Download as pdf or txt
Download as pdf or txt
You are on page 1of 10

Jurnal Pemuliaan Tanaman Hutan

Vol. 12 No. 1, Juni 2018, p. 41 - 50

EMBRIOGENESIS SOMATIK ROTAN TOHITI (Calamus inops Becc. ex Heyne)


Somatic embryogenesis of tohiti rattan (Calamus inops Becc. ex Heyne)

Yelnititis
Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan
Jl. Palagan Tentara pelajar Km. 15, Purwobinangun, Pakem, Sleman, Yogyakarta, Indonesia
email: yelnititis@yahoo.com

Tanggal diterima: 16 Juni 2017, Tanggal direvisi: 9 Agustus 2017, Disetujui terbit: 18 April 2018

ABSTRACT
The conventional propagation of tohiti rattan still faces problem because of infrequent fruiting season and
limited seed production. Somatic embryogenesis is an alternative technique to solve the problem. The purpose of
this experiment is to obtain the best growth regulator treatments for embryogenic callus and somatic embryo
formation of tohiti rattan. Murashige and Skoog (MS) basal medium was used as growth medium. The
experiment was conducted in three stages: seed germination, embriogenic callus induction and somatic embryo
induction. MS medium without plant growth regulator was used for aseptic seed germination. MS medium
supplemented with growth regulator of BA (Benzyl adenine) of 0.5 – 2.0 mg/l was used for embryogenic callus
induction. MS medium supplemented with BA 1.0 mg/l in combination with hormone 2.4-D of 0.0 – 1.0 mg/l was
used for somatic embryo induction. The seed germination percentage, visual performance on embryogenic
callus and somatic embryo were observed. The results showed that the percentage of aseptically seed
germination reached 90%. MS medium supplemented with 1.0 mg/l BA is the best media for embryogenic callus
induction with friable, white and yellowish of callus which was observed after four months of induction culture.
The BA of 1.0 mg/l in combination with 2.4-D of 1.0 mg/l provided the highest number of the formed somatic
embryo.The performance of somatic embryos formation from this treatment was likely as zygotic embryo.
Keywords: Murashige and Skoog, Benzyl adenin, somatic embryo, plantlet

ABSTRAK
Perbanyakan rotan tohiti secara konvensional masih mempunyai beberapa masalah karena musim berbuah yang
tidak menentu dan jumlah buah yang terbatas. Salah satu pendekatan yang dapat digunakan untuk memecahkan
masalah ini adalah melalui teknologi embriogenesis somatik. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan zat
pengatur tumbuh terbaik pada induksi kalus embriogenik dan induksi embrio somatik rotan tohiti. Media dasar
Murashige dan Skoog (MS) digunakan sebagai media tumbuh. Penelitian dilakukan dalam 3 tahap kegiatan,
yaitu perkecambahan biji, induksi kalus embriogenik dan induksi embrio somatik. Media MS tanpa penambahan
zat pengatur tumbuh digunakan untuk perkecambahan biji secara aseptik. Untuk induksi kalus embriogenik
diberikan perlakuan BA (Benzyl adenine) konsentrasi (0,5 – 2,0 mg/l) pada media MS. Pada tahap induksi
embrio somatik diberikan perlakuan BA 1 mg/l yang dikombinasikan dengan 2,4-D konsentrasi 0,0– 1,0 mg/l.
Pengamatan dilakukan terhadap persentase biji berkecambah, penampilan visual kalus embriogenik dan embrio
somatik yang dihasilkan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa persentase biji yang tumbuh secara aseptik
mencapai 90%. Modifikasi media MS dengan penambahan BA 1,0 mg/l merupakan perlakuan terbaik untuk
induksi kalus embriogenik. Kalus embriogenik yang terbentuk mempunyai tekstur remah, berwarna putih
bening dan kekuningan pada empat bulan induksi. BA 1,0 mg/l yang dikombinasikan dengan 2,4-D 1,0 mg/l
pada media MS memberikan jumlah embrio somatik terbanyak. Embrio somatik diperoleh dari perlakuan ini
mempunyai penampilan yang sama seperti embrio zigotik.
Kata kunci: Murashige dan Skoog, Benzyl adenine, embrio somatik, plantlet
dari daerah pantai sampai pegunungan dengan
I. PENDAHULUAN
ketinggian 0 – 2900 meter diatas permukaan
Rotan merupakan salah satu hasil hutan laut. Secara ekologis rotan tumbuh dengan
bukan kayu (HHBK) yang mempunyai nilai subur diberbagai tempat, baik dataran rendah
ekonomi cukup tinggi sebagai sumber devisa maupun agak tinggi terutama di daerah yang
negara yang dalam pemanfaatannya banyak lembab (Kalima, 2008).
melibatkan petani (Kalima & Jasni, 2010). Indonesia merupakan salah satu negara
Rotan tumbuh secara alami dan tersebar mulai penghasil rotan terbanyak di dunia dengan 297

