Professional Documents
Culture Documents
Habitus Kesiapsiagaan Masyarakat Jepang Terhadap Bencana: August 2017
Habitus Kesiapsiagaan Masyarakat Jepang Terhadap Bencana: August 2017
Habitus Kesiapsiagaan Masyarakat Jepang Terhadap Bencana: August 2017
net/publication/351165642
CITATION READS
1 4
1 author:
Firman Budianto
Indonesian Institute of Sciences
3 PUBLICATIONS 3 CITATIONS
SEE PROFILE
Some of the authors of this publication are also working on these related projects:
All content following this page was uploaded by Firman Budianto on 29 April 2021.
Firman Budianto
Abstract
The topic on disaster preparedness making always become a relevant issue on
disaster management- related research. However, there are not many research
focusing on disaster preparedness making from a socio-historical perspective. By
choosing Japanese society as the research subject, this article discusses and
analyzes Japanese disaster preparedness making by applying Bourdieu’s theory of
habitus. In-depth interview was carried out to Japanese informants who have
experienced a natural disaster and have participated in disaster drills and exercices
in Japan. The research found that Japanese’ disaster preparedness on preparation
as well as response to disaster have become their habitus that is closely related to
their disaster memory as well as their long experience in participating in disaster
drills and exercises. Therefore, the finding supports the Bourdieu’s theory of
habitus which can be applied to the Japanese disaster preparedness making that
finally creates the disaster culture among Japanese people in general.
1. Pendahuluan
Topik utama dalam penelitian kebencanaan terletak pada dua hal,
yaitu penelitian dan mitigasi sebelum terjadinya bencana, serta respon dan
pemulihan pascabencana. Kedua topik ini berada dalam ranah sebelum dan
setelah terjadinya bencana, sehingga manusia memiliki kemampuan untuk
mengontrolnya.Di antara kedua topik utama ini, terdapat satu dimensi yang
berfungsi sebagai penghubung, yaitu dimensi kesiapsiagaan (preparedness)
terhadap bencana (Sutton 2006: 6). Kesiapsiagaan terhadap bencana
merupakan salah satu dimensi dalam manajemen bencana dan sering
diasosiasikan sebagai tindakan-tindakan yang memungkinkan individu
maupun masyarakat untuk dapat merespon kejadian bencana secara cepat
dan efektif (Sutton 2006: 3).
Kesiapsiagaan dalam konteks manajemen bencana sering kali
dimaknai sama dengan mitigasi. Pada dasarnya, kedua konsep ini bertujuan
41
Jurnal Kajian Jepang
Vol. 1 No. 1, Oktober 2017
______________________________________________________________
42
Jurnal Kajian Jepang
Vol. 1 No. 1, Oktober 2017
______________________________________________________________
(Nishikawa, 2011: 42). Dari total 2.924 orang siswa SD dan SMP di Kota
Kamaishi, hanya lima orang yang menjadi korban, dan dari kelima orang
tersebut, empat orang di antaranya adalah mereka yang tidak masuk
sekolah atau mereka yang meninggalkan sekolah lebih dulu, dan satu orang
lainnya diketahui hilang tersapu tsunami setelah pulang berkumpul bersama
keluarganya (The Asahi Shimbun, 2011). Informasi baik ini kemudian
tersebar ke seluruh Jepang dan disebut sebagai “The Miracle of Kamaishi”
(Nishikawa 2011: 42, dan The Asahi Shimbun, 2011). Para siswa tersebut
menyatakan bahwa tindakan-tindakan tersebut bisa mereka ambil berkat
pengetahuan yang mereka peroleh dari pendidikan kebencanaan melalui
latihan menghadapi bencana yang mereka ikuti di sekolahnya (Nishikawa
2011: 42).
“The Miracle of Kamaishi” menunjukkan pentingnya peran aktif dari
individu sebagai aktor utama dalam kesiapsiagaan terhadap
bencana.Fenomena tersebut juga menunjukkan bahwa pengetahuan
kebencanaan dapat lahir dari pendidikan kebencanaan, yang pada akhirnya
melahirkan praktik kesiapsiagaan yang sampai saat ini masih menjadi topik
penting dalam kesiapsiagaan secara umum di samping praktik respons dan
rekonstruksi pascabencana (Nakabayashi, 2008 & Adiyoso, 2012).Praktik
kesiapsiagaan terhadap bencana menjadi isu penting karena dalam
menyelenggarakan kehidupan di dunia, manusia tidak pernah terlepas dari
resiko terdampak bencana, baik bencana alam maupun bencana hasil dari
perbuatan manusia sendiri. Data IFRC (2012) menunjukkan sepanjang tahun
2001-2011, terdapat 500 kejadian bencana yang menimbulkan lebih dari
satu juta korban jiwa dengan total kerugian lebih dari USD 40 milyar setiap
tahunnya. Terlepas dari perbedaan cara pandang mengenai makna bencana
itu sendiri, bencana telah menjadi bagian dari kehidupan manusia sehari-
hari, sehingga pengetahuan kebencanaan perlu dimiliki oleh setiap individu
untuk melakukan praktik kesiapsiagaan.
