Download as pdf or txt
Download as pdf or txt
You are on page 1of 10

DAMPAK PERTUMBUHAN EKONOMI KOTA SEMARANG

TERHADAP KEMACETAN LALULINTAS DI WILAYAH PINGGIRAN DAN


KEBIJAKAN YANG DITEMPUHNYA
Etty Soesilowati
Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Semarang
email:ettysoesilowati@yahoo.com

ABSTRACT

The aim of this research is to know how much is the impact of Semarang economics growth to the
intensity of traffic jam on Semarang – Mranggen road, and, what is the strategy to solve it. This research
used descriptive percentase and SWOT analysis. The economics growth which is measured is Gross
Domestic Product per capita (PDRB) during 1996 – 2005, and it had become a free variable. Meanwhile,
the level of the annual average traffic jam during 1996 – 2005 had become a bounded variable. To know
the policy strategy, it was done by interviewing some stake holders that has an authority in the field of
transportation. The result of this research showed that the economics growth of Semarang city had
impact on individual role to the traffic jam as sum of 80,9%. The rest, 44,6 % was influenced by some
other things such as the activity of micro trader (PKL), parking man, public transportation and also people
who crossed the road. Based on SWOT analysis, the most appropriate strategy to solve the traffic jam is
by integrated horizontal strategy. It means, all institutions that subordinated by Local Government
(Pemda) such as Bapeda, Dinas Perhubungan dan Satpol PP, should work together to overcome the
traffic jam based on each authority. Nevertheless, the role of the police of Demak County as a vertical
institution is not less important. In the long run, it is important to develop a modern public transportation
system which is integrated, comfortable and also efficient, geometry road system that will be able to
avoid the traffic intersection, and also to educate people how to do a good manner in traffic
Keywords: Economic Growth, Traffic Jam, Policy Strategic.

PENDAHULUAN Berdasarkan data dalam buku Kecamatan


Dalam Angka, pada tahun 2001 jumlah penduduk
Kota merupakan pusat perdagangan, pusat
Kecamatan Mranggen, Ungaran, dan Kaliwungu
industri, pusat pertumbuhan, simpul distribusi, pusat
secara berturut-turut adalah sebesar 123.721 jiwa,
permukiman atau daerah modal. Sedangkan daerah
110.546 jiwa, dam 88.156 jiwa. Namun dalam kurun
di luar pusat konsentrasi tersebut dinamakan dengan
waktu lima tahun jumlah penduduk Kecamatan
berbagai istilah, seperti daerah pedalamn, wilayah
Mranggen meningkat menjadi 127.131 jiwa, Keca-
belakang atau pinggiran (hinterland).
matan Ungaran 124.872 jiwa, dan Kecamatan
Daerah perkotaan seperti Semarang yang sarat Kaliwungu 91.515 jiwa. Jika dilihat dari tingkata
akan berbagai fasilitas, prasarana dan sarana secara kepadatan penduduk, maka tingkat kepadatan
logis tentu memiliki laju pertumbuhan ekonomi yang penduduk tertinggi adalah di Kecamatan Mranggen
lebih cepat jika dibanding dengan wilayah yang yaitu sebesar 1,740 jiwa/km 2.
berada di luarnya. Di satu sisi pertumbuhan ini
Perkembangan daerah-daerah pinggiran Kota
menyebabkan semakin terbukanya kesempatan kerja
Semarang tersebut menyebabkan terjadinya pening-
baru, di sisi lain pertumbuhan ini berdampak pada
katan intensitas pergerakan manusia yang tercermin
meningkatnya jumlah penduduk di wilayah pinggiran
dari peningkatan arus lalulintas pada jam-jam
yang berbatasan langsung dengan Kota semarang,
teretntu di pintu-pintu masuk kota. Hal itu paling
antara lain Kecamatan Mranggen di Kabupaten
terlihat di Kecamatan Mranggen, dimana pagi dan
Demak, Kecamatan Ungaran di Kabupaten Sema-
sore hari terjadi kemacetan lalulintas akibat penum-
rang, dan Kecamatan Kaliwungu di Kabupaten
pukan kendaraan pribadi, sepeda maupun angkutan
Kendal.
umum yang membawa penduduk Mranggen ke Kota

