Download as pdf or txt
Download as pdf or txt
You are on page 1of 14

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Telaah Pustaka

2.1.1 Grand Theory

2.1.1.1 Signalling Theory

Teori sinyal dikembangkan oleh Ross pada tahun 1977, menyatakan bahwa

pihak eksekutif perusahaan memiliki informasi lebih baik mengenai perusahaannya

akan terdorong untuk menyampaikan informasi tersebut kepada calin investor agar

harga saham perushaaannya meningkat. Dalam signalling theory dimana

perusahaan menginformasikan pada pasar tentang keadaan mereka, tentang

bagusnya kinerja masa depan yang diberikan oleh perusahaan untuk calon investor.

Calon investor dapat mengetahui laporan keuangan suatu perusahaan dan dapat

mengambil keputusan untuk menginvestasikan sahammnya di perusahaan tersebut

atau tidak (Laely Purnamasari, 2017).

Menurut Jogiyanto (2013:392) menjelaskan bahwa teori sinyal

mengemukakan mengenai pentingnya informasi yang dikeluarkan oleh perusahaan

terhadap keputusan investasi. Informasi merupakan unsur penting bagi investor dan

pelaku bisnis karena informasi menyajikan keterangan catatan dan gambaran masa

lalu, saat ini maupun masa yang akan datang bagi perusahaan dan pasar modal.

Informasi yang lengkap dan relevan serta akurat dan tepat waktu diperlukan
investor pasar modal sebagai alat untuk menganalisis sebelum mengambil

keputusan untuk berinvestasi. Teori sinyal didasarkan pada asumsi bahwa

informasi yang diterima dari masing-masing pihak tidak sama. Dengan kata lain,

teori sinyal berkaitan dengan asimetri informasi. Teori sinyal menunjukkan adanya

asimetri informasi antara pihak manajemen perusahaan dengan pihak yang

berkepentingan terhadap informasi tersebut.

Kondisi lingkungan ekonomi makro yang berfluktuatif seperti naik

turunnya inflasi, suku bunga dan nilai tukar (Kurs) merupakan sinyal yang menjadi

penyebab perubahan harga saham suatu perusahaan, sehingga perubahan tersebut

berdampak pada return berupa capital gain yang ikut mengalami perubahan pula.

Saat inflasi, suku bunga dan nilai tukar mengalami perubahan, maka akan menekan

harga saham, hal ini terjadi sebagai respond dari ketidakstabilitas ekonomi makro

tersebut. Dalam teori portofolio APT (Arbitrage Pricing Theory), kondisi tersebut

dapat mempengaruhi keuntungan dari saham yang selanjutnya akan merubah

portofolio saham investor yang pada akhirnya dapat mempengaruhi harga saham.

sehingga dapat dikatakan bahwa profitabilitas atau keuntungan merupakan sinyal

yang dapat mempengaruhi harga saham.

Penggunaan teori sinyal pada informasi tentang ROA atau seberapa besar

tingkat laba yang didapat dari aset yang digunakan yaitu ketika ROA bernilai tinggi

maka ini menunjukkan kondisi yang baik sehingga menjadi sinyal yang baik pula

bagi para investor. Dikarenakan dengan nilai ROA yang tinggi berarti kinerja

keuangan suatu perusahaan tersebut baik, maka akan memberikan ketertarikan


pada investor untuk menginvestasikan dananya dalam bentuk saham. kemudian

dengan banyaknya permintaan pada saham akan membuat harga saham meningkat

dan return berupa capital gain akan meningkat pula.

