Download as pdf or txt
Download as pdf or txt
You are on page 1of 22

ANALISIS JANGKA PANJANG DAN JANGKA

PENDEK VARIABEL MAKROEKONOMI DALAM


UPAYA MENSTABILKAN INFLASI DI INDONESIA

JURNAL ILMIAH

Disusun oleh :

Husnun Aziza Dg Silasa


125020400111007

JURUSAN ILMU EKONOMI


FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2016
ANALYSIS OF LONG-TERM AND SHORT-TERM
ECONOMIC MACRO VARIABLE IN EFFORTS TO
STABILIZE INFLATION IN INDONESIA

SCIENTIFIC JOURNALS

Created By:

Husnun Aziza Dg Silasa


125020400111007

ECONOMICS MAJOR
ECONOMICS AND BUSINESS FACULTY
BRAWIJAYA UNIVERSITY
MALANG
2016
Analisis Jangka Panjang dan Jangka Pendek Variabel Makroekonomi dalam
Upaya Menstabilkan Inflasi di Indonesia
Husnun Aziza Dg Silasa
Marlina Ekawaty
Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Brawijaya Malang
Email : husnunazizadgsilasa@gmail.com

ABSTRACT

The movement of inflation in Indonesia have considerable fluctuation high and persistent.
An understanding of the characteristics and sources of shocks that could trigger inflation can be
used as a basis for formulating an effective monetary policy and consistent stability control
inflation, as the final destination. This study aimed to analyze the macroeconomic variables
underlying causes of inflation and see what variables are most dominate in the long term and
short term, using the Error Correction Model (ECM). Data in the form of time series during the
period 2002: Q1-2015: Q4 and publications obtained from Bank Indonesia and the Central
Bureau of Statistics.
The results of this study indicate that according to estimates ECM, long-term inflation in
Indonesia is significantly affected by two independent variables, namely the BI rate and household
consumption and both variables have a negative influence. In the short term, the increase in the BI
rate and household consumption have a significant and positive influence on the rate of inflation.
Based on the results of the estimation model of long-term and short-term inflation is influenced by
the contribution of changes in the BI rate.

Keywords: Inflation, BI rate, money supply, exchange rates, household consumption, ECM.

A. LATAR BELAKANG

Inflasi merupakan salah satu indikator penting bagi ekonom dalam menganalisis
perekonomian suatu negara. Inflasi memberikan pengaruh yang cukup besar terhadap pencapaian
beberapa tujuan kebijakan makro, seperti pertumbuhan ekonomi, kesempatan kerja, distribusi
pendapatan, dan keseimbangan neraca pembayaran (Pohan, 2008). Dampak lain yang ditimbulkan
oleh inflasi juga dirasakan pada lalu lintas pasar keuangan karena berpengaruh secara langsung
terhadap agregat moneter.
Fenomena inflasi merupakan masalah klasik bagi perekonomian yang hingga saat ini
masih memberikan trauma mendalam. Menurut sejarah perkembangannya, fluktuasi inflasi
Indonesia tergolong cukup bervariasi dari waktu ke waktu dan bersifat persisten (Dwiantoro,
2004). Pada dasarnya fenomena inflasi di Indonesia disebabkan oleh berbagai faktor eksternal dan
internal, baik yang berpengaruh secara langsung ataupun tidak. Menurut Candra (2006) inflasi
yang rendah mampu mendorong negara dalam meningkatkan kapasitas outputnya, namun di sisi
lain inflasi yang tinggi juga menimbulkan ketidakpastian terhadap perekonomian. Untuk itu
diperlukan suatu upaya dalam rangka menjaga inflasi pada level yang rendah dan stabil. Dalam
upaya tersebut Bank Indonesia memiliki strategi kebijakan pengendalian inflasi yang dikenal
dengan nama ITF (inflation targeting framework). ITF dilaksanakan dengan menargetkan inflasi
pada angka tertentu dengan range deviasi ± 1%. Strategi kebijakan ini diarahkan untuk mencapai
kestabilan harga dalam jangka panjang, namun tetap memberikan ruang terhadap pergerakan
inflasi jangka pendek agar tidak melenceng dari target yang ditetapkan. Penargetan inflasi
ditujukan untuk mengarahkan ekspektasi pelaku ekonomi dalam melakukan aktivitas ekonominya
ke depan, sehingga pergerakan inflasi dapat diarahkan menuju target yang telah ditetapkan.
Perkembangan inflasi di Indonesia dapat dilihat pada grafik 1, sebagai berikut:
Grafik 1: Tingkat Inflasi di Indonesia Berdasarkan Indeks Harga Konsumen (IHK) 1986-
2015

Inflasi (%)
100
80
60
40
20
0

2010
1986
1988
1990
1992
1994
1996
1998
2000
2002
2004
2006
2008

2012
2014
Sumber : BPS dan Bank Indonesia, diolah

Inflasi Indonesia dari tahun 1986 hingga 2015 mengalami fluktuasi setiap tahunnya.
Inflasi meningkat sangat tajam dan masuk kategori hyper inflation di tahun 1998 hingga mencapai
77.63%. Pada tahun 2005 inflasi kembali tinggi yaitu sebesar 17.11%. Berbagai indikator ekonomi
makro moneter sepanjang tahun 2005 menunjukkan bahwa perekonomian Indonesia masih belum
stabil, ini berarti ekonomi Indonesia masih rawan terhadap berbagai guncangan. Ketidakstabilan
indikator makro dapat dilihat dari adanya peningkatan inflasi dan suku bunga, volatilitas nilai
tukar, dan adanya kecenderungan kenaikan tingkat pengangguran.
Dalam satu dekade terakhir, meningkatnya kompleksitas hubungan antara inflasi dengan
beberapa variabel makro lain menyebabkan pemerintah mengalami kesulitan dalam mengamati
perilaku pembentukan harga di Indonesia. Hal ini berkaitan dengan sulitnya mengidentifikasi dan
memprediksi sumber-sumber perubahan (shock) yang dapat memicu tekanan inflasi. Merujuk pada
penelitian yang pernah dilakukan oleh Anugrah (2012), Arintoko (2011), Endri (2008), Hayati
(2006) dan Dwiantoro (2004) untuk studi kasus Indonesia, diperoleh hasil penelitian yang
mengidentifikasi bahwa suku bunga jangka pendek, nilai tukar, ekspektasi inflasi, output gap, serta
harga atau inflasi luar negeri berpengaruh signifikan terhadap tingkat inflasi di Indonesia, baik
dalam jangka panjang maupun jangka pendek. Pertumbuhan jumlah uang beredar turut
mempengaruhi pergerakan inflasi dalam jangka panjang. Variabel lain yang juga signifikan dalam
mempengaruhi inflasi dalam jangka pendek adalah upah tenaga kerja. Sedangkan untuk studi
kasus negara-negara lain yang pernah dilakukan oleh Akinbobola (2012), Sultan (2011) Yiping, et.
al (2010), Almounsor (2010), Ziramba (2008) dan Ratnasiri (2006) hasil penelitian menunjukkan
bahwa tingkat inflasi banyak dipengaruhi oleh money supply, nilai tukar, inflasi luar negeri,
ekspor, dan PDB riil baik dalam jangka panjang maupun jangka pendek. Tingkat inflasi juga
dipengaruhi oleh konsumsi atau permintaan domestik dalam jangka panjang dan dalam jangka
pendek inflasi dipengaruhi oleh output gap.
Mengingat belum optimalnya pelaksanaan kebijakan moneter dalam mengendalikan
inflasi, maka untuk merumuskan sebuah kebijakan yang kredibel perlu dilakukan
pengidentifikasian sumber pemicu serta pemahaman mengenai karakteristik inflasi di Indonesia.
Berdasarkan uraian di atas, sangat penting untuk mengetahui dan memahami variabel
makroekonomi yang menjadi sumber penyebab inflasi. Hal ini dimaksudkan agar otoritas moneter
dapat segera merespon shock yang terjadi dan mencegah perluasan dampak inflasi terhadap
perekonomian. Oleh karena itu, penulis berkeinginan melihat konsistensi dari masing-masing
pengaruh variabel makroekonomi terhadap inflasi serta variabel apa yang dominan pengaruhnya.
Dari penjelasan di atas, maka dapat disusun rumusan masalah sebagai berikut:
1. Apakah perubahan variabel makroekonomi mempengaruhi inflasi dalam jangka panjang?
2. Apakah perubahan variabel makroekonomi mempengaruhi inflasi dalam jangka pendek?
3. Variabel makroekonomi apakah yang dominan dalam mempengaruhi inflasi dalam jangka
panjang?
4. Variabel makroekonomi apakah yang dominan dalam mempengaruhi inflasi dalam jangka
pendek?
B. TINJAUAN PUSTAKA

Kajian teoritis yang menjelaskan tentang fenomena inflasi selalu berubah dan
berkembang sesuai dengan pemikiran-pemikiran para ekonom yang membuat landasan teori
berdasarkan pengamatan terhadap peristiwa-peristiwa yang terjadi. Beberapa teori inflasi yang
masih diperdebatkan antara lain:

