Download as pdf or txt
Download as pdf or txt
You are on page 1of 14

Novian Anata Putra, Literasi Media Sosial Humas Pemerintah Daerah

LITERASI MEDIA SOSIAL HUMAS PEMERINTAH DAERAH

Novian Anata Putra


novi010@kominfo.go.id
Balai Pengkajian dan Pengembangan Komunikasi Dan Informatika (BPPKI) Yogyakarta,

Abstrack
Nowadays, the government is trying to fight against hoax. One of them, President
Joko Widodo instructed to improve the function of government public relations and
information managers to ward off hoaxes spread quickly in social media. However, it
will work if government public relations officers have adequate social media literacy
skills. Social media literacy is considered the basis for understanding the characteristics
of new media. The aim of this research is to examine the level of social meda literacy
among local government public relations at present. Quantitative approach with survey
method will be used in this research. The study was conducted in eight local governments
that have held anti-hoax declarations. The eight local governments are: Semarang
regency, Semarang city, Wonosobo regency, Solo city, Banyumas regency, Blora
regency, Yogyakarta city and Province of Bali. Based on the research analysis, it can be
concluded that the managers of social media public relations of local governments who
have held anti-hoax declaration are already have enough social media literacy. The local
government needs to increase knowledge and skills that are technical about new media
and social media in order to optimize the function and the role of local government
public relations in the effort to ward off hoaxes. While the hardest part of social media
literacy, which always involves the criticality literacy media, most of local government
public relations have already master it.

Abstrak
Pemerintah saat ini berusaha melawan berita-berita hoax. Salah satunya, Presiden
Joko Widodo menginstruksikan untuk meningkatkan fungsi humas pemerintah dan
pengelola informasi untuk menangkal hoax yang tersebar cepat di media sosial. Namun,
hal itu akan berhasil jika para petugas humas pemerintah mempunyai kecakapan literasi
media sosial yang memadai. Literasi media sosial dianggap sebagai dasar memahami
karakteristik media baru. Penelitian ini akan melihat sejauh mana tingkat literasi
media sosial di kalangan humas pemerintah daerah saat ini. Penelitian menggunakan
pendekatan kuantitatif dengan metode survei. Penelitian dilakukan di delapan
pemerintah daerah yang telah menggelar deklarasi anti hoax, yakni Kota Semarang,
Kabupaten Semarang, Kabupaten Wonosobo, Kota Solo, Kabupaten Banyumas,
Kabupaten Blora, Kota Yogyakarta, dan Provinsi Bali. Dengan tidak adanya nilai
rendah, maka dapat disimpulkan bahwa para pengelola media sosial humas pemerintah
daerah yang telah menggelar deklarasi anti hoax telah memiliki literasi media sosial
yang cukup. Untuk mengoptimalkan fungsi dan peran humas pemerintah daerah dalam
usaha menangkal hoax hanya perlu meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan yang
sifatnya teknis tentang media baru dan media sosial. Sedangkan bagian tersulit dari
literasi media sosial, yaitu selalu melibatkan tingkat kekritisan para pegawai humas
pemerintah daerah dalam aktifitas media sosial, telah banyak yang menguasainya.
Keywords: New Media, Social Media Literacy, Local Government Public Relation

271
INFORMASI Kajian Ilmu Komunikasi Volume 47. Nomor 2. Desember 2017

PENDAHULUAN terdapat kebijakan yang tidak sesuai dengan


aspirasi warga negara. Kedua, perkembangan
“Untuk mengatasi lemahnya teknologi komunikasi sudah merambah pada
manajemen komunikasi pemerintah, tahapan new media. Teknologi media baru ini
sudah waktunya bagi Presiden Joko memunyai karakteristik yang hampir sama
Widodo perlu untuk mendorong
sekali berbeda dibandingkan dengan media
atau mewajibkan semua kementerian
dan lembaga negara, para gubernur, lama (old media). Dalam media baru, batas
bupati, dan wali kota untuk lebih sigap antara penerima dan pemroduksi pesan
merespons hoax atau berita bohong. menjadi kabur.
Kekacauan bisa ditangkal dan tertib Penelitian ini berangkat dari pemahanan
umum akan terjaga jika aparatur bahwa popularitas media sosial semakin
pemerintah pusat dan daerah sigap meningkat karena adanya kombinasi antara
meluruskan berita bohong.” perkembangan teknologi dan perubahan
Pernyataan tersebut merupakan saran sosial. Namun, ada perbedaan dalam hal
ketua komisi III DPR RI kepada Presiden Joko cara orang menggunakan media sosial dan
Widodo untuk mendorong biro humas dan tingkat literasi mereka. Platform media baru
PPID di seluruh kementerian dan lembaga terutama media sosial mulai masuk ke dalam
serta institusi turunannya lebih responsif ranah kehidupan sehari-hari, mempengaruhi
dalam menangkal hoax (news.detik.com, interaksi informal masyarakat, struktur
9/1/2017). Saran ini dirasa tepat jika kita kelembagaan, dan rutinitas profesional.
melihat kembali peran yang sangat penting Teknologi media baru telah mendorong
(pivotal role) dari humas pemerintah. Dalam lanskap media berubah drastis dan dramatis.
sistem demokrasi, pemerintah tidak saja Eshet-Alkalai & Soffer (2012, p. 1) berpendapat
harus menyampaikan kebijakan kepada warga dalam sebuah editorial, teknologi digital
negara, tapi sekaligus harus mendorong (media sosial, multimedia dan komunikasi)
partisipasi publik dalam skala luas. Oleh telah merambah hampir setiap aspek
karena itu, komunikasi antara organisasi kehidupan kita. Perubahan ini menyebabkan
pemerintah dan warga negara harus dikelola bentuk-bentuk baru dari praktek budaya
dengan baik. Humas pemerintah memunyai di terutama budaya kerja. Teknologi baru
peran dalam pengelolaan komunikasi membuat media bahkan lebih signifikan
tersebut. Public relations (humas) sendiri, dan berpengaruh dari sebelumnya dalam
dalam Cutlip, dkk (2000, hal. 4), memiliki sejarah manusia (Berger & McDougall, 2010).
fungsi manajemen yang secara khusus Oleh karena itu, seseorang profesional saat
mendukung terbentuknya saling pengertian, ini dituntut harus melek media baru untuk
pemahaman, penerimaan dan kerja sama dapat sepenuhnya menjalankan fungsi
antara organisasi dengan publiknya. Baik profesinya dalam masyarakat.
saling pengertian (mutual understanding), Para ilmuwan sosial telah menyadari
penerimaan ataupun kerja sama hanya pentingnya literasi media baru ini, dan
mungkin melalui komunikasi, dan hal perannya bagi kesuksesan profesional.
itu berarti membutuhkan suatu proses Schmidt-Herta dan Root (2014), misalnya,
komunikasi yang jujur dan saling percaya menyatakan bahwa literasi media sangat
Setidaknya, ada dua tantangan dibutuhkan sebagai keterampilan penting
yang dihadapi oleh humas pemerintah dalam kehidupan para profesional. Lebih
saat ini dibandingkan beberapa dekade khusus, karyawan atau tenaga kerja dengan
lalu. Pertama, demokratisasi politik. latar belakang akademik diharapkan mampu
Demokratisasi politik ini telah menciptakan menggunakan teknologi informasi dalam
suatu sistem dimana media dan masyarakat kerja yang mereka lakukan sehari-hari dalam
bisa ‘berteriak’ melawan pemerintah. suatu cara yang profesional. Gagasan ini sekali
Media bahkan acapkali membangun sikap lagi menegaskan bahwa para profesional di
bermusuhan kepada pemerintah ketika

