Professional Documents
Culture Documents
Eas - Isu Isu Kebijakan - Teddy Sukoco 1111800048
Eas - Isu Isu Kebijakan - Teddy Sukoco 1111800048
Eas - Isu Isu Kebijakan - Teddy Sukoco 1111800048
Abstract
Coronavirus Disease (Covid-19). In 2020, a new type of coronavirus (SARS-CoV-2) was spread,
called a disease called Coronavirus disease 2019 (COVID-19). This virus was discovered in
Wuhan, China for the first time and has infected 90,308 people as of March 2, 2020. The number
of deaths reached 3,087 people or 6%, the number of patients recovering 45,726 people. This
type of single positive RNA strain infects the human respiratory tract and is sensitive to heat and
can effectively be activated by chlorine-containing disinfectants. The source of the host is
thought to come from animals, especially bats, and other vectors such as bamboo rats, camels
and ferrets. Common symptoms include fever, cough and difficulty breathing. Clinical syndrome
is divided into uncomplicated, mild pneumonia and severe pneumonia.
Specimen examination is taken from the throat swab (nasopharynx and oropharynx) and lower
airway (sputum, bronchial rinse, endotracheal aspirate). The covid 19 pandemic is the spread of
the 2019 corona virus worlwide for all countries. This is caused bya new type of coronavirus,
named SARS-CoV-2. The Covid 19 outbreak wast first detected in wuhan City, Hubei Province,
China on December 1, 2019, and was declared a pandemic by the World Health Organization
(WHO) on March 11, 2020. As of November 14, 2020, more than 53,281,350 cases It has been
reported that more than 2019 society, countries and regions around the world, resulted in more
than 1,301,021 people died and more than 34,394,214 people recovered. Because of this
pandemic the government intervened to provide policies in deadling with the Covid 19
pandemic. About vaccinating government policiesin dealing with the covid pandemic 19 and last
Good Governance.
This study aims to examine strategies for handling the spread of COVID-19 through the PPKM
policy and the impact of the Covid-19 pandemic on health, economy, social, security and
politics. This study is expected to provide an ideal strategic model design in handling the spread
of COVID-19 in order to prevent security and public disturbances during the COVID-19
pandemic. The research approach uses a quantitative and qualitative approach (mixed methods)
by collecting in-depth interview data and Focus Group Discussions (FGD) as well as collecting
documents related to research problems. Key informants for the research are the Covid-19 Task
Force Team and Polri personnel who are directly involved in the implementation of the PPKM as
well as the community that inhibits COVID-19. The results of research conducted on 3 (three)
Regional Police (Polda) in Indonesia show that socio-culturally the PPKM policy implemented
by the government in handling and overcoming the Covid-19 pandemic has not lived up to
expectations. The maximum impact has implications for the disruption of health services in
general (health aspects), soaring living burdens and community frustration (social aspects),
closures in the activity sector that have an impact on increasing economic aspects, an increase in
crime escalation of ± 5 -10%, especially conventional crimes ( social assistance fraud, and hoax
news) as well as low political support from law-making institutions related to the handling of
Covid-19.
1
Keywords : Vaccinating, Good Governance, Covid-19, Government, Society, PPKM
I. Pendahuluan
Awalnya, Covid-19 merupakan isu kesehatan di Wuhan, China. Kemudian ia
berkembang menjadi isu sosial, ekonomi dan politik. Wabah covid19 lalu menjadi isu global
karena menerpa lebih dari 204 negara. Setiap negara mempunyai tingkat keterpaparan wabah ini
yang berbeda-beda, sehingga melahirkan cara dalam merespon dan menangani wabah covid19
ini dengan cara yang berbeda pula.
Di sejumlah negara, pendekatan yang digunakan dalam merespon dan menangani wabah
covid-19 adalah dengan melakukan lockdown. Aksi ini dilakukan dengan mengunci interaksi
sosial warga secara ketat dan diharapkan dapat menghambat penyebaran dan penularan covid-19
di dalam wilayah yang dilakukan lockdown sendiri dan ke wilayah-wilayah lainnya. Lockdown
merupakan pendekatan state driven social distancing yang dinilai sangat efektif di sejumlah
negara, termasuk di Kota Wuhan, China. Negara seperti Amerika, Perancis, Italia, dan sejumlah
negara lain juga memilih pendekatan ini.
Untuk Indonesia, pemerintah telah membuat kebijakan social distancing yang diberi
nama PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar). PSBB ini dibuat berbasis pada PP No. 21/2020
yang ditandatangani oleh Presiden Joko Widodo pada tanggal 31 Maret 2020. PSBB adalah
pendekatan yang ada dalam UU No. 6/2018 tentang Karantina Kesehatan. Secara teknis, PSBB
ini diatur dalam Permenkes No. 9/2020 dan Permenhub No. 18/2020.
Dalam penerapannya, setiap daerah bisa membuat peraturan Gubernur yang mengatur
pelaksanaan teknis di tingkat daerah. Pemerintah Propinsi (Pemprop) DKI Jakarta sebagai contoh
setelah mendapatkan persetujuan dari pemerintah pusat, mengeluarkan Pergub No. 33/2020
tentang PSBB dalam Penanganan covid-19 di Propinsi DKI Jakarta. Hal serupa juga dilakukan
oleh Pemprop Jawa Barat dengan mengeluarkan Pergub No. 27/2020 tentang Pedoman PSBB
dalam Penanganan covid-19 di lima kabupaten/kota dalam Provinsi Jawa Barat.
Seperti yang kita ketahu bersama, setelah proses panjang dalam menentukan pilihan
kebijakan dalam penanganan covid-19 sejak awal bulan Maret 2020, 1 (satu) bulan kemudian
pemerintah mengeluarkan kebijakan PSBB. Meskipun terkesan agak terlambat, kebijakan ini
menjadi payung hukum yang mengikat semua orang yang berada didalam wilayah penerapan
2
PSBB. Namun demikian, PSBB cenderung lebih longgar dibandingkan dengan pendekatan
lockdown yang dilakukan oleh sejumlah negara. Kelonggaran ini mempunyai konsekuensi pada
tanggung jawab pemerintah yang lebih ringan terhadap dukungan anggaran dalam penanganan
covid-19.
