Download as pdf or txt
Download as pdf or txt
You are on page 1of 25

MAKALAH

PERMASALAHAN IMPLEMENTASI UNDANG – UNDANG


PEMERINTAHAN DAERAH NO. 23 TAHUN 2014

Oleh :

KELOMPOK 3

Catur Wibowo BS. (NPM BC191110073)

Dwi Anggraini (NPM BC191110074)

Edy Wibowo (NPM BC191110075)

PROGRAM STUDI MAGISTER ADMINISTRASI PUBLIK


INSTITUT ILMU SOSIAL DAN MANAJEMEN STIAMI
TAHUN AKADEMIK 2019 / 2020
ABSTRACT

Special Education is one aspect whose management has been transferred from the
authority of the Regency / City Government to the Provincial Government's authority
since the enactment of Law Number 23 of 2014 concerning Regional Government.
The purpose of writing a paper is to recognize the implementation of the policy of
transferring the authority of Extraordinary Schools (SLB) from the Regency / City to
the Provincial Government. In writing this paper the writer choses to use the opinions
expressed by Nugroho (2012: 107). By choosing to use a theory about measuring the
effectiveness of the policy implementation proposed by Nugroho since it seen to be
appropriate, more precise and more able to measure the implementation of the policy
transferring the authority of Extraordinary Schools (SLB) from the Regency / City to
the Provincial Government. For solutions / problem solving as the theory of measuring
the effectiveness of implementation through: policy accuracy; implementation
accuracy; target accuracy, environmental accuracy, process accuracy. So, based on
the theory of the effectiveness of policy implementation, the implementation of the
policy of transferring the authority of Extraordinary Schools (SLB) from Regencies /
Cities to the Provincial Government can be stated to be effective because the policy
can solve the problem of unclear management of Extraordinary Schools (SLB) in the
Provinces in general and in the Regencies / City in particular. Implementing in this
policy, in this case the Provincial Education and Culture Office is in accordance with
its main tasks and functions in the field of education management, so that its
implementation will be more effective and efficient. Another aim is the achievement of
all targets to be transferred from Special Schools (SLB) from Regency / City to
Province, although there are still problems with the title of Non PNS teachers. This
achievement did not escape the cooperation between parties both internal and
external as well as the understanding of each party towards this policy of transfer of
authority.

Keywords: Transfer of Authority, Special Education.


ABSTRAK

Pendidikan Khusus merupakan salah satu aspek yang pengelolaannya dialihkan


dari kewenangan Pemerintah Kabupaten/Kota menjadi kewenangan Pemerintah
Provinsi sejak diberlakukannya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah. Tujuan penulisan makalah adalah untuk mengetahui
Implementasi kebijakan pengalihan kewenangan Sekolah Luar Biasa (SLB) dari
Kabupaten/Kota ke Pemerintah Provinsi. Dalam penulisan makalah ini kami
memilih untuk menggunakan pendapat yang dikemukakan oleh Nugroho
(2012:107). Dengan memilih menggunakan teori tentang pengukuran efektivitas
implementasi kebijakan yang dikemukakan oleh Nugroho tersebut karena kami
pandang sesuai, lebih tepat, dan lebih mampu mengukur Implementasi kebijakan
pengalihan kewenangan Sekolah Luar Biasa (SLB) dari Kabupaten/Kota ke
Pemerintah Provinsi. Untuk solusi / pemecahan masalah sebagaimana teori
pengukuran efektivitas implementasi yaitu melalui : ketepatan kebijakan, ketepatan
pelaksana, ketepatan target, ketepatan lingkungan, dan ketepatan proses. Maka
berdasarkan teori efektivitas implementasi kebijakan, implementasi kebijakan
pengalihan kewenangan Sekolah Luar Biasa (SLB) dari Kabupaten/Kota kepada
Pemerintah Provinsi dapat dikatakan sudah efektif karena kebijakan tersebut dapat
menyelesaikan permasalahan ketidakjelasan pengelolaan Sekolah Luar Biasa
(SLB) di Provinsi pada umumnya, dan di Kabupaten/Kota pada khususnya.
Pelaksana dalam kebijakan tersebut dalam hal ini Dinas Pendidikan dan
Kebudayaan Provinsi sudah sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya yaitu dalam
bidang pengelolaan pendidikan, sehingga pelaksanaannya lebih efektif dan efisien.
Tercapainya semua target yang akan dialihkan dari Sekolah Luar Biasa (SLB) dari
Kabupaten/Kota ke Provinsi, meskipun masih ada permasalahan pada status guru
Non PNS. Pencapaian tersebut tidak luput dari kerjasama antar pihak baik di
internal maupun eksternal serta pemahaman dari masing-masing pihak terhadap
kebijakan pengalihan kewenangan ini.

Kata kunci: Pengalihan Wewenang, Pendidikan Khusus.


KATA PENGANTAR

Puji Syukur dipanjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas berkat dan bimbingan-
Nya akhirnya Makalah Permasalahan Implementasi Undang-Undang Pemerintahan Daerah
Nomor 23 Tahun 2014 dapat kami selesaikan.
Tujuan penulisan ini adalah untuk mengetahui Implementasi kebijakan pengalihan
kewenangan Sekolah Luar Biasa dari Kabupaten/Kota ke Pemerintah Provinsi. Sedangkan
manfaat dari penulisan ini adalah untuk memberikan penguatan dan pengayaan terhadap teori
kebijakan publik, terutama tentang teori implementasi kebijakan pengalihan kewenangan
Sekolah Luar Biasa (SLB) dari Kabupaten/Kota ke Pemerintah Provinsi.
Demikian laporan makalah kelompok ini kami dapat susun dalam rangka memenuhi
tugas Mata Kuliah Teori Administrasi Publik Kontemporer yang di bimbing oleh Dosen Dr. Ir. A.
H. Rahadian, M.Si, untuk itu kami ucapkan terima kasih.

Jakarta, 5 Oktober 2019

Tim Kelompok 3

Catur Wibowo BS (NPM BC191110073)


Dwi Anggraini (NPM BC191110074)
Edy Wibowo (NPM BC191110075)

i
DAFTAR ISI

Kata Pengantar........................................................................................................... i
Daftar Isi .................................................................................................................... ii
BAB I. PENDAHULUAN ............................................................................................ 1
1. LatarBelakang..................................................................................................... 1
2. Ruang Lingkup Penulisan................................................................................... 3
3. Tujuan dan Manfaat Penulisan........................................................................... 3
BAB II. PERMASALAHAN.......................................................................................... 4
BAB III. SOLUSI (PEMECAHAN MASALAH) ............................................................ 5
BAB IV. PENUTUP (KESIMPULAN).......................................................................... 22
DAFTAR PUSTAKA.................................................................................................... 22

