Sinta Ayu N W K4413057

You might also like

Download as docx, pdf, or txt
Download as docx, pdf, or txt
You are on page 1of 15

IMPLEMENTASI MODEL PEMBELAJARAN VALUE CLARIFICATION

TECHNIQUE (VCT) UNTUK MENINGKATKAN HASIL BELAJAR DAN


SIKAP SOSIAL SISWA MA1

Oleh: Sinta Ayu Nawang Wulan2, Akhmad Arif Musadad3, Sri Wahyuni4

The objective of this study is to improve learning outcomes and social


attitudes of students from Xth grade class IPS 5 MAN 1 Surakarta with the
application of Value Clarification Technique (VCT) learning model. This study is
class-action research (CAR). The study has been done by 2 cycles. However,
every cycle consists of action planning, action implementation, observation, and
reflection. The subjects of the study were students of Xth grade class IPS 5 MAN 1
Surakarta which amounts to 35 people. The data sources were obtained from
teachers, students, and the learning process. Data collection techniques were
conducted by tests, observations, interviews, documentation, and questionnaires.
Data validity test was using triangulation technique which is triangulation of
source and triangulation method.
The results showed that teachers can apply Value Clarification Technique
(VCT) learning model, so the learning activities can be categorized as very well in
teaching activities and students learning activities in the classroom, so the learning
process goes well. Achievement of pre-cycle learning activity 57.01% increased
by 12.00% in cycle 1 to 69.01% and in cycle II increased by 18.04% to 87.05%.
Application of Value Clarification Technique (VCT) learning model can increase
learning result and social attitude of Xth grade class IPS 5 MAN 1 Surakarta
students from pre-cycle to cycle I and from cycle II. The students social attitude
on the pre-cycle I was 42.8% increased by 5.7% in the first cycle to 48.5% and in
the second cycle increased by 20.01% to 68.60%. Achievement of student
learning outcomes in pre-cycle was 31.42% increased by 40% in the first cycle to
71.42% and in the second cycle increased by 13.87% to 85.29% with 100%
completeness.
Based on the results and discussion of the study, it can be concluded that the
application of Value Clarification Technique (VCT) learning model on History
subject learning activity improves social attitudes and student learning outcomes
of Xth grade class IPS 5 MAN 1 Surakarta.
Keywords: Value Clarification Technique (VCT), social attitudes, learning
outcomes
1
Ringkasan
2
Mahasiswa Program Studi Pendidikan Sejarah FKIP UNS Surakarta
3
Dosen Pembimbing pada Program Studi Pendidikan Sejarah FKIP UNS Surakarta
4
Dosen Pembimbing pada Program Studi Pendidikan Sejarah FKIP UNS Surakarta

1
A. PENDAHULUAN
Perkembangan teknologi di Indonesia diikuti dengan gejala penurunan
moral pada taraf yang memprihatinkan. Menurut Iskarim (2016:02) Akhlak
mulia seperti kejujuran, kebenaran, keadilan, tolong menolong, toleransi, dan
saling mengasihi sudah mulai terkikis oleh penyelewengan, penipuan,
permusuhan, penindasan, saling menjatuhkan, menjilat, mengambil hak orang
lain secara paksa dan sesuka hati, dan perbuatan-perbuatan tercela yang lain.
Penurunan moral sekarang ini tidak hanya melanda kalangan dewasa,
melainkan juga telah menimpa kalangan pelajar yang menjadi generasi
penerus bangsa.
Penurunan moral generasi muda menunjukkan bahwa krisis moral di
Indonesia sudah berada pada titik rawan. Perilaku generasi muda saat ini
tergolong dalam perilaku yang buruk. Perilaku generasi muda, baik yang
menyangkut perubahan sikap dan tata krama, nilai dan pandangan hidup
merupakan peringatan bagi para pendidik, sebagai bagian yang ikut
bertanggung jawab dalam perkembangan moral peserta didik..
Pasal 1 ayat (1) dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003
tentang Sistem Pendidikan menjelaskan bahwa, pendidikan adalah usaha
sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses
pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya
untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian,
kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya,
masyarakat, bangsa dan negara. Ditinjau dari Pasal 1 ayat (2) UndangUndang
Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, pendidikan
nasional adalah pendidikan yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang berakar pada nilai-nilai
agama, kebudayaan nasional Indonesia dan tanggap terhadap tuntutan
perubahan zaman. Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan
kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat
dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Pasal 3 tentang Sistem Pendidikan Nasional

