Analisa Erosi Di Das Kali Lamong Menggunakan Pendekatan Arcswat

You might also like

Download as pdf or txt
Download as pdf or txt
You are on page 1of 14

Jurnal Teknologi dan Rekayasa Sumber Daya Air Vol. 1 No. 2 (2021) p.

876-889
© Jurusan Teknik Pengairan, Fakultas Teknik, Universitas Brawijaya

JTRESDA
Journal homepage: https://jtresda.ub.ac.id/

Analisa Erosi di DAS Kali Lamong


Menggunakan Pendekatan ArcSWAT
Yasmin Pebriani Sitorus Pane1*, Moh. Sholichin1, Runi
Asmaranto1
1
Jurusan Teknik Pengairan, Fakultas Teknik, Universitas Brawijaya,
Jalan MT. Haryono No. 167, Malang, 65145, INDONESIA

*Korespondensi Email: yaspebriani@gmail.com

Abstract: Flood on the downstream and sedimentation at the bottom of the


river often occured in Kali Lamong Watershed. From those problems to
reduce problems occurin in Kali LamongoWatershed, need new landuse
method (scenario) using ArcSWAT as a conservation. To get the result of
runoff, erosion, and sedimentation ArcSWAT program need 4 processes :
watershed delineation, Hydrological Response Unit (HRU), input
database, and simulation. The results showed an average runoff rate of
55.369 mm/tahun, average erosion rate of 31.578 ton/ha/tahun, and average
sedimentation rate of 67576.11 m3. The analysis result of the Erosion
Hazard Indekx by Hammer (1981), shows that the index at low level (index
, 1.0) in an area of 20239.267 ha, medium level (index 1.01-4.0) in an area
of 27999.556, high level (index 4.01 – 10.0) in an area of 24166.261 ha.
With the conservation that was adjusted to the land capacity of Kali
Lamong Watershed, the new land use could reduce runoff by 22.92%,
erosion of 22.01%, and sedimentation of 44.55%. Using new land use
shows that the Erosion Hazard Index Kali Lamong Watershed was at low
level and medium level.

Keywords: ArcSWAT, erosion, erosion hazard index, land use scenario

Abstrak: DAS Kali Lamong sering mendapat bencana seperti banjir pada
bagian hilir serta pendangkalan dasar sungai akibat laju sedimentasi. Dari
permasalahan tersebut maka untuk mengurangi permasalahan pada DAS
Kali Lamong diperlukan usaha konservasi dengan merencanakan tata guna
lahan yang baru menggunakan model ArcSWAT. Untuk mendapatkan
hasil limpasan, erosi, dan sedimentasi model ArcSWAT memerlukan 4
proses yaitu pembuatan delineasi DAS, pengolahan Hydrology Response
Unit (HRU), memasukkan database, dan melakukan simulasi. Dari analisa
menunjukkan rerata limpasan 55.369 mm/tahun, rerata erosi 31.578
ton/ha/tahun, dan rerata sedimen 67576.11 m3. Hasil analisa Indeks Bahaya
Erosi oleh Hammer (1981) diperoleh indeks dengan kriteria rendah (indeks
< 1.0) seluas 20239.267 ha, kriteria sedang (indeks 1.01-4.0) seluas

*Penulis korespendensi: yaspebriani@gmail.com


Pane, Y. P. S et al., Jurnal Teknologi dan Rekayasa Sumber Air Vol. 1 No. 2 (2021) p. 876-889

27999.556, kriteria tinggi (indeks 4.01 – 10.0) seluas 24166.261 ha. Hasil
dari skenario pembuatan tata guna lahan baru yang disesuaikan dengan
kemampuan lahan DAS Kali Lamong menunjukkan penurunan limpasan
sebesar 22.92%, erosi sebesar 22.01%, dan sedimentasi sebesar 44.55%.
Menggunakan tata guna lahan baru kriteria Indeks Bahaya Erosi DAS Kali
Lamong berada di kriteria rendah dan sedang.