41
Jurnal Pemuliaan Tanaman Hutan
Vol. 12 No. 1, Juni 2018, p. 41 - 50

jenis rotan yang termasuk ke dalam 9 marga jaringan somatik yang dapat berkembang
(Witono, 1999), dimana 50 jenis diantaranya membentuk tanaman normal baru. Zhou et al.,
mempunyai nilai ekonomi tinggi. Menurut (2010) menyatakan bahwa embriogenesis
Pribadi (2012), 85% produksi rotan dunia somatik adalah suatu metode perbanyakan
berasal dari Indonesia. Namun demikian 90% vegetatif yang cepat dan efektif. Embriogenesis
kebutuhan masih disuplai dari hutan alam dan somatik dapat dilakukan melalui dua cara yaitu
hanya 10% yang berasal dari hasil budidaya secara langsung dan secara tidak langsung.
rotan (Kalima & Jasni, 2015). Memperhatikan Embriogenesis somatik langsung adalah
kondisi ini dalam Permenhut no. 19 tahun 2009 pembentukan embrio somatik yang langsung
rotan telah ditetapkan sebagai salah satu dari jaringan eksplan sedangkan embriogenesis
komoditas HHBK yang pengembangannya somatik tidak langsung adalah pembentukan
perlu dilaksanakan dengan sistem budidaya. embrio somatik melalui proliferasi kalus
Salah satu jenis rotan yang memiliki nilai (Hussein, Ibrahim, & Kiong, 2006).
ekonomi tinggi adalah rotan tohiti (Calamus Embriogenesis somatik mempunyai beberapa
inops Becc. ex Heyne). Batang rotan tohiti agak keuntungan antara lain tingkat multiplikasi yang
keras dan tidak begitu mudah dibelah-belah tinggi, bibit yang dihasilkan seragam dan mudah
sehingga sangat baik digunakan untuk digunakan pada medium cair sehingga cocok
pembuatan mebel, penahan pasir di gurun pasir, sebagai salah satu teknologi yang perlu
sandaran kapal, pengisi batang sepeda, dikembangkan dalam budidaya rotan.
pengganti kerangka baja (Baharuddin & Media kultur dan zat pengatur tumbuh
Taskirawati, 2009). Secara alami jenis ini (ZPT) yang tepat merupakan komponen penting
tumbuh di daerah berbukit dan ditemukan yang akan mempengaruhi keberhasilan
hampir di seluruh daratan Sulawesi. Namun embriogenesis somatik suatu jenis tanaman.
demikian terdapat beberapa kendala dalam Muchtar, Winata, Wattimena, dan Yahya (1997)
budidaya rotan tohiti karena musim berbuah melaporkan bahwa diantara dua jenis sitokinin
yang tidak menentu dan ketersediaan biji yang yang digunakan, penggunaan BAP
semakin menurun. Hal ini karena rotan tohiti (6-Benzylaminopurine) merupakan zat pengatur
tumbuh tunggal dan tidak berumpun sehingga tumbuh yang paling baik untuk perbanyakan
hanya dapat dipanen satu kali. Sementara itu tunas rotan manau. Namun demikian sampai
selama ini perbanyakannya hanya dapat saat ini belum ada penelitian tentang teknik
dilakukan dengan biji. Pemanenan melalui embriogenesis somatik pada budidaya rotan
penebangan batang rotan sebelum masa tohiti. Untuk itu penelitian ini dilakukan dalam
reproduktif ini akan memutus mata rantai upaya mendapatkan zat pengatur tumbuh terbaik
regenerasinya sehingga berakibat buahnya akan pada induksi kalus embriogenik dan induksi
semakin jarang diperoleh. Untuk itu upaya embrio somatik rotan tohiti. Penelitian
perbanyakan tanaman melalui teknologi diharapkan mampu menghasilkan teknologi
pembiakan vegetatif baik secara makro maupun perbanyakan melalui budidaya jaringan untuk
mikro melalui budidaya jaringan perlu untuk mendukung sistem budidaya rotan tohiti.
dilakukan.
Sampai saat ini perbanyakan rotan II. BAHAN DAN METODE
melalui budidaya jaringan belum banyak A. Waktu dan tempat
dilaporkan. Budidaya jaringan dapat dilakukan
Pengambilan buah rotan tohiti dilakukan
melalui tiga cara, yaitu pembentukan tunas
pada bulan Desember 2015. Penelitian
aksilar, pembentukan tunas adventif dan
dilaksanakan di Laboratorium Kultur Jaringan
embriogenesis somatik. Embriogenesis somatik
Balai Besar Penelitian dan Pengembangan
adalah proses pembentukan embrio dari sel atau

