Download as pdf or txt
Download as pdf or txt
You are on page 1of 73

RESPONS BENIH IKAN SIDAT TERHADAP HORMON

PERTUMBUHAN REKOMBINAN IKAN KERAPU KERTANG


MELALUI PERENDAMAN DAN ORAL

BOYUN HANDOYO

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2012
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER
INFORMASI

Dengan in saya menyatakan bahwa tesis “Respons benih ikan sidat terhadap
hormon pertumbuhan rekombinan ikan kerapu kertang melalui perendaman dan
oral” adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum
diajukkan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Juni 2012

Boyun Handoyo
C151100081
ABSTRACT

BOYUN HANDOYO. Response of Eel fingerling on Recombinant Giant Grouper


Growth Hormone by immersion and oral administration. Supervised by
ALIMUDDIN and NUR BAMBANG PRIYO UTOMO.

This study was aimed to determine an appropriate administration method and


observe the response of eel fingerling on recombinant giant grouper growth
hormone (rElGH). First study aimed to determine the immersion dose of rElGH
to increase growth of eel juvenile (glass eel). After shock salinity treatment (NaCl
3% for 2 min), glass eel were immersed in water containing 0.9% NaCl, 0.01%
bovine serum albumin, and different of dose of rElGH (0, 0.12, 1.2, 12 and 120
mg/L). The results showed that higher in growth body weight was obtained in
treatment 12 mg/L (101.2±0.8), by increment of about 37.4% higher compared to
that of control (72.93±1.8). Second study was aimed to determine the dose of
rElGH mixed in artificial diet to increase growth of eel elver. HP55-coated rElGH
was mixed to diet at different doses (0, 0.3, 3, and 30 mg/kg). Elver was fed on
diet containing rElGH twice daily, 6% fish biomass. The result showed that higher
in growth body weight was obtained in treatment 30 mg/kg (60.18±1.38), by
increment of about 65.7% compared to control (36.32±0.97). Third study was
aimed to compared of three administration method, namely immersion, oral, and
combination of immersion and oral. The dosage of rElGH by immersion (12
mg/L) and oral administration (30 mg/kg feed) was obtained in previous study.
Fish were maintained in 23-L glass aquaria for 120 days, at density of 45 fish per
aquarium. The results showed that higher (P<0.05) biomass of harvest
(73.68±2.07 g) was obtained in immersion and oral combination treatment, by
increment of about 102.9% compared to control (36.32±0.97 g). Administration of
rElGH also improved protein and lipid retentions by 142.5%, and 720% compared
to that of control, respectively (P<0.05). In addition, rElGH treatment increased
appetite, while artificial feed conversion ratio (4.75) was lower (P<0.05) by
55.15% compared to that of control (7.37). Combination of rElGH immersion and
oral administrations also increased hepatosomatic index, reduced ammonia
excretion and increased insuline-like growth factor-1/IGF-1 gene expression.
Thus, rElGH administration via immersion and oral was a proper method to
improve performance of eel fingerling, and application of rElGH can be useful to
increase aquaculture production.

Keywords : growth hormone, immersion and oral administration, growth, eel.


RINGKASAN

BOYUN HANDOYO. Respons benih ikan sidat terhadap hormon pertumbuhan


rekombinan ikan kerapu kertang melalui perendaman dan oral. Dibimbing oleh
ALIMUDDIN dan NUR BAMBANG PRIYO UTOMO.

Permasalahan utama dalam budidaya ikan sidat adalah pertumbuhannya


yang lambat, konversi pakan yang tinggi dan rentan terserang penyakit pada
pendederan benih (glass eel dan elver). Teknologi pemberian protein rekombinan
hormon pertumbuhan (rGH) dapat dijadikan alternatif solusi untuk mengatasinya.
Beberapa hasil yang signifikan pada beberapa spesies ikan budidaya menunjukkan
bahwa rGH mampu mempercepat pertumbuhan, membantu proses metabolisme,
osmoregulasi, fungsi kekebalan tubuh. Berdasarkan hal tersebut maka teknologi
ini bisa dijadikan solusi untuk mengatasi permasalahan yang ada pada budidaya
ikan sidat. Penelitian ini secara umum bertujuan untuk menguji penggunaan rGH
ikan kerapu kertang (rElGH) pada ikan sidat dengan metode perendaman (pada
fase glass eel) dan melalui pakan (pada fase elver) dalam meningkatkan
pertumbuhan benih ikan sidat. Tujuan umum tersebut diwujudkan melalui
beberapa penelitian, yaitu : 1) Penentuan dosis pemberian rElGH yang tepat
(melalui perendaman) untuk mempercepat pertumbuhan ikan sidat; 2) Penentuan
dosis pemberian rElGH yang tepat secara oral (melalui pakan) untuk
mempercepat pertumbuhan ikan sidat; 3) Penentuan metode terbaik atara
pemberian rElGH melalui perendaman, secara oral dan kombinasi keduanya untuk
mempercepat pertumbuhan ikan sidat. Pada masing-masing tahap penelitian
dilakukan identifikasi dan analisis respons perlakuan pemberian rElGH terhadap
ikan yang diberi perlakuan.
Hasil penelitian pertama yaitu dosis perendaman rekombinan hormon
pertumbuhan ikan kerapu kertang (rElGH) untuk meningkatkan pertumbuhan
benih ikan sidat (glass eel) menunjukkan setelah ikan direndam dalam rElGH
dengan dosis berbeda (0; 0,12; 1,2; 12; dan 120 mg/L) menunjukkan bahwa
pertumbuhan bobot tertinggi diperoleh pada perlakuan 12 mg/L, dengan
peningkatan sekitar 37,4% lebih tinggi dibandingkan dengan kontrol. Pemberian
rElGH 12 mg/L juga meningkatkan laju pertumbuhan sebesar 29,2%
dibandingkan dengan kontrol. Selanjutnya pemberian rElGH menurunkan tingkat
konversi cacing sutera dan pakan buatan masing-masing sekitar 33,7% dan 25,6%
lebih rendah daripada kontrol yang tidak diberi perlakuan rElGH. Dengan
demikian pemberian rElGH dosis 12 mg/L pakan memberikan performa tertinggi.
Pada penelitian kedua yaitu penentuan dosis rElGH yang tepat dengan
pemberian secara oral pada benih ikan sidat (elver) yang sudah mampu
mengkonsumsi pakan buatan. Pada penelitian ini rElGH yang telah disalut
(coating) dengan HP55, dicampur dengan pakan pada dosis berbeda (0; 0,3; 3;
dan 30 mg rElGH/kg pakan). Hasil penelitian menunjukkan bahwa pertumbuhan
bobot tertinggi (P>0,05) diperoleh pada perlakuan 30 mg/kg (60,18±1,38), dengan
peningkatan sekitar 65,7% lebih tinggi dibandingkan dengan kontrol (36,32±0,97).
Selain itu, pemberian rElGH meningkatkan nafsu makan, sedangkan tingkat
konversi pakan/FCR ikan yang diberi dosis 30 mg/kg pakan (5,54) menurun
sekitar 33% lebih rendah daripada FCR kontrol yang tidak diberi rElGH (7,37).
Dengan demikian didapatkan dosis pemberian rElGH secara oral yang terbaik
pada ikan sidat, yaitu 30 mg rElGH/kg
Pada penelitian ketiga yaitu tiga metode pemberian rElGH yang diujikan
adalah melalui perendaman, melalui oral, dan kombinasi antara perendaman dan
oral. Dosis perendaman dalam rElGH yang diterapkan adalah 12 mg/L dan dosis
melalui oral yang diterapkan adalah 30 mg/kg pakan yang telah ditentukan
sebagai hasil terbaik pada penelitian sebelumnya. Ikan uji dipelihara dalam
akuarium dengan volume 23 Liter dipelihara selama 120 hari, dengan kepadatan
45 ekor/akuarium. Hasil menunjukkan bahwa perlakuan kombinasi perendaman
dan oral memberikan hasil biomassa panen tertinggi (73,68±2,07 g) atau 102,9%
jika dibandingkan dengan kontrol (36,32±0,97 g). Pemberian rElGH juga mampu
meningkatkan retensi protein sebesar 142,5% dan retensi lemak sebesar 720% jika
dibandingkan dengan kontrol. Selain itu, rElGH juga meningkatkan nafsu makan
yang secara langsung berakibat pada penurunan FCR (4,75), 55,15% lebih rendah
(P>0,05) jika dibandingkan dengan kontrol (7,37). Pemberian rElGH via
perendaman juga mampu menurunkan ekskresi amoniak pada ikan perlakuan
sebesar 25,11% jika dibandingkan dengan kontrol. Metode pemberian melalui
kombinasi antara perendaman dan oral juga meningkatkan hepatosomatic
index/HSI (102,6%), dan meningkatkan ekspresi gen insuline-like growth factor-
1/IGF-1 sebesar 21,91% dibandingkan dengan kontrol.
Berdasarkan hasil penelitian disimpulkan bahwa pemberian rElGH dengan
dosis yang tepat baik perendaman, pakan dan kombinasinya mampu
meningkatkan pertumbuhan benih ikan sidat dengan signifikan. Metode
pemberian yang menghasilkan respons pertumbuhan terbaik pada penelitian ini
adalah dengan mengkombinasikan pemberian melalui perendaman (ketika ikan
berukuran kecil/glass eel) dan dilanjutkan pemberian secara oral/melalui pakan
(ketika ikan sudah mampu mengkonsumsi pakan buatan). Selain meningkatnya
pertumbuhan, pemberian rElGH juga menurunkan konversi pakan, meningkatkan
retensi protein dan lemak, meningkatkan HSI, menurunkan ekskresi amoniak, dan
meningkatkan ekspresi IGF-1.
© Hak Cipta milik IPB, tahun 2012
Hak Cipta dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjaun suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
yang wajar IPB

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya tulis


dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
RESPONS BENIH IKAN SIDAT TERHADAP HORMON
PERTUMBUHAN REKOMBINAN IKAN KERAPU KERTANG
MELALUI PERENDAMAN DAN ORAL

BOYUN HANDOYO

Tesis
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains pada
Program Studi Ilmu Akuakultur

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2012
Dosen Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis :
Dr. Dinamella Wahjuningrum, S.Si., M.Si.
Judul Tesis : Respons benih ikan sidat terhadap hormon
pertumbuhan rekombinan ikan kerapu kertang
melalui perendaman dan oral
Nama : Boyun Handoyo, S.Pi
NIM : C151100081

Disetujui
Komisi Pembimbing

Dr. Alimuddin, S.Pi, M.Sc Dr. Ir. Nur Bambang P.U, M.Si
Ketua Anggota

Mengetahui

Ketua Program Studi A.n. Dekan Sekolah Pascasarjana


Ilmu Akuakultur Sekretaris Program Magister

Prof.Dr. Enang Haris, M.S Dr.Ir. Dahrul Syah, M.Sc. Agr

Tanggal Ujian: Tanggal lulus:


PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-
Nya sehingga karya ilmiah TESIS ini berhasil diselesaikan. Penelitian
dilaksanakan sejak bulan November 2011 sampai Mei 2012 dengan tema tentang
rekayasa pada budidaya ikan sidat. Judul penelitian ini adalah “Respons benih
ikan sidat terhadap hormon pertumbuhan rekombinan ikan kerapu kertang melalui
perendaman dan oral”.
Keberhasilan penulis dalam menyelesaikan penelitian ini tidak semata
didapatkan sendiri, melainkan dengan bantuan orang-orang sekitar. Untuk itu
penulis mengucapkan terima kasih kepada:
1. Dr. Alimuddin, S.Pi, M.Sc. selaku Pembimbing I yang telah membimbing
dan mengarahkan penulis selama melakukan penelitian sampai dengan
penyusunan karya ilmiah ini dan atas dukungan materil dan spiritual
selama perkuliahan dan penelitian.
2. Dr. Ir. Nur Bambang Priyo Utomo, M.Si. selaku Pembimbing II yang telah
membimbing dan mengarahkan penulis selama melakukan penelitian
sampai dengan penyusunan karya ilmiah ini.
3. Dr. Dinamella Wahjuningrum, S.Si., M.Si. selaku penguji luar komisi atas
saran dan pengarahannya dalam memperbaiki penulisan tesis.
4. Bapak Supriyadi M.Si. selaku Kepala BBAT Jambi ketika penulis
memulai studi S2 yang telah memberikan nasehat, motivasi, dan dukungan
dalam penyelesaian studi S2 yang penulis lakukan.
5. Bapak Dr. Elang Ilik Martawijaya selaku Direktur IPB Press yang
berperan dalam kerjasama pembiayaan studi S2 yang penulis lakukan
melalui pemberian beasiswa bagi penulis.
6. Istriku Eka Rachmayanti, telah memberikan kasih sayang, perhatian, doa
dan segala dukungan yang sangat berarti. Anak-anakku (Tsamarah Kinasih
Handoyo dan Husna Maharani Handoyo) yang menjadi penyemangat
hidup dan penyimpan harapan penulis.
7. Ayahku Mashudi, Ibunda Sri Nursiyati serta adikku Yovi Andriyani yang
telah memberi nasehat, kasih sayang, doa restu, dukungan moril dan
materil.
8. Ayah mertua Kasiran, Ibu mertua Lastariyah serta adik iparku Rahma dan
Wawan yang juga telah memberikan dukungan dan doanya.
9. Ibu Lina Mulyani dan Bapak Dedi Supriyadi yang telah banyak membantu
selama penelitian.
10. Bapak Agus Somamihardja (PT. SURI TANI PEMUKA) atas bantuan
pakan yang diberikan dalam penelitian ini.
11. Bapak Suci Antoro yang telah memberikan beberapa bahan penelitian
(terutama HP 55) dan nasehat selama penelitian.
12. Ibu Irmawati dan Siti Subaidah yang banyak memberikan ilmu rGH-nya
sehingga memperlancar penyelesaian tesis ini.
13. Teman-teman S1 (Angkatan 45), S2, dan S3 di Laboratorium Reproduksi
dan Genetika Organisme Akuatik, teman-teman Ilmu Akuakultur 2010.
14. Teman-teman dan seluruh staff BBAT Jambi yang telah memberikan
dukungan dalam penyelesaian studi S2 penulis.
15. Semua pihak yang telah memberikan dukungan baik secara langsung
maupun tidak langsung.
Penulis telah berusaha semaksimal mungkin dalam penyelesaian karya
ilmiah ini. Dengan harapan, karya ilmiah ini dapat bermanfaat bagi penulis dan
para pembaca pada umumnya.

Bogor, Juli 2012

Boyun Handoyo
RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Banjarnegara, Jawa Tengah pada tanggal 26 Februari


1980 dari Ayah Mashudi dan Ibu Sri Nursiati. Penulis merupakan pertama dari
dua bersaudara.
Pendidikan formal yang dilalui penulis adalah SDN 1 Kebanaran pada
tahun 1986-1992 dilanjutkan di SMPN 2 Mandiraja pada tahun 1992-1995,
kemudian SMUN 1 Banjarnegara pada tahun 1995 dan lulus tahun 1998. Penulis
melanjutkan pendidikan tinggi di IPB melalui jalur Undangan Seleksi Masuk
Institut Pertanian Bogor pada tahun yang sama dan memilih program studi
Budidaya Perairan, Departemen Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu
Kelautan. Pada tahun 2002 penulis menyelesaikan studi sarjana di IPB dan pada
tahun 2002 mulai bekerja menjadi staff Lembaga Manajemen Agrobisnis
Agroindustri (LMAA) sebagai Staff Penyusun Proyek “Industri Review”
kerjasama dengan Bank Rakyat Indonesia. Tahun 2003 penulis mulai bekerja di
Balai Budidaya Air Tawar Jambi/BBAT Jambi (Dirjen Budidaya, Kementrian
Kelautan dan Perikanan), dan menjabat sebagai Perekayasa Muda di Instansinya
ini. Selain itu penulis juga aktif dalam penulisan buku, beberapa judul buku yang
telah ditulis oleh penulis adalah : Industri Review Budidaya Kodok Lembu (BRI,
2001), Manual Produksi Induk Ikan Mas (BBAT Jambi–JICA, 2007), Manual
Produksi Induk Ikan Nila (BBAT Jambi-JICA, 2007), dan Protokol Pemuliaan
Ikan Patin Siam (PUSTINA, 2009), Cara Mudah dan Peluang Bisnis Budidaya
Ikan Baung dan Jelawat (IPB Press 2010).
Pada tahun 2010 penulis melanjutkan studinya di Sekolah Pascasarjana
IPB (S2) mengambil program studi Ilmu Akuakultur di Institut Pertanian Bogor
dengan pembiayaan dari Beasiswa Penulis PT IPB Press. Untuk menyelesaikan
studi di sekolah pascasarjana tersebut, penulis melakukan penelitian dengan judul
tesis “Respons benih ikan sidat terhadap hormon pertumbuhan rekombinan
ikan kerapu kertang melalui perendaman dan pakan”, di bawah bimbingan
Dr. Alimuddin, S.Pi, M.Sc dan Dr. Ir. Nur Bambang Priyo Utomo, M.Si. Sebagian
dari tesis ini juga telah diseminarkan dalam INDOAQUA & FITA 2012 pada
tanggal 8-11 Juni 2012 di Makassar (Abstrak terlampir)
DAFTAR ISI

