Download as pdf or txt
Download as pdf or txt
You are on page 1of 16

Analysis of the Mechanism of the Implementation Phase of the Pasar Kesesi

Public Facilities Development (Case Study of the Build Transfer Operate


(BSG)/Build Transfer Operate (BTO) in Pekalongan Regency Government)

Analisis Mekanisme Tahap Pelaksanaan Pembangunan Fasilitas Umum


Pasar Kesesi (Studi Kasus Kontrak Bangun Serah Guna (BSG)/Build
Transfer Operate (BTO) Di Pemerintah Daerah Kabupaten Pekalongan)

Dwi Retno Ayu Novianti


Prodi Administrasi Publik, Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik, Universitas Airlangga
Alamat : Jl. Dharmawangsa Dalam, Airlangga, Kec. Gubeng, Kota SBY, Jawa Timur
60286
Email : dwi.retno.ayu-2019@fisip.unair.ac.id

Abstract
Pekalongan Regency is an area that makes efforts to optimize regional assets in the
form of land that has economic value and exchange rates. In an effort to optimize
land assets that have high economic value and in the context of improving public
facilities, the Pekalongan Regency Government develops a pattern of government
and private cooperation, this can be done in line with the demands of regional
autonomy to increase regional financial capacity so that they are able to finance
regional development activities. This is in accordance with the regional authority
as regulated in Article 194 and Article 195 of Law Number 32 of 2004. Pekalongan
Regency is also one of the regions that participated in organizing the Handover
Agency/Build Transfer Operate (BTO) agreement, because the region still has
several obstacles. in providing public facilities for the community. The construction
and renovation of the Kesesi Traditional Market was carried out as a result of a
large fire that occurred in mid 2008 so that many traders were affected and lost their
selling stalls. The purpose of this discussion is to explore the stages carried out by
the Pekalongan Regency Government and PT Gala Tama related to the Build
Handover Cooperation. Previously there were 3 stages in the cooperation process,
namely the first stage in the form of project development actions carried out by the
investor, the second stage in the form of operating a building project which is the
rights and authority of the investor, and the third stage in the form of the act of
submitting a building project from the investor to the land owner. It is hoped that
this analysis can improve the quality of performance from the government and the
private sector for future cooperation.

Keywords: BSG, Pekalongan Regency, Stages, Cooperation

Abstrak
Kabupaten pekalongan adalah daerah yang melakukan upaya optimaliasi aset
daerah yaitu berupa tanah yang mempunyai nilai ekonomi dan nilai tukar. Dalam
pengupayaan optimalisasi asset tanah yang mempunyai nilai ekonomi tinggi dan
dalam rangka peningkatan fasilitas umum Pemerintah Daerah Kabupaten
Pekalongan mengembangkan pola kerjasama pemerintah dan swasta, hal tersebut
dapat dilakukan sejalan dengan tuntutan otonomi daerah untuk meningkatkan
kemampuan keuangan daerah agar mampu membiayai kegiatan pembangunan
daerah. Hal ini sesuai dengan kewenangan daerah sebagaimana diatur dalam Pasal
194 dan Pasal 195 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004. Kabupaten Pekalongan
juga menjadi salah satu daerah yang ikut menyelenggarakan perjanjian Badan Serah
Guna/Build Transfer Operate (BTO), karena daerahnya masih memiliki beberapa
kendala dalam penyediaan fasilitas umum bagi masyarakat. Pembangunan dan
renovasi Pasar Tradisional Kesesi dilakukan sebagai akibat dari adanya kebakaran
besar yang terjadi pada pertengahan tahun 2008 sehingga banyak pedagang yang
terkena imbasnya dan kehilangan lapak berjualan. Tujuan dari adanya pembahasan
ini adalah menelusuri tahapan-tahapan yang dilakukan oleh pemerintah kabuptaen
pekalongan dan PT Gala Tama terkait dengan kerjasama Bangun Serah Guna.
sebelumnya terdapat 3 tahapan dalam proses kerjasama yaitu yaitu tahap pertama
berupa tindakan pembangunan proyek yang dilakukan oleh pihak investor, tahap
kedua berupa pengoperasian proyek bangunan yang merupakan hak dan wewenang
investor, serta tahap ketiga berupa tindakan penyerahan proyek bangunan dari
investor kepada pihak pemilik lahan. Diharapkan dengan adanya analisis ini dapat
memperbaiki kualitas kinerja dari pihak pemerintah maupun pihak swasta untuk
kerjasama mendatang.

Kata Kunci : BSG, Kabupaten Pekalongan, Tahap-tahap, Kerjasama

Latar Belakang
Indonesia adalah negara kesatuan yang penyelenggaraan pemerintahannya
mengimplementasikan asas desentralisasi, dekonsentrasi dan tugas pembantuan.
Desentraslisasi diwujudkan dalam penyerahan wewenanng pemerintah oleh
pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan
pemerintah menjadi urusan rumah tangganya sendiri. Dalam pemberian
kewenangan yang lebih luas kepada daerah, hal tersebut memberikan keleluasaan
daerah untuk mengembangkan potensi dan kapasitas dari daerah tersebut. untuk
mengembangkan kapasitas daerah diperlukan strategi yang tepat agar
pengembangan daerah dapat berlajan secara efektif. Selain pemerintah, juga
diperlukan partisipasi masyarakat dalam hal pengembangan potensi desa. Karena
aspek pemerintah saja tidak akan bisa mengembangkan potensi daerah tanpa
dukungan dari masyarakat, selain karena sumber daya manusia yang terbatas juga
dalam hal teknologi yang mungkin kurang memadai untuk mengembangkan potensi
daerah.

sejalan dengan penjelasan diatas, dapat ditarik garis besarnya bahwa pemerintah
dalam hal mengembangkan potensi daerah diharuskan berkolaborasi dengan
masyarakat. dalam hal ini masyarakat yang dimaksud adalah pihak swasta yang
notabene memiliki teknologi yang canggih dan masyarakat yang notabene adalah
penduduk dari daerah tersebut. menjalin kerjasama dengan pihak swasta adalah
sebagai salah satu upaya untuk mewujudkan prinsip utama otonomi daerah yaitu
meningkatkan peran serta masyarakat, masyarakat didorong untuk secara aktif
memberikan kontribusinya, tidak saja dalam menentukan arah dan substansi
kebijakan pemerintah daerah, tapi juga dalam perwujudannya. Dengan kata lain,
masyarakat serta pihak sawasta adalah kekuatan yang bisa diandalkan dalam
manajemen kebijakan publik. Menguatnya arus globalisasi, maka dalam
pengelolaan pemerintahanpun telah terjadi pergeseran paradigma dari rule
government ke good governance.

telah dijelaskan dalam undang-undang Nomor 32 tahun 2004 tentang pemerintahan


daerah, khususnya pasal 194 dan pasal 195, telah membuka peluang bagi
pemerintah daerah untuk melakukan kerjasama dengan berbagai pihak, baik
pemerintah daerah lain maupun pihak ketiga yaitu departemen/lembaga non
departemen atau sebutan lain, perusahaan swasta yang berbadan hukum, BUMN,
BUMD, koperasi, yayasan dan lembaga lainnya di dalam negeri yang berbadan
hukum. Sejalan dalam hal tersebut, daerah pekalongan merupakan salah satu
wilayah yang mengimplementasikan aturan dan kebijakan pemerintah tentang
kerjasama dengan berbagai pihak dalam hal pengembangan potensi daerah.
Kabupaten pekalongan adalah daerah yang melakukan upaya optimaliasi aset
daerah yaitu berupa tanah yang mempunyai nilai ekonomi dan nilai tukar

