Professional Documents
Culture Documents
Perlindungan Lingkungan Laut Indonesia Dari Gugusan Sampah Plastik Berdasarkan Pengaturan Hukum Internasional
Perlindungan Lingkungan Laut Indonesia Dari Gugusan Sampah Plastik Berdasarkan Pengaturan Hukum Internasional
HasanuddinLawReview
Volume … Issue …, XXXX
P-ISSN: 2442-9880, E-ISSN: 2442-9899
This work is licensed under a Creative Commons Attribution 4.0 International License
Abstract: Indonesia is an archipelago country where 70% of its territory is ocean. The crisis of the marine
ecosystem due to plastic waste is currently very crucial and is being widely discussed. Marine plastic litter
are really dangerous to marine environment, this is because plastic waste threat to marine wildlife and
ecosystems, human health and livelihood, cause bio-accumulation of pollutants and toxics, travels long
distance, cannot be decomposed, difficult to trace, and it is hard to clean microplastics and plastic waste
on the seabed. The purpose of this paper is to determine the regulation of marine waste pollution based
on international law and the implementation of reducing or overcoming plastic waste in the sea by
Indonesia. To answer these questions, the writing of this article uses a normative legal research method,
where primary data is taken from international agreements and legislation that have relevance in this
study. This research attempts to analyze the regulations existing in International Environmental Law on
obligations and responsibilities as well as a form of protection against plastic waste pollution on the
marine environment of the Pacific Ocean. So the results of this study can provide a little clarity how the
obligations, responsibilities and forms of protection to be provided by the state as a subject of
international law
1. Introduction
Indonesia adalah salah satu negara kepulauan terbesar di dunia yang 70% wilayahnya
adalah lautan. Namun sayangnya, dari 192 negara, Indonesia juga merupakan negara
penyumbang sampah plastik terbesar kedua setelah China.Berdasarkan hasil penelitian
yang dilakukan oleh Universitas Georgia tersedia pada tahun 2010, penelitian tersebut
menunjukkan bahwa dari total 4,8-12,7 juta metrik ton per tahun sampah plastik yang
dibuang dilautan dunia, Cina merupakan negara pesisir penghasil sampah plastik di laut
terbanyak di dunia dengan 1.32-3.53 juta metrik ton sampah/tahun, disusul dengan
Indonesia yang membuang sampah plastik di laut sebanyak 0.48-1.29 juta metrik ton
sampah/tahun. 1Data World Bank tahun 2017, komposisi sampah plastik yang
ditemukan di laut Indonesia didominasi oleh kantung plastik sebanyak 52% dan plastik
kemasan sebanyak 16%. Dan diperkirakan pada tahun 2050 nanti akan banyak plastik di
1Jenna R Jambeck et. al, Plastic Waste Inputs from Land into the Ocean, Sciencemag vol. 347 issue 6223, DOI:
10.1126/science.1260352, edisi Februari 2015, hlm 768-771
1
P-ISSN: 2442-9880, E-ISSN: 2442-9899
laut dibandingkan dengan ikan sesuai dengan data bank dunia menujukkan bahwa kota-
kota di Indonesia menyumbang sekitar 3,22 juta ton sampah ke lautan termasuk
sampah plastik.2
Limbah plastik berdampak buruk bagi lingkungan karena sifat plastik yang memang
susah diuraikan oleh tanah secara alamiah, meskipun sudah tertimbun beratus tahun
lamanya serta dapat terpecah menjadi bagian-bagian yang kecil di laut, hal ini
berbahaya karena biota laut dapat menganggap sampah plastik merupakan bagian dari
makanan mereka, dan karena partikel sampah yang kecil membuat pembersihan
sampah plastik di laut menjadi sulit, hal ini tentu saja berdampak pada kesehatan biota
laut dan juga manusia (IUS)
Menurut Churchill ada 4 sumber utama pencemaran laut, yang pertama kegiatan
pencemaran laut yang dilakukan oleh perkapalan (shipping), yang kedua kegiatan
pembuangan (dumping), yang ketiga kegiatan di dasar laut (seabed activities), dan yang
keempat kegiatan di darat dan udara (land-based and atmospheric activities). Kegiatan
di darat dan udara merupakan sumber terbesar penyebab pencemaran laut, terhitung
sekitar tiga perempat dari pencemaran laut adalah masalah polusi dari daratan yang
memasuki lautan.1 Limbah-limbah plastik itu terus membunuh makhluk hidup di lautan.