Halaman
DAFTAR TABEL........................................................................................... xiv
DAFTAR GAMBAR...................................................................................... xv
DAFTAR LAMPIRAN................................................................................... xvii
I. PENDAHULUAN............................................................................... 1
1.1. Latar Belakang........................................................................ 1
1.2. Rumusan Masalah................................................................... 3
1.3. Tujuan dan Manfaat................................................................ 3
II. TINJAUAN PUSTAKA...................................................................... 5
2.1. Ikan Sidat................................................................................. 5
2.2. Hormon Pertumbuhan/Growth Hormone (GH)….................. 10
2.3. Protein GH Rekombinan......................................................... 13
2.4. Pengujian Aktivitas GH Rekombinan pada Ikan.................... 14
III. BAHAN DAN METODE.................................................................... 16
3.1. Ikan Uji.................................................................................. 16
3.2. Produksi Protein GH Rekombinan........................................ 16
3.3. Analisis SDS PAGE.............................................................. 17
3.4. Pembuatan Pakan Uji............................................................ 18
3.5. Penelitian 1: Penentuan Dosis Protein rElGH Terbaik
dengan Pemberian Melalui Perendaman............................... 20
3.6. Penelitian 2 : Penentuan Dosis Pemberian Protein rElGH
yang Terbaik dengan Pemberian Secara Oral....................... 21
3.7. Penelitian 3 : Penentuan Metode Terbaik antara Pemberian
rElGH Melalui Perendaman, Pakan dan Kombinasinya....... 22
3.8. Analisis Hepatosimatic Index (HSI)...................................... 23
3.8. Analisis Ekskresi Amoniak (TAN)....................................... 23
3.9. Analisis Proksimat Pakan dan Komposisi Tubuh................. 23
3.10. Analisis Tingkat Ekspresi IGF-I............................................ 24
3.11. Analisis Statistik.................................................................... 24
IV HASIL DAN PEMBAHASAN........................................................... 25
4.1. Hasil........................................................................................ 25
4.1.1. Pemberian Protein rElGH melalui Perendaman........... 25
4.1.2. Pemberian Protein rElGH Secara Oral......................... 26
4.1.3. Pemberian rElGH Melalui Perendaman dan Oral........ 28
4.2. Pembahasan............................................................................ 32
4.2.1. Pertumbuhan (Biomassa Panen dan SGR)................... 32
4.2.2. Sintasan/SR................................................................... 34
4.2.3. Konversi Pakan, Retensi Protein dan Lemak,
Komposisi Tubuh........................................................ 34
4.2.4. Ekskresi Amoniak (TAN)............................................. 37
. 4.2.5. Nilai Hepatosomatic Index (HSI)................................. 37
4.2.6. Tingkat Ekspresi IGF-I................................................. 38
4.2.7. Perbandingan antar Metode Pemberian rElGH
Melalui Perendaman, Pakan dan Kombinasinya......... 39
V KESIMPULAN DAN SARAN........................................................... 41
5.1. Kesimpulan............................................................................. 41
5.2. Saran....................................................................................... 41
DAFTAR PUSTAKA..................................................................................... 42
LAMPIRAN.................................................................................................... 49
DAFTAR TABEL

Halaman
1. Kandungan vitamin A (IU/100 gram), eicosapentaenoic acid/EPA dan
docosahexaenoic acid/DHA (mg/100 gram) pada beberapa bahan
makanan (Suitha 2008).............................................................................. 5
2 Komposisi pakan ikan sidat pada berbagai stadia berdasarkan ukuran
ikan (Tomiyama & Hibiya, 1977) ............................................................. 9
3. Tingkat pemberian pakan/feeding rate (FR), prosentase air dan lemak
pada pembuatan pakan pasta pada pendederan ikan sidat (Tomiyama &
Hibiya, 1977)............................................................................................. 10
4. Beberapa pengujian aktivitas hormon pertumbuhan rekombinan yang
telah dilakukan pada ikan.......................................................................... 15
5. Proksimat dan kandungan energi pakan yang digunakan dalam
penelitian................................................................................................... 19
6. Desain percobaan penentuan dosis perendaman hormon pertumbuhan
rekombinan ikan kerapu kertang (rElGH) pada ikan sidat........................ 21
7. Desain percobaan penentuan dosis rElGH dalam pakan pada ikan
sidat............................................................................................................ 22
8. Metode pemberian rElGH berbeda pada perlakuan yang digunakan
dalam penelitian......................................................................................... 22
9. Biomassa, laju pertumbuhan (SGR), sintasan (SR) dan tingkat konversi
pakan (FCR) ikan sidat (glass eel) yang diberi perendaman rElGH dan
kontrol selama 2 bulan pemeliharaan........................................................ 26
10. Biomassa, laju pertumbuhan (SGR), sintasan (SR) dan tingkat konversi
pakan (FCR) ikan sidat (elver) yang diberi pakan rElGH dan kontrol
selama 2 bulan pemeliharaan..................................................................... 27
11. Respons pemberian rElGH dengan metode pemberian berbeda pada
benih ikan sidat terhadap laju pertumbuhan (SGR), biomassa panen,
sintasan (SR), tingkat konversi pakan (FCR), retensi pakan, dan
ekskresi amoniak (TAN)............................................................................ 30
12. Kandungan proksimat ikan sidat ukuran glass eel (awal pemeliharaan),
ikan kontrol dan ikan yang telah diberi perlakuan rElGH dengan
metode berbeda.......................................................................................... 30
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1. Penyebaran benih ikan sidat di perairan Indonesia (dimodifikasi dari
Tesch 1911& Aoyama 2009).................................................................... 6
2. Siklus produksi ikan sidat di alam dan budidaya (dimodifikasi dari FAO
2012).......................................................................................................... 7
3. Perkembangan pendapat tentang mediasi GH dalam mempengaruhi
pertumbuhan (dimodifikasi dari Ohlsson et al. 2009)............................. 11
4. Mekanisme hormon pertumbuhan (GH) dalam mempengaruhi
pertumbuhan dan beberapa fungsi lain (dimodifikasi dari Sanches 1999;
Moriyama 2000; Wong et al. 2006; Debnanth 2010)................................ 12
5 Benih ikan sidat ukuran glass eel (A) dan elver (B) yang digunakan
dalam penelitian......................................................................................... 16
5. Proses penyalutan (coating) hormon pertumbuhan rekombinan ikan
kerapu kertang (rElGH) dengan menggunakan HP 55 (hypromellose
phthalate) .................................................................................................. 18
6. Proses pembuatan pakan pasta yang mengandung hormon pertumbuhan
rekombinan ikan kerapu kertang (rElGH)................................................. 19
7. Proses perendaman ikan uji dalam hormon pertumbuhan rekombinan
ikan kerapu kertang (rElGH) yang dilakukan dalam penelitian ini.......... 20
8. Pertumbuhan ikan sidat (Anguilla sp.) yang diberi perlakuan
perendaman rElGH dengan dosis berbeda pada awal pemeliharaan (hari
pertama)..................................................................................................... 25
9. Pertumbuhan ikan sidat (Anguilla sp.) yang diberi perlakuan rElGH
secara oral dengan dosis berbeda, dan frekuensi pemberian 2
hari/minggu selama 2 bulan pemeliharaan................................................ 27
10. Ikan sidat hasil percobaan perlakuan pemberian rElGH dengan metode
pemberian yang berbeda : A) perendaman + pakan ; B) pakan saja; C)
perendaman saja; D) kontrol..................................................................... 28
11. Pertumbuhan ikan sidat yang diberi perlakuan rElGH melalui
perendaman, pakan, dan kombinasi perendaman dan
pakan.......................................................................................................... 29
12. Nilai hepatosomatic indeks (HSI) ikan sidat (Anguilla sp.) ikan kontrol
dan yang diberi perlakuan rElGH melalui peendaman dan pakan. Ikan
dipelihara selama 4 bulan.......................................................................... 31
13. Level ekspresi IGF/β-aktin ikan sidat pada jam ke-0 (sebelum diberi
rELHP secara oral), dan 24 jam setelah diberi rElGH secara oral............ 31
DAFTAR LAMPIRAN

Halaman
1. Hasil analisis SDS-PAGE protein rekombinan hormon pertumbuhan
ikan gurami (rOgGH), ikan mas (rCcGH) dan ikan kerapu kertang
(rElGH)...................................................................................................... 49
2. Hasil analisis IGF-I pada hati ikan sidat yang diberi perlakuan rElGH
dengan pertumbuhan terbaik dan kontrol.................................................. 50
3. Abstrak Sebagian dari tesis yang telah diseminarkan dalam
INDOAQUA & FITA 2012 pada tanggal 8-11 Juni 2012 di Makassar..... 51
4. Profil bahan penyalut (coating) rGH HP55 yang digunakan dalam
penelitian ini.............................................................................................. 53
I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Ikan sidat merupakan jenis ikan yang sangat dicari di pasar internasional.
Sebagai komoditas ekspor, pemanfaatan sumberdaya ikan sidat di Indonesia
belum dilakukan dengan optimum, tidak seperti di negara lain (Jepang, China
Taiwan dan negara-negara Eropa). Hal ini terlihat dari belum berkembangnya
industri budidaya ikan sidat, padahal jumlah ikan sidat baik dalam ukuran benih
maupun ukuran konsumsi sangat melimpah di muara sungai-sungai di Indonesia
yang menghadap ke Samudera Pasifik dan Hindia sebagai tempat memijahnya
ikan ini (Affandi 2005). Indonesia memiliki 6 spesies dari 17 spesies ikan sidat
yang ada di dunia (Tomiyama & Hibiya 1977). Kondisi ini sangat menguntungkan
karena sumber benih ikan sidat di dunia masih sangat tergantung hasil tangkapan
dari alam (Tanaka 2006). Demikian pula pemanfaatan ikan untuk tujuan ekspor
masih sangat rendah, terbatas hanya dalam ukuran benih (hasil tangkapan di alam,
sehingga tidak memberikan nilai tambah). Budidaya ikan ini sudah dilakukan,
akan tetapi belum berkembang seperti ikan lain karena teknologinya
pembesarannya belum dikuasai sepenuhnya oleh pembudidaya. Spesies ikan sidat
yang sudah mulai dibudidayakan di Indonesia di antaranya Anguilla bicolor dan A.
marmorata. Kedua spesies ikan sidat tersebut dibudidayakan karena keberadaanya
yang lebih melimpah dibandingkan jenis lain di Indonesia (Affandi 2005).
Selain ketersediaan benih yang terbatas, permasalahan utama dalam
budidaya ikan sidat adalah pertumbuhannya yang lambat, ukuran benih yang tidak
seragam, konversi pakan yang tinggi dan rentan terserang penyakit pada
pendederan benih (glass eel dan elver). Berbagai penelitian telah dilakukan untuk
meningkatkan pertumbuhan ikan sidat melaui pedekatan faktor eksternal,
diantaranya penelitian pakan, rekayasa wadah/sistem teknologi pembesaran, dan
manipulasi lingkungan pemeliharaan. Solusi melalui faktor internal misalnya
melalui rekayasa genetika masih sulit dilakukan karena teknologi pematangan
gonad, pemijahan, dan pemeliharaan larva belum diketahui dengan baik seperti
pada ikan sidat (Tanaka 2006).
Berbagai pertimbangan tersebut menyebabkan perlunya teknologi sebagai
jalan pintas untuk mengatasi masalah tersebut. Salah satu teknologi yang akan
diujicobakan adalah penggunaan protein rekombinan hormon pertumbuhan (rGH)
dalam sistem produksi benih ikan sidat (Lesmana 2010; Utomo 2010). Hormon
pertumbuhan merupakan hormon polipeptida dengan panjang sekitar 22 kDa yang
diproduksi dari somatotropin di dalam kelenjar pituitari bagian anterior. Hormon
ini merupakan komponen yang penting dalam mengatur banyak aspek fisiologi
seperti pertumbuhan, metabolisme, osmoregulasi, fungsi kekebalan tubuh,
reproduksi, dan merangsang hati untuk menghasilkan insulin-like growth factor-1/
IGF-I (Moriyama et al. 1993, 2000; Li et al. 2003; Promdonkoy et al. 2004;
Reinecke et al. 2005; Wong et al. 2006; Acosta. et al. 2007, 2009; Debnanth
2010). Penggunaan rGH juga merupakan prosedur yang relatif aman, karena yang
dimodifikasi adalah bakteri yang memproduksi rGH saja, sehingga ikan yang
diberikan rGH tidak dikategorikan sebagai organisme genetically modified
organism/GMO (Khoo 2000; Acosta et al. 2007). Hal tersebut karena rGH tidak
ditransmisikan ke keturunan ikan selanjutnya.
Penggunaan teknologi protein rGH untuk mempercepat pertumbuhan ikan
sudah banyak dilakukan di daerah sub tropis pada beberapa spesies ikan yang
berbeda. Pemberian rGH pada ikan rainbow trout dapat meningkatkan
pertumbuhan sebesar 50% dibandingkan dengan ikan kontrol (Sekine et al. 1985).
Pada ikan baronang pemberian rGH selama empat minggu dapat meningkatkan
bobot tubuh sebesar 20% dibandingkan kontrol (Funkenstein et al. 2005).
Pemberian rGH ikan mas sebesar 0,1 µg/g bobot tubuh pada benih ikan nila dapat
meningkatkan bobot tubuh sebesar 53,1% dibandingkan dengan kontrol (Li et al.
2003). Pemberian rGH yang berbeda pada ikan nila melalui teknik penyuntikan
atau injeksi berhasil meningkatkan bobot sebesar 20,94% (rGH ikan kerapu
kertang); 18,09% (rGH ikan mas); 16,99% (rGH ikan gurame) (Lesmana 2010).
Pemberian rGH dapat dilakukan dengan beberapa metode, di antaranya:
perendaman/imersi (Moriyama & Kawauchi 1990; Acosta et al. 2007),
penyuntikan/injeksi (Promdonkoy et al. 2004; Utomo 2010; Lesmana 2010), dan
melalui pakan (Moriyama et al. 1993; Jeh et al. 1998; Ben-Atia et al. 1999). Pada
ketiga metode tersebut, yang paling aplikatif untuk dilakukan dalam skala massal
adalah dengan metode perendaman pada stadia larva, dan melalui pakan pada
stadia benih.
1.2. Rumusan Masalah

Dari hasil analisis permasalahan pada ikan sidat yaitu pertumbuhan yang
lambat, konversi pakan yang tinggi, dan rentan terhadap serangan penyakit (Sakai
et al. 1997), maka penggunaan teknologi pemberian rGH dapat dijadikan
alternatif solusi untuk mengatasinya. Beberapa hasil yang signifikan pada
beberapa spesies ikan budidaya dapat dijadikan dasar untuk melakukan aplikasi
penggunaan rGH dalam mempercepat pertumbuhan ikan sidat terutama pada fase
pendederan. Teknologi ini diharapkan dapat meningkatkan pertumbuhan,
meningkatkan sintasan dan menurunkan konversi pakan pada budidaya ikan sidat
(fase pendederan). Efektivitas pemberian rGH dipengaruhi oleh dosis, metode
pemberian, dan respons ikan terhadap pemberian. Dengan demikian berbagai
tingkat pemberian dosis dan metode pemberian perlu diuji. Selanjutnya juga perlu
dilihat respons benih ikan sidat terhadap pertumbuhan biomassa, sintasan,
konversi pakan dan retensi pakan juga perlu dilakukan karena berkaitan erat
dengan produksi. Komposisi tubuh (uji proksimat) dan tingkat ekskresi amonia
(uji TAN) juga perlu dilakukan untuk melihat efek rGH terhadap keamanan
pangan dan lingkungan. Pengujian level ekspresi IGF-1 juga perlu dilakukan
untuk melihat respon hormonal akibat pemberian rGH sekaligus sebagai
penanda/marka masuknya rGH yang kita berikan kedalam tubuh ikan. Teknologi
ini diharapkan ikut berperan dalam peningkatan produksi dan efisiensi produksi
ikan sidat.

1.3. Tujuan dan Manfaat

Secara umum penelitian ini bertujuan untuk menguji penggunaan rGH


ikan kerapu kertang (rElGH) pada ikan sidat dengan metode perendaman (pada
fase glass eel) dan melalui pakan (pada fase elver) dalam meningkatkan
pertumbuhan benih ikan sidat. Tujuan umum tersebut diwujudkan melalui
beberapa penelitian, yaitu:

1) Penentuan dosis pemberian rElGH yang tepat (melalui perendaman) untuk


mempercepat pertumbuhan ikan sidat ukuran glass eel.
2) Penentuan dosis pemberian rElGH yang tepat secara oral (melalui pakan)
untuk mempercepat pertumbuhan ikan sidat ukuran elver.
3) Penentuan metode terbaik antara pemberian rElGH melalui perendaman,
secara oral dan kombinasi keduanya untuk mempercepat pertumbuhan ikan
sidat.
4) Mengidentifikasi dan menganalisis respons benih ikan sidat terhadap
pemberian rElGH.
Manfaat dari penelitian ini adalah sebagai pedoman dan langkah awal
untuk menyusun protokol pemberian pakan/feeding regimes dan standar prosedur
operasional teknologi pendederan ikan sidat menggunakan hormon pertumbuhan
rekombinan supaya dapat diterapkan dalam skala massal bagi pelaku budidaya
ikan sidat. Aplikasi metode tersebut diharapkan dapat meningkatkan produksi
budidaya ikan nasional.
II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Ikan Sidat


Ikan sidat, Anguilla spp. merupakan jenis ikan yang sangat laku di pasar
internasional (Jepang, China, Taiwan, Hongkong, Jerman, Italia dan beberapa
negara lain). Dengan demikian ikan ini memiliki potensi yang menjanjikan
sebagai komoditas ekspor. Tidak seperti halnya di negeri lain (Jepang, dan
negara-negara Eropa), di Indonesia sumberdaya ikan sidat belum banyak
dimanfaatkan. Hal ini terlihat dari tingkat pemanfaatan ikan sidat secara lokal
(dalam negeri) masih sangat rendah, padahal jumlah ikan ini baik dalam ukuran
benih maupun ukuran konsumsi cukup melimpah. Salah satu penyebabnya adalah
ikan ini belum banyak dikenal, sehingga kebanyakan penduduk Indonesia belum
familiar untuk mengkonsumsi ikan sidat. Demikian pula pemanfaatan ikan untuk
tujuan ekspor masih sangat terbatas. Ekspor ikan sidat kebanyakan dalam ukuran
glass eel hasil tangkapan dari alam (Affandi 2005).
Selain rasanya yang enak, masyarakat Jepang menyadari banyaknya
manfaat yang terkandung di dalam ikan sidat, sehingga dapat digunakan sebagai
bahan makanan yang baik untuk menjaga dan meningkatkan kesehatan (nutri-
theurapic). Kandungan energi ikan sidat lebih besar dari telur ayam yang
mencapai 270 kkal/100 g. Nutrisi lain seperti vitamin A, dan asam lemak esensial
EPA (eicosapentaenoic acid) dan DHA (docosahexaenoic acid) yang dibutuhkan
oleh tubuh yang lebih tinggi dibandingkan bahan makanan yang lain.