ii
BAB I
PENDAHULUAN

1. Latar Belakang

Lahirnya Undang-Undang Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah


merupakan kesepakatan antara Komisi II DPR RI dengan Kementerian Dalam Negeri pada
awal tahun 2010 sebagai jalan untuk memperbaiki kelemahan Undang-Undang 32 Tahun 2004
(Kemendagri, 2011). Kelemahan tersebut terdiri dari 22 isu strategis, beberapa diantaranya
adalah: (1) ketidakpastian pengaturan dalam undang-undang ini seringkali menimbulkan
interpretasi yang berbeda dari berbagai kelompok kepentingan; (2) perlunya penambahan
pengaturan baru tentang pelayanan publik dan partisipasi masyarakat; (3) banyaknya urusan
pemerintahan yang dilimpahkan ke kabupaten/kota tidak sejalan dengan sumber pendanaan
yang dialokasikan, banyaknya urusan pemerintahan cenderung membuat pemerintah daerah
dengan otonomi luasnya memperbanyak struktur kelembagaan sehingga terjadilah
pembengkakan biaya aparatur atau overhead cost. Untuk meminimalisir hal tersebut, dalam
undang-undang pemerintahan daerah yang baru ini pemerintah memangkas 31 urusan
pemerintah kabupaten/kota menjadi 20 urusan pemerintahan. Urusan pemerintah daerah
kabupaten/kota salah satu diantaranya adalah kewenangan dalam mengelola pendidikan
menengah.
Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah mengakibatkan
adanya perubahan pembagian urusan pemerintahan konkuren berupa pendidikan menengah
antara pemerintah pusat, pemerintah daerah provinsi, dan pemerintah daerah kabupaten/kota.
Kewenangan pendidikan menengah yang semula berada pada pemerintah kabupaten/kota
menjadi kewenangan pemerintah provinsi. Pemerintah pusat beranggapan bahwa selama ini
pemerataan pendidikan dirasa masih sangat kurang khususnya dalam pendidikan menengah.
Pengalihan kewenangan tersebut menimbulkan pro dan kontra di berbagai wilayah.
Undang-undang pemerintah daerah ini diharapkan dapat menjadi solusi atas
kegagalan undang-undang sebelumnya. Hal tersebut senyatanya dikeluhkan oleh banyak
kepala daerah di tingkat kabupaten/kota karena menimbulkan beberapa masalah di daerah,
salah satunya di bidang pendidikan menengah yang mana pengelolaan pendidikan menengah
dialihkan ke provinsi dan pemutasian guru ke wilayah lain oleh provinsi diawal Januari 2017.
Kewenangan ini cenderung lebih kearah resentralisasi atau pengembalian kewenangan
pengelolaan pendidikan menengah kepada pemerintah provinsi yang merupakan kepanjangan
tangan dari pemerintah pusat di daerah. Akibatnya, potensi dan kreativitas daerah
kabupaten/kota dalam mengelola pendidikan menengah menjadi tidak berkembang.

1
Pemusatan kebijakan kewenangan pendidikan menengah ke pemerintah provinsi
cenderung membuat pemerintah kabupaten/kota menjadi stagnan dan potensinya tidak
berkembang. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah ini akan
menimbulkan kerugian pemerintah kabupaten/kota karena kewenangannya dialihkan. Selain itu
pula Undang-Undang ini lebih mengedepankan semangat efisiensi dan efektivitas
penyelenggaraan pemerintahan daerah dengan lebih memperhatikan aspek-aspek hubungan
pusat-daerah dan antar daerah. Pengaturan hubungan pusat dengan daerah sebagian besar
mereduksi kewenangan Bupati atau walikota untuk membangun daerah dan melayani
rakyatnya.
Perubahan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 menjadi Undang-Undang Nomor 23
Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah mengakibatkan perubahan pula dalam beberapa hal
seperti dalam pembagian urusan pemerintahan. Pada Undang-Undang terbaru, bidang
pendidikan menengah merupakan salah satu dari beberapa bidang yang pengelolaannya
dialihkan dari pemerintahan daerah kabupaten/kota menjadi tanggungjawab pemerintah daerah
provinsi.

Berdasarkan Undang-Undang nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah,


pengelolaan pendidikan menengah yang semula menjadi urusan pemerintah daerah
kabupaten/kota dialihkan menjadi urusan pemerintah daerah provinsi. Undang-Undang No 23
Tahun 2014 ini terbentuk untuk merevisi UU No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah daerah
yang tidak sesuai lagi dengan perkembangan keadaan, ketatanegaraan, dan tuntutan
penyelengggaraan pemerintahan daerah. Adapun tujuan Pengalihan ini adalah untuk
memudahkan pemerintah provinsi dalam menyeragamkan kebijakan pengelolaan pendidikan
dan diharapkan dapat meningkatkan akuntabilitas serta efektivitas kebijakan pendidikan dalam
rangka good governance.

Penyelenggaran pemerintah dalam rangka otonomi pun mengalami perkembangan


seiring diberlakukannya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah
menjadi penting. Ini menjadi bentuk perubahan kebijakan yang memerlukan usaha dalam
pelaksanaan dan penerapan secara menyeluruh. Poin penting yang dibahas dalam penerapan
Undang-Undang Nomor 23 Tahum 2014 Tentang Pemerintah Daerah di samping tanggung
jawab pemerintah pusat terhadap pemerintah daerah, hal lain yang disinggung berupa
membagi urusan. Pembagian urusan ini dilakukan dengan memasukan dalam lampiran
Undang-Undang agar tidak dilanggar oleh Undang-Undang sektor.

Pelaksanaan UU Nomor : 23 Tahun 2014, baru akan dilaksanakan setelah dua tahun
berlakunya UU ini terhitung sejak Undang-Undang ini di undangkan (pasal 410). Serah terima

2
personel, pendanaan, sarana dan prasarana, serta dokumen sebagai akibat pembagian Urusan
Pemerintahan antara Pemerintah Pusat, Daerah provinsi dan Daerah kabupaten/kota yang
diatur berdasarkan Undang-Undang ini di lakukan paling lama 2 (dua) tahun terhitung sejak
Undang-Undang ini di Undangkan (pasal 404). Berdasarkan penjelasan tersebut, artinya bahwa
mulai oktober 2016 UU No. 23 tentang Pemerintahan Daerah yang  terkait dengan kewenangan
Daerah provinsi mulai berlaku serentak di seluruh tanah air, Republik Indonesia.

Undang-undang No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (UU Pemda) yang
mulai berlaku tahun 2016 lalu, dinilai menimbulkan sejumlah permasalahan. Khususnya pada
pengaturan terkait pengalihan kewenangan pengelolaan pendidikan menengah yaitu SMA dan
SMK dari pemerintah kabupaten atau kota ke pemerintah provinsi. Permasalahan berikutnya
terkait sekolah inklusi, atau sekolah anak berkebutuhan khusus. penanganan sekolah inklusi
merupakan kewenangan pemerintah provinsi. Namun di satu sisi, untuk sekolah inklusi tingkat
SD dan SMP merupakan kewenangan kabupaten atau kota.

2. Ruang Lingkup Penulisan

Ruang lingkup penulisan dalam Permasalahan Implementasi Undang-Undang


Pemerintahan Daerah Nomor 23 Tahun 2014 yaitu : “Implementasi kebijakan pengalihan
kewenangan Sekolah Luar Biasa (SLB) dari Kabupaten/Kota ke Pemerintah Provinsi.”
3. Tujuan dan Manfaat Penulisan

Tujuan penulisan ini adalah untuk mengetahui Implementasi kebijakan pengalihan


kewenangan Sekolah Luar Biasa (SLB) dari Kabupaten/Kota ke Pemerintah Provinsi.
Sedangkan manfaat dari penulisan ini adalah untuk memberikan penguatan dan pengayaan
terhadap teori kebijakan publik, terutama tentang teori implementasi kebijakan pengalihan
kewenangan Sekolah Luar Biasa (SLB) dari Kabuapten/Kota ke Pemerintah Provinsi.

3
BAB II
PERMASALAHAN

Pendidikan Khusus merupakan salah satu aspek yang pengelolaannya dialihkan dari
kewenangan Pemerintah Kabupaten/Kota menjadi kewenangan Pemerintah Provinsi sejak
diberlakukannya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.
Sebelum adanya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah,
ketentuan pengelolaan pendidikan khusus belum jelas karena adanya tumpang tindih kebijakan
yaitu PP Nomor 38 tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah,
Pemerintahan Daerah Provinsi, Dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota dengan PP Nomor
17 tahun 2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan. Pada PP No 38 Tahun
2007 dijelaskan bahwa kewenangan pengelolaan Sekolah Luar Biasa (SLB) ada pada
Pemerintah Kota/Kabupaten, sedangkan pada PP No 17 dijelaskan kewenangan Sekolah Luar
Biasa (SLB) ada pada Pemerintah Provinsi.

