Professional Documents
Culture Documents
Gabungan Artikel Edit Nov
Gabungan Artikel Edit Nov
Risky Ade Tia Hendri1, Muhammad Zainuddin Lubis2, Satria Bayu Aji3
2
Program Studi Teknik Geomatika Jurusan Teknik Informatika, Politeknik Negeri Batam
Jalan Ahmad Yani, Batam Centre, Batam 29461, Indonesia
Corresponden Author: zainuddinlubis@polibatam.ac.id, Phone: +62 81342578087
ABSTRACT
A bathymetric map is a map that displays the shape of the underwater surface in the form of
water depth and contour shapes, making a bathymetric map is very important to know how the
topography is which later can be used to carry out other studies or developments. This research
was conducted in the waters of Bali, where Bali has a high water potential for various activities,
economy, tourism and others.The purpose of this study was to analyze the bathymetry data using
the results of the data using multibeam echosounder and bathymetry data using the National
Bathymetry data (BATNAS) in Bali waters. To produce data that will be analyzed, the bathymetry
data results are corrected with the MSL value obtained from the tidal observation data that has
been processed using the admiralty method. After correcting the data, the results of the
announcement will be compared with the BATNAS data by comparing with the F test, which is
later divided into 5 transects. The results of this study present a bathymetric map of the results of
processing data from multibeam echosounder and bathymetry maps from national bathymetry
data, and also display the results of comparisons using the F test. MSL 1.31 meters.
S0 M2 S2 N2 K1 O1 M4 MS4 K2 P1
A (Cm) 131 51 27 31 23 7 2 2 7 7
Derajat 21 325 280 284 2 197 121 325 284
(MBES) yaitu -2,2 meter (nilai kedalaman Gambar 6. Peta 3D Batimetri Menggunakan Data
minimum) dan -39,29 meter (nilai kedalaman BATNAS
maksimum), dengan ditunjukkan perbedaan
warna biru merupakan nilai kedalaman minimum Hasil gambar 3D yang diperolah dari
dan warna hijau merupakan nilai kedalaman penelitian di perairan bali diatas menunjukkan
maksimum. hasil relief kedalaman perairan Bali cenderung
tidak landai, dikarenakan nilai kedalaman di
3.3 Batimetri Mengunakan Data Batimetri daerah tersebut tidak mengalami perubahan nilai
Nasional (BATNAS) kedalaman dibawah permukaan laut (dpl) yang
tidak signifikan. Range kedalaman pada peta 3D
yaitu sama dengan data peta 2D yang dimana
hasil ini diperoleh dengan pemeruman
menggunakan instrument multibeam echosounder
(MBES) yaitu -1,89 meter (nilai kedalaman
minimum) dan -38,04 meter (nilai kedalaman
maksimum), dengan ditunjukkan perbedaan
warna biru merupakan nilai kedalaman minimum
dan warna hijau merupakan nilai kedalaman
maksimum.
hasil 187 sample untuk di gunakan sebagai uji Berdasarkan dari table ANOVA transek 1 di
perbandingan data menggunakan Uji F sehingga peroleh nilai sig. 0.00. maka Ho di terima karna
mewakili data yang di olah. nilai Sig 0,00 < 0,05 maka variable X¹
(kedalaman MBES) berpengaruh signifikan
terhadap variable terikat Y (kedalaman
BATNAS).
TRANSEK 2
Persamaan Regresi
Peta transek perbandingan nilai
kedalaman Multibeam echosounder dan nilai Y = -0,6052 + 0,9916045 X
kedalaman BATNAS di bagi menjadi 5 transek
agar data terwakilkan Table 5. menjelaskan hasil dari
perbandinag data BATNAS dan Multibeam di
Table 3. Tabel transek 1 Transek 2 dengan jumlah titik kedalaman yang
sama yang masing masing berjumlah 39 titik, dan
di hasilkan lah nilai R Square yaitu 0,890 dan
menghasilkan Persamaan regresi
TRANSEK 1
Tabel 6. Tabel Hasil Anova Transek 2
ANOVA
df SS MS F Significance F
Regression 1 364,13065234 364,1306523 300,7373 0,00%
R Square : 0,842381805 Residual 37 44,79934700 1,210793162
n Batnas : 40 Total 38 408,92999934
n Multibeam : 40
R Square : 0,953874228
n Batnas : 32
n Multibeam : 32
Persamaan Regresi
Berdasarkan dari table 8 hasil ANOVA transek 3
Y = -0.0024 + 1.1570546 X
di peroleh nilai sig. 0.00. maka Ho di terima
karna nilai Sig 0,00 < 0,05 maka variable X¹
Table 11. menjelaskan hasil dari
(kedalaman MBES) berpengaruh signifikan
perbandingan data BATNAS dan Multibeam di
terhadap variable terikat Y (kedalaman
Transek 5 dengan jumlah titik kedalaman yang
BATNAS)
sama yang masing masing berjumlah 32 titik, dan
Table 9. Tabel Transek 4 di hasilkan lah nilai R Square yaitu 0,953 dan
menghasilkan Persamaan regresi
Daftar Pustaka
ABSTRACT
The Balikpapan City coastline is dynamic, which is vulnerable to changes as a reaction to natural
processes and human activities. This study aims to determine the dynamics of shoreline changes using
remote sensing methods and Geographical Information Systems (GIS), especially the use of remote
sensing satellite technology, in a multitemporal manner in the form of Landsat imagery for the last 10
years and predict the trend (trend) of changes in the coastline in the past 5 years. front. The method
used in this research is by conducting field surveys and collecting oceanographic data (tides, currents,
waves and sediments). Data analysis in this study using the Digital Shoreline Analysis System (DSAS)
in Arcgis 10.3. The results of this study indicate the value of shoreline changes in the data of Net
Shoreline Movement (NSM), End Point Rate (EPR), Linear Regression Rate (LRR) and Shoreline
Change Movement (SCE). The value of these changes determines the level of abrasion and accretion of
Balikpapan city coast, with a maximum abrasion value of -419.55 meters / year. When viewed from the
value of Shoreline Change Movement (SCE), the changes in the coastline on the Balikpapan city coast
have a change value ranging from 92.19 meters to 149.99 meters over a period of 10 years.
perubahan iklim pada wilayah pantai. dapat menghasilkan data-data akurat dalam
Akibat yang memungkinkan seperti menentukan faktor dan dampak perubahan
kenaikan tinggi muka laut, perubahan garis pantai yang ada di pesisir Kota
frekuensi, intensitas dan pola dari badai, Balikpapan. Sehingga dapat ditentukan
dan juga banjir memicu berkurangnya pengelolaan yang tepat dalam pemnafaatan
daratan sehingga lebih rentan terhadap kawasan pesisir di Kota Balikpapan yang
erosi. Penggunaan lahan pada wilayah lebih efektif dan efisien. Penerapan metode
pesisir membutuhkan lahan dengan Digital Shoreline Analysis System (DSAS)
dinamika perubahan rendah. Dinamika yang ada pada ArcGIS ini sendiri
pesisir memberikan dampak tekanan sosial diharapkan dapat mempermudah
politik. Pemanfaatan wilayah pantai dengan pengolahan data dalam bentuk tabel
dinamika perubahan yang tinggi menjadi bentuk grafik yang dapat diamati
menandakan pembangunan dilakukan tanpa dengan mudah dan lebih akurat. Tingkat
memahami dinamika pantai dan hal ini keakuratan data inilah yang nantinya akan
berdampak propagansi atau peningkatan mempengaruhi hasil dalam penelitian. Oleh
masalah sosial politik (Sugiarta, 2018). karena itu, penelitian ini menggunakan
Analisis perubahan garis pantai ini konsep pemetaan dengan memanfaatkan
diharapkan dapat menunjukkan perubahan citra landsat, dalam hal ini landsat
penggunaan lahan dan garis pantai di dipergunakan sebagai acuan dasar dalam
wilayah Pantai Kota Balikpapan tahun memantau perubahan garis pantai dari
2009–2019 dengan menggunakan hasil tahun ke tahun.
