Download as pdf or txt
Download as pdf or txt
You are on page 1of 14

Bali Aga Dalam Perubahan Sosial Budaya................

(I Ketut Tanu, hal 41 - 54)

BALI AGA DALAM PERUBAHAN SOSIAL BUDAYA

Oleh:
I Ketut Tanu
Ketuttanua@gmail.com
Program Pasca Sarjana
Institut Hindu Dharma Negeri Denpasar

ABSTRACT
Various nicknames given to Bali such as paradise island, the island with thousand
temple, the Gods island, or the morning of the wolrd, do not seem to be excessive . However, recent
phenomena indicate that Bali has changed. The face of Bali today is no longer as beautiful as Bali
tempoe doeloe. While the sacred buildings stand with magnificent, increasingly rampant religious
rituals, as well as the intensity of religious lectures, on the other hand dim cafés, illegal prostitution,
and other criminal acts are also mushrooming. The face of Bali, once painted with religiosity, public
hospitality, and natural charm, is now beginning to reveal its dark side as time passes. Worse still, the
paradoxical phenomenon is present in the same region, namely pakraman village. In fact, pakraman
village is a container of all activities of Balinese adat, culture, and religion that are imbued by the
values ​​of Hinduism. The above phenomenon shows that today’s Balinese humans are experiencing a
sense of confusion and amidst a wave of change that is so fast and complicated. Cultural endurance
is increasingly fragile in the middle of the brunt of globalization and modernization. Bali’s cultural
identity is becoming increasingly blurred amid the global cultural clash. It can not be denied that
globalization and modernization have hegemonized and dominated the world so that no one nation
can reject it. As has been foretold that the ideology of capitalism and liberal democracy which won
the cold war will be the end of human history. Therefore, the Balinese cultural defenses currently
depend on the readiness of the Balinese in addressing globalization and modernization.

Keywords: Bali Aga, Change

ABSTRAK
Berbagai julukan yang diberikan kepada Bali seperti pulau surga (the paradise island),
pulau seribu pura (the island with thousand temple), pulau dewata (the Gods  island), atau paginya
dunia (the morning of the wolrd), tampaknya bukan sesuatu yang berlebihan. Namun demikian,
fenomena belakangan ini menunjukkan bahwa Bali telah berubah. Wajah Bali masa kini tidak lagi
secantik Bali tempoe doeloe. Sementara bangunan-bangunan suci berdiri dengan megahnya, ritual
keagamaan yang semakin marak, serta tingginya intensitas ceramah keagamaan, di sisi lain kafe
remang-remang, prostitusi ilegal, dan tindakan kriminalitas lainnya juga semakin menjamur. Wajah
Bali yang dahulu dilukis dengan religiusitas, keramah-tamahan masyarakat, dan pesona alaminya,
kini mulai menampakkan sisi gelapnya seiring berjalannya waktu. Lebih celaka lagi, fenomena
paradoks tersebut hadir dalam satu wilayah yang sama, yakni desa pakraman. Padahal, desa
pakraman merupakan wadah berlangsungnya segala aktivitas adat, budaya, dan agama masyarakat
Bali yang dijiwai oleh nilai-nilai agama Hindu. Fenomena di atas menunjukkan manusia Bali
dewasa ini sedang mengalami kegamangan dan kebingungan di tengah gelombang perubahan yang

Vidya Samhita: Jurnal Penelitian Agama, IV (1) 2018


p-ISSN: 2460-3376, e-ISSN: 2460-4445 41
Journal homepage: http://ejournal.ihdn.ac.id/index.php/vs
Bali Aga Dalam Perubahan Sosial Budaya................ (I Ketut Tanu, hal 41 - 54)

berlangsung begitu cepat dan rumit. Daya tahan kebudayaan pun makin rapuh di tengah kuatnya
terjangan globalisasi dan modernisasi. Identitas Bali secara kultural menjadi makin kabur di tengah
benturan kebudayaan global. Memang tak dapat dipungkiri bahwa globalisasi dan modernisasi
telah menghegemoni dan mendominasi dunia sehingga tidak ada satu bangsa pun yang dapat
menolaknya. Sebagaimana telah diramalkan bahwa ideologi kapitalisme dan demokrasi liberal yang
menjadi pemenang dalam perang dingin akan menjadi akhir dari sejarah manusia. Oleh karena itu,
kebertahanan budaya Bali saat ini tergantung pada kesiapan orang Bali dalam menyikapi globalisasi
dan modernisasi.

Kata Kunci: Bali Aga, Perubahan

PENDAHULUAN dengan sesamanya. Dalam masyarakat Bali Aga


Masuknya pengaruh Hindu ke Bali tidak dikenal struktur sosial berdasarkan sistem
tidak terjadi dalam kurun waktu tertentu, serta wangsa. Mereka dipandang memiliki derajat
tidak memberikan pengaruh secara merata pada sama satu lainnya atau disebut kesamen. Artinya
masyarakat Bali. Akibatnya muncul klasifikasi siapa pun yang bertempat tinggal di daerah
masyarakat berdasarkan kuat lemahnya tersebut disamakan derajatnya (kesamen).
pengaruh Hindu yang diterima. Ada kelompok Singkatnya, mereka tidak mengenal hierarki
masyarakat yang menerima pengaruh Hindu layaknya sistem wangsa. Sistem kepemimpinan
sangat signifikan, sebagian lagi sangat sedikit pada masyarakat bali aga berdasarkan senioritas
mendapat pengaruh Hindu. menurut perkawinan (Sujajya, 2007: 28) yang
Masuknya kerajaan Majapahit ke Bali dikenal dengan sistem uluapad, serta berbagai
disamping membawa pengaruh Hindu Jawa, karakteristik tertentu lainnya yang berbeda
juga menyebabkan terjadinya segementasi dengan masyarakat Hindu Bali dataran. Sistem
masyarakat di Bali menjadi dua yaitu masyarakat uluapad menempatkan hierarki kepemimpinan
Bali Aga dan Bali Majapahit (Wong Majapahit). dan struktur sosial mereka didasarkan atas
Segmentasi ini kemudian memunculkan stigma senioritas menurut catatan hari perkawinannya.
pada masyarakat Bali Aga sebagai masyarakat Mereka yang tertua berdasarkan hari perkawinan
kelas dua di Bali, bila dibandingkan dengan berposisi sebagai tugun desa atau orang yang
masyarakat Bali Dataran (Wong Majapahit). tertua di desa tersebut dengan segala hak dan
Masyarakat Bali Aga boleh dikatakan sanagt kewajiban yang meneyertainya.
sedikit mendapat pengaruh Jawa Hindu akibat Seiring perkembangan zaman dan
invasi kerajaan Majapahit ke Bali. Orang-orang derasnya transformasi sosial di Bali, masyarakat
Bali Aga pada umumnya mendiami desa-desa di Bali Aga pun mengalami perubahan. Kesamen
daerah pegunungan seperti Sembiran, Sidatapa, sebagai sebuah sistem budaya dalam
Cempaga, Tigawasa, Pedawa, di Kabupaten masyarakat Bali Aga kini mulai dipertanyakan
Buleleng dan Tenganan Pegringsingan di oleh masyarakatnya. Hal ini terindikasi dari
Kabupaten Karangasem (Bagus, 2004: 286; munculnya gerakan ngalih soroh. Mengapa
Triguna, 1986: 2; Putrawan, 2008: 20-21). sistem kesamen mulai memudar sebagai salah
Masyarakat Bali Agama memiliki sistem satu identitas masyarakat Bali Aga, serta faktor-
kepercayaan serta struktur masyarakat yang faktor apakah yang mendorong pudarnya
berbeda dengan masyarakat Bali yang berada di identitas tersebut menjadi fokus bahasan pada
daerah dataran. Masyarakat Bali Aga memiliki tulisan ini. Menurut Parson (Ritzer, 2004: 121)
sistem sosial kesamen dalam relasi personal setiap unsur kebudayaan mengalami proses

