Professional Documents
Culture Documents
Komunikasi Antarbudaya Dan Fenomena Culture Shock Mahasiswa Etnis Non-Jawa Di IAIN Salatiga
Komunikasi Antarbudaya Dan Fenomena Culture Shock Mahasiswa Etnis Non-Jawa Di IAIN Salatiga
net/publication/327588034
CITATIONS READS
0 123
1 author:
Mukti Ali
Institut Agama Islam Negeri Salatiga, Indonesia, Salatiga
11 PUBLICATIONS 8 CITATIONS
SEE PROFILE
Some of the authors of this publication are also working on these related projects:
Dakwah Online: The Concept of Moderation and Wasathiya in Muhammadiyah and Nahdhatul Ulama Website View project
All content following this page was uploaded by Mukti Ali on 19 July 2021.
ABSTRACT
Intercultural intersections born from the meeting of various ethnic cultures will cause culture
shock on the culprit. Student entrants will experience culture shock or cultural problematika
differences in food culture, language, even religious rituals, although the problem was the
average can be anticipated. This paper discusses the perceptions and prejudices of non-
Javanese ethnic students on Javanese culture. This phenomenological research used the
research subjects of IAIN Salatiga students from non-Javanese ethnicity. Non-Javanese ethnic
categories are flexible. Non-Javanese flexibility can be based on birth place, life span of
childhood, or more clearly students either biologically or culturally from non-Javanese
regions. Various attitudes, indeed born of each of their individual. Perceptions and prejudices
in the culture they came across are quite diverse as well. Some have the perception or prejudice
that the Javanese are halu-refined and polite, some also assume or suspect that the Javanese
have never been straightforward. This is because they see that their culture is more valuable
than the culture they go to.
Keywords: Intercultural, Culture Shock, Ethnicity.
ABSTRAK
Persinggungan antarbudaya yang lahir dari pertemuan berbagai budaya etnis akan
menimbulkan culture shock pada pelakunya. Mahasiswa pendatang akan mengalami culture
shock atau problematika budaya perbedaan budaya makanan, bahasa, bahkan ritual keagamaan,
walaupun problem itu rata-rata dapat diantisipasinya. Tulisan ini menjelaskan persepsi dan
prasangka mahasiswa etnis non-Jawa terhadap budaya Jawa. Penelitian fenomenologis ini
menggunakan subyek penelitian mahasiswa IAIN Salatiga yang berasal dari etnis non-Jawa.
Kategori etnis non-Jawa bersifat fleksibel. Fleksibilitas non-Jawa bisa berdasarkan pada tempat
kelahiran, kurun waktu kehidupan masa kanak-kanak, atau yang lebih jelas adalah mahasiswa
baik secara biologis maupun secara kultural berasal dari daerah non Jawa. Berbagai sikap,
memang lahir dari setiap individu mereka. Persepsi dan prasangka pada budaya yang mereka
datangi cukup beragam pula. Ada yang memiliki persepsi atau prasangka bahwa orang Jawa
halu-halus dan sopan, ada juga yang menganggap atau berprasangka bahwa orang Jawa tidak
pernah berterus terang. Hal ini lahir karena mereka memandang bahwa budaya dirinya lebih
bernilai ketimbang budaya yang mereka datangi.
Kata Kunci: Antarbudaya, Gegar Budaya, Etnis.
*
Penulis Korespondensi
Diterima: Januari 2018. Disetujui: Februari 2018. Dipublikasikan: Maret 2018. 1
Mukti Ali
Motivasi-motivasi yang lahir bisa saja
PENDAHULUAN
bersifat tidak semestinya atau di luar nalar
Dunia tak selebar daun kelor. Sebuah kecenderungan masyarakat. Misalnya,
peribahasa sederhana yang dalam konteks mengapa seorang lulusan sekolah menengah
hari ini memiliki makna besar, bahwa ternama di Sumatera memilih kuliah di
persoalan ruang, jarak, dan waktu dalam Jawa, padahal di tempat asalnya terdapat
kehidupan masyarakat sudah tidak lagi universitas bagus yang siap
menjadi salah satu penyebab kuatnya menampungnya, begitu juga sebaliknya.
