Download as pdf or txt
Download as pdf or txt
You are on page 1of 12

Abas, ARPR. (2021).

Title: Abuse of Dominant Market Position by Predatory


Pricing: The Valio Case. Hasanuddin Law Review, 7(2): XXX-XXX. DOI:
10.20956/halrev.v7i2.xxxx

HasanuddinLawReview
Volume … Issue …, XXXX
P-ISSN: 2442-9880, E-ISSN: 2442-9899
This work is licensed under a Creative Commons Attribution 4.0 International License

PERLINDUNGAN LINGKUNGAN LAUT INDONESIA DARI GUGUSAN


SAMPAH PLASTIK BERDASARKAN PENGATURAN HUKUM
INTERNASIONAL DAN NASIONAL

Amel Ryski Prasilya R. Abas .1

1 Faculty of Law, Hasanuddin University, Indonesia. E-mail: Prasilyaaa@gmail.com

Abstract: Indonesia is an archipelago country where 70% of its territory is ocean. The crisis of the marine
ecosystem due to plastic waste is currently very crucial and is being widely discussed. Marine plastic litter
are really dangerous to marine environment, this is because plastic waste threat to marine wildlife and
ecosystems, human health and livelihood, cause bio-accumulation of pollutants and toxics, travels long
distance, cannot be decomposed, difficult to trace, and it is hard to clean microplastics and plastic waste
on the seabed. The purpose of this paper is to determine the regulation of marine waste pollution based
on international law and the implementation of reducing or overcoming plastic waste in the sea by
Indonesia. To answer these questions, the writing of this article uses a normative legal research method,
where primary data is taken from international agreements and legislation that have relevance in this
study. This research attempts to analyze the regulations existing in International Environmental Law on
obligations and responsibilities as well as a form of protection against plastic waste pollution on the
marine environment of the Pacific Ocean. So the results of this study can provide a little clarity how the
obligations, responsibilities and forms of protection to be provided by the state as a subject of
international law

Keywords: Archipelago Country, Marine Pollution, Plastic Waste

1. Introduction
Indonesia adalah salah satu negara kepulauan terbesar di dunia yang 70% wilayahnya
adalah lautan. Namun sayangnya, dari 192 negara, Indonesia juga merupakan negara
penyumbang sampah plastik terbesar kedua setelah China.Berdasarkan hasil penelitian
yang dilakukan oleh Universitas Georgia tersedia pada tahun 2010, penelitian tersebut
menunjukkan bahwa dari total 4,8-12,7 juta metrik ton per tahun sampah plastik yang
dibuang dilautan dunia, Cina merupakan negara pesisir penghasil sampah plastik di laut
terbanyak di dunia dengan 1.32-3.53 juta metrik ton sampah/tahun, disusul dengan
Indonesia yang membuang sampah plastik di laut sebanyak 0.48-1.29 juta metrik ton
sampah/tahun. 1Data World Bank tahun 2017, komposisi sampah plastik yang
ditemukan di laut Indonesia didominasi oleh kantung plastik sebanyak 52% dan plastik
kemasan sebanyak 16%. Dan diperkirakan pada tahun 2050 nanti akan banyak plastik di

1Jenna R Jambeck et. al, Plastic Waste Inputs from Land into the Ocean, Sciencemag vol. 347 issue 6223, DOI:
10.1126/science.1260352, edisi Februari 2015, hlm 768-771