272
Novian Anata Putra, Literasi Media Sosial Humas Pemerintah Daerah

bidang komunikasi, termasuk para pengelola maupun dalam berinovasi. Lin dkk., (2013)
komunikasi pada humas pemerintah, harus juga menegaskan kecerdasan kolektif tidak
memunyai kapasitas untuk menggunakan dapat dipisahkan dengan budaya partisipatif
teknologi secara benar. Terlebih, bagi di era itu. Bahwa sebuah pemahaman,
pegawai humas pemerintah yang sehari-hari, pengetahuan, dan intelejensi dibangun
merujuk Grunig dan Hunt (1992), mengelola dari partisipasi banyak manusia. Di era ini,
komunikasi antara organisasi (pemerintah) masyarakat yang terlibat telah menyadari
dengan publiknya (warga masyarakat). bahwa tidak ada kebenaran yang sebenar-
benarnya (dalam media) (Lin, dkk., 2013).
Artinya, dengan karakteristik media
baru yang hampir sama sekali berbeda Kecerdasan kolektif ini tidak hanya
di­bandingkan dengan bentuk-bentuk bermain dalam industri media. Kietzmann
komunikasi lama (old communication), dkk., (2011) menyatakan perkembangan
menuntut prasyarat tertentu bagi para media baru khususnya media sosial
pengelola komunikasi pada humas sangat berdampak signifikan terhadap
pemerintah daerah agar mampu dunia bisnis seperti reputasi perushaan
menggunakan media baru ini secara dan penjualan. Dengan adanya logika
efektif. Dengan kata lain, para petugas kecerdasan kolektif melalui media sosial,
humas membutuhkan suatu literasi media tampak bahwa komunikasi korporasi telah
baru media baru dalam mengakses dan mengalami demokratisasi. Kekuasaan penuh
menggunakan media baru dan media sosial dari pemasaran dan humas telah diambil
untuk pengelolaan komunikasi. sebagian oleh individu dan komunitas yang
menciptakan, membagi, dan mengonsumsi
blog maupun cuitan dari media sosial.
Media Baru: Redefinisi Konsep Media Namun sampai saat ini masih belum banyak
Jenkins (2004) menegaskan bahwa perusahaan yang mulai serius merespon
media konvergensi di era media baru kehadiran media baru ini.
lebih dari sekedar pergeseran teknologi. Selain nilai demokratisasi yang didorong
Konvergensi akan mengubah hubungan kecerdasan kolektif, Kovach dan Rosenstiel
antara teknologi yang sudah ada, industri, (2011) menambahkan implikasi yang harus
pasar, genre dan penonton. Konvergensi diwaspadai dari perkembangan media baru.
media merupakan cara di mana masyarakat Sebuah tsunami informasi dimana dunia
akan bermain menentukan keseimbangan maya saat ini seperti angkasa luas tempat
kekuasaan dalam era media baru (Jenkins, milyaran informasi bertebaran. Jika tidak
2004). Dalam pandangan Jenkins, dengan berhati-hati memeriksa setiap informasi
perkembangan konvergensi media, akan yang ditemui, masyarakat akan mudah
muncul dua macam kekuatan media: satu tersesat di dalamnya (Kovach & Rosenstiel,
datang melalui konglomerasi media media, 2011). Meskipun tren informasi menyesatkan,
di mana setiap kekuasan atas informasi yang saat ini populer dengan sebuatan hoax,
hanya dimiliki para pemodal besar; yang lain telah muncul jauh sebelum media baru
datang melalui kecerdasan kolektif, di mana hadir. Namun perkembangannya semakin
otoritas pesan dipandang relevan dengan pesat dengan semakin berkembangnya
jaringan yang lebih bebas dari keberagaman teknologi komunikasi dan informasi. Bahkan
publik. Sederhananya, konsumen nantinya ilmu pengetahuan dan sejarah yang telah
akan mempengaruhi produksi dan distribusi lama dipahami sebagai kebenaran, di era
konten media. media baru semua kembali diperdebatkan
Dalam sebuah jurnal, Levy (2010) (Lewandowsky, dkk., 2013). Piliang (2010)
memaparkan konsep kecerdasan kolektif menggambarkan fenomena ini dengan
yang dipake oleh Jenkins sebagai konsep realitas semu, yang mampu merubah
kemampuan kolektif manusia untuk terlibat fantasi, halusinasi, ilusi, atau science-fiction
dalam kerjasama intelektual untuk mencipta menjadi seolah nyata; mampu mereproduksi
ulang masa lalu dan nostalgia; mampu
273
INFORMASI Kajian Ilmu Komunikasi Volume 47. Nomor 2. Desember 2017

