dan
Pertama Allah yang digambarkan sebagai ketimpangan sosial, hak-hak asasi manusia,
fonsdivinitatis (sumber keilahian) dari mana diskriminasi, rasialisme, kolonialisme,
Putra dan Roh Kudus diasalkan memberikan patriarki, seksisme dan sebagainya membuat
pesan yang menyesatkan seolah-olah banyak teolog kontemporer mencari cara-cara
kelelakian adalah inti dari Allah Tritunggal; bicara baru untuk merumuskan teologi
tentang misteri Allah Tritunggal. Elizabeth A.
28
On the Trinity 5.10. Johnson, misalnya, menggali tradisi klasik
29
“Faced with the awesome mystery of trinitarian
communion, we should be silent. But we can be silent,
30
only after trying to speak as adequate as possible of Gereja Barat adalah gereja yang berbasis pada
that reality which no human words can properly bahasa dan budaya Latin dan berpusat di Vatikan,
express. Let us be silent at the end and not at the Roma. Gereja ini sekarang dikenal dengan sebutan
beginning. Only at the end is silent worthy and holy. At Gereja Katolik.
the beginning it would be prejudicial and irreverent.” 31
Gereja Timur adalah gereja yang berbasis pada
Leonardo Boff, Trinity and Society, tr. Paul Burns bahasa dan budaya Yunani. Gereja ini sekarang dikenal
(Maryknoll, New York: Orbis Books, 1988), 8. dengan sebutan gereja Ortodoks.
136 Ilmu Ushuluddin, Volume 4, Nomor 2, Juli 2017
yang dibangun oleh para pujangga Gereja untuk menjelaskan keberbagaian Pribadi Ilahi
yang justru bertentangan dengan cara pandang sambil menggarisbawahi kesatuan Ilahi dalam
seperti itu. Ia menunjukkan bahwa Agustinus, analogi subyek aktif yang tunggal. Yang
seorang Bapa Gereja yang tersohor kedua, membicarakan misteri Allah
menegaskan tentang kesetaraan radikal dalam Tritunggal dalam analogi komunitas atau
Tritunggal. persekutuan Ilahi (divine communion atau
“...memang benar bahwa ketika kita divine koinonia) sambil menggunakan konsep
mengucapkan kata-kata Bapa, Putra dan psikologi modern tentang pribadi (person
Roh Kudus, setiap suku kata dipisahkan atau persona) untuk menggambarkan suatu
dari yang lain dalam urutan waktu; tetapi komunitas yang dibangun dan dihidupi oleh
interval-interval tersebut adalah bagian ketiga Pribadi dengan identitas yang terpilah-
dari hakikat kata-kata sebagai suara jasad pilah, sadar dan independen guna menjadikan
insani dan tidak berlaku dalam Allah pola relasi dalam persekutuan Allah
Tritunggal. Di dalam Tuhan tidak ada Tritunggal sebagai model bagi komunitas
yang lebih cepat atau lebih lambat, tidak sosial di dunia ini. Tren yang kedua ini
ada sebelum atau sesudah, tidak ada popular dikenal sebagai Teologi Tritunggal
interval waktu atau tempat... Urutan, Sosial (Social Trinity).
dengan demikian, tidak mengharuskan
subordinasi.”32 Tren yang Pertama: Pendekatan
Gagasan-gagasan seperti ini Modalitas (Cara Berada Allah Tritunggal)
dikembangkan secara lebih jauh dalam Dua teolog besar abad kedua puluh yakni
wacana-wacana kontemporer tentang Allah Karl Barth (1886-1968)33 dan
34
Tritunggal. Karl Rahner (1904-1984) mengusung
pendekatan ini. Mereka membangun ide-ide
Diskursus Teologi mereka di atas pandangan dasar tentang Allah
Kontemporer tentang Allah Tritunggal sebagai Misteri Absolut yang ada dan
Secara umum, teologi bertindak dalam tiga-cara-yang-dapat-
kontemporer berusaha mengatasi dibeda-bedakan (God as an absolute mystery
kecenderungan teologi klasik yang esoterik who exists and acts in three self-differentiated
dan abstrak dan isu-isu kritis yang sudah ways).35 Dalam pewahyuan diri-Nya, menurut
dipaparkan di atas. Diskursusnya dapat Karl Barth (teolog besar Protestan asal Swis),
digolongkan ke dalam dua trend: Allah mengungkapkan diri-Nya melalui diri-
yang pertama, menjelaskan misteri Allah Nya dalam tiga mode/cara berada yang Ilahi
Tritunggal dengan menggunakan kategori sebagai Yang Mewahyukan Diri (Revealer),
modalitas (dari kata ‘mode’) atau cara berada Wahyu itu Sendiri (Revelation), dan Yang
Terwahyukan (Revealedness). Bukan hal lain
“…it is true that when we say the words Father,
32 yang Allah wahyukan melainkan diri-Nya
Son and Spirit, each syllable is separated from the sendiri. Karena itu, teologi tentang Allah
other in a sequence of time; but these intervals belong
to the nature of words as bodily sounds and not to
God’s Trinity. In God there is no sooner or later, no 33
Karl Barth, Church Dogmatics, trans. G. T.
before or after, no intervals of time or place… Thomson (Edinburg: T & T Clark, 1936).