Kata kunci: ArcSWAT, erosi, indeks bahaya erosi, skenario penggunaan


lahan

1. Pendahuluan
Daerah aliran sungai atau biasa disebut DAS merupakan suatu bagian yang bersatu
dengan sungai yang memiliki fungsi sebagai penampung untuk dialirkan antara wilayah
satu dengan yang lainnya dipisahkan oleh kondisi alam seperti pegunungan ataupun lembah
[1]. Beberapa DAS di Indonesia banyak yang mengalami penurunan, salah satu
penyebabnya yaitu adanya sedimentasi [2].
DAS Kali Lamong berlokasi di Jawa Timur dengan luas ± 720 km2 yang berhulu di
Kabupaten Lamongan dan Mojokerto berakhir di Kabupaten Gresik dan Kodya Surabaya.
Pada musim penghujan DAS Kali Lamong sering terjadi banjir pada bagian hilir karena
debit yang melebihi kapasitas sungai. Salah satu penyebab banjir tersebut yaitu
berkurangnya kapasitas Sungai Kali Lamong oleh karena adanya erosi yang menghasilkan
sedimen. Dalam studi ini menggunakan model SWAT (Soil Water Assessment Tool) untuk
menganalisa kondisi DAS Kali Lamong dengan bantuan ArcMap. Model ArcSWAT dapat
mengeluarkan hasil limpasan, erosi, dan sedimen sekaligus. Model ArcSWAT
menggunakan metode MUSLE yang tidak memerlukan faktor SDR (Sediment Delivery
Ratio) seperti pada metode USLE. Studi ini bertujuan mendapatkan nilai potensial laju
erosi dan sedimentasi di DAS Kali Lamong, mengetahui indeks bahaya erosi di DAS Kali
Lamong, dan mengetahui arahan penggunaan lahan yang baru yang sesuai dengan kondisi
DAS Kali Lamong.

2. Bahan dan Metode


2.1. Lokasi Studi
Lokasi daerah penelitian adalah Daerah Aliran Sungai (DAS) Kali Lamong. Gambar 1
menunjukkan peta DAS Kali Lamong. Secara administratif hulu DAS Kali Lamong
terletak di daerah Lamongan dan Mojokerto, sementara bagian hilir di Kabupaten Gresik
dan Kodya Surabaya. DAS Kali Lamong merupakan bagian dari satuan wilayah sungai
(SWS) Bengawan Solo Kali Lamong sendiri merupakan tipe sungai intermitten yaitu
mengalir deras pada musim penghujan dan kering pada musim kemarau.
Wilayah DAS Kali Lamong memiliki panjang alur sungai ±87 km. Beberapa anak
sungai yang terdapat di DAS Kali Lamong yaitu Kali Gondang, Kali Cemenlerek, Kali
Menganti, dan Kali Iker-iker. DAS Kali Lamong berbatasan dengan DAS Bengawan Solo
pada bagian barat dan DAS Brantas pada bagian timur. Berdasarkan kondisi morfologi

877
Pane, Y. P. S et al., Jurnal Teknologi dan Rekayasa Sumber Daya Air Vol. 1 No. 2 (2021) p. 876-889

DAS tersebut, maka DAS Kali Lamong memerlukan penanganan yang lebih intensif serta
tepat guna dalam pengelolaannya karena dapat berdampak pada bagian disekitarnya.

Gambar 1: Peta DAS Kali Lamong

2.2. Bahan
Dalam studi ini diperlukan beberapa data sebagai penunjang dalam penyelesaiannya.
Berikut beberapa keperluan data :
1. Data curah hujan harian tahun 2010-2019 dan letak koordinat masing-masing stasiun
hujan
2. Data Klimatologi harian pada DAS Kali Lamong tahun 2010-2019 (opsional)
3. Peta berformat Shapefile (.shp), Tiffle (.tiff), dan raster (.ras)
- Digital Elevation Model (DEM)
- Jenis tanah
- Administrasi
- Jaringan sungai (opsional)
- Rupa Bumi Indonesia (RBI)
- Kemiringan lereng (opsional)
2.3. Metode
Untuk mendapatkan hasil analisa yang kompleks maka salah satu cara yang tepat yaitu
dengan memodelkannya [3]. Untuk memulai studi ini diperlukan beberapa data yaitu data
hujan harian, data klimatologi harian, peta penggunaan lahan dan jenis tanah, serta data
debit. Analisa hidrologi dilakukan untuk data hujan dengan uji konsistensi, ketiadaan trend,
stasioner, serta uji persistensi [4,5,6]. Peta digital disiapkan dan diubah dulu formatnya
sesuai kebutuhan ArcSWAT 2012 (merubah shapefile menjadi raster). Data yang sudah
sesuai formatnya maka dapat dimulai menjalankan ArcSWAT dengan melakukan tahapan
: Automatic Watershed Delineation, HRU Analysis, Write Input Tables, Edit SWAT Input,
SWAT Simulation [7,8,9].