pemotretan penginderaan jauh berkala
(times series) dan survey lapangan serta 2. METODE
menganalisis dampak perubahan garis
pantai tersebut terhadap kehidupan sosial
masyarakat. Analisis perubahan Penelitian ini dilakukan di Pantai
penggunaan lahan dan garis pantai Kota Balikpapan, Kalimantan Timur. Jenis
menggunakan Sistem Informasi Geografis data yang akan dikumpulkan oleh peneliti,
(SIG). Aplikasi SIG untuk pengelolaan yaitu data primer dan data sekunder.
wilayah pesisir dan laut telah banyak Pengumpulan data primer menggunakan
digunakan seperti monitoring dan teknik observasi, wawancara mendalam
manajemen garis pantai (Li,1998), analisis dengan mencatat dan merekan seluruh
kesesuaian lahan pesisir (Muryani, 2010). informasi yang dibutuhkan dalam
Ketepatan pemilihan metode, jenis citra, penelitian ini. Sedangkan data skunder
resolusi (spasial dan temporal), waktu dikumpulkan dengan cara melakukan
akuisisi citra dan kesesuaian tujuan kajian studi pustaka, meminta data
penelitian sangat diperlukan untuk sekunder kepada lembaga pemerintahan,
menghindari kesalahan interpretasi atau dan juga lembaga terkait dengan kebutuhan
analisis (Mardhiani,2015). data dalam penelitian ini. Analisis data
Penelitian pengukuran perubahan garis penelitian mengenai perubahan garis Pantai
pantai di pesisir Kota Balikpapan ini Kota Balikpapan dilakukan dengan cara
dilakukan dengan menggunakan Sistem sebagai berikut:
Informasi Geografis (GIS) serta
penggunaan metode Digital Shoreline
Analysis System (DSAS) yang ada pada
ArcGIS. Penggunaan metode ini diharapkan
14
sampai Pantai Melawai telah mengalami 2 Grid 2 119.53 -149.45 26.8 2 Grid 2
perubahan garis pantai pada beberapa area
tertentu selama kurun waktu 10 tahun yaitu 3 Grid 3 31.24 -47.07 18.0 3 Grid 3
dari tahun 2009 hingga 2019, serta hasil 4 Grid 4 140.64 -115.96 19.4 4 Grid 4
NILAI NILAI
+ -
MAK MIN
3.2.3 Linear Regression Rate (LRR)
1 Grid 1 82.43 -26.54
10.1 -7.5
Low Accretion
Data hasil penghitungan statistik
pada running Digital Shoreline Analysis
2 Grid 2 16.49 -18.51 3.05 -4.2 Low Abration System (DSAS) ini yang digunakan
Low Abration
untuk menghitung laju perubahan garis
3 Grid 3 4.31 -6.49 2.49 -2.7
pantai tiap tahunnya selama 10 tahun di
4 Grid 4 45.23 -20.76 3.04 -3.2 Low Abration Pantai Kota Balikpapan, dimana data
yang bernilai positif (+) menandakan
pantai tersebut mengalami sedimentasi
Low Accretion
5 Grid 5 4.11 -2.13 2.50 -0.9
No Grid Rata-Rata
Nilai
Nilai Mak Min
1)
Marine Science Departement, Faculty of Fisheries University of Lambung Mangkurat
2) Strategy Kampanye Militer Universitas Pertahanan
e-mail: hilyatun04@gmail.com
ABSTRAK
Perairan Teluk Balikpapan dipengaruhi oleh Selat Makassar sebagai pintu masuk utama Arus
Lintas Indonesia (Arlindo), angin musim, pengaruh debit sungai, pelabuhan dan alur pelayaran
yang cukup padat. Selain itu bentuk topografi dan kedalaman yang beragam serta adanya pulau-
pulau kecil sangat mempengaruhi dinamika pola arus pada perairan tersebut. Pada penelitian
simulasi hidrodinamika arus ini dilakukan dengan menggunakan model numerik MIKE 21 Flow
Model FM, untuk menganalisis sirkulasi hidrodinamika arus di perairan Teluk Balikpapan
dengan gaya pembangkit angin dan pasang surut. Kemudian, hasil keluaran dari model tersebut
diverifikasi sesuai dengan data pengukuran lapangan yang telah dilakukan. Verifikasi antara
hasil pengukuran lapangan dengan simulasi yang ditunjukkan dengan nilai RMSE memiliki
kesesuaian data yang baik, yaitu untuk pasut memiliki nilai sebesar 0,06917 dan arus memiliki
nilai komponen U sebesar 0,00277 dan komponen V sebesar 0,00824.
Kata kunci: pemodelan, Teluk Balikpapan, arus pasut, MIKE 21 Flow model FM
ABSTRACT
Balikpapan Bay are influenced by the Makassar strait as the one of the Indonesia Throughflow
(Arlindo), monsoons, the input of river discharges, port area and fairly shipping route. Besides,
various forms of topography and depth and also the presence of small islands influence the
dynamics of current patterns in these waters. In this current hydrodynamic simulation research
conducted using the MIKE 21 Flow Model FM numerical model software, to analyze the current
hydrodynamic circulation of Balikpapan Bay with wind and tidal forces. Then, the output of the
model is verified according to the field measurement data that has been done. Verification
between the results of field measurements with simulations indicated by the RMSE value has a
good data suitability, for tides it has a value equal to 0,06917 and current has a component U
equal to 0,00277 and component V equal to 0,00824.
Keywords: modelling, Balikpapan Bay, tidal current, MIKE 21 Flow model FM
1. PENDAHULUAN yang terletak di wilayah atas teluk. Pada
sepanjang wilayah perairan sungai dan
Pergerakan arus merupakan teluk tersebut terdapat aktivitas yang
fenomena yang selalu bergerak dinamis. dimanfaatkan sebagai kawasan pelabuhan,
Secara umum faktor utama yang industri pengolahan migas, batubara,
memberikan pengaruh kuat pergerakan arus PLTU, perikanan, pariwisata dan
terhadap sebagian besar perairan adalah pemukiman. Wilayah teluk tersebut
pasut dan stress angin. memiliki kedalaman yang bervariasi
Pada wilayah perairan yang sempit dengan nilai 1,5 meter hingga mencapai
dan semi-tertutup seperti teluk lebih kedalaman 56 meter.
dominan dipengaruhi oleh fenomena Oleh sebab itu, kondisi
pasang surut. Fenomena tersebut hidrodinamika pada wilayah perairan Teluk
membangkitkan arus yang disebut dengan Balikpapan khususnya arus memiliki arah
arus pasang surut, ketika arus pasut dan kecepatan yang bervariatif, akibat
memasuki wilayah perairan pantai maka dipengaruhi oleh beberapa faktor tersebut,
akan terjadi pasang dan begitu sebaliknya, antara lain run off sungai, morfologi pantai
ketika arus pasut mengalir menjauhi dan kedalaman perairan serta stress angin
wilayah pantai akan terjadi surut. pada permukaan laut.
Kecepatan arus yang digerakkan pasut Berbagai macam metode dapat
tersebut berubah-ubah setiap saat atau dilakukan untuk penelitian sirkulasi arus
bersifat harian akibat gerakan pasut, pada wilayah perairan, salah satunya
sedangkan angin yang membangkitkan arus menggunakan model numerik dan empiris
bersifat musiman yaitu terjadi perubahan MIKE 21, modul yang digunakan pada
arah arus mengikuti arah angin setiap pemodelan hidrodinamika arus ini adalah
musimnya. Flow Model FM. MIKE 21 Flow Model FM
Teluk Balikpapan memiliki merupakan sistem pemodelan yang
karakteristik perairan semi-tertutup yang didasarkan pada pendekatan flexibel mesh.
mendapat pengaruh langsung dari Selat Pemodelan ini dikembangkan oleh DHI
Makassar. Menurut Fleuy, et al., 1996 Water and Environtment untuk
dalam Safitri, dkk. 2012 Selat Makassar diaplikasikan pada lingkungan oseanografi
merupakan salah satu pintu masuk utama seperti muara, teluk, pantai dan laut.
