Download as pdf or txt
Download as pdf or txt
You are on page 1of 11

Proceeding of Indonesian Coral Reef Symposium.

Jakarta18-20 November 2008

Fenomena Ledakan Populasi Acantahster planci dan Pola Pemangsaan Pada


Karang Keras di Pulau Kapoposang, Sulawesi Selatan1.

Outbreak Phenomenom of Acanthaster planci and its predatory


due to Scleratinian living preferences in Kapoposang Island, South Sulawesi

Syafyudin Yusuf
Marine Scince Dept. of Hasanuddin University
Indonesian Coral Reef Society

Abstract

Biological phenomenom of coral reef destruction due to population outbreak of crown of


thorn starfish canthaster planci is rarely occurred. However, during 1970 – 1980s era, were
happened. Currently, similar phenomenom is occurred in coral reef area of Eastern Indonesian
Reefs eg. Spermonde Archipelago of Makassar. This outbreak is observed since 2002. The
objective of the present study was to investigate the mortality rate of stony corals caused by
predatory attack of Acanthaster planci (COTS). Transect locations were deployed at reef flat and
reef edge adjacent to drop off reef of Kapoposang Island to enumerate starfish density and coral
reef destruction. Data consumption pattern and target of starfish to the coral colony were
collected at reef slope. Acropora with branching lifeform was dominantly suffered by starfish than
other genera and their lifeform. In the northwest of coral reef area of Kapoposang Island, 120
2
individual starfish per 100 m in 2005 was listed. During six months period, the condition of coral
reef has decreased about 35 % (from 60% to 25%) in terms of live coral coverage. A. planci
2
population increased to 200 individual per 100 m in 2006. As a result, the maximum live coral
coverage is only 10%, meanwhile dead coral coverage is attain to 70%. This phenomenom was
not only occurred at Spermonde Islands but also in several other locations in eastern Indonesian
reefs. At this moment (end of 2007), the COTS population start to decrease in coral reef area of
Spermonde Archipelago.

Keyword : Outbreak, Acanthaster planci, hard Coral and destruction

Ringkasan

Fenomena alam kerusakan terumbu karang akibat serangan ledakan populasi


bintang bermahkota duri (Acanthaster planci) sangat jarang terjadi. Pada era 1970 –
1980an kejadian ledakan populasi hewan ini terjadi di GBR, hal yang sama terjadi di
sekitar kawasan terumbu karang Indonesia timur seperti Spermonde Makassar yang
mulai nampak sejak tahun 2002-2007, namun kurang yang dicatat. Tujuan dari
penelitian ini adalah untuk melihat tingkat kematian karang keras akibat serangan
predator Acathaster planci (COTS). Lokasi transek di reef flat dan reef edge adjacent of
drop off reef Pulau Kapoposang untuk melihat kepadatan COTS dan kerusakan terumbu
1
Simposium Terumbu Karang Nasional, Jakarta18-20 November 2008.
karang. Acropora dan lifeform bercabang lainnya lebih dominan terserang oleh COTS
dibanding jenis dan lifeform lainnya. Di sekitar daerah terumbu karang Pulau
Kapoposang tercatat 120 individu /100 m2 pada tahun 2005. Dalam jangka waktu 6
bulan, kondisi terumbu karang menurun dari 60 % tutupan karang hidup menjadi 25 %.
Pada tahun 2006 A. planci meningkat menjadi 200 individu / 100 m2. Dampaknya
tutupan karang hidup maksimal tinggal 10 %. Sebaliknya karang mati akibat serangan
A. planci mencapai 70 %. Fenomena ini berawal sejak tahun 2002 tidak hanya terjadi
di Pulau Kapoposang, tetapi juga beberapa pulau sekitar Spermonde

Kata kunci : Ledakan populasi, Acanthaster planci, karang keras dan kerusakan

PENDAHULUAN

Pulau Kapoposang berada pada zona paling luar dari paparan Kepulauan Spermonde
yang terletak pada posisi antara 118o 55’ 00” hingga 119o 00’ 00” BT dan 4o 40’ 00”
hingga 4o 45’ 00” LS. Luas daratan pulau ini kurang lebih 42 Ha dimana luas terumbu
karangnya sekitar 900 Ha. Sesuai dengan kategori Fakland 1991, bila luas pulau
mencapai 2000 km2 maka dikategorikan pulau kecil (LIPI, 1997).

