Pendidikan Karakter Dalam Perspektif Pendidikan Islam

You might also like

Download as docx, pdf, or txt
Download as docx, pdf, or txt
You are on page 1of 48

PENDIDIKAN KARAKTER DALAM PERSPEKTIF PENDIDIKAN ISLAM

Moh. Muttaqien (qin.taqien@gmail.com)


Pascasarjana UIN Walisongo Semarang

ABSTRAK
The Movement for Strengthening Character Education (PPK), wich was
initiated by the president of the Republic of Indonesia, suggests that national
education should pay attention to academic, religious, social, physical,
emotional and creative aspects. The six aspects constitute one unity, interact
with each other, develop dynamically, and form a personal wholeness. In order
to integrate all these aspects, it is hoped that character learning in educational
institutions can be implemented holistically (whole and comprehensively). In
the context of Islamic education, the effort to form a whole and comprehensive
personality is identical to the process of internalizing the morality of al-
karimah, which is a reflection of the concepts of al-tarbiyah, al-ta’lim, and al-
ta’dib. Through the analytical descriptive method, namely by narrating theories
according to experts on character education and the scope of Islamic
education, it is obtained a description that the emergence of character
education shows the characters that must be possessed by every student, and
character education strengthens and strengthens education. Islam. In essence,
character education is the spirit / life in Islamic education. Character education
and Islamic education print students into beings who have noble attitudes and
behaviors.

Keywords : character learning, Islamic education


Gerakan Penguatan Pendidikan Karakter (PPK) yang digagas oleh bapak
presiden Republik Indonesia mengisyaratkan agar pendidikan nasional
memperhatikan aspek akademik, religius, sosial, fisik, emosi, dan kreatifitas.
Keenam aspek tersebut merupakan satu kesatuan, satu dengan yang lain
saling bertinteraksi, secara dinamis berkembang, dan mewujud pada
keutuhan pribadi. Guna mengintegrasi seluruh aspek tersebut sangat
diharapkan pendidikan karakter di lembaga pendidikan dapat
diimplementasikan secara holistik (utuh dan menyeluruh). Dalam konteks
Pendidikan Islam, upaya pembentukan pribadi yang utuh dan menyeluruh
tersebut identik dengan proses internalisasi akhlaq al-karimah, yang
merupakan refleksi dari konsep al-tarbiyah, al-ta’lim, dan al-ta’dib. Melalui
metode deskriptif analitik, yakni dengan menarasikan teori-teori menurut pakar-
pakar tentang pendidikan karakter serta ruang lingkup dalam pendidikan Islam,
didapatkan deskripsi bahwa kemunculan pendidikan karakter akan semakin
lebih menampakkan karakteristik yang harus dipunyai setiap peserta didik, dan
pendidikan karakter memerkuat dan memerkokoh pendidikan Islam. Pada

1
substansi pendidikan karakter teersebut adalah ruh/nyawa di dalam pendidikan
Islam. Pendidikan karakter maupun pendidikan Islam menyetak peserta didik
menjadi makhluk yang mempunyai sikap dan perilaku yang mulia.

Kata kunci : Pendidikan Karakter, Pendidikan Islam

A.Pendahuluan
Ada keprihatinan yang perlu direspon dan ditanggapi secara serius di
negara kita berkenaan dengan demoralisasi.1 Hal ini karena adanya asumsi
bahwa suatu peradaban manusia dapat merosot manakala ada demoralisasi
pada masyarakatnya, dan aspek moral menjadi alasan pokok penyebabnya.
Balitbang Kemendikbud mensinyalir salah satu penyebab demoralisasi adalah
penyelenggaraan pendidikan, sebagaimana diungkapkan bahwa
Problem dalam hal moral merupakan problem yang akut, ibarat penyakit
yang kronis, yang seiring dengan hidup manusia kapanpun dan juga di
manapun. Realitas sangat akutnya permasalahan moral ini yang
menjadikan perlunya diselenggarakannya pendidikan yang penuh
keramahan.2

Kalimat tersebut mengandung makna bahwa; pertama, akutnya problem


moral dilatar belakangi oleh permasalahan dalam penyelenggaraan
pendidikan. Kedua, perlunya konsep pendidikan yang ramah terhadap
lingkungan, ramah dalam proses belajar, dan yang nyaman menyenangkan
sebagai salah satu solusi atas problem moral. Fenomenanya memang
demikian, bahwa problem moral yang terjadi di negara kita sudah sangat
mengkhawatirkan, sebagaimana digambarkan oleh Doni Koesoema (2015)
bahwa,
Situasi dan kondisi sosial, kultur dalam masyarakat kita hingga saat
sekarang ini sungguh semakin memprihatinkan. Terdapat macam-
macam kejadian dalam dunia pendidikan yang sungguh mengabaikan

1
) Demoralisasi merupakan suatu keadaan atau kondisi turunnya moral/mental bangsa sebagai akibat
adanya arus dari globalisasi yang begitu gencar bahkan tidak terawasi dan sebagai akibat pengaruh budaya barat
yang tidak sama dengan kepribadian masyarakt/bangsa. (https://brainly.co.id/tugas/14789563)
2
) Badan Penelitian dan Pengembangan, Kemendikbud, Peningkatan Derajat Manusia Melalui
Pendidikan, (Jakarta; Pusat Penelitian Kebijakan Pendidikan dan Kebudayaan, Balitbang
Kemendikbud, 2017), hlm. 19.

2
harkat nilai dan derajat kebaikan manusiaan. Merosotnya nilai moral,
meluasnya ketidakadilan, rendahnya solidaritas dan lainnya, sungguh
terjadi di dalam institusi pendidikan. Keadaan ini mengharuskan kita
guna menanyakan sejauh apa institusi pendidikan kita sanggup
menjawab juga merespon atas banyaknya persoalan di lingkup
masyarakat? Ada sesuatukah dengan dunia pendidikan kita sampai
orang dewasa yang menyelesaikan proses belajarnya dari institusi
pendidikan tidak ada kemampuan menghidupi gerak maupun dinamika
dalam masyarakat yang lebih membawa manfaat, hikmah dan kebaikan
bagi semua manusia?3

Gambaran tersebut tentunya dapat memicu dan menambah problem sosial


lain yang akan menambah frustasi masyarakat menghadapi “keruhnya”
hidup. Keadaan dan situasi ini menyebabkan masyarakat secara alami akan
menerapkan instink survive mereka dan pasrah terhadap keadaan, bahkan
seringkali berakhir buruk terhadap orang lain maupun lingkup sekitarnya.
Keadaan yang serupa juga digambarkan oleh Yudhi Latif (2010) bahwa,
Krisis secara multidimensi yang melanda Indonesia sekarang ini bukan
sembarang krisis yang dapat dihadapi dengan tambal sulam. Krisis ini
cukup luas lingkupnya dan cukup mendalam penetrasinya, menyerupai
era situasi “zaman peralihan” seperti digambarkan oleh Karen
Armstrong, juga zaman Jahiliyah (kalabendu)4 yang sarat prahara, saling
bertikai, rendahnya tata nilai dan juga keteladanan.5

Lebih lanjut Yudhi Latif (2010) menambahkan,


Tahun 1925 Mohandas Karamchand Gandhi menengarai adanya
ancaman yang mematikan dari Seven Social Sins (7 dosa sosial), yakni
perpolitikan tanpa adanya prinsip, fenomena kekayaan tanpa ada kerja
keras, perilaku dalam berniaga tidak didasari nilai moral, kesenangan
tanpa ada nurani, proses pendidikan tanpa nilai karakter,
sains/pengetahuan tapi tidak ada humanitas, dan ibadah tanpa adanya
pengorbanan. Dosa-dosa tersebut saat ini menjadi fenomena dalam
kehidupan. Kehidupan di kota yang harusnya menjadi dasar

3
) Doni Koesoema, Pendidikan Karakter, Strategi Mendidik Anak di Zaman Global, (Jakarta,
PT. Gramedia; 2015), hlm. 112.
4
) Zaman kalabendu ; biasa disebut zaman Edan. Istilah tersebut mengacu dari keterpaduan
ramalan Prabu Jayabaya dan Ranggawarsita., yang disebutkan, di zaman itu bahwa segala kebaikan
maupun kebenaran akan dinyatakan, dan segala bentuk keburukan/kebusukan dan kemunafikan akan
terungkapkan. (https://www.google.com/search?safe=strict&hl=in&source=hp&ei)
5
) Yudhi Lattif, Menyemai Karakter Bangsa, Budaya Kebangkitan Berbasis Kesastraan, (Jakarta,
PT. Kompas Media Nusantara, 2010), hlm. 79.

3
keberadaban (Madani) terperosok ke dalam apa yang diistilahkan
Machiavelli dengan citta corrottisima (kota yang korup), atau apa yang
disebut oleh Al-Farabi dengan al-Mudun al-jahiliyyah (kota jahiliyah).6

Narasi di atas menggambarkan bahwa permasalahan sosial, khususnya


problem moral di negara kita sudah sedemikian akutnya, yang ditengarai dari
beberapa indikator apabila merujuk pada pernyataan Gandhi tentang 7 dosa
sosial. Problem tersebut oleh Ratna Megawangi (2011) disinyalir karena
pembangunan yang lebih mementingkan aspek fisik, dan pembuat kebijakan
berlaku seperti itu karena tidak mememiliki karakteristik moral yang
memadai, sebagaimana dinyatakan bahwa,
Terpuruknya kondisi bangsa ini karena kesalahan paradigma
pembangunan Indonesia selama ini yang tidak menekankan
pembangunan moral manusianya lebih dulu, tetapi lebih kepada
pembangunan dalam bidang materi. Inti dari permasalahan moral
merupakan buah dari apa yang telah dilakukan oleh sebagian manusia
yang tidak mempunyai moral. Manusia yang bermoral memiliki
karakteristik yang tentu selaras dengan kaidah-kaidah moral secara
universal.7

Permasalahan moral tersebut tentu tidak lepas dari peran lembaga pendidikan,
sebagai institusi formal yang berhubungan dengan kualiatas sumber daya
manusia. Hal ini sebagaimana diungkapkan oleh Abdul Munir Mulkhan
(2008) bahwa kekerasan demi kekerasan, masih terus berlangsung di berbagai
kawasan. Indikasi seperti ini semakin lebih nyata dengan melibatkan
gelombang modernisasi maupun keberagamaan,.penjelasan akan
permasalahan ini realitanya tidak tuntas dan solusinya juga tidaklah jelas.
Dari sinilah perilaku kekerasan manusia perlu dipandang sebagai produk
regulasi dan kebijakan serta sistem pendidikan yang keliru bahkan salah.
Pendidikan nasional boleh jadi telah memunculkan konflik, kekerasan, dan
juga keculasan moral tersebut. Karenanya, sudah semestinya reformasi

6
) Yudhi Lattif, Menyemai Karakter Bangsa, hlm. 79.
7
) Ratna Megawangi, Semua Berakar pada Karakter, Isu-isu Permasalahan Bangsa, (Jakarta,
Fak. Ekonomi Universitas Indonesia; 2011), hlm. 80.

4
pendidikan dilaksanakan secara integral, sistematis, dan bila perlu secara
radikal.8 Pernyataan senada diungkapkan oleh Donie Koesoema (2014)
bahwa,
Institusi pendidikan sejak dulu memanglah memiliki peran dan fungsi
yang penting bagi sumbangsih sepanjang peradaban manusia dalam peri
hidup ekonomi, politik, sosial, dan budaya. Merespon defisitnya
kontribusi institusi pendidikan dalam kerangka prosesi pembudayaan
terhadap masyarakat kita, sudah selayaknya jika sekolah menanyakan
kembali seluruh programnya serta mengevaluasinya dengan beberapa
program yang bersifat lintas kultural dalam upaya mendidik anak-anak
kita.9

Terkait dengan pernyataan di atas, pihak sekolah tentunya harus menyiapkan


konsep pembelajaran karakter guna menyiapkan sumber daya manusia yang
berkualitas secara menyeluruh, baik dari segi akademik maupun aspek-aspek
lainnya, dengan asumsi bahwa pada dasarnya karakter itu dapat
diinternalisasikan pada anak-anak usia sekolah. Hal ini sebagaimana
pendapat Ibnu Jazzar al-Qairawani yang dikutip oleh Ratna Megawangi
(2008) bahwa sifat-sifat keburukan yang muncul dari anak bukanlah muncul
dari mereka secara fitrah. Ketahuilah bahwa sifat-sifat itu muncul karena
minimnya peringatan secara dini dari orangtua maupun pendidik. Semakin
dewasanya usia, dirinya akan semakin sulit pula untuk menghindar dan
meninggalkan keburukan. Cukup banyak orang yang menyadari sifat
buruknya, namun tidak berdaya merubahnya, sebab sifat tersebut telah
mengakar secara kuat dalam dirinya, dan bahkan kebiasaan yang sangat sulit
dihindarikan dan ditinggalkan.10
Begitu pula pernyataan Phillips yang dikutip oleh Dewi Yuliana (2010)
bahwa,

8
) John P. Miller, Cerdas di Kelas, Sekolah Kepribadian, (penyadur; Abdul Munir Mulkhan),
(Yogyakarta, Kreasi Wacana, 2008), hlm. 6.
9
) Doni Koesoema, Pendidikan Karakter, Strategi Mendidik Anak di Zaman Global, hlm. 115.
10
) Ratna Megawangi, Pendidikan Karakter, Solusi yang Tepat untuk Membangun Bangsa,
(Jakarta; Viscom Pratama, 2008), hlm. vi.

5
....if there is rightenousness in the heart, there will be beauty in the
character, if there is beauty in the character, there will be the harmony in the
home, if there is harmony in the home, there will be order in the nation; if
there is order in the nation, there will be peace in the world. 11 (bila ada
kebenaran di dalam hati, akan ada nilai keindahan dalam karakter, bila ada
keindahan di dalam karakter,maka akan ada harmoni dalam rumahnya, bila
ada keharmonisan di dalam rumah, maka akan ada ketertiban dalam bangsa;
bila ada ketertiban di dalam bangsa, akan ada perdamaian di dunia).
Atas beberapa ungkapan di atas, pembelajaran karakter menjadi sangat urgen
dan semakin mendesak untuk diterapkan dalam institusi pendidikan kita
dengan mempertimbangkan berbagai perilaku non edukatif yang sekarang
telah merambah pada lembaga pendidikan kita, diantaranya budaya korupsi,
pelecehan seksual, tindak kekerasan, dan kesewenangan di sekolah. Dalam
hal ini A. Munir Mulkhan (2008) berpendapat bahwa reformasi paradigma
pendidikan, dalam hal ini adalah tercetusnya sekolah kepribadian melalui
internalisasi karakter merupakan agenda nasional yang amat penting bagi
tumbuhnya elit generasi baru dengan kearifan budaya, kemanusiaan, dan
kerakyatan. Nasib bangsa di masa yang akan datang dapat terlihat dari
bagaimana perkembangan pendidikan generasi dan anak-anak bangsa itu
sendiri. Suatu bangsa dan peradabannya merupakan produk pendidikan,
gagalnya suatu bangsa dan merosotnya peradaban manusia merupakan
kegagalan sistem pendidikan. Permasalahannya adalah bagaimana
memerankan dan memfungsikan pendidikan sebagai wahana dan media bagi
anak-anak ini agar dapat belajar memecahkan dan menyelesaikan masalah
yang dihadapi, selain cerdas, juga sarat pengalaman dalam hidupnya serta
sarat dengan kearifan.12 Megawangi (2011) juga mengungkapkan bahwa di
antara solusi untuk menjadikan pendidikan moral lebih efektif yaitu
11
) Dewi Yuliana, Pentingnya Pendidikan Karakter Bangsa Guna Merevitalisasi Ketahanan
Bangsa, jurnal Udayana Mengabdi, volume 9 nomor 2 Tahun 2010, ISSN; 1412-0925, hlm. 94.
12
) John P. Miller, Cerdas di Kelas, Sekolah Kepribadian, hlm. 9.