boundaries atau skat-skat yang Contoh lain, seorang mahasiswa berasal dari
membatasinya. Tidak terkecuali dalam Nusa Tenggara Timur tertarik kuliah di
tatanan kehidupan pendidikan masyarakat, Salatiga, padahal banyak alasan yang
terutama dalam menempuh pendidikan seharusnya tidak berkuliah di Salatiga.
tinggi, jenjang sarjana yang biasa disebut Banyak permisalan yang jika dirunut
mahasiswa. Sebuah fase pendidikan formal melalui berbagai alasan, maka semakin
tertinggi. memperjelas juga bahwa alasan itu semakin
Dalam menempuh pendidikan formal beragam walau bersifat tidak mendasar.
tertinggi, bagi sebagian mahasiswa lebih Secara teoretis, seseorang atau
nyaman dilakukan di luar daerahnya. seorang mahasiswa yang masuk pada
Mereka jarang melanjutkan kuliah di lingkungan budaya baru akan mengalami
kampus yang dekat dengan daerah asalnya, gegar budaya atau culture shock. Di mana
melainkan lebih memilih kampus yang seseorang itu akan mengalami berbagai
berada di luar daerahnya; luar kota, luar pengalaman hidup dan berlainan pula cara
provinsi, bahkan luar nergi. Posisi mereka di menyikapinya. Menurut Dodd, (1982:98)
tempat baru inilah yang mengkategorikan tahap-tahap yang dilalui seseorang dalam
mereka sebagi stranger atau pendatang, mengalami proses transisi paling pertama
yang dalam bahasa budaya adalah adalah memesuki tahap ‘harapan besar’ atau
masyarakat yang sedang memasuki budaya eager expectation. Dalam tahap ini, orang
lain. tersebut merencanakan untuk memasuki
Secara historis, tidak dapat dipungkiri kebudayaan kedua atau kebudayaan baru.
bahwa dari dulu hingga sekarang dunia Rencana tersebut dibuatnya dengan
pendidikan selalu saja membentuk budaya bersemangat, walaupun ada perasaan was-
baru, baik pada pelakunya sendiri maupun was dalam menyongsong kemungkinan
pada lingkungan sekitarnya. Misal yang bisa terjadi. Sekalipun demikian, ia
terjadinya proses datang dan terbukanya dengan optimis menghadapi masa depan
atas hadirnya budaya baru yang dibawa oleh dan perencanaan dilanjutkan. Kemudian
para pendatang sebagai individu penuntut fase everything is beautiful, semua terasa
ilmu dari kampung halaman asalnya menuju menyenangkan dengan ditandai dengan rasa
kampung halaman barunya yang menjadi keingintahuan yang kuat. Kemudian fase
tempat –transit- sementara. Individu- everything is awful atau semua tidak
individu yang hijrah dari kampung halaman menyenangkan. Setelah keingintahuan
asalnya untuk menuntut ilmu di lain tempat sudah mulai terjawab dan tahap bulan madu
itu harus menjadi warga sementara di daerah telah usai, ternyata segala sesuatu telah
sekitar tempat kampusnya, melalui kost, terasa tidak menyenangkan. Ketidakpuasan,
mengontrak, tinggal di family, atau bahkan ketidaksabaran, dan kegelisahan mulai
dengan mondok atau nyantri. terasa dan semakin sulit untuk
Berbagai motif alasan yang terjadi berkomunikasi, semuanya terasa asing.
bagi calon atau mahasiswa yang rela untuk Secara teoritis, biasanya untuk mengatasi
meninggalkan kehidupan asalnya dengan rasa ini ada beberapa cara yang ditempuh,
‘dibalut’ nilai dasar menuntut ilmu. misalnya melalui cara melawan yaitu;
2 Jurnal Askopis Volume 2 Nomor 1 Tahun 2018 1-32
Komunikasi Antarbudaya dan Fenomena Culture Shock ...
