Professional Documents
Culture Documents
Hasil Identifikasi Karakteristik Permuki
Hasil Identifikasi Karakteristik Permuki
disusun oleh:
Anoraga Jatayu 3613100006
Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk menambah pengetahuan tentang permukiman
kumuh yang terdapat di kota Surabaya, seperti dari segi karakteristik kawasan yang meliputi
kondisi bangunan, kepadatan bangunan, kepadatan penduduk, serta penyediaan sarana dan
prasarana. Sehingga nantinya, didapatkan upaya apa yang dapat dilakukan guna mengatasi
permasalahan permukiman kumuh. Metode pengumpulan datanya meliputi pengamatan
langsung dan wawancara dengan masyarakat sekitar mengenai kondisi fisik hunian dan
lingkungan permukiman serta data sekunder yang didapat dari BPS dan data monografi Kelurahan
Ngagel tahun 2013. Hasil penelitian kami menunjukkan bahwa rumah-rumah yang terbangun
disana memiliki jarak yang sangat dekat dengan rel kereta api, mungkin hanya sekitar 1-2 meter.
Padahal seharusnya, jarak rumah dengan rel kereta api adalah sebesar 3 meter. Selain itu,
permukiman tersebut juga memiliki kondisi bangunan yang beragam. Sebagian wilayah bersifat
permanen, sedangkan yang lain masih bersifat semi-permanen dan bahkan tidak layak huni. Dari
segi kepadatan bangunannya, bangunan rumah antara satu warga dengan warga lainnya hampir
tidak mempunyai jarak. Untuk penyediaan jaringan listrik sudah tersebar merata. Namun, untuk
jaringan air bersih dan sanitasi belum tersebar dengan baik. Untuk jaringan air bersih, warga
sudah menggunakan air PDAM namun kualitas airnya kurang baik sehingga masih ada warga yang
menggunakan sumur untuk memenuhi kebutuhan air bersih. Sedangkan untuk sanitasi, belum
semuanya memiliki toilet atau WC sehingga masih disediakan WC umum di sana. Untuk
penyediaan sarana pendidikan, di daerah ini terdapat pendidikan formal maupun informal.
Sedangkan sarana kesehatan, masyarakat sekitar hanya mengandalkan Puskesmas yang betempat
di dekat Kantor Kelurahan Ngagel. Dari segi sosial, dimasing-masing RT warga telah memiliki Balai
RT. Dan yang terakhir dari segi ekonomi, sebagian besar masyarakat sekitar bermata pencaharian
sebagai buruh.
v
Daftar Isi
ABSTRAK............................................................................................................................................ii
Daftar Isi...........................................................................................................................................iii
Daftar Tabel......................................................................................................................................iv
Daftar Gambar..................................................................................................................................iv
Kata Pengantar..................................................................................................................................v
BAB I..................................................................................................................................................1
PENDAHULUAN.................................................................................................................................1
1.1 Latar Belakang...................................................................................................................1
1.2 Tujuan Penulisan...............................................................................................................1
1.3 Manfaat Penulisan.............................................................................................................2
1.4 Sistematika Penulisan........................................................................................................2
BAB II.................................................................................................................................................3
TINJAUAN LITERATUR, PERATURAN, DAN KEBIJAKAN.......................................................................3
2.1 Tinjauan Literatur..............................................................................................................3
2.2 Peraturan yang Terkait dengan Perumahan dan Permukiman..........................................6
BAB III................................................................................................................................................8
PEMBAHASAN...................................................................................................................................8
3.1 Karakteristik Kawasan........................................................................................................8
3.1.1 Kondisi Bangunan......................................................................................................9
3.1.2 Kepadatan Bangunan.................................................................................................9
3.1.3 Kepadatan Penduduk...............................................................................................10
3.1.4 Penyediaan Prasarana.............................................................................................11
3.1.5 Penyediaan Sarana..................................................................................................12
3.2 Perbaikan lingkungan yang pernah dilakukan.................................................................12
3.3 Upaya untuk Mengatasi Permasalahan...........................................................................13
BAB IV..............................................................................................................................................16
PENUTUP.........................................................................................................................................16
v
Daftar Tabel
Daftar Gambar
v
Kata Pengantar
Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Puji syukur atas kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena tak lepas dari rahmat dan hidayahNya,
kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul Laporan Hasil Identifikasi Karakteristik
Permukiman Kumuh di Kelurahan Ngagel, Kecamatan Wonokromo, Kota Surabaya. Laporan ini
disusun sebagai pemenuhan tugas mata kuliah Perumahan dan Permukiman.