Dengan adanya ketentuan terkait kewenangan pendidikan menengah dan pendidikan


khusus dalam UU No 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, semua provinsi di
Indonesia berlomba-lomba mengambil alih kewenangan pendidikan menengah dan pendidikan
khusus berdasarkan UU No. 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah. Pengalihan
kewenangan pengelolaan Sekolah Luar Biasa (SLB) dari Kabupaten/Kota kepada Pemerintah
Provinsi. Sehingga Permasalah dalam Makalah ini adalah “Bagaimana Implementasi
Kebijakan Pengalihan Kewenangan Sekolah Luar Biasa (SLB) dari Kabupaten/Kota
kepada Provinsi ?”

4
BAB III
SOLUSI (PEMECAHAN MASALAH)

Sebelum dibahas lebih jauh mengenai konsep kebijakan publik, kita perlu mengkaji
terlebih dahulu mengenai konsep kebijakan atau dalam bahasa inggris sering kita dengar
dengan istilah policy. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kebijakan diartikan sebagai
rangkaian konsep dan asas yang menjadi garis besar dan dasar rencana dalam pelaksanaan
suatu pekerjaan, kepemimpinan, dan cara bertindak (tentang pemerintahan, organisasi, dsb);
pernyataan cita-cita, tujuan, prinsip dan garis pedoman untuk manajemen dalam usaha
mencapai sasaran.
Carl J Federick sebagaimana dikutip Leo Agustino(2008: 7) mendefinisikan kebijakan
sebagai serangkaian tindakan/kegiatan yang diusulkan seseorang, kelompok atau pemerintah
dalam suatu lingkungan tertentu dimana terdapat hambatan-hambatan (kesulitan-kesulitan) dan
kesempatan-kesempatan terhadap pelaksanaan usulan kebijaksanaan tersebut dalam rangka
mencapai tujuan tertentu. Pendapat ini juga menunjukan bahwa ide kebijakan melibatkan
perilaku yang memiliki maksud dan tujuan merupakan bagian yang penting dari definisi
kebijakan, karena bagaimanapun kebijakan harus menunjukan apa yang sesungguhnya
dikerjakan daripada apa yang diusulkan dalam beberapa kegiatan pada suatu masalah.
Solichin Abdul Wahab mengemukakan bahwa istilah kebijakan sendiri masih terjadi
silang pendapat dan merupakan ajang perdebatan para ahli. Maka untuk memahami istilah
kebijakan, Solichin Abdul Wahab (2008: 40-50) memberikan beberapa pedoman sebagai
berikut:
a) Kebijakan harus dibedakan dari keputusan;
b) Kebijakan sebenarnya tidak serta merta dapat dibedakan dari administrasi;
c) Kebijakan mencakup perilaku dan harapan-harapan;
d) Kebijakan mencakup ketiadaan tindakan ataupun adanya tindakan;
e) Kebijakan biasanya mempunyai hasil akhir yang akan dicapai;
f) Setiap kebijakan memiliki tujuan atau sasaran tertentu baik eksplisit maupun implicit; g)
Kebijakan muncul dari suatu proses yang berlangsung sepanjang waktu;
h) Kebijakan meliputi hubungan-hubungan yang bersifat antar organisasi dan yang bersifat
intra organisasi;
i) Kebijakan publik meski tidak ekslusif menyangkut peran kunci lembaga-lembaga pemerintah;
j) Kebijakan itu dirumuskan atau didefinisikan secara subyektif.

5
Menurut Budi Winarno (2007 : 15), istilah kebijakan (policy term) mungkin digunakan
secara luas seperti pada “kebijakan luar negeri Indonesia” , “kebijakan ekonomi Jepang”, dan
atau mungkin juga dipakai untuk menjadi sesuatu yang lebih khusus, seperti misalnya jika kita
mengatakan kebijakan pemerintah tentang debirokartisasi dan deregulasi.
Namun baik Solihin Abdul Wahab maupun Budi Winarno sepakat bahwa istilah
kebijakan ini penggunaanya sering dipertukarkan dengan istilah lain seperti tujuan (goals)
program, keputusan, undang-undang, ketentuanketentuan, standar, proposal dan grand design
(Suharno :2009 : 11).
Irfan Islamy sebagaimana dikutip Suandi (2010: 12) kebijakan harus dibedakan
dengan kebijaksanaan. Policy diterjemahkan dengan kebijakan yang berbeda artinya dengan
wisdom yang artinya kebijaksanaan. Pengertian kebijaksanaan memerlukan pertimbangan
pertimbangan lebih jauh lagi, sedangkan kebijakan mencakup aturan aturan yang ada
didalamnya.
James E Anderson sebagaimana dikutip Islamy (2009: 17) mengungkapkan bahwa
kebijakan adalah “ a purposive course of action followed by an actor or set of actors in dealing
with a problem or matter of concern” (Serangkaian tindakan yang mempunyai tujuan tertentu
yang diikuti dan dilaksanakan oleh seorang pelaku atau sekelompok pelaku guna memecahkan
suatu masalah tertentu). Konsep kebijakan yang ditawarkan oleh Anderson ini menurut Budi
Winarno (2007: 18) dianggap lebih tepat karena memusatkan perhatian pada apa yang
sebenarnya dilakukan dan bukan pada apa yang diusulkan atau dimaksudkan. Selain itu
konsep ini juga membedakan secara tegas antara kebijakan (policy) dengan keputusan
(decision) yang mengandung arti pemilihan diantara berbagai alternatif yang ada.
Richard Rose sebagaimana dikutip Budi Winarno (2007: 17) juga menyarankan bahwa
kebijakan hendaknya dipahami sebagai serangkaian kegiatan yang sedikit banyak
berhubungan beserta konsekuensikonsekuensi bagi mereka yang bersangkutan daripada
sebagai keputusan yang berdiri sendiri. Pendapat kedua ahli tersebut setidaknya dapat
menjelaskan bahwa mempertukarkan istilah kebijakan dengan keputusan adalah keliru, karena
pada dasarnya kebijakan dipahami sebagai arah atau pola kegiatan dan bukan sekadar suatu
keputusan untuk melakukan sesuatu.
Berdasarkan pendapat berbagai ahli tersebut di atas maka dapat disimpulkan bahwa
kebijakan adalah tindakan-tindakan atau kegiatan yang sengaja dilakukan atau tidak dilakukan
oleh seseorang, suatu kelompok atau pemerintah yang di dalamnya terdapat unsur keputusan
berupa upaya pemilihan diantara berbagai alternatif yang ada guna mencapai maksud dan
tujuan tertentu