Dalam pengupayaan optimalisasi asset tanah yang mempunyai nilai ekonomi tinggi
dan dalam rangka peningkatan fasilitas umum Pemerintah Daerah Kabupaten
Pekalongan mengembangkan pola kerjasama pemerintah dan swasta, hal tersebut
dapat dilakukan sejalan dengan tuntutan otonomi daerah untuk meningkatkan
kemampuan keuangan daerah agar mampu membiayai kegiatan pembangunan
daerah. Hal ini sesuai dengan kewenangan daerah sebagaimana diatur dalam Pasal
194 dan Pasal 195 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004.

Perjanjian Badan Serah Guna/Build Transfer Operate (BTO) saat ini menjadi
perjanjian yang sering kali diminati oleh masyarakat. Alasannya adalah karena
perjanjian tersebut dirasakan dapat memberi keuntungan baik bagi pihak pemilik
lahan (Pemerintah Daerah) dan pihak investor. Bagi daerah, membangun proyek
melalui perjanjian Badan Serah Guna/Build Transfer Operate (BTO) ini dapat
mendatangkan manfaat yang sangat besar, sebab Pemerintah Daerah dapat
menyediakan fasilitas yang dibutuhkan dengan tetap melaksanakan efisiensi pada
APBD sehingga anggaran yang tersedia tersebut dapat dialihkan untuk memenuhi
kebutuhan di bidang lainnya. Kabupaten Pekalongan juga menjadi salah satu daerah
yang ikut menyelenggarakan perjanjian Badan Serah Guna/Build Transfer Operate
(BTO), karena daerahnya masih memiliki beberapa kendala dalam penyediaan
fasilitas umum bagi masyarakat. Selain itu, perjanjian Badan Serah Guna/Build
Transfer Operate (BTO) juga dimanfaatkan oleh Pemerintah Kabupaten
Pekalongan sebagai perjanjian yang dapat mewujudkan visi dan misi dari
Kabupaten Pekalongan.

Dalam pelaksanaan roda pemerintahan dan pembangunan, sesuai dengan Rencana


Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Tahun 2006-2011, Pemerintah
Kabupaten Pekalongan mempunyai visi, yakni “Terwujudnya kehidupan
masyarakat Kabupaten Pekalongan yang demokratis, maju, adil dan sejahtera.”
Sementara itu, untuk menghadapi era globalisasi dan tuntutan demokratisasi, maka
dapat dijabarkan ke dalam 8 (delapan) misi, yaitu meningkatkan perilaku
pemerintah dan masyarakat yang demokratis, dinamis dan agamis serta adanya
penguatan lembaga pemerintahan dan lembaga kemasyarakatan, meningkatkan
pelaksanaan good governance yang menjamin peningkatan kualitas pelayanan
publik, menjamin rasa keadilan dan tumbuhnya kepercayaan, serta partisipasi
masyarakat, Meningkatkan penyediaan dan pemerataan sarana dan prasarana publik,
Meningkatkan pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat (kesehatan, pendidikan dan
kesejahteraan) dan sarana pengembangan, Menegakkan perundangan dan Peraturan
Daerah yang mencerminkan adanya supremasi hukum dan keadilan serta
perlindungan terhadap Hak Asasi Manusia, Meningkatkan pertumbuhan ekonomi
daerah yang bertumpu pada pengembangan potensi ekonomi lokal dan dunia usaha,
Meningkatkan pengelolaan sumber daya alam yang berorientasi pada pelestarian
lingkungan dan pemanfaatan sebesar-besarnya bagi kesejahteraan rakyat,
Mengembangkan pariwisata dan budaya lokal. Terkait dengan pelaksanaan
pembangunan fasilitas umum dengan kontrak BOT yang dilaksanakan di
Pemerintah Daerah Kabupaten Pekalongan setelah dikeluarkannya peraturan
perundang-undangan yang mengatur BOT, penulis akan mencoba menguraikan
satu obyek perjanjian yaitu pelaksanaan pembangunan Pasar Tradisional Kesesi.

Kerangka Konseptual

A. Landasan peraturan
Dalam pengimplementasian kerjasama bangun serah guna kabupaten pekalongan,
terdapat landasan peraturan yang mendasari kerjasama tersebut, yaitu diatur dalam
peraturat pusat Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Pasal 194 dan Pasal 195
Undang-Undang RI Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah,
Peraturan Pemerintah RI Nomor 6 Tahun 2006 tentang Pengelolaan Barang Milik
Negara/Daerah, Peraturan Menteri Dalam Negeri RI Nomor 22 Tahun 2009 tentang
Petunjuk Teknis Tata Cara Kerja Sama Daerah, Peraturan Presiden RI Nomor 67
Tahun 2005 tentang Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha Dalam
Penyediaan Infrastruktur, Peraturan Pemerintah RI Nomor 50 Tahun 2007 tentang
Tata Cara Pelaksanaan Kerja Sama Daerah, Peraturan Menteri Dalam Negeri RI
Nomor 17 Tahun 2007 tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Barang Milik Daerah.
Adapun peraturan dari pusat yang diturunkan Peraturan Daerah Kabupaten
Pekalongan Nomor 8 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Barang Daerah. Peraturan
Daerah Kabupaten Pekalongan Nomor 11 Tahun 2005 tentang Kemitraan Daerah,
Peraturan Daerah Kabupaten Pekalongan Nomor 7 Tahun 2008 tentang
Pengelolaan Barang Milik Daerah, yang merupakan tindak lanjut dari Peraturan
Pemerintah Nomor 6 Tahun 2006 tentang Pengelolaan Barang Milik
Negara/Daerah, Peraturan Bupati Pekalongan Nomor 34 Tahun 2008 tentang
Petunjuk Teknis Pengelolaan Barang Milik Daerah, Keputusan Bupati Pekalongan
Nomor 188.4/179 Tahun 2006, Keputusan Bupati Pekalongan Nomor 573/534
Tahun 2007, Keputusan Bupati Pekalongan Nomor 582/249 Tahun 2009 tentang
Pembentukan Tim Koordinasi Kerja Sama Daerah (TKKSD) di Kabupaten
Pekalongan.
B. Kerjasama
Kerjasama merupakan sifat sosial, bagian dari kehidupan masyarakat yang tidak
dapat dielakkan oleh manusia dalam kehidupan sehari-hari. Dalam bidang
pendidikan muncul berbagai metode pembelajaran yang lebih menitikberatkan pada
kerjasama, antara lain seperti diungkapkan oleh Johnson & Johnson (1991), Hill &
Hill (1993) serta Slavin (1995), pada umumnya memberikan batasan tentang
pengertian kerjasama mirip satu sama lain. Kerjasama adalah bekerja bersama
untuk mencapai tujuan yang diinginkan bersama (Johnson & Johnson,1991).
melekat pada program kerjasama tersebut, yakni adanya saling ketergantungan
yang positif diantara individu-individu dalamkelompok tersebut untuk mencapai
tujuan , kedua adanya interaksi tatap muka yang dapat meningkatkan sukses satu
sama lain diantara anggota kelompok, ketiga adanya akuntabilitas dan
tanggungjawab personal individu, keempat adanya keterampilan komunikasi
interpersonal dan kelompok kecil, kelima adanya keterampilan bekerja dalam
kelompok. Menurut Michaelis (1986) keterampilan kerjasama merupakan hal
penting yangpaling diunggulkan dalam kehidupan masyarakat utamanya budaya
demokratis, dan merupakan salah satu indikator dari lima indikator perilaku sosial,
yakni tanggungjawab, peduli pada oranglain, bersikap terbuka, dan kreativitas.
(Wulandari et al., 2015)