Tabel 1 Kandungan vitamin A (IU/100 gram), eicosapentaenoic acid/EPA dan


docosahexaenoic acid/DHA (mg/100 gram) pada beberapa bahan
makanan (Suitha 2008)

Kandungan Kandungan Kandungan


No Bahan makanan
vitamin A EPA DHA
1 Daging ikan sidat 4.700 1337 742
2 Hati ikan sidat 15.000 - -
3 Daging babi 30 - -
4 Sarden 60 250 250
5 Mentega 1900 - -
6 Telur ayam 670 163-830 74-343
7 Ikan salmon 1 820 492
8 Ikan tenggiri 2,6 748 409
Ikan sidat memiliki sifat yang unik dalam siklus hidupnya karena
merupakan salah satu ikan yang melakukan migrasi/ruaya (katadromus).
Indonesia yang diapit oleh 2 samudera tentunya memiliki sumberdaya benih sidat
yang melimpah. Terbukti enam dari 17 spesies terdapat di Indonesia yakni: A.
marmorata, A. celebensis, A. ancentralis, A. borneensis, A. bicolor bicolor dan A.
bicolor pacifica (Tomiyama & Hibiya, 1977). Jenis ikan tersebut menyebar di
muara sungai yang berbatasan dengan laut dalam yakni di pantai selatan Pulau
Jawa, pantai barat P. Sumatera, pantai timur P. Kalimantan, seluruh pantai P.
Sulawesi, Kepulauan Maluku, Bali, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara
Timur hingga pantai utara dan selatan Papua (Gambar 1). Ikan sidat hidup di
perairan estuaria (laguna) dan perairan tawar (sungai, rawa dan danau serta
persawahan) dari dataran rendah hingga dataran tinggi.

(Tab

= sumber benih sidat

Gambar 1 Penyebaran benih ikan sidat di perairan Indonesia (dimodifikasi dari


Tesch 1911& Aoyama 2009).

Dalam membudidayakan ikan sidat, benih yang sering disebut dengan


glass eel (yang berukuran kecil dan warna tubuh masih transparan) dan elver
(sudah berwarna gelap) sangat tergantung hasil tangkapan dari alam karena belum
dapat dikembangbiakan secara komersial. Benih ikan sidat biasanya ditangkap di
muara-muara sungai yang menghadap ke laut dalam. Keberadaan benih ikan sidat
di Indonesia sangat melimpah, sehingga merupakan potensi yang belum digali
secara maksimum.
Budidaya ikan sidat sudah berkembang hampir di seluruh dunia. Beberapa
negara produsen ikan sidat terbesar di antaranya China, Jepang, dan Taiwan,
Belanda, Italia, Denmark, Amerika, Australia. Secara umum budidaya ikan sidat
yang dilakukan ada beberapa tahap, setelah benih (glass eel) ditangkap dari alam.
Tahapan tersebut adalah: 1) pembenihan (seed production) dari ukuran 0,2-5,0
gram, 2) pendederan (nursery) dari ukuran 5-50 gram dan 3) pembesaran (grow-
out) dari ukuran 50 gram sampai ukuran pasar (FAO 2012). Waktu pemeliharaan
untuk mencapai ukuran yang diinginkan berbeda-beda tergantung dari spesies
ikan, sistem pemeliharaan, jenis pakan dan faktor-faktor pendukung lainnya.
Siklus produksi ikan sidat yang sudah berkembang di dunia dapat dilihat pada
Gambar 2 (FAO 2012).

Gambar 2 Siklus produksi ikan sidat di alam dan budidaya (dimodifikasi dari
FAO 2012).

Budidaya ikan sidat di Indonesia mulai berkembang sejak tahun 2005.


Benih ikan sidat berupa glass eel baru ditangkap secara komersial di beberapa
daerah di Sulawesi dan Pantai selatan Pulau Jawa. Penangkapan glass eel secara
kontinyu di Sulawesi dilakukan di daerah Kabupaten Poso, mayoritas benih yang
tertangkap adalah jenis A. marmorata. Sedangkan di pantai selatan pulau Jawa, di
antaranya adalah di Pelabuhan Ratu, Cilacap, Purworejo, dan Jember, mayoritas
benih yang tertangkap adalah A. bicolor. Daerah lain yang memulai melakukan
penangkapan terhadap glass eel adalah di pantai barat Pulau Sumatera, yaitu di
Provinsi Bengkulu (A. bicolor).
Segmentasi budidaya ikan sidat di Indonesia dibagi menjadi beberapa
tahap, yaitu: Pendederan 1, Pendederan 2, dan Pembesaran. Pendederan 1
dilakukan dari glass eel (0,2 gram) sampai elver yang berukuran 2-5 gram.
Pendederan 2 dilakukan untuk ikan ukuran 2-5 gram dipelihara sampai 4 bulan
sampai ikan berukuran 10-80 gram. Grading dilakukan setiap bulan, sampai
didapatkan ukuran akhir 60-80 gram untuk dibesarkan pada tahap pembesaran
sampai ukuran konsumsi (Suitha 2008). Budidaya ikan sidat semakin menarik
ketika adanya larangan ekspor ikan sidat untuk ukuran glass eel. Berdasarkan SK
Menteri Pertanian Nomor: 214/Kpts/UM/5/1973 tentang Larangan Pengeluaran
Beberapa Jenis Ikan Hasil Perikanan dari Wilayah Negara RI serta Peraturan
Menteri Perdagangan RI Nomor: 07/M-DAG/PER/4/2005 tanggal 19 April 2005
tentang Perubahan atas Lampiran Keputusan Menteri Perindustrian dan
Perdagangan Nomor: 558/MPP/KEP12/1998 tentang Ketentuan Umum di Bidang
Ekspor sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Keputusan
Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor: 385/MPP/Kep/6/2004
menyatakan bahwa “barang yang dilarang ekspornya adalah benih sidat (Anguilla
spp) berukuran diameter tubuh kurang dari 5 mm”.
Pada budidaya ikan sidat untuk skala besar dan intensif, pembudidaya
biasanya memiliki mesin pencampur pakan tersendiri untuk membuat pakan pasta.
Pakan yang secara khusus diproduksi untuk ikan sidat sudah ada di luar negeri
untuk berbagai stadia dan ukuran ikan sidat, namun di Indonesia belum ada pabrik
pakan yang memproduksinya. Sebagai solusinya banyak pembudidaya ikan sidat
di Indonesia menggunakan pakan dengan kadar protein tinggi yang diperuntukan
untuk ikan lain, misalnya untuk ikan laut (ikan kerapu atau ikan kakap), bahkan
mungkin pakan udang. Strategi yang mereka gunakan adalah dengan melengkapi
kekurangan nutrisi dengan mencampur pakan tersebut dengan bahan lain,
misalnya tepung ikan, telur ayam, minyak ikan/minyak cumi, tepung roti, ragi,
vitamin mix dan mineral mix. Sebagai acuan ada beberapa komposisi pakan pada
berbagai stadia pemeliharaan ikan sidat (Tabel 2).

Tabel 2 Komposisi pakan ikan sidat pada berbagai stadia berdasarkan ukuran
ikan (Tomiyama & Hibiya 1977).
Stadia Bobot ikan Protein Lemak Serat Abu Kalsium Fosfor
(g) (%) (%) (%) (%)
Glass eel 1 < 0,5 > 49 >3 <1 < 17 > 2,5 > 1,3
Glass eel 2 0,5-3 > 47,5 >3 <1 < 17 > 2,5 > 1,3
Sidat 3-10 > 46 >3 <1 < 17 > 2,5 > 1,3
muda
Sidat > 10 > 45 >3 <1 < 17 > 2,3 > 1,2
dewasa
Keterangan lainnya:
- Kebutuhan vitamin: Vitamin A (oil), cholecalciferol, tocopherol acetate, thiamine nitrate,
pyridoxine hydrochloride, nicotinamide, pantothenic acid calcium, folic acid
cyanocobalamin, Vitamin K3, ribovlavin, d biotin, inositol chloride, ascorbic acid calcium.
- Kebutuhan mineral: Calcium carbonate, fumaric acid iron, potassium chloride, magnesium
sulfate, phosphate of calcium, manganese sulfate, sulfate of copper, sulfate of zinc, calcium
iodate, cobal chloride.

Hal lain yang perlu diperhatikan dalam manajemen pemberian pakan pada
ikan sidat adalah tingkat pemberian pakan pada setiap ukuran (feeding rate), dan
perbandingan antara air, minyak dan pakan pada pembuatan pakan pasta (Tabel 3).
Pada fase pendederan dibutuhkan pakan pasta dengan prosentase air sebesar 140-
160%, tanpa diberikan lemak tambahan. Tingkat pemberian pakan (feeding rate)
pada pendederan ikan sidat berkisar antara 4-10% dari bobot biomassa tubuh ikan
sidat.
Ada beberapa penyakit yang sering menyerang ikan sidat, di antaranya:
Aeromonas hydrophila (penyakit sirip merah/red fin disease), Pseudomonas
anguilliseptica (penyakit bintik merah/red dot disease), dan saprolegnia (sering
disebut sebagai penyakit “jamuran”) oleh pembudidaya ikan sidat, Edwarsiella
tarda, Flexibacter columnaris, Ichthyopthirus multifilis (penyakit bintik
putih/white spot), Trichodina, Vibrio furnissii (rongga perut menggembung/
hidroperitoneum). Beberapa penyakit tersebut menyerang ikan sidat pada fase
pendederan (Tomiyama & Hibiya 1977).
Tabel 3 Tingkat pemberian pakan (FR), prosentase air dan lemak pada pembuatan
pakan pasta untuk pendederan ikan sidat ukuran glass eel dan sidat muda
(Tomiyama & Hibiya 1977).
Keterangan glass eel 1 glass eel 2 sidat muda
Feeding Rate (%) 10 4-6 3-5
Persentase air 140-160 140-160 130-140
Persentase lemak 0 0 3-5

2.2. Hormon Pertumbuhan/Growth Hormone (GH)

Hormon pertumbuhan merupakan polipeptida yang disekresikan oleh


bagian anterior dari kelenjar pituitari yang memiliki fungsi utama memacu
pertumbuhan tubuh. Hormon ini merupakan peptida yang besar yang terdiri dari
191 asam amino dengan berat berkisar 20-25 kDa dan relatif bersifat spesifik
untuk masing-masing spesies. Menurut Biotechnology Industry Organization pada
tahun 2007, GH manusia pertama kali ditemukan pada tahun 1920 oleh Evans dan
Long. Kemudian, pada tahun 1979 hormon tersebut disintesis untuk pertama kali.
Sekresi hormon pertumbuhan dikendalikan oleh hipotalamus. Somatotropin
menggambarkan hormon pertumbuhan yang biasa diproduksi di hewan,
sedangkan somatropin menggambarkan hormon pertumbuhan yang diproduksi
oleh teknologi DNA rekombinan (Lindholm 2006; Utomo 2010).
Secara umum, GH berperan dalam memacu pertumbuhan tubuh,
khususnya dengan merangsang pelepasan somatomedin, dan mempengaruhi
metabolisme protein, karbohidrat, dan lipid. Pada ikan GH memiliki beberapa
fungsi yang telah diketahui, di antaranya merangsang pertumbuhan tulang, otot
dan gonad. Hormon ini juga berperan pada proses metamorfosis dan
perkembangan ikan, pada proses osmoregulasi, merangsang hati mengeluarkan
IGF-1, tingkah laku ikan ketika bermigrasi, pada proses gametogenesis pubertas
dan perkembangan embrio, menjaga keseimbangan/homeostasi energi,
merangsang nafsu makan, mempengaruhi komposisi daging, efisiensi pemberian
pakan, gambaran darah, dan meningkatkan sistem imunitas tubuh (Sakai et al.
1997; Wong et al. 2006; Liu et al. 2007; Debnanth 2010).
Mekanisme GH dalam mempengaruhi pertumbuhan ada beberapa
pendapat yang terus berkembang (Gambar 3). Penelitian tentang bagaimana GH
dimediasi dalam mempengaruhi pertumbuhan sudah dimulai sejak tahun 1950-an.
Paradigma berkembang pada mamalia bahwa GH mempengaruhi pertumbuhan
dimediasi oleh IGF-1 yang berada dalam hati. Pada tahun 1980-an paradigma
berkembang bahwa ada mekanisme langsung pada GH dalam mempengaruhi
pertumbuhan, dan kemudian diketahui bahwa dalam organ dapat memproduksi
IGF-1 sendiri. Pada tahun 2000-an diketahui mediasi yang terjadi tidak hanya
dalam hati, tetapi juga terjadi di luar hati dan ada peran IGF binding proteins
(IGFBPs) dan acid-labile subunit (ALS) (Ohlsson et al. 2009).

Gambar 3 Perkembangan pendapat tentang mediasi GH dalam mempengaruhi


pertumbuhan (dimodifikasi dari Ohlsson et al. 2009).

Pada ikan teori mengenai mekanisme GH juga terdapat beberapa pendapat


yang berbeda. Perkembangan terakhir diketahui adanya mekanisme secara
langsung dan tidak langsung (Gambar 4). Mekanisme secara langsung adalah GH
akan langsung mempengaruhi pertumbuhan organ tanpa perantara IGF-1 didalam
hati. Sedangkan mekanisme tidak langsung adalah mekanisme GH dalam
mempengaruhi pertumbuhan yang dimediasi oleh IGF-1 dalam hati ikan. Ada
beberapa faktor lain yang berperan dalam mekanisme ini, yaitu: reseptor GH
(GHr), GH binding proteins (GHBPs), IGF binding proteins (IGFBPs), dan
reseptor IGF. GHr berfungsi dalam menangkap sinyal GH yang disekresikan oleh
pituitari, GHBPs berfungsi dalam melindungi dan pengangkutan GH dari pituitari
di dalam darah. IGFBPs berfungsi dalam melindungi dan mengangkut IGF-1 di
dalam darah menuju ke organ target. Reseptor IGF-1 berfungsi untuk
menangkap sinyal IGF-1 dalam organ-organ yang menjadi target. Beberapa
pengaruh GH terhadap fungsi lain seperti merangsang nafsu makan, sistem
imunitas, pengaturan homeostasi energi juga masih terus diteliti dan dikaji
bagaimana mekanismenya (Sanches 1999; Moriyama 2000; Wong et al. 2006;
Debnanth 2010).

Gambar 4 Mekanisme hormon pertumbuhan (GH) dalam mempengaruhi


pertumbuhan dan beberapa fungsi lain (dimodifikasi dari Sanches
1999; Moriyama 2000; Wong et al. 2006; Debnanth 2010).

Sekresi GH dirangsang sinyal dari otak berupa neuropeptide, di antaranya


growth hormone releasing hormone (GHRH), pituitary adenilate cyclase-
activating polypeptide (PACAP), gonadothropin realising hormone (GnRH),
thyroid realising hormone (TRH), neuropeptide-Y (NPY), bombensin, dan CCK.
Sinyal dari otak yang berupa neurotransmitter yang telah diketahui adalah
dopamin. Selain itu sekresi GH juga dirangsang oleh insulin like growth factor 1
(IGF-1) dan aktivin (sinyal dari pituitari), ghrelin, protein pakan, kandungan gula
darah yang rendah, peningkatan sekresi androgen, arginin, T3/T4, dan CVP/CNP.
Faktor yang dapat menghambat GH diantaranya somatostatin, SRIF, serotonin,
glutamate, norepinephrine konsentrasi hormon pertumbuhan dan insulin like
growth factor 1 (IGF-1) yang bersirkulasi, kandungan gula darah yang tinggi,
glukokortikoid, estradiol. Kandungan GH dalam tubuh ikan berkisar antara 0,2-
111,2 ng/ml plasma darah (Björnsson et al. 2000; Arnesen et al. 2003; Drennon et
al. 2003; Wong et al. 2006; Nordgarden et al. 2005; Utomo 2010).