6
Untuk lingkup dari studi kebijakan publik sangat luas karena mencakup berbagai
bidang dan sektor seperti ekonomi, politik, sosial, budaya, hukum, dan sebagainya. Disamping
itu dilihat dari hirarkirnya kebijakan publik dapat bersifat nasional, regional maupun lokal seperti
undang-undang, peraturan pemerintah, peraturan presiden, peraturan menteri, peraturan
pemerintah daerah/provinsi, keputusan gubernur, peraturan daerah kabupaten/kota, dan
keputusan bupati/walikota.
Secara terminologi pengertian kebijakan publik (public policy) itu ternyata banyak
sekali, tergantung dari sudut mana kita mengartikannya.
Easton memberikan definisi kebijakan publik sebagai the authoritative allocation of
values for the whole society atau sebagai pengalokasian nilai nilai secara paksa kepada
seluruh anggota masyarakat.
Laswell dan Kaplan juga mengartikan kebijakan publik sebagai a projected program of
goal, value, and practice atau sesuatu program pencapaian tujuan, nilai-nilai dalam praktek-
praktek yang terarah.
Pressman dan Widavsky sebagaimana dikutip Budi Winarno (2002: 17) mendefinisikan
kebijakan publik sebagai hipotesis yang mengandung kondisi-kondisi awal dan akibat-akibat
yang bias diramalkan. Kebijakan publik itu harus dibedakan dengan bentuk-bentuk kebijakan
yang lain misalnya kebijakan swasta. Hal ini dipengaruhi oleh keterlibatan faktor-faktor bukan
pemerintah.
Robert Eyestone sebagaimana dikutip Leo Agustino (2008 : 6) mendefinisikan
kebijakan publik sebagai “hubungan antara unit pemerintah dengan lingkungannya”. Banyak
pihak beranggapan bahwa definisi tersebut masih terlalu luas untuk dipahami, karena apa yang
dimaksud dengan kebijakan publik dapat mencakup banyak hal.
Menurut Nugroho, ada dua karakteristik dari kebijakan publik, yaitu: 1) kebijakan publik
merupakan sesuatu yang mudah untuk dipahami, karena maknanya adalah hal-hal yang
dikerjakan untuk mencapai tujuan nasional; 2) kebijakan publik merupakan sesuatu yang
mudah diukur, karena ukurannya jelas yakni sejauh mana kemajuan pencapaian cita-cita sudah
ditempuh.
Menurut Woll sebagaimana dikutip Tangkilisan (2003:2) menyebutkan bahwa
kebijakan publik ialah sejumlah aktivitas pemerintah untuk memecahkan masalah di
masyarakat, baik secara langsung maupun melalui berbagai lembaga yang mempengaruhi
kehidupan masyarakat.
Thomas R Dye sebagaimana dikutip Islamy (2009: 19) mendefinisikan kebijakan publik
sebagai “ is whatever government choose to do or not to do” ( apapaun yang dipilih pemerintah
untuk dilakukan atau untuk tidak dilakukan). Definisi ini menekankan bahwa kebijakan publik

7
adalah mengenai perwujudan “tindakan” dan bukan merupakan pernyataan keinginan
pemerintah atau pejabat publik semata. Di samping itu pilihan pemerintah untuk tidak
melakukan sesuatu juga merupakan kebijakan publik karena mempunyai pengaruh (dampak
yang sama dengan pilihan pemerintah untuk melakukan sesuatu. Terdapat beberapa ahli yang
mendefiniskan kebijakan publik sebagai tindakan yang diambil oleh pemerintah dalam
merespon suatu krisis atau masalah publik.
Begitupun dengan Chandler dan Plano sebagaimana dikutip Tangkilisan (2003: 1)
yang menyatakan bahwa kebijakan publik adalah pemanfaatan yang strategis terhadap
sumberdayasumberdaya yang ada untuk memecahkan masalah-masalah publik atau
pemerintah. Selanjutnya dikatakan bahwa kebijakan publik merupakan suatu bentuk intervensi
yang dilakukan secara terus-menerus oleh pemerintah demi kepentingan kelompok yang
kurang beruntung dalam masyarakat agar mereka dapat hidup, dan ikut berpartisipasi dalam
pembangunan secara luas.
David Easton sebagaimana dikutip Leo Agustino (2009: 19) memberikan definisi
kebijakan publik sebagai “ the autorative allocation of values for the whole society”. Definisi ini
menegaskan bahwa hanya pemilik otoritas dalam sistem politik (pemerintah) yang secara syah
dapat berbuat sesuatu pada masyarakatnya dan pilihan pemerintah untuk melakukan sesuatu
atau tidak melakukan sesuatu diwujudkan dalam bentuk pengalokasian nilai-nilai. Hal ini
disebabkan karena pemerintah termasuk ke dalam “authorities in a political system” yaitu para
penguasa dalam sistem politik yang terlibat dalam urusan sistem politik sehari-hari dan
mempunyai tanggungjawab dalam suatu maslaha tertentu dimana pada suatu titik mereka
diminta untuk mengambil keputusan di kemudian hari kelak diterima serta mengikat sebagian
besar anggota masyarakat selama waktu tertentu.
Berdasarkan pendapat berbagai ahli tersebut dapat disimpulkan bahwa kebijakan
publik adalah serangkaian tindakan yang dilakukan atau tidak dilakukan oleh pemerintah yang
berorientasi pada tujuan tertentu guna memecahkan masalah-masalah publik atau demi
kepentingan publik.
Kebijakan untuk melakukan sesuatu biasanya tertuang dalam ketentuan ketentuan
atau peraturan perundang-undangan yang dibuat pemerintah sehingga memiliki sifat yang
mengikat dan memaksa.
Urgensi Kebijakan Publik Untuk melakukan studi kebijakan publik merupakan studi
yang bermaksud untuk menggambarkan, menganalisis, dan menjelaskan secara cermat
berbagai sebab dan akibat dari tindakan-tindakan pemerintah.
Studi kebijakan publik menurut Thomas R. Dye, sebagaimana dikutip Sholichin Abdul
Wahab ( Suharno: 2010: 14) sebagai berikut: “Studi kebijakan publik mencakup

8
menggambarkan upaya kebijakan publik, penilaian mengenai dampak dari kekuatankekuatan
yang berasal dari lingkungan terhadap isi kebijakan publik, analisis mengenai akibat berbagai
pernyataan kelembagaan dan proses-proses politik terhadap kebijakan publik; penelitian
mendalam mengenai akibat-akibat dari berbagai kebijakan politik pada masyarakat, baik
berupa dampak kebijakan publik pada masyarakat, baik berupa dampak yang diharapkan
(direncanakan) maupun dampak yang tidak diharapkan.”
Sholichin Abdul Wahab sebagaimana dikutip Suharno (2010: 16-19) dengan mengikuti
pendapat dari Anderson (1978) dan Dye (1978) menyebutkan beberapa alasan mengapa
kebijakan publik penting atau urgen untuk dipelajari, yaitu: a) Alasan Ilmiah Kebijakan publik
dipelajari dengan maksud untuk memperoleh pengetahuan yang luas tentang asal-muasalnya,
proses perkembangannya, dan konsekuensi-konsekuensinya bagi masyarakat. Dalam hal ini
kebijakan dapat dipandang sebagai variabel terikat (dependent variable) maupun sebagai
variabel independen (independent variable). Kebijakan dipandang sebagai variabel terikat,
maka perhatian akan tertuju pada faktor-faktor politik dan lingkungan yang membantu
menentukan substansi kebijakan atau diduga mempengaruhi isi kebijakan piblik. Kebijakan
dipandang sebagai variabel independen jika focus perhatian tertuju pada dampak kebijakan
tertuju pada sistem politik dan lingkungan yang berpengaruh terhadapo kebijakan publik. b)
Alasan professional Studi kebijakan publik dimaksudkan sebagai upaya untuk menetapkan
pengetahuan ilmiah dibidang kebijakan publik guna memecahkan masalah-masalah sosial
sehari-hari. c) Alasan Politik Mempelajari kebijakan publik pada dasarnya dimaksudkan agar
pemerintah dapat menempuh kebijakan yang tepat guna mencapai tujuan yang tepat pula. 4.
Tahap-Tahap Kebijakan Publik Proses pembuatan kebijakan publik merupakan proses yang
kompleks karena melibatkan banyak proses maupun variabel yang harus dikaji. Oleh karena itu
beberapa ahli politik yang menaruh minat untuk mengkaji kebijakan publik membagi proses-
proses penyusunan kebijakan publik kedalam beberapa tahap. Tujuan pembagian seperti ini
adalah untuk memudahkan kita dalam mengkaji kebijakan publik. Namun demikian, beberapa
ahli mungkin membagi tahap-tahap ini dengan urutan yang berbeda.
Sedangkan tahap-tahap kebijakan publik menurut William Dunn sebagaimana dikutip
Budi Winarno (2007: 32-34) adalah sebagai berikut :
a) Tahap penyusunan agenda Para pejabat yang dipilih dan diangkat menempatkan
masalah pada agenda publik. Sebelumnya masalah ini berkompetisi terlebih dahulu untuk
dapat masuk dalam agenda kebijakan. Pada akhirnya, beberapa masalah masuk ke
agenda kebijakan para perumus kabijakan. Pada tahap ini mungkin suatu masalah tidak
disentuh sama sekali, sementara masalah yang lain ditetapkan menjadi fokus