2
bertujuan untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia
yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia,
sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang
demokratis dan bertanggung jawab.
Kuntjoro Purbopranoto (1976:147) mengatakan:
Pendidikan adalah proses atau usaha setiap bangsa yang tak terputus-
putus sifatnya di dalam segala tingkat kehidupan manusia, sesuai
dengan perkembangan masyarakat dan kebudayaan yang bertujuan
untuk mencapai kesempurnaan dan kedewasaan pada manusia, agar
dengan kesadaran dan tanggung jawab dapat menghadapi pelbagai
persoalan hidup.
Nurul Zuriah (2008:175) mengungkapkan Pendidikan memang
mempunyai dua fungsi utama, yaitu sebagai transfer nilai (transformation of
value) dan transfer pengetahuan (transformation of knowledge). Sebagai
fungsi transfer nilai, dunia pendidikan diharapkan mampu mentransfer nilai-
nilai, norma-norma, dan budi pekerti luhur (akhlakul karimah). Sebagai
fungsi transfer pengetahuan, dunia pendidikan diharapkan mampu
mentransfer ilmu pengetahuan.
Fungsi utama pendidikan menurut Nurul Zuriah sesuai dengan tujuan
dan fungsi pendidikan menurut UU yaitu lembaga pendidikan di Indonesia
bertanggungjawab terhadap moral bangsa indonesia yaitu krisis moral yang
melanda generasi muda sebagai akibat dari pergeseran nilai dan sikap.
Sehingga pembelajaran di sekolah bisa menjadi salah satu jalan keluar untuk
problematika sosial.
Nilai sosial tidak dapat di definisikan secara rinci, karena setiap
masyarakat mempunyai pemahaman tentang nilai sosial yang berbeda. Di
negara-negara Barat misalnya, prostitusi, seks bebas dan kelakuan amoral
lainnya merupakann suatu budaya yang bukan merupakan masalah sosial,
berbeda dengan di negara-negara bagian timur, fenomena-fenomena di atas
merupakan suatu problematika sosial yang harus di atasi. Berdasarkan hal
tersebut maka menurut Kuntjoro Purbantoro (1976: 47) Pemahaman nilai
sosial merupakan solusi terpenting dalam pemecahan masalah masyarakat di
era modern ini, terutama bagi generasi muda sebagai penerus bangsa. Adanya
3
problematika sosial, menjadi salah satu alasan utama pentingnya nilai-nilai
sosial dalam kehidupan ini. Salah satu upaya menjadikan pemahaman nilai
sosial sebagai alat pemecahan masalah dalam masyarakat adalah melalui
pembelajaran maupun peneladanan aktifitas pelaku sejarah yang sarat dengan
perilaku moralitasnya.
Wiriaatmadja (2002:1) menyampaikan tesis bahwa pengajaran
Sejarah Nasional Indonesia di sekolah memiliki kompetensi untuk
mengarahkan peserta didik kepada sasaran pendidikan, apabila dalam
proses belajar mengajar berlangsung pendidikan nilai yang akan
membimbingnya agar siswa tumbuh dan berkembang menjadi manusia
yang beradab, penuh rasa susila, dan memiliki tanggungjawab sosial.
Dalam konsepsi ini, pengajaran sejarah nasional Indonesia disekolah
memiliki kompetensi untuk membimbing peserta didik ke arah kesadaran
sejarah, kesadaran kebangsaan, dan pembentukan karakter atau jati diri,
apabila di dalam pengajarannya berlangsung pewarisan (transfer) yang
disambut dengan peralihan nilai-nilai berbangsa, bertanah air, persatuan
dan kesatuan, serta integritas dan kepribadian Indonesia.
Pembelajaran sejarah di sekolah selalu menghadapi banyak persoalan
menurut Subakti (2010 : 2) persoalan tersebut adalah lemahnya penggunaan
teori, miskinnya imajinasi, acuan buku teks dan kurikulum yang state
oriented, serta kecenderungan untuk tidak memperhatikan fenomena
globalisasi. Alhasil, siswa menjadikan sejarah hanya sebagai fakta-fakta
hapalan tanpa adanya ketertarikan dan minat untuk memaknainya, juga
mampu menggali lebih jauh lagi. Ingatan historis semata tidak akan bertahan
lama. Ingatan historis bertahan lama, perlu disertai “ingatan emosional”.
Ingatan emosional adalah ingatan yang terbentuk dengan melibatkan emosi
hingga bisa menumbuhkan kesadaran dalam diri siswa untuk menggali lebih
jauh dan memaknai berbagai peristiwa sejarah. Proses pembelajaran
kemudian tak hanya berhenti pada penghafalan saja, siswa bisa aktif dalam
komunikasi dua arah dengan guru untuk mengutarakan pendapatnya
mengenai obyek sejarah yang tengah dipelajari karena sedari awal guru telah
4
merasa menjadi bagian dari proses pembelajaran yang penuh dengan makna.
Agar “ingatan emosional” muncul dan bertahan lama, maka paradigma
pembelajaran sejarah harus diubah.
Mc.Neil (1977:19-33) mengungkapkan status pendidikan sejarah
sebagai pendidikan umum dapat pula mengemban peran lain selain dari
wahana transmisi kebudayaan. Dalam status yang demikian, pendidikan
sejarah dapat pula mengemban peran sebagai landasan ketrampilan
intelektual dan sosial generasi muda bangsa dalam semangat dan pandangan
social recontructionalis sehingga sejarah dapat menjadi dasar untuk
pendidikan masa depan.
Pembelajaran sejarah di sekolah-sekolah pada umumnya sama yaitu
berkisar pada penghafalan nama tokoh, tempat, tanggal dan tahun serta
bagaimana kejadian sejarahnya saja. Menurut Hamjadid (2008:4) metode
yang digunakan dalam pembelajaran sejarah sama dari tahun ketahun,
ceramah, tanya jawab dan penghafalan masih sering digunakan dalam praktek
pembelajaran, sehingga pembelajaran sejarah hanya sebagai pelengkap mata
pelajaran, tidak memberikan fungsi yang dalam terhadap tujuan pendidikan.
Maka dari itu, perlu adanya perombakan dalam tatanan pembelajaran yaitu,
bagaimana penyampaian sejarah bisa menjadi salah satu cara untuk
meningkatan mutu pendidikan dalam menangani problem sosial.
Kesimpulannya belajar sejarah tidak mungkin melepaskan diri dari nama
pelaku, nama peristiwa, atau nama tempat di mana peristiwa tersebut terjadi,
karena tidak ada sejarah dan tidak ada pelajaran sejarah apabila seseorang
tidak mengetahui nama suatu peristiwa, nama pelakunya atau di mana
peristiwa itu terjadi. Meskipun demikian, belajar sejarah bukanlah hanya
sekedar menghafal fakta sejarah. sebagai wahana pendidikan, pelajaran
sejarah harus dapat dimanfaatkan secara maksimum dalam mengembangkan
kemampuan seseorang untuk pengembangan pribadi dan dirinya sebagai
anggota masyarakat atau warga negara. Menghargai suatu peristiwa sejarah
ketika sudah memahami nilai yang terkandung dalam suatu peristiwa
tersebut. Dengan mengenal nilainya maka apresiasi peserta didik terhadap apa
5
yang terjadi akan dapat dikembangkan. Hal ini seejalan dengan status
kurikuler tujuan pendidikan sejarah yaitu mengarahkan pada pewarisan nilai-
nilai.
Menurut Senen dan Barnadib (2000:130) Sejarah merupakan bagian
terpenting dari pembentukan identitas dan karakter nasional. Melalui sejarah,