Virus Corona atau severe acute respiratory syndrome coronavirus 2 (SARSCoV2) adalah
virus yang menyerang sistem pernapasan. Penyakit karena infeksi virus ini disebut COVID-19.
Virus Corona bisa menyebabkan gangguan ringan pada sistem pernapasan, infeksi paru-paru
yang berat, hingga kematian. Severe acute respiratory syndrome coronavirus 2 (SARS-CoV-2)
yang lebih dikenal dengan nama virus Corona adalah jenis baru dari coronavirus yang menular
ke manusia. Virus ini bisa menyerang siapa saja, seperti lansia (golongan usia lanjut), orang
dewasa, anak-anak, dan bayi, termasuk ibu hamil dan ibu menyusui. Infeksi virus Corona disebut
COVID-19 (Corona Virus Disease 2019) dan pertama kali ditemukan di kota Wuhan, China pada
akhir Desember 2019. Virus ini menular dengan sangat cepat dan telah menyebar ke hampir
semua negara, termasuk Indonesia, hanya dalam waktu beberapa bulan.
Salah satu tindakan awal yang dilakukan oleh Presiden Joko Widodo saat itu adalah
dengan memerintahkan kedutaan Indonesia di China untuk memberi perhatian khusus terhadap
WNI yang terisolasi di Wuhan. Selain di tingkat pusat langkah siaga juga dilakukan oleh
3
pemerintah daerah dengan menyiagakan 100 rumah sakit. Kesiagaan juga dilakukan di 135
bandara dan pelabuhan internasional dengan memasang alat pendeteksi suhu tubuh. Presiden RI
menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti UU No 1 Tahun 2020 (PERPPU 01/2020) tentang
Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan Untuk Penanganan Pandemi
Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) dan/atau dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang
Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan.
Total anggaran untuk ini adalah sebesar Rp 405,1 triliun pada tanggal 31 Maret 2020.
Pada 3 April 2020, Presiden menerbitkan Peraturan Presiden (Perpres) No. 54 Tahun 2020
tentang Perubahan Postur Rincian dan APBN Tahun 2020. Perpres ini merupakan tindak lanjut
dari PerppuNo. 1 Tahun 2020. Anggaran dari beberapa kementerian dipotong sebesar Rp 97,42
triliun. Namun, beberapa Kementerian mengalami peningkatan anggaran, seperti Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan sebesar dari Rp 36 triliun menjadi Rp 70 triliun, dan Kementerian
Kesehatan dari Rp 57 triliun menjadi 76 triliun.
4
1.1. Rumusan Masalah
1.2. Tujuan
II. Metode
5
III. Kajian Pustaka
Teori Konsep Keadilan mengenai persoalan ini bahwa, secara historis konteks terhadap
keadilan telah dilakukan sejak masa Yunani Kuno. Konsep keadilan pada masa itu berasal dari
pemikiran tentang sikap atau perilaku manusia terhadap sesamanya dan terhadap alam
lingkungannya, artinya manusia harus memanusiakan dan berbuat adil terhadap terhadap
sesamanya begitu juga manusia dengan alam sekitarnya. Kalau dikaji dalam konteks kenegaraan,
negara sebagai organisasi kekuasaan memiliki peran fundamental dalam pemenuhan kebutuhan,
terutama kebutuhan pokok untuk menghadapi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19).
Penulis berpendapat Konsep dasar dalam situasi negara ini harus hadir dalam
memberikan berbagai bantuan yang dibutuhkan oleh seluruh lapisan masyarakat tanpa terkecuali,
mengingat dampak yang ditimbulkan oleh keganasan virus ini massif dan memberikan efek
pelumpuhan pada jalannya roda perekonomian hampir diseluruh sektor. Hal ini pun sependapat
oleh Aristoteles sebagai seorang filsuf beraliran mazhab klasik, dimana ia menekankan teorinya
pada perimbangan atau proporsi. Menurutnya di dalam negara segala sesuatunya harus diarahkan
pada cita-cita yang mulia yaitu kebaikan dan kebaikan itu harus terlihat lewat keadilan dan
kebenaran. Penekanan perimbangan atau proporsi pada teori keadilan Aristoteles, dapat dilihat
dari apa yang dilakukannya bahwa kesamaan hak itu haruslah sama diantara manusia yang sama.
(Aristoteles)
Subtansi pada Good governance pada dasarnya adalah suatu konsep yang mengacu
kepada proses pencapaian keputusan dan pelaksanaannya yang dapat dipertanggungjawabkan
secara bersama. Sebagai suatu consensus yang dicapai oleh pemerintah, warga negara dan sektor
swasta bagi penyelenggaraan pemerintahan dalam suatu Negara (Hardjasoemantri, 2003).
Penyimpangan tersebut akan disertai dengan tindakan tegas aparat penegak hukum yang
mengakibatkan kekhawatiran para pengelola pengadaan barang dan jasa untuk berperan dalam
proses pengadaan. Hal ini juga yang akhirnya menyeret para pemegang kekuasaan pemerintah
termasuk di dalamnya para menteri, kepala daerah serta pejabat pengadaan menjadi terdakwa
dan juga menjadi pesakitan masuk ke dalam penjara. Kekhawatiran ini menjadi salah satu faktor
6
yang memperlambat proses pengambilan keputusan dalam pelaksanaan barang dan jasa.
Sehingga proses pengadaan barang dan jasa dianggap memakan waktu yang cukup lama.
Akibatnya penyerapan anggaran menjadi rendah.