Keunggulan Pulau Kapoposang adalah memiliki kawasan terumbu karang yang sangat
bagus baik dari sisi keindahan, keanekaragaman hayati, maupun tutupan karang
hisupnya. Di sisi lain panorama pasir putih, perkebunan kelapa, semak belukan dan
gugusan pohon pinus menambah daya tarik yang lebih dibanding dengan pulau-pulau
lainnya. Bagi pelancong yang senang menyelam, disinilah lokasi penyelaman yang
cukup indah dan menarik karena topografi dasar terumbu karang yang sangat bervariai
dan drop off atau terjal.

Cukup sering penelitian yang telah dilakukan oleh berbagai pihak di Pulau Kapoposang,
mulai dari penelitian bio fisik (MCRMP project, 2006) hingga penelitian sosial
masyarakat. Untuk penelitian aspek biofsik terumbu karang telah dilakukan oleh LIPI
(1997) dengan berbagai aspek, PSTK-Unhas (2002), Coremap (2006), SPICE Jerman-
Indonesia (2004-2006). Penelitian-penelitian tersebut menggambarkan aspek-aspek
yang berkaitan dengan aspek yang terkait dengan pengelolaan lingkungan dan data
base ekosistem dan sosial. Namun demikian belum ada penelitian spesifik megenai
tingkat kerusakan terumbu karang sekitar Pulau Kapoposang.

Dari berbagai hasil penelitian di Kepulauan Spermonde terungkap berbagai faktor


kerusakan terumbu karang terutama akibat aktivitas manusia baik dari bahan kimia
cyanida maupun peledakan bom. Kejadian ’coral bleaching’ tahun 1998-1999 di
Kepulauan Spermonde, terjadi secara global bukan hanya di Indonesia bahkan di
beberapa kawasan terumbu karang Indo-Pasifik. Kematian masal organisme karang ini
dilaporkan dari Bunaken Manado, Togian-Banggai, Taka Bonerate dan Selat Lombok
(LIPI- COREMAP, 2000).

Fenomena ledakan populasi predator Acanthaster planci (Reichelt, et.al. 1990) pernah
terjadi di Great Barrier Reef Australia tahun (1966-1975) dan (1981-1989). Binatang ini
cukup berbahaya mengancam kelestarian terumbu karang bila dalam dalam jumlah
yang cukup banyak. Sejak tahun 2002 mulai nampak kehadirannya di sebagian di
kawasan Kepulauan Spermonde dalam jumlah yang masih sedikit, demikian halnya di
beberapa terumbu karang di Indonesia Timur seperti di Maumere, Bunaken, Selayar,
Lombok.

Dari hasil observasi tahun 2005-2006 telah terjadi serangan A. planci di kawasan
terumbu karang ini pada taraf yang mengkhawatirkan. Bila hal ini dibiarkan, maka
kematian karang akibat predator ini akan makin meluas. Akan tetapi yang menjadi
pertanyaan apakah terumbu karang akan rusak secara permanen bila telah diserang A.
planci ? Pada tahun 2007 kehadiran bintang bermahkota duri ini sudah tidak terlihat
lagi. Sementara di Pulau Binongko Wakatobi hingga tahun 2008 ini sedang mengalami
peningkatan populasi yang cukup padat.

Oleh karena itu, penelitian ini difokuskan pada pengaruh ledakan populasi Acanthaster
planci terhadap keberadaan karang keras di Pulau Kapoposang. Dari penelitian ini
muncul hipotesisi : kerusakan dan kematian karang keras di Pulau Kapoposang secara
alami akibat pemangsaan oleh bintang bermahkota duri. Penelitian bertujuan untuk
mengetahui dampak kematian karang keras akibat serangan predator A. planci.