Vidya Samhita: Jurnal Penelitian Agama, IV (1) 2018


42 p-ISSN: 2460-3376, e-ISSN: 2460-4445
Journal homepage: http://ejournal.ihdn.ac.id/index.php/vs
Bali Aga Dalam Perubahan Sosial Budaya................ (I Ketut Tanu, hal 41 - 54)

perubahan, terlebih lagi dalam situasi urbanisasi bahwa masyarakat Bali Aga dapat memilah
dan pertumbuhan ekonomi yang berlangsung dan memilih sistem budaya yang tepat untuk
cepat. Perubahan unsur kebudayaan juga lingkungan mereka. Mengingat lingkungan
dapat disebabkan adanya gerakan sosial. Oleh yang diadaptasi tersebut selalu berubah maka
karenanya diperlukan adaptasi budaya. Dalam dalam upaya pengadaptasian manusia terus
adaptasi budaya, setiap individu membutuhkan mengikuti, mengamati, dan menginterpretasi
individu lain dalam rangka member respons berbagai gejala dan perubahan yang terjadi
dan menciptakan dunia sosialnya. Kebutuhan dalam lingkungnnya. Dengan demikian
akan dunia sosial, memperkuat asumsi bahwa dapat dikatakan bahwa adaptasi budaya yang
manusia tidak dapat hidup secara baik jikalau dilakukan tidak semata-mata ditentukan
mereka terasing dari lingkungan di sekitarnya oleh keinginan, kebutuhan, dan tujuan yang
berdasarkan prinsip hubungan timbal balik. bersumber pada kebudayaan sebagai sistem
Parson kemudian mengajukan teori pengetahuan, tetapi ditentukan pula oleh situasi
tentang empat sistem tindakan untuk menjaga lingkungan setempat (Utama, 2011).
eksistensi yang disebut AGIL yaitu Adaptation Arus keluar masuk orang telah
(Adaptasi), Goal Attainment (Pencapaian menyebabkan sifat-sifat Bali Aga mengalami
Tujuan), Integration (Integrasi), dan Latency perubahan tidak lagi seperti bentuk aslinya,
(Latensi atau Pemeliharaan Pola). Adaptasi walaupun perubahan itu bisa jadi bermakna
dalam hubungan ini diartikan bahwa sebuah suatu kemajuan dalam bidang kebudayaan.
sistem harus menanggulangi situasi eksternal Sejalan dengan arus komunikasi tersebut, unsur-
yang gawat. Sistem harus menyesuaikan unsur kebudayaan Bali Aga pun mengalami
diri dengan lingkungan dan menyesuaikan penyesuaian adaptasi. Dalam proses integrasi
lingkungan itu dengan kebutuhan. ke suatu tatanan global tersebut, kebudayaan
Sementara itu menurut Sanderson kemudian tidak lagi terikat pada batas-batas fisik
adaptasi adalah suatu trait sosial (sifat atau yang kaku yang disebabkan oleh ikatan ruang
perangai sosial) yang muncul sebagai akibat yang bersifat deterministik. Oleh karenanya
adanya kebutuhan, tujuan dan hasrat individu. ekspresi simbolik dari kebudayaan Bali Aga
Adaptasi erat kaitannya dengan sebuah pola tidak selalu merupakan pernyataan dari suatu
sosio-kultural, sebab bentuk-bentuk sosio- kosmologi atua nilai yang sama karena pusat
kultural baru muncul sebagai adaptasi. orientasi mulai terbentuk secara polisentrik,
Sanderson menambahkan bahwa inovasi sosio- tidka lagi terkonsentrasi pada satu titik.
kultural dilakukan secara senagaja dan sama Gejala ini menunjukkan bahwa telah terjadi
sekali tidak acak oleh karenanya maka evolusi suatu dekonstruksi dari hubungan-hubungan
sosio-kultural biasanya berlangsung sangat kekuasaan tradisional dalam suatu masyarakat.
cepat (Sanderson, 2003: 72). Makna suatu simbol akibat dari batas-
Berangkat dari pengertian adaptasi batas yang mencair tersebut sangat ditentukan
dari Parson dan Sanderson tersebut maka oleh struktur hubungan kekuasaan yang
adaptasi budaya masyarakat Bali Aga dalam berubah. Simbol dengan maknanya menjadi
tulisan ini adalah upaya sistematis yang suatu objek yang kehadirannya dihasilkan
dilakukan oleh masyarakat Bali Aga untuk oleh suatu proses negosiasi yang melibatkan
menyesuaikan system budayanya dengan sistem sejumlah kontestan dengan kepentingannya
budaya yang datang kemudian dalam rangka masing-masing. Kebudayaan yang dibentuk
mempertahankan eksistensi budayannya. Hal ini kemudian harus dilihat sebagai kebudayaan
bisa karena adanya tekanan dari luar atau bisa diferensial yang tumbuh akibat adanya interaksi
juga karena keinginan mereka untuk melakukan yang intens antarmanusia, kelompok dan
perubahan. Dengan demikian dapat dikatakan lingkungan yang terus menerus mengalami

Vidya Samhita: Jurnal Penelitian Agama, IV (1) 2018


p-ISSN: 2460-3376, e-ISSN: 2460-4445 43
Journal homepage: http://ejournal.ihdn.ac.id/index.php/vs
Bali Aga Dalam Perubahan Sosial Budaya................ (I Ketut Tanu, hal 41 - 54)

perubahan. Dengan demikian dapat dikatakan dikatakan masih sangat awam dalam bidang
bahwa pembentukan makna kebudayaan politik praktis. Hanya beberapa orang elite desa
merupakan suatu bentukan yang sarat dengan saja yang aktif dalam organisasi politik seperti
nilai yang mengakomodasikan kepentingan para Golkar. Oleh karena itu aktivitas mereka dapat
pihak yang terlibat. Kepentingan para pihak ini terkait langsung dengan kegiatan keagamaan.
dalam proses pembentukan tidak hanya menjadi Sebuah istilah yang mulai diperkenalkan yang
perdebatan, konflik dan kontestatif, tetapi juga ada pada masa sebelumnya dikenal dengan
menjadi titik penting bagi perubahan masyarakat istilah balian desa. Oleh karena itu dua
secara mendasar. Selalu akan terjadi konflik kegiatan ini dapat dilakukan secara bersamaan.
kepentingan di dalamnya, dan sulit dibayangkan Dalam arti antara kegiatan politik dan aktivitas
akan lahir sebuah kesadaran tentang perubahan keagamaan pada waktu itu dapat berjalan
yang sistematis menuju kepada suatu sistem searah. kebijakan-kebijakan politik sering
sosial yang berkembang (Abdullah, 2006). kali mendapat legitimasi agam, demikian pula
Dalam kondisi dimana batas-batas kegiatan keagaman mengalami pembaharuan-
kebudayaan mulai mengabur, peta kognitif tidak pembaharuan sesuai dnegan kebijakan politik
cukup untuk menjadi panutan tingkah laku dalam yang berkembang saat itu.
menjalani hidup sehari-hari sebagai warga suatu Paparan di atas menunjukkan bahwa apa
kebudayaan. Runtuhnya pusat-pusat orientasi yang pernah disampaikan oleh Foucoult tentang
nilai telah menyebabkan pertentangan nilai relasi kekuasaan dan pengetahuan memang
menjadi sesuatu yang jamak dan harus dilihat terbukti di lapangan. Elite-elite desa yang
sebagai potensi yang besar untuk mendorong memiliki kekuasaan sebagai pimpinan partai
perubahan tatanan sosial yang lebih baik. telah memiliki modal pengetahuan dan modal
simbolik untuk melakukan pembaharuan-
PEMBAHASAN pembaharuan dalam berbagai bidang. Dengan
2.1 Faktor Eksternal dan Faktor Internal demikian politik secara signifikan mendorong
Penyebab Pudarnya Identitas Bali Aga terjadinya perubahan.

