Download as docx, pdf, or txt
Download as docx, pdf, or txt
You are on page 1of 8

MAQASHID AL-SYARI’AH

Pendahuluan

Ushul fiqih merupakan cabang ilmu keislaman yang membahas tentang metode
penggalian dalil hukum Islam dari sumber utama, yaitu Al-Quran dan Sunnah. Di dalam
ushul fiqih, ada berbagai pembahasan mengenai dalil, asbabul wurud, jenis-jenis lafaz,
sumber hukum yang digali dan masih banyak seputar penggalian dalil. Tujuannya adalah
untuk menerapkan kaidah-kaidah dan teori-teori terhadap dalil-dalil yang terperinci untuk
menghasilkan hukum syara’ yang dimaksud dalil tersebut. 1

Salah satu teori pendukung ushul fiqih adalah maqashid asy-syari’ah. Maqashid asy-
syari’ah merupakan teori yang sejarahnya sudah ada sejak zaman Nabi Muhammad masih
hidup. Selanjutnya dikemas dengan baik oleh ulama setelah periode tabi’it tabi’in.
Walaupun dalam perkembangannya tidak secepat ilmu ushul fiqih, namun secara teori
sudah diterapkan oleh para ulama pada setiap penetapan hukum yang mereka lahirkan. 2

Maqashid al-syari'ah merupakan salah satu konsep penting dalam kajian hukum
Islam. Karena begitu pentingnya maqashid al-syari'ah tersebut, para ahli teori hukum
menjadikan maqashid al-syari'ah sebagai sesuatu yang harus dipahami oleh mujtahid saat
melakukan ijtihad. Adapun inti dari maqashid al-syari’ah adalah mewujudkan kemaslahatan
dan menghindarkan dari kemadharatan.3
Istilah maqashid al-syari’ah dipopulerkan oleh salah satu ulama Malikiyah,yaitu Abu
Ishaq Al-Syatibi (w. 790 H). Namun sebelum beliau, sudah ada pembicaraan mengenai
maqashid al-syari’ah, yaitu ketika ulama ushul fiqih membahas mengenai teori maslahah,
seperti Imam Al-Juwaini (w. 478 H), dan Imam Al-Ghazali (w. 505 H). Pembahasan mereka
tentang maslahah pada dasarnya menjelaskan tentang tujuan-tujuan Allah dalam
menetapkan hukum. Pembahasan maslahah dilanjutkan oleh Fakhruddin Ar-Razi (w. 606 H),
Al-‘Amidi (w. 631 H), Izzuddin Ibnu Abd al-Salam (w. 660 H), Al-Qarafi (w. 684 H), Najm al-
din At-Thufi (w. 716 H), Ibnu Taimiyah (w. 728 H), Ibn al-Qayyim al-Jauziyah (w. 751 H), al-
Zarkasyi (w. 794), dan Al-Syathibi (w. 790 H). Menurut pendapat yang masyhur, kajian

1
Abdul Wahab Khalaf, Ilmu Ushul Fiqih, ter. Moh.Zuhri dan Ahmad Qarib, (Semarang:Toha Putra Group, 2014),
hal 1
2
Busyro, Maqashid Al-Syari’ah, (Jakarta:Pranadamedia Group, 2019), hal. 1
3
Ghofar Shidiq, Teori Maqashid Al-Syari'ah Dalam Hukum Islam, Jurnal Sultan Agung Vol 44 no 118, hal 117
maqashid al-syari’ah mengalami perkembangan pesat di masa Al-Syathibi, sebab maqashid
al-syari’ah sudah tertata secara sistematis. Kajian dari al-Syathibi mengenai maqashid
syari’ah dijadikan pembahasan utama hingga sekarang. 4
Pada dasarnya, kajian maqashid al-syari’ah sudah memenuhi persyaratan sebagai
satu disiplin ilmu ditinjau dari segi filsafat. Syarat yang dimaksud adalah sudah mempunyai
ontologi yang jelas, epistimologi yang dapat dipertanggungjawabkan, dan aksiologi yang
terukur. Meskipun begitu, para ulama cenderung tidak sependapat menjadikan maqashid
al-syari’ah sebagai suatu ilmu yang berdiri sendiri. Hal ini terbukti teori maqashid al-syari’ah
digunakan hanya untuk membantu ushul fiqih dalam istinbath hukum. 5