6
memasukkan pendidikan karakter, sebab pendidikan tentang moral seringnya
hanya menyentuh pada aspek “pengetahuan”, tidak sampai pada aspek
“perilaku”.13 Begitu pula pendapat Donie Koesoema (2014) bahwa tanpa
pendidikan karakter, berarti membiarkan bercampuraduknya kemurnian
pemahaman terhadap nilai moralitas dan bersifat ambigu juga rancu yang
menyertainya, hingga pada gilirannya akan menghambat, juga memperlambat
peserta didik guna memperoleh keputusan yang mempunyai dasar moral
secara kokoh.14
Tulisan ini berupaya untuk memberi gambaran tentang bagaimana
pembelajaran karakter dalam perspektif pendidikan Islam. Dengan
pertimbangan bahwa; pertama, secara keilmuan antara pembelajaran karakter
dan pendidikan Islam memiliki aspek karakteristik yang hampir sama,
diantaranya adalah tentang sikap, perilaku, dan perbuatan, yang dalam
pendidikan Islam dikenal dengan istilah akhlak. Kedua, selama ini landasan
teori dalam pembelajaran karakter banyak merujuk pada teori-teori barat,
yang ditengarai kurang memperhatikan unsur agama/ruhani. Ketiga, dalam
mengimplementasikan pembelajaran karakter, pendidikan Islam berupaya
untuk membuat formulasi konsep pembelajaran karakter yang Islami sebagai
kontribusi positif bagi pendidikan karakter. Untuk menjawab masalah utama
ini penulis menyusun beberapa pokok bahasan antara lain; pengertian
pendidikan karakter, nilai-nilai dalam pendidikan karakter, pengertian
pendidikan Islam, dan pendidikan karakter dalam perspektif pendidikan
Islam.
B. Pendidikan Karakter
1. Pengertian Pendidikan Karakter
Pendidikan asalnya dari bahasa Latin yaitu ducare, artinya “menuntun,
mengarahkan, atau memimpin” terdapat awalan e, artinya “keluar”.
13
) Ratna Megawangi, Semua Berakar pada Karakter, Isu-isu Permasalahan Bangsa, hlm. 82
14
) Doni Koesoema, Pendidikan Karakter, Strategi Mendidik Anak di Zaman Global, hlm.
116.

7
Berarti, pendidikan artinya kegiatan “menuntun ke luar”.15 Berdasarkan
Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata pendidikan berawal dari kata “didik”
dan memeroleh imbuhan/tambahan “pe” dan akhiran “an”, yang artinya
memelihara dan memberi latihan (ajaran, tuntunan, pimpinan) mengenai
akhlak dan kecerdasan pikiran langkah, juga sistem atau perbuatan
mendidik. Secara istilah berarti prosesi perubahan sikap,
perilaku/perlakuan, dan tata laku individu atau kelompok orang melalui
upaya pendewasaan manusia melalui usaha pembelajaran/pengajaran dan
pelatihan; proses, cara-cara, tindakan mendidik. Dalam arti lain kata
pendidikan secara etimologi berasal dari kata “pedagogi” yakni “paid”
yang berarti anak, dan “agogos” berarti membimbing/menuntun, maka
pedagogi merupakan pengetahuan/ilmu dalam membimbing/menuntun
anak. Secara terminologi/istilah arti pendidikan merupakan suatu sistem
perubahan sikap dan tingkah laku seorang atau kelompok dalam upaya
pendewasaan manusia atau peserta didik melalui upaya
pembelajaran/pengajaran serta kursus.16 Menurut Ramayulis sebagimana
dikutip oleh Musrifah (2016) bahwa istilah pendidikan semula berasal dari
bahasa Yunani, yakni Paedagogie yang berarti bimbingan yang diberikan
kepada anak. Istilah ini kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris
dengan Education yang berarti pengembangan atau bimbingan, yang dalam
bahasa Arab istilah ini sering diterjemahkan dengan Tarbiyah yang berarti
pendidikan.17 Undang-undang Sisdiknas Bab I, Pasal 1, ayat 1
menyebutkan bahwa pendidikan merupakan usaha sadar dan terencana
untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta
didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki
kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan,

15
) https://id.wikipedia.org/wiki/Pendidikan
16
) https://kbbi.web.id/didik
17
) Musrifah, Pendidikan Karakter dalam Perspektif Islam, Jurnal Edukasia Islamika, volume 1,
nomor 1, Desember 2016, P-ISSN; 2548-5822, hlm. 121.

8
akhlak mulia, serta ketrampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat,
bangsa dan negara.18 Dapat disimpulkan bahwa pendidikan merupakan
upaya sadar dan sistematis yang dilakukan oleh seseorang atau kelompok
orang dewasa dalam membekali, membimbing, dan mengarahkan peserta
didik agar mampu memberdayakan seluruh potensinya, baik jasmani
maupun ruhani guna mencapai penghidupan yang lebih bermanfaat untuk
dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.
Istilah karakter, secara etimologi, menurut Lapsley (2004) adalah
character comes from Greek (charassein) which means to give a mark in
sculpting. someone with character means having consistent behavior and
is not likely to disappear19 (karakter asalnya dari bahasa Yunani
(charassein) artinya untuk memberi stigma/tanda (to mark) dalam
pemahatan. Seorang yang memiliki karakter artinya mempunyai
tingkahlaku konsisten, dan tidak akan hilang). Pengertian di atas dapat
dimaknai bahwa memberi tanda dalam memahat merupakan sesuatu yang
terukir, tercetak, terpola, dan bersifat kokoh/tetap. Pengertian yang serupa
diartikan oleh Karen Bohlin, sebagaimana dikutip oleh Megawangi (2007)
bahwa secara bahasa karakter asalnya dari bahasa Yunani
Charassein/Karasso yang artinya tindakan mengukir hingga berbentuk
suatu pola atau membuat cetakan.20
Secara terminologi, oleh Thomas Lickona seperti dikutip oleh
Rianawati (2014) karakter diartikan sebagai A reliable inner disposition to
respond to situations in a morally good way. Character so conceived has
three interrelated parts; moral knowing, moral feeling, and moral
behavior. (sebuah disposisi secara ruhani/batin yang bisa diharapkan guna
merespon/tanggap atas keadaan atau situasi melalui cara yang baik,
18
) Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, Undang-Undang No. 20
Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional, (Jakarta; Kemendikbud, 2003), hlm. 1
19
) DK. Lapsley, and D. Narvaez, Moral Development, Self and Identity, (New Jersey; Lawrence
Erlbaum Associates, 2004), hlm. 34.
20
) Ratna Megawangi, Pendidikan Karakter, hlm. 23.

9
melalui moral. Karakter mempunyai 3 bagian yang semuanya berkait;
pengetahuan tentang moral, perasaan tentang moral, dan perilaku tentang
moral).21 Aristoteles berpendapat tentang arti karakter sebagaimana dikutip
Sarbaini (2011) “...the life of right conduct right conduct in relation to
other persons and in relation to one self (...kehidupan dengan berperilaku
baik/penuh kebajikan, yakni berperilaku baik terhadap pihak lain).22
Sejalan dengan pemikiran tersebut Abdullah Munir (2010) mengartikan
karakter sebagai pola dalam berpikir, pola dalam bersikap, dan tindakan
yang include pada diri pribadi dengan sangat lekat dan mustahil hilang.23
Kedua definisi tersebut pada prinsipnya memiliki pola dasar yang sama,
yakni bahwa karakter itu berawal dari kekuatan batiniah. Menurut Kamus
Besar Bahasa Indonesia (1996) karakter diartikan sebagai,
sifat-sifat tentang jiwa, mental, akhlak, ataupun moral/budi pekerti luhur
yang menjadikan berbeda dari lainya. Karakter dapat dimaknai suatu
tabiat, yakni perangai dan perbuatan yang senantiasa dilaksanakan atau
menjadi suatu kebiasaan. Karakter juga dapat dimaknai sebagai watak,
yakni sifat ruhani/batin manusia yang dapat memengaruhi tingkah laku,
sikap, akal pikir, ataupun kepribadian.24

Definisi tersebut serupa dengan pernyataan Balitbang-Kemendiknas (2010)


yang mengartikan karakter berarti akhlak, tabiat, watak ataupun kepribadian
pada individu yang terpola dari proses internalisasi ragam kebaikan
(virtues) yang diyakininya dan dilaksanakan sebagai asas dalam cara
berpikir, cara memandang, cara bertindak, dan cara bersikap. 25 Dari uraian
tersebut dapat disimpulkan bahwa karakter merupakan pola perilaku

21
) Rianawati, Implementasi Nilai-nilai Karakter pada Mata Pelajaran PAI, (Pontianak; IAIN
Pontianak Press, 2014), hlm.20.
22
) Sarbaini, Good Practice, Pendidikan Nilai, Moral, dan Karakter Kepatuhan di Sekolah,
(Yogyakarta; Laboratorium PPKn-FKIP-Unlam/Aswaja Pressindo, 2011), hlm. 15.
23
) Abdullah Munir, Pendidikan Karakter, Membangun Karakter Anak Sejak dari Rumah,
(Yogyakarta; Pedagogia, 2010), hlm. 3.
24
) Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta; Balai
Pustaka, 1996), hlm. 121.
25
) Balitbang-Kemendiknas, Bahan Pelatihan, Penguatan Metodologi Pembelajaran
Berdasarkan Nilai-nilai Budaya untuk Membentuk Daya Saing dan Karakter Bangsa, (Jakarta;
Balitbang-Kemendiknas, 2010), hlm. 3.

10
kepribadian atau sifat-sifat kejiwaan yang dapat memengaruhi pikiran,
sikap, tingkah laku, dan perbuatan makhluk Allah termasuk manusia.
Berarti keterkaitan antara pendidikan dan karakter mengisyaratkan bahwa
peran dan fungsi pendidikan karakter sangatlah penting dan utama dalam
kehidupan manusia, khususnya bagi kemajuan sebuah bangsa dan negara.
Penjelasan tersebut menyiratkan bahwa pendidikan karakter merupakan
upaya sadar dan sistematis yang merupakan proses internalisasi nilai-nilai
moral melalui interaksi antara peserta didik dan warga sekolah atau
lingkungan dengan tujuan pembentukan sikap, tingkahlaku, moral, tindakan,
dan kebiasaan yang baik dan benar, sehingga dapat diambil keputusan
secara bijak dan menerapkannya dalam hidup kesehariannya. Hal ini
menurut David Elkind dan Freddy Sweet sebagaimana dikutip oleh
Rianawati (2014) memaknainya sebagai berikut Character learning is the
deliberate effort to help people understand, care about, and act upon core
ethical value. (Pendidikan karakter sebagai upaya yang secara tersadar dan
sengaja guna membentuk manusia dapat memahami, kepedulian kepada
sesuatu, serta melakukan nilai-nilai pokok etika).26
2. Nilai-nilai dalam Pendidikan Karakter
Nilai-nilai dalam pendidikan karakter merupakan pola standar sikap dan
perilaku karakter yang perlu dan layak untuk ditanamkan pada peserta didik.
Idealnya nilai-nilai dalam karakter yang penting untuk diinternalisasikan
pada peserta didik merupakan nilai-nilai yang universal, dimana seluruh
ideologi agama, budaya, dan tradisi sangat menjunjung tinggi nilai-nilai
tersebut. Menurut Megawangi (2007) bahwa nilai-nilai karakter yang perlu
ditanamkan kepada peserta didik pada prinsipnya terangkum dalam 9
(sembilan) pilar karakter, yakni; 1) Cinta Tuhan dan seluruh ciptaanNya. 2)
Sikap mandiri, dan penuh tanggung jawab. 3) Amanah, jujur, dan bijak. 4)
Sikap santun dan penuh hormat. 5) Suka menolong, dermawan, dan suka
26
) Rianawati, Implementasi Nilai-nilai Karakter, hlm. 20.

11
bergotong royong. 6) Self Confidence/percaya diri, suka bekerja keras,
Percaya diri, dan kreatif. 7) Memiliki sikap-sikap kepemimpinan dan
berkeadilan. 8) Sikap rendah hati dan baik hati. 9) Toleransi, kedamaian,
dan kesatuan.27 Oleh Megawangi, sembilan pilar tersebut dijadikan sebagai
target nilai dalam rumusan gagasannya yang dinamakan dengan Pendidikan
Holistik Berbasis Karakter (PHBK), yang diimplementasikan pada sekolah-
sekolah di bawah yayasan yang dibinanya, yakni Indonesia Heritage
Foundation. Secara lebih luas, Kemendiknas telah membuat 18 rumusan
tentang nilai-nilai dalam pembelajaran karakter yang diinternalisasikan pada
peserta didik, sebagai upaya membangun karakter bangsa. Rumusan
tersebut sebagaimana dikutip oleh Suyadi (2013) meliputi; 1) Sikap religius.
2) Kejujuran. 3) Sikap toleran. 4) Kedisiplinan. 5) Suka bekerja keras. 6)
Bersikap kreatif. 7) Kemandirian. 8) Sikap demokratis. 9) Rasa
keingintahuan. 10) Semangat kebangsaan dan sikap nasionalisme. 11) Cinta
pada tanahair. 12) Apresiatif terhadap prestasi. 13) Bersikap komunikatif.
14) Cinta perdamaian. 15) Sangat suka membaca. 16) Peduli pada
lingkungan. 17. Peduli masalah sosial. 18) Penuh tanggungjawab.28
Pendapat lain tentang nilai karakter diungkapkan oleh Russel Williams
(2009), menurutnya bahwa nilai-nilai dalam karakter yang harus
diinternalisasikan pada anak meliputi;
1. Trustworthiness, nilai karakter yang membentuk pribadi menjadi jujur,
bersikap loyal, dan berintegrasi.
2. Fairness, nilai karakter yang membentuk pribadi memilih pada
keterbukaan berpikir, dan tidak suka memanfaatkan individu lain.
3. Respect, nilai karakter yang membentuk pribadi bersikap apresiatif dan
penuh hormat pada individu lain.

27
) Ratna Megawangi, Character Parenting Space, Menjadi Orangtua Cerdas untuk
Membangun Karakter Anak, (Bandung; Mizan, 2007), hlm. 53.
28
) Suyadi, Strategi Pembelajaran Pendidikan Karakter, (Bandung; Rosda Karya, 2013), hlm. 9.