 Teori Moneteris
Teori Moneteris merupakan penyempurnaan dari teori kuantitas uang yang diusung
oleh ekonom klasik. Teori ini menekankan pada pentingnya peranan uang dan ekspektasi
masyarakat terhadap kenaikan harga yang dapat memicu tekanan inflasi. Dasar pemikiran yang
terkandung dalam teori ini adalah inflasi akan terjadi apabila terjadi penambahan volume uang
beredar yang melebihi kapasitas dan pergerakan inflasi yang ditentukan oleh ekspektasi
masyarakat mengenai kenaikan harga di masa yang akan datang.
Dengan demikian, dalam teori kuantitas, faktor yang paling berpengaruh terhadap
perubahan harga yang terjadi di dalam perekonomian adalah jumlah uang yang beredar di
masyarakat. Fisher dalam Mankiw (2003) menggambarkan hubungan tersebut melalui
persamaan kuantitas berikut:

MxV=PxY

di mana M adalah jumlah uang beredar (JUB), V adalah kecepatan perputaran uang, P adalah
tingkat harga umum, dan Y adalah output. Dalam persamaan tersebut, P proporsional dengan M
dan Y. Karena perubahan pada V dianggap konstan, maka peningkatan JUB akan berdampak
pada kenaikan tingkat harga. Moneteris menyatakan bahwa bank sentral memiliki kendali
tertinggi atas inflasi. Jika bank sentral mengontrol pertumbuhan JUB tetap stabil, maka tingkat
harga juga akan stabil. Namun jika bank sentral menambah volume JUB dengan cepat, maka
tingkat harga akan meningkat dengan cepat pula sehingga mendorong kenaikan inflasi (Nanga,
2005). Jadi, klasik dan moneteris memandang bahwa inflasi adalah fenomena moneter.
Dalam jangka panjang tingkat pertumbuhan uang secara terus-menerus, ketika semua
penyesuaian dilakukan, akan menyebabkan kenaikan yang sama pada tingkat inflasi. Tingkat
inflasi sama dengan tingkat pertumbuhan yang disesuaikan dengan trend pertumbuhan
pendapatan riil. Adanya gangguan-gangguan selain dari shock pertumbuhan uang (misal
gejolak penawaran) turut mempengaruhi inflasi dan dalam jangka panjang uang memiliki
dampak riil (Thanh, 2008).

 Teori Keynes
Dasar pemikiran teori Keynes menekankan bahwa inflasi terjadi karena masyarakat
ingin hidup di luar batas kemampuan ekonomisnya, sehingga menyebabkan permintaan efektif
terhadap barang-barang (permintaan agregat) melebihi jumlah barang-barang yang tersedia
(penawaran agregat). Excess demand ini menyebabkan munculnya inflationary gap.
Keterbatasan penawaran agregat terjadi karena output tidak dapat ditingkatkan dalam waktu
yang relatif singkat untuk mengimbangi kenaikan permintaan agregat.
Dalam teori ini, pergerakan inflasi cenderung meningkat dalam jangka pendek karena
perubahan output relatif tetap dalam jangka pendek. Keynes mengungkapkan bahwa JUB
bukanlah satu-satunya determinan tingkat harga. Dalam jangka pendek, tingkat harga juga
dipengaruhi oleh pengeluaran konsumsi rumah tangga, pengeluaran investasi, pengeluaran
pemerintah, dan pajak (Nanga, 2005). Atas dasar uraian tersebut, pandangan Keynes lebih
banyak digunakan untuk menerangkan fenomena inflasi dalam jangka pendek
Mengacu pada teori kuantitas, Keynes menyatakan bahwa perputaran uang (V) tidak
konstan dan berubah-ubah. Apabila masyarakat lebih banyak memegang uang (JUB
meningkat), maka masyarakat cenderung untuk meningkatkan transaksinya dan menuntut
penawaran output yang lebih besar. Namun karena keterbatasan output dalam jangka pendek,
maka kenaikan permintaan hanya akan memicu kenaikan harga. Dengan kata lain, penambahan
JUB dalam perekonomian dapat meningkatkan inflasi (Nanga, 2005).
 Teori Struktural
Teori yang banyak diadopsi oleh negara berkembang ini menjelaskan bahwa inflasi
bukan hanya fenomena moneter, tetapi juga merupakan fenomena struktural. Hal ini
disebabkan karena perekonomian negara berkembang pada umumnya masih rentan terhadap
shock internal dan shock eksternal yang menyebabkan fluktuasi pembentukan harga di pasar
domestik. Jadi, menurut kaum strukturalis, inflasi merupakan sesuatu yang melekat di dalam
proses pembangunan ekonomi dan tidak dapat dihindari oleh perekonomian negara
berkembang (Nanga, 2005).
Dasar pemikiran model ini adalah kenaikan tingkat harga yang ditransmisikan melalui
supply side atau produksi. Penyebab lain terjadinya inflasi di negara berkembang adalah akibat
dari inflasi luar negeri (imported inflation). Jika kontribusi impor terhadap pembentukan output
domestik sangat besar, maka kenaikan harga barang impor akan menyebabkan tekanan inflasi
domestik yang cukup besar (Gali, 2002). Rendahnya nilai tukar negara berkembang juga
mempengaruhi pergerakan inflasi domestik. Kecenderungan nilai tukar mata uang negara
berkembang untuk terdepresiasi menyebabkan kenaikan harga barang impor dan semakin
menekan biaya produksi sehingga meningkatkan harga barang secara umum dalam pasar
domestik.

Keterkaitan Inflasi dengan Variabel Makroekonomi


Inflasi secara umum menggambarkan proses kenaikan harga yang ditentukan oleh
determinannya, baik dalam jangka panjang dan maupun jangka pendek. Otoritas moneter
berkoordinasi dengan pemerintah melaksanakan kebijakan moneter yang disinergikan dengan
kebijakan makro lain dan bertujuan untuk mengendalikan pergerakan inflasi. Stabilitas inflasi
dapat terganggu apabila terjadi perubahan pada variabel-variabel ekonomi yang dapat memicu
kenaikan harga secara umum. Beberapa veriabel makro yang dapat diidentifikasi hubungannya
dengan inflasi dapat dijelaskan sebagi berikut:

 Keterkaitan Tingkat Suku Bunga dengan Inflasi


Suku bunga juga merupakan harga (opportunity cost) yang harus dibayarkan atas uang
yang dipegang dalam kurun waktu tertentu. Suku bunga mempengaruhi keputusan individu
dalam membelanjakan uang lebih banyak atau menyimpan uangnya dalam bentuk aset
finansial. Suku bunga dapat dibedakan menjadi dua jenis, yaitu: (1) Suku bunga nominal, yaitu
rate yang dapat diamati oleh pasar. (2) Suku bunga riil, yaitu konsep yang mengukur tingkat
bunga sesungguhnya, setelah suku bunga nominal dikurangi dengan laju inflasi yang
diharapkan.
Hubungan antara tingkat suku bunga dengan tingkat inflasi dijelaskan oleh Fisher
(dalam Mankiw, 2003) melalui persamaan:

i=r+π

di mana i adalah suku bunga nominal, r adalah suku bunga riil, dan π adalah tingkat inflasi.
Dalam persamaan tersebut, suku bunga nominal memiliki hubungan positif dan searah dengan
inflasi.
Ketika tingkat inflasi tinggi, otoritas moneter menaikkan suku bunga nominal jangka
pendeknya dengan tujuan mengurangi jumlah uang yang beredar dalam perekonomian
sehingga dapat menurunkan inflasi. Apabila kebijakan disinflasi yang dilaksanakan oleh
otoritas moneter dapat berjalan secara konsisten, maka dampak kenaikan suku bunga terhadap
penurunan likuiditas pada sektor riil akan direduksi dengan menurunnya harga-harga barang
konsumsi. Namun dalam praktiknya, suku bunga nominal jangka pendek diatur untuk
mengarahkan pergerakan suku bung perbankan. Apabila kenaikan suku bunga nominal
direspon oleh suku bunga tabungan dan kredit pada bank umum (suku bunga kredit meningkat
di atas tingkat suku bunga BI rate), peningkatan suku bunga tersebut dapat menurunkan
investasi di sektor riil sehingga berdampak pada penurunan output. Penurunan output
merupakan dampak dari kenaikan biaya produksi karena tingginya suku bunga yang berlaku,
sehingga dapat memicu kenaikan harga dan semakin menekan inflasi.
 Keterkaitan Jumlah Uang Beredar dengan Inflasi
Berdasarkan teori kuantitas, fluktuasi yang terjadi pada harga disebabkan oleh naik
turunnya volume uang yang beredar (JUB) dalam perekonomian. Irving Fisher menyatakan
bahwa, “pada hakikatnya perubahan dalam jumlah uang beredar akan menimbulkan perubahan
yang sama cepatnya atas harga”, yang berarti peningkatan persentase jumlah uang beredar akan
sama dengan peningkatan persentase tingkat inflasi (Mankiw, 2003). Sehingga dapat
disimpulkan bahwa jumlah uang beredar memiliki pengaruh positif terhadap inflasi.
Peningkatan jumlah uang beredar yang berlebihan dapat mendorong peningkatan harga
melebihi tingkat harga yang dapat diprediksikan oleh perekonomian, dan dalam jangka panjang
hal tersebut dapat berpotensi menganggu pertumbuhan ekonomi karena tingginya laju inflasi.