Pengertian dan dasar hukum Maqashid al-syari’ah


Dilihat dari struktural, istilah maqashid al-syari’ah terdiri dari dua kata, yaitu
maqashid dan al-syari’ah. Masing-masing memiliki makna. Kata maqashid merupakan
bentuk jama’ dari kata maqshud yang berasal dari kata qashd. Secara bahasa, qashd
bermakna menuju suatu arah, tujuan, tengah-tengah, adil dan tidak melampaui batas. 6
Menurut Ibnu Manzhur (w.711 H), kata qashd dapat bermakna istiqamah ath-thariq
(keteguhan pada suatu jalan) dan al-i’timad (sesuatu yang menjadi tumpuan). Sebagaimana
kata qashd dalam surat An-Naml ayat 9,
‫وعلى هللا قصد السبيل ومنها جائر ولو شاء لهداكم أجمعين‬
“dan hak bagi Allah (menerangkan) jalan yang lurus, dan diantara jalan-jalan ada yang
bengkok. Dan jikalau Dia menghendaki, tentu Dia menunjuki kamu semuanya (kepada jalan
yang benar).”

Kata qashd juga berarti adl (keadilan) dan tawasuth (mengambil jalan tengah). Makna ini
sesuai dengan surah Luqman ayat 19 yang berbunyi,
‫واقصد في مشيك واغضض من صوتك ان انكر االصوات لصوت الحمير‬
“dan sederhanalah kamu dalam berjalan dan rendahkanlah suaramu. Sesungguhnya
seburuk-buruk suara adalah suara keledai.“

4
Busyro, Maqashid Al-Syari’ah, (Jakarta:Pranadamedia Group, 2019), hal. 2
5
Busyro, Maqashid Al-Syari’ah, ........ hal. 2
6
Moh. Toriquddin, Teori Maqashid Syari'ah Perspektif Al-Syatibi, De Jure: Jurnal Syariah dan Hukum, Vol 6 no
1, Juni 2014, hal 33
Berdasarkan makna-makna di atas dapat disimpulkan bahwa kata al-qashd digunakan
untuk makna pencarian jalan lurus dan keharusan berpegang pada jalan tersebut. Selain itu
juga digunakan untuk makna bahwa suatu perbuatan atau perkataan harus dilakukan
dengan timbangan keadilan, tidak berlebih-lebihan. Dengan demikian, maqashid adalah
sesuatu yang dilakukan dengan penuh pertimbangan dan ditujukan untuk mencapai sesuatu
yang dapat mengantarkan seseorang kepada jalan yang lurus. Selanjutnya agar sesuatu
tersebut dapat menyelesaikan masalah yang dihadapi dalam kondisi apapun. 7
Adapun syari’ah secara etimologi, bermakna sumber air yang dituju untuk minum.
Kemudian kata syari’ah digunakan orang Arab untuk makna jalan yang lurus. 8 Perubahan
makna syari’at dari sumber air menjadi jalan yang lurus sebab sumber air merupakan sarana
kehidupan manusia, hewan dan tumbuhan, dan Syari’at merupakan petunjuk jalan yang
lurus bagi manusia yang mengarahkan ke hal-hal yang baik. Hal ini sebagaimana firman Allah
dalam surat Al-Jatsiah ayat 18,9
‫ثم جعلناك على شريعة من االمر فاتبعها‬
“kemudian kami jadikan engkau (Muhammad) mengikuti syariat (peraturan) dari agama itu,
maka ikutilah (syariat itu),”10
Juga berdasarkan surat Al-Maidah ayat 48
‫لكل جعلنا منكم شرعة ومنهاجا‬
“Untuk setiap umat diantara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang...” 11
Dengan demikian, maqashid al-syari’ah ditinjau dari segi bahasa berarti upaya
manusia untuk mendapatkan solusi yang sempurna dan jalan yang benar berdasarkan
sumber utama ajaran Islam, Al-Quran dan Hadis. Sedangkan untuk pemaknaan secara istilah
belum didefinisikan secara langsung oleh Al-Syathibi sebagai ulama yang mematangkan
konsep ini. Definisi maqashid al-syariah baru dikemukakan oleh ulama setelah beliau.
Namun setidaknya kajian utama dari maqashid al-syari’ah atau materi yang menjadi inti dari
semuanya sudah tergambar dalam beberapa ungkapan dan pembahasan para ulama
tersebut. Pada dasarnya mereka mengatakan bahwa isi maqashid al-syari’ah adalah untuk
mewujudkan kemaslahatan manusia di dunia dan di akhirat.12
7
Busyro, Maqashid Al-Syari’ah, ........ hal. 6
8
Abdul Wahab Abd. Muhaimin, Aktualisasi Syari’ah dan Fiqih dalam Menyelesaikan Pelbagai Persoalan
hukum, Ahkam Vol 15 No 2, 2015, hal. 241
9
Manna’ Qaththan, Tarikh at-Tasyri’ al-Islamy, (Saudi:Maktabah al-Ma’arif, Tt), hal 13
10
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, (Surabaya:Pustaka Assalam, 2010), hal 720
11
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, ..... hal 154
12
Busyro, Maqashid Al-Syari’ah, ........ hal. 9
Menurut Thahir Ibnu Asyur (w. 1973 M), maqashid al-syari’ah adalah makna-makna
dan hikmah-hikmah yang diinginkan oleh syari’ dalam setiap penetapan hukum secara
umum. Sedangkan menurut ‘Alal al-Fasiy (w. 1973), maqashid al-syari’ah adalah tujuan akhir
dan rahasia-rahasia yang diinginkan oleh syari’ pada setiap hukum yang ditetapkannya.
Adapun Manshur Al-Khalifi mendefinisikan maqashid al-syari’ah sebagai makna dan hikmah
yang dikehendaki oleh syari’ dalam setiap penetapan hukum untuk merealisasikan
kemaslahatan manusia di dunia dan di akhirat. Ada satu lagi definisi maqashid al-syari’ah
yang dikemukakan oleh Wahbah Az-Zuhaili yang dinilai mencakup semua definisi di atas,
yaitu makna-makna dan tujuan yang dapat dipahami pada setiap hukum dan untuk
mengagungkan hukum itu sendiri, atau bisa diartikan sebagai tujuan akhir dari syari’at Islam
dan rahasia-rahasia yang ditetapkan oleh syari’ pada setiap hukum yang ditetapkan-Nya. 13
Dari beberapa definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa definisi maqashid al-syari’ah
secara istilah adalah makna, hikmah, rahasia, dan tujuan akhir yang dikehendaki Syari’
dalam setiap penetapan hukum secara umum untuk mengagungkan hukum itu sendiri.
Melihat dari keterangan di atas, terdapat hubungan antara makna bahasa dengan makna
istilah. Jika dihubungkan dengan makna secara bahasa, maqashid al-syari’ah adalah
berpegang teguh pada suatu jalan dan Syari’ (Allah swt) menghendaki untuk
merealisasikannya. Syari’ telah menjadikannya sebagai penyelesai masalah dengan cara
apapun, namun tetap pada prinsip keadilan dan mengambil jalan tengah serta tidak
berlebih-lebihan. Dengan demikian, maqashid al-syari’ah adalah tujuan dan kiblat dari
hukum syara’ dimana semua mujtahid harus menghadapkan perhatiannya kesana. 14