Good Governance dipandang sebagai paradigma baru dan menjadi ciri yang perlu ada
dalam sistem administrasi publik. Secara umum, Governance diartikan sebagai kualitas
hubungan antara pemerintah dan masyarakat yang dilayani dan dilindunginya, Governance
mencakup 3 (tiga) domain yaitu state (negara/pemerintahan), private sectors (sektor
swasta/dunia usaha), dan society (masyarakat). Oleh sebab itu, Good Governance sektor publik
diartikan sebagai suatu proses tata kelola pemerintahan yang baik, dengan melibatkan
stakeholders, terhadap berbagai kegiatan perekonomian, social politik dan pemanfaatan beragam
sumber daya seperti sumber daya alam, keuangan, dan manusia bagi kepentingan rakyat yang
dilaksanakan dengan menganut asas: keadilan, pemerataan, persamaan, efisiensi, transparansi
dan akuntabilitas (World Conference on Governance, UNDP, 1999).
Sebelumnya, penyakit ini disebut ‘2019 novel coronavirus’ atau ‘2019- nCoV.’ Virus
COVID-19 adalah virus baru yang terkait dengan keluarga virus yang sama dengan Severe
Acute Respiratory Syndrome (SARS) dan beberapa jenis virus flu biasa (UNICEF, 2020).
Menurut Sun et al., 2020, COVID-19 adalah penyakit coronavirus zoonosis ketiga yang
diketahui setelah SARS dan sindrom pernapasan Timur Tengah (MERS).
Sejauh ini studi tentang dampak COVID-19 antara lain misalnya dampak COVID-19
pada pekerjaan dan pendidikan (Gudi & Tiwari, 2020), resiko dan ketidakpastian COVID-19
(Brown, 2020), trauma psikologis (Abdullah, 2020), gangguan mental masyarakat (Utami,
2020), serta penderita COVID-19 dikucilkan oleh warga (Sigit, 2020). Adapun studi tentang
kebijakan COVID-19 antara lain tulisan tentang kebijakan pemerintah dalam penanganan
7
pandemi COVID-19 (Tuwu, 2020), kebijakan pemberlakuan lockdown sebagai antisipasi
penyebaran COVID-19 (Yunus, N.R, 2020), serta respon pemerintah dalam penanganan
COVID-19 (Djalante et al., 2020).
Hal yang penting dan perlu di garis bawahi dalam penulisan artikel dari judul ini adalah,
Pertama, narasi negatif dan lambannya respon pemerintah atas penyebaran wabah korona
COVID-19. Narasi-narasi yang disampaikan oleh elite politik sebelum COVID-19 masuk ke
Indonesia menunjukkan nihilnya perasaan adanya krisis yang mengancam sehingga
memperlambat pengambilan keputusan. Kedua, lemahnya koordinasi antar-stakeholder
(pemangku kebijakan), khususnya antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah.
Ketidaksinkronan koordinasi ini mengakibatkan pengendalian virus korona menjadi
Menggantung, kurang jelas kepastiannya. Ketiga, ketidakacuhan atau ketidakpatuhan warga atas
himbauan pemerintah.
Kepedulian masyarakat terus tumbuh seiring dengan banyaknya kasus positif dan
kematian akibat COVID-19 meningkat dalam waktu yang relatif singkat. Kemampuan masing-
masing negara beradaptasi dengan keadaan yang ada melalui pelaksanaan yang efektif dan
antisipatif sangat bervariasi. Kebijakan merupakan landasan awal yang harus dilakukan agar
8
mampu mengatasi masalah tersebut dengan sukses. Pengambilan keputusan atas kebijakan
antisipatif terkait dengan upaya pencegahan penyebaran COVID-19, pengelolaan pasien yang
terinfeksi, perlindungan tenaga kesehatan, dan pengendalian perhatian publik harus
dipertimbangkan secara matang.
Untuk mengatasi COVID-19, terdapat perbedaan dari segi jumlah dan waktu pelaksanaan
kebijakan yang menunjukkan kebijakan yang diambil oleh pemerintah di kedua negara sejak
Januari hingga Maret 2020. Kebijakan-kebijakan yang dibandingkan pada tabel berikut ini
adalah kebijakan nasional yang telah ditentukan oleh pemerintah pusat dan kementerian
kesehatan nasional pada kedua negara. Kebijakan yang dibahas meliputi kebijakan kesehatan,
kebijakan lintas batas, mobilitas kebijakan, pelaksanaan karantina, dan kebijakan nasional
lainnya dalam menangani COVID-19 pandemi.
Untuk itu perlu dilakukan tinjauan pustaka lebih lanjut dalam jangka waktu yang lebih
lama mengingat kondisi dan situasi pandemi COVID-19 yang terus berubah. Perbandingan
implementasi kebijakan dalam penanganan pandemi COVID-19 juga bisa diperbandingkan
dilakukan di beberapa negara lain dengan latar belakang yang sama. Dengan mengetahui
perbedaan pelaksanaan kebijakan di negara tertentu, negara lain akan dapat memperoleh manfaat
wawasan dalam mengatasi pandemi COVID-19 atau kondisi serupa lainnya yang mungkin
terjadi di masa depan.
9
10
V. Pembahasan
Berdasarkan data Gugus Tugas Nasional Covid-19 per tanggal 9 Juli 2020, sudah 216
negara mengonfirmasi kasus positif Corona Virus Disease 2019 (selanjutnya disebut Covid-19).
Penyebaran Covid-19 ini luar biasa cepat dan belum ada yang mampu memprediksi kapan
berakhirnya penyebaran virus ini. Dampak wabah dari Covid-19 cukup tinggi, sampai saat ini
jumlah pasien positif Covid-19 adalah 12.166.688 orang dengan korban jiwa sebesar 552.046
orang di seluruh dunia. Semua negara kewalahan mengatasi wabah Covid-19, tidak terkecuali
negara adidaya Amerika Serikat dan China.