METODE PENELITIAN

Penelitian ini berlokasi di sekitar terumbu karang Pulau Kapoposang


menggunakan dua metode pengukuran lapangan, yakni penentuan tingkat kerusakan
terumbu karang dan keberadaan Acanthaster planci.
Untuk penentuan tingkat kerusakan terumbu karang digunakan metode Transek
Garis Intersep (Line Intercept Transect) (English, et.al, 1994) dan Transek Garis
Segmen (McManus, et.al, 1997). Transek ditempatkan pada satu dan atau dua
stratifikasi kedalaman. Jika zona terumbu berupa lereng landai, maka transek
ditempatkan pada dua kedalaman 3 dan 10 m. Tapi bila zona terumbu sangat landai
cenderung rata dan zona drop off, maka transek hanya pada satu kedalaman (4-5 m).
Panjang transek untuk kedua metode tersebut 50 m. Prinsip transek garis intersep
adalah mendata bentuk-bentuk pertumbuhan karang dan substratnya dalam skala
sentimeter. Sedangkan transek garis segmen prinsipnya mendata 9 komponen substrat
terumbu karang (karang keras, karang lunak, sponge, algae, biota lain, karang baru
mati, karang mati tutup algae, pecahan karang mati, dan pasir) dengan menghitung
frekuensi kehadiran masing-masing.
Pengamatan terhadap populasi Acanthaster planci dilakukan dengan metode
pencacahan langsung, dimana pada luasan tertentu sepanjang transek 50 x 2 m2
jumlah A.planci dihitung . Analisis kedua jenis data tersebut secara deskriptif.
Box 1.

Acorpora : Acropora Encrusting (ACE), Acropora Branching (ACB), Acropora Digitata (ACD),
Acropora Tabulate (ACT), Acropora Submasive (ACS)

Non Acropora : Coral Branching (CB), Coral Masive (CM), Coral Submassive (CS), Coral Encrusting
(CE), Coral Foliosa (CF), Coral Mushroom (CMR), Coral Heliopora (CHL), Coral
Millepora (CME)

Other Fauna : Soft Coral (SC), Sponge (SP), Zoanthid (ZO), Other Organisms (OT)

Algae : Algae Assemlage (AA), Coralline Algae (CA), Halimeda (HA), Macro Algae (MA), Turf
Algae (TA)

Dead Coral : Dead Coral (DC), Dead Coral Algae (DCA) , Rubble ( R )

Abiotik : Sand (S), Silt (Si), Water (Wa), Rock (RCK).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Sampel Populasi Acanthaster planci

Sebanyak 50 ekor A. planci yang dijadikan sample dalam penelitian ini yang dukur
diameter dari ujung lengan ke ujung berikutnya. Hasilnya ditunjukkan pada Tabel 1.
Dari data diameter tubuh diperoleh rentang antara 20 – 46 cm dengan rata-rata 31,74
± 5,767 cm.

Tabel 1. Data sampel Acathaster planci

Sample Count 50
Minimum 20
Maximum 46
Mean 31.74
Standard Error 0.815568
Median 32.5
Standard Deviation 5.766936
Sample Variance 33.25755
Confidence Level(95.0%) 1.638945

Gambar 1. Deretan A.planci


memakan polip karang Acropora
tabulate.
Tingkat serangan A. planci terhadap marga dan Bentuk Pertumbuhan karang