Pemikiran Maqashid al-Syari’ah Perspektif Al-Syathibi


Al-Syathibi (w. 790 H) merupakan ulama ushul fiqih yang mematangkan konsep maqashid al-
syari’ah. Kitab al-Muwafaqat fi ushul al-syari’ah merupakan karya monumentalnya dalam
bidang ini, terutama juz kedua dari kitab ini. kitab ini selalu dijadikan rujukan utama oleh
ulama yang mengkaji hukum Islam, khususnya dalam bidang maqashid al-syari’ah. Oleh
karena itu, al-Syathibi dianggap sebagai “bapak maqashid al-syari’ah”. 15
Sebelum menjelaskan tentang maqashid al-syari’ah, al-Syathibi terlebih dahulu
menjelaskan tentang ta’lil al-syari’ah (ilat disyariatkannya hukum). Menurutnya
13
Busyro, Maqashid Al-Syari’ah, (Jakarta:Pranadamedia Group, 2019), hal. 10
14
Busyro, Maqashid Al-Syari’ah ....... hal 11
15
Busyro, Maqashid Al-Syari’ah ....... hal 55
ditetapkannya suatu hukum adalah untuk kemaslahatan hamba baik di dunia maupun
akhirat. Adanya ilat hukum berlaku pada semua hukum secara terperinci. Hal ini terbukti
dengan adanya teks-teks yang mengandung arti disyariatkannya hukum karena ada illat-nya,
baik secara global maupun parsial. Contoh ta’lil secara global ada dalam firman Allah surah
Al-Anbiya’: 107,16
‫وما ارسلناك اال رحمة للعالمين‬
“dan Kami tidak mengutus engkau (Muhammad) melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi
seluruh alam.”17
Dan contoh ta’lil secara parsial terdapat dalam surah al-Maidah: 6,
‫وما يريد هللا ليجعل عليكم من حرج ولكن يريد ليطهركم وليتم نعمته* عليكم لعلكم تشكرون‬
“Allah tidak ingin menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamudan
menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, agar kamu bersyukur.” 18

