Download as pdf or txt
Download as pdf or txt
You are on page 1of 64

Materi-Materi Pilihan dalam Parenting Education

menurut Munif Chatib |1


Sigit Purnama

Materi-Materi Pilihan dalam Parenting Education


menurut Munif Chatib
Sigit Purnama
Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta
E-mail: sigit.uinsuka@gmail.com

Golden Age Jurnal Ilmiah Tumbuh Kembang Anak Usia Dini, Vol. 1 No. 1 April 2016
Diterina: 15 Januari 2016 Direvisi: 30 Januari 2016 Disetujui: 3 Februari 20167
e-ISSN: 2502-3519 DOI :

Abastract

This article aims to describe Munif Chatib thinking about materials in parenting education.
This type of research is literature that emphasizes the significance of processed philosophically
and theoretically used to examine the primary and secondary data sources. The process of data
collection is done by reading the symbolic and semantic level, recording the data card, and
coding. The data were analyzed descriptively through data reduction, data classification, data
display. The analytical method used is Verstehen (understanding). The results showed that:
(1) Chatib thoughts about parenting education materials based on the perspective of children
and parents. He saw that the child is born it brings nature of goodness, and the development is
influenced by genes and environment. Being a parent it is a precious grace of God and a golden
opportunity for a good charity. Therefore, do not be afraid to get married and have children.
Such views inspired and by integrating various fields of science, namely religion (al-Qur'an-
Hadith and sirrah), developmental psychology, child psychology, and recent findings about the
brain, nerves, and intelligence. (2) parenting education materials include: changing the
paradigm of a child, the child's ability to explore, discover the talent of children, choosing the
right school, and became a teacher for children.

KeyWord : Material, Parenting Education, Munif Chatib

Abstrak
Artikel ini bertujuan untuk memaparkan pemikiran Munif Chatib tentang materi-materi
dalam parenting education. Jenis penelitian kepustakaan yang menekankan olahan
kebermaknaan secara filosofis dan teoritis digunakan untuk meneliti sumber data primer
dan skunder. Proses pengumpulan data dilakukan melalui pembacaan pada tingkat
simbolik dan semantik, pencatatan pada kartu data, dan pemberian kode. Analisis data
dilakukan secara deskriptif melalui reduksi data, klasifikasi data, display data. Metode
analisis yang digunakan adalah verstehen (pemahaman). Hasil penelitian menunjukkan
bahwa: (1) pemikiran-pemikiran Chatib tentang materi-materi parenting education

GOLDEN AGE
Jurnal Ilmiah Tumbuh Kembang Anak Usia Dini
Volume. 1 No. 1. Maret 2016
e-ISSN: 2502-3519
Materi-Materi Pilihan dalam Parenting Education
2| menurut Munif Chatib
Sigit Purnama

didasarkan pada perspektifnya tentang anak dan orang tua. Ia memandang bahwa anak
yang dilahirkan itu membawa fitrah kebaikan, dan dalam perkembangannya dipengaruhi
oleh gen dan lingkungan. Menjadi orang tua itu merupakan anugrah mulia dari Allah dan
kesempatan emas untuk beramal baik. Oleh karena itu, tidak boleh takut menikah dan
memiliki anak. Pandangan-pandangan tersebut terinspirasi dan dengan memadukan
berbagai bidang ilmu, yaitu agama (al-Qur’an-Hadits dan sirrah), psikologi perkembangan,
psikologi anak, dan temuan-temuan terkini tentang otak, saraf, dan kecerdasan. (2) Materi
parenting education mencakup: merubah paradigma tentang anak, menjelajahi
kemampuan anak, menemukan bakat anak, memilih sekolah yang tepat, dan menjadi guru
bagi anak.

Kata kunci: materi, parenting education, munif chatib

This article aims to describe Munif Chatib thinking about materials in parenting education.
This type of research is literature that emphasizes the significance of processed philosophically
and theoretically used to examine the primary and secondary data sources. The process of data
collection is done by reading the symbolic and semantic level, recording the data card, and
coding. The data were analyzed descriptively through data reduction, data classification, data
display. The analytical method used is Verstehen (understanding). The results showed that:
(1) Chatib thoughts about parenting education materials based on the perspective of children
and parents. He saw that the child is born it brings nature of goodness, and the development is
influenced by genes and environment. Being a parent it is a precious grace of God and a golden
opportunity for a good charity. Therefore, do not be afraid to get married and have children.
Such views inspired and by integrating various fields of science, namely religion (al-Qur'an-
Hadith and sirrah), developmental psychology, child psychology, and recent findings about the
brain, nerves, and intelligence. (2) parenting education materials include: changing the
paradigm of a child, the child's ability to explore, discover the talent of children, choosing the
right school, and became a teacher for children.

Pendahuluan

Seorang anak adalah amanah yang diberikan Allah kepada orangtua. Oleh karena itu, anak
haruslah dirawat, diasuh, dilindungi, dibimbing, dan dididik sebaik mungkin. Dalam konsep
Islam, saat anak dilahirkan dalam keadaan lemah dan suci/fitrah, sedangkan alam sekitarnya
akan memberi corak warna terhadap nilai hidup atas pendidikan agama anak didik (Zuhairini,
dkk.: 2012). Kondisi lemah dan suci itulah yang mengharuskan anak memperoleh
pendidikan agar nantinya menjadi manusia yang sempurna.
Pendidikan merupakan tanggung jawab bersama antara keluarga, masyarakat dan
pemerintah. Keluarga merupakan tempat pendidikan pertama dan utama bagi anak. Keluarga
yang biasanya terdiri dari seorang ayah, ibu, dan para anggota muda (anak-anak) memiliki
fungsi dalam pendidikan, yaitu mendidik, membimbing, dan membina anggota keluarga
untuk memenuhi peranannya sebagai orang dewasa dan makhluk bermasyarakat. Di dalam
keluarga anak belajar sejak dalam kandungan hingga perjalanan usia anak memasuki rumah
tangga sendiri. Oleh karena itu, keluarga memiliki peran yang sangat mendasar dalam

GOLDEN AGE
Jurnal Ilmiah Tumbuh Kembang Anak Usia Dini
Volume. 1 No. 1. Maret 2016
e-ISSN: 2502-3519
Materi-Materi Pilihan dalam Parenting Education
menurut Munif Chatib |3
Sigit Purnama

mengoptimalkan semua potensi anak. Peran keluarga tidak dapat tergantikan sekalipun anak
telah dididik di lembaga pendidikan formal maupun nonformal (Direktorat Pembinaan Anak
Usia Dini: 2012).
Sikap dan pengasuhan orangtua, baik secara langsung maupun tidak langsung, akan
mempengaruhi kemampuan pengendalian emosi anak. Pola asuh yang baik dalam keluarga
ternyata bisa membuat seorang anak mempunyai kemampuan intelektual dan fisik yang
bagus, termasuk perkembangan emosi dan sosialnya. Pola asuh yang baik itu ditunjukkan
dengan orangtua yang sangat mencintai, penuh perhatian, dan sangat responsif terhadap
anak-anaknya (Megawangi: 2007).
Ayah turut memberikan kontribusi penting bagi perkembangan anak. Pengalaman yang
dialami bersama dengan ayah, akan mempengaruhi seorang anak hingga dewasa nantinya.
Farid Hidayati, dkk. (2011) menggambarkan proses parenting yang melibatkan peran ayah
(fathering). Tanggung jawab kebersamaan ayah dan ibu dalam menjalankan peran pengasuhan
cukup tinggi, karena 86% responden menyatakan bahwa pengasuhan anak adalah tugas
bersama. Temuan mengenai rata-rata waktu yang digunakan ayah dalam berinteraksi dengan
anak adalah 6 jam. Secara kuantitas dapat dikatakan bahwa waktu ayah bersama anak cukup
memadai untuk melakukan aktifitas bersama dengan anak. Salah satu peran penting ayah di
keluarga adalah economic provider, sehingga di hari libur kerja beberapa masih melakukan
aktifitas untuk mencari nafkah dengan kerja sampingan.
Kenyataannya, seringkali fungsi-fungsi keluarga tidak bisa lagi dipenuhi oleh para anggota
keluarga. Tidak semua orangtua mampu berperan sebagai guru emosi yang baik. Ada
orangtua yang berbakat menjadi guru emosi yang baik dan ada orangtua yang tidak berbakat
menjadi guru emosi yang baik. Dalam konteks demikian inilah perlunya materi-materi
pengembangan emosi anak dalam parenting education agar orang tua dapat berperan menjadi
guru emosi yang baik (Gottman dan DeClaire: 2013). Kurangnya pemahaman akan fungsi
keluarga ditengarai menjadi sebab fungsi-fungsi tersebut harus dilaksanakan oleh pihak atau
lembaga lain yang dipercaya oleh anggota keluarga sebagai pelaksana dari fungsi tersebut.
Keterlibatan lembaga pendidikan di luar keluarga memiliki dampak tersendiri dalam
proses tumbuh kembang anggota muda keluarga. Selain itu, keselarasan pendidikan yang
dilaksanakan di lembaga PAUD dan di rumah diakui oleh para ahli pendidikan sebagai salah
satu faktor penentu keberhasilan pendidikan anak secara menyeluruh (Direktorat Pembinaan
Anak Usia Dini: 2012). Hanya saja, kegiatan pembelajaran yang dijalankan oleh lembaga
pendidikan seringkali tidak sejalan dengan apa yang telah diterima oleh anak di lingkungan
rumah. Orang tua juga kadang tidak bisa sepenuhnya terlibat secara aktif dalam kegiatan
pembelajaran yang diikuti oleh anak di luar rumah.
Dalam beberapa tahun terakhir, keselarasan pendidikan yang dilaksanakan di lembaga
PAUD dan di keluarga telah menjadi perhatian bersama, yakni dengan adanya program
PAUD berbasis keluarga (parenting education). Hanya saja informasi-informasi yang berkaitan
dengan program tersebut terbilang sedikit, seperti bagaimana pelaksanaannya, materi-materi
pendidikan yang diberikan, model pendidikan yang digunakan, bentuk keterlibatan keluarga
terhadap pendidikan anaknya di PAUD, upaya-upaya untuk meningkatkan keterlibatan.
Sebagai contoh, sampai saat ini belum ada materi parenting standar yang diberikan kepada
orang tua. Sebagian PAUD, menyerahkan kepada orang tua untuk menentukan materi apa

GOLDEN AGE
Jurnal Ilmiah Tumbuh Kembang Anak Usia Dini
Volume. 1 No. 1. Maret 2016
e-ISSN: 2502-3519
Materi-Materi Pilihan dalam Parenting Education
4| menurut Munif Chatib
Sigit Purnama

yang akan dikaji pada kegiatan parenting. Dengan demikian, diperlukan kajian khusus yang
mengaji mater-materi parenting education.
Salah satu pemikir dan penggerak pendidikan anak di rumah dan sekolah adalah Munif
Chatib. Melalui trilogi bukunya yang berjudul Sekolahnya Manusia (2009), Gurunya Manusia
(2011), dan Orangtuanya Manusia (2012), Chatib menyadarkan akan pentingnya paradigma
baru dalam pendidikan, anak baik di rumah maupun di sekolah. Melalui cara berfikir bahwa
setiap anak itu cerdas, setiap anak berpotensi, setiap anak adalah bintang, dan tidak ada
‘produk’ yang gagal, Ia menyadarkan para orang tua untuk dapat memberikan stimulus dan
lingkungan yang tepat sesuai bakat dan minat anak.
Dalam bukunya berjudul Orangtuanya Manusia (2012), Chatib memaparkan pikiran-
pikiran genius tentang materi-materi apa yang dibutuhkan orang tua untuk menjadi orang tua
ideal. Misalnya bagaimana memberikan stimulus yang tepat untuk melejitkan kecerdasan
anak, bagaimana membangkitkan rasa percaya diri anak, mengidentifikasi bakat dan minat
anak, dan sebagainya. Materi-materi tersebut penting untuk dianalisis sehingga diharapkan
dapat menjadi materi-materi standar dalam parenting education.

Metode

Berdasarkan objek material kajian ini, yaitu pemikiran seseorang yang terdapat dalam
sebuah karya tulis, maka metode yang relevan digunakan adalah metode penelitian teks yang
lebih menekankan olahan kebermaknaan secara filosofis dan teoritis.. Metode ini tidak
menekankan pada kuantum atau jumlah, melainkan lebih menekankan pada segi kualitas
secara alamiah karena menyangkut pengertian, konsep, nilai, serta ciri-ciri yang melekat pada
objek penelitian lainnya. Menurut Kaelan (2011), metode ini relevan dalam studi humaniora,
baik studi teks maupun studi humaniora lainnya.
Sumber data primer penelitian ini adalah buku karya Munif Chatib berjudul Orangtuanya
Manusia (2012), Pedoman Penyelenggaraan PAUD Berbasis Keluarga yang diterbitkan oleh
Direktorat Pembinaan PAUD Kemdiknas (2012). Sedangkan sumber data sekunder adalah
buku karya Munif Chatib berjudul Sekolahnya Manusia (2009), Gurunya Manusia (2011), dan
web dan blog Munif Chatib dengan alamat www.munifchatib.com dan
www.munifchatib.wordpress.com. Sumber-sumber tersebut diperoleh dengan cara membeli
di toko buku, meminjam/membaca di perpustakan, dan melacak di internet.
Tahapan pengumpulan data dilakukan melalui pembacaan pada tingkat simbolik dan
semantik, pencatatan pada kartu data, dan pemberian kode. Proses analisis data dilakukan
secara deskriptif, melalui tahapan reduksi data, klasifikasi data, dan display data. Untuk
menentukan saling hubungan antara kategori satu dengan kategori lainnya digunakan metode
analisis data verstehen (pemahaman), yaitu memahami objek penelitian melalui insight,
einfuehlung serta empati dalam menangkap dan memahami pemikiran Chatib tentang materi-
materi parenting education.

GOLDEN AGE
Jurnal Ilmiah Tumbuh Kembang Anak Usia Dini
Volume. 1 No. 1. Maret 2016
e-ISSN: 2502-3519
Materi-Materi Pilihan dalam Parenting Education
menurut Munif Chatib |5
Sigit Purnama

Hasil Penelitian
Pemikiran tentang Anak
Butir-butir pemikiran Chatib tentang materi-materi parenting education dapat ditelusuri dari
bagaimana ia memberikan pandangan tentang sosok anak. Menurut Chatib, setiap anak yang
dilahirkan itu pada hakekatnya cenderung pada kebaikan. Dalam bukunya berjudul
Orangtuanya Manusia ia menulis:
“Pertanyaan terbesar: mengapa anak kita tiba-tiba berperangai merusak dan memusuhi
orangtua, guru, atau temannya? Sepertinya, dia sudah bukan manusia lagi. Lalu,
bagaimana sikap kita sebagai orangtua ketika menghadapi perilaku anak yang sangat
negatif itu? Untuk mengatasinya, menurut saya orangtua harus kembali pada pola pikir
yang benar bahwa setiap anak punya fitrah ilahiah. Fitrah ini layaknya fondasi dalam
sebuah bangunan, yaitu berupa ruh yang cenderung mengenal tuhannya. Dengan
fitrahnya itu sesungguhnya punya kecenderungan pada agama:…”(Chatib: 2013)
Nampak sekali pandangan Chatib tentang anak tersebut sangat dipengaruhi dan berpijak
pada keyakinan agamanya. Untuk mendukung pendapatnya tersebut, ia mengutip dua ayat al-

َ َ ۡ َ ۡ ََ
Qur’an, yaitu QS Ar-Rum [30]:30 dan Al-A’raf [7]: 172:
َ َٰ َ ‫ه‬ َۡ َ َۡ َ ََۡ َ َ ‫َ ٗ ۡ َ َ ه ه َ َ َ ه‬ ‫د‬
ِ
‫ِين حن ِيفا ۚ ف ِطرت ٱَّلل ِ ٱل ِِت فطر ٱنلاس عليها ۚ َل تبدِيل ِلل ِق ٱَّللِۚ ذل ِك‬ِ ‫فأق ِم وجهك ل ِل‬
َ َ َ َ َ
ۡ ‫د ُ ۡ َ د ُ َ َ َٰ ه‬
٣٠ ‫اس َل َي ۡعل ُمون‬ َ ‫ك‬
ِ ‫َث ٱنله‬ ‫كن أ‬ِ ‫ٱلِين ٱلقيِم ول‬
Artinya: “Maka hadapkanlah wajahmu dengan Lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas)
fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. tidak ada peubahan pada

ُ ‫ۡ ُ د ه َ ُ ۡ َ َ ۡ َ َ ُ ۡ َ َ ٰٓ َ ُ ۡ َ َ ۡ ُ د‬ َ ُّ َ َ َ َ ۡ
fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.”
ُ َ َ ٓ َ‫ك ِم ۢن ب‬
ۡۖ‫ت ب ِ َربِك ۡم‬ ِ ‫ِن َءادم مِن ظ ُهورِهِم ذرِيتهم وأشهدهم لَع أنف‬
‫س ِهم ألس‬ ِ ‫ِإَوذ أخذ رب‬
ۡ ْ َ
َ ‫َل َشه ۡدنَا ٓۚ أن َت ُقولُوا يَ ۡو َم ٱلق َيَٰ َمةِ إنها ُك هنا َع ۡن َه َٰ َذا َغَٰفل‬ ََ ْ ُ َ
١٧٢ ‫ِني‬ ِ ِ ِ ِ َٰ ‫قالوا ب‬
Artinya: “Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi
mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): "Bukankah
aku ini Tuhanmu?" mereka menjawab: "Betul (Engkau Tuban kami), Kami menjadi saksi".
(kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: "Sesungguhnya
Kami (Bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)".
Dalam menjelaskan faktor-faktor yang menjadi penyebab mengapa anak berperangai
buruk, Chatib mengutip pendapat ahli pendidikan anak, Ibrahim Amini, yaitu: melupakan
Tuhan, bangga, riya, dan sombong, tidak bersyukur dan mudah putus asa, kikir dan berkeluh
kesah, melampau batas, tergesa-gesa, dan suka membantah. Ia juga menawarkan solusi ketika
para orang tua mendapati anak-anak berperilaku buruk dan menyimpang, yaitu dengan
mengaktifkan paradigma fitrah, berdoa kepada Tuhan, dan meneliti faktor dominan yang
menyebabkan anak berperangai buruk.
Selain memandang bahwa anak itu dilahirkan dengan membawa fitrah, Chatib juga
berpandangan bahwa anak itu mengalami perkembangan di antara genetika dan lingkungan.
Faktor genetis merupakan transfer alamiah karakteristik orang tua kepada anak melalui sel-sel
genetis (sel-sel kromosom) orang tua yang diturunkan kepada anak. Ia berpendapat bahwa
pertumbuhan anak itu ditentukan oleh pertumbuhan gen dan pertumbuhan gen anak itu

GOLDEN AGE
Jurnal Ilmiah Tumbuh Kembang Anak Usia Dini
Volume. 1 No. 1. Maret 2016
e-ISSN: 2502-3519
Materi-Materi Pilihan dalam Parenting Education
6| menurut Munif Chatib
Sigit Purnama

dipengaruhi faktor lingkungan. Ia menyebutkan faktor lingkungan yang mempengaruhi


pertumbuhan gen antara lain: nutrisi dan kebersihan lingkungan.
Dari uraian tersebut, dapat dipahami bahwa pemikiran Chatib dipengaruhi oleh
pemahamannya mengenai dalil-dalil kitab suci dan pemikiran-pemikiran terbaru mengenai
psikologi perkembangan anak dan temuan-temuan terbaru tentang perkembangan otak.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa Chatib telah memadukan ilmu-ilmu agama yang
bersumber pada teks dan ilmu-ilmu umum (psikologi dan studi tentang otak).
Pemikiran Chatib tersebut relevan dengan kebutuhan anak. Menurut Bronfenbrenner
dan Morris (Brooks: 2011), anak memiliki kebutuhan psikologis dasar untuk: (1) Sebuah
hubungan berkelanjutan dengan paling sedikit satu orang dewasa yang amat sangat
mencintainya dan berkomitmen seumur hidup untuk memberikan perhatian; (2) satu orang
dewasa sekunder yang ikut terikat secara emosional dan memberikan perhatian serta
dukungan emosional dan dorongan bagi orang dewasa (pengasuh) lainnya; dan (3) interaksi
yang stabil dan konsisten dengan pengasuh dan objek-objek di lingkungan yang membuat
anak dapat mengembangkan perilaku yang lebih kompleks dan mendapatkan pengetahuan
yang lebih besar tentang dunia.
Menurut Chatib, orang tua harus mengetahui dan mempelajari karakter anak. Caranya
adalah dengan memberikan waktu yang cukup untuk berinteraksi dan bercengkerama dengan
anak. Mendasarkan pada apa yang dilakukan Rasulullah SAW, Chatib menyatakan beberapa
alasan mengapa orang tua seharusnya suka bercengkerama dengan anak-anak, yaitu: (1) anak
kecil suka menangis, (2) anak kecil suka main tanah, (3) anak kecil tidak punya rasa dendam,
(4) anak kecil tidak pernah menyimpan sesuatu untuk esok hari, dan (5) anak kecil cepat
membuat dan cepat merusak.
Dengan memperbanyak waktu bercengkerama dengan anak-anak, Chatib mengidentifikasi
empat keuntungan yang akan diperoleh oleh orang tua, yaitu: (1) mengetahui bakat
terpendam dalam diri anak, (2) kepercayaan anak terhadap orang tua akan tumbuh subur, (3)
kesiapan anak dalam menghadapi masa ketaatan, dan (4) ketenangan psikologis anak selama
masa berikutnya.

Pemikiran tentang Orang Tua

Chatib berpandangan bahwa saat ini ada sebagian orang yang takut menjadi orang tua dan
sebagai lagi orang tua yang tidak dapat berperan sebagai orang tua yang baik. Pandangannya
ini didasarkan pada pengalaman dan pengamatannya ketika banyak mendapati teman-
temannya memutuskan untuk tidak akan menikah dan memiliki anak, serta masalah
kecukupan materi. Ada juga pasangan suami-istri yang takut memiliki anak karena tidak siap
mendidik anak dari segi mental dan psikologi.
Pada sisi lain, ia berpendapat bahwa dengan menikah, memiliki anak, dan menjadi orang
tua itu merupakan anugrah yang besar. Ajaran Islam itu memberikan kedudukan kepada

ۡ‫َِب أ َ َح ُد ُه َما ٓ أَو‬ ۡ َ ُ ‫َ َ َ َ ُّ َ َ ه َ ۡ ُ ُ ٓ ْ ه ٓ ه‬


orang tua dengan sangat mulia dan istimewa. Ia mengutip QS Al-Isra’ [17]: 23,
َ َ ‫ِند َك ٱلۡك‬
َ ‫س ًنا ۚ إ هما َي ۡبلُ َغ هن ع‬
َٰ َ ۡ ۡ َ َٰ َ
‫َض ربك أَل تعبدوا إَِل إِياه وبِٱلو ِلي ِن إِح‬ َٰ ‫۞وق‬
ِ
٢٣ ‫يما‬ ٗ ‫لِك ُه َما فَ ََل َت ُقل ل ه ُه َما ٓ أُ دف َو ََل َت ۡن َه ۡر ُه َما َوقُل ل ه ُه َما قَ ۡو َٗل َكر‬
َ
ِ
ِ ّٖ

GOLDEN AGE
Jurnal Ilmiah Tumbuh Kembang Anak Usia Dini
Volume. 1 No. 1. Maret 2016
e-ISSN: 2502-3519
Materi-Materi Pilihan dalam Parenting Education
menurut Munif Chatib |7
Sigit Purnama

Artinya: “Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan
hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. jika salah seorang di
antara keduanya atau Kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, Maka
sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya Perkataan "ah" dan janganlah kamu
membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka Perkataan yang mulia.”
Chatib (2012) menawarkan kiat-kiat praktis bagaimana merawat perkawinan dan ketika
orang tua menjadi “hamba” sang “Raja” kecil (anak). Kiat-kiat praktis merawat perkawinan,
antara lain: (1) Cinta dan kasih sayang itu adalah memberi bukan menuntut, (2) Quality time,
yaitu dengan melakukan aktivitas yang melibatkan seluruh anggota keluarga, (3) Bersabar
terhadap kekurangan pasangan, (4) Tidak membandingkan pasangan dengan orang lain, (5)
Memusatkan perhatian pada kebaikan pasangan, seraya menerima kekurangannya, (6)
Menghormati dan menghargai pasangan, (7) Hindarkan sejauh mungkin “bermain-main”
dengan orang lain, (8) Saling menasehati, (9) Keep an open mind, (10) Menahan marah,
memaafkan, dan mengucapkan terimakasih, (11) Menjaga kebugaran dan penampilan setiap
saat, dan (12) Kesibukan pasangan suami-istri bekerja.
Adapun kiat-kiat bagi orang tua ketika menghadapi anak-anak sebagai “raja kecil”, antara
lain: (1) Memberikan kebebasan yang bertanggungjawab, (2) Memberi batas antara rasa ingin
tahu anak dan kebiasaan, (3) Memperhatikan anak dengan santun, kelembutan, dan kasih
sayang, (4) Memberikan jawaban positif atas semua pertanyaan mereka dengan menggunakan
beberapa cara, yakni: metode analogi, metode sebab-akibat, metode jawaban global, (5) Tidak
perlu memberikan peraturan dan kedisiplinan yang kaku dan keras, dan (6) Menemani anak
dengan kuantitas pertemuan yang lebih banyak.

Materi-Materi Parenting Education

Berdasarkan pandangannya tentang anak dan orang tua, Chatib menawarkan materi-
materi yang relevan dalam parenting education, yaitu: merubah paradigma tentang anak,
menjelajahi kemampuan anak, menemukan bakat anak, memilih sekolah yang tepat, dan
menjadi guru bagi anak.
Merubah Paradigma Tentang Anak
Materi pertama yang semestinya diberikan kepada para orang tua peserta didik dalam
parenting education adalah bagaimana merubah paradigma orang tua tentang anak. Ada tiga
paradigma yang seharusnya dianut oleh orang tua terhadap anak, yaitu anak kita adalah
bintang, kemampuan anak kita seluas samudera, dan anak kita punya harta karun.
Chatib (2012) menulis, “Saya percaya … setiap anak yang dilahirkan dari Rahim ibunya,
bagaimanapun kondisinya, dia adalah masterpiece karya agung Tuhannya. Sebab Allah Swt. tidak pernah
membuat produk-produk gagal. Hanya kesabaran orangtualah yang diuji.”
Pola pikir orang tua yang harus diubah pertama kali adalah bagaimana memandang sosok
anak itu. Paradigma yang benar adalah bagaimanapun kondisi anak, mereka adalah bintang
dan juara. Menurut Chatib, Orang tua sering tak sadar bahwa mereka sendirilah yang
memberikan lapisan-lapisan penghalang sehingga menganggap anak bukan bintang. Misalnya,
ketika mendapati anaknya “tulalit” (proses berfikirnya lambat) banyak orang tua memberi cap
sebagai anak yang bodoh dan mana mungkin bisa menjadi bintang. Ketika melihat anak-
anaknya suka berantem ketika di sekolah maupun di rumah, kemudian para orang tua
memberinya stempel anak nakal.