Penulis menyadari bahwa makalah ini tersusun dengan peran serta dari berbagai pihak.
Untuk itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada:
1. Ibu Rulli Pratiwi Setiawan ST., M.Sc. sebagai dosen mata kuliah Perumahan dan
Permukiman, arahan dan bimbingan beliau sangat membantu dalam penyusunan
laporan ini.
2. Dr.Ir. Rima Dewi. MIP sebagai dosen mata kuliah Perumahan dan Permukiman, arahan
dan bimbingan beliau sangat membantu dalam penyusunan laporan ini.
3. Dian Rahmawati.ST..MT. sebagai dosen mata kuliah Perumahan dan Permukiman,
arahan dan bimbingan beliau sangat membantu dalam penyusunan laporan ini.
4. Kedua orang tua dan keluarga yang telah mendukung selama masa studi di Institut
Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya.
5. Rekan-rekan di Jurusan Perencanaan Wilayah dan Kota yang selalu memberikan
dorongan dan motivasi selama proses penyusunan makalah ini.
Seperti pepatah, tak ada gading yang tak retak, begitu pula dengan laporan ini. Penulis
menyadari bahwa masih terdapat banyak kekurangan dalam makalah ini. Untuk itu, kritik dan
saran pembaca yang bersifat membangun sangat kami harapkan, agar di kemudian hari kami tidak
melakukan kesalahan yang sama. Akhir kata, kami berharap agar makalah ini dapat bermanfaat
bagi pembaca.
Penulis
v
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Suatu kota dapat terbentuk dari adanya konsentrasi penduduk yang mungkin awalnya
hanya terdiri dari puluhan atau ratusan orang, tetapi kemudian terus berkembang hingga belasan
juta orang dengan membentuk sejumlah lokasi pemukiman. Dari proses tersebut maka dapat
dikatakan bahwa suatu pemukiman merupakan salah satu bagian dari pembentuk kota.
Pemukiman merupakan titik awal dimana suatu kota tumbuh dan berkembang. Keberadaan
pemukiman saat ini tidak hanya dilihat dari fenomena fisiknya saja, tetapi selain sebagai elemen
dari pertumbuhan kota, pemukiman juga sebagai pusat dari aktivitas ekonomi, simbol dari
penerimaan sosial, distribusi pendapatan dan sebagai pemenuhan kebutuhan sosial.
Seiring dengan terjadinya pertumbuhan penduduk yang terus meningkat, sedangkan
jumlah ketersediaan lahan untuk pemukiman yang tetap maka terjadi persaingan untuk
mendapatkan tempat bermukim. Persaingan tempat bermukim ini bukan hanya dilihat dari
ketersediaan lahannya saja, tapi masyarakat juga melihat dari sisi lokasi. Lokasi pemukiman yang
dekat dengan berbagai pusat kegiatan merupakan sasaran utama dari pemilihan tempat
pemukiman (Nasution, 1978). Dengan kondisi yang seperti ini menyebabkan tidak jarang pada
lokasi pemukiman yang dekat dengan pusat kegiatan akan timbul beberapa titik konsentrasi
pemukiman hunian yang padat.