orang dapat melihat dan membaca masa alunya, baik yang cemerlang maupun
yang kelam. Berdasarkan masa lalu suatu bangsa dapat menjadikannya
sebagai cermin untuk menapak nilai-nilai idealistik dari sejarah seperti:
sejarah adalah guru yang terbaik ( historia vitae magistra) jangan sekali-sekali
meninggalkan sejarah, melalui sejarah manusia menjadi bijaksana dan
sebagainya. Hal ini agar penyampaian materi pelajaran sejarah tidak terjerat
oleh kronologi peristiwa sejarah sebagai memori yang harus di hafal oleh
siswa. Agar sejarah memiliki fungsi.
Sumaatmaja (1982:21) mengungkapkan dalam proses pembelajaran,
mata pelajaran sejarah bukan bertujuan untuk memenuhi ingatan para siswa
dengan berbagai fakta dan materi yang harus dihafalnya, melainkan
untuk membina mental yang sadar akan tanggung jawab terhadap hak
dirinya sendiri dan kewajiban kepada masyarakat, bangsa dan negara . Hal ini
berarti bahwa pembelajaran sejarah merupakan upaya menerapkan teori,
konsep, prinsip ilmu sosial secara nyata terjadi di masyarakat. Agung dan
Wahyuni (2013:54) mengungapkan Mata pelajaran sejarah memiliki arti
strategis dalam pembentukan watak dan peradaban bangsa yang bermartabat
serta dalam pembentukan manusia Indonesia yang memiliki rasa kebangsaan
dan cinta tanah air.
Permendiknas No.22 Tahun 2006 tentang standar Isi mengemukakan
bahwa materi sejarah, pertama, mengandung nilai-nilai kepahlawanan,
keteladanan, kepeloporan, patriotisme, nasionalisme, dan semangat pantang
menyerah yang mendasari proses pembentukan watak dan kepribadian
peserta didik. Kedua,memuat khazanah mengenai peradaban bangsa-bangsa
termasuk peradaban bangsa Indonesia. Materi tersebut merupakan bahan
pendidikan yang mendasar bagi proses pembentukan dan penciptaan
6
peradaban bangsa Indonesia. Ketiga, menanamkan kesadaran persatuan dan
persaudaraan serta solidaritas untuk menjadi perekat bangsa dalam
menghadapi ancaman disintegrasi bangsa. Keempat, sarat dengan ajaran
moral dan kearifan yang berguna dalam mengatasi krisis multidimensi yang
dihadapi dalam kehidupan sehari-hari. Kelima, berguna untuk menanamkan
dan mengembangkan sikap bertanggung jawab dalam memelihara
keseimbangan dan kelestarian lingkungan hidup.
Sartono Kartodidjo (Susanto 2014:35) berpendapat bahwa dalam
rangka pembangunan bangsa, pengajaran sejarah tidak semata-mata berfungsi
untuk memberikan pengetahuan sejarah sebagai kumpulan informasi fakta
sejarah tetapi juga bertujuan menyadarkan anak didik atau membangkitkan
kesadaran sejarahnya. Untuk mencapai tujuan tersebut maka sejarah yang
diajarkan haruslah sejarah yang mengedepankan nilai-nilai kehidupan, bukan
sejarah hapalan yang hanya menyuguhkan nama, tempat, angka tahun, dan
peristiwa semata. Meskipun unsur-unsur tersebut tidak dapat ditinggalkan
dari pembelajaran sejarah, akan tetapi bukan berarti pembelajaran sejarah
yang dilakukan hanya memfokuskan pada hal-hal tersebut, yang akan
menjadikan pembelajaran sejarah menjadi kering dari makna dan tidak
memberikan penyadaran terhadap individu pembelajar.
Berdasarkan hasil pengamatan yang dilakukan oleh peneliti pada
tanggal 7 April 2017 di kelas X IPS 5 didapatkan permasalahan-permasalahan
yang sedang dihadapi siswa selama pembelajaran sejarah berlangsung yaitu
siswa masih belajar menggunakan sistem hafalan. Menghafalkan nama, tahun
dan tempat kejadian. Sebenarnya guru sudah menggunakan model
pembelajaran kurikulum 2013 dalam penyampaian materi, namun masih
banyak dari siswa yang menganggap bahwa sejarah adalah mata pelajaran
hafalan yang berorientasi membosankan, hal ini mengakibatkan hasil belajar
siswa dalam mata pelajaran sejarah masih rendah, selain itu siswa selalu
mengeluh banyaknya materi yang harus mereka hafalkan saat ujian.
Permasalahan yang lain adalah sikap sosial yang masih rendah, hal ini di
tunjukkan dengan belum disiplinnya siswa Kelas X IPS 5 dalam
7
mengumpulkan tugas sekolah, tugas individu maupun tugas kelomok yang
berarti rasa tanggung jawab dan gotong royong siswa masih rendah. Selain
itu, siswa masih banyak yang belum berani berbicara di depan kelas, siswa
masih malu-malu untuk mengungkapkan pendapat mereka di depan kelas.
Hal ini mendorong peneliti untuk melakukan penelitian dengan menggunakan
model pembelajaran Value Clarification Technique (VCT). Model
pembelajaran VCT adalah pembembelajaran berbasis nilai. Model
pembelajaran VCT sangat sesuai diterapkan dalam pembelajaran sejarah
untuk anak Sekolah Menengah Atas (SMA). Menurut Sutarjo Adisusilo VCT
Membantu peserta didik dalam membuat pertimbangan moral yang lebih
kompleks berdasarkan nilai yang lebih tinggiMendorong peserta didik untuk
mendiskusikan alasan-alasannya ketika memilih nilai dan posisinya dalam
suatu masalah moral. Sehingga model VCT sangat cocok di terapkan dalam
pembelajaran sejarah, sesuai penjelasan di atas, bahwa peristiwa sejarah
memiliki nilai-nilai yang kompleks untuk menghadapi masa depan. Yang
tentunya sangat penting bagi generasi muda dalam menyongsong masa depan
dan memajukan bangsa Indonesia.
B. METODE PENELITIAN
Penelitian ini dilaksanakan di kelas X IPS 5 MA N 1 Surakarta tahun
ajaran 2016/2017. Penelitian ini dilaksanakan selama empat bulan, yaitu
mulai bulan Februari 2017 hingga bulan Mei 2017. Subjek dalam penelitian
meliputi siswa kelas X IPS 5 yang berjumlah 34 siswa yaitu14 siswa putra
dan 20 siswa putri, guru mata pelajaran sejarah yaitu Dra Tatik Budi Raharti,
dan proses belajar mengajar. Data yang dikumpulkan bersumber dari siswa
melalui wawancara, tes, dan angket. Proses belajar mengajar sejarah di kelas
X IPS 5 MA N 1 Surakarta melalui observasi aktivitas guru mengajar dan
aktivitas siswa belajar. Sumber data berasal dari narasumber atau informan,
dokumen, arsip, tempat, dan peristiwa. Teknik pengumpulan data diantaranya
melalui wawancara, observasi, tes, dan angket. Uji validitas data melalui
teknik triangulasi sumber/data dan triangulasi metode. Penelitian
dilaksanakan berupa penelitian tindakan kelas (PTK), dengan prosedur
8
meliputi tahap persiapan, tahap perencanaan (planning), tahap pelaksanaan
(acting), tahap observasi (observing), dan tahap refleksi (reflecting).
C. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Penelitian tindakan kelas di X MIPA 2 SMA Batik 1 Surakarta
dimulai dari tahap pengamatan prasiklus yang menunjukkan hasil
pelaksanaan pembelajaran sejarah, prestasi belajar, dan sikap toleransi siswa
masih dikategorikan kurang baik. Dari pengamatan prasiklus didapatkan
hasil:

No Variabel Hasil
1 Rata-rata ketercapaian aktivitas siswa di kelas 57,01%
2 Rata-rata ketercapaian ketuntasan hasil belajar siswa 58,82%
3 Rata-rata ketercapaian indikator sikap sosial siswa 57,01%
Aktivitas siswa pada prasiklus masih tergolong belum kondusif dalam
proses pembelajaran, saat guru memberikan penjelasan siswa tidak begitu
aktif, banyak siswa yang menobrol sendiri, main sendiri dan bersandar di atas
meja. Hanya beberapa siswa yang duduk dibarisan depan yang
memperhatikan penjelasan guru.
Ketuntasan hasil belajar siswa sejarah dikategorikan rendah sebesar
58,82% dengan jumlah siswa yang memiliki nilai di atas KKM (75)
berjumlah 19 siswa dari 34 siswa. Ketercapaian sikap sosial siswa pada
prasiklus sebesar 42,08% baik dan 57,01 cukup, merupakan hasil yang cukup
baik, namun hasil tersebut bertolak belakang dengan hasil observasi dan
wawancara bersama guru mata pelajaran sejarah, dimana siswa banyak yang
telat mengumpulkan tugas sekolah, tidak aktif dalam pelajaran dan masih
banyak siswa yang suka bekerjasama saat ulangan.
Berdasarkan hasil pratindakan tersebut peneliti bersama guru sejarah
selaku kolaborator menyusun sebuah tindakan dengan menerapkan model
value clarification technique yang mengajarkan siswa untuk menganalisis
suatu nilai dalam suatu materi sejarah sehingga siswa mengetahui nilai-nilai
yang baik dalam bersosial. Dalam penelitian ini akan menggunakan pula
diskusi kelompok yang menuntut siswa belajar bekerjasama, toleransi gotong-
royong dan adil dalam belajar kelompok.
9
Tindakan penelitian yang dilaksanakan mendapatkan hasil berupa
peningkatan aktivitas siswa dalam belajar, hasil belajar, dan sikap sosial
siswa dalam pengamatan siklus yang pertama. Peningkatan kegiatan
pembelajaran didasarkan pada penilaian lembar observasi siswa belajar. Nilai
kegiatan pembelajaran di kelas pada siklus I telah mencapai perolehan rata-
rata sebesar 69,01%, naik sebesar Naik 12% dibandingkan capaian prasiklus
yaitu sebesar 57,01%. hasil belajar siswa mengalami kenaikan persentase
sebesar 14,07% yang awalnya 58,82% meningkat menjadi 73,52%.
Peningkatan sikap sosial yang dihitung berdasarkan angket pada siklus I juga
mengalami kenaikan persentase sebesar 5,97% yang awalnya 57,01%
meningkat menjadi 51,04%.
Pelaksanaan tindakan siklus I menunjukkan peningkatan pada hasil
belajar dan sikap sosial siswa kelas X IPS 5 MA N 1 Surakarta. Berdasarkan
hasil capaian tersebut dan dengan ditemukannya beberapa kekurangan dalam
pelaksanaan tindakan siklus I, peneliti merencanakan pelaksanaan siklus II
berdasarkan rekomendasi dari refleksi siklus I antara lain:
1) Menyiapkan siswa untuk lebih kondusif lalu menjelaskan mengenai
pelaksanaan model pembelajaran Value Clarification Technique
(VCT), agar siswa sungguh-sungguh memahami langkah-langkah
model pembelajaran dengan baik.
2) Memperkecil kelompok agar pembelajaran menjadi lebih efektif dan
tidak membuang waktu. Selain itu mewajibkan untuk setiap siswa
memiliki catatan hasil diskusi.
3) Memotivasi siswa agar melaksanakan kerja kelompok dengan baik dan
memberikan penjelasan kepada siswa mengenai stiulus-stimulus yang
diberikan oleh guru serta mengajarkan kepada siswa bagaimana cara
menelaah nilai-nilai yang terkandung didalam peristiwa sejarah.
4) Mengubah tehnik pembagian kelompok yang pada siklus satu
dilaksanakan pada tahapan elaborasi, pada siklus II pembagian
kelompok belajar akan di laksanakan seminggu sebelum pembelajaran.