12
4. Citizenship, nilai karakter yang membentuk sikap sadar pada hukum dan
aturan-aturan, juga peduli alam.
5. Responsibility, nilai karakter yang membentuk sikap disiplin diri, penuh
tanggung jawab, dan senantiasa berupaya melakukan sesuatu yang
terbaik.29
Senada dengan pendapat di atas, Elaine Wilsons (2007) mengungkapkan
bahwa nilai-nilai dalam karakter yang ideal bagi anak meliputi; 1)
Trustworthy (dapat dipercaya), yang meliputi honesty dan integrity. 2)
Treat people with respect (memerlakukan individu lain dengan penuh
hormat). 3) Responsible (sikap penuh tanggung jawab). 4) Fair (berikap
adil). 5) Caring (penuh kasih sayang). 6) Good citizen (menjadi warga
masyarakat yang baik).30
Pendapat Azhar Arsyad, sebagaimana dikutip oleh Rakhmawati (2013)
bahwa pendidikan karakter memuat empat nilai, yang harus
diinternalisasikan secara dini bahkan hingga perguruan tinggi. Empat nilai
tersebut adalah;
1. Shiddiq (berlaku baik/benar); seorang mukmin seharusnya mempunyai
sifat benar, tidak ada sepatah-katapun dalam ucapannya yang bernada
keburukan/kebatilan, sebab shiddiq merupakan asas kemuliaan dan
gambaran dari tingkahlaku yang suci. Termasuk di dalamnya adalah
kejujuran, keikhlasan, dan kesabaran.
2. Amanah (terpercaya); merupakan sifat kemuliaan yang seharusnya
dimiliki oleh tiap manusia ketika berhadapan dengan perjuangan hidup
demi tercapainya cita-cita. Orang yang amanah selalu menjadi curahan
kepercayaan dan penghormatan dari orang-orang. Termasuk dalam

29
) Russel Williams, Kecerdasan Plus Karakter, terj. Wanda Christiana, (Yogyakarta; Kanisius,
2009), hlm. 53.
30
) Elaine Wilsons, Pengembangan Karakter di Sekolah, terj. Wahyu Farrah Dina, (Jakarta;
Indonesia Heritage Foundation, 2007), hlm. 13,

13
kategori ini adalah sifat adil, istiqamah, waspada, hormat, dan berbakti
kepada orangtua.
3.Tabligh; merupakan usaha menyampaikan kebaikan, dakwah, dan pesan-
pesan Islami kepada masyarakat, yang merupakan sifat atau tugas yang
diamanatkan oleh Allah SWT. Termasuk dalam kriteria ini adalah sifat
lemah lembut, kebersihan, sopan santun, dan tanggung jawab.
4. Fathanah (memiliki kebijaksanaan dan juga cerdas); merupakan sifat
yang sangat penting, khususnya melekat pada seorang mukmin yang
melaksanakan tugas berdakwah kepada masyarakat. Termasuk di
dalamnya adalah sifat disiplin, rajin belajar, gigih, logis, berprestasi,
kreatif, teliti, dan bekerjasama. 31
Menurut Pusat Penelitian dan Pengembangan Kemendikbud (2017) bahwa
nilai-nilai karakter yang didasari/dijiwai sila-sila Pancasila bersumber pada
olah hati, olah pikir, olah fisik/raga, dan olah psikis/rasa dan karsa, yang
masing-masing dapat diuraikan sebagai berikut;
1. Karakter yang ‘hulunya’ dari olah hati antara lain: keimanan dan
bertaqwa, sifat jujur, sikap amanah, perilaku adil, tertib/disiplin,
taat/patuh aturan, bertanggung jawab, sikap empati, keberanian dalam
pengambilan resiko, tidak mudah menyerah, kerelaan dalam berkorban,
dan berjiwa patriot.
2. Karakter yang ‘hulunya’ dari olah pikir di antaranya: kecerdasan,
bernalar kritis, sikap kreatif, inovatif, keingintahuan yang tinggi, berjiwa
produktif, orientasi pada ipteks, dan sikap reflektif.
3. Karakter yang ‘hulunya’ dari olah fisik/raga/kinestetika diantaranya:
suka hidup bersih, menjaga kesehatan, berjiwa sportif, tangguh, dapat
diandalkan, berdaya tahan, bersahabat, kooperatif, determinatif,
kompetitif, ceria, dan gigih.

31
) Rakhmawati, Pendidikan Karakter Perspektif Pendidikan Islam, hlm. 205.

14
4. Karakter yang ‘hulunya’ dari olah psikis/rasa dan karsa diantaranya:
manusiawi/humanis, sikap apresiatif, bergotong royong,
kesatuan/kebersamaan, sikap ramah, menghormati, sikap toleran,
nasionalis, kepedulian, kosmopolit (mendunia), mengutamakan
kepentingan umum, berjiwa patriotik/cinta tanah air, bangga berbahasa
dan produksi Indonesia, perilaku dinamis, suka bekerja keras, dan
beretos kerja tinggi.32
Uraian-uraian tersebut substansinya adalah internalisasi sikap, perilaku,
tindakan, dan kebiasaan-kebiasaan yang baik dan benar secara universal.
Dalam masyarakat yang plural dan beragam nilai-nilai karakter yang
diinternalisasikan semestinya bisa merekatkan elemen-elemen masyarakat
yang heterogen, dengan harapan dapat terwujud kerukunan dan saling
berdampingan di masyarakat secara nyaman, rukun, aman, dan damai, yang
akhirnya menjadi bangsa yang berkarakter, yakni suasana bersinergi secara
positif, sangat produktif bagi kemajuan negara dan bangsa.
3. Sumber-sumber Karakter
Karakter yang melekat pada individu tidaklah tercetak secara spontan,
tapi melalui proses yang ditumbuhkan dan dibiasakan, dikembangkan, dan
dibentuk oleh beberapa sumber. Menurut Berkowitz sebagaimana dikutip
oleh Sarbaini (2014) bahwa sumber-sumber/hulu dari karakter yaitu sebagai
berikut; anggota keluarga (khususnya orangtua), yang ditengarai sangat
berpengaruh/memberi efek yang kuat dalam pembentukan karakter anak.
Lembaga pendidikan/sekolah, teman bermain maupun teman seumuran,
warga masyarakat , lingkungan sekitar (juga media), keberagamaan/religi,
dan biologi merupakan para kontributor.33 Pendapat ini mengindikasikan
bahwa peran orangtua sangat berpengaruh bagi pertumbuhan karakternya.
32
) Badan Penelitian dan Pengembangan, Kemendikbud, Peningkatan Derajat Manusia Melalui
Pendidikan, (Jakarta; Pusat Penelitian Kebijakan Pendidikan dan Kebudayaan, Balitbang
Kemendikbud, 2017), hlm. 24.
33
) Sarbaini, Good Practice, Pendidikan Nilai, Moral, dan Karakter Kepatuhan di Sekolah,
(Yogyakarta; Aswaja Pressindo, 2014), hlm. 16.

15
Pola asuh orangtua tentu memberi pengaruh utama, di samping juga unsur
keteladanan orangtua, ujaran/ungkapan nilai-nilai, respon dan respek
terhadap anak, dan sikap transparan/terbuka dalam diskusi bersama anak.
Lembaga pendidikan dimana anak itu belajar juga mempunyai pengaruh
kuat setelah orangtua. Pertama, orangtua memiliki waktu lebih banyak
secara interaktif, emosional, juga hubungan psikologis terutama dalam
tahun-tahun pertama kehidupan (masih balita). Kedua, banyak anak tidak
memiliki pengalaman sepenuhnya atau bahkan sebagian waktu bersekolah
hingga mereka usia tiga, empat atau lima tahun, banyak aspek dari karakter
telah berkembang, maka sekolah dapat memengaruhi konsep diri anak
(termasuk harga diri), ketrampilan sosial (khususnya ketrampilan sosial
teman sebaya), nilai-nilai , kematangan penalaran moral, perilaku dan
kecenderungan-kecenderungan prososial, pengetahuan tentang moralitas,
dan lain-lain.34
Menurut Abdul Mujib sebagaimana dikutip oleh Syarifah Fadhilah
(2019) bahwa pengaruh dari teman-teman sebaya dimulai dari tahun-tahun
prasekolah, khususnya untuk anak-anak yang mengikuti prasekolah, tetapi
pengaruh itu secara jelas meningkat sepanjang masa anak-anak dan
memuncak pada masa remaja. Teman-teman sebaya berpengaruh kuat
terhadap konsep diri, ketrampilan-ketrampilan sosial (seperti memecahkan
konflik, membuat dan menjaga persahabatan), perkembangan penalaan
moral, keterlibatan dalam perilaku-perilaku beresiko, dan sebagainya.35
Pada intinya pengaruh masyarakat adalah sekitar keterbukaan mass media,
karakteristik-karakteristik lingkungan, dan nilai-nilai kultural. Media secara
jelas memengaruhi prasangka (terhadap ras/rasisme), jenis kelamin/sexisme,
dan usia/ageisme, perilaku agresif dan perasaan aman. Juga religi telah
34
) Sarbaini, Good Practice, Pendidikan Nilai, Moral, dan Karakter Kepatuhan di Sekolah, hlm.
16.
35
) Syarifah Fadhilah, Analisis Model Pembelajaran Berbasis Pendidikan Karakter untuk
Membentuk Karakter Siswa, Jurnal Civics (Media Kajian Kewarganegaraan), vol. 16, no. 2 Tahun
2019/111-121, hlm. 118.

16
dihubungkan dengan lebih rendahnya perilaku beresiko dan kesehatan
mental yang lebih baik. Faktor biologi juga dihubungkan dengan
pembentukan karakter, mengingat faktor tersebut berhubungan dengan
genetika terhadap aspek-aspek dari karakter.36

C. Pendidikan Islam
1. Pengertian Pendidikan Islam
Secara etimologi, Abdurrahman al-Nahlawy sebagaimana dikutip oleh
Rakhmawati (2013) mengartikan pendidikan Islam sebagai kata yang
merujuk pada tiga term yakni; a) al-tarbiyah, b) al-ta’lim, dan c) al-ta’dib.
Al-tarbiyah, kata ini berasal dari rabba-yurabbi-tarbiyah artinya
bertumbuh, dan juga meningkat/berkembang. Rabba-yarubbu juga berarti
mengatur, memerbaiki, mendidik, dan mengurus. Tarbiyah secara luas
berarti; a) upaya memelihara fitrah dan menjaga anak menjelang dewasa, b)
upaya pengembangan potensi, c) memberi arahan fitrahnya, juga
potensinya secara maksimal, d) ada tahapan dalam melaksanakannya. Kata
al-ta’lim dari kata ‘allama yu’allimu ta’lim artinya pengajaran, sifatnya
penyampaian/pemberian suatu pengertian, pemberian tanda suatu
pemahaman, dan menjadikan lebih terampil. Term al-ta’dib berasal dari
kata addaba yang artinya proses dalam mendidik dengan berorientasi pada
bimbingan, pembinaan, arahan, dan upaya penyempurnaan budi pekerti/
akhlak peserta didik.37 Secara lebih rinci istilah al-tarbiyah, al-ta’lim, dan
al-ta’dib diuraikan sebagai berikut;
Pertama, kata tarbiyah merupakan bentuk mashdar dari rabba
yurabbiy tarbiyatan. Kata ini merujuk pada al-Quran;

36
) Sarbaini, Good Practice, Pendidikan Nilai, Moral, dan Karakter Kepatuhan di Sekolah, hlm.
17.
37
) Rakhmawati, Pendidikan Karakter Perspektif Pendidikan Islam, Jurnal al-Ulum IAIN
Gorontalo, volume 13 nomor 1, Juni 2013, ISSN 1412-0534, hlm. 195.

17
ٗ ‫ص ِغ‬
٢٤ ‫يرا‬ ُّ ‫اح‬
َ ‫ٱلذلِّ ِم َن ٱلر َّۡح َم ِة َوقُل رَّبِّ ۡٱر َحمۡ هُ َما َك َما َربَّيَانِي‬ َ َ‫ض لَهُ َما َجن‬ ۡ ‫َو‬
ۡ ِ‫ٱخف‬
Artinya; Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh
kesayangan dan ucapkanlah: "Wahai Tuhanku, kasihilah mereka
keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu
kecil" (Q.S. Al-Israa; 24)

Kata/lafadz tarbiyah dipakai guna menyatakan profesi/pekerjaan orangtua


dalam menuntun/membimbing/mengasuh anaknya semasa kecil. Menurut
Bukhari Umar sebagaimana dikutip oleh Rahmat Hidayat (2016) bahwa
makna lafadz/kata tarbiyah meliputi 4 unsur, yakni; a) memelihara dan
menjaga fitrah anak menjelang usia baligh, b) menumbuhkembangkan
potensi dan kesiapannya secara beragam, c) memelihara dan menuntun
fitrah anak dan potensinya mengarah pada kebaikan dan kesempurnaan
secara layak, d) prosesi dilaksanakan melalui tahapan.38
Kedua, kata ta’lim menurut Afifuddin Harisah (2018) merupakan kata
mashdar berasal dari akar kata allama terkandung arti pengajaran,
memberi pemahaman, memberi ilmu/pengetahuan, tidak terkandung
makna pembinaan kepribadian, karena kecil kemungkinannya membina
kepribadian nabi Adam melalui nama benda-benda yang diajarkan oleh
Allah,39 sebagaimana dalam firmanNya;
ٓ
‫ضهُمۡ َعلَى ۡٱل َم ٰلَئِ َك ِة فَقَا َل أَ ۢنٔ‍بُُِٔ{ونِي بِأ َ ۡس { َمٓا ِء ٰهَٓ {ؤُٓاَل ِء‬
َ ‫َو َعلَّ َم َءا َد َم ٱأۡل َ ۡس َمٓا َء ُكلَّهَا ثُ َّم َع َر‬
٣١ ‫ين‬ َ ِ‫ص ِدق‬ َ ٰ ۡ‫إِن ُكنتُم‬
Artinya; “Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda)
seluruhnya, kemudian mengemukakannya kepada para Malaikat
lalu berfirman: "Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu
jika kamu mamang benar orang-orang yang benar.” (Q.S. al-
Baqarah 31).

38
) Rahmat Hidayat dan Henni Nasution, Filsafat Pendidikan Islam, Membangun Konsep Dasar
Pendidikan Islam, (Medan; LPPI, 2016), hlm. 78.
39
) Afiduddin Harisah, Filsafat Pendidikan Islam, Prinsip dan Dasar Pengembangan,
(Yogyakarta; Deepublish, 2018), hlm. 27.