9
pembahasan, atau ada pula masalah karena alasanalasan tertentu ditunda untuk waktu
yang lama.
b) Tahap formulasi kebijakan Maslaah yang telah masuk ke agenda kebijakan kemudian
dibahas oleh para pembuat kebijakan. Masalah-masalah tadi didefinisikan untuk
kemudian dicari pemecahan masalah terbaik. Pemecahan masalah tersebut berasal dari
berbagai alternatif atau pilihan kebijakan (policy alternatives/policy options) yang ada.
Dalam perumusan kebijakan masing-masing alternatif bersaing untuk dapat dipilih
sebagai kebijakan yang diambil untuk memecahkan masalah. Dalam tahap ini masing-
masing actor akan bersaing dan berusaha untuk mengusulkan pemecahan masalah
terbaik.
c) Tahap adopsi kebijakan Dari sekian banyak alternatif kebijakan yang ditawarkan oleh para
perumus kebijakan, pada akhirnya salah satu dari alternatif kebijakan tersebut diadopsi
dengan dukungan dari mayoritas 21 legislatif, konsensus antara direktur lembaga atau
putusan peradilan.
d) Tahap implementasi kebijakan Suatu program kebijakan hanya akan menjadi catatan-
catatan elit jika program tersebut tidak diimplementasikan, yakni dilaksanakan oleh
badan-badan administrasi maupun agen-agen pemerintah di tingkat bawah. Kebijakan
yang telah diambil dilaksanakan oleh unit-unit administrasikan yang memobilisasikan
sumber daya finansial dan manusia. Pada tahap implementasi ini berbagai kepentingan
akan saling bersaing. Beberapa implementasi kebijakan mendapat dukungan para
pelaksana (implementors), namun beberapa yang lain munkin akan ditentang oleh para
pelaksana.

e) Tahap evaluasi kebijakan Dalam tahap ini kebijakan yang telah dijalankan akan dinilai
atau dievaluasi, unuk melihat sejauh mana kebijakan yang dibuat untuk meraih dampak
yang diinginkan, yaitu memecahkan masalah yang dihadapi masyarakat. Oleh karena itu
ditentukan ukuran-ukuran atau kriteria-kriteria yamh menjadi dasar untuk menilai apakah
kebijakan publik yang telah dilaksanakan sudah mencapai dampak atau tujuan yang
diinginkan atau belum.

Faktor-Faktor yang mempengaruhi pembuatan kebijakan menurut Suharno (2010: 52)


proses pembuatan kebijakan merupakan pekerjaan yang rumit dan kompleks dan tidak
semudah yang dibayangkan. Walaupun demikian, para administrator sebuah organisasi
institusi atau lembaga dituntut memiliki tanggung jawab dan kemauan, serta kemampuan atau
keahlian, sehingga dapat membuat kebijakan dengan resiko yang diharapkan (intended risks)
maupun yang tidak diharapkan (unintended risks).

10
Pembuatan kebijakan dipengaruhi oleh beberapa faktor. Hal pemting yang turut
diwaspadai dan selanjutnya dapat diantisipasi adalah dalam pembuatan kebijakan sering terjadi
kesalahan umum. Faktor-faktor yang mempengaruhi pembuatan kebijakan adalah:
a) Adanya pengaruh tekanan-tekanan dari luar tidak jarang pembuat kebijakan harus
memenuhi tuntutan dari luar atau membuat kebijakan adanya tekanan-tekanan dari luar.
b) Adanya pengaruh kebiasaan lama Kebiasaan lama organisasi yang sebagaimana dikutip
oleh Nigro disebutkan dengan istilah sunk cost, seperti kebiasaan investasi modal yang
hingga saat ini belum professional dan terkadang amat birokratik, cenderung akan diikuti
kebiasaan itu oleh para administrator, meskipun keputusan/kebijakan yang berkaitan
dengan hak tersebut dikritik, karena sebagai suatu yang salah dan perlu diubah.
Kebiasaan lama tersebut sering secara terus-menerus pantas untuk diikuti, terlebih kalau
suatu kebijakan yang telah ada tersebut dipandang memuaskan.
c) Adanya pengaruh sifat-sifat pribadi Berbagai keputusan/kabijakan yang dibuat oleh para
pembuat keputusan/kebijakan banyak dipengaruhi oleh sifat-sifat pribadinya. Sifat pribadi
merupakan faktor yang berperan besar dalam penentuan keputusan/kebijakan.
d) Adanya pengaruh dari kelompok luar Lingkungan sosial dari para pembuat
keputusan/kebijakan juga berperan besar.
e) Adanya pengaruh keadaan masa lalu.
Maksud dari faktor ini adalah bahwa pengalaman latihan dan pengalaman sejarah
pekerjaan yang terdahulu berpengaruh pada pembuatan kebijakan/keputusan. Misalnya, orang
mengkhawatirkan pelimpahan wewenang yang dimilikinya kepada orang lain karena khawatir
disalahgunakan (Suharno: 2010: 52-53).
Kerangka Kerja Kebijakan Publik Menurut Suharno (2010: 31) kerangka kebijakan
publik akan ditentukan oleh beberapa variabel dibawah ini, yaitu:
a) Tujuan yang akan dicapai, hal ini mencakup kompleksitas tujuan yang akanm dicapai.
Apabila tujuan kebijakan semakin kompleks, maka semakin sulit mencapai kinerja
kebijakan. Sebaliknya, apabila tujuan kebijakan semakin sederhana, maka untuk
mencapainya juga semakin mudah.
b) Prefensi nilai seperti apa yang perlu dipertimbangkan. Suatu kabijakan yang mengandung
berbagai variasi nilai akan jauh lebih sulit untuk dicapai dibanding dengan suatu kebijakan
yang hanya mengejar satu nilai.
c) Sumber daya yang mendukung kebijakan. Kinerja suatu kebijakan akan ditentukan oleh
sumber daya finansial, material, dan infrastruktur lainnya.
d) Kemampuan aktor yang terlibat dalam pembuatan kebijakan. Kualitas dari suatu kebijakan
akan dipengaruhi oleh kualitas aktor kebijakan yang terlibat dalam proses penetapan