melipat-lipat dunia sehingga tak lebih luas masyarakat. Bahkan, dalam pengertian
dari sebuah genggaman tangan. yang paling nyata, tujuan-tujuan demokrasi
Artinya dari seluruh gambaran atas itu sendiri, menurut Cutlip, dkk., sangat
hadirnya media baru ini, perlu adanya seiring dengan tujuan-tujuan hubungan
sebuah pembaruan konsep atas apa yang masyarakat. Pemerintahan demokrasi
disebut melek media baru, atau konsep yang berhasil senantiasa memelihara
literasi media baru. Kovach dan Risenstiel hubungan-hubungan dengan konstituen
mengajukan pendekatan jurnalistik untuk yang didasarkan pada pemahaman bersama
literasi media baru menghadapai banjir (mutual understanding) dan komunikasi
informasi. Namun dari penelitian Marchi dua arah. Ini jelas merefleksikan tujuan-
(2012) menunjukkan bahwa masyarakat tujuan diselenggarakannya hubungan
khususnya remaja mengabaikan cita-cita masyarakat dalam suatu organisasi, yakni
dasar jurnalisme profesional, meskipun dalam rangka apa yang disebut Grunig dan
mereka memahaminya, ketika memilih Hunt (1992), “Managing communication
informasi di dunia maya. Penggiat literasi, between organization and its public”. Dalam
Renee Hobbs (2010), dalam sebuah essay pemahaman semacam ini, tidak bisa
juga menggambarkan bahwa news literacy dipungkiri jika pemerintahan terkait erat dan
tidak serta merta bekerja dalam era media bergantung dengan hubungan masyarakat.
baru. Artinya perlu sebuah kerangka kerja Ini tidak hanya bahwa kebijakan-kebijakan
baru untuk melengkapi pemahaam atas pemerintah harus dikomunikasikan,
literasi berita dan pendekatan jurnalisme tapi bahwa keberhasilan pemerintahan
untuk menjadi terliterasi di era media baru. demokratis akan sangat ditentukan oleh
Buku-buku mengenai literasi media partisipasi luas masyarakat. Partisipasi hanya
memberikan suatu definisi yang umum mungkin terjadi jika terdapat komunikasi
mengenai literasi media meskipun definisi- dua arah diantara rakyat dan pemerintah.
definisi tersebut tidak saling sepakat satu Sebagaimana dikemukakan Cutlip, dkk.,
dengan lainnya (Potter, 2004). Namun, di atas, hubungan masyarakat barangkali
pada akhirnya, keseluruhan buku-buku diberi peran dan tanggung jawab lainnya
teks literasi media itu mengajarkan suatu oleh pemerintah, tapi tugas utamanya
hal pokok mengenai literasi media, yakni adalah memastikan aliran informasi secara
kemampuan dalam mengakses media secara berkelanjutan kepada publik. Publik ini,
kritis. Literasi media merupakan suatu dalam pengertian public relations,sering
kontinum (Potter, 2001) sehingga tidak bisa didefinisikan sebagai internal public and
dikatakan bahwa seseorang telah berada external public (Seitel, 2004). Di era sekarang,
pada derajat literasi yang penuh meskipun tantangan sekaligus peluang yang dihadapi
ia seorang profesional media. Literasi oeh pemerintah adalah perkembangan
media selalu berkembang. Literasi media teknologi komunikasi. Khususnya,
tidak hanya berkaitan dengan persoalan perkembangan teknologi media baru dalam
pengetahuan dan skill, tetapi juga suatu state bentuk media sosial. Oleh karenanya, tidak
of mind yang memerlukan monitoring secara mengherankan jika penggunaan media
berkelanjutan (Rosenbaum, dkk., 2008). sosial dalam sektor publik menjadi topik
hangat, dan para administrator pemerintah,
termasuk hubungan masyarakat, mulai
Humas Pemerintah dalam menggunakan media baru untuk mendorong
Perkembangan Teknologi Komunikasi keterikatan publik dan membangun
Cutlip dkk., (2000, hal. 488) komunitas (Graham & Avery, 2013). Merujuk
mengemukakan bahwa pemerintah Bertot, dkk., (2010) mengemukakan bahwa
menyentuh hampir semua aspek masyarakat, kemampuan transformatif media sosial bagi
dan hampir setiap aspek pemerintahan terkait pemerintahan sangatlah signifikan. Sebagai
erat dengan dan bergantung pada hubungan user-generated media, Hand dan Ching

274
Novian Anata Putra, Literasi Media Sosial Humas Pemerintah Daerah

(2011), mengemukakan bahwa media sosial untuk membedah literasi media baru di era
memungkinkan praktisi public relations konvergensi media. Bahwa literasi media baru
dalam pemerintahan mampu memberikan dapat dipahami sebagai dua dimensi dari
informasi dan mencari masukan-masukan literasi consuming hingga literasi prosuming
dan opini dari publik yang relevan. Dalam dan dari literasi fungsional hingga kritis.
jangka panjang, ini jelas menguntungkan
organisasi pemerintahan karena kebijakan-
kebijakan yang disusun mempunyai
kemungkinan yang jauh lebih besar untuk
menjawab kebutuhan warga negara.

Kerangka Kerja Baru, untuk Literasi


Media Baru
Topik literasi media era konvergensi
media ini menjadi menarik, mengingat
perdebatan tentang konsep literasi media
(konvensional) sendiri masih menyisakan
banyak pertanyaan yang belum disepakati
oleh para penggiat literasi media (Hobbs,
1998). Di sisi lain, dengan kondisi Gambar 1. Kerangka kerja literasi media
seperti itu, konsep literasi media harus baru dari Chen, dkk., (2011)
tetap dikembangkan untuk mengikuti
perkembangan konvergensi media di era Dengan pembagian dari 1)Consuming
media baru. functional; 2)Consuming Critical; 3)
Salah satu yang akan menjadi perhatian Prosuming functional; dan 4)Prosuming
untuk mengawali bagian ini adalah konsep Critical; sebenarnya mereka telah berhasil
kerangka kerja literasi media baru yang memberikan gambaran besar atas kerangka
ditawarkan Chen, dkk., (2011). Konsep ini definitif literasi media baru. Consuming
akan berusaha membedah literasi media baru functional membutuhkan kemampuan
yang menekankan dimensi teknis dan sosial individu untuk mengakses konten media
budaya yang kemudian akan memberikan dan memahami makna tekstual. Consuming
kerangka baru untuk secara sistematis Critical melibatkan kemampuan individu
mengkaji konsep literasi media baru. untuk menafsirkan isi media dalam
Seringkali, literasi media baru lebih banyak konteks sosial, ekonomi, politik dan budaya
diartikan sebagai kombinasi keterampilan tertentu. Prosuming functional berfokus
informasi, keterampilan literasi komputer pada kemampuan untuk berpartisipasi
konvensional, dan keterampilan komunikasi dalam penciptaan konten media, sedangkan
(atau literasi majemuk). Definisi tersebut Prosuming Critical menggaris-bawahi
tidak menyinggung tentang karakteristik interpretasi kontekstual individu dari konten
khas dari media baru (yang merupakan media media dalam kegiatan partisipasi mereka di
konvergen) dan bagaimana karakteristik ini media baru.
mempengaruhi konsep literasi media di era Dalam memetakan empat dimensi ini,
media baru abad ke 21 (Chen, dkk., 2011). Chen, dkk., banyak mengambil konsep
Literasi media baru dipahami sebagai dari Jankins dkk (2006). Budaya partisipatif
konvergensi semua literasi yang berkembang menggeser fokus literasi dari sebuah ekspresi
pada abad terakhir yang mencakup literasi individu menjadi keterlibatan masyarakat.
klasik, literasi audiovisual, literasi digital, dan Untuk itu, Jenkins, dkk., memberikan
literasi informasi. Berdasar pada pemahaman gambaran inti 11 ketrampilan media literasi
itu, Chen, dkk., (2011) mengajukan kerangka dalam bukunya. Kesebelas core media literacy