18
Menurut Athiyah al-Abrasy sebagaimana dikutip oleh Rahmat Hidayat
(2016) bahwa al-ta’lim berkonotasi lebih khas/khusus dibanding al-
tarbiyah, sebab ta’lim hanya sebagai usaha menyetak individu dengan
merujuk pada aspek-aspek secara khusus saja, sedang al-tarbiyah
melingkupi kesemua aspek-aspek pendidikan.40
Ketiga, kata ta’dib menurut Afifuddin Harisah (2018) seakar dengan
adab memiliki arti pendidikan peradaban dan kebudayaan, biasanya
dipahami sebagai pendidikan sopan santun, tata krama, budi pekerti,
akhlak, moral, dan etika.41 M. Nadi al-Badri berpendapat seperti dikutip
oleh Rahmat Hidayat (2016) bahwa ketika era klasik orang-orang hanya
mengetahui bahwa kata ta’dib itu guna menunjukkan aktifitas
pembelajaran/pendidikan, hingga masa kejayaan Islam sehingga seluruh
pengetahuan/ilmu yang merupakan produk akal manusia saat itu
dinamakan adab. Ta’dib sebagai upaya mengenalkan dan pengakuan
secara berangsur diinternalisasikan kepada peserta didik tentang tempat-
tempat/media yang tepat dan sesuai dari semua yang di dalam tatanan
penciptaan sehingga menuntun dan mengarahkan pada pengenalan dan
pengakuan kekuasaan Tuhan dalam tatanan wujud dan keberadaanNya.
Hal ini didasarkan atas hadits nabi SAW;

‫أدبني ربي فأحسن تأ د يبي‬


Artinya; “Tuhanku telah mendidikku, sehingga menjadikan baik (hasil)
pendidikanku”.42

Menurut M. Naquib al-Attas sebagaimana dikutip Rakhmawati (2013)


bahwa al-ta’dib lebih tepat menggambarkan konsep/sistem pendidikan
Islam, dengan argumentasi bahwa hakikat pendidikan Islam merupakan
penanaman adab, sikap, dan tingkah laku sopan santun kepada tiap
40
) Rahmat Hidayat dan Henni Nasution, Filsafat Pendidikan Islam, Membangun Konsep Dasar
Pendidikan Islam, hlm. 80.
41
) Afifuddin Harisah, Filsafat Pendidikan Islam, Prinsip dan Dasar Pengembangan, hlm. 28.
42
) Rahmat Hidayat dan Henni Nasution, Filsafat Pendidikan Islam, Membangun Konsep Dasar
Pendidikan Islam, hlm. 81.

19
individu muslim yang akhirnya dapat mengembangkan peradaban Islam. 43
Kesimpulannya adalah bahwa istilah-istilah tersebut tentu dapat
dikategorikan ke dalam pengertian pendidikan, sebab berlangsungnya
proses pendidikan terdapat tiga objek pencapaian yang utama oleh peserta
didik, yakni aspek kognitif, aspek afektif, dan aspek psikomotor. Atas hal
demikian secara etimologi pendidikan Islam sesuai dan sejalan dengan
pembelajaran karakter, yakni lebih fokus akan perlu dan utamanya
kesatuan antara entitas pengetahuan, perilaku, dan sikap.
Secara terminologi, pendidikan Islam diartikan oleh Sayed Sajjed
Husain dan Syed Ali Asharaf yang dikutip oleh Sulaiman Ibrahim (2014)
merupakan proses pembelajaran yang melatih dan mengasah unsur
psikologis peserta didik sebaik-baiknya dan sebenar-benarnya, sehingga
dalam tindakan, sikap akan hidupnya, tindakan, pengambilan keputusan,
upaya penelusuran mereka kepada jenis pengetahuan sangat ditentukan
oleh nilai spiritualnya, dan menyadari akan etika-etika dalam Islam. 44
Pengertian ini memberi makna bahwa pendidikan Islam sebagaimana
halnya sebuah proses pelatihan yang mengharuskan untuk secara intens
muatan-muatan di dalamnya diimplementasikan secara terus menerus.
Lebih lanjut pendidikan Islam, oleh Endang Saifuddin Anshari
sebagaimana dikutip Rakhmawati (2013) diartikan sebagai proses
pengarahan/pembimbingan oleh subjek didik kepada perkembangan jiwa
(yang meliputi; keimanan, pikiran, perasaan, pikiran, intuisi, dan lainnya),
dan fisik/raga objek didik melalui beberapa materi tertentu, alokasi waktu
yang ditentukan, metode-metode tertentu, dan juga media belajar yang ada
menuju terbentuknya kepribadian yang yang utama, serta adanya evaluasi
yang bersesuaian dengan ajaran Islam.45 Pemaknaan tersebut didasarkan

43
) Rakhmawati, Pendidikan Karakter Perspektif Pendidikan Islam, hlm. 195.
44
) Sulaiman Ibrahim, Paradigma Baru Ilmu Pendidikan, (Jakarta; LeKas Publishing, 2014), hlm.
13.
45
) Rakhmawati, Pendidikan Karakter, Jurnal al-Ulum,

20
pada sebuah proses pendalaman materi-materi tertentu dengan
memperhatikan kondisi psikologis peserta didik. Pendapat lain tentang
pengertian pendidikan Islam diungkapkan oleh Yusuf al-Qardhawi yang
juga dikutip oleh Sulaiman Ibrahim (2014) yang mengemukakan bahwa
pendidikan Islam itu pendidikan manusia yang seutuhnya, akal dan
hatinya, ruhani dan jasmaninya, dan akhlak serta ketrampilannya. 46
Menurut Al-Ghulayani, pendidikan Islam sebagaimana dikutip oleh Nur
Uhbiyati (2005) diartikan sebagai penanaman akhlak mulia ke dalam
jiwa/ruhani anak pada waktu-waktu pertumbuhan dan perkembangannya
melalui “penyiraman air” pedoman, petunjuk, juga petuah/nasehat,
sehingga akhlaknya membentuk pada potensi-potensi yang meresap dan
merasuk ke dalam jiwa dan nalurinya lalu hasilnya mewujud pada
kemuliaan, kebaikan, keutamaan, dan cinta pada kerja agar bermanfaat
bagi tanah air.47 Abuddin (2014) mengartikan pendidikan Islam sebagai
proses menanamkan akhlak pada jiwa/ruhani peserta didik, penanaman
rasa kemuliaan, pembiasaan peserta didik dengan kesantunan yang luhur,
dan menyiapkannya guna suatu kesucian hidupnya secara menyeluruh,
secara tulus ikhlas dan sarat kejujuran.48
Dapat disimpulkan dari uraian diatas bahwa pada prinsipnya
pendidikan Islam merupakan suatu proses penanaman karakter Islami
secara terpadu, utuh, dan menyeluruh pada peserta didik melalui proses
pembimbingan, pengajaran, pengasuhan, pengarahan, dan pemberdayaan
potensinya, agar terbentuk kepribadian yang mulia baik secara individu
maupun masyarakat.
2. Dasar dan Asas Pendidikan Islam
Secara etimologi, kata “dasar” berarti yang paling bawah, alas,
fundamen, latar, yang melandasi, pangkal atau pokok sesuatu hal. Secara
46
) Sulaiman Ibrahim, Paradigma Baru, hlm. 13.
47
) Nur Uhbiyati, Ilmu Pendidikan Islam,(Bandung; Pustaka Setia, 2005), hlm. 10.
48
) Abuddin Nata, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta; Kharisma Putra, 2014), hlm. 16.

21
istilah, “dasar” mengandung pengertian berikut ini; Pertama,
‘hulu’/sumber dan menjadi sebab adanya/terjadinya sesuatu. Misalnya
alam logika/rasional adalah asas dalam indera manusia, artinya alam
logika/rasional adalah sumber dan menjadi sebab akan adanya alam indera.
Kedua, proposisi paling global/umum dan makna terluas yang dijadikan
sumber pengetahuan, ajaran atau hukum.49 Menurut Abuddin Nata (2012)
dasar/asas pendidikan yaitu semua hal yang konseptual, pola
pikir/pemikiran, dan ide/gagasan yang mengasasi, melandasi, dan
mendasari pendidikan.50 Berarti dasar pendidikan Islam merupakan semua
hal yang bersifat konseptual, pemikiran-pemikiran, dan ide maupun
gagasan yang mengasasi, melandasi, dan mendasari pendidikan Islam.
Berdasarkan pendapat Fatah Yasin (2000) bahwa oleh karena pendidikan
Islam berbasis agama yakni agama Islam maka idealnya mendasari dengan
al-Quran dan sunnah. Dasar pendidikan Islam tentu bersumber dari al-
Quran, sunnah nabi Muhammad SAW, dan ra’yu (hasil dari pemikiran).
Ketiga sumber/rujukan ini harus dilaksanakan secara hirarkis.51
a. Al-Quran; merupakan kalam Allah SWT yang diturunkan kepada nabi
Muhammad SAW untuk menjadi pedoman hidup manusia agar
memeroleh kemaslahatan dan kemabahagiaan di dunia dan akhirat.
Allah SWT menyatakan bahwa al-Quran sebagai petunjuk.

َ ِ‫ان يَ ۡه{ ِدي لِلَّتِي ِه َي أَ ۡق{ َو ُم َويُبَ ِّش { ُر ۡٱل ُم{ ۡ{ؤ ِمن‬
َ ‫ين ٱلَّ ِذ‬
َ {ُ‫ين يَ ۡع َمل‬
‫{ون‬ َ ‫إِ َّن ٰهَ{ َذا ۡٱلقُ{ ۡ{ر َء‬
٩ ‫يرا‬ٗ ِ‫ت أَ َّن لَهُمۡ أَ ۡج ٗرا َكب‬ َّ ٰ ‫ٱل‬
{ِ ‫صلِ ٰ َح‬
Artinya; ‘Sesungguhnya Al Quran ini memberikan petunjuk kepada
(jalan) yang lebih lurus dan memberi khabar gembira kepada
orang-orang Mu´min yang mengerjakan amal saleh bahwa
bagi mereka ada pahala yang besar” (Q.S. al-Israa ; 9)

49
) https://kbbi.web.id/dasar
50
) Abuddin Nata, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta; Kencana Prenada, 2012), hlm. 90.
51
) Fatah Yasin, Dimensi-dimensi Pendidikan Islam, (Yogyakarta; Sukses Offset, 2000), hlm. 5

22
Menurut Mahmud Syaltut, sebagaimana dikutip oleh Yunus Abu Bakar
(2014) bahwa petunjuk al-Quran diklasifikasikan jadi tiga pokok utama
beberapa maksud al-Quran, yakni; 1) Pedoman akidah yang semestinya
dijadikan rujukan manusia dan tertanam dalam iman terhadap keesaan
Tuhan, dan adanya yaum al-akhir. 2) Pedoman akhlak, yaitu tentang
nilai/norma-norma religius, juga tata susila yang wajib diteladani
manusia dalam hidup kesehariannya. 3) Pedoman syariah, yaitu asas-
asas hukum yang wajib dijadikan pegangan manusia dalam habl
minallah wa habl min al-nas .52
b. Sunnah; merupakan semua hal yang ‘hulunya’ dari Nabi Muhammad
SAW dalam bentuk qaul (perkataan/ucapan), fi’il (tindakan/perbuatan),
taqrir (ketentuan/penetapan), sifat/bahasa tubuh juga akhlak yang
maqashid dengannya sebagai tasyri’ (hukum/pensyari’atan) bagi
ummat Islam.53 Menurut Abdurrahman an-Nahlawy sebagaimana
dikutip oleh Yunus Abu Bakar (2014) bahwa Sunnah dalam ranah
pendidikan memiliki dua manfaat; yakni; 1) Menerangkan
manajemen/sistem pendidikan Islam yang tertuang dalam al-Quran dan
menjelaskan hal-hal secara rinci yang tidak termuat di dalamnya. 2)
Menentukan metodologi/strategi pendidikan yang dapat dipraktikkan.54
c. Ra’yu; merupakan suatu metode umat Islam guna menentukan sebuah
hukum dari masalah-masalah kontemporer yang belum/tidak ditemukan
dalam al-Quran dan Hadits. Manusia mempunyai nalar yang sanggup
berpikir secara komprehensif dan konsisten serta komitmen pada
Alquran dan Hadis sebagai bukti absahnya hasil ra'yu. Tetapi patut
diperhatikan bahwa akal/nalar dan ra'yu mempunyai perbedaan definisi.
Akal/nalar merupakan subjek (media/alat/pelaku yang melaksanakan
pemikiran), adapun ra'yu merupakan suatu objek/hasil dari prosesi
52
) Yunus Abu Bakar, Filsafat Pendidikan Islam, (Surabaya; UIN Sunan Ampel, 2014), hlm. 8
53
) https://almanhaj.or.id/2263-pengertian-as-sunnah-menurut-syariat.html
54
) Yunus Abu Bakar, Filsafat Pendidikan Islam, hlm. 9.

23
berpikir yang tujuannya mencari dan menemukan kebenaran/solusi
alternatif dari suatu hukum yang tidak ditemukan dalam al-Quran dan
hadits.55 Dalam perkembangannya, pendidikan sebagai
institusi/lembaga sosial akan terbawa ‘arus’ perubahan yang
bersesuaian dengan perubahan yang ada di masyarakat. Beberapa
perubahan pada masa kini ataupun di masa mendatang semestinya
tidaklah sama dengan saat era nabi Muhammad SAW, dan
membutuhkan kejelasan guna keperluan pendidikan di era kini. Guna
keperluan itu dibutuhkan ijtihad, yakni sebagai usaha sungguh-sungguh
memberdayakan potensi akal untuk menemukan solusi alternatif yang
terbaik dengan tetap berprinsip pada al-Quran dan sunnah. Menurut
Abuddin Nata (2012) bahwa al-Quran dan sunnah merupakan asas-
asas/dasar pendidikan Islam yang memuat seperti berikut;
1) Asas Tauhid; semua aktifitas/prosesi pendidikan Islam dilandasi
nilai-nilai/norma-norma Ilahiyah dan disemangati oleh ibadah.
2) Asas Kemanusiaan; pengakuan/komitmen akan hakekat dan
martabat/nilai-nilai kemanusiaan, hak-hak individu wajib
diapresiasi dan mendapat proteksi, dan sangat tidak dibenarkan
segala bentuk pelanggaran terhadap hak-hak manusia.
3) Asas kesatuan umat manusia; bahwa heterogennya warna kulit,
bahasa, suku dan sebagainya bukan suatu rintangan guna
merealisasikan persatuan dan kesatuan, sebab pada prinsipnya
manusia mempunyai titik fokus/tujuan yang tidak berbeda yakni
pengabdian terhadap Tuhan.
4) Asas Keseimbangan; kaitannya dengan dunia dan akhirat, jasmani
dan ruhani, individu dan sosial, ilmu dan amal merupakan asas
antara yang satu dan lainnya saling membutuhkan, saling
berhubungan dan saling terkait.
5) Asas Rahmatan lil Alamin; semua hasil karya/produk tiap muslim
termasuk pada bidang pendidikan berorientasi pada terciptanya
rahmatan lil alamin..56

Adapun asas pendidikan Islam menurut Abuddin Nata (2005)


bahwa penggunaan kata “dasar” merupakan tempat yang dimanfaatkan
55
) https://www.neliti.com/id/publications/58139/rayu-sebagai-sumber-hukum-islam
56
) Abuddin Nata, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta; Gaya Media, 2005), hlm. 63.