GOLDEN AGE
Jurnal Ilmiah Tumbuh Kembang Anak Usia Dini
Volume. 1 No. 1. Maret 2016
e-ISSN: 2502-3519
Materi-Materi Pilihan dalam Parenting Education
8| menurut Munif Chatib
Sigit Purnama

Pandangan-pandangan tersebutlah yang menjadi penghalang bagi anak untuk menjadi


bintang dan juara. Semestinya kondisi anak itu harus dihargai sesuai dengan kemampuannya.
Inilah paradigma pertama yang mestinya dikenalkan kepada para orang tua peserta didik
dalam kegiatan parenting education.
Chatib (2012) menulis, “Ketika kemampuan seorang anak dimaknai dengan sudut pandang yang
luas, maka setiap anak akan menemukan eksistensinya.”
Sudut pandang yang kedua adalah meyakini anak kita itu memiliki kemampuan seluas
samudera. Paradigma ini relevan ketika banyak orang tua, bahkan guru sekolah mereduksi
atau menyempitkan kemampuan anak. Banyak orang tua dan guru yang masih berpandangan
bahwa anak atau siswa yang pintar itu kalau nilainya 10. Pola pikir seperti inilah yang salah
menurut Chatib dan yang menyebabkan kemampuan anak tidak bisa dimaksimalkan.
Anak memiliki nilai ujian 9 atau 10 adalah hasil dari sebagian kemampuan anak. Masih ada
jenis-jenis kemampuan anak. Dengan mengutip pendapatnya Nasution, Chatib menyatakan
bahwa kemampuan anak itu setidaknya ada tiga aspek, yaitu aspek kemampuan afektif, aspek
kemampuan psikomotorik, dan aspek kemampuan kognitif. Afektif adalah aspek kemampuan
anak yang berkaitan dengan nilai dan sikap. Psikomotrik adalah aspek kemampuan anak yang
berkaitan dengan kemampuan gerak fissik yang memengaruhi sikap mental. Sendangkan
kognitif adalah aspek kemampuan yang berkaitan dengan kegiatan berfikir.
Dari uraian di atas, paradigma kedua yang semestinya dikenalkan kepada para orang tua
peserta didik dalam parenting education adalah bahwa kemampuan anak itu tidak tunggal, tetapi
majemuk, dimana setiap anak memiliki kecenderungan yang berbeda, tergantung bagaimana
para orang tua mengasahnya.
Chatib (2012) menulis: “Yakinlah … setiap anak punya harta karun dalam dirinya, seperti pesan
yang dititipkan Allah kepadanya. Tugas orang tua hanya membantu menemukannya. Lalu kondisi terbaik
anak kita akan menerangi dunia.”
Paradigma ketiga yang penting untuk dimiliki orang tua adalah bahwa anak itu memiliki
kecerdasan majemuk. Paradigma ini didasarkan pada temuan-temuan Howard Gardner.
Bahwa anak kita itu memiliki kecerdasan dari 9 kecerdasan majemuk. Apabila orang tua dan
lingkungannya selalu memberikan stimulus yang tepat, setiap kecerdasannya berpotensi
memunculkan kemampuan-kemampuan yang dahsyat. Kesembilan kecerdasan tersebut
adalah kecerdasan linguistik, kecerdasan matematis-logis, kecerdasan visual-spasial,
kecerdasan musical, kecerdasan kinestetis, kecerdasan interpersonal, kecerdasan
intrapersonal, kecerdasan naturalis dan kecerdasan eksistensial.
Setelah memahami paradigma ini para orang tua hendaknya mencari kecenderungan
kecerdasan anaknya, kemudian meningkatkan kecerdasan itu secara maksimal. Hal ini
didasarkan pada pendapat Gardner yang dikutip Chatib, bahwa anak-anak memiliki variasi
potensi kecerdasan yang berbeda-beda. Ada yang hanya memiliki satu kecerdasan yang
dominan, sedangkan yang lainnya rendah. Ada yang memiliki dua, tiga, atau bahkann semua
kecerdasannya dominan. Oleh karena itu, tidak ada manusia bodoh, terutama jika stimulus
yang diberikan lingkungan tepat (Chatib: 2012).
Menjelajahi Kemampuan Anak
Setelah memiliki paradigma yang benar tentang sosok anak, tugas orang tua adalah
menjelajahi kemampuan anak. Ini menjadi materi penting dalam parenting education, yaitu
bagaimana mengetahui kemampuan anak itu. banyak orang tua yang kurang mampu

GOLDEN AGE
Jurnal Ilmiah Tumbuh Kembang Anak Usia Dini
Volume. 1 No. 1. Maret 2016
e-ISSN: 2502-3519
Materi-Materi Pilihan dalam Parenting Education
menurut Munif Chatib |9
Sigit Purnama

menjelajahi kemampuan anak. Menurutnya hal itu karena para orang tua kebanyakan kurang
memiliki kepekaan dan pembiasaan yang baik. Oleh karena itu, menjelajahi kemampuan anak
dapat dilakukan melalui dua cara, yaitu kepekaan dan pembiasaan.
Kepekaan adalah daya pandang orang tua terhadap kemampuan anaknya. Yang perlu
ditekan di sini menurut Chatib adalah bahwa kemampuan anak itu tidak tunggal, melainkan
jamak. Pembiasaan adalah konsistensi dalam memandang kemampuan anak. Jika anak yang
keras kepala dipandang orang tua sebagai anak yang ulet, sampai kapan pemahaman itu akan
dimiliki orang tua? Jadi pembiasaan menurut Chatib adalah usaha mempertahankan
paradigma. Orang tua harus berusaha mempertahankan pandangan bahwa anak mereka
tekun dan ulet, misalnya, bukan keras kepala. Kebiasaan ini sampai berujung pada
pembentukan mindset bahwa sebenarnya “anakku memang ulet”.
Chatib (2012) juga menawarkan cara-cara praktis bagaimana menyelami kemampuan
anak, seperi kebiasaan memberikan apresiasi (penghargaan) bermakna, seperti memberikan
pujian yang tepat, memberikan hadiah, mendoakan kebaikan sang anak, dan kebiasaan
menulis kisah dan simbol sukses anak.
Menemukan Bakat Anak
Chatib (2012) mendefinisikan bakat adalah aktivitas yang disukai anak yang berasal dari
internal, dan lingkungan di luar diri anak yang membutuhkan aktivitas tersebut adalah minat.
Menurutnya bakat kerap terlepas dari pengaruh lingkungan, walaupun ada pula sedikit
pengaruhnya. Hal tersebut berbeda dengan minat yang bisa disamakan dengan kesenangan
dan sifatnya bisa berubah-ubah karena dapat dipengaruhi lingkungan. keduanya (bakat dan
minat) jika diarahkan dan dikembangkan dengan baik akan membuat anak memiliki
kemampuan dan keterampilan tertentu. Orangtualah yang salah satunya berperan dalam
mengarahkan dan mengembangkan bakat dan minat anak. Oleh karena itu, orangtua harus
dapat mengidentifikasi bakat dan minat anak, disamping jangan sampai membelenggu dan
menutup.
Chatib (2012) mengidentifikasi beberapa hal yang dapat membelenggu dan menutup
bakat dan minat anak, yang semuanya seringkali dilakukan oleh para orang tua, yaitu: (1)
Melarang anak melakukan aktivitas yang disukainya, (2) Selalu menyebut anak dengan
sebutan negatif, (3) Tidak memberikan kebebasan kepada anak untuk berekspresi, (4)
Memberikan hukuman kepada anak dengan hukuman yang tidak mendidik, dan (5)
Memberikan tekanan kepada anak terhadap prestasi di sekolah.
Adapun ciri-ciri bakat anak, menurut Chatib dimulai dari kondisi anak, dimana ia
dilahirkan itu dengan potensi masing-masing. Potensi itu berkembang menjadi rasa suka.
Oleh karena itu, ciri-ciri bakat anak dapat diidentifikasi dari beberapa hal, yaitu: (1) Aktivitas
yang disukai, (2) Bakat biasanya memunculkan banyak momen spesial, (3) Merasa nyaman
mempelajari aktivitas yang disukai, (4) Bakat itu fast learner, (5) Bakat terus-menerus
memunculkan minat untuk memenuhi kebutuhan anak, (6) Bakat selalu mencari jalan keluar,
(7) Bakat menghasilkan karya, dan (8) Bakat menjadikan anak menyukai unjuk penampilan.
Memilih Sekolah yang tepat
Materi parenting berikutnya yang penting diberikan kepada orangtua adalah bagaimana
mencari dan memilihkan sekolah yang tepat bagi anak. Chatib (2009) memberikan gambaran
dua jenis sekolah, yaitu sekolahnya manusia dan sekolah robot. Sekolahnya manusia adalah
sekolah berbasis MI (multiple intelligence), yaitu sekolah yang menghargai berbagai jenis

GOLDEN AGE
Jurnal Ilmiah Tumbuh Kembang Anak Usia Dini
Volume. 1 No. 1. Maret 2016
e-ISSN: 2502-3519
Materi-Materi Pilihan dalam Parenting Education
10 | menurut Munif Chatib
Sigit Purnama

kecerdasan siswa. Sebaliknya sekolah robot baginya adalah sekolah yang menghasilkan sosok
anak menjadi robot, pandai, namun tak punya kepedulian; cerdas namun tak bermanfaat bagi
orang banyak; berpendidikan tinggi, namun tidak mempunyai rasa keadilan. Ia
mengidentifikasi perbedaan ciri-ciri sekolahnya manusia dan sekolah robot sebagai berikut.
Tabel 1. Perbedaan Sekolahnya Manusia dan Sekolah Robot
ASPEK SEKOLAHNYA MANUSIA SEKOLAHNYA ROBOT
Paradigma Setiap peserta didik adalah anak yang Masih beranggapan ada anak yang
berpotensi bodoh dan tidak punya potensi
apapun
Penerimaan Tes dan observasi siswa berfungsi Masih menggunakan tes seleksi yang
siswa baru sebagai database siswa ketat karena diharapkan
mendapatkan the best input: siswa
yang pandai dan tidak nakal
Target Mengharga tiga ranah kemampuan Masih didominasi oleh ranah kognitif
kurikulum manusia, yaitu kognitif, sebagai symbol kemampuan tertinggi
psikomotorik, dan afektif
Isi kurikulum Tidak padat oleh beban bidang studi, Padat oleh bidang studi dengan
tetapi bermuatan kreativita, problem standar isi sangat berat dan hanya
solving, character building, life skill, menekankan pada bidang studi
dan unit-unit aktivitas yang sesuai tertentu
dengan bakat siswa.
Proses belajar- Menyenangkan: tidak membuat siswa Menegangkan sehingga membuat
mengajar tegang dan stress siswa tertekan dan stress
Para guru Mendidik dan mengajar dengan hati Killer, ditakuti siswanya, tidak sabar,
dan kesabaran dalam menghadapi dan selalu menyalahkan siswa jika
siswa dengan beragam kecerdasan ada materi yang tidak dipahami
Peran guru Sebagai sang fasilitator, yaitu guru Sebagai sang penceramah, yaitu
selalu memberikan kesempatan siswa selalu mengajar dengan metode
untuk beraktivitas lebih banyak ceramah sehingga seluruh waktu
dalam kegiatan pembelajaran dihabiskan dengan bicara, tanpa
memberikan kesempatan kepada
siswa untuk aktif
Sikap guru Sebagai katalisator: selalu memantik Sebagai gladiator, pembunuh bakat
bakat dan minat siswa, tidak pernah dan minat siswa, serta sering
mengatakan bodoh dan nakal, serta mengelompokkan siswa dalam
mendorong siswa untuk meraih kelompok siswa pandai dan siswa
prestasi bodoh
Strategi Menggunakan multistrategi dan Hanya menggunakan strategi atau
mengajar guru memiliki kreativitas mengajar metode tunggal seumur hidup, yaitu
berceramah
Pelatihan guru Sekolah memiliki jadwal pelatihan Sekolah hanya memiliki sedikit sekali
yang cukup, berkualitas dan terbuka jadwal pelatihan guru
Soal-soal yang Soal-soal kognitif bermuatan Soal-soal kognitif saja sehingga
diberikan problem solving kemampuan afektif dan

GOLDEN AGE
Jurnal Ilmiah Tumbuh Kembang Anak Usia Dini
Volume. 1 No. 1. Maret 2016
e-ISSN: 2502-3519
Materi-Materi Pilihan dalam Parenting Education
menurut Munif Chatib | 11
Sigit Purnama

psikomotorik siswa tidak terlihat


Rapor Menggunakan penilaian autentik Menggunakan penilaian kognitif saja
yang memotret ranah kemampuan sehingga kemampuan afektif dan
psikomotorik, afektif, dan kognitif psikomotorik siswa tidak terlihat
Perkembangan Melihat perkembangan siswa dengan Melihat perkembangan siswa hanya
siswa konsep ipsatif yang mengukur dengan konsep peringkat (rangking),
perkembangan siswa dari diri siswa yaitu perkembangan siswa diukur
itu sendiri berdasarkan pencapaian melalui perbandingan dengan siswa
sebelumnya lain
Tujuan Mendapatkan pengetahuan dan Cenderung hanya untuk persiapan
keberadaan keterampilan agar bermanfaat dalam menghadapi ujian
sekolah kehidupan dunia dan akherat

Dalam biodata bukunya berjudul “Gurunya Manusia” (2011), Chatib merumuskan


sekolah unggul. Menurutnya sekolah unggul adalah sekolah yang memandang tidak ada siswa
bodoh dan semua siswanya merasakan taka da satu pun pelajaran yang sulit. Ia menulis:
“Betapa cantiknya sebuah proses belajar dalam sebuah kelas apabila guru memandang
semua siswanya pandai dan cerdas; dan para siswanya merasakan semua pelajaran yang
diajarkan mudah dan menarik. Kelas tersebut akan hidup. Keluar dari kelas tersebut,
semua siswa mendapatkan pengalaman pertama yang luar biasa dan tak akan pernah
lupa seumur hidup. Apabila kelas seperti itu terjadi pada jutaan kelas di sekolah-
sekolah di Indonesia, pasti Negara ini akan menjadi Negara maju yang diperhitungkan
oleh dunia.”
“Di setiap sekolah mana pun dengan kualitas apa pun, para siswanya adalah amanah
yang perlu dijaga. Dan orang yang paling bertanggungjawab adalah para guru. Sekolah
unggul adalah sekolah yang memiliki guru professional. Dan penyelenggara sekolah
yang professional adalah yang selalu memikirkan kesejahteraan para gurunya.”
Menjadi guru bagi anak
Dapat dikatakan bahwa dalam seharinya anak dekat dengan beberapa pihak, yaitu orang
tua, guru, dan lingkungan. Dari ketiganya nampaknya guru (sekolah) dan lingkungan adalah
yang paling dekat, baru kemudian orang tua. Ini menjadi masalah dalam kepengasuhan, anak-
anak lebih dekat dengan lingkungan, padahal di dalam lingkungan banyak sekali hal-hal
negatif yang dapat mempengaruhi anak. Semestinya orang tua dan gurulah seharusnya yang
lebih dekat dengan anak. Orang-orang yang dekatlah yang berjasa pada anak.
Berdasarkan pemikiran tersebut, Chatib menganggap penting bagaimana membuat orang
tua sebagai guru terbaik bagi anak. Orang tua harus menjadi guru bagi anak. Oleh karena itu,
bagaimana orang tua dapat menjadi guru terbaik harus dilatihkan. Orang tua semestinya
memahami bagaimana anak belajar. Ia mengelompokkan aktivitas belajar menjadi tiga, yaitu:
alasan mengapa anak belajar, proses bagaimana anak belajar, dan hasil dari proses belajar.
Anak belajar karena alasan kebutuhan otak dan tuntutan perkembangan fisiknya. Orang
tua harus memahami bahwa anak sebenarnya makhluk pembelajaran. Mengapa anak ingin
terus belajar adalah karena kebutuhan otak itu sendiri. Kebutuhan otak merupakan tuntutan
alami dan tidak bisa kita hentikan. Dengan demikian menurutnya, semestinya tidak ada anak
yang malas belajar. Jika ada anak yang malas atau enggan, bahkan tidak mau belajar,

GOLDEN AGE
Jurnal Ilmiah Tumbuh Kembang Anak Usia Dini
Volume. 1 No. 1. Maret 2016
e-ISSN: 2502-3519
Materi-Materi Pilihan dalam Parenting Education
12 | menurut Munif Chatib
Sigit Purnama

sebenarnya itu diakibatkan oleh proses belajar yang salah dan tidak sesuai dengan kondisi
anak. Chatib (2012) menulis, “Anak belajar dengan caranya masing-masing. Kenyamanan belajar
sangat menentukan hasil belajar yang maksimal.”
Anak berhasil dalam belajar jika prosesnya tepat. Menurut Chatib, proses belajar
merupakan kombinasi antara materi yang menarik dan cara materi itu disampaikan yang
sesuai dengan gaya belajar anak. Ia mendefinisikan materi yang menarik adalah materi yang
dapat menimbulkan minat anak untuk ingin mengetahui hal baru atau lebih dalam.
Sedangkan cara materi itu disampaikan merupakan strategi mengajar.
Untuk mengetahui hasil belajar anak, orang tua dapat melakukan konformasi, yaitu
kesempatan anak untuk mengecek ulang apakah dia sudah memahami materinya. Yang
penting diketahui bagi orang tua adalah bagaimana memaknai hasil belajar. Chatib
memberikan beberapa makna hasil belajar yang dapat digunakan untuk mengetahui hasil
belajar anak, yaitu: (1) Hasil belajar adalah perubahan perilaku dalam diri anak yang relevan
dengan materi belajar. Orang tua dapat mengetahui hasil belajar anak jika ia melihat
perubahan perilaku dalam diri anak. Chatib memberikan contoh, saat mempelajari tanaman,
anak menjadi sangat peduli pada tanaman di rumah, sehingga dia menyiraminya setiap hari.
(2) Hasil belajar adalah perubahan pola pikir anak, yaitu dari tidak tahu menjadi tahu atau dari
tidak bisa menjadi bisa. Untuk melihat hasil belajar anak, orang tua cukup memberikan
pertanyaan tentang materi yang dipelajari anak. Jika anak mampu menjawab tentang materi
yang telah dipelajari, baik lisan maupun tulisan, berarti ia telah berhasil dalam belajar. (3)
Hasil belajar adalah anak dapat membangun konsep baru. Hal ini berdasarkan pemikiran
bahwa anak sebenarnya telah memiliki informasi atau pengetahuan awal dalam otaknya.
Keberhasilan belajar anak tercapai jika dia mampu memunculkan konsep baru yang
berhubungan dengan pengetahuan awal tersebut. Jika orang tua menemukan salah satu saja
dari ketiga perubahan tersebut dalam diri anak, menurut Chatib harus dikatakan bahwa anak
telah berhasil dalam belajarnya.
Perlu juga para orang tua dikenalkan dengan gaya belajar. Gaya belajar sangat berkaitan
dengan proses belajar. Dalam bukunya, Chatib mengulas gaya belajar anak yang didasarkan
pada temuan-temuan Howard Gardner. Yang menarik adalah bagaimana Ia memberikan
cara-cara bagaimana orang tua dapat mengetahui gaya belajar anak. Menurutnya ada dua cara
yang dapat dilakukan orang tua, yaitu dengan mengamati kebiasaan yang disukai anak saat
belajar atau menggunakan alat riset psikologis.
Untuk menjadi guru bagi anak-anak, orang tua semestinya menjadi rumah sebagai sekolah
kedua. Di sekolah kedua ini tugas orang tua adalah mencari tahu sejauh mana pencapaian
belajar anak di sekolah. Di samping itu, orang tua bertugas membantu anaknya dalam belajar.
Chatib memberikan saran bagaimana cara orang tua menemani anaknya belajar di rumah,
yaitu: (1) Menyegarkan otak anak ketika pulang sekolah, dengan cara memberikan
kesempatan kepada anak untuk beristirahat, memberikan kesempatan kepada anak untuk
melakukan aktivitas yang disukainya, atau memijat-mijat kaki dan kepala anak. (2)
Membebaskan anak belajar dengan gaya belajarnya sendiri. (3) Materi belajar lebih hidup
dengan konsep AMBAK, yakni orang tua harus mengetahui manfaat materi belajar, sehingga
dengan menceritakannya kepada anak, minatnya untuk belajar akan dapat terus terpupuk. (4)
Melakukan konfirmasi yang menyenangkan untuk mengujinya, misalnya dengan pertanyaan

GOLDEN AGE
Jurnal Ilmiah Tumbuh Kembang Anak Usia Dini
Volume. 1 No. 1. Maret 2016
e-ISSN: 2502-3519
Materi-Materi Pilihan dalam Parenting Education
menurut Munif Chatib | 13
Sigit Purnama

lisan, kuis, atau meminta anak dengan santai menceritakan apa yang telah dipelajari pada
akhir waktu anak belajar.
Memberikan proteksi bagi anak
Tak dipungkiri bahwa perkembangan teknologi, informasi, dan komunikasi dewasa ini
telah memberikan dampak negatif bagi tumbuh kembang anak, selain sisi-sisi
kemanfaatannya. Sebagai contoh pengaruh negatif media internet. Oleh karenanya, orang tua
harus peduli, yaitu dengan memberikan pendidikan melek media.
Menurut Chatib, orang tua semestinya memahami pendidikan melek media, kalau tidak
nantinya anak-anaklah yang akan menjadi korban. Orang tua harus mengetahui bagaimana
dampak media bagi anak-anak. Dengan demikian dalam kesehariannya orang tua dapat
mengontrol anaknya ketika berinteraksi dengan media agar tidak berlebihan. Chatib juga
memberikan beberapa saran praktis bagi orang tua agar dapat melindungi anak dari dampak
negatif media, antara lain: (1) Memberikan pendidikan agama yang lebih dalam, (2)
Mengetahui terlebih dahulu isi media informasi untuk anak-anak, (3) Mendampingi anak
dalam menggunakan media informasi, (4) Membuat kesepakatan aturan menggunakan media
informasi, dan (5) Menggunakan media informasi menjadi sarana belajar dan membuat
proyek.

Pembahasan

Seperti yang telah dikemukakan pada uraian di atas, pemikiran-pemikiran Chatib tentang
anak dan orang tua menjadi dasar dan perspektif baginya dalam merumuskan materi-materi
parenting education. Pemikiran-pemikiran tersebut merupakan hasil perpaduan dari berbagai
bidang ilmu dan sebagaiannya adalah merupakan temuan-temuan baru, seperti saraf dan otak.
Chatib menyatakan bahwa seorang anak yang dilahirkan ke dunia ini dengan membawa fitrah
kebaikan. Meskipun demikian, ia menyatakan bahwa pertumbuhan anak juga sangat
ditentukan oleh faktor genetika dan lingkungan, dimana pertumbuhan gen itu dipengaruhi
oleh faktor lingkungan.
Nampak jelas bahwa pandangan-pandangan Chatib tentang anak sangat dipengaruhi
doktrin agama Islam. Hal ini terlihat dengan adanya beberapa kutipan ayat-ayat al-Qur’an dan
karya-karya penulis muslim, seperti Ibrahim Amini. Di samping itu, Ia juga memadukan
pandangan-pandangannya tentang anak dengan kajian-kajian dan temuan-temuan baru dalam
bidang neurosains, seperti saraf dan sel otak. Ia misalnya mengutip pendapatnya Julia Maria
Van Tiel, yang dikenal sebagai ahli saraf dalam menjelaskan penyebab disleksia. Ia juga
mengutip pendapatnya Dr. Ezra Susser seorang ahli nutria ibu hamil ketika menjelaskan
bagaimana gen itu bertumbuh kembang dan factor-faktor apa saja yang mempengaruhi.
Ketika menjelaskan perkembangan otak, Chatib juga mengutip pendapat-pendapat dari
seorang pakar neurosain Indonesia, Taufik Pasiak. Juga mengutip buku berjudul Stability and
Change in Human Characteristic karya Benjamin S. Bloom. Di samping itu, pandangan Chatib
tentang anak juga diinspirasi beberapa budaya masyarakat dunia. Misalnya ia menjelaskan
bagaimana ibu-ibu di Jepang memilih berhenti bekerja ketika hamil dan berkonsentrasi pada
janin yang dikandungnya. Juga bagaimana mereka begitu disiplin mengunjungi dokter
kandungan untuk mengetahui perkembangan janinnya. Chatib juga memberikan contoh

GOLDEN AGE
Jurnal Ilmiah Tumbuh Kembang Anak Usia Dini
Volume. 1 No. 1. Maret 2016
e-ISSN: 2502-3519
Materi-Materi Pilihan dalam Parenting Education
14 | menurut Munif Chatib
Sigit Purnama

bagaimana setiap bayi di Finlandia mendapatkan baby box. Ini menunjukkan betapa
pemerintah memiliki perhatian yang lebih terhadap generasi bangsanya.
Pemikiran-pemikiran Chatib tentang materi-materi parenting education juga dilandasi
oleh paradigmanya tentang sosok orang tua. Chatib berpendapat menjadi orang tua adalah
anugrah yang sangat mulia dari Allah Swt. dan kesempatan emas untuk berbuat baik
membentuk generasi. Oleh karena itu, Chatib menegaskan untuk jangan takut menikah dan
memiliki anak.
Paradigma Chatib tersebut nampak jelas dipengaruhi latar belakang keagamaan Chatib. Ia
juga mengutip ayat-ayat al-Qur’an ketika menyatakan bahwa menikah adalah anugrah mulia
dari Allah. Juga kutipan-kutipannya dari sirrah nabawiyah. Di samping itu, pandangan-
pandangannya juga bertolak dari kajian-kajian psikologi perkembangan dan psikologi anak,
seperti bagaimana memberikan latihan kedisiplinan pada anak-anak. Sebagaimana
pandanganya tentang anak, pandangan Chatib tentang orang tua merupakan hasil perpaduan
dari berbagai disiplin, ilmu agama (al-Qur’an dan tarikh) dan psikologi (psikologi
perkembangan dan psikologi anak).
Bertolak dari pandangannya tentang anak dan orang tua, dalam berbagai buku karyanya,
khususnya buku berjudul “Orangtuanya Manusia” banyak memberikan materi-materi yang
dapat diberikan kepada orang tua dalam pendidikan pengasuhan. Jelas pula bahwa materi-
materi tersebut juga didasarkan dengan mengintegrasikan berbagai bidang ilmu dan temuan-
temuan baru dalam ilmu saraf dan otak. Materi-materi parenting yang dikembangkan Chatib
juga syarat terinspirasi dari teori kecerdasan yang temukan Howard Gardner, yakni multiple
intelligences. Juga temuan-temuan Thomas Amstrong yang mengaplikasikan teori multiple
intelligences ke dalam kelas pembelajaran. Ada enam materi yang relevan digunakan dalam
pendidikan pengasuhan, yaitu: merubah paradigma tentang anak, menjelajahi kemampuan
anak, menemukan bakat anak, memilih sekolah yang tepat, menjadi guru bagi anak, dan
memberikan proteksi bagi anak.
Ditinjau dari ketercapaian tujuan pendidikan pengasuhan, keenam materi tersebut relevan
untuk mengantarkan pencapaian tujuan pendidikan. Hal ini karena tujuan pendidikan
pengasuhan agar orang tua atau orang dewasa nantinya dapat menyiapkan anak memiliki
kompetensi dan siap hidup di masyarakat. Selain itu, keenam materi tersebut jika ditinjau dari
teori pemrosesan informasi juga telah memenuhi kriteria suatu pesan/materi dapat diterima
dengan baik. Dari kriteria novelty, yaitu kemutakhiran materi, Nampak bahwa materi-materi
yang disusun Chatib memenuhi kriteria tersebut. Chatib mendasarkan pendapat-pendapatnya
dari berbagai temuan terbaru dalam berbagai bidang, seperti saraf, otak, dan kecerdasan.
Materi-materi tentang bagaimana orang tua meningkatkan minat dan bakat anak, menemukan
kecerdasan anak merupakan materi-materi yang bermakna bagi orang tua.
Ditinjau dari kriteria conflict, materi-materi parenting yang kembangkan Chatib dapat
dikemas sedemikian rupa sehingga mampu menggugah informasi orang tua. Hal ini tampak
misalnya ketika Chatib mengemas materi berupa tips-tips praktis yang mudah untuk
diterapkan oleh orang tua. Demikian dengan berbagai cerita atau kisah nyata sebagai contoh-
contoh riil yang diberikan Chatib. Hal tersebut menegaskan bahwa materi-materi Chatib
tidak hanya “omong kosong” akan tetapi terbukti di lapangan. Hal ini nampak ketika materi
bagaimana menemukan bakat anak.