11
kebijakan. Kualitas tersebut ditentukan oleh tingkat pendidikan, kompetensi dalam
bidangnya, pengalaman kerja dan integritas moralnya.
e) Lingkungan yang mencakup lingkungan sosial, ekonomi, politik, dan sebagainya. Kinerja
dari suatu kebijakan akan dipengaruhi oleh konteks sosial, ekonomi, maupun politik
tempat kebijakan tersebut diimplementasikan.
f) Strategi yang digunakan untuk mencapai tujuan.
Strategi yang digunakan untuk mengimplementasikan suatu kebijakan akan
mempengaruhi kinerja suatu kebijakan. Stretegi yang digunakan dapat bersifat top/down
approach atau bottom approach, otoriter atau demokratis (Suharno: 2010: 31).
Ciri-Ciri Kebijakan Publik Menurut Suharno (2010: 22-24), ciri-ciri khusus yang melekat
pada kebijakan publik bersumber pada kenyataan bahwa kebijakan itu dirumuskan. Ciri-ciri
kebijakan publik antara lain:
a) Kebijakan publik lebih merupakan tindakan yang mengarah pada tujuan daripada sebagai
perilaku atau tindakan yang serba acak dan kebetulan. Kebijakan-kebijakan publik dalam
sistem politik modern merupakan suatu tindakan yang direncanakan.
b) Kebijakan pada hakekatnya terdiri atas tindakan-tindakan yang saling berkait dan berpola
yang mengarah pada tujuan tertentu yang dilakukan oleh pejabat-pejabat pemerintah dan
bukan merupakan keputusan yang berdiri sendiri. Kebijakan tidak cukup mencakup
keputusan untuk membuat undang-undang dalam bidang tertentu, melainkan diikuti pula
dengan keputusan-keputusan yang bersangkut paut dengan implementasi dan
pemaksaan pemberlakuan.
c) Kebijakan bersangkut paut dengan apa yang senyatanya dilakukan pemerintah dalam
bidang tertentu.
d) Kebijakan publik mungkin berbentuk positif, mungkin pula negatif, kemungkinan meliputi
keputusan-keputusan pejabat pemerintah untuk tidak bertindak atau tidak melakukan
tindakan apapun dalam masalah-masalah dimana justru campur tangan pemerintah
diperlukan.

Jenis Kebijakan Publik Banyak pakar yang mengajukan jenis kebijakan publik
berdasarkan sudut pandang masing-masing.
James Anderson sebagaimana dikutip Suharno (2010: 24-25) menyampaikan kategori
kebijakan publik sebagai berikut:
a. Kebijakan substantif versus kebijakan prosedural Kebijakan substantif yaitu kebijakan
yang menyangkut apa yang akan dilakukan oleh pemerintah. Sedangkan kebijakan
prosedural adalah bagaimana kebijakan substantif tersebut dapat dijalankan.

12
b. Kebijakan distributif versus kebijakan regulatori versus kebijakan redistributif Kebijakan
distributif menyangkut distribusi pelayanan atau kemanfaatan pada masyarakat atau
individu. Kebijakan regulatori merupakan kebijakan yang berupa pembatasan atau
pelarangan terhadap perilaku individu atau kelompok masyarakat. Sedangkan, kebijakan
redistributif merupakan kebijakan yang mengatur alokasi kekayaan, pendapatan,
pemilikan atau hak-hak diantara berbagai kelompok dalam masyarakat.
c. Kebijakan materal versus kebijakan simbolik Kebijakan materal adalah kebijakan yang
memberikan keuntungan sumber daya komplet pada kelompok sasaran. Sedangkan,
kebijakan simbolis adalah kebijakan yang memberikan manfaat simbolis pada kelompok
sasaran.
d. Kebijakan yang barhubungan dengan barang umum (public goods) dan barang privat
(privat goods) Kebijakan public goods adalah kebijakan yang mengatur pemberian barang
atau pelayanan publik. Sedangkan, kebijakan privat goods adalah kebijakan yang
mengatur penyediaan barang atau pelayanan untuk pasar bebas.
Sholichin Abdul Wahab sebagaimana dikutip Suharno (2010: 25- 27) mengisyaratkan
bahwa pemahaman yang lebih baik terhadap hakikat kebijakan publik sebagai tindakan yang
mengarah pada tujuan, ketika kita dapat memerinci kebijakan tersebut kedalam beberapa
kategori, yaitu:
a. Tuntutan kebijakan (policy demands) yaitu tuntutan atau desakan yang diajukan pada
pejabat-pejabat pemerintah yang dilakukan oleh actor-aktor lain, baik swasta maupun
kalangan pemerintah sendiri dalam sistem politik untuk melakukan tindakan tertentu atau
sebaliknya untuk tidak melakukan tindakan pada suatu masalah tertentu. Tuntutan ini
dapat bervariasi, mulai dari desakan umum, agar pemerintah berbuat sesuatu hingga
usulan untuk mengambil tindakan konkret tertentu terhadap suatu masalah yang terjadi di
dalam masyarakat.
b. Keputusan kebijakan (policy decisions) Adalah keputusan yang dibuat oleh para pejabat
pemerintah yang dimaksudkan untuk memberikan arah terhadap pelaksanaan kebijakan
publik. Dalam hal ini, termasuk didalamnya keputusankeputusan untuk menciptakan
statuta (ketentuan-ketentuan dasar), ketetapan-ketetapan, ataupun membuat penafsiran
terhadap undang-undang.
c. Pernyataan kebijakan (policy statements) ialah pernyataan resmi atau penjelasan
mengenai kebijakan publik tertentu. Misalnya; ketetapan MPR, Keputusan Presiden atau
Dekrit Presiden, keputusan peradialn, pernyataan ataupun pidato pejabat pemerintah
yang menunjukkan hasrat, tujuan pemerintah, dan apa yang dilaksanakan untuk
mencapai tujuan tersebut.

13
d. Keluaran kebijakan (policy outputs) merupakan wujud dari kebijakan publik yang paling
dapat dilihat dan dirasakan, karena menyangkut hal-hal yang senyatanya dilakukan guna
merealisasikan apa yang telah digariskan dalam keputusan dan pernyataan kebijakan.
Secara singkat keluaran kebijakan ini menyangkut apa yang ingin dikerjakan oleh
pemerintah.
e. Hasil akhir kebijakan (policy outcomes) Adalah akibat-akibat atau dampak yang benar-
benar dirasakan oleh masyarakat, baik yang diharapkan atau yang tidak diharapkan
sebagai konsekuensi dari adanya tindakan atau tidak adanya tindakan pemerintah dalam
bidang-bidang atau masalah-masalah tertentu yang ada dalam masyarakat.

William N. Dunn (2000: 21) membedakan tipe-tipe kebijakan menjadi lima bagian,
yaitu:
a. Masalah kebijakan (policy public) adalah nilai, kebutuhan dan kesempatan yang belum
terpuaskan, tetapi dapat diidentifikasi dan dicapai melalui tindakan public. Pengetahuan
apa yang hendak dipecahkan membutuhkan informasi mengenai kondisi-kondisi yang
mendahului adanya problem maupun informasi mengenai nilai yang pencapaiannya
menuntut pemecahan masalah.
b. Alternative kebijakan (policy alternatives) yaitu arah tindakan yang secara potensial
tersedia yang dapat member sumbangan kepada pencapaian nilai dan pemecahan
masalah kebijakan. Informasi mengenai kondisi yang menimbulkan masalah pada
dasarnya juga mengandung identifikasi terhadap kemungkinan pemecahannya.
c. Tindakan kebijakan (policy actions) adalah suatu gerakan atau serangkaian gerakan
sesuai dengan alternatif kebijakan yang dipilih, yang dilakukan untuk mencapai tujuan
bernilai.
d. Hasil kebijakan (policy outcomes) adalah akibat-akibat yang terjadi dari serangkaian
tindakan kebijakan yang telah dilaksanakan. Hasil dari setiap tindakan tidak sepenuhnya
stabil atau diketahui sebelum tindakan dilakukan, juga tidak semua dari hasil tersebut
terjadi seperti yang diharapkan atau dapat diduga sebelumnya.
e. Hasil guna kebijakan adalah tingkat seberapa jauh hasil kebijakan memberiakn
sumbangan pada pencapaian nilai. Pada kenyataanya jarang ada problem yang dapat
dipecahkan secara tuntas, umumnya pemecahan terhadap suatu problem dapat
menumbuhkan problem sehingga perlu pemecahan kembali atau perumusan kembali.