JEJAK, Volume 1, Nomor 1, September, 2008 9


Semarang. Jika dilihat dari mata pencahariannya, masalah sekaligus mendukung pertumbuhan
sebagian besar penduduk Mranggen banyak yang ekonomi wilayah sekitarnya.
bekerja di sektor pertanian. Namun pertumbuhan
penduduk di sektor ini semakin berkurang dikarena-
LANDASAN TEORI
kan semakin menyempitnya lahan pertanian di satu
sisi, sedangkan di sisi lain pertumbuhan industri di Menurut Permendagri No.2 Tahun 1987 Pasal 1
kota semakin cepat sehingga banyak penduduk yang menyebutkan bahwa Kota adalah pusat permukiman
beralih profesi menjadi buruh industri dan bekerja di dan kegiatan penduduk yang mempunyai batasan
sector informal (buruh bangunan, pedagang, dan administrasi yang diatur dalam perundang-undangan,
lain-lain) serta permukiman yang telah memperlihatkan watak
Kecamatan Mranggen sebagai salah satu jalur dan cirri kehidupan perkotaan. Kota memiliki ciri-ciri:
pintu masuk ke Kota Semarang dari arah Timur ini (1) secara administratif adalah wilayah keruangan
dilalui jaringan jalan propinsi dengan fungsi kolektor yang dibatasi oleh batas administrasi atas dasar
primer (penghubung antar kota kecamatan maupun ketentuan perundang-undangan yang berlaku; (2)
antar ibukota kabupaten) yaitu jalan Raya Mranggen. secara fungsional sebagai pusat berbagai kegiatan
Di sepanjang Jalan Raya Mranggen ini terdapat fungsional yang didominasi oleh fungsi jasa, distri-
beberapa persimpangan yang merupakan pangkal busi, dan produksi kegiatan-kegiatan pertanian; (3)
dari beberapa ruas jalan protokol (jalan yang secara sosial ekonomi merupakan konsentrasi
menghubungkan antar bagian wilayah kecamatan penduduk yang memiliki kegiatan usaha dengan
atau antar pusat kegiatan) yang ada di Kecamatan dominasi sektor non pertanian, seperti industri,
Mranggen. Tingkat kepadatan lalulintas tersebut perdagangan, transportasi, perkantoran, dan jasa
dapat disajikan pada tabel 1 dibawah. yangsifatnya heterogen; (4) secara sosial budaya
merupakan pusat perubahan budaya yang dapat
Tabel 1. menunjukan tingkat kepadatan lalu-
mempengaruhi pola nilai budaya yang ada; (5)
lintas pada jam sibuk (pukul 06.00 – 08.00 dan
secara fisik merupakan suatu lingkungan terbangun
16.00 – 18.00) di berbagai ruas jalan lokal di
(built up area) yang didominasi oleh struktur fisik
Kecamatan Mranggen. Jalan Raya Mranggen selain
binaan; (6) secara geografis merupakan suatu pemu-
merupakan pangkal dari beberapa ruas jalan lokal,
satan penduduk dan kegiatan usahayang secara
jalan ini juga dilalui oleh mobilitas penduduk
geografir akan mengambil lokasi yang memiliki nilai
Kabupaten Grobokan maupun Kabupaten Blora yang
strategis secara ekonomi, sosial, maupun fisiografis;
menuju Kota Semarang. Untuk mewujudkan system
(7) secara demografis diartikan sebagai tempat dima-
transportasi yang tertib, lancar, nyaman serta
na terdapat konsentrasi penduduk yang besarnya
terintegrasi diperlukan penelitian untuk menyusun
ditentukan berdasarkan batasan statistik tertentu.
alternative kebijakan yang dapat memecahkan

Tabel 1. Panjang Ruas Jalan dan Tingkat Kepadatan Lalulintas di Kecamatan Mranggen
Panjang Ruas Jalan Volume Kapasitas Jalan Kecepatan Rata-rata
No. Nama Ruas V/C
(m) (V) (C) (km/jam)
1. Mranggen-Banyumeneng 10.170 473 1.920 0,25 23,24
2. Mranggen- Bulusari 6.570 294 1.920 0,15 30,32
3. Candisari- Karanggawang 3.375 274 858 0,32 22,62
4. Kangkung-Tlogorejo 7.600 231 858 0,27 19,52
5. Jalan SMU Mranggen 2.400 112 857 0,13 18,23
6. Brambang- Waru 8.460 128 857 0,15 20,24
7. Mranggen- Kebonbatur 4.200 133 862 0,15 25,60
8. Banyumeneng- Kawengan 2.300 - 862 - -
Sumber : Studi Manajemen Transportasi, 2006