2.1.1.2 Arbitrage Pricing Theory (APT)

Tingkat return saham merupakan salah satu hal yang dapat mendorong

investor untuk berinvestasi. Return merupakan imbalan atas keberaninan investor

untuk mengambil resiko atas investasi yang dilakukan, dan teori yang mencoba

menerangka bagaimana suatu aset dinilai oleh pasar atau bagaimana menentukan

jumlah pengembalian yang layak atas suatu investasi yaitu arbitrage pricing

theory. Teori tersebut dirumuskan oleh Ross pada tahun 1976, teori ini pada

dasarnya menggunakan pemikiran bahwa dua invesasi dengan karakteristik yang

identik sama tidak dapat dijual dengan harga yang berbeda. Konsep yang

dipergunakan adalah hukum satu harga (the law of one price). Ketika aset dengan

karakteristik yan sama dijual dengan harga yang berbeda, maka akan memberi

kesempatan untuk melakukan arbitrase yaitu membeli aset dengan harga rendah

dan pada saat yang sama menjualnya dengan harga yang lebih tinggi agar

mendapatkan keuntungan yang bebas resiko (Husnan, 2015:173).

Arbitrage Pricing Theory (APT) menjelaskan hubungan antara resiko dan

pengembalian yang diharapkan, tetapi menggunakan asumsi dan prosedur berbeda.

Tiga asumsi yang mendasar model APT adalah: 1) pasar modal dalam kondisi

persaingan sempurna. 2) investor menyukai kekayaan yang lebih pasti daripada

kurang pasti. 3) pendapatan asset dapat dilihat mengikuti model faktor (Fahmi,
2015:199). Menurut Husnan menjelaskan bahwa adanya asumsi yang unik pada

APT yaitu bahwa pemilik modal dapat melakukan short selling secara tidak

terbatas dan APT dapat merumuskan tingkat pengembalian suatu saham yang

dipengaruhi oleh lebih dari satu faktor. Faktor yang dimaksud dalam APT ialah

kondisi makroekonomi, namun APT tidak menjelaskan faktor apa saja yang

mempengaruhi pengambalian atau return. APT akan sangat berguna jika kita bisa

(1) mengidentifikasikan tidak terlalu banyak faktor-faktor makro ekonomi, (2)

mengukur expected return dari masing-masing faktor tersebut, dan (3) mengukur

kepekaan masing-masing saham terhadap faktor –faktor tersebut (Husnan,

2015:185-189). Kunci dalam analisis ini ialah apakah informasi yang

dipublikasikan tersebut mengandung unsur surprise ataukah tidak, surprise

tersebut dapat bersifat positif dan dapat pula bersifat negatif.

Menurut Gumanti (2011:162) menjelaskan bahwa penggunaan faktor risiko

dalam model APT diharuskan memiliki karakteristik seperti:

1. Setiap faktor resiko harus memiliki pengaruh menyebar pada return sekuritas.

Karakteristik khusus perusahaan bukan meupakan faktor resiko.

2. Faktor-faktor resiko tersebut harus mempengaruhi return harapan, yang berarti

mereka harus memiliki harga bukan nol (non-zero price). Isu-isu tersebut harus

ditetapkan secara empiris dan secara statistik untuk menganalisis return

sekuritas untuk melihat faktor-faktor mana yang secara keseluruhan

mempengaruhi return.
3. Pada setiap awal periode, faktor-faktor resiko harus tidak dapat diprediksi

terhadap keseluruhan pasar.

Keterangan tersebut menjadikan peneliti hanya memasukkan tiga faktor

makroekonomi yang mempengaruhi pengembalian, faktor tersebut ialah inflasi,

suku bunga dan nilai tukar.

2.1.2 Return Saham

Berdasarkan teori pasar modal, return ialah tingkat pengembalian yang

didapat para investor dari investasi saham yang diperdagangkan di pasar modal

(saham perusahaan go public). Dan menurut Fahmi (2013:152) return saham adalah

keuntungan yang diharapkan oleh seorang investor di kemudian hari terhadap

sejumlah dana yang telah ditempatkannya. Didalam pasar saham tidak selalu

menjamin bahwa return pasti dibagikan kepada investor, tetapi ada beberapa return

saham yang menyebabkan pemodal atau investor mendapatkan keuntungan yaitu

deviden, saham bonus, dan capital gain.