2.1.1 Faktor Eksternal Penyebab Pudarnya b. Ekonomi


Identitas Bali Aga Selain masalah politik, masalah ekonomi
juga menjadi salah satu pendorong terjadinya
a. Politik adaptasi budaya pada masyarakat. Pembangunan
Pasca letusan Gunung Agung pada tahun dalam bidang ekonomi yang dilaksanakan
1963, serta bangkitnya militansi PKI di Bali yang secara gencar oleh pemerintah menyebabkan
dicap sebagai anti agama dan musuh kebudayaan terjadi perebutan sumber-sumber ekonomi. Ini
Bali, telah mengaksentuasi intensitas konflik mendorong masyarakat berpikir serba pasar dan
pada decade 1960-an dan menyediakan motivasi uang sehingga tukar-menukar barang (barter)
serta dalih yang ampuh bagi penghukuman yang lama berlaku tidak dipraktikkan lagi.
keras oleh PNI dan pengikutnya. Dengan Keberhasilan dalam bidang ekonomi
bantuan hangat dari militer nasional dan lokal, mendorong terjadinya mobilitas masyarakat,
telah menyulut api kekerasan politik di Bali sehingga dengan demikian mempercepat
medio tahun 1960-an (Robinson, 2006: 27). Di terjadinya interaksi antara masyarakat dengan
saat yang bersamaan muncul Orde Baru dengan masyarakat lainnya. Hal ini tentu saja, baik
Golkar sebagai mesin penggalangan massa disadari maupun tidak akan membawa
memasuki wilayah-wilayah pedesaan Bali. perubahan terhadap masyarakat. Bagaimana
Pada sekitar akhir tahun enam puluhan dan awal perubahan itu terjadi serta kearah perubahan
tahun tujuh puluhan, masyarakat bali aga boleh itu terjadi, sangat tergantung pada bagaimana

Vidya Samhita: Jurnal Penelitian Agama, IV (1) 2018


44 p-ISSN: 2460-3376, e-ISSN: 2460-4445
Journal homepage: http://ejournal.ihdn.ac.id/index.php/vs
Bali Aga Dalam Perubahan Sosial Budaya................ (I Ketut Tanu, hal 41 - 54)

mereka merespons rangsangan-rangsangan yang d. Parisada Hindu Dharma Indonesia


ada di daerah sekitarnya. Namun yang dapat (PHDI)
diamati di lapangan adalah keberhasilan dalam Kehadiran Parisada di sebagai sebuah
bidang ekonomi telah mendorong mereka untuk lembaga memang belum terlalu lama, jika
melakukan pembaharuan-pembaharuan dlaam dibandingkan dengan masa kehadiran
sarana fisik seperti rumah, tempat ibadahnya, lembaga dimaksud di Bali. namun demikian
serta fasilitas-fasilitas lainnya seperti alat jelaslah bahwa kehadirannya memberikan
transportasi, media televisi, dan alat komunikasi kontribusi demikian besar dalam menata
yang mempercepat proses interaksi mereka kehidupan beragama terutama dalam tata cara
dengan masyarakat di Bali Nagari. persembahyangan yang sesuai dengan ajaran
Mobilitas penduduk menjadi semakin agama Hindu. Kehadiran lembaga Parisada
meningkat akibat tersedianya fasilitas yang berperan penting dalam kehidupan agama
transportasi, sehingga dengan demikian Hindu di Bali dapat dipaparkan sebagai berikut.
pergaulan lintas budaya dengan masyarakat Pengetahuan tentang cara praktik agama
Bali dataran menjadi semakin intens lewat jalur yang disosialisasikan oleh Parisada merupakan
perdagangan dan pendidikan. Tentu saja hal pengetahuan baru bagi masyarakat. Walaupun
ini membawa perubahan dalam sistem sosial begitu, lambat-laun juga diterima dalam
masyarakat. masyarakat melalui proses adaptasi dalam waktu
yang relative lama. Oleh karena itu penolakan
c. Pendidikan yang semual dilakukan sebagai akibat dari rasa
Salah satu bentuk atau proses asing, akhirnya melemah dan lebur menjadi
penyadaran individu atau kelompok atas tradisi baru. Malahan tradisi ini hingga kini
keagamaan kebudayaan itu adalah melalui diwarisi oleh beberapa generasi sehingga telah
pendidikan. Mengingat pendidikan memiliki menyatu dalam struktur kognitif masyarakat
peran sebagai penerus nilai-nilai suatu bangsa Cempaga.
kepada setiap generasinya dan juga kebudayaan Dengan kata lain bahwa masyarakat
selalu meminta regenerasinya dan penerusan Bali Aga di sebenarnya mengalami deprivasi
nilai-nilai melalui proses pembelajaran. etis (Atmadja, 2001: 60) dalam bentuk konflik
Pendidikan telah mendorong terjadinya nilai yang berlaku pada masyarakat. Mengingat
proses adaptasi budaya pada masyarakat. penetrasi kebudayaan Bali Nagari yang berbasis
Meningkatnya jumlah warga yang mengenyam pada agama Hindu tidak selamanya sejalan
pendidikan menengah dan pendidikan tinggi dengan kebudayaan tradisional mereka. Hal ini
di luar desa, mendorongnya untuk beradaptasi mendorong mereka untuk melakukan adaptasi
dengan masyarakat di luar desanya. Hal ini budaya masyarakat Bali Nagari yang sampai
secara langsung maupun tidak langsung akan sekarang masih dipraktikkan dalam kehidupan
berpengaruh terhadap pola pikir mereka, atau mereka sehari-hari.
paling tidak mereka akan membawa pengaruh
budaya luar ke desanya. Dengan demikian e. Media Massa
dapat dikatakan pendidikan sebenarnya telah Media massa dalam hal ini televisi
mendorong masyarakat terdidik di untuk berperan besar dalam mempengaruhi ranah
melakukan adaptasi budaya terhadap budaya kognitif masyarakat. Melalui media televisi
dominan. Betapa besar pengaruh yang diberikan ajaran-ajaran agama Hindu kemudian
oleh factor pendidikan terhadap adaptasi ditransformasikan kepada masyarakat luas.
budaya pada masyarakat Bali Aga tentu dengan Media massa adalah media komunikasi dan
segala konsekuensi yang menyertainya. Sangat informasi yang melakukan penyebaran informasi
disadari pula bahwa proses adaptasi budaya secara missal dan dapat diakses olehmasyarakat
telah berdampak pada persoalan identitas. secara missal pula. Media massa adalah institusi

Vidya Samhita: Jurnal Penelitian Agama, IV (1) 2018


p-ISSN: 2460-3376, e-ISSN: 2460-4445 45
Journal homepage: http://ejournal.ihdn.ac.id/index.php/vs
Bali Aga Dalam Perubahan Sosial Budaya................ (I Ketut Tanu, hal 41 - 54)