1
P-ISSN: 2442-9880, E-ISSN: 2442-9899

laut dibandingkan dengan ikan sesuai dengan data bank dunia menujukkan bahwa kota-
kota di Indonesia menyumbang sekitar 3,22 juta ton sampah ke lautan termasuk
sampah plastik.2
Limbah plastik berdampak buruk bagi lingkungan karena sifat plastik yang memang
susah diuraikan oleh tanah secara alamiah, meskipun sudah tertimbun beratus tahun
lamanya serta dapat terpecah menjadi bagian-bagian yang kecil di laut, hal ini
berbahaya karena biota laut dapat menganggap sampah plastik merupakan bagian dari
makanan mereka, dan karena partikel sampah yang kecil membuat pembersihan
sampah plastik di laut menjadi sulit, hal ini tentu saja berdampak pada kesehatan biota
laut dan juga manusia (IUS)
Menurut Churchill ada 4 sumber utama pencemaran laut, yang pertama kegiatan
pencemaran laut yang dilakukan oleh perkapalan (shipping), yang kedua kegiatan
pembuangan (dumping), yang ketiga kegiatan di dasar laut (seabed activities), dan yang
keempat kegiatan di darat dan udara (land-based and atmospheric activities). Kegiatan
di darat dan udara merupakan sumber terbesar penyebab pencemaran laut, terhitung
sekitar tiga perempat dari pencemaran laut adalah masalah polusi dari daratan yang
memasuki lautan.1 Limbah-limbah plastik itu terus membunuh makhluk hidup di lautan.
Berdasarkan penelitian yang diterbitkan Sekretariat Konvensi tentang Keanekaragaman
Hayati pada 2016, sampah di lautan telah membahayakan lebih dari 800 spesies. Dari
800 spesies itu, 40% adalah mamalia laut dan 44% adalah spesies burung laut.
Konferensi Laut PBB di New York 2017 menyebut limbah plastik di lautan membunuh 1
juta burung laut, 100 ribu mamalia laut, kura-kura laut, dan ikan-ikan yang tak terhitung
jumlahnya, tiap tahun. Selain sampah plastik, sampah di lautan juga terdiri dari
peralatan perikanan yang ditinggalkan begitu saja, biasa disebut 'jaring hantu' atau
'peralatan hantu'. Jumlahnya 640 ribu ton atau 10 persen dari sampah laut. Sampah
jaring menjebak kura-kura, burung, dan mamalia laut. 3 Aktivitas ekonomi yang juga
terkena dampak dari pencemaran laut akibat limbah plastik yaitu meliputi aktivitas
pelayaran, perikanan, akuakultur, pariwisata dan rekreasi dengan biaya kerugian yang
besar untuk menangani dampak tersebut.4
Padahal Secara khusus tujuan ke-14 dari Sustainable Development Goals menuntut
pemimpin untuk mengurangi sampah plastik dan sumber marine pollution. Walaupun
marine pollution sudah menjadi isu global, banyaknya kasus tentang kerusakan
lingkungan akibat sampah plastik ataupun limbah dan sudah diberitakan di media sosial.
Namun, tetap saja negara-negara dalam praktiknya belum memiliki tanggung jawab
untuk melindungi ekosistem yang ada di laut. Berbagai instrumen hukum internasional
masih diabaikan UNCLOS dan hanya bersifat pembukuan aturan hukum laut saja dengan
tidak mempedulikan aspek-aspek perlindungan lingkungan sebagai prioritas nasional
yang tinggi.5

2 Ibid.
3 R. R. Churchill, A. V. Lowe, The Law of The Sea, Third Edition, Manchester University Press, Manchester, 1988. hlm
242.
4 Ibid
5 Yuni, Neneng. Marine Pollutian ditinjau dari perbandingan praktik negara terhadap instrument hukum internasional.

SIGn Jurnal Hukum. (2020). Vol. 2 (1). 055-071.

2
Hasanuddin Law Rev. 7(2): 101-133

Kualitas lingkungan hidup yang semakin menurun telah mengancam kelangsungan


perikehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya, serta pemanasan global yang
semakin meningkat yang mengakibatkan perubahan iklim, dan hal ini akan
memperparah penurunan kualitas lingkungan hidup. Untuk itu perlu dilakukan
perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang sungguh- sungguh dan konsisten
oleh semua pemangku kepentingan.9
Dari penjelasan di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa pencemaran sampah di laut
sangat berdampak buruk untuk lingkungan dan manusia di masa yang akan datang
sehingga telah mendatangkan perhatian dunia. Oleh sebab itu, tulisan ini akan mencoba
menjawab bagaimana upaya hukum nasional maupun hukum internasional dalam
menanggulangi pencemaran sampah di laut. Atas isu utama tersebut, tulisan ini
bertujuan untuk mengetahui regulasi pencemaran sampah di laut berdasarkan hukum
nasional maupun hukum internasional serta bagaimana peran negara Indonesia dalam
perlindungan lingkungan laut khususnya berkenaan dengan limbah plastic.
2. Method
Penulisan ini menggunakan metode penelitian yang bersifat normatif dengan
pendekatan yuridis-normatif yang mana pendekatan ini merujuk kepada hukum dan
perundang-undangan yang berlaku terkait penanggulangan sampah plastik di laut.
Selain itu, penulisan ini menggunakan bahan hukum sekunder seperti buku teks, jurnal,
hasil penelitian, dan lain-lain bahan hukum diluar dari bahan hukum primer.

3. Pengaturan Hukum Internasional tentang perlindungan terhadap lingkungan laut


pada perairan kepulauan suatu negara
Pada bagian pendahuluan telah disebutkan bahwa lebih lanjut tulisan ini akan
membahas mengenai Pengaturan hukum internasional tentang perlindungan
lingkungan laut. Beberapa diantaranya diatur dalam Deklarasi Stockholm 1972, London
Convention 1972, London Protocol 1996, MARPOL 73/78, dan UNCLOS 1982.
3.1. The stockhom declaration of 1972
Pada tahun 1972, Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) telah berhasil mempertemukan
negara-negara di dunia dalam suatu konferensi tentang lingkungan hidup manusia di
Stockholm. Konferensi ini berhasil mengeluarkan output berupa Deklarasi Stockholm
1972. Sekalipun Deklarasi ini tidak sebagai sumber langsung hukum internasional, tetapi
merupakan soft law yang harus dipatuhi oleh masyarakat internasional untuk
membentuk hukum di masa datang (the future law).6
Konferensi Stockholm yang dilaksanakan pada tanggal 5-16 Juni 1972 merupakan forum
internasional yang membahas persoalan-persoalan penting pembangunan dan
lingkungan hidup. Konferensi tersebut merupakan tonggak baru bagi masyarkat
internasional yang menghasilkan prinsip-prinsip penting untuk mengatur pembangunan
yang berorientasi lingkungan. Terlaksananya konferensi Stockholm telah mampu
menumbuhkan dan mendorong semangat masyarakat internasional untuk memahami