 Keterkaitan Nilai Tukar dengan Inflasi


Nilai tukar didefinisikan sebagai harga relatif dari mata uang suatu negara terhadap
mata uang negara lain. Nilai tukar mempengaruhi net expor dan menjelaskan bagaimana
perubahan harga luar negeri berdampak pada harga domestik (Gali, 2002). Hubungan nilai
tukar terhadap perubahan tingkat harga dapat dijelaskan oleh persamaan berikut (Mankiw,
2003):

Kurs Nominal = Kurs Riil x Rasio Tingkat Harga


e = E x (P*/P)

di mana P adalah tingkat harga domestik dan P* adalah tingkat harga luar negeri. Persamaan
tersebut menunjukkan bahwa nilai tukar nominal (e) memiliki hubungan positif dengan tingkat
harga domestik (P).
Depresiasi atau kenaikan nominal nilai tukar suatu mata uang terhadap mata uang
negara lain akan meningkatkan harga barang impor karena melemahnya nilai tukar mata uang
suatu negara. Jika kontribusi impor memiliki peranan penting terhadap perekonomian,
khususnya terhadap proses produksi, maka depresiai nilai tukar mata uang dapat meningkatkan
biaya produksi sehingga menyebabkan kenaikan tingkat harga domestik dan memicu kenaikan
inflasi.

 Keterkaitan Konsumsi Rumah Tangga dengan Inflasi


Di dalam model Keynes, faktor yang menentukan pembentukan tingkat harga tidak
hanya berasal dari pertumuhan uang saja. Keynes membuat fungsi konsumsi sebagai pusat
teori fluktuasi ekonominya (Mankiw, 2003). Keinginan untuk melakukan konsumsi
menimbulkan permintaan atas barang dan jasa yang diproduksi. Mengingat peran konsumsi
sangat penting dalam menggerakkan roda perekonomian Indonesia, maka fluktuasi dalam
konsumsi dapat memberikan guncangan dalam perekonomian.
Keputusan konsumsi sangat penting untuk analisis jangka panjang dan jangka pendek
karena perannya dalam menentukan permintaan agregat. Persamaan permintaan agregat
diturunkan dari teori kuantitas. Dalam jangka pendek, peningkatan konsumsi (permintaan
agregat) akan menentukan nilai nominal output yang merupakan produk dari tingkat harga dan
jumlah output yang diminta, dan tidak akan menaikkan tingkat harga karena perusahaan
cenderung untuk menyesuaikan outputnya dari pada merubah harga produknya (pandangan
Keynesian). Sementara dalam jangka panjang, kenaikan permintaan akan meningkatkan output
dan tingkat harga karena kecenderungan perusahaan untuk berekspansi ke depan (pandangan
moneteris).

C. METODOLOGI PENELITIAN

Pendekatan Penelitian
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kuantitatif. Menurut
Sugiyono (2008), metode kuantitatif adalah pendekatan ilmiah yang memandang suatu realitas itu
dapat diklasifikasikan, konkrit, teramati dan terukur, hubungan variabelnya bersifat sebab akibat
dimana data penelitiannya berupa angka-angka dan analisisnya menggunakan statistic. Pemilihan
pendekatan ini didasarkan dari data variabel yang digunakan. Variabel independen yang digunakan
yaitu aitu suku bunga BI rate, jumlah uang beredar, nilai tukar, dan konsumsi rumah tangga,
sedangkan variabel dependennya yaitu tingkat inflasi.

Jenis dan Sumber Data


Menurut sumbernya, data dapat dibedakan menjadi dua jenis, yaitu data primer dan data
sekunder. Penelitian ini dilakukan menggunakan data sekunder berbentuk time series dari tahun
2002:Q1-2015:Q4. Menurut Moleong (2000), data sekunder merupakan data yang bukan berasal
dari pihak yang bersangkutan, melainkan berasal dari pihak lain, seperti literatur, jurnal-jurnal
penelitian, dan informasi internet. Data sekunder dalam penelitian ini diperoleh dari lembaga atau
instansi yang terkait dalam penelitian ini, antara lain Bank Indonesia dan Badan Pusat Statistik.

Metode Analisis
Metode analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis regresi berganda
dengan model koreksi kesalahan atau Error Correction Model (ECM). Model ECM adalah model
dinamis yang digunakan untuk mengoreksi ketidakseimbangan jangka pendek menuju
keseimbangan jangka panjang. Model ECM dipilih karena dianggap mampu mengatasi adanya
regresi lancung yang biasanya terjadi pada analisis regresi data time series pada umumnya. Selain
itu, fenomena-fenomena ekonomi yang terjadi biasanya mengalami ketidakseimbangan dimana
fenomena yang diinginkan oleh pelaku ekonomi belum tentu sama dengan kenyataannya. Namun
dengan model ECM ini ketidakseimbangan tersebut dapat dikoreksi dengan memasukkan variabel
penyesuaian sehingga dapat diketahui hubungan jangka panjang maupun jangka pendek yang
valid.

Model ECM yang digunakan pada penelitian ini adalah sebagai berikut:

∆INF = α0 + α1∆SBI + α2∆M2 + α3∆E + α4∆CRT + α5ECT

dimana:
INF = Inflasi
SBI = Suku bunga SBI
M2 = Jumlah uang beredar
E = Nilai tukar US Dollar per Rupiah
CRT = Konsumsi rumah tangga
α0 = Konstanta
α1, α2, α3, α4 = Koefisien regresi
ECT = error correction term

D. HASIL DAN PEMBAHASAN

Analisis Hasil Pengujian Error Correction Model (ECM)


 Uji Stasioneritas Data
Data time series memiliki permasalahan yaitu autokorelasi yang menyebabkan data
menjadi tidak stasioner. Hasil uji stasioneritas setiap variabel penelitian ditunjukkan Tabel 1
berikut:

Tabel 1: Hasil Uji Stasioneritas Data


Level 2nd Difference
Variabel Kesimpulan Kesimpulan
t-stat Prob t-stat Prob
INF -7.2870 0.0000 Stasioner -8.0424 0.0000 Stasioner
SBI -3.2989 0.0773 Tidak stasioner -9.1837 0.0000 Stasioner
M2 -1.4459 0.8338 Tidak stasioner -7.0687 0.0000 Stasioner
E -0.8958 0.9488 Tidak stasioner -6.6823 0.0000 Stasioner
CRT -0.3579 0.9866 Tidak stasioner -8.6146 0.0000 Stasioner
Sumber: Hasil output EViews 8 (2016)
Dari table 1, pada uji stasioner derajat level terdapat satu dari enam variabel yang
stasioner yaitu variabel inflasi. Maka dilakukan pengujian kembali pada derajat 2 (second
difference) dan diperoleh hasil bahwa semua variabel stasioner pada derajat dua (second
difference) karena semua probabilitasnya lebih kecil dari tingkat signifikansi yang digunakan
yaitu 5%.

 Uji Kointegrasi
Pada analisis regresi berganda model ECM sangat penting untuk diuji kointegrasi.
Adanya hubungan jangka panjang antar variabel ini dapat digunakan untuk mengoreksi
ketidakseimbangan jangka pendek. Pada Engle Granger dua tahap, uji kointegrasi yang
digunakan adalah dengan pendekatan residual, dimana residual jangka panjang tersebut harus
lolos uji stasioner pada derajat level.

Tabel 2: Hasil Uji Kointegrasi


Null Hypothesis: ECT has a unit root
Exogenous: Constant
Lag Length: 0 (Automatic - based on SIC, maxlag=10)

t-Statistic Prob.*

Augmented Dickey-Fuller test statistic -7.389173 0.0000


Test critical values: 1% level -3.555023
5% level -2.915522
10% level -2.595565

*MacKinnon (1996) one-sided p-values.


Sumber: Hasil output EViews 8 (2016)

Hasil uji kointegrasi pada Tabel 2 menunjukkan bahwa residual pada persamaan
jangka panjang yaitu ECT memiliki probabilitas sebesar 0.0000, ini berarti residual ECT
terbebas dari masalah unit root pada derajat level. Sehingga dapat disimpulkan bahwa terdapat
hubungan kointegrasi antara variabel inflasi dengan variabel independen yaitu suku bunga BI
rate, jumlah uang beredar, nilai tukar, dan konsumsi rumah tangga.

 Estimasi Model Error Corection Model (ECM)


Setelah memenuhi syarat stasioner dan kointegrasi, selanjutnya dilakukan regresi
linier berganda dengan model ECM untuk melihat bagaimana pengaruh variabel independen
terhadap variabel dependen dalam jangka pendek.