yang berperan sebagai agent of change, yaitu dimaksud mungkin pelapisan profesi dalam
sebagai institusi pelopor perubahan. Ini adalah zaman Weda yakni ‘warna’, yaitu brahmana,
paradigma utama media massa. ksatria, wesya, sudra dengan tegas mulai
disebutkan dalam piagam-piagam raja Anak
Wungsu yang memerintah tahun 1049-1077
2.1.2 Faktor Internal Penyebab Pudarnya Masehi. Sistem pelapisan menurut konsep
Identitas Bali Aga warna tersebut ternyata kurang mendapat
perhatian dalam rangka tatanan sosio-religius
a. Deprivasi Relatif ‘baru’ di zaman pemerintahan raja-raja di
Deprivasi relative adalah suatu keadaan Gelgel. Bahkan konsep warna telah berubah
yang dirasakan oleh orang atau sekelompok menjadi wangsa dan akhirnya orang Bali Aga
orang yang merasa kehilangan atau tercerabut dimasukkan sebagai orang yang ditaklukkan.
dari orang lain atau kondisi mereka lebih buruk Tentu saja statusnya lebih rendah dari wong Bali
dari kondisi orang lain. Perasaan orang atau Majapahit (Munandar, 2009: 124).
perilaku yang muncul dari perasaan itu mungkin Pada titik itu dapat diketahui bahwa
menimbulkan tindakan yang mengejutkan regulasi-regulasi terhadap masyarakat Bali Aga
(Outhwaite.ed., 2008: 728-729; Atmadja, 2001: sebenarnya telah dimulai sejak zaman kerajaan
55). Beberapa kondisi deprivasi relative yang di Bali. Konsep-konsep keagamaan seperti
terjadi di dapat diidentifikasi sebagai perasaan pelapisan sosial berdasarkan profesi (catur
rendah diri karena stigma Bali Ada dan predikat warna) telah berkembang menjadi pelapisan
Bali Aga sebagai masyarakat pinggiran. sosial berdasarkan keturunan (catur wangsa).
Penuturan informan berikut ini menunjukkan Dalam artian, meskipun masyarakat
bahwa stigma dimaksud memang dirasakan. adalah bagian tak terpisahkan dalam masyarakat
Bali pada umumnya, namun secara psikologis
“Ketika saya mulai sekolah ke kota, ada mereka merasakan semacam beban karena
semacam beban psikologis yang manakala perbedaan-perbedaan yang mereka miliki
predikat sebagai orang Bali Aga melekat pada dalam sistem sosial bila dibandingkan
diri saya. Namun lambat laun mulai terasa dengan masyarakat Bali Nagari. Klasifikasi
berkurang setelah bergaul dengan sesame ini rupanya masih tetap dirasakan meskipun
pelajar lainnya”. pengklasifikasiannya telah dilakukan beberapa
abad yang lalu ketika masuknya orang-orang
Paparan di atas menunjukkan bahwa stigma Majapahit ke Bali.
sebagai masyarakat pegunungan pinggiran atau
masyarakat pegunungan rupanya menjadi beban “Sistem pelapisan sosial masyarakat Hindu
psikologis cukup berat lagi masyarakat Bali Dharma pada zaman Gelgel (abad ke 15-16)
Aga, walaupun diakui beban itu akan semakin terutama dalam pemerintahan raja Dalem
berkurang setelah terjadi adaptasi dengan Waturenggong yang didampingi purohita
lingkungan. Pengklasifikasian masyarakat Bali Danghyang NIrartha pada prinsipnya
atas dua kategori Bali-Majapahit dan Bali-Aga dikonstruksi berdasarkan hegemoni budaya
sebenarnya peninggalan zaman kerajaan dahulu. penguasa, yang menyatakan dirinya sebagai
Namun demikian, pengklasifikasian tersebut wong Bali-Majapahit yang status sosialnya
rupanya masih terasa hingga abad 21 sekarang lebih tinggi dari wong Bali-Aga sebagai orang
ini. Hal ini tentunya tidak bisa lepas dari yang ditaklukkan” (Munandar,2009: 123).
konstruksi sosial masyarakat yang dilakukan
oleh penguasa. Hal ini terutama dirasakan manakala
Sistem pelapisan sosial masyarakat Hindu mereka mulai bergaul dengan masyarakat
pada zaman kerajaan ke dalam kasta (yang Hindu Nagari (masyarakat Bali dataran).

Vidya Samhita: Jurnal Penelitian Agama, IV (1) 2018


46 p-ISSN: 2460-3376, e-ISSN: 2460-4445
Journal homepage: http://ejournal.ihdn.ac.id/index.php/vs
Bali Aga Dalam Perubahan Sosial Budaya................ (I Ketut Tanu, hal 41 - 54)

Akibatnya merasa dirinya tidak berarti di dan habtusnya (Ritzer dan Goodmamn, 2004:
tenagh-tengah arus perubahan kemodernan atau 577) memainkan modal yang dimilikinya atas
secara teori masyarakat di telah mengalami modal ekonomi, modal kultural, modal sosial,
deprivasi relative. Keadaan ini mendorong dan modal simbolik (Rey, 2007: 43) untuk
masyarakat untuk berusaha menyesuaikan diri menunjang kesuksesannya.
dengan situasi lingkungan tempat mereka sering Tumbuh pesatnya dunia pendidikan di
melakukan sosialisasi. Singaraja telah mendorong masyarakat untuk
mengirimkan putra putrinya untuk mengikuti
b. Munculnya Kaum Intelektual pendidikan di kota tersebut. terhubungnya
Keberhasilan tanaman cengkeh serta masyarakat Bali Aga dengan dunia luar melalui
pertanian lahan kering secara signifikan telah beberapa warganya yang mengikuti pendidikan
berhasil meningkatkan kesejahteraan penduduk. formal maupun non formal, maupun lewat
Hal ini juga difasilitasi oleh sarana transportasi perdagangan di kota Singaraja atau ke kota
dan komunikasi yang baik sehingga komunikasi Kecamatan Banjar telah mmebuka cakrawala
dengan dunia luar demikian yang baik sehingga pemikiran masyarakat .
komunikasi dengan dunia luar demikian Dengan kata lain pergaulan dengan dunia
intensnya. Perubahan mulai terjasi pada masa luar baik lewat perdagangan maupun pendidikan
awal pemerintahan Orde Baru. Kemajuan mulai telah menyebabkan terjadinya mobilitas sosial
terjadi pada pertanian, dimana saat itu mulai baik yang bersifat vertikal maupun horizontal,
dikenal tanaman cengkeh serta padi IR yang telah memunculkan kelas menengah baru
masa panennya sekitar 3 bulan. Pendidikan (elite) pada masyarakat Bali Aga. Di samping
mulai berkembang karena mulai didirikan adanya elite-elite tradisional yang berdasarkan
sekolah INPRES pertama di pada tahun 1982. keturunan dan lebih berorientasi kosmologis,
Anak-anak mulai banyak yang masuk sekolah di sekarang telah muncul pula elite modern
desa dan ini adalah pertanda awal perkembangan yang berorientasi pada kemakmuran yang
masyarakat . berdasarkan pada pendidikan (Niel, 2009: 12).
Fasilitas televisi dengan antenna Salah satu dampak yang muncul dari hal
parabolanya juga telah membuka cakrawala ini adalah bahwa mereka yangtelah mengalami
masyarakat , sekaligus membawa serta gaya mobilitas sosial baik yang vertikal maupun
hidup masyarakat modern. Komunikasi- horizontal lebih mudah meragukan nilai-nilai
komunikasi yang diperbaiki secara mendasar kebudayaan yang mereka miliki. Hal ini dapat
telah menyebabkan bertambahnya kesadaran memberikan dorongan bagi mereka untuk
akan kontak dengan dunia luar, dan menyajikan melakukan pembaharuan terhadap kebudayaan
kriteria-kriteria baru untuk mengukur mereka ke arah suatu kemajuan yang setara
nilai kebudayaan mereka sendiri maupun dengan situasi sosial masyarakat kota.
kebudayaan-kebudayaan tawar lainnya. Meinjam pemikiran Gramsci tentang
Dalam perkembangan masyarakat adanya intelektual tradisional dan intelektual
terindikasi (1) telah muncul kelompok organic (Barker, 2005: 469-470; Ratna, 2005:
intelektual sebagai pembaharu; (2) kaum 189) bahwa proses pembaharuan di sangat
intelektual ini didukung oleh kepemilikannya dikendalikan oleh elite-elite yang dikategorikan
atas modal ekonomi. Modal kultural, modal sebagai intelektual tradisional dan intelektual
sosial, dan modal simbolik. Di sini terbukti organik. Dengan demikian dapat dikatakan
bahwa teori yang disampaikan oleh Gramsci perubahan ataupun penyesuaian-penyesuaian
tentang peran kelompok intelektual sebagai pelaksanaan ajaran agama sebagaimana
kelompok pembaharu (Barker, 2005: 469- dipraktikkan oleh masyarakat di dengan apa
470; Ratna, 2005: 189) dan bagaimana pula yang selama ini dilakukan oleh masyarakat Bali
para intelektual dimaksud pada lingkungan Nagari (Hindu), di samping karena pengaruh