pembahasan maqashid al-syari’ah yang dilakukan al-Syathibi cukup luas dan integral.
Dapat disimpulkan bahwa maqashid al-syari’ah, dia melanjutkan apa yang telah dibahas
oleh ulama sebelumnya. Namun apa yang dilakukan oleh al-Syathibi, menarik banyak pihak
karena dia mengumpulkan persoalan-persoalan yang tercecer dan dibahas sebagian oleh
ulama sebelumnya menjadi sebuah pembahasan tersendiri dalam kitabnya, yaitu al-
Muwafaqot dimana dia mengkhususkan pembahasan mengenai maqashid ini dalam satu juz
penuh (juz dua) dari keseluruhan juz dalam kitab tersebut yang berjumlah empat juz. Ia juga
mengembangkan dan memperluas apa yang telah dibahas oleh ulama-ulama sebelumnya
mengenai maqashid ini. ia juga menyusunnya dengan sistematis seperti layaknya sebuah
disiplin ilmu yang berdiri sendiri sehingga lebih mudah untuk dipelajari. Walaupun demikian,
sampai tahap ini, maqashid al-syari’ah masih belum dianggap sebagai disiplin ilmu yang
berdiri sendiri.19
Dalam pembahasan ini, al-Syathibi membagi maqashid al-syari’ah menjadi dua
bagian penting, yaitu brdasarkan sisi qashd al-Syari’ dan qashd al-mukallaf. Ia membaginya
menjadi 4 (empat) bagian, yaitu

16
Moh. Toriquddin, Teori Maqashid Syari'ah Perspektif Al-Syatibi, De Jure: Jurnal Syariah dan Hukum, Vol 6 no
1, Juni 2014, hal 35
17
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, (Surabaya:Pustaka Assalam, 2010), hal 460
18
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, (Surabaya:Pustaka Assalam, 2010), hal 144
19
Busyro, Maqashid Al-Syari’ah, (Jakarta:Pranadamedia Group, 2019), hal. 56
1. Qashd al-Syari’ fi wadh’i al-syari’ah (maksud Syari’ dalam menetapkan syariat).
Pembahasan yang dilakukan dalam masalah ini menjelaskan tujuan-tujuan Allah
menetapkan hukum bagi manusia. Menurut al-Syathibi, Allah swt menurunkan
syariat (aturan hukum) tiada lain untuk mengambil kemaslahatan dan menghindari
kemadharatan. Al-Syathibi ingin meyakinkan bahwa aturan-aturan hukum yang
diturunkan Allah swt hanya untuk merealisasikan kemaslahatan bagi manusia.
Adapun maslahat yang dimaksud, dapat dibagi menjadi 3 (tiga) bagian, yaitu
dharuriyat, hajiyat, dan tahsiniyat.20
2. Qashd al-Syari’ fi wadh’i al-syari’ah li al-ifham (tujuan Syari’ dalam menetapkan
hukum adalah agar dapat dipahami). Dalam hal ini, tujuan Allah dalam menetapkan
hukum adalah agar manusia dapat memahaminya. Tema penting yang dibicarakan
disini adalah tentang bahasa Al-Qur’an, yang mana untuk mengetahuinya
dibutuhkan pengetahuan yang mendalam tentang bahasa arab, meliputi gaya
bahasa, cara memahami petunjuk lafaz, dan ilmu-ilmu lainnya yang terkait dengan
bahasa arab seperti ilmu balaghah, ilmu mantiq dan lain sebagainya. 21
3. Qashd al-Syari’ fi wadh’i al-syari’ah li al-taklif bi muqtadhaha ( tujuan Syari’ dalam
menetapkan hukum adalah untuk dilaksanakan sesuai dengan kehendaknya). Tema
poko yang dibahas disini adalah seputar taklif di luar kemampuan manusia dan taklif
yang mengandung masyaqoh (kesulitan) di dalamnya. 22
4. Qash al-Syari’ fi dukhul al-mukallaf tahta ahkam al-syari’ah (tujuan Syari’ agar
manusia selalu berada dalam aturan hukum syara’) Pembahasan bagian terakhir ini
merupakan pembahasan paling panjang mencakup 20 masalah, yang semuanya
mengacu kepada pertanyaan: “Mengapa mukallaf melaksanakan hukum syari‟ah?”.
Abdullah Bin Daraz meringkas menjadi dua jawaban pertama dan ke dua. Pertama
adalah untuk meletakkan aturan yang bisa mengantarkan manusia pada kebahagian
dunia dan akhirat bagi orang yang menjalankannya. Dan yang ke dua seseorang
dituntut untuk masuk pada aturan dan mentaatinya bukan mentaati hawa nafsunya.
Pada akhir jawabannya Syathibi menambahkan bahwa tujuan syar‟i dari peletakan
syariah adalah untuk mengeluarkan mukallaf dari tuntutan dan keinginan hawa

