Download as docx, pdf, or txt
Download as docx, pdf, or txt
You are on page 1of 9

IMPLEMENTASI PRINSIP NON-DISKRIMINATIF DALAM LINGKUP MOST-

FAVORED NATIONS DAN PENGECUALIAN PEMBERLAKUANNYA

Al Izzu Abdussalam
Fakultas Hukum Universitas Brawijaya
Jl. MT. Haryono No.169 Malang
Email : al.izzu27@gmail.com

ABSTRACT
World Trade Organization (WTO) is the only International Organization that rules the
activities of The International Trade. It was established back then in 1995, during its
establishment, it contained several agreements that had been negotiated and accepted by
nations in the world also had been ratified as well by their parliament to be adopted as their
national law. Since its establishment involved a lot of nations not to mention the developed
and the developing ones, WTO as an organization adopt some fundamental principles that
aimed to protect yet maintain the party’s interest, this principle is known as the Non-
Discrimination principle which means seeking for the equal treatment between one to other
countries that eventually resulting in a fair and just trade activities, this equal treatment is
also known as Most-Favored Nations (MFN) principle. However, the implementation is still
lacking due to common misunderstandings in regards to MFN itself as well as its exceptions.
This journal later will talk about the Non-Discrimination principle as a whole while also
talking about its exceptions.
Keywords : Non-Discrimination; Most-Favored Nation (MFN); Trade.

ABSTRAK

World Trade Organization (WTO) merupakan satu – satunya organisasi Internasional yang
mengatur proses berlangsungnya aktivitas perdagangan Internasional, dimana organisasi
tersebut terbentuk sejak tahun 1995. Proses berjalannya WTO memuat serangkaian
perjanjian yang dinegosiasikan dan disepakati oleh sejumlah negara di dunia dan diratifikasi
oleh parlemen untuk menjadi sebuah produk hukum nasional yang kemudian
diimplementasikan oleh seluruh negara di dunia yang menjadi pihak di dalamnya. Karena
terciptanya WTO di jalankan oleh banyak negara tak terkecuali negara maju dan juga
berkembang, WTO sebagai organisasi internasional yang mengatur aktivitas perdagangan
mengamalkan prinsip fundamental yang meliputi Non-Diskriminasi dan juga jaminan atas
Most-Favored Nations (MFN), tujuannya jelas untuk melindungi kepentingan negara anggota
agar kepentingannya tetap terlindungi dalam melakukan aktivitas perdagangan
internasional. Namun pada kenyataannya terdapat berbagai pergesekan dalam
pengimplementasiannya terutama kepentingan negara berkembang yang cenderung lebih
sering untuk diciderai oleh negara maju dalam aktivitas liberalisasi pasar perdagangan
Internasional. Namun, pelaksanaan prinsip Non-Diskriminasi masih memiliki kekurangan
dikarenakan hal yang sama yaitu kesalah pahaman terkait misinterpretasi dari Most Favored
Nations (MFN) itu sendiri bersama dengan pengecualian pemberlakuannya. Jurnal pada
nantinya akan berbicara secara garis besar terkait prinsip Non-Diskriminasi WTO dan
berbicara pengecualian pemberlakuannya.

Kata Kunci : Non-Diskriminasi; Most-Favored Nation (MFN); Perdagangan .

Latar Belakang

Perdagangan Internasional merupakan salah satu faktor penting dalam peningkatan


pendapatan sebuah negara1, hal ini dikarenakan suatu negara tidak dapat memenuhi
kebutuhannya secara sepihak tanpa adanya bantuan dari pihak/negara lain yang dijalin
melalui sebuah aktivitas perdagangan. Tentunya dalam sebuah aktivitas perdagangan
internasional pasti akan melibatkan lebih dari satu negara yang pasti memiliki kebijakannya
dan sistem perekonomiannya masing – masing, 2 permasalahan yang sering terjadi adalah
kepada kebijakan perdagangan internasional yang protectionist dimana negara – negara
protectionist enggan untuk meliberalisasi kan kebijakan perdagangannya karena lebih
merasa diuntungkan melalui perdagangan bilateral. 3 Hal tersebut tentunya sedikit
bertentangan dengan ketentuan dalam World Trade Organization (WTO) yang berkeinginan
untuk melakukan liberalisasi perdagangan seluas – luasnya. 4 Namun, negara protektionis
tidak selamanya disalahkan sebab beberapa negara protectionist merupakan negara
berkembang yang merasa dirugikan kepentingannya oleh negara yang lebih maju dalam
perdagangan internasional multilateral, sehingga impian utama negara – negara
protectionist adalah sebuah aktivitas perdagangan yang adil dan sesuai ( fair and just).5