10 JEJAK, Volume 1, Nomor 1, September, 2008


Secara teoritik Charles C.Colby dalam Dengan demikian apabila wilayah pusat (core)
Daldjoeni (1992: 171) menjelaskan adanya dua daya berkembang, maka wilayah pinggiran (periphery)
yang menyebabkan kota berekspansi atau memusat, juga akan turut berkembang sehingga dalam jangka
yaitu daya sentripetal dan daya sentrifugal. Daya panjang core-periphery akan habis. Hal tersebut
sentripetal adalah daya yang mendorong gerak ke dapat terjadi karena adanya perluasan pasar,
dalam dari penduduk dan berbagai kegiatan usaha- penemuan sumber baru, perbaikan sarana transpor-
nya, sedangkan daya sentrifugal adalah daya yang tasi dan kebijakan daerah yang mendukung. Namun
mendorong gerak ke luar dari penduduk dan ber- apabila core-periphery terlalu jauh, maka dampak
bagai usahanya dan menciptakan disperse kegiatan dari perkembangan core terhadap periphery tidak
manusia dan relokasi sektor-sektor dan zone-zone terasa.
kota. Hilmann dalam Daldjoeni (1992:189) mempre-
Adapun faktor-faktor yang mendorong gerak diksi terjadinya interaksi spasial tersebut disebabkan
sentripetal adalah: (1) adanya berbagai pusat pela- beberapa faktor: pertama, adanya wilayah yang
yanan, seperti pusat pendidikan, pusat perbelanjaan, berbeda kemampuan sumberdayanya (satu pihak
pusat hiburan dan sebagainya; (2) mudahnya akses berlebihan, sementara pihak yang lain kekurangan)
layanan transportasi seperti pelabuhan, stasiun sehingga terjadi aliran yang sangat besar dan
kereta, terminal bus, serta jaringan jalan yang bagus; membangkitkan interaksi spasial yang tinggi. Kedua,
(3) tersedianya beragam lapangan pekerjaan dengan adanya fungsi jarak yang diukur dalam biaya dan
tingkat upah yang lebih tinggi. Sedangkan factor- waktu yang nyata, termasuk karakteristik khusus dari
faktor yang mendorong gerak sentrifugal adalah : (1) komoditas yang ditransfer. Komoditas yang dihasil-
adanya gangguan yang berulang seperti macetnya kan tertentu dan dibutuhkan oleh daerah lain memiliki
lalulintas, polusi, dan gangguan bunyi-bunyian yang nilai transfer yang cukup tinggi. Intensitas interaksi
menimbulkan rasa tidak nyaman; (2) harga tanah, akan berkurang bila jarak kedua daerah semakin
pajak maupun sewa di luar pusat kota yang lebih jauh. Sementara arus yang terjadi dapat berwujud
murah jika dibandingkan dengan pusat kota; (3) arus ekonomi, sosial, politik maupun arus informasi.
keinginan untuk bertempat tinggal di luar pusat kota Interaksi spasial terdiri dari: pertama, keter-
yang terasa lebih alami (Daldjoeni, 1992 : 172) kaitan fisik yang berbentuk integrasi manusia melalui
Selain daya sentifugal maupun sentripetal, jaringan transportasi. Kedua, keterkaitan ekonomi
pemekaran wilayah dapat juga terjadi karena adanya yang berkaitan dengan pemasaran sehingga terjadi
kebijakan pemerintah yang sengaja mengembang- aliran komoditas berbagai jenis barang/ jasa serta
kan kota tersebut dengan cara membangun infra- modal, dan juga keterkaitan produksi ke depan
struktur dan mendatangkan berbagai investor sesuai (foward linkage) maupun kebelakang (backward
dengan potensi yang dimilikinya. Wilayah pinggiran linkage) diantara berbagai kegiatan ekonomi. Ketiga,
atau yang disebut sebagai suburbia secara ekologis keterkaitan atau pergerakan penduduk dengan pola
merupakan kawasan dimana terjadi invasi (masuk- migrasi, baik permanen maupun kontemporer.
nya penduduk baru) dan adanya peraturan daerah Keempat, keterkaitan teknologi terutama peralatan,
yang lemah (lax zoning regulation) yang meng- cara dan metode produksi yang harus terintegrasi
inginkan tersebarnya bangunan-bangunan baru secara spasial dan fungsional. Kelima, keterkaitan
seperti pompa bensin, restoran, tempat hiburan dan sosial yang merupakan dampak dari keterkaitan
lain sebagainya. Wilayah pinggiran biasanya diba- ekonomi terhadap pola hubungan sosial penduduk.
ngun tanpa rencana dimana tata guna lahan Keenam, keterkaitan pelayanan sosial seperti rumah
ditangani secara semrawut. Meski kawasan tersebut sakit, sekolah dan sebagainya. Ketujuh, keterkaitan
status resminya perdesaan (rural) tetapi dalam administrasi, politik dan kelembagaan misalnya
kenyataannya merupakan campuran rural-urban. struktur perbatasan administrasi maupun sistem
Daerah pinggiran atau perbatasan memiliki anggaran.
karakteristik, dimana daerah pinggirannya berbasis Carrothers dalam Tarigan (2004) telah meng-
sumberdaya alam (primer) dan daerah pusat meru- analogikan formulasi interaksi dengan hukum gravi-
pakan penghasil barang dan jasa (sekunder/tersier). tasi, yang dijabarkan sebagai berikut:

JEJAK, Volume 1, Nomor 1, September, 2008 11


f (Pi Pj) Untuk memenuhi alat pengangkutan yang
I ij 
f (Dij)2 efektif dan efisien sebagai sarana mobilitas, ken-
daraan pribadi menjadi pilihan dikarenakan sistem
Keterangan:
transportasi publik memiliki karakteristik layanan
I ij = Interaksi antara tempay i dan tempat j
yang tidak konsisten, jadwal yang tidak pasti, serta
P i = Penduduk i
meningkatnya tarif sehingga minat penggunaan
P j = Penduduk j
transportasi kecil. Kebutuhan ruang yang berupa
D ij = Jarak antara tempat i dan tempat j
ruas jalan secara kuantitas menjadi semakin berkem-
Hukum gravitasi tersebut memberikan gambaran bang sementara pemerintah terkendala dengan
bahwa semakin besar I ij maka semakin erat hubung- anggaran yang terbatas. Kondisi ini menyebabkan
an kedua wilayah tersebut, dan semakin tinggi pula kemacetan dimana-mana, khususnya kota besar.
pertumbuhan ekonomi yang terjadi.
Kemacetan identik dengan kepadatan (density),
Sementara pertumbuhan ekonomi menggam- yang didefinisikan sebagai jumlah kendaraan yang
barkan proses kenaikan output perkapita dalam menempati suatu panjang tertentu dari lajur atau
jangka panjang, dimana persentase pertambahan jalan, dirata-rata terhadap waktu, biasanya dinyata-
output itu haruslah lebih tinggi dari persentase kan dalam kendaraan per mil atau kendaraan perkil-
pertambahan jumlah penduduk. (Budiono dalam ometer atau jalan. Namun karena setiap jenis kenda-
Tarigan, 2004 : 44). Kondisi ini mensyaratkan bahwa raan memiliki karakteristik pergerakan yang berbeda
berbagai perubahan dalam pertumbuhan penduduk yang disebabkan perbedaan dimensi, kecepatan,
perlu menjadi pertimbangan, karena jika suatu percepatan maupun kemampuan manuver selain
kenaikan pendapatan nyata yang dibarengi dengan pengaruh geometrik jalan, maka digunakan Satuan
pertumbuhan penduduk yang lebih cepat, maka akan Mobil Penumpang (SMP) untuk menyamakan satuan
terjadi kemunduran ekonomi. dari masing-masing jenis kendaraan. Besarnya SMP
Ketimpangan yang terjadi antara satu daerah yang direkomendasikan oleh Direktorat Jendral Bina
dengan daerah lainnnya akan menyebabkan pen- Marga Jalan Indonesia (MKJI) adalah sebagai
duduk terdorong untuk melakukan migrasi dari satu berikut.
daerah ke daerah lain. Oleh karena itu pembangunan Tabel 2. Faktor Satuan Mobil Penumpang
daerah perlu diarahkan untuk lebih menyerasikan
No. Jenis Kendaraan Kelas SMP
laju pertumbuhan antar daerah melalui otonomi
daerah. Melalui otonomi daerah laju pertumbuhan 1. Sedan
diharapkan akan semakin seimbang dan serasi Oplet LV 1,00
sehingga pelaksanaan pembangunan nasional Mikrobus
Pick Up
semakin merata di seluruh pelosok tanah air.
2. Bus Standar
Adapun migrasi internal yang bersifat kedae-
Truk Sedang HV 1,30
rahan akan menyebabkan mobilitas penduduk ulang- Truk Besar
alik maupun sirkuler akan meningkat. Gejala ini
3. Sepeda Motor MC 0,50
dimungkinkan karena banyak penduduk yang
4. Becak
bertempat tinggal jauh dari tempat kerja ataupun
Sepeda UM 1,00
pusat pendidikan. Dengan berkembangnya pola
Andong, dll
mobilitas pinggiran-perkotaan, maka kebutuhan akan
Sumber : Direktorat Jendral Bina Marga (2002)
alat transportasi yang efisien dan efektif menjadi
Keterangan : LV = Light Vehicle (Kendaraan Berat)
meningkat. Dalam masyrakat modern berbagai alat HV = Heavy Vehicle (Kendaraan Ringan)
transportasi memegang dua fungsi penting: pertama, MC = Motor Cycle (Sepeda Motor)
sebagai modal untuk mengangkut orang pergi ke UM = Unmotorrized (Kendaraan Tak Ber-
tempat kerja atau memindahkan barang dari suatu motor)
tempat ke tempat lainnya. Kedua, sebagai barang Secara ekonomis, masalah kemacetan lalulin-
akhir untuk memenuhi berbagai keperluan sosial tas akan menciptakan biaya sosial, biaya operasional
masyarakat seperti rekreasi dan sebagainya. yang tinggi, hilangnya waktu, polusi uadara, tingginya