24
sebagai sandaran, pijakan/titik tolak dalam membentuk sesuatu ataupun
sebagai alas/landasan yang dijadikan guna pengembangan teori atau teori.
sedangkan kata “asas” sama maknanya dengan prinsip, yakni suatu
kebenaran yang digunakan sebagai dasar pokok/pondasi dalam menalar
dan melakukan tindakan. Kata asas atau prinsip adalah dasar operasional
atau dasar atas tindakan.57 Menurut Abuddin Nata sebagaimana dikutip
oleh Rahmat Hidayat (2016) bahwa mengacu pada sumber ajaran Islam,
prinsip-prinsip pendidikan meliputi hal-hal;
1) Prinsip wajib belajar mengajar; Menurut Musthafa Fahmi,
sebagaimana dikutip oleh Nuryanti (2008) bahwa belajar adalah
innata’alluma ‘ibarotun ‘an ‘amaliyati taghoyyurin au ta’dilin
fissuluuki awil khibroh (sesungguhnya belajar merupakan (ungkapan
yang menunjuk) aktifitas (yang menghasilkan) perubahan-perubahan
tingkah laku atau pengalaman). Proses tersebut menurut Athiyah al-
Abrosy diklasifikasi menjadi tiga kelompok, yakni: a) Durus al-
ma’lumat (belajar ilmu pengetahuan). b) Durus al-maharot (belajar
ketrampilan/ketangkasan), dan c) Durus al-tarqiyati al-dzauqi wa al-
wujdan (belajar tentang perasaan dan hati). Sedangkan menurut
Muhammad al-Hadi Afify, belajar dapat dikelompokkan menjadi
empat, yakni; a) al-Aqliyah (aqal/nalar), b) al-Khuluqiyah (akhlak), c)
al-Jismaniyah (fisik), dan d) al-Ijtima’iyah (sosial).58
2) Prinsip pendidikan untuk seluruhnya (education for all); supaya dalam
pendidikan bebas dari ketidakadilan, atau diskriminasi. Pendidikan
wajib disosialisasikan dan diajarkan pada seluruh individu, tanpa
membeda-bedakan latar belakang agama, suku bangsa, jenis kelamin,
domisili, status sosialnya dan lainnya.

57
) Abuddin Nata, Filsafat Pendidikan Islam, hlm. 59.
58
) Nuryanti, Metode Everyone is a Teacher Here dan Hasil Belajar, jurnal Hunafa, UIN
Kalijaga, vol.5 nomor 3, Desember 2008, hlm. 338.

25
3) Prinsip pendidikan sepanjang hayat (long life education); supaya
setiap individu secara terus menerus belajar dan meng-upgrade
dirinya sepanjang hayat/selama hidup.
4) Prinsip pendidikan berwawasan global dan terbuka;
knowledge/pengetahuan yang dikaji dan dipahami tidak hanya yang
ada di dalam negeri, namun juga ilmu yang ada di luar negeri, tetapi
sangat diutamakan/dibutuhkan untuk negeri sendiri.
5) Prinsip pendidikan yang integralistik dan seimbang; mengintegrasikan
pendidikan agama dan pendidikan umum, sebab antara agama dan
ilmu umum secara ontologis (hulu/sumbernya), epistemologis
(strategi/metodenya) juga secara aksiologis (fungsi dan manfaatnya)
asalnya dari satu sumber yang sama, yakni Allah SWT.
6) Prinsip pendidikan yang sesuai dengan bakatnya; kaitannya dengan
perencanaan agenda/program atau pemberian pembelajaran yang
sesuai dengan minat, hobi, bakat, dan keinginan/kecenderungan
manusia yang disesuaikan dengan tingkat tumbuh-kembang usianya.
7) Prinsip pendidikan yang menyenangkan, menggairahkan dan
menggembirakan; kaitannya dengan pelayanan pembelajaran yang
humanis, yakni yang bersesuaian dengan kebutuhan manusia,
senantiasa memberi solusi/jalan keluar dan problem solving, memberi
pencerahan, menyenengkan dan menggairahkan.
8) Prinsip pendidikan yang berbasis penelitian/riset dan perencanaan;
dilakukan, dan ditumbuhkembangkan atas dasar hasil riset dan kajian
yang sungguh-sungguh, dan bukan atas dasar asumsi/dugaan.
9) Prinsip pendidikan yang profesional, dan sarat keunggulan; fokus
utama pada kualitas lulusan/alumni yang handal, unggul dan
profesional, didukung dengan ragam komponen pendidikan lain yang
qualified..

26
10) Prinsip pendidikan yang rasional/logic dan objektif; penekanan
pada semua kebijakan/regulasi bidang pendidikan dapat dinarasikan
secara argumentatif dan ilmiah sehingga kebijakan tersebut dapat
direspon secara positif penuh pemahaman, kesadaran, dan pengertian,
bebas dari unsur paksaan.
11) Prinsip pendidikan yang berbasis komunitas masyarakat;
mengagendakan secara ideal dan stressing adanya inisiatif yang
partisipatif secara penuh dan kokoh dari komunitas masyarakat.
Pendidikan sebagai sesuatu yang sistematis maupun proses yakni
aktifitas yang tentu membutuhkan dukungan seluruh disiplin ilmu,
kecakapan/keahlian, dan ketrampilan khusus, serta hal lainnya.
12) Prinsip pendidikan yang linier dengan perkembangan zaman;
pentingnya kesesuaian ragam kebijakan dan agenda program
pendidikan match dengan kebutuhan dan perkembangan zaman, tanpa
pengorbanan akan sesuatu yang bersifat ajaran dan prinsip, sebab
tugas dan orientasi pendidikan yakni menyiapkan dan menghantarkan
seseorang supaya mampu hidup, survive, dan juga eksis sesuai dengan
eranya.
13) Prinsip pendidikan sejak usia dini; penekanan pada bagaimana agar
tidak ada keterlambatan bagi anak untuk mendapatkan pendidikan, dan
juga penekanan pada prinsip bahwa usia dini adalah saat terbaik guna
diawalinya pendidikan. Kesadaran akan perlunya pendidikan anak usia
dini ini harus mulai disadari dan diperhatian, setelah beberapa fakta
yang memaparkan bahwa sikap dan tingkah laku individu pada usia
dewasa sangat dipengaruhi dan ditentukan oleh pendidikan yang
diterimanya saat masih anak-anak.
14) Prinsip pendidikan yang terbuka; penekanannya pada bagaimana
dalam pengelolaan pendidikan selalu terbuka/transparan kepada
komunitas masyarakat guna menarasikan gagasan, saran, masukan,

27
dan nalar kritis/pemikiran yang sangat diharapkan bagi kemajuan dan
keberhasilan pendidikan.59
Dengan prinsip-prinsip di atas, menjadi landasan operasional pendidikan
Islam dalam implementasinya, dan mempunyai tanggung jawab dan
amanah yang beragam dan kompleks, sebab berkaitan dengan semua
aspek hidup manusia.
4. Nilai-nilai dalam Pendidikan Islam
Mencermati perkembangan pengetahuan dan teknologi tentu tidak
semuanya akan berdampak positif, sehingga pendidikan Islam perlu
menanamkan nilai-nilai terhadap peserta didik guna mengantisipasi hal-
hal yang cenderung negatif. Disamping guna memerkokoh mental
spiritual peserta didik sekaligus membentengi diri dari berbagai ekses-
ekses negatif. Di antara nilai-nilai pendidikan Islam yang perlu
ditanamkan adalah;
a. Nilai Aqidah; berasal dari kata aqada ya’qidu aqdan artinya
mengumpulkan atau mengokohkan. Menurut E. Saifuddin Anshari
(1990) pengertian aqidah yaitu ideologi/keyakinan hidup secara arti
khusus/khas, yakni ikrar komitmen yang bertumpu pada hati.60 Sejalan
dengan pernyataan tersebut Nasaruddin Razak berpendapat
sebagaimana dikutip oleh Yunus Abu Bakar (2014) bahwa aqidah
merupakan keimanan dan keyakinan, sesuatu yang patut dipercaya
lebih dulu sebelum hal lainnya, kepercayaan itu hendaknya secara
tekad bulat dan sarat komitmen, tidak terpengaruh akan sikap ragu,
syak, dan samar.61 Penjabaran dari aqidah tentu berhubungan dengan
aqidah Islam, yakni rukun iman dan berbagai cabangnya. Peserta didik
wajib mendapatkan pembinaan aqidah yang kuat, yang akan
59
) Rahmat Hidayat dan Henni Nasution, Filsafat Pendidikan Islam, Membangun Konsep Dasar
Penddikan Islam, hlm. 93.
60
) Endang Saifuddin Anshari, Wawasan Islam, Pokok-pokok Pemikiran Tentang Islam, (Jakarta;
Rajawali, 1990), hlm. 24.
61
) Yunus Abu Bakar, Filsafat Penididikan Islam, hlm. 64.

28
membekali dan membawanya kepada kepribadian yang penuh
keimanan dan ketaqwaan kepada Allah SWT. Dasar dari aqidah
sebagaimana difirmankan Allah dalam al-Quran;
‫ب ٱلَّ ِذي نَ { َّز َل َعلَ ٰى َر ُس {ولِ ِهۦ‬ ِ ٓ َ‫{وا بِٱهَّلل ِ َو َر ُس {ولِ ِهۦ َو ۡٱل ِك ٰت‬
ْ {ُ‫{و ْا َءا ِمن‬
ٓ {ُ‫ين َءا َمن‬َ ‫ٰيَٓأَيُّهَ{{ا ٱلَّ ِذ‬
ُ ‫ي أَن َز َل ِمن قَ ۡب{ ۚ ُل َو َمن يَ ۡكفُ{ ۡ{ر بِٱهَّلل ِ َو َم ٰلَئِ َكتِ ِهۦ َو ُكتُبِ ِهۦ َور‬
‫ُس {لِ ِهۦ َو ۡٱليَ{ ۡ{و ِم‬ ِ َ‫َو ۡٱل ِك ٰت‬
ٓ ‫ب ٱلَّ ِذ‬
١٣٦ ‫ض ٰلَاَۢل بَ ِعيدًا‬ َ ‫ض َّل‬ َ ‫ٱأۡل ٓ ِخ ِر فَقَ ۡد‬
Artinya; “Wahai orang-orang yang beriman, tetaplah beriman kepada
Allah dan Rasul-Nya dan kepada kitab yang Allah turunkan
kepada Rasul-Nya serta kitab yang Allah turunkan
sebelumnya. Barangsiapa yang kafir kepada Allah, malaikat-
malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, dan hari
kemudian, maka sesungguhnya orang itu telah sesat sejauh-
jauhnya.” (Q.S. an-Nisa : 136)

b. Nilai Ibadah; dari segi etimologi menurut Nurcholis Majid


sebagaimana dikutip oleh Yunus Abu Bakar (2014) bahwa “ibadat”
(Arab; ibadah; mufrad, “ibadat”-jama’), berarti
pengabdian/penghambaan (seakar dengan kata Arab; abd yang berarti
hamba atau budak), yakni pengabdian (dari kata abdi) atau
penghambaan diri kepada Allah SWT, yang dalam pengertian lebih
luas ibadah meliputi aktifitas manusia secara menyeluruh dalam
kehidupan di dunia, meliputi pula aktifitas “duniawi” kesehariannya.
Jika aktifitas ini dilaksanakan melalui perilaku batiniyah, juga niatan
untuk mengabdi dan menghamba diri kepada Tuhan, merupakan
tindakan bermoral.62 Menurut Yunus Abu Bakar (2014) bahwa ibadah
merupakan perwujudan perilaku yang didasari rasa pengabdian kepada
Allah SWT. Juga, ibadah adalah keharusan/wajib bagi muslim yang
tidak terlepas dari aspek tauhid/keimanan. Keimanan sebagai
fundamen, adapun ibadah sebagai manifestasi dari keimanannya.63
Keterkaitannya dengan ibadah ini tentu berhubungan dengan

62
) Yunus Abu Bakar, Filsafat Pendidikan Islam, hlm. 66.
63
) Yunus Abu Bakar, Filsafat Pendidikan Islam, hlm. 66.

29
pembinaan rukun Islam, termasuk ibadah dalam bentuk muamalah
yang sangat perlu untuk dilatihkan dan dibiasakan terhadap peserta
didik.
c. Nilai Akhlak; akhlak berawal dari bahasa Arab jama’ dari khuluqun
yang secara etimologi artinya perangai, budi pekerti, tabiat, atau
tingkah laku. Maka bisa diambil kesimpulan bahwa akhlak berkaitan
dengan aktifitas individu dalam relasinya dengan dirinya maupun
orang lain, juga lingkungan komunitas sekitarnya.64 Menurut Ahmad
Amin sebagaimana dikutip oleh Yunus Abu Bakar (2014) definisi
akhlak merupakan ilmu/pengetahuan yang meneramgkan arti kebaikan
dan keburukan, menjelaskan hal yang semestinya dilakukan oleh
manusia terhadap manusia lainnya, menunjukkan tujuan yang
seharusnya dicapai oleh manusia dalam sikap dan tingkah lakunya dan
menunjukkan arah guna melaksanakan hal yang seharusnya
dilakukan.65 Dengan demikian akhlak merupakan deskripsi sifat mental
manusia tentang baik dan buruk tentang ucapan, sikap, tingkah laku,
dan perbuatan manusia. Dalam konteks pendidikan Islam, akhlak
ditengarai dalam bentuk bagaimana berakhlak kepada Allah SWT,
kepada orangtua, kepada pendidik dan tenaga kependidikan, kepada
sesama manusia atau orang lain, dan kepada makhluk Allah SWT.
5. Tujuan Pendidikan Islam
a. Tujuan Umum
Tujuan umum ialah tujuan yang akan dicapai dengan semua
kegiatan pendidikan, baik dengan pembelajaran atau dengan cara
lainnya. Tujuan ini meliputi seluruh aspek kemanusiaan, seperti; sikap,
tingkah laku, penampilan, kebiasaan, dan pandangan.66 Menurut
Musthafa al Maraghi sebagaimana dikutip oleh Rahmat Hidayat (2016)
64
) Hamzah Ya’qub, Etika Islam, (Bandung; CV. Diponegoro, 2006), hlm. 11
65
) Yunus Abu Bakar, Filsafat Pendidikan Islam, hlm. 68.
66
) Ngalim Purwanto,

30
bahwa dalam kosa kata bahasa Arab, istilah “tujuan” berpadanan kata
dengan maqashid yang menunjukkan kepada jalan lurus. Kata tersebut
merupakan kata jadian dari qashada yang tersebar dalam al-Quran
yang memberi arti pokok. Berdasakan istilah tersebut maka tujuan
pendidikan (maqashid al-tarbiyah) dalam Islam mengacu pada tujuan
umum yang mengarah kepada tujuan akhir melalui tujuan antara.
Tujuan pendidikan Islam bertitik tolak dari konsep penciptaan manusia
sebagai khalifah dan fitrah manusia. Manusia dalam al-Quran
menempati posisi yang sangat istimewa, karena ia diciptakan oleh
Allah sebagai khalifatan fil ardhi (wakil Tuhan) dengan tugas dan
fungsi untuk ibadah hanya kepadaNya.67 Pendidikan Islam yang sesuai
dengan al-Quran dapat membentuk manusia sejati, yang selalu
mendekatkan diri kepada Allah SWT, meletakkan sifat-sifat Allah
dalam perkembangan pribadi manusia serta dapat merealisasikan sifat-
sifat Allah dalam setiap menjalankan fungsi-fungsi kehidupan.
Menurut Hujair AH. Sanaky (2003) bahwa sebenarnya pendidikan
Islam telah memiliki visi dan misi yang ideal, yaitu Rahmatan lil
alamin, selain itu konsep dasar filosofis pendidikan Islam lebih
mendalam dan menyangkut persoalan hidup multi dimensional, yaitu
pendidikan yang tidak terpisahkan dari tugas kekhalifahan manusia,
atau secara lebih khusus merupakan upaya menyiapkan kader-kader
khalifah guna menyongsong peradaban dunia yang dinamis, makmur,
harmonis, juga lestari seperti isyarat dalam al-Quran.68 Melengkapi
pendapat tersebut, Abdul Fatah Jalal menambahkan, sebagaimana
dikutip oleh Rahmat Hidayat (2016) bahwa tujuan secara umum
pendidikan Islam adalah terbentuknya individu yang merupakan hamba
Allah, maka pendidikan semestinya mencetak semua manusia yang
67
) Rahmat Hidayat, Filsafat Pendidikan Islam, hlm. 108.
68
) Hujair AH. Sanaky, Paradigma Pendidikan Islam, Membangun Masyarakat Indonesia,
(Yogyakarta; Safiria Insania Pres, 2003), hlm. 142.