Kerjasama merupakan salah satu bentuk interaksi sosial. Menurut Abdulsyani,


kerjasama adalah suatu bentuk proses sosial, dimana didalamnya terdapat aktivitas
tertentu yang ditunjukkan untuk mencapai tujuan bersama dengan saling membantu
dan saling memahami aktivitas masing-masing. Kerjasama juga diartikan sebagai
kegiatan yang di lakukan secara bersama-sama dari berbagai pihak untuk mencapai
tujuan bersama. Sebagaimana dikutip oleh Abdulsyani, Roucek dan Warren,
mengatakan bahwa kerjasama berarti bersama-sama untuk mencapai tujuan
bersama. Ia adalah satu proses sosial yang paling dasar. Biasanya kerjasama
melibatkan pembagian tugas, dimana setiap orang mengerjakan setiap pekerjaan
yang merupakan tanggung jawabnya demi tercapainya tujuan bersama

C. Bangun Serah Guna


Istilah Build Operate and Transfer, berasal dari bahasa Inggris yang artinya
“Bangun Operasional dan Serah”. Pengertian tentang perjanjian Bangun Serah
Guna (Build Operate and Transfer) semula belum ditemukan satu pengertianpun
yang bersifat baku, namun sejak Tahun 2006 yaitu dengan dikeluarkannya
Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2006 tentang Pengelolaan Barang Milik
Negara/Daerah mulai ditemukan pengertian Bangun Serah Guna (Build Operate
and Transfer) dalam peraturan perundang undangan, yaitu dalam Pasal 1 angka 13
Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2006 tentang Pengelolaan Barang Milik
Negara/Daerah, jo. Pasal 1 angka 14 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 17
Tahun 2007 tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Barang Milik Daerah, Bangun
Serah Guna adalah pemanfaatan barang milik daerah berupa tanah oleh pihak lain
dengan cara mendirikan bangunan dan/atau sarana berikut fasilitasnya, dan setelah
selesai pembangunannya diserahkan kepada pemerintah Daerah, kemudian oleh
Pemerintah Daerah diserahkan kembali kepada pihak lain tersebut untuk
didayagunakan oleh pihak lain tersebut dalam jangka waktu tertentu yang
disepakati, setelah jangka waktu selesai tanah beserta bangunan diserahkan kepada
Pemerintah Daerah, Pengertian perjanjian Bangun Serah Guna juga dapat
ditemukan dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 22 Tahun 2009 tentang
Petunjuk Teknis Tata Cara Kerja Sama Daerah, pada lampiran II yang mengatur
tentang contoh bentuk/model kerja sama Daerah. Dalam lampiran Peraturan
Menteri Dalam Negeri Nomor 22 Tahun 2009 tersebut dijelaskan tentang Kontrak
Bangun Serah Guna yaitu Badan Hukum bertanggung jawab untuk membangun
infrastruktur/fasilitas, termasuk membiayainya dan setelah selesai
pembangunannya lalu infrastruktur/fasilitas tersebut diserahkan penguasaan dan
kepemilikannya kepada Pemerintah Daerah, selanjutnya Pemerintah Daerah
menyerahkan kembali kepada Badan Hukum untuk dikelola selama waktu tertentu
untuk pengembalian modal investasinya serta memperoleh keuntungan yang wajar.

Badan Pembinaan Hukum Nasional, dalam sebuah penelitiannya yang berjudul


“Aspek Hukum Perjanjian Build Operate and Transfer”, mengungkapkan bahwa
yang dimaksud dengan perjanjian Build Operate and Transfer (BOT) adalah suatu
perjanjian baru, dimana pemilik hak eksklusif atau pemilik lahan menyerahkan
studi kelayakan, pengadaan barang dan peralatan, pembangunan serta
pengoperasian hasil pembangunannya kepada investor, dan investor ini dalam
jangka waktu tertentu (jangka waktu konsesi) diberi hak mengoperasikan,
memelihara serta mengambil manfaat ekonomi dari bangunan tersebut, dengan
maksud untuk mengganti biaya yang telah dikeluarkan investor dalam membangun
proyek tersebut, kemudian setelah jangka waktu tertentu tersebut selesai, bangunan
beserta fasilitas yang melekat padanya diserahkan kepada pemilik hak eksklusif
atau pemilik lahan. Sedangkan Felix O.Soebagjo dalam penelitiannya yang berjudul
“Pengkajian tentang Aspek Hukum Perjanjian Build Operate and Transfer”,
mengemukakan bahwa yang dimaksud dengan perjanjian BOT adalah suatu sistem
pembiayaan (biasanya diterapkan pada proyek pemerintah) berskala besar yang
dalam studi kelayakan, pengadaan barang dan peralatan, pembiayaan dan
pembangunan serta pengoperasiannya, sekaligus juga penerimaan/pendapatan yang
timbul darinya, diserahkan pihak lain dan pihak lain ini dalam waktu tertentu
(jangka waktu konsesi) diberi hak mengoperasikan, memeliharanya serta untuk
mengambil manfaat ekonominya guna menutup (sebagai ganti) biaya pembangunan
proyek yang bersangkutan dan memperoleh keuntungan yang diharapkan.
Pengertian yang diungkapkan Felix O. Soebagjo di atas, jika diperhatikan tampak
sebagai satu pengertian yang belum selesai, karena dalam pengertian tersebut belum
terlihat adanya tindakan penyerahan dari pihak investor terhadap pihak pemilik
lahan.