34
Sequence, then, does not necessitate Karl Rahner, The Trinity (New York: Seabury,
subordination.”Elizabeth A. Johnson, She Who Is., 1974).
35
196. Ibid., 205.
Petrus Lakonawa, Menerobos Wacana-wacana Teologis Kristiani... 137
Nya (kenosis) untuk membuat ruang bagi pemerintahan kelas dan tanpa penindasan
alam semesta mengambil tempat.39 Demikian diktator. Itu adalah dunia di mana orang
juga yang terjadi dalam inkarnasi, karena didefinisikan oleh hubungan sosial
kasih Allah yang begitu besar kepada dunia, mereka dan bukan oleh kekuatan atau
maka Ia mengirimkan Putra-Nya untuk kepemilikan mereka. Itu adalah dunia di
menebus dunia. Kasih-Nya ini mengantarkan- mana manusia memiliki semua hal dalam
Nya ke dalam penderitaan di dunia. kebersamaan dan berbagi segala
Menurut Moltmann semua pengalaman sesuatunya dengan satu sama lain kecuali
itu adalah pengalaman bersama Allah kualitas pribadi mereka.”41
Tritunggal. Pada peristiwa di kayu salib, Dari perspektif yang sama tentang
misalnya, tidak hanya Yesus yang persekutuan dalam bingkai dan latar belakang
menanggung penderitaan itu melainkan juga teologi pembebasan,
Bapa dan Roh Kudus. Adalah Bapa yang Leonardo Boff merefleksikan misteri Allah
mengutus Putra-Nya, Yesus, ke dunia dan di Tritunggal dan melihat bahwa teologi
atas salib itu dalam persatuan dengan Bapa Tritunggal merupakan sebuah simbol yang
melepaskan Roh Kasih. Setiap pengalaman sangat potensial dan menjanjikan untuk
dialami secara bersama-sama dalam cara mengakhiri struktur sosial yang tidak adil
masing-masing. Ketiganya bukan sekedar dalam masyarakat. Baginya simbol komunitas
cara berada (modes of being) melainkan Allah Tritunggal adalah simbol pembebasan,
memiliki kesadaran, kemauan, pemikiran simbol transformasi.
individual. Meskipun berbeda-beda mereka Simbol ini merupakan kritik terhadap
hidup dalam persekutuan Ilahi. Allah dalam dominasi yang tidak adil dan
koinonia. Allah dalam komunitas. eksploitatif. Teristimewa juga bahwa Allah
Bagi Moltmann, teologi tentang Allah Tritunggal digambarkan sebagai komunitas
Tritunggal membangun paradigma yang inklusif dan penuh kasih menjangkau
sosial. Persekutuan Allah Tritunggal menjadi orang-orang yang miskin dan
"contoh komunitas manusia sejati, pertama- menderita. Melalui inkarnasi, Allah
tama di gereja dan juga di masyarakat."40 mengungkapkan kasih-Nya yang inklusif dan
https://translate.googleusercontent.com/transl solidaritas serta keberpihakannya kepada
ate_f - _ftn53. Ia berargumen, orang-orang lemah dan tertindas.42
“Allah Tritunggal tercermin hanya dalam
komunitas orang-orang Kristen yang 41
“The triune God is reflected only in a united
bersatu dan menyatukan tanpa dominasi and uniting community of Christians without
dan penaklukan dan komunitas manusia domination and subjection and a united and uniting
humanity without class rule and without dictatorial
yang menyatukan dan bersatu tanpa oppression. That is the world in which people are
defined by their social relationships and not by their
power or their property. That is the world in which
39
Jurgen Moltmann, God in Creation: An human beings have all things in common and share
Ecological Doctrine of Creation, tr. Margaret Kohl everything with one another except their personal
(London: S.C.M. Press, 1985), 102. qualities.”Ibid., 57.