Sedangkan Implementasi kebijakan publik sebagai salah satu aktivitas dalam proses
kebijakan publik, sering bertentangan dengan yang diharapkan, bahkan menjadikan produk

14
kebijakan itu sebagai batu senandung bagi pembuat kebijakan itu sendiri. Itulah sebabnya
implementasi kebijakan publik, diperlukan pemahaman yang mendalam tentang studi kebijakan
publik.
Untuk Efektivitas implementasi kebijakan berkaitan dengan sejauh mana implementasi
yang dilakukan mencapai tujuan kebijakan yang diharapkan. Menurut Riant Nugroho
(2012:107) pada dasarnya ada “lima tepat” yang perlu dipenuhi dalam hal keefektifan
implementasi kebijakan, yaitu:

a. Tepat Kebijakan.
Ketepatan kebijakan ini dinilai dari sejauh mana kebijakan yang ada telah bermuatan hal-
hal dapat memecahkan masalah yang hendak dipecahkan. Sisi kedua kebijakan adalah
apakah kebijakan tersebut sudah dirumuskan sesuai dengan karakter masalah yang
hendak dipecahkan. Sisi ketiga adalah, kebijakan tersebut dibuat oleh lembaga yang
mempunyai kewenangan (misi kelembagaan) yang sesuai dengan karakter kebijakannya.
b. Tepat Pelaksanaan.
Aktor implementasi kebijakan tidaklah hanya pemerintah saja. Ada tiga lembaga yang
dapat menjadi pelaksana, yaitu pemerintah, kerjasama antara pemerintah pemerintah-
masyarakat/swasta, atau implementasi kebijakan yang diswastakan. Kebijakan-kebijakan
yang bersifat monopoli sebaiknya diselenggarakan oleh pemerintah. Kebijakan yang
bersifat memberdayakan masyarakat sebaiknya diselenggarakan pemerintah bersama
masyarakat. Kebijakan yang bertujuan mengarahkan kegiatan masyarakat sebaiknya
diselenggarakan oleh masyarakat.
c. Tepat Target.
Ketepatan disini berkenaan dengan tiga hal. Pertama, target yang diintervensi sesuai
dengan apa yang telah direncanakan, tidak ada tumpang tindih dengan intervensi lain, dan
tidak bertentangan dengan dengan intervensi kebijakan lain. Kedua, target tersebut dalam
kondisi siap untuk diintervensi atau tidak. Ketiga, intervensi implementasi kebijakan
tersebut bersifat baru atau memperbaharui implementasi kebijakan sebelumya.
d. Tepat Lingkungan.
Ada dua lingkungan yang paling menentukan, yaitu lingkungan kebijakan dan lingkungan
eksternal kebijakan. Lingkungan kebijakan yaitu interaksi di antara lembaga perumus
kebijakan dan pelaksana kebijakan dengan lembaga lain yang terkait. Kemudian
lingkungan eksternal kebijakan yang terdiri atas public opinion, yaitu persepsi publik akan
kebijakan dan implementasi kebijakan; interpretive instution yang berkenaan dengan

15
interpretasi lembagalembaga strategis dalam masyarakat, seperti media massa, kelompok
penekan, kelompok kepentingan, dalam menginterpretasikan kebijakan dan implementasi
kebijakan; individuals, yakni individuindividu tertentu yang mampu memainkan peran
penting dalam menginterpretasikan kebijakan dan implementasi kebijakan.
e. Tepat Proses.
Secara umum, implementasi kebijakan publik terdiri atas tiga proses, yaitu :
1) Policy acceptance. Di sini publik memahami kebijakan sebagai sebuah “aturan main”
yang diperlukan untuk masa depan, di sisi lain pemerintah memahami kebijakan sebagai
tugas yang harus dilaksanakan.
2) Policy adoption. Di sini publik menerima kebijakan sebagai sebuah “aturan main” yang
diperlukan untuk masa depan, di sisi lain pemerintah menerima kebijakan sebagai tugas
yang harus dilaksanakan.
3) Strategic readiness. Di sini publik siap melaksanakan atau menjadi bagian dari
kebijakan, di sisi lain birokrat pelaksana siap menjadi pelaksana kebijakan.
Dari berbagai macam indikator efektivitas implementasi kebijakan yang diungkapkan
oleh para pakar di atas, dalam penulisan makalah ini kami memilih untuk menggunakan
pendapat yang dikemukakan oleh Nugroho (2012:107). Dengan memilih menggunakan teori
tentang pengukuran efektivitas implementasi kebijakan yang dikemukakan oleh Nugroho
tersebut karena dipandang sesuai, lebih tepat dan lebih mampu mengukur “Implementasi
kebijakan pengalihan kewenangan Sekolah Luar Biasa (SLB) dari Kabupaten/Kota ke
Pemerintah Provinsi”.
Dalam konsep penilaian efektivitas implementasi kebijakan dalam Kebijakan
Pengalihan Kewenangan SLB mengacu pada 5 hal, yaitu:
1) Ketepatan Kebijakan
Ketepatan kebijakan dinilai dari sejauh mana kebijakan pengalihan kewenangan Sekolah
Luar Biasa (SLB) dari Pemerintah Kabupaten/Kota kepada Pemerintah Provinsi ini telah
bermuatan hal-hal yang memang memecahkan masalah yang hendak dipecahkan.
2) Ketepatan Pelaksananya
Terdapat tiga lembaga yang dapat menjadi implementor, yaitu pemerintah, kerjasama antar
pemerintah dan masyarakat/swasta, atau implementasi kebijakan yang bersifat monopoli,
pemahaman Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi serta Dinas Pendidikan dan
Kebudayaan Kabupaten/Kota sebagi implementor terhadap kebijakan Pengalihan
Kewenangan SLB tersebut, serta melihat komunikasi antar implementor tersebut dalam
mengimplementasikan Kebijakan Pengalihan Kewenangan SLB ini.
3) Ketepatan Target