Berdasarkan penelitian yang diterbitkan Sekretariat Konvensi tentang Keanekaragaman
Hayati pada 2016, sampah di lautan telah membahayakan lebih dari 800 spesies. Dari
800 spesies itu, 40% adalah mamalia laut dan 44% adalah spesies burung laut.
Konferensi Laut PBB di New York 2017 menyebut limbah plastik di lautan membunuh 1
juta burung laut, 100 ribu mamalia laut, kura-kura laut, dan ikan-ikan yang tak terhitung
jumlahnya, tiap tahun. Selain sampah plastik, sampah di lautan juga terdiri dari
peralatan perikanan yang ditinggalkan begitu saja, biasa disebut 'jaring hantu' atau
'peralatan hantu'. Jumlahnya 640 ribu ton atau 10 persen dari sampah laut. Sampah
jaring menjebak kura-kura, burung, dan mamalia laut. 3 Aktivitas ekonomi yang juga
terkena dampak dari pencemaran laut akibat limbah plastik yaitu meliputi aktivitas
pelayaran, perikanan, akuakultur, pariwisata dan rekreasi dengan biaya kerugian yang
besar untuk menangani dampak tersebut.4
Padahal Secara khusus tujuan ke-14 dari Sustainable Development Goals menuntut
pemimpin untuk mengurangi sampah plastik dan sumber marine pollution. Walaupun
marine pollution sudah menjadi isu global, banyaknya kasus tentang kerusakan
lingkungan akibat sampah plastik ataupun limbah dan sudah diberitakan di media sosial.
Namun, tetap saja negara-negara dalam praktiknya belum memiliki tanggung jawab
untuk melindungi ekosistem yang ada di laut. Berbagai instrumen hukum internasional
masih diabaikan UNCLOS dan hanya bersifat pembukuan aturan hukum laut saja dengan
tidak mempedulikan aspek-aspek perlindungan lingkungan sebagai prioritas nasional
yang tinggi.5
2 Ibid.
3 R. R. Churchill, A. V. Lowe, The Law of The Sea, Third Edition, Manchester University Press, Manchester, 1988. hlm
242.
4 Ibid
5 Yuni, Neneng. Marine Pollutian ditinjau dari perbandingan praktik negara terhadap instrument hukum internasional.
2
Hasanuddin Law Rev. 7(2): 101-133
6 Rizal Darmaputera, Manajemen Perbatasan dan reformasi Sektor Keamanan, (Jakarta:IDSPS Press,2009),hlm.3.
3
P-ISSN: 2442-9880, E-ISSN: 2442-9899
dan menyadari akan pentingnya lingkungan hidup yang perlu dilekatkan sebagai satu
kesatuan dalam pembangunan.7
Deklarasi Stockholm 1972 yang ditandatangani oleh 113 kepala negara berisikan 26
prinsip pembangunan. Deklarasi ini meminta negara-negara di dunia untuk
melaksanakan pembangunan demi memperbaiki dan meningkatkan taraf hidup
generasi hari ini dengan tidak mengurangi hak generasi mendatang untuk menikmati
lingkungan hidup yang baik dan sehat. Konsep ini disebut SuistainableDevelopment atau
Pembangunan Berkelanjutan yang kemudian dijadikan prinsip hukum dalam Deklarasi
Rio 1992.8
3.2. London Convencion 1972 dan London protocol 1996
The Convention on Prevention of Marine Pollution by Dumping of Wastes and Other
Matter (1972) atau yang lebih dikenal dengan London Dumping Convention adalah
sebuah kesepakatan internasional yang spesifik membatasipembuangan beberapa jenis
material tertentu ke dalam laut.9 London Dumping adalah konvensi Internasional yang
ditanda tangani pada tanggal 29 Desember 1972 dan mulai berlaku pada 30 Agustus
1975 adalah konvensi internasional yang merupakan perpanjangan dari isi pada
Konvensi Stockholm.