2.3. Protein GH Rekombinan

Metode pembuatan protein hormon pertumbuhan rekombinan (rGH)


mengacu kepada metode teknologi DNA rekombinan atau kloning gen, tahapan
kloning gen yang dilakukan yaitu: isolasi gen, dalam hal ini DNA yang mengkode
hormon pertumbuhan (GH), penyisipan gen ke dalam sistem vektor untuk
membentuk vektor rekombinan, dan selanjutnya vektor rekombinan yang
membawa sisipan gen GH tersebut diintroduksikan ke dalam sel inang (bakteri).
Dan kemudian di dalam sel inang GH rekombinan tersebut akan diekspresikan
dan diperbanyak dengan cepat sesuai dengan kecepatan sel inang membelah diri.
Beberapa penelitian telah berhasil mengisolasi dan memproduksi rGH dari
beberapa jenis ikan di antaranya adalah pada ikan salmon (Sekine et al. 1985);
ikan flounder (Jeh et al. 1998); orange-spotted grouper (Li et al. 2005); ikan patin
siam (Poen 2009); ikan mas (Utomo 2010); ikan kerapu kertang (Lesmana 2010).
Pada penelitian sebelumnya vektor kloning yang digunakan adalah pGEM-T
Easy yang berukuran 3.015 bp. Plasmid pGEM-T Easy termasuk plasmid high
copy number yang cocok untuk menyimpan gen insert dalam bakteri sebagai
suatu inang. Vektor ekspresi yang digunakan pada penelitian sebelumnya adalah
pCold DNA merupakan sistem vektor ekspresi dengan kejutan dingin yang
berukuran 4.407 bp. pCold DNA dirancang untuk menghasilkan ekspresi protein
secara efisien dengan menggunakan promoter yang berasal dari gen cspA.
Promoter ini berasal dari E. coli, sebagian besar jenis E. coli dapat digunakan
sebagai inang ekspresi (Lesmana 2010; Utomo 2010).
2.4. Pengujian Aktivitas GH Rekombinan pada Ikan

Teknik pengujian aktivitas rGH dapat dilakukan dengan memberikan protein


rGH yang telah diproduksi kepada ikan budidaya, metode yang digunakan untuk
memberikan protein rGH untuk memacu pertumbuhan atau meningkatkan kinerja
banyak aspek fisiologi tubuh dapat dilakukan dengan cara injeksi (penyuntikan),
imersi (perendaman), dan secara oral (pakan). Pemberian hormon pertumbuhan
juga bisa diberikan dari ikan yang sama (Moriyama & Kawauchi 1990; Acosta et
al. 2007; Moriyama et al. 1993; Utomo 2010), ikan berbeda (Tsai et al. 1997;
Promdonkoy et al. 2004; Alimuddin et al. 2010), bahkan organisme berbeda,
misalnya: pada ikan ke udang (Santiesteban et al. 2010), sapi ke ikan (Haghighi et
al. 2011; Silverstein et al. 2000; Leedom et al. 2002), dan manusia ke ikan
(Nayak et al. 2001). Masing-masing kasus memberikan efek yang berbeda
terhadap pertambahan bobot ikan. Hormon yang diberikan juga berbeda tingkat
kemurniannya (murni/pure dan kasar/raw). Beberapa aplikasi pemberian rGH
dengan metode dan jenis ikan yang berbeda yang pernah diuji dapat dilihat pada
Tabel 4.
Metode pemberian protein rGH melalui pakan buatan telah dilakukan di
antaranya pada ikan flounder dengan frekuensi 1 kali seminggu selama 4 minggu
(Jeh et al. 1998). Pemberian rGH melalui pakan buatan merupakan metode yang
praktis, karena tidak perlu menangani ikan satu per satu (Jeh et al. 1998). Namun
demikian, penggunaan pakan buatan terbatas pada benih ikan yang sudah
memiliki sistem dan enzim pencernaan yang lengkap.
Metode pemberian protein rGH melalui perendaman juga bisa dilakukan
dengan merendam ikan pada larutan rGH dengan dosis 30 mg/l selama 60 menit
dengan interval 7 hari sekali, kemudian diukur pertumbuhannya, seperti yang
dilakukan oleh Moriyama dan Kawauchi 2004. Metode ini cocok digunakan pada
larva atau benih ikan yang masih memiliki permukaan tubuh yang bersifat
semipermeabel. Metode ini juga aplikatif untuk produksi yang dilakukan pada
skala masal.
Metode lain yang juga bisa dilakukan adalah dengan injeksi atau
menyuntikkan protein rGH ke dalam tubuh ikan. Metode injeksi seperti yang
dilakukan oleh Promdonkoy et al. (2004) dengan menyuntikkan protein rGH ikan
giant catfish ke benih ikan mas dengan dosis 0,1 dan 1 µg per 10 µl PBS per g
bobot tubuh. Dengan metode injeksi dapat dipastikan bahwa protein rGH masuk
ke tubuh melalui peredaran darah. Meskipun demikian, metode ini memiliki
kekurangan karena sulit untuk diaplikasikan pada ikan yang berukuran kecil dan
untuk skala yang masal karena perlu penanganan satu per satu.

Tabel 4 Beberapa pengujian aktivitas hormon pertumbuhan rekombinan yang


telah dilakukan pada ikan.
Pertambahan
Metode Asal GH Ikan Uji Grade Pustaka
Bobot (%)
ikan ikan raw 33,8 Moriyama &
salmon salmon Kawauchi (1990)
manusia catla catla pure 64,7 Nayak et al. (2001)
Perendaman ikan grass ikan koki pure 44,8 Promdonkoy et al.
carp (2004)
ikan nila ikan nila pure 171 Acosta et al. (2007)
ikan nila udang pure 42,4 Santiesteban et al.
vanamei (2010)
ikan grass ikan koki pure 68 Promdonkoy et al.
carp (2004)
ikan black sea pure 63,6 Tsai et al. (1997)
yellowfin bream
Oral porgy
ikan ikan pure 28 Moriyama et al.
salmon salmon (1993)
sapi rainbow pure 9 Haghighi et al.
trout (2011)
sapi channel pure 9,58-51,2 Silverstein et al.
catfish (2000)
sapi ikan nila pure 17,9 Leedom et al.
(2002)
ikan mas ikan mas raw 106,56 Utomo (2010)
Penyuntikan
ikan ikan nila raw 16,99
gurami
ikan mas ikan nila raw 18,09 Alimuddin et al.
ikan ikan nila raw 20,94 (2010)
kerapu
kertang
III. BAHAN DAN METODE

3.1. Ikan Uji


Seluruh ikan uji yang digunakan adalah ikan sidat (Anguilla sp.) yang
berasal dari muara Sungai Cimandiri, Pelabuhan Ratu, Sukabumi, Jawa Barat.
Glass eel ditangkap pada satu minggu yang sama dan dikumpulkan oleh
pengumpul glass eel di daerah tersebut. Glas eel yang digunakan berukuran
panjang 5,52±0,22 cm, dan bobot 0,13±0,21 gram. Elver yang digunakan hasil
pemeliharaan dari ukuran glass eel dengan ukuran panjang 7,45±0,75 cm, dan
bobot 0,54±0,21 gram pada tahap persiapan selama 2 bulan dalam akuarium. Ikan
sidat ukuran glass eel dan elver yang digunakan dapat dilihat pada Gambar 5.

A B

Gambar 5 Benih ikan sidat ukuran glass eel (A) dan elver (B) yang digunakan
dalam penelitian.

3.2. Produksi Protein GH Rekombinan


Pada penelitian ini digunakan bakteri Escherichia coli BL21 (DE3) yang
mengandung konstruksi pCold/rElGH (Alimuddin et al. 2010). Dengan
menggunakan analisis SDS-PAGE telah diketahui bahwa produksi rGH ikan
kerapu kertang pada E. coli lebih tinggi daripada rGH ikan mas dan ikan gurami
(Lampiran 1). Klon bakteri E.coli BL21 (DE3) mengandung pCold-I/rElGH yang
disimpan dalam stok gliserol dilakukan kultur awal dengan digoreskan ke dalam
media padat 2xYT yang mengandung ampisilin. Hasil goresan bakteri diinkubasi
dalam suhu 37oC selama 24 jam. Selanjutnya hasil kultur media padat tersebut
diambil koloni tunggalnya untuk dilakukan subkultur pertama dalam 5 mL media
2xYT cair yang mengandung ampisilin (tabung L), dan diinkubasi menggunakan
shaker pada suhu 37oC selama 18 jam. Setelah itu, dilakukan subkultur kedua
dengan mengambil sebanyak 1% dari kultur awal dan dimasukkan ke dalam 60
ml media 2xYT cair baru dan diinkubasi lagi pada suhu 37oC selama 2 jam.
Induksi produksi rGH dilakukan dengan memberikan kejutan suhu 15oC selama
30 menit, ditambahkan IPTG sebanyak 750 µL dan diinkubasi menggunakan
shaker pada suhu 15oC selama 24 jam. Bakteri hasil kultur dikumpulkan dengan
sentrifugasi pada kecepatan 12.000 rpm selama 2 menit untuk mengendapkan sel.
Pelet bakteri dicuci dengan phosphate buffer saline (PBS) sebanyak 1 kali dan
selanjutnya disimpan pada suhu -80oC hingga akan digunakan
Pelet bakteri dicuci menggunakan 1 mL bufer tris-EDTA (TE) per 200 mg
bakteri dan diinkubasi pada suhu 37oC selama 20 menit. Setelah bakteri
diendapkan dengan sentrifugasi pada 12.000 rpm selama 1 menit, bakteri dilisis
terlebih menggunakan lisozim sebanyak 500 µL (10 mg dalam 1 ml buffer TE),
dan diinkubasi pada suhu 37oC selama 20 menit, lalu disentrifugasi pada 12.000
rpm selama 1 menit. Protein rElGH dalam bentuk badan inklusi/tidak larut
diendapkan dengan cara sentrifugasi pada 12.000 rpm selama 1 menit. Pelet
rElGH dicuci dengan PBS sebanyak 1 kali dan disimpan pada suhu -80oC sampai
akan digunakan.

3.3. Analisis SDS-PAGE


Prosedur pengerjaan SDS-PAGE dilakukan berdasarkan metode
Blackshear (1984) dalam Bollag et al. (1996). Konsentrasi gel akrilamid yang
digunakan adalah 10% dan menggunakan pewarnaan coomassie brilliant blue.
Marker ukuran protein yang digunakan adalah Pre Stained Protein Marker, Broad
Range (7-175 kDa) (BioLabs, New England). Analisis protein rElGH
menggunakan teknik SDS-PAGE yaitu running gel dan stacking gel (12%)
mengandung 4,62 ml H2O; 5,6 ml Acrylamide/Bis 29:1:3,5 ml Gel Buffer 1,5 M
(pH 6,8); 50 µl SDS 10%; 50 µl APS 10%; dan 5 µl APS 10%; dan 5 µl TEMED.
Protein rElGH sebanyak 1 mg ditambahkan 10 µl PBS dan 10 µl loading buffer,
kemudian diinkubasi pada suhu 1000C selama 10 menit. loading buffer
mengandung 1,5M Tris-HCl (pH 6,8), 2M DDT, SDS 10%, bromophenol blue,
gliserol 87%, dan ddH2O. Selanjutnya dimasukkan sebanyak 20 µl ke setiap
sumur gel dan elektroforensis pada tegangan 150 Volt dan kuat arus listrik 60 mA.
Setelah itu gel dimasukkan kedalam staining solution (metanol, air, coomassie
brilliant blue R-250, dan asam asetat glasial) selama 3 jam. Lalu gel dimasukkan
ke dalam de-staining solution (Ethanol, ddH2O, asam asetat glasial) selama sekitar
24 jam.

3.4. Pembuatan Pakan Uji

Pakan uji dibuat dengan cara mencampurkan rElGH yang sudah dilakukan
penyalutan (coating) sebelumnya ke dalam pakan. Penyalutan pakan dilakukan
dengan metode seperti yang dilakukan oleh Promdonkoy et al. (2004),
menggunakan HP 55 (Shinetsu, Japan) sehingga terbentuk matriks rElGH-HP55
(Gambar 6). HP 55 tersebut memiliki nama dagang Hypromellose Pthalate
(Hydroxypropylmethylcellulose Pthalate). Profil HP 55 yang digunakan dapat
dilihat pada Lampiran 3.

Gambar 6 Proses penyalutan (coating) hormon pertumbuhan rekombinan ikan


kerapu kertang (rElGH) dengan menggunakan HP 55 (hypromellose
phthalate).

Penyalutan dilakukan dengan mencampurkan pelet protein rElGH yang


dilarutkan dalam amonium asetat yang mengandung HP-55 dalam etanol 72,8%
menggunakan magnetic stirer. Setelah penyalutan dilakukan, rElGH-HP55
dilakukan pengeringan beku dalam freeze drying. Kemudian rElGH-HP55
disimpan pada suhu ruang hingga akan digunakan.
Setelah dilakukan pencampuran matrik rElGH-rElGH ke dalam pakan,
dilakukan analisis proksimat untuk mengklarifikasi kandungan nutrisi pakan
setelah dicampurkan. Komposisi nutrisi pakan yang akan diberikan (Tabel 5).

Tabel 5 Proksimat dan kandungan energi pakan yang digunakan dalam penelitian

Pakan Pakan Perlakuan (mg rElGH/kg pakan)


Hasil uji (%)
Harian Dosis 0 Dosis 0,3 Dosis 3 Dosis 30
Kadar air 6,29 26,21 25,25 25,63 25,69
Abu 11,4 8,08 8,37 8,72 8,57
Protein 46 33,87 33,48 33,77 33,72
Lemak 5,22 3,99 3,91 3,98 4,05
Serat kasar 3,09 1,78 1,88 1,85 1,86
BETN 28 26,07 27,11 26,05 26,11
GE (kkal/kg pakan) 428,59 341,505 343,28 340,77 341,43
Keterangan:
GE (Gross Energy) dikalkulasi dengan menggunakan koefisien kandungan energi dalam protein
sebesar 5,5 kkal/g, lemak 9,5 kkal/g, dan karbohidrat 4,5 kkal/g. Pakan perlakuan diberikan 2
hari/minggu.
Pencampuran rGH-HP55 dengan pakan uji dilakukan dengan cara
disemprotkan secara merata. Kemudian pakan uji dikering-anginkan. Pakan uji
yang digunakan berupa pakan komersial yang dihancurkan dalam bentuk tepung
untuk dibuat pakan pasta (Gambar 7). Pembuatan pakan pasta dilakukan dengan
cara mencampurkan pakan dalam bentuk tepung (yang telah diberi rElGH-HP55
sesuai dosisnya) dengan komposisi air sebanyak 140-160% dari bobot pakan
tepung (Tomiyama & Hibiya 1977).

pakan komersial dibuat pasta ditimbang dan diberikan ke ikan


dibentuk uji
Berat yang
Gambar 7 Proses pembuatan pakan pasta yang mengandung hormon pertumbuhan
diinginkan
rekombinan ikan kerapu kertang (rElGH).
3.5. Penelitian 1: Penentuan Dosis Protein rElGH Terbaik dengan
Pemberian Melalui Perendaman

Bioaktivitas protein rElGH ditentukan dengan menganalisis biomassa


panen, specific growth rate (SGR), konversi pakan/feed convertion rate (FCR)
dan survival rate (SR) ikan sidat yang telah direndam dengan rElGH
dibandingkan dengan ikan sidat yang tanpa diberi perlakuan rElGH. Glass eel
diberikan perlakuan kejut salinitas (salinity shock) dalam NaCl 3,0% selama 2
menit kemudian direndam selama 2 jam (hasil penelitian pendahuluan) dalam air
mengandung larutan rElGH dengan dosis berbeda (Tabel 5) + NaCl 0,9% + BSA
0,01% (Gambar 8). Setiap perlakuan dosis diulang tiga kali (Tabel 8).
Pemeliharaan ikan dilakukan dalam akuarium dengan padar tebar 5
ekor/liter, dimana setiap unit percobaan/akuarium ditebar glass eel sebanyak 150
ekor. Pemberian pakan cacing rambut dilakukan selama 1 bulan, dilanjutkan
dengan pakan pasta selama 1 bulan pemeliharaan. Air akuarium diganti sebanyak
50-80% setiap hari. Sampling biomassa ikan diukur setiap 15 hari sekali.
Kelangsungan hidup dihitung pada akhir percobaan.

Gambar 8 Proses perendaman ikan uji dalam hormon pertumbuhan rekombinan


ikan kerapu kertang (rElGH) yang dilakukan dalam penelitian ini.
Perlakuan perendaman rElGH yang diberikan menggunakan dosis 0; 0,12;
1,2; 12; dan 120 mg/L. Penentuan dosis berdasarkan hasil penelitian sebelumnya,
pada ikan gurami (Syazilii et al. 2011) yaitu didapatkan dosis perendaman terbaik
120 mg/L, dengan sekali perendaman. Berdasarkan hasil SDS-PAGE rOgGH
(gurami) memiliki tingkat produksi protein yang lebih kecil dibandingkan rElGH
(kerapu kertang), maka dalam penelitian penentuan dosis ini dilakukan penurunan
dosis (Tabel 6).

Tabel 6 Desain percobaan penentuan dosis perendaman hormon pertumbuhan


rekombinan ikan kerapu kertang (rElGH) pada ikan sidat

Dosis perendaman (mg/L)


A (0) B (0) C (0,12) D (1,2) E (12) F (120)
A1 B1 D1 E1 F1 G1
Kode Unit
A2 B2 D2 E2 F2 G2
Percobaan
A3 B3 D3 E3 F3 G3
Keterangan :
A = kontrol tanpa perlakuan rGH dan tanpa perlakuan salinitas.
B = kontrol, perlakuan salinitas, BSA 0,01%.
C-F = perlakuan rGH dosis 0,12; 1,2; 12; dan 120 mg/L.

3.6. Penelitian 2: Penentuan Dosis Pemberian Protein rElGH yang Terbaik


dengan Pemberian Secara Oral
Parameter yang diamati untuk menentukan bioaktivitas protein rElGH
melalui pakan pada penelitian 2 ini juga dilakukan perbandingan biomassa panen,
SGR, FCR dan SR. Elver ikan sidat hasil pendederan disiapkan dalam wadah
pemeliharaan berupa akuarium berukuran 60x45x50 cm dengan padat tebar 3
ekor/liter, dimana setiap unit percobaan/akuarium ditebar sebanyak 45 ekor.
Pakan yang digunakan adalah pakan pasta yang telah diberi protein rElGH dengan
dosis berbeda dan pakan tanpa diberi rElGH. Air akuarium diganti sebanyak 50-
80% setiap hari. Panjang dan bobot ikan dilakukan sampling pada awal dan akhir
pemeliharaan. Bobot diukur setiap 15 hari sekali. Sintasan dihitung pada akhir
percobaan.
Dosis rElGH tertinggi ditentukan berdasarkan hasil penelitian Hardiantho
et al. (2011) pada benih ikan nila, yaitu 30 mg/kg pakan, dengan frekuensi
pemberian dua kali per-minggu (menggunakan rOgGH). Pada penelitian ini, dosis
rElGH dalam pakan adalah sebesar 0; 0,3; 3; dan 30 mg/kg pakan, dengan
frekuensi dua kali per-minggu dengan feeding rate/FR 6% dari bobot biomassa
(Tabel 7). Dosis diturunkan karena tingkat produksi rElGH lebih tinggi
dibandingkan dengan rOgGH. Pemberian pakan dilakukan sehari 2 kali dengan
pembagian 3% pada pagi hari, dan 3% pada sore hari.