Vidya Samhita: Jurnal Penelitian Agama, IV (1) 2018


p-ISSN: 2460-3376, e-ISSN: 2460-4445 47
Journal homepage: http://ejournal.ihdn.ac.id/index.php/vs
Bali Aga Dalam Perubahan Sosial Budaya................ (I Ketut Tanu, hal 41 - 54)

yang datang dari luar, seperti siar-siar agama mereka membuat sanggah kawitan dan juga
oleh Parisada, juga di dorong oleh keinginan sanggah paibon yang digunakan sebagai
dari dalam untuk melakukan penyesuaian- tempat persembahyangan keluarga. Sekarang
penyesuaian dimaksud. masyarakat telah terpolarisasi seperti halnya
Sebagai masyarakat yang selalu bergaul masyarakat lainnya di Bali.
dengan dunia luar, tentu saja masyarakat tidak Masuknya pengaruh ajaran agama Hindu
ingin menyandang stigma sebagai masyarakat sebagai bentuk regulasi Negara di bidang
kelas dua bila dibandingkan dengan saudara- agama, khususnya tentang tempat suci berupa
saudara di Bali Nagari. Keinginan untuk dadia, mendorong munculnya gerakan ngalih
sejajar dan sederajat terutama para kaum soroh dalam masyarakat Bali Aga. Harus diakui
intelektual inilah rupanya telh mendorong bahwa pengaruh ajaran agama Hindu bukanlah
berbagai perubahan sosial dan kebudayaan, satu-satunya faktor dominan dari munculnya
bahkan termasuk dalam bidang keagamaan gerakan ngalih soroh dimaksud. Pergaulan
masyarakat di yang secara perlahan tetapi pasti dengan masyarakat Bali Nagari, kemajuan
pada gilirannya mereka menunjukkan identitas di bidang ekonomi dan pendidikan memang
keagamaan yang hampir mirip dengan umat harus tetap diperhitungkan sebagai pendorong
Hindu di Bali Nagari. munculnya gerakan ngalih soroh. Dari sinilah
Kelompok terdidik yang sebelumnya dimulainya polarisasi masyarakat ke dalam
sempat mengenyam pendidikan di kota, serta kelompok-kelompok soroh, dengan sanggah
mereka yang bergerak di sector informal yang paibon-nya masing-masing tempat mereka,
sering berhubungan dengan masyarakat kota, memuja dan memohon kerahayuan dari Hyang
sering kali merasa kecewa dan merasa rendah diri Widhi Wasa/Tuhan Yang Maha Esa dan para
karena tidak mampu menjelaskan identitasnya, leluhurnya. Sanggah Paibon adalah tempat suci
terutama ketika ditanya tentang asal-usulnya beberapa keluarga sedarah.
yang lazim disampaikan ketika pertama kali Dari sisi dapat diketahui bahwa
bertemu dengan orang yang baru dikenal seperti legitimasi agama memang sangat berarti bagi
nunasang antuk linggih. Nunasang antuk masyarakat. Dengan dmeikian dapat dikatakan
linggih adalah sebuah istilah yang digunakan bahwa munculnya gerakan ngalih soroh
untuk menanyakan identitas seseorang. Identitas pada masyarakat Bali Aga di terlegitimasi
dalam hal ini yang dimaksud adalah asal usul oleh ajaran agama Hindu khususnya adanya
keturunan atau soroh dari seseorang. Hal ini pengelompokkan masyarakat berdasarkan
menjadi peting artinya terkait dengan struktur dadia. Tersirat pula pandangan bahwa status
tata bahasa yang akan mereka gunakan dalam dan kekuasaan yang lebih besar bisa diperoleh
komunikasi selanjutnya. Agak berbau feudal lewat struktur kasta yang lebih tinggi. Dengan
memang, sehingga belakangan muncul plesetan kata lain, bahwa masyarakat tanpa kelas adalah
sebagai jawaban dari pertanyaan ini dengan masyarakat marginal, sebagimana status yang
mengatakan “tiyang negakin motor; tiyang selama ini dilekatkan pada masyarakat Bali
mejalan; tiang numpang bemo”, atau jawaban Aga sebagai masyarakat egaliter yang tidak
lain sebagai bentuk perlawanan budaya. tersegmentasi dalam tingkatan kasta. Tindaklah
Akhirnya muncullah tindakan dalam mengherankan jika muncul gerakan ngalih soroh
masyarakat untuk bertanya kepada para normal pada masyarakat Bali Aga yang telah mendapat
atau Balian Tenung yang mereka yakini melalui pendidikan modern serta status ekonomi yang
baas pipis (sebuah istilah yang digunakan untuk sudah lebih mapan. Hal ini sejalan dengan
bertanya tentang asal usul keturunan kepada pandangan yan disampaikan oleh Barth dari
dukun ramal). Dengan ditemukannya identitas hasil wawancaranya dengan orang Bali sebagai
soroh masing-masing, dan mereka merasakan kutipan berikut.
adanya perubahan yan sifatnya positif, mulailah

Vidya Samhita: Jurnal Penelitian Agama, IV (1) 2018


48 p-ISSN: 2460-3376, e-ISSN: 2460-4445
Journal homepage: http://ejournal.ihdn.ac.id/index.php/vs
Bali Aga Dalam Perubahan Sosial Budaya................ (I Ketut Tanu, hal 41 - 54)

“Balinese always want to improve their. First, dalam melihat sistem pelapisan sosial dalam
they want more money, so as to become rich. masyarakat Bali. Kalau berpijak pada pandangan
Second, they want to better theis potition Barth sebagaimana kutipan di atas, sepertinya
in their office, so they cen become chief of akan selalu terjadi mobilitas sosial vertikal
department. Third, they want to better their manakala terjadi kesuksesan masyarakat dalam
education, so they can become graduate bidang pendidikan dan ekonomi. Kesuksesan
from secondary school, Mr.,M.A.,Drs. if they ini diharapkan akan memberikan mereka
have all this, then also they want to become imbalan sosial dalam bentuk hormat sosial dari
triwangsa!”(Barth, 1993). warga masyarakat lainnya. Namun keinginan
dimaksud rupanya tidak akan pernah terwujud.
Catatan ini memberikan indikasi bahwa Kegagalan untuk mendapatkan kehormatan
orang Bali pada umumnya memiliki tekad yang sosial ini disebabkan karena landasannya
kuat untuk selalu meningkatkan kualitas dirinya, memang berbeda. Kelompok elite menengah
baik melaui prestasi kerja maupun mellaui bergerak dari landasan stratifikasi masyarakat
tingkat pendidikan yang semakin tinggi. Namun modern yang mengarah kepada kepentingan
demikian tentu ada juga persoalan yang sering sekuler, sementara kewangsaan (sistem kasta
memunculkan konflik di masyarakat adalah di Bali) berdasarkan pada stratifikasi yang
masalah wangsa atau gelar-gelar berdasarkan berlandaskan teks agama (O’Dea, 1985: 149,
keturunan. Walupun konflik semacam ini Nottingham, 1992: 126).
masih bersifat laten, tetapi tidak tertutup Dengan kata lain keberlakuan sistem
kemungkinannya akan keluar ke permukaan kasta yang terkait dengan ascribed-status yang
menjadi konflik sosial yang pada gilirannya mendasarkan diri pada ‘doktrin keagamaan’
bersifat destruktif terhadap kehidupan sosial dan telah melembaga dalam masyarakat
dan budaya Bali. Malahan beberapa catatan Hindu di Bali, tidaklah mudah menggeserkan
tentang konflik sosial yang terjadi di desa adat dengan achieved-status. Selain itu, kedua
juga tidak seluruhnya bebas dari pelapisan sosial status tersebut memiliki kriteria yang berbeda
yang bersumber dari wangsa ini (Agung, 2001). dalam memperolehnya, yakni yang satu
Agung (2001) mencatat bahwa konflik di dasar pendidikan, sedangkan yang lainnya
Bali berlatar wangsa atau kasta telah muncul berdasarkan kelahiran (Atmadja, 2001: 55).
sejak tahun 1920 an. Kondisi ini berlanjut Ini berarti bahwa status sosial, baik
terus hingga tahun 1950-an dan tahun 1960- yang diperoleh melalui pendidikan maupun
an pada saat berkembangnya kehidupan partai berdasarkan kelahiran merupakan dorongan
politik di Bali. Partai politik yang berideologi untuk membangun identitas individu dan
Nasionalis dan Sosial, seperti PNI dan PKI. kelompok dalam masyarakat. Walaupun
Perjuangan partai politik ini terutama PKI, pencarian identitas ini juga berkaitan erat dengan
meskipun dibungkus dengan ideology membela kesetaraan yang pada prinsipnya tidak sejalan
kepentingan petani kecil dari kekuasaan tuan dengan sistem sosial masyarakat. Mengingat
tanah, rupanya tidak bisa lepas dari aroma mereka secara hirarkis telah membangun dan
pertentangan kelas melalui sistem kasta menata kehidupan sosialnya berdasarkan sistem
(Dwipayana, 2001: 147; Dwipayana, 2004: ulu-apad yang menempatkan pola senioritas dan
7). Persoalan wangs juga mencuat kembali yunioritas sebagai pelapisan sosial. Demikian
sekitar tahun 203 di kantor Catatan Sipil Kota juga dengan sistem upacara keagamaan
Denpasar (Kerepun, 2004). Upaya orang Bali yang mereka praktikkan lebih merupakan
untuk meningkatkan status sosialnya melalui kebersamaan daripada stratifikasi sosial. Hal
gerakan ngalih soroh, sebenarnya tidak akan ini berbeda dengan sistem sosial berdasarkan
pernah mampu memberikan solusi terbaik peran dan fungsi sosial sesuai dengan tingkat
mengingat adanya perbedaan sudut pandang intelektual dan keahlian, bahkan berdasarkan