Sedangkan Budi Santoso dalam bukunya yang berjudul “Aspek Hukum


Pembiayaan Proyek Infrastruktur Model BOT (Build Operate Transfer)”
mengemukakan bahwa pada dasarnya BOT adalah salah satu bentuk pembiayaan
proyek pembangunan yang mana kontraktor harus menyediakan sendiri pendanaan
untuk proyek tersebut juga kontraktor harus menanggung pengadaan material,
peralatan, jasa lain yang dibutuhkan untuk kelengkapan proyek, sebagai gantinya
kontraktor diberikan hak untuk mengoperasikan dan mengambil manfaat
ekonominya sebagai ganti atas semua biaya yang telah dikeluarkan untuk selama
waktu tertentu. Dalam Pasal 8 Peraturan Daerah Kabupaten Pekalongan juga telah
diatur bahwa BOT merupakan salah satu bentuk kemitraan daerah dengan swasta,
yang dalam Penjelasan Pasal 8 disebutkan, bahwa bentuk kerjasama BOT
umumnya dikenali pada transaksi-transaksi yang obyeknya berupa tanah. Kekayaan
daerah yang berupa tanah dan fasilitas-fasilitas yang ada di atasnya yang memiliki
potensi nilai ekonomis yang tinggi dialihkan pemanfaatannya kepada pihak swasta,
dengan cara pihak swasta tersebut atas biayanya sendiri membangun bangunan
beserta fasilitas komersialnya serta mendayagunakan bangunan dan fasilitas
tersebut untuk suatu jangka waktu tertentu. Semua hasil pengelolaan akan menjadi
pihak swasta, namun pada akhir jangka waktu dimaksud, bangunan dan fasilitas
komersialnya dialihkan kepemilikannya kepada Pemerintah Daerah dalam keadaan
sebagaimana adanya saat itu, dan guna melindungi kepentingan Pemerintah Daerah
untuk menerima bangunan dan fasilitas dimaksud dalam kondisi baik dan masih
memiliki nilai komersial, maka selama masa pengelolaan oleh swasta, swasta
bersangkutan selain berkewajiban untuk melakukan pemeliharaan juga diwajibkan
menutup asuransi dari resiko kemusnahan. Selama masa BOT, segala resiko yang
terjadi atas bangunan dan fasilitas yang dibangun swasta akan merupakan
tanggungan swasta karena secara hukum kepemilikan bangunan dan fasilitas
tersebut masih ada pada swasta.

Dari beberapa pengertian tentang perjanjian BOT sebagaimana telah dipaparkan di


atas, maka dapat ditarik satu pemahaman bahwa di dalam perjanjian BOT, terdapat
tiga tahapan tindakan, yaitu tahap pertama berupa tindakan pembangunan proyek
yang dilakukan oleh pihak investor, tahap kedua berupa pengoperasian proyek
bangunan yang merupakan hak dan wewenang investor, serta tahap ketiga berupa
tindakan penyerahan proyek bangunan dari investor kepada pihak pemilik lahan,
yang dilakukan pada saat berakhirnya masa konsesi yang telah disepakati
sebelumnya. Dalam uraian sebelumnya telah dijelaskan bahwa perjanjian BOT baru
mulai ditemukan pengaturannya dalam peraturan perundang-undangan sejak
ditetapkannya Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2006 tentang Pengelolaan
Barang Milik Negara/Daerah. Sebelum keluarnya Peraturan Pemerintah tersebut
belum tedapat perundang-undangan yang secara khusus mengatur tentang praktek
pelaksanaan perjanjian BOT. Meskipun demikian, pasal 1338 ayat (1) menjelaskan
bahwa setiap perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi
mereka yang membuatnya. Dengan demikian pasal 1338 tersebut dapat dijadikan
dasar hukum dalam penyelenggaraan perjanjian BOT.

perjanjian BOT sah jika dalam pelaksanaannya memenuhi empat syarat sebagai
berikut Adanya kata sepakat antara investor dan pihak pemilik lahan, Adanya
kecakapan baik pihak investor maupun pihak pemilik lahan, Adanya obyek yang
jelas, berupa lahan dan proyek bangunan yang disepakati para pihak, Adanya causa
yang halal, dalam artian bahwa tujuan dari perjanjian tidak bertentangan dengan
undang-undang, kesusilaan dan ketertiban umum. Dari berbagai pengertian di atas,
juga dapat diketahui bahwa di dalam perjanjian BOT terdapat beberapa unsur yaitu
adanya para pihak yang melakukan perjanjian, dalam hal ini adalah pihak investor
dan pihak pemilik lahan ; adanya obyek perjanjian BOT, berupa lahan dan
bangunan proyek tertentu; adanya masa konsesi, di mana dalam masa ini investor
diberi hak untuk mengoperasikan bangunan dan mengambil keuntungan yang
diharapkan; adanya proses penyerahan bangunan beserta fasilitas yang melekat
padanya, dari pihak investor kepada pihak pemilik lahan, pada saat berakhirnya
masa konsesi. Dalam uraian sebelumnya telah dijelaskan bahwa perjanjian BOT
baru mulai ditemukan pengaturannya dalam peraturan perundang-undangan sejak
ditetapkannya Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2006 tentang Pengelolaan
Barang Milik Negara/Daerah.

Pada umumnya praktek pelaksanaan kerjasama dalam bentuk Kontrak BOT sering
didahului dengan pembuatan Memorandum of Understanding (MoU), hal ini
karena MoU merupakan salah satu produk hukum pada Negara-negara yang
menganut sistem common law. Konsep tersebut kemudian berkembang dalam
praktek di Indonesia dalam hampir setiap bentuk kerja sama baik yang dilakukan
oleh pemerintah maupun pihak swasta, sebagai dasar pemikirannya adalah bahwa
dalam sebuah perjanjian harus telah mengatur secara rinci segala sesuatu hal yang
akan diatur termasuk segala kemungkinan yang akan terjadi akibat dari
ditandatanganinya sebuah perjanjian, maka diperlukan adanya suatu kendaraan
sebagai perantara yang secara umum mengatur tentang komitmen bersama dari para
pihak untuk mengatur kehendak maupun pertemuan pemikiran antara pihak di
dalamnya. MoU memfasilitasi para pihak dalam merumuskan butir-butir pokok
tentang kerangka kerjasama yang akan dibangun untuk kemudian akan dirumuskan
secara komprehensif dalam sebuah perjanjian, untuk menghindari adanya sengketa
di kemudian hari, perjanjian BOT biasanya dibuat secara otentik di hadapan pejabat
yang berwenang.