1
Jimmy Hasoloan, “Peranan perdagangan internasional dalam produktifitas dan perekonomian,”
Edunomic Jurnal Pendidikan Ekonomi 1, no. 2 (2013).
2
SALOMO R. DAMANIK, “Kebijakan Perdagangan Bebas dan Penanaman Modal Asing Berorientasi
Ekspor (Studi Komparatif di Indonesia, Vietnam dan Thailand)” (PhD Thesis, Universitas Gadjah Mada, 2020).
3
Umar Fakhrudin, “Kebijakan Hambatan Perdagangan atas Produk Ekspor Indonesia di Negara Mitra
Dagang,” Buletin Ilmiah Litbang Perdagangan 2, no. 2 (2008): 216–36.
4
Acep Rohendi, “Prinsip Liberalisasi Perdagangan World Trade Organization (WTO) Dalam
Pembaharuan Hukum Investasi Di Indonesia (Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007)(Principle of Trade
Liberalization of World Trade Organization (WTO) in Reforming the Investment Law of Indonesia (Indonesian
Law No. 25 of 2007)),” Padjadjaran Jurnal Ilmu Hukum 1, no. 2 (2014).

2
World Trade Organization (WTO) sebagai organisasi Internasional tunggal yang
mengatur secara keseluruhan aktivitas perdagangan Internasional menjadi organisasi yang
paling sesuai untuk mengemban kewajiban dalam menyetarakan perbedaan kebijakan tiap
negara melalui kebijakan – kebijakannya, dimana WTO sendiri terbentuk berdasarkan
serangkaian perjanjian yang dinegosiasikan dan disepakati oleh sejumlah negara di dunia
untuk kemudian diratifikasi oleh parlemen tiap negara guna menjadi sebuah produk hukum
nasional yang diimplementasikan oleh seluruh negara anggota. 6 Sejarah pendirian WTO
sendiri diprakarsai oleh sebuah negosiasi fundamental yang dikenal dengan Uruguay Round
pada tahun 1986-19947 serta perundingan sebelumnya di bawah General Agreement on
Tariffs and Trade (GATT).8 Berdasarkan data terakhir, anggota WTO saat ini sudah
mencakup 164 negara anggota9 dimana 117 diantaranya merupakan negara berkembang
atau wilayah kepabeanan terpisah, dimana jika dicermati secara rinci keberadaan negara
berkembang berada diatas 70% yang memunculkan jumlah mayoritas dari anggota WTO
sendiri. Sehingga sudah sepatutnya bagi WTO untuk menerapkan prinsip dan kebijakan
yang dapat melindungi pihak – pihak di dalamnya secara adil, terkhusus bagi negara
berkembang yang mana sangat rentan untuk diciderai kepentingannya dalam hal liberalisasi
pasar perdagangan Internasional. Maka dari itu guna mempertahankan dan melindungi
kepentingan seluruh pihak dalam WTO, maka WTO menganut beberapa prinsip fundamental
dan mendasar untuk berjalannya perdagangan internasional secara baik dan tanpa
menciderai satu sama lain. Adapun prinsip – prinsip tersebut meliputi tapi tak terkecuali
pada prinsip Non-Diskriminatif yang didalamnya memuat ketentuan Most-Favored Nations
(MFN)

Pada prinsip Non-Diskriminasi yang dipromosikan oleh WTO didalamnya meliputi pula
prinsip Most-Favored Nations (MFN).10 Berdasarkan Uruguay Round 1947 prinsip Non-
Diskriminasi menghendaki pemberian perlakuan sama kepada negara yang satu dengan
negara yang lain oleh negara penerima barang perdagangan yang pada akhirnya dapat