GOLDEN AGE
Jurnal Ilmiah Tumbuh Kembang Anak Usia Dini
Volume. 1 No. 1. Maret 2016
e-ISSN: 2502-3519
Materi-Materi Pilihan dalam Parenting Education
menurut Munif Chatib | 15
Sigit Purnama

Ditinjau dari dari sisi proximity, materi-materi yang dikembangkan Chatib juga tidak
“melangit” atau jauh dari pengalaman orang tua. Materi-materi tersebut dekat dengan dunia
keseharian orang tua. Demikian halnya jika ditinjau dari sisi humor, materi-materi
pengasuhan yang disusun Chatib juga dapat dikemas secara ‘humoris’ sehingga tetap menarik
untuk dipahami orang tua.

Simpulan

Pemikiran Chatib tentang materi-materi parenting education dikembangkan dari cara


pandangnya terhadap anak dan orangtua. Anak semestinya dipandang sebagai individu yang
lahir dengan membawa fitrah. Sedangkan menjadi orangtua adalah sebuah anugrah yang
besar dari Allah untuk dapat membantu mengembangkan fitrah anak. Paradigma tersebut
merupakan hasil dari perpaduan bidang ilmu (agama, tarikh, psikologi, saraf, otak, kecerdasan
dan lain sebagainya).
Berpijak dari paradigma terhadap anak dan orang tua tersebut Chatib memberikan
materi-materi yang relevan yang dapat dikembangkan lebih lanjut dalam kegiatan parenting
education, antara lain: merubah paradigma tentang anak, menjelajahi kemampuan anak,
menemukan bakat anak, memilih sekolah yang tepat, dan menjadi guru bagi anak.
Materi-materi tersebut jika ditinjau dari teori pemrosesan informasi sudah memenuhi
kriteria, yaitu kriteria kemutakhiran materi, menggugah informasi orang tua, sesuai dengan
pengalaman orang tua, dan dapat dikemas secara humoris. Jika ditinjau dari ketercapaian
tujuan, keenam materi tersebut sudah cukup untuk mencapai tujuan pendidikan pengasuhan,
yaitu menyiapkan anak memiliki kompetensi dan mampu hidup di masyarakat dengan baik.
Materi-materi yang dirumuskan Chatib dapat dipertimbangkan untuk dikembangkan
lebih lanjut dan digunakan sebagai materi parenting education, utamanya bagi PAUD bagi
lembaga setingkatnya. Program Studi Pendidikan Guru Raudlatul Athfal (RA) perlu
memasukkan parenting education sebagai sebuah mata kuliah tambahan (pilihan) bagi
mahasiswa.

Daftar Pustaka

Direktorat Pembinaan Pendidikan Anak Usia Dini. 2012. Pedoman Penyelenggaraan Pendidikan
Anak Usia Dini Berbasis Keluarga. Jakarta: Dirjen PAUD, Nonformal, dan Informal.

Editorial Reviews dalam http://www.amazon.com/The-Heart-Parenting-Emotionally-


Intelligent /dp/product-
description/0684801302/ref=dp_proddesc_0?ie=UTF8&n=283155&s=books,
diakses 16 Mei 2013.

Hidayati, F., Kaloeti, D.V.S., dan Karyono. 2011. Peran Ayah dalam Pengasuhan Anak. Jurnal
Psikologi Undip, 9 (1).

GOLDEN AGE
Jurnal Ilmiah Tumbuh Kembang Anak Usia Dini
Volume. 1 No. 1. Maret 2016
e-ISSN: 2502-3519
Materi-Materi Pilihan dalam Parenting Education
16 | menurut Munif Chatib
Sigit Purnama

Brooks, J. 2011. The Process of Parenting. Terj. Rahmat Fajar. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Kaelan. 2012. Metode Penelitian Kualitatif Interdisipliner. Yogyakarta: Paradigma.

Lampiran Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 58 Tahun 2009 tentang Standar
Pendidikan Anak Usia Dini.

Chatib, M. 2012. Orangtuanya Manusia. Bandung: Kaifa.

--------. 2011. Gurunya Manusia. Bandung: Kaifa.

--------. 2009. Sekolahnya Manusia. Bandung: Kaifa.

Ratna Megawangi. 2007. Character Parenting Space: Menjadi Orangtua Cerdas untuk Membangun
Karakter Anak. Bandung: Read! Publishing House.

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional.

Zuhairini, dkk. 2012. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: Bina Aksara.

www.munifchatib.com

www.munifchatib.wordpress.com

GOLDEN AGE
Jurnal Ilmiah Tumbuh Kembang Anak Usia Dini
Volume. 1 No. 1. Maret 2016
e-ISSN: 2502-3519
Optimlisasi Kemampuan Interaksi Sosial Anak di PAUD
Inklusi Ahsanu Amala Yogyakarta | 17
Nadlifah

Optimlisasi Kemampuan Interaksi Sosial Anak di PAUD Inklusi Ahsanu Amala


Yogyakarta

Nadlifah
Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan
UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
E-mail: nadlifah78@yahoo.com

Golden Age Jurnal Ilmiah Tumbuh Kembang Anak Usia Dini, Vol. 1 No. 1 April 2016
Diterina: 14 Desember 2015 Direvisi: 21 desember 2015 Disetujui: 20 januari 2016
e-ISSN: 2502-3519 DOI :

Abstract

Education is a social process that can't happen without interaction between individuals Learning
is a personal and social proccess when the child is in touch with other children in building
understanding and knowledge together. Generally, Early Childhood have a low social
interactions skill. This is evidenced by the frequent fights with his friend and selfish. Similarly
in general, children who have mental disorders such as children with autism, Down syndrome,
the hearing impaired etc, has the low skill ability in social interaction and communication.
children who have maximum social interaction skills will be easier to be accepted in the school
environment, especially in a classroom environment. Therefore it the children of inclusion is still
an early age need to be assisted in improving the ability of social interactions at school, because
the period of early childhood is a period of development the right to develop, improve and optimize
all the capabilities of a child, even this period is an effective time to train and familiarize children
to develop social interaction skills of children.

Keyword : Optimization, social interaction, Early Childhood Educations Inklusi

Abstrak

Pendidikan merupakan suatu proses sosial yang tidak dapat terjadi tanpa interaksi antar
pribadi. Belajar merupakan proses pribadi dan juga proses sosial ketika anak berhubungan
dengan anak lainnya dalam membangun pengertian dan pengetahuan bersama. Secara umum,
anak-anak usia TK dan PAUD memiliki kemampuan interaksi sosial anak masih rendah.
Hal ini dibuktikan seringnya anak berkelahi dengan temannya, anak egois dan menang
sendiri. Demikian juga pada umumnya, anak yang mengalami gangguan mental seperti anak
autis, down syndrome , tuna rungu dan sebagainya memiliki kemampuan interaksi sosial dan
komunikasi yang kurang. Kemampuan interaksi sosial yang maksimal akan lebih mudah
untuk diterima di lingkungan sekolah terutama di lingkungan kelas. Terlebih lagi bagi anak-
anak inklusi yang masih berada di usia dini ini perlu dibantu dalam meningkatkan
kemampuan interaki sosialnya di sekolah, karena anak-anak pada usia dini merupakan

GOLDEN AGE
Jurnal Ilmiah Tumbuh Kembang Anak Usia Dini
Volume. 1 No. 1. Maret 2016
e-ISSN: 2502-3519
Optimlisasi Kemampuan Interaksi Sosial Anak di PAUD
Inklusi Ahsanu Amala Yogyakarta | 18
Nadlifah

periode perkembangan yang tepat untuk mengembangkan, meningkatkan dan mengoptinalkan


seluruh kemampuan yang dimiliki anak, bahkan periode ini adalah waktu yang efektif untuk
melatih dan membiasakan anak untuk membangun kemampuan interaksi sosial anak.

Kata Kunci: Optimalisasi,interaksi sosial, PAUD Inklusi.

Pendahuluan

Anak usia taman kanak-kanak dan usia dini dengan dunianya sangat menarik untuk
dipahami dalam konteks keunikannya dalam bertutur, bermain, berkarya, berinteraksi sosial
serta penyelesaian masalah-masalah yang mereka hadapi sendiri. Hal ini dibutuhkan proses
pendidikan yang diselenggarakan secara menyenangkan, inspiratif, menantang, memotivasi
anak untuk berpartisipasi aktif memberi kesempatan untuk berkreasi dan kemandirian sesuai
dengan tahap perkembangan fisik dan psikis anak. Oleh karena itu, upaya untuk meningkatkan
interaksi sosial anak sangat penting.
Pendidikan merupakan suatu proses sosial yang tidak dapat terjadi tanpa interaksi antar
pribadi. Belajar merupakan proses pribadi dan juga proses sosial ketika anak berhubungan
dengan anak lainnya dalam membangun pengertian dan pengetahuan bersama. Dalam
kenyataannya ketika anak memasuki taman kanak-kanak kebanyakan di antara mereka mulai
dihadapkan pada tuntutan untuk menjadi anak yang manis, penurut dan tidak rewel. Selain itu
juga berbagai aturan-aturan yang seharusnya belum perlu diterapkan pada anak mulai
bermunculan, sehingga dapat mengurangi kebebasan dalam berkreasi dan mengekspresikan
diri. Dalam kegiatan pembelajaran, anak dituntut untuk duduk, diam dan mendengarkan tanpa
diberi kesempatan untuk menuangkan ide ataupun gagasan yang dapat mengembangkan
keterampilan yang dimilikinya. Di sini guru hanya memindahkan pengetahuan atau
keterampilan dari guru kepada anak seolah-olah tugas guru memberi dan anak menerima. Anak
sebagai penerima pengetahuan dan keterampilan bersifat pasif, tanpa ada upaya memperbaiki
diri.
Secara umum, anak-anak usia TK dan PAUD memiliki kemampuan interaksi sosial anak
masih rendah. Hal ini dibuktikan seringnya anak berkelahi dengan temannya, anak egois dan
menang sendiri. Ada anak yang sulit diajak bekerjasama oleh temannya, ada pula anak yang
takut bermain dengan salah seorang temannya, dan ada pula anak yang asyik bermain sendiri
dan kurang suka bila temannya bergabung untuk bermain.
Demikian pula ada umumnya, anak yang mengalami gangguan mental seperti anak autis,
down syndrome. tuna rungu dan sebagainya memiliki kemampuan interaksi social dan komunikasi
yang kurang. Berdasarkan studi pendahuluan di PAUD Ahsanu Amala Yogyakarta, anak-anak
yang secara mental mengalami gangguan memiliki kemampuan interaksi sosialnya masih
rendah. Pada saat pembelajaran, anak-anak berjalan-jalan sendiri di dalam kelas, bahkan ke luar
kelas, mengambil pensil atau buku teman yang secara langsung maupun tidak langsung
mengganggu kegiatan pembelajaran di kelas. Pada waktu istirahat, lebih suka menyendiri dan
bermain ditempat sepi. Kondisi ini menggambarkan bahwa perlunya pengembangan
kemampuan interaksi sosial anak agar anak dapat lebih mudah melakukan penyesuaian dengan

GOLDEN AGE
Jurnal Ilmiah Tumbuh Kembang Anak Usia Dini
Volume. 1 No. 1. Maret 2016
e-ISSN: 2502-3519
Optimlisasi Kemampuan Interaksi Sosial Anak di PAUD
Inklusi Ahsanu Amala Yogyakarta | 19
Nadlifah

teman dan lingkungan sekitarnya. Terlebih lagi pada anak yang secara psikologis mengalami
gangguan mental.
Bimo Walgito (2003: 65) mengemukakan bahwa interaksi sosial ialah hubungan antara
indvidu satu dengan individu yang lain, individu satu dapat mempengaruhi individu yang lain
atau sebaliknya, jadi terdapat adanya hubungan yang saling timbal balik. Hubungan tersebut
dapat antara individu dengan individu, individu dengan kelompok atau kelompok dengan
kelompok. Kemampuan interaksi sosial yang maksimal akan lebih mudah untuk diterima di
lingkungan sekolah terutama di lingkungan kelas. Terlebih lagi bagi anak-anak inklusi yang
masih berada di usia dini ini perlu dibantu dalam meningkatkan kemampuan interaki sosialnya
di sekolah, karena anak-anak pada usia dini merupakan periode perkembangan yang tepat
untuk mengembangkan dan meningkatkan seluruh kemampuan yang dimiliki anak, bahkan
periode ini adalah waktu yang efektif untuk melatih dan membiasakan anak untuk membangun
kemampuan interaksi sosial anak.

Metode

Penelitian ini merupakan penelitian lapangan (field research) yang bersifat kualitatif yaitu
penelitian dimana datanya dinyatakan dalam bentuk verbal dan dianalisis tanpa menggunakan
teknik statistik, apabila dalam penelitian ini terdapat angka-angka maka hanya bersifat sebagai
data penunjang saja bukan data utama (Amin, 2007: 12). Digunakan pendekatan kualitatif
karena dalam melakukan tindakan kepada subjek penelitian yang sangat diutamakan adalah
mengungkap makna, yaitu optimalisasi kemampuan interaksi sosila anak di PAUD Inklusi
Ahsanu Amala Yogyakarta.
Penelitian ini menggunakan pendekatan psikologi. Psikologi berasal dari kata psyche dan
logos, masing-masing kata itu mempunyai arti “Jiwa” dan “ilmu”. Psikologi adalah ilmu yang
menyelediki dan membahas tentang perbuatan dan tingkah laku manusia (Zulkifli, 2003: 4).
Peneliti menggunakan pendekatan ini berguna untuk memahami jiwa dan karakter anak usai
dini di Paud Inklusi Ahsanu Amala Yogyakarta.
Penelitian ini akan dilaksanakan di PAUD Inklusi Ahsanu Amala Lempongsari Sariharjo
Ngaglik Sleman Yogyakarta, dengan subjek penelitiannya adalah pengelolah atau kepala
sekolah, guru, peserta didik, serta orang tua peserta didik pada Paud Inklusi Ahsanu
Amala.Adapun sasaran penelitian adalah anak didik yang berusia 4-5 tahun, baik yang
mengalami gangguan mental seperti autis,down syndrome, dan sebagainya maupun anak yang
normal. Pengambilan subjek penelitian menggunakan teknik purposive sampling (sampel
bertujuan), artinya penetuan subjek yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan
pertimbangan tertentu. Pertimbangan tertentu ini, misalnya orang tersebut yang dianggap
paling tahu tentang apa yang kita harapkan, atau mungkin dia sebagai penguasa sehingga akan
memudahkan peneliti menjelajahi objek/situasi sosial yang diteliti.
Pengumpulan data dilakukan melalui wawancara, observasi, dan dokumentasi. Wawancara
bebas terpimpin dipilih untuk memperoleh data dari kepala, guru, orang tua, dan anak PAUD,
untuk mengetahui interaksi sosial anak, hambatan-hambatan yang dialami, dan strategi guru
untuk mengoptimalkan kemampuan interaksi sosial anak. Observasi nonpartisipan dipilih
untuk memperoleh data mengenai kondisi anak, kondisi sekolah, fasilitas-fasilitas sekolah dan
aspek-aspek lain yang berkaitan dengan kondisi sekolah. Dokumentasi digunakan untuk

GOLDEN AGE
Jurnal Ilmiah Tumbuh Kembang Anak Usia Dini
Volume. 1 No. 1. Maret 2016
e-ISSN: 2502-3519
Optimlisasi Kemampuan Interaksi Sosial Anak di PAUD
Inklusi Ahsanu Amala Yogyakarta | 20
Nadlifah

menghimpun data tentang sejarah dan stuktur organisasi sekolah, keadaan peserta didik, guru,
dan karyawan.
Cara yang digunakan untuk menguji keabsahan data penelitian ini menggunakan triangulasi.
Lexy Moleong (2008: 178)bahwa triangulasi data sebagai teknik pemeriksaan data dapat
dilakukan dengan cara memanfaatkan penggunaan sumber, metode, penyelidikan maupun
teori. Triangulasi sumber yaitu pengecekan data dengan membandingkan dan mengecek ulang
data yang diperoleh oleh informan dengan informan lainnya. Triangulasi metode yaitu dengan
cara mengecek kebenaran data yang diperoleh dari informan dengan menggunakan teknik
pengumpulan data yang berbeda. Triangulasi yang digunakan dalam penelitian ini yaitu
triangulasi sumber dan metode.
Dalam penelitian ini jenis analisis data menggunakan model Miles dan Huberman dalam
Sugiyono (2008: 337) yaitu aktivitas dalam analisis data kualitatif dilakukan secara interaktif dan
berlangsung secara terus menerus sampai tuntas, sehingga data sudah jenuh. Aktivitas dalam
analisis data yaitu data reduction, data display, dan data conclusion drawing/verification.

Hasil Penelitian dan Pembahasan

Kemampuan Interaksi Sosial Anak Di PAUD Inklusi Ahsanu Amala Yogyakarta

PAUD Inklusi Ahsanu Amala Yogyakarta merupakan salah satu PAUD di Yogyakarta yang
memberikan layanan pendidikan inklusi. Di PAUD ini terdapat beberapa Anak Berkebutuhan
Khusus (ABK) di antaranya di kelas Kinergarten A, dari 10 anak terdapat 4 anak yang ABK,
dan Kindergarten B dari 13 anak, terdapat 2 anak yang ABK. Demikian pula di kelas Big Group,
dari 11 anak, terdapat 2 anak yang ABK.
Anak berkebutuhan khusus di PAUD ini terdiri dari anak Down Syndrome, tuna
rungu,gangguan konsentrasi, dan autis. Anak-anak berkebutuhan khusus mengikuti proses
pendidikan bersama dengan anak yang lainnnya sehingga terintegrasi dalam proses
pembelajaran. Kendatipun demikian, dalam proses pembelajaran di kelas, anak berkebutuhan
khusus membutuhkan pelayanan dan pendidikan khusus dalam kerangka pengembangan
dirinya karena kemampuan pemahaman dan daya serap berbeda dengan anak yang tidak
berkebutuhan khusus, sehingga guru membutuhkan energi yang lebih dalam memberikan
pemahaman kepada anak ABK dibandingkan dengan anak lainnya. Hal ini sebagaimana di
jelaskan oleh salah seorang guru yang menyatakan:
“Anak-anak berkebutuhan khusus meskipun dijadikan satu kelas, tetapi dalam menerima pembelajaran
dari guru memiliki kemampuan pemahaman yang berbeda dengan anak lainnya, sehingga guru pendamping
ABK memberikan pemahaman ulang kepadanya”.
Masing-masing kelas yang terdapat siswa ABK, memiliki 2 orang guru, 1 guru kelas dan 1
guru khusus pendamping ABK. Memberikan layanan pendidikan kepada anak ABK tidaklah
mudah, karena anak ABK tidak memiliki keterampilan interaksi sosial yang sederhana
sekalipun seperti melakukan kontak mata, atau menengok ketika namanya dipanggil, demikian
juga dalam berkomunikasi, mereka kurang terampil menggunakan bahasa baik bahasa verbal
maupun bahasa non verbal untuk berkomunikasi. Anak autis, tuna rungu, dan down syndrome
memerlukan program pembelajaran yang sesuai dengan kebutuhan dan hambatan yang mereka

GOLDEN AGE
Jurnal Ilmiah Tumbuh Kembang Anak Usia Dini
Volume. 1 No. 1. Maret 2016
e-ISSN: 2502-3519
Optimlisasi Kemampuan Interaksi Sosial Anak di PAUD
Inklusi Ahsanu Amala Yogyakarta | 21
Nadlifah

miliki.Berdasarkan penuturan dari guru pendamping dan guru kelas, dari ketiga jenis anak-anak
ABK, yang memiliki tingkat kesulitan lebih tinggi dalam berinteraksi yaitu jenis down syndrome.
Perilaku-perilaku anak autis dan down syndrome yang sering dikeluhkan dan membuat orang
tua curiga adanya gangguan pada anaknya di antaranya kurangnya kualitas interaksi sosial dan
kurangnya kualitas komunikasi timbal balik, tidak merespon apabila diajak bicara/ kurang
kontak mata, serta menyendiri dan tak tertarik bermain dengan anak-anak lain. Hal ini juga
dirasakan oleh guru yang mengajar di PAUD Ahsanu Amala, sebagaimana dikemukakan
sebagai berikut:
“Komunikasi dengan anak ABK tidak mudah, terkadang sudah dilakukan pengulangan beberapa kali juga
belum ada respon, namun hal itu kami rasakan di awal-awal anak mengikuti pendidikan di sini.”
Di awal-awal mengikuti pendidikan di PAUD Ahasanu Amala, anak ABK kurang dapat
berinteraksi dengan anak lainnya, demikian pula sebaliknya, anak-anak normal di awal-awal
proses pembelajaran, merasa sulit berinteraksi dengan anak ABK. Namun setelah dilakukan
layanan dan bimbingan, anak-anak normal sudah dapat mengerti dan memahami anak-anak
ABK sehingga saat ini sudah dapat belajar dan bermain bersama-sama dengan anak-anak ABK.
Proses interaksi atau komunikasi anak–anak autis dapat berjalan dengan berbentuk cara
komunikasi yang khas seperti berkomunikasi dengan membuat suatu tulisan untuk
menyampaikan sesuatu yang ingin disampaikannya, berkomunikasi dengan mengucapkan kata
”kamu” apabila hendak menyampaikan sesuatu yang mengenai dirinya, sehingga ketika
mengucapkan sesuatu yang diinginkannya ia akan berkata “kamu ingin....”, Berkomunikasi
dengan mengulang kaka-kata yang telah diucapkan seseorang kepadanya.
Kemampuan komunikasi anak autis dan donw syndrome mengikuti apa yang diucapkan.Orang
tua yang anaknya menderita autis dan donw syndrome meminta kepada para guru PAUD Inklusi
Ahsanu Amala untuk menggunakan komunikasi lisan meskipun masih sulit menerima pesan
yang dikomunikasikan. Orang tua anak yang tidak berkebutuhan khusus berempati kepada
anak-anak ABK sehingga menimbulkan rasa syukur atas kesempurnaan fisik pada anak. Salah
satu motivasi orang tua yang anaknya tidak berkebutuhan khusus untuk menyekolahkan anak-
anaknya di PAUD ini ialah agar anak dapat bersosialisasi dengan teman sebaya tanpa
membeda-bedakan kekurangannya, menumbuhkan rasa syukur dan empati pada anak-anak
ABK. Hal ini membangun nilai positif bagi orang tua dan anak.
Adanya motivasi dan perhatian yang penuh kasih sayang dari orang-orang terdekat pada
akhirnya akan memberikan efek positif pada anak berkebutuhan khusus tersebut. Hal utama
yang diperlukan anak berkebutuhan khusus adalah dapat diterima oleh lingkungannya
sekalipun dengan segala keterbatasan yang dimilikinya. Pada awalnya, anak berkebutuhan
khusus yang mampu menerima kekurangan yang ada pada dirinya terlebih dulu, akan tumbuh
pula kepercayaan diri untuk mau menyatu dengan lingkungan sosialnya. Setelah lingkungan
sosial mampu menerima kehadirannya, maka akan terjadi hubungan dan interaksi sosial yang
baik pula. Hubungan dan interaksi sosial yang baik ini akan menjadi awal yang baik bagi
perkembangan sosial anak berkebutuhan khusus dengan lingkungan masyarakat di sekitarnya.
Dengan menyadari bahwa dirinya telah diterima oleh masyarakat, maka seorang anak
berkebutuhan khusus akan dapat mengembangkan hubungan interpersonal yang lebih baik
lagi.
Orang tua yang memilihkan sekolah inklusi untuk anak berkebutuhan khusus, juga akan
mendapatkan dampak positif bagi diri anak, yaitu self-esteem, diterima oleh teman sekelas, dan

GOLDEN AGE
Jurnal Ilmiah Tumbuh Kembang Anak Usia Dini
Volume. 1 No. 1. Maret 2016
e-ISSN: 2502-3519
Optimlisasi Kemampuan Interaksi Sosial Anak di PAUD
Inklusi Ahsanu Amala Yogyakarta | 22
Nadlifah

kemampuan sosial sehingga anak dapat mengenal keberagaman, mampu mengembangkan


sikap empati, dapat belajar mensyukuri akan pemberian Tuhan terhadap dirinya sekalipun
berbeda dari teman-teman yang lainnya. Dampak positif yang akan terlihat setelah anak
berkebutuhan khusus di sekolah inklusi tidak hanya akan dirasakan anak, namun juga dapat
dirasakan oleh masyarakat di lingkungan sekolah, lingkungan rumah, dan juga masyarakat.
Dengan belajar di sekolah inklusi, anak berkebutuhan khusus akan mendapatkan pelajaran yang
sama dengan anak-anak normal yang lain dari guru yang sama, serta anak juga dapat lebih
belajar bersosialisasi dengan teman-teman di sekolah baik yang juga berkebutuhan khusus
maupun teman-teman yang normal. Selain itu, keluarga dekat dan masyarakat di lingkungan
rumah anak berkebutuhan khusus ini juga dapat ikut membantu pembelajaran anak dengan
memberi dukungan, membantu saat belajar, maupun mengingatkan untuk melakukan hal-hal
yang dapat mengembangkan kemampuan sosialnya.
Masih ada dari kalangan orang tua siswa yang merasa anaknya kurang mendapat jaminan
rasa aman di PAUD Inklusi Ahsanu Amala ini, karena anak-anak down syndrome bila
kesehatannya menurun, kadang-kadang berperilaku kasar, agresif seperti memukul pada anak-
anak normal. Upaya antisipatif dari guru terhadap masalah tersebut adalah guru menjelaskan
keberadaan ABK yang kadang berperilaku kasar, agresif dan lambat mengikuti pelajaran. Guru
memberikan pemahaman dan peengertian kepada orang tua sehingga orang tua pun
memahaminya sehingga orang tua yang anaknya normal sangat peduli terhadap ABK bahkan
bersedia memberi informasi untuk layanan kesehatan di luar sekolah.
Anak-anak autisme sebenarnya mampu untuk bersekolah di sekolah umum, sementara
sebagian lainnya memerlukan pendidikan di jalur khusus. Apabila anak mampu untuk duduk
diam di kelas selama jangka waktu yang cukup lama, dapat mengikuti aturan, dapat memahami
instruksi orang lain, dan dapat mengendalikan emosinya ketika ada sesuatu yang tak berkenan
terjadi, maka anak tersebut dapat disekolahkan di sekolah umum, bahkan tidak jarang anak
autis juga memiliki intelegensi tinggi yang sama dengan anak umum lainnya, bahkan tak sedikit
mereka yang telah mengikuti terapi bisa berprestasi di sekolah umum.
Interaksi anak berkebutuhan khusus (ABK) di sekolah, guru memiliki peran penting dalam
pengasuhan di lingkungan sekolah. Guru adalah model terpenting untuk menumbuhkan
perilaku empati.Anak-anak ABK terkadang lebih menurut pada guru. Kewajiban bagi guru
untuk memberikan perhatian lebih terhadap anak dengan gejala ABK. Besarnya peran guru
terhadap perilaku anak, sesuai dengan hasil wawancara dan observasi di sekolah, yang telah
mensosialisasikan secara luas terhadap seluruh guru, untuk memberikan perilaku yang sama
kepada semua anak, baik yang normal maupun dengan kebutuhan khusus.