Tabel 7 Desain percobaan penentuan dosis rElGH dalam pakan pada ikan sidat

Dosis rElGH dalam pakan (mg/100 gram pakan)


A (0) B (0,03) C (0,3) D (3)
Kode A1 B1 C1 D1
Unit A2 B2 C2 D2
Percobaan A3 B3 C3 D3

3.7. Penelitian 3: Penentuan Metode Terbaik antara Pemberian rElGH


Melalui Perendaman, Pakan dan Kombinasinya

Uji ini merupakan kegiatan lanjutan dari hasil penelitian 1 (melalui


perendaman) dan penelitian 2 (melalui pakan), dengan memilih hasil dosis terbaik
pada penelitian 1 dan 2 (Tabel 8).
Tabel 8 Metode pemberian rElGH pada perlakuan yang digunakan dalam
penelitian

Metode Pemberian rElGH


Perlakuan
Bulan pertama Bulan ketiga dan keempat
Via Kejut salinitas 30 ppt, Pemberian rElGH+HP55 melalui
perendaman rendam dalam 12 mg/L pakan dengan dosis 0 mg rElGH/kg
rElGH+BSA+9 ppt selama 2 pakan sebanyak 6% biomassa ikan,
jam ( 1 kali pemberian) diberikan 2 kali setiap minggu
Via pakan Kejut salinitas 30 ppt, Pemberian rElGH+HP55 melalui
rendam dalam 0 mg/L rElGH pakan dengan dosis 30 mg rElGH/kg
+ BSA + 9 ppt selama 2 jam pakan sebanyak 6% biomassa ikan,
( 1 kali pemberian) diberikan 2 kali setiap minggu

Via Kejut salinitas 30 ppt, Pemberian rElGH+HP55 melalui


perendaman + rendam dalam 12 mg/L pakan dengan dosis 30 mg rElGH/kg
pakan rElGH+BSA+9 ppt selama 2 pakan sebanyak 6% biomassa ikan,
jam ( 1 kali pemberian) diberikan 2 kali setiap minggu
Kontrol Kejut salinitas 30 ppt, Pemberian rElGH+HP55 melalui
rendam dalam 0 mg/L rElGH pakan dengan dosis 0 mg rElGH/kg
+ BSA + 9 ppt selama 2 jam pakan sebanyak 6% biomassa ikan,
( 1 kali pemberian) diberikan 2 kali setiap minggu
Keterangan: Perendaman dilakukan pada awal pemeliharaan, setiap perlakuan dilakukan 3 kali
ulangan. Pemberian rGH tidak dilakukan pada bulan kedua pemeliharaan ikan.
Efektivitas pemberian rElGH pada penelitian 3 ini membandingkan antara
perlakuan perendaman saja, pakan saja, dan mengkombinasikan pemberian
melalui perendaman pada fase glass eel yang dilanjutkan pemberian melalui
pakan setelah ikan bisa makan pakan buatan (ukuran elver). Parameter yang
diamati meliputi biomassa panen, FCR, SR, retensi protein, retensi lemak,
hepatosomatic index (HSI), ekskresi amoniak, dan ekspresi IGF-1. Ikan dipelihara
dalam akuarium berukuran 60x45x50 cm, dimana setiap unit percobaan/akuarium
ditebar benih ikan sidat dengan padat tebar yang sama. Pemeliharaan dilakukan
selama 2 bulan dengan padat tebar 2 ekor/liter (sebanyak 45 ekor/akuarium).

3.8. Analisis Hepatosimatic Index (HSI)


HSI diukur dengan menimbang bobot hati dibandingkan bobot tubuh pada
ikan sidat hasil perlakuan terbaik dan kontrol pada penelitian ketiga. Pada akhir
penelitian ketiga ikan sampel diambil sebanyak 10 ekor, kemudian dibius dengan
minyak cengkeh dan ditimbang bobot tubuhnya. Kemudian ikan dibedah, diambil
dan ditimbang bobot hatinya untuk dibandingkan dengan bobot tubuh
(penghitungan HSI). Setelah itu dilakukan analisis secara deskriptif.

3.9. Analisis Ekskresi Amoniak (TAN)


Analisis ekskresi amoniak dilakukan dengan mengukur total amonium
nitrogen (TAN) pada media pemeliharaan ikan pada penelitian 3.5.c. Pengukuran
awal dilakukan setelah ikan dipuasakan selama 1 hari dan media pemeliharaan
diisi dengan air baru. Pengukuran akhir dilakukan 24 jam setelah ikan dilakukan
pemberian pakan sebanyak 6% dari biomassa ikan. Jumlah amoniak total dihitung
untuk setiap satuan biomassa ikan yang dipelihara selama 24 jam. Pengukuran
TAN dilakukan menggunakan test kit NH3/NH4+ (Tetra GmbH, Germany).

3.10. Analisis Proksimat Pakan dan Komposisi Tubuh (AOAC 1984)

Analisis proksimat dilakukan terhadap ikan dan pakan perlakuan yang


meliputi kadar protein kasar dilakukan dengan metode Kjeldahl, kadar lemak
kering dengan metode Soxhlet, kadar lemak basah dengan metode Folch, kadar
abu dengan pemanasan sampel dalam tanur bersuhu 600°C, serat kasar
menggunakan metode pelarutan sampel dengan asam dan basa kuat serta
pemanasan dan kadar air dengan metode pemanasan dalam oven bersuhu 105-
110°C (Takeuchi 1988).

3.11. Analisis Tingkat Ekspresi IGF-I


Sampel diambil pada akhir penelitian pada hasil perlakuan terbaik, dan
kontrol. Setelah pemberian rElHP melalui pakan dihentikan selama seminggu,
sampel diambil pada jam ke-0 (sebelum perlakuan). Setelah sampel jam ke-0
diambil, ikan diberi pakan yang mengandung rElGH (30 mg/kg pakan) sebanyak
6% bobot biomassa. Sampel setelah perlakuan diambil 24 jam setelah pemberian
pakan.
RNA total diekstraksi menggunakan isogen (Nippon Gen, Japan). Sintesis
DNA komplementer (cDNA) dilakukan menggunakan kit Ready-To-Go-You-
Prime First-Strand Beads (GE Healthcare) dengan prosedur sesuai manual.
Tingkat ekspresi dianalisis menggunakan metode PCR semi-kuantiatif dengan
primer F-eel IGF-I: 5’-GTKGACWCGCTGCARTTYGTGTG-3’, dan R-eel IGF-
I: 5’-CCTTCGRCTSGWGT TCTTCTGATG-3’ yang didesain oleh Laboratorium
Reproduksi dan Genetika Organisme Akuatik. Proses polimerisasi dijalankan
pada mesin PCR dengan program: proses denaturasi pada suhu 94oC selama 3
menit sebanyak 1 siklus; proses predenaturasi (94oC selama 30 detik) sebanyak 35
siklus, annealing (64oC selama 30 detik) sebanyak 35 siklus, ekstensi (72oC
selama 30 detik) sebanyak 35 siklus, dan final ekstensi (72oC selama 3 menit)
sebanyak 1 siklus. Hasil PCR dielektroforesis menggunakan agarosa 0,7% untuk
melihat ekspresi gen IGF-1. Tingkat ekspresi IGF-1 dianalisis secara semi-
kuantitatif, yaitu dengan melakukan perhitungan berdasarkan ketebalan pita IGF-1
dibandingkan dengan pita β-aktin menggunakan program komputer (UN-SCAN-
IT gel 6.1.).

3.12. Analisis Statistik


Biomassa panen, laju pertumbuhan (SGR), sintasan (SR), konversi pakan
(FCR), retensi protein/lemak, ekskresi total amonium nitrogen (TAN) dianalisis
menggunakan analisis sidik ragam (ANOVA) dan Uji Lanjut Tukey dengan
bantuan piranti lunak MINITAB 16. Tingkat ekspresi IGF-I dan hepatosomatic
index (HSI) dianalisis secara deskriptif.
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Hasil

4.1.1. Pemberian Protein rElGH melalui Perendaman


Pada Gambar 9 menjelaskan bahwa dosis yang paling tepat pada
pemberian rElGH melalui perendaman pada ikan sidat (ukuran glass eel) adalah
sebesar 12 mg/L. Dosis ini memberikan efek pertumbuhan yang paling cepat;
37,4% tumbuh lebih cepat tumbuh dibandingkan dengan kontrol. Pemberian
rElGH pada dosis 1,2 mg/L masih memberikan efek pertumbuhan lebih cepat
dibandingkan kontrol, tetapi pemberian yang lebih rendah lagi (0,12 mg/L) sudah
tidak memberikan efek pertumbuhan yang lebih baik. Sementara itu, pada dosis
yang lebih besar (120 mg/L) juga tidak memberikan efek yang lebih tinggi.

120
A (120 mg/L)

100 a
Bobot biomassa total (gram)

b B (12 mg/L)

80
c C (1,2 mg/L)

60
D (0,12 mg/L)

40
E (Kontrol
BSA)
20
G (Kontrol)

0
H1 H15 H30 H45 H60
Lama pemeliharaan (hari)

Gambar 9 Pertumbuhan ikan sidat (Anguilla sp.) yang diberi perlakuan


perendaman rElGH dengan dosis berbeda pada awal pemeliharaan
(hari pertama). Tanda berbeda (a, b, c) pada akhir garis menunjukan
pertumbuhan berbeda nyata secara statistik (P < 0,05).
Kelangsungan hidup (SR) benih ikan sidat yang diberi perlakuan juga
meningkat sebesar 58,9% antara perlakuan terbaik dibandingkan dengan kontrol
BSA (Tabel 9). Pemberian pakan pada ikan yang diberi perlakuan rGH melalui
perendaman juga lebih efisien, dilihat dari nilai FCR baik cacing maupun pakan
buatan yang lebih rendah (32,6% dan 22,7%) dibandingkan dengan ikan kontrol.
Hal tersebut menunjukkan bahwa pemberian rGH secara langsung dapat
meningkatkan produktivitas pada ikan sidat (dilihat dari pertumbuhan dan SR)
dan menurunkan biaya produksi (dilihat dari nilai FCR).

Tabel 9 Biomassa, laju pertumbuhan (SGR), sintasan (SR) dan tingkat konversi
pakan (FCR) ikan sidat (glass eel) yang diberi perendaman rElGH dan
kontrol selama 2 bulan pemeliharaan.
Perlakuan dosis (mg rElGH/L)
Parameer uji
K1 K2 120 12 1,2 0,12
Biomassa 73,66±2,6c 72,93±1,8c 78,01±1,7c 101,2±0,8a 94,46±2,2 b 76,66±3,4c
panen (g)
SGR (%) 1,98±0,0c 2,04±0,0bc 2,18±0,0b 2,56±0,0a 2,41±0,0a 2,05±0,0bc
SR (%) 94,4±5,4b 93,3±1,8b 92,2±1,4c 98,8±1,0a 97,8±1,0a 91,8±3,7b
FCR cacing 13,1±0,1a 13,0±0,0a 12,7±0,2b 9,8±0,0d 10,4±0,02c 12,7±0,0b
FCR pakan 2,7±0,02a 2,7±0,01a 2,5±0,01c 2,2±0,02e 2,3±0,02d 2,6±0,02b
Keterangan: SGR= Specific Growth Rate; SR= Survival Rate; FCR= Feed Convertion Rate; K1=
dosis 0; K2= dosis 0 + Shock salinitas + BSA. Huruf superskrip berbeda pada baris yang sama
menunjukan berbeda nyata secara statistik (P < 0,05).

4.1.2. Pemberian Protein rElGH Secara Oral


Pemberian hormon pertumbuhan ikan kerapu kertang (rElGH) secara oral
(melalui pakan) pada benih ikan sidat dengan dosis lebih besar dari 3 mg/kg
pakan dengan frekuensi dua kali setiap minggu, memberikan efek pertumbuhan
yang signifikan dibandingkan dengan kontrol (P<0,05) seperti pada (Gambar 10).
Respons pertumbuhan terbaik pada dosis 30 mg/kg pakan, yaitu
memberikan pertumbuhan yang lebih cepat 65,7% jika dibandingkan kontrol.
Pada penelitian ini, pemberian rGH secara oral dengan dosis yang tepat juga
secara signifikan dapat meningkatkan laju pertumbuhan (SGR) sebesar 101,2%,
biomassa panen sebesar 65,7%, dan kelangsungan hidup (SR) sebesar 9,1% jika
dibandingkan dengan kontrol pada benih ikan sidat (Tabel 10)
65
Kontrol a
60
Dosis 0,3
55 a
Dosis 3
Biomassa (gram)

50
Dosis 30
45
40 b
b
35
30
25
20
H0 H15 H30 H45 H60
Lama pemeliharaan (hari)

Gambar 10 Pertumbuhan ikan sidat (Anguilla sp.) yang diberi perlakuan rElGH
secara oral dengan dosis berbeda, dan frekuensi pemberian 2
hari/minggu selama 2 bulan pemeliharaan. Dosis pemberian rElGH
dalam mg/kg pakan. Tanda a dan b menunjukkan berbeda nyata secara
statistik (P< 0,05).

Pemberian pakan pada ikan yang diberi perlakuan rGH melalui perendaman
juga lebih efisien, dilihat dari nilai konversi pakan/FCR pakan yang lebih rendah
58,1% jika dibandingkan ikan kontrol (Tabel 10).
Tabel 10 Biomassa, laju pertumbuhan (SGR), sintasan (SR) dan tingkat konversi
pakan (FCR) ikan sidat (elver) yang diberi pakan rElGH dan kontrol
selama 2 bulan pemeliharaan.
Parameter yang Perlakuan dosis (mg rElGH/kg pakan)
diamati K (0) 0,3 3 30
Biomassa panen (g) 36,32±0,97b 38,97±2,9b 53,94±4,17a 60,18±1,38a
SGR (%) 0,800±0,07b 0,911±0,13b 1,421±0,04a 1,620±0,06a
SR (%) 73,33±2,22a 75,56±4,44a 74,81±10,5a 80,00±6,67a
FCR pakan 6,12±0,00a 5,57±0,01a 4,22±0,02b 3,87±0,08c
Keterangan: Huruf superskrip berbeda pada baris yang sama adalah berbeda nyata secara statistik
(P<0,05).
4.1.3. Pemberian rElGH Melalui Perendaman dan Oral
Semua perlakuan baik pemberian melalui perendaman pada glass eel, secara
oral melalui pakan (elver), dan kombinasi antara perendaman dan pakan
menghasilkan respons pertumbuhan secara signifikan lebih tinggi dibandingkan
dengan kontrol (Gambar 11).

A B

C D

Gambar 11 Ikan sidat hasil percobaan perlakuan pemberian rElGH dengan


metode pemberian yang berbeda: A) perendaman + pakan; B)
pakan saja; C) perendaman saja; D) kontrol.
Respons pertumbuhan tertinggi didapatkan pada perlakuan kombinasi
pemberian antara perendaman dan pakan jika dilihat dari biomassa panen
(Gambar 12). Perlakuan tersebut menghasilkan biomassa panen 102,9% lebih
tinggi jika dibandingkan dengan kontrol (P<0,05). Hal ini juga menunjukkan
bahwa pemberian rElGH lebih efektif jika diberikan secara berulang dan dalam
dosis yang tepat.
80 a
Kontrol
70
Via Perendaman b
60
Biomassa (gram)
Via Pakan c
50
Via Rendam + Pakan
40 d

30
20
10
0
H0 H15 H30 H45 H60 H75 H90 H105 H120
Hari pemeliharaan

Gambar 12 Pertumbuhan ikan sidat yang diberi perlakuan rElGH melalui


perendaman, pakan, dan kombinasi perendaman dan pakan. Huruf
berbeda pada akhir garis menunjukkan berbeda nyata secara
statistik (P<0,05).

Pada Tabel 11 memperlihatkan bahwa respons ikan hasil perlakuan rGH


yang diberikan melalui perendaman+pakan secara signifikan meningkatkan SGR
sebesar 41,6% jika dibandingkan kontrol dan SR sebesar 20,87% jika
dibandingkan dengan kontrol. Respons ikan hasil perlakuan rGH via
rendam+pakan secara signifikan SGR (41,6%), biomassa panen (102,9%), SR
(20,87%), retensi protein (129,7%), dan retensi lemak (720,9%) pada ikan
perlakuan lebih tinggi jika dibandingkan kontrol. Sedangkan pada konversi pakan,
ikan perlakuan secara signifikan memiliki FCR lebih rendah (lebih hemat)
dibandingkan dengan kontrol. FCR ikan perlakuan via rendam+pakan lebih
rendah 15,06 % pada pakan cacing dan 55,15% pada pakan buatan dibandingkan
dengan kontrol. Pada pemeriksaan ekskresi amoniak (dalam hal ini diukur nilai
TAN), ikan perlakuan (via perendaman) secara signifikan lebih rendah (25,11%)
jika dibandingkan kontrol (P<0,05). Pada perlakuan lain nilainya tidak berbeda
nyata jika dibandingkan dengan kontrol (P>0,05).
Tabel 11 Respons pemberian rElGH dengan metode pemberian berbeda pada
benih ikan sidat terhadap laju pertumbuhan (SGR), biomassa panen,
sintasan (SR), tingkat konversi pakan (FCR), retensi pakan, dan total
amonia nitrogen (TAN)

Parameter Perlakuan dosis (mg rElGH/kg pakan)


yang diamati Kontrol Via rendam Via pakan Via pakan+
rendam
d c b
Biomassa panen (g) 36,32±0,97 51,57±2,09 60,18±1,38 73,68±2,07a
d c b
SGR (%) 1,37±0,01 1,67±0,01 1,78±0,01 1,94±0,01a
b a ab
SR (%) 68,46±3,19 82,05±2,09 74,65±6,05 82,80±4,16a
b a b
FCR cacing 12,91±0,09 11,19±0,36 12,59±0,63 11,22±0,38a
d c b
FCR pakan 7,35±0,19 6,25±0,11 5,54±0,03 4,74±0,04 a
d c b
Retensi protein (%) 7,78±0,01 12,13±0,01 15,49±0,01 17,87±0,01a
d c b
Retensi lemak (%) 7,41±0,15 26,11±0,01 34,47±0,01 60,91±0,07a
TAN (mg/BW ikan/hari) 2,79±0,07b 2,23±0,25a 2,58±0,19ab 2,38±0,13ab
Keterangan : Huruf superskrip berbeda pada baris sama menunjukkan berbeda nyata (P< 0,05).