Tujuan utama dari London Convention adalah untuk melaksanakan kontrol yang efektif
terhadap seluruh sumber polusi dilaut. Negara yag terikat dalam konvensi haruslah
melakukan upaya pencegahan terjadinya polusi dilaut yang diakibatkan oleh
pembuangan limbah,10 Melindungi dan melestarikan lingkungan laut dari segala bentuk
pencemaran yang menimbulkan kewajiban bagi peserta untuk mengambil langkah-
langkah yang efektif, baik secara sendiri atau bersama- sama, sesuai dengan
kemampuan keilmuan, teknik dan ekonomi mereka guna mencegah, menekan dan
apabila mungkin menghentikan pencemaran yang Diakibatkan oleh pembuangan atau
pembakaran limbah atau bahan berbahayalainnya di laut.
Pada dasarnya Protokol 1996 tidak bisa disamakan dengan amandemen dari London
Convention, jauh dari amandemen London Convention, Protokol 1996 telah
menggantikan London Convention, walaupun negara bukan peserta dari London
Convention juga diajak untuk terlibat dalam pembuatan Protokol 1996. Protokol 1996
menunjukan evolusi yang cukup berbeda dibandingkan dengan London Convention.
Protokol ini lebih memasukan prinsip kehati hatian(Precautionary Principle) dan prinsip
pemberi polusi harus membayar (polluter pays principle). Protokol 1996 juga mengubah
ketentuan mengenai zat material apa saja yang boleh dibuang ke laut, mekanisme
penyelesaian masalah, mengadopsi seluruh ketentuan dalam amandemen konvensi
London, dan menutupcelah-celah yang masih memungkinkan pihak dalam perjanjian
untuk membahayakan lingkungan.
4
Hasanuddin Law Rev. 7(2): 101-133
Salah satu perbedaan antara Protokol 1996 dengan London Dumping Convention adalah
dihapusnya pengelompokan list zat material yang dapat dibuang ke laut, berbeda
dengan pengaturan sebelumnya dalam London Dumping Convention yang mengatur
mengenai apa saja yang tidak boleh dibuang ke laut, Protokol 1996 mengatur mengenai
apa saja zat material yang dapat dibuang ke dalam laut.
3.3. International convention for the prevention of pollution from ships 1973/1978
(MARPOL)
MARPOL 73/78 adalah Konvensi Internasional untuk pencegahan pencemaran dari
kapal, pelayaran kapal tanker yang mengakibatkan ancaman pencemaran lingkungan
laut dapat merugikan negara pantai yang perairannya dijadikan sebagai sarana
pelayaran. Jika terjadi pencemaran maka dampaknya akan menimbulkan kerusakan
pada lingkungan laut negara pantai. Untuk mencapai keseimbangan konflik antara
negara pantai pada satu pihak yang menginginkan terlindunginya lingkungan laut dan
pemilik/operator kapal pada pihak lainnya, dimana laut merupakan sarana bagi mereka
dalam melakukan transportasi, maka IMO mengeluarkan suatu bentuk perjanjian
internasional yang disebut dengan the International Convention for the Prevention of
Polution from Ship, untuk selanjutnya disebut MARPOL.11
3.4. United Nation Convention on the law of the sea 1982 (UNCLOS 1982)
Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut (United Nations Convention
on the Law of the Sea) III ditanda tangani di Montego Bay Jamaica pada tanggal 10
Desember 1982, telah berlaku secara efektif sejak tanggal 16 November 1994.