12 JEJAK, Volume 1, Nomor 1, September, 2008


angka kecelakaan, bising, dan juga menimbulkan dengan teknik purposive random sampling dengan
ketidaknyamanan bagi pejalan kaki. Sementara pertimbangan jumlah populasi yang tak tentu.
untuk mengelola sebuah pertumbuhan beserta Adapun variabel yang diteliti adalah pertum-
implikasinya diperlukan kebijakan-kebijakan yang buhan ekonomi Kota Semarang mulai tahun 2001 –
terintegrasi antar aktor-aktor yang terlibat. Kebijakan 2005 yang diukur dari PDRB perkapitanya , variabel
itu sendiri menurut Anderson merupakan langkah laju kenaikan tingkat kemacetan tahun 2001 – 2005
tindakan yang secara sengaja dilakukan oleh seor- di Kecamatan Mranggen yang diukur dari tingkat
ang aktor atau sejumlah aktor berkenaan dengan kepadatan lalulintas.
adanya masalah atau persoalan tertentu yang
Pengumpulan data dilakukan dengan metode
dihadapai (1986 : 58)
dokumentasi, wawancara, dan observasi. Met ode
Kelembagaan merupakan salah satu aspek dokumentasi dipergunakan untuk mencari data
penting dalam konteks analisis subsistem kebijakan PDRB dan data arus lalulintas, metode wawancara
karena aspek kelembagaan akan banyak berperan untuk menjaring pendapat para menglaju, langkah-
dalam setiap siklus kebijakan, mulai dari perencana- langkah yang ditempuh Pemda serta strategi-
an sampai dengan timbulnya umpan balik. Bagaima- strateginya. Sedangkan metode observasi digunakan
na sebuah kebijakan dirancang, direncanakan, untuk mendukung data-data kuantitatif seperti kondisi
didesain, diimplementasikan dan dievaluasi akan riil sistem transportasi, sebab-sebab kemacetan serta
membutuhkan partisipasi kelembagaan. Apabila titik-titik kemacetan terjadi.
aktor menunjuk pada orang perorangan, maka
Data dianalisis menggunakan analisis deskriptif
kelembagaan merupakan sebuah totalitas orang
persentase untuk mengetahui pertumbuhan ekonomi
perorangan yang terikat pada norma dan tatanan
Kota Semarang dan tingkat kemacetan di Kecamatan
organisasi. Dalam konteks kelembagaan, penyam-
Mranggen, analisis gravitasi, serta metode analisis
paian kebijakan (delivery system) telah menjadi
SWOT untuk merumuskan strategi yang tepat dalam
perhatian utama, khususnya dalam penyediaan
mengatasi kemacetan tersebut.
layanan publik. Penyediaan pelayanan publik dila-
kukan melalui seperangkat institusi dan instrumen
yang kompleks dan beragam disebut sebagai HASIL DAN PEMBAHASAN.
“campuran” (delivery mixes) Delivery mixed dalam
Untuk mengetahui seberapa kuat keterkaitan
konteks pelayanan publik melibatkan interaksi antara
(inter linkage) antara pusat dengan pinggirannya
sektor privat, sukarela (voluntary) dan komunitas.
digunakan model gravitasi yang meliputi keterkaitan
Hubungan antara privat, komunitas dan sukarela
antara Kota Semarang terhadap Kecamatan
oleh Colebatch dan Lamour dikatakan merupakan
Mranggen, Kecamatan Kaliwungu, dan Kecamatan
hubungan yang terus menerus mengalami
Ungaran. Semakin tinggi tingkat gravitasi maka bisa
perubahan.
dikatakan indikator kegiatan sosial dan ekonomi
kedua wilayah tersebut besar kaitannya. Hasil
METODE PENELITIAN perhitungan tingkat gravitasi dapat penulis sajikan
sebagai berikut pada tabel 3.
Penelitian ini bersifat deskriptif dengan populasi
penduduk Kecamatan Mranggen yang melakukan Hasil perhitungan analisis gravitasi tersebut
mobilitas ulang-alik ke Kota Semarang dan stake- dapat diketahui bahwa dalam kurun waktu 5 tahun
holder dibidang kelalulintasan, meliputi: Satlantas Kecamatan Mranggen merupakan wilayah yang
Polres Demak dan Kepala Kantor Perhubunan paling kuat daya tariknya terhadap pusat kota
Kabupaten Demak. Pengambilan sampel dilakukan Semarang.

JEJAK, Volume 1, Nomor 1, September, 2008 13


Tabel 3. Tingkat Gravitasi antara Kecamatan Mranggen, Kecamatan Kaliwungu dan Kecamatan Ungaran
Tahun 2001-2005
Tingkat Gravitasi
Kecamatan Jarak ke Pusat
2001 2002 2003 2004 2005
Mranggen 12 km 67.046.471 72.986.218 73.830.892 74.965.512 75.664.133
Kaliwungu 21 km 15.599.414 16.990.713 17.207.330 17.384.424 17.785.037
Ungaran 24 km 14.976.679 16.813.153 17.005.955 18.451.092 18.579.913
Sumber : Data diolah