Kehadiran bintang bermahkota duri A. planci sebagai corallivore (pemakan karang)


memiliki kecendrungan terhadap jenis atau marga karang tertentu. Salah satu marga
karang yang menjadi prevalensi bagi pemakan khusus poli karang ini adalah Acropora.
Dari 7 (tujuh) marga karang yang diamati sebagai makanannya, tercatat hampir 60 %
karang Acropora menjadi target serangan bintang bermahkota duri ini. Sementara
marga Montipora menjadi target sekunder selanjutnya jenis-jenis karang dari marga
Favites menjadi target tersier. Karena bintang berduri ini akan menyerang karang yang
paling cepat tumbuh seperti marga Acropora dan Montipora, setelah jenis-jenis tersebut
habis baru berpindah ke jenis lainnya. Marga karang lainnya cenderung tidak disukai
atau kurang mendapat serangan dari A.planci. Karang-karang tersebut adalah
kelompok karang yang memiliki polip dan koralit yang kecil seperti marga Seriatopora,
Pocillopora, Stylopora, dan Porites.

Fenomena ini menjadi suatu kebiasaan bagi Acanthaster planci jika hadir pada
ekosistem terumbu karang dimana komunitas karang Acropora menjadi target utama.
Karena pada fase juvenil binatang ini hidup dan berlindung pada karang-karang
bercabang. Komunitas karang keras (Ordo : Scleractinia) menyebar merata pada
rataan terumbu karang Pulau Kapoposang. Menurut LIPI (1996) bahwa karang
bercabang khusus marga Acropora tersebar di sekitar rataan terumbu karang pada
hampir semua sisi terumbu karang Kapoposang. Selanjutnya marga Porites baik
masive dan bercabang merupakan kelompok karang yang memiliki dominansi kedua
setelah Acropora. Pada kasus pemangsaan ini, marga Porites sangat sedikit dimangsa
sehingga keberadaan masih tetap utuh.

Favites
CM
Pocillopora

Porites CE

Stylopora
CB

Acropora
CF
Seriatopora
ACB
Montipora

0% 10% 20% 30% 40% 50% 60% 70% 0% 10% 20% 30% 40% 50% 60%

Gambar 2. Genus karang yang dominan Gambar 3. Bentuk pertumbuhan karang


dimangsa oleh A.planci yang dominan dimangsa oleh A.planci

Bila diklasifikasikan ke dalam kelompok lifeform karang (Gambar 2), maka hasil
penelitian ini menunjukkan bahwa lifeform ACB (Acropora Branching) yang lebih disukai
dan lebih dahulu diserang oleh A.planci. Selanjutnya bentuk-bentuk pertumbuhan
karang lainnya juga diserang dalam tingkat yang relatif rendah kurang dari 15 % yakni
CB (coral branching) dan CE (Coral Encrusting). Sementara CF (coral foliosa) dan CM
(coral masive) kurang dari 10 %.
Selain marga Acropora, bintang bermahkota duri juga lebih menyukai karang-karang
berolip kecil dari bentuk CB, CF dan CE. Kelompok karang-karang CB yang sering
dijumpai adalah marga Porites, Hydnopora, Seriatopora, dan Pocillopora. Kelompok CF
yang dominan terutama dari marga Montipora, Pachyseis, dan Echynopora. Setelah
semua bentuk tersebut telah habis termakan, maka A. planci akan berpindah ke karang-
karang masiv di sekitarnya terutama dari suku Faviidae.

Fenomena serangan bintang laut ini terhadap karang yang cepat tumbuh merupakan
fenomena selective ecology. Karang karang tersebut akan cepat pulih dalam waktu
yang tidak terlalu lama dan habitat karang mati bekas Acanthaster tersebut akan
mengalami suksesi berubah menjadi padang penempelan algae sebelum digantikan
oleh bibit-bibit karang baru.

Disamping bentuk cabang, marga Acropora juga memiliki bentuk lain seperti ACT
(Acropora Tabulate), ACS (Acropora Submasive), ACE (Acropora Encrusting), dan ACD
(Acropora Digitata). Bentuk-bentuk pertumbuhan tersebut juga menjadi sasaran
pemangsaan, namun pada lokasi trasek penelitian ini tidak ditemukan, sementara di luar
transek ditemukan karang Acropora tabulate berdiameter 1,5 m diserang oleh A.planci
sebanyak 13 individu secara bersamaan. Pada penelitian lain (Aslim, 2006)
menemukan A. planci juga mengkonsumsi karang beberapa individu jamur setelah
karang lain sudah mulai habis terserang.