878
Pane, Y. P. S et al., Jurnal Teknologi dan Rekayasa Sumber Air Vol. 1 No. 2 (2021) p. 876-889

Hasil keluaran dari model ArcSWAT 2012 akan diuji keandalannya menggunakan
pendekatan Nash-Sutchliffe (NSE). Hasil model yang sudah diuji akan ditentukan Indeks
Bahaya Erosi (IBE) dan diklasifikasikan kekritisan lahannya pada kondisi eksisting.
Langkah selanjutnya yaitu pembuatan peta fungsi kawasan dan skenario pemanfaatan lahan
yang baru. Setelah didapatkan peta yang baru maka menyimpulkan hasil usaha konservasi
dengan cara melihat perbandingan antara tata guna lahan eksisting dengan skenario yang
baru.

3. Hasil dan Pembahasan


3.1. Uji Konsistensi Data Hujan
Analisa hidrologi merupakan langkah yang penting sebelum melakukan analisa
selanjutnya. Analisis pendahuluan yang digunakan yaitu uji konsistensi data curah hujan
untuk membandingkan data yang akan diuji dengan data disekitarnya. Terdapat 6 stasiun
yang diuji, metode Kurva Massa Ganda untuk stasiun Cerme, stasiun Benjeng, stasiun
Balongpanggang, dan stasiun Menganti. Sedangkan stasiun Sembung, dan stasiun Waduk
Gondang diuji menggunakan Metode RAPS karena letaknya yang berjauhan dengan
keempat stasiun lainnya. Apabila terjadi perubahan maka perlu dilakukan perbaikan
dengan mengalikan faktor koreksi. Dari uji konsistensi yang sudah dilakukan didapat curah
hujan terkoreksi seperti pada tabel 1.
Tabel 1: Curah hujan terkoreksi

Data Curah Hujan Tahunan (mm)


Tahun St. St. St. St. St. St. Waduk
Cerme Benjeng Balongpanggang Menganti Sembung Gondang
2010 2301 2202 2118 2224 1127 3049
2011 1778 1722 1755 1680 1174.5 1987
2012 1071 1036 1256 1017 1917.5 1533
2013 2267 2177 2340 2408 2494 1711
2014 1601 1615 1782 1799 2121.2 1651.3
2015 1460 1469 1458 1372 2098 2119
2016 1735 1683 1637 1667 1766 2351
2017 1747 1796 1875 1726 2412 1935.5
2018 1171 1298 1197 1115 1482 1389
2019 1479 1512 1539 1495 1936 1432.6

3.2. Uji Statistik Data Curah Hujan


Uji statistik yang digunakan pada studi ini diantaranya yaitu Uji Ketidakadaan Trend
(Metode Spearman), Uji Stasioner (Uji-F dan Uji-t), serta Uji Persistensi (Metode
Spearman). Masing-masing uji bertujuan untuk melihat valid atau tidaknya data pada
derajat kepercayaan yang dipilih. Setelah dilakukan pengujian pada 6 stasiun ini pada
derajat kepercayaan tertentu menunjukkan data valid dan dapat dipakai untuk analisa
selanjutnya. Tabel 2 menunjukkan rekapitulasi hasil uji statistik pada 6 statisun di DAS
Kali Lamong.