Dari klasifikasi jalan menunjukan bahwa jalan penyeberang jalan dan simpang tak bersinyal. Hal ini
raya Purwodadi-Semarang (Kec. Mranggen) ber- sejalan dengan pendapat Sukirno (1976 :169) yang
fungsi sebagai kolektor primer dan termasuk mengatakan bahwa jumlah kendaraan bermotor yang
golongan kelas II, yang berarti konstruksi permu- dimiliki oleh warga masyarakat berkembang pesat
kaannya aspal beton. Tataguna lahan disepanjang sebagai akibat dari pertambahan pendapatan di
jalan berupa pasar, pertokoan dan beberapa perkotaan serta kemajuan teknologi kendaraan
perkantoran. Berkaitan dengan berbagai aktivitas bermotor.
yang terjadi di sekitar kawasan pasar, trotoar yang Lebih jauh, fungsi kendaraan sebagai modal
digunakan untuk berdagang, parkir, angkutan umum memiliki arti bahwa kendaraan sebagai input untuk
dan pejalan kaki memakan sebagian badan jalan dan menaikan produktivitas harus efisien. Contoh kasus
mengurangi lebar efektif jalur lalulintas jalan tersebut. apabila seorang penduduk harus mengeluarkan
Adapun arus dan tingkat kepadatan lalulintas di biaya perjalanan untuk berangkat dan pulang kerja
jalan raya Mranggen dan perkembangannya dapat dalam jarak tertentu difungsikan sebagai biaya tetap
penulis sajikan sebagai berikut. (FC), artinya jumlah biaya yang dikeluarkan tetap
Tabel 4. Jumlah Arus dan Tingkat Kepadatan meskipun waktu tempuh perjalanan bisa lebih cepat
Lalulintas di Jalan Raya Mranggen Tahun 2001 – atau lebih lambat. Jadi biaya totalnya sama dengan
2005 serta Perkembangannya biaya tetap (TC = FC). Untuk mendukung produk-
tivitasnya, dia mengeluarkan biaya untuk membeli
Arus lalulintas Tingkat Kepadatan Pertum-
Tahun Rata-rata Tahunan Lalulintas buhan
sepeda motor yang disebut biaya marginal (MC).
(smp/jam) (smp/km) (%) Setelah memiliki sepeda motor nilai FC akan turun
2001 12.970,80 324,27 - dan menimbulkan biaya variabel (VC) yaitu berupa
2002 13.008,60 325,22 1,29 biaya pemeliharaan sepeda motor, sehingga TC =
2003 13.188,60 329,72 1,60 FC + VC. Namun dalam kenyataannya TC perjalanan
2004 13.317,85 332,95 0,75 dengan angkutan umum > TC perjalanan dengan
2005 13.387,95 334,70 0,54 sepeda motor.
Sumber: Data Diolah Sementara hasil wawancara juga menunjukan
bahwa penyebab kemacetan juga diakibatkan oleh
Hasil perhitungan menunjukan bahwa setiap aktivitas pasar Ganefo yang terletak di sebelah Timur
kenaikan nilai PDRB per kapita sebesar satu satuan, pasar Mranggen, banyaknya becak, dokar serta
maka akan diikuti kenaikan kemacetan lalulintas di angkuta umum yang ngetem di pinggir jalan, dimana
Kec. Mranggen sebesar 0,0000173. Atau jika PDRB disepanjang jalan tersebut terdapat beberapa industri
per kapita naik sebesar Rp.100.000,- maka kema- besar.
cetan naik sebesar 1,73 smp/jam.
Instansi perhubungan sendiri tidak mempunyai
Besarnya kontribusi PDRB per kapita Kota kebijakan yang riil untuk mengurangi masalah
Semarang terhadap kemacetan lalulintas di Keca- kemacetan lalulintas. Tapi sebagai instansi di bawah
matan Mranggen adalah sebesar 65,4%, sedangkan Pemda bersama-sama dengan Bappeda dan Satpol
sisanya 44,6% dipengaruhi oleh faktor lain seperti PP telah memiliki kebijakan untuk menertibkan PKL
adanya aktivitas PKL, parkir, angkutan umum, serta dan tempat parkir. Sebenarnya dipersimpangan

14 JEJAK, Volume 1, Nomor 1, September, 2008


sebelah Barat pasar Mranggen sudah dipasang jam-jam sibuk dengan menurunkan petugas di titik-
traffic light, tapi nampaknya tidak bisa efektif titik kemacetan seperti persimpangan dan pasar.
dioperasionalkan karena volume kendaraan yang Kedua, Memasang pembatas jalan (traffickun) yang
tidak seimbang. Selain itu ada pihak-pihak tertentu berfungsi melebarkan jalur ke Semarang kalau esok
yang tidak setuju kalau traffic light diaktifkan, yaitu hari dan sebaliknya di sore hari. Ketiga, menindak
para tukang parkir dan ojeg yang memiliki pekerjaan tegas pengguna jalan yang tidak mematuhi aturan
sampingan sebagai penjual jasa penyeberangan lalulintas.
(polisi capek). Di satu sisi langkah-langkah kebijakan tersebut
Sementara langkah-langkah yang telah dilaku- efektif, namun di sisi lain masih ada kendala-kendala
kan oleh instansi Polisi sebagai instansi vertikal: yang ke depannya perlu ditangani, antara lain:
pertama, mengatur lalulintas secara langsung pada pertama, masih kurangnya kesadaran masyarakat
Tabel 5. Hasil Analisis SWOT
1. Identifikasi faktor-faktor strategis eksternal