10
Berdasarkan analisis, observasi, dan refleksi dari hasil pembelajaran
siklus II yang mengimplementasikan model value clarification technique
telah berjalan dengan sangat baik dengan perolehan nilai 87,50%. Aktivitas
siswa dalam pembelajaran ini berpengaruh pada hasil belajar dan sikap sosial
siswa yang ditunjukkan dari perolehan data bahwa aspek hasil belajar dan
sikap sosial siswa telah mencapai target yang ditetapkan yaitu antara lain
hasil belajar 75% dan sikap sosial siswa 75%. Hasil ketuntasan klasikal
prestasi belajar adalah sebesar 85,29% sedangkan hasil rata-rata sikap sosial
siswa adalah sebesar 68,05% mendapat kriteria A dan 31,04 % siswa
mendapat kriteria cukup. Secara lengkap hasil penelitian dari prasiklus hingga
siklus II dapat dilihat dari tabel berikut:
Ketercapaian Rata-Rata
Kesimpulan
No Aspek Siklus Siklus
Prasiklus Akhir
I II
Aktivitas belajar Meningkat
1 57,01% 69,10% 87,50%
siswa 30,49%
Hasil Belajar Siswa Meningkat
2 58,82% 73,52% 85,29%
26,47%
Sikap Sosial Siswa Meningkat
3 57,01% 51,05% 31,04%
Kriteria B (Cukup) 25,97%
Berdasarkan hasil tersebut menunjukkan bahwa dalam pelaksanaan
pembelajaran sejarah yang mengimplementasikan model value clarification
technique, guru selalu melakukan perbaikan disetiap siklusnya.
Berdasarkan data diatas menunjukkan bahwa siswa sudah dapat
menerima pembelajaran sejarah dengan baik, siswa sudah bisa menganalisa
suatu nilai dalam materi sejarah, siswa sudah menunjukkan sikap disiplin
dengan baik, sikap kesopanan dengan baik, sudah menunjukkan sikap
bekerjasama dalam kelompok, sikap bertanggungjawab dalam mengerjakan
diskusi, sikap berani berpendapat didepan kelas, aktif bertanya dan sikap jujur
dalam mengerjakan evaluasi. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Skiner
dalam Desmita (2011:44) menyatakan bahwa “Tingkah laku dikendalikan
oleh kekuatan-kekuatan yang tidak rasional dan hasil pengaruh lingkungan.”