Pembahasan
Secara geografis kewilayahan Kabupaten Pekalongan berbatasan langsung dengan
4 Kabupaten/ Kota yaitu Kota Pekalongan, Kabupaten Pemalang, Kabupaten
Batang dan Kabupaten Banjarnegara. Interaksi yang cukup kuat terutama terjadi
dengan Kota Pekalongan yang dihubungkan dengan jalan Pantura dan Jalan
Kedungwuni-Buaran-Kota Pekalongan. Interaksi yang terjadi berupa kegiatan
perdagangan dan jasa, industri terutama tekstil dan pelayanan seperti PDAM dan
Telkom. Sedangkan dengan Kabupaten Batang dan Pemalang selain dihubungkan
dengan Jalur Pantura juga dihubungkan dengan Jalur Tengah Batang-Kajen-
Pemalang. Interaksi antara Kabupaten Pekalongan, Pemalang dan Batang akan
meningkatkan aktivitas sepanjang jalur tersebut untuk Kabupaten Pekalongan
terutama terjadi di Kecamatan Talun, Doro, Karanganyar, Kajen dan Kesesi.
Perkembangan jalur ini diharapkan mampu mendukung pemerataan perkembangan
di Kabupaten Pekalongan terutama di wilayah tengah dan selatan. Untuk Kabupaten
Banjarnegara interaksi yang terjadi lebih mengarah pada aktivitas wisata, karena
wilayah yang berbatasan dengan Kabupaten Banjarnegara merupakan bagian dari
pengembangan Kawasan Wisata Dieng. Berdasarkan kondisi tersebut Jalur
Pekalongan-Banjarnegara dapat dikembangkan sebagai pintu masuk menuju
Kawasan Wisata Dieng. Dengan pengembangan ini diharapkan dapat memacu
aktivitas wisata di Kabupaten Pekalongan.
Kabupaten Pekalongan mempunyai wilayah dengan luas 836,13 km2 dan terdiri
atas 19 kecamatan dan 285 desa/kelurahan. Dari 285 desa/kelurahan yang ada, 6
desa merupakan desa pantai dan 279 desa bukan desa pantai. Menurut topografi
desa, terdapat 60 desa/kelurahan (20%) yang berada di dataran tinggi dan 225
desa/kelurahan (80%) berada di dataran rendah. Menurut penggunaannya, tanah
dibagi menjadi tanah sawah dan tanah kering. Tahun 2012 luas tanah sawah sebesar
24.751,24 ha (29,60%) dan luas tanah kering sebesar 58.861,83 ha (70,40%).
Sebagian besar luas tanah sawah merupakan sawah beririgasi 21.471,79 ha
(86,75%) baik merupakan irigasi teknis, irigasi setengah teknis, irigasi sederhana,
maupun irigasi desa, sedangkan sisanya 3.279,45 ha (13,25%) merupakan tanah
sawah tadah hujan. Kondisi tanah berdasarkan luas daerah Kabupaten Pekalongan
± 836,13 km2 yang terdiri atas tanah sawah 24.871,51 ha atau 29,75%, tanah kering
58.741,56 ha (70,25%). Jumlah penduduk Kabupaten Pekalongan berdasarkan hasil
registrasi tahun 2008 tercatat 967.246 jiwa terdiri dari 491.429 jiwa penduduk laki-
laki dan 475.817 jiwa penduduk perempuan, dengan laju pertumbuhan penduduk
tahun 2008 sebesar 1,26% lebih rendah dibandingkan dengan tahun 2007 yaitu
sebesar 2,36%.

Dalam pelaksanaan roda pemerintahan dan pembangunan, sesuai dengan Rencana


Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Tahun 2006-2011, Pemerintah
Kabupaten Pekalongan mempunyai visi “Terwujudnya kehidupan masyarakat
Kabupaten Pekalongan yang demokratis, maju, adil dan sejahtera”. Dalam rangka
mewujudkan visi tersebut, dalam menghadapai era globalisasi dan tuntutan
demokratisasi, maka dijabarkan dalam delapan misi yaitu Meningkatkan perilaku
pemerintah dan masyarakat yang demokratis, dinamis dan agamis serta adanya
penguatan lembaga pemerintahan dan lembaga kemayarakatan; Meningkatkan
pelaksanaan good governance yang menjamin peningkatan kualitas pelayanan
publik, menjamin rasa keadilan dan tumbuh kepercayaan dan partisipasi
masyarakat; Meningkatkan penyediaan dan pemertaan sarana dan prasarana publik;
Meningkatkan pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat (kesehatan, pendidikan dan
kesejahteraan) dan sarana pengembangan; Menegakkan perundangan dan Peraturan
Daerah yang mencerminkan adanya supremasi hukum dan keadilan serta
perlindungan terhadap Hak Asasi Manusia; Meningkatkan pertumbuhan ekonomi
daerah yang bertumpu pada pengembangan potensi ekonomi lokal dan dunia usaha;
Meningkatkan pengelolaan sumber daya alam yang berorientasi pada pelestarian
lingkungan dan pemanfaatan sebesar-besarnya bagi kesejahteraan rakyat;
Mengembangkan pariwisata dan budaya lokal.

Kabupaten lamongan memiliki berbagai strategi dalam mendukung terwujudnya


visi dan misi pembangunan, adapun beberapa strategi yang dipakai adalah Strategi
Optimalisasi Manajemen Pemerintahan yang mencakup upaya pembentukan
kelembagaan Pemerintah Kabupaten Pekalongan yang dinamis dan demokratis
disertai dengan pengembangan aparatur Pemerintah Kabupaten berdasarkan
kompetensi dalam rangka peningkatan kualitas pelayanan publik dan mendorong
perilaku masyarakat yang demokratis dan religius; Strategi Pemerataan yang
bertujuan untuk mengurangi kesenjangan pembangunan, baik ditinjau dari sarana
prasarana kewilayahan, ekonomi dan social budaya, yang dimaksudkan untuk
mewujudkan keadilan, pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat mendorong
pertumbuhan ekonomi secara merata bagi tumbuhnya partisipasi masyarakat;
Strategi Percepatan yang memfokuskan pada percepatan penyelenggaraan
pembangunan terutama pada sector-sektor unggulan yang dapat memberikan nilai
tambah yang besar bagi pertumbuhan sector-sektor lainnya; Strategi Pemberdayaan
untuk mewujudkan pemberdayaan masyarakat sesuai dengan peran dan fungsinya
dalam kelompok masyarakat dan lembaga pemerintah. Strategi Kesinambungan
yang bertujuan mewujudkan serangkaian kegiatan pembangunan yang
berkelanjutan, yang mencakup upaya penciptaan keterkaitan yang tepat antara
pembangunan berdimensi fisik alam dengan pembangunan sosial kemasyarakatan
yang berlandaskan pada sistem dengan mempertahankan daya dukung lingkungan.
Strategi Pengembangan yang bertujuan mengembangkan kegiatan pembangunan
secara menyeluruh.