Di Indonesia sendiri, sampai dengan hari Rabu tanggal 8 Juli 2020, jumlah pasien yang
positif Covid-19 sebanyak 68.079 orang dengan jumlah kematian 3.359 orang dan yang berhasil
sembuh adalah 31.585 orang. Berdasarkan data pasien positif Covid-19 dan angka kematian,
maka Indonesia menempati posisi fatality rate tertinggi di antara 216 negara lain yang juga
sedang memerangi Covid-19. Korban bukan hanya masyarakat, tetapi juga petugas kesehatan
(dokter dan perawat), dan Polri.
11
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 Tentang Kekarantinaan Kesehatan (UU Kekarantinaan
Kesehatan).
Berdasarkan data Survei Angkatan Kerja Nasional Badan Pusat Statistik 2019, jumlah
masyarakat yang berstatus pekerja formal sebanyak 55.272.968 orang dan masyarakat yang
berstatus pekerja informal sejumlah 74.093.224 orang. Data ini menunjukkan bahwa lebih
banyak masyarakat yang bekerja di sektor informal, dan inilah yang membuat mengapa masih
banyak masyarakat tidak mematuhi protokol kesehatan, seperti menjalankan instruksi physical
distancing dalam beaktifitas diluar, karena untuk mempertahankan ekonomi keluarganya.
Hingga akhir Maret 2020, kasus positif Covid-19 di Indonesia terus meningkat. Pada
tanggal 27 Maret 2020, Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 melaporkan jumlah
pasien positif Covid-19 mencapai 1.406 orang. Keberadaan adanya diberlakukan karantina
wilayah secara selektif sebagai opsi penanganan Covid-19. Dampak kerentanan sosial dapat
membuat kepanikan masyarakat melakukan tindakan yang kurang patut, yaitu tindakan apatis,
tindakan irasional, bahkan sampai tindakan kriminal. Hal ini bisa kita lihat pada fenomena
masyarakat yang terjadi saat ini. Sehingga apa yang terjadi di masyarakat merupakan Akumulasi
dari kerentanan sosial yang kini sedang dihadapi oleh masyarakat. Bila fenomena ini terus
terabaikan akan menimbulkan krisis lanjutan yaitu kondisi keamanan akan terganggu.
Krisis keamanan yang tidak terkendali dapat bereskalasi menjadi sebuah “krisis politik.”
Mengingat sejarah kekerasan di Indonesia tidak lepas dari peran elite politik dengan latar
belakang partai atau Organisasi Kemasyarakatan (Ormas) sebagai aktor pemicu dan dalang
dibalik konflik politik yang patut untuk dicermati dengan seksama. Bila isu ketidakpuasan publik
atas kebijakan pemerintah dalam menanggulangi pandemi Covid-19 tidak diakomodir akan
berpotensi menjadi isu yang paling rawan dipolitisasi, seperti penyaluran bantuan baik sembako
maupun alat Kesehatan, APD, dan masker masih dikaitkan dengan kampanye untuk mencari
simpati masyarakat. Selain itu, sentimen kesenjangan ekonomi dan kemiskinan yang makin
bertambah parah di tengah lingkungan pandemik juga kemungkinan besar akan berkembang
lebih lanjut jika pemerintah gagal menyalurkan stimulus ekonomi dengan baik.
12
Saat pandemi Covid-19 ini bereskalasi menjadi krisis keamanan serta politik merupakan
tugas bersama pemerintah dan masyarakat. Hal yang patut digarisbawahi agar pemerintah harus
menerapkan kebijakan yang proporsional dalam menangani keluhan dan kritik dari masyarakat.
Pendekatan persuasif dan legal-berkeadilan mesti lebih diutamakan daripada tindakan koersif.
Tidak adil karenanya dibutuhkan kecerdasan dan kearifan berpikir bagi Polri untuk dapat
mengelola pandemi Covid-19 ini terkendali dan strategi atau kebijakan keamanan seperti apa
yang harus di lakukan agar pandemi Covid-19 ini agar dapat meredam isu konflik politik.
Virus corona sebagai salah satu penyakit berbahaya nan mematikan ini telah menelan
banyak korban, berdampak buruk, serta berpengaruh besar terhadap kehidupan masyarakat
Indonesia. Tercatat sejak 2 Maret sampai dengan 28 Desember 2020, jumlah positif COVID-19
mencapai 719.219, pasien sembuh 589.978 dan pasien meninggal dunia sebanyak 21.452 orang.
Dampak virus corona sangat besar dalam masyarakat, tidak hanya menyasar bidang kesehatan,
tetapi juga bidang ekonomi, sosial, gaya hidup, budaya, pendidikan, psikologi, politik, agama,
dan bidang kehidupan lainnya.
13
5.2 Dampak Yang Ditimbulkan Pandemi Covid-19 Dalam Ranah Sosial Masyarakat dan
Pemerintahan.
Menurut Lapor COVID-19, sebuah wadah laporan warga, tercata setidaknya 682 pasien
COVID-19 meninggal dunia saat menjalani isolasi mandiri. Peristiwa meninggalnya pasien di
luar fasilitas kesehatan ini telah terdeteksi di 16 provinsi di Indonesia, dengan kasus tertinggi di
Jawa Barat sebanyak 248, kemudian 114 kasus di Jawa Tengah, dan 107 kasus di Yogyakarta.
Kekacauan ini semakin diperparah dengan banyaknya tindakan-tindakan arogansi yang
dilakukan oleh aparat selama pemberlakuan PPKM Darurat. Banyak pedagang yang menjadi
korban dari tindakan penertiban ini mulai dari merampas barang dagangan, menyiram dengan
air, hingga aksi pemukulan.
Hingga akhir Maret 2020, kasus positif Covid-19 di Indonesia terus meningkat. Pada
tanggal 27 Maret 2020, Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 melaporkan jumlah
pasien positif Covid-19 mencapai 1.406 orang. Keberadaan adanya diberlakukan karantina
wilayah secara selektif sebagai opsi penanganan Covid-19. Pertimbangan utamanya adalah
layanan kesehatan akan lumpuh jika arus wabah meledak secara luas di Indonesia.