11
Hasil angket sikap sosial pada siklus II menunjukkan keberhasilan
dalam proses pembelajaran, proses pembelajaran yang berhasil adalah siswa
dapat memahami materi yang diterima dan dapat mempengaruhi sikap siswa
di masa depan, hal ini sesuai pendapat Suyono (2008:101) yang
mengungkapkan ada tiga pandangan teoritis yang menjelaskan sikap yaitu:
(1) Pandangan berkaitan dengan belajar, menjelaskan sikap yang dimiliki
seseorang karena proses belajar atau pengalaman, contohnya kebiasaan hidup
sehari-hari yang mencakup terbentuk, menjadi tetap, dan berubah, macam-
macam belajar terdiri atas asosiasi, penguatan, dan imitasi; (2) Pandangan
menggunakan pendekatan intensif yang menjelaskan bahwa sikap merupakan
hasil proses menimbang-nimbang baik buruk atau untung rugi yang akan
dicapai dari sikap yang diambilnya. Jadi,sikap merupakankeputusan dari
pengolahan kognitif; (3) Pandangan berdasaran pendektan kognitif yang
menyatakan sikap merupakan keseimbangan kognitif mengenai suatu objek
sikap. Sikap akan cenderung berubah bila tidak terjadi keseimbangan.
Sesuai tujuan pembelajaran Value Clarification Technique bahwa
siswa tidak hanya hafal materi, nama dan tempat. Namun, siswa juga harus
bisa memahami inti suatu materi, siswa harus dapat mengambil suatu nilai
yang tergantung di dalam suatu peristiwa sejarah sehingga siswa dapat
pemahaman tentang nilai, kejujuran, kedisiplinana, gotongroyong, santun dan
bertanggungjawab dimana nilai-nilai tersebut melekat pada orang-orang hebat
yang dapat menciptakan suatu peradaban yang sangat hebat.
Berdasarkan uraian tersebut diatas dapat disimpulkan, bahwa model
value clarification technique dapat meningkatkan hasil belajar dan sikap
sosial pada pembelajaran sejarah kelas X IPS 5 MA N 1 Surakarta Tahun
Ajaran 2016/2017.