Hambatan dalam optimalisasi kemampuan interaksi sosial anak Inklusi di PAUD


Inklusi Ahsanu Amala Yogyakarta

Hambatan dalam optimalisasi kemampuan interaksi sosial anak Inklusi di PAUD Inklusi
Ahsanu Amala Yogyakarta diklasifikasikan ke dalam 2 komponen, yaitu:

GOLDEN AGE
Jurnal Ilmiah Tumbuh Kembang Anak Usia Dini
Volume. 1 No. 1. Maret 2016
e-ISSN: 2502-3519
Optimlisasi Kemampuan Interaksi Sosial Anak di PAUD
Inklusi Ahsanu Amala Yogyakarta | 23
Nadlifah

1. Siswa

Gangguan proses informasi dan koneksi, seringkali menghambat anak ABK mengikuti
pelajaran di sekolah umum. Anak-anak ABK lebih merespons terhadap stimulus visual,
sehingga instruksi dan uraian verbal (apalagi yang panjang dalam bahasa rumit) akan sulit
mereka pahami. Kecenderungan ”mono” pada diri mereka tidak memungkinkan mereka
mengerjakan beberapa hal sekaligus pada satu waktu yang sama (menatap sambil
mendengarkan, mendengarkan sambil menulis, dan sebagainya).Hal ini dijelaskan oleh guru
pendamping anak ABK yang mengatakan:
Anak-anak ABK mengalami hambatan dalam menerima pelajaran sekolah, kalimat panjang sulit mereka
pahami, instruksi dan komunikasi verbal yang panjang susah dipahami sehingga guru pendamping harus
mengulangi dan pelan-pelan dalam berkomunikasi.
Gaya berpikir mereka yang visual membuat reaksi mereka lebih lambat daripada anak lain,
dimana mereka memerlukan jeda waktu sedikit lebih lama sebelum berespons. Anak-anak
ABK mengalami kesulitan memusatkan perhatian, terus menerus terdistraksi, apalagi di kelas
yang sarat dengan anak dengan suara yang sangat hiruk pikuk.
Salah satu kesulitanan anak autis adalah dalam hal komunikasi, dimana mereka sulit
berekspresi diri. Sebagian besar dari mereka, meskipun dapat berbicara, menggunakan kalimat
pendek dengan kosakata yang sederhana. Seringkali mereka bisa mengerti orang lain tapi hanya
bila orang tersebut berbicara langsung kepada mereka. Itu sebabnya kadang mereka tampak
seakan tidak mendengar, padahal jelas-jelas kita memanggil mereka. Anak ABK yang sulit
berkata-kata/berbicara, seringkali mengungkapkan diri melalui perilaku. Semakin mereka tidak
dipahami, maka mereka semakin frustrasi. Lingkungan yang kurang dapat melihat ciri ini secara
obyektif akan memaksakan agar anak-anak tersebut berbicara dalam mengungkapkan diri,
sehingga berakibat tekanan pada mereka yang lalu membuat mereka berperilaku negatif.
Anak-anakABK juga bermasalah pada perkembangan keterampilan sosialnya, sulit
berkomunikasi, kurang mampu memahami aturan-aturan dalam pergaulan, sehingga biasanya
kurang memiliki banyak teman. Minat mereka yang terbatas pada orang lain di sekitarnya,
sedikit banyak membuat mereka lebih senang menyendiri atau sangat pemilih dalam bergaul,
mereka hanya memiliki teman yang dapat memberikan rasa aman kepada mereka, dan pada
umumnya mengalami kesulitan beradaptasi dalam berbagai kelompok yang dibentuk secara
acak/mendadak.

2. Guru

Guru masih memiliki pemahaman dan kemampuan yang terbatas dalam berkomunikasi
dengan anak-anak ABK. Sistem integrasi membawa keterpaduan anak-anak berkebutuhan
khusus dengan anak-anak pada umumnya, keperpaduan ini dapat menyeluruh, sebagian atau
keterpaduan dalam rangka sosialisasi sehingga menuntut energi yang lebih bagi guru dalam
proses pembelajaran.
Peningkatan kemampuan guru yang mengajar pada kelas ABK menjadi penting, agar lebih
memudahkan guru dalam mendampingi anak ABK. Menurut N. Praptiningrum (2010)
kemampuan-kemampuan yang harus dimiliki oleh seorang guru dalam penyelenggaraan
pendidikan inklusi adalah sebagai berikut: (a) pengetahuan tentang perkembangan anak

GOLDEN AGE
Jurnal Ilmiah Tumbuh Kembang Anak Usia Dini
Volume. 1 No. 1. Maret 2016
e-ISSN: 2502-3519
Optimlisasi Kemampuan Interaksi Sosial Anak di PAUD
Inklusi Ahsanu Amala Yogyakarta | 24
Nadlifah

berkebutuhan khusus, (b) p e m a h a m a n akan pentingnya mendorong rasa penghargaan


anak berkaintan dengan perkembangan, motivasi dan belajar melalui suatu interaksi positif dan
berorientasi pada sumber belajar, (c) pemahaman tentang konvensi hak anak dan implikasinya
terhadap implementasi pendidikan dan perkembangan semua anak, (d) pemahaman tentang
pentingnya menciptakan lingkungan yang ramah terhadap pembelajaran yang berkaitan dengan
isi, hubungan sosial, pendekatan dan bahan pembelajaran, (e) pemahaman arti pentingnya
belajar aktif dan pengembangan pemikiran kreatif dan logis, (f) pemahaman pentingnya
evaluasi dan assesmen berkesinambungan oleh guru, (g) pemahaman konsep inklusi dan
pengayaan serta cara pelaksanaan inklusi dan pembelajaran yang berdeferensi, (h) pemahaman
terhadap hambatan belajar termasuk yang disebabkan oleh kelainan fisik maupun mental,
dan (i) pemahaman konsep pendidikan berkualitas dan kebutuhan implementasi pendekatan
dan metode baru.
Kemampuan-kemampuan bagi seorang guru di atas merupakan modal dasar yang harus
dimiliki oleh seorang guru yang mendampingi anak berkebutuhan khusus di sekolah
inklusi. Dengan harapan program penyelenggaraan sekolah inklusi dapat terlaksana dengan
baik dan sesuai dengan kebutuhan anak berkebutuhan khusus. Guru kelas berkolaborasi
dengan guru pendamping khusus, sama-sama menangani memberikan pelayanan bagi anak
berkebutuhan khusus sehingga potensi yang ada pada anak berkebutuhan khusus dapat
berkembang dengan optimal.

Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa di
awal-awal mengikuti pendidikan di PAUD Ahasanu Amala, anak ABK kurang dapat
berinteraksi dengan anak lainnya, demikian pula sebaliknya, anak-anak normal di awal-awal
proses pembelajaran, merasa sulit berinteraksi dengan anak ABK. Namun setelah dilakukan
layanan dan bimbingan, anak-anak normal sudah dapat mengerti dan memahami anak-anak
ABK sehingga dapat belajar dan bermain bersama-sama dengan anak-anak ABK.
Hambatan dalam optimalisasi kemampuan interaksi sosial anak Inklusi di PAUD Inklusi
Ahsanu Amala Yogyakarta diklasifikasikan ke dalam 2 komponen, yaitu hambatan dari siswa
dan guru.
Berdasarkan kesimpulan di atas, maka dapat dikemukakan saran sebagai berikut: (1)
Disarankan bagi guru untuk meningkatkan kesabaran dan rasa empati yang tulus kepada anak-
anak khususnya ABK. Demikian pula untuk meningkatkan kualitas pembelajaran dan
kemampuan serta pemahaman dalam mendampingi ABK dengan mengikuti berbagai
pelatihan, workhshop dan seminar tentang ABK. Seain itu, disarankan kepada guru untuk
meningkatkan variasi atau keragaman dalam strategi pembelajaran untuk merangsang dan
meningkatkan interaksi sosial anak. (2) Disarankan bagi orang tua untuk meningkatkan
kepedulian terhadap ABK dan menindaklanjuti di rumah hal-hal yang telah diajarkan di
sekolah.

GOLDEN AGE
Jurnal Ilmiah Tumbuh Kembang Anak Usia Dini
Volume. 1 No. 1. Maret 2016
e-ISSN: 2502-3519
Optimlisasi Kemampuan Interaksi Sosial Anak di PAUD
Inklusi Ahsanu Amala Yogyakarta | 25
Nadlifah

Daftar Pustaka

Abu Ahmadi,Psikologi Belajar. Jakarta: Rineka Cipta, 2002

Bimo Walgito, Psikologi Sosial. Yogyakarta: Andi Offset, 2003

Dani Wahyu Dermawan, ”Meningkatkan interaksi Sosial Anak melalui Dinamika Kelompok
Berbasis Bimbingan pada TK Tarbiyatul Athfal Mayong LOR Jepara Tahun Pelajaran
2012/2013”, Skripsi, Program Studi Bimbingan dan Konseling, Fakultas Keguruan dan
Ilmu Pendidikan, Universitas Muria Kudus, 2013

Depediknas, KurikulumHasilBelajarPendidikAnakUsia Dini, (Jakarta: Depdiknas, 2002

Gerungan, Psikologi Sosial. Jakarta: Grasindo, 2000

Indar Mery Handayani, Interaksi Sosial Anak Berkebutuhan Khusus Di SD Negeri 016/016
Inklusif Samarinda (Studi Kasus Anak Penyandang Autis), eJournal Sosiatri-Sosiologi,
2013, 1 (1): 1-9

LexyMoleong, PenelitianKualitatif, Bandung: PT. RemajaRosdakarya, 2008

Maemunah Hasan, PAUD (PendidikanAnakUsia Dini), Cet II, (Yogyakarta: Diva Press, 2010

Mistio Mesa Fernanda, Afrizal Sano dan Nurfarhanah, “Hubungan antara Kemampuan
Berinteraksi Sosial dengan Hasil Belajar”, Jurnal Ilmiah Konseling, Volume 1 Nomor 1
Januari 2012

Moch Amin, MetodePenelitian Bahasa Arab. Malang: HilalPustakam 2007

Musfiroh, Tadkiroatun. BerceritaUntukAnakUsia Dini. (Jakarta:


DepartemenPendidikanNasional, 2005

N.Praptiningrum,Fenomena PenyelenggaraanPendidikan Inklusif Bagi AnakBerkebutuhan


Khusus, Jumal Pendidikan Khusus Vol.7.No.2.Nopember 2010

Nasution. Metode Penelitian Naturalistik Kualitatif. Bandung: Tarsito, 2003

Olsen, G. & Fuller, M. Home School Relation. Working Sucessfully with Parents and Families. Boston:
Allyn and Bacon, 2003

Sarlito Wirawan Sarwono,Psikologi Umum. Jakarta: Rajawali, 2010

Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2001

GOLDEN AGE
Jurnal Ilmiah Tumbuh Kembang Anak Usia Dini
Volume. 1 No. 1. Maret 2016
e-ISSN: 2502-3519
Optimlisasi Kemampuan Interaksi Sosial Anak di PAUD
Inklusi Ahsanu Amala Yogyakarta | 26
Nadlifah

Sugiyono. Metodologi Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif. Bandung:Alfabeta, 2008

Suwarjo dan Eva Imania Eliasa, 2010. 55 Permainan dalam Bimbingan dan Konseling. Yogyakarta:
Paramitra Publishing, 2010

Syafrida Elisa dan Aryani Tri Wrastari, “Sikap Guru Terhadap Pendidikan Inklusi Ditinjau
Dari Faktor Pembentuk Sikap”, Jurnal Psikologi Perkembangan dan Pendidikan Vol. 2, No.
01, Februari 201

Zulkifi L, Psikologi Perkembangan, Bandung: PT Remaja Rodakarya, 2003

GOLDEN AGE
Jurnal Ilmiah Tumbuh Kembang Anak Usia Dini
Volume. 1 No. 1. Maret 2016
e-ISSN: 2502-3519
Parenting Education sebagai Model Pendidikan Karakter
Anak Usia Dini Berbasis Keluarga | 27
Rohinah

Parenting Education sebagai Model Pendidikan Karakter Anak Usia Dini Berbasis
Keluarga

Rohinah
Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan
UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
Email: rohinah80@yahoo.com

Golden Age Jurnal Ilmiah Tumbuh Kembang Anak Usia Dini, Vol. 1 No. 1 April 2016
Diterina: 21 Desember 2015 Direvisi: 13 Januari 2016 Disetujui: 15 Januari 2016
e-ISSN: 2502-3519 DOI :

Abstract

Character education is an effort that should involve all parties, both the household and the
family, the school and the school environment, and the wider community. A child will grow and
develop optimally when the basic needs of the children's rights are met. But in reality often violent
behavior and discrimination that actually carried out by her own parents. Violent behavior and
racial discrimination by parents of children often occurs due to the psychological impact of the
workload and the demands of a career outside the home or it could be due to a lack of knowledge
about how to educate and assist children in the home. Hence, early childhood institutions "KB
Ceria" is located in a residential Pendowo Asri, Village Pendowoharjo, Sewon, Bantul has the
attention and concern for the development of character-based early childhood family. This is
evidenced by the role that institutions not only provide education for young protege, but also
provide education and insight about assistance to parents (parenting education) and then this
organization called the Group Meeting with Parents (KPO).
Keywords: Parenting Education, Character Education, Early Childhood

Abstrak

Pendidikan karakter merupakan upaya yang melibatkan semua pihak, keluarga, sekolah,
dan masyarakat luas. Keluarga memiliki peran dan tanggung jawab pertama dan utama
dalam menjaga pertumbuhan dan perkembangan anak. Seorang anak akan tumbuh dan
berkembang secara optimal manakala kebutuhan dasarnya. Namun pada kenyataannya
sering terjadi perilaku kekerasan dan diskriminasi yang justru dilakukan oleh orangtuanya
sendiri, sebagai dampak psikologis beban kerja dan tuntutan karir, dan terutama karena
minimnya pengetahuan cara mendidik dan mendampingi anak di rumah. Sebagian orang tua
lebih memilih dan mempercayakan pada lembaga pendidikan anak usia dini yang berkualitas
dan unggul meski harus mengeluarkan biaya yang mahal. PAUD “KB Ceria” di Sewon,
Bantul, memiliki perhatian dan kepedulian terhadap perkembangan karakter anak usia dini
berbasis keluarga. Hal ini dibuktikan dengan peran lembaga yang tidak hanya memberikan
pendidikan bagi anak-anak didiknya, namun juga memberikan pendidikan dan wawasan

GOLDEN AGE
Jurnal Ilmiah Tumbuh Kembang Anak Usia Dini
Volume. 1 No. 1. Maret 2016
e-ISSN: 2502-3519
Parenting Education sebagai Model Pendidikan Karakter
28 | Anak Usia Dini Berbasis Keluarga
Rohinah

seputar pendampingan terhadap orang tua (parenting education) yang dinamakan dengan
Kelompok Pertemuan Orang Tua (KPO).

Kata Kunci: Parenting Education, Pendidikan Karakter, Anak Usia Dini

Pendahuluan

Pendidikan karakter akhir-akhir ini menjadi topik hangat dan ramai diperbincangkan.
Merebaknya beragam kasus di negeri ini mencirikan telah terjadinya krisis nilai-nilai moralitas
yang jika dibiarkan berlarut-larut dapat memicu persoalan disintegrasi bangsa dan mereduksi
tatanan yang telah diwariskan oleh para leluhur bangsa ini.
Terjadinya bentrokan antar warga maupun kelompok tertentu diberbagai daerah yang
dipicu oleh beragam persoalan sangat mudah menyulut emosi masyarakat kita dengan
menjadikan kekerasan sebagai akhir dari sebuah penyelesaian. Termasuk daerah yang selama
ini dikenal damai, santun, saling asih asuh, dan jauh dari perilaku kekerasan sebagaimana
Yogyakarta dan Solo. Hal ini sangat disayangkan karena kedua kota tersebut selama ini kuat
untuk berpegang teguh pada warisan budaya leluhur yang selalu mengedepankan sikap dan
perilaku welas asih, tepo sliro, dan mengagungkan kebersamaan(berita selengkapnya di SKH
Kedaulatan Rakyat, 11/12/2012). Hal ini menunjukkan semakin mengikisnya sikap
tenggangrasa, welas asih, gotong royong, serta pengakuan terhadap adanya perbedaan dan
keragaman. Belum lagi hilangnya budaya malu yang terindikasi dari perilaku korup, manipulasi,
penyelewengan jabatan serta krisis keteladanan dan kepemimpinan dari para tokoh elit di negeri
ini menjadi fakta yang tidak terbantahkan (Nurul F. Huda, 2010:132). Realitas seperti ini
hampir-hampir menjadi tontonan sehari-hari di media publik dan dilihat oleh jutaan rakyat
Indonesia.
Bahkan dunia pendidikan yang disebut-sebut sakral dan meniscayakan kebenaran dan
kejujuran sebagai asas yang harus dipedomani tak luput dari wabah krisis moralitas. Kasus
sejumlah anak sekolah diberitakan mencontek ketika ujian dan turut pula melibatkan pejabat
pemerintah daerah untuk mensukseskan tindakan pembocoran soal dan jawaban Ujian
Nasional (Republika, edisi Jumat, 17 Juni 2011) semakin menambah deretan panjang fenomena
runtuhnya bangunan moral yang selama ini diagung-agungkan.
Saat ini, dunia pendidikan telah disadarkan dari mimpi panjang yang telah melenakan dan
kembali beramai-ramai mengusung satu gerakan perubahan dengan cara menghidupkan
kembali pendidikan karakter. Sebagaimana yang diatur melalui UU nomor 20/2003 tentang
Sistem Pendidikan Nasional, Permendiknas nomor 22/2006 tentang Standar Isi,
Permendiknas tentang Standar Kompetensi Lulusan, dan Inpres nomor 1/2010 tentang
Percepatan Pelaksanaan Prioritas Pembangunan Nasional tahun 2010 yang secara eksplisit
memerintahkan pengembangan karakter peserta didik melalui pendidikan di sekolah di
berbagai jenjang (Kemendiknas, 2010).
Namun demikian, pendidikan karakter merupakan upaya yang harus melibatkan semua
pihak baik rumah tangga dan keluarga, sekolah dan lingkungan sekolah, serta masyarakat luas.
Dalam buku Kebijakan Nasional Pembangunan Karakter Bangsa 2010-2012 yang diterbitkan
oleh Pemerintah Republik Indonesia tahun 2010 menjelaskan bahwa ruang lingkup

GOLDEN AGE
Jurnal Ilmiah Tumbuh Kembang Anak Usia Dini
Volume. 1 No. 1. Maret 2016
e-ISSN: 2502-3519
Parenting Education sebagai Model Pendidikan Karakter
Anak Usia Dini Berbasis Keluarga | 29
Rohinah

pembangunan karakter bangsa meliputi; Lingkup Keluarga, Lingkup Satuan Pendidikan,


Lingkup Pemerintahan, Lingkup Masyarakat Sipil, Lingkup Masyarakat Politik, Lingkup Dunia
Usaha dan Industri, serta Lingkup Media Massa (Tadkiroatun Musfiroh, 2011:125-126). Oleh
karena itu, perlu menyambung kembali hubungan dan educational networks yang mulai terputus
tersebut. Pembentukan dan pendidikan karakter tersebut, tidak akan berhasil selama antar
lingkungan pendidikan tidak ada kesinambungan dan keharmonisan.
Posisi keluarga sebagai unit terkecil dalam masyarakat memiliki peran dan tanggungjawab
pertama dan utama dalam menjaga pertumbuhan dan perkembangan anak. Seorang anak akan
tumbuh dan berkembang secara optimal manakala kebutuhan dasar yang menjadi hak-hak anak
dapat terpenuhi. Adapun kebutuhan dasar anak mencakup kebutuhan fisik (sandang, pangan,
dan papan) dan kebutuhan psikologis (dukungan, perhatian, dan kasih sayang).
Pendidikan karakter di sekolah memang penting, namun kebutuhan untuk mencukupi
perkembangan karakter anak, terlebih bagi anak usia dini yang sedang berada pada masa-masa
keemasannya, akan lebih efektif jika keterlibatan peran keluarga – dalam hal ini orang tua -
sebagai pendidik utama perlu dioptimalkan. Sebaik apapun lembaga pendidikan untuk anak-
anak usia dini, tetap orang tua lah yang menjadi pendidik terbaik bagi putra-putrinya.
Sementara peran orang tua dalam pembentukan karakter anak sangat erat terkait dengan dua
hal penting, yakni gaya pengasuhan dan apa yang diajarkan terhadap anak.
Padahal jika menelisik fenomena yang ada, seringkali kekerasan yang terjadi pada anak-anak
justru dilakukan oleh orang terdekat mereka, yakni orang tua. Hasil penelitian yang dilakukan
oleh Putra cukup mencengangkan, bahwa hasil-hasil perlakuan salah (maltreated) terhadap anak
yang terjadi dalam ranah publik dan domestik ternyata sebagian besar dilakukan oleh orang tua
mereka (Eva Imania Eliasa:117). Hal ini tentu sangat bertentangan dengan UU RI No. 23
Tahun 2003 Tentang Perlindungan Anak pasal 4 tercantum dengan jelas bahwa "Setiap anak
berhak untuk dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara wajar sesuai dengan
harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan
diskriminasi."
Perilaku kekerasan dan diskriminasi yang dilakukan oleh orang tua terhadap anak seringkali
terjadi karena dampak psikologis dari beban kerja dan tuntutan karir di luar rumah atau bisa
juga karena minimnya pengetahuan seputar bagaimana cara mendidik dan mendampingi anak
di rumah. Bahkan pada sebagian orang tua lebih memilih dan mempercayakan pada lembaga
pendidikan anak usia dini (PAUD) yang berkualitas dan memiliki berbagai keunggulan meski
harus mengeluarkan biaya yang cukup mahal, asalkan kewajiban sebagai orang tua terpenuhi
dan hak-hak anak sudah tercukupi yakni memberikan pendidikan yang layak dan berkualitas
sehingga dapat meringankan beban orang tua dalam mendidik dan mengajari mereka.
Namun demikian, berbeda halnya dengan lembaga pendidikan anak usia dini yang
dikembangkan oleh lembaga PAUD “KB Ceria” yang berada di perumahan Pendowo Asri,
Kelurahan Pendowoharjo, Sewon, Bantul. Meski keberadaan sekolah tersebut secara kualitas
maupun kuantitas masih jauh dibandingkan dengan lembaga PAUD yang berada di daerah
perkotaan, namun ternyata memiliki perhatian dan kepedulian terhadap perkembangan
karakter anak usia dini berbasis keluarga.
Hal ini dibuktikan dengan peran lembaga yang tidak hanya memberikan pendidikan bagi
anak-anak didiknya, namun juga memberikan pendidikan dan wawasan seputar pendampingan

GOLDEN AGE
Jurnal Ilmiah Tumbuh Kembang Anak Usia Dini
Volume. 1 No. 1. Maret 2016
e-ISSN: 2502-3519
Parenting Education sebagai Model Pendidikan Karakter
30 | Anak Usia Dini Berbasis Keluarga
Rohinah

terhadap orang tua (parenting education) yang kemudian organisasi ini dinamakan dengan
Kelompok Pertemuan Orang Tua (KPO).
Organisasi ini dikelola secara swadana oleh para orang tua murid lembaga PAUD tersebut
dan difasilitasi oleh pihak pengelola lembaga dan sudah berjalan selama 2 tahun, dengan agenda
kegiatan pertemuan rutin satu bulan sekali untuk saling berbagi (sharing) seputar pendampingan
anak dengan mendatangkan para narasumber dari berbagai bidang, di antaranya; pendidik,
psikolog, konsultan pendidikan, kesehatan, ahli gizi, seksolog, dan sebagainya.
Berdasarkan data-data tersebut sangat menarik untuk mengkaji lebih jauh terkait dengan
program pelatihan parenting education di lembaga PAUD “KB CERIA” yang sudah berjalan
selama 2 tahun ini terhadap pembentukan karakter anak usia dini berbasis keluarga.

Landasan Teori

Teori sistem ekologi adalah teori yang dikembangkan oleh Urie Bronfenbrenner yang
fokus utamanya adalah pada konteks sosial di mana anak tinggal dan orang-orang yang
memengaruhi perkembangan anak. Sistem-sistem yang memengaruhi perkembangan anak
tersebut adalah mikrosistem, mesosistem, eksosistem, makrosistem, dan kronosistem.
1. Mikrosistem, yaitu setting dimana individu hidup, meliputi keluarga individu, teman-teman
sebaya, sekolah, dan lingkungan. Dalam mikrosistem inilah interaksi yang paling langsung
dengan agen-agen sosial berlangsung (misalnya dengan orangtua, teman sebaya, dan guru).
2. Mesosistem, yaitu meliputi hubungan antara beberapa mikrosistem atau hubungan antara
beberapa konteks. Contohnya: hubungan antar pengalaman keluarga dan pengalaman
sekolah, pengalaman sekolah dengan pengalaman keagamaan, dan pengalaman keluarga
dengan pengalaman teman sebaya.
3. Eksosistem, yang mana dalam teori ekologi Bronfenbrenner dilibatkan ketika pengalaman-
pengalaman dalam setting sosial lain, dimana individu tidak memiliki peran yang aktif,
mempengaruhi apa yang individu alami dalam konteks yang dekat. Misalnya, pengalaman
kerja dapat mempengaruhi hubungan seorang perempuan dengan suami dan anaknya;
pemerintah pusat melalui perannya dalam kualitas perawatan kesehatan dan sistem
bantuan bagi manusia lanjut usia.
4. Makrosistem, yaitu meliputi kebudayaan dimana individu hidup. Kebudayaan mengacu
pada pola perilaku, keyakinan, dan semua produk lain dari sekelompok manusia yang
diteruskan dari generasi ke generasi.
5. Kronosistem, yaitu meliputi pemolaan peristiwa-peristiwa lingkungan dan transisi
sepanjang rangkaian kehidupan dan keadaan-keadaan sosiohistoris. Misalnya, dengan
mempelajari dampak perceraian terhadap anak-anak, para peneliti menemukan bahwa
dampak negatif sering memuncak pada tahun pertama setelah perceraian dan dampaknya
lebih negatif bagi anak laki-laki daripada anak perempuan (Rika Eka Izzati:2008).
Menurut Bronfenbrenner anak dilingkupi oleh sistem keluarga yang terdiri atas ayah, ibu,
sekandung, dan anggota keluarga yang lain. Selanjutnya sistem keluarga ini disebut sebagai
mikro sistem. Mikrosistem dilingkupi dan dipengaruhi oleh mesosistem yang berupa
lingkungan sekolah, lingkungan pekerjaan orang tua, jejaring sosial, dan peribadatan atau
agama. Mesosistem sendiri dipengaruhi oleh ekso sistem berupa kebijakan pemerintah, nilai-

GOLDEN AGE
Jurnal Ilmiah Tumbuh Kembang Anak Usia Dini
Volume. 1 No. 1. Maret 2016
e-ISSN: 2502-3519
Parenting Education sebagai Model Pendidikan Karakter
Anak Usia Dini Berbasis Keluarga | 31
Rohinah

nilai dan keyakinan masyarakat, budaya, dan media. Dan selanjutnya eksosistem dipengaruhi
oleh sejarah, waktu, perubahan dan perkembangan (Tadkiroatun Musfiroh:135).
Dengan demikian, berdasarkan teori sistem ekologi bahwa seorang anak berkembang secara
langsung dipengaruhi oleh keluarganya, dan secara tidak langsung oleh lingkungan-lingkungan
yang lain.