Beberapa tahun terakhir, penelitian mengenai pentingnya
pengetahuan kebencanaan masih menjadi topik yang menarik untuk diteliti,
khususnya hubungan antara pengetahuan kebencanaan dan usaha
pengurangan risiko bencana (Weichselgartner, et. al., 2015).Namun
43
Jurnal Kajian Jepang
Vol. 1 No. 1, Oktober 2017
______________________________________________________________
44
Jurnal Kajian Jepang
Vol. 1 No. 1, Oktober 2017
______________________________________________________________
2. Metodologi Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode wawancara mendalam untuk
mengumpulkan data primer, serta studi dokumen untuk memperoleh data
sekunder.Metode wawancara mendalam (in-depth interview) dipilih karena
metode ini paling sesuai untuk menggali informasi mengenai perasaan,
pendapat, pemikiran, serta pemilihan tindakan kesiapsiagaan informan
dalam konteks analisis habitus.Wawancara mendalam dilakukan terhadap
empat orang Jepang yang tinggal untuk sementara di Kota Depok,
Indonesia.Wawancara mendalam dilakukan dalam bahasa Jepang, selama
beberapa kali pertemuan untuk setiap informan pada bulan November 2013
bertempat di Kampus UI Depok di mana para informan sedang berada.
Informan ditentukan berdasarkan teknik purposive sampling dengan
mempertimbangkan perbedaan usia, jenis kelamin, pekerjaan, daerah
domisili di Jepang, serta pengalaman dan memori terdampak bencana.
Informan pertama, yaitu YY, seorang laki-laki berusia 41 tahun yang
berprofesi sebagai wartawan dan berdomisili di daerah Nagoya, kota di
mana bencana besar yang merenggut lima ribu korban jiwa terjadi pada
tahun 1959. Informan kedua, yaitu TM, seorang perempuan berusia 41
tahun yang berprofesi sebagai karyawati swasta dan berdomisili di daerah
Kobe, kota di mana bencana besar terjadi pada tahun 1995 yang merenggut
enam ribu korban jiwa. Informan ketiga, yaitu KJ, seorang laki-laki berusia 22
tahun yang berstatus mahasiswa dan berdomisili di Kota Shizuoka namun
menghabiskan lebih dari separuh usianya menempuh pendidikan di Inggris.
Informan keempat, yaitu KR, seorang perempuan berusia 22 tahun yang
berstatus mahasiswi dan berdomisili di daerah Kagoshima, pulau Kyūshū,
daerah yang jarang terjadi gempa bumi, namun rawan terjadi erupsi gunung
berapi.
45
Jurnal Kajian Jepang
Vol. 1 No. 1, Oktober 2017
______________________________________________________________
46
Jurnal Kajian Jepang
Vol. 1 No. 1, Oktober 2017
______________________________________________________________
47
Jurnal Kajian Jepang
Vol. 1 No. 1, Oktober 2017
______________________________________________________________
48
Jurnal Kajian Jepang
Vol. 1 No. 1, Oktober 2017
______________________________________________________________
49
Jurnal Kajian Jepang
Vol. 1 No. 1, Oktober 2017
______________________________________________________________
50
Jurnal Kajian Jepang
Vol. 1 No. 1, Oktober 2017
______________________________________________________________
51
Jurnal Kajian Jepang
Vol. 1 No. 1, Oktober 2017
______________________________________________________________
52
Jurnal Kajian Jepang
Vol. 1 No. 1, Oktober 2017
______________________________________________________________
53
Jurnal Kajian Jepang
Vol. 1 No. 1, Oktober 2017
______________________________________________________________
54
Jurnal Kajian Jepang
Vol. 1 No. 1, Oktober 2017
______________________________________________________________
55
Jurnal Kajian Jepang
Vol. 1 No. 1, Oktober 2017
______________________________________________________________
56
Jurnal Kajian Jepang
Vol. 1 No. 1, Oktober 2017
______________________________________________________________
57
Jurnal Kajian Jepang
Vol. 1 No. 1, Oktober 2017
______________________________________________________________
KR, 27 Nov 2013) dan informan YY yang tidak meletakkan barang berukuran
besar di dekat tempat tidurnya (wawancara YY, 27 Nov 2013). Informasi
tersebut menunjukkan kemampuan habitus kesiapsiagaan informan yang
tetap terwujud meskipun mereka sedang berada di Indonesia.