D. SIMPULAN DAN SARAN


1. Simpulan

12
Berdasarkan hasil analisis dari pembahasan, maka dapat diperoleh
simpuln bahwa :

1. Implementasi model pembelajaran Value Clarification Technique pada


siswa kelas X IPS 5 MA N 1 Surakarta dilaksanakan dalam dua siklus,
setiap siklus terdiri atas empat tahapan, yang meliputi: (1)
perencanaan, (2) pelaksanaan tindakan, (3) observasi dan interpretasi,
serta (4) analisis dan refleksi. Selama proses pembelajaran berlangsung
kegiatan siswa mengalami peningkatan. Tahap pra siklus, keaktifan
siswa sebesar 57,1 %, pada siklus I keaktifan siswa meningkat sebesar
69,1 % dan pada akhir siklus II keaktifan siswa mengalami kenaikan
yang signifikan yaitu sebesar 87,5% . Proses pembelajaran pada tahap
pra siklus sebesar 50%, pada pelaksanaan pembelajaran siklus I
mengalami peningkatan sebesar 58% dan pada pelaksanaan
pembelajaran siklus II mengalami peningkatan yang signifikan yaitu
sebesar 68%. Dari hasil data tersebut siklus II mampu meningkatkan
hasil belajar ranah kognitif dan sikap sosial siswa. Hal ini
membuktikan interaksi siswa dan guru dalam implementasi model
pembelajaran Value Clarification Technique berhasil mengubah proses
pembelajaran menjadi lebih aktif.
2. Implementasi model pembelajaran Value Clarification Technique
dapat meningkatkan hasil belajar siswa kelas X IPS 5 MA N 1
Surakarta ditandai dengan data pada akhir siklus II mengalami
peningkatan pada hasil belajar siswa. Hasil belajar ranah kognitif 30
siswa atau sebesar 85,29% dari 34 siswa mendapatkan nilai sesuai
dengan KKM dan pada sikap sosial 68,60 % siswa mendapat nilai A
atau baik dan 31,40% siswa mendapat nilai cukup atau B sehingga 100
% siswa mendapat kriteria nilai sesuai dengan KKM. Berdasarkan
analisa data yang telah dilakukan diperoleh simpulan bahwa:
Implementasi Model Pembelajaran Value Clarification Technique