42
Embriogenesis Somatik Rotan Tohiti (Calamus inops Becc. ex Heyne)
Yelnititis

Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan, 1. Perkecambahan biji


Yogyakarta dari bulan Januari 2016 sampai Biji yang sudah dicuci bersih selanjutnya
bulan Desember 2016. disterilisasi dengan menggunakan alkohol 70%,
B. Bahan dan alat Bayclin® 15% dan 10% masing-masing selama
5 menit, 10 menit dan 15 menit serta dibilas
1. Bahan
dengan air steril. Biji yang sudah disterilisasi
Bahan tanaman yang digunakan sebagai dikecambahkan pada media dasar MS tanpa
sumber eksplan diambil dari desa Nopa Bomba, penambahan zat pengatur tumbuh dan
KPHP Dolago Tanggunung, Sulawesi Tengah. ditempatkan di ruang gelap. Persentase biji
Bagian tanaman yang digunakan sebagai berkecambah dihitung dengan membandingkan
sumber eksplan adalah buah rotan tohiti. Jumlah jumlah biji yang berkecambah dengan jumlah
biji rotan tohiti yang digunakan sangat terbatas biji yang dikecambahkan × 100%. Kecambah
yaitu sebanyak 162 biji. Bahan kimia yang yang dihasilkan dan bebas dari kontaminan
digunakan sebagai media tumbuh berasal dari dijadikan sebagai eksplan untuk tahapan
komposisi media dasar Murashige dan Skoog kegiatan selanjutnya.
(MS) yang diperkaya dengan vitamin B dan
agar sebagai pemadat. Adapun zat pengatur 2. Induksi kalus embriogenik
tumbuh yang digunakan adalah BA Pada tahap induksi kalus embriogenik,
(Benzyladenine) dan 2,4-D. kecambah yang utuh dan steril berumur dua
bulan dengan ukuran 1,5 – 2,0 cm dipisahkan
2. Alat
dari kulit bijinya yang keras (cangkang)
Peralatan yang digunakan dalam kemudian ditumbuhkan pada modifikasi media
penelitian ini antara lain timbangan analitik, hot MS dengan penambahan perlakuan konsentrasi
plate dan magnetic stirrer, alat-alat gelas, pH zat pengatur tumbuh sebagai berikut :
meter, botol kultur, alumunium foil, autoklaf, a. BA 0,5 mg/l,
laminar air flow (LAF), pinset, scalpel, gunting,
b. BA 1,0 mg/l,
cling wrap, spidol, pensil dan lain-lain.
c. BA 1,5 mg/l,
C. Prosedur kerja
d. BA 2,0 mg/l,
Buah rotan tohiti direndam selama dua
Pengamatan dilakukan terhadap tanggap
malam sehingga kulitnya menjadi lunak.
pertumbuhan dan penampilan biakan secara
Kemudian bijinya dikeluarkan dan dipisahkan
visual. Pengamatan dilakukan setiap 4 minggu
dari kulitnya, ditempatkan dalam wadah berisi
sampai umur 20 minggu. Rancangan yang
air dan biji yang tenggelam dalam air digunakan
digunakan pada tahap induksi kalus
sebagai eksplan. Biji dicuci dengan
embriogenik adalah Rancangan Acak Lengkap
menggunakan sabun cair lalu dibilas dengan air
(RAL). Masing-masing perlakuan terdiri dari 10
sampai bersih, diikuti dengan perendaman
botol dan masing-masing botol berisi 1 eksplan
dalam 1 gram/liter (0,1%) larutan fungisida
yang berasal dari satu potong kecambah.
Antracol selama 15 menit dan dibilas dengan air
sampai bersih. 3. Induksi embrio somatik
Penelitian dilakukan dalam tiga tahap Pada tahap induksi embrio somatik, kalus
kegiatan, yaitu 1) perkecambahan biji, 2) embriogenik berwarna putih bening yang
induksi kalus embriogenik dan 3) induksi diperoleh dari perlakuan konsentrasi BA terbaik
embrio somatik. (BA 1,0 mg/l) ditumbuhkan kembali pada
modifikasi media MS yang ditambahkan
kombinasi zat pengatur tumbuh BA 1,0 mg/l

43
Jurnal Pemuliaan Tanaman Hutan
Vol. 12 No. 1, Juni 2018, p. 41 - 50

dengan beberapa konsentrasi zat pengatur D. Analisis data


tumbuh 2,4-D sebagai berikut: Data hasil penelitian dianalisa dengan
analisis sidik ragam dan apabila terdapat
a. BA 1,0 mg/l + 2,4-D 0,0 mg/l perbedaan dilanjutkan dengan DMRT (Duncan
b. BA 1,0 mg/l + 2,4-D 0,5 mg/l Multiple Range Test).
c. BA 1,0 mg/l + 2,4-D 0,75 mg/l
III. HASIL DAN PEMBAHASAN
d. BA 1,0 mg/l + 2,4-D 1,0 mg/l.
A. Perkecambahan biji
Pengamatan dilakukan setiap 4 minggu
Hasil penelitian menunjukkan bahwa biji
selama 16 minggu. Parameter yang diamati
rotan tohiti yang dikecambahkan secara aseptik
meliputi tanggapan pertumbuhan, jumlah
pada media dasar MS tanpa zat pengatur
embrio somatik yang dihasilkan dan penampilan
tumbuh mulai memperlihatkan tanggapan
visual embrio somatik. Rancangan yang
proses perkecambahan pada hari ke-enam
digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap
setelah tanam. Hasil ini hampir sama dengan
(RAL). Masing-masing perlakuan terdiri dari 10
perkecambahan benih rotan jernang yaitu pada
botol dan setiap botol berisi potongan kalus
hari ke-tujuh setelah ditanam (Winarni, Fitriani,
dengan ukuran 1 × 1 cm. Pada penelitian ini
Purnomo, & Panjaitan, 2017). Sedangkan dari
tidak ada ulangan perlakuan karena keterbatasan
penelitian Kusdi dan Muslimin (2008)
eksplan kalus yang dihasilkan.
menunjukkan bahwa kecepatan daya
4. Perkecambahan embrio berkecambah benih rotan manau lebih lambat
Embrio somatik fase koleoptilar yang yaitu 36,7 hari setelah tanam.
diperoleh pada tahap sebelumnya dipisahkan Tanggapan perkecambahan diawali
dengan menggunakan scalpel, dan dengan munculnya calon tunas berwarna putih
dikecambahkan pada modifikasi media MS (Gambar 1a) pada titik tumbuh. Calon tunas
dengan perlakuan penambahan zat pengatur secara perlahan bertambah besar diikuti dengan
tumbuh BA konsentrasi 0,25; 0,5 dan 0,75 mg/l. muncul dan memanjangnya akar berjumlah
Masing-masing perlakuan terdiri dari 7 botol. antara 3 - 4 buah yang melekat erat pada
cangkangnya pada minggu ke-delapan (Gambar
1b dan 1c).