Dimana Posisi A.planci terhadap koloni karang ?

Dilihat dari posisi dari A.panci pada koloni karang, maka nampak bahwa pada
saat survei umumnya binatang ini cenderung menepati koloni di bagian atas karang
sekitar 62% (n = 50 indiv.). Posisi binatang ini yang diamati pada siang hari, sementara
pada malam hari tidak diamati. Walaupun sedikit, bintang bermahkota duri ini
menempati bagian bawah sebesar 2 % (n=50 indiv.). Indikasi ini terlihat pada karang-
karang berbentuk meja (tabulate). Pada bagian tepi karang sekitar 36 % dari
keseluruhan sample.

62%

36%

2%

At as Tepi Bawah

Gambar 4. Posisi binatang A.planci terhadap koloni karang target


Dampak Lokal Serangan A. Planci terhadap Kondisi Terumbu Karang

Sisi timur

Topografi sisi timur Pulau Kapoposang berupa rataan terumbu yang ditumbuhi
oleh tumbuhan tingkat tinggi ‘lamun’ yang padat (lihat pembahasan tumbuhan
laut) membentuk ekosistem padang lamun dengan lebar sekitar 200 m ke arah
laut. Selanjutnya hamparan perairan dangal tersusun atas karang mati dan
pasir bercampur koloni karang hidup dari karang-karang bercabang dari jenis
Pocillopora, Acropora, Montipora dan Porites.

Sisi timur pulau ini memiliki ciri topografi yang unik dimana terdapat gobah
dengan kedalaman maksimum 15 meter. Di dalam gobah ini tumbuh karang-
karang bercabang yang didominasi oleh jenis Acropora sp dan Porites sp .
Kondisi oseanografi di dalam gobah ini cukup tenang sehingga subsbtrat
didominasi oleh pasir.

Pada bagian terluar sisi timur terdapat gundukan atau moat terumbu penghalang
dengan kedalaman terdangkal mencapai 1-2 meter. Komposisi karang pada
zona ini didominasi oleh karang bercabang dari jenis Acropora sp, Seriatopora
sp, dan Pocillopora sp. Sementara semua lokasi barrier didominasi oleh algae
berkapur atau coralline algae dan algae Halimeda sp. Komunitas algae ini
menyemen komponen terumbu abiotik membentuk terumbu yang kokoh.
tersebut Topografi ini dilajutkan oleh tubir terumbu yang terjal. Tubir ini berupa
dinding tegak terumbu yang mendominasi struktur atau tipe terumbu karang
yang mengelilingi Pulau Kapoposang.

Kapoposang (Timur 1) 3m 10 m Kapoposang (Timur 2) 3m 10 m

60
50
Porsen tutupan (%)

50
40
prosen tutupan (%)

40
30
30
20
20
10 10
0 0
HC SC SP MA OT DCA RB S DC HC SC SP MA OT DCA RB S DC
Kategori Kategori

Gambar 5. Tutupan karang dan komponen terumbu karang lainnya di sebelah


timur Pulau Kapoposang.

Terumbu karang di daerah ini tergolong rusak, umumnya koloni karang Acropora
spp mati dalam bentuk masih utuh dan berwarna coklat terbungkus algae
filamen. Diduga kematian karang disebabkan karena terserang oleh bintang
bermahkota duri. Di beberapa tempat masih ditemukan individu A.planci. Hal ini
senada dengan laporan penduduk bahwa telah dilakukan pembersihan bintang
duri dari terumbu karang di depan perkampungan.
Sisi Utara dan Barat