Arus Lintas Indonesia (Arlindo) yang Berdasarkan hal tersebut, sehingga untuk
membawa massa air Samudera Pasifik pada mengetahui hidrodinamika arus pasang
jalur barat, yaitu masuk melalui Laut surut di perairan Teluk Balikpapan dapat
Sulawesi lalu ke Selat Makassar, Laut dilakukan dengan menggunakan model
Flores dan Laut Banda. Selain itu, adanya MIKE 21 Flow Model FM.
pengaruh tiupan angin antar musim yang
berhembus pada permukaan perairan dapat
membangkitkan kecepatan arus dengan 2. METODOLOGI PENELITIAN
arah dan kecepatan yang berbeda pada 2.1 Waktu dan Tempat
setiap musimnya. Penelitian ini dilaksanakan pada
Perairan Teluk Balikpapan ini, bulan Maret 2018 – Desember 2019 di
memiliki luas perairan 16.000 hektar Perairan Teluk Balikpapan, Provinsi
dengan luas (DAS) ± 211.456 hektar, Kalimantan Timur meliputi sepanjang ±33
kemudian terdapat beberapa DAS dan Sub- km dan ±22 km sejajar garis pantai, yang
DAS yang mengalir dan bermuara ke teluk, ditampilkan pada (Gambar 1).
serta terdapat beberapa pulau-pulau kecil
Gambar 1. Peta Lokasi Penelitian
Pembuatan mesh
Masukan
Masukan Data Angin
Data Pasut Tidak
Running model
(MIKE 21 Flow Model FM)
Output Model
(MIKE 21
Flow Model
FM)
3.3 Hasil Model Arus dan Elevasi di pada wilayah tengah teluk, mulut teluk
Perairan Teluk Balikpapan hingga wilayah terluar teluk memiliki
kecepatan arus 0,4 m/s hingga 1,6 m/s.
3.3.1Arus Pada Saat Pasang Menuju
3.3.2 Arus Pada Saat Surut Terendah
Surut
Berbeda halnya pada saat surut
Pada saat pasang menuju surut
terendah (Gambar 9 b) tersebut akan terjadi
purnama yang divisualisasikan dalam
pengurangan nilai kecepatan arus dengan
Gambar 8.a memperlihatkan bahwa elevasi
nilai mendekati 0, yakni dengan besaran
muka air dari mulut teluk hingga wilayah
nilai kecepatan arus antara 0,05 m/s hingga
atas teluk semakin meningkat dengan
0,75 m/s. Pada wilayah perairan tengah
rentang nilai 0,65 m hingga 0,85 m pada
teluk, mulut teluk hingga terluar teluk
wilayah atas dan wilayah tengah teluk
memiliki kecepatan arus yang cenderung
dengan nilai elevasi 0,45 m hingga 0,60 m
sedangkan pada wilayah mulut teluk hingga lebih tenang dengan kisaran 0,20 m/s
terluar teluk menuju perairan Selat hingga 0,25 m/s, sedangkan pada wilayah
Makassar memiliki nilai yang lebih rendah atas teluk memiliki nilai kecepatan arus
dengan nilai elevasi antara 0,25 m hingga tercepat mencapai 0,75 m/s dengan rentang
0,40 m. nilai 0,30 m/s hingga 0,75 m/s. Nilai
Hal tersebut diperkuat oleh pendapat elevasi muka air (Gambar 9 a) memiliki
Hadi dan Radjawane (2009), dimana nilai elevasi yang berfluktuatif, pada
pergerakan arus pasut yang memasuki wilayah mulut hingga terluar teluk dengan
wilayah teluk, terjadi ketika elevasi nilai sebesar -1,110 m hingga -1,065 m,
memiliki nilai yang lebih tinggi pada pada wilayah tengah teluk memiliki elevasi
wilayah perairan terluar teluk daripada sebesar -1,155 m hingga -1,110 m dan pada
wilayah terdalam teluk, sedangkan arus wilayah atas teluk memiliki elevasi dengan
yang bergerak keluar menjauhi wilayah rentang nilai -1,170 m hingga -1,095 m.
teluk, terjadi ketika elevasi memiliki nilai Pada saat surut terendah akan terjadi
yang lebih tinggi pada wilayah terdalam dimana elevasi mencapai titik minimum
teluk dibandingkan wilayah terluar teluk. sehingga menyebabkan penurunan laju
Perbedaan nilai elevasi tersebut, akan kecepatan arus yang relatif 0. Sebagaimana
berpengaruh terhadap pergerakan massa air hal tersebut diperkuat oleh Poerbandono
(Gambar 8 b) dimana, pada saat menuju dan Djunasjah (2005) bahwa slack waters
surut ini vektor arus bergerak keluar teluk terjadi ketika elevasi muka air mencapai
ke arah Selatan kemudian berbelok ke arah titik tertinggi (HW/High Waterlevel) dan
Tenggara saat surut mengikuti morfologi air terendah (LW/Low Waterlevel)
teluk tersebut, dengan nilai kecepatan arus sehingga kecepatan arus pasut memiliki
tercepat pada wilayah atas teluk yaitu nilai efektif 0, dimana pada saat tersebut
sebesar 4,4 m/s hingga 6 m/s, sedangkan akan terjadi perubahan arah dan kecepatan
arus maksimum pada saat kondisi pasang
tertinggi dan kecepatan arus minimum pada elevasi muka air mencapai puncak
saat surut terendah. tertinggi, maka akan terjadi kecepatan arus
minimum atau relatif Nol.
3.3.3 Arus Pada Saat Surut Menuju
Kecepatan arus (Gambar 11 b) pada
Pasang
wilayah atas teluk memiliki kecepatan arus
Elevasi muka air pada saat surut
tercepat dengan rentang nilai 0,32 m/s
menuju pasang (Gambar 10 a)
hingga 0,48 m/s, pada wilayah tengah
memperlihatkan bahwa elevasi tertinggi
teluk, mulut teluk hingga terluarnya
terjadi pada wilayah terluar perairan teluk
memiliki kondisi arus yang cukup tenang
dengan kisaran nilai -0,40 m hingga -0,32
dengan kecepatan arus yang mendekati 0
m dibandingkan pada wilayah di dalam
yaitu 0,04 m/s hingga 0,20 m/s. Arah
teluk yang memiliki elevasi lebih rendah
vektor arus tersebut bergerak keluar ke arah
dengan kisaran nilai antara -0,60 m hingga
selatan kemudian berbelok menuju
-0,42 m. Kemudian, hal itu diikuti juga
tenggara dan sebagian terjadi pembelokan
oleh pergerakan vektor arus yang bergerak
arah arus yang bergerak ke arah barat daya
masuk kearah Tenggara menuju Utara
memasuki wilayah perairan teluk. Hal
kemudian berbelok ke Barat Laut
tersebut diperkuat oleh Permadi et al
mengikuti morfologi teluk dengan
(2015) dalam Sarmada (2018) bahwa
kecepatan arus tercepat (Gambar 10 b)
terjadi pembelokan arah arus pada setiap
berada pada wilayah perairan atas teluk
kondisi tersebut setelah arus pasut
dengan nilai sebesar 0,88 m/s hingga 1,20
mencapai minimum ataupun maksimum.
m/s, kemudian pada wilayah tengah teluk,
Pada sebagian wilayah teluk tersebut
mulut teluk hingga wilayah terluarnya
terdapat kontur yang membentuk lingkaran
memiliki kecepatan arus yang lebih tenang
dengan nilai kecepatan arus 0,12 m/s
dengan kisaran nilai 0,08 m/s hingga 0,32
hingga 0,28 m/s, kontur yang membentuk
m/s.
lingkaran tersebut merupakan pusaran arus
Hal tersebut sesuai dengan hasil
yang terbentuk pada wilayah atas teluk,
penelitian Yanthi, dkk (2016) bahwa
yang diakibatkan perubahan nilai
simulasi model hidrodinamika arus
kedalaman yang cukup signifikan, dari
menunjukkan bahwa, pada saat pasang arah
kedalaman belasan meter hingga mencapai
arus bergerak dari Selatan menuju Utara
kedalaman puluhan meter yaitu sekitar 56
kemudian berbelok ke arah Barat Laut.
meter.
Kemudian, saat surut bergerak dari arah
Berikut disajikan tabulasi kecepatan
Utara menuju ke arah Selatan kemudian
arus model pada perwakilan masing-
berbelok ke arah Tenggara mendekati
masing wilayah perairan (Tabel 2).
pantai.