Di tengah pandemi COVID-19 saat ini nampaknya berimbas pada semua sektor terutama
ekonomi. Bank Dunia memproyeksikan pertumbuhan ekonomi Indonesia di tahun ini akan
14
tertekan di level 2,1 persen. Hal ini disebabkan oleh terus meluasnya persebaran Covid-19 baik
di dalam negeri maupun luar negeri. Bank Indonesia (BI) pun telah merevisi proyeksi
pertumbuhan ekonomi RI menjadi di bawah 5 persen atau hanya sekitar 2,5 persen saja yang
biasanya mampu tumbuh mencapai 5,02 persen.26 Dalam hal ini perlu diperhatikan
penangananan kesehatan masyarakat seperti penyediaan alat-alat kesehatan, treatment pasien,
riset vaksin dan obat, serta pencegahan wabah yang terus menyebar. Pemerintah telah
mengambil berbagai langkah pengamanan seperti, physical distancing, work and study from
home, pembatasan/pelarangan kegiatan publik, testing, tracing, dll. Namun hal-hal tersebut
belum mencukupi untuk mencegah terjadi krisis kesehatan dalam pandemi sekarang ini.
Di Indonesia sendiri, sampai dengan hari Rabu tanggal 8 Juli 2020, jumlah pasien yang
positif Covid-19 sebanyak 68.079 orang dengan jumlah kematian 3.359 orang dan yang berhasil
sembuh adalah 31.585 orang. Berdasarkan data pasien positif Covid-19 dan angka kematian,
maka Indonesia menempati posisi fatality rate tertinggi di antara 216 negara lain yang juga
sedang memerangi Covid-19. Korban bukan hanya masyarakat, tetapi juga petugas kesehatan
(dokter dan perawat), dan Polri.
beberapa informasi terkait baik dari sisi pemerintah maupun penyedia dapat dikatakan
bahwa proses pengadaan barang dan jasa pada instansi pemerintahan baik birokrasi maupun
sektor pelayanan publik khususnya dimasa Pandemi Covid-19 ini sebagian besar telah
menerapkan prinsip-prinsip good governance, hanya saja masih ada dua prinsip yang belum
diterapkan secara maksimal yaitu prinsip terbuka dan prinsip bersaing. Ini disebabkan masih ada
kepentingan-kepentingan pribadi dan golongan yang ikut dalam proses pengadaan barang dan
jasa. Kepentingan-kepentingan tersebut sulit untuk dihilangkan secara menyeluruh karena sudah
menjadi lingkaran setan yang sulit untuk dihentikan.
15
Dalam konteks kebijakan PPKM, faktor lingkungan eksternal berupa ekonomi, sosial,
dan politik menjadi persoalan tersendiri. Dan bahkan, dapat dikemukan bahwa faktor lingkungan
juga mejadi faktor yang turut mempengaruhi kinerja implementasi kebijakan PPKM dalam
penanganan penyebaran Covid-19. Dilihat dari aspek sosial ekonomi misalnya, sebagaimana
telah dikemukan sebelumnya bahwa sebagian besar masyarakat yang terdampak pandemi Covid-
19 adalah golongan masyarakat yang taraf sosial ekonominya ada pada tahap survival. Kondisi
ini kemudian mendorong masyarakat untuk beraktivitas di luar rumah untuk memenuhi
kebutuhan hidupnya. Dan kemudian cenderung abai terhadap protokol kesehatan yang
merupakan prasyarat utama keberhasilan implementasi kebijakan PSBB dalam penanganan
penyebaran Covid-19.
Artinya, ada perbedaan nilai antara pemerintah dengan masyarakat. Demikian, karena
masalah manfaat atau nilai apa yang akan diperoleh masyarakat dari sebuah kebijakan akan
menentukan sikap atau respon mereka terhadap kebijakan tersebut. Tentunya, masalah ini juga
akan dihadapi oleh kebijakan PPKM pada tahap implementasinya. Sebagaimana hasil penelitian,
bahwa sebagian besar masyarakat yang terdampak Covid-19 adalah masyarakat yang tarap
kehidupannya pada tahap survival. Adanya fenomena dimana masyarakat masih banyak
melakukan aktivitas di luar rumah untuk memenuhi kebutuhan hidupnya adalah implikasi dari
hal tersebut. Dengan demikian, nilai ekonomi cenderung lebih dominan mempengaruhi sikap
masyarakat ketimbang nilai kesehatan, sehingga kepatuhan masyarakat untuk menjalankan
protokol kesehatan utamanya untuk berdiam di rumah sulit diterapkan.
16
5.3 Strategi Penyelesaian Permasalahan Pandemi Covid 19 dalam Ranah Instansi
Pemerintahan ( Good Governance) dan Masyarakat.
Langkah ini diambil untuk memutus rantai penularan Covid-19 dengan perhatian utama
Pemerintah adalah Kesehatan Masyarakat. Bahwa kesehatan masyarakat dan perlindungan dari
rasa aman terhadap paparan virus Covid-19 adalah yang utama, oleh sebab itu Pemerintah dan
Tim Tenaga Medis mengendalikan penyebaran Covid-19 agar tidak terus semakin mewabah dan
mengobati bagi yang telah terpapar virus korona Covid-19.
Kinerja implementasi kebijakan dalam pemahaman ini adalah bahwa sebuah kebijakan
publik dapat terimplementasi dengan baik jika ukuran dan tujuan kebijakan tersebut realistis
secara sosio-kultural dan tujuan kebijakan tersebut layak untuk diwujudkan. Dalam konteks
kebijakan PSBB, problem mendasar yang dihadapi tim gugus tugas Covid-19 dalam
merealisasikan kebijakan PPKM dalam penanganan penyebaran Covid-19 adalah masalah
disiplin masyarakat dalam menjalankan protokol kesehatan. Boleh saja tujuan kebijakan PPKM
dalam perspektif pemerintah telah anggap realistis secara sosio-kultural, namun dari sisi
masyarakat dianggap tidak.