Tabel 3: Hasil Uji ECM


Variabel Koefisien Standardized Coefficients t-hitung
C -0.265682 -0.911085
D(SBI) 1.396799 -0.297 6.301792
D(M2) 0.000929 -0.075 1.258595
D(E) -0.000647 0.044 -1.801589
D(CRT) -0.022655 0.174 -2.669693
ECT(-1) -0.362435 0.856 -10.64084
R-squared 0.414124
Adjusted R-squared 0.349643
F-statistic 33.33835
Prob (F-statistic) 0.000000
Sumber: Hasil output EViews 8 (2016)
Dari pengolahan data di atas, dapat ditulis persamaan jangka pendek sebagai berikut:

D(INF) = -0.2657 + 1.3968*D(SBI) + 0.0009*D(M2) – 0.0006*D(E) - 0.0226*D(CRT) –


0.3624*ECT

Berdasarkan tabel 3, residual ECT memiliki probabilitas sebesar 0.0000 lebih kecil
dari tingkat signifikansi 5% dan memiliki koefisien sebesar 0.362435 bertanda negatif
sehingga dari hasil estimasi tersebut dapat disimpulkan bahwa model ECM sudah valid dalam
mengoreksi ketidakseimbangan jangka pendek untuk mencapai keseimbangan jangka panjang.
Dari persamaan di atas, besaran koefisien ECT mengindikasikan bahwa sebesar 36.2%
ketidaksesuaian jangka pendek dan jangka panjang akan dikoreksi setiap periodenya.
Dari hasil standardized coefficients variabel perubahan konsumsi rumah tangga
memperlihatkan pengaruh terbesar dibanding variabel lainnya. Pengaruh tersebut sebesar 0.17,
yang berarti bahwa untuk setiap kenaikan perubahan konsumsi rumah tangga sebesar 1 miliar,
dalam jangka pendek akan meningkatkan perubahan pada tingkat inflasi sebesar 0.17 persen.

 Uji Asumsi Klasik Model Jangka Pendek


Untuk mengetahui keabsahan dari analisis regresi yang digunakan maka sebelum
menginterpretasikan hasilnya, lebih dahulu mengetahu hasil uji asumsi klasik sebegai berikut:
1. Uji Normalitas
Model regresi yang baik diharuskan memiliki residual yang berdistribusi normal.
Oleh karena itu diperlukan uji normalitas untuk mengetahui apakah residual yang
digunakan pada model ini sudah terdistribusi normal. Penelitian ini menggunakan uji
Jarque-Bera dengan hasil sebagai berikut:

Grafik 2: Histogram – Normality Test


8
Series: Residuals
7 Sample 2002Q2 2015Q4
Observations 55
6
Mean -3.23e-17
5 Median -0.190291
Maximum 2.732493
4 Minimum -1.748529
Std. Dev. 1.060187
3 Skewness 0.508840
Kurtosis 2.513831
2
Jarque-Bera 2.915072
1 Probability 0.232809

0
-1.5 -1.0 -0.5 0.0 0.5 1.0 1.5 2.0 2.5

Sumber: Hasil output EViews 8 (2016)

Dari Grafik 2 di atas dapat disimpulkan bahwa residual pada model jangka pendek
berdistribusi normal, karena semua variabel yang digunakan dalam penelitian ini yaitu suku
bunga, jumlah uang beredar, nilai tukar, dan konsumsi rumah tangga memiliki probabilitas
sebesar 0.232809 yang menunjukkan 0.232809 > 0.05.

2. Uji Heterokedastisitas
Salah satu asumsi penting dalam regresi linier adalah residualnya harus memiliki
varians yang sama (homokedastisitas). Jika asumsi ini tidak terpenuhi maka terjadi masalah
heterokedastisitas. Uji heterokedastisitas pada penelitian ini menggunakan Breusch-Pagan-
Godfrey Test dengan hasil sebagai berikut:

Tabel.4: Hasil Uji Heteroskedastisitas


F-statistic 1.6967 Prob. F(20,34) 0.0851
Obs*R-squared 27.4735 Prob. Chi-Square(20) 0.1225
Scaled explained SS 16.5055 Prob. Chi-Square(20) 0.6848
Sumber: Hasil output EViews 8 (2016)

Dari Tabel 4, diketahui bahwa nilai probabilitas Chi-Square yang dihasilkan pada
pengujian ini adalah sebesar 0.1225 yang lebih besar dari 0.05. Hal ini menunjukkan bahwa
asumsi homokedastisitas terpenuhi atau dengan kata lain terbebas dari masalah
heterokedastisitas dalam model jangka pendek.

3. Uji Autokorelasi
Uji autokorelasi digunakan untuk melihat korelasi antar residual pada model
regresi. Hasil dari uji autokorelasi menggunakan Serial Correlation LM Test dapat dilihat
pada tabel 5. Dari tabel tersebut dapat diketahui bahwa tidak terdapat masalah autokorelasi
karena nilai probabilitas chi-square sebesar 0.7750 lebih besar dari tingkat signifikansi 5%.

Tabel 5: Hasil Breusch Godfrey Serial Correlation LM test


Breusch-Godfrey Serial Correlation LM Test:

F-statistic 0.225035 Prob. F(2,49) 0.7993


Obs*R-squared 0.509685 Prob. Chi-Square(2) 0.7750
Sumber: Hasil output EViews 8 (2016)

4. Uji Multikolinearitas
Uji multikolinearitas digunakan untuk melihat hubungan linear antar variabel
independen yang digunakan. Pada penelitian ini uji multikolinearits dilakukan dengan
melihat nilai korelasi antar variabel independen, dimana jika korelasinya berada di bawah
0.9 maka dinyatakan terbebas dari masalah multikolinearitas. Hasil uji korelasi pada model
ini dapat dilihat pada tabel 6.

Tabel 6: Hasil Uji Multikolinearitas


D(SBI) D(M2) D(E) D(CRT)
D(SBI) 1 0.0192 0.3432 0.3541
D(M2) 0.0192 1 0.0401 -0.2698
D(E) 0.3433 0.0401 1 0.2946
D(CRT) 0.3540 -0.0832 -0.0978 1
Sumber: Hasil output EViews 8 (2016)

Dari Tabel 6 diperoleh hasil bahwa semua variabel independen tidak mengalami
masalah multikolinearitas. Ini dapat dilihat dari nilai korelasi pada variabel tersebut yang
berada di bawah angka 0.8 pada hasil uji Corellation pada Eviews. Sehingga dapat
disimpulkan bahwa antar variabel independen tidak terdapat multikolinearitas dalam jangka
pendek.

 Uji Hipotesis Model Jangka Pendek


Nilai koefisien determinasi (R-squared) jangka pendek adalah sebesar 0.4141 yang
berarti kemampuan variabel independen yaitu suku bunga BI rate, jumlah uang beredar, nilai
tukar, dan konsumsi rumah tangga dalam menjelaskan variasi variabel inflasi dalam jangka
pendek adalah sebesar 41.41% dan sisanya ditentukan oleh variabel bebas lain di luar model.
Nilai probabilitas F-statistik 0.0000 lebih kecil dari 5% sehingga dapat disimpulkan
bahwa variabel independen yang meliputi suku bunga BI rate, jumlah uang beredar, nilai tukar,
dan konsumsi rumah tangga secara simultan mempengaruhi inflasi dalam jangka pendek.
Secara parsial, dapat diketahui bahwa variabel suku bunga BI rate memiliki koefisien
sebesar 1.396799 dan t-statistik sebesar 6.3018. Jika dibandingkan dengan t-tabel, |6.3018|
lebih besar dari t-tabel pada tingkat signifikansi 5% dan derajat bebas 49 yaitu 1.67655
sehingga dapat disimpulkan bahwa secara parsial variabel suku bunga BI rate berpengaruh
secara signifikan dan positif terhadap tingkat inflasi dalam jangka pendek.
Variabel jumlah uang beredar memiliki koefisien sebesar 0.000929 dan t-statistik
sebesar 1.2586. Jika dibandingkan dengan t-tabel, |1.2586| lebih kecil dari t-tabel pada tingkat
signifikansi 5% dan derajat bebas 49 yaitu 1.67655 sehingga dapat disimpulkan bahwa secara
parsial variabel jumlah uang beredar tidak berpengaruh secara signifikan dan positif terhadap
tingkat inflasi dalam jangka pendek.
Untuk variabel nilai tukar memiliki koefisien sebesar -0.000647 dan t-statistik sebesar
-1.8016. Jika dibandingkan dengan t-tabel, |-1.8016| lebih besar dari t-tabel pada tingkat
signifikansi 5% dan derajat bebas 49 yaitu 1.67655 sehingga dapat disimpulkan bahwa secara
parsial variabel nilai tukar berpengaruh secara signifikan dan negatif terhadap tingkat inflasi
dalam jangka pendek..
Selain itu, untuk variabel konsumsi rumah tangga memiliki koefisien sebesar
0.022655 dan t-statistik sebesar -2.6697. Jika dibandingkan dengan t-tabel, |-2.6697| lebih
besar dari t-tabel pada tingkat signifikansi 5% dan derajat bebas 49 yaitu 1.67655 sehingga
dapat disimpulkan bahwa secara parsial konsumsi rumah tangga berpengaruh secara signifikan
dan negatif terhadap tingkat inflasi dalam jangka pendek.

Estimasi Model Jangka Panjang


Selain melihat pengaruh dalam jangka pendek, regresi linier berganda model ECM
dengan metode Engle Granger dua tahap juga dapat melihat pengaruh jangka panjang dari hasil uji
kointegrasi menggunakan OLS biasa.