Tabel 2. Kecepatan Arus pada Masing-
Hasil penelitian Kim, et all (2016)
masing Wilayah Perairan
simulasi arus pasang surut di Teluk Gomso
di Seoul, South Korea bahwa selama terjadi Kecepatan
Wilayah Perairan
pasang, air mencapai bagian dalam teluk Arus (m/s)
terlebih dahulu melalui aliran yang dalam Maksimum 12,085
dan kemudian mengisi daerah yang dangkal Atas
Minimum 0,070
dengan menggeser arah aliran ke selatan teluk
Rata-rata 2,.950
yang dangkal. Sedangkan saat surut, Maksimum 0,547
pergerakan air di wilayah dalam bergerak Tengah
Minimum 0,046
ke laut dan aliran air akan mengalir ke teluk
Rata-rata 0,147
wilayah perairan yang dangkal. Maksimum 0,380
Mulut
3.3.4 Arus Pada Saat Pasang Tertinggi Minimum 0,004
teluk
Pada saat pasang tertinggi, elevasi Rata-rata 0,115
muka air (Gambar 11 a) mencapai puncak Maksimum 0,328
Luar
tertingginya, pada wilayah atas memiliki Minimum 0,019
teluk
nilai dengan rentang sebesar 1,248 m Rata-rata 0,165
hingga 1,280 m, pada wilayah mulut
sampai terluarnya memiliki nilai dengan Kecepatan arus pada wilayah
rentang 1,168 m hingga 1,240 m. Pada saat perairan atas teluk memiliki besaran nilai
0,070 m/s hingga mencapai 12,085 m/s dan sebesar 0,046 m/s hingga 0,547 m/s dengan
kecepatan rata-rata sebesar 2,950 m/s. kecepatan rata-ratanya 0,147 m/s. Pada
kecepatan arus pada wilayah tersebut wilayah mulut teluk memiliki kecepatan
memiliki nilai tercepat disebabkan karena arus minimum sebesar 0,004 m/s dan
terjadinya penyempitan pada penampang kecepatan maksimum 0,380 m/s dengan
yang di lewati arus pada wilayah atas teluk rata-rata kecepatan arus sebesar 0,115 m/s.
perairan Teluk Balikpapan, sehingga dalam Selanjutnya, pada wilayah luar teluk
hal ini berlaku Persamaan Kontinuitas, memiliki kecepatan arus dengan rata-rata
dimana kecepatan berkurang ketika sebesar 0,165 m/s, serta memiliki rentang
melewati penampang yang lebar dan akan nilai kecepatan arus antara 0,019 m/s
terjadi penguatan nilai kecepatan arus hingga 0,328 m/s.
melewati penampang yang sempit karena Nilai kecepatan arus pada perairan
pengaruh penyempitan. tersebut memiliki kecepatan yang
Hal tersebut diperkuat oleh hasil bervariatif, diakibatkan oleh perubahan
penelitian Budiman (2014) yang batimetri, morfologi teluk, dan perubahan
menyatakan bahwa, pada jalur teluk yang elevasi muka air laut sehingga berpengaruh
sempit memiliki kecepatan arus yang relatif terhadap pergerakan massa air. Sebagimana
besar hal tersebut diakibatkan karena sifat diperkuat hasil penelitian Kim, et all (2016)
kontinuitas massa air, dimana perubahan bahwa simulasi arus pasang surut di Teluk
massa dari fluida antara debit air yang Gomso di Seoul, South Korea sangat
keluar-masuk melewati suatu ruang pada bergantung pada kedalaman. Kecepatan
jalur teluk, dikeluarkan dalam jumlah yang arus maksimum saat pasang dan surut
sama dengan kecepatan yang relatif lebih memiliki nilai sekitar 1 m/s -1 yang terdapat
tinggi untuk menjaga keseimbangannya. di sepanjang wilayah yang dalam. Namun
Hasil penelitian Kumar, et all (2017) arus di daerah dangkal relatif lemah dan
mengenai pemodelan 3D di sepanjang mengalir melintasi teluk. Selain itu, arus
Teluk Khambhat, India menggunakan pasang surut sangat tergantung pada
persamaan Navier-Stokes dalam aliran 3D gesekan dasar di laut dangkal. Efek rata-
dengan asumsi air dangkal dan teori rata gesekan dasar perairan lebih kecil di
tegangan Boussinesq, menunjukkan bahwa wilayah dalam daripada di daerah gosong
Teluk Khambhat memiliki pola pergerakan atau beting (timbunan pasir atau lumpur
arus yang kuat dan beragam, terutama pada yang panjang di muara sungai atau di tepi
wilayah utara karena batimetri yang laut) yang dangkal.
kompleks. Kecepatan arus pasut maksimum
ditemukan pada sepanjang wilayah utara
teluk yang memiliki bagian teluk
menyempit dengan nilai sebesar 2,6 m/s
dan 1,5 m/s selama siklus pasang dan surut.
Kemudian, pada wilayah perairan
tengah teluk memiliki nilai kecepatan arus
a. b.
Gambar 8. Hasil Simulasi Elevasi dan Arus Pada Saat Menuju Surut
a. b.
Gambar 9. Hasil Simulasi Elevasi dan Arus Pada Saat Surut Terendah
a. b.
Gambar 10. Hasil Simulasi Elevasi dan Arus Pada Saat Surut Menuju Pasang
a. b.
Gambar 6. Hasil Simulasi Elevasi dan Arus Pada Saat Pasang Tertinggi
4 KESIMPULAN Safitri., dkk. (2012). Variasi Arus Arlindo dan
Parameter Oseanografi di Laut Timur
Verifikasi antara hasil pengukuran sebagai Indikasi Kejadian ENSO. Jurnal
lapangan dengan simulasi yang ditunjukkan Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol.
dengan nilai RMSE memiliki kesesuaian data 4, No. 2, Hlm. 369-377
yang baik, yaitu untuk pasut memiliki nilai
Sarmada, I.F., dkk. (2018). Pemodelan Pola
sebesar 0,06917. Kemudian, arus memiliki nilai
Arus di Kawasan Pesisir Pantai Kawal
komponen U sebesar 0,00277 dan komponen V
Kabupaten Bintan. Studi Ilmu Kelautan,
sebesar 0,00824. Perbedaan elevasi dan
Universitas Maritim Raja Ali Haji,
kecepatan arus antara wilayah terdalam dan
Tanjungpinang.
terluar teluk diakibatkan karena morfologi teluk
yang berperan dalam proses perambatan energi Sulardi, Anom. (2016). Karakteristik Massa Air
pasut dan disamping itu karena perubahan Bersalinitas Rendah di Perairan Teluk
batimetri. Kecepatan arus pada perairan Teluk Balikpapan. Departemen Ilmu dan
Balikpapan lebih dominan dipengaruhi oleh Teknologi Kelautan. FPIK. IPB. Bogor
energi pasut, pada saat pasang bergerak masuk
Yanthi.S., dkk. (2016). Pemodelan Sebaran
ke arah Tenggara kemudian berbelok ke Barat
Tumpahan Minyak di Perairan Teluk
Laut mengikuti morfologi teluk dan saat surut
Balikpapan, Kalimantan Timur. Jurnal
bergerak keluar teluk ke arah Selatan kemudian
oseanografi. Vol. 5, No. 2, Th 2016, Hal.
berbelok ke arah Tenggara.
270 – 276
DAFTAR PUSTAKA
Budiman, Koropitan dan Nurjaya. (2014).
Pemodelan Hidrodinamika Arus Pasang
Surut Teluk Mayalibit Kabupaten Raja
Ampat Provinsi Papua Barat. Sekolah
Pascasarjana Program Studi Ilmu
Kelautan, FPIK, IPB. Bogor. Depik, 3(2):
146-156 Agustus 2014 ISSN 2089-7790
Hadi, S., dan I. M. Radjawane. (2009). Arus
Laut. ITB
Hidayat, Alvin., dkk. (2016). Pemetaan
Batimetri dan Sedimen Dasar di
Perairan Teluk Balikpapan, Kalimantan
Timur. Jurnal oseanografi. Vol.5, No.2,
Tahun 2016, Hal. 191-201
Poerbandono dan E. Djunasjah, (2005). Survei
Hidrografi. PT. Refika Aditama. Bandung
Rampengan, M. Royke. (2013). Tunggang Air
Pasang Surut dan Muka Laut Rata-Rata
Di Perairan Sekitar Kota Bitung, Sulawesi
Utara. FPIK. Universitas Sam Ratulangi
Roem, Muhamad., dkk. (2016). Studi Parameter
Oseanografi Fisik Perairan Pulau
Derawan. FPIK. Universitas Borneo
Tarakan. Jurnal Harpodon Borneo Vol.9.