Ini artinya, bahwa secara sosio-kultural nilai atau tujuan kebijakan PPKM antara
pemerintah dan masyarakat tidak selaras. Hal ini, tentunya menjadi persoalan mendasar dalam
penanganan penyebaras Covid-19 di Indonesia, sehingga perlu dikembangkan model atau
pendekatan implementasi kebijakan yang baru dalam penanganan penyebaran Covid-19 ke
depan, terutama dalam masa new normal atau adaptasi kebiasaan baru (AKB).
Karakteristik agen pelaksana kebijakan dengan jenis perubahan yang diharapkan, serta
cakupan wilayah implementasi dari sebuah kebijakan publik juga turut menentukan efektivitas
implementasi kebijakan. Oleh karena itu, tujuan, luas wilayah cakupan dari kebijakan publik dan
17
jenis agen pelaksana apakah itu organisasi formal atau informal juga menjadi perhatian dalam
implementasi kebijakan publik. Gugus tugas Covid-19 sebagai organisasi yang dibentuk
pemerintah dalam penanganan Covid-19, yang terdari lintas kelembagaan pemerintah ternyata
dalam hasil penelitian menjadi salah satu faktor penyebab kurang optimalnya kinerja
implementasi kebijakan PSBB dalam penanganan penyebaran Covid-19.
Salah satu tindakan awal yang dilakukan oleh Presiden Joko Widodo saat itu adalah
dengan memerintahkan kedutaan Indonesia di China untuk memberi perhatian khusus terhadap
WNI yang terisolasi di Wuhan. Selain di tingkat pusat langkah siaga juga dilakukan oleh
pemerintah daerah dengan menyiagakan 100 rumah sakit. Kesiagaan juga dilakukan di 135
bandara dan pelabuhan internasional dengan memasang alat pendeteksi suhu tubuh. Presiden RI
menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti UU No 1 Tahun 2020 (PERPPU 01/2020) tentang
Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan Untuk Penanganan Pandemi
Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) dan/atau dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang
Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan.
Total anggaran untuk ini adalah sebesar Rp 405,1 triliun pada tanggal 31 Maret 2020.
Pada 3 April 2020, Presiden menerbitkan Peraturan Presiden (Perpres) No. 54 Tahun 2020
tentang Perubahan Postur Rincian dan APBN Tahun 2020. Perpres ini merupakan tindak lanjut
dari Perppu No. 1 Tahun 2020. Anggaran dari beberapa kementerian dipotong sebesar Rp 97,42
triliun. Namun, beberapa Kementerian mengalami peningkatan anggaran, seperti Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan sebesar dari Rp 36 triliun menjadi Rp 70 triliun; dan Kementerian
Kesehatan dari Rp 57 triliun menjadi 76 triliun.
18
Koordinasi merupakan mekanisme sekaligus syarat utama dalam implementasi kebijakan
publik. Dengan terbangunnya koordinasi yang baik, tentunya menjadi indikator bahwa
komunikasi dan aktivitas antar agen pelaksana dalam implementasi kebijakan berjalan dengan
baik. Hasil penelitian yang telah dikemukan pada point 4 (empat) di atas, menjadi fakta bahwa
masalah komunikasi dan koordinasi antar instansi yang terlibat dalam gugus tugas Covid-19,
menjadi salah satu faktor penyebab kurang optimalnya kinerja implementasi kebijakan PPKM
dalam penanganan penyebar Covid-19.
19
menjadi Rp 200 ribu. Kebijakan ini akan diberikan selama sembilan bulan. Kebijakan kartu
prakerja anggarannya dinaikkan dari Rp 10 triliun menjadi Rp 20 triliun, dengan jumlah
penerima 5,6 juta orang.
Kebijakan diutamakan untuk pekerja informal dan pelaku usaha mikro dan kecil yang
terdampak COVID-19. Nilai yang diberikan Rp 650-RP 1 juta perbulan selama empat bulan ke
depan, Pemerintah menggratiskan listrik untuk pengguna 450 VA yang jumlahnya sampai 24
juta pelanggan. Kebijakan ini berlaku selama tiga bulan ke depan terhitung sejak April-Juni
2020. Sedangkan untuk pelanggan 900 VA yang jumlahnya sekitar tujuh juta pelanggan
mendapatkan diskon 50%. 5) Pemerintah telah mencadangkan Rp 25 triliun untuk pemenuhan
kebutuhan pokok, operasi pasar, dan logistik, Pemerintah memastikan keringanan pembayaran
kredit bagi pekerja infromal tetap berlaku. Pekerja infromal yang dimaksud seperti ojek daring,
sopir taksi, pelaku UMKM, nelayan, dan lain-lain dengan penghasilan harian dan kredit dibawah
Rp 10 miliar.27 Kebijakan-kebijakan pemerintah diatas, sebagai langkah pemerintah dan juga
untuk menjamin hak-hak masyarakat seperti hak ekonomi, kesehatan, dll dalam menghadapi
pandemi COVID-19. Pemerintah juga diperlukan untuk melakukan tes massal dengan
sensitivitas mendekati 100% yakni tes Polymerase Chain Reaction (PCR).
Di samping itu, untuk mendukung pelayanan publik dalam penangan nan COVID-19
adalah Pemerintah perlu membuat pedoman yang jelas dalam menertibkan kerumunan. Berkaca
dari kasus penertiban pedagang yang diboncengi dengan tindakan koersif tidak dapat ditolerir,
sebab sesungguhnya yang ditertibkan itu adalah kerumunannya bukan pedagangnya. Jika
Pemerintah tidak dapat menjamin kepastian hidup kepada mereka, maka jangan halangi mereka
untuk tetap bertahan hidup.
20
Dan diharapkan ini dengan segala anjuran Prokes Kesehatan dari Pemerintah serta usaha
Tim tenaga medis dalam mengurangi kasus lonjakan kenaikan wabah Covid-19 ini secara
signifikan akan berkurang setiap waktunya.Berangkat dari realitas tersebut, kiranya perlu ada
desain ulang strategi penanganan dan pendekatan implementasi yang berbeda dalam penanganan
penyebaran Covid-19 ke depan, terutama pada masa era new normal atau Adaptasi Kebiasaan
Baru (AKB).