5
Alicia Morris Groos, “International Trade Development: Exploring the Impact of Fair Trade
Organizations in the Global Economy and the Law,” Tex. Int’l LJ 34 (1999): 379.
6
Ian F. Fergusson, “World trade organization negotiations: the Doha development agenda” (LIBRARY
OF CONGRESS WASHINGTON DC CONGRESSIONAL RESEARCH SERVICE, 2008).
7
Will Martin, L. Alan Winters, dan L. Alan Winters, The Uruguay Round and the developing countries
(Cambridge University Press, 1996).
8
Douglas A. Irwin, “The GATT in historical perspective,” The American economic review 85, no. 2
(1995): 323–28.
9
“WTO ¦ Members and Observers,” diakses 14 Desember 2021,
https://www.wto.org/english/thewto_e/whatis_e/tif_e/org6_e.htm.
10
Nicolas F. Diebold, Non-Discrimination in International Trade in Services:‘Likeness’ in WTO/GATS , vol.
4 (Cambridge University Press, 2010).

3
mencegah adanya diskriminasi dalam perdagangan internasional yang mana tidak lagi
menghambati misi utama WTO untuk meliberalisasikan perdagangan internasional.

Sehingga menurut latar belakang diatas dapat ditarik dua rumusan masalah yang
saling berkaitan, utamanya terkait prinsip non-diskriminasi beserta karakteristiknya dalam
aktivitas perdagangan internasional yaitu :

1. Bagaimana implementasi prinsip Non-Diskriminatif oleh WTO bagi aktivitas


perdagangan Internasional?
2. Bagaimana pengecualian pemberlakuan prinsip Most-Favored Nations (MFN) dalam
WTO sebagai prinsip Non-Diskriminasi ?

Pembahasan

Implementasi Prinsip Non-Diskriminatif oleh World Trade Organization (WTO)


bagi Aktivitas Perdagangan Internasional

Most-Favored Nations (MFN) yaitu merupakan prinsip utama dari General Agreement
of Tariff and Trade (GATT), yang oada intinya prinsip ini menghilangkan diskriminasi
terhadap prakterk perdagangan internasional dan juga dengan adanya prinsip ini maka akan
menjamin dan melindungi hak – hak dari negara – negara berkembang dalam mendapatkan
keuntungan dari kondisi – kondisi perdagangan terbaik yang dinegosiasikan oleh negara –
negara berkembang. Singkatnya prinsip Most-Favored Nations (MFN) tesebut dapat juga
dikenal dengan prinsip Non-Diksriminasi, terkait pengimplementasian prinsip tersebut sudah
sangar sakral dan diprioritaskan karena dalam GATT pun prinsip Non-Diskriminasi selalu
ditempatkan pada urutan pertama dan juga ditujukan untuk menjamin persaingan yang
sehat dalam proses perdagangan Internasional. Lebih lanjut, prinsip non diskriminasi atau
MFN pada penerapannya memiliki 2 konsep, yaitu MFN tanpa syarat ( Unconditional MFN)
dan MFN Bersyarat (conditional MFN).11 MFN tanpa syarat mendefinisikan bahwa jika negara
A berkewajiban untuk tidak melakukan diskriminatif terhadap negara B maka segala apa
yang dilakukan negara A kepada C harus pula dinikmati oleh negara B, sehingga kewajiban
ini tanpa syarat. Sedangkan MFN bersyarat didefinisikan jika suatu negara A memberikan
perilaku menguntungkan kepada negara C berdasarkan perjanjian, maka negara A harus
menawarkan pula perlakuan yang sama kepada negara B tapi dengan syarat apabila negara
B memenuhi persyaratan dalam perjanjian yang dimaksud yang secara khusus meminta
agar negara B untuk menawarkan kepada negara A perlakuan yang sama yang ditawarkan