Tabel 7: Hasil Regresi Berganda Model Jangka Panjang


Variabel Koefisien Standardized Coefficients t-hitung
C 0.297827 0.160447
SBI -0.200012 0.321 -1.764650
M2 0.001636 1.177 1.520594
E -6.99E-05 -0.060 -0.261381
CRT -0.004765 1.230 -1.783246
R-squared 0.472799
Adjusted R-squared 0.244617
F-statistic 1.642132
Prob (F-statistic) 0.000210
Sumber: Hasil output EViews 8 (2016)

Dari pengolahan data di atas, dapat ditulis persamaan jangka panjang sebagai berikut:

INF = 0.2978 - 0.2000*SBI + 0.0016*M2 – 6.99E-05*E – 0.0048*CRT

Dari hasil standardized coefficients variabel perubahan konsumsi rumah tangga


memperlihatkan pengaruh terbesar dibanding variabel lainnya. Pengaruh tersebut sebesar 1.23,
yang berarti bahwa untuk setiap kenaikan perubahan konsumi rumah tangga sebesar 1 miliar,
dalam jangka panjang akan meningkatkan perubahan pada tingkat inflasi sebesar 1.23 persen.

 Uji Asumsi Klasik Model Jangka Panjang


Sama halnya pada model jangka pendek, sebelum menginterpretasikan hasilnya, lebih
dahulu mengetahui hasil uji asumsi klasik sebegai berikut:
1. Uji Normalitas
Model regresi yang baik diharuskan memiliki residual yang berdistribusi normal.
Oleh karena itu diperlukan uji normalitas untuk mengetahui apakah residual yang
digunakan pada model ini sudah terdistribusi normal. Penelitian ini menggunakan uji
Jarque-Bera dengan hasil sebagai berikut:

Grafik 3: Histogram – Normality Test


14
Series: Residuals
12 Sample 2002Q1 2015Q4
Observations 56
10
Mean 4.36e-16
Median -0.017729
8 Maximum 4.455968
Minimum -3.209252
6 Std. Dev. 1.737700
Skewness 0.317062
4 Kurtosis 3.176515

Jarque-Bera 1.010967
2
Probability 0.603214
0
-3 -2 -1 0 1 2 3 4

Sumber: Hasil output EViews 8 (2016)


Dari Grafik 3 di atas dapat disimpulkan bahwa residual berdistribusi normal,
karena semua variabel yang digunakan dalam penelitian ini yaitu suku bunga, jumlah uang
beredar, nilai tukar, dan konsumsi rumah tangga memiliki nilai probabilitas sebesar
0.603214 yang menunjukkan 0.603214 > 0.05. Artinya yang digunakan dalam penelitian ini
memiliki distribusi yang normal dan menunjukkan bahwa model regresi layak dipakai
karena memenuhi asumsi normalitas dalam model jangka panjang.

2. Uji Heterokedastisitas
Salah satu asumsi penting dalam regresi linier adalah residualnya harus memiliki
varians yang sama (homokedastisitas). Jika asumsi ini tidak terpenuhi maka terjadi masalah
heterokedastisitas. Uji heterokedastisitas pada penelitian ini menggunakan Breusch-Pagan-
Godfrey Test dengan hasil sebagai berikut:

Tabel.8: Hasil Uji Heteroskedastisitas


F-statistic 1.2586 Prob. F(14,41) 0.2737
Obs*R-squared 16.8332 Prob. Chi-Square(14) 0.2652
Scaled explained SS 76.8821 Prob. Chi-Square(14) 0.0000
Sumber: Hasil output EViews 8 (2016)

Dari Tabel 8, diketahui bahwa nilai probabilitas Chi-Square yang dihasilkan pada
pengujian ini adalah sebesar 0.2652 yang lebih besar dari 0.05. Hal ini menunjukkan bahwa
asumsi homokedastisitas terpenuhi atau dengan kata lain terbebas dari masalah
heterokedastisitas dalam model jangka panjang.

3. Uji Autokorelasi
Uji autokorelasi digunakan untuk melihat korelasi antar residual pada model
regresi. Hasil dari uji autokorelasi menggunakan Serial Correlation LM Test dapat dilihat
pada tabel 9. Dari tabel tersebut dapat diketahui bahwa tidak terdapat masalah autokorelasi
karena nilai probabilitas chi-square sebesar 0.0835 lebih besar dari tingkat signifikansi 5%.

Tabel 9: Hasil Breusch Godfrey Serial Correlation LM test


Breusch-Godfrey Serial Correlation LM Test:

F-statistic 2.332775 Prob. F(2,47) 0.1082


Obs*R-squared 4.966660 Prob. Chi-Square(2) 0.0835
Sumber: Hasil output EViews 8 (2016)

4. Uji Multikolinearitas
Uji multikolinearitas digunakan untuk melihat hubungan linear antar variabel
independen yang digunakan. Pada penelitian ini uji multikolinearits dilakukan dengan
melihat nilai korelasi antar variabel independen, dimana jika korelasinya berada di bawah
0.9 maka dinyatakan terbebas dari masalah multikolinearitas. Hasil uji korelasi pada model
ini dapat dilihat pada tabel 10.

Tabel 10: Hasil Uji Multikolinearitas


SBI M2 E CRT
SBI 1 -0.5555 -0.1304 -0.5794
M2 -0.5555 1 0.7288 0.7721
E 0.1304 0.7288 1 0.7358
CRT -0.5794 0.7721 0.7358 1
Sumber: Hasil output EViews 8 (2016)

Dari Tabel 10 diperoleh hasil bahwa semua variabel independen tidak mengalami
masalah multikolinearitas. Ini dapat dilihat dari nilai korelasi pada variabel tersebut yang
berada di bawah angka 0.8 pada hasil uji Corellation pada Eviews. Sehingga dapat
disimpulkan bahwa antar variabel independen tidak terdapat multikolinearitas dalam jangka
panjang.
 Uji Hipotesis Model Jangka Panjang
Nilai koefisien determinasi (R-squared) adalah sebesar 0.4728 yang berarti
kemampuan variabel independen yaitu suku bunga BI rate, jumlah uang beredar, nilai tukar,
dan konsumsi rumah tangga dalam menjelaskan variasi variabel inflasi dalam jangka panjang
adalah sebesar 47.28% dan sisanya sebesar 52.72% ditentukan oleh variabel bebas di luar
model.
Nilai probabilitas F-statistik 0.0002 lebih kecil dari 5% sehingga dapat disimpulkan
bahwa variabel independen yang meliputi suku bunga BI rate, jumlah uang beredar, nilai tukar,
dan konsumsi rumah tangga secara simultan mempengaruhi inflasi dalam jangka panjang.
Secara parsial, dapat diketahui bahwa variabel suku bunga BI rate memiliki koefisien
sebesar -0.200012 dan t-statistik sebesar 1.7646. Jika dibandingkan dengan t-tabel, |1.7646|
lebih besar dari t-tabel pada tingkat signifikansi 5% dan derajat bebas 49 yaitu 1.67655
sehingga dapat disimpulkan bahwa secara parsial variabel suku bunga BI rate berpengaruh
secara signifikan dan positif terhadap tingkat inflasi dalam jangka panjang.
Variabel jumlah uang beredar memiliki koefisien sebesar 0.001636 dan t-statistik
sebesar 1.5206. Jika dibandingkan dengan t-tabel, |1.5206| lebih kecil dari t-tabel pada tingkat
signifikansi 5% dan derajat bebas 49 yaitu 1.67655 sehingga dapat disimpulkan bahwa secara
parsial variabel jumlah uang beredar tidak berpengaruh secara signifikan dan positif terhadap
tingkat inflasi dalam jangka panjang.
Untuk variabel nilai tukar memiliki koefisien sebesar -6.99E-05 dan t-statistik sebesar
-0.2614. Jika dibandingkan dengan t-tabel, |-0.2614| lebih kecil dari t-tabel pada tingkat
signifikansi 5% dan derajat bebas 49 yaitu 1.67655 sehingga dapat disimpulkan bahwa secara
parsial variabel nilai tukar tidak berpengaruh secara signifikan dan negatif terhadap tingkat
inflasi dalam jangka panjang.
Selain itu, untuk variabel konsumsi rumah tangga memiliki koefisien sebesar -
0.004765 dan t-statistik sebesar -1.4832. Jika dibandingkan dengan t-tabel, |-1.4832| lebih
kecil dari t-tabel pada tingkat signifikansi 5% dan derajat bebas 49 yaitu 1.67655 sehingga
dapat disimpulkan bahwa secara parsial konsumsi rumah tangga tidak berpengaruh secara
signifikan dan negatif terhadap tingkat inflasi dalam jangka panjang.

Pembahasan
 Pengaruh Tingkat Suku Bunga terhadap Tingkat Inflasi
Menurut hasil estimasi, suku bunga BI rate secara signifikan berperan dalam
mempengaruhi inflasi dalam jangka panjang, namun memiliki pola hubungan yang negatif. Hal
ini dikarenakan apabila suku bunga mengalami penurunan maka semakin banyak masyarakat
yang memegang uang dan hal ini akan memicu terjadinya inflasi dan sebaliknya.