Faktor Strategis Eksternal Bobot Peringkat Skor


Peluang:
 Pertumbuhan pelayanan angkutan umum 0,05 3 0,15
 Penempatan polisi lalulintas di simpang tak bersinyal pada jam sibuk 0,10 4 0,40
 Penambahan kapasitas jalan dengan memperlebar median jalan khusus 0,20 4 0,80
pada jam sibuk
 Adanya pemasangan traffic light di persimpangan 0,10 3 0,30
 Penindakan tegas bagi pelanggar lalulintas 0,10 4 0,40
Ancaman:
 Pertumbuhan penduduk 0,15 1 0,15
 Mobilitas penduduk yang tinggi 0,03 2 0,06
 Ketidaknyamanan dan inefisiensi angkutan umum 0,10 1 0,10
 Pertumbuhan permintaan kendaraan pribadi terutama sepeda motor 0,15 1 0,15
 Jenis kendaraan besar sampai ringan melintas jalan ini 0,02 2 0.04
Total 1 2,55

2. Identifikasi faktor-faktor Strategis internal


Faktor Strategis Internal Bobot Peringkat Skor
Kekuatan:
 Kondisi jalan dalam keadaan baik 0,05 3 0,30
 Kapasitas efektif jalan yang memadai 0,15 4 0,60
 Dekat dengan kantor Polsek dan Pos Polisi 0,10 4 0,40
 Rambu lalulintas cukup jelas untuk dilihat 0,05 3 0,15
 Kesadaran pengguna jalan dalam berlalulintas 0,10 4 0,40
Kelemahan:
 Arus lalulintas kendaraan meningkat pada jam sibuk 0,15 2 0,30
 Banyaknya kegiatan ekonomi penduduk yang memakai badan jalan 0,20 1 0,20
 Banyaknya penyeberang jalan 0,02 2 0,04
 Aktivitas angkutan umum yang menaikan /menurunkan penumpan g serta 0,15 1 0,15
berhenti di sembarang tempat
 Adanya simpang tak bersinyal 0,03 2 0.06
Total 1 2,60
Sumber : Data diolah

JEJAK, Volume 1, Nomor 1, September, 2008 15


berlalulintas terutama para pengguna sepeda motor pemecahan masalah kemacetan harus melalui
dan angkot. Kedua, belum berfungsinya traffic light di integrasi horisontal.
persimpangan. Ketiga, adanya becak dan andong Dari hasil analisis dengan menggunakan teknik
yang parkir di sembarang tempat. Keempat, banyak- SWOT, dapat diajukan beberapa strategi kebijakan
nya mobil barang dan truk yang diparkir di bahu yang dapat digunakan oleh Pemda Kab. Demak dan
jalan. Satlantas Polres Demak, yaitu strategi kebijakan
Untuk memperoleh formulasi strategi kebijakan integrasi horisontal. Artinya instansi-instansi yang
yang tepat untuk mengatasi masalah kemacetan bersifat horisontal, yaitu Bappeda, Kantor
dipergunakan analisis SWOT dengan tahapan Perhubungan, dan Satuan Polisi Pamong Praja
seperti tersaji pada tabel 5. (Satpol PP) berkoordinasi dalam satu bingkai
Dari total skor yang diperoleh, yaitu faktor kebijakan dan bekerja sesuai dengan tugas dan
strategis eksternal sebesar 2,55 dan faktor strategis kewenangannya. Sementara Polres Demak memiliki
internal sebesar 2,60 menunjukan titik koordinat tanggungjawab untuk menciptakan ketertiban
terletak di daerah pertumbuhan V pada internal- berlalulintas. Dengan adanya strategi kebijakan
eksternal matrik, yang berarti strategi kebijakan tersebut diharapkan akan tercipta sistem transportasi
yang lancar dan terintegrasi, membentuk pola

Tabel 6. Matriks SWOT


Kekuatan Kelemahan :
Faktor Internal Kondisi jalan dalam keadaan Arus lalulintas kendaraan
baik meningkat pada jam sibuk
Kapasitas efektif jalan yang Banyaknya kegiatan ekonomi
memadai penduduk yang memakai badan
Dekat dengan kantor Polsek jalan
dan Pos Polisi Banyaknya penyeberang jalan
Rambu lalulintas cukup jelas Aktivitas angkutan umum yang
untuk dilihat menaikan /menurunkan
Kesadaran pengguna jalan penumpang serta berhenti di
Faktor Eksternal dalam berlalulintas sembarang tempat
Adanya simpang tak bersinyal
Peluang : Strategi SO Strategi WO
Pertumbuhan pelayanan angkutan Meningkatkan efisiensi kinerja Menertibkan PKL di setiap pasar
umum persimpangan dengan dengan pengelolaan parkiran
Penempatan polisi lalulintas di simpang mendirikan pos penjaga yang baik
tak bersinyal pada jam sibuk lalulintas dan memasang traffic Meningkatkan pengawasan
Penambahan kapasitas jalan dengan light aktivitas angkutan umum karena
memperlebar median jalan pada jam Menciptakan kawasan tertib berpotensi melanggar aturan
sibuk lalulintas dengan memantau lalulintas
Adanya pemasangan traffic light di pengguna jalan, jika terjadi
persimpangan pelanggaran langsung ditindak
Penindakan tegas bagi pelanggar
lalulintas