Topografi dasar terumbu karang pada sisi utara dan barat sangat spesifik
yakni terdiri dari reef flat (rataan terumbu), dilanjutkan oleh reef edge (batas atas
tubir) dan drop off (tebing terumbu). Lokasi terumbu ini tidak memiliki lereng
terumbu yang landai, tetapi berupa tebing terumbu (drop off) yang menjadi
tujuan utama penyelaman wisata.
Kondisi terumbu karang di daerah reef flat tergolong rusak. Kerusakan
terumbu karang diakibatkan oleh pemangsaan bintang bermahkota duri
Acanthaster planci. Populasi binatang pemakan karang ini memuncak pada
tahun 2005 di hampir semua titik di sisi utara dan barat Pulau Kapoposang.
Hasil penelitian ini melalui transek bebas mengungkapkan bahwa populasi
Acathaster planci mencapai 120 ekor per 100 m 2. Dalam jangka waktu 6
bulan, kondisi terumbu karang menurun dari 60 % tutupan karag hidup menjadi
10-25 %. Pada tahun 2006 terumbu karang didominasi oleh komponen karang
mati dan karang mati tertutup algae. Di satu sisi tutupan terumbu karang pada
kawasan ini yang masih tersisa, sekarang sedang diserang pula oleh bintang
berduri ini. Jumlah bintang ini dalam luasan 10 x 10 m2 sekitar 200 individu.
Secara kuantitaif, kondisi terumbu karang dari tutupan komponen habitat
terumbu dapat dilihat pada Tabel 1. Pada sisi utara Pulau Kapoposang tutupan
karang yang hidup bervariasi antara 25 – 40 %, demikian halnya dengan
tutupan karang mati antara 25 – 40 %. Sementara pada sisi barat tutupan
karang hidup antara 10 – 70 %, sebaliknya karang mati yang tertutup algae
antara 5 – 70 %. Seperti yang telah diungkapkan di atas, bahwa rendahnya
tutupan karang hidup sebagai indikator kondisi terumbu karang disebabkan
karena faktor pemangsaan bintang Acathaster planci.

Kapoposang (Utara 1)
50
Porsen tutupan (%)

40
30
20
10
0
HC SC SP MA OT DCA RB S DC
Kategori

Kapoposang (Barat 1) Kapoposang (Barat 2)


80 80
70 70
Porsen tutupan (%)

Porsen tutupan (%)

60 60
50 50
40 40
30 30
20 20
10 10
0 0
HC SC SP MA OT DCA RB S DC HC SC SP MA OT DCA RB S DC
Kategori Kategori

Gambar 6. Tutupan karang dan komponen terumbu karang lainnya di sebelah


utara dan barat Pulau Kapoposang.
Tabel 1. Prosentase tutupan habitat terumbu karang sisi barat dan utara Pulau
Kapoposang

Prosentase tutupan (%)


Posisi GPS Reef zone
HC OT DCA RB DC
Sisi Timur
8507 9132 Reef crest 25 0 25 35 0
3m reef slope 24 0 40 4 0
6637 1532
10 m reef slope 21 16 9 10 0
3 m reef slope 5 0 54 20 0
8297 9886
10 m reef slope 16 4 27 11 0
Sisi Utara
6311 1422 Reef flat and crest 40 0 25 0 0
5886 1206 Reef flat and crest 25 5 30 0 0
5406 1060 Reef flat and crest 25 0 45 0 0
4906 1103 Reef flat and crest 25 0 45 0 0
Sisi Barat
4426 1222 Reef flat and crest 10 0 70 10 0
3921 1245 Reef flat and crest 20 0 5 0 70
3458 0996 Reef flat and crest 70 5 20 5 0
2988 0862 Reef flat and crest 25 5 30 15 0
Sisi Selatan
8056 8938 Reef flat 80 5 15 0 0
7563 9207 Reef flat 40 0 10 40 0
7311 9836 Reef flat 20 0 45 0 0
6756 0086 Reef flat 30 0 20 0 0
6225 0115 Reef flat 20 0 10 70 0