31
menghamba dan mengabdi kepada Allah, menghamba diri adalah
melaksanakan ibadah kepada Allah.69
b. Tujuan Khusus
Menurut Ahmad Tafsir sebagaimana dikutip oleh Rakhmawati (2013)
bahwa secara khusus pendidikan Islam bertujuan;
1) Mendidik individu yang saleh dengan memerhatikan seluruh
dimensi perkembangannya, ruhaniah, sosial, emosional,
fisik/jasmani, dan intelektual.
2) Mendidik warga komunitas sosial yang saleh, saleh dalam lingkup
keluarga dan juga komunitas masyarakat Islam, yakni melalui
penanaman sikap peduli sosial dan bekal skill/ketrampilan mental
maupun kerja, atau keduanya, yang diharapkan dapat menjadi
warga yang memberi manfaat/berguna, bukan sebaliknya
membebani komunitas masyarakat.
3) Mendidik individu yang saleh untuk komunitas insani yang jamak
yakni cinta dan kasih sayang terhadap umat manusia serta
berkontribusi untuk pengembangannya.70
Menurut Munzir Hitami (2004) bahwa tujuan pendidikan Islam
tidaklah terpisah dari tujuan hidup manusia menurut Islam, yakni guna
mencetak pribadi/individu hamba Allah yang senantiasa bertaqwa
kepadaNya, dan mencapai kebahagiaan hidup dunia akhirat.71
Berarti pada prinsipnya tujuan pendidikan Islam senada/semakna
dengan pendidikan karakter, namun kadang secara keseluruhannya
tidak terjangkau dalam proses pembelajaran maka peserta didik
terorientasi hanya pada angka/nilai kelulusan. Dari uraian-urian
tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa tujuan pendidikan Islam

69
)
70
) Rakhmawati, Pendidikan Karakter Perspektif Pendidikan Islam, hlm. 199.
71
) Munzir Hitami, Menggagas Kembali Pendidikan Islam, (Yogyakarta; Infinite Press, 2004),
hlm. 32.

32
dapat mencetak/mewujudkan karakteristik pendidikan Islam yang
terdiri atas;
1) Mengutamakan pada upaya pencarian/penggalian ilmu
pengetahuan, pemahaman, penguasaan, juga pengembangan atas
dasar ibadah kepada Allah SWT.
2) Menekankan pada norma-norma/nilai positif akhlak.
3) Mengakui potensi, kelebihan, ketrampilan, dan kemampuan
individu guna tumbuh-kembangnya dalam suatu kepribadian.
4) Mengamalkan pengetahuan berdasarkan amanah dan tanggung
jawab kepada Tuhan dan juga umat manusia.

D. Pendidikan Karakter dalam Perspektif Pendidikan Islam


1. Ruang Lingkup
Secara teoritik Pendidikan karakter sejatinya sudah ada sejak risalah
Islam diwahyukan melalui nabi Muhammad SAW guna memperbaiki dan
menyempurnakan sikap, perilaku, dan perbuatan manusia, yang dikenal
dengan istilah karakter atau akhlak manusia. Ajaran dan nilai-nilai dalam
ajaran Islam memuat sistematika nilai ajaran yang bukan hanya
mengajarkan aspek ideologi/keimanan, peribadahan, dan
muamalah/hubungan antar sesama, tapi juga aspek karakter atau akhlak.
Dalam konteks pendidikan Islam, istilah akhlak yang jamaknya adalah al-
khuluq (karakter) diartikan oleh Abdul Mujib sebagaimana dikutip oleh
Nur Hidayah (2015) yaitu kondisi batiniah yang meliputi al-thab’u (tabiat)
dan al-sajiyah (bakat), yang dalam terminologi psikologi merupakan
perangai atau watak, sifat yang mendasar dan khas, suatu karakter dasar
ataupun kualitas pribadi yang kokoh mengakar, juga kekal dan bisa
difungsikan sebagai ciri tertentu guna identifikasi seseorang. Adapun
elemen karakter terbentuk atas insting, kebiasaan, dorongan, refleksi,
kecenderungan, emosi, minat, perasaan, kebaikan, sentimen, kemauan,

33
juga perasaan dosa.72 Pernyataan ini menandakan bahwa karakter sejatinya
suatu watak dan kebiasaan yang muncul dari dalam diri (batin) yang
terdiri atas nilai-nilai karakter sebagai sebuah insting dan kebiasaan.
Menurut Zubaedi (2012) bahwa,
Karakter dapat ditumbuhkembangkan dengan tahapan atas
pengetahuan (knowing), tindakan (acting), menuju suatu kebiasaan
(habit). Karakter bukan sebatas kognitif/pengetahuan. Individu yang
mempunyai suatu pengetahuan dalam hal kemuliaan tidak menjamin
dapat berbuat sesuai dengan pengetahuan yang dimilikinya bila tidak
terbiasa/terlatih guna menerapkan kebaikan itu. Secara lebih
mendalam, karakter lebih menyentuh area kebiasaan diri sendiri dan
emosi. Oleh karenanya, dibutuhkan perangkat karakter-karakter mulia
(components of good character), yakni moral knowing (hal-hal
tentang etika/moral), moral feeling (emosi/perasaan tentang moral)
dan moral action (tindakan moral). Hal tersebut dibutuhkan peserta
didik agar mampu mengetahui, memahami, merasakan, dan
menyelesaikannya berikut nilai-nilai kebaikan.73

Aspek-aspek dalam pendidikan Islam sudah include di dalamnya


aspek karakter, di antaranya; 1) Aspek akidah/iman yang meliputi nilai
sikap dan perilaku keberagamaan/religius. 2) Aspek ibadah yang meliputi
kepedulian sosial, kreatifitas, mandiri, kerja keras, peduli lingkungan, dan
sebagainya. 3) Aspek muamalah yang meliputi nilai kejujuran, rasa ingin
tahu, toleransi, nasionalisme, demokratis, cinta tanah air, semangat
kebangsaan, cinta damai, bertanggung jawab, komunikatif, dan
menghargai prestasi. Pada prinsipnya nilai-nilai dalam karakter
merupakan bagian yang tak terpisahkan dari pendidikan Islam. Nilai-nilai
dalam pendidikan karakter yang diinternalisasikan kepada peserta didik
dan aspek-aspek dalam pendidikan Islam keduanya memiliki persamaan,
saling berkaitan, dan saling menguatkan dalam proses pembangunan
karakter bangsa melalui pembelajaran di institusi pendidikan.
2. Metode
72
) Nur Hidayah, Konsep Pendidikan Karakter dalam Perspektif Pendidikan Islam, jurnal
Pendidikan Islam, IAIN Salatiga, 2015, hlm. 74.
73
) Zubaedi, Desain Pendidikan Karakter, (Jakarta; Kencana, 2012), hlm. 110.

34
Dalam proses pendidikan karakter tentu dibutuhkan ragam metode
yang dapat menginternalisasi beberapa nilai karakter pada peserta didik
secara tepat, baik, dan benar agar mereka tidak hanya mengerti tentang
moral (moral knowing), tapi juga dapat menerapkannya (moral action)
yang merupakan arah dan fokus pembelajaran karakter. Metode
pembelajaran karakter memiliki kesamaan dengan ragam metode dalam
pendidikan Islam. Metode dalam pendidikan Islam merujuk dan mengacu
dari al-Quran dan al-Hadits, yang sarat dengan muatan aspek-aspek
kemanusiaan, pengembangan potensi akal dan jiwa, memperhatikan
tingkat kemampuan, aspek motivasi, intuisi bagi individu, dan siapnya
mental dalam proses pembelajaran. Hal ini sebagaimana nabi Muhammad
SAW terapkan terhadap sahabat-sahabatnya. Abuddin Nata menawarkan
metode pendidikan Islam sebagaimana dikutip oleh Zaki Fuad (2020),
yaitu;
a. Metode Uswah/keteladanan; metode yang dianggap sangat penting
karena aspek agama yang paling inti adalah akhlak, yang termasuk
dalam ranah afektif yang berwujud tingkah laku.
‫{وا ٱهَّلل َ َو ۡٱليَ{ ۡ{و َم ٱأۡل ٓ ِخ{ َر‬ َ {‫ة لِّ َمن َك‬ٞ َ‫ُول ٱهَّلل ِ أُ ۡس َوةٌ َح َسن‬
ْ {‫{ان يَ ۡر ُج‬ ِ ‫ان لَ ُكمۡ فِي َرس‬ َ ‫لَّقَ ۡد َك‬
ٗ ِ‫َو َذ َك َر ٱهَّلل َ َكث‬
٢١ ‫يرا‬
Artinya; “Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri
teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap
(rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak
menyebut Allah”. (Q.S. al-Ahzab 21)

b. Metode Qisshah (cerita); cerita yang mengandung ibrah dan hikmah,


sebagai metode yang berpengaruh besar pada unsur perasaan.

َ ‫ك ٰهَ{ َذا ۡٱلقُ{ ۡ{ر َء‬


َ ‫ان َوإِن ُك‬
‫نت‬ َ ‫ص بِ َمٓا أَ ۡو َح ۡينَٓا إِلَ ۡي‬ َ َ‫ك أَ ۡح َس َن ۡٱلق‬
ِ ‫ص‬ َ ‫نَ ۡح ُن نَقُصُّ َعلَ ۡي‬
٣ ‫ين‬ َ ِ‫ِمن قَ ۡبلِِۦه لَ ِم َن ۡٱل ٰ َغفِل‬
Artinya: “Kami menceritakan kepadamu kisah yang paling baik
dengan mewahyukan Al Quran ini kepadamu, dan
sesungguhnya kamu sebelum (Kami mewahyukan)nya

35
adalah termasuk orang-orang yang belum mengetahui”.
(Q.S. Yusuf: 3).

c. Metode Nasihah (nasehat); metode ini hanya diberikan kepada peserta


didik yang melanggar peraturan, dan sasarannya adalah timbulnya
kesadaran pada peserta didik agar mau insaf melaksanakan ketentuan
hukum.
‫يم‬ٞ ‫ك لَظُ ۡل ٌم َع ِظ‬ ِّ ‫ي اَل تُ ۡش { ِر ۡك بِٱهَّلل ۖ ِ إِ َّن‬
َ ‫ٱلش { ۡر‬ َّ َ‫ٱِلبنِ ِهۦ َوهُ َو يَ ِعظُهۥُ ٰيَبُن‬ َ َ‫َوإِ ۡذ ق‬
ۡ ‫ال لُ ۡق ٰ َم ُن‬
َ ٰ ِ‫ َو َوص َّۡينَا ٱإۡل ِ ن ٰ َس َن بِ ٰ َولِ َد ۡي ِه َح َملَ ۡتهُ أُ ُّمهۥُ َو ۡهنًا َعلَ ٰى َو ۡه ٖن َوف‬١٣
‫صلُ ۥهُ فِي َع{{ا َم ۡي ِن‬
١٤ ‫صي ُر‬ ِ ‫ي ۡٱل َم‬ َّ َ‫ك إِل‬ َ ‫ٱش ُك ۡر لِي َولِ ٰ َولِ َد ۡي‬ۡ ‫أَ ِن‬
Artinya: “Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, di
waktu ia memberi pelajaran kepadanya: "Hai anakku,
janganlah kamu mempersekutukan Allah, sesungguhnya
mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang
besar. Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik)
kepada dua orang ibu-bapaknya; ibunya telah
mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-
tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah
kepada-Ku dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya
kepada-Kulah kembalimu.” (Q.S. Luqman: 13-14).

d. Metode Thabiah (pembiasaan); menekankan pentingnya membiasakan


suatu tindakan dan kebiasaan yang baik dan benar. Diaplikasikan guna
berubahnya semua karakteristik/sifat-sifat baik menjadi kebiasaan.
e. Metode Hukuman dan Ganjaran; metode ini digunakan sebagai
alat/sarana guna memerbaiki perilaku individu yang melanggar dalam
kategori sulit guna mendapat bimbingan konseling, sedangkan reward
diberikan sebagai apresiasi bagi yang memiliki prestasi dan berperilaku
baik.
f. Metode Ceramah (khutbah); metode ini merupakan yang secara
dominan diaplikasikan dalam penyampaian atau mengajarkan individu
lain guna keikutsertaan pada ajaran yang ditetapkan. Metode ini
merujuk pada firman Allah;

36
ُ ِ‫َو َما َعلَ ۡينَٓا إِاَّل ۡٱلبَ ٰلَ ُغ ۡٱل ُمب‬
١٧ ‫ين‬
Artinya; “Dan kewajiban kami tidak lain hanyalah menyampaikan
(perintah Allah) dengan jelas". (Q.S. Ya sin : 17)
g. Metode Diskusi: metode ini digunakan untuk melakukan proses
pembelajaran/pendidikan pada individu yang tujuannya agar ada
kemantapan pemahaman, pengertian, dan sikap pengetahuan mereka
terhadap sesuatu masalah. Metode ini merujuk pada firman Allah;