Vidya Samhita: Jurnal Penelitian Agama, IV (1) 2018


p-ISSN: 2460-3376, e-ISSN: 2460-4445 49
Journal homepage: http://ejournal.ihdn.ac.id/index.php/vs
Bali Aga Dalam Perubahan Sosial Budaya................ (I Ketut Tanu, hal 41 - 54)

ekonomi. Hasil pengamatan dalam masyarakat masyarakat modern. Untuk kegiatan adat
menunjukkan bahwa walaupun masyarakat telah dan agama otoritas tradisional masih cukup
terpolarisasi ke dalam kelompok soroh, namun dominan, sementara dalam hubungan dengan
mereka tetap menunjukkan rasa kebersamaan dunis luar sebagai bagian tak terpisahkan dari
dalam mempertahankan adat budaya mereka masyarakat Bali, mereka telah terbagi-bagi
sebelumnya, karena hal itu dianggap sebagai dalam sistem soroh.
warisan leluhur yang mesti dilestarikan dan
dipertahankan. Sistem uluapad yang hirarkis, 2.2 Historis Membentuk Identitas
serta sistem ritual yang telah terorganisir sesuai Kebudayaan Bali
dengan senioritas kedudukan seseorang dalam Kebudayaan Bali sekarang ini merupakan
struktur masyarakat desanya tetap dijalankan buah dari proses historis yang cukup panjang.
sebagaimana adanya. Ikatan sosial berdasarkan Pelacakan terhadap sejarah kebudayaan Bali dari
dadia dan desa, penggunaan tirtha geria, data arkeologis menunjukkan bahwa manusia
serta diterapkannya manajemen waktu dalam Bali telah mengembangkan kebudayaannya
pelaksanaan ritual menjadi indikasi bahwa di saat sejak zaman prasejarah, yakni masa meramu,
ini terjadi semacam kontestasi tiga tradisi, yakni berburu, bercocok tanam, dan puncaknya terjadi
tradisi kecil, tradisi besar, dan tradisi modern pada masa perundagian. Masa perundagian
melalui proses adaptasi dan negasi secara terus- ditandai dengan mulai munculnya sistem hidup
menerus sesuai dengan perkembnagan situasi berkelompok, serta munculnya kepercayaan
dan kondisi. dan konsep-konsep keagamaan yang sifatnya
Hal ini merupakan sesuatu yang wajar religius-magis. Keyakinan terhadap adanya
saja terjadi dalam masyarakat yang selalu hidup setelah kematian, adanya roh leluhur, dan
berkembang dan tidak statis. Perubahan- gunung sebagai alam arwah merupakan bentuk-
perubahan yang terjadi dalam masyarakat, sudah bentuk religi asli Bali di masa itu. Kepercayaan
barang tentu membawa pula perubahan dalam masyarakat primitif yang berkarakter religius-
bidang keagamaan. Bagi para pemeluknya, magis menjadi medan yang memungkinkan
agama adalah sebuah keyakinan dan sistem nilai terjadinya dialog dengan agama Hindu yang
dengan seperangkat kelembagaan yang harus datang dari India (Ardhana dalam Ayatrohaedi,
direalisasikan dalam kehidupan sehari-hari baik 1986).
secara individual maupun kelompok. Kealpaan Namun demikian, perubahan besar dalam
merealisirnya mengandung konsekuensi tertentu kebudayaan Bali boleh dikatakan terjadi setelah
yang harus dipertanggungjawabkan kelak adanya kontak antara kebudayaan lokal dengan
sesudah mereka meninggalkan dunia fana ini. agama Hindu yang sekaligus membawa Bali
Persepsi kasar tentang agama di atas mungkin ke zaman sejarah. Dalam hubungan antara
terlalu berorientasi pada agama dalam tradisi dua kebudayaan ini, tampaknya masyarakat
besar, tetapi hal ini penting disebutkan karena Bali cukup selektif dan kritis sehingga
tampaknya agama-agama dari tradisi besar memungkinkan terjadinya sebuah dialog.
itulah yang – melalui sistem keyakinan dan Proses dialogis yang terjadi melahirkan bentuk
perangkat kelembagaannya – telah menawarkan agama Hindu Bali yang unik dan khas dengan
apa yang disebut Gellner sebagai “cetak biru karakter-karakter lokal, serta membedakannya
sebuah keteraturan sosial” (a blueprint of a dengan agama Hindu di tanah kelahirannya,
social order), sesuatu yang telah dan sedang India. Kemampuan kebudayaan lokal untuk
ditantang oleh munculnya kehidupan modern beradaptasi dengan kebudayaan luar inilah
(Aziz, 2006: 99). yang kemudian dikenal dengan istilah local
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa genious. Istilah ini untuk pertama kalinya
masyarakat Bali Aga di berada dalam masa diperkenalkan oleh Quarich Wales untuk
peralihan dari masyarakat tradisional menuju menjelaskan kemampuan kebudayaan setempat

Vidya Samhita: Jurnal Penelitian Agama, IV (1) 2018


50 p-ISSN: 2460-3376, e-ISSN: 2460-4445
Journal homepage: http://ejournal.ihdn.ac.id/index.php/vs
Bali Aga Dalam Perubahan Sosial Budaya................ (I Ketut Tanu, hal 41 - 54)