275
INFORMASI Kajian Ilmu Komunikasi Volume 47. Nomor 2. Desember 2017

skills ini yang sepertinya menjadi banyak beragam sumber informasi yang disediakan
acuan Chen, dkk., (2011) dalam menyusun 4 media baru era konvergensi dengan tetap
dimensi kerangka kerja literasi media ini. memperhatikan konteks sosial budaya.
Namun apa yang dituliskan Chen, dkk., Dengan gambaran besar kerangka kerja
ini dalam perkembangan mendapatkan literasi media baru ini, penelitian ini akan
respon dari Lin dkk., (2013). Dalam jurnal menggunakan kerangka kerja utama yang
yang merupakan pengembangan kerangka ditawarkan oleh Lin, dkk (2013) untuk
kerja literasi media dari Chen, dkk., Lin mengetahui tingkat literasi media sosial
bersama ketiga rekannya memberikan dua humas pemerintah daerah.
kritik besar atas kerangka kerja tersebut.
Pertama, 4 dimensi dari Chen, dkk.,
dianggap masih kasar. Artinya, belum bisa
memberikan batasan jelas dari kesemua
dimensi tersebut dalam implementasinya,
terutama dari dimensi fungsional-
kritis. Lin dkk., memberi contoh bahwa
akan sangat sulit membedakan definisi
“memahami” (dari consuming functional)
dan “menganalisis” (dari consuming critical).
Oleh karenanya Lin bersama rekan-rekannya
menawarkan 10 definisi yang lebih detil
untuk lebih mempertegas perbedaan dari
keempat dimensi Chen dkk. Kesepuluh
dimensi tersebut antara lain consuming
skill, understanding, analysis, synthesis,
evaluation, prosuming skill, distribution, Gambar 3. Kerangka Konseptual Literasi
production, participation, dan creation. Media Baru (Lin dkk, 2013) yang akan
digunakan dalam penelitian ini

METODE
Penelitian ini menggunakan paradigma
positivistik. Menurut Neuman, paradigma
postivistik melihat ilmu sosial sebagai metode
yang terorganisir dengan logika deduktif
(Neuman, 2003, p.66; dalam Agostinho, 2005).
Penelitian ini menggunakan pendekatan
kuantitatif, metode yang digunakan adalah
survei. Metode survei digunakan karena
dianggap tepat mendapatkan deskripsi
Gambar 2. Kerangka Kerja literasi media tingkat literasi media baru pada pegawai
baru dari Lin, dkk., (2013) Humas Pemerintah di daerah. Metode
survei secara deskriptif digunakan untuk
Chen, dkk.,(2011) dan Lin, dkk., (2013) mendapatkan gambaran secara sistematis
menjadikan level prosuming critical sebagai tentang karakteristik populasi tertentu atau
tingkatan tertinggi dalam literasi media bidang tertentu secara faktual dan cermat
baru. Senada Jenkins (2006) menjadikan (Isaac dan Michael dalam Rakhmat, 2007).
keterampilan negotiation menjadi Pemerintah daerah yang ingin dilihat
ketrampilan tertinggi dalam studinya. tingkat literasi media sosialnya kali ini
Negotiation skill sendiri artinya bagaimana adalah mereka yang telah merasa siap
menjadi kritis dengan menegosiasikan melawan hoax. Oleh karenanya, peneliti

276
Novian Anata Putra, Literasi Media Sosial Humas Pemerintah Daerah

memilih daerah yang telah mendeklarasikan reliabel. Pengujian dilakukan pada


anti hoax sebagai tanda kesiapan melawan karyawan ASN BPPKI Yogyakarta yang
hoax. Populasi dalam penelitian ini adalah dinilai dapat mewakili karyawan Humas
pegawai Humas Pemerintah yang daerahnya Pemerintah Daerah dalam segi usia, gender,
ikut menyatakan Deklarasi Anti Hoax yakni dan kompetensinya sekaligus sama-sama
di Provinsi Jawa Tengah terdapat 6 (lima) menjabat sebagai ASN. Uji reliabilitas dalam
lembaga Humas Pemerintah Kabupaten/ penelitian ini menggunakan Analisis Varians
Kota (Semarang (kabupaten dan kota), Anova Hoyt (Sugiyono, 2014, hal. 132).
Wonosobo, Solo, Banyumas, dan Blora); di Instrumen yang digunakan pada
Daerah Istimewa Yogyakarta terdapat satu penelitian ini berupa pertanyaan-pertanyaan
lembaga Humas Pemerintah, yakni Humas yang akan menguji pengetahuan dan
Pemerintah Kota Yogyakarta; dan satu lagi pemahaman responden tentang seluruh
di Provinsi Bali, yaitu Humas Pemerintah indikator dalam dimensi dan tingkatan dari
Provinsi Bali yang terhitung paling akhir kerangka kerja Lin. Penliaian masing-masing
mendeklarasikan anti hoax. aspek akan diberikan skor 0-100. Hasil dari
Jumlah responden di setiap Humas penilaian tersebut akan menunjukkan
Daerah ditetapkan dengan teknik sampling seberapa besar pengetahuan dan pemahaman
qouta, di mana di setiap lembaga Humas literasi media baru para pegawai humas
Pemerintah Kabupaten/Kota diambil pemerintah ini.
sejumlah 10 orang pegawai. Sampling diambil Peneliti menyadari bahwa setiap
pada asumsi error ± 5% di mana derajat memilih pendekatan dan metode, memiliki
perbedaan antara sampel dan populasi sebuah keterbatasan. Penelitian ini
dalam survei diperkirakan ± 5% pada tingkat hanya akan meneliti kompetensi pegawai
kepercayaan 95%. Dari 10 responden tiap Humas Pemerintah Daerah berkaitan
pemerintah daerah tersebut terdiri dari dengan penggunaan media baru (internet)
seluruh pejabat struktural di lingkungan khususnya melalui media sosial. Maka, hal
humas pemerintah, para staf yang berkaitan yang berkaitan dengan kompetensi pegawai
langsung mengelola media sosial resmi Humas lainnya tidak bisa dibahas dalam
humas pemerintah, dan juga para staf yang penelitian ini. Objek penelitian ini dalam
baik secara langsung maupun tidak langsung jumlah terbatas yakni hanya pegawai Humas
membantu pengelolaan media sosial resmi Pemerintah Daerah yang mendeklarasikan
tersebut. ‘Anti Hoax’, sehingga hasil penelitian ini
Instrumen penelitian disusun belum dapat digeneralisasikan pada Humas
berdasarkan kerangka kerja yang ditawarkan Pemerintah Daerah lainnya
Lin, dkk (2013). Instrument tersebut
telah melalui uji validitas dan reliabilitas. HASIL DAN PEMBAHASAN
Untuk menguji validitas instrumen dalam
penelitian ini menggunakan pengujian Penelitian ini telah berhasil
validitas konstruksi (construct validity). mengumpulkan data dari 10 responden
Untuk menguji validitas konstruksi, dapat pada masing-masing pemerintah daerah
digunakan pendapat dari ahli (judgment yang ditetapkan sebagai objek penelitian.
experts). Dalam hal ini setelah instrumen Di beberapa daerah seperti Kabupaten
disusun, maka selanjutnya dikonsultasikan Wonosobo, Kabupeten Semarang, dan
dengan konsultan dalam penelitian ini yakni Kota Yogyakarta, humas pemerintah
seorang dosen yang spesialis mengajar ilmu daerah yang sebelumnya menjadi bagian
komunikasi pada salah satu universitas dibawah Sekretaris Daerah telah bergabung
ternama di DIY. menjadi satu dengan Dinas Komunikasi dan
Instrumen yang disusun berupa Informatika (Diskominfo). Perpindahan
kuesionare telah melalui uji reliabilitas ini berlaku per Januari 2017. Perpindahan
dan instrumen tersebut sudah dinyatakan ini merespon diterbitkannya Peraturan
Pemerintah nomor 18 tahun 2016 yang
277
INFORMASI Kajian Ilmu Komunikasi Volume 47. Nomor 2. Desember 2017