Sekilas Tentang KB Ceria

Keberadaan KB Ceria yang berdiri sejak tanggal 10 Bulan Mei Tahun 2007 di Perum
Pendowo Asri, Kecamatan Sewon, Kabupaten/Kota Bantul, Provinsi Daerah Istimewa
Yogyakarta ini mempunyai peranan penting dalam mempersiapkan generasi masa depan
dengan cara mendidik siswa di lingkungan sekitar dusun dengan sungguh-sungguh sehingga
dapat melanjutkan ke pendidikan Taman Kanak-kanak, yang juga ada di dusun Pendowo atau
Perumahan Pendowo Asri yaitu TK ABA Pendowoharjo Sewon.
Dilihat dari segi kependudukan Dusun Pendowo atau Perumahan Pendowo Asri
mempunyai jumlah penduduk sekitar 685 orang yang terdiri dari 350 laki-laki dan 335
perempuan. Dari jumlah tersebut penduduk dengan usia 0-6 tahun adalah 25 orang. Kemudian
dari lingkungan dusun sekitar juga belum ada PAUD, sehingga banyak juga siswa yang berasal
dari sekitar dusun Pendowo atau Perumahan Pendowo Asri. Melihat kondisi tersebut diatas
maka melalui PKK Dusun Pendowo atau Perumahan Pendowo Asri dibentuklah sebuah
Kelompok Bermain Ceria melalui kegiatan PKK dan Posyandu di dusun. Diharapkan dengan
adanya kegiatan ini anak-anak usia dini yang belum terlayani pendidikannya dapat tertampung
dan mendapatkan pendidikan yang memadai, dan juga dapat menjaring siswa untuk kebutuhan
TK ABA Pendowoharjo Sewon yang terletak di Dusun Pendowo atau Perumahan Pendowo
Asri, sehingga menjadikan hubungan yang erat dengan saling menguntungkan. Sampai pada
tahun 2012 ini diperkirakan murid-murid yang ada di KB Ceria tidak kurang dari 30 peserta
didik.

Sejarah Berdirinya KPO (Kelompok Pertemuan Orang Tua)

KPO sesungguhnya merupakan wadah komunikasi bagi orang tua untuk saling berbagi
informasi dan pengetahuan tentang bagaimana melaksanakan pendidikan anak usia dini. Pada
mulanya kegiatan parenting (KPO) yang diadakan oleh lembaga PAUD “KB Ceria” Sewon
Bantul ini merupakan bentuk kerjasama antara lembaga dengan Direktorat Pendidikan Anak
Usia Dini Kementerian Pendidikan Nasional. Program ini merupakan bentuk penguatan
PAUD berbasis keluarga yang diselenggarakan selama satu tahun atas binaan dari lembaga
mitra yang telah ditunjuk. Pada waktu itu sebagai mitra yang ditunjuk adalah dari TK Budi
Mulia Dua. Dan untuk memperlancar jalannya kegiatan, dibentuklah sebuah kepengurusan
yang mewadahi keberlangsungan dari program ini. Kepengurusan ini dimotori oleh para wali
murid sendiri dan menjadi sebuah organisasi independen di luar pengelola lembaga PAUD.
Setelah sukses berjalan satu tahun program Kemendiknas ini, pihak pengelola maupun para
orang tua merasakan adanya kebermaknaan dan manfaat dari proses pembelajaran dalam
kegiatan tersebut. Sehingga perlu adanya “follow up” dan program keberlanjutan meski untuk
hal-hal yang berkaitan dengan pendanaan dibebankan para orang tua sendiri (swadana). Dari

GOLDEN AGE
Jurnal Ilmiah Tumbuh Kembang Anak Usia Dini
Volume. 1 No. 1. Maret 2016
e-ISSN: 2502-3519
Parenting Education sebagai Model Pendidikan Karakter
32 | Anak Usia Dini Berbasis Keluarga
Rohinah

sinilah, kegiatan parenting di lembaga PAUD “KB Ceria” sampai saat ini (memasuki usia 2
tahun lebih) masih bisa eksis dan cenderung mengalami peningkatan.
Sementara jenis kegiatan dalam KPO berupa; Curah Pendapat, pengumpulan pendapat dari
setiap anggota tanpa tanggapan antar peserta atau antara peserta dan fasilitator, serta tidak
memerlukan kehadiran narasumber. Hasil yang diharapkan adalah daftar pendapat atau
permasalahan sesuai topik curah pendapat. Kemudian hasilnya akan disusun menurut urutan
jumlah anggota yang menyetujuinya dan dimasukkan dalam daftar hasil curah pendapat. Yang
kemudian tema-tema itu akan dijadikan sebagai topik pembahasan dalam setiap pertemuan
rutin secara berurutan.
Sarasehan, diskusi kelompok dihadiri oleh satu atau lebih nara sumber, namun anggota
kelompok dan nara sumber mempunyai kedudukan yang sama untuk mengemukakan
pendapatnya. Pada kegiatan ini lebih diarahkan pada pertukaran pendapat tentang topik
bahasan sarasehan, dan tidak menjadi keharusan diperoleh kesepakatan bersama.
Simulasi, kegiatan dilaksanakan kelompok ditambah dengan keterlibatan anggota dalam
bermain peran dan pada akhir kegiatan dilakukan diskusi tentang hal-hal yang dilakukan, dilihat
dari aspek sikap yang dirasakan, pemahaman tentang pengetahuan dan keterampilan yang telah
diperoleh atau yang masih perlu diperoleh untuk melaksanakan peran tersebut.
Konsultasi, lebih ditekankan pada tanya jawab yang mendalam tentang sesuatu masalah
dengan seorang nara sumber atau lebih. Peran bertanya atau mengajukan masalah terletak pada
peserta dan nara sumber membantu menggali hal-hal yang berkaitan dengan permasalahan
yang diajukan agar dapat memecahkan masalah yang dihadapi.
Temu wicara, diskusi lebih terbuka secara dua arah. Narasumber berperan sebagai fasilitator
dan moderator untuk mendistribusikan kesempatan bicara antar peserta secara adil dan
seimbang. Pada akhir pertemuan, narasumber dapat menyimpulkan hasil diskusi berdasarkan
pendapat para peserta.
Belajar keterampilan tertentu, kegiatan lebih diarahkan pada pemberian latihan pada
individu atau kelompok dengan tujuan peningkatan atau penguasaan keterampilan tertentu,
baik melalui kegiatan belajar bersama maupun oleh seorang ahli.

Kegiatan Kelompok Orang Tua (KPO) dalam Membangun Karakter Anak Usia Dini
Berbasis Keluarga

Penelitian ini mengambil sampel dari beberapa orang tua yang telah aktif mengikuti kegiatan
KPO (Kelompok Pertemuan Orang Tua) yang diadakan oleh KB Ceria selama kurang lebih 2
tahun yakni sejak tahun 2010-2012.
Dari data-data tersebut di atas dapat di simpulkan bahwa kebanyakan para orang tua yang
telah mengikuti kegiatan KPO ini mulai terbangun kesadaran bahwa betapa pentingnya peran
orang tua dalam memberikan perhatian terhadap tumbuh kembang anak di rumah. Hal ini
nampak dari upaya orang tua untuk selalu memperbaiki sikap dan perilaku yang ditampakkan
terhadap anak di rumah. Dan yang terpenting lagi adalah adanya kemauan dan usaha yang
dilakukan oleh para orang tua untuk meminimalisir perilaku bulliying (kekerasan) terhadap
anak, baik kekerasan verbal, fisik, maupun psikologis.
Hal ini sebagaimana terjadi pada kasus Ibu Nining yang sebelumnya sering menampakkan
perilaku emosional terhadap anaknya Natasya Aninda Putri, bahkan cenderung sering

GOLDEN AGE
Jurnal Ilmiah Tumbuh Kembang Anak Usia Dini
Volume. 1 No. 1. Maret 2016
e-ISSN: 2502-3519
Parenting Education sebagai Model Pendidikan Karakter
Anak Usia Dini Berbasis Keluarga | 33
Rohinah

menggunakan bahasa-bahasa verbal yang kasar, namun setelah mengikuti kegiatan KPO mulai
terbangun kesadaran bahwa sikap dan perilaku yang ditampakkan terhadap anaknya yang
masih pada tahapan usia dini selama ini ada yang salah dan belum mengarah pada hal-hal yang
positif. Sehingga merasa perlu banyak belajar untuk memperbaiki diri (Wawancara dengan Ibu
Nining pada tanggal 20 Agustus 2012).
Hasil dari kegiatan kunjungan rumah dapat disimpulkan bahwa kegiatan KPO yang
diselenggarakan oleh KB Ceria sudah mengarah pada pemecahan masalah yang dihadapi oleh
orang tua yang mengalami problem keluarga. Sehingga bisa memahami betul apa sebenarnya
kondisi yang melatar belakangi setiap permasalahan yang dihadapi peserta didik. Karena sikap
dan perilaku anak yang ditampakkan anak sesungguhnya lebih banyak diperoleh dari bentukan
dalam proses pengasuhan keluarga. Meski dalam kegiatan kunjungan rumah yang dilakukan
oleh KPO ini sesungguhnya masih belum mengarah pada kegiatan advokasi dan
pendampingan terhadap kasus-kasus yang terjadi pada masing-masing keluarga tersebut. Baru
sebatas pemecahan masalah yang bersifat kekeluargaan dan personal.
Sebagaimana kasus yang menimpa pada Ibu Rohanah yang sering kali anaknya yang
bernama Sutrisno Ade Saputra mendapat kekerasan dari ayah tirinya (Wawancara dengan Ibu
Rohanah pada tanggal 25 Agustus 2012). Pendekatan yang dilakukan KPO baru sebatas
memberikan pengarahan pada masing-masing pihak baik ayah dan ibu, untuk memperbaiki
sikap dan perilaku terhadap anak-anaknya di rumah. Namun demikian, belum mengarah
kepada kegiatan advokasi dan pendampingan terhadap peserta didik yang menjadi korban
kekerasan. Jadi, pendekatan yang digunakan masih menggunakan pendekatan kekeluargaan
dan pembinaan secara personal.
Dari hasil pembacaan terhadap data di atas dapat disimpulkan bahwa dalam kegiatan
kunjungan rumah yang menjadi target dari kegiatan ini adalah Menjadikan lingkungan keluarga
yang kondusif dan komunikatif. Dalam kegiatan curah pendapat target yang ingin dicapai
adalah penemuan pemecahan masalah secara bersama terhadap masalah yang dihadapi
orangtua dan anak di rumah. Untuk kegiatan sarasehan target dari kegiatan ini adalah
menjadikan smart parent, dan untuk kegiatan pemberian keterampilan target utamanya adalah
menjadikan orang tua terampil membuat permainan edukatif di rumah.
Dari hasil pembacaan terhadap data-data tersebut dapat disimpulkan bahwa kegiatan yang
sudah cukup efektif yakni curah pendapat dan sarasehan. Sedangkan kunjungan rumah dan
pemberian keterampilan masih belum efektif disebabkan berbagai macam kendala di atas. Oleh
karena itu masih perlu dioptimalkan lagi.
Dari berbagai bentuk kegiatan yang diadakan oleh KPO ini sesungguhnya telah memuat
ketiga aspek, baik kognitif, afektif, dan psikomotorik. Namun kadar dan ukurannya yang
berbeda-beda. Pada bentuk kunjungan rumah dampak afektif lebih dominan, disebabkan
dengan pendekatan personal, peserta merasa beban berat yang selama ini menjadi persoalan
keluarga bisa di share kan kepada orang lain, dan menemukan pencerahan dari proses
pendekatan secara kultural. Dengan demikian kepekaan perasaan lebih memiliki dampak yang
signifikan. Demikian juga pada kegiatan curah pendapat, dengan membagi persoalan
pendampingan anak pada umumnya para peserta merasa tidak sendirian, dan bisa membagi
persoalan yang ada. Pendekatan ini ternyata efektif, dengan berbagai masukan dari teman-
teman peserta yang lain, mampu membangkitan kepekaan perasaan dan penyadaran yang
cukup signifikan.

GOLDEN AGE
Jurnal Ilmiah Tumbuh Kembang Anak Usia Dini
Volume. 1 No. 1. Maret 2016
e-ISSN: 2502-3519
Parenting Education sebagai Model Pendidikan Karakter
34 | Anak Usia Dini Berbasis Keluarga
Rohinah

Sementara pada kegiatan sarasehan, karena yang lebih dominan pada sesi ini adalah nara
sumber, sehingga dampak kognitif sangat berpengaruh besar terhadap pengetahuan, wawasan,
dan perubahan pola pikir para peserta. Pada umumnya kaum ibu para peserta pelatihan berasal
dari desa, secara pendidikan juga masih rendah, akses informasi juga belum memadai, sehingga
informasi yang diperoleh melalui sesi ini sangat berarti dan memberikan kebermaknaan yang
cukup besar. Sedang untuk sesi pemberian pelatihan keterampilan lebih pada dampak
psikomotorik nya. Dari pelatihan ini banyak para orang tua yang mencoba memberikan
permainan edukatif dengan memanfaatkan bahan-bahan yang ada di rumah. Sehingga
menambah kreatifitas para orang tua dalam mendampingi anak-anaknya di rumah.

Hambatan dan Tantangan Kegiatan Kelompok Pertemuan Orang Tua (KPO)

Hambatan dan tantangan dalam kegiatan ini di antaranya; pertama, masih minimnya kesadaran
orang tua akan pentingnya kegiatan pelatihan parenting. Terlebih secara geografis letak KB
Ceria berada di tengah-tengah pemukiman perumahan yang notabene eksklusif dan high class
yang hampir setiap anak diserahkan kepada pengasuh (baby sitter). Sehingga keterlibatan orang
tua justru tergantikan oleh para pengasuhnya.
Kedua, masih rendahnya keterlibatan dan partisipasi orang tua terhadap kegiatan sekolah,
terlebih lagi dari kaum ayah. Kegiatan ini hampir seluruhnya didominasi oleh para ibu.
Ketiga, masih adanya anggapan bahwa kegiatan sekolah hanyalah untuk memenuhi
kebutuhan dan kepentingan sekolah semata. Tetapi belum menjadi kebutuhan pribadi.
Keempat, beragamnya latar belakang orang tua baik dari aspek pendidikan, ekonomi, sosial,
dan usia. Dan kelima, masalah pendanaan. Karena masih minimnya kesadaran orang tua
berimbas pula terhadap keterlibatan aktif dalam hal pendanaan. Sehingga kegiatan ini hampir
seluruhnya di bebankan kepada sekolah dan pengurus.

Peluang dan Kekuatan Kegiatan Kelompok

Pertemuan Orang Tua (KPO)

Pertama, pengelola dan pengurus yang solid untuk selalu berusaha mengembangkan kegiatan
program penguatan PAUD Berbasis Keluarga sebagai wahana pendidikan orang tua.
Kedua, dukungan sebagian orang tua yang merasa perlu adanya kegiatan semacam ini.
Ketiga, peran serta guru-guru yang sangat antusias dalam mensukseskan kegiatan ini. Keempat,
sebagian para pengasuh anak (baby sitter) justru memiliki kepedulian yang tinggi terhadap
pentingnya kegiatan semacam ini.

Simpulan

GOLDEN AGE
Jurnal Ilmiah Tumbuh Kembang Anak Usia Dini
Volume. 1 No. 1. Maret 2016
e-ISSN: 2502-3519
Parenting Education sebagai Model Pendidikan Karakter
Anak Usia Dini Berbasis Keluarga | 35
Rohinah

Pertama, kebanyakan para orang tua yang telah mengikuti kegiatan KPO ini mulai
terbangun kesadaran bahwa betapa pentingnya peran orang tua dalam memberikan perhatian
terhadap tumbuh kembang anak di rumah. Hal ini nampak dari upaya orang tua untuk selalu
memperbaiki sikap dan perilaku yang ditampakkan terhadap anak di rumah. Dan yang
terpenting lagi adalah adanya kemauan dan usaha yang dilakukan oleh para orang tua untuk
meminimalisir perilaku bulliying (kekerasan) terhadap anak, baik kekerasan verbal, fisik,
maupun psikologis.
Kedua, kegiatan KPO yang diselenggarakan oleh KB Ceria sudah mengarah pada
pemecahan masalah yang dihadapi oleh orang tua yang mengalami problem keluarga. Sehingga
bisa memahami betul apa sebenarnya kondisi yang melatar belakangi setiap permasalahan yang
dihadapi peserta didik. Karena sikap dan perilaku anak yang ditampakkan anak sesungguhnya
lebih banyak diperoleh dari bentukan dalam proses pengasuhan keluarga. Meski dalam kegiatan
kunjungan rumah yang dilakukan oleh KPO ini sesungguhnya masih belum mengarah pada
kegiatan advokasi dan pendampingan terhadap kasus-kasus yang terjadi pada masing-masing
keluarga tersebut. Baru sebatas pemecahan masalah yang bersifat kekeluargaan dan personal.
Ketiga, dalam setiap bentuk kegiatan memiliki target yang berbeda-beda, di antaranya;
kegiatan kunjungan rumah yang menjadi target dari kegiatan ini adalah Menjadikan lingkungan
keluarga yang kondusif dan komunikatif. Dalam kegiatan curah pendapat target yang ingin
dicapai adalah penemuan pemecahan masalah secara bersama terhadap masalah yang dihadapi
orangtua dan anak di rumah. Untuk kegiatan sarasehan target dari kegiatan ini adalah
menjadikan smart parent, dan untuk kegiatan pemberian keterampilan target utamanya adalah
Menjadikan orang tua terampil membuat permainan edukatif di rumah.
Keempat, di antara keempat bentuk kegiatan yang dilakukan KPO, kegiatan yang sudah
cukup efektif yakni curah pendapat dan sarasehan. Sedangkan kunjungan rumah dan
pemberian keterampilan masih belum efektif disebabkan berbagai macam kendala di atas. Oleh
karena itu masih perlu dioptimalkan lagi.
Kelima, dari berbagai bentuk kegiatan yang diadakan oleh KPO ini sesungguhnya telah
memuat ketiga aspek, baik kognitif, afektif, dan psikomotorik. Namun kadar dan ukurannya
yang berbeda-beda. Pada bentuk kunjungan rumah dampak afektif lebih dominan, disebabkan
dengan pendekatan personal, peserta merasa beban berat yang selama ini menjadi persoalan
keluarga bisa di share kan kepada orang lain, dan menemukan pencerahan dari proses
pendekatan secara kultural. Dengan demikian kepekaan perasaan lebih memiliki dampak yang
signifikan.
Demikian juga pada kegiatan curah pendapat, dengan membagi persoalan pendampingan
anak pada umumnya para peserta merasa tidak sendirian, dan bisa membagi persoalan yang
ada. Pendekatan ini ternyata efektif, dengan berbagai masukan dari teman-teman peserta yang
lain, mampu membangkitan kepekaan perasaan dan penyadaran yang cukup signifikan.
Sementara pada kegiatan sarasehan, karena yang lebih dominan pada sesi ini adalah nara
sumber, sehingga dampak kognitif sangat berpengaruh besar terhadap pengetahuan, wawasan,
dan perubahan pola pikir para peserta.
Pada umumnya kaum ibu para peserta pelatihan berasal dari desa, secara pendidikan juga
masih rendah, akses informasi juga belum memadai, sehingga informasi yang diperoleh melalui
sesi ini sangat berarti dan memberikan kebermaknaan yang cukup besar. Sedang untuk sesi
pemberian pelatihan keterampilan lebih pada dampak psikomotorik nya. Dari pelatihan ini

GOLDEN AGE
Jurnal Ilmiah Tumbuh Kembang Anak Usia Dini
Volume. 1 No. 1. Maret 2016
e-ISSN: 2502-3519
Parenting Education sebagai Model Pendidikan Karakter
36 | Anak Usia Dini Berbasis Keluarga
Rohinah

banyak para orang tua yang mencoba memberikan permainan edukatif dengan memanfaatkan
bahan-bahan yang ada di rumah. Sehingga menambah kreatifitas para orang tua dalam
mendampingi anak-anaknya di rumah.

Daftar Pustaka

Babbie L. Earl, The Practice of Social Research. Fifth Edition, California: Wadsworth Publishing
Company, Inc., 1989.

Bakker, Anton dan Achmad Charis Zubair, Metodologi Penulisan Filsafat. Jakarta: Kanisius,
1995.

Danim, Sudarwan, Menjadi Penulis Kualitatif. Bandung: Pusta Setia, 2002.

Dzakiyah Darajat, Menumbuhkan Minat Beragama dan Akhlak Bagi Anak dan Remaja. Bandung:
Rosda Karya, 2000.

E Sphero Lawrence, Emotional Intellegence. Terj. T. Hermaya. Jakarta: Gramedia Pustaka


Utama, 1991.

Huda, Nurul F, Kiat Membentuk Anak Berkarakter Hebat. Yogyakarta: Bidadari Biru, 2010.

Izzaty, Rika Eka, Pengembangan Karakter Anak Melalui Pendidikan Karakter. Tinjauan Berbagai
Aspek Character Building. Yogyakarta: Tiara Wacana, 2008.

Izzaty, Rika Eka, Peran Aktivitas Pengasuhan Pada Pengasuhan Perilaku Anak Usia Dini (Kajian
Psikologis Berdasarkan Teori Sistem Ekologi). Tinjauan Berbagai Aspek Character Building.
Yogyakarta: Penerbit Tiara Wacana, 2008.

Kartono, Kartini, Psikologi Anak. Bandung: Penerbit Alumni, 1982.

Kemendiknas, Panduan Pelaksanaan Pendidikan Karakter di SMP. Jakarta: Direktorat Jenderal


Pendidikan Dasar, 2011.

Kemendiknas, Panduan Pendidikan Karakter. Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar,


2010.

Lickona, T, Educating for Character, How Our Schools Can Teach Respect and Responsibility. New
York: Bantam Books, 1992.

Megawangi, Ratna, Pendidikan Karakter untuk Membangun Masyarakat Madani. Jakarta: IPPK
Indonesia Heritage Foundation, 2003.

GOLDEN AGE
Jurnal Ilmiah Tumbuh Kembang Anak Usia Dini
Volume. 1 No. 1. Maret 2016
e-ISSN: 2502-3519
Parenting Education sebagai Model Pendidikan Karakter
Anak Usia Dini Berbasis Keluarga | 37
Rohinah

Musfiroh, Tadkiroatun ed, Karakter Sebagai Saripati Tumbuh Kembang Anak Usia Dini.
Yogyakarta: Tiara Wacana, 2011.

Republika, edisi Jumat, 17 Juni 2011)

Rukhiyat, Adang, Manejemen Pembinaan Ektrakurikuler. Jakarta: Dinas olah Raga dan Pemuda,
2004.

SKH Kedaulatan Rakyat, 11/12/2012

Ulwan, Abdullah Nashih, Mendidik Anak Secara Islami, terj. Yogyakarta: Ar-Ruz Media, 2010.

Zuriah, Nurul, Pendidikan Moral & Budi Pekerti dalam Perspektif Perubahan. Jakarta; PT. Bumi
Aksara, 2007.

GOLDEN AGE
Jurnal Ilmiah Tumbuh Kembang Anak Usia Dini
Volume. 1 No. 1. Maret 2016
e-ISSN: 2502-3519
Parenting Education sebagai Model Pendidikan Karakter
38 | Anak Usia Dini Berbasis Keluarga
Rohinah

GOLDEN AGE
Jurnal Ilmiah Tumbuh Kembang Anak Usia Dini
Volume. 1 No. 1. Maret 2016
e-ISSN: 2502-3519
Dinamika Perubahan Kurikulum: Kebijakan Perubahan
Kurikulum 2013 Paud | 39
Laelatul Istiqomah

Dinamika Perubahan Kurikulum: Kebijakan Perubahan Kurikulum 2013 Paud

Laelatul Istiqomah
Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
email: ella_pml90@yahoo.com

Golden Age Jurnal Ilmiah Tumbuh Kembang Anak Usia Dini, Vol. 1 No. 1 April 2016
Diterima: 10 Februari 2016 Direvisi : 25 Februari 2016 Disetujui: 01 Maret 2016
e-ISSN: 2502-3519 DOI :

Abstract

Abstrak

Salah satu permasalahan pendidikan di Indonesia adalah pada kurikulum. Seiring


perkembangan dan tantangan zaman, kurikulum terus mengalami perubahan dan
pengembangan yang sistematis dan terarah. Implementasi kurikulum seharusnya dapat
mewujudkan visi, misi, dan tujuan pendidikan nasional secara bertahap. Perubahan dan
pengembangan kurikulum yang paling mendasar adalah pengembangan kurikulum pada
pendidikan tingkat paling dasar yaitu Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD), karena mutu
Pendidikan Anak Usia Dini menentukan kualitas sumber daya manusia (SDM) Indonesia
di masa yang akan datang, salah satunya yaitu dengan kurikulum 2013 PAUD. Saat ini
PAUD telah mempunyai kurikulum sendiri, karena selama ini PAUD belum mempunyai
kurikulum. Diharapkan Kurikulum 2013 PAUD mendorong perkembangan peserta didik
secara optimal.