Pada umumnya terdapat dua jenis return, yaitu: 1) return realisasi,

merupakan return yang telah terjadi. Return realisasi dihitung menggunakan data

historis. Return realisasi penting karena digunakan sebagai salah satu pengukur

kinerja dari perusahaan dan juga berguna sebagai dasar penentuan return ekspektasi

serta resiko di masa datang. 2) return ekspektasi, merupakan return yang diharapkan

akan diperoleh oleh investor di masa mendatang. Berbeda dengan return realisasi

yang sifatnya telah terjadi. Return ekspektasi sifatnya belum terjadi dan dapat
dihitung berdasar nilai ekspektasi masa depan, nilai-nilai return historis atau dengan

model return ekspektasi yang ada (Jogiyanto, 2014:263).

Komponen suatu pengembalian atau return sendiri menurut Jogiyanto

(2017:236) dibagi menjadi 2 (dua) jenis yaitu capital gain (capital loss) dan yield.

capital gain merupakan selisih dari harga investasi sekarang relatif dengan harga

periode sebelumnya. Sedangkan yield ialah persentase penerimaan kas periodik

terhadap harga investasi periode tertentu dari suatu investasi saham.

Menurut Brigham (2012:215) menjelaskan bahwa return saham ialah selisih

antara jumlah yang diterima dengan jumlah yang diinvestasikan, dibagi dengan

jumlah yang diinvestasikan, yang artinya semakin tinggi perubahan harga saham

maka akan semakin tinggi return yang dihasilkan. Return inilah yang merupakan

pengukuran seberapa besar keuntungan yang didapatkan investor atas investasi yang

dilakukan.

Formula pengukuran return saham dapat dilihat sebagai berikut (Jogiyanto,

2017:236):

𝑅𝑒𝑡𝑢𝑟𝑛 𝑆𝑎ℎ𝑎𝑚 = 𝐶𝑎𝑝𝑖𝑡𝑎𝑙 𝐺𝑎𝑖𝑛 (𝐿𝑜𝑠𝑠) + 𝑦𝑖𝑒𝑙𝑑

Jika tanpa mengikutsertakan yiel atau hanya perkembangan harga saham,

maka perhitungannya adalah sebagai berikut:

Pt − (Pt−1 )
R=
(Pt−1 )
Jika pada saat ini harga saham (Pt ) lebih tinggi dari harga saham sebelumnya

(Pt-1) maka investor mendapatkan keuntungan dari modalnya (capital gain), begitu

pula sebaliknya.

Dalam penelitian ini maka peneliti memilih menggunakan capital gain (loss)

sebagai proksi dari return saham, hal ini mengingat perusahaan tidak selalu

membagikan deviden kas secara periodik kepada pemegang sahamnya untuk itu

return saham dapat dihitung dengan capital gain (loss) karena naik turunnya harga

saham dapat dijual oleh investor saat dibutuhkan.

2.1.3 Inflasi

Menurut Badan Pusat Statistik (BPS) inflasi di artikan sebagai kecenderungan

naiknya harga barang dan jasa yang pada umumnya berlangsung secara terus

menerus. Jika harga barang dan jasa di dalam negeri meningkat, maka inflasi

mengalami kenaikan. Naiknya harga barang dan jasa tersebut menyebabkan turunnya

nilai uang. Dengan demikian, inflasi bisa juga diartikan sebagai penurunan nilai uang

terhadap nilai barang dan jasa secara umum (bps.go.id).

Menurut Fahmi (2015:61) inflasi merupakan suatu kejadian yang

menggambarkan situasi dan kondisi dimana harga barang mengalami kenaikan dan

nilai mata uang mengalami pelemahan. Naiknya harga barang ini bukanlah terjadi

pada satu atau dua barang, melainkan kenaikan harga ini terjadi pada semua barang

atau mengakibatkan kenaikan harga pada barang lainnya (Syamsuddin , 2016:12).

Inflasi yang cukup tinggi mempunyai dampak buruk bagi individu, masyarakat

ataupun kegiatan ekonomi secara menyeluruh. Penurunan daya beli individu dan
masyarakat khususnya yang mempunyai pendapatan tetap ini merupakan salah satu

dampaknya, yang dapat diartikan pula sebagai penurunan kemakmuran ekonomi

masyarakat. Dengan turunnya daya beli akan mengakibatkan menurunnya

permintaan barang dan jasa tertentu dan kemudian akan mempengaruhi investasi.