40
Jürgen Moltmann, “The Reconciling Powers of 42
Adapun gagasan ini merupakan gagasan dasar
the Trinity in the Life of the Church and the World,” in dalam bangunan pemikiran teologi pembebasan yang
The Reconciling Power of the Trinity. Geneva dikembangkan oleh Leonardo Boff dan para teolog
Conference of European Churches, C.E.C. Occasional pembebasan lainnya di tengah konteks kemiskinan dan
Paper No. 15 (Geneva: C.E.C, 1983), 56. ketidakadilan sosial di Amerika Latin.
Petrus Lakonawa, Menerobos Wacana-wacana Teologis Kristiani... 139
43 44
C. Robert Mesle, Process Theology: A Basic Alister E. McGrath, Christian Theology: An
Introduction. (St. Louis, Missouri: Chalice Press, Introduction, 4th Edition (West Sussex: John Wiley &
1993), 25-32. Sons Ltd Blackwell, 2018), 145-146.
140 Ilmu Ushuluddin, Volume 4, Nomor 2, Juli 2017
tidak dapat dihindari oleh manusia untuk wacana tentang Allah. Dengan kata lain,
berbicara tentang Allah. Sebagai makhluk tidak ada konsep yang benar 100% tentang
yang memiliki akal budi dan fasilitas berpikir Allah karena Allah tidak dapat ditangkap
serta berkomunikasi, manusia tidak bias sepenuhnya oleh akal budi dan indera
terhindar dari upaya mencari, merenung dan manusia. God is incomprehensible (teologi
membahasakan tentang Allah. Bagi apofatik). Pewahyuan yang membentuk Kitab
Agustinus, teologi Tritunggal ditekuni agar Suci tidak sepenuhnya mengungkapkan
kita tidak membisu di hadapan misteri yang misteri Allah. Sebaliknya, seperti yang
dekat sekaligus begitu jauh dari kita. direfleksikan oleh Walter Kasper, wahyu
“Ketika ditanya tiga apa, maka justru mengantarkan kita lebih dalam kepada
keterbatasan besar yang dialami oleh misteri.46 Pada pusat pewahyuan, Allah
bahasa kita menjadi jelas. Tetapi Tritunggal justru diperkenalkan sebagai
rumusan Tiga Pribadi dibuat bukan untuk misteri. Deus Revelatus mengungkapkan diri
memberikan penjelasan yang lengkap sebagai Deus Absconditus. Allah yang
(tentang Allah-pen) dengan diwahyukan adalah Allah yang Akbar
menggunakan rumusan tersebut, tetapi melampaui daya tangkap manusia.
agar kita tidak harus tinggal diam.”45 (De Kitab Suci Perjanjian Lama maupun
Trinitate 5.10) Perjanjian Baru sama-sama
Kedua, terhadap setiap upaya berteologi menekankan gagasan tentang Allah yang
selalu ada kebutuhan akan adanya kriteria tidak bias dipahami. Allah tidak terduga
etis sebagai prinsip yang memandu para (Keluaran 3:14; Ayub 36:26). Tidak ada yang
teolog dalam merumuskan pemikirannya agar sanggup melihat Allah (Ulangan 4:12, 15-16;
sanggup memberikan dampak positif bagi 1 Timotius 6:16). Allah tidak ada
kehidupan nyata seluruh alam bandingannya dengan apa pun atau siapa pun
ciptaan. Prinsip-prinsip etik membantu (Yesaya 40:18, 25; 45:15). Allah tidak dapat
memurnikan elemen negatif dalam simbol dan ditangkap dalam representasi imajinasi
konsep tentang Allah. Teologi yang baik manusia (Kisah Para Rasul
membuat orang-orang baik. Teologi yang 17:29). Jadi, pembicaraan tentang Allah itu
baik menginspirasi kehidupan yang lebih baik bersifat analogi, metaforis, dan
di alam semesta. Gloria Dei vivens simbolis. Teologi tidak pantas dimengerti
homo. Kemuliaan Allah ada ketika umat secara harfiah. Selalu ada ketidaksamaan
manusia hidup sejahtera. Gloria Dei vivens antara simbol dan yang disimbolkan. Selalu
Creatura. Kemuliaan Allah dinyatakan dalam ada perbedaan antara Allah dan teologi
kesentosaan hidup seluruh alam ciptaan. tentang-Nya. Si comprehendis non est Deus.
Ketiga , selalu ada Jika engkau memahaminya maka itu bukan
keterbatasan/kelemahan dalam simbol dan Allah. Di dunia ini kita hidup dengan iman,
bukan oleh penglihatan (2 Korintus 5:
45
“When it is asked three what, then the great 7). Kata-kata Gregorius dari Nazianzen
poverty from which our language suffers becomes menjadi pengingat yang berarti:
apparent. But the formula three persons was coined
not in order to give a complete explanation by means
46
of it, but in order that we might not be obliged to Walter Kasper, The God of Jesus Christ, tr.
remain silent.”Lihat, Elizabeth A. Johnson, She Who Matthew J. O’Connell (New York: Crossroad, 1989),
Is., 203. 268.