Berdasarkan hasil penelitian ditemukan fakta bahwa ada satu strategi atau model
penanganan penyebaran Covid-19 yang diprakarsai dan dikembangkan oleh Polri yang dapat
dijadikan sebagai role model yang lebih praktis dan efektif dalam penanganan penyebaran
Covid-19. Model ini dikatakan lebih strategis, karena pendekatannya bersifat bottom up dan
membumi, memposisikan masyarakat sebagai pelaku atau subjek utamanya. Model ini adalah
adaptasi dari konsep pemolisian masyarakat (community policing) yang memanfaatkan kearifan
lokal yang ada dalam lingkungan masyarakat. Sehingga dapat dikatakan model ini adalah model
pemolisian kolaboratif (collaborative policing) dalam penanganan penyebaran Covid-19. Model
ini terinspirasi dari adanya kecenderungan yang terbangun dalam lingkungan masyarakat yaitu
rasa Solidaritas sosial atau semangat gotong-royong semua elemen masyarakat di tengah
pandemi Covid-19 dalam menjaga kesehatan masyarakat, ketahanan pangan, dan menjaga
Kamtibmas.
Hal ini mendorong perlu adanya strategi atau model penanganan dan pendekatan
implementasi yang baru terutama dalam penanganan Covid-19 di era new normal atau adaptasi
kebiasaan baru (AKB) dan tawaran strategi atau model yang diajukan dalam penelitian ini adalah
model pemolisian kolaboratif yang diterjemahkan dalam wujud program Kampung Tangguh
Nusantara yang diprakarsai dan dikembangkan oleh Polri saat ini. Model ini dapat dijadikan
sebagai role mode yang lebih praktis dan efektif dalam penanganan penyebaran Covid-19, dan
dampaknya sangat efektif baik untuk kesehatan (tracking), penguatan sosial ekonomi
masyarakat, menjaga keamanan dan stabilitas politik. Karena model ini menempatkan
masyarakat sebagai subjek (pelaku) kebijakan, bukan sebagai objek. Selain itu, berakar dari
modal sosial yang ada dalam masyarakat, sangat disarankan agar program Kampung
Tangguh/Kampung Sehat di setiap Polres harus dikembangkan berdasarkan kondisi objektif
daerah masing-masing.
21
VI. Penutup
Kesimpulan
Adanya Pembatasan masyarakat menjadi peluang bagi masyarakat untuk membatasi diri
agar tidak selalu berkerumun, selalu menjaga jarak sebagai acuan Pemerintah untuk
mengkampanye kan prosedur tata cara menjaga diri serta menerapkan Prokes 5 M (Memakai
masker, menjaga jarak, mencuci tangan, mengurangi mobilitas dan menghidari kerumunan)
sebagai dasar bentuk upaya masyarakat untuk menekan angka lonjakan kasus penyebaran Covid-
19 agar semakin berkurang serta penularan wabah Covid-19 ini semakin minim dengan ditinjau
dari segi fasilitas kesehatan yang memadai, disiplin masyarakat, dan tetap patuh pada anjuran
pemerintah sebagai bentuk upaya pencegahan penularan Covid-19.
Untuk mengatur Mobilitas warga dengan protokol aman, beberapa dirjen dibawah
Kementrian Perhubungan segera mengeluarkan surat edaran yang mengatur transportasi darat,
perkereta apian, laut dan udara berlandaskan pada surat edaran No. 7 Tahun 2020 Tentang
Kriteria dan Persyaratan Perjalanan Orang dalam Masa Adaptasi Kebiasaan Baru (New Normal)
Menuju Masyarakat Produktif dan Aman Covid-19 yang dikeluarkan oleh Gugus Tugas
Percepatan Penanganan Covid-19 Tanggal 6 Juni 2020.
6.1.2 Saran
Pertama Pencegahan Virus korona ini Covid-19 diberikan edukasi sedini mungkin agar
masyarakat paham dan menerapkan pentingnya untuk mengatasi dan mencegah virus korona
Covid-19 ini sebagai bentukan dasar upaya agar wabah Covid-19 ini berkurang dan tidak
melonjak naik kembali. Kedua, Pentingnya peran masyarakat dan stake holder pemangku
kebijakan baik pemerintah maupun tim medis saling bekerjasama berupaya dalam menyelesaikan
kasus Covid-19 agar segera pulih bagi masyarakat yang terdampak Pandemi Virus korona Covid
19 ini.
22
6.2.1 Kesimpulan Dampak Yang Ditimbulkan Pandemi Covid-19 Dalam Ranah Sosial
Masyarakat dan Pemerintahan.
Melihat dampak yang ditimbulkan oleh Pandemi Covid-19 terhadap sektor masyarakat
dan sektor instansi pemerintahan terkait terutama dalam mutu kerja good governance, perlu
diketahui Pemerintah harus memberikan jaminan perlindungan sosial, ketenangan, keamanan,
kenyamanan, kesehatan, kebahagiaan, dan kesejahteraan kepada masyarakat utamanya kelompok
masyarakat kurang mampu dan miskin. Kebijakan pemerintah yang baik (common good
governance) pada akhirnya akan menjamin peningkatan imunitas tubuh dan kesejahteraan
masyarakat di tengah perjuangan melawan wabah COVID-19.
6.2.2 Saran
PPKM dapat diusulkan oleh gubernur/wali kota kepada Menteri Kesehatan dengan
pertimbangan Ketua Gugus Tugas, atau dapat diusulkan oleh Ketua Gugus Tugas kepada
Menteri Kesehatan. Saat bersamaan, masyarakat juga diminta tetap menjaga jarak aman untuk
memutus rantai penularan virus. Menjaga jarak aman antar orang (social distancing) dan
membatasi seluruh akses masuk maupun keluar dan dari suatu wilayah dinilai efektif untuk
mengendalikan persebaran Covid-19 serta Dengan regulasi yang ada, Presiden meminta kepala
daerah tidak membuat kebijakan sendiri dan tetap terkoordinasi dengan pemerintah pusat lewat
Ketua Gugus Tugas. PSBB dapat diusulkan oleh gubernur/wali kota kepada Menteri Kesehatan
dengan pertimbangan Ketua Gugus Tugas, atau dapat diusulkan oleh Ketua Gugus Tugas kepada
Menteri Kesehatan.