Kembali kepada karakteristik habitus sebagai structuring structure
(Bourdieu 1977: 72), dari hasil wawancara juga didapatkan informasi bahwa
kesiapsiagaan juga menggerakkan masyarakat Jepang untukikut serta dalam
pelaksanaan latihan menghadapi bencana secara sukarela. “Namun, latihan
yang diadakan oleh lingkungan, bukan merupakan kewajiban. Orang yang
berminat, silakan untuk ikut, (keikutsertaan dalam latihan itu) bukan
merupakan sebuah kewajiban” (wawancara TM, 26 Nov 2013).
Keikutsertaan masyarakat Jepang dalam pelaksanaan latihan di lingkungan
masyarakat tidak lagi sepenuhnya merupakan ketertundukan mereka
terhadap peraturan tertentu, melainkan merupakan praktik yang diproduksi
oleh habitus dalam diri mereka. Habitus kesiapsiagaan yang mereka peroleh
sebagai produk internalisasi struktur dalam pelaksanaan latihan
menghadapi bencana, kemudian terwujud dalam keikutsertaan mereka
secara sukarela dalam pelaksanaan latihan di lingkungan masyarakat. Hal
tersebut diperkuat oleh data hasil penelitian Bajek, et., al. (2007) yang
menunjukkan adanya kecenderungan peningkatan perkembangan jishubou
di Jepang, yang pada tahun 1988 hanya sebesar 31,7% meningkat menjadi
61,3% pada tahun 2003.
Dengan demikian, dalam penelitian ini, sesuai dengan pandangan
Bourdieu mengenai habitus dan praktik, pelaksanaan latihan menghadapi
bencana dilihat sebagai struktur dalam pembentukan habitus dan praktik
kesiapsiagaan informan terhadap bencana gempa bumi. Sedangkan agen
atau keagenan dalam penelitian ini, masih dalam pandangan Bourdieu
mengenai habitus, dilihat sebagai individual yang pendapat serta
pemikirannya berperan dalam pemilihan tindakan mereka di dunia nyata.
Sebagai struktur, pelaksanaan latihan menghadapi bencana menstruktur
habitus kesiapsiagaan informan, yang kemudian terwujud dalam dunia
sosial sebagai praktik kesiapsiagaan informan dalam konteks persiapan dan
respons terhadap bencana gempa bumi.
58
Jurnal Kajian Jepang
Vol. 1 No. 1, Oktober 2017
______________________________________________________________
4. Kesimpulan
Penelitian ini menemukan bahwa kesiapsiagaan informan dalam
konteks persiapan dan respons terhadap bencana gempa bumi, telah
menjadi suatu kebiasaan yang mendarah daging dan mengakar sedemikian
rupa sebagai akibat dari keikutsertaan mereka dalam latihan menghadapi
bencana di Jepang yang dilakukan secara periodik, berulang-ulang, dan
berkelanjutan sejak masa kecil mereka. Di samping itu, faktor memori dan
kondisi geografis juga turut mempengaruhi proses pembentukan
kesiapsiagaan tersebut. Kesiapsiagaan akan diwujudkan dalam bentuk yang
berbeda antar individu karena sangat dipengaruhi oleh faktor memori, yaitu
pengalaman terdampak bencana besar, dan faktor geografis, yaitu
kerentanan jenis bencana berdasarkan tempat tinggal. Pada tataran
struktur, sistem manajemen pencegahan bencana di Jepang yang sangat
menekankan pentingnya kesiapsiagaan pada tataran individu, secara tidak
langsung membentuk mental masyarakat Jepang yang siaga bencana. Dilihat
dari pandangan Bourdieu mengenai habitus dan praktik, kesiapsiagaan
tersebut dapat dilihat sebagai integrasi struktur dan agen, dalam hal ini
individu masyarakat Jepang, dalam konteks pelaksanaan manajemen
bencana di Jepang.