Konvensi Hukum Laut 1982 mengatur masalah kelautan secara menyeluruh. Konvensi
Hukum Laut 1982 ini merupakan hasil pemikiran konsep baru dalam bidang
kelautan,bukan “the mare liberum” (open sea) seperti yang dimaksud oleh Grotius,
bukan pula “the mare clausum” (closed sea) seperti yang dikemukakan John Selden,
tetapi merupakan “mare nostrum— our sea” yang merupakan pengertian participation
and integration. Demikian pula dengan ketentuan yang mengatur tentang perlindungan
terhadap lingkungan laut dari pencemaran yang bersumber dari kapal merupakan
akomodasi dari kepentingan negara pantai dengan pengguna laut sebagai sarana
pelayarannya.12
Sebagai sebuah negara kepulauan, Indonesia telah meratifikasi Konvensi Hukum Laut
1982 dengan Undang-Undang No.17 Tahun 1985. Ratifikasi Indonesia terhadap Hukum
Laut 1982 ini telah ditindaklanjuti dengan dikeluarkannya berbagai peraturan
perundang-undangan nasional. Mengingat luasnya materi ketentuan yang dimuat
dalam peraturan perundang-undangan Indonesia, maka uraian dalam bab ini
difokuskan pada ketentuan-ketentuan pokokyang menyangkut penarikan garis pangkal
kepulauan Indonesia, hak lintas damai melalui laut teritoial dan perairan kepulauan
Indonesia, dan hak lintas alur-alur laut kepulauan Indonesia.13
11
Suhaidi,Perlindugan Terhadap Lingkungan Laut Dari Pencemaran Yang BersumberDari Kapal,(Jakarta:
Pustaka Bangsa Press, 2004)
12
Ibid. hlm. 67.
13
Ibid.hlm.18
5
P-ISSN: 2442-9880, E-ISSN: 2442-9899
6
Hasanuddin Law Rev. 7(2): 101-133
Inti permasalahan lingkungan hidup adalah hubungan timbal balik antara makhluk hdiup
dengan benda mati, khususnya manusia dan lingkungannya. Jadi, lingkungan hidup
merupakan media hubungan timbal balik antara makhluk hidup dengan benda mati
yang merupakan satu kesatuan yang utuh, dan manusia ada di dalamnya. Dikatakan
manusia ada di dalamnya karena manusia adalah salah satu makhluk hidup yang sangat
dominan peranannya dalam lingkungan hidup. Manusia dengan tingkah lakunya dapat
mempengaruhi lingkungan (dapatmencemari, merusak atau melestarikan lingkungan),
sedangkan makhluk hidup lain tidaklah demikian.29
Perusakan lingkungan dirumuskan pengertiannya dalam Pasal 1 angka 16 Undang-
Undang No.32 Tahun 2009: “Perusakan lingkungan hidup adalah tindakan orang yang
menimbulkan perubahan langsung atau tidak langsung terhadap sifat fisik, kimia
dan/atau hayati lingkungan hidup sehingga melampaui kriteria baku kerusakan
lingkungan hidup.30
Pencemaran Lingkungan Hidup menurut Pasal 1 angka 14 Undang-Undang No.32 Tahun
2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (selanjutnya disingkat
UUPPLH) adalah masuk atau dimasukkannya makhluk hidup, zat energi, dan/atau
komponen lain ke dalam lingkungan hidup oleh kegiatan manusia sehingga melampaui
baku mutu lingkungan hidup yang telah ditetapkan.31
Tujuan Undang-undang Lingkungan Hidup seperti yang tercantum dalam pasal 3
Undang-undang No.32 Tahun 2009 tersebut adalah menjamin kelangsungan kehidupan
makhluk hidup dan kelestarian ekosistem serta mewujudkan pembangunan
berkelanjutan yang maksudnya adalah melaksanakan pembangunan dengan
memperhatikan kepentingan lingkungan atau dengan kata lain pembangunan tanpa
merusak lingkungan, sehingga akan berguna bagi generasi kini dan generasi mendatang.
4.3. Regulasi Hukum Tentang Pencemaran Lingkungan Laut yang Bersifat Lintas Batas
Nasional di Indonesia
Pengertian pencemaran lingkungan laut yang bersifat lintas batas nasional atau
transnasional ialah pencemaran yang melintasi batas-batas nasional sesuatu negara
yang terbawa oleh udara dan air, sungai dan bersumber dari sampah- sampah, buangan
industri maupun zat lainnya. Pencemaran transnasional sebagaimana diutarakan
terdahulu mengandung arti bahwa upaya penanggulangannya harus dilakukan secara
bekerja sama antara sesama negara.