Kota Surabaya sebagai salah satu kota besar di Indonesia juga mengalami fenomena
seperti di atas. Dengan luas wilayah 274,06 Km2 yang dibagi dalam 31 kecamatan dan 163
kelurahan, jumlah penduduk Kota Surabaya sampai dengan tahun 2012 mencapai 3,110,187 jiwa
(Surabaya dalam Angka Tahun 2013). Pertumbuhan penduduk Kota Surabaya tahun 2000-2010
(Surabaya dalam Angka Tahun 2011) mengalami peningkatan sekitar 0,63% per tahun dan hal ini
diperkirakan akan meningkat tiap tahunnya. Kondisi yang seperti ini memperlihatkan bahwa Kota
Surabaya pasti tidak lepas dari adanya titik-titik lokasi pemukiman padat hunian. Berdasarkan
laporan data dasar RP4D Kota Surabaya, sebaran lokasi permukiman kumuh tersebar merata
hampir di seluruh kelurahan yang ada di Kota Surabaya.
Kecamatan Wonokromo merupakan salah satu kecamatan di Kota Surabaya bagian
selatan yang di beberapa titik wilayahnya memiliki pemukiman kumuh. Salah satu titik kumuh di
Kecamatan Wonokromo terletak di Kelurahan Ngagel.Permukiman kumuh di Wilayah Ngagel
dapat Kriteria kumuh di Wilayah Kelurahan Ngagel ini ditinjau dari kualitas kondisi fisik, kepadatan
penduduk, dan penyediaan sarana dan prasarana.
15
3. Merumuskan upaya-upaya untuk mengatasi permasalahan permukiman kumuh di
Kelurahan Ngagel
15
BAB II
Menurut Finch dalam Wayang (1980), permukiman merupakan tempat hidup manusia
dan melakukan berbagai macam aktivitas, sedangkan pola permukiman dapat diartikan sebagai
suatu tempat (ruang) atau suatu daerah tempat penduduk berkumpul dan hidup bersama,
menggunakan lingkungan setempat untuk mempertahankan, melangsungkan, dan
mengembangkan hidupnya. Pengertian pola permukiman dan persebaran permukiman bervariasi
sifatnya, dari sangat jarang sampai sangat padat, dapat mengelompok, dapat tidak teratur, atau
teratur. Pertama, permukiman lebih banyak terdapat pada tanah-tanah yang subur dengan relatif
datar yang menguntungkan untuk pertanian, kedua persebaran yang mengelompok atau tidak
teratur umumnya terdapat pada wilayah-wilayah yang topografinya tidak seragam.
Menurut Dwi Ari & Antariksa (2005:78), permukiman merupakan salah satu kebutuhan
dasar manusia karena dalam menjalankan segala bentuk aktivitasnya, manusia membutuhkan
tempat bernaung dan melindungi dirinya dari berbagai macam bahaya seperti hujan dan bahaya
lainnya yang dapat muncul sewaktu-waktu. Dalam memilih tempat tinggal, masyarakat tidak
selalu terpaku pada kondisi rumah itu sendiri tetapi lebih memperhatikan kelengkapan dari
fasilitas kegiatan dan sosial di lingkungan tempat tinggal serta kemudahan aksesibilitasnya.
Kawasan kumuh adalah sebuah kawasan dengan tingkat kepadatan populasi tinggi di
sebuah kota yang umumnya dihuni oleh masyarakat miskin. Kawasan kumuh dapat ditemui di
berbagai kota besar di dunia. Kawasan kumuh umumnya dihubung-hubungkan dengan tingkat
kemiskinan dan pengangguran tinggi. Kawasan kumuh dapat pula menjadi sumber masalah sosial
seperti kejahatan, obat-obatan terlarang dan minuman keras. Di berbagai negara miskin, kawasan
kumuh juga menjadi pusat masalah kesehatan karena kondisinya yang tidak higienis.