a b c

Gambar 1. Proses perkecambahan rotan tohiti secara aseptik pada umur 6 hari (a), 4 dan 8 minggu (b) dan 12
minggu (c)
Dari 162 biji yang dikecambahkan, 94% bakteri. Hasil ini lebih baik dibandingkan
diantaranya dapat berkecambah. Namun dengan daya berkecambah rotan manau yaitu
demikian dari jumlah tersebut hanya 40% sebanyak 83,3% (Kusdi & Muslimin, 2008) dan
dihasilkan kecambah yang steril, sedangkan daya berkecambah rotan jernang sebanyak 80%
60% mengalami kontaminasi terutama (Winarni et al., 2017). Kontaminasi yang
disebabkan oleh jamur dan juga dijumpai disebabkan oleh jamur dicirikan dengan adanya

44
Embriogenesis Somatik Rotan Tohiti (Calamus inops Becc. ex Heyne)
Yelnititis

spora yang berwarna putih atau hitam konsentrasi 0,5 mg/l memperlihatkan
tergantung pada jenis jamurnya, sedangkan pertumbuhan yang lebih lambat dan tidak
kontaminasi yang disebabkan bakteri dicirikan terbentuk kalus (Gambar 2a). Sedangkan
dengan adanya lendir berwarna putih susu atau eksplan yang ditumbuhkan pada perlakuan BA
kemerahan. dengan konsentrasi yang lebih tinggi, yaitu 1,0
mg/l sampai 2,0 mg/l cenderung memicu
B. Induksi kalus embriogenik
terbentuknya kalus (Gambar 2b dan 2c). Hal ini
Penggunaan eksplan yang steril
diduga bahwa rotan tohiti mempunyai
merupakan kunci utama dalam budidaya
kandungan auksin endogen yang tinggi. Adanya
jaringan. Biakan kecambah kecil dan steril yang
penambahan sitokinin eksogen pada media
diperoleh dari tahap perkecambahan yang sudah
tumbuh dan diserap oleh eksplan menyebabkan
berumur 60 hari dan tinggi antara 1,5 cm – 2,0
terjadinya perubahan kandungan hormon
cm dipisahkan dari kulit biji yang keras
endogen dan keseimbangan antara auksin dan
(cangkang) kemudian ditumbuhkan kembali
sitokinin di dalam jaringan. Kandungan auksin
pada media induksi kalus embriogenik.
dan sitokinin yang seimbang akan merangsang
Hasil penelitian menunjukkan bahwa terbentuknya kalus. Menurut Ikeuchi et al.,
penggunaan BA pada konsentrasi yang berbeda (2013) kandungan auksin dan sitokinin yang
memberikan tanggapan yang bervariasi terhadap seimbang akan merangsang induksi kalus,
pertumbuhan kalus (Tabel 1). Eksplan yang konsentrasi auksin yang relatif tinggi akan
ditumbuhkan pada media MS dengan perlakuan menginduksi akar dan kandungan sitokinin yang
penambahan zat pengantur tumbuh BA relatif tinggi akan menginduksi tunas.

a b c

Gambar 2. Perkembangan induksi kalus embriogenik eksplan rotan tohiti umur 8 minggu yang ditumbuhkan
pada Media MS dengan penambahan zat pengatur tumbuh BA 0,5 mg/l (a); 1,0-2,0 mg/ l (b dan c)