Pencemaran transnasional itu berpangkal dari suatu kebijaksanaan sesuatu negara yang
kurang terencana secara baik di dalam pelaksanaannya, seperti pada saat dunia
digegerkan oleh bencana polusi laut kapal tanker Torrey Canyon dengan yang
7
P-ISSN: 2442-9880, E-ISSN: 2442-9899
terdampar di Steven Stones Reef di muka pantai Inggris. Bahkan pada bulan Juli 1971
dua buah kapal tanker yaitu Arabian (208.000 ton) dan Eugenie S. Niarchos (212.000
ton) kandas di perairan dekat St John Islands dan Kepulauan Riau. Peristiwa-peristiwa
ini hanya bagian yang paling menonjol dengan mengambil saat jauh sebelum peristiwa
kandasnya kapal tangki minyak Showa Maru (Januari 1975) sebagai deskripsi peristiwa
yang berlaku tanpa perhatian dan pengamatan bahkan tanpa kesadaran akan berapa
kerugian yang telah diderita.19
Sebagai konsekuensi peristiwa kandasnya kapal tangki minyak ShowaMaru, Indonesia
yang menyadari keadaan lingkungan alaminya potensial bagi masalah lingkungan lintas
batas telah meratifikasi beberapa konvensi internasional, yaitu Konvensi Internasional
Brusel 1969 tentang tanggung jawab perdata terhadap kerugian akibat pencemaran
minyak di laut, dan Konvensi Internasional tentang Pembentukan Dana Internasional
1971 bagi kompensasi terhadap kerugian akibat pencemaran minyak, masing-masing
dengan Keputusan Presiden (Kepres) No.18 dan 19 Tahun 1978, dan Konvensi MARPOL
1973 dengan Kepres No.15 Tahun 1985.20
Dengan demikian, perkembangan hukum lingkungan Indonesia yang bersifat meyeluruh
baru terjadi setelah peristiwa kandasnya kapal tangki minyak Showa Maru di Selat
Malaka dan Selat Singapura pada tahun 1975. Peristiwa ini juga telah mendorong
terbentuknya Rancangan Undang-Undang Lingkungan Hidup Indonesia. Dengan
terbentuknya Kantor Menteri Negara Pengawasan Pembangunan dan Lingkungan
Hidup (sekarang Menteri Lingkungan Hidup), gerakan kesadaran lingkungan hidup dan
upaya menyusun Rancangan Undang- Undang Lingkungan Hidup (UULH) oleh Lembaga
ini terbentuk pada tahun1979. Rancangan UULH ini kemudian dikenal dengan UU No.4
Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Lingkungan Hidup.21
Undang-undang ini telah diganti dengan Undang-Undang No.23 Tahun 1997 tentang
Pengelolaan Lingkungan Hidup, yang terakhir diganti oleh Undang- Undang No.32
Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH).
Ketentuan Pasal 3 huruf a UUPLH yang mengatur dampak lingkungan menyatakan
bahwa perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup bertujuan: “(a) melindungi
wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dari pencemaran dan/atau kerusakan
lingkungan hidup.”22 Artinya ketentuan dari pasal ini menyangkut perlindungan
terhadap perairan nasional Indonesia dari pencemaran lingkungan laut yang
diakibatkan oleh kegiatan manusia dikarenakan laut merupakan bagian dari lingkungan
hidup.
Wilayah laut sebagai bagian terbesar wilayah Indonesia merupakan modal strategis
nasional untuk pembangunan yang perlu direncanakan dan dikelola secara baik dan
benar. Pengelolaan ruang laut yang meliputi perencanaan, pemanfaatan, pengawasan
dan pengendalian dilakukan untuk melindungi sumber daya dan lingkungan serta untuk
19 Komar Kantaadmadja, Bunga Rampai Hukum Lingkungan Laut Internasional (Bandung: Penerbit Alumni,
1982),hlm.47-48
20 Daud Silalahi, Hukum Lingkungan dalam Sistem Penegakan Hukum Lingkungan Indonesia (Bandung: Penerbit
Alumni, 2001),hlm.185.