Petrus Lakonawa, Menerobos Wacana-wacana Teologis Kristiani... 141
“... Dan siapakah kita untuk melakukan “... satu cara berbicara sendiri tidak
hal-hal ini, kita yang bahkan tidak dapat pernah memadai. Model psikologis dan
melihat apa yang ada di kaki kita, atau sosial, simbol laki-laki dan perempuan
menghitung pasir di laut, atau tetesan atau keduanya bersama-sama, referensi
hujan, atau hari-hari keabadian, apalagi personal dan impersonal -setiap orang
masuk ke kedalaman Allah, dan menyumbangkan wawasan yang tidak
memberikan laporan tentang hakikat dimiliki oleh orang lain, karena
Allah yang begitu tak terkatakan dan kehidupan Allah bergerak dalam
melampaui semua kata-kata?"47 relasionalitas yang menyelamatkan yang
lolos dari imajinasi kita."49
Keempat, menyadari bahwa Allah itu
melampaui kata-kata dan imajinasi kita serta Dengan demikian, teologi perlu terbuka
bahwa simbol dan teologi yang kita bangun dan toleran pada berbagai simbol, ungkapan,
tidak sempurna dan tidak sanggup pemahaman, pandangan, iman, keyakinan dan
menggambarkan Allah secara penuh, maka gagasan serta wacana tentang Allah.
merangkul ketidakterelakan kita untuk Sebagaimana yang diperingatkan oleh
berpikir dan berbicara tentang Tuhan berarti Thomas Aquinas: kita perlu memberi banyak
kita harus menggulirkan berbagai bentuk dan nama yang baik tentang Allah karena Allah
cara berbicara atau berteologi. Memutlakkan itu melampaui setiap nama.50
salah satu dari antara mereka dapat Agustinus, misalnya, menggunakan
mengakibatkan pada kejatuhan berbagai istilah untuk menyebut tiga Pribadi
menjadikannya berhala hal mana melanggar Ilahi dalam misteri Tritunggal: Kekasih, Yang
perintah pertama dan kedua dari 10 Dikasihi, dan Kasih; atau Pikiran, Pengertian,
perintah Allah yang tercantum dalam Kitab dan Kehendak. Para teolog kontemporer juga
Keluaran 20:1-548. Pengagung-agungan dan secara kreatif memformulasikan banyak nama
pemutlakan teologi dengan menganggapnya untuk menyimbolkan Allah Tritunggal. Gail
sebagai paling benar, paling menang dan Ramshaw Schmidt, dalam
secara radikal tidak menerima pandangan lain artikelnya “Naming the Trinity: Orthodoxy
dapat mengarah kepada fanatisme, and Inclusivity” menggunakan istilah
dan kekerasan terhadap yang lain Abba (Bapa)-Servant (Hamba) dan Paraclete
sebagaimana telah terjadi dalam sejarah (Penolong) untuk berbicara dan menyebut
persekusi terhadap para pencari Tuhan yang ketiga Pribadi dalam Allah Tritunggal.
dianggap sesaat, bid’ah dan penista agama. John Macquarrie menggunakan istilah
eksistensial-ontologis seperti Primordial
Being, Expressive Being, dan Unitive
47
“…And who are we to do these things, we who
cannot even see what lies at our feet, or number the 49
“…one way of speaking alone is never
sands of the sea, or the drops of rain, or the days of adequate. Psychological and social models, male and
eternity, much less enter into the depths of God, and female images or both together, personal and
supply an account of that nature which is so impersonal references -everyone contributes insight
unspeakable and transcending all words?” that the others do not, for God’s livingness moves in a
Lihatkutipanini pada Elizabeth A. Johnson, She Who saving relationality that escapes our
Is., 201. imagination.”Elizabeth A. Johnson, She Who Is., 221.
48 50
Jangan ada pada muallah lain di hadapan-Ku! Thomas Aquinas, Summa Contra Gentiles I. 31:
Dan, Jangan menyembah berhala! 4.
142 Ilmu Ushuluddin, Volume 4, Nomor 2, Juli 2017
51
Elizabeth A. Johnson, Quest for the Living
God., 219-221.
52
“The tongue has done what it could, has
sounded the words: let the rest be thought by the
heart.”Lihat pada Deirdre Carabine, The Unknown
God: Negative Theology in the Platonic Tradition:
Plato to Eriugena (Louvain: Peeters Press, 1995), 277.
Augustine, Epist. John. IV.6.