Tanggapan pertama yang teramati pada jika dikombinasikan dengan auksin (Lestari,
tahap induksi kalus dari eksplan rotan tohiti 2011; Anniasari, Putri, & Muliawati, 2016).
adalah terjadinya pembesaran pada bagian Pada penelitian ini penggunaan BA berperan
pangkal eksplan yang ditumbuhkan. Hal ini dalam induksi kalus. Vondráková, Krajňáková,
disebabkan karena terjadinya proses Fischerová, Vágner, dan Eliášová (2016)
pembelahan sel akibat adanya penambahan zat menyatakan bahwa sitokinin dibutuhkan untuk
pangatur tumbuh BA ke dalam media tumbuh induksi kultur embriogenik pada beberapa
yang digunakan. BA merupakan zat pengatur spesies tanaman.
tumbuh kelompok sitokinin yang berperan Dalam penelitian ini kalus mulai
dalam induksi tunas, pertumbuhan dan terbentuk pada 7 – 10 minggu setelah eksplan
perkembangan tanaman seperti pembelahan sel ditumbuhkan. Kalus hanya terbentuk pada

45
Jurnal Pemuliaan Tanaman Hutan
Vol. 12 No. 1, Juni 2018, p. 41 - 50

bagian pangkal eksplan yang menyentuh media bagian meristem yang mudah diinduksi dengan
yang langsung menyerap nutrisi (Gambar 2b). adanya perlakuan penambahan zat pengatur
Disamping itu pangkal eksplan merupakan tumbuh.

Tabel 1. Persentase pembentukan dan kenampakan visual kalus pada induksi kalus embriogenetik eksplan
rotan tohiti dengan perlakuan zat pengatur tumbuh BA sampai umur 17 minggu
Perlakuan (mg/l) Induksi kalus (%) Visual kalus yang terbentuk
BA 0,5 0 Tidak terbentuk kalus
BA 1,0 50 Kalus remah, embriogenik, warna putih bening
BA 1,5 20 Kalus kompak, warna kehijauan
BA 2,0 20 Kalus kompak, warna kehijauan

Persentase eksplan rotan tohiti yang dapat dengan konsentrasi 0,5 mg/l dikombinasikan
membentuk kalus pada penelitian ini adalah 0% dengan kinetin 0,2 mg/l menghasilkan kalus
- 50% (Tabel 1). Induksi kalus paling tinggi granular, remah dan berwarna kekuningan.
dihasilkan dari perlakuan BA 1,0 mg/l, yaitu
C. Induksi embrio somatik
sebanyak 50%. Menurut Eshraghi, Zarghami,
Induksi embrio somatik dilakukan dengan
dan Mirabdulbaghi (2005) perlakuan dan jenis
menggunakan eksplan kalus yang dihasilkan
zat pengatur tumbuh yang berbeda memberikan
pada tahap induksi kalus embriogenik. Kalus
pengaruh yang berbeda terhadap induksi kalus.
embriogenik yang diperoleh pada tahap induksi
Selain menghasilkan persentase pembentukan
dari perlakuan BA 1,0 mg/l dilakukan subkultur
kalus paling tinggi, perlakuan BA 1,0 mg/l juga
secara berulang pada perlakuan yang sama
merupakan perlakuan terbaik untuk penampilan
untuk mendapatkan jumlah kalus embriogenik
visual kalus yang terbentuk dimana kalus yang
yang mencukupi. Kalus selanjutnya dipindahkan
dihasilkan mempunyai tekstur remah dan
dan ditumbuhkan pada media induksi embrio
berwarna putih bening dengan sel-sel berukuran
somatik.
kecil dan permukaan sel-selnya halus (Gambar
Secara umum perlakuan pada media
3a). Hasil yang sama dilaporkan oleh Zang et
induksi embrio somatik rotan tohiti
al., (2016) bahwa perlakuan terbaik untuk
menunjukkan perbedaan yang nyata terhadap
kualitas kalus adalah penggunaan penambahan
rata-rata jumlah embrio somatik (Tabel 2).
zat pengatur tumbuh BA 1,0 mg/l. Dilihat dari
Semua perlakuan dapat merangsang kalus
kenampakan visualnya, kalus yang dihasilkan
embriogenik rotan tohiti berkembang menjadi
dari perlakuan ini merupakan kalus
embrio somatik dengan rata-rata jumlah embrio
embriogenik. Oetami (2015) menyatakan bahwa
antara 3,0-5,6 (Tabel 2). Embrio somatik paling
kalus embrionik dicirikan dengan tekstur remah
banyak dihasilkan dari perlakuan kombinasi BA
dan mudah dipisahkan. Selanjutnya Rusdianto
1,0 mg/l + 2,4-D 1,0 mg/l dengan rata-rata
dan Indrianto (2012) melaporkan bahwa kalus
jumlah embrio somatik sebanyak 5,6.
embriogenik umumnya berwarna putih bening
Penambahan 2,4-D pada konsentrasi 1,0 mg/l ke
atau putih kekuningan dan remah. Pengaruh
dalam media tumbuh yang sudah mengandung
efektivitas penambahan zat pengatur tumbuh
BA 1,0 mg/l diduga mendorong terjadinya
BA pada induksi kalus embriogenik juga telah
perubahan keseimbangan kandungan zat
dilaporkan pada beberapa jenis tanaman. Puhan
pengatur tumbuh di dalam biakan kalus
dan Rath (2012) melaporkan bahwa kalus
sehingga merangsang peningkatan pembentukan
embriogenik dari eksplan bibit Desmodium
embrio somatik dari kalus embriogenik yang
gangeticum L., dapat terbentuk dari perlakuan
ditumbuhkan.
BA dengan konsentrasi 0,5 mg/l. Zhou et al.,
(2010) juga melaporkan bahwa perlakuan BA