Ancaman : Strategi ST Strategi WT


Pertumbuhan penduduk Lebih meningkatkan efektivitas Segera membangun jalan lingkar
Mobilitas penduduk yang tinggi sistem kinerja jalan dengan sebagai jalur alternatif sesuai
Ketidaknyamanan dan inefisiensi sebisa mungkin meminimalkan RUTRK (Rencana Umum Tata
angkutan umum tingkat hambatan Ruang Kota) Kabupaten Demak
Pertumbuhan permintaan kendaraan Membenahi menejemen Mendirikan tempat
pribadi terutama sepeda motor angkutan umum agar tercipta pemberhentian angkutan umum
Jenis kendaraan besar sampai ringan sistem transportasi publik yang (halte)
melintas jalan ini efektif dan efisien
Sumber: Data diolah

16 JEJAK, Volume 1, Nomor 1, September, 2008


mobilitas pinggiran-perkotaan yang tidak timpang, Dye, T.R. 1978. Understanding Public Policy.
bahwa migrasi internal yang bersifat antar daerah Prentince- Hall. Inc. Englewood Cliff. New
dan perdesaan-perkotaan akan terus berlangsung Jersey.
sampai kesenjangan pendapatan, kesempatan kerja Hauser, Philip M, 1982, Population and The Urban
dan fasilitas sosial semakin berkurang. Future, Masri Maris (penterjemah). 1985,
Penduduk dan Masa Depan Perkotaan, Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia.
KESIMPULAN DAN SARAN Heidenheimer, A.J., Heglo, H., and Adams, C.T.,
Dari hasil analisis data dapat ditarik kesimpulan 1996, Comparative Public Policy, New York: ST.
Martin’s Press.
sebagai berikut: pertama, pengaruh laju pertum-
buhan ekonomi Kota Semarang terhadap tingkat Laswell, HD., 1971, A Preview of Policy Sciences,
kemacetan di Kec. Mranggen sebesar 65,4%. Kedua, New Yprk: American Elsevier.
adanya faktor lain yang memiliki kontribusi terhadap Parson, Wayne, 1995 Public Policy: An Introduction
tingkat kemacetan, yaitu aktivitas PKL, parkir, to The Theory and Practice of Policy Analysis,
angkutan umum, serta penyeberang jalan sebesar USA: Edward Elgar Publishing,Inc.
34,6%. Rangkuti, Freddy, 1997, Analisis Swot: Teknik
Membedah Kasus Bisnis-Reorientasi Konsep
Adapun saran yang dapat diberikan adalah: Perencanaan Strategis Untuk Menghadapi Abad
pertama, untuk mencegah penduduk menggunakan 21, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
mobil pribadi, dalam jangka panjang perlu diciptakan
Starling, O.G., 1998, Managing The Public Sector,
sistem transportasi publik yang modern, nyaman dan Houston: Harcourt Brace College Publisher.
efisien semacam Busway dan KRL. Kedua, jika perlu
Tarigan, Robinson, 2004, Ekonomi Regional Teori &
dibangun sistem geometri jalan yang dapat meng-
Aplikasi, Jakarta: Bumi Aksara.
hindarkan traffic semacam Fly over sehingga
kemacetan di persimpangan dapat dihindari. Ketiga,
untuk kedepannya perlu perencanaan jalan lingkar
serta pembinaaan SDM transportasi dalam disiplin
berlalulintas serta penegakan hukum.

DAFTAR PUSTAKA
Anderson, J.E., 1986, Public Policy Making, New
York: Holt, Praeger
Arsyad, Lincolin, 1997, Ekonomi Pembangunan.
Yogjakarta: Bagian Penerbitan Sekolah Tinggi
Ilmu Ekonomi YKPN
Butcher, H.A. Glen, P.Henderson and J.Smith, (eds)
1993, Community and Public Policy. London:
Pluto Press.
Chambers, Robert 1983, Rural Development Putting
the Last First, Published by Longman Inc.
Daldjoeni, N., 1992, Geografi Baru: Organisasi
Keruangan Dalam Teori dan Praktek, Bandung :
Penerbit Alumni.
Dunn, W.N., 2000, Public Policy Analysis: An
Introduction. Pengantar Kebijakan Publik.
Muhadjir Darwin (Penyunting), Pengantar
Analisis Kebijakan Publik, Edisi Kedua,
Yogyakarta: Gajah Mada Univertity Press.

JEJAK, Volume 1, Nomor 1, September, 2008 17


18 JEJAK, Volume 1, Nomor 1, September, 2008

You might also like