Kata Kunci : Perubahan Kurikulum, Kurikulum PAUD 2013

GOLDEN AGE
Jurnal Ilmiah Tumbuh Kembang Anak Usia Dini
Volume. 1 No. 1. Maret 2016
e-ISSN: 2502-3519
Dinamika Perubahan Kurikulum: Kebijakan Perubahan
40 | Kurikulum 2013 Paud
Laelatul Istiqomah

Pendahuluan

Dewasa ini, pendidikan anak usia dini (PAUD) telah menjadi bagian penting dari sistem
pendidikan di Indonesia. Pendidik PAUD memerankan tugas yang sangat mulia, bagaimana
pendidikan dalam usia emas (golden age) dapat berjalan dengan optimal.
PAUD merupakan suatu tahap pendidikan yang tidak dapat diabaikan, karena ikut
menentukan perkembangan dan keberhasilan anak. Dengan adanya PAUD diharapkan anak
akan tumbuh dan berkembang dengan identitas diri yang kuat (Noorlaila, 2010: 8). Awal
kehidupan anak merupakan masa yang paling tepat dalam memberikan dorongan atau upaya
pengembangan agar anak dapat berkembang secara optimal. Salah satu upaya yang dapat
dilakukan dalam rangka pengembangan potensi tersebut adalah dengan program pendidikan
yang terstruktur. Salah satu komponen untuk pendidikan yang terstruktur adalah kurikulum.
Kurikulum dalam PAUD terdiri dari semua kegiatan dan pengalaman yang diikuti anak usia
dini dalam pengasuhan. Lingkup perkembangan fisik/ motorik, sosial emosional, kognitif, nilai
moral agama dan seni merupakan isi kurikulum secara utuh dan kurikulum dirancang sesuai
dengan perkembangan (Morrisson, 2012: 207).
Penyempurnaan kurikulum perlu terus menerus dilakukan seiring dengan perkembangan
ilmu pengetahuan dan teknologi. Penyempurnaan kurikulum akan berhasil, bila terjadi
perubahan paradigma pendidik terhadap anak dan pembelajaran. Pendidik harus mempunyai
paradigma bahwa anak adalah individu yang berpotensi untuk berkembang, memiliki rasa ingin
tahu dan individu yang aktif.
Kurikulum memiliki struktur dan muatan yang memberi peluang pada anak untuk
memperoleh sejumlah pengalaman belajar. Keberhasilan suatu kurikulum merupakan proses
panjang, mulai dari kristalisasi berbagai gagasan dan konsep ideal tentang pendidikan,
perumusan desain kurikulum, persiapan pendidik dan tenaga kependidikan, serta sarana dan
prasarana, tata kelola pelaksanaan kurikulum (termasuk pembelajaran) dan penilaian
pembelajaran dan kurikulum (Kemendikbud, 2014: 6).
Dalam Peraturan Menteri No.160 tahun 2014 tentang pemberlakuan kurikulum 2006 dan
kurikulum 2013 pasal 7 yang menyebutkan bahwa satuan pendidikan anak usia dini
melaksanakan kurikulum 2013 sesuai dengan ketentuan perundang-undangan. Jadi satuan
PAUD melaksanakan KTSP dan Kurikulum 2013 dengan ketentuan perundang-undangan.
Ketentuan perundang-undangan kemudian diatur dalam Peraturan Menteri No. 137 tahun
2014 tentang Standar Nasional Pendidikan Anak Usia Dini dan No. 146 tahun 2014 tentang
Kurikulum 2013 PAUD. Peraturan tersebut menyatakan bahwa saat ini PAUD telah
mempunyai kurikulum sendiri, karena selama ini PAUD belum mempunyai kurikulum.

Hakikat Kurikulum

Istilah kurikulum digunakan pertama kali pada dunia olahraga pada zaman Yunani kuno
yang berasal dari kata curir dan curere. Pada waktu itu kurikulum diartikan sebagai jarak yang
harus ditempuh oleh seorang pelari. Orang mengistilahkannya dengan tempat berpacu atau
tempat berlari dari mulai start sampai finish.
Selanjutnya istilah kurikulum digunakan dalam dunia pendidikan. Para ahli pendidikan
memiliki penafsiran yang berbeda tentang kurikulum, namun ada juga kesamaannya.

GOLDEN AGE
Jurnal Ilmiah Tumbuh Kembang Anak Usia Dini
Volume. 1 No. 1. Maret 2016
e-ISSN: 2502-3519
Dinamika Perubahan Kurikulum: Kebijakan Perubahan
Kurikulum 2013 Paud | 41
Laelatul Istiqomah

Kesamaannya adalah bahwa kurikulum berhubungan erat dengan usaha mengembangkan


peserta didik sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai (Sanjaya, 2013: 3).
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, Kurikulum adalah perangkat mata pelajaran yang
diajarkan pada lembaga pendidikan (Depdikna, 2008: 1429).
Pengertian kurikulum itu sendiri mengalami perubahan seiring bertambahnya tanggung
jawab sekolah. J Galen Saylor dan William M. Alexander mengemukakan the curriculum is the
sum total of school efforts to influence learning. Whether in classroom, on the playground, or of out school.
Kurikulum menurut pengertian tersebut merupakan semua upaya sekolah untuk
mempengaruhi peserta didik belajar, baik di halaman sekolah atau di luar sekolah (Arifin,
2011:2-3).
Konsep kurikulum juga dikatakan sebagai suatu program atau rencana pembelajaran,
seperti yang dikemukakan oleh para ahli kurikulum, seperti, Donald E. Orlosky, B. Othanel
Smith, dan Peter F. Oliva, yang menyatakan bahwa kurikulum pada dasarnya adalah suatu
perencanaan atau program pengalaman siswa yang diarahkan sekolah.
Kurikulum sebagai suatu rencana tampaknya sejalan dengan rumusan kurikulum menurut
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, dikatakan
bahwa kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan
pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran
untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu (Sanjaya, 2013:8). Pengertian tersebut banyak
berhubungan dengan fungsi dan kegiatan guru sebagai pengembang kurikulum di sekolah, baik
dalam dimensi rencana, dimensi kegiatan maupun dimensi hasil.

Perlunya Kurikulum

PAUD merupakan pendidikan yang paling fundamental karena perkembangan anak di


masa selanjutnya sangat ditentukan oleh berbagai stimulasi bermakna yang diberikan sejak usia
dini. Pendidikan anak usia dini harus dipersiapkan secara terencana dan bersifat holistik agar
dimasa emas perkembangan anak mendapatkan distimulasi yang utuh, sehingga
mengembangkan berbagai potensi yang dimiliki anak. Salah satu upaya yang dapat dilakukan
dalam rangka pengembangan potensi tersebut adalah dengan program pendidikan yang
terstruktur. Salah satu komponen untuk pendidikan yang terstruktur adalah kurikulum
(Kemendikbud, 2014: 8).

Dinamika Perubahan Kurikulum di Indonesia

Dalam perjalanan sejarah sejak tahun 1945, kurikulum pendidikan nasional telah mengalami
perubahan, yaitu pada tahun 1947, 1952, 1964, 1968, 1975, 1984, 1994, 1999, 2004, 2006 dan
2013.
Dalam suatu sistem pendidikan, kurikulum itu sifatnya dinamis serta harus selalu dilakukan
perubahan dan pengembangan, agar dapat mengikuti perkembangan dan tantangan zaman.
Meskipun demikian, perubahan dan pengembangan harus dilakukan secara sistematis dan
terarah, tidak asal berubah. Perubahan dan pengembangan kurikulum tersebut harus memiliki
visi dan arah yang jelas, mau dibawa ke mana sistem pendidikan nasional dengan kurikulum
tersebut (Mulyasa, 2013: 59).

GOLDEN AGE
Jurnal Ilmiah Tumbuh Kembang Anak Usia Dini
Volume. 1 No. 1. Maret 2016
e-ISSN: 2502-3519
Dinamika Perubahan Kurikulum: Kebijakan Perubahan
42 | Kurikulum 2013 Paud
Laelatul Istiqomah

Implementasi kurikulum seharusnya dapat mewujudkan visi, misi, dan tujuan pendidikan
nasional secara bertahap, namun dalam kenyataannya seringkali menghadapi berbagai masalah
dan tantangan, sehingga yang terjadi tidak sesuai dengan yang diharapkan, bahkan mengalami
kegagalan. Oleh karena itu, setiap perubahan kurikulum mestinya memperhatikan kondisi-
kondisi yang dialami dalam implementasi kurikulum sebelumnya, tidak bisa serampangan juga
tidak boleh terlalu dipaksakan (Mulyasa, 2013: 35).
Kebiasaan bongkar pasang kurikulum ini juga menandakan bahwa perencanaan
pembelajaran belum bisa terencana dengan sedemikian cermat, dipraktikkan secara efektif dan
efisien. Padahal anggaran yang harus dikeluarkan untuk menyusun kurikulum membutuhkan
dana yang sangat besar, yang seharusnya para konseptor dan kreator benar-benar menyusun
kurikulum dengan matang.
Bagan di bawah ini merupakan gambaran kasar sejarah kurikulum di Indonesia:
1. Kurikulum Rencana Pelajaran (1947-1968)
a. Rencana Pelajaran 1947
Kurikulum ini merupakan kurikulum pertama yang lahir setelah masa kemerdekaan. Pada
masa tersebut masih menggunakan istilah leer plan (bahasa Belanda = rencana pelajaran). Kisi-
kisi pendidikannya lebih bersifat politis, dari orientasi pendidikan Belanda ke kepentingan
nasional.
Rencana Pelajaran 1947 baru dilaksanakan di sekolah-sekolah pada 1950. Bentuknya
memuat dua hal pokok, yaitu: 1. Daftar mata pelajaran dan jam pengajarannya; 2. Garis-garis
besar pengajaran (GBP). Fokus pelajarannya pada pengembangan Pancawardhana, yaitu: 1.
Daya Cipta; 2. Rasa; 3. Karsa; 4. Karya; 5. Moral.
b. Rencana Pelajaran Terurai 1952
Rencana pelajaran 1947 kemudian disempurnakan menjadi renvana pelajaran 1952. Pada
fase ini pendidikan sudah mulai menata tujuannya. Fokus rencana pelajarannya tidak hanya
pada pendidikan watak dan perilaku saja, aspek kognitif sudah mulai diperhatikan. Selain itu
pengembangannya juga sudah mulai meluas atau pada saat itu disebut dengan pengembangan
pancawardhana yang mana mencakup daya cipta, rasa, karsa, karya dan moral. Mata
pelajaranpun sudah diklarifikasikan dalam lima kelompok bidang studi yaitu: 1. Moral, 2.
Kecerdasan, 3. Emosional/artistik, 4. Keprigelan (Keterampilan), 5. Jasmaniah.
c. Kurikulum Rencana Pendidikan 1964
Pokok-pokok pikiran 1964 adalah bahwa pemerintah mempunyai keinginan agar rakyat
mendapat pengetahuan akademik untuk pembekalan pada jenjang SD. Kurikulum 1964 juga
menitik beratkan pada pengembangan daya cipta, rasa, karsa, karya dan moral, yang kemudian
dikenal dengan istilah Pancawardhana. Pada saat itu pendidikan dasar lebih menekankan pada
pengetahuan dan kegiatan fungsional praktis, yang disesuaikan dengan pengembangan anak.
Sehingga pembelajaran dipusatkan pada program Pancawardhana (Fitriya, 2014).
d. Kurikulum 1968
Kurikulum 1968 dilahirkan oleh pemerintah dengan harapan dapat melakukan perbaikan
dan peningkatan mutu pendidikan karena kurikulum yang berlangsung sebelumnya terkesan
masih diwarnai oleh kepentingan-kepentingan tertentu yang cenderung mengakomodir sistem-
sistem yang belum sejalan dengan jiwa UUD 45. Dalam penerapannya, kurikulum 1968
diserahkan pada masing-masing sekolah atau guru, kurikulum 1968 secara nasional hanya

GOLDEN AGE
Jurnal Ilmiah Tumbuh Kembang Anak Usia Dini
Volume. 1 No. 1. Maret 2016
e-ISSN: 2502-3519
Dinamika Perubahan Kurikulum: Kebijakan Perubahan
Kurikulum 2013 Paud | 43
Laelatul Istiqomah

memuat tujuan materi, metodik dan evaluasi. Hal ini berarti kurikulum 1968 telah
dikembangkan dalam nuansa otonomi.
2. Kurikulum Berorientasi Pencapaian Tujuan (1975-1994)
a. Kurikulum 1975
Setelah munculnya keputusan MPR No. II /MPR/1973 maka muncullah kurikulum baru
yang disusun oleh pemerintah, yaitu kurikulum 1975 menggantikan kurikulum sebelumnya.
Dalam kurikulum ini, konsep pendidikan ditentukan dari pusat, sehingga para guru tidak perlu
berfikir untuk membuat konsep pembelajaran yang akan dilaksanakan.
b. Kurikulum 1984
Dalam penyusunan kurikulum 1984 ini terdapat kebijakan yang diambil oleh pemerintah
diantaranya penambahan mata pelajaran inti yang awalnya hanya berjumlah 8 menjadi 16 mata
pelajaran inti ditambah lagi penambahan pelajaran pilihan yang sesuai dengan jurusan masing-
masing.
c. Kurikulum 1994
Kurikulum 1994 merupakan penyempurnaan dari kurikulum sebelumnya yang
dimaksudkan untuk menjawab kebutuhan-kebutuhan sosial dimasa depan, sehingga
pendidikan diarahkan pada pembentukkan karakter anak yang memiliki kemampuan dasar siap
bekerja dengan skill yang baik.
Kurikulum 1994 dibuat sebagai penyempurna kurikulum 1984 dan dilaksanakan sesuai
denganUndang-undang no.2 tahun 1989 tentang sistem pendidikan nasional. Hal ini
berdampak pada sistem pembagian waktu pelajaran, yaitu dengan mengubah dari sistem
semester ke sistem caturwulan. Pembelajaran disekolah menekankan pada materi pelajaran
yang cukup padat.
Pada pelaksanaan kurikulum 1994, muncul beberapa persoalan yang dihadapi sehingga pada
mendorong para pembuat kebijakan untuk menyempurnakan kurikulum tersebut dengan cara
diberlakukannya Suplemen Kurikulum 1994.
3. Kurikulum 2004/ KBK (Kurikulum Berbasis Kompetensi)
Kurikulum Berbasis Kompetensi atau yang lebih sering kita kenal dengan KBK merupakan
sebuah konsep kurikulum yang menekankan pada pengembangan dan penguasaan kompetensi
bagi peserta didik melalui berbagai kegiatan dan pengalaman sesuai dengan standar nasional
pendidikan sehingga hasilnya dapat dirasakan oleh peserta didik, orang tua dan masyarakat
(Arifin, 2011: 152). KBK pada prinsipnya adalah menggeser orientasi kurikulum yang berbasis
pada kompetensi. Kurikulum lama yang berorientasi content mendorong para pengajar untuk
melakukan how to know dan what should be to know. Dengan demikian para tenaga pendidik lebih
tertuju agar para peserta didik dapat menguasai materi dibanding praktek pada diri peserta
didik. Berbeda dengan KBK yang mana berorientasi pada kompetensi yang menuntut para
pendidik untuk how to do dan what to do sehingga para peserta didik dapat “tahu apa” dan
“melakukan apa”.
Dalam proses KBK pendidik dituntut untuk dapat melakukan how to know (bagaimana
membuat siswa memahami pengetahuan), how to be (bagaimana sesuatu yang dipelajari siswa
menjadi bagian kepribadian siswa), how to do (bagaimana sesuatu yang dipelajari siswa
menjadikannya dapat melakukan sesuatu) (Hasibuan, 2010: 113).

GOLDEN AGE
Jurnal Ilmiah Tumbuh Kembang Anak Usia Dini
Volume. 1 No. 1. Maret 2016
e-ISSN: 2502-3519
Dinamika Perubahan Kurikulum: Kebijakan Perubahan
44 | Kurikulum 2013 Paud
Laelatul Istiqomah

4. Kurikulum 2006/ KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan)


Dalam Standar Nasional Pendidikan (SNP Pasal 1 ayat 15) dikemukakan Kurikulum
Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) adalah kurikulum operasional yang disusun dan
dilaksanakan oleh masing-masing satuan pendidikan. Penyusunan KTSP dilakukan oleh satuan
pendidikan dengan memperhatikan dan berdasarkan standar kompetensi dan kompetensi
dasar yang dikembangkan oleh Badan Standar Nasional Pendidikan (BNSP).
KTSP resmi diberlakukan secara nasional dengan terbitnya PP No. 19/2005 dan
Pemdiknas No. 24/2006. Pengembangan KTSP berpedoman pada standar kompetensi (SK),
kompetensi dasar (KD), standar isi (SI), dan standar kompetensi lulusan (SKL), yang
digunakan sebagai acuan pembelajaran di sekolah dengan menekankan pencapaian
kemampuan minimal pada setiap tingkatan kelas dan pada akhir satuan pendidikan (Raharjo,
2010:27).
5. Kurikulum 2013
Kurikulum ini adalah kurikulum terbaru yang mulai diterapkan pada tahun ajaran 2013-
2014. Pengembangan kurikulum 2013 ini diharapkan mampu menghasilkan insan Indonesia
yang produktif, kreatif, inovatif, afektif melalui penguatan sikap, keterampilan dan
pengetahuan yang terintegrasi. Adapun elemen yang berubah pada kurikulum 2013 ini adalah
pada standar kompetensi lulusan, standar proses, standar isi, dan standar penilaian.
Perlunya perubahan kurikulum juga karena adanya beberapa kelemahan yang ditemukan
dalam KTSP 2006, antara lain:
1) Isi dan pesan-pesan kurikulum masih terlalu padat,
2) Kurikulum belum mengembangkan kompetensi secara utuh sesuai dengan visi, misi, dan
tujuan pendidikan nasional,
3) Kompetensi yang dikembangkan lebih didominasi oleh aspek pengetahuan, belum
sepenuhnya menggambarkan pribadi peserta didik (pengetahuan, keterampilan dan sikap),
4) Penilaian belum menggunakan standar penilaian berbasis kompetensi dan lain sebagainya.
Selain kelemahan- kelemahan tersebut, perubahan dan pengembangan kurikulum diperlukan
karena adanya beberapa kesenjangan kurikulum yang sedang berlaku sekarang (KTSP). Sejalan
dengan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni, maka dapat diidentifikasikan beberapa
kesenjangan kurikulum sebagai berikut (Mulyasa, 2013: 61-62);

KONDISI SAAT INI KONSEP IDEAL


A. Kompetensi Lulusan A. Kompetensi Lulusan
1. Belum sepenuhnya menekankan 1. Berkarakter mulia
pendidikan karakter
2. Belum menghasilkan 2. Keterampilan yang relevan
keterampilan sesuai kebutuhan
3. Pengetahuan-pengetahuan lepas 3. Pengetahuan-pengetahuan
terkait
B. Materi Pembelajaran B. Materi Pembelajaran
1. Belum relevan dengan 1. Relevan dengan matei yang
kompetensi yang dibutuhkan dibutuhkan
2. Beban belajar terlalu berat 2. Materi esensial

GOLDEN AGE
Jurnal Ilmiah Tumbuh Kembang Anak Usia Dini
Volume. 1 No. 1. Maret 2016
e-ISSN: 2502-3519
Dinamika Perubahan Kurikulum: Kebijakan Perubahan
Kurikulum 2013 Paud | 45
Laelatul Istiqomah

3. Terlalu luas, kurang mendalam 3. Sesuai dengan tingkat


perkembangan anak
C. Proses Pembelajaran C. Proses Pembelajaran
1. Berpusat pada guru 1. Berpusat pada peserta didik
2. Proses pembelajaran 2. Sifat pembelajaran yang
berorientasi pada buku teks kontekstual
3. Buku teks hanya memuat materi 3. Buku teks memuat materi
bahasan dan proses pembelajaran, sistem
penilaian serta kompetensi yang
diharapkan

Seperti yang kita ketahui, kurikulum 2013 diterapkan di 6.221 sekolah, sejak Tahun Pelajaran
2013/2014 dan di semua sekolah di seluruh tanah air, sementara itu, Peraturan menteri nomor
159 Tahun 2014 tentang evaluasi kurikulum 2013 baru dikeluarkan tanggal 14 Oktober 2014,
yaitu tiga bulan sesudah Kurikulum 2013 dilaksanakan di seluruh Indonesia. Harus diakui
bahwa Indonesia menhadapi masalah yang tidak sederhana karena kurikulum 2013 ini diproses
secara amat cepat dan bahkan sudah ditetapkan untuk dilaksanakan di seluruh tanah air
sebelum kurikulum tersebut pernah dievaluasi secara lengkap dan menyeluruh.
Maka dengan memperhatikan rekomendasi tim evaluasi implementasi kurikulum serta diskusi
dengan berbagai pemangku kepentingan, menteri pendidikan memutuskan untuk:
1. Menghentikan pelaksanaan kurikulum 2013 di sekolah- sekolah yang baru menerapkan satu
semester. Sekolah- sekolah ini supaya kembali menggunakan kurikulum 2006.
2. Tetap menerapkan kurikulum 2013 di sekolah-sekolah yang telah tiga semester ini
menerapkan, dan menjadikan sekolah-sekolah tersebut sebagai sekolah pengembangan dan
percontohan penerapan kurikulum 2013
3. Mengembalikan tugas pengembangan kurikulum 2013 kepada pusat kurikulum dan
perbukuan, Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan RI( Baswedan, 2014: 1-3).
Lain halnya dengan Kurikulum 2013 PAUD, yang saat ini sedang dalam proses sosialisasi dan
pelatihan-pelatihan untuk para pendidik dan para pemangku kepentingan. Kurikulum 2013
Pendidikan Anak Usia Dini diharapkan menjadi fundamental penyiapan peserta didik menjadi
lebih siap dalam memasuki jenjang pendidikan lebih tinggi. Untuk pencapaian tujuan tersebut
maka perlu diberikan pedoman, pelatihan, dan acuan-acuan yang dapat dijadikan sebagai
rujukan para pendidik menerapkan kurikulum 2013 Pendidikan Anak Usia Dini di satuan
pendidikannya.

Kurikulum 2013 PAUD

Kurikulum 2013 Pendidikan Anak Usia Dini bertujuan untuk mendorong perkembangan
peserta didik secara optimal sehingga memberi dasar untuk menjadi manusia Indonesia yang
memiliki kemampuan hidup sebagai pribadi dan warga negara yang beriman, produktif, kreatif,
inovatif, dan afektif serta mampu berkontribusi pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa,
bernegara, dan peradaban dunia.

GOLDEN AGE
Jurnal Ilmiah Tumbuh Kembang Anak Usia Dini
Volume. 1 No. 1. Maret 2016
e-ISSN: 2502-3519
Dinamika Perubahan Kurikulum: Kebijakan Perubahan
46 | Kurikulum 2013 Paud
Laelatul Istiqomah

1. Struktur Kurikulum 2013 PAUD


Struktur Kurikulum 2013 Pendidikan Anak Usia Dini merupakan pengorganisasian
Kompetensi Inti, Kompetensi Dasar, muatan pembelajaran, program pengembangan, dan
beban belajar.
2. Standar Tingkat Pencapaian Perkembangan Anak (STPPA)
Standar Tingkat Pencapaian Perkembangan Anak merupakan kriteria minimal tentang
kualifikasi perkembangan anak yang mencakup aspek nilai agama dan moral, fisik motorik,
kognitif, bahasa, sosial-emosional, dan seni (Kemendikbud, 2014: 11).
Aspek Nilai-nilai agama dan moral, meliputi: mengenal agama yang dianut, mengerjakan
ibadah, berperilaku jujur, penolong, sopan, hormat, sportif, menjaga kebersihan diri dan
lingkungan, mengetahui hari besar agama, dan menghormati (toleransi) agama orang lain.
Aspek Fisik Motorik, meliputi:
a. Motorik Kasar: memiliki kemampuan gerakan tubuh secara terkoordinasi, lentur,
seimbang, dan lincah dan mengikuti aturan.
b. Motorik Halus: memiliki kemampuan menggunakan alat untuk mengeksplorasi dan
mengekspresikan diri dalam berbagai bentuk.
c. Kesehatan dan Perilaku Keselamatan: memiliki berat badan, tinggi badan, lingkar kepala
sesuai usia serta memiliki kemampuan untuk berperilaku hidup bersih, sehat, dan peduli
terhadap keselamatannya.
Aspek Kognitif, meliputi:
a. Belajar dan Pemecahan Masalah: mampu memecahkan masalah sederhana dalam
kehidupan sehari-hari dengan cara yang fleksibel dan diterima sosial dan menerapkan
pengetahuan atau pengalaman dalam konteks yang baru.
b. Berfikir logis: mengenal berbagai perbedaan, klasifikasi, pola, berinisiatif, berencana, dan
mengenal sebab akibat.
c. Berfikir simbolik: mengenal, menyebutkan, dan menggunakan lambang bilangan 1-10,
mengenal abjad, serta mampu merepresentasikan berbagai benda dalam bentuk gambar.
Aspek Bahasa, meliputi:
a. Memahami (reseptif) bahasa: memahami cerita, perintah, aturan, dan menyenangi serta
menghargai bacaan.
b. Mengekspresikan Bahasa: mampu bertanya, menjawab pertanyaan, berkomunikasi secara
lisan, menceritakan kembali apa yang diketahui
c. Keaksaraan: memahami hubungan bentuk dan bunyi huruf, meniru bentuk huruf, serta
memahami kata dalam cerita.
Aspek Sosial-emosional, meliputi:
a. Kesadaran diri: memperlihatkan kemampuan diri, mengenal perasaan sendiri dan
mengendalikan diri, serta mampu menyesuaian diri dengan orang lain
b. Rasa Tanggung Jawab untuk Diri dan Orang lain: mengetahui hak-haknya, mentaati aturan,
mengatur diri sendiri, serta bertanggung jawab atas perilakunya untuk kebaikan sesama.
c. Perilaku Prososial: mampu bermain dengan teman sebaya, memahami perasaan, merespon,
berbagi, serta menghargai hak dan pendapat orang lain; bersikap kooperatif, toleran, dan
berperilaku sopan.