15
Beberapa indikator yang dapat dipakai untuk mengetahui apakah sebuah kawasan
tergolong kumuh atau tidak adalah diantaranya dengan melihat : Tingkat kepadatan kawasan,
Kepemilikan lahan dan bangunan serta kualitas sarana dan prasarana yang ada dalam kawasan
tersebut.Namun demikian kondisi kumuh tidak dapat digeneralisasi antara satu kawasan dengan
kawasan lain karena kumuh bersifat spesifik dan sangat bergantung pada penyebab terjadinya
kekumuhan. Tidak selamanya kawasan yang berpenduduk jarang atau kawasan dengan mayoritas
penghuni musiman/liar masuk dalam kategori kumuh. Kerenanya penilaian tingkat kekumuhan
harus terdiri dari kombinasi dari beberapa indikator kumuh yang ada (Wikipedia Indonesia).
a. Opostumis, yaitu pemukiman kumuh yang tumbuh karena adanya spekulasi demi
mendapatkan ganti rugi bila digusur. Kondisi ini berlangsung secara perlahan-lahan
menempati lahan kosong yang ada pada tempat terlarang di pusat kota.
b. Menetap dan permanen, yaiu pemukiman kumuh yang terjadi secara organis akibat
semakin patnya penduduk pada suatu kawasan. Pemukiman ini berasal dari lingkungan
yang teratur tetapi lambat laun menjadi kumuh akibat kurang kontrolnya penendalian
pembangunan oleh penghuni pemukiman tersebut.
c. Transito, yaitu bentuk pemukiman yang kumuh yang sifatnya sementara dan sebagian
besar penghuninya menetap untuk sementara waktu.
Bentuk dasar pemukiman kumuh menjadi bahan perbedaan untuk menilai jenis
pemukiman yang cepat berkembang dan meluas di wilayah perkotaan. Menurut Subakti (1984),
karakteristik khusus lingkungan kawasan pemukiman kumuh, yaitu :
a. Permukiman tersebut dihuni oleh penduduk yang padat karena migrasi tinggi dari desa.
b. Perkampungan tersebut dihuni oleh warga yang berpenghasilan rendah dan hidup di
bawah garis kemiskinan.
c. Permukiman tersebut berkualitas rendah dan masuk dalam kategori kumuh darurat yaitu
bangunan yang terbuat dari bahan-bahan tradisional seperti bambu, kayu, alang-alang dan
bahan-bahan yang cepat hancur.
d. Kondisi kesehatan dan sanitasi yang rendah, perkampungan miskin ini selalu ditandai
dengan tersebarnya penyakit menular dan lingkungan fisik yang kotor.
e. Kurangnya pelayanan kota (urban service) seperti: air minum, fasilitas mandi, cuci, wc,
listrik, sistem buangan kotoran dan sampah serta perlindungan kebakaran.
f. Pertumbuhan tidak terencana sehingga penampilan fisiknya tidak teratur dalam bangunan,
halaman dan jalan-jalan, juga sempitnya ruang antar bangunan.
15
g. Penghuni permukiman ini memiliki gaya hidup pedesaan, karena sebagian besar
penghuninya adalah migran dari desa yang masih mempertahankan pola kehidupan
tradisional, barsuasana seperti di desa dan bergotong royong.
h. Secara sosial terisolasi dari permukiman masyarakat lainnya.
i. Perkampungan ini pada umumnya berlokasi di sekitar pusat kota dan seringkali tidak jelas
status hukum tanah yang ditempati.
2.1.5 Kriteria Permukiman Kumuh
a.
Lingkungan yang berpenghuni padat (melebihi 500 org per Ha).
b.
Kondisi sosial ekonomi masyarakat rendah.
c.
Jumlah rumahnya sangat padat dan ukurannya di bawah standar.
d.
Sarana prasarana tidak ada atau tidak memenuhi syarat teknis dan kesehatan.
e.
Hunian dibangun di atas tanah milik negara atau orang lain dan di luar perundang-
undangan yang berlaku.