Terjadinya inflasi ini akan menimbulkan gejolak mengenai tuntutan kenaikan upah

buruh dan memperburuk posisi perusahaan, sehingga investasi menjadi berkurang.

Investasi berkurang akan menjadikan berkurang pula produktivitas dan selanjutnya

menurunkan pertumbuhan ekonomi. Oleh karena itu, pemerintah melalui instrumen

yang dimilikinya harus dapat mengendalikan inflasi pada tingkat yang dapat

menggairahkan iklim ekonomi negara (Syamsuddin, 2016:25).

Berdasarkan skala tingkat inflasi, ada 4 (empat) kategori skala yang dapat

digunakan (Fahmi, 2015:63), yaitu:

1. Inflasi ringan (kurang dari 10% per tahun). Jenis inflasi ini dikenal sebagai

inflasi ringan karena skala inflasi dibawah 10%, dan kondisi ini dialami oleh

indonesia pada era sekarang (pasca reformasi) dan masa orde baru.

2. Inflasi sedang (antara 10-30% per tahun). Inflasi yang dianggap tidak efektif

bagi kelangsungan ekonomi suatu negara karena mengganggu bahkssan

mengancam pertumbuhan ekonomi.

3. Inflasi berat (antara 30-100% per tahun). Inflasi berat ialah kondisi dimana

sektor-sektor ekonomi sudah mulai lumpuh (selain yang dikuasai negara).


4. Hiperinflasi (diatas 100% per tahun). Inflasi ini terjadi pada masa perang dunia

ke-2 (1939-1945), uang terpaksa dicetak secara berlebihan untuk mencukupi

keperluan perang.

Fahmi menjelaskan bahwa kondisi inflasi yang kecil atau dalam posisi satu

digit, bahkan dibawah 5% per tahun merupakan kondisi inflasi yang dianggap oleh

beberapa pihak memberikan kenyamanan bagi banyak kalangan bisnis, seperti

kisaran inflasi yang berada diantara 2-2,5% per tahaun.

Perbedaan dari skala inflasi diatas berguna untuk melihat dampak inflasi yang

bersangkutan. Menurut M. Suparmoko (2014:382-383) “inflasi yang ringan biasanya

berdampak positif dalam arti dapat mendorong perekonomian untuk berkembang

lebih baik yaitu meningkatkan pendapatan nasional dan membuat orang menjadi

bergairah untukk melakukan investasi. Sebaliknya dalam masa inflasi yang parah

yaitu saat terjadi hiperinflasi, keadaan perekonomian menjadi kacau balau, dan

perekonomian menjadi lesu, orang menjadi tidak bersemangat untuk melakukan

investasi”.

Menurut fahmi, jika dilihat dari skala penilaian inflasi, banyak pihak

(khususnya investor dan manajemen) yang mengharapkan untuk berada dalam

kategori inflasi ringan, sedangkan yang paling ditakuti adalah berada dalam kategori

hiperinflasi. Hal ini dikarenakan ketika pada kondisi hiperinflasi tidak sedikit rencana

yang tidak bisa dijalankan, bahkan perubahan kebijakan dan pengalihan atas

keputusan aset harus dilaksanakan. Pada saat hiperinflasi, melalui peningkatan harga

100% atau lebih per tahun, terdapat kecenderungan orang lebih tertarik pada aset
keras seperti real estate dan logam mulia dibandingkan aset keuangan seperti saham

dan obligasi dalam penilaian investasi mereka.

Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa inflasi ialah kenaikan harga

barang maupun jasa secara terus menerus yang berdampak pada individu, masyarakat

dan perusahaan akibat penurunan daya beli.

Merujuk pada data Badan Pusat Statistik, maka dalam penelitian ini Indeks

Harga Konsumen (IHK) digunakan sebagai indikator untuk menghitung inflasi.