879
Pane, Y. P. S et al., Jurnal Teknologi dan Rekayasa Sumber Daya Air Vol. 1 No. 2 (2021) p. 876-889

Tabel 2: Rekapitulasi uji statistik data curah hujan DAS Kali Lamong

Jenis Pengujian
Stasiun Ketidakadaan Stasioner
Persistensi
Trend Uji-F Uji-t
Cerme tidak ada trend stabil stabil acak
Benjeng tidak ada trend stabil stabil acak
Balongpanggang tidak ada trend stabil stabil acak
Menganti tidak ada trend stabil stabil acak
Sembung tidak ada trend stabil stabil acak
Waduk Gondang tidak ada trend stabil stabil acak

3.3. Analisa Luas Daerah Pengaruh Metode Polygon Thiessen


DAS Kali Lamong memiliki luas ± 720 km2 dengan 6 stasiun yang tersebar
didalamnya. Pada studi ini untuk mencari luasan daerah pengaruhnya dipilih polygon
thiessen. Tabel 3 menunjukkan luasan dan koefisien dari pengaruh masing-masing stasiun
hujan. gambar 1 menunjukkan lokasi alat pengukur hujan yang terdapat di DAS Kali
Lamong.
Tabel 3: Pengaruh luasan metode polygon thiessen

Luas
No Nama Stasiun Kr
(Km2)
1 Cerme 122.956 0.170
2 Benjeng 69.307 0.096
3 Balongpanggang 246.291 0.340
4 Menganti 65.677 0.091
5 Sembung 78.379 0.108
6 Waduk Gondang 141.442 0.195
Jumlah 724.1 1.000

Gambar 2: Peta polygon thiessen DAS Kali Lamong

880
Pane, Y. P. S et al., Jurnal Teknologi dan Rekayasa Sumber Air Vol. 1 No. 2 (2021) p. 876-889

3.4. Hasil Simulasi Sebelum Kalibrasi


Setelah semua data diperlukan diinput maka dilakukan simulasi pertama dengan tidak
merubah parameter-parameter pada ArcSWAT. Parameter-parameter tersebut tetap seperti
kondisi semula untuk dilakukan uji keandalan hasil dari model dan kondisi pada daerah
yang dikaji. Jika hasil belum memenuhi kriteria baik maka dilakukan perubahan beberapa
parameter yang berpengaruh terhadap debit. Tabel 4 menunjukkan perbedaan debit model
dan lapangan tahun 2019, dan gambar 3 menunjukkan perbedaan hasil running dengan
kondisi lapangan yang belum terkalibrasi.

Tabel 4: Perbandingan debit model dan debit lapangan sebelum kalibrasi Tahun 2019

Debit
Bulan Pencatatan
Model
Manual
Januari 18.498 30.200
Februari 8.082 25.220
Maret 19.515 30.120
April 59.693 29.730
Mei 2.064 19.110
Juni 2.064 1.874
Juli 2.064 0.488
Agustus 0.874 0.001
Septeber 0.005 0.000
Oktober 0.000 0.254
November 3.137 8.201
Desember 44.260 20.860

Perbedaan Debit Model dan Debit di Lapangan Tahun 2019

80
Model Pencatatan Manual
70
60
Total Debit

50
40
30
20
10
0

Gambar 3: Debit model dan debit di lapangan yang belum terkalibrasi Tahun 2019

881
Pane, Y. P. S et al., Jurnal Teknologi dan Rekayasa Sumber Daya Air Vol. 1 No. 2 (2021) p. 876-889

3.5. Kalibrasi Parameter Model


Dalam melakukan kalibrasi diperlukan ketelitian untuk menganalisa perbedaan nilai
dari parameter yang diganti untuk menganalisa perubahan pada parameter yang dikontrol.
Kalibrasi dilakukan menggunakan metode mengubah parameter yang mempengaruhi
perubahan debit sungai pada keluaran model SWAT dengan cara coba-coba. Dalam proses
kalibrasi ini penulis hanya mementukan beberapa parameter yang akan diubah Tabel 4
merupakan nilai parameter kalibrasi yang digunakan dalam analisis pada tahun 2019.
Tabel 5: Perubahan parameter dalam model SWAT di DAS Kali Lamong