6 Rizal Darmaputera, Manajemen Perbatasan dan reformasi Sektor Keamanan, (Jakarta:IDSPS Press,2009),hlm.3.

3
P-ISSN: 2442-9880, E-ISSN: 2442-9899

dan menyadari akan pentingnya lingkungan hidup yang perlu dilekatkan sebagai satu
kesatuan dalam pembangunan.7
Deklarasi Stockholm 1972 yang ditandatangani oleh 113 kepala negara berisikan 26
prinsip pembangunan. Deklarasi ini meminta negara-negara di dunia untuk
melaksanakan pembangunan demi memperbaiki dan meningkatkan taraf hidup
generasi hari ini dengan tidak mengurangi hak generasi mendatang untuk menikmati
lingkungan hidup yang baik dan sehat. Konsep ini disebut SuistainableDevelopment atau
Pembangunan Berkelanjutan yang kemudian dijadikan prinsip hukum dalam Deklarasi
Rio 1992.8
3.2. London Convencion 1972 dan London protocol 1996
The Convention on Prevention of Marine Pollution by Dumping of Wastes and Other
Matter (1972) atau yang lebih dikenal dengan London Dumping Convention adalah
sebuah kesepakatan internasional yang spesifik membatasipembuangan beberapa jenis
material tertentu ke dalam laut.9 London Dumping adalah konvensi Internasional yang
ditanda tangani pada tanggal 29 Desember 1972 dan mulai berlaku pada 30 Agustus
1975 adalah konvensi internasional yang merupakan perpanjangan dari isi pada
Konvensi Stockholm.

Tujuan utama dari London Convention adalah untuk melaksanakan kontrol yang efektif
terhadap seluruh sumber polusi dilaut. Negara yag terikat dalam konvensi haruslah
melakukan upaya pencegahan terjadinya polusi dilaut yang diakibatkan oleh
pembuangan limbah,10 Melindungi dan melestarikan lingkungan laut dari segala bentuk
pencemaran yang menimbulkan kewajiban bagi peserta untuk mengambil langkah-
langkah yang efektif, baik secara sendiri atau bersama- sama, sesuai dengan
kemampuan keilmuan, teknik dan ekonomi mereka guna mencegah, menekan dan
apabila mungkin menghentikan pencemaran yang Diakibatkan oleh pembuangan atau
pembakaran limbah atau bahan berbahayalainnya di laut.
Pada dasarnya Protokol 1996 tidak bisa disamakan dengan amandemen dari London
Convention, jauh dari amandemen London Convention, Protokol 1996 telah
menggantikan London Convention, walaupun negara bukan peserta dari London
Convention juga diajak untuk terlibat dalam pembuatan Protokol 1996. Protokol 1996
menunjukan evolusi yang cukup berbeda dibandingkan dengan London Convention.
Protokol ini lebih memasukan prinsip kehati hatian(Precautionary Principle) dan prinsip
pemberi polusi harus membayar (polluter pays principle). Protokol 1996 juga mengubah
ketentuan mengenai zat material apa saja yang boleh dibuang ke laut, mekanisme
penyelesaian masalah, mengadopsi seluruh ketentuan dalam amandemen konvensi
London, dan menutupcelah-celah yang masih memungkinkan pihak dalam perjanjian
untuk membahayakan lingkungan.

7 Absori,Penegakan Hukum Lingkungan dan Antisipasi dalam Era Perdagangan Bebas,(Surakarta:Muhammadiyah


University Press,2001), hlm.119
8 Ibid
9 Michael S.Schenker, “Saving a Dying Sea-The London Convention on OceanDumping, 7 Cornell Internationall