46
Embriogenesis Somatik Rotan Tohiti (Calamus inops Becc. ex Heyne)
Yelnititis

Tabel 2. Jumlah embrio somatik rotan tohiti dari kombinasi zat pengatur tumbuh BA dengan 2,4-D
Pelakuan Rata-rata jumlah embrio
Visual embrio somatik
(mg/l) somatik
BA 1,0 + 2,4-D 0,0 3,0 c Batang besar, jelas, daun normal
BA 1,0 + 2,4-D 0,5 4,0 b Batang sedang, pendek
BA 1,0 + 2,4-D 0,75 4,6 b Batang sedang, pendek
BA 1,0 + 2,4-D 1,0 5,6 a Batang sedang, pendek

Keterangan: Angka yang diikuti oleh huruf yang sama dalam kolom tidak berbeda nyata pada taraf uji 5%

Perkembangan induksi embrio somatik lain zat pengatur tumbuh yang ditambahkan ke
dari eksplan kalus embriogenik rotan tohiti dalam media tumbuh, tipe kalus dan kondisi
secara visual sebagaimana disajikan pada biakan. Menurut Zhou et al., (2010) zat
Gambar 3. Kalus embriogenik rotan tohiti pengatur tumbuh memainkan peranan yang
awalnya berwarna putih bening (Gambar 3a) sangat penting dalam induksi kalus. Selanjutnya
dan mulai memperlihatkan pertumbuhan dengan Lim, Ling, dan Hussein (2009) menyatakan
ukuran kalus yang bertambah besar menjadi dua bahwa penggunaan zat pengatur tumbuh
kali lipat dalam periode delapan minggu. Hal ini eksogen penting dalam optimalisasi induksi
dapat disebabkan oleh beberapa faktor antara kalus.

a b

c d
b

Gambar 3. Perkembangan kalus embriogenik menjadi embrio somatik pada rotan tohiti. Kalus embriogenik
(a), embrio fase skutelar (b), embrio fase koleoptilar (c) dan planlet (d)

47
Jurnal Pemuliaan Tanaman Hutan
Vol. 12 No. 1, Juni 2018, p. 41 - 50

Dari pengamatan yang dilakukan selama monokotil meliputi tahap globular, skutelar dan
masa pertumbuhan dan perkembangannya, kalus koleoptilar. Walaupun penelitian lainnya pada
embriogenik tidak memperlihatkan perubahan jenis tanaman sagu menunjukkan bahwa
warna (Gambar 3a) dan tetap berwarna putih perkembangan embrio somatik menyerupai fase
bening sampai terbentuk embrio somatik. perkembangan embrio zigotik yang meliputi
Secara visual pembentukan embrio somatik fase globular, fase hati, fase torpedo dan fase
pada rotan tohiti dalam penelitian ini tidak kotiledon (Kasi & Sumaryono, 2006).
mengikuti pola embriogenesis somatik yang Jumlah embrio somatik yang dihasilkan
umumnya diawali dengan terbentuknya embrio dari perlakuan BA 1,0 mg/l tanpa 2,4-D lebih
somatik fase globular. Secara perlahan-lahan, sedikit dibandingkan dengan perlakuan
dari sela-sela sel kalus embriogenik yang kombinasi BA 1,0 mg/l dengan tambahan 2,4-D
berwarna putih bening, muncul embrio somatik (Tabel 2) dan mempunyai penampilan visual
fase skutelar berwarna putih susu (Gambar 3b) yang berbeda. Embrio somatik yang dihasilkan
yang berkembang menjadi fase koleoptilar mempunyai penampilan yang lebih normal
(Gambar 3c), dan selanjutnya menjadi plantlet dimana masing-masing organnya dapat
(Gambar 3d). Perkembangan embrio somatik dibedakan dengan jelas (Gambar 4a). Selain itu
dalam penelitian ini sesuai dengan penelitian hampir semua embrio yang dihasilkan
Guan, Li, Fan, dan Su (2016) dan Arnold, berukuran lebih besar dibandingkan dengan
Sabala, Bozhkov, Dyachok, dan Filonova perlakuan kombinasi BA dan 2,4-D (Gambar
(2002) yang melaporkan bahwa tahapan 4b).
perkembangan embrio somatik pada tanaman