merupakan turunan dari Undang-Undang pegawai humas pemerintah secara umum,


nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintah ternyata tidak ada daerah yang tidak melek
Daerah. Pada pemerintah daerah Kota/ media sosial dilihat dari dominasi nilai tinggi
Kabupaten tersebut, maka yang dijadikan yang diperoleh. Namun, bagi Lin dkk., (2013)
responden adalah bidang atau seksi di untuk melihat literasi media baru harus
Diskominfo yang memegang peran dan dilihat dari masing-masing indikator, karena
fungsi humas pemerintah daerah. beberapa indikator dan indikator lainnya
saling terkait.
Analisis Antar-Indikator Dimensi yang pertama akan dibahas
adalah dimensi consuming-functional.
Hasil yang cukup menggembirakan jika Pada dimensi consuming-functional akan
melihat data yang tersaji pada tabel 1. Tidak terlihat kemampuan pegawai humas
ada satupun daerah yang mendapatkan pemerintah untuk mengakses konten media
nilai dengan klasifikasi rendah. Data pun dan memahami makna tekstual. Indikator
didominasi dengan warna hijau, artinya pertama dalam dimensi ini adalah consuming
sebagian besar hasil yang deperoleh adalah skill. Nilai rata-rata yang diperoleh pada
nilai dengan klasifikasi tinggi dengan rentang indikator ini merupakan nilai terendah dari
nilai dari 66,67 sampai 100. Dilihat dari keseluruhan aspek. Nilai yang diperoleh
perolehan nilai rata-rata semua indikator, tiap daerah juga tidak ada satupun yang
Kota Semarang mendapatkan nilai tertinggi mendapat nilai tinggi. Artinya keterampilan
dengan nilai rata-rata 77,84. Kemudian teknis mengkonsumsi isi media dari para
disusul kabupaten Blora dengan nilai yang pegawai humas pemerintah hanya pada
hanya terpaut 0,12 poin dari Kota Semarang. level sedang dan merupakan ketrampilan
Sedangkan provinsi bali dan kabupaten yang paling lemah dibanding ketrampilan
semarang mendapatkan nilai terendah lainya. Indikator ini seperti: pegawai
dengan masing-masing mendapatkan nilai humas pemerintah mengetahui bagaimana
rata-rata 65, 52 dan 65,76. mengoperasikan komputer, bagaimana
Jika berbicara literasi media sosial para untuk mencari/menemukan informasi

Tabel 1. Literasi Media Sosial Pegawai Humas Pemerintah di 8 Daerah


Indikator Ygy Bali Ska Kb.Smg Bny Blr Wnb Smg MEAN
Consuming-Functional
Consuming Skill 58.87 60.67 54.47 49.87 58.13 62.80 61.80 57.73 58.04
Understanding 59.80 70.85 70.85 52.65 51.35 67.60 70.20 78.65 65.24
Prosuming-Functional
Prosuming Skill 71.70 76.70 80.90 70.05 72.55 76.75 75.05 80.05 75.47
Distribution 62.00 53.00 54.00 60.00 51.00 81.00 62.00 66.00 61.12
Production 85.00 87.48 85.00 87.52 77.52 87.52 85.00 80.00 84.38
Consuming-Critical
Analysis 80.00 47.50 65.00 62.50 67.50 80.00 77.50 77.50 69.69
Synthesis 74.00 68.00 70.00 72.00 74.00 94.00 86.00 92.00 78.75
Evaluation 67.50 52.50 72.50 80.00 85.00 80.00 92.50 87.50 77.19
Prosuming-Critical
Participation 72.00 76.00 70.00 58.00 76.00 70.00 74.00 84.00 72.50
Creation 50.00 54.00 76.00 56.00 46.00 72.00 56.00 72.00 60.25
MEAN 69,84 65,52 69,77 65,76 68,30 77,72 75,40 77,84 70.26
Keterangan: = Rendah (0-33.33) = Sedang (33.34-66.66) =Tinggi (66.67-100)
Sumber: Olah Data Peneliti