Law Journal (1973-1974),hlm.35


10 Pasal 2 London Convention

4
Hasanuddin Law Rev. 7(2): 101-133

Salah satu perbedaan antara Protokol 1996 dengan London Dumping Convention adalah
dihapusnya pengelompokan list zat material yang dapat dibuang ke laut, berbeda
dengan pengaturan sebelumnya dalam London Dumping Convention yang mengatur
mengenai apa saja yang tidak boleh dibuang ke laut, Protokol 1996 mengatur mengenai
apa saja zat material yang dapat dibuang ke dalam laut.
3.3. International convention for the prevention of pollution from ships 1973/1978
(MARPOL)
MARPOL 73/78 adalah Konvensi Internasional untuk pencegahan pencemaran dari
kapal, pelayaran kapal tanker yang mengakibatkan ancaman pencemaran lingkungan
laut dapat merugikan negara pantai yang perairannya dijadikan sebagai sarana
pelayaran. Jika terjadi pencemaran maka dampaknya akan menimbulkan kerusakan
pada lingkungan laut negara pantai. Untuk mencapai keseimbangan konflik antara
negara pantai pada satu pihak yang menginginkan terlindunginya lingkungan laut dan
pemilik/operator kapal pada pihak lainnya, dimana laut merupakan sarana bagi mereka
dalam melakukan transportasi, maka IMO mengeluarkan suatu bentuk perjanjian
internasional yang disebut dengan the International Convention for the Prevention of
Polution from Ship, untuk selanjutnya disebut MARPOL.11
3.4. United Nation Convention on the law of the sea 1982 (UNCLOS 1982)
Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut (United Nations Convention
on the Law of the Sea) III ditanda tangani di Montego Bay Jamaica pada tanggal 10
Desember 1982, telah berlaku secara efektif sejak tanggal 16 November 1994.
Konvensi Hukum Laut 1982 mengatur masalah kelautan secara menyeluruh. Konvensi
Hukum Laut 1982 ini merupakan hasil pemikiran konsep baru dalam bidang
kelautan,bukan “the mare liberum” (open sea) seperti yang dimaksud oleh Grotius,
bukan pula “the mare clausum” (closed sea) seperti yang dikemukakan John Selden,
tetapi merupakan “mare nostrum— our sea” yang merupakan pengertian participation
and integration. Demikian pula dengan ketentuan yang mengatur tentang perlindungan
terhadap lingkungan laut dari pencemaran yang bersumber dari kapal merupakan
akomodasi dari kepentingan negara pantai dengan pengguna laut sebagai sarana
pelayarannya.12
Sebagai sebuah negara kepulauan, Indonesia telah meratifikasi Konvensi Hukum Laut
1982 dengan Undang-Undang No.17 Tahun 1985. Ratifikasi Indonesia terhadap Hukum
Laut 1982 ini telah ditindaklanjuti dengan dikeluarkannya berbagai peraturan
perundang-undangan nasional. Mengingat luasnya materi ketentuan yang dimuat
dalam peraturan perundang-undangan Indonesia, maka uraian dalam bab ini
difokuskan pada ketentuan-ketentuan pokokyang menyangkut penarikan garis pangkal
kepulauan Indonesia, hak lintas damai melalui laut teritoial dan perairan kepulauan
Indonesia, dan hak lintas alur-alur laut kepulauan Indonesia.13

11
Suhaidi,Perlindugan Terhadap Lingkungan Laut Dari Pencemaran Yang BersumberDari Kapal,(Jakarta:
Pustaka Bangsa Press, 2004)
12
Ibid. hlm. 67.
13
Ibid.hlm.18

5
P-ISSN: 2442-9880, E-ISSN: 2442-9899

Konvensi Hukum Laut 1982 menyebutkan bahwa negara-negara harus menetapkan


peraturan perundang-undangan untuk mencegah, mengurangi dan mengendalikan
pencemaran lingkungan laut dari manapun sumbernya, namun peraturan perundang-
undangan tersebut harus memperhatikan ketentuan-ketentuan dan standard-standard
internasional yang telah disetujui serta praktek- praktek dan prosedur-prosedur
internasional yang dianjurkan.14