21 Ibid
22 Pasal 3 huruf a UU No.32 Tahun 2009
8
Hasanuddin Law Rev. 7(2): 101-133
memanfaatkan potensi sumber daya atau kegiatan di wilayah laut yang berskala
nasional dan internasional.23
9
P-ISSN: 2442-9880, E-ISSN: 2442-9899
6. Conclusion
Penelitian ini menemukan bahwa meskipun peraturan yang mengatur pembuangan
limbah ke laut telah diatur baik itu pada hukum internasional maupun hukum nasional,
namun hal ini tidak cukup untuk menjamin laut selamat dari limbah plastic. Nyatanya,
kualitas lingkungan hidup termasuk lingkungan laut saat ini semakin menurun yang
berdampak terhadap kelangsungan perikehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya.
Oleh karena itu masyarakat internasional melalui organisasi-organisasi internasional
untuk lebih mendorong negara-negara dalam menjaga kondisi laut, serta mengambil
26 Konsideran huruf D, Peraturan Presiden Reoublik Indonesia No. 83 Tahun 2018 tentang Penanganan Sampah Laut
27 Pasal 2 ayat 3 Perpres No. 83 Tahun 2018 tentang Penanganan Sampah Laut
10
Hasanuddin Law Rev. 7(2): 101-133
segala tindakan yang perlu untuk menangani masalah pencemaran lingkungan laut
akibat limbah plastic. Negara-negara harus bekerja sama dengan negara-negara lain
untuk lebih tegas dalam membuat kebijakan terkait mengurangi penggunaan material
plastik di negaranya dan memberikan peringatan kepada masyarakat tentang
bahayanya penggunaan material plastik bagi kelangsungan hidup agar masyarakat ikut
berpartisipasi dalam mengurangi penggunaan material plastik di kehidupan sehari-hari
dengan memakai bahan yang lebih ramah lingkungan. Negara Indonesia sebaiknya
memberikan dukungan sarana untuk mengembangkan teknologi yang dapat
menghasilkan suatu bahan yang lebih ramah lingkungan daripada material plastik, dan
menghentikan budaya sekali pakai terhadap plastik, serta mengupayakan usaha daur
ulang terhadap limbah plastik.
References
Books:
Absori. (2001). Penegakan Hukum Lingkungan dan Antisipasi dalam EraPerdagangan
Bebas. (Surakarta: Muhammadiyah University Press)
Gaol, Johnson Lumban. (2009). Mengapa Klaim Bencana Montara di Laut Timor Ditolak
Dua Kali?. (Bogor: Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan, Institut Pertanian Bogor)
Hiariej, E.O.S. (2012). Pemilukada Kini dan Masa Datang Perspektif Hukum Pidana.
Demokrasi Lokal: Evaluasi Pemilukada di Indonesia. (Jakarta: Konstitusi Press, p.182)
Silalahi, Daud. (2001) Hukum Lingkungan dalam Sistem Penegakan Hukum Lingkungan
Indonesia (Bandung: Penerbit Alumni)
Journal articles:
Jenna R Jambeck, et. al, (2015), Plastic Waste Inputs from Land Into the Ocean.
Sciencemag, Volume 347 issue 6223,
https://science.sciencemag.org/content/347/6223/768, diakses pada tanggal 19 April
2020
11
P-ISSN: 2442-9880, E-ISSN: 2442-9899
Sudi, Fahmi. (2011). “Asas Tanggung Jawab Negara Sebagai Dasar Pelaksanaan
Perlindungandan Pengelolaan Lingkungan Hidup”. Jurnal Hukum, Vol 2.
Yuni, Neneng. (2020). Marine Pollutian ditinjau dari perbandingan praktik negara
terhadap instrument hukum internasional. SIGn Jurnal Hukum. Vol. 2 (1). hlm. 055-071.
12