No.2.
31
ANALISIS TRANSFORMASI GELOMBANG
MENGGUNAKAN MODUL CMS WAVE
DI PERAIRAN PULAU KARAJAAN KABUPATEN KOTABARU
WAVE TRANSFORMATION ANALYSIS USING CMS WAVE MODUL
IN THE WATERS OF KARAJAAN ISLAND, KOTABARU REGENCY
1
Bondan Wahyu Kuncoro 1Baharuddin 1Ira Puspita Dewi
) Program S1 Studi Ilmu Kelautan Fakultas Perikanan dan Kelautan
1)
e-mail: bondanwk@gmail.com
ABSTRAK
Pulau Karajaan atau Pulau Kerayaan merupakan bagian dari gugusan pulau yang terletak di sisi tenggara
Pulau Laut Kabupaten Kotabaru. Kondisi ini menjadikan gelombang dapat terbentuk dari semua arah.
Gelombang yang merambat menuju tepi pantai akan mengalami proses transformasi. Bentuk pantai di
Pulau Karajaan berupa tanjung dan teluk mengakibatkan perbedaan posisi dan transformasi di tiap sisi
pulau. Berdasarkan hal tersebut, penelitian ini dilakukan untuk memodelkan transformasi gelombang
menggunakan modul CMS Wave di Perairan Pulau Karajaan. Hasil analisis menunjukan bahwa gelombang
dari selatan, tenggara dan barat daya mengalami proses transformasi yang cukup beragam. Proses
konvergensi terjadi pada pantai dengan tipe tanjung seperti Tanjung Batu Laso dan divergensi pada pantai
dengan tipe teluk seperti Teluk Soreang dan Teluk Bodi. Tinggi gelombang di wilayah Tanjung Batu laso
yang tegak lurus dengan arah datang gelombang dari selatan berkisar antara 1 – 2 m, sedangkan gelombang
yang mengalami divergensi pada daerah Teluk Bodi dan Soreang memiliki ketinggian <1 m. Hal ini
dikarenakan pengaruh kontur kedalaman yang menjadikan tinggi gelombang di berbagai wilayah menjadi
berbeda.
ABSTRACT
Karajaan (Kerayaan) Island is part of a cluster of islands located on the southeast side of Pulau Laut,
Kotabaru Regency. This condition allows waves to form from all directions. The waves that propagate
towards the shore will undergo a transformation process. The shape of the coast on Karajaan Island is in the
form of headlands and bays resulting in different positions and transformations on each side of the island.
Based on this, this research was conducted to model wave transformations using the CMS Wave module in
Karajaan Island waters. The results of the analysis show that the waves from the south, southeast and
southwest underwent quite a variety of transformation processes. The convergence process occurs on the
coast with headland types such as Tanjung Batu Laso and divergence on beaches with bay types such as
Teluk Soreang and Teluk Bodi. The wave height in the Tanjung Batu laso area which is perpendicular to
the direction of arrival of the waves from the south ranges from 1 - 2 m, while the waves that experience
divergence in the Teluk Bodi and Soreang areas have a height of <1 m. This is due to the influence of the
depth contour which makes the wave heights in various regions different.
32
1. PENDAHULUAN
Gelombang laut merupakan proses naik
turunnya air laut akibat pengaruh transfer 2. METODE PENELITIAN
energi oleh angin ke permukaan air. Terdapat
tiga faktor yang menentukan karakteristik Penelitian ini dilaksanakan pada bulan
gelombang yang dibangkitkan oleh angin yaitu April 2019 – Januari 2020 meliputi studi
lamanya angin bertiup (durasi angin), literatur, persiapan, pengambilan dan analisis
kecepatan angin, dan jarak yang ditempuh oleh data, serta penyusunan laporan akhir.
angin dari daerah pembangkit gelombang Penelitian dilaksanakan di perairan Pulau
(fetch). Karajaan, Kabupaten Kotabaru, Provinsi
Gelombang yang merambat menuju tepi Kalimantan Selatan sebagaimana disajikan
pantai akan mengalami beberapa proses pada peta (Gambar 1). Data-data yang
perubahan ketinggian gelombang sebagai dikumpulkan meliputi pasang surut, batimetri,
akibat dari proses pendangkalan (wave dan angin.
shoaling), refraksi, difraksi atau proses refleksi
sebelum akhirnya gelombang tersebut pecah
(wave breaking). Perubahan transformasi
gelombang akan berbeda di setiap wilayah
tergantung kedalaman, bentuk pantai
(tanjung / teluk), pulau, maupun bangunan
pantai.
Pulau Karajaan atau Pulau Kerayaan
termasuk dalam gugusan pulau yang terdapat
di sisi tenggara Pulau Laut Kabupaten
Kotabaru yang dikelilingi oleh pulau-pulau
kecil seperti Pulau Kerumputan dan Kerasian Gambar 1. Peta Lokasi Penelitian
di bagian utara dan Pulau Tepian Mataja di
bagian barat. Selain itu, Pulau Karajaan diapit Alat yang digunakan pada penelitian ini
oleh dua selat yaitu Selat Tepian Mataja di adalah, tiang skala, kapal, GPS Mapsounder
bagian barat dan Selat Makassar di bagian 585, dan batu duga. Bahan yang digunakan
timur. Kondisi ini mengakibatkan perbedaan yaitu data angin 10 tahun dan data kedalaman
kondisi topografi dasar perairan di tiap sisi dari peta laut lembar 122.
pulau dan karakteristik penjalaran gelombang Pengamatan pasang surut (pasut)
di wilayah perairan Pulau Karajaan termasuk dilakukan menggunakan tiang skala dengan
dampak abrasi di wilayah tersebut. waktu tolok GMT (Greenwich Mean Time)
Kondisi geografis Pulau Karajaan +08:00. Pengukuran pasang surut dilakukan
tersebut menyebabkan gelombang dapat untuk mendapatkan chart datum yang
bangkit dari semua arah. Bentuk pantai di digunakan sebagai koreksi kedalaman.
Pulau Karajaan berupa tanjung dan teluk, Penelitian ini menggunakan referensi HAT
selain itu juga memiliki gosong terumbu yang untuk koreksi kedalaman. Nilai HAT
cukup luas. Kondisi ini menyebabkan posisi diperoleh dari analisis Admiralty.
dan transformasi gelombang akan berbeda di Pengukuran kedalaman yang dilakukan
setiap sisi pulau. yaitu dengan menggunakan GPS Map Sounder
Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan yang dipasang pada kapal. Setelah peralatan
untuk memodelkan transformasi gelombang siap kapal berjalan sesuai jalur yang telah
menggunakan modul CMS-Wave di perairan ditentukan dan secara otomatis GPS Map
Pulau Karajaan dengan melihat faktor Sounder merekam kedalaman yang di lalui
pengaruh tipe pantai agar dapat memberikan kapal tersebut. Data kedalaman di perairan
informasi kepada masyarakat maupun instansi yang lebih dalam diperoleh dari peta laut
berwenang. Pushidrosal Lembar 122 (2015).