16
Yaitu apakah target yang diintervensi sesuai dengan yang direncanakan, tidak tumpang
tindih atau bertentangan dengan intervensi kebijakan lain, apakah target dalam kondisi siap
diintervensi atau tidak.
4) Ketepatan Lingkungan
Lingkungan dalam hal ini terbagi menjadi lingkungan internal kebijakan pengalihan
kewenangan Sekolah Luar Biasa (SLB) dari Pemerintah Kabupaten/Kota kepada Pemerintah
Provinsi yang berkaitan dengan interaksi diantara perumus kebijakan dan pelaksana
kebijakan dengan lembaga lain yang terkait. Dan lingkungan eksternal kebijakan pengalihan
kewenangan Sekolah Luar Biasa (SLB) dari Pemerintah Kabupaten/Kota kepada Pemerintah
Provinsi yang berkaitan dengan persepsi publik akan kebijakan dan implementasi kebijakan.
5) Ketepatan Proses
Terdiri atas tiga proses. Yaitu Policy Acceptance, publik memahami kebijakan sebagai
aturan dan pemerintah memahaminya sebagai tugas yang harus dilaksanakan. Policy
adoption, publik menerima kebijakan sebagai aturan dan pemerintah menerimanya sebagai
tugas yang harus dilaksanakan. Strategic Readiness, publik siap melaksanakan atau
menjadi bagian dari kebijakan, dan birokrat siap menjadi pelaksana kebijakan.
Dalam hal solusi/pemecahan masalah sebagaimana teori diatas maka dalam
solusi/pemecahan masalahnya dapat dilakukan sebagai berikut :
a. Ketepatan Kebijakan
Dinilai dari sejauh mana kebijakan yang ada telah bermuatan hal-hal yang memang
memecahkan masalah yang hendak dipecahkan. Dalam UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah dijelaskan bahwa Pendidikan Khusus menjadi kewenangan
Pemerintah Provinsi. Sebelum adanya UU Nomor 23 Tahun 2014, pengelolaan Pendidikan
Khusus atau SLB dapat dikatakan masih belum jelas, karena adanya regulasi yang saling
timpang tindih, yaitu PP Nomor 38 tahun 2007 dengan PP Nomor 17 tahun 2010. Pada PP
No 38 dijelaskan bahwa kewenangan pengelolaan SLB ada pada Pemerintah
Kota/Kabupaten, sedangkan pada PP No 17 dijelaskan kewenangan SLB ada pada
Pemerintah Provinsi. Hal inilah yang menyebabkan beberapa SLB pengelolaannya tidak
jelas karena antara Pemerintah Kabupaten/Kota dan Pemerintah Provinsi saling lempar
tanggung jawab, baik Pemerintah Provinsi maupun Pemerintah Kota/Pemerintah
Kabupaten sama-sama tidak maksimal dalam mengelolanya. Oleh karena itu kebijakan
pengalihan kewenangan SLB ini adalah untuk memperjelas status pengelolaan SLB dan
untuk memperbaiki kualitas layanan pendidikan khusus.
b. Ketepatan Pelaksana

17
Pelaksana dalam kebijakan pengalihan kewenangan SLB ini adalah Dinas Pendidikan dan
Kebudayaan Provinsi, dan dalam pelaksanaannya dibantu oleh Unit Pelaksana Teknis
Pada Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Hal ini dinilai sudah tepat karena Dinas
Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi merupakan lembaga yang memiliki kewenangan
dalam bidang pengelolaan pendidikan di tingkat Provinsi.
c. Ketepatan Target
Secara umum target atau sasaran langsung dalam kebijakan pengalihan kewenangan SLB
ini adalah SLB Kabupaten/Kota dan secara khusus aspek yang dialihkan dari masing-
masing sekolah adalah aset, siswa, guru baik PNS maupun Non-PNS, dan pendanaan.
Dengan dialihkannya semua aspek tersebut, maka pengelolaan SLB sepenuhnya ada di
Pemerintah Provinsi.
d. Ketepatan Lingkungan
Dalam hal ini terbagi menjadi lingkungan internal dan lingkungan eksternal. Lingkungan
internal disini terkait hubungan antara Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten/Kota
sebagai pemegang kewenangan atas SLB sebelum dilakukan alih kewenangan, dengan
Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi sebagai lembaga yang diberi tugas untuk
mengelola SLB Kabupaten/Kota setelah adanya alih kewenangan. Komunikasi atau interaksi
antar pelaksana tersebut dilakukan dengan cara kegiatan rapat koordinasi, sosialisasi, serta
mengadakan bintek atau pelatihan. Sedangkan interaksi antar pelaksana dengan sasaran
kebijakan yaitu SLB Kabupaten/Kota dilakukan dalam bentuk pembinaan, bintek/pelatihan
secara berkala, sosialisasi dan kegiatan lain terkait pengelolaan SLB.
Sedangkan ligkungan eksternal disini berkaitan dengan persepsi dari orang tua siswa SLB
Kabupaten/Kota, komunikasi yang dilakukan SLB Kabupaten/Koya kepada orang tua siswa,
dengan cara melakukan sosialisasi terkait adanya kebijakan pengalihan kewenangan SLB.
Meskipun tidak menimbulkan dampak secara langsung kepada siswa maupun orang tua
siswa, tetapi SLB Kabupaten/Kota berkewajiban untuk mensosialisasikan kebijakan tersebut
dengan tujuan agar orang tua siswa juga mengetahui peraturan atau ketentuan baru terkait
pengelolaan SLB Kabupaten/Kota.
e. Ketepatan Proses
Dalam hal ini dapat dilihat dari 3 proses yaitu Policy Acceptance (pemahaman kebijakan),
Policy adoption (penerimaan kebijakan), dan Strategic Readiness (kesiapan strategis). SLB
Kabupaten/Kota telah memahami adanya kebijakan pengalihan kewenangan SLB ini karena
telah dilakukan sosialisasi oleh Pemerintah Provinsi, setelah adanya pemahaman, SLB
Kabupaten/Kota menerima kebijakan pengalihan kewenangan SLB ini sebagai aturan yang
harus dipatuhi. Penerimaan tersebut dibuktikan oleh SLB Kabupaten/Kota dengan

18
melakukan pendataan internal terhadap aspek-aspek yang akan di alihkan, hal tersebut
merupakan bentuk persiapan bahwa SLB Kabupaten/Kota menerima kebijakan ini sebagai
aturan yang harus diikuti. Begitu pula dengan persiapan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan
Provinsi sebagai bentuk penerimaan kebijakan ini yaitu dengan melakukan penataan atau
perubahan atas susunan organisasi internal di lingungan Dinas dan UPT Dinas guna
menyesuaikan dengan kebutuhan di lapangan.

BAB IV
PENUTUP

Kesimpulan
1. Berdasarkan teori efektivitas implementasi kebijakan, implementasi kebijakan pengalihan
kewenangan Sekolah Luar Biasa (SLB) dari Kabupaten/Kota kepada Pemerintah Provinsi
dapat dikatakan sudah efektif karena kebijakan tersebut dapat menyelesaikan permasalahan
ketidakjelasan pengelolaan Sekolah Luar Biasa (SLB) di Provinsi pada umumnya dan di
Kabupaten/Kota pada khususnya.
2. Pelaksana dalam kebijakan tersebut dalam hal ini Dinas Pendidikan dan Kebudayaan
Provinsi sudah sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya yaitu dalam bidang pengelolaan
pendidikan, sehingga pelaksanaannya lebih efektif dan efisien.
3. Tercapainya semua target yang akan dialihkan dari Sekolah Luar Biasa (SLB) dari
Kabupaten/Kota ke Provinsi, meskipun masih ada permasalahan pada status guru Non PNS.
Pencapaian tersebut tidak luput dari kerjasama antar pihak baik di internal maupun eksternal
serta pemahaman dari masing-masing pihak terhadap kebijakan pengalihan kewenangan ini.

19
DAFTAR PUSTAKA

Keban, Yeremias T. 2014. Enam Dimensi Strategis Administrasi Publik Konsep, Teori, dan Isu.
Yogyakarta: Gava Media;
Miles & Huberman. 1992. Analisis Data Kualitatif. Jakarta: UI-Press;
Nugroho, D Riant. 2012. Public Policy. Jakarta: PT Elex Media Komputindo;
Pasolong, Harbani. 2011. Teori Administrasi Publik. Bandung: Alfabeta;
Tahir, Arifin. 2014. Kebijakan Publik & Transparansi Penyelenggaraan Pemerintah Daerah.
Bandung: Alfabeta;
Syafiie, Inu Kencana. 2006. Ilmu Administrasi Publik. Jakarta: Rineka Cipta;
UU Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah;
PP Nomor 17 Tahun 2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan;
PP Nomor 38 Tahun 2007 tentang ; Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah,
Pemerintahan Daerah Provinsi, Dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota

20

You might also like