Pelaksanaan skema kerjasama badan serah guna kabupaten pekalongan mulai


didasari oleh peraturan Peraturan Bupati Pekalongan Nomor 32 Tahun 2018 tentang
Pedoman Teknis Pemanfaatan Barang Milik Daerah. Alasan Kabupaten
pekalongan memulai kerjasama bangun serah guna dengan pihak swasta adalah
guna memanfaatkan aset daerah berupa tanah. Dalam rangka mencapai
keberhasilan dalam pelaksanaan kerjasama bangun serah guna pemerintah
mendukung kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah kabupaten pekalongan
dengan harapan perbaikan kinerja yang lebih baik. Faktor yang dapat dijadikan
dasar untuk mengukur keberhasilan sebuah kerja sama daerah adalah adanya
dukungan dalam bentuk kinerja yang baik dari pihak yang ikut di dalam kerjasama
sama. Kinerja adalah setiap gerakan, perbuatan, pelaksanaan, kegiatan atau
tindakan sadar yang diarahkan untuk mencapai suatu tujuan atau target tertentu.
Tanpa adanya kinerja berarti tidak ada upaya untuk mencapai hasil atau target.
Keberhasilan dari sebuah kerja sama di samping diukur dari kinerja dari kerja
samanya sendiri, yang lebih penting adalah diukur juga dari kinerja masing-masing
pihak dalam mendukung kerja sama tersebut. Dalam manajemen, sumber-sumber
daya dasar yang harus ada dalam pencapaian tujuan dan sasaran dari proses
manajemen dikenal dengan “six M” (Effendy, 1989 dan Winardi, 1990) yaitu Man
(manusia), menyangkut kualitas sumber daya manusia yang terlibat dalam proses
manajemen untuk mencapai tujuan organisasi; Materials (bahan), berkaitan dengan
bahan-bahan materian yang harus disediakan di dalam proses manajemen;
Machines (mesin), menyangkut alat-alat yang digunakan untuk berjalannya proses
produksi, dari bahan mentah menjadi bahan jadi yang siap untuk dipasarkan;
Methodes (metode), berkaitan dengan metode dan cara-cara yang digunakan dalam
proses manajemen; Money (uang), berkaitan dengan jumlah biaya dan sumber dana
yang harus dikeluarkan dan dianggarkan di dalam proses manajemen; Markets
(pasar), menyangkut eksistensi pasar dari hasil proses produksi yang telah
dihasilkan dalam proses manajemen. Terkait dengan hal tersebut di atas maka
dukungan Pemerintah Daerah terhadap pelaksanaan kerja sama daerah di
Kabupaten Pekalongan termasuk di dalamnya dalam pelaksanaan pembangunan
fasilitas umum dengan kontrak BOT terbagi dalam 5 (lima) bentuk dukungan yaitu
Peraturan yang berlaku, semisal Peraturan Daerah, Peraturan Bupati dan Keputusan
Bupati, untuk mendukung pelaksanaan kerjasama daerah; Kebijakan Bupati dalam
bentuk anggaran untuk program kegiatan pembangunan untuk mencapai tujuan
yang telah ditetapkan dalam kerja sama; Aspek sumber daya manusia yang
menangani kerja sama daerah; Informasi dan sosialisasi tentang kerja sama kepada
aparat daerah dan masyarakat; Koordinasi antar unit-unit kerja terkait dalam bentuk
kuantitas dan intensitas koordinasi instansi-instansi terkait pelaksanaan kerja sama
daerah.

Dukungan peraturan yang berlaku adalah adanya Peraturan Daerah (Perda) dan
peraturan lain untuk menindaklanjuti Perda tersebut. Sampai saat ini Peraturan
Daerah yang berkaitan dengan kerja sama daerah yang di dalamnya juga mengatur
materi tentang Kontrak BOT ada 2 (dua) Peraturan Daerah, yaitu Peraturan Daerah
Kabupaten Pekalongan Nomor 11 Tahun 2005 tentang Kemitraan Daerah, dan
Peraturan Daerah Kabupaten Pekalongan Nomor 7 Tahun 2008 tentang
Pengelolaan Barang Milik Daerah, yang merupakan tindak lanjut dari Peraturan
Pemerintah Nomor 6 Tahun 2006 tentang Pengelolaan Barang Milik
Negara/Daerah. Dalam rangka pelaksanaan Peraturan Daerah Kabupaten
Pekalongan Nomor 11 Tahun 2005 tersebut telah dibentuk Tim Kerjasama Daerah
Kabupaten Pekalongan yang ditetapkan dengan Keputusan Bupati Pekalongan
Nomor 188.4/179 Tahun 2006 yang telah diubah dengan Keputusan Bupati
Pekalongan Nomor 573/534 Tahun 2007 tanggal 26 Nopember 2007, dan dengan
dikeluarkannya Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 22 Tahun 2009 tentang
Petunjuk Teknis Pelaksanaan Kerjasama Daera, telah diubah lagi dengan
Keputusan Bupati Pekalongan Nomor 582/249 Tahun 2009 tentang Pembentukan
Tim Koordinasi Kerja Sama Daerah (TKKSD) di Kabupaten Pekalongan
sedangkan sebagai pelaksanaan Peraturan Daerah Kabupaten Pekalongan Nomor 7
Tahun 2008 tentang Pengelolaan Barang Milik Daerah, telah ditetapkan Peraturan
Bupati Pekalongan Nomor 34 Tahun 2008 tentang Petunjuk Teknis Pengelolaan
Barang Milik Daerah, yang di dalamnya telah mengatur tentang pelaksanaan
kerjasama pemanfaatan barang milik daerah dengan bentuk kontrak BOT, dan telah
dibentuk Panitia Pelaksana Pengelola Barang Daerah Kabupaten Pekalongan
dengan Keputusan Bupati Pekalongan Nomor 030/141 Tahun 2009.

Berdasarkan teori kerjasama dan tahapan secara umum bangun serah guna yang
telah dijelaskan sebelumnya, dimana terdapat tiga tahapan tindakan, yaitu tahap
pertama berupa tindakan pembangunan proyek yang dilakukan oleh pihak investor,
tahap kedua berupa pengoperasian proyek bangunan yang merupakan hak dan
wewenang investor, serta tahap ketiga berupa tindakan penyerahan proyek
bangunan dari investor kepada pihak pemilik lahan, yang dilakukan pada saat
berakhirnya masa konsesi yang telah disepakati sebelumnya. Akan di analisis
dengan studi kasus kerjasama badan serah guna kabupaten pekalongan dengan
pihak swasta yaitu PT Gala Tama.

Adapun dalam pembahsan kali adalah terkait dengan tata cara atau mekanisme dan
step dari kerja sama yang dilakukan oleh pemerintah kabupaten pekalongan dengan
PT Gala Tama. Pembangunan fasilitas umum di Pemerintah Daerah Kabupaten
Pekalongan dengan cara Bangun Serah Guna/Build Operate and Transfer (BOT)
sudah dilaksanakan sejak sebelum keluarnya Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun
2006 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah dan Peraturan Pemerintah
Nomor 50 Tahun 2007 tentang Tata Cara Pelaksanaan Kerja Sama Daerah yang
telah ditindaklanjuti dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 22 Tahun
2009 tentang Petunjuk Teknis Pelaksanaan Kerja Sama Daerah.

Pembangunan dan renovasi Pasar Tradisional Kesesi dilakukan sebagai akibat dari
adanya kebakaran besar yang terjadi pada pertengahan tahun 2008 sehingga banyak
pedagang yang terkena imbasnya dan kehilangan lapak berjualan. Karena tidak
adanya dana guna perbaikan dari pedagang maupun Pemerintah Kabupaten
Pekalongan, maka Pemkab Pekalongan dengan cepat menginisiasi percepatan
perbaikan melalui dana stimulus fiskal dan dana investor dengan cara penyediaan
barang/jasa antara dana stimulus dan dana investor digabung atau dilakukan dalam
1 (satu) kali lelang. Pelelangan dalam rangka percepatan renovasi Pasar Kesesi
tersebut telah disetujui oleh DPRD melalui Keputusan DPRD Kabupaten
Pekalongan Nomor 18 tahun 2009.