Kedalaman yang diperoleh di lapangan
diplotkan ke dalam peta digital berdasarkan
posisi GPS untuk membuat peta kontur
kedalaman. Kedalaman yang diplotkan
33
terlebih dahulu dikoreksi terhadap HAT
(Highest Astronomical Tide) sebagai titik
referensi dengan menggunakan persamaan
berikut (Baharuddin dan Amri, 2016):
Kedalaman HAT
Δd = dt – (ht – HAT) 3. HASIL DAN PEMBAHASAN
dimana:
Δd = Kedalaman suatu titik pada dasar Berdasarkan bentuk pantai di perairan
perairan; Pulau Karajaan, maka model transformasi
dt = Kedalaman suatu titik pada dasar laut gelombang disesuaikan dengan kondisi
pada pukul t; tersebut dimana pada pantai bagian selatan,
ht = Ketinggian permukaan air pasut pada tipe pantai lebih beragam. Hasil model
pukul t; menggunakan modul CMS Wave lalu
HAT= Highest Astronomical Tide ditampilkan menjadi gambar yang menyajikan
Analisis parameter gelombang laut arah dan tinggi gelombang.
dalam menggunakan metode SMB (Sverdrup Tipe pantai selatan terdiri dari tanjung
Munk Bretschneider) (CHL 2006). Metode ini dan teluk yakni Tanjung Batu Laso dan Teluk
dikenalkan oleh Sverdrup dan Munk (1947) Soreang. Hasil model CMS Wave menunjukan
dan dilanjutkan oleh Bretschneider (1958), proses transformasi gelombang seperti refraksi
yang dibangun berdasarkan pertumbuhan dan shoaling. Pola transformasi gelombang
energi gelombang. Kecepatan angin yang dari arah selatan, barat daya, dan tenggara
digunakan adalah kecepatan angin maksimum menunjukan adanya peristiwa konvergensi
harian yang dapat membangkitkan gelombang, (penguncupan) dan divergensi (penyebaran).
yakni kecepatan 10 knot dari semua arah. Bentuk pantai di wilayah selatan Pulau
Data angin diperoleh dari situs Karajaan yang beragam menjadikan proses
transformasi di wilayah ini beragam.
www.ecmwf.int.
Parameter gelombang perairan dalam
dari metode SMB adalah:
Tinggi gelombang:
1
2 gX
2
gHmo
4,13 10 2
U *2 U*
Periode gelombang:
1
gTp gX 3
0, 651 2
u* u*
gHmo Gambar 2. Pola Transformasi Gelombang dari
2
2,115 10 2 dan
U* Arah Barat Daya (H = 2 m; T = 6)
gTp
2,398 102
u*
;untuk gelombang yang berkembang secara
penuh (full)
Untuk menghasilkan model gelombang,
maka diperlukan data masukan berupa data
kedalaman yang telah dikoreksi berdasarkan
referensi HAT.
34
Gambar 3. Pola Transformasi Gelombang dari
Arah Selatan (H = 2 m; T = 6)
Tabel 1. Perbandingan tinggi gelombang pada
tipe pantai yang berbeda
Tinggi
Kedalaman Gelombang (m)
Lokasi
(m)
S TG BD
Tanjung 1,6 1,7
-3,75 1,94
Batu Laso 2 4
Teluk 0,7 0,6
-1,07 0,76
Soreang 8 9
Teluk 0,0 0,0
-0,15 0,09
Bodi 9 9
Sumber: Hasil Analisis (2019)
Gambar 4. Pola Transformasi Gelombang dari
Arah Tenggara (H = 2 m; T = 6) Berdasarkan hasil analisis, diperoleh
hasil bahwa tinggi gelombang di daerah
Gelombang dari arah selatan mengalami Tanjung Batu Laso yang berhadapan langsung
transformasi ketika gelombang mendekati dengan gelombang dari arah selatan, barat
wilayah Tanjung Batu Laso. Gelombang yang daya, dan tenggara berkisar antara 1,62 – 1,94
semula bergerak dari arah selatan menuju m pada kedalaman 3,75 m. Berbeda dengan
utara berbelok dan menyesuaikan dengan wilayah teluk seperti Teluk Bodi dan Soreang
orientasi pantai di wilayah selatan Pulau yang memiliki kedalaman lebih dangkal yakni
Karajaan. Pada pantai dengan tipe tanjung, 0,15 m dan 1,07 m, tinggi gelombang hanya
gelombang masih dapat menjangkau garis <1 m. Oleh karena itu, gelombang pada
pantai sedangkan pada pantai dengan tipe wilayah teluk cenderung lebih tenang
teluk, gelombang cenderung sudah pecah dibanding wilayah tanjung. Menurut
sebelum mendekati pantai. Triatmodjo (2008), daerah dengan kedalaman
air lebih besar dari setengah panjang
gelombang maka gelombangnya menjalar
tanpa dipengaruhi oleh dasar laut. Pada daerah
transisi dan dangkal, penjalaran gelombang
dipengaruhi oleh kedalaman perairan.
4. KESIMPULAN
Hasil analisis menunjukan bahwa
gelombang dari selatan, barat daya, dan
tenggara mengalami proses transformasi yang
cukup beragam. Proses konvergensi terjadi
pada pantai dengan tipe tanjung seperti
Gambar 5. Konvergensi dan Divergensi di Tanjung Batu Laso dan divergensi pada pantai
Pantai Bagian Selatan Pulau Karajaan dengan tipe teluk seperti Teluk Soreang dan
Teluk Bodi.
Hal ini sesuai dengan teori dari Tinggi gelombang di wilayah Tanjung
Triatmodjo (2008) dimana pergerakan Batu laso dari selatan, barat daya, dan tenggara
gelombang yang mendekati pantai akan berkisar antara 1,5 – 2 m, sedangkan
mengalami pembiasan dan akan memusat jika gelombang yang mengalami divergensi pada
mendekati semenanjung dan akan mengalami daerah Teluk Bodi dan Soreang memiliki
penyebaran jika mendekati cekungan. Hal ini ketinggian <1 m. Hal ini dikarenakan
karena keadaan gelombang sangat dipengaruhi pengaruh kontur kedalaman yang menjadikan
oleh keadaan topografi dari dasar laut, tinggi gelombang di berbagai wilayah menjadi
kelengkungan garis pantai dan tonjolan dasar berbeda.
laut.
35
Army Coastal Engineering Research
Center.
DAFTAR PUSTAKA
Baharuddin, Pariwono, dan Nurjaya, (2009). [CHL] Coastal Hydraulic Laboratory, (2002).
Pola Transformasi Gelombang dengan Coastal Engineering Manual, Part I VI.
Menggunakan Model RCPWave pada Washington DC: Department of the
Pantai Bau-Bau Provinsi Sulawesi Army. U.S. Army Corp of Engineers.
Tenggara. E-Jurnal Ilmu dan Teknlogi
Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi
Kelautan Tropis, Vol 1, No. 2, Hal 60 –
Kalimantan Selatan, (2015). Laporan
71.
Perencanaan Pengembangan Pulau-Pulau
Baharuddin, Amri, U., (2016). Bahan Ajar Kecil Berbasis Gugus Pulau Kabupaten
Pemetaan Sumberdaya Hayati Laut. Kotabaru. Provinsi Kalimantan Selatan.
Universitas Lambung Mangkurat.
Svedrup HU, MW Johnson, dan RH. Fleming
Banjarbaru.
(1942). The Oceans, Their Physics,
[CERC] Coastal Engineering Research Center, Chemestry and General Biology. New
(1984). Shore Protection Manual Volume Jersey: Prentice Hall. Inc.
I, Fourth Edition. Washington: U.S.
Triatmodjo B., (2008). Teknik Pantai. Beta
Offset. Yogyakarta.
36
KONDISI OSEANOGRAFI DAN HASIL TANGKAPAN RAJUNGAN
DENGAN BUBU DI PERAIRAN KARANGANTU KOTA SERANG
PROVINSI BANTEN
(The Oceanographic Condition and Catch of Swimming Crab by Trap in Karangantu
Waters Serang City, Province Banten)
E-mail: alexander.khan@unpad.ac.id
ABSTRACT
Karangantu waters is one of the areas of catch and distribution area of crabs located in Serang City, Banten
Province. The amount of crab catch by trap can be influence by type of baits and also by the environmental
factors that is oceanography factors which includes temperature, salinity and depth. This research is held at
The Archipelagic Fishing Port of Karangantu on January to April 2017. The purpose of this research was to
analyze the effect of oceanographic factors on the catch of crabs with traps. This research used experimental
fishing method using a collapsible trap with size of length x width x depth: 47 cm x 30 cm x 18 cm. The
parameters observed in this study were the type of catch, the number and weight of the crab catch and
oceanographic parameters including temperature, salinity, depth and tidal analyzed by descriptive analysis. 26
crabs were caught during the fishing operation with 16 of males and 10 of females. The results showed that the
temperature had an effect on the number of catch and salinity had an effect on the sex of the crab catch, while
the depth and tidal did not have effect to the crab catch.
37
1. PENDAHULUAN 2. METODE PENELITIAN
Keong Murex 2
Tabel 2. Jumlah dan Bobot Rajungan yang Tertangkap Selama Penelitian.