20
Busyro, Maqashid Al-Syari’ah, (Jakarta:Pranadamedia Group, 2019), hal. 56
21
Busyro, Maqashid Al-Syari’ah ..... hal. 57
22
Busyro, Maqashid Al-Syari’ah ...... hal 57
nafsunya sehingga ia menjadi seorang hamba yang ikhtiyâran di samping juga
sebagai hamba Allah yang idṭirâran.23

Mengetahui Metode Maqashid al-Syari’ah


Untuk mengetahui maqashid al-syari’ah diperlukan upaya analisis terhadap lafaz-
lafaz perintah dan larangan yang mencakup sifat-sifat hukum, hakikat perintah dan larangan
secara lahiriah, disertai analisis terhadap tujuan utama dan tujuan tambahan. Adapun jenis
analisis maqashid al-syari’ah secara rinci antara lain; Pertama, analisis terhadap sifat-sifat
hukum yang akan dijadikan illat perintah dan larangan. Analisis ini dilakukan untuk untuk
mengetahui alasan Syari’ dalam menetapkan sesuatu. Menurut al-Syathibi, alasan tersebut
terkadang disebutkan secara jelas dalam nash (al-illat al-manshushah) dan ada yang tidak
jelas (al-illat ghair al-manshushah). Ketika alasan itu disebut dengan jelas, maka alasan itu
harus diikuti, sebab dengan mengikuti alasan yang jelas, tujuan hukum akan tercapai. Al-
Syathibi memberi contoh illat yang jelas dengan adanya perintah nikah yang bertujuan
untuk melestarikan keturunan, syariat jual beli untuk saling mendapat manfaat satu sama
lain, dan ketentuan hudud untuk melestarikan kemaslahatan jiwa. Namun apabila illat tidak
jelas atau tidak tertulis, maka menurut al-Syathibi, harus mauquf (terhenti), sebab hanya
Allah yang mengetahui alasannya.24 Keharusan mauquf ini didasari 2 (dua) pertimbangan,
yaitu tidak dibolehkannya melakukan perluasan terhadap apa yang ditetapkan oleh nash
tanpa mengetahui illat hukum, dan tidak diperbolehkannya memperluas cakupan yang telah
ditetapkan nash.25
Kedua, analisis terhadap hakikat perintah dan larangan. Setiap perintah dan larangan
yang terdapat dalam nash mempunyai tujuan yang jelas, yaitu untuk mewujudkan
kemaslahatan dan menghindarkan dari kemadharatan. Menurut al-Syatibhi, jika ada suatu
perintah dan dengan perintah itu dilakukan suatu perbuatan, maka itulah tujuan Syari’.
Sebaliknya ketika ada larangan dan itu untuk tidak dilakukan, maka itulah tujuan Syari’.
Dalam hal ini, al-Syathibi memiliki dua syarat agar kedua kategori tersebut (perintah dan
larangan) dapat menghasilkan tujuan yang diinginkan Syari’. Syarat pertama, keduanya

23
Moh. Toriquddin, Teori Maqashid Syari'ah Perspektif Al-Syatibi, De Jure: Jurnal Syariah dan Hukum, Vol 6 no
1, Juni 2014, hal 37
24
Busyro, Maqashid Al-Syari’ah, (Jakarta:Pranadamedia Group, 2019), hal. 75
25
Ghafar Shidiq, Teori Maqashid Al-Syari’ah dalam Hukum Islam, Jurnal Sultan Agung Vol 44 No 118, hal 125
semata-mata perintah atau larangan yang dituju sejak awal. Perintah atau larangan itu jelas
dan tegas.26 Misalnya surah Al-Jumuah ayat 9:
‫يآ ايها الذين امنوا اذا نودي للصالة من يوم الجمعة فاسعوا الى ذكر هللا وذروا البيع ذلكم‬

26
Busyro, Maqashid Al-Syari’ah, (Jakarta:Pranadamedia Group, 2019), hal. 78

You might also like