Lower Upper Nilai


No Parameter Deskripsi
Bound Bound Kalibrasi

1 Epco Faktor kompensasi uptake tanaman 0 1 0.2


2 Esco Faktor kompensasi evaporasi tanah 0 1 1
3 Ch_N2 Koefisien kekasaran manning -0.01 0.3 0.025
4 GWQMN Batas kedalaman akuifer dangkal
0 7500 50
untuk aliran balik
5 Alpha_Bf Faktor aliran dasar 0 1 0.9
6 Cn SCS Curve Number 35 98 70
7 Gw_Delay Masa jeda air tnah untuk kembali
0 500 150
ke sungai

3.6. Hasil Simulasi Debit Sesudah Kalibrasi


Setelah beberapa parameter diganti sesuai kondisi DAS dan menunjukkan perbedaan
hasil yang baik pada debit model. Hasil debit pada model yag diperoleh sudah memiliki
hubungan yang baik dengan debit lapangan. Gambar 4 menunjukkan hasil simulasi debit
setelah kalibrasi.

Grafik Debit Model Terhadap Debit LapanganTahun 2019

100
Model Pencatatan Manual
80
Total Debit

60

40

20

Gambar 4: Grafik hasil kalibrasi debit model dan debit lapangan Tahun 2019

882
Pane, Y. P. S et al., Jurnal Teknologi dan Rekayasa Sumber Air Vol. 1 No. 2 (2021) p. 876-889

3.7. Uji NSE Pada Hasil Simulasi


Untuk melihat keakuratan hasil model terhadap kondisi di lapangan maka perlu
dilakukan pengujian. Pengujian menggunakan metode Nash-Sutchliffe [10]. Berdasarkan
hasil pengujian debit model terhadap debit pencatatan manual di lapangan tahun 2019
diperoleh nilai NS 0.822 dan nilai koefisien korelasi mendekati 1. Berdasarkan hasil
tersebut hasil simulasi memenuhi kriteria baik dan dapat digunakan untuk analisa
selanjutnya.
3.8. Hasil Limpasan, Erosi, dan Sedimentasi
Setelah mendapatkan hasil yang baik langkah selanjutnya merekap output yang
diinginkan. Tabel 5 menunjukkan hasil limpasan, erosi, dan sedimentasi pada kondisi
eksisting. Gambar 5 menunjukkan grafik output model.

Tabel 6: Rekapitulasi rata-rata tahunan eksisting DAS Kali Lamong

Luas DAS Erosi Sedimen Limpasan


Tahun
(Ha) ( ton/ha ) ( ton/ha ) ( mm )
2010 44.236 33.781 76.602
2011 33.536 23.515 58.006
2012 17.679 12.530 28.507
2013 38.042 29.134 81.616
2014 34.481 25.470 57.023
72405.1
2015 35.494 28.939 58.665
2016 34.870 25.542 56.529
2017 28.393 22.405 55.708
2018 21.948 16.438 34.500
2019 27.097 19.473 51.534

Rekapitulasi Hasil Eksisting


120.000 120.000
Erosi
100.000 Sedimen 100.000
limpasan
80.000 80.000
Ton/Ha

mm

60.000 60.000

40.000 40.000

20.000 20.000

0.000 0.000
2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018 2019
Tahun

Gambar 5: Grafik rekapitulasi erosi, sedimen, dan limpasan hasil eksisting

883
Pane, Y. P. S et al., Jurnal Teknologi dan Rekayasa Sumber Daya Air Vol. 1 No. 2 (2021) p. 876-889

3.9. Analisa Indeks Bahaya Erosi dan Kekritisan Lahan


Dalam studi ini menggunakan nilai IBE sebagai penentu tingkat kekritisan lahan.
Setelah dilakukan perhitungan mendapatkan nilai IBE di DAS Kali Lamong terdapat 3
klasifikasi yaitu rendah (27.953 %), sedang (38.671 %), dan tinggi (33.376 %) dari total
luas DAS Kali Lamong 72405.1 ha. Tabel 6 menunjukkan klasifikasi Indeks Bahaya Erosi
DAS Kali Lamong dan gambar 6 menunjukkan peta sebaran Indeks Bahaya Erosi di DAS
Kali Lamong.
Tabel 7: Indeks bahaya erosi di DAS Kali Lamong