َ ۖ ِ‫وا ِم ۡن َح ۡول‬
‫ك‬ ْ ُّ‫ب ٱَلنفَض‬ِ ‫نت فَظًّا َغلِيظَ ۡٱلقَ ۡل‬ َ ‫نت لَهُمۡۖ َولَ ۡو ُك‬
َ ِ‫فَبِ َما َر ۡح َم ٖة ِّم َن ٱهَّلل ِ ل‬
‫ت فَتَ َو َّك ۡل َعلَى‬ َ {‫او ۡرهُمۡ فِي ٱأۡل َمۡ { ۖ ِر فَ {إِ َذا َع‬
َ ۡ‫{زم‬ ِ { ‫ٱستَ ۡغفِ ۡر لَهُمۡ َو َش‬ ۡ ‫ف َع ۡنهُمۡ َو‬ ُ ‫ٱع‬ۡ َ‫ف‬
١٥٩ ‫ين‬ َ ِ‫ٱهَّلل ۚ ِ إِ َّن ٱهَّلل َ ي ُِحبُّ ۡٱل ُمتَ َو ِّكل‬
Artinya: “Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku
lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap
keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri
dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka,
mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah
dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu
telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah.
Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal
kepada-Nya” (Q.S. al Imran : 159)

h. Metode Tanya Jawab; metode ini menekankan pada cara penyampaian


materi pembelajaran oleh pendidik dengan jalan mengajukan
pertanyaan dan peserta didik memberikan jawaban. Hal ini sangat
bermanfaat bagi peserta didik karena melalui tanya jawab peserta
didik dapat juga menanyakan tentang apa yang tidak dipahami.
i. Metode Kerja Kelompok; metode ini mengondisikan kelas yang terdiri
dari kesatuan individu peserta didik yang memiliki potensi beragam
untuk bekerja sama dan saling membantu. Hal ini merujuk pada
firman Allah:
ْ ُ‫وا َعلَى ٱإۡل ِ ۡث ِم َو ۡٱلع ُۡد ٰ َو ۚ ِن َوٱتَّق‬ ۖ
َ ۖ ‫وا ٱهَّلل‬ َ ‫وا َعلَى ۡٱلبِرِّ َوٱلتَّ ۡق َو ٰى َواَل تَ َع‬
ْ ُ‫اون‬ ْ ُ‫اون‬ َ ‫ َوتَ َع‬...
٢‫ب‬ {ِ ‫إِ َّن ٱهَّلل َ َش ِدي ُد ۡٱل ِعقَا‬
Artinya: “...Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan)
kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam
37
berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu
kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya”.
(Q.S. al-Maidah : 2)

j. Metode Latihan; metode ini digunakan untuk memeroleh suatu


ketrampilan dari apa yang telah dipelajari. Biasanya metode ini juga
digunakan guna mengembangkan intelektual peserta didik secara
mandiri. Metode ini berorientasi agar peserta didik memiliki
kesungguhan dalam belajar, yakni selalu berlatih secara sungguh-
sungguh. Hal ini merujuk pada firman Allah:
ْ ‫وا ٱهَّلل َ َو ۡٱبتَ ُغ ٓو ْا إِلَ ۡي ِه ۡٱل َو ِس{يلَةَ َو ٰ َج ِه{ ُد‬
ۡ‫وا فِي َس{بِيلِِۦه لَ َعلَّ ُكم‬ ْ ُ‫وا ٱتَّق‬ َ ‫ٰيَٓأَيُّهَا ٱلَّ ِذ‬
ْ ُ‫ين َءا َمن‬
٣٥ ‫ُون‬َ ‫تُ ۡفلِح‬
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah
dan carilah jalan yang mendekatkan diri kepada-Nya, dan
berjihadlah pada jalan-Nya, supaya kamu mendapat
keberuntungan”. (Q.S. al-Maidah :35)74

Berkaitan dengan metode pendidikan Islam, Abdul Majid berpendapat,


sebagaimana dikutip oleh Mainuddin (2017) bahwa metode pendidikan
Islam secara umum adalah;
a. Metode Tarbiyah; berorientasi pada penumbuhan sifat peduli, perasaan
empati, dan rasa kasih sayang. Pendidik harus bisa berperan bukan
hanya sebagai pengajar tapi juga sebagai orangtua yang memiliki
hubungan interpersonal yang baik dengan peserta didik.
b. Metode Ta’dib; lebih menekankan pada upaya tumbuhkembangnya
iman dan taqwa (pendidikan/manajemen qalbu), juga internalisasi nilai
karakter, orientasinya adalah pada pembentukan komitmen moral dan
etika. Memiliki karakter yang kuat, integritas, dan menjadi Mujaddid.
c. Metode Tazkiyah; lebih berorientasi guna pengembangan spiritualitas
dan kejernihan jiwa, sehingga akan terbentuk jiwa yang tenang (nafsu
al-mutmainnah).
74
) Zakki Fuad, Materi Ilmu Pendidikan Islam, (Surabaya; UIN Sunan Ampel, 2020), hlm. 157.

38
d. Metode Tadlrib; berfungsi guna menumbuh-kembangkan ketrampilan
jasmani/fisik, kemampuan psikomotorik, dan juga kesehatan secara
fisiknya. Output dari metode ini diharapkan dapat terbentuk peserta
didik yang dapat menjadi pekerja keras, tangguh, dan ulet.75
Senada dengan pendapat di atas, Tobroni berpendapat sebagaimana
dikutip oleh Salmiwati (2019) bahwa konsep pendekatan pembelajaran
dalam pendidikan Islam meliputi;
a. Tilawah; terkait dengan potensi dalam hal membaca
b. Ta’lim; terkait dengan upaya pemberdayaan potensi cerdas secara
intelektual (intelectual quotient).
c. Tarbiyah; upaya menumbuhkembangkan rasa peduli dan perasaan
belas kasih dan sayang secara naluriah, termasuk didalamnya sikap
asuh, dan asah, .serta asih.
d. Ta’dib; menekankan pada upaya menumbuhkembangkan
perasaan/emosi (emotional quotient).
e. Tazkiyah; berorientasi pada tumbuhkembangnya kecerdasan secara
spiritual (spiritual quotient).
f. Tadlrib; terkait dengan kecerdasan fisik atau ketrampilan (physical
quotient atau adversity quotient).76
Metode pembelajaran yang diterapkan di lembaga pendidikan sebenarnya
banyak dan variatif. Pada umumnya metode pembelajaran pada masing-
masing sekolah menyesuaikan dengan situasi dan kondisi serta latar
belakang sosial, psikologi, pendidikan, dan ekonomi setempat. Secara
khusus metode pembelajaran disesuaikan dengan mata pelajaran dan
pokok bahasannya, sebab penerapan metode pembelajaran tetap harus
mengacu pada tujuan pembelajaran. Hal itu sebagaimana ungkapan

75
) Mainuddin, Pendidikan Karakter dalam Perspektif Pendidikan Agama Islam, Jurnal al-
Munawwarah, Pendidikan Islam, volume 9, nomor 1, Maret 2017, ISSN; 2088-8503, hlm. 15.
76
) Salmiwati, Konsep Belajar dalam Perspektif Pendidikan Islam, Jurnal Pendidikan Islam
Murabby, volume 2 Nomor 1, April 2019, hlm. 42.

39
Pradana dkk. (2010) bahwa substansinya metode pembelajaran merupakan
bentuk transformasi pesan-pesan nilai dan hikmah dari rahmah Allah
SWT kepada peserta didik agar terbentuk karakter yang kuat dan akhlak
yang mulia. Dalam pengertian lain bahwa metode pembelajaran sebagai
pengemban misi suci karena metode sama utamanya dengan substansi dan
tujuan pembelajaran itu sendiri.77
3. Deskripsi Karakter Islami
Beberapa nilai dalam pendidikan karakter dalam perspektif pendidikan
Islam meliputi;
a. Rasa ingin tahu; merupakan sikap, perilaku, dan perbuatan yang
senantiasa berusaha guna memahami lebih dalam dan luas dari hal-hal
yang didengarnya, dilihatnya, dan dipelajarinya. Hal ini sesuai dengan
firman Allah dalam al-Quran;

َ ٰ ‫ون َش ٗۡ‍ٔيا َو َج َع َل لَ ُك ُم ٱلسَّمۡ َع َوٱأۡل َ ۡب‬


‫ص َر‬ َ ‫ون أُ َّم ٰهَتِ ُكمۡ اَل تَ ۡعلَ ُم‬
ِ ُ‫َوٱهَّلل ُ أَ ۡخ َر َج ُكم ِّم ۢن بُط‬
٧٨ ‫ُون‬َ ‫َوٱأۡل َ ِۡٔٔ‍فِ{ َدةَ لَ َعلَّ ُكمۡ تَ ۡش ُكر‬
Artinya; “Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam
keadaan tidak mengetahui sesuatupun, dan Dia memberi
kamu pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu
bersyukur.” (Q.S. al-Nahl : 78)

ٓ
ُ‫ان َع ۡن{{ ه‬ َ ِ‫ص َر َو ۡٱلفُ َؤا َد ُكلُّ أُ ْو ٰلَئ‬
َ ‫ك َك‬ َ َ‫ك بِ ِهۦ ِع ۡل ۚ ٌم إِ َّن ٱلسَّمۡ َع َو ۡٱلب‬
َ َ‫س ل‬ ُ ‫َواَل تَ ۡق‬
َ ‫ف َما لَ ۡي‬
٣٦ ‫سواٗل‬ ‍ُٔ{ُٔۡ ‫َم‬
Artinya; “Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak
mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya
pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan
diminta pertanggungan jawabnya.” (Q.S. al-Israa: 36)

b. Semangat Kebangsaan; deskripsinya merupakan cara menggunakan


nalar kritis/berpikir, melakukan tindakan, dan memiliki wawasan yang
mengutamakan kepentingan akan negara dan bangsa melebihi

77
) Pradana dkk (tim AIK), Rekonstruksi Agama untuk Membangun Etika Sosial dalam
Kehidupan Berbangsa dan Bernegara, (Malang; UMM Press, 2010), hlm. 41.

40
kepentingan diri dan komunitas/kelompoknya. Hal ini bersumber dari
al-Quran;
ۚ
َ {‫ٰيَٓأَيُّهَا ٱلنَّاسُ إِنَّا َخلَ ۡق ٰنَ ُكم ِّمن َذ َك ٖر َوأُنثَ ٰى َو َج َع ۡل ٰنَ ُكمۡ ُش ُعوبٗ ا َوقَبَٓائِ َل لِتَ َع‬
‫{ارفُ ٓو ْا إِ َّن‬
١٣ ‫ير‬ ٞ ِ‫أَ ۡك َر َم ُكمۡ ِعن َد ٱهَّلل ِ أَ ۡتقَ ٰى ُكمۡۚ إِ َّن ٱهَّلل َ َعلِي ٌم َخب‬
Artinya: “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari
seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan
kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu
saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling
mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling
takwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui
lagi Maha Mengenal.” (Q.S. al-Hujurat: 13)

c. Cinta tanah air; dideskripsikan sebagai cara bernalar/pemikiran,


bersikap, dan bertindak yang berorientasi pada kepedulian, kesetiaan,
dan apresiasi secara terhormat akan lingkungan fisik, bahasa, budaya,
sosial, ekonomi, politik, dan bangsa. Termasuk dalam kategori cinta
tanah air adalah peduli lingkungan. Dalam hal ini sebagaimana firman
Allah SWT:
َ ‫ص ٰلَ ِحهَا َو ۡٱد ُع{{وهُ َخ ۡو ٗف{ ا َوطَ َم ًع{ ۚ{ا إِ َّن َر ۡح َم‬
ِ ‫ت ٱهَّلل‬ ‫أۡل‬
ِ ‫وا فِي ٱ َ ۡر‬
ۡ ِ‫ض بَ ۡع َد إ‬ ْ ‫َواَل تُ ۡف ِس ُد‬
َ ِ‫يب ِّم َن ۡٱل ُم ۡح ِسن‬
٥٦ ‫ين‬ ٞ ‫قَ ِر‬
Artinya: “Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi,
sesudah (Allah) memperbaikinya dan berdoalah kepada-Nya
dengan rasa takut (tidak akan diterima) dan harapan (akan
dikabulkan). Sesungguhnya rahmat Allah amat dekat kepada
orang-orang yang berbuat baik.” (Q.S. al-A’raaf: 56)

‫َوهُ َو ٱلَّ ِذي ي ُۡر ِس ُل ٱلرِّ ٰيَ َح ب ُۡش { ۢ َرا بَ ۡي َن يَ { َد ۡي َر ۡح َمتِ ِۖۦه َحتَّ ٰ ٓى إِ َذٓا أَقَلَّ ۡت َس { َحابٗ ا ثِقَ {ااٗل‬
‫ك نُ ۡخ{ ِر ُج‬ َ ِ‫ت َك{ ٰ َذل‬ َ ٰ {‫نز ۡلنَا بِ ِه ۡٱل َمٓا َء فَأ َ ۡخ َر ۡجنَ{{ا بِ ِهۦ ِمن ُك{ ِّل ٱلثَّ َم‬
ِ ۚ ‫{ر‬ ٖ ‫س ُۡق ٰنَهُ لِبَلَ ٖد َّمي‬
َ َ ‫ِّت فَأ‬
٥٧ ‫ُون‬ َ ‫ۡٱل َم ۡوتَ ٰى لَ َعلَّ ُكمۡ تَ َذ َّكر‬
Artinya: “Dan Dialah yang meniupkan angin sebagai pembawa berita
gembira sebelum kedatangan rahmat-Nya (hujan); hingga
apabila angin itu telah membawa awan mendung, Kami halau
ke suatu daerah yang tandus, lalu Kami turunkan hujan di
daerah itu, maka Kami keluarkan dengan sebab hujan itu
pelbagai macam buah-buahan. Seperti itulah Kami

41
membangkitkan orang-orang yang telah mati, mudah-
mudahan kamu mengambil pelajaran.” (Q.S. al-A’raaf : 57)

َ ِ‫ُث اَل يَ ۡخ{ ُر ُج إِاَّل نَ ِك{ ٗ{د ۚا َك{ ٰ َذل‬


‫ك‬ َ ‫َو ۡٱلبَلَ ُد ٱلطَّيِّبُ يَ ۡخ ُر ُج نَبَاتُهۥُ بِإِ ۡذ ِن َربِّ ِۖۦه َوٱلَّ ِذي َخب‬
٥٨ ‫ُون‬ َ ‫ت لِقَ ۡو ٖم يَ ۡش ُكر‬ ِ َ‫ف ٱأۡل ٓ ٰي‬
ُ ِّ‫صر‬ َ ُ‫ن‬
Artinya: “Tanah yang baik, tanaman-tanamannya tumbuh subur
dengan seizin Allah; dan tanah yang tidak subur, tanaman-
tanamannya hanya tumbuh merana. Demikianlah Kami
mengulangi tanda-tanda kebesaran (Kami) bagi orang-orang
yang bersyukur”. (Q.S. al-A’raaf: 58)

d. Menghargai prestasi; merupakan sikap, perilaku, dan tindakan yang


memotivasi dirinya guna membuahkan hasil akan sesuatu yang
memberi manfaat dan kegunaan bagi masyarakat, dan mengakuinya
serta hormat akan kesuksesan dan keberhasilan individu lain. Allah
SWT berfirman:

َ ُ‫ك بِ ٰ َغفِ ٍل َع َّما يَ ۡع َمل‬


١٣٢ ‫ون‬ ْ ۚ ُ‫ت ِّم َّما َع ِمل‬ٞ ‫َولِ ُك ٖ ّل َد َر ٰ َج‬
َ ُّ‫وا َو َما َرب‬
Artinya: “Dan masing-masing orang memperoleh derajat-derajat
(seimbang) dengan apa yang dikerjakannya. Dan Tuhanmu
tidak lengah dari apa yang mereka kerjakan.” (Q.S. al-An’am
: 132)