Dan berikut adalah Standar Nasional Indonesia tentang Permukiman yang dipaparkan
dalam Tabel 2.1:
2.1.6 Kebijakan
1. Surat Edaran Menpera No. 04/SE/M/I/93 Tahun 1993 mengenai Kebijakan Penanganan
Permukiman Kumuh dengan isi lingkungan hunian dan usaha yang tidak layak huni yang
keadaannya tidak memenuhi persyaratan teknis, social, kesehatan, keselamatan dan
kenyamanan serta tidak memenuhi persyaratan ekologis dan legal administrasi yang
penanganannya dilaksanakan melalui pola perbaikan/pemugaran, peremajanaan maupun
relokasi sesuai dengan tingkat/kondisi permasalahan yang ada.
15
2. Millenium Development Goals (MDG’s) mengenai perumahan pada target 11 yang
merujuk pada kondisi kepastian bermukim bagi rumah tangga terutama di kawasan
perkotaan dan mengenai permukiman yang terkait pada indikator 1 yang diterjemahkan
sebagai proporsi penduduk, baik perdesaan maupun perkotaan, yang sumber air
minumnya berasal dari sumber air yang terlindungi baik perpiapaan maupun non
perpipaan terhadap total penduduk.
(13) Permukiman kumuh merupakan permukiman yang tidak layak huni karena ketidakteraturan
bangunan, tingkat kepadatan bangunan yang tinggi, dan kualitas bangunan serta sarana
dan prasarana yang tidak memenuhi syarat.
(14) Permukiman kumuh adalah perumahan yang mengalami penurunan kualitas fungsi sebagai
tempat hunian.
Munculnya permukiman yang terjadi tanpa perencanaan ini jelas bertentangan dengan
pasal 5 UU No.1 Tahun 2011 yang menyebutkan bahwa “Negara bertanggung jawab atas
penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman yang pembinaannya dilaksanakan oleh
pemerintah.” Dan pembinaannya meliputi perencanaan yang merupakan kesatuan utuh dari
rencana pembangunan nasional dan daerah sebagaimana yang disebutkan dalam pasal 6 dan 7
UU No.1 Tahun 2011. Disebutkan pula pada pasal 54 UU No.1 Tahun 2011 bahwa pemerintah
wajib memenuhi kebutuhan rumah bagi MBR melalui beberapa bantuan atau kemudahan yaitu:
subsidi perolehan rumah, stimulant rumah swadaya,insentif perpajakan yang disesuaikan dengan
peraturan di bidang perpajakan, perizinan, asuransi dan penjaminan, penyediaan tanah, sertifikasi
tanah, dan prasarana, sarana, dan utilitas umum. Kemudian dalam pasal 60 UU No.1 Tahun 2011
juga disebutkan bahwa “pemerintah dan pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya
bertanggung jawab dalam penyelenggaraan pengembangan lingkungan hunian perkotaan,
pembangunan lingkungan hunian baru perkotaan, dan pembangunan kembali lingkungan hunian
perkotaan.”
Untuk menangani masalah permukiman kumuh, pemerintah melakukan dua hal yaitu
pencegahan dan perbaikan kualitas permukiman kumuh. Pencegahan dijelaskan pada pasal 95 UU
No.1 Tahun 2011 yaitu pencegahan terhadap tumbuh dan berkembangnya permukiman kumuh
dilaksanakan melalui
Dimana usaha pencegahan yang dimaksud wajib dilakukan oleh Pemerintah, Pemerintah
Daera, dan/atau setiap orang. Sedangkan untuk peningkatan kualitas dijelaskan pada pasal 96 dan
97 UU No.1 Tahun 2011 yaitu pemerintah dan pemerintah daerah menetapkan kebijakan,
15
strategi, serta pola pola penanganan yang manusiawi, berbudaya, berkeadilan, dan ekonomis
yang didahului dengan penetapan lokasi permukiman kumuh dengan pola pola penanganan:
a) Pemugaran;
b) Peremajaan; atau
c) Permukiman kembali.
Pola pola tersebut dilanjutkan melalui pengelolaan untuk mempertahankan tingkat kualitas
perumahan dan permukiman.
15
BAB III
PEMBAHASAN
Untuk lebih jelasnya, dapat dilihat pada Gambar 3.1 Peta Kelurahan Ngagel berikut ini.