Indeks Bahaya Erosi Tingkat Kekritisan Persentase


No Luas (Ha)
Nilai Harkat Lahan (%)
1 <1.0 Rendah Potensial Kritis 20239.267 27.953
2 1.01-4.0 Sedang Semi Kritis 27999.556 38.671
3 4.01-10.0 Tinggi Kritis 24166.261 33.376
Total 72405.1 100

Gambar 6: Peta indeks bahaya erosi eksisting DAS Kali Lamong

3.10. Arahan Fungsi Kawasan


Dari hasil pemetaan Indeks Bahaya Erosi DAS Kali Lamong yang terdapat wilayah
yang termasuk kriteria tinggi, sehingga perlu pembuatan arahan fungsi kawasan DAS Kali
Lamong. Pada studi ini arahan fungsi lahan disusun menggunakan pedoman Rehabilitas
Lahan dan Konservasi Tanah (RLKT) dari Departemen Kehutanan melalui Balai
Rehabilitasi Lahan dan Konservasi Tanah (BRLKT). Tabel 7 – 9 menunjukkan skor untuk
setiap kelas. Hasil penjumlahan skor dari 3 parameter tersebut menunjukkan DAS Kali
Lamong terdiri dari kawasan budidaya, kawasan penyangga, serta sebagian kawasan
lindung. Gambar 7 menunjukkan peta fungsi kawasan DAS Kali Lamong.

884
Pane, Y. P. S et al., Jurnal Teknologi dan Rekayasa Sumber Air Vol. 1 No. 2 (2021) p. 876-889

Tabel 8: Klasifikasi skor kemiringan lereng

Kelas Kemiringan Skor


1 0-8% 20
2 8 - 15 % 40
3 15 - 25 % 60
4 25 - 45 % 80
5 > 45 % 100

Tabel 9: Klasifikasi skor jenis tanah

Kelas JenisiTanah Skor Keterangan


1 Aluvial, Planosol, Hidromorf Kelabu, Laterik 15 Tidak peka
2 Latosol 30 Agak peka
3 Tanah hutan coklat, tanah mediteran 45 Kepekaan sedang
4 Andosol, Laterik, Grumusol, Podsol, Podsolic 60 Peka
5 Regosol, Litosol, Organosol, Renzina 75 Sangat Peka

Tabel 10: Klasifikasi skor hujan harian rata-rata

Kelas Curah Hujan (mm/hari) Skor Keterangan


1 ≤ 13.6 10 Sangat rendah
2 13.6 - 20.7 20 Rendah
3 20.7 - 27.7 30 Sedang
4 27.7 - 34.8 40 Tinggi
5 ≥ 34.8 50 Sangat tinggi

Gambar 7: Peta fungsi kawasan DAS Kali Lamong

885
Pane, Y. P. S et al., Jurnal Teknologi dan Rekayasa Sumber Daya Air Vol. 1 No. 2 (2021) p. 876-889

3.11. Analisis Peta Tata Guna Lahan Baru (Skenario)


Penyusunan tata guna lahan baru (skenario) berdasrkan peta fungsi kawasan yang
sesuai pada DAS Kali Lamong. Pada arahan fungsi lahan ini lahan kering seperti ladang
dan kebun diubah menjadi hutan. Pemukiman dan sawah tidak dilakukan perubahan.
Perencanaan penggunaan lahan skenario memperhatikan peta fungsi kawasan dan tingkat
indeks bahaya erosinya.
Setelah disimulasikan ulang didapatkan penurunan pada keluaran yang diinginkan
pada DAS Kali Lamong. Tabel 11 – 13 menampilkan hasil menggunakan Tata guna lahan
baru (skenario). Gambar 8 manmpilkan susunan peta skenario tata guna lahan. Selanjutnya
peta akan dihitung nilai Indeks Bahaya Erosi untuk mengetahui penurunannya.
Tabel 11: Perbandingan limpasan

Luas Limpasan
Perbedaan
Tahun DAS Eksisting Skenario
( ha ) ( mm/tahun ) (%)
2010 76.602 55.132 28.027
2011 58.006 40.015 31.015
2012 28.507 18.609 34.720
2013 81.616 57.034 30.119
2014 57.023 41.110 27.906
72405.1
2015 53.665 36.210 32.525
2016 56.529 41.674 26.279
2017 55.708 37.434 32.803
2018 34.500 23.836 30.910
2019 51.534 36.956 28.288