Pada pengukuran komposisi tubuh ikan hasil perlakuan (berat kering)


secara deskriptif terlihat terjadinya peningkatan kadar lemak dan BETN. Pada
kadar abu, protein, dan serat kasar terjadi penurunan jika dibandingkan dengan
kontrol.

Tabel 12 Kandungan proksimat ikan sidat ukuran glass eel (awal pemeliharaan),
ikan kontrol dan ikan yang telah diberi perlakuan rElGH dengan
metode berbeda.
Kadar Kadar Kadar Karbohidrat
Sampel ikan
abu protein lemak Serat kasar BETN
Ikan kontrol 14,74 53,62 23,90 0,61 7,13
Ikan (perendaman) 12,45 46,77 29,03 0,39 11,36
Ikan (pakan) 12,94 46,64 28,66 0,47 11,29
Ikan (perendaman+pakan) 12,48 45,78 30,02 0,14 11,58

Pada penelitian ini juga dilakukan penghitungan hepatosomatic index


(HSI). Nilai HSI pada benih ikan sidat hasil perlakuan lebih besar dibandingkan
dengan kontrol. Hal ini menunjukkan bahwa pemberian rElGH pada dosis yang
tepat dengan metode pemberian melalui kombinasi antara perendaman dan pakan,
dapat meningkatkan bobot hati sebesar 102,6% jika dibandingkan dengan kontrol
(Gambar 13).
3,5

Hepatosomatic index (HSI)


3
2,5
2
3,24
1,5
1 1,59
0,5
0
Kontrol Via perendaman + pakan
Perlakuan

Gambar 13 Nilai hepatosomatic indeks (HSI) ikan sidat (Anguilla sp.) ikan
kontrol dan yang diberi perlakuan rElGH melalui peendaman dan
pakan. Ikan dipelihara selama 4 bulan.

Dalam penelitian ini juga diukur level ekspresi IGF-I. Deteksi level
ekspresi IGF-I dapat dijadikan penanda untuk melihat efektivitas pemberian
rElGH terhadap ikan yang diberikan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa level
ekspresi IGF-I pada ikan sidat perlakuan meningkat sebesar 21,91% lebih tinggi
daripada kontrol pada 24 jam setelah diberi pakan yang mengandung rElGH
(Gambar 14).

1
0,9
0,8
0,7
IGF / β-actin

0,6
0,5
0,4 0,89
0,73
0,3 0,64 0,61
0,2
0,1
0
Kontrol (0 jam) Perlakuan (0 jam) Kontrol (24 jam) Perlakuan (24 jam)
Perlakuan (jam pengambilan sampel)

Gambar 14 Level ekspresi IGF/β-aktin ikan sidat pada jam ke-0 (sebelum diberi
rELHP secara oral), dan 24 jam setelah diberi rElGH secara oral.
Tingginya tingkat ekspresi IGF-1 akibat hormon pertumbuhan rekombinan
(rElGH) yang diberikan menunjukkan bahwa aktivitas rElGH melibatkan IGF-1.
Hasil analisis elektroforesis IGF-1 dapat dilihat pada Lampiran 2.

4.2. Pembahasan

4.2.1. Pertumbuhan (Biomassa Panen dan SGR)

Pemberian pertumbuhan hormon pada ikan sebaiknya diberikan pada dosis


yang tepat. Pemberian pada dosis yang rendah tidak akan memberikan efek positif
terhadap pertumbuhan, sedangkan pemberian yang terlalu tinggi juga dalam
regulasinya akan memberikan efek negatif/negative feedback secara hormonal
terhadap ikan (Debnanth 2010). Peningkatan pertumbuhan melalui pemberian
rGH pada ikan melalui perendaman juga sudah pernah dilaporkan sebelumnya
(Moriyama&Kawauchi 1990; Acosta et al. 2009; Santiesteban 2010). Pada
penelitian ini, perendaman rGH dengan dosis yang tepat juga secara signifikan
dapat meningkatkan laju pertumbuhan SGR sebesar 29,2% jika dibandingkan
kontrol.
Peningkatan pertumbuhan melalui pemberian rGH pada ikan melalui
perendaman juga sudah pernah dilaporkan sebelumnya (Moriyama & Kawauchi
1990; Acosta et al. 2009; Santiesteban 2010). Demikian juga pemberian rGH pada
ikan secara oral untuk meningkatkan pertumbuhan telah dilaporkan pada beberapa
penelitian sebelumnya (Bin et al. 2001; Promdonkoy et al. 2004; Haghighi et al.
2011). Pada penelitian ini rGH diberikan melalui perendaman dan pakan. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa kombinasi keduanya lebih baik daripada hanya
melalui perendaman dan pakan saja.
Mengenai mekanisme masuknya rGH dalam tubuh ikan ketika diberikan
melalui perendaman dan secara oral (melalui proses penyalutan) masih belum
jelas. Pada penelitian sebelumnya dijelaskan bahwa gonadothropin realising
hormone (GnRH) mampu terserap oleh insang ikan mas koki, dan pada percobaan
BSA yang diberi label radioaktif mampu melewati insang dan lapisan epidermis
ikan rainbow trout setelah direndam dalam larutan yang berisi BSA tersebut.
Ukuran partikel BSA (66,5 kDA) lebih besar dibandingkan dengan rGH (20-25
kDA) (Moriyama&Kawauchi 1990; Carpio et al. 2007). Dengan demikian, diduga
bahwa rGH diserap oleh tubuh ikan melalui insang dan lapisan epidermis.
Selanjutnya, mekanisme penyerapan rGH pada pemberian secara oral, terjadi pada
usus (Habibi et al. 2003).
Penelitian mengenai peran GH dalam mempengaruhi pertumbuhan sudah
banyak dilakukan. Perkembangan terakhir diketahui adanya mekanisme secara
langsung dan tidak langsung GH dalam memacu pertumbuhan. Mekanisme secara
langsung adalah GH akan langsung mempengaruhi pertumbuhan organ (tanpa
perantara IGF-1 di dalam hati). Sedangkan mekanisme tidak langsung adalah
mekanisme GH dalam mempengaruhi pertumbuhan yang dimediasi oleh IGF-1
dalam hati ikan. Ada beberapa faktor lain yang berperan dalam mekanisme ini,
yaitu: reseptor GH (GHr), GH binding proteins (GHBPs), IGF binding proteins
(IGFBPs), dan reseptor IGF. GHr berfungsi dalam menangkap sinyal GH yang
disekresikan oleh pituitari, GHBPs berfungsi dalam melindungi dan pengangkutan
GH dari pituitari di dalam darah. IGFBPs berfungsi dalam melindungi dan
mengangkut IGF-1 di dalam darah menuju ke organ target. Reseptor IGF-1
berfungsi untuk menangkap sinyal IGF-1 dalam organ-organ yang menjadi target
(Sanches 1999; Moriyama 2000; Wong et al. 2006; Debnanth 2010). Beberapa
organ target yang sudah diteliti memiliki reseptor GH dan IGF, di antaranya pada
hati dan otot (Fauconneau et al. 1996 ; Gahr et al. 2008) dan pada tulang (Ohlsson
et al. 2009).
Pada penelitian penentuan dosis perendaman juga didapatkan fenomena
yang menarik yaitu ketika benih ikan sidat direndam pada dosis yang lebih tinggi
dari 12 mg/L rElGH (dalam hal ini dosis 120 mg rElGH/L), benih ikan sidat tidak
mengalami kenaikan pertumbuhan jika dibandingkan dengan kontrol. Fenomena
ini menunjukan adanya negative feedback pemberian rGH jika dilakukan secara
berlebihan. Negative feedback tersebut terjadi secara hormonal, yaitu IGF-1 akan
menekan pituitari dalam memproduksi GH apabila konsentrasi GH dalam tubuh
berlebihan (Gambar 4). Hal ini juga menunjukkan bahwa pemberian rGH harus
dilakukan dalam dosis yang tepat untuk mendapatkan efek yang optimum.
4.2.2. Kelangsungan Hidup
Secara umum kelangsungan hidup benih ikan sidat yang diberi rElGH
melalui perendaman, secara oral dan melalui pakan relatif lebih tinggi jika
dibandingkan kontrol (P>0,05). Peningkatan kelangsungan hidup/sintasan pada
ikan yang diberi perlakuan rGH membuktikan bahwa rGH mampu meningkatkan
kekebalan tubuh/imunitas pada ikan dari stres akibat kondisi lingkungan yang
tidak sesuai. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa GH secara langsung
mampu meningkatkan sel-sel yang berkompeten dalam sistem kekebalan
tubuh/imunitas seperti limfosit, natural killer cell (NK cell), dan makrophages
(Kelley 1989; Gala 1991). Pada ikan rainbow trout, GH mampu meningkatkan
resistensi terhadap infeksi bakteri Vibrio anguillarum melalui peningkatan
aktivitas fagositosis (Sakai et al. 1997). GH juga mampu meningkatkan produksi
superoxide anion dalam leukosit dan mitogenesis leukosit (Sakai et al. 1996).
Pada ikan gilthead sea bream (Sparus aurata) dan silver sea bream (Sparus
sarba) GH mampu menstimulasi lymphopoiesis dan fagositosis (Harris & Bird
2000). Pada ikan gilthead sea bream (Sparus aurata) juga terdeteksi adanya
reseptor GH pada limfosit dan monosit yang menunjukkan bahwa GH secara
langsung berhubungan dengan sistem imunitas (Calduch-Giner et al. 1995).

4.2.3. Konversi Pakan, Retensi Protein dan Lemak, Komposisi Tubuh


Penurunan konversi pakan/FCR dan meningkatnya retensi protein dan
lemak pada ikan sidat yang diberi perlakuan rGH dibandingkan kontrol, sangat
berkaitan dengan nafsu makan ikan. Pemberian rElGH juga mampu meningkatkan
nafsu makan. Hal ini terlihat dari waktu yang diperlukan oleh ikan untuk
mengkonsumsi pakan lebih cepat jika dibandingkan kontrol. Pada akhir
pemeliharaan, ikan yang diberi perlakuan menghabiskan waktu 15-20 menit,
sedangkan ikan kontrol memerlukan waktu selama 50-65 menit (3 kali lipat)
untuk menghabiskan pakan sebanyak 3% dari bobot tubuh. Peningkatan nafsu
makan (apetite) ini diduga dipengaruhi oleh hormon ghrelin yang meningkat
akibat stimulasi hormon pertumbuhan (Volkoff et al. 2005; Debnanth 2010).
Kecepatan dalam mengkonsumsi pakan sangat berpengaruh terhadap efisiensi
pemberian pakan ikan sidat, karena pakan yang diberikan adalah dalam bentuk
pasta yang sangat cepat mengalami pencucian (leaching).
Berdasarkan percobaan pendahuluan, pakan pasta yang digunakan sangat
cepat terjadi pencucian yaitu 50-60% per-jam dari berat total yang diberikan
(dalam berat kering) jika dimasukan ke dalam air dalam akuarium (kondisi sama
dengan percobaan) tanpa pengaruh ikan. Akibat cepatnya pakan masuk ke dalam
saluran pencernaan ikan menyebabkan pemberian pakan lebih efisien, karena
lebih sedikit pakan yang hilang akibat terjadi pencucian. Hal ini juga terbukti dari
peningkatan tingkat konversi pakan, retensi protein dan lemak. Peran hormon
pertumbuhan/GH dalam meningkatkan efisiensi pemberian pakan/menurunkan
FCR juga dilaporkan pada ikan striped bass, ikan mas (Fu et al. 1998), ikan nila
(Rahman et al. 1998), (Farmanfarmaian & Sun 1999), ikan salmon (Cook et al.
2000; Devlin et al. 2004) ikan mud loach (Nam et al. 2004) dan ikan nila
(Kobayashi et al. 2007).
Meskipun mekanismenya belum jelas, GH berperan dalam dalam proses
pencernaan, penyerapan dan pengangkutan nutrisi pada ikan transgenik (Fu et al.
1998; Cook et al. 2000; Devlin et al. 2004). Ikan coho salmon transgenik GH
memiliki permukaan usus dan pilorus caecae lebih luas dibandingkan kontrol,
sehingga dapat meningkatkan proses penyerapan makanan yang secara langsung
akan mempercepat pertumbuhan. Perubahan secara struktural tersebut, secara
langsung berpengaruh terhadap proses metabolisme menjadi lebih efisien seperti
penyerapan asam amino (Farmanfarmaian & Sun 1999). Pada ikan mas koki,
pemberian GH juga mampu memperpanjang usus 43% jika dibandingkan kontrol,
meningkatkan leucine uptake, ketebalan mukosa usus, tinggi mikrovilli, luas area
dan kepadatan jaringan epitel pada usus, sehingga proses penyerapan bahan
makanan lebih optimum (Walker et al. 2004). Pemberian GH dari luar juga dapat
mempengaruhi lipolisis dan glukoneogenesis (O'Connor et al. 1993). GH juga
berpengaruh dalam sintesa protein dan omset lipid (Oommen & Johnson, 1998;
Fauconneau et al. 1996). Akibatnya, ikan yang diberi perlakuan GH dari luar
(eksogen) memiliki kemampuan lebih besar untuk mencerna makanan, menyerap
nutrisi, dan mengkonversi lebih besar proporsi makanan untuk membentuk
komposisi tubuh ikan, sehingga dapat berpengaruh terhadap peningkatan efisiensi
pemberian pakan.
Pada hasil analisis proksimat, diketahui bahwa ikan yang diberi rElGH
memiliki kadar lemak yang lebih tinggi, sedangkan kadar proteinnya lebih rendah
jika dibandingkan dengan kontrol (Tabel 5). Hal serupa juga dilaporkan pada
penelitian pemberian rGH pada ayam broiler (Cogburn et al. 1989) dan ikan
channel catfish (Silverstein et al. 2000). Perubahan komposisi tubuh akibat
pemberian rElGH pada organisme tergantung pada jenis ikan, ukuran ikan,
kandungan nutrisi pakan yang diberikan dan kondisi lingkungan yang
mempengaruhi proses metabolisme ikan.
Tingginya retensi lemak pada ikan yang diberi perlakuan rGH diduga
akibat beberapa sebab, di antaranya sebagai ikan yang bermigrasi, ikan sidat
merupakan penyimpan lemak yang baik sebagai sumber energi untuk beradaptasi
terhadap perubahan lingkungan dan proses migrasi untuk pemijahan (Fahmi 2010).
Penelitian lain juga menunjukkan bahwa semakin besar ukuran ikan, maka
semakin besar juga kandungan lemaknya (Heinsbroek et al. 2007), sedangkan
benih ikan sidat yang diberi perlakuan tumbuh lebih cepat (memiliki ukuran yang
lebih besar) sehingga secara otomatis kandungan lemaknya lebih tinggi yang
secara langsung akan meningkatkan retensi lemak. Hal ini berbeda dengan benih
ikan gurame yang diberi rGH, yaitu kadar lemaknya lebih rendah dibandingkan
dengan ikan kontrol (Irmawati et al. 2012). Aktivitas enzim lipase ikan gurame
yang diberi rGH lebih tinggi daripada ikan kontrol, sehingga diduga bahwa
penurunan kadar lemak tersebut terkait dengan peningkatan aktivitas enzim lipase
(Irmawati et al. 2012). Dengan demikian, perbedaan kadar lemak merupakan
respons spesifik spesies ikan terhadap pemberian rGH. Dalam hal ini, perlu
dilakukan penelitian lanjutan untuk mengklarifikasi jenis lemak dan asam lemak
yang terkandung pada ikan yang diberi perlakuan rGH.
Lemak tubuh ikan terutama terdiri dari trigliserida yang berbeda dari
lemak binatang, yaitu lemak ikan kebanyakan memiliki rantai yang panjang (>18
atom C) dan memiliki banyak ikatan rangkap (5 atau 6). Kandungan asam lemak
tak jenuh ikan juga tinggi, terutama linoleat dan linolenat (sekitar 85%) sisanya
asam lemak yang jenuh (sekitar 15%). Rendahnya kandungan lemak jenuh
menurunkan resiko penyempitan pembuluh darah pada manusia yang
mengkonsumsinya. Ikan sidat mengandung asam lemak EPA (eicosapentaenoic
acid) dan DHA (docosahexaenoic acid) yang lebih tinggi (EPA=1337 mg/100 g;
DHA=742 mg/100 g) bahkan jika dibandingkan dengan salmon (EPA=820
mg/100 g; DHA= 492 mg/100 g) dan ikan tenggiri (EPA=748 mg/100 g;
DHA=409 mg/100 g) (Suitha 2008). EPA dan DHA merupakan asam lemak
esensial yang sangat bermanfaat bagi kesehatan manusia.