Dalam pelelangan tersebut, terdapat 5 (lima) perusahaan swasta yang dan dipilih
untuk menjadi investor di antaranya, PT. Mitra Cipta Kencana, PT. Gala Tama, PT.
Mustika Era Jaya, PT. Sami Jaya Mulya, dan PT. Tanjung Tirta Jaya. Kemudian
berdasarkan analisis kualifikasi yang dilakukan oleh panitia lelang maka
ditunjuklah PT. Gala Tama sebagai pemenang lelang sekaligus investor dalam
proyek pembangunan dan renovasi Pasar Tradisional Kesesi. Perjanjian kerja sama
dilakukan pada tanggal 17 November 2009 ditandatangani oleh Sekretaris Daerah
Kabupaten Pekalongan dan perwakilan PT. Gala Tama dengan 13 poin di dalamnya
seperti subjek kerjasama, objek kerjasama, ruang lingkup, hak dan kewajiban kedua
belah pihak, bentuk kerjasama, jaminan, pembiayaan, alokasi risiko, jangka waktu,
force majeure, larangan pengalihan, cara penyelesaian jika terjadi permasalahan,
dan batas waktu kerjasama.

Dalam hal tahapan yang terjadi pada proses kerjasama yang dilakukan oleh
kebupaten pekalongan dengan PT Gala Tama tersebut yang pertama adalah
perjanjian kontrak dari pemangku kepentingan yang juga telah memenuhi unsur-
unsur perjanjian, yaitu unsur Unsur Essensialia, merupakan unsur mutlak yang
harus ada dalam pembentukan perjanjian. Tanpa adanya unsur ini maka suatu
perjanjian kerjasama tidak dapat disahkan. Misalnya, harus ada objek barang, harga
dari objek barang yang dipertukarkan atau diperjualbelikan, serta ada kesepakatan
di antara kedua belah pihak. Kedua adalah Unsur Naturalia, merupakan unsur
pelengkap dari perjanjian kerjasama hukum formal berupa undang-undang yang
mengatur kerjasama. Namun baik hukum tersebut dituliskan di dalam surat
perjanjian maupun tidak, perjanjian kerjasama tetap bersifat mengikat dan harus
dipatuhi oleh kedua belah pihak. Ketiga adalah Unsur Aksidentalia, merupakan
unsur tambahan dalam pembuatan perjanjian kerjasama namun tidak diatur di
dalam UU sehingga tidak bersifat mengikat. Unsur tambahan ini dapat ditulis
maupun tidak di dalam perjanjian.

Adapun tahapan setelah melakukan perjanjian kontrak antar pemangku kepentingan


adalah berupa tindakan pembangunan proyek yang dilakukan oleh pihak investor,
dalam pembangunan ini secara keseluruhan mengacu kepada peraturan bupati
pekalongan nomor 32 tahun 2018. Dimana bangunan beserta fasilitasnya yang
menjadi bagian dari hasil pelaksanaan BSG nantinya dilengkapi dengan izin
mendirikan bangunan yang diatasnamakan pemerintah daerah. Sebagai biaya
persiapan BSG yang dikeluarkan adalah tanggung jawab dari PT Gala Tama sampai
dengan penunjukan mitra BSG dibebankan pada APBD. tahap kedua berupa
pengoperasian proyek bangunan yang merupakan hak dan wewenang investor,
untuk biaya pelaksanaan BSG menjadi beban PT Gala Tama, sedangkan untuk
penerimaan hasil pelaksanaan disini merupakan penerimaan daerah yang wajib
disetorkan seluruhnya ke rekening kas umum daerah. tahap ketiga berupa tindakan
penyerahan proyek bangunan dari investor kepada pihak pemilik lahan, dalam hal
ini PT Gala Tama menyerahkan objek yang telah dikerjakan yaitu pasar kesesi
kepada bupati pada akhir jangka waktu pengoperasian, setelah dilakukan audit oleh
APIP.

Sedangkan dalam pelaksanaan pasti terdapat hambatan yang terjadi,


Ketidaksesuaian ketetapan terkait peraturan perundangan-undangan dan
ketidaksepahaman hingga munculnya penafsiran yang bercabang merupakan faktor
kesulitan dalam pelaksanaan pembangunan fasilitas umum dengan kontrak BSG.
Seperti halnya yang terjadi pada pengaturan tentang fasilitas umum khususnya
fasilitas perdagangan di Kabupaten Pekalongan yaitu Peraturan Pemerintah RI
Nomor 6 Tahun 2006 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah serta
Petunjuk Pelaksanaanya yaitu Peraturan Menteri Dalam Negeri RI Nomor 22
Tahun 2009 tentang Petunjuk Teknis Tata Cara Kerja Sama Daerah, Peraturan
Presiden Nomor 67 Tahun 2005 tentang Kerjasama Pemerintah Dengan Badan
Usaha Dalam Penyediaan Infrastruktur, Peraturan Daerah Kabupaten Pekalongan
Nomor 11 Tahun 2005 tentang Kemitraan Daerah, dan Peraturan Daerah Kabupaten
Pekalongan Nomor 7 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Barang Milik Daerah
beserta petunjuk pelaksanaannya yaitu Peraturan Bupati Pekalongan Nomor 34
Tahun 2008 tentang Petunjuk Teknis Pengelolaan Barang Milik Daerah.
Ketidakseragaman peraturan-peraturan tersebut menyebabkan munculnya multi
tafsir di antara aparatur Pemerintah Daerah. Secara garis besar.

hambatan yang sering terjadi pada pelaksanaan kerja sama BGS di Pemerintah
Kabupaten Pekalongan diakibatkan oleh beberapa faktor, yaitu pertama Dasar
pengaturan yang digunakan dinilai tidak konsisten dan cenderung memiliki konsep-
konsep yang berbeda sehingga memicu timbulnya penafsiran yang berbeda-beda
pula oleh aparatur/stakeholder Pemerintah Daerah Kabupaten Pekalongan; kedua
Masih lemahnya kualitas Sumber Daya Manusia/SDM yang memiliki kompetensi
di bidang kerjasama khususnya terkait penyusunan kontrak kerjasama BSG;
Lemahnya penyusunan perencanaan dari investor, yang menyebabkan
keterlambatan pelaksanaan pembangunan akibat kurangnya dana dan kesulitan
mencari penyandang dana (Bank/Lembaga Keuangan) yang ingin diajak kerja sama
oleh investor; Birokrasi yang masih dinilai kurang berkompeten sehingga memicu
terjadinya koordinasi proyek yang kurang baik oleh organisasi serta menyebabkan
seringnya pergantian kepemimpinan pada Satuan Kerja Perangkat Daerah/SKPD
anggota Tim Koordinasi Kerjasama Daerah dan yang berhubungan dalam
pelaksanaan kontrak BGS.
Kesimpulan dan Rekomendasi
Kabupaten lamongan memiliki berbagai strategi dalam mendukung terwujudnya
visi dan misi pembangunan, adapun beberapa strategi yang dipakai adalah Strategi
Optimalisasi Manajemen Pemerintahan yang mencakup upaya pembentukan
kelembagaan Pemerintah Kabupaten Pekalongan yang dinamis dan demokratis
disertai dengan pengembangan aparatur Pemerintah Kabupaten berdasarkan
kompetensi dalam rangka peningkatan kualitas pelayanan publik dan mendorong
perilaku masyarakat yang demokratis dan religius; Strategi Pemerataan yang
bertujuan untuk mengurangi kesenjangan pembangunan, baik ditinjau dari sarana
prasarana kewilayahan, ekonomi dan social budaya, yang dimaksudkan untuk
mewujudkan keadilan, pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat mendorong
pertumbuhan ekonomi secara merata bagi tumbuhnya partisipasi masyarakat;
Strategi Percepatan yang memfokuskan pada percepatan penyelenggaraan
pembangunan terutama pada sector-sektor unggulan yang dapat memberikan nilai
tambah yang besar bagi pertumbuhan sector-sektor lainnya; Strategi Pemberdayaan
untuk mewujudkan pemberdayaan masyarakat sesuai dengan peran dan fungsinya
dalam kelompok masyarakat dan lembaga pemerintah. Strategi Kesinambungan
yang bertujuan mewujudkan serangkaian kegiatan pembangunan yang
berkelanjutan, yang mencakup upaya penciptaan keterkaitan yang tepat antara
pembangunan berdimensi fisik alam dengan pembangunan sosial kemasyarakatan
yang berlandaskan pada sistem dengan mempertahankan daya dukung lingkungan.
Strategi Pengembangan yang bertujuan mengembangkan kegiatan pembangunan
secara menyeluruh.