Grafik 4: Perbandingan Suku bunga BI rate, Investasi, dan Inflasi


20 4000
bunga BI rate (%)

Investasi (Triliun
Inflasi (%), Suku

10 2000
rupiah)

0 0
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
2011
2012
2013

Suku bunga BI rate Inflasi Investasi

Sumber: Data penelitian (diolah)



Grafik 4 menunjukkan bahwa ketika suku bunga BI rate mengalami penurunan, maka
investasi dan inflasi akan mengalami peningkatan. Dan begitu pun sebaliknya yaitu apabila
suku bunga BI rate mengalami peningkatan, maka investasi dan inflasi akan mengalami
penurunan. Hasil penelitian ini telah sesuai dengan teori ilmu ekonomi makro bahwa adanya
peningkatan tingkat suku bunga BI rate akan berpotensi mendorong inflasi pada tingkat yang
lebih rendah. Menurut teori ini suku bunga akan berpengaruh pada kesediaan orang untuk
berinvestasi. Investasi tersebut pada gilirannya akan berpengaruh pada sisi permintaan.
Permintaan inilah yang akhirnya mempengaruhi inflasi. Kesimpulannya, suku bunga akan
mempengaruhi inflasi, tapi tidak searah. Artinya, kalau suku bunga diturunkan maka itu tidak
dengan sendirinya menyebabkan inflasi menurun. Sebaliknya inflasi justru akan meningkat. Ini
membuktikan bahwa signifikansi hasil estimasi penelitian ini telah sesuai dengan penelitian
yang dilakukan oleh Hayati (2006), Endri (2008), dan Pratiwi (2013) yang menjelaskan bahwa
pengaturan BI rate dapat mempengaruhi laju inflasi jangka panjang di Indonesia dan bertanda
negatif. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa hasil penelitian sesuai dengan hipotesis
yang diajukan.
Jika dilihat dari arah pergerakannya dalam Grafik 5, hubungan antara tingkat suku
bunga BI rate dan laju inflasi di Indonesia memiliki arah fluktuasi pergerakan yang hampir
sama.

Grafik 5: Perbandingan Tingkat Inflasi dan Suku Bunga BI Rate


4 20

Suku Bunga BI rate


Inflasi (%)

2
10
0

(%)
Q1 2002
Q1 2003
Q1 2004
Q1 2005
Q1 2006
Q1 2007
Q1 2008
Q1 2009
Q1 2010
Q1 2011
Q1 2012
Q1 2013
Q1 2014
Q1 2015
-2 0

Inflasi Suku bunga BI rate

Sumber: Data penelitian (diolah)

Dapat diamati bahwa selama periode penelitian, terjadi 2 fluktuasi trend yang paling
menonjol pada periode 2005 dan 2008. Kedua trend tersebut menjelaskan adanya kenaikan
tingkat suku bunga BI rate dan kenaikan tingkat inflasi apabila dibandingkan dengan trend
periode sebelumnya, selain karena kuatnya dampak shock dalam perekonomian domestik.
Meskipun kedua trend tidak bersinggungan secara langsung, namun adanya kesamaan arah
tersebut menjelaskan bahwa setiap terjadi peningkatan suku bunga BI rate, maka tingkat inflasi
juga mengalami peningkatan.
Dengan demikian, kenaikan BI rate juga berpengaruh signifikan terhadap laju inflasi
dalam jangka pendek dan memiliki pengaruh positif dengan lag 1. Sesuai dengan pandangan
Keynes, sebagian besar pelaku usaha tidak mampu meningkatkan kapasitas outputnya dalam
waktu yang relatif singkat dan kenaikan biaya produksi dapat meningkatkan harga jual produk.
Apabila sebagian pedagang memiliki perilaku yang sama, maka kenaikan suku bunga tersebut
dapat memicu kenaikan inflasi. Hasil estimasi penelitian ini mendukung teori Fisher yang
menjelaskan hubungan positif suku bunga dan inflasi, serta mendukung hasil penelitian Hayati
(2006), Endri (2008), dan Pratiwi (2013) yang mengidentifikasi pengaruh tingkat suku bunga
terhadap inflasi jangka pendek Indonesia. Dengan demikian, hipotesis dalam penelitian ini
telah terbukti bahwa tingkat suku bunga memiliki pengaruh positif terhadap tekanan inflasi di
Indonesia dalam jangka pendek.
Sesuai dengan hipotesis selanjutnya, suku bunga BI rate merupakan variabel dominan
yang pertama dalam mempengaruhi inflasi dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Hal
ini berarti setiap ada perubahan nilai suku bunga BI rate, baik itu berupa kenaikan ataupun
penurunan, akan berimbas pula pada perubahan tingkat inflasi di Indonesia. Tujuan akhir
kebijakan moneter adalah menjaga dan memelihara kestabilan nilai rupiah yang salah satunya
tercermin dari tingkat inflasi yang rendah dan stabil. Untuk mencapai tujuan itu Bank
Indonesia menetapkan suku bunga kebijakan BI Rate sebagai instrumen kebijakan utama untuk
mempengaruhi aktivitas kegiatan perekonomian dengan tujuan akhir pencapaian inflasi. Oleh
karena itu, suku bunga adalah variabel yang paling dominan mempengaruhi inflasi di
Indonesia.

 Pengaruh Jumlah Uang Beredar terhadap Tingkat Inflasi


Jumlah uang beredar yang diduga dapat mempengaruhi pergerakan inflasi dibuktikan
melalui hasil estimasi ECM. Dalam jangka panjang jumlah uang beredar tidak berpengaruh
signifikan dengan pola hubungan yang positif. Artinya adalah adanya kenaikan jumlah uang
beredar akan mengakibatkan kenaikan pada Inflasi. Keadaan ini sesuai dengan teori yang
dikemukakan oleh Mishkin (2008:14) yang menyatakan bahwa jumlah uang beredar
berpengaruh positif terhadap inflasi. Jadi, pertambahan jumlah uang beredar yang berlebihan
akan mendorong kenaikan tingkat harga melebihi tingkat yang diharapkan sehingga akan
mengganggu pertumbuhan ekonomi dalam jangka panjang.
Dengan demikian, hasil penelitian ini telah sesuai dengan teori monetaris yang
menyatakan bahwa adanya penambahan jumlah uang yang beredar di masyarakat akan
berpotensi mendorong inflasi pada tingkat yang lebih tinggi. Temuan empiris dalam penelitian
ini juga mendukung hasil penelitian Ratnasari (2006), Yiping, et al (2010), Almounsor (2010),
Sultan (2011), Arintoko (2011), Anugrah (2012) dan Pratiwi (2013) yang mengidentifikasi
bahwa jumlah uang beredar memiliki pengaruh signifikan terhadap laju inflasi dalam jangka
panjang. Jadi, hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini telah terjawab, yaitu jumlah uang
beredar memiliki pengaruh terhadap tekanan inflasi di Indonesia dalam jangka panjang.
Sementara itu dalam jangka pendek jumlah uang beredar tidak berpengaruh signifikan
dengan pola hubungan yang positif. Pada Grafik 6 dapat dilihat bahwa jumlah uang beredar
yang selalu meningkat selama periode penelitian sementara laju inflasi bersifat fluktuatif.
Kecenderungan meningkatnya jumlah uang beredar ini lebih dikarenakan kebijakan Bank
Indonesia untuk menggairahkan sektor riil dalam menopang laju pembangunan dan tingginya
tingkat investasi dari investor luar negeri sehingga berdampak pada semakin bertambahnya
uang beredar itu sendiri. Sesuai dengan teori Keynes yang menyatakan bahwa perputaran uang
tidak konstan dan berubah-ubah. Apabila masyarakat lebih banyak memegang uang (JUB
meningkat), maka masyarakat cenderung untuk meningkatkan transaksinya dan menuntut
penawaran output yang lebih besar. Namun karena keterbatasan output dalam jangka pendek,
maka kenaikan permintaan hanya akan memicu kenaikan harga. Dengan kata lain, penambahan
JUB dalam perekonomian dapat meningkatkan inflasi. Temuan empiris dalam penelitian ini
juga mendukung hasil penelitian Anugrah (2012), Hayati (2006), dan Pratiwi (2013) yang
mengidentifikasi bahwa jumlah uang beredar tidak memiliki pengaruh signifikan terhadap laju
inflasi dalam jangka pendek dan hasil temuan ketiganya bersifat negatif. Jadi, hipotesis yang
diajukan dalam penelitian ini telah terjawab, yaitu jumlah uang beredar tidak memiliki
pengaruh terhadap tekanan inflasi di Indonesia dalam jangka pendek.
Mengingat pentingnya peran uang dalam perekonomian, maka untuk mengendalikan
pertumbuhan uang yang beredar tanpa berpotensi memicu inflasi, pemerintah dapat
menentukan target maksimal jumlah uang yang diedarkan. Apabila terdapat sinyal bahwa
jumlah uang yang beredar di masyarakat telah melebihi kapasitas, maka perlu diadakan operasi
pasar terbuka dan melakukan evaluasi kebijakan pada periode selanjutnya. Pembatasan jumlah
uang yang dipegang masyarakat dapat juga dilakukan melalui lembaga keuangan melalui
penetapan GWM dan melakukan tindakan tegas pada bank yang tidak melakukan fungsi
intermediasinya dengan baik.