4.2.4. Ekskresi Amoniak (TAN)


Pada Tabel 11 terlihat ekskresi amoniak ikan yang diberi perlakuan rElGH
melalui perendaman lebih rendah (25,11%) jika dibandingkan dengan kontrol
(P>0,05). Peran hormon pertumbuhan/GH dalam menurunkan ekskresi amoniak
(TAN) juga dilaporkan pada ikan nila transgenik (Kobayashi et al. 2007) dan
pada ikan striped bass (Perca saxatilis) yang dilaporkan oleh Farmanfarmaian &
Sun 1999. Dari hasil ini menunjukkan bahwa penggunaan rGH juga mampu
mengurangi buangan amoniak yang dapat mencemari wadah budidaya (lebih
ramah lingkungan).

Optimalisasi dalam metabolisme nitrogen sangat menguntungkan pada


ikan yang sebagian besar produksi energi dihasilkan hasil dari katabolisme protein,
tidak seperti pada vertebrata lain selain ikan yang lebih memanfaatkan
karbohidrat dan lemak sebagai sumber energi (Kobayashi et al. 2007). Tingginya
kemampuan meretensi protein (nitrogen) yang diamati pada ikan yang diberi rGH
dibandingkan kontrol menunjukan bahwa GH mampu meningkatkan pemanfaatan
lipid sebagai sumber energi (Pérez-Sanchez 2000). Kemampuan meretensi
nitrogen yang lebih tinggi juga menyebabkan menurunnya nitrogen metabolit
yang dihasilkan selama produksi energi yang diekskresikan oleh ikan (dalam hal
ini dalam bentuk TAN).

4.2.5. Nilai Hepatosomatic Index (HSI)


Nilai HSI pada ikan hasil perlakuan rElGH (via perendaman + pakan)
lebih besar dibandingkan dengan kontrol. Peningkatan HSI diduga terjadi karena
jumlah sel enterosit juga meningkat sehingga jumlah nutrien yang terakumulasi di
hati meningkat. Semakin tinggi nilai HSI menunjukkan proses penyerapan dan
metabolisme protein, lemak, dan karbohidrat lebih optimum (Yandes et al. 2003).
Peningkatan volume hati secara langsung akan medukung terjadinya peningkatan
pertumbuhan ikan.
Selain itu, telah dilaporkan secara luas bahwa GH juga dapat merangsang
sintesis protein dan proliferasi sel melalui IGF-1 di teleosts. Ekspresi dan produksi
IGF-1 dirangsang oleh GH pada organ target, terutama hati (Moriyama et al.
2000; Reinnecke et al. 2005). Sebagai target utama tentunya hati akan mengalami
pertumbuhan yang lebih cepat untuk mendukung pertumbuhan organ yang lain.
Penelitian pada ikan salmon coho transgenik GH menunjukkan bahwa GH dapat
menimbulkan terjadinya peningkatan nilai HSI sampai 1,3 kali dibandingkan
kontrol (Leggat et al. 2009).

4.2.6. Tingkat Ekspresi IGF-I.

Dalam mempengaruhi pertumbuhan beberapa penelitian menunjukkan


bahwa IGF-1 berperan dalam menstimulasi metabolisme protein, lemak,
karbohidrat, dan mineral (pada level selular) pada proses pertumbuhan ikan,
memacu sintesis protein, mendorong terjadinya diferensiasi dan proliferasi pada
sel, membantu pemompaan osmotik secara mikro, memacu terjadinya sulfat
uptake pada ikan, merangsang aktivitas multiplikasi fibroblast pada embrio dan
memiliki aktivitas seperti insulin pada metabolisme jaringan adipose (Moriyama
et al. 2000)
Dalam penelitian ini juga diukur level ekspresi IGF-I. Deteksi level
ekspresi IGF-I dapat dijadikan penanda untuk melihat efektivitas pemberian
rElGH terhadap ikan yang diberikan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa level
ekspresi IGF-I pada ikan sidat perlakuan meningkat sebesar 21,91% lebih tinggi
daripada kontrol pada 24 jam setelah diberi pakan yang mengandung rElGH. Hal
yang sama juga telah dilaporkan pada ikan salmon secara in vitro, dan in vivo
pada ikan yellowtail (Seriola quinqueradiata), perlakuan rGH dapat
meningkatkan IGF-I dalam hati (Pedroso et al. 2009). Pemberian GH secara oral
pada ikan salmon juga meningkatkan plasma IGF-I sampai puncaknya pada 24
jam setelah pemberian. Level plasma IGF masih tinggi sampai 3 hari, kemudian
kembali pada level normal (Moriyama et al. 2000). Dalam penelitian ini juga
terlihat terjadinya peningkatan level IGF-I pada 24 jam setelah pemberian, dan
sudah kembali normal pada 5 hari setelah pemberian (dalam hal ini ditunjukkan
dari tingkat ekspresi jam ke-0 adalah ikan yang telah dipuasakan dari pakan
perlakuan selama 5 hari). Namun untuk lebih tepatnya perlu dilakukan penelitian
lebih lanjut tentang fluktuasi IGF-1 akibat pemberian GH melalui pakan untuk
mendapat kesimpulan yang lebih tepat, sehingga dapat dijadikan acuan untuk
menentukan frekuensi pemberian rGH.

4.2.7. Perbandingan antar Metode Pemberian rElGH melalui Perendaman,


Pakan dan Kombinasinya.
Pemberian rGH dapat dilakukan dengan cara perendaman (Moriyama &
Kawauchi 1990; Acosta et al. 2007; Syazili et al. 2011; Irmawati et al. 2012),
penyuntikan (Promdonkoy et al. 2004; Utomo 2010; Lesmana 2010), dan melalui
pakan (Moriyama et al. 1993; Jeh et al. 1998 ; Ben-Atia et al. 1999; Hardiantho et
al. 2011). Pada semua penelitian yang dilakukan belum pernah ada yang mencoba
mengkombinasikan antara metode yang sudah pernah dilakukan untuk
memperbesar efek pada performa pertumbuhan. Pada penelitian ini, dengan
mengkombinasikan pemberian rGH melalui perendaman pada ikan sidat glass eel
(belum mengkonsumsi pakan buatan) dan dilanjutkan secara oral/melalui pakan
pada ikan sidat yang berukuran lebih besar (sudah mampu mengkonsumsi pakan
buatan) terbukti menghasilkan performa pertumbuhan terbaik dibandingkan kedua
metode yang lain (melalui perendaman saja dan secara oral/melaui pakan saja).
Hasil di atas membuktikan bahwa pemberian rGH pada ikan perlu
dilakukan secara berulang untuk mendapatkan hasil yang lebih maksimum. Hasil
ini juga diperkuat dengan data level IGF-1 ikan sidat 7 hari setelah diberhentikan
pemberian rGH secara oral antara ikan sidat perlakuan dan kontrol (0 jam)
menunjukkan level yang sama, dan meningkat 24 jam setelah pemberian pakan
yang mengandung rElGH (Gambar 14). Pada ikan rainbow trout juga telah diteliti
dengan menggunakan western blot, bahwa hormon pertumbuhan rekombinan
yang diberikan secara oral tidak terdeteksi lagi pada darah, saluran pencernaan,
otot, pada 90 menit setelah pemberian (Haghighi et al. 2011). Pada ikan gurami
juga telah diteliti bahwa level IGF-1 larva ikan gurami mengalami peningkatan
setelah diredam dalam larutan yang mengandung rGH, dan puncaknya pada jam
ke-24, dan kemudian menurun sampai kembali ke kondisi semula pada jam ke-48
(Irmawati et al. 2012). Hal ini menunjukkan bahwa perlu dilakukan pemberian
rGH lanjutan untuk menghasilkan performa pertumbuhan yang lebih maksimum.
Data tentang keberadaan rGH dan IGF-1 dalam tubuh ikan setelah diberi
pelakuan rGH baik melalui perendaman maupun secara oral dapat dijadikan dasar
pertimbangan keamanan pangan (food safety) produk ikan budidaya yang
menggunakan perlakuan rGH. Dari beberapa penelitian tersebut dapat diduga
bahwa ikan yang diberi rGH sudah aman dikonsumsi dengan menghentikan
pemberiannya (baik melalui perendaman, oral dan penyuntikkan) 2-3 hari
sebelum dipanen. Perlu dilakukan uji toksisitas dan alergisitas untuk
membuktikan dugaan tersebut.
V. SIMPULAN DAN SARAN

5.1. Simpulan
Pemberian rElGH dengan dosis yang tepat pada ikan sidat melalui
perendaman, pakan maupun kombinasi keduanya (via perendaman + pakan) dapat
meningkatkan pertumbuhan ikan sidat secara signifikan. Dosis perendaman
terbaik (menghasilkan respons pertumbuhan dan SR tertinggi, serta FCR
terendah) adalah 12 mg/L rElGH. Pada penelitian kedua pemberian rElGH secara
oral melalui pakan, dosis terbaik adalah 30 mg rElGH/kg pakan. Pada penelitian
ketiga, respons pertumbuhan tertinggi didapatkan pada perlakuan (kombinasi
perendaman dan pakan). Pemberian rElGH mampu menghemat penggunaan
pakan dengan menurunkan tingkat konversi pakan secara signifikan. Selain itu,
pemberian rElGH juga dapat meningkatkan retensi protein, retensi lemak,
hepatosomatic index (HSI), tingkat ekspresi gen IGF-I dan mampu menurunkan
ekskresi amoniak (TAN).

5.2. Saran

Untuk menentukan feeding regime yang menghasilkan produksi optimum,


pada penelitian selanjutnya perlu dilakukan pemberian rGH dengan lama waktu
pemberian berbeda, dan menggunakan ikan sidat berukuran lebih besar sampai
melewati fase lambat pertumbuhan ikan sidat (ukuran 50 gram).
DAFTAR PUSTAKA

Acosta JR, Morales R, Morales M, Alonso M, Estrada MP. 2007. Pichia pastoris
Expressing recombinant tilapia growth hormone accelerates the growth of
tilapia. Biotechnology Letter, 29:1671-1676.
Acosta JR, Estrada MP, Carpio Y, Ruiz O, Morales R, Martinez E, Valdes J,
Borroto C, Besada V, Sanchez A, Herrera F. 2009. Tilapia somatotropin
polypeptides : potent enhancers of fish growth and innate immunity.
Biotechnologia Aplicada, 26:267-272.
Affandi R. 2005. Strategi pemanfaatan sumberdaya ikan sidat (Anguilla spp.) di
Indonesia. Jurnal lktiologi Indonesia, 5:77-81.
Alimuddin, Lesmana I, Sudrajat AO, Carman O, Faizal I. 2010. Production and
bioactivity potential of three recombinant growth hormones of farmed fish.
Indonesian Aquaculture Journal, 5:11-16.
AOAC, 1984. Official Methods of Analysis of The Association of Official
Agricultural Chemist. AOAC, Inc., Washington.
Aoyama J. 2009. Life history and evolution of migration in catadromous eels
(genus Anguilla). Aquaculture Bioscience Monograph (ABSM), 2:1-42.
Arnesen AM, Toften H, Agustsson T, Stefansson SO, Handeland SO, Björnsson
BT. 2003. Osmoregulation, feed intake, growth and growth hormone levels
in Atlantic salmon (Salmo salar L.) transferred to seawater at different
stages of smolt development. Aquaculture, 222:167-187.
Bin X, Kang-xen M, Ying-li X, Hong-zhi M, Zen-hui L, Yong D, Shan L, Rao W,
Pei-jun Z. 2001. Growth promotion of red sea bream, Pagrosomus major,
by oral administration of recombinant eel and salmon growth hormone.
Chinese Journal of Oceanology and Limnology, 19:141-146.
Björnsson BT, Hemre GI, Bjørnevik M, Hansen T. 2000. Photoperiod regulation
of plasma growth hormone levels during induced smoltification of under
yearling Atlantic salmon. General Comparative Endocrinology, 119:17–25.
Blackshear PJ. 1984. Systems for polyacrylamide gel electrophoresis. Methode
Enzymology, 104:237–255.
Bollag DM, Rozycki MD, Edelstein SJ. 1996. Protein Methods 2nd Edition.
Wiley-Liss Inc., New York.
Calduch-Giner JA, Sitia-Bobadilla A, Alvarez-Pellitero P, Perez-Sanchez J, 1995.
Evidence for a direct action of GH on haemopoietic cells of a marine fish,
the gilthead sea bream (Sparus aurata). Journal Endocrinology, 146:459–
467.
Carpio Y, León K, Acosta J, Morales R, Estrada MP. 2007. Recombinant tilapia
Neuropeptide Y promotes growth and antioxidant defenses in African
catfish (Clarias gariepinus) fry. Aquaculture, 272:649–655.
Cogburn LA, Liau SS, Rand AL, McMurtry JP . 1989. Growth, metabolic and
endocrine responses of broiler cockerels given a daily subcutaneous
injection of natural or biosynthetic chicken growth hormone. American
Institute of Nutrition, 0022:213-1223.
Cook JT, McNiven MA, Richardson GF, Sutterlin AM. 2000. Growth rate, body
composition and feed digestibility/conversion of growth enhanced Atlantic
salmon (Salmo salar). Aquaculture, 188:15–32.
Debnanth S. 2010. A review on the physiology of insulin like growth factor-I
(IGF-I) peptide in bony fishes and its phylogenetic correlation in 30
different taxa of 14 families of teleosts. Advances in Environmental Biology,
5:31-52.
Devlin RH, Biagi CA, Yesaki TY, 2004. Growth, viability and genetic
characteristics of GH transgenic coho salmon strains. Aquaculture, 236:
607–632.
Drennon K, Moriyama K, Kawauchi H, Small B, Silverstein J, Parhar I, Shepherd
B. 2003. Development of an enzyme-linked immuno sorbent assay for the
measurement of plasma growth hormone (GH) levels in channel catfish
(Ictalurus punctatus): assessment of environmental salinity and GH
secretogogues on plasma GH levels. General Comparative Endocrinology,
133:314-322.
Dunham RA, 2004. Aquculture and fisheries biotechnology genetic approach.
CABI Publishing. Wallingford. Oxfordshire UK, 372 pp.
Fahmi MR. 2010. Phenotypic platisity kunci sukses adaptasi ikan migrasi : studi
kasus ikan sidat (Anguilla sp.). Prosiding Forum Iovasi Teknologi
Akuakultur 2010, p 9-17.
[FAO] Food and Agriculture Organization of the United Nations. 2012. Anguilla
japonica (Temminck & Schlegel, 1847). Cultured Aquatic Species
Information Programme. Fisheries and Aquaculture Department. [1 Mei
2012]. http://www.fao.org/fishery/ culturedspecies/Anguilla_japonica/en.
Farmanfarmaian, A., Sun, L.Z., 1999. Growth hormone effects on essential amino
acid absorption, muscle amino acid profile, Nretention and nutritional
requirements of striped bass hybrids. Genetic Analysis, 15:107–113.
Fauconneau, B., Mady, M.P., Le Bail, P.Y., 1996. Effect of growth hormone on
muscle protein synthesis in rainbow trout (Oncorhynchus mykiss) and
Atlantic salmon (Salmo salar). Fish Physiology Biochemistry, 15:49–56.
Fu C, Cui Y, Hung SSO, Zhu Z. 1998. Growth and feed utilization by F4 human
growth hormone transgenic carp fed diets with different protein levels.
Journal of Fish Biology, 53:115–129.
Funkenstein B, Dyman A, Lapidot Z, de Jesus-Ayson EG, Gertler A, Ayson FG.
2005. Expression and purification of a biologically active recombinant
rabbitfish (Siganus guttatus) growth hormone. Aquaculture, 250:504-515.
Gala, R.R., 1991. Prolactin and growth hormone in the regulation of the immune
system. Proc. Sot. Exp. Biol. Med., 198:513-527.
Gahr SA, Roger LV, Weber GM, Shepherd BS, Jeffrey Silverstein JT. Rexroad
CE. 2008. Effects of short-term growth hormone treatment on liver and
muscle transcriptomes in rainbow trout (Oncorhynchus mykiss). Physiology
Genomics, 32:380-392.
Habibi HR, Ewing R, Bajwa, Walker RL. 2003. Gastric uptake of recombinant
growth hormone in rainbow trout. Fish Physiology and Biochemistry,
28:463–467.
Haghighi M, Sharif RM, Sharifpour I, Sepahdari A, Lashtoo AGR. 2011. Oral
recombinant bovine somatotropin improves growth performance in rainbow
trout (Oncorhynchus mykiss). Iranian Journal of Fisheries Sciences,
10:415-424.
Hardiantho D, Alimuddin, Prasetyo AE, Yanti DH, Sumantadinata K. 2011.
Aplikasi Rekombinan Growth Hormon (rGH) Ikan Mas Pada Ikan Nila
Melalui Pakan Buatan. Makalah yang disampaikan dalam Pertemuan
Broodstock Center Nila & Temu Koordinasi Perekayasa Kementrian
Kelautan dan Perikanan pada tanggal 15-17 November 2011.
Harris J, Bird DJ. 2000. Modulation of the fish immune system by hormones
(Mini Review). Veterinary Immunology and Immunopathology, 77:163-176.
Heinsbroek LTN, Van Hooff PLA, Swinkels W, Tanck MWT, Schrama JW,
Verreth JAJ. 2007. Effects of feed composition on life history developments
in feed intake, metabolism, growth and body composition of European eel,
Anguilla anguilla. Aquaculture, 267:175–187.
Irmawati, Alimuddin, Zairin M, Suprayudi MA, Wahyudi AT. 2012. Peningkatan
laju pertumbuhan benih ikan gurame (Osphronemus goramy Lac.) yang
direndam dalam media yang mengandung hormon pertumbuhan ikan mas.
Jurnal Iktiologi Indonesia (in press).
Jeh HS, Kim CH, Lee HK, Han K. 1998. Recombinant flounder growth hormone
from Escherichia coli: overexpression, efficient recovery, and growth-
promoting effect on juvenile flounder by oral administration. Journal
Biotechnology, 60:183-193.
Jonior MZ. 2003. Endokrinologi dan perannya bagi masa depan perikanan
Indonesia. Orasi Ilmiah Guru Besar Tetap Ilmu Fisiologi Reproduksi dan
Endokrinologi Hewan Air Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut
Pertanian Bogor 13 September 2003. 45 hal.
Khoo HW. 2000. Transgenesis: its applications in aquaculture. Asian Fisheries
Science, 8:1-25.
Kelley KW. 1989. Growth hormone. lymphocytes and macrophages. Biochemical
Pharmacology, 38:705-713.
Kobayashi S, Alimuddin, Morita T, Miwa M, Lu J, Endo M, Takeuchi T,
Yoshizaki G. 2007. Transgenic Nile tilapia (Oreochromis niloticus) over -
expressing growth hormone show reduced ammonia excretion. Aquaculture,
270:427–435.
Leedom TA, Uchida K, Yada T, Richman NH, Byatt JC, Collier RJ, Hirano T,
Grau EG. 2002. Recombinant bovine growth hormone treatment of tilapia:
growth response, metabolic clearance, receptor binding and
immunoglobulin production. Aquaculture, 207:359–380.
Leggatt RA, Raven PA, Mommsen TP, Sakhrani D, Higgs D, Devlin RH. 2009.
Growth hormone transgenesis influences carbohydrate, lipid and protein
metabolism capacity for energy production in coho salmon (Oncorhynchus
kisutch). Comparative Biochemistry and Physiology, Part B, 154:121–133.
Lesmana I. 2010. Produksi dan Bioaktivitas Protein Rekombinan Hormon
Pertumbuhan Dari Tiga Jenis Ikan Budidaya. [tesis]. Bogor : Sekolah
Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor.
Li Y, Bai J, Jian Q, Ye X, Lao H, Li X, Luo J, Liang X. 2003. Expression of
common carp growth hormone in the yeast Pichia pastoris and growth
stimulation of juvenile tilapia (Oreochromis niloticus). Aquaculture, 216:
329-341.
Lindholm J. 2006. Growth hormone: Historical notes. Pituitary, 9:5–10.