Adapun tujuan dari kerjasama ini adalah mewujudkan kesejahteraan masayrakat


melalui revitalisasi dan pembangunan pasar kesesi. Dalam pembahasan yang telah
dijelaskan sebelumnya terdapat 3 tahapan dalam proses kerjasama yaitu yaitu tahap
pertama berupa tindakan pembangunan proyek yang dilakukan oleh pihak investor,
tahap kedua berupa pengoperasian proyek bangunan yang merupakan hak dan
wewenang investor, serta tahap ketiga berupa tindakan penyerahan proyek
bangunan dari investor kepada pihak pemilik lahan, yang dilakukan pada saat
berakhirnya masa konsesi yang telah disepakati sebelumnya. Akan di analisis
dengan studi kasus kerjasama badan serah guna kabupaten pekalongan dengan
pihak swasta yaitu PT Gala Tama.

Dalam hal tahapan yang terjadi pada proses kerjasama yang dilakukan oleh
kebupaten pekalongan dengan PT Gala Tama tersebut yang pertama adalah
perjanjian kontrak dari pemangku kepentingan yang juga telah memenuhi unsur-
unsur perjanjian, yaitu unsur Unsur Essensialia, merupakan unsur mutlak yang
harus ada dalam pembentukan perjanjian. Tanpa adanya unsur ini maka suatu
perjanjian kerjasama tidak dapat disahkan. Misalnya, harus ada objek barang, harga
dari objek barang yang dipertukarkan atau diperjualbelikan, serta ada kesepakatan
di antara kedua belah pihak. Kedua adalah Unsur Naturalia, merupakan unsur
pelengkap dari perjanjian kerjasama hukum formal berupa undang-undang yang
mengatur kerjasama. Namun baik hukum tersebut dituliskan di dalam surat
perjanjian maupun tidak, perjanjian kerjasama tetap bersifat mengikat dan harus
dipatuhi oleh kedua belah pihak. Ketiga adalah Unsur Aksidentalia, merupakan
unsur tambahan dalam pembuatan perjanjian kerjasama namun tidak diatur di
dalam UU sehingga tidak bersifat mengikat. Unsur tambahan ini dapat ditulis
maupun tidak di dalam perjanjian.

Adapun tahapan setelah melakukan perjanjian kontrak antar pemangku kepentingan


adalah berupa tindakan pembangunan proyek yang dilakukan oleh pihak investor,
dalam pembangunan ini secara keseluruhan mengacu kepada peraturan bupati
pekalongan nomor 32 tahun 2018. Dimana bangunan beserta fasilitasnya yang
menjadi bagian dari hasil pelaksanaan BSG nantinya dilengkapi dengan izin
mendirikan bangunan yang diatasnamakan pemerintah daerah. Sebagai biaya
persiapan BSG yang dikeluarkan adalah tanggung jawab dari PT Gala Tama sampai
dengan penunjukan mitra BSG dibebankan pada APBD. tahap kedua berupa
pengoperasian proyek bangunan yang merupakan hak dan wewenang investor,
untuk biaya pelaksanaan BSG menjadi beban PT Gala Tama, sedangkan untuk
penerimaan hasil pelaksanaan disini merupakan penerimaan daerah yang wajib
disetorkan seluruhnya ke rekening kas umum daerah. tahap ketiga berupa tindakan
penyerahan proyek bangunan dari investor kepada pihak pemilik lahan, dalam hal
ini PT Gala Tama menyerahkan objek yang telah dikerjakan yaitu pasar kesesi
kepada bupati pada akhir jangka waktu pengoperasian, setelah dilakukan audit oleh
APIP.

Sedangkan untuk menghadapi permsalahan yang terjadi disarankan untuk yang


pertama mengoreksi peraturan yang ada dengan kenyataan yang seharusnya terjadi,
kedua adalah peningkatan kualitas SDM untuk mengatur dan melaksanakan
kerjasama Badan serah guna, ketiga adalah meningkatkan koordinasi antara kedua
belah pihak yaitu pihak swasta maupun pihak pemerintah agar pelaksanaan dari
tahap planing sampai evaluasi tidak menimbulkan permasalahan yang sungguh
berrarti. Diharapkan dengan adanya analisis ini dapat memperbaiki kualitas kinerja
dari pihak pemerintah maupun pihak swasta untuk kerjasama mendatang

Referensi

Johnson & Johnson. (1991). Cooperative Learning Strategis (Online):


Www.Clcrc.Com/Cl.Html
Abdulsyani., (1994). Sosiologi Skematika, Teori, Dan Terapan. Jakarta: Bumi
Aksara
W.J.S. Purwadarminta., (1985). Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai
Pustaka
Peraturan Bupati Pekalongan Nomor 32 Tahun 2018 Tentang Pedoman Teknis
Pemanfaatan Barang Milik Daerah Dengan Rahmat Tuhan Yang Maha Esa
Bupati Pekalongan
Pekalongankab.go.id. (2008). Rp 500 Juta untuk Pasar Darurat. Diakses di
https://pekalongankab.go.id/index.php/ar/publik/info-lelang-pengadaan-
barang-jasa/108-berita/berita-lokal/9133-rp-500-juta-untuk-pasar-darurat.
Diakses pada 1 Oktober 2021.
Susilo, D., & Sabana, C. (2013). Analisis Indeks Kepuasan Masyarakat Terhadap
Keberadaan Pasar Tradisional di Kabupaten Pekalongan. Pena Jurnal Ilmu
Pengetahuan dan Teknologi, 24(1).
Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 78/PMK.06/2014 Tentang
Tata Cara Pelaksanaan Pemanfaatan Barang Milik Negara
Soleh. (2010). Pelaksanaan Pembangunan Fasilitas Umum dengan Kontrak Bangun
Serah Guna (BSG)/Build Transfer Operate (BTO) di Pemerintah Daerah
Kabupaten Pekalongan. Diponegoro University Institutional Repository.
Wulandari, B., Arifin, F., & Irmawati, D. (2015). Peningkatan Kemampuan
Kerjasama dalam Tim Melalui Pembelajaran Berbasis Lesson Study. Elinvo
(Electronics, Informatics, and Vocational Education), 1(1), 9–16.
https://doi.org/10.21831/elinvo.v1i1.12816

You might also like