15
3.1.1 Kondisi Bangunan
Kondisi bangunan merupakan salah satu aspek penting
dalam menentukan apakah suatu kawasan termasuk dalam
kategori permukiman kumuh atau tidak. Kondisi bangunan dilihat
dari sifat bangunan seperti permanen/semi-permanen/tidak layak
huni. Mayoritas wilayah permukiman kumuh yang ilegal
mempunyai kondisi bangunan yang tidak layak huni.
15
3.1.3 Kepadatan Penduduk
Kepadatan penduduk dapat menjadi salah satu aspek yang memengaruhi kekumuhan
suatu daerah. Jika kepadatan bangunan dan luas wilayah dibandingkan maka kita dapat
menyimpulkan wilayah tersebut kumuh atau tidak. Kelurahan Ngagel Kecamatan Wonokromo
tepatnya pada RT 1 hingga 3 serta RT 9 dan 10 sebagai sampel, dihuni oleh 367 Kepala Keluarga
(KK) atau 1835 jiwa. Seperti yang kita tahu melalui survei lapangan, lingkungan kumuh di
Kelurahan Ngagel sebagian besar penduduknya bertambah karena adanya urbanisasi. Terhitung
50% penduduknya merupakan penduduk urbanisasi dan sisanya merupakan penduduk asli.
Karena kepadatan penduduk, jumlah kepala keluarga melebihi jumlah rumah yang tersedia.
Bahkan menurut wawancara dengan Ketua RT, satu rumah dapat ditempati 5 Kepala Keluarga (KK)
sekaligus. Untuk lebih jelasnya, berikut jumlah penduduk Kelurahan Ngagel yang dipaparkan
dalam Tabel 3.2 dan Tabel 3.3:
Jumlah Penduduk
No Tahun
(Jiwa)
1 2009 11.313
2 2010 11.329
3 2011 11.503
4 2012 11.532
5 2013 11.614
Sumber : Data sekunder dari BPS dan Kecamatan Wonokromo dalam angka
Tabel 3.3 Jumlah Penduduk Kelurahan Ngagel berdasarkan Usia tahun 2013
15
3.1.4 Penyediaan Prasarana
Peran dan fungsi prasarana dalam pengembangan wilayah sangat dominan dalam
mewujudkan pola dan struktur ruang wilayah sesuai dengan tata ruangnya. Berikut beberapa
prasarana yang tersedia di Kelurahan Ngagel, Kecamatan Wonokromo :
15
prasarana sanitasi. Tapi, prasarana sanitasi justru sebagian besar disediakan oleh masyarakat
sendiri, baik secara kelompok maupun individu rumah tangga. Seperti yang kita lihat di Kelurahan
Ngagel, Kecamatan Wonokromo ini, belum sepenuhnya masyarakat di wilayah ini memiliki WC
atau toilet. Sehingga, masih kita temukan beberapa WC umum di wilayah ini. Menurut
masyarakat sekitar, sanitasi di wilayah ini cukup lancar dan tidak pernah banjir jika musim hujan
tiba meski penyediaan toilet belum merata.
Untuk sarana kesehatan, di Kelurahan Ngagel hanya terdapat Puskesmas yang bertempat
di dekat Kantor Kelurahan. Karena di area permukiman warga tidak terdapat sarana kesehatan
yang memadai, masyarakat setempat hanya mengandalkan obat-obatan pribadi yang tersedia di
setiap rumah.
Sedangkan untuk aspek sosial dan ekonomi, Kelurahan Ngagel dilengkapi balai RT di
setiap RT, mulai RT 01 hingga RT 10. Balai-balai RT tersebut sering dimanfaatkan juga sebagai
tempat berkumpulnya warga dan berbagai acara warga. Dan untuk aspek ekonomi, mayoritas
masyarakat Kelurahan Ngagel bekerja sebagai buruh. Di area permukimannya sendiri terdapat
lebih dari 10 toko kelontong atau kios milik warga setempat yang berada di pelataran rumahnya.