278
Novian Anata Putra, Literasi Media Sosial Humas Pemerintah Daerah

dalam internet, bagaimana menggunakan penciptaan konten media. Dimensi ini akan
teknologi informasi (misalnya Internet), menekankan tentang penggunaan berbagai
dan sebagainya. Meskipun terbilang cukup teknologi untuk membuat, mengedit, dan
dasar, ketrampilan ini cukup penting dan menyebarkan pesan media. Tiga indikator
mempengaruhi keseluruhan aktifitas para yang berada didalamnya adalah prosuming
pegawai humas pemerintah dalam bermedia skill, distribution, dan production.
sosial. Seperti contohnya pada salah Nilai rerata yang diperoleh pada indikator
satu pertanyaan yang ada pada indikator prosuming skill adalah tinggi dengan nilai
consuming skill yang mempertanyakan 75,47. Keseluruhan daerah juga mendapat
tentang keamanan link yang diperoleh nilai tinggi yang menandakan tidak adanya
melalui mesin pencari di internet. Terdapat kesenjangan pengetahuan antar pegawai
53% yang menjawab bahwa semua link humas antar daerah untuk indikator ini. Nilai
tersebut aman untuk diakses, 2% tidak yang tinggi ini menunjukkan bahwa para
menjawab, dan hanya 45% yang menyatakan pegawai humas di semua daearh penelitian
tidak semua link aman diakses. Padahal jika telah memiliki satu set keterampilan teknis
mengacu pada banyaknya virus, malware, yang cukup baik, yang diperlukan untuk
serta informasi hoax, link yang diberikan menghasilkan/menciptakan isi media.
mesin pencari belum tentu aman untuk Seperti misalnya, Para pegawai humas telah
diakses. memiliki kemampuan untuk membuat
Indikator kedua adalah indikator account komunikasi secara online (misalnya
understanding. Nilai rata-rata yang diperoleh MSN, Skype, Blog, Gmail, dan Facebook),
indikator ini masih sama dengan indikator serta untuk menggunakan perangkat lunak
sebelumnya yaitu masih pada klasifikasi untuk menghasilkan berbagai produk
nilai sedang. Artinya para pegawai humas digital (misalnya gambar, klip video,
ini memiliki kemampuan sedang dalam dan flash). Bersama-sama dengan dua
memahami makna dari isi media pada tingkat indikator berikutnya (yaitu, distribution dan
literal. Contohnya termasuk kemampuan production), akan menggambarkan tentang
untuk menangkap pesan orang lain, juga penggunaan berbagai teknologi untuk
ide-ide individu yang dipublikasikan pada membuat, mengedit, dan menyebarkan
platform yang berbeda (misalnya buku, pesan media.
video, blog, Facebook, dll), dan untuk Dominasi nilai tinggi tidak terlihat pada
menafsirkan makna bentuk pendek baru atau indikator distribution. Pada indikator ini, 7
emoticon. Chen dkk., (2011) juga menegaskan dari 8 daerah mendapat nilai sedang. Nilai
bahwa keterampilan ini hanya pada tingkat rerata dari delapan daerah pun juga hanya
tekstual saja. Namun tidak seperti indikator pada tingkat sedang. Artinya, para pegawai
consuming skill, terdapat lima daerah dengan humas pemerintah ini memiliki kemampuan
nilai tinggi pada indikator understanding. sedang untuk menyebarkan informasi yang
Jika mengacu pada variabel usia responden, ada di tangan mereka. Dibandingkan dengan
daerah-daerah yang mendapat nilai tinggi prosuming skill, distribution cenderung
cenderung memiliki lebih banyak pegawai melibatkan proses berbagi. Semakin rendah
dengan usia dibawah 40 tahun. Faktor usia nilai distribution maka akan semakin tinggi
ini dimungkinkan mempengaruhi karena peluang para pegawai humas pemerintah
banyak bahasa, makna pendek baru, dan daerah melakukan kesalahan dalam
emoticon, lahir sebagian besar dari tren menggunakan fungsi build-in pada situs
pergaulan anak muda/remaja. Sehingga akan jaringan sosial untuk berbagi perasaan
sedikit kesulitan bagi generasi tua untuk mereka (misalnya seperti suka / tidak suka),
mengikutinya. untuk berbagi pesan media, dan untuk
Beralih pada dimensi prosuming menilai / orang untuk produk / jasa.
functional untuk mengetahui tingkat Indikator prosuming-functional
kemampuan para pegawai humas pemerintah selanjutnya adalah production. Indikator
daerah untuk berpartisipasi dalam
279
INFORMASI Kajian Ilmu Komunikasi Volume 47. Nomor 2. Desember 2017

production ini merupakan indikator dengan pegawai humas pemerintah daerah tersebut
nilai tertinggi. Dengan nilai rerata 84,38 telah melihat isi media tidak sebagai
menggambarkan bahwa para pegawai humas konveyor netral realitas, tetapi mengakui
pemerintah daerah di delapan daerah ini pembangunan pesan media sebagai proses
telah memiliki kemampuan yang baik dalam subjektif dan sosial.
menduplikasi (sebagian atau seluruhnya) Indikator selanjutnya adalah indikator
atau mencampurkan isi media. Indikator Synthesis. Pada indikator ini, semua daearh
production ini termasuk pemindaian (atau mendapatkan nilai tinggi. Ini menandakan
mengetik) dokumen hardcopy ke dalam bahwa para pegawai humas pemerintah
format digital, memproduksi klip video daerah telah memiliki kemampuan yang
dengan mencampur gambar dan materi sangat baik dalam mencampur konten media
audio, dan mencoret-coret online melalui dengan mengintegrasikan sudut pandang
media sosial. mereka sendiri serta dalam merekonstruksi
Beranjak pada tingkatan critical media pesan media. Para pegawai humas ini telah
literacy yang memiliki dua dimenasi, terampil dalam membandingkan berita
consuming-critical dan prosuming-critical. dengan tema yang sama dari sumber yang
Pada consuming-critical terdiri dari tiga berbeda. kemampuan membandingkan
indikator yaitu analysis, synthesis, dan informasi ini termasuk kemampuan yang
evaluation. Dimensi consuming-critical ini wajib dimiliki di era tsunami informasi.
akan menggambarkan kemampuan para Namun, Jenkins et al., (2006) secara implisit
pegawai humas pemerintah daerah dalam mengingatkan, synthesis juga melibatkan
menafsirkan isi media dalam konteks sosial, indikator analysis yang dibahas sebelmnya.
ekonomi, politik dan budaya tertentu. Jika kemampuan analysis lebih rendah,
Pada indikator analysis, nilai rerata maka juga akan mempengaruhi kemampuan
yang didapatkan masuk dalam klasifikasi synthesis ini. Nyatanya pada data yang
tinggi dengan 69,69. Meski rerata delapan diperoleh, nilai analysis mendapatkan nilai
daerah tinggi, ada tiga daerah yang hanya rerata yang lebih rendah (terpaut hampir 10
mendapat nilai rendah, yaitu Provinsi Bali, poin) dibanding nilai synthesis, meskipun
Kota Surakarta, dan Kabupaten Semarang. masih termasuk klasifikasi tinggi. Artinya,
Indikator ini menggambarkan pada perbedaan nilai ini perlu dipertimbangkan
kemampuan para pegawai humas pemerintah dalam melihat kemampuan sebenarnya pada
untuk mendekonstruksi pesan media. Tidak indikator synethesis.
seperti pemahaman di level understanding, Indikator puncak dalam dimensi
indikator ini dapat dilihat sebagai ‘analisis consuming-critical adalah indikator
tekstual’ semiotik (Share, 2002, dalam Lin evaluation. Dari data terlihat cukup
dkk., 2013) yang berfokus pada bahasa, genre, memuaskan dengan nilai tinggi yang
dan kode beberapa jenis dan media (misalnya diperoleh indikator ini. Disebut indikator
berdasarkan print, digital, dll). Jika mengacu puncak karena indikator evaluasi ini
pada Thoman dan Jolls (2008, dalam Lin melibatkan proses pengambilan keputusan
dkk., 2013), para pegawai humas telah yang tidak ditekankan secara eksplisit pada
memiliki kesadaran mengenai bagaimana indikator synthesis dan analysis. Dengan
produksi pesan (misalnya pemahaman nilai rerata yang tinggi, menggambarkan
media, bagaimana pesan dibangun), Format kemampuan yang sangat baik dari para
(misalnya pembangunan pesan media pegawai humas pemerintah daerah
yang menggunakan bahasa kreatif dengan untuk mempertanyakan, mengkritik,
aturan tertentu), dan penonton (misalnya dan menantang kredibilitas isi media.
interpretasi pesan media akan bervariasi Dibandingkan dengan indikator analysis
pada seluruh individu) ketika mereka dan synthesis sebelumnya, indikator ini
mendekonstruksi pesan media. Dari data merupakan level yang lebih tinggi atas tingkat
tersebut juga terlihat bahwa sebagian besar kritis, meskipun kesemuanya mengakui