4. Ketentuan hokum nasional dalam pencegahan, pengurangan dan pengelolaan


pencemaran lingkungan laut akibat limbah plastik
Ketentuan hukum nasional dalam pencegahan, pengurangan, dan pengelolaan
pencemaran lingkungan laut akibat limbah plastik dapat dilihat dalam PP No.19 Tahun
1999, UU No.32 Tahun 2009.
4.1. Pencemaran laut menurut peraturan pemerintah no. 19 tahun 1999 tentang
pengendalian pencemaran dan/atau perusakan laut.
Wilayah laut Indonesia megokupasi lebih dari dua pertiga keseluruhan wilayah Republik
Indonesia. Laut memberikan berbagai sumber kekayaan alam, baik hayati maupun
nonhayati bagi Indonesia. Agar aktivitas manusia tidak menimbulkan kerusakan pada
mutu air laut, pemerintah memandang perlu membuat suatu peraturan di bidang
pencegahan dan pengendalian pencemaran laut, yang bertujuan untuk memberikan
manfaat sebesar-besarnya bagi kesejahteraan rakyat dan kelangsungan hidup makhluk
hidup lainnya, baik masa sekarang maupun masa yang akan datang. Peraturan
Pemerintah No.19 Tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran dan/atau Perusakan
Laut, yang diundangkan pada tanggal 27 Februari Tahun 1999, merupakan peraturan
yang mengatur pembatasan kegiatan manusia termasuk industri yang dapat
menimbulkan pencemaran dan/atau perusakan mutu laut.15
Untuk mencegah perusakan laut, Pasal 13 Peraturan Pemerintah No.19 Tahun 1999
menggariskan bahwa orang atau penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan tidak
dibolehkan melakukan perbuatan yang dapat menimbulkan kerusakan laut. Lebih lanjut
dalam Pasal 14 dikatakan bahwa penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang
dapat mengakibatkan terjadinya kerusakan laut diharuskan melakukan upaya
pencegahan perusakan laut. Adapun bila kegiatannya telah menimbulkan pencemaran
laut, Pasal 15 mengharuskan penanggung jawab kegiatan untuk melakukan upaya
penanggulangan pencemaran dan/atau perusakan laut yang diakibatkan oleh
kegiatannya.16
Secara khusus Peraturan Pemerintah (PP) No.19 Tahun 1999 menyatakan bahwa
Menteri melakukan pengawasan terhadap penataan penanggung jawabusaha dan/atau
kegiatan yang dapat menyebabkan terjadinya pencemaran dan/atauperusakan laut17.
Pengawasan yang dimaksud dapat berupa pemantauan, meminta keterangan,
membuat salinan dari dokumen dan/atau membuat catatan yang diperlukan, memasuki

14 Pasal 207-212 KHL 1982


15 Sukanda Husin.Op Cit.hlm.72
16 Ibid. hlm. 73.
17 Pasal 19 PP No.19 Tahun 1999

6
Hasanuddin Law Rev. 7(2): 101-133

tempat tertentu, mengambil contoh, memeriksa peralatan, memeriksa instalasi


dan/atau alat transportasi, serta meminta keterangan dari pihak yang bertanggung
jawab atas usaha dan/atau kegiatan.18
4.2. Undang-undang No. 32 tahun 2009 tentang perlindungan dan pengelolaan
lingkungan hidup

Inti permasalahan lingkungan hidup adalah hubungan timbal balik antara makhluk hdiup
dengan benda mati, khususnya manusia dan lingkungannya. Jadi, lingkungan hidup
merupakan media hubungan timbal balik antara makhluk hidup dengan benda mati
yang merupakan satu kesatuan yang utuh, dan manusia ada di dalamnya. Dikatakan
manusia ada di dalamnya karena manusia adalah salah satu makhluk hidup yang sangat
dominan peranannya dalam lingkungan hidup. Manusia dengan tingkah lakunya dapat
mempengaruhi lingkungan (dapatmencemari, merusak atau melestarikan lingkungan),
sedangkan makhluk hidup lain tidaklah demikian.29
Perusakan lingkungan dirumuskan pengertiannya dalam Pasal 1 angka 16 Undang-
Undang No.32 Tahun 2009: “Perusakan lingkungan hidup adalah tindakan orang yang
menimbulkan perubahan langsung atau tidak langsung terhadap sifat fisik, kimia
dan/atau hayati lingkungan hidup sehingga melampaui kriteria baku kerusakan
lingkungan hidup.30
Pencemaran Lingkungan Hidup menurut Pasal 1 angka 14 Undang-Undang No.32 Tahun
2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (selanjutnya disingkat
UUPPLH) adalah masuk atau dimasukkannya makhluk hidup, zat energi, dan/atau
komponen lain ke dalam lingkungan hidup oleh kegiatan manusia sehingga melampaui
baku mutu lingkungan hidup yang telah ditetapkan.31
Tujuan Undang-undang Lingkungan Hidup seperti yang tercantum dalam pasal 3
Undang-undang No.32 Tahun 2009 tersebut adalah menjamin kelangsungan kehidupan
makhluk hidup dan kelestarian ekosistem serta mewujudkan pembangunan
berkelanjutan yang maksudnya adalah melaksanakan pembangunan dengan
memperhatikan kepentingan lingkungan atau dengan kata lain pembangunan tanpa
merusak lingkungan, sehingga akan berguna bagi generasi kini dan generasi mendatang.
4.3. Regulasi Hukum Tentang Pencemaran Lingkungan Laut yang Bersifat Lintas Batas
Nasional di Indonesia
Pengertian pencemaran lingkungan laut yang bersifat lintas batas nasional atau
transnasional ialah pencemaran yang melintasi batas-batas nasional sesuatu negara
yang terbawa oleh udara dan air, sungai dan bersumber dari sampah- sampah, buangan
industri maupun zat lainnya. Pencemaran transnasional sebagaimana diutarakan
terdahulu mengandung arti bahwa upaya penanggulangannya harus dilakukan secara
bekerja sama antara sesama negara.
Pencemaran transnasional itu berpangkal dari suatu kebijaksanaan sesuatu negara yang
kurang terencana secara baik di dalam pelaksanaannya, seperti pada saat dunia
digegerkan oleh bencana polusi laut kapal tanker Torrey Canyon dengan yang