11
John H. Jackson, “The world trading system,” Law and policy of international economic relations 2
(1989): 31–78.

4
negara C kepada negara A. Maka dari itu, hak MFN negara B ditentukan berdasarkan syarat.
Negara B memperoleh perlakuan khusus ( advantages) hanya jika bersedia memenuhi
persyaratan yang ditentukan dalam perjanjian tersebut. 12

Penggunaan MFN tanpa syarat ini digunakan secara eksklusif hingga akhir abad ke
delapan belas, hingga pada tahun 1778, terdapat penandatanganan Amerika Serikat dengan
Perancis di mana pemberlakuan MFN dibuat dengan syarat pemberian kompensasi yang
sama seperti yang telah dinikmati oleh pihak ketiga yang memperoleh perlakuan khusus
tersebut. Sehingga sejak saat itu, penggunaan MFN bersyarat menjadi popular hingga awal
abad ke-19, hingga akhrinya MFN tanpa syarat memberikan dominasinya kembali hingga
pada tahun 1920-an.13

Pengimplementasian Most Favorite Nations (MFN) dalam dunia perdagangan


internasional paling tidak memiliki lima alasan yang berkaitan dengan arti penting prinsip
MFN dalam GATT/WTO yaitu yang pertama secara ekonomis aturan MFN ini sangat efisien
dimana suatu negara dapat mengimpor produk tertentu dari setiap produsen dimana
tentunya negara tersebut akan mencari produk impor yang paling efisien termasuk
penggunaan sumber daya global. Kedua, dari perspektif WTO ketentuan MFN diyakini dapat
mendorong liberalisasi perdagangan multilateral dimana jika anggota WTO yakin bahwa
konsensi tarif yang ia peroleh dari hasil negosiasi terlindungi dari tindakan diskriminasi,
maka mereka akan semakin memperluas konsensi tarif tersebut. Kembali lagi pada tujuan
WTO adalah untuk mendorong liberalisasi pasar sehingga ketentuan MFN ini dianggap
sebagai kunci untuk menciptakan suatu kondisi tersebut. Ketiga, ketentuan MFN mendorong
tercipanya kesamaan kedaulatan yaitu semua negara adalah sama dan memiliki posisi yang
sama di dunia, sepanjang diskriminasi dikontrol ketat melalui sistem perdagangan yang
berbasis aturan, maka akan menurunkan sengketa dan menjadi pedoman di dalam perilaku
perdagangan internasional. Keempat, ketentuan MFN menciptakan administrasi yang efisien,
dimana diskriminasi menysaratkan aturan detil untuk memutuskan negara – negara mana
yang berhak untuk memperoleh perlakuan beda dan mana yang tidak berhak. Kelima
ketentuan MFN dapat mengontrol para pencari keuntungan dalam sistem politik dalam
negri, sehingga hal itu memungkinkan para penguasa untuk menolak adanya perlakuan
khusus secara lebih efektif. Pihak yang berwenang bisa beralasan bahwa aturan

12
William J. Davey, Non-discrimination in the World Trade Organization: the rules and exceptions , vol.
14 (Martinus Nijhoff Publishers, 2012).
13
Tony Cole, “The Boundaries of Most Favored Nation Treatment in International Investment Law,”
Mich. J. Int’l L. 33 (2011): 537.

5
internasional melarang adanya perlakuan khusus karena apabila dilanggar akan memperoleh
tekanan – tekanan internasional dalam lingkup perdagangan Internasional. 14

Pengecualian Pemberlakuan Prinsip Most-Favored Nations (MFN) dalam World


Trade Organization (WTO) Sebagai Prinsip Non-Diskriminasi

Menurut ketentuan GATT 1994, terdapat beberapa pengecualian terkait pemberlakuan


prinsip Most-Favored Nations (MFN) dimana yang pertama menurut artikel XX (General
Exceptions) membahas batasan – batasan dalam kaitan 15 :

1) Melindungi moral publik;


2) Melindungi Kesehatan atau kehidupan manusia, hewan dan tanaman;
3) Perdagangan emas dan perak;
4) Perlindungan paten, merek, hak cipta, dan pencegahan praktek – praktek yang
menyesatkan;
5) Produk buruh tahanan;
6) Perlindungan kekayaan nasional dengan nilai seni, sejarah atau arkeologi;
7) Konservasi sumberdaya alam yang dapat habis (exhaustible natural resources).