Trip Jumlah Bobot (gr)
1 6 710
2 5 660
3 0 0
4 6 800
5 4 520
6 5 650
Total 26 3340
Berdasarkan penelitian yang telah banyaknya jumlah rajungan yang ditangkap dan
dilakukan, hasil tangkapan tertinggi didapatkan tingkah laku rajungan saat mencari makan.
pada trip pertama dan trip keempat yaitu Sunarto et al. (2010) menyatakan bahwa bobot
sebanyak 6 ekor dan hasil tangkapan terendah rajungan berkaitan dengan tingkah laku makan
yaitu pada trip ketiga dimana tidak didapatkan dan panjang karapsnya, semakin panjang
hasil tangkapan sama sekali dengan rata-rata karapas rajungan maka semakin berat bobot
hasil tangkapan sebanyak 4 ekor dalam setiap tubuhnya.
trip. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor
yaitu pemilihan daerah penangkapan rajungan 3.4 Faktor Oseanografi Terhadap Hasil
dan kondisi lingkungan dimana pada trip Tangkapan Rajungan
pertama dan ketiga cuaca pada saat Pengukuran parameter oseanografi
penangkapan cukup cerah dan arus laut yang selama penelitian dilakukan pada saat sebelum
tidak terlalu kencang sedangkan pada trip melakukan setting bubu. Parameter yang diukur
ketiga cuaca sedang tidak mendukung karena meliputi parameter fisika perairan yaitu suhu,
adanya hujan yang berlangsung cukup lama salinitas kedalaman perairan dan pasang surut.
sehingga menyebabkan gelombang air tinggi Pengukuran suhu dilakukan dengan
dan suhu perairan menjadi rendah sehingga menggunakan termometer, pengukuran salinitas
tidak adanya rajungan yang tertangkap. dengan menggunakan reftraktometer,
Menurut Sunarto (2012) suhu merupakan faktor pengukuran kedalaman menggunakan batu
penting dalam distribusi, aktifitas dan duga dan pasang surut berdasarkan prediksi.
pergerakan rajungan. Pada stasiun 1 dan 2 lokasi penangkapan
Sedangkan untuk bobot hasil tangkapan, berada di perairan sekitar Pulau Lima,
bobot total hasil tangkapan tertinggi sebesar sedangkan pada stasiun 3 sampai stasiun 6
800 gram yaitu pada trip keempat dan bobot berada di perairan sekitar Pulau Empat. Berikut
total hasil tangkapan rajungan terendah adalah ini adalah hasil pengukuran parameter
550 gram yaitu pada trip keenam dengan rata- oseanografi di perairan Karangantu selama
rata bobot hasil tangkapan rajungan sebesar 540 penelitian:
gram dalam setiap trip. Hal ini dipengaruhi oleh
3.4.1 Suhu
Berdasarkan hasil pengukuran selama yang layak untuk kehidupan organisme
penelitian, suhu di perairan Karangantu terutama rajungan. Juwana (1998) menyatakan
berkisar antara 28-30°C. Suhu tertinggi berada bahwa suhu optimum untuk megalopa rajungan
pada stasiun 1 yaitu 30°C dan suhu terendah adalah 28-34oC. Hasil ini juga didapat dalam
berada pada stasiun 2 dan 3 yaitu penelitian yang dilakukan Simanjorang et al.
sebesar 28°C (Gambar 1). Kisaran suhu (2018).
tersebut masih berada pada batas kisaran suhu
Gambar 1. Peta Suhu Lokasi Penangkapan
Suhu merupakan salah satu faktor rajungan akan banyak menghabiskan waktu
penting dalam distribusi, aktifitas dan mengubur diri didalam pasir untuk menjaga
pergerakan rajungan (Sunarto 2012). Hal ini suhu tubuh agar tetap stabil.
terlihat pada saat trip ketiga tidak
didapatkannya hasil tangkapan, ini disebabkan 3.4.2 Salinitas
karena pada saat itu cuaca tidak mendukung Salinitas perairan selama penelitian pada
karena hujan yang berlangsung lama yang setiap stasiun tidak terlalu berbeda jauh dimana
menyebabkan suhu perairan menjadi dingin dan salinitasnya berkisar antara 30-31 ppt (Gambar
gelombang tinggi. Hal ini mengakibatkan 2). Pada stasiun 1, 2 dan 5 salinitas perairannya
rajungan tidak mau beraktifitas untuk mencari sebesar 30 ppt dan pada stasiun 3, 4 dan 6
makan. Menurut Kangas (2000) pada saat salinitas perairannya sebesar 31 ppt. Menurut
musim penghujan saat suhu perairan turun, Putri (2012) salinitas di perairan Teluk Banten
rajungan akan berada pada kondisi tidak aktif, berkisar 30,9- 32,3 ppt.
Berdasarkan penelitian yang telah tanggal 16-21 Maret 2017. Berdasarkan gambar
dilakukan, faktor kedalaman perairan tidak dibawah (Gambar 4), dapat terlihat pasang
memberikan pengaruh yang signifikan terhadap surut lokasi penangkapan memiliki tipe mixed
hasil tangkapan rajungan. Dalam setiap lokasi tide prevailing semidiurnal, terlihat dengan
penangkapan, umumnya hasil tangkapan adanya dua kali pasang dan surut yang terjadi
rajungan yang didapat tidak terlalu jauh dalam satu hari dengan tinggi dan waktu yang
berbeda. Hal ini disebabkan karena lokasi berbeda. Pasang surut diperairan Teluk Banten
penangkapan masih dalam daerah yang yang merupakan bagian dari laut jawa memiliki
berdekatan dan kedalaman perairannya pun tipe pasang surut campuran cenderung diurnal
tidak terlalu jauh berbeda. (mixed tide prevailing semidiurnal) (Irawan
2015). Pasang tertinggi selama penelitian
3.4.4 Pasang Surut terjadi pada tanggal 19 Maret 2017 pukul 00.00
Data pasang surut lokasi penangkapan WIB dan surut terendah terjadi pada tanggal 16
diperoleh dari Tidal Models Driver (TMD) Maret 2017 pukul 16.00 WIB.
yang dilakukan selama 6 hari yaitu pada
Gambar 4. Grafik Pasang Surut Lokasi Penangkapan
Afdal, dan Riyono, S.H. (2007). Kualitas Purbani, D., Sukresno, B., Mustikasari, E.,
Perairan Teluk Banten Pada Musim Kusumah, G., Solihuddin, T. 2010.
Timur Ditinjau Dari Konsentrasi Optimalisasi Data Fisik Perairan untuk
Klorofil-a Dan Indeks Autotropik. Jurnal Kajian Kelimpahan dan Jenis Ikan di
Oseanologi dan Limnologi di Indonesia, Teluk Banten. Laporan Akhir. Pusat
(33): 339-354. Riset Wilayah Laut dan Sumberdaya
Nonhayati-BRKP. Jakarta. 122 hlm.
Genisa A.S. (2003). Sebaran dan Struktur
Komunitas Ikan di Sekitar Estuaria Putri, A. N. (2012). Sebaran Spasial Logam
Digul, Irian Jaya. Jurnal Ilmu Kelautan Berat Pb Di Perairan Teluk Banten.
dan Perikanan, 13 (1): 1-9. Skripsi. Program Studi Ilmu dan
Teknologi Kelautan. Fakultas Perikanan
Irawan, H. (2015). Studi Pengaruh Siklus dan Ilmu Kelutan. Institut Pertanian
Bulan Terhadap Hasil Tangkapan Bogor, Bogor.
Rajungan (Portunus pelagicus) di
Perairan Teluk Banten Serang. Tesis. Simanjorang, J.E., Pranowo, W. S., Sari, L. P.,
Universitas Terbuka, Jakarta. 162 hlm. Purba, N. P., & Syamsuddin, M. L.
(2018). Building up the database of the
Juwana, S. (1998). Pengamatan Salinitas, Suhu Level-2 Java Sea Ecoregion based on
Dan Diet Untuk Pemeliharaan Burayak physical oceanographic parameters.
Rajungan (Portunus pelagicus). In IOP Conf. Series: Earth and
Prosiding. Seminar Bioteknologi Environmental Science, 176, p.
Kelautan Indonesia I. Jakarta. 257- 272. 012009).