Tabel 12: Perbandingan erosi

Luas Erosi
Perbedaan
Tahun DAS Eksisting Skenario
( ha ) ( ton/ha/tahun ) (%)
2010 44.236 31.341 29.150
2011 33.536 21.620 35.531
2012 17.679 13.823 21.813
2013 38.042 34.184 10.141
2014 34.481 27.959 18.913
72405.1
2015 35.494 26.788 24.529
2016 34.870 25.129 27.936
2017 28.393 23.944 15.671
2018 21.948 18.841 14.153
2019 27.097 22.655 16.392

886
Pane, Y. P. S et al., Jurnal Teknologi dan Rekayasa Sumber Air Vol. 1 No. 2 (2021) p. 876-889

Tabel 13: Perbandingan sedimen

Luas Erosi
Perbedaan
Tahun DAS Eksisting Skenario
( ha ) ( ton/ha/tahun ) (%)
2010 33.781 17.954 46.853
2011 23.515 10.633 54.782
2012 12.530 6.253 50.092
2013 29.134 18.088 37.916
2014 25.470 15.805 37.946
72405.1
2015 28.939 15.014 48.120
2016 25.542 13.573 46.861
2017 22.405 12.785 42.934
2018 16.438 9.847 40.098
2019 19.473 11.305 41.946

Gambar 8: Peta skenario arahan tata guna lahan baru

3.12. Analisa Indeks Bahaya Erosi (Skenario)


Skenario tata guna lahan baru perlu dihitung kembali Indeks Bahaya Erosinya (IBE)
untuk melihat seberapa besarnya pengaruh dari pembuatan peta tersebut. Berdasarkan hasil
simulasi menggunakan tata guna lahan skenario didapatkan penurunan tingkat kekritisan
lahan. Tabel 14 menunjukkan hasil nilai IBE menggunakan skenario baru dan tabel 15
menunjukkan perbandingan nilai Indeks Baya Erosi (IBE) skenario dan eksisting. Pada
skenario tata guna lahan baru tingkat kekritisan lahan berada pada tingkat rendah dan
sedang dari yang sebelumnya pada kondisi eksisting berada pada kondisi rendah, sedang,
dan tinggi. Berdasarkan hasil tersebut maka apabila skenario tata guna lahan dapat
diterapkan maka dapat mengurangi laju erosi dan tingkat bahaya erosi pada lahan-lahan
kritis di DAS Kali Lamong.

887
Pane, Y. P. S et al., Jurnal Teknologi dan Rekayasa Sumber Daya Air Vol. 1 No. 2 (2021) p. 876-889

Tabel 14: Nilai IBE berdasarkan tata guna lahan baru

Indeks Bahaya Erosi Tingkat Kekritisan Persentase


No Luas (Ha)
Lahan (%)
Nilai Harkat
1 <1.0 Rendah Potensial Kritis 27502.121 37.984
2 1.01 - 4.0 Sedang Semi Kritis 44902.963 62.016
3 4.01 - 10.0 Tinggi Kritis 0.000 0.000
Total 72405.1 100

Tabel 15: Perbandingan hasil IBE kondisi eksisting dan skenario

Tata Guna Lahan


Indeks Bahaya Erosi Tingkat Selisih
No Eksisting Skenario
Kekritisan Lahan
Nilai Harkat (%) (%)
1 <1.0 Rendah Potensial Kritis 27.953 37.984 10.031
2 1.0 - 4.0 Sedang Semi Kritis 38.671 62.016 23.345
3 4.01 - 10.0 Tinggi Kritis 33.376 0 33.376