Indeks Harga Konsumen adalah indeks yang menghitung rata-rata perubahan harga

dari suatu paket barang dan jasa yang dikonsumsi oleh rumah tangga dalam kurun

waktu tertentu. Perubahan IHK dari waktu ke waktu menggambarkan tingkat

kenaikan (inflasi) atau tingkat penurunan (deflasi) dari barang dan jasa. Dengan

tersedianya data IHK bulanan, triwulan, atau per semester, maka dapat menghitung

inflasi setiap bulannya. Berikut ini ialah formula dari inflasi dengan indikator IHK

(Sumber: Badan Pusat Statistik):

Keterangan:
Laju inflasi periode t
Indeks Harga Konsumen pada periode t
Indeks Harga Konsumen pada periode sebelum t
2.1.4 Suku Bunga BI

Menurut Sunariyah (2013), suku bunga ialah harga dari pinjaman yang

dinyatakan sebagai persentasi uang pokok per unit waktu. Suku bunga merupakan

pembayaran bunga tahunan dari suatu pinjaman, dalam bentuk persentase dari

pinjaman yang diperoleh dari jumlah bunga yang diterima tiap tahun dibagi dengan

jumlah pinjaman dan tingkat suku bunga merupakan harga yang harus dibayarkan

oleh peminjam untuk memperoleh dana dari pemberi pinjaman untuk jangka waktu

tertentu, tingkat suku bunga juga merupakan rasio pengembalian sejumlah investasi

sebagai bentuk imbalan yang diberikan kepada investor (Astuti et al, 2013).

BI rate merupakan kebijakan suku bunga yang mencerminkan sikap

kebijakan moneter Bank Indonesia yang kemudian diumumkan kepada publik.

Dewan Gubernur akan mengumumkan pada setiap rapat bulanan Dewan Gubernur

yang diimplementasikan pada operasi moneter yang dilakukan oleh Bank Indonesia

melalui pengelolaan likuidasi (liquidity management) di pasar uang untuk mencapai

sasaran operasional kebijakan moneter.

Secara umum, Bank Indonesia akan menaikkan BI rate jika inflasi ke depan

diperkirakan melebihi target yang telah ditetapkan dan sebaliknya. Dalam hal ini,

Bank Indonesia telah melakukan penguatan kerangka operasi moneter dengan

memperkenalkan suku bunga acuan atau suku bunga BI7-day (Reverse) Repo Rate,

yang merupakan suku bunga acuan baru yang berlaku sejak 19 Agustus 2016.

Penggunaan suku bunga acuan BI7-day (Reverse) Repo Rate sebagai suku

bunga kebijakan baru, diharapkan akan berdampak pada: 1) memperkuat sinyal pada
kebijakan moneter dikarenakan BI7-day (Reverse) Repo Rate sebagai acuan utama

di pasar keuangan. 2) meningkatkan efektivitas transmisi kebijakan moneter melalui

pengaruhnya terhadap pergerakan suku bunga pasar uang dan suku bunga perbankan.

3) terbentuknya pasar keuangan yang lebih dalam, khususnya transaksi dan

pembentukan struktur suku bunga di pasar uang antar bank (PUAB) untuk tenor 3-

12 bulan.

Secara umum suku bunga yang diberlakukan digunakan sebagai stabilisator

nilai tukar mata uang atau sebagai pengendali uang yang beredar dan sekaligus

sebagai pengendali inflasi. Dan tingginya suku bunga menyebabkan kecenderungan

orang akan lebih banyak memilih untuk menabungkan uangnya dibandingkan dengan

melakukan pinjaman uang. Sehingga jumlah uang yang beredar semakin sedikit dan

harga komoditas pun turun serta inflasi dapat diatasi, dana tersedia untuk kredit.