dalam menghadapi pengaruh kebudayaan asing tradisi modern ditandai dengan terintegrasinya
pada waktu kedua kebudayaan itu berhubungan nilai-nilai modern dalam kebudayaan Bali,
(Magetsari, 1986:56). Uraian ini menegaskan seperti rasionalisasi dan komersialisasi budaya.
bahwa manusia Bali sesungguhnya memiliki Sejarah juga menunjukkan bahwa
karakter yang kuat ketika berhadapan dengan masyarakat Bali adalah masyarakat yang
kebudayaan asing sehingga eksistensi budaya terbuka dalam menerima kehadiran etnik lain.
lokal tetap dapat dipertahankan. Hubungan antara Bali dan masyarakat luar, baik
Dalam perkembangan selanjutnya melalui hubungan politik maupun ekonomi atau
kebudayaan Bali terus-menerus berproses perdagangan di masa lampau telah menjadikan
secara dialektis dan transformatif sehingga masyarakat Bali sebagai masyarakat multietnik.
menampilkan bentuk kebudayaan Bali seperti Ini menyebabkan masyarakat Bali saat ini bukan
sekarang ini. Hal ini sejalan dengan pendapat lagi masyarakat yang homogen, melainkan
Swellengrebel (1960) bahwa kebudayaan Bali masyarakat yang heterogen. Malahan,
dibentuk oleh unsur-unsur tradisi kecil, tradisi heterogenitas tersebut merambah hampir semua
besar, dan tradisi modern. Tradisi kecil, yaitu lini kehidupan masyarakat meliputi bidang
tradisi yang berorientasi pada kebudayaan lokal ekonomi, agama, sosial-budaya, dan sebagainya.
mempunyai ciri-ciri, antara lain sistem ekonomi Meskipun etnik Bali (beragama Hindu)
sawah dengan irigasi; kerajinan meliputi besi, merupakan kelompok etnik dominan, tetapi
perunggu, celup, dan tenun; pada pura terdapat dalam kenyataannya memberikan ruang gerak
sistem ritual dan upacara keagamaan yang sangat dan kebebasan kepada etnik lain sebagai
kompleks; tari dan tabuh dipakai dalam rangka etnik minoritas untuk mengembangkan
upacara di pura. Tradisi besar, yaitu tradisi kebudayaannya. Hal ini tampak dari rasa
yang berorientasi pada agama dan kebudayaan persaudaraan yang terjadi antaretnik yang
Hindu dalam kehidupan masyarakat Bali didasari oleh nilai-nilai kearifan lokal budaya
menampakkan ciri-ciri, antara lain kekuasaan Bali. Walaupun diberikan kebebasan dalam
yang pusat kedudukannya adalah raja sebagai mengembangkan kebudayaannya kelompok
keturunan Dewa; adanya tokoh pedanda; adanya etnik minoritas tampaknya juga menyesuaikan
upacara pembakaran mayat (ngaben) bagi diri dengan budaya dominan (Bali). Hal ini
orang yang meninggal; adanya sistem kalender tampak dalam membuat bangunan tempat suci,
Hindu-Jawa; pertunjukkan wayang kulit, dll seperti mesjid dengan mengadopsi unsur budaya
(Geria, 2000:48). Sementara itu, tradisi modern, Hindu arsitektur Bali yang tampak dari atap
yaitu tradisi yang mencakup unsur-unsur yang mesjid bertumpang satu (Stutterheim, 1927:114;
berkembang sejak zaman penjajahan, zaman Pijper, 1947:275-276). Di berbagai wilayah di
kemerdekaan, sampai dengan era globalisasi Bali etnik pendatang  menjadi anggota sekaa
sekarang ini. Ciri-cirinya, antara lain pendidikan subak, bahkan ada yang menjadi pengurus.
massal; sistem agama dirasionalisasi, Hubungan antaretnis yang menunjukkan
terkoordinasi, dan terkomunikasikan ke dalam adanya saling menghargai di antara kelompok-
maupun keluar, kerajinan bersifat produksi kelompok etnik bahkan sudah terjadi jauh
massal; adanya orientasi ke depan yang sebelumnya. Hal ini dapat dibuktikan di Pura
diintrodusir oleh berbagai departemen, dll. Batur Kintamani, Bangli. Di pura ini disamping
(Mc. Kean dalam Geria, 2000). Dari proses menjadi tempat pemujaan dari etnik Bali yang
tersebut dapat dipahami bahwa interaksi antara beragama Hindu, di lingkungan pura juga
tradisi kecil dan tradisi besar membuahkan terdapat tempat pemujaan bagi kelompok etnik
kebudayaan Bali tradisional yang bercirikan keturunan Cina. Istilah Ciwa-Budha yang
budaya ekspresif dengan dominannya nilai-nilai dikenal dalam masyarakat Bali juga menjadi
religius, estetika, dan solidaritas. Sebaliknya, bukti adanya perpaduan antara agama-agama
pertemuan kebudayaan Bali tradisional dengan yang pernah berpengaruh di Bali di masa yang

Vidya Samhita: Jurnal Penelitian Agama, IV (1) 2018


p-ISSN: 2460-3376, e-ISSN: 2460-4445 51
Journal homepage: http://ejournal.ihdn.ac.id/index.php/vs
Bali Aga Dalam Perubahan Sosial Budaya................ (I Ketut Tanu, hal 41 - 54)

lampau. disebut peningkatan adaptasi (adaptive


Kedatangan etnis lain di Bali, baik yang upgrading) atau adaptasi dengan modifikasi
tetap mempertahankan identitas kelompoknya (adaptive modification). Usaha penyesuaian
maupun yang mengadopsi kebudayaan Bali itu mengandung arti ganda, yaitu manusia
dapat beradaptasi dan berintegrasi dalam berusaha menyesuaian kehidupannya dengan
kehidupan masyarakat Bali yang mayoritas. lingkungan. Sebaliknya, manusia berusaha pula
Dengan demikian, hubungan antaretnis menyesuaian lingkungan dengan keinginan dan
menjadi bagian tak terpisahkan dari identitas tujuan mereka.
manusia Bali, baik secara individu maupun Mengingat lingkungan yang diadatasi
kolektif, yakni manusia Bali yang mempunyai manusia terus berubah, maka dalam upaya
sifat permisif dan toleran terhadap agama dan pengadaptasian itu manusia akan terus
kebudayaan lain serta mampu hidup bersama mengikuti, mengamati dan menginterpretasi
dalam keberagaman. perubahan yang terjadi di dalam lingkungan
Melihat perjalan sejarah tersebut, secara dinamis. Jika manusia menganggap
kebudayaan Bali sekarang ini merupakan cara penyesuaian yang dilakukan sebelumnya
hasil dari pertemuan antarbudaya yang terjadi kurang relefan, cara itu akan diganti dengan
secara dialogis-transformatif, yakni antara yang dianggap lebih cocok, setelah melali
kebudayaan lokal dan kebudayaan asing mekanisme pemahaman, penafsiran dan
yang datang belakangan. Dominannya nilai- sosialisasi. Secara teoritis proses itu akan
nilai religius, estetis, dan solidaritas dalam melalui tiga tahap penting, yakni penghancuran
kebudayaan Bali tradisional selama berabad- struktur (destrukturasi), pembentukan kembali
abad telah membentuk karakter manusia Bali. struktur baru (restrukturasi) dan penguatan
Nilai tersebut diekspresikan dalam pelaksanaan struktur baru (strukturasi). Bagaimana proses
ajaran agama Hindu yang didasari oleh tattwa- itu terjadi dalam lingkungan masyarakat dan
susila-acara, dalam aktivitas berkesenian, dan kebudayaan Bali.
tingginya rasa persaudaraan dalam konteks Sensitivitas orang Bali juga semakin
panyama-brayan. Ketiganya hidup subur dalam meningkat, terutama dengan banyyaknya orang
aktivitas di desa pakraman. Bali yang merasa ‘diremehkan’ dan ‘dihina’
melalui fenomena pelecehan simbol-simbol
2.3 Sosial Capital Bali agama Hindu. Atas nama agama (menurut
Salah satu tantangan terbesar yang saya tidak jelas ukuran-nya), banyak orang
dihadapi masyarakat demokrasi di era informasi Bali merasa terhina dengan direferensi agama,
adalah apakah mereka bisa terus memelihara mereka melakukan perlawanan terhadap
tatanan sosial dalam menghadapi perubahan keadaan itu. Orang Bali seolah-olah mulai
teknologi dan ekonomi. ‘demit’ terhadap kebudayaannya. Padahal dalam
Modernisasi adalah suatu proses yang tataran diakronis, orang Bali merasa bangga jika
tidak mungkin dihindari oleh setiap orang. kebudayaannya digunakan oleh orang lain, dan
Modernisasi telah memperkenalkan nilai baru sebaliknya kebudayaan Bali terbuka dengan
dalam lingkungan tradisi, oleh karena itu setiap berbagai unsur kebudayaan asing, sehingga
orang telah tersentuh pengetahuannya oleh orang Bali dinilai sebagai komunitas inklusif.
nilai-nilai baru, akan mencoba memberi makna Efek dari kerasnya tekanan faktor
baru bagi tatanan yang ada sebelumnya, tidak eksternal itu sesungguhnya dapat diminimalkan,
terkecuali hal-hal yang bersifat norma-normatif jika ikatan sosial dengan kelompok sosial (social
seperti aturan adat dan tradisi. capital) masih berjalan baik. Seberat apapun
Dalam pengalihan itu, terjadi proses krisis ekonomi yang melanda masyarakat,
perusakan dan pengintegrasian secara silih sekeras apapun persaingan penduduk asli
berganti dalam suatu mekanisme yang dengan para pendatang dalam perebutan