Sebagian warga menjadikannya sebagai pekerjaan sehari-hari dan sebagian pula hanya sebagai
pekerjaan sampingan.
15
Gambar 3.9 Desain Peremajaan Rumah di Kelurahan Ngagel
Permasalahan yang kami dapatkan di lapangan adalah tidak adanya sistem drainase di
wilayah ini, sehingga sangat rawan banjir pada saat musim penghujan. Salah satu solusi dari
kelompok kami adalah pembuatan drainase yang terbarukan. Dengan sistem ini kami merencakan
sistem drainase dibawah rumah dengan memperhatikan aspek kebersihan dan perawatan sistem
drainase, dengan begitu lahan permukiman yang sudah sempit tidak semakin sempit dengan
pembuatan drainase pada umumnya.
15
3.3.3 Relokasi Batas Rel serta Membuat Pembatas Pagar di Sepanjang Rel Kereta Api
Permukiman kumuh yang ada di daerah kami juga diperparah dengan fakta bahwa
wilayah nya berdampingan langsung dengan rel kereta. Pada kenyataannya hal ini sangat
membahayakan keselamatan warga yang tinggal di daerah ini, karena sewaktu waktu bisa saja
terjadi kecelakaan pada kereta api dan akan sangat memakan korban jiwa jika keadaannya
permukiman berhadapan langsung dengan rel kereta. Solusi dari kami adalah membuat pembatas
pagar sebagai usaha preventif sehingga ketika bila ada kecelekaan kereta api, masih ada pagar
yang menghalangi kereta api. Selain membuat pembatas pagar, kami juga merelokasi batas rel
kereta api. Solusi ini berhubungan dengan solusi kami yang lain yaitu pembangunan vertikal di
permukiman yang ada di wilayah survei kami, sehingga lahan yang dulunya dijadikan lahan
permukiman, dapat dijadikan lahan relokasi pembatas rel kereta api.
Salah satu permasalahan yang ada di wilayah kumuh pada umumnya adalah tidak adanya
sarana prasarana yang memadai untuk warga sekitar wilayah survei kami. Maka dari itu kami
mempunyai solusi yaitu membuat sarana dan prasarana pada wilayah survei kami, seperti
lapangan, tempat beribadah, lahan parkir, dan lain-lain.
Di wilayah ini, ditemukan fakta bahwa dalam satu rumah terdapat kurang lebih 5 kk yang
tinggal dalam satu atap. Maka dari itu kami membuat suatu solusi yaitu pembuatan rumah
vertikal. Konsep kami ini terinspirasi dari program pemerintahan DKI Jakarta yaitu “kampung
deret”. Kami membuat konsep ini memperhatikan berbagai aspek yaitu, lahan, jumlah kk dalam
satu atap, dll.
15
BAB IV
PENUTUP
Berdasarkan hasil pembahasan yang telah dijelaskan pada BAB III, dapat ditarik kesimpulan
bahwa:
Ditinjau dari aspek karakteristik kawasan yang meliputi kondisi bangunan, kepadatan
bangunan, kepadatan penduduk, serta penyediaan sarana dan prasarana dapat dikatakan
bahwa permukiman di Kelurahan Ngagel (Kecamatan Wonokromo, Surabaya) merupakan
permukiman kumuh.
Perbaikan yang pernah dilakukan di permukiman Kelurahan Ngagel, tepatnya di Jl.
Lumumba Dalam dan Jl. Mustika Baru adalah perbaikan jalan yang semula merupakan rel
kereta api yang sudah tak terpakai menjadi jalan berpaving. Namun usaha perbaikan jalan
ini kurang menimbulkan efek positif bagi kelangsungan transportasi sekitar karena hal
tersebut justru mengakibatkan penyempitan jalan.
Upaya yang kami tawarkan untuk kawasan permukiman ini antara lain peremajaan
rumah, pembuatan sistem drainase yang terpadu, membuat pembatas beton di
sepanjang rel kereta api, pembangunan sarana prasarana primer, dan perencanaan
pembangunan rumah vertikal.
15