Yang kedua menurut artikel XXI (Security Grounds) dimana terkait kepentingan alasan
keamanan seperti pengungkapan informasi yang dianggap bertentangan dengan
kepentingan keamanan, lalu lintas senjata, tindakan dalam keadaan perang atau darurat
atau pemenuhan kewajiban dalam rangka PBB untuk menjaga perdamaian dunia, yang
ketiga pada Artikel XXIV ( Free Trade Area, Customs Union) dimana menjelaskan terkait
cakupan territorial, perdagangan perbatasan, uni pabean dan Kawasan perdagangan bebas ,
serta yang terakhir pada artikel XXV ayat 5 yang memberikan dasar perlakuan GSP
(Generalized System of Preferences) menjelaskan bahwa para pihak memungkinkan untuk
terlibat dalam perjanjian melalui tindakan bersama ( joint action) untuk mengesahkan
ketidaktundukan (non-compliance) pada sebuah kewajiban yang diberikan GATT, artinya
mengesahkan pelanggaran atas kewajiban yang ditetapkan dalam GATT.

Sehingga pengecualian (exceptions) diatas kenyataannya masih sering


disalahgunakan oleh negara maju kepada negara berkembang, dimana ketentuan MFN yang
sudah cukup kompleks melindungi kepentingan para pihak dipergunakan oleh negara maju
dalam penggunaan Pasal XX GATT khususnya ayat (b) dan (g). Yang didalamnya

14
FX Joko Priyono, “Prinsip Most Favoured Nations dan Pengecualiannya dalam World Trade
Organization (WTO),” Masalah-Masalah Hukum 42, no. 4 (t.t.): 593–600.
15
Salman Bal, “International Free Trade Agreements and Human Rights: Reinterpreting Article XX of the
GATT,” Minn. J. Global Trade 10 (2001): 62.

6
dikhususkan seputar pelrindungan Kesehatan manusia, hewan, dan tanaman serta
kehidupan maka setiap negara diperbolehkan secara sepihak untuk tidak menjalankan MFN
(Pasal XX (b)).16 Sedangkan poin (g) menyebutkan bahwa untuk perlindungan sumber daya
alam yang bersifat terbatas, maka Pasal XX(g) menjadi landasan hukum untuk
menghambatan produk yang dihasilkan dari merusak atau mengeksploitasi sumber daya
alam.17 Pengecualian yang diatur oleh WTO tersebut memang masih sangat terbuka
terhadap penafsiran tapi justru itu pula menjadi sebuah ketentuan yang kurang memberikan
kepastian hukum bagi para pihak yang kepentingannya butuh untuk dilindungi dalam
lingkup perdagangan Internasional.

Simpulan

Berdasarkan segala uraian diatas, bahwa pada mulanya tiap negara dengan tiap
kebijakan dan sistem ekonominya memiliki kepentingannya masing – masing sehingga
menemukan kesulitan dalam menyatukan kepentingan mereka dalam lingkup perdagangan
Internasional. Namun, karena perkembangan GATT hingga ke WTO menjadi sebuah
kesepakatan baru yang memuat aturan – aturan yang merangkul seluruh negara anggota
dengan berbagai jenis kepentingan, latar belakang, kebijakan dan perbedaan lainnya.
Sebagai satu – satunya organisasi perdagangan internasional, WTO tentunya memiliki
kewajiban untuk senantiasa mempromosikan liberalisasi perdagangan internasional tapi
tetap dengan bernilaikan adil dan sesuai ( fair and just), salah satu perwujudannya yaitu
dengan pengamalan prinsip – prinsip dasar WTO yang dapat melindungi kepentinga negara
anggota, salah satunya adalah Prinsip Non-Diskriminasi yang melalui penerapannya berupa
Most-Favoured Nations (MFN).