Vidya Samhita: Jurnal Penelitian Agama, IV (1) 2018


52 p-ISSN: 2460-3376, e-ISSN: 2460-4445
Journal homepage: http://ejournal.ihdn.ac.id/index.php/vs
Bali Aga Dalam Perubahan Sosial Budaya................ (I Ketut Tanu, hal 41 - 54)

sumber-sumber pendapatan, dan tersumbatnya ekonomi, ideologi, dan teknologi yang akan
saluran-saluran komunikasi, jika hubungan selalu berpengaruh terhadap sistem kognisi
sosial dan social capital masih berjalan baik, masyarakat. Bila sistem kognisi masyarakat
maka tindakan menyimpang tidak akan pernah telah tersentuh maka akan sellau terjadi adaptasi
terjadi. Orang Bali yang mengalami tekanan, terhadap lingkungannya. Ketiga, dengan
dapat mencurahkan berbagai persoalan yang semakin terideferensiasinya bidang pekerjaan
mereka sedang alami dengan individu-individu – yang merupakan gejala kehidupan modern –
yang memiliki hubungan dekat sehingga dengan semakin banyak pula bidnag-bidang kehidupan
cara ini minimal persoalan yang sedang mereka yang berada di luar jangkauan pengaturan
hadapi dapat dicurhatkan kepada kerabat dekat. lembaga tradisional. Hal ini menyebabkan
Sementara itu perilaku orang Bali dapat semakin pudarnya identitas masyarakat Bali Aga
pula dipahami melalui kasus bunuh diri, anomik, di sebagai masyarakat tanpa kasta (kesamen).
yang muncul dari tidak adanya pengaturan bagi
tujuan dan aspirasi individu. Artinya, bahwa
berbagai institusi yang ada pada masyarakat Bali
tidak lagi secara cepat mampu menyediakan DAFTAR PUSTAKA
solusi bagi dinamika orang Bali yang demikian
cepat, terlebih dalam situasi keterbukaan seperti Abdullah, Irwan. 2006. Konstruksi dan
sekarang. Akibatnya, banyak perilaku orang Reproduksi Kebudayaan. Yogyakarta :
Bali yang tidak mampu lagi ditampung dan atau Pustaka Pelajar.
dijastifikasi oleh norma-norma yang sesuai dan
C, Anak Agung Gde Putra. 2001. Perubahan
didukung oleh prinsip-prinsip moral umum.
Sosial dan Pertentangan Kasta di Bali
Perubahan mendadak dalam masyarakat, krisis
Utara. Yogyakarta : Yayasan Untuk
ekonomi dan longgarkan kunkungan sosial
Indonesia.
secara tiba-tiba, dan ketidakmampuan lembaga
dalam menyediakan jastifikasi kultural dan Atmadja, Nengah Bawa. 2001. Reformasi
agama terhadap dinamika yang demikian cepat, ke Arah Kemajuan yang Sempurna
merupakan faktor lainnya yang mendorong dan Holistik. Gagasan Perkumpulan
semakin cepatnya perubahan karakter orang Suryakanta tentang Bali di Masa Depan.
Bali. Surabaya : Paramita.

PENUTUP Aziz, Abdul. 2006. Esai-Esai Sosiologi Agama.


Dari paparan tersebut di atas kiranya Jakarta : Diva Pustaka.
dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut. Bagus, I Gusti Ngurah. 2004. Manusia dan
Pertama, pudarnya identitas Bali Aga Kebudayaan di Indonesia. Jakarta :
adalah konsekuensi logis dari proses adaptasi Djambatan.
budaya yang dilakukan oleh masyarakat dalam
mempertahankan eksistensinya. Proses adaptasi Barker, Chris. 2005. Cultural Studies, Teori dan
budaya terjadi bukan hanya disebabkan oleh Praktik. Yogyakarta : Bentang.
lingkungan budaya yang berubah tetapi juga
disebabkan oleh keinginan dari masyarakat Barth, Fredrik. 1993. Balinese Worlds. Chicago
Bali Aga di sendiri untuk melakukan peruabah & London. The University of Chicago
budaya secara sistematis. Press.
Kedua, proses dekonstruksi, konstruksi, Dwipayana, AAGN Ari, 2001. Kelas Kasta.
dan rekonstruksi budaya selalu terjadi Pergulatan Kelas Menengah Bali.
dlama masyarakat Bali Aga akibat mobilitas Yogyakarta : Lapera Pustaka Utama.
sosial. Faktor-faktor pendorongnya adalah

Vidya Samhita: Jurnal Penelitian Agama, IV (1) 2018


p-ISSN: 2460-3376, e-ISSN: 2460-4445 53
Journal homepage: http://ejournal.ihdn.ac.id/index.php/vs
Bali Aga Dalam Perubahan Sosial Budaya................ (I Ketut Tanu, hal 41 - 54)

---------.2004. Bangsawan dan Kuasa Utama, I Wayan Budi. 2011. Adaptasi Budaya
Kembalinya Para Ningrat di dua Kota. Masyarakat Bali Agama di Dalam
Yogyakarta : Institute for Research and Merespon Regulasi Negara di Bidang
Empowerment. Agama. Disertasi, tidak dipublikasikan.
Denpasar : Program Doktor Kajian
Munandar, Agus Aris. 2009. Sejarah Budaya Universitas Udayana Denpasar.
Kebudayaan Indonesia. Religi dan
Falsafah. Jakarta : Raja Grafindo Persada.
Niel, Robert Van. 2009. Munculnya Elite
Modern Indonesia. Jakarta : Pustaka Jaya.
Nottingham, Elizabeth K. 1992. Agama dan
Masyarakat. Jakarta : Rajawali Press.
O’Dea, Thomas F. 1985. Sosiologi Agama.
Jakarta : CV. Rajawali.
Outhwaite, William.ed. 2008. Eksiklopedi
Pemikiran Sosial Modern. Jakarta :
Kencana Prenada Media Group.
Kerepun, Made Kembar. 2004. Beruang Kusut
Nama Gelar di Bali. Denpasar : CV. Bali
Media Adhikarsa.
Ratna, Nyoman Kutha. 2005. Sastra dan
Cultural Studies. Yogyakarta : Pustaka
Pelajar.
Rey, Terry. 2007. Bourdieu on Religion Imposing
Faith and Legitimacy. London: Equinox.
Ritzer, George – Douglas J. Goodman. 2004.
Teori Sosiologi Modern. Jkaarta : Prenada
Media.
Robinson, Geoffrey. 2006. Sisis Gelap Pualu
Dewata Sejarah Kekerasan Politik.
Yogyakarta : LKIS.
Sanderson, Stephen K. 2003. Makro Sosiologi,
Sebuah Pendekatan Terhadap Realitas
Sosial, Jakarta : PT. Raja Grafindo
Persada.
Triguna, Ida Bagus GdeYudha. 1986. “Munculnya
Kelas Baru dan Dewangsanisasi.
Transformasi dan Perubahan Sosial di
Bali”. Tesis. Yogyakarta : Fakultas Pasca
Sarjana UGM.

Vidya Samhita: Jurnal Penelitian Agama, IV (1) 2018


54 p-ISSN: 2460-3376, e-ISSN: 2460-4445
Journal homepage: http://ejournal.ihdn.ac.id/index.php/vs

You might also like