Liu S, Zang X, Liu B, Zhang X, Arunakumara K, Zhang X, Liang B. 2007. Effect


of growth hormone transgenic Synechocystis on growth, feed efficiency,
muscle composition, haematology and histology of turbot (Scophthalmus
maximus L.). Aquaculture Research, 38:1283-1292.
Morimoto N, Sakai K, Basyet SR. 1995. Basic research study of Mahseer (Tor
pititora) in Pokhara Fisheries Research Centre, Nepal. 30pp.
Moriyama S, Hiroshi Y, Seiji S, Toshio A, Tetsuya H, Hiroshi K. 1993. Oral
administration of recombinant salmon growth hormone to rainbow trout,
Oncorhynchus mykiss. Aquaculture, 112: 99-106.
Moriyama S, Felix GA, Hiroshi K. 2000. Growth regulation by insuline-like
growth factor-1 in fish. Bioscience Biotechnology Biochemistry, 64:1553-
1562.
Moriyama S, Hiroshi K. 1993. Growth stimulation of juvenile salmonids by
immersion in recombinant salmon growth hormone. Nippon Suisan
Gakkaishi, 56:31-34.
Mulyadi D, Alimuddin, Subiyakto, Rustidja, Maftuch. 2008. Kloning gen
hormone pertumbuhan (GH) ikan kerapu kertang (Epinephelus lanceolatus).
Disampaikan dalam “Simposium Nasional Bioteknologi Akuakultur II, 14
Agustus 2008”. IPB International Convention Center, Botani Square, Bogor..
Nam YK, Noh JK, Cho YS, Cho HJ, Cho KN, Kim CG, Kim DS. 2004.
Dramatically accelerated growth and extraordinary gigantism of transgenic
mud loach Misgurnus mizolepis. Transgenic Research, 10:353–362.
Nayak PK, Misra J, Mishra TK, Pandey AK, Singh BN, Ayyappan S. 2001.
Evaluation of the potential for using hGH to enhance growth in juvenile
Catla catla. Indian Journal of Fisheries, 48: 27-33.
Nordgarden U, Hansen T, Hemre GI, Sundby A, Björnsson BT. 2005. Endocrine
growth regulation of adult Atlantic salmon in seawater: the effects of light
regime on plasma growth hormone, insulin-like growth factor-I, and insulin
levels. Aquaculture, 250:862-871.
Nugroho E, Alimuddin, Kristanto AH, Carman O, Megawati N, Sumantadinata K.
2008. Kloning cDNA hormon pertumbuhan dari ikan gurame (Osphronemus
gouramy) Jurnal Riset Akuakultur, 2:183-190.
O'Connor PK, Reich B, Sheridan MA. 1993. Growth hormone stimulates hepatic
lipid mobilization in rainbow trout, Oncorhynchus mykiss. Journal of
Comparative Physiology, 163:427–431.
Ohlsson C, Mohan S, Sjogren K, Tivesten A, Isgaard J, Isaksson O, Jansson JO,
Svensson J. 2009. The Role of Liver-Derived Insulin-Like Growth Factor-I
[Review]. Endocrine Reviews, 30:494–535.
Oommen, O.V., Johnson, B., 1998. Metabolic effects of ovine growth hormone in
a teleost, Anabas testudineus. Annals of the New York Academy of Sciences,
839:380–381.
Pedroso FL, Fukada H, Masumoto T. 2009. In vivo and in vitro effect of
recombinant salmon growth hormone treatment on IGF-I and IGFBPs in
yellowtail, Seriola quinqueradiata. Fisheries Science, 75:887–894.
Poen S. 2009. Cloning, over-expression and characterization of growth hormone
from stripped catfish (Pangasianodon hypophthalmus). [tesis]. Master of
Science (Genetic Engineering) Graduate School, Kasetsart University.
Promdonkoy B., Warit S, Panyim S. 2004. Production of a biologically active
growth hormone from giant catfish (Pangasianodon gigas) in Escherichia
coli. Biotechnology Letter, 26:649-653.
Reinecke M, Björn T, Walton WD, Stephen DMC, Isabel N, Deborah MP,
Joaquim G. 2005. Growth hormone and insulin-like growth factors in fish:
where we are and where to go (Minireview). General and Comparative
Endocrinology, 142:20–24.
Sakai M, Kajita Y, Kobayashi M, Kawauchi H. 1997. Immunostimulating effect
of growth hormone : in-vivo administration of growth hormone in rainbow
trout enhances resistance to Vibrio anguillarum infection. Veterinary
Immunology and Immunopathology, 57:147-152.
Sakai, M. Kobayashi, M. and Kawauchi. H. 1996. In-vitro activation of fish
phagocytic cells by growth hormone. prolactin and somatolactin. Journal
Endocrinology, 151:1l3-118.
Pérez-Sanchez J. 2000. The involvement of growth hormone in growth regulation,
energy homeostasis and immune function in the gilthead sea bream (Sparus
aurata): a short review. Fish Physiology Biotechnology, 22:135–144.
Rahman MA, Mak R, Ayad H, Smith A, Maclean N. 1998. Expression of a novel
piscine growth hormone gene results in growth enhancement in transgenic
tilapia (Oreochromis niloticus). Transgenic Research, 7:357–369.
Sanchez JP, Pierre YLB. 1999. Growth hormone axis as marker of nutritional
status and growth performance in fish. Aquaculture 177 : 117–128.
Santiesteban D, Martín L, Arenal A, Franco R, Sotolongo J. 2010. Tilapia growth
hormone binds to a receptor in brush border membrane vesicles from the
hepatopancreas of shrimp Litopenaeus vannamei. Aquaculture, 306:338–
342.
Sato N, Murata K, Watanabe K, Haryami T, Kariya Y, Sakaguchi M, Kimura S,
Nonaka M, Kimura A. 1998. Growth-promoting aktivity of tuna growth
hormone and expression of tuna growth hormone cDNA in Escherichia coli.
Biotechnology Applied Biochemistry, 10:385-393.
Sekine S, Mizukami T, Nishi T, Kuwana Y, Saito A, Sato M, Itoh S, Kawauchi H.
1985. Cloning and expression of cDNA for salmon growth hormone in
Escherichia coli. Proc. Natl. Acad. Sci. USA, 82:4306-4310.
Silverstein JT, Wolters WR, Shimizu M, Dickhoff MW. 2000. Bovine growth
hormone treatment of channel catfish: strain and temperature effects on
growth, plasma IGF-I levels, feed intake and efficiency and body
composition. Aquaculture, 190:77–88.
Suitha IM. 2008. Teknik Pendederan Glass Eel/Elver Ikan Sidat. Makalah yang
Disampaikan dalam Indonesian Aquaculture 2008 Tanggal 17-20 November
2008 di Hotel Inna Garuda, Daerah Istimewa Yogyakarta. Departemen
Kelautan dan Perikanan.
Syazili A, Irmawati, Alimuddin, Sumantadinata K. 2011. Kinerja pertumbuhan
dan kelangsungan hidup juvenil ikan gurame direndam hormon
pertumbuhan rekombinan dengan frekuensi berbeda. Jurnal Akuakultur
Indonesia : 10 (in press).
Takeuchi T. 1988. Laboratory work chemical evaluation of dietary nutrient, p.79-
229. In Watanabe, T. (Ed). Fish nutrient and mariculture. JICA. Tokyo.
Kanagawa International Fisheries Training Centre, JICA.
Tanaka H. 2006. Development of artificial fry production technology of japanese
eel (Special Articles). Farming Japan, 40:26-30
Tesch FW. 1911.The eel biology and management of anguillia eels. Chapman and
Hall. London. 434 p.
Tomiyama T, Hibiya T. 1977. Fisheris in Japan (Eel). Japan Marine Product
Photo Materials Association. 225 pp.
Tsai H, Lin K, Kuo J, Chen S. 1995. Highly efficient expression of fish growth
hormone by Escherichia coli cells. Appl. Environ. Microbial, 61:4116-4119.
Tsai HJ, Hsih. MH, Kuo JC. 1997. Escherichia coli produced fish growth
hormone as a feed additive to enhance the growth of juvenile black
seabream (Acanthopagrus schlegeli). J. Appl. Ichthyol., 13:78-82.
Utomo DSC, 2010. Produksi dan Uji Bioaktivitas Protein Rekombinan Hormon
Pertumbuhan Ikan Mas. [tesis]. Depertemen Budidaya Perairan, Fakultas
Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.
Volkoff H, Canosa LF, Unniappan S, Cerdá-Reverterfer JM, Bernier NJ, Kelly SP,
Peter RE. 2005. Neuropeptides and the control of food intake in fish.
General and Comparative Endocrinology, 142:3–19.
Yandes, Affandi R, Mokoginta I. 2003. Pengaruh pemberian selulosa dalam pakan
terhadap kondisi biologis benih ikan gurami (Osphronemus gourami Lac).
Jurnal lktiologi Indonesia, 3:27-33.
Walker RL, Buret AG, Jackson CL, Scott KG, Bajwa R, Habibi HR. 2004. Effects
of growth hormone on leucine absorption, intestinal morphology, and
ultrastructure of the goldfish intestine. Canadian Journal of Physiology
Pharmacology, 82(11):951-959.
Wong AOL, Hong Z, Yonghua J, Wendy K, Ko W. 2006. Feedback regulation of
growth hormone and secretion in fish and the emerging concept of
intrapituitary feedback loop (Review). Comparative Biochemistry and
Physiology, 144:284-305.
Lampiran 1 Hasil analisis SDS-PAGE protein rekombinan hormon pertumbuhan
ikan gurami (rOgGH), ikan mas (rCcGH) dan ikan kerapu kertang
(rElGH).

Keterangan :
M = Marker
1 = protein rekombinan hormon pertumbuhan ikan gurami (rOgGH)
2 = protein rekombinan hormon pertumbuhan ikan mas (rCcGH)
3 = protein rekombinan hormon pertumbuhan ikan kerapu kertang
(rElGH) dengan media 2xYT
4 = protein rekombinan hormon pertumbuhan ikan kerapu kertang
(rElGH) dengan media 2xYT
Lampiran 2 Hasil analisis IGF-I pada hati ikan sidat yang diberi perlakuan
rElGH dengan pertumbuhan terbaik dan kontrol.

Keterangan :
1 = Marker
2 = β-aktin kontrol pada 0 jam (sebelum diberi rElGH)
3 = β-aktin kontrol (24 jam setelah diberi pakan rElGH dosis 0 mg/kg
pakan)
4 = β-aktin perlakuan (24 jam setelah diberi pakan rElGH dosis 30 mg/kg
pakan)
5 = IGF-1 kontrol pada 0 jam (sebelum diberi rElGH)
6 = IGF-1 perlakuan pada 0 jam (sebelum diberi rElGH)
7 = IGF-1 kontrol (24 jam setelah diberi pakan rElGH dosis 0 mg/kg pakan)
8 = IGF-1 perlakuan (24 jam setelah diberi pakan rElGH dosis 30 mg/kg
pakan)
Lampiran 3 Abstrak Sebagian dari tesis yang telah diseminarkan dalam
INDOAQUA & FITA 2012 pada tanggal 8-11 Juni 2012 di
Makassar.

PEMBERIAN REKOMBINAN HORMON PERTUMBUHAN IKAN


KERAPU KERTANG SECARA ORAL PADA IKAN SIDAT (Anguilla sp.)

(Oral administration of giant grouper recombinant growth hormone in eel


Anguilla sp.)

Oleh : Boyun Handoyo1, Alimuddin2*, Nur Bambang PU2

1. Program Magister Ilmu Akuakultur, Departemen Budidaya Perairan,


FPIK, Institut Pertanian Bogor. Bogor 16680
2. Departemen Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan,
Institut Pertanian Bogor. *) E-mail: alimuddin_alsani@yahoo.com

ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk menentukan dosis rekombinan hormon
pertumbuhan ikan kerapu kertang (rElGH) dicampur dengan pakan buatan untuk
meningkatkan pertumbuhan pada benih ikan sidat (elver). Protein rElGH yang
telah disalut (coating) dengan hipromellosa fitalat (HP55), dicampur dengan
pakan pada dosis berbeda (0; 0,3; 3; dan 30 mg/kg pakan). Elver diberi pakan
mengandung rElGH 2 kali seminggu, sebanyak 6% biomassa. Pemeliharaan ikan
dilakukan selama 60 hari di akuarium volume 18 liter, dengan kepadatan 45
ekor/akuarium. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pertumbuhan bobot
(60,18±1,38) tertinggi diperoleh pada perlakuan 30 mg/kg, dengan peningkatan
sekitar 65,7% lebih tinggi dibandingkan dengan kontrol (36,32±0,97).
Selanjutnya, pemberian rElGH meningkatkan retensi protein (15,50%), dan lemak
(34,48%) sekitar 99% dan 364% dibandingkan masing-masing dengan retensi
protein dan lemak ikan kontrol (nilainya 7,78% (protein) & 7,42 (lemak)). Selain
itu, pemberian rElGH meningkatkan nafsu makan, sedangkan tingkat konversi
pakan (FCR) menurun 5,54 sekitar 33% lebih rendah daripada FCR kontrol yang
tidak diberi rElGH 7,37. Nafsu makan ditunjukkan elver lebih cepat
menghabiskan pakan (3 kali lipat). Dengan demikian pemberian rElGH dosis 30
mg/kg pakan memberikan performa tertinggi, dan aplikasi rElGH dapat berguna
untuk meningkatkan produksi budidaya ikan.
Kata kunci: hormon pertumbuhan, pemberian secara oral, dosis, pertumbuhan,
elver.
ABSTRACT

This study was aimed to determine the dose of giant grouper recombinant growth
hormone (rElGH) mixed in artificial diet to increase growth of eel elver. HP55-
coated rElGH was mixed to diet at different doses (0, 0.3, 3, and 30 mg/kg).
Elver was fed on diet containing rElGH twice daily, 6% fish biomass. Fish rearing
was performed in glass aquarium vol. 18 L liters for 60 days, at density of 45
fish/aquarium. The results showed that higher in growth body weight was
obtained in treatment 30 mg/kg (60.18±1.38), by increment of about 65.7%
compared to control (36,32±0,97). Furthermore, administration of rElGH
increased protein (15.50%) and lipid retentions (34.48%) by 99%, and 364%
compared to control, respectively. In addition, rElGH supplementation increased
appetite, while feed conversion ratio (FCR) decreased 3,87 by 58% compared to
that of control 6.12. Appetite was shown by treated elver ate faster (3 times) than
control. Thus, rElGH administration of 30 mg/kg diet generated higher
performances of elver, and application of rElGH can be useful to increase
aquaculture production.

Keywords : growth hormone, oral administration, dosage, growth, elver.


Lampiran 4 Profil bahan penyalut (coating) rGH HP55 yang digunakan dalam
penelitian ini

Nama dangang : Hypromellose Pthalate (Hydroxypropylmethylcellulose


Pthalate)
Produsen : Shinetsu, Japan
Nama IUPAC : Cellulose, 2-hydroxypropyl methyl ether, hydrogen
benzene-1,2-dicarboxylate.
Bentuk : Serbuk
Warna : Putih
Fungsi : Bahan coating untuk melindungi obat/bahan dari asam
lambung dan untuk melindungi lambung dari iritasi
obat/bahan
Cara kerja : Tidak larut dalam lambung (pH rendah) dan larut dalam
usus (pH tinggi) sehingga proses pennyerapan bahan/obat
lebih optimum
Paking : 1 kg, 5kg, 25 kg
Rumus struktur :
kimia

Waktu :
disintegrasi
dalam larutan
buffer
(bergantung pH)

You might also like