Grafik 6: Perbandingan Tingkat Inflasi dan Jumlah Uang Beredar


4 6000
Beredar (Miliar)
Inflasi (%)

Jumlah Uang

2 4000
0 2000
Q1 2002
Q2 2003
Q3 2004
Q4 2005
Q1 2007
Q2 2008
Q3 2009
Q4 2010
Q1 2012
Q2 2013
Q3 2014
Q4 2015

-2 0

Inflasi Jumlah Uang Beredar

Sumber: Data penelitian (diolah)

 Pengaruh Nilai Tukar terhadap Tingkat Inflasi


Hasil estimasi menunjukkan bahwa dalam jangka panjang nilai tukar mempunyai
pengaruh tidak signifikan terhadap tingkat inflasi di Indonesia. Nilai tukar rupiah terhadap
dollar Amerika memiliki pengaruh dengan arah hubungan negatif. Dampak perubahan nilai
tukar terhadap inflasi melalui impor barang konsumsi, adalah karena harga impornya dapat
langsung memengaruhi harga jual produk di dalam negeri (kelompok ini mempunyai elastisitas
yang tinggi terhadap perubahan nilai tukar), sedangkan dampak melalui impor bahan baku dan
barang modal yaitu pembentukan harganya melalui proses produksi terlebih dahulu. Sementara
itu, jalur transmisi tidak langsung terjadi melalui dorongan permintaan (demand pull), dimana
kenaikan harga luar negeri ataupun kenaikan nilai mata uang asing mengakibatkan peningkatan
penghasilan produsen eksportir dalam negeri sehingga dapat meningkatkan permintaan mereka
akan barang dan jasa di dalam negeri. Dampak kenaikan permintaan ini pada akhirnya akan
menaikan harga. Bagi negara yang masih banyak mengimpor bahan baku maupun barang
modal dari negara lain, depresiasi mata uang domestik tersebut akan berdampak negatif bagi
perkonomian domestik, yaitu adanya peningkatan biaya produksi yang disebabkan oleh
kenaikan harga bahan baku maupun barang modal sehingga menimbulkan kenaikan harga
barang-barang produksi dan berpotensi menimbulkan inflasi
Pengaruh negatif Kurs Rupiah-US Dollar juga ditemukan pada penelitian yang
dilakukan oleh Dwiantoro pada tahun 2004 mengenai analisis determinan inflasi di Indonesia
dengan Engel-Granger ECM. Hasil penelitian mengidentifikasi bahwa tidak ditemukan adanya
pengaruh yang signifikan antara Kurs Rupiah-US Dollar terhadap inflasi. Hal ini bisa terjadi
karena selama periode penelitian nilai Kurs Rupiah US-Dollar menunjukkan kecenderungan
yang stabil. Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa fluktuasi yang terjadi pada Inflasi bisa
disebabkan oleh faktor-faktor diluar Kurs Rupiah-US Dollar seperti kenaikan jumlah uang
beredar, kenaikan administered price (harga BBM) dan inflasi volatile food. Dengan demikian,
dapat disimpulkan bahwa sesuai dengan hasil penelitian terdahulu bahwa tidak adanya
pengaruh signifikan antara nilai tukar terhadap inflasi dalam jangka panjang namun bertanda
negatif dan ini terbukti dengan hipotesis yang diajukan.
Sedangkan dalam jangka pendek nilai tukar mempunyai pengaruh negatif dan
signifikan terhadap tingkat inflasi di Indonesia. Hal ini diperkuat oleh penelitian yang
dilakukan oleh Hayati (2006) mengenai pengaruh dinamika penawaran dan permintaan valas
terhadap nilai tukar rupiah dan kinerja perekonomian Indonesia, yang menghasilkan
kesimpulan bahwa pada jangka pendek, pengaruh nilai tukar pada harga pada first round effect
(yaitu dari nilai tukar ke harga impor) relatif kuat dan signifikan, namun pada second round
effect (dari nilai tukar ke harga konsumen) lebih terbatas dan tidak signifikan. Walaupun dalam
jangka pendek tidak ada pengaruh signifikan antara nilai tukar dan inflasi, Bank Indonesia (BI)
tetap harus memperhatikan kestabilan nilai tukar, mengingat inflasi yang terjadi dalam jangka
pendek tentu akan berpengaruh pada inflasi jangka panjang. Dengan demikian, dapat
disimpulkan bahwa pengaruh negatif nilai tukar dalam jangka pendek terhadap inflasi terbukti
dengan hipotesis yang diajukan.
Pergerakan nilai tukar dapat mempengaruhi harga domestik melalui efeknya terhadap
penawaran dan permintaan agregat. Pada sisi penawaran, nilai tukar dapat mempengaruhi
harga yang dibayar oleh pembeli domestik barang-barang impor secara langsung. Dalam open
small economy, bila mata uang terdepresiasi akan mengakibatkan harga impor lebih tinggi dan
sebaliknya. Fluktuasi nilai tukar bisa secara tidak langsung berpengaruh pada penawaran harga
domestik. Potensi biaya tinggi dari input impor terkait dengan depresiasi nilai tukar yang
meningkatkan biaya marjinal dan menyebabkan harga-harga dari barang yang diproduksi di
dalam negeri lebih tinggi. Lebih lanjut perusahaan impor yang bersaing mungkin akan
menaikkan harga sebagai tanggapan terhadap kenaikan harga pesaing asing dalam rangka
meningkatkan margin keuntungan. Tingkat penyesuaian harga tersebut tergantung pada
berbagai faktor seperti struktur pasar, sifat dari kebijakan nilai tukar pemerintahan, atau
kemampuan substitusi produk.

Grafik 7: Perbandingan Tingkat Inflasi dan Nilai Tukar


4 15.000,00
Nilai Tukar
(IDR/USD)
Inflasi (%)

2 10.000,00
0 5.000,00
Q4 2005

Q3 2014
Q1 2002
Q2 2003
Q3 2004

Q1 2007
Q2 2008
Q3 2009
Q4 2010
Q1 2012
Q2 2013

Q4 2015

-2 0,00

Inflasi Nilai Tukar

Sumber: Data penelitian (diolah)


Pada Grafik 7 dapat dilihat bahwa kenaikan nilai tukar tidak akan menyebabkan
kenaikan tingkat inflasi. Hasil ini sesuai dengan hipotesis penelitian maupun penelitian
terdahulu yang menyatakan bahwa penurunan nilai tukar akan meningkatkan inflasi di
Indonesia. Kondisi perekonomian Indonesia pada triwulan III-2005 diwarnai oleh tekanan pada
nilai tukar rupiah dan tingginya harga minyak internasional yang berkelanjutan, diiringi
peningkatan ekspektasi inflasi masyarakat. Demikian pula menurut laporan Bank Indonesia,
perekonomian indonesia dalam triwulan III-2005 menunjukkan kinerja yang tidak sebaik
perkiraan semula, dengan pertumbuhan ekonomi yang diperkirakan lebih rendah sementara
tekanan terhadap stabilitas makro ekonomi meningkat. Tingginya harga minyak dunia dan
ekspansi ekonomi domestik yang bertumpu pada impor telah menimbulkan tekanan yang besar
terhadap kondisi neraca pembayaran dan pengeluaran subsidi Bahan Bakar Minyak
pemerintah. Dari sisi moneter, kondisi tersebut telah menyebabkan tekanan terhadap
pelemahan nilai tukar rupiah yang meningkat, sementara inflasi masih relatif tinggi salah
satunya karena dampak meningkatnya ekspektasi inflasi. Bank Indonesia memandang bahwa
meningkatnya ekspektasi inflasi dan depresiasi nilai tukar rupiah tersebut dapat meningkatkan
resiko ketidakstabilan makro ekonomi yang dapat mengganggu keberlangsungan pertumbuhan
ekonomi dalam jangka panjang.

 Pengaruh Konsumsi Rumah Tangga terhadap Tingkat Inflasi


Pola konsumsi rumah tangga Indonesia yang mengalami perbaikan dalam beberapa
waktu terakhir menyebabkan adanya peningkatan konsumsi yang dapat memicu kenaikan
inflasi. Berdasarkan hasil estimasi, ditemukan bahwa konsumsi tidak memiliki pengaruh
signifikan terhadap inflasi dalam jangka panjang di Indonesia. Hubungan negatif yang
ditunjukkan oleh koefisien variabel CRT menjelaskan bahwa adanya peningkatan pada
konsumsi rumah tangga dapat memicu penurunan inflasi.
Bukti empiris penelitian ini memiliki persamaan hasil dengan penelitian yang
sebelumnya dilakukan oleh Ziramba (2008), Almounsor (2010), dan Pratiwi (2013). Ziramba,
Almounsor, dan Pratiwi mengidentifikasi adanya perubahan pola konsumsi masyarakat yang
dapat memicu penurunan permintaan agregat, sehingga dapat mendorong peningkatan tingkat
inflasi. Kondisi ini tidak sesuai dengan teori dan hipotesis yang diungkapkan sebelumnya
bahwa konsumsi masyarakat berpengaruh positif terhadap inflasi. Dapat dilihat pada grafik 12
bahwa meskipun terjadi kenaikan konsumsi masyarakat tetapi selama periode penelitian inflasi
cenderung stabil. Menurut pandangan Keynesian, dalam jangka panjang kenaikan permintaan
akan meningkatkan output dan tingkat harga karena kecenderungan perusahaan untuk
berekspansi ke depan. Kenaikan tingkat harga bisa saja menyebabkan inflasi naik ataupun
turun dari tingkat inflasi periode sebelumnya. Artinya adalah ketika konsumsi rumah tangga
naik dan tingkat harga juga naik sehingga menyebabkan peningkatan harga turun dibandingkan
dengan peningkatan harga periode sebelumnya. Hal ini dapat didukung oleh tabel 11 sebagai
berikut:

Tabel 11: Perbandingan Peningkatan Konsumsi Rumah Tangga dan Inflasi


Triwulan III, 2005 Triwulan IV, 2005 Triwulan I, 2006
Terhadap Terhadap Terhadap
Triwulan II, 2005 Triwulan III, 2005 Triwulan IV, 2005
Konsumsi Rumah
1.66 1.10 4.18
Tangga (%)
Tingkat Inflasi (%) 0.67 3.32 0.66
Sumber: Data penelitian (diolah)

Pada tabel 11 dapat dilihat bahwa ketika konsumsi rumah tangga mengalami
peningkatan dari periode sebelumnya, inflasi malah mengalami penurunan. Dengan demikian,
dapat disimpulkan bahwa pengaruh konsumsi rumah tangga terhadap inflasi dalam jangka
panjang tidak sesuai dengan hipotesis yang diajukan.
Grafik 12: Perbandingan Tingkat Inflasi dan Konsumsi Rumah Tangga
4 2000

Konsumsi RT (Miliar)
Inflasi (%)
2
1000
0

Q1 2003

Q1 2009

Q1 2015
Q1 2002

Q1 2004
Q1 2005
Q1 2006
Q1 2007
Q1 2008

Q1 2010
Q1 2011
Q1 2012
Q1 2013
Q1 2014
-2 0

Inflasi Konsumsi RT

Sumber: Data penelitian (diolah)

Sedangkan dalam jangka pendek konsumsi rumah tangga memiliki pengaruh


signifikan terhadap inflasi di Indonesia dan memiliki hubungan negatif. Dapat dilihat pada
Grafik 12 pada jangka pendek ketika konsumsi rumah tangga mengalami kenaikan, inflasi
justru mengalami hal sebaliknya. Hal ini sesuai dengan pandangan Keynesian bahwa
peningkatan konsumsi (permintaan agregat) akan menentukan nilai nominal output yang
merupakan produk dari tingkat harga dan jumlah output yang diminta, dan tidak akan
menaikkan tingkat harga karena perusahaan cenderung untuk menyesuaikan outputnya dari
pada merubah harga produknya. Hasil penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian Pratiwi
(2013) yang menyatakan bahwa nilai tukar tidak mempengaruhi inflasi dalam jangka pendek
dan bersifat negatif. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa pengaruh konsumsi rumah
tangga terhadap inflasi dalam jangka pendek terbukti dengan hipotesis yang diajukan.

E. KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan
Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan yang telah diuraikan pada bab sebelumnya,
dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut:
1. Dalam jangka panjang yang mempengaruhi tingkat inflasi adalah suku bunga BI rate.
Sedangkan dalam jangka pendek variabel yang mempengaruhi tingkat inflasi adalah suku
bunga BI rate, nilai tukar, dan konsumsi rumah tangga.
2. Suku bunga BI rate memiliki pengaruh negatif terhadap tingkat inflasi di Indonesia pada
jangka panjang, namun pada jangka pendek suku bunga BI rate memiliki pengaruh yang
positif terhadap tingkat inflasi di Indonesia.
3. Jumlah uang beredar memiliki pengaruh positif terhadap tingkat inflasi di Indonesia pada
jangka panjang maupun jangka pendek.
4. Nila tukar memiliki pengaruh negatif terhadap tingkat inflasi di Indonesia pada jangka panjang
maupun jangka pendek.
5. Konsumsi rumah tangga memiliki pengaruh negatif terhadap tingkat inflasi di Indonesia
Indonesia pada jangka panjang maupun jangka pendek.
6. Konsumsi rumah tangga adalah variabel yang dominan dalam mempengaruhi inflasi dalam
jangka panjang.
7. Konsumsi rumah tangga adalah variabel yang dominan dalam mempengaruhi inflasi dalam
jangka pendek.

Saran
Berdasarkan kesimpulan penelitian, dapat disajikan beberapa saran terkait dengan
pengidentifikasian sumber-sumber inflasi di Indonesia.
 Bagi pembuat kebijakan:
1. Pada saat inflasi meningkat, Bank Indonesia dapat meningkatkan suku bunga BI rate yang
bertujuan untuk membatasi jumlah uang yang beredar dengan mempertimbangkan kondisi
perekonomian pada saat itu.
2. Diperlukan suatu kebijakan pengendalian inflasi dengan memperhatikan dampak dari
penetapan kebijakan suku bunga BI rate pada sektor riil, melaksanakan kebijakan
pengendalian sisi permintaan agar meminimalisir kenaikan harga-harga barang konsumsi
secara umum, serta melaksanakan kebijakan yang ditujukan untuk memperkuat posisi
rupiah terhadap mata uang asing.

 Bagi peneliti lain:


1. Peneliti dapat memasukkan beberapa variabel lain yang mampu mewakili shock yang
berasal dari sisi permintaan dan penawaran, atau yang berasal dari sisi internal dan
eksternal dalam perekonomian yang dianggap dapat memicu kenaikan tingkat inflasi.
2. Dapat mengidentifikasi karakteristik dan determinan inflasi pada masing-masing daerah di
Indonesia, yang dianggap berpotensi dalam pembentukan tingkat harga domestik.

DAFTAR PUSTAKA

Akinbobola, T.O. 2012. The Dynamic of Money Supply, Exchange Rate and Inflation in Nigeria.
Journal of Applied Finance and Banking Vol. 2, No. 4

Almounsor, Abdullah. 2010. Inflation Dynamic in Yemen: An Empirical Analysis. IMF Working
Paper

Anugrah, D.F. 2012. The Long and Short-term Determinants of Inflation in Indonesia’s Regions.
Disajikan pada The 50th Anniversary and The 49th Annual Meeting, JSRAI (The Japan
Section of the Regional Science Association International).

Arintoko. 2011. Pengujian Netralitas Uang dan Inflasi Jangka Panjang di Indonesia. Buletin
Ekonom Moneter dan Perbankan. Vol. 14, No.1.

Candra, Aditiawan. 2006. Menyimak Karakteristik Inflasi di Indonesia. Blog Lingkungan


Ekonomi Bisnis Indonesia. http://businessenvironment.wordpress.com/category/ekonomi-
makro/ inflasi/ diakses pada 21 November 2015.

Dwiantoro, Dedy. 2004. Analisis Determinan Inflasi di Indonesia dengan Engel-Granger Error
Correction Model. Jurnal Ekonomi dan Manajemen Vol. 5, No.2.

Endri. 2008. Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Inflasi di Indonesia. Jurnal Ekonomi
Pembangunan Vol. 13, No. 1.

Gali, Jordi. 2002. New Perspectives on Monetary Policy, Inflation, and the Business Cycle. NBER
Working Paper No.8767.

Hayati, Banatul. 2006. Analisis Stabilitas Permintaan Uang dan Stabilitas Harga di Indonesia
Tahun 1989-2002. Tesis tidak diterbitkan. Semarang: Jurusan Ilmu Ekonomi dan Studi
Pembangunan, Fakultas Ekonomi, Undip.

Moleong, Lexy J. 1994. Metodologi Penelitian Kuantitatif. Bandung: Remaja Rosda Karya.

Mankiw, N. Gregory. 2003. Teori Makroekonomi Edisi ke-5, Terjemahan. Jakarta: Erlangga.

Mishkin, Frederic S. 2001. The Economic of Money, Banking, and Financial Market. New York:
Addison Wesley.

Nanga, Muana. 2005. Makro Ekonomi Teori, Masalah, dan Kebijakan Edisi ke-2. Jakarta: Raja
Grafindo Persada.

Pohan, Aulia. 2008. Potret Kebijakan Moneter Indonesia. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Pratiwi, Ardianing. 2013. Determinan Inflasi Indonesia. Jurnal Ekonomi Universitas Brawijaya :
Malang.
Ratnasari, H.P.G.S. 2006. The Main Determinants of Inflation in Sri Lanka – A VAR Based
Analysis. Staff Studies, central Bank of Sri Lanka Vol. 39, No. 1-2.

Sugiyono, (2008). Metode Penelitian Kunatitatif Kualitatif dan R&D. Bandung Alfabeta.

Sultan, Zafar Ahmad. 2011. Inflation in Kingdom of Saudi Arabia: A Bound Test Analysis.
European Journal of Social Science Vol. 24, No. 2.

Thanh, Bui Thi Kim. 2008. Inflation in Vietnam. A research paper present in partial fulfillment of
the requirements for obtaining the degree of Masters of Arts in Development Studies. The
Netherland: Institute of Social Studies.

Yiping, Huang, et al. 2010. What Determine China’s Inflation? China Center for Economic
Research Working Paper Series No. E201001.

Ziramba, Emmanuel. 2008. Bank Lending, Expenditure Components and Inflation in South
Africa: Assessment from Bound Testing Approach. South African Journal of Economics
Vol. 11, No. 2.

You might also like