4. Kesimpulan
Dari hasil analisa yang telah dilakukan didapatkan hasil :
1. Menggunakan model ArcSWAT diperoleh hasil kondisi eksisting rerata limpasan
55.369 mm/tahun, rerata laju erosi 31.578 ton/ha/tahun, dan rerata volume sedimen
67576.11 m3.
2. Hasil analisa menggunakan persamaan Indeks Bahaya Erosi didapatkan beberapa
kriteria yaitu kriteria rendah sebesar 20239.267 ha (27.953% luas DAS), kriteria
sedang sebesar 27999.556 ha (38.671% luas DAS), kriteria tinggi sebesar 24166.261
ha (33.376% luas DAS).
3. Arahan Rehabilitasi lahan dan Konservasi Tanah (ARLKT) dengan melihat fungsi
kawasan DAS Kali Lamong terdiri dari fungsi kawasan budidaya kawasan penyangga,
serta sebagian kecil kawasan lindung. Usaha konservasi dilakukan secara vegetatif
dengan merencanakan penggunaan lahan baru berdasarkan nilai indeks bahaya erosi
tinggi yaitu dengan mengubah tata guna lahan seperti hutan dan kebun menjadi hutan
kering. Berdasarkan penyusunan rehabilitasi lahan didapatkan pada kondisi skenario
rerata limpasan 38.801 mm/tahun (menurun 29.92%), rerata laju erosi 24.628 ha
(menurun 22.01%), rerata volume sedimen 37471.71 m 3 (menurun 44.55%). Dari hasil
pada kondisi skenario didapatkan 2 kriteria IBE yaitu kriteria rendah sebesar
27502.121 ha (37.984% luas DAS), kriteria sedang 44902.963 ha (62.016% luas DAS).

888
Pane, Y. P. S et al., Jurnal Teknologi dan Rekayasa Sumber Air Vol. 1 No. 2 (2021) p. 876-889

Daftar Pustaka
[1] Republik Indonesia, “Undang-Undang Republik Indonesia No. 7 Tahun 2004
tentang Sumber Daya Air”, Jakarta: Dewan Perwakilan Republik Indonesia dan
Presiden Republik Indonesia, 2004
[2] M. Sholichin, and T.B. Prayogo, “Assessment of The Impact of Land Cover Type
On The Water Quality in Lake Tondano Using a SWAT Model”, Journal of
Southwest jiaotong University, vol. 56, no. 1, pp. 304–312, 2021, doi:
10.35741/issn.0258-2724.56.1.
[3] A.C. Harifa, M. Sholichin, dan T. B Prayogo, “Analisa Pengaruh Perubahan
Penutup Lahan Terhadap Debit Sungai Sub DAS Metro Dengan Menggunakan
Progra ArcSWAT”, Jurnal Teknik Pengairan: Journal of Water Resources
Engineering, vol. 8, no. 1, pp. 1-14, 2017
[4] S. Harto, “Analisis Hidrologi”, Yogyakarta: Pusat Antar Universitas Ilmu Teknik
Universitas Gadjah Mada, 1989.
[5] L.M. Limantara, “Hidrologi Dasar”, Malang: Tirta Media, 2008
[6] Soewarno. “Hidrologi : Aplikasi Metode Statistik untuk Analisa Data Jilid 2”,
Bandung: Nova, 1995.
[7] E. Suhartanto, “Panduan AVSWAT 2000 dan Aplikasinya di Bidang Teknik
Sumber Daya Air”, Malang: CV Ansrori, 2008
[8] M.Z. Razianto, E. Suhartanto, dan J.S. Fidari, “Analisis Erosi dan Sedimentasi
Berbasis Sistem Informasi Geografis (SIG) pada bagian Hulu DAS Ciliwung
Kabupaten Bogor Jawa Barat”, Jurnal Teknik Pengairan: Journal of Water
Resources Engineering, vol. 2, no. 1, pp. 1-15.
[9] G.K. Pramesi , U. Andawayanti, dan S.M.B. Putra, “Analisis Pengaruh Tata Guna
Lahan Terhadap Erosi, Limpasan dan Sedimen di DAS Comal Kabupaten
Pemalang Menggunakan ArcSWAT”, Jurnal Teknik Pengairan: Journal of Water
Resources Engineering, vol. 1, no. 2, pp. 1-12.
[10] S. Arsyad, “Konservasi Tanah dan Air”, Bogor: Institut Pertanian Bogor Press,
1989

889

You might also like