18 Pasal 20 ayat 1 PP No.19 Tahun 1999

7
P-ISSN: 2442-9880, E-ISSN: 2442-9899

terdampar di Steven Stones Reef di muka pantai Inggris. Bahkan pada bulan Juli 1971
dua buah kapal tanker yaitu Arabian (208.000 ton) dan Eugenie S. Niarchos (212.000
ton) kandas di perairan dekat St John Islands dan Kepulauan Riau. Peristiwa-peristiwa
ini hanya bagian yang paling menonjol dengan mengambil saat jauh sebelum peristiwa
kandasnya kapal tangki minyak Showa Maru (Januari 1975) sebagai deskripsi peristiwa
yang berlaku tanpa perhatian dan pengamatan bahkan tanpa kesadaran akan berapa
kerugian yang telah diderita.19
Sebagai konsekuensi peristiwa kandasnya kapal tangki minyak ShowaMaru, Indonesia
yang menyadari keadaan lingkungan alaminya potensial bagi masalah lingkungan lintas
batas telah meratifikasi beberapa konvensi internasional, yaitu Konvensi Internasional
Brusel 1969 tentang tanggung jawab perdata terhadap kerugian akibat pencemaran
minyak di laut, dan Konvensi Internasional tentang Pembentukan Dana Internasional
1971 bagi kompensasi terhadap kerugian akibat pencemaran minyak, masing-masing
dengan Keputusan Presiden (Kepres) No.18 dan 19 Tahun 1978, dan Konvensi MARPOL
1973 dengan Kepres No.15 Tahun 1985.20
Dengan demikian, perkembangan hukum lingkungan Indonesia yang bersifat meyeluruh
baru terjadi setelah peristiwa kandasnya kapal tangki minyak Showa Maru di Selat
Malaka dan Selat Singapura pada tahun 1975. Peristiwa ini juga telah mendorong
terbentuknya Rancangan Undang-Undang Lingkungan Hidup Indonesia. Dengan
terbentuknya Kantor Menteri Negara Pengawasan Pembangunan dan Lingkungan
Hidup (sekarang Menteri Lingkungan Hidup), gerakan kesadaran lingkungan hidup dan
upaya menyusun Rancangan Undang- Undang Lingkungan Hidup (UULH) oleh Lembaga
ini terbentuk pada tahun1979. Rancangan UULH ini kemudian dikenal dengan UU No.4
Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Lingkungan Hidup.21
Undang-undang ini telah diganti dengan Undang-Undang No.23 Tahun 1997 tentang
Pengelolaan Lingkungan Hidup, yang terakhir diganti oleh Undang- Undang No.32
Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH).
Ketentuan Pasal 3 huruf a UUPLH yang mengatur dampak lingkungan menyatakan
bahwa perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup bertujuan: “(a) melindungi
wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dari pencemaran dan/atau kerusakan
lingkungan hidup.”22 Artinya ketentuan dari pasal ini menyangkut perlindungan
terhadap perairan nasional Indonesia dari pencemaran lingkungan laut yang
diakibatkan oleh kegiatan manusia dikarenakan laut merupakan bagian dari lingkungan
hidup.
Wilayah laut sebagai bagian terbesar wilayah Indonesia merupakan modal strategis
nasional untuk pembangunan yang perlu direncanakan dan dikelola secara baik dan
benar. Pengelolaan ruang laut yang meliputi perencanaan, pemanfaatan, pengawasan
dan pengendalian dilakukan untuk melindungi sumber daya dan lingkungan serta untuk

19 Komar Kantaadmadja, Bunga Rampai Hukum Lingkungan Laut Internasional (Bandung: Penerbit Alumni,
1982),hlm.47-48
20 Daud Silalahi, Hukum Lingkungan dalam Sistem Penegakan Hukum Lingkungan Indonesia (Bandung: Penerbit

Alumni, 2001),hlm.185.
21 Ibid
22 Pasal 3 huruf a UU No.32 Tahun 2009

8
Hasanuddin Law Rev. 7(2): 101-133

memanfaatkan potensi sumber daya atau kegiatan di wilayah laut yang berskala
nasional dan internasional.23