dengan mengejek, memandang rendah dan Selanjutnya adalah, hadirnya
bertindak secara etnosentrik, yang prasangka. Suatu kekeliruan persepsi
selanjutnya dengan melarikan diri dan terhadap orang yang berbeda adalah
mengadakan penyaringan serta pelenturan. prasangka, suatu konsep yang sangat dekat
Fase culture shock terakhir adalah fase dengan stereotip. Prasangka adalah sikap
everything is ok, semua berjalan lancar. yang tidak adil terhadap seseorang atau
Istilah lain dari gegar budaya yang suatu kelompok. Dapat juga dikatakan
hadir ketika terjadinya komunikasi antar bahwa stereotip merupakan komponen
budaya, secara teoretis dapat melalui kognitif (kepercayaan) dari prasangka,
lahirnya berbagai sikap; Etnosentisme. sedangkan prasangka juga berdimensi
Etnosentrisme didefinisikan sebagai perilaku. Jadi, prasangka ini konsekuensi
kepercayaan pada superioritas inheren dari stereotip, dan lebih teramati daripada
kelompok atau budayanya sendiri; stereotip. Prasangka sebagai sikap tidak
etnosentrisme mungkin disertai rasa jijik adil, menyimpang atau tidak toleran
pada orang-orang lain yang tidak terhadap sekelompok orang. Seperti juga
sekelompok; etnosentrisme cenderung stereotip, meskipun dapat positif atau
memandang rendah orang-orang lain yang negatif, prasangka umumnya bersifat
tidak sekelompok dan dianggap asing; negatif. Prasangka ini bermacam-macam,
etnosentrisme memandang dan mengukur yang populer adalah prasangka rasial,
budaya-budaya asing dengan budayanya prasangka kesukuan, prasangka gender, dan
sendiri. (Mulyana:2000;70). Misalnya, prasangka agama. Prasangka mungkin
cenderung menilai budaya orang lain dirasakan atau dinyatakan. Prasangka
sebagai budaya yang tidak baik. mungkin diarahkan pada suatu kelompok
Kemudian sikap Streotipe. Kesulitan secara keseluruhan, atau seseorang karena ia
komunikasi akan muncul dari anggota kelompok tersebut. Prasangka
penstereotipan (stereotyping), yakni membatasi orang-orang pada peran-peran
menggeneralisasikan orang-orang stereotipik. Misalnya pada prasangka rasial-
berdasarkan sedikit informasi dan rasisme semata-mata didasarkan pada ras
membentuk asumsi orang-orang dan pada prasangka gender-seksisme pada
berdasarkan keanggotaan mereka dalam gendernya.
suatu kelompok. Dengan kata lain, Kemudian timbulnya Rasialisme.
penstereotipan adalah proses menempatkan Rasialisme adalah suatu penekanan
orang-orang ke dalam kategori-kategori pada ras atau menitikberatkan
yang mapan, atau penilaian mengenai pertimbangan rasial. Kadang istilah ini
orang-orang atau objek-objek berdasarkan merujuk pada suatu kepercayaan adanya dan
kategori-kategori yang sesuai, ketimbang pentingnya kategori rasial. Dalam ideologi
berdasarkan karakteristik individual separatis rasial, istilah ini digunakan untuk
mereka. Banyak definisi stereotype yang menekankan perbedaan sosial dan
dikemukakan oleh para ahli, kalau boleh budaya antar ras. Walaupun istilah ini
disimpulkan, stereotip adalah kategorisasi kadang digunakan sebagai kontras
atas suatu kelompok secara serampangan dari rasisme, istilah ini dapat juga
dengan mengabaikan perbedaan-perbedaan digunakan sebagai sinonim rasisme. Jika
individual. Kelimpik-kelompok ini istilah rasisme umumnya merujuk pada sifat
mencakup: kelompok ras, kelompok etnik, individu dan diskriminasi institusional,
kaum tua, berbagai pekerjaan profesi, atau rasialisme biasanya merujuk pada
orang dengan penampilan fisik tertentu. suatu gerakan sosial atau politik yang
Stereotip tidak memandang individu- mendukung teori rasisme. Pendukung
individu dalam kelompok tersebut sebagai rasialisme menyatakan bahwa rasisme
orang atau individu yang unik. melambangkan supremasi rasial dan