GOLDEN AGE
Jurnal Ilmiah Tumbuh Kembang Anak Usia Dini
Volume. 1 No. 1. Maret 2016
e-ISSN: 2502-3519
Dinamika Perubahan Kurikulum: Kebijakan Perubahan
Kurikulum 2013 Paud | 47
Laelatul Istiqomah

Aspek Seni, meliputi: mengeksplorasi dan mengekspresikan diri, berimaginasi dengan


gerakan, musik, drama, dan beragam bidang seni lainnya (seni lukis, seni rupa, kerajinan), serta
mampu mengapresiasi karya seni.
3. Kompetensi Inti
Kompetensi Inti (KI) pada Kurikulum 2013 Pendidikan Anak Usia Dini merupakan tingkat
kemampuan untuk mencapai STPP yang harus dimiliki peserta didik PAUD pada usia 6 tahun.
Jadi Kompetensi Inti merupakan operasionalisasi dari STPP dalam bentuk kualitas yang harus
dimiliki anak dengan berbagai kegiatan pembelajaran melalui bermain yang dilakukan di satuan
PAUD. Kualitas tersebut berisi gambaran mengenai kompetensi utama yang dikelompokkan
ke dalam kompetensi sikap, pengetahuan, dan keterampilan.
Secara terstruktur kompetensi inti dimaksud mencakup:
1. Kompetensi Inti-1 (KI-1) untuk kompetensi inti sikap spiritual.
2. Kompetensi Inti-2 (KI-2) untuk kompetensi inti sikap sosial.
3. Kompetensi Inti-3 (KI-3) untuk kompetensi inti pengetahuan.
4. Kompetensi Inti-4 (KI-4) untuk kompetensi inti keterampilan.
Rumusan kualitas masing-masing kompetensi inti yang harus dimiliki peserta didik terurai pada
tabel di bawah ini.
KOMPETENSI INTI
KI-1 Menerima ajaran agama yang dianutnya
KI-2 Memiliki perilaku hidup sehat, rasa ingin tahu, kreatif dan estetis, percaya diri,
disiplin, mandiri, peduli, mampu bekerja sama, mampu menyesuaikan diri,
jujur, dan santun dalam berinteraksi dengan keluarga, pendidik dan/atau
pengasuh, dan teman
KI-3 Mengenali diri, keluarga, teman, pendidik dan/atau pengasuh, lingkungan
sekitar, teknologi, seni, dan budaya di rumah, tempat bermain dan satuan
PAUD dengan cara: mengamati dengan indra (melihat, mendengar, menghidu,
merasa, meraba); menanya; mengumpulkan informasi; mengolah
informasi/mengasosiasikan,dan mengkomunikasikan melalui kegiatan bermain
KI-4 Menunjukkan yang diketahui, dirasakan, dibutuhkan,dan dipikirkan melalui
bahasa, musik, gerakan, dan karya secara produktif dan kreatif, serta
mencerminkan perilaku anak berakhlak mulia

4. Kompetensi Dasar
Kompetensi Dasar pada Kurikulum 2013 PAUD berisikan kemampuan dan muatan
pembelajaran untuk suatu tema pembelajaran pada PAUD yang mengacu pada Kompetensi
Inti. Kompetensi Dasar dikembangkan berdasarkan pada prinsip akumulatif, saling
memperkuat dan memperkaya antar program pengembangan. Dalam merumuskan
Kompetensi Dasar juga memperhatikan karakteristik peserta didik, kemampuan awal, serta ciri
dari suatu program pengembangan yang hendak dikembangkan.
Kompetensi Dasar dibagi menjadi empat kelompok sesuai dengan pengelompokkan
kompetensi inti sebagai berikut:
1. Kelompok1:kelompok Kompetensi Dasar sikap spiritual dalam rangka menjabarkan KI-1
2. Kelompok 2: kelompok Kompetensi Dasar sikap sosial dalam rangka menjabarkan KI-2

GOLDEN AGE
Jurnal Ilmiah Tumbuh Kembang Anak Usia Dini
Volume. 1 No. 1. Maret 2016
e-ISSN: 2502-3519
Dinamika Perubahan Kurikulum: Kebijakan Perubahan
48 | Kurikulum 2013 Paud
Laelatul Istiqomah

3. Kelompok 3: kelompok Kompetensi Dasar pengetahuan dalam rangka menjabarkan KI-3


4. Kelompok 4: kelompok Kompetensi Dasar keterampilan dalam rangka menjabarkan KI-4.
Uraian dari setiap Kompetensi Dasar untuk setiap kompetensi inti adalah sebagai berikut:
(Kemendikbud, 2014: 13-15)

KOMPETENSI INTI KOMPETENSI DASAR

KI-1. Menerima ajaran agama 1.1. Mempercayai adanya Tuhan melalui ciptaan-Nya
yang dianutnya 1.2. Menghargai diri sendiri, orang lain, dan lingkungan
sekitar sebagai rasa syukur kepada Tuhan
KI-2. Memiliki perilaku hidup 2.1. Memiliki perilaku yang mencerminkan hidup sehat
sehat, rasa ingin tahu, kreatif 2.2. Memiliki perilaku yang mencerminkan sikap ingin
dan estetis, percaya diri, disiplin, tahu
mandiri, peduli, mampu 2.3. Memiliki perilaku yang mencerminkan sikap
bekerjasama, mampu kreatif
menyesuaikan diri, jujur, dan 2.4. Memiliki perilaku yang mencerminkan sikap estetis
santun dalam berinteraksi 2.5. Memiliki perilaku yang mencerminkan sikap
dengan keluarga, pendidik percaya diri
dan/atau pengasuh, dan teman 2.6. Memiliki perilaku yang mencerminkan sikap taat
terhadap aturan sehari-hari untuk melatih kedisiplinan
2.7. Memiliki perilaku yang mencerminkan sikap sabar
(mau menunggu giliran, mau mendengar ketika orang lain
berbicara) untuk melatih kedisiplinan
2.8. Memiliki perilaku yang mencerminkan
kemandirian
2.9. Memiliki perilaku yang mencerminkan sikap peduli
dan mau membantu jika diminta bantuannya
2.10. Memiliki perilaku yang mencerminkan sikap
kerjasama
2.11. Memiliki perilaku yang dapat menyesuaikan diri
2.12. Memiliki perilaku yang mencerminkan sikap jujur
2.13. Memiliki perilaku yang mencerminkan sikap
santun kepada orang tua, pendidik dan/atau pengasuh, dan
teman
KI-3. Mengenali diri, keluarga, 3.1. Mengenal kegiatan beribadah sehari-hari
teman, pendidik dan/atau 3.2. Mengenal perilaku baik sebagai cerminan akhlak
pengasuh, lingkungan sekitar, mulia
teknologi, seni, dan budaya di 3.3. Mengenal anggota tubuh, fungsi, dan gerakannya
rumah, tempat bermain dan untuk pengembangan motorik kasar dan motorik halus
satuan PAUDdengan cara: 3.4. Mengetahui cara hidup sehat
mengamati dengan indra 3.5. Mengetahui cara memecahkan masalah sehari-hari
(melihat, mendengar, menghidu, dan berperilaku kreatif

GOLDEN AGE
Jurnal Ilmiah Tumbuh Kembang Anak Usia Dini
Volume. 1 No. 1. Maret 2016
e-ISSN: 2502-3519
Dinamika Perubahan Kurikulum: Kebijakan Perubahan
Kurikulum 2013 Paud | 49
Laelatul Istiqomah

KOMPETENSI INTI KOMPETENSI DASAR

merasa, meraba); menanya; 3.6. Mengenal benda -benda disekitarnya (nama,


mengumpulkan informasi; warna, bentuk, ukuran, pola, sifat, suara, tekstur, fungsi,
mengolah informasi/ dan ciri-ciri lainnya)
mengasosiasikan, dan 3.7. Mengenal lingkungan sosial (keluarga, teman,
mengkomunikasi-kan melalui tempat tinggal, tempat ibadah, budaya, transportasi)
kegiatan bermain 3.8. Mengenal lingkungan alam (hewan, tanaman,
cuaca, tanah, air, batu-batuan, dll)
3.9. Mengenal teknologi sederhana (peralatan rumah
tangga, peralatan bermain, peralatan pertukangan, dll)
3.10. Memahami bahasa reseptif (menyimak dan
membaca)
3.11. Memahami bahasa ekspresif (mengungkapkan
bahasa secara verbal dan non verbal)
3.12. Mengenal keaksaraan awal melalui bermain
3.13. Mengenal emosi diri dan orang lain
3.14. Mengenali kebutuhan, keinginan, dan minat diri
3.15. Mengenal berbagai karya dan aktivitas seni
KI-4. Menunjukkan yang 4.1. Melakukan kegiatan beribadah sehari-hari dengan
diketahui, dirasakan, tuntunan orang dewasa
dibutuhkan, dan dipikirkan 4.2. Menunjukkan perilaku santun sebagai cerminan
melalui bahasa, musik, gerakan, akhlak mulia
dan karya secara produktif dan 4.3. Menggunakan anggota tubuh untuk
kreatif, serta mencerminkan pengembangan motorik kasar dan halus
perilaku anak berakhlak mulia 4.4. Mampu menolong diri sendiri untuk hidup sehat
4.5. Menyelesaikan masalah sehari-hari secara kreatif
4.6. Menyampaikan tentang apa dan bagaimana benda-
benda disekitar yang dikenalnya (nama, warna, bentuk,
ukuran, pola, sifat, suara, tekstur, fungsi, dan ciri-ciri
lainnya) melalui berbagai hasil karya
4.7. Menyajikan berbagai karyanya dalam bentuk
gambar, bercerita, bernyanyi, gerak tubuh, dll tentang
lingkungan sosial (keluarga, teman, tempat tinggal, tempat
ibadah, budaya, transportasi)
4.8. Menyajikan berbagai karyanya dalam bentuk
gambar, bercerita, bernyanyi, gerak tubuh, dll tentang
lingkungan alam (hewan, tanaman, cuaca, tanah, air, batu-
batuan, dll)
4.9. Menggunakan teknologi sederhana (peralatan
rumah tangga, peralatan bermain, peralatan pertukangan,
dll) untuk menyelesaikan tugas dan kegiatannya

GOLDEN AGE
Jurnal Ilmiah Tumbuh Kembang Anak Usia Dini
Volume. 1 No. 1. Maret 2016
e-ISSN: 2502-3519
Dinamika Perubahan Kurikulum: Kebijakan Perubahan
50 | Kurikulum 2013 Paud
Laelatul Istiqomah

KOMPETENSI INTI KOMPETENSI DASAR

4.10. Menunjukkan kemampuan berbahasa reseptif


(menyimak dan membaca)
4.11. Menunjukkan kemampuan berbahasa ekspresif
(mengungkapkan bahasa secara verbal dan non verbal)
4.12. Menunjukkan kemampuan keaksaraan awal dalam
berbagai bentuk karya
4.13. Menunjukkan reaksi emosi diri secara wajar
4.14. Mengungkapkan kebutuhan, keinginan dan minat
diri dengan cara yang tepat
4.15. Menunjukkan karya dan aktivitas seni dengan
menggunakan berbagai media

Pendekatan pada kurikulum 2013 PAUD menggunakan Pendekatan Saintifik, dan


penilaiannya menggunakan Penilaian Autentik (Authentic Assessment). Pendekatan saintifik
adalah proses pembelajaran yang dirancang sedemikian rupa agar peserta didik secara aktif
membangun kompetensi sikap, pengetahuan, dan keterampilan melalui tahapan mengamati,
menanya, mengumpulkan informasi, menalar, dan mengomunikasikan.
Penilaian pada anak usia dini berupa penilaian otentik. Penilaian otentik adalah jenis
penilaian yang berhubungan dengan kondisi nyata dan dalam konteks yang bermakna.
Penilaian otentik dilakukan pada saat anak terlibat dalam kegiatan bermain (tugas) secara
mandiri atau bersama anak lain. Dengan demikian penilaian anak usia dini harus dilakukan
secara alami, pada saat anak terlibat dalam kegiatan (tugas) selama bermain sehari-hari.
Penilaian mencakup seluruh aspek perkembangan anak. Aspek yang dinilai oleh pendidik
mencakup semua program pengembangan yang ada dalam Kompetensi Dasar (KD) terdiri
dari 4 ranah yakni: kompetensi sikap religius, sikap sosial, pengetahuan dan keterampilan
sesuai dengan usia dan tahap perkembangan anak.
Dalam proses pelaksanaan penilaian di RA atau PAUD yang sesuai dengan kurikulum 2013
adalah melalui tiga tahapan yaitu: Pertama, Pengamatan dan Pencatatan, Kedua, Pengolahan dan
yang Ketiga adalah Pelaporan. Secara sederhana bagannya adalah sebagai berikut (Tim
Instruktur Nasional, 2015):

GOLDEN AGE
Jurnal Ilmiah Tumbuh Kembang Anak Usia Dini
Volume. 1 No. 1. Maret 2016
e-ISSN: 2502-3519
Dinamika Perubahan Kurikulum: Kebijakan Perubahan
Kurikulum 2013 Paud | 51
Laelatul Istiqomah

Pengamatan & Pencatatan Pengolahan Pelaporan

Catatan Catatan Analisa Aspek Perkemb.


Anekdot Harian (Hub.Data & KD) KD + I/C

Hasil LPA
Checklist
Observasi (Narasi)

Hasil Analisa Kekuatan


Karya (Hub.Data & KD) Rekomendasi

Dari gambaran umum tentang Kurikulum 2013 Pendidikan Anak Usia Dini, menunjukkan
bahwa Kurikulum 2013 PAUD adalah kurikulum yang relevan pada anak usia dini, karena
proses pembelajaran yang dirancang mempunyai tujuan agar peserta didik aktif dalam
kegiatan/ bermain dan guru harus memperhatikan karakteristik peserta didik, kemampuan
awal, serta ciri dari suatu program pengembangan yang hendak dikembangkan.

Simpulan

Kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan
pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran
untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu.
Kurikulum pendidikan nasional telah mengalami perubahan, yaitu pada tahun 1947, 1952,
1964, 1968, 1975, 1984, 1994, 1999, 2004, 2006 dan 2013. Perubahan dan pengembangan
kurikulum tersebut harus memiliki visi dan arah yang jelas, dan Implementasi kurikulum
seharusnya dapat mewujudkan visi, misi, dan tujuan pendidikan nasional secara bertahap.
Kurikulum 2013 Pendidikan Anak Usia Dini diharapkan menjadi fundamental penyiapan
peserta didik menjadi lebih siap dalam memasuki jenjang pendidikan lebih tinggi. Untuk
pencapaian tujuan tersebut maka perlu diberikan pedoman, pelatihan, dan acuan-acuan yang
dapat dijadikan sebagai rujukan para pendidik menerapkan kurikulum 2013 Pendidikan Anak
Usia Dini di satuan pendidikannya.

GOLDEN AGE
Jurnal Ilmiah Tumbuh Kembang Anak Usia Dini
Volume. 1 No. 1. Maret 2016
e-ISSN: 2502-3519
Dinamika Perubahan Kurikulum: Kebijakan Perubahan
52 | Kurikulum 2013 Paud
Laelatul Istiqomah

Daftar Pustaka

Arifin, Zainal, 2011, Konsep dan Model Pengembangan Kurikulum, Bandung: Remaja Rosdakarya

Departemen Pendidikan Nasional, 2008, Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Jakarta:
Gramedia, Edisi IV

Fitriya, Hidayatul, 2014, Sejarah Kurikulum di Indonesia,


Http://hidayatulfitriya.blogspot.com/2014/02/sejarah-kurikulum-di-indonesia-
1945-2013.html. Diakses pada tanggal 22 April 2014, pukul 13:50 wib

Hamid, Hamdani, 2012, Pengembangan Kurikulum Pendidikan, Bandung: Pustaka Setia

Hasibuan, Lias, 2010, Kurikulum dan Pemikiran Pendidikan, Jakarta: Gaung Persada

Kemendikbud, 2014, Kerangka Dasar dan Struktur Kurikulum 2013 PAUD, Jakarta: Direktorat
Pembinaan PAUD, Direktorat Jendral non formal dan informal

Kemendikbud, 2014, Pengenalan Kurikulum 2013 Pendidikan Anak Usia Dini, Jakarta: Direktorat
Pembinaan PAUD

Morrison, George S., 2012, Dasar-Dasar Pendidikan Anak Usia Dini, Jakarta: Indeks, terj. Suci
Romadhona dan Apri Widiastuti

Mulyasa, E., 2013, Pengembangan dan Implementasi Kurikulum 2013, Bandung: Remaja Rosdakarya

Noorlaila, Iva, 2010, Panduan Lengkap Mengajar PAUD, Yogyakarta: Pinus Book Publisher

Raharjo, Rahmat, 2010, Inovasi Kurikulum Pendidikan Agama Islam, Yogyakarta: Magnum Pustaka

Sanjaya, Wina, 2013, Kurikulum dan Pembelajaran, Jakarta: Kencana

Tim Instruktur Nasional, Workshop dan Sosialisasi Kurikulum 2013, Sleman: mengikuti acara
workshop pada tanggal 7 - 8 Februari 2015

GOLDEN AGE
Jurnal Ilmiah Tumbuh Kembang Anak Usia Dini
Volume. 1 No. 1. Maret 2016
e-ISSN: 2502-3519
Pendekatan Integrasi-Interkoneksi dalam Pendidikan PAUD
Najamuddin Muhammad
| 53

Pendekatan Integrasi-Interkoneksi dalam Pendidikan PAUD

Najamuddin Muhammad
Universitas Sains Al-
Email: naja081@gmail.com

Golden Age Jurnal Ilmiah Tumbuh Kembang Anak Usia Dini, Vol. 1 No. 1 Maret 2016
Diterima: 10 Februari 2016 Direvisi: 19 Februari 2016 Disetujui: 01 Maret 2016
e-ISSN: 2502-3519 DOI :

Abstract

The aim of this article is describing the Integration-interconnection Paradigm and


its implementation in early childhood education, as we know early childhood
education is very important in laying the foundation of science, morality and
spirituality of children. This integration-interconnection paradigm offers an idea to
reduce the tension between the religious sciences and other social sciences. This
paradigm affirms that any scientific buildings, both religious science, science can t
stand alone, but require cooperation, mutual correction and interconnectivity, this
paradigm also helps people in the face of the complexity of human life.

KeyWord : approach, integration-interconnect, early childhood

Abstrak

Tulisan ini ingin menguraikan tentang Paradigma Integrasi Interkoneksi, Serta


implementasinya dalam pendidikan Anak Usia Dini, mengingat pendidikan anak
usia dini sangat penting dalam meletakkan pondasi keilmuan, moraltas serta
spiritulitas anak. Paradigma integrasi interkoneksi ini menawarkan gagasan untuk
mengurangi ketegangan antara ilmu agama dan ilmu sosial lainnya. Paradigma ini
menegaskan bahwa bangunan keilmuan apapun, baik keilmuan agama, keilmuan
tidak dapat berdiri sendiri, akan tetapi menbutuhkan kersa sama, saling tegur, saling
koreksi dan saling keterhubungan, akan menbantu manusia dalam menghadapi
kompleksitas kehidupan manusia.

Kata kunci: pendekatan, integrasi-interkoneksi, PAUD

Pendahuluan

GOLDEN AGE
Jurnal Ilmiah Tumbuh Kembang Anak Usia Dini
Volume. 1 No. 1. Maret 2016
e-ISSN: 2502-3519
Pendekatan Integrasi-Interkoneksi dalam Pendidikan PAUD
54 | Najamuddin Muhammad

Wacana tentang integrasi ilmu dan agama telah muncul lama. Meski tak selalu

ihwal perlunya pemaduan ilmu dan agama, atau akal dan wahyu (iman), sudah cukup lama
mengemuka. Dalam sejarah kejayaan sains dalam masa peradaban Islam, ilmu dan agama telah
integrated (Baqir, dkk.: 2005). Mengembalikan sejarah peradaban Islam harus pula
mengintegrasikan antara agama dan ilmu pengetahuan.
Hanya saja dalam perjalanannya, dualisme pengetahuan dalam tubuh pendidikan islam
masih menjadi penyakit lama yang sulit sembuh. Sejarah pendidikan kita telah banyak
memberikan pelajaran bahwa dualisme pengetahuan melahirkan banyak anomali. Ada
beberapa permasalahan yang menunjukkan rumitnya proses integrasi dalam tubuh pendidikan
islam dan memecahkan persoalan social secara integral.
Pertama, dalam sebuah kegiatan Penataran dan Lokakarya guru-guru agama bagi sekolah
dasar dan lanjutan di Universitas Pendidikan Indonesia, ada sebuah usulan yang berkaitan
dengan minimnya waktu yang tersedia untuk mata pelajaran agama. Mereka mengeluh karena
terlalu besarnya harapan dan tuntutan kurikulum serta harapan orang tua terhadap pendidikan
agama.
Beberapa peserta yang merupakan guru agama SLTP dan SMU mengusulkan dua solusi,
yakni menambah jam pelajaran agama pada kurikulum nasional dan perlunya penambahan
kegiatan-kegiatan ekstra kurikuler keagamaan yang bersifat formal. Usulan menambah
kegiatan ekstra kurikuler tentu masih bisa dilakukan, tetapi menambah jam pelajaran agama
tentu suatu hal yang sulit mengingat mata pelajaran yang ada di sekolah kita jauh lebih banyak
dibandingkan dengan negara-negara maju.
Jawaban yang cukup menarik untuk disimak dan dan ditindak lanjuti dari dari permasalah
tersebut adalah ungkapan yang disanpaikan oleh mantan pinpinan Kanwil Depdikbud Jabar
bahwa tugas pendidikan agama sebenarnya tidaklah menjadi monopoli guru agama. Tugas itu
bisa menjadi tanggung jawab guru-guru bidang studi lainnya. Pendidikan agama tidaklah
mesti disanpaikan secara formal oleh guru agama dengan materi pelajaran agama (Hidayat,
dkk.: 2007)
Kedua, cukup banyak anak-anak yang tinggal dipelosok yang dianggap mengalami
keterbelakangan mental tidak mendapat akses pendidikan sejak usia dini. Kelainan mental
yang dialami seakan menjadi penghambat untuk mengembangkan potensi yang ada pada
dirinya. Padahal dalam kajian ilmu neurosain setiap anak itu mempunyai potensi kecerdasan
yang berbeda antara yang satu dengan yang lainnya dan anak tidak terlahir dengan tingkat

terbelakang dan stritip negative lainnya apabila mereka memahami apa keuikan dan potensi
yang ada pada anak. Banyak temua-temuan modern dalam bidang ilmu otak yang menegaskan
bahwa setiap anak itu mempunyai ragam kecerdasan yang cukup beragam dan unik.
Ketiga, masalah tawuran antar pelajar di Ibu Kota Jakarta menyita banyak perhatian,
terutama kalangan praktisi, pengambil kebijakan dan pengamat pendidikan. Dari kasus

GOLDEN AGE
Jurnal Ilmiah Tumbuh Kembang Anak Usia Dini
Volume. 1 No. 1. Maret 2016
e-ISSN: 2502-3519
Pendekatan Integrasi-Interkoneksi dalam Pendidikan PAUD
Najamuddin Muhammad
| 55

tawuran antar pelajar yang cukup marak beberapa tahun banyak orang mencoba menganalisis
penyebab dibalik itu semua. Hanya saja dari beberapa analisa untuk mencari tahu penyebab
dan factor utama dibalik keberingasan pelajar masih belum konferehensif sehingga membentuk
mata rantai yang sulit diputus.
Mereka yang rajin tawuran ternyata banyak berasal dari sekoloh favorit dengan kualitas
guru yang profesional, iklim penbelajaran yang menyenangkan alias tidak menekan dan sarana
prasarana yang lengkap. Ketika ditelusuri secara lebih jauh latar belakang keluragnya, ternyata
mereka berangkat dari keluarga yang kondusif, tidak brokeh home. Kalau ada tuduhan bahwa
yang seringkali tawuran itu berangkat dari ekonomi rendah dan tingkat sekolah yang kurang
berkualitas tentu belum sepenuhnya benar.
Ketika kajian ilmu social sudah sulit menangkap factor dibalik beringasnya pelajar yang
rajin tawuran itu, maka dalam diskusi di stasius TV Swasta, salah satu pengamat dari luar Jawa
secara lebih jauh menganalisa fenomena tawuran pelajar dari usia dini. Dia berpandangan
remaja itu bisa menjadi nakal karena hak-haknya waktu kecil tidak dipenuhi, seperti
dikumandangkan adzan ditelingan kanan dan iqomat ditelinga kiri anak saat lahir, diberi nama
yang baik, diaqiqahi, anak diberi pendidikan keteladanan baik itu dalam berkata dan bersikap
serta dekapan kasih saying yang cukup dari dini analisa ini oleh sebagian orang dianggap
terlalu mengkait-kaitkan dan dianggap lucu.
Itulah beberapa kasus krusial yang menunjukkan selalu ada pemisahan antara ilmu agama
dan umum. Kasus guru agama yang bersikap dualisme menunjukkan ada pemisahan tanggung
jawab dan ilmu yang berdiri sendiri antara satu disiplin dengan disiplin yang lain sehingga
tidak ada saling sapa dan saling mengisi antara yang satu dengan yang lainya. Maka kalau anak
nakal atau kurang beretika, guru agama seakan menjadi sasaran utama untuk dipermasalahkan.
Kasus yang kedua menunjukkan pentingnya pelbagai disiplin keilmuan, baik itu psikologi,
sosiologi dan ilmu neurosain dalam mengembangkan anak usia dini sehingga semua anak
mampu tumbuh dan berkembang dengan baik. Cukup banyak persoalan anak usia dini yang
saat ini membutuhkan deteksi dini agar mereka potensinya mampu terakomodasi dengan baik.
Untuk mendeteksi itu membutuhkan disiplin keilmua dalam bidang neurosain dan bidang
kedokteran serta ahli gizi.
Kasus terakhir, kekerasan pelajar yang sulit diidentifikasi dalam kajian ilmu sosiologi, maka
peran agama mesti hadir untuk menbantu menyelesaikan konpleksitas yang dialami pelaja.
Beberapa doktrin agama untuk pendidikan anak juga perlu pendekatan multidispliner
sehingga korelasi antara pemenuhan hak-ahak anak di usia dini dan terbentuknya sikap pelajar
secara beringas mampu dijelaskan secara ilmiah. Hanya saja ketika ada pengamat yang
menganalisa dengan pendekatan agama yang dianggap lucu dan kurang pas, menunjukkan
kurangnya saling mengsisi dan saling tegur sapa untuk memecahkan persoalan.
Maka pendekatan integrasi-interkoneksi dalam penelitian PAUD cukup penting untuk
dikembangkan. Ada begitu banyak ragam persoalan yang pemecahannya menuntut
pendekatan multidisipliner agar persoalan PAUD benar-benar mampu dipecahkan secara

GOLDEN AGE
Jurnal Ilmiah Tumbuh Kembang Anak Usia Dini
Volume. 1 No. 1. Maret 2016
e-ISSN: 2502-3519
Pendekatan Integrasi-Interkoneksi dalam Pendidikan PAUD
56 | Najamuddin Muhammad

holistic. Mempertantangkan antara ilmu agama dengan ilmu umum sudah terbukti hanya
melahirkan ketinpangan-ketinmpangan. Sudah saatnya pendekatan integrasi-interkoneksi
dalam penelitian PAUD dikembangkan.