٧ ‫ٱنص ۡب‬ َ ‫فَإِ َذا فَ َر ۡغ‬


َ َ‫ت ف‬
Artinya: “Maka apabila kamu telah selesai (dari sesuatu urusan),
kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan) yang lain”.
(Q.S. al-Insyirah: 7)

e. Bersahabat/Komunikatif; dideskripsikan sebagai tindakan yang


memerlihatkan rasa senang bergaul, bermasyarakat, berinteraksi dan
bekerjasama dengan orang lain. Hal ini sebagaimana firman Allah:
‫ي َواَل‬ َّ ‫وا َش { ٰ َٓعئِ َر ٱهَّلل ِ َواَل‬
َ ‫ٱلش { ۡه َر ۡٱل َح{ َرا َم َواَل ۡٱلهَ{ ۡ{د‬ ْ ُّ‫{وا اَل تُ ِحل‬
ْ {ُ‫ين َءا َمن‬ َ ‫ٰيَٓأَيُّهَ{{ا ٱلَّ ِذ‬
ٓ
ۡ‫ض{{ ٰ َو ٗن ۚا َوإِ َذا َحلَ ۡلتُم‬
ۡ ‫ضاٗل ِّمن َّربِّ ِهمۡ َو ِر‬ ۡ َ‫ون ف‬َ ‫ت ۡٱل َح َرا َم يَ ۡبتَ ُغ‬ َ ‫ۡٱلقَ ٰلَئِ َد َوٓاَل َءٓا ِّم‬
َ ‫ين ۡٱلبَ ۡي‬
‫ص{ ُّدو ُكمۡ َع ِن ۡٱل َم ۡس{ ِج ِد ۡٱل َح{ َر ِام أَن‬ َ ‫ان قَ{ ۡ{و ٍم أَن‬ ُ َ{َٔ‫ج ِر َمنَّ ُكمۡ َش{ٔ‍ن‬ {ۡ َ‫وا َواَل ي‬ْ ۚ ‫ٱص{طَا ُد‬ ۡ َ‫ف‬
ْ {ُ‫وا َعلَى ٱإۡل ِ ۡث ِم َو ۡٱل ُع{ ۡ{د ٰ َو ۚ ِن َوٱتَّق‬ ۖ
ْ ُ‫وا َعلَى ۡٱلبِرِّ َوٱلتَّ ۡق َو ٰى َواَل تَ َعا َون‬ ْ ُ‫اون‬ ۘ
ْ ‫تَ ۡعتَ ُد‬
‫{وا‬ َ ‫وا َوتَ َع‬
٢‫ب‬ {ِ ‫ٱهَّلل ۖ َ إِ َّن ٱهَّلل َ َش ِدي ُد ۡٱل ِعقَا‬

42
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu melanggar
syi´ar-syi´ar Allah, dan jangan melanggar kehormatan bulan-
bulan haram, jangan (mengganggu) binatang-binatang had-
ya, dan binatang-binatang qalaa-id, dan jangan (pula)
mengganggu orang-orang yang mengunjungi Baitullah
sedang mereka mencari kurnia dan keridhaan dari Tuhannya
dan apabila kamu telah menyelesaikan ibadah haji, maka
bolehlah berburu. Dan janganlah sekali-kali kebencian(mu)
kepada sesuatu kaum karena mereka menghalang-halangi
kamu dari Masjidilharam, mendorongmu berbuat aniaya
(kepada mereka). Dan tolong-menolonglah kamu dalam
(mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-
menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan
bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat
berat siksa-Nya”. (Q.S. al-Maidah : 2)

ْ ُ‫وا ٱهَّلل َ َوقُول‬


٧٠ ‫وا قَ ۡواٗل َس ِد ٗيدا‬ ْ ُ‫وا ٱتَّق‬ َ ‫ٰيَٓأَيُّهَا ٱلَّ ِذ‬
ْ ُ‫ين َءا َمن‬
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada
Allah dan katakanlah perkataan yang benar”. (Q.S. al-
Ahzab: 70).

‫يل ٱهَّلل ِ بِ َغ ۡي{{ ِر ِع ۡل ٖم‬


ِ ِ‫ُض{{ َّل َعن َس{{ب‬ ِ ‫اس َمن يَ ۡ ٓش{{تَ ِري لَ ۡه{{ َو ۡٱل َح{{ ِدي‬
ِ ‫ث لِي‬ ِ َّ‫َو ِم َن ٱلن‬
٦ ‫ين‬ ٞ ‫اب ُّم ِه‬ ٞ ‫ك لَهُمۡ َع َذ‬َ ِ‫َويَتَّ ِخ َذهَا هُ ُز ًو ۚا أُ ْو ٰلَئ‬
Artinya: “Dan di antara manusia (ada) orang yang mempergunakan
perkataan yang tidak berguna untuk menyesatkan (manusia)
dari jalan Allah tanpa pengetahuan dan menjadikan jalan
Allah itu olok-olokan. Mereka itu akan memperoleh azab
yang menghinakan”. (Q.S. Luqman: 6)

Nilai-nilai karakter tersebut dapat digambarkan melalui metode


Perintah dan Larangan pada tabel di bawah ini;

Perintah Laratangan
1.Karakter Rasa Ingin Tahu
Berupaya menggunakan indera Melakukan perbuatan yang tidak
pendengaran, penglihatan, dan didasarkan pengetahuan sehingga
hati untuk memeroleh dapat berakibat menimbulkan
pengetahuan yang dibutuhkan perbuatan buruk seperti:
dalam kehidupannya, dan menyalahgunakan indera
bersyukur pada Allah pendengaran, penglihatan, dan

43
hati, kesemuanya akan dimintai
pertanggungjawaban
2.Karakter Semangat Kebangsaan
a.Sikap saling kenal mengenal a.Berkawan dengan orang-orang
(silaturahim dan interaksi yang suka menyakiti dan
sosial) di antara manusia memerangi atas nama agama
(bangsa-bangsa) dengan dan mengusir dari tempat
mengutamakan ketaqwaan tinggalmu; barangsiapa
kepada Allah menjadikan mereka kawan
b.Semangat membangun bangsa adalah perbuatan dzalim.
b.Chauvinisme dorongan hawa
nafsu berlebihan, benar-salah
adalah negeriku.
3.Karakter Cinta Tanah Air
Menjaga kelestarian di muka Berbuat kerusakan di muka bumi
bumi, termasuk tanah dan air (alam dan lingkungannya),
(lingkungan)
4.Karakter Menghargai Prestasi
Kemauan melakukan pekerjaan Bersikap lalai, tidak
dengan sungguh-sungguh, jika menggunakan hati nurani, indera
pekerjaan selesai dilanjutkan mata dan telinga sesuai perintah
mengerjakan lainnya, dan Allah
berharap kepada Allah yang
tidak lengah dari pekerjaan
manusia
5.Karakter Bersahabat/Komunikatif
a.Tolong-menolong dalam a.Tolong menolong dalam
perbuatan kebaikan dan perbuatan dosa dan
bertaqwa kepada Allah. pelanggaran
b.Mengungkapkan dengan
perkataan yang baik

E. Kesimpulan
Mencermati beberapa narasi tentang pendidikan karakter dalam
perspektif pendidikan Islam setidaknya bisa diambil kesimpulan-kesimpulan
sebagai berikut;
1. Domain pendidikan Islam terdiri atas 3 hal, yakni aqidah, ibadah, dan
akhlak. Ketiganya saling terkait, dan pendidikan akhlak ditengarai
memiliki kesamaan secara signifikan dengan pendidikan karakter, yang

44
sama-sama intens dan fokus dalam bidang sikap, perilaku, budi pekerti,
kebiasaan, dan interaksi sesama manusia.
2. Dalam implementasinya, pendidikan karakter menjadi bagian yang tidak
terpisahkan dalam pendidikan Islam, dan terdapat titik singgung yang
sangat erat antara pendidikan karakter dan pendidikan Islam.
3. Nilai-nilai dalam pendidikan karakter menjadi pendukung dan penguat
dalam proses internalisasinya, sehingga nilai-nilai tersebut seolah menjadi
ruh bagi pendidikan Islam.
4. Substansi ruang lingkup dalam pendidikan Islam mengacu pada literatur
yang bersifat absolut berupa pedoman hidup umat Islam, yakni al-Quran
dan al-Sunnah.

DAFTAR PUSTAKA

Buku:
45
Abu Bakar, Yunus; Filsafat Pendidikan Islam, Surabaya; UIN Sunan
Ampel, 2014
AH. Sanaky, Hujair; Paradigma Pendidikan Islam, Membangun
Masyarakat Indonesia, Yogyakarta; Safiria Insania Pres, 2003.
Badan Penelitian dan Pengembangan, Kemendikbud, Peningkatan Derajat
Manusia Melalui Pendidikan, Jakarta; Pusat Penelitian Kebijakan
Pendidikan dan Kebudayaan, Balitbang Kemendikbud, 2017.
Balitbang-Kemendiknas, Bahan Pelatihan, Penguatan Metodologi
Pembelajaran Berdasarkan Nilai-nilai Budaya untuk Membentuk Daya
Saing dan Karakter Bangsa, Jakarta; Balitbang-Kemendiknas, 2010.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia,
Jakarta; Balai Pustaka, 1996
Harisah, Afiduddin; Filsafat Pendidikan Islam, Prinsip dan Dasar
Pengembangan, Yogyakarta; Deepublish, 2018
Hidayat, Rahmat, dan Henni Nasution, Filsafat Pendidikan Islam,
Membangun Konsep Dasar Pendidikan Islam, Medan; LPPI, 2016.
Hitami, Munzir; Menggagas Kembali Pendidikan Islam, Yogyakarta;
Infinite Press, 2004.
Ibrahim, Sulaiman; Paradigma Baru Ilmu Pendidikan, Jakarta; LeKas
Publishing, 2014
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, Undang-
Undang No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional,
Jakarta; Kemendikbud, 2003.
Koesoema, Doni; Pendidikan Karakter, Strategi Mendidik Anak di Zaman
Global, Jakarta, PT. Gramedia; 2015
Lapsley, DK, and D. Narvaez, Moral Development, Self and Identity, New
Jersey; Lawrence Erlbaum Associates, 2004.
Latif, Yudhi; Menyemai Karakter Bangsa, Budaya Kebangkitan Berbasis
Kesastraan, Jakarta, PT. Kompas Media Nusantara, 2010.
Megawangi, Ratna; Semua Berakar pada Karakter, Isu-isu Permasalahan
Bangsa, Jakarta, Fak. Ekonomi Universitas Indonesia; 2011.
Megawangi, Ratna; Pendidikan Karakter, Solusi yang Tepat untuk
Membangun Bangsa, Jakarta; Viscom Pratama, 2008.
Megawangi, Ratna; Character Parenting Space, Menjadi Orangtua Cerdas
untuk Membangun Karakter Anak, Bandung; Mizan, 2007
Munir, Abdullah; Pendidikan Karakter, Membangun Karakter Anak Sejak
dari Rumah, Yogyakarta; Pedagogia, 2010.
Nata, Abuddin; Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta; Gaya Media, 2005
Nata, Abuddin; Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta; Kencana Prenada, 2012.
Nata, Abuddin; Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta; Kharisma Putra, 2014.
P. Miller, John; Cerdas di Kelas, Sekolah Kepribadian, (penyadur; Abdul
Munir Mulkhan), Yogyakarta, Kreasi Wacana, 2008.

46
Pradana dkk (tim AIK), Rekonstruksi Agama untuk Membangun Etika
Sosial dalam Kehidupan Berbangsa dan Bernegara, Malang; UMM
Press, 2010.
Rianawati, Implementasi Nilai-nilai Karakter pada Mata Pelajaran PAI,
Pontianak; IAIN Pontianak Press, 2014.
Saifuddin Anshari, Endang; Wawasan Islam, Pokok-pokok Pemikiran
Tentang Islam, Jakarta; Rajawali, 1990
Sarbaini, Good Practice, Pendidikan Nilai, Moral, dan Karakter Kepatuhan
di Sekolah, Yogyakarta; Laboratorium PPKn-FKIP-Unlam/Aswaja
Pressindo, 2011.
Suyadi, Strategi Pembelajaran Pendidikan Karakter, Bandung; Rosda
Karya, 2013.
Uhbiyati, Nur; Ilmu Pendidikan Islam, Bandung; Pustaka Setia, 2005.
Williams, Russel; Kecerdasan Plus Karakter, terj. Wanda Christiana,
Yogyakarta; Kanisius, 2009.
Wilsons, Elaine; Pengembangan Karakter di Sekolah, terj. Wahyu Farrah
Dina, Jakarta; Indonesia Heritage Foundation, 2007.
Ya’qub, Hamzah; Etika Islam, Bandung; CV. Diponegoro, 2006.
Yasin, Fatah; Dimensi-dimensi Pendidikan Islam, Yogyakarta; Sukses
Offset, 2000.
Zubaedi, Desain Pendidikan Karakter, Jakarta; Kencana, 2012.

Jurnal ilmiah:

Dewi Yuliana, Pentingnya Pendidikan Karakter Bangsa Guna


Merevitalisasi Ketahanan Bangsa, jurnal Udayana Mengabdi, volume 9
nomor 2 Tahun 2010, ISSN; 1412-0925
Mainuddin, Pendidikan Karakter dalam Perspektif Pendidikan Agama
Islam, Jurnal al-Munawwarah, Pendidikan Islam, volume 9, nomor 1,
Maret 2017, ISSN; 2088-8503
Musrifah, Pendidikan Karakter dalam Perspektif Islam, Jurnal Edukasia
Islamika, volume 1, nomor 1, Desember 2016, P-ISSN; 2548-5822
Nur Hidayah, Konsep Pendidikan Karakter dalam Perspektif Pendidikan
Islam, jurnal Pendidikan Islam, IAIN Salatiga, 2015
Nuryanti, Metode Everyone is a Teacher Here dan Hasil Belajar, jurnal
Hunafa, UIN Kalijaga, vol.5 nomor 3, Desember 2008
Rakhmawati, Pendidikan Karakter Perspektif Pendidikan Islam, Jurnal al-
Ulum IAIN Gorontalo, volume 13 nomor 1, Juni 2013, ISSN 1412-0534
Salmiwati, Konsep Belajar dalam Perspektif Pendidikan Islam, Jurnal
Pendidikan Islam Murabby, volume 2 Nomor 1, April 2019

47
Syarifah Fadhilah, Analisis Model Pembelajaran Berbasis Pendidikan
Karakter untuk Membentuk Karakter Siswa, Jurnal Civics (Media Kajian
Kewarganegaraan), vol. 16, no. 2 Tahun 2019/111-121.

Web/browsing internet:

https://www.google.com/search?safe=strict&hl=in&source=hp&ei
https://id.wikipedia.org/wiki/Pendidikan
https://kbbi.web.id/didik
https://almanhaj.or.id/2263-pengertian-as-sunnah-menurut-syariat.html
https://www.neliti.com/id/publications/5819/rayusebagaisumberhukumislam
https://kbbi.web.id/dasar

48

You might also like