Sunarto. (2012). Karakteristik Bioekologi
Kangas, M. I. (2000). Synopsis of Biology and Rajungan (Portunus pelagicus) di
Exploitation of The Blue Swimming Perairan Laut Kabupaten Brebes.
Crab, Portunus pelagicus Linnaeus, in Disertasi. Sekolah Pascasarjana Institut
Western Australia. Fisheries Research Pertanian Bogor, Bogor. 175 hlm.
Report No. 121.
http://www.fish.wa.gov.au. Sunarto, Soedharma, D., Riani, E., dan
Martasuganda, S. (2010). Performa
Kementerian Kelautan dan Perikanan. (2015).
Pertumbuhan dan Reproduksi Rajungan
Analisis Data Pokok Kelautan Dan
(Portunus pelagicus) di Perairan Pantai
Perikanan 2015. Jakarta: Pusat Data
Kabupaten Brebes. Omni-Akuatika, (9):
Statistik dan Informasi. 170 hlm.
75-82.
Kementerian Kelautan dan Perikanan. (2016).
Peraturan Menteri Kelautan dan Yusfiandayani, R., dan Sobari, M.P. (2011).
Perikanan Republik Indonesia Nomor Aspek Bioteknik dalam Pemanfaatan
56/Permen-Kp/2016 Tentang Larangan Sumberdaya Rajungan di Perairan Teluk
Penangkapan dan/atau Pengeluaran Banten. Jurnal Teknologi Perikanan dan
Lobster (Panulirus Spp.), Kepiting Kelautan, 1 (2): 71-80.
(Scylla Spp.) dan Rajungan (Portunus
Spp.) dari Wilayah Negara Republik
Indonesia. Jakarta: KKP.
APLIKASI DATA LANDSAT UNTUK DETEKSI PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN DI
WILAYAH PESISIR KABUPATEN BREBES
ABSTRACT
The coastal area of Brebes Regency has ecologically and economically role for the surrounding
community. The present study aims to determine land changes and factors that affect land changes
on the coast of Brebes Regency, Central Java. This study employs Landsat 5 TM, Landsat 7
ETM+, and Landsat 8 OLI imagery data from 1989 to 2019 (30 years). Imagery data were
processed and classified into seven land use classes, i.e. settlements, paddy fields, non-mangrove
vegetation, mangroves, ponds, and deltas using supervised classification with maximum likelihood
method. The result shows that the coastal area of Brebes Regency has experienced a land increase
for settlements, non-mangrove vegetation, ponds, and deltas of about 1,674 ha (50.42%), 2,339 ha
(263.34%), 910 ha (10.36%), and 133 ha (7.93%), respectively. The land that has experienced a
reduction is rice field and mangrove by 3,929 ha (37.25%) dan 386 ha (46.65%). The factors
causing the change are thought to be topographic conditions that prone to abrasion and accretion,
high population growth, and land accessibility that caused a land transformation.
Pada penelitian ini tidak dilakukan Gambar 3. Peta klasifikasi lahan pesisir
pengecekan lapangan karena adanya Kabupaten Brebes tahun 1989.
pandemi Covid-19. Berikut adalah diagram
alir penelitian ini: Pada tahun 1989 sawah dan tambak
mendominasi daerah pesisir Kabupaten
Brebes. Mangrove hanya ditemukan di
wilayah pesisir bagian timur. Vegetasi
bukan mangrove dapat ditemukan di
wilayah pesisir bagian barat dan di area
dekat permukiman. Lahan permukiman
terdeteksi cukup banyak dan permukiman
padat terdeteksi berada di sebelah timur.
Delta terlihat di wilayah pesisir bagian
timur (Sungai Pemali) dan barat (Sungai
Cisanggarung).
luas sebesar 595 ha. Badan Pusat Statistik mengalami penambahan delta tiap
Kabupaten Brebes (2016) menyatakan tahunnya adalah muara Sungai Pemali yang
bahwa Kecamatan Brebes memiliki lahan berada di Kecamatan Brebes dan muara
tambak terluas sebesar 2.900 ha dan Sungai Cisanggarung yang terletak di
Kecamatan Tanjung memiliki luas lahan perbatasan Jawa Tengah dengan Jawa
tambak terkecil sebesar 1.823 ha. Barat. Delta yang terdapat di muara Sungai
Berdasarkan data BPS Kabupaten Brebes Pemali menyebabkan munculnya gosong
tahun 2019, jumlah rumah tangga yang pasir yang dapat digunakan sebagai media
memiliki usaha tambak tertinggi di tumbuh bagi mangrove. Terbukti di daerah
Kabupaten Brebes adalah Kecamatan tersebut lahan mangrove selalu mengalami
Brebes, yaitu sebesar 1.094. Sedangkan penambahan luas tiap tahunnya. Delta di
yang paling rendah ada di Kecamatan muara Sungai Cisanggarung juga
Wanasari mengalami penambahan yang cukup
dengan jumlah 390. signifikan tiap tahunnya.
Tambak merupakan salah satu
media yang dapat digunakan untuk 4. KESIMPULAN
budidaya perikanan. Beberapa contoh
komoditas yang dapat dibudidayakan di Penelitian ini menunjukkan bahwa
lahan tambak adalah ikan bandeng, udang, citra Landsat secara akurat merekam
dan garam. Komoditas budidaya tambak perubahan penggunaan lahan pesisir di
yang ada di Kabupaten Brebes pada Kabupaten Brebes. Dalam kurun waktu 30
umumnya adalah bandeng dan udang tahun terakhir (1989-2019), wilayah pesisir
(Suhaimi et al., 2013). Tahun 1990 usaha Kabupaten Brebes mengalami perubahan
tambak bandeng dan udang merupakan penggunaan lahan yang fluktuatif. Selama
primadona bagi masyarakat pesisir periode 1989-2019, lahan permukiman,
Kabupaten Brebes (Suhaimi et al., 2013). vegetasi bukan mangrove, tambak dan delta
Berdasarkan data dari Kementerian mengalami penambahan luas sebesar 1.674
Kelautan dan Perikanan (2018), Kabupaten ha (50,42%), 2.339 ha (263,34%), 910 ha
Brebes memproduksi 81.189,49ton dari (10,36%), dan 133 ha (7,93%). Sedangkan
hasil budidaya pada tahun 2017. lahan yang mengalami pengurangan luas
Kabupaten Brebes memiliki adalah sawah dan mangrove sebesar 3.929
karakteristik geomorfologi pantai alluvial ha (37,25%) dan 386 ha (46,65%).
akibat aktivitas sungai besar dan kecil yang
bermuara di pantai (Suyono et al., 2015).
Wilayah pantai Kabupaten Brebes terbagi UCAPAN TERIMAKASIH
menjadi tiga sedimen sel. Sedimen sel I
adalah Pantai Randusanga hingga Tanjung Penelitian ini didanai oleh
(Delta Pemali). Transpor sedimen pada Kementerian Riset dan Teknologi/Badan
jalur ini bergerak dari barat ke timur. Riset dan Inovasi Nasional (No. Kontrak:
Sedimen sel II adalah Tanjung Brebes 1519/UN1/DITLIT/DIT-LIT/PT/2020).
hingga Teluk Bangsri dengan transpor
sedimen dari arah timur ke barat. Sedimen DAFTAR PUSTAKA
sel III adalah Teluk Bangsri hingga
Tanjung Losari (Delta Cisanggarung) Annisa, A.Y.N., Pribadi, R., & I. Pratikto.
dengan transpor sedimen dari arah barat ke (2019). Analisis Perubahan Luasan
timur (Gemilang et al., 2017). Pada periode Hutan
1989-1994 delta di daerah penelitian Mangrove di Kecamatan Brebes dan
mengalami penambahan luas sebesar 628 Wanasari, Kabupaten Brebes
ha. Pada periode 1994-1999 luas delta Menggunakan
tampak berkurang sebesar 139 ha dan Citra Satelit Landsat Tahun 2008,
untuk periode 1999-2014 luas delta 2013, dan 2018. Journal of Marine
kembali mengalami penambahan luas Research, 8(1), 27-35.
sebesar 1.055 ha. Luas delta terlihat As-Syakur, A.R. (2011). Perubahan
berkurang sebesar 1.412 ha pada periode Penggunaan Lahan di Provinsi Bali.
2014-2019. Daerah yang terdeteksi
55