5. Peran negara Indonesia dalam perlindungan lingkungan laut khususnya berkenaan


dengan limbah plastik
Pemerintah, dan seluruh pemangku kepentingan berkewajiban untuk melakukan
perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dalam pelaksanaan pembangunan
berkelanjutan agar lingkungan hidup Indonesia dapat tetap menjadi sumber dan
penunjang hidup bagi rakyat Indonesia serta makhluk hidup lain.
Pelaksanaan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang dilaksanakan
bertujuan untuk: 1.melindungi wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dari
pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup; 2.menjamin keselamatan,
kesehatan dan kehidupan manusia; 3.menjamin kelangsungan kehidupan makhluk
hidup dan kelestarian ekosistem; 4.menjaga kelestarian fungsi lingkungan hidup;
5.mencapai keserasian, keselarasan, dan keseimbangan lingkungan hidup; 6.menjamin
terpenuhinya keadilan generasi masa kini dan generasi masa depan; 7.menjamin
pemenuhan dan erlindungan hak atas lingkungan hidup sebagai bagian dari hak asasi
manusia; 8.mengendalikan pemanfaatan sumber daya alam secara bijaksana;
9.mewujudkan pembangunan berkelanjutan; dan 10.mengantisipasi isu lingkungan
global.24
Ruang lingkup pelaksanaan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup meliputi:
a.perencanaan; b.pemanfaatan; c.pengendalian; d.pemeliharaan; e.pengawasan; dan
f.penegakan hukum. Tujuan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup akan
tercapai apabila pemerintah baik pemerintah pusat, pemerintah daerah dan segenap
warga negara dengan koordinasi negara dalam pelaksanaan asas tanggung jawab
negara.
Dalam Undang-undang terbaru yaitu Undang-undang Republik Indonesia nomor 32
Tahun 2014 tentang Kelautan dikatakan bahwa pengelolaan Kelautan adalah
pembangunan yang memberikan arahan dan pendayagunaan daya Kelautan untuk
mewujudkam pertumbuhan ekonomi, pemerataan kesejahteraan dan keterpeliharaan
daya dukung ekosistem pesisir dan laut. Sedangkan dalam pengelolaan sumber daya
alam laut itu sendiri diantaranya yaitu tentang penyelenggaraan kegiatan, penyediaan,
pengusahaan dan pemanfaatan sumber daya kelautan serta konservasi laut yang
meliputi : Perencanaan, Pemanfaatan, Pengawasan dan Pengendalian ruang laut.25
Penanganan Pencemaran Lingkungan Laut Berkenaan Dengan Limbah Plastik Di Dalam
Regulasi Hukum nasionalsampah di laut menyebabkan terjadinya pencemaran dan
kerusakanlingkungan hidup dan ekosistem perairan, serta membahayakan kesehatan
manusia. Pada saat ini sampah yang terdapat di laut di dominasi oleh limbah plastik yang
mana limbah plastik merupakan limbah yang komponennya paling sulit untuk diurai
oleh proses alam sehingga berbahaya bagi ekosistem perairan dan kesehatan manusia.

23 PP No.32 Tahun 2019


24 Sudi Fahmi, Asas Tanggung Jawab Negara Sebagai Dasar Pelaksanaan Perlindungandan Pengelolaan Lingkungan
Hidup, Jurnal Hukum, Vol 2, (Pekanbaru: 2011)
25 Undang-undang No.32 Tahun 2014 Tentang Kelautan, Bab I, Ayat 9,hlm.2

9
P-ISSN: 2442-9880, E-ISSN: 2442-9899

Bahwa dalam rangka menindaklanjuti komitmen pemerintah Indonesia untuk


menangani limbah plastik dilaut sebesar 70% (tujuh puluh persen) sampai dengan tahun
2025 perlu disusun langkah-langkah percepatan yang komprehensif dan terpadu.26
Bahwa untuk penanganan sampah laut juga diperlukan penguatan, perencanaan,
penganggaran dan pengorganisasian yang terpadu. Oleh karena itu untuk
merealisasikan hal tersebut Presiden mengeluarkan Peraturan Presiden Republik
Indonesia No. 83 Tahun 2018 tentang Penanganan Sampah Laut (selanjutnya disebut
dengan Perpres No. 83 Tahun 2018).
Dalam rangka penanganan sampah laut perlu ditetapkan strategi, program, dan
kegiatan yang sinergis, terukur, dan terarah untuk mengurangi jumlah sampahdi laut,
terutama sampah plastik, dalam bentuk Rencana Aksi Nasional Penanganan Sampah
Laut Tahun 2018-2025. Rencana Aksi merupakan dokumen perencanaan yang
memberikan arahan strategis bagi kementerian/ lembaga dan acuan bagi masyarakat
dan pelaku usaha dalam rangka percepatan penanganan sampah laut untuk periode
8 (delapan) tahun, terhitung sejak tahun 2018 sampai dengan tahun 2025. Rencana Aksi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan melalui strategi yang meliputi:27
1. Gerakan nasional peningkatan kesadaran para pemangkukepentingan;
2. Pengelolaan sampah yang bersumber dari darat;
3. Penanggulangan sampah di pesisir dan laut;
4. Mekanisme pendanaan, penguatan kelembagaan, pengawasan, dan
penegakan hukum; dan
5. Penelitian dan pengembangan.
Adapun perjanjian internasional yang mengatur tentang pencemaran laut akibat limbah
plastik hanya terdapat pada UNCLOS 1982 meskipun tidak secara spesifik. Pasal 194 ayat
1 jo. Ayat 2 UNCLOS 1982 mewajibkan negara-negara untuk melakukan semua tindakan
yang diperlukan untuk mencegah, mengurangi dan mengontrol pencemaran laut dari
sumber apapun (termasuk limbah plastik) sesuai dengan kemampuan masing-masing.
Negara serta mengambil semua langkah yang diperlukan untuk memastikan bahwa
kegiatan yang dilakukan dalam kewenangan atau kontrolnya agar tidak menimbulkan
pencemaran yang dapat menyebabkan kerusakan (duty not to transfer) pada
wilayahnya sendiri atau wilayah negara lain.