Namun sebaliknya, jika uang beredar mengendap lebih banyak pada bank atau

lembaga keuangan lainnya menyebabkan laju investasi melambat. Tetapi jika suku

bunga diturunkan, ini menyebabkan kecenderungan orang untuk menggunakan

uangnya dan melakukan investasi daripada menabung di bank (Syamsuddin,

2016:13). Dalam hal ini pemerintah harus berhati-hati untuk selalu menjaga agar

suku bunga tidak meningkat, sebab akan mendorong para pelaku ekonomi untuk

cenderung lebih banyak memegang aset dalam bentuk obligasi dan deposito atau

mengurangi saham (Fahmi, 2015:72). Kemudian, jika terjadi kenaikan suku bunga

yang tidak wajar, menyebabkan kesulitan bagi dunia usaha dalam pembayaran bunga

dan kewajiban, sehingga akibatnya menambah beban perusahaan dan secara


langsung mengurangi profit perusahaan. Dengan peristiwa ini maka suku bunga ialah

ukuran biaya modal yang dikeluarkan perusahan dengan menggunakan dana pemilik

modal. Karena tingkat suku bunga pinjaman mencerminkan biaya pinjaman bisnis

dan ini mempengaruhi kinerja bisnis dalam 2 (dua) cara: 1) tingkat suku bunga

mempengaruhi penentuan harga dimana bisnis akan membayar pinjaman yang

diterima. 2) dengan mengansumsikan ceteris paribus (segala sesuatu dianggap

kontan), maka suku bunga yang rendah berarti berkurangnya biaya bunga dan

meningkatnya profit (Murhadi, 2015:74).

Dari penjelasan diatas maka dapat disimpulkan bahwa suku bunga ialah

kebijakan yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia dan sebagai pengendali inflasi dan

investasi dan merupakan indikator keputusan yang akan diambil seseorang mengenai

investasi atau menabung.

2.1.5 Nilai Tukar (Kurs)

Kurs ialah nilai tukar sebuah mata uang dengan mata uang lainnya,

biasanya nilai tukar ini dipergunakan dalam kegiatan transaksi yang melibatkan dua

negara atau lebih. Menurut Sukirno (2010: 397) menjelaskan bahwa nilai tukar atau

kurs ini menunjukkan harga atau nilai mata uang sebuah negara yang dinyatakan

dalam suatu nilai mata uang negara lain. Kurs ini juga dapat diartikan sebagai jumlah

uang domestik yang diperlukan, ialah banyaknya jumlah uang rupiah yang

diperlukan. Harga yang berbeda dalam pertukaran kedua mata uang, mengakibatkan

nilai atau harga antar kedua mata uang tersebut dibandingkan atau disebut exchange

rate (Nopirin, 2012:163).


Ketika mata uang suatu negara naik terhadap nilai tukar mata uang negara

lain maka, peristiwa ini dikatakan apresiasi. Namun jika nilai tukar mata uang suatu

negara turun terhadap nilai tukar mata uang lain, hal ini dikatakan mata uang suatu

negara mengalami depresiasi. Kondisi nilai tukar atau kurs yang cenderung tidak

menetap atau berubah-ubah ini dapat menyebabkan investor berinvestasi dalam

bentuk mata uang asing, begitu pula spekulan demi mendapatkan keuntungan dalam

perubahan yang cepat. Nilai tukar terhadap mata uang asing ini memiliki dampak

negatif pada ekonomi dan pasar modal, yakni dengan terjadinya penurunan pada nilai

tukar rupiah terhadap mata uang asing maka menyebabkan meningkatnya biaya

impor bahan baku yang nantinya digunakan dalam produksi dan penurunan ini juga

menyebabkan peningkatan pada suku bunga walaupun dapat meningkatkan nilai

ekspor (Sunariyah, 2011:23). Dan Ketidakstabilan fluktuatif nilai tukar ini bisa

mengurangi tingkat kepercayaan investor terhadap perekonomian indonesia. Dan

pastinya akan berdampak pada pasar saham yang mana investor akan cenderung

menarik danya sehingga ini berimbah pada harga saham yang menurun.

Dari penjelasan diatas dapat simpulkan bahwa nilai tukar ini cukup penting

karna nilai tukar ialah perbedaan harga mata uang antar negara yang kemudian akan

berpengaruh pada kegiatan ekspor-impor dan investasi.

Nilai tukar uang atau kurs valuta di klasifikasikan menjadi 4 (empat) jenis

(Sadono Sukirno, 2011:411), yaitu:

1. Selling Rate (Kurs Jual), merupakan kurs yang ditentukan oleh suatu bank

untuk penjualan valuta asing tertentu pada saat tertentu.

You might also like