Akan tetapi, kompleksnya pengaturan perdagangan internasional yang mewadahi


seluruh negara anggota dengan berbagai perbedaan juga memunculkan aturan
pengecualian untuk pemberlakuan MFN oleh WTO, sayangnya pengecualiian ini seringkali
disalah gunakan oleh beberapa negara untuk mengalpha kan eksistensi MFN sebagai satu
dari sekian prinsip yang dapat melindungi kepentingan negara anggota, utamanya
kepentingan antara hubungan negara maju dan berkembang.

16
Tatjana Eres, “The limits of GATT Article XX: a back door for human rights,” Geo. J. Int’l L. 35 (2003):
597.
17
Steve Charnovitz, “Exploring the environmental exceptions in GATT Article XX,” J. World Trade 25
(1991): 37.

7
Daftar Pustaka

Bal, Salman. “International Free Trade Agreements and Human Rights: Reinterpreting Article
XX of the GATT.” Minn. J. Global Trade 10 (2001): 62.
Charnovitz, Steve. “Exploring the environmental exceptions in GATT Article XX.” J. World
Trade 25 (1991): 37.
Cole, Tony. “The Boundaries of Most Favored Nation Treatment in International Investment
Law.” Mich. J. Int’l L. 33 (2011): 537.
DAMANIK, SALOMO R. “Kebijakan Perdagangan Bebas dan Penanaman Modal Asing
Berorientasi Ekspor (Studi Komparatif di Indonesia, Vietnam dan Thailand).” PhD
Thesis, Universitas Gadjah Mada, 2020.
Davey, William J. Non-discrimination in the World Trade Organization: the rules and
exceptions. Vol. 14. Martinus Nijhoff Publishers, 2012.
Diebold, Nicolas F. Non-Discrimination in International Trade in Services:‘Likeness’ in
WTO/GATS. Vol. 4. Cambridge University Press, 2010.
Eres, Tatjana. “The limits of GATT Article XX: a back door for human rights.” Geo. J. Int’l L.
35 (2003): 597.
Fakhrudin, Umar. “Kebijakan Hambatan Perdagangan atas Produk Ekspor Indonesia di
Negara Mitra Dagang.” Buletin Ilmiah Litbang Perdagangan 2, no. 2 (2008): 216–36.
Fergusson, Ian F. “World trade organization negotiations: the Doha development agenda.”
LIBRARY OF CONGRESS WASHINGTON DC CONGRESSIONAL RESEARCH SERVICE,
2008.
Groos, Alicia Morris. “International Trade Development: Exploring the Impact of Fair Trade
Organizations in the Global Economy and the Law.” Tex. Int’l LJ 34 (1999): 379.
Hasoloan, Jimmy. “Peranan perdagangan internasional dalam produktifitas dan
perekonomian.” Edunomic Jurnal Pendidikan Ekonomi 1, no. 2 (2013).
Irwin, Douglas A. “The GATT in historical perspective.” The American economic review 85,
no. 2 (1995): 323–28.
Jackson, John H. “The world trading system.” Law and policy of international economic
relations 2 (1989): 31–78.
Martin, Will, L. Alan Winters, dan L. Alan Winters. The Uruguay Round and the developing
countries. Cambridge University Press, 1996.
Priyono, FX Joko. “Prinsip Most Favoured Nations dan Pengecualiannya dalam World Trade
Organization (WTO).” Masalah-Masalah Hukum 42, no. 4 (t.t.): 593–600.
Rohendi, Acep. “Prinsip Liberalisasi Perdagangan World Trade Organization (WTO) Dalam
Pembaharuan Hukum Investasi Di Indonesia (Undang-Undang Nomor 25 Tahun

8
2007)(Principle of Trade Liberalization of World Trade Organization (WTO) in
Reforming the Investment Law of Indonesia (Indonesian Law No. 25 of 2007)).”
Padjadjaran Jurnal Ilmu Hukum 1, no. 2 (2014).
“WTO ¦ Members and Observers.” Diakses 14 Desember 2021.
https://www.wto.org/english/thewto_e/whatis_e/tif_e/org6_e.htm.

You might also like