Sisi Selatan dan Barat Daya

Terumbu karang pada sisi selatan dan barat daya P. Kapoposang


berbentuk rataan dan lereng terumbu yang landai. Paparan terumbu ini sangat
luas menyebar ke arah barat dengan bentuk topografi yang berbukuit dan
lembah dengan kedalaman maksimum 6 m dan minimal 2 meter. Komponen
terumbu sangat bervariasi yakni pasir, karang dan pecahan karang mati.
Kondisi terumbu karang bervariasi dari kondisi yang rusak parah hingga
sangat bagus dengan tutupan karang hidup antara 20 – 80 %. Terumbu karang
yang sangat bagus hanya ditemukan pada satu lokasi. Lokasi lainnya dalam
kondisi rusak hingga sedang. Tutupan karang mati mencapai 45 % sementara
hancuran karang mati maksimal 70 %. Kondisi terumbu karang yang terbaik
dijadikan sebagai kawasan wisata penyelaman tepat berdekatan dengan Cottage
MDC (Makassar Diving Club).
Tahun 2001 Karang hidup mencapai 64 %, DC = 15 % dan biota lain non
Acanthaster planci 3 %. Pada tahun 2006 Karang hidup menjadi 18 %, DC = 49
%, biota lain termasuk Acanthaster planci sebanyak 21 % (Yusuf, dkk., 2007).

Perubahan tutupan HC, DC, COTS 2001-2006

40 34

30
18
20

10

Persen
0
HC DC COTS
-10

-20

-30

-40

-50 -46

Gambar 7. Deviasi perubahan tutupan karang hidup (HC), karang mati (DC) dan
A.planci (COTS) dalam kurun waktu 2001-2006.

Zann (1987) Sejak terjadinya agregasi bintang pemakan karang pertama kali ditemukan
di Green Island tahun 1962, kehadiran bintang berduri ini menjadi kontroversi di
Australia. Penemuan tersebut menyisakan pertanyaan : Apakah semua karang menjadi
rusak ataukah hanya sebagian ? Apakah kehadirannya merupakan sebuah siklus yang
segera akan berakhir ? Apakah terjadi secara alami atau sebagi dampak dari aktivitas
manusia ? Jika akibat alami apakah manusia berusaha untuk mengontrolnya ? Jika
tidak, apa penyebabnya ? Polusi atau overfishing, ataukah Triton sudah dieksploitasi
habis ?

Fakta

Tidak seperti bintang (Asteroidea : Echinodermata) lain berlengan lima sepanjang


pesisir, bintang bermahkota duri ini berukuran lebih besar, berlengan banyak dengan
duri yang berbahaya. Bintang ini memakan polip karang pembangun terumbu karang.
Secara normal, tidak seperti binatang lainnya, hewan ini hadir sebentar dan misterius di
daerah terumbu karang dalam jumlah yang sangat banyak, ratusan bahkan ribuan.
Setelah kondisi terumbu karang menurun hingga bintang ini tidak mendapatkan
makanan lagi dari karang.

Para ilmuwan menyebut fenomena ini sebagai ‘plagues’ atau ‘outbreaks’, dan
‘infestaion’. Binatang ini cenderung mengelompok atau ‘devastated’. Kata
‘ecocastrophy’ merupakan kondisi kolap keseluruhan ekosistem terumbu karang
sehingga bintang duri dalam keadaan puasa.

Polusi, overfishing ikan karang atau koleksi Triton sebagai penyebab terjadinya ledakan
populasi Acathater planci
Pustaka

Yusuf, S., A.A.A. Husain, A. Bahar, 2007. Studi Kondisi, Potensi dan Prospek
Pemanfaatan Berkelanjutan Biota Terumbu Karang untuk Ornamen Akuarium)

Reihelt, R.E., R.H. Bradbury, P.J. Moran. 1990. Distribution of Acanthaster planci
outbreaks on the Great Barrier Reef between 1966 and 1989. Coral Reefs.
Vo. 9 No. 3 1990. Special Issue : Acanthaster planci. Ed. C.R. Wilkinson.

Zann L and E. Eager , 1987. The Crown of Thorns Starfish (ed. By). Great Barrier Reef
Marine Park Authority.

You might also like