23
6.3.1 Kesimpulan Strategi Penyelesaian Permasalahan Pandemi Covid 19 dalam Ranah
Instansi Pemerintahan ( Good Governance) dan Masyarakat.
Pandemi covid-19 memiliki pengaruh yang signifikan pada pengadaan barang dan jasa
serta pemulihan laju Birokrasi dan efektivitas pelayanan publik di dalam masyarakat
Pengaruhnya terdapat pada segi anggaran yang berasal dari APBD maupun APBN, dimana
terjadi refocusing yang menyebabkan pelayanan dan birokrasi tidak bisa berjalan sebagaimana
mestinya terutama pada semester awal. Ini juga disebabkan oleh Instansi Pemerintahan bukan
masuk prioritas utama pada masa pendemi covid-19 ini, yang menjadi prioritas utama adalah
pada bidang kesehatan. Pelaksanaan good governance dalam proses pelayanan dan birokrasi
serta pemenuhan fasilitas kesehatan, kebutuhan pokok masyarakat di masa pandemi covid-19
pada instansi pemerintahan sudah dilaksanakan dengan cukup baik hanya saja kurang maksimal.
Ini dikarenakan masih ada kepentingan-kepentingan yang harus diakomodir dalam proses
pelayanan birokrasi dan pemenuhan fasilitas kesehatan serta kebutuhan pokok masyarakat,
sehingga tidak semua prinsip good governance yang tertuang dalam Peraturan Presiden No. 16
Tahun 2018 tentang Pemenuhan fasilitas kesehatan dan kebutuhan pokok masyarakat Pemerintah
bisa dilaksanakan dengan baik dan benar serta memberikan mutu pelayanan dan birokrasi secara
optimal dan efisien.
6.3.2 Saran
Perlunya transparansi maupun akuntabilitas dan efektivitas kinerja dalam perbaikan mutu
Good Governance sebagai acuan dasar berjalannya Good Governance dengan baik serta
memberikan pelayanan dan birokrasi yang baik dalam instansi pemerintah di masyarkat tersebut
dimasa Pandemi Covid-19 ini. Anggaran bidang kesehatan akan diprioritaskan untuk
perlindungan tenaga kesehatan terutama pembelian APD, pembelian alat-alat kesehatan seperti
test kit, reagen, ventilator, dan lain-lain. Selain itu, upgrade rumah sakit rujukan termasuk wisma
atlet, insentif dokter, perawat dan tenaga rumah sakit serta santunan kematian tenaga medis serta
penanganan permasalah kesehatan lainnya.
24
DAFTAR PUSTAKA
Abbas, Abbas, Farida Farida, and Dany Suryawan. "Implementementasi Good Governance
Pemenuhan Fasilitas Kesehatan Dan Kebutuhan Pokok Masa Pandemi Covid-19." e-
JKPP 7.2 (2021).
Hardjasoemantri, K. (2003). Good Governance Dalam Pembangunan Berkelanjutan di
Indonesia. Dalam Makalah Untuk Lokakarya Pembangunan Hukum Nasional ke VIII
Bali.
Surat Edaran Nomor 4 Tahun 2020, tentang Tata Cara Pelaksanaan Pembuktian
Kualifikasi/Klarifikasi Dan Negosiasi Pada Pemilihan Penyedia Dalam Masa Wabah
Virus Corona (COVID-19). Jakarta: LKPP.
Silalahi, Santi, Eva, Dina. (2020). Strategi Kebijakan Pemerintah Indonesia Dalam Menghadapi
Dampak Pandemi Covid-19. Sumatera Utara: Unuversitas Sumatera Utara.
Gitiyarko, V. (2020). Upaya Dan Kebijakan Pemerintah Indonesia Dalam Menangani Pandemi
Covid-19. Jakarta : Kompaspedia.
Mukhlis, Maulana & Pranoto, Rahmat. (2019). Implikasi Pengadaan Barang dan Jasa secara
Elektronik bagi Efisiensi Keuangan dan Optimalisasi Fungsi Pemerintahan. Bandar
Lampung: Universitas Lampung
Prendarningtyas, Ajeng, Ying, Lou, Jenifer & Febrina Wulan. (2013). Analisis Dan Interpretasi
Data Kualitatif. Jakarta : Universitas Negeri Jakarta.
Creswell, J. W. (2009). Research Design Pendekatan Kualitatif, Kuantitatif dan Mixed.
Pustaka Pelajar.
Djalante, R., Lassa, J., Setiamarga, D., Sudjatma, A., & Indrawan, M. (2020). Since January
2020 Elsevier has created a COVID-19 resource centre with free information in English
and Mandarin on the novel coronavirus COVID- 19 . The COVID-19 resource centre is
hosted on Elsevier Connect , the company ’ s public news and information. January, 19.
Keputusan Presiden Nomor 11 Tahun 2020 tentang Penetapan Kedaruratan Kesehatan
Masyarakat Corona Virus Disease 2019 (Covid-19).
Zahrotunnimah, Z. (2020). Langkah Taktis Pemerintah Daerah Dalam Pencegahan Penyebaran
Virus Corona Covid-19 di Indonesia.
Rogers, James M., 1988. Impact of Policy Analysis, Pittsburgh, PA: University of Pittsburgh
Press
Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor HK.01.07/Menkes/182/2020 Tentang Jejaring
Laboratorium Pemeriksaan Covid-19.
25
Markas Besar Kepolisian Republik Indosnesia. (2020). Buku Pedoman Polri Menghadapi
Covid19.
26