280
Novian Anata Putra, Literasi Media Sosial Humas Pemerintah Daerah

bahwa isi media hanyalah representasi yang perbedaan antara creation dan partisipation
dibangun manusia. Tingginya nilai indikator harus dicatat. Tidak seperti partisipation,
ini menunjukkan humas pemerintah daerah creation biasanya membutuhkan inisiatif
telah dapat menafsirkan isi media dengan dari para pegwai humas dari pada interaksi
mempertimbangkan isu-isu seperti identitas, bilateral antara individu. Misalnya, inisiasi
relasi kuasa, dan ideologi. pertama dari sebuah thread dengan kekritisan
Beralih pada indikator dalam dimensi akan penciptaan; sedangkan refleksi
prosuming-critical. Yang pertama adalah berikutnya (komentar/reaksi dari thread
indikator partisipation. berbeda dengan tiga tersebut) akan dilihat sebagai tindakan
indikator prosuming-functional, partisipation partisipasi. Indikator ini menggambarkan
membutuhkan lebih banyak kekritisan dari kemampuan yang sedang dari para pegawai
individu. Hampir semua daerah mendapat humas pemerintah daearh untuk secara kritis
nilai tinggi dengan nilai rerata delapan membuat tulisan pada halaman media sosial
daerah yang juga tinggi. Dari data tersebut mereka, untuk memasukkan karya seni asli
menggambarkan kemampuan yang sangat secara online, atau untuk mencampur konten
baik dari para pegawai humas pemerintah online menjadi kreasi mereka sendiri.
daerah untuk berpartisipasi secara interaktif
dan kritis dalam lingkungan media baru. Analisis Antar-Dimensi
Karena disebutkan interaktif, indikator ini
menekankan pada interaksi bilateral antara Pada Bagian ini akan mencoba mem­
individu-individu. Dari nilai yang tinggi pada bandingkan nilai rerata antar indikator yang
indikator ini, salah satunya menggambarkan membentuk empat dimensi dalam kerangka
peran serta para pegawai humas pemerintah kerja literasi media baru dari Lin, dkk., (2013).
untuk secara aktif ikut membangun dan Empat dimensi tersebut terdiri dari dimensi
memperbaiki salah satu ide-ide orang lain consuming-functional, consuming-critical,
dalam media sosial. Sesuai gambaran Jenkins prosuming-functional, dan prosuming-criti­
(2004) mengambil konsep kecerdasan cal. Perbandingan nilai yang diperoleh antar
kolektif, para pegawai humas pemerintah dimensi terlihat pada tabel berikut ini.
daerah ini telah aktif terlibat menyatukan Tabel 2. Nilai rata-rata antardimensi
pengetahuan dan membandingkan catatan Consuming Prosuming MEAN
dengan orang lain untuk mencapai tujuan media literacy media literacy
bersama. Dengan kritis, indikator ini juga Functional 61.64 73.66 67.65
terfokus pada kesadaran para pegawai media
humas pemerintah daerah dari nilai-nilai literacy
sosial budaya, ideologi, dan relasi kuasa yang Critical 75.21 66.37 70.79
tertanam dalam partisipasi media mereka. media
Indikator terakhir adalah indikator literacy
creation. Berbeda dengan indikator Sumber: Olah Data Peneliti
partisipation yang mendapat nilai tinggi, Dari data tersebut terlihat bahwa dimensi
indikator creation hanya mendapat nilai consuming-critical mendapat nilai rata-
rerata sedang. Artinya, para pegawai rata tertinggi dibanding dimensi lainnya.
humas pemerintah daerah hanya memiliki Artinya kemampuan para pegawai humas
kemampuan sedang dalam membuat isi pemerintah daerah dalam menafsirkan
media terutama dengan pemahaman kritis isi media dalam konteks sosial, ekonomi,
tertanam nilai-nilai sosial budaya dan masalah politik, dan budaya tertentu lebih tinggi
ideologi. Dibandingkan dengan distribution dibanding kemampuan lain dalam literasi
dan production, indikator creation lebih media sosial. Hal ini dimungkinkan karena
melibatkan kekritisan dari para pegawai kedekatan pekerjaan profesi humas dengan
humas pemerintah. Meskipun sama-sama para pekerja media dan media massa.
masuk pada kategori prosuming critical, Terutama para pengelola media sosial pada

281
INFORMASI Kajian Ilmu Komunikasi Volume 47. Nomor 2. Desember 2017

humas pemerintah daerah yang sebagian Jika melihat perbandingan antar dimensi,
besar berada di bidang yang menangani nilai rata-rata critical media literacy lebih
media dan pemberitaan. Profesi keseharian tinggi jika dibanding dengan functional
mereka pun dituntut untuk memahami media literacy. Temuan ini menarik, karena
logika kerja media agar berita-berita yang jika melihat dari indikator-indikator yang
mereka hasilkan tentang pemerintah menyusunnya, tingkatan functional lebih
daerah banyak terbit di media massa. banyak berbicara tentang hal teknis yang
Dengan kedekatan tersebut, membuat para cenderung lebih mudah dipelajari dari pada
pengelola media sosial ini menjadi terbiasa tingkatan critical yang menuntut tingkat
dalam merepresentasikan isi media secara kekritisan seseorang. Artinya, pegawai
kritis. Meskipun beberapa dari mereka tidak humas pemerintah daerah sebenarnya telah
sadar bahwa apa yang mereka lakukan ketika memiliki modal besar dalam literasi media
membaca isi media telah berpegang pada sosial sekaligus untuk upaya pemberantasan
paradigma kritis seperti yang diterangkan hoax. Untuk mengoptimalkan fungsi dan
Jenkins, dkk., (2006), karena sebagian peran humas pemerintah daerah dalam usaha
dari mereka tidak memiliki latar belakang menangkal hoax hanya perlu meningkatkan
pendidikan yang dekat dengan studi media pengetahuan dan ketrampilan yang sifatnya
ataupun komunikasi. teknis tentang media baru dan media sosial.
Sedangkan untuk nilai terendah ada Sedangkan bagian tersulit dari literasi
pada dimensi consuming-functional yang media sosial, yaitu selalu melibatkan tingkat
terbilang merupakan dimensi dasar dalam kekritisan para pegawai humas pemerintah
literasi media sosial. Rendahnya nilai daerah dalam aktifitas media sosial, telah
rerata dimensi consuming-functional ini banyak yang menguasainya.
menggambarkan rendahnya kemampuan Terdapat beragam model berbeda yang
para pegawai humas dalam mengakses telah dihasilkan para ilmuan litererasi media
konten media sosial dan memahami makna baru, namun kesemuanya menjadikan nilai
tekstual yang ada didalamnya. Dalam kritis atas informasi menjadi tujuan akhir
analisis antar indikator sebelumnya, muncul dari literasi media baru (Chen, et al., 2011;
kemungkinan faktor usialah yang banyak Lin, et al., 2013; Jenkins, et al., 2006). Sebagian
mempengaruhi dimensi ini. pada pemerintah besar pegawai humas pemerintah daerah
daerah yang respondennya dominan berusia tersebut telah menjadi kritis dalam artian
muda, mendapatnya nila yang lebih tinggi mereka menyadari bahwa konten media
dibanding pemerintah daerah yang sedikit baru adalah ciptaan manusia atas dasar
respondennya berusia muda. Dimensi ini kepentingan. Dasar itulah yang menjadikan
memang terbilang dimensi teknis dasar persepsi bahwa tidak ada “kebenaran”
dalam mulai mengakses dan mengkonsumsi yang sebenar-benarnya dalam media baru.
isi pada media baru khususnya media sosial. Sikap kritis inilah yang akan memposisikan
Namun, dengan rendahnya nilai pada sudut pandang para pegawai humas atas
dimensi ini, memungkinkan semakin besar “kebenaran” semu di dunia maya. Artinya
peluang para pegawai humas pemerintah sikap kritis ini mampu membentengi diri atas
daerah melakukan kesalahan teknis dalam fenomena realitas semu yang digambarkan
penggunaan media sosial. oleh Piliang (2010).