6. Conclusion
Penelitian ini menemukan bahwa meskipun peraturan yang mengatur pembuangan
limbah ke laut telah diatur baik itu pada hukum internasional maupun hukum nasional,
namun hal ini tidak cukup untuk menjamin laut selamat dari limbah plastic. Nyatanya,
kualitas lingkungan hidup termasuk lingkungan laut saat ini semakin menurun yang
berdampak terhadap kelangsungan perikehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya.
Oleh karena itu masyarakat internasional melalui organisasi-organisasi internasional
untuk lebih mendorong negara-negara dalam menjaga kondisi laut, serta mengambil

26 Konsideran huruf D, Peraturan Presiden Reoublik Indonesia No. 83 Tahun 2018 tentang Penanganan Sampah Laut
27 Pasal 2 ayat 3 Perpres No. 83 Tahun 2018 tentang Penanganan Sampah Laut

10
Hasanuddin Law Rev. 7(2): 101-133

segala tindakan yang perlu untuk menangani masalah pencemaran lingkungan laut
akibat limbah plastic. Negara-negara harus bekerja sama dengan negara-negara lain
untuk lebih tegas dalam membuat kebijakan terkait mengurangi penggunaan material
plastik di negaranya dan memberikan peringatan kepada masyarakat tentang
bahayanya penggunaan material plastik bagi kelangsungan hidup agar masyarakat ikut
berpartisipasi dalam mengurangi penggunaan material plastik di kehidupan sehari-hari
dengan memakai bahan yang lebih ramah lingkungan. Negara Indonesia sebaiknya
memberikan dukungan sarana untuk mengembangkan teknologi yang dapat
menghasilkan suatu bahan yang lebih ramah lingkungan daripada material plastik, dan
menghentikan budaya sekali pakai terhadap plastik, serta mengupayakan usaha daur
ulang terhadap limbah plastik.

References
Books:
Absori. (2001). Penegakan Hukum Lingkungan dan Antisipasi dalam EraPerdagangan
Bebas. (Surakarta: Muhammadiyah University Press)

Gaol, Johnson Lumban. (2009). Mengapa Klaim Bencana Montara di Laut Timor Ditolak
Dua Kali?. (Bogor: Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan, Institut Pertanian Bogor)

Hiariej, E.O.S. (2012). Pemilukada Kini dan Masa Datang Perspektif Hukum Pidana.
Demokrasi Lokal: Evaluasi Pemilukada di Indonesia. (Jakarta: Konstitusi Press, p.182)

Husin, Sukanda. (2009) Penegakan Hukum Lingkungan Indonesia. (Jakarta: Sinar


Grafika)

Kantaadmadja, Komar. (1982) Bunga Rampai Hukum Lingkungan Laut Internasional.


(Bandung: Penerbit Alumni)

Rizal, Darmaputera. (2009) Manajemen Perbatasan dan reformasi Sektor Keamanan,


(Jakarta: IDSPS Press)

Silalahi, Daud. (2001) Hukum Lingkungan dalam Sistem Penegakan Hukum Lingkungan
Indonesia (Bandung: Penerbit Alumni)

Suhaidi. (2004) Perlindungan Terhadap Lingkungan Laut dari Pencemaran Yang


Bersumber dari Kapal. (Jakarta: Pustaka Bangsa Press)

Journal articles:
Jenna R Jambeck, et. al, (2015), Plastic Waste Inputs from Land Into the Ocean.
Sciencemag, Volume 347 issue 6223,
https://science.sciencemag.org/content/347/6223/768, diakses pada tanggal 19 April
2020

Michael S, Schenker. (1973-1974). “Saving a Dying Sea-The London Convention on


Ocean Dumping”. Cornell Internationall Law Journal.

11
P-ISSN: 2442-9880, E-ISSN: 2442-9899

Sudi, Fahmi. (2011). “Asas Tanggung Jawab Negara Sebagai Dasar Pelaksanaan
Perlindungandan Pengelolaan Lingkungan Hidup”. Jurnal Hukum, Vol 2.

Yuni, Neneng. (2020). Marine Pollutian ditinjau dari perbandingan praktik negara
terhadap instrument hukum internasional. SIGn Jurnal Hukum. Vol. 2 (1). hlm. 055-071.

12

You might also like