Urgensi Pendekatan Integrasi-Interkoneksi

Paradigma Integrasi Interkoneksi menawarkan gagasan untuk mengurangi ketegangan


antara ilmu agama dan ilmu social lainnya. Paradigma ini menegaskan bahwa bangunan
keilmuan apapun, baik keilmuan agama, keilmuan tidak dapat berdiri sendiri, akan tetapi
menbutuhkan kersa sama, saling tegur, saling koreksi dan saling keterhubungan, akan
menbantu manusia dalam menghadapi kompleksitas kehidupan manusia. Terjadi kerjasama,
saling membutuhkan, saling koreksi,dan saling keterhubungan antar disiplin keilmuan akan
lebih dapat membantu manusia memahami kompleksitas kehidupan dan memecahkan
persoalan yang dihadapinya. Kalau bangunan-bangunan keilmuan itu saling bertolak belakang,
maka kemunduran, dehumanisasi secara massif, baik dalam bidang keilmuan dan kehidupan
keagamaan (Abdullah, 2006:94).
Paradigma integrasi-interkoneksi ilmu yang ditawarkan ini dimaksudkan utk memahami
dan membaca kehidupan manusia yang komplek secara padu dan holistic. Pembacaan holistic
itu dirangkum dalam tiga level, yakni hadlarah al-nash, hadralah al- dan hadlarah al-
falsafahh. Wilayah keilmuan tersebut tidak dikaji secara parsial, melainkan dikaji secara
integrative interkonektif atau saling berhubungan antara yang satu denganyang lainnya (Pokja
Akademik UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2006: 19).
Sentral keilmuan adalah Al-Quran dan al-Sunnah. Lebih jauh sentral ini dikembangkan
melalui proses ijtihad dengan menggunakan pelbagai pendekatan dan metode. Hal inilah yang
kemudian memberikan inspirasi bagi munculnya ilmu-imu keislaman klasik, seperti Tafsir,
Fiqh, Tarikh, falsafah dan ilmu-ilmu keislama klasik lainya. Pada abad-abad berikutnya
muncullah ilmu-ilmu kealaman, social, humaniora dan ilmu-ilmu kontemporer lainnya. Di
antara sekian banyak disiplin ilmu itu, satu sama lain tetap saling berintraksi, saling
membincangkan dan saling menghargai atau sensitive terhadap kehadiran ilmu yang lainnya
(Pokja Akademik UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2006: 21).
Pendekatan integratife adalah terpadunya kebenaran wahyu (burhan ilahi) dalam bentuk
pembidangan mata kuliah yang terkait dengan nash (hadlarah al-nash), dengan bukti-bukti
yang ditemukan di alam semesta ini (burhan kauni) dalam bentuk pembidangan mata kuliah
empiris-kemasyarakatan dan kealaman (hadlarah al-ilm), dan pembidangan mata kuliah yang
terkait dengan falsafah dan etika (hadlarah al-falsafah). Disebut sebagai struktur keilmua
integrative bukan berarti pelbagai ilmu mengalami peleburan menjadi satu bentuk ilmu yang

GOLDEN AGE
Jurnal Ilmiah Tumbuh Kembang Anak Usia Dini
Volume. 1 No. 1. Maret 2016
e-ISSN: 2502-3519
Pendekatan Integrasi-Interkoneksi dalam Pendidikan PAUD
Najamuddin Muhammad
| 57

identik, melainkan terpadunya karakter, corak dan hakekat antar ilmu tersebut dalam semua
kesatuan dimensinya (Pokja Akademik UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2006: 26).
Pendekatan interkonektif adalah terkaitnya satu pengetahuan dengan pengeahuan yang lain
melalui satu hubungan yang saling menghargai dan saling mempertimbangkan. Bidang
keilmuan yang berkarakteristik integrative sudah tentu memiliki interkoneksi antar bagian
keilmuannya. Sebaliknya, karena tidak semua ilmu dapat diintegrasikan, maka paling tidak
masing-masing ilmu memiliki kepekaan akan perlunya interkoneksi untuk menutup
kekurangan yang melekat dalam dirinya sendiri jika berdiri sendiri (Pokja Akademik UIN
Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2006: 26).
Ada beberapa contoh yang memberi gambaran mengenai ilmu yang bercorak integralistik,
seperti Bank Muamalat, Bank BNI Syariah, usaha-usaha agrobisnis, transportasi, kelautan dan
sebagainya. Agama menyediakan etika dalam prilaku ekonomi diantaranya adalah bagi hasil
(al-mudlarabah), dan kerja sama (al-musyarakah). Disitu terjadi proses objektivikasi dari etika
agama menjadi ilmu agama yang dapat bermamfaat bagi orang bagi semua penganut agama,
non agama, atau bahkan anti agama. Dari orang beriman untuk seluruh manusia (rahmatan li
al-amin). Ke depan, pola kerja keilmuan yang integralistik dengan basis moralitas keagamaan
yang humanistic ini dituntut dapat memasuki wilayah-wilayah yang lebih luas, seperti
sosiologi, antropologi, social work, lingkungan, kesehatan, tekhnologi, ekonopi, politik,
hubungan internasional, hukum dan peradilan dan seterusnya (Abdullah dkk, 2004: 13-14).

Pendekatan Integrasi-Interkoneksi dalam PAUD

Dalam agama islam, pendidikan anak mendapatkan perhatian yang cukup serius. Anak adalah
generasi penerus ummat. Bagaimana sebuah kebudayaan dan perhelatan peradaban besar itu
bisa tercapai di masa yang akan datang tanpa memperdulikan pendidikan anak. Pendidikan
anak dalam islam tidak hanya dimulai sejak lahir, tetapi juga sebelum lahir, bahkan sejak proses
pemilihan pasangan. Pendidikan anak itu juga tak hanya memperioritaskan aspek duniawi,
tetapi juga ada aspek ukhrawi.
Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu
dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat
yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada
mereka dan selalu menge (QS At Tahriim: 6)
Dalam sebuah hadist juga disebutkan, "Apabila manusia mati maka terputuslah amalannya
kecuali dari tiga perkara: sedekah jariyah, ilmu bermanfaat, atau anak shaleh yang
mendo'akannya." (HR. Muslim, dari Abu Hurairah).
Islam secara tegas telah member perhatian yang serius dalam pendidikan anak. Kegiatan
pendidikan yang dilaksanakan dalam keluarga, tidak bisa dilepaskan dari pendidikan
sebelumnya, yakni dalam kandungan atau sebelum lahir (pranatal), sekitar saat kelahiran
(perinatal), saat baru kelahiran (neonatal) dan setelah kelahiran (postnatal), termasuk

GOLDEN AGE
Jurnal Ilmiah Tumbuh Kembang Anak Usia Dini
Volume. 1 No. 1. Maret 2016
e-ISSN: 2502-3519
Pendekatan Integrasi-Interkoneksi dalam Pendidikan PAUD
58 | Najamuddin Muhammad

pendidikan dini. Dengan demikian, pendidikan anak usia dini merupakan serangkaian yang
masih ada keterkaitannya untuk mewujudkan generasi unggul, dan pendidikan itu merupakan
sebuah kebutuhan dalam kehidupan manusia. Islam memandang keluarga sebagai lingkungan
atau milliu yang pertama bagi individu dan dalam keluargalah pendidikan pertama kali
dilangsungkan Mnasur, 2011: 366).
Pendidikan anak itu dalam islam sudah ada panduannya mulai dari memilih istri yang baik
atau pun menentukan suami yang baik. Rasulullah SAW memberikan nasehat dan pelajaran
Dapatkan wanita yang beragama,
(jika tidak) niscaya engkau merugi" (HR.Al-Bukhari dan Muslim). Begitu juga dengan wanita,
memilih calon suami yang baik juga penting untuk masa depan penddikan anak. Rasulullah
memberikan pengarahan kepada para wali dengan bersabda, "Bila datang kepadamu orang yang
kamu sukai agama dan akhlaknya, maka kawikanlah. Jika tidak kamu lakukan, nisacaya terjadi
fitnah di muka bumi dan kerusakan yang besar
Ketika suami ingin mengauli istrinya, maka ada adab khusus yang diperintahkan oleh
Rasulullah saw. "Jika seseorang diantara kamu hen
nama Allah. Ya Allah, jauhkanlah kami dari syaitan dan jauhkanlah syaitan dari apa yang
Engkau karuniakan kepada kami".
Ketika sang istri sudah mengandung, maka Islam memberikan perhatian dan kestimewaan
khusus agar janin yang tumbuh di dalamnya mampu berkembang dengan baik. Demi menjaga
keselamatan janin, Islam telah member keringanan bagi wanita hamil dalam menunaikan
ibadah puasa di bulan ramadhan. Wanita yang mengandung diperbolehkan berbuka apabila
tidak mampu atau puasanya dikhawatirkan menggangu pertumbuhan janin. Demi menjaga
keselamatan jenin, Islam memerintahkan agar pelaksanaan hukuman terhadap wanita hamil
ditangguhkan sampai ia melahirkan.
Rasulullah Saw bersabda, mbunuh secara sengaja,
ia tidak boleh dijatuhi hukuman mati sampai ia melahirkan anaknya, jika ia memang sedang
hamil. Dan bilamana seorang wanita berzina, ia tidak boleh dirajam sampai ia melahirkan
anaknya jika ia sedang hamil dan sampai ia selesai merawatnya." (HR Ibnu Majah).
Ketika anak sudah dilahirkan, maka ada kaidah-kaidah khusus untuk pendidikan anak.
-hukum yang berkaitan dengan
kelahiran. Pertama, memberikan ucapan ucapan selamat dan rasa turut gembira ketika
seseorang melahirkan. Al-Quran menyebutkan tentang kegembiraan akan lahirnya anak di
pelbagai ayat. Kedua, mengumandangkan adzan dan iqomah ketika anak lahir. Ketiga,
mengunyahkan kurma (tehnik) ketika anak terlahir. Keempat, memberikan nama yang baik
pada anak. Kelima, mengaqiqahi anak. Keenam, menghitan anak. Ketujuh, penyusuan dan
pengasuhan (Ulwan, 2013: 36-71).
Itulah beberapa dalil Al-quran dan hadits yang berkaitan dengan PAUD. Secara tersurat
islam telah membangun pondasi PAUD. Hanya saja perintah yang bersika tektualis itu juga
perlu dipertemukan, disandingkan, dirundingkan dengan pelbagai disiplin keilmuan lainnya

GOLDEN AGE
Jurnal Ilmiah Tumbuh Kembang Anak Usia Dini
Volume. 1 No. 1. Maret 2016
e-ISSN: 2502-3519
Pendekatan Integrasi-Interkoneksi dalam Pendidikan PAUD
Najamuddin Muhammad
| 59

seperti psikologi, sosiologi, antropologi, kesehatan, neurosain dan disiplin keilmuan lainnya.
Perintah yang bersikap normative itu perlu disapa dalam kajian multidispliner sehingga terjadi
proses saling sapa, saling memperkaya, saling mengisi dan saling menguatkan.
Teks yang memerintahkan orangtua atau siapapun untuk member ungkapan rasa gembira
atau bersyukur, dibacakan adzan dan iqomah ketika anak lahir mendapat pembenaran secara
ilmiah. Dr. Masaru Emoto, Seorang peneliti Jepang, melakukan sebuah penelitian menarik
terhadap air. Beliau menuangkan air dalam wadah, kemudian disebutkan kata-
berapa kata-kata jelek lainnya. Ternyata ketika dipotret dengan sebuah
peralatan yang canggih, antara air yang disebutkan dengan kalimat-kalimat positif dan air yang
disebutkan kalimat-kalimat negatif mengandung sebuah reaksi yang berbeda. Kalau air itu
dibacakan kalimat yang positif maka itu akan bereaksi bening dan bahkan bercahaya tapi ketika
disebutkan kalimat negatif maka air itu akan keruh (Abidin, 2014: 174).
Dalam tubuh manusia 70 % mengandung air. Kalau kita selalu menggunakan kata-kata
yang positif, maka itu akan membentuk sebuah kristal yang indah. Ketika kita selalu
mengungkapkan rasa sykur pada Allah Swt, maka air yang ada dalam tubuh akan membentuk
kristal yang indah dan tersusun rapi sehingga akan keluar dalam tubuh kita sebuah energi
posistif. Sebaliknya, ketika kita menggunakan kata-kata yang negatif, maka air yang ada dalam
tubuh kita akan membentuk kristal yang tidak utuh, terpotong-potong dan pada gilirannya
akan memancarkan energi negatif juga dalam tubuh kita. Kata-kata positif itu sangat
berpengaruh terhadap pembentukan energi dalam tubuh kita (Abidin, 2014: 175).
Masaru Emoto mengatakan -kata yang Anda gunakan dalam hidup
sehari-hari. Kata-kata Anda dan cara Anda menggunakannya berpengaruh besar terhadap jenis
kehidupan yang anda jalani. Ini adalah penemuan yang tidak mengejutkan setiap orang. Kata-
kata adalah getaran, dan ketika tubuh kita, bersama semua air yang terkandung di dalamnya,
terpapar pada kata-kata yang baik, tidak bisa tidak kita akan sehat dan sejahtera. Dengan cara
yang sama, kata-kata buruk dan getarannya akan berdampak negatif pada tubuh, jadi kita tidak
perlu heran ketika kata-kata yang buruk menghancurkan. Ada begitu banyak hal yang dapat
terkandung dalam sebuah kata. Itulah sebabnya mengapa hidup Anda tergantung pada bagaimana
Anda menggunakan kata-kata dan bagaimana Anda berelasi dalam setiap maknanya di setiap
hari. Terutama di masa kini, di banding dengan masa lalu, kita di bombardir oleh kata-kata yang
negatif di radio, televisi, dan perbincangan dengan orang lain. Meskipun beberapa bahasa negatif
yang digunakan untuk bergurau mungkin tidak terlalu buruk, banyak dari bahasa yang kita
gunakan, dan bahkan kata-kata serta ungkapan baru yang memasuki bahasa kita, memalui
budaya modern, memiliki getaran negatif (Emoto, 2007: 9)
Ketika anak dilahirkan kemudian diungkapkan rasa syukur, diadzankan dan diiqomahkan,
maka itu akan sangat berpengaruh terhadap masa depan kepribadian anak. Ada energy positif
yang tersalukan, apalagi anak pada saat baru dilahirkan benar-benar dalam keadaan suci. Ketika
ada energi positif yang menghampirinya, maka akan terjadi proses pencahayaan sebagaiana
layaknya air dalam penelitian Masaru Emoto yang menjadikan air sangat bening hanya dengan

GOLDEN AGE
Jurnal Ilmiah Tumbuh Kembang Anak Usia Dini
Volume. 1 No. 1. Maret 2016
e-ISSN: 2502-3519
Pendekatan Integrasi-Interkoneksi dalam Pendidikan PAUD
60 | Najamuddin Muhammad

berkata positif. Ungkapan syukur, adzan dan iqomah bisa menjadi kilauan mutiara yang sangat
berpengaruh terhadap perkembangan psikologis dan emosi anak di masa yang akan datang.
Perintah khitan untuk anak juga sudah dilakukan pendekatan medis oleh pelbagai
kalangan. Dalam temuanya disimpulkan bahwa khitan mempunyai dampak posistif. Ada
lapisan kulit zakar yang sulit dibersihkan. Maka kalau tidak dikhitan, kotoran yang biasa
disebut smegma itu bisa menggupal dan bisa menimbulkan infeksi pada zakar. Kulub laki-laki
mempunyai potensi menyimpan penyakit kelamin dan menyebabkan terjadinya pemancaran
sperma secara dini, sebab kepala penis yang berkulub lebih sensitive daripada yang tidak
berkulub. Maka tak heran ketika para kumpulan para dokter menyarankan kepada pemerintah
negaranya masing-masing agar menyerukan khitanan missal guna membebaskan penyakit dan
gangguan seksualitas di dalam masyarakat (Umar, 2001: 36). Khitan dalam konteks ini bisa
bermamfaat tidak hanya bagi ummat islam, tetapi bagi seluruh ummat manusia tanpa
mengenal agama dan etnis.
Khitan juga bisa dikaji melalui disiplin ilmu antropologi. Para antropolog menemukan
budaya khitan sudah ada sejak pra islam dengan bukti ditemukannya Mumi perempuan di
Mesir kuno pada abad ke-16 SM yang terdapat tanda pemotongan. Ada juga penelitian yang
menyebutkan bahwa khitan telah dilakukan di Asia barat dan Afrika seperti Semit, hamit atau
hamitoid (Arifin, 2010: 205). Bagaimana dengan Indonesia yang mempunyia tradisi da kultur
yang berbeda antara satu daerah dengan daerah yang lain untuk melaksanakan khitan. Tentu
kajian antropologi dalam khitan akan melahirkan pelbagai ragam pengetahuan dan wawasan
yang menyeluruh ihwal silsilah dan tradisi khitan untuk menyucikan anak.
Penyusuan dan pengasuhan anak saat ini juga sudah mendapatkan perhatian medis.
Organisasi Kesehatan Dunia di awal abad ke-20 melaporkan bahwa para ilmuwan menemukan
makanan sempurna untuk bayi, yakni air susu ibu. Menyusui bayi ternyata tidak hanya
memberi danpak psikologis pada ibunya, tetapi juga akan memberikan efek pada kekebalan
tubuh bayi. Air susu Ibu ternyata mengandung anti bodi yang membuat anak bisa lebih tahan
terhadap ragam penyakit (Sears dkk, 2007: 268). Kalau dulu penyusuan seakan hanya menjadi
perintah normative, tetapi saat ini semenjak ada himbauan dari WHO penyusuhan menjadi
cara terbaik untuk memerikan makanan pada anak yang mempunyai mamfaat banyak bagi
perlindungan kesehatan anak.
Begitu juga dengan pengasuhan terhadap anak, orang yang paling utama adalah kedua
orang tua, kalau tidak adalah kerabat dekatnya. Orang yang paling berhak terhadap
pengasuhan ini adalah orang yang paling dekat kekarabatannya. Pengasuhan ini menjadi sangat
penting karena pada usia dini anak harus dipenuhi dengan kasih sayang, perasaan mesra dan
hangat serta penuh dengan kegembiraan. Maka pengasuhan yang paling utama adalah kedua
orangtunya, terutama ibu. Masa-masa itu adalah masa-masa krusial, segala sesuatu yang dilihat
dan dirasakan anak akan membekas. Pengasuhan itu sangat penting bagi anak agar segenap
potensi yang ada pada anak di usia dini mampu dikembangkan dengan baik. Dalam kajian
neurosain, anak yang baru lahir mempunyai 100-200 milyar neuron sedangkan perkembangan

GOLDEN AGE
Jurnal Ilmiah Tumbuh Kembang Anak Usia Dini
Volume. 1 No. 1. Maret 2016
e-ISSN: 2502-3519
Pendekatan Integrasi-Interkoneksi dalam Pendidikan PAUD
Najamuddin Muhammad
| 61

otaknya mencapai 50% ketika mencapai usia 6 bulan. Pada usia 2 tahun perkembangan
otaknya mencapai 75 % dan pada usia 5 tahun perkembangan otaknya mencapai 90 %
(Gunawan, 2003: 57). Ini sungguh periode emas yang perlu sentuhan dan kasih sayang dari
kedua orang tua.

Tantangan Integrasi-interkoneksi dalam Penelitian PAUD

Proses integrasi-interkoneksi dalam penelitian PAUD mendapat tantangan serius seiring


dengan proses perubahan social yang kian hari kian kencang. Ada banyak persoalan-persoalan
sosial yang mempunyai pengaruh besar terhadap keputusan yang diambil keluarga anak,
praktisi dan ahli PAUD. Menurut George S. Morison ada beberapa persoalan social terkini
yang berpengaruh terhadap pendidikan anak, seperti perubahan peran keluarga, masalah
kesehatan anak, status social ekonomi keluarga, penelitian otak dan kekerasan pada anak
(Morison, 2012: 32).
Apa yang telah digelisahkan oleh George S. Morison juga terjadi dalam lingkungan kita.
Perubahan peran dalam keluarga banyak terjadi. Jumlah ibu pekerja yang kian meningkat dan
ketidakhadiran ayah dalam keluarga membuat pendidikan anak kian terabaikan. Orang tua
kian tidak punya banyak waktu untuk berkumpul dengan keluarga dan memberi layanan
pengasuhan terhadap anak. Ini tentu akan berpengaruh besar terhadap proses pengasuhan
anak.
Salah satu tujuan program dari pendidikan anak usia dini adalah memberi keamanan dan
kesehatan bagi anak. Ketika kondisi kesehatan anak kurang baik, maka itu tentu akan
berpengaruh terhadap prestasi anak dan tugas-tugas pertumbuhan dan perkembangan anak
tidak akan berjalan dengan sempurna. Beberapa problem gangguan kesehatan seperti campak,
cacar, asma, gondok dan pelbagai gangguan lainnya mesti juga menjadi perhatian untuk proses
PAUD yang lebih baik. Masalah ini juga cukup banyak dijumpai di sekitar kita.
Status social ekonomi juga mempunyai pengaruh terhadap PAUD. Status social ekonomi
itu terdiri dari tiga hal utama namun saling berkaitan; tingkat pendidikan orang tua, status
pekerjaan orang tua, dan pendapatan keluarga (Morison, 2012: 41). Tiga hal itu ternyata
sangat berpengaruh terhadap proses pengasuhan anak, intraksi antar keluarga dan anak serta
lingkungan yang dibangun di rumah untuk menunjang perkembangan potensi anak. Status
social di negeri ini menjadi penyakit lama yang sulit disembuhkan.
Penelitian otak terus digalakkan sehingga senantiana menghasilkan temuan-temuan baru
yang berkaitan bagaimana cara member rangsangan yang terbaik untuk perkembangan emosi,
inteltual dan spiritual anak. Berdasarkan pada penelitian otak, ahli PAUD berkeyakinan bahwa
perkemangan intelektual yang paling cepat terjadi sebelum lima tahun, anak tidak terlahir
dengan kecerdsan yang sudah tetap dan anak yang besar dari lingkungan yang merangsang
lebih baik dari anak yang dibesarkan dari lingkungan yang kurang menantang.

GOLDEN AGE
Jurnal Ilmiah Tumbuh Kembang Anak Usia Dini
Volume. 1 No. 1. Maret 2016
e-ISSN: 2502-3519
Pendekatan Integrasi-Interkoneksi dalam Pendidikan PAUD
62 | Najamuddin Muhammad

Persoalan terakhir yang turut menjadi tantangan untuk proses integrasi-interkoneksi dalam
penelitian PAUD adalah kekerasan pada anak. Kekerasan, baik itu secara verbal atau pun
nonverbal, melalui kedua orang tua atau pun melalui televise, video games mempunyai
pengaruh besar terhadap perkembangan anak usia dini. Agar watak dan karakter keras anak
tidak dipelihara dan dipupuk mulai dini, maka ini menjadi tantangan tersendiri bagi keluarga
untuk membimbing anak dalam menonton dan memilih games.
Itulah beberapa persoalan-persoalan PAUD saat ini yang tentu akan berpengaruh teradap
praktik PAUD di lapangan. Masalah itu cukup dekat dengan kita. Persoalan itu tentu tidak
mampu hanya dipecahkan degan hanya bersandar pada disiplin keilmuan tunggal, tetapi
membutuhkan pelbagai pendekatan multidisipliner sehingga mampu dipecahkan secara
holistic.
Kita butuh pendekatan medis untuk menyelesaikan persoalan penyakit pada anak, butuh
pendekatan ekonomi dan kebijakan public untuk member solusi pada keluarga yang dililit
kemiskinan, perlu penguasaan ilmu otak untuk terus mengembangkan potensi anak dan
pelbagai pendekatan keilmuannya lainya. Maka pendekatan integrasi-interkoneksi dalam
penelitian PAUD menjadi kewajiban untuk memecahkan persoalan PAUD yang kian
beragam.

Simpulan

Berdasarkan Uraian di atas Paradigma Integrasi Interkoneksi menawarkan gagasan untuk


mengurangi ketegangan antara ilmu agama dan ilmu social lainnya. Paradigma ini menegaskan
bahwa bangunan keilmuan apapun, baik keilmuan agama, keilmuan tidak dapat berdiri
sendiri, akan tetapi menbutuhkan kersa sama, saling tegur, saling koreksi dan saling
keterhubungan, akan menbantu manusia dalam menghadapi kompleksitas kehidupan
manusia.
Dalam konteks Pendidikan Anak Usia Dini. Secara tersurat maupun tersirat Islam telah
membangun pondasi PAUD. Hanya saja perintah yang bersikap tektualis itu juga perlu
dipertemukan, disandingkan, dirundingkan dengan pelbagai disiplin keilmuan lainnya seperti
psikologi, sosiologi, antropologi, kesehatan, neurosain dan disiplin keilmuan lainnya. Perintah
yang bersikap normative itu perlu disapa dalam kajian multidispliner sehingga terjadi proses
saling sapa, saling memperkaya, saling mengisi dan saling menguatkan. Yang pada akhirnya
anak bisa berkembang secara seimbang dan paripurna tidak hanya jasmani tapi juga rohani,
tidak hanya menguasai ilmu pengetahuan umum melainkan juga tafaqquh fi ad-diin

GOLDEN AGE
Jurnal Ilmiah Tumbuh Kembang Anak Usia Dini
Volume. 1 No. 1. Maret 2016
e-ISSN: 2502-3519
Pendekatan Integrasi-Interkoneksi dalam Pendidikan PAUD
Najamuddin Muhammad
| 63

Daftar Pustaka

Adi W. Gunawan, Genius Learning Strategy, petunjuk praktis menerapkan Accelereted Learning,
(Jakarta: Gramedia, 2003)

Abdul Mujib, Jusuf Mudzakir, Nuansa-nuansa Psikologi Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada,
2002)

Pendidikan Anak dalam Islam, penerjemah Arif Rahman Hakim dkk


(Solo: Penerbit Insan Kamil, 2013)

Ahmad Zainal Abidin, Ajaibnya Tafakkur dan Tasyakkur untuk percepatan rezeki, (Yogyakarta:
Safirah, 2014)

George S. Morison, Dasar-dasar Pendidikan Anak Usia Dini, penerjemah Suci Romadhona
dan Apri Widiastuti (Jakarta: PT Indeks, 2012)

Desmita El-Idham, Psikologi Perkembangan Peserta Didik, (PT Remaja Rosda Karya Bandung,
2009)

Dudung Rahmat Hidayat, Dkk, Ilmu dan Aplikasi Pendidikan jilid 3, ( Jakarta, PT Imerial
Bhakt Utama, 2007)

M. Amin Abdullah, islamic Studies: di Perguruan Tinggi Pendekatan Integratif-Interkonektif,


(Yogyakarta: Pustaka pelajar, 2006)

Karangka Dasar Keilmuan & pengembangan kurikulum Universitas Islam Negeri (UIN)
Sunan Kalijaga Yogyakarta, (Pokja Akademik UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2006)

M. Amin Abdullah Dkk, Integrasi Sains-Islam: Mempertemukan Epistemologi Islam dan Sain,
Cet. 1 (Yogyakarta: Pilar Religia, 2004)

Mulyono, Model Integrasi sains dan agama dalam pengembangan akademik keilmuan UIN,
(Jurnal Penelitian Keislaman, Vol. 7, No. 2, Juni 2011: 319-339)

Mansur, Pendidikan Anak Usia Dini dalam Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011)

Maseru Emoto, The Miracle of Water, Mukjizat Air, penerjemah, Susi Purwoko, (Jakarta:
Gramedia, 2007)

GOLDEN AGE
Jurnal Ilmiah Tumbuh Kembang Anak Usia Dini
Volume. 1 No. 1. Maret 2016
e-ISSN: 2502-3519
Pendekatan Integrasi-Interkoneksi dalam Pendidikan PAUD
64 | Najamuddin Muhammad

Nasaruddin Umar, Agama dan Kekerasan terhadap Perempuan, (Jurnal Dinamika HAM,
Volume 2, No 1 April 2001)

Gus Arifin, Menikah untuk Bahagia, Figh Nikah dan Kama Sutra Islami, (Jakarta: Elek Media
Komputindo, 2010)

William Sears dkk, The Baby Books, Segala hal yang perlu anda ketahui tentang bayi anda sejak
lahir hingga usia dua tahun (Jakarta: Serambi, 2007).

Zainal Abidin Baqir, Dkk, Integrasi Ilmu dan Agama; Interpretasi dan aksi, (Bandung: PT
Mizan Pustaka Kerjasama dengan UGM dan Suka Press Yogyakarta, 2005)

GOLDEN AGE
Jurnal Ilmiah Tumbuh Kembang Anak Usia Dini
Volume. 1 No. 1. Maret 2016
e-ISSN: 2502-3519

You might also like