a b
b

Gambar 4. Embrio somatik rotan tohiti pada perlakuan BA tanpa 2,4-D (a) dan BA + 2,4-D (b)
Dilihat dari penampilan secara visual, Sumaryono, 2006; Sumaryono, Riyadi, & Kasi,
embrio somatik yang dihasilkan dari perlakuan 2009).
BA yang dikombinasikan dengan 2,4-D Embrio somatik tahap koleoptilar masih
mempunyai morfologi yang beragam. Embrio menempel antara satu dengan yang lain
somatik yang diperoleh umumnya berukuran (Gambar 3c), tetapi ada batas yang jelas
kecil, pendek dan mengalami pertumbuhan yang antarembrio somatik sehingga mudah
lambat (Gambar 4b). Selain itu morfologi dipisahkan dengan scalpel. Embrio somatik
daunnya juga beragam yaitu tebal, berkerut dan koleoptilar yang sudah dipisahkan dengan tinggi
bersatu antara lembaran satu sama lainnya. Hal 1,0 – 2,0 cm dicoba ditumbuhkan pada
ini sangat dipengaruhi oleh perlakuan zat perlakuan BA 0,25; 0,5 mg/l dan 0,75 mg/l.
pengatur tumbuh yang digunakan pada media Dari tiga perlakuan BA yang digunakan,
tumbuh. Hasil yang sama juga ditemukan pada perlakuan BA 0,75 mg/l memberikan tanggapan
kultur jaringan tanaman sagu (Kasi & paling baik untuk pertumbuhan embrio somatik
koleoptilar menjadi plantlet (Gambar 5).

48
Embriogenesis Somatik Rotan Tohiti (Calamus inops Becc. ex Heyne)
Yelnititis

a b c

Gambar 5. Perkembangan embrio somatik rotan tohiti menjadi plantlet.Umur 5 minggu (a) dan umur 7
minggu (b dan c)

Tanggap pertama perkembangan lebih kontribusinya dalam penyediaan biji rotan tohiti
lanjut embrio somatik nampak pada munculnya sebagai sumber tanaman yang digunakan dalam
daun baru (pucuk) pada umur 5 minggu setelah penelitian ini.
ditumbuhkan (Gambar 5a). Pada umur 7 minggu
daunnya sudah membuka seperti daun normal DAFTAR PUSTAKA
(Gambar 5b), namun tidak diikuti dengan Anniasari, E. D., Putri, R. B. A., & Muliawati, E. S.
(2016). Penggunaan BA dan NAA untuk
pertumbuhan akar. Hal ini diduga disebabkan merangsang pembentukan tunas lengkeng
karena kandungan sitokinin yang ada di dalam dataran rendah (Dimocarpus longan) secara
jaringan sudah melebihi batas keseimbangan in vitro. Bioteknologi, 13(2), 43–53.
https://doi.org/10.13057/biotek/c130201
sehingga memberikan pengaruh pada
Arnold, S. von, Sabala, I., Bozhkov, P., Dyachok, J.,
pertumbuhan bagian atas tanaman. Untuk
& Filonova, L. (2002). Developmental
merangsang pertumbuhan akar embrio somatik pathways of somatic embryogenesis. Plant
rotan tohiti dibutuhkan perlakuan lebih lanjut Cell ,Tissue and Organ Culture, 69, 233–249.
melalui penambahan auksin pada media https://doi.org/10.1023/A
tumbuh. Hal yang sama juga dilaporkan pada Baharuddin, & Taskirawati, I. (2009). Hasil hutan
bukan kayu. Makasar: Fakultas Kehutanan,
tanaman sagu bahwa untuk induksi akar plantlet Universitas Hasanuddin.
diperlukan penambahan auksin pada media https://doi.org/10.1017/CBO9781107415324.
tumbuh (Kasi & Sumaryono, 2006). 004
Eshraghi, P., Zarghami, R., & Mirabdulbaghi, M.
IV. KESIMPULAN (2005). Somatic embryogenesis in two
Iranian date palm cultivars. African Journal
Budidaya jaringan melalui teknologi of Bitechnology, 4(11), 1309–1312.
embriogenesis somatik pada rotan tohiti bisa Guan, Y., Li, S.-G., Fan, X.-F., & Su, Z.-H. (2016).
dilakukan dengan baik. Penambahan zat Application of somatic embryogenesis in
pengatur tumbuh BA (Benzyl adenine) 1.0 mg/l woody plants. Frontiers in Plant Science,
7(June), 1–12.
pada media dasar Murashige and Skoog (MS) https://doi.org/10.3389/fpls.2016.00938
merupakan perlakuan terbaik untuk induksi
Hussein, S., Ibrahim, R., & Kiong, A. L. P. (2006).
kalus embriogenik. Jumlah embrio somatik Somatic embryogenesis: an alternative
terbanyak ditemukan pada perlakuan method for in vitro micropropagation.
penambahan zat pengatur tumbuh kombinasi Iranian Journal of Biotechnology, 4(3), 156–
161.
BA 1,0 mg/l + 2,4-D 1,0 mg/l pada media MS.
Ikeuchi, M., Sugimoto, K., & Iwase, A. (2013). Plant
Callus : Mechanisms of Induction and
UCAPAN TERIMA KASIH Repression. The Plant Cell, 25(September),
Ucapan terima kasih disampaikan kepada 3159–3173.
ibu Dr. Diana Prameswari dari Pusat Penelitian https://doi.org/10.1105/tpc.113.116053
dan Pengembangan Hutan (P3H) Bogor atas