Habitus kesiapsiagaan dan praktik kesiapsiagaan adalah dua hal yang
saling berkaitan. Habitus kesiapsiagaan masyarakat Jepang yang distruktur
melalui pelaksanaan latihan menghadapi bencana hanya terwujud dalam
dunia sosial melalui praktik kesiapsiagaan, di sisi lain, praktik kesiapsiagaan
masyarakat Jepang tersebut distruktur oleh habitus kesiapsiagaan dalam diri
mereka. Temuan penelitian ini berimplikasi terhadap teori Bourdieu, bahwa
hubungan antara struktur, habitus, praktik, dan memori adalah benar dapat
diamati dalam hubungan antara pelaksanaan manajemen bencana dengan
pembentukan kesiapsiagaan informan terhadap bencana, yang pada
akhirnya akan melahirkan apa yang disebut sebagai “disaster culture” bagi
masyarakat Jepang atau dengan kata lain masyarakat Jepang yang siaga
bencana.
59
Jurnal Kajian Jepang
Vol. 1 No. 1, Oktober 2017
______________________________________________________________
Daftar Referensi
Act No. 223. Disaster Countermeasures Basic Act. DCBA.15 November 1961.
Japan.
Adib, M. (2012).Struktur dan Agen dalam Pandangan Pierre Bourdieu.Jurnal
Bio Kultur, I, 2, 91-110.
Adiyoso, W.,& Kanegae, H. (2012).The Effect of Different Disaster Education
Programs on Tsunami Preparedness among School Children in Aceh,
Indonesia.Disaster Mitigation of Cultural Heritage and Historic Cities,6,
165-172.
Aoki, M., & Hayashi, K. 2007-Nen Notohantō jishin hassei-ji ni okeru chiiki
jūmin no tsunami ni kansuru ishiki to saigai kaihi kōdō (Attitudes and
Evacuation Behavior of Residents during the Tsunami after the Noto
Hanto Earthquake in 2007). Chirigaku Hyouron (Journal of Geographical
Review of Japan),82(3), 243-257.
Bajek, R., Matsuda, Y., Okada, N. (2008). Japan’s Jishu-bōsai-soshiki
Community Activities: Analysis of Its Role in Participatory Community
Disaster Risk Management. Natural Hazards, 44, 281-292.
Bourdieu, P. (1977). Outline of Theory of Practice.Cambridge: Cambridge
University Press.
_____. (1990). The Logic of Practice. Cambridge: Polity Press.
Budianto, F. Pelaksanaan Latihan Menghadapi Bencana sebagai Struktur
dalam Pembentukan Habitus dan Praktik Kesiapsiagaan Masyarakat
Jepang Terhadap Bencana Gempa Bumi. Skripsi Sarjana, Program
Sarjana Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia,
Jakarta.
Briceno, S. (2015). Looking back and beyond Sendai: 25 years of
international policy experience on disaster risk reduction. International
Journal of Disaster Risk Science 6(1), 1–7.
Cabinet Office Japan. (2008). Shizen saigai no `gisei-sha zero' o mezasu
tame no sōgō puran (Rencana Terpadu Yang bertujuan untuk Zero
Victim ketika Bencana Alam terjadi). Tokyo: Cabinet Office.
_____. (2011). Nihon no Saigai Taisaku. (Manajemen Bencana di Jepang).
Tokyo: Director General for Disaster Management. Diakses pada 18
60
Jurnal Kajian Jepang
Vol. 1 No. 1, Oktober 2017
______________________________________________________________
61
Jurnal Kajian Jepang
Vol. 1 No. 1, Oktober 2017
______________________________________________________________
Wawancara Mendalam
K, J. (9 November 2013).
---------- (12 November 2013).
---------- (27 November 2013).
K, N. (27 November 2013).
62
Jurnal Kajian Jepang
Vol. 1 No. 1, Oktober 2017
______________________________________________________________
Catatan:
1
AED (automated external defibrillator) adalah sejenis alat portabel untuk
pertolongan pertama pada serangan jantung pada manusia.
2
Chounaikai adalah semacam organisasi di tingkat masyarakat
Jepang sebagai penghubung antara warga masyarakat dengan pemerintahan
dalam hubungan kooperatif *Kurata (2000) dalam Bajek et., al., (2007)+.
Chounaikai bisa dimaknai sebagai organisasi semacam Rukun Tetangga/
Rukun Warga (RT/RW) di Indonesia.
63