SIMPULAN
Dengan tidak adanya nilai rendah, maka
dapat disimpulkan bahwa para pengelola
media sosial humas pemerintah daerah yang
telah menggelar deklarasi anti hoax telah
memiliki literasi media sosial yang cukup.

282
Novian Anata Putra, Literasi Media Sosial Humas Pemerintah Daerah

DAFTAR PUSTAKA Jenkins, H. (2006). Convergence Culture:


When Old and New Media Collide. NY:
New York University Press.
Bertot, J. C., Jaeger, P., Munson, S., & Glaisyer,
T. (2010). Social Media Technology Jenkins, H., Clinton, K., Purushotma,
and Government Transparency. IEEE R., Robinson, A. J., & Weigel, M.
Computer Society, 43(11), 53-59. (2006). Confronting the Challenges
of Participatory Culture: Media
Chen, D.-T., Wu, J., & Wang, Y.-M. (2011). Education for the 21st Century (White
Unpacking New Media Literacy. Paper). Diambil kembali dari http://
Journal on Systemics, Cybernetics and mitpress.mit.edu/sites/default/files/
Informatics, 84-88. titles/free_download/9780262513623_
Cutlip, S. M., Center, A. H., & Broom, G. Confronting_the_Challenges.pdf
(2000). Effective Public Relations. New Kietzmann, J. H., Hermkens, K., McCarthy,
Jersey: Prentice Hall International. I. P., & Silvestre, B. S. (2011). Social
Graham, M., & Avery, E. J. (2013). Government Media? Get Srious! Understanding the
Public Relations and Social Media: Funcional Building Blocks of Social
An Analysis of the Perceptions and Media. Business Horizons, 241-251.
Trends of Social Media Use at the Local Kovach, B., & Rosenstiel, T. (2011). Blur:
Government Level. Public Relations How to Know What’s True in the Age
Journal, 7(4). Diambil kembali dari of Information Overload. New York:
https://pdfs.semanticscholar.org/10e4 Bloomsbury.
/2979c35f479baca1bf04f10c1641a9c80
3e3.pdf Levy, P. (2010). From social computing to
reflexive collective intelligence: The
Grunig, J. E., & Hunt, T. (1992). Model of Public IEML research program. Information
Relations and Communication. Dalam Sciences, 71-94.
J. E. Grunig (Penyunt.), Exellence in
Public Relations and Communications Lewandowsky, S., Oberauer, K., & Gignac,
Management. New Jersey: Lawrence G. E. (2013). NASA Faked the Moon
Erlbaum. Landing-Therefore, (Climate) Science
is a Hoax: An Anatomy of the Motivated
Hand, L. C., & Ching, B. D. (2011). You have Rejection on Science. Psychological
one friend request: An exploration of Science, 622-633.
power and citizen engagement in local
governments. Administrative Theory Lin, T.-B., Li, J.-Y., Deng, F., & Lee, L. (2013).
and Praxis, 33, 362-382. Understanding New Media Literacy:
An Explorative Theoretical Framework.
Hobbs, R. (1998). The Seven Great Debates in Educational Technology & Society, 160-
the Media Literacy Movement. Journal 170.
of Communication, 48(1), 16-32.
Lister, M., Dovey, J., Giddings, S., Grant, I., &
Hobbs, R. (2010). News Literacy: What Kelly, K. (2009). New Media: A Critical
Works and What Doesn’t. Association Introduction (Second Edition ed.). New
for Education in Journalism and Mass York: Routledge.
Communication (AEJMC) Conference.
Denver, Colorado. Dipetik 3 7, 2017, Marchi, R. (2012). Whith Facebook, Blogs,
dari http://works.bepress.com/ and Fake News, Teen Reject Journalistic
reneehobbs/12/ “Objectivity”. Journal of Communication
Inquiry, 36(3), 246-262.
Jenkins, H. (2004). Cultural Logic of Media
Convergence. Journal of Cultural Piliang, Y. A. (2009). Posrealitas: Realitas
Studies, 33-43. Kebudayaan dalam Era Postmetafisika.
Yogyakarta: Jalasutra.

283
INFORMASI Kajian Ilmu Komunikasi Volume 47. Nomor 2. Desember 2017

Piliang, Y. A. (2010). Dunia yang Dilipat (edisi


keempat). Bandung: Matahari.
Potter, J. W. (2001). Media Literacy (second
edition ed.). London: Sage Publications.
Potter, J. W. (2004). Theory of Media Literacy:
A Cognitive Approach. London: Sage
Publication.
Rakhmat, J. (2007). Metode Penelitian
Komunikasi. Bandung: Rosdakarya.
Rosenbaum, J. E., Beentjes, J. W., & Konig, R.
P. (2008). Mapping Media Literacy: Key
Concepts and Future Directions. Annals
of the International Communication
Association, 32(1), 313-353.
Schmidt, H., & Root. (2014). Developig
Media Competence and Work-Related
Informational Behavior in Academic
Studies. EduRe Journal, 90-108.
Diambil kembali dari http://edure.org/
EduReJournalVol1N1/EduRe_V1_I1_
P7.pdf
Seitel, F. P. (2004). The Practice of Public
Relations. New Jersey: Pearson Prentice
Hall.
Sugiyono. (2014). Metode Penelitian
Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D.
Bandung: Alfabeta.
Vanwynsberghe, H., Boundry, E., &
Verdegem, e. P. (2011). Mapping Social
Media Literacy: Towards a Conceptual
Framework. IBBT-MICT-ICT UGENT.
Diambil kembali dari http://emsoc.be/
wp-content/uploads/2012/01/emsoc-
WP2-MICT-deliverable1_14.pdf

284

You might also like