49
Jurnal Pemuliaan Tanaman Hutan
Vol. 12 No. 1, Juni 2018, p. 41 - 50

Kalima, T. (2008). Keragaman Spesies Rotan yang Puhan, P., & Rath, S. P. (2012). Induction,
Belum Dimanfaatkan di Hutan Tumbang Development and Germination of Somatic
Hiran, Katingan, Kalimantan Tengah. Jurnal Embryos from in vitro Grown Seedling
Info Hutan, 5(2), 161–175. Explants in Desmodium gangeticum L.:
Medicinal Plant. Research Journal of
Kalima, T., & Jasni. (2010). Tingkat kelimpahan
Medicinal Plant, 6(5), 346–369.
populasi spesies rotan di hutan lindung Batu
Kapar, Gorontalo Utara. Jurnal Penelitian Rusdianto, & Indrianto, A. (2012). Induksi kalus
Hutan Dan Konservasi Alam, 7(4), 439–450. embriogenik pada wortel (Daucus carota L.)
menggunakan 2,4-Dichlorophenoxy Acetic
Kalima, T., & Jasni. (2015). Prioritas penelitian dan
Acid (2,4-D). Jurnal Bionature, 13(2), 136–
pengembangan jenis rotan andalan setempat.
140.
In Pros Sem Nas Masy Biodiv Indon (Vol. 1,
pp. 1868–1876). Surakarta: Masyarakat Sumaryono, Riyadi, I., & Kasi, P. D. (2009). Clonal
Biodiversitas Indonesia. Propagation of Sago Palm (Metroxylon sagu
https://doi.org/10.13057/psnmbi/m0108220 Rottb.) through Tissue Culture, 2(1), 1–4.
Retrieved from
Kasi, P. D., & Sumaryono. (2006). Keragaman
https://www.researchgate.net/profile/Pauline_
morfologi selama perkembangan embrio
Kasi/publication/236004883_Clonal_propaga
somatik sagu (Metroxylon sagu Rottb.).
tion_of_sago_palm_through_tissue_culture/li
Menara Perkebunan, 74(1), 43–51.
nks/02e7e51591005e6462000000.pdf
Kusdi, & Muslimin, I. (2008). Perkecambahan benih
Vondráková, Z., Krajňáková, J., Fischerová, L.,
rotan manau (Calamus manan Miq .)
Vágner, M., & Eliášová, K. (2016).
berdasarkan berat benih dan jenis media
Physiology and role of plant growth
tabur. Info Hutan, V(4), 347–354.
regulators in somatic embryogenesis. In J. M.
Lestari, E. G. (2011). Peranan Zat Pengatur Tumbuh B. and H.-K. M. Yill-Sung Park (Ed.),
dalam Perbanyakan Tanaman melalui Kultur Vegetative Propagation of Forest Trees (pp.
Jaringan. Jurnal AgroBiogen, 7(1), 63–68. 123–169). Seoul, Korea: National Institute of
https://doi.org/10.21082/jbio.v7n1.2011.p63- Forest Science (NIFoS).
68
Winarni, E., Fitriani, A., Purnomo, & Panjaitan, S.
Lim, Z. X., Ling, A. P. K., & Hussein, S. (2009). (2017). Daya kecambah benih rotan jernang
Callus Induction of Ocimum sanctum and (Daemonorops draco Blume) dengan
Estimation of Its Total Flavonoids Content. berbagai perlakuan perendaman dalam air.
Asian Journal of Agricultural Sciences, 1(2), Jurnal Hutan Tropis, 5(2), 120–126.
55–61.
Witono, J. R. (1999). Konservasi rotan Indonesia di
Muchtar, H., Winata, L., Wattimena, G. ., & Yahya, Kebun Raya Bogor. In Prosiding seminar
S. (1997). The Effect of Two Kind of hasil-hasil penelitian ilmu hayat (pp. 230–
Cytokinin (BAP and Kinetin) and Auxin on 242). Bogor.
Multiplication Formation in Rattan Manau
Zang, Q., Zhou, L., Zhuge, F., Yang, H., Wang, X.,
(Calamus manan Miquel) by in vitro
& Lin, X. (2016). Callus induction and
Technicque. Retrieved May 2, 2018, from
regeneration via shoot tips of Dendrocalamus
http://repository.ipb.ac.id/handle/123456789/
hamiltonii. SpringerPlus, 5:1799, 1–7.
45250
https://doi.org/10.1186/s40064-016-3520-7
Oetami, R. F. (2015). Kombinasi embriogenesis
Zhou, Q., ZH, J., TD, H., WG, L., AH, S., Dai, X., &
langsung dan Tak Langsung pada
Z, L. (2010). Plant regeneration via somatic
Perbanyakan Kopi Robusta. Warta Pusat
embryogenesis from root explants of Hevea
Penelitian Kopi Dan Kakao Indonesia, 27(2),
brasiliensis. African Journal of
1–5.
Biotechnology, 9(48), 8168–8173.
Pribadi, H. (2012). Kajian ekonomi pengembangan https://doi.org/10.5897/AJB10.969
usaha industri mebel rotan di kota Palu
Provinsi Sulawesi Tengah (Pendekatan
analitikal SWOT dan liniear programming).
Jurnal Hutan Tropis, 13(2), 111–120.

50

You might also like