13
dapat Meningkatkan Hasil Belajar dan Sikap Sosial Siswa Kelas X IPS
5 MA N 1 Surakarta Tahun Pelajaran 2016/2017.
2. Saran
Berdasarkan simpulan diatas, maka dapat disampaikan saran-saran
sebagai bahan pertimbangan, antara lain:
1. Bagi Guru
Guru diharapkan dapat menggunakan model-model pembelajaran yang
merubah pandangan siswa mengenai materi sejarah seperti model
pembelajaran Value Clarification Technique (VCT) agar siswa dapat
memahami nilai dalam materi sejarah dan antusis dalam belajar.
2. Bagi Siswa
Siswa-siswa agar selalu memperhatikan pembelajaran yang
disampaikan oleh guru dengan antusias dan bersemangat sehingga
dapat mencapai hasil belajar yang maksimal dan dapat membanggakan
diri, keluarga dan sekolah.
3. Bagi Sekolah
Sekolah hendaknya memfasilitasi dan mengupayakan adanya pelatihan
bagi guru dalam rangka meningkatkan kualitas pembelajaran dengan
menerapkan model dan media yang inovatif seperti halnya menerapkan
model Value Clarification Technique (VCT) sebagaimana dipraktikkan
dalam penelitian ini.
E. DAFTAR PUSTAKA
Abdillah,Aam. (2012). Pengantar Ilmu Sejarah. Bandung: Pustaka Setia

AH Sanaky,Dr Hujair. (2013). Media Pembelajaran Interaktif-Inovatif.


Yogyakarta:Kaukaba Dipantara.

Ahmadi,Supriyono. (1990). Psikologi Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta

Basleman Anisah dan Mappa Syamsu. (2011). Teori Belajar Orang Dewasa.
Bandung: PT Remaja Rosdakarya Offset

Dr.Hamruni. (2011). Strategi Pembelajaran. Yogyakarta:Insan Madani.

Dr.Supardi. (2015). Penilaian Autetik. Jakarta:PT RajaGrafindo Persada

14
Husamah dan setyaningrum yanur. (2013). Desain Pembelajaran: Berbasis
Pencapaian Kompetens; Panduan Merancang Pembelajaran untuk
Mendukung Implementasi Kurikulum. Jakarta: Prestasi Pustaka.

Maria,2013.Penerapan Pronle Based Learning (PBL) Dalam Pembelajaran


Sejarah Untuk Meningkatkan Kemandirian Belajar Siswa.
Surakarta:Tesis

Purbopranoto,Kuntjoro. (1976). Hak-Hak Azasi Manusia dan Pancasila,


Jakarta: Pradnya Paramita

Rochmat,Saefur.(2009).Ilmu Sejarah.Yogyakarta: Graha Ilmu

Saifuddin Azwar. 1998. Sikap Manusia Teori dan Pengukurannya.


Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Sanjaya,Wina. (2009). Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses


Pendidikan. Jakarta: Kencana Prenadamedia Group

Siti,Rochmah dkk. (1996). Sikap Sosial.Jakarta: Departemen Pendidikan dan


Kebudayaan

Sulihawati, Siswantoro, dan Sowiyah.2014. Peningkatan Aktivitas Dan Hasil


Belajar Melalui Model Pembelajaran Kreatif Produktif.

Susanto,Heri.(2014).Seputar Pembelajaran Sejarah.Yogyakarta: Aswaja


Presindo

Suwandi,Sarwiji. (2011). Model-Model Asesmen Dalam Pembelajaran


Sejarah. Surakarta: Yuma Pustaka

Suyono dan Hariyanto. (2016). Belajar dan Pembelajaran. Bandung: PT


Remaja Rosdakarya Offset

Suyono,Hadi. (2008). Pengantar Psikologi Sosial 1. Yogyakarta: DN H Pro


Media Yogyakarta.

Wiriatmadja, Rochiati. (2002). Pendidikan Sejarah di Indonesia: Perspektif


Lokal, Nasional, dan Global. Bandung: Historia Utama Press

15

You might also like