Download as docx, pdf, or txt
Download as docx, pdf, or txt
You are on page 1of 37

UJIAN AKHIR SEMESTER METODOLOGI PENELITIAN KUALITATIF

Jawaban diajukan untuk Memenuhi Ujian Akhir Semester


Mata Kuliah Metodologi Penelitian Kualitatif

Dosen Pengampu:
Dr. Satia Nur Maharani, S.E., M. SA., Ak

Oleh:
Lintang Suminar
210421872011

S2 AKUNTANSI
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS NEGERI MALANG
2021
Soal

SEMESTER FINAL EXAM

1. The paradigm used in qualitative research is naturalistic, this is very different from
quantitative research which uses the positivism paradigm. Questions: (a) describe
properties of the paradigm; (b explain the difference between the naturalistic paradigm
and positivism; (c) explain the difference between the naturalistic paradigm and the post-
positivism paradigm; (d) explain the weakness of the naturalistic paradigm.
2. Constructivist - interpretive approach is often used as a tool to describe phenomena in a
study. The purpose of this view is to understand the world of real experience which is
very complex from the point of view of the researcher with the experience he has.
Explain how you apply this approach to qualitative research. Give examples to strengthen
your answer.
3. Humans (researchers) in qualitative research become the main instrument. Explain what
this statement means. How then qualitative researchers should position themselves during
the research process.
4. In each research we know the terms problem formulation, variables, validity, reliability,
data collection techniques. Explain how these terms exist in qualitative research. Give
examples that can illustrate the existence of each.
5. The theory in each research is very strategic as a knife for analyzing the data obtained.
Explain how theory is positioned in qualitative research. Then how to present a good
theory so that a theory can be built according to the research problem. Next, make an
example of CHAPTER 2. Theoretical Foundation which consists of sub-chapters 1.1
Literature Review; 1.2 Theoretical Studies, and 1.3 Research Framework For this
purpose, please determine the title and research problem.
6. Data triangulation is often used to determine the level of validity of the data obtained in
qualitative research. Explain using examples how to use source triangulation and
technical triangulation in describing research results
7. During data collection, the stages of analysis that must be carried out by researchers are
making summary sheets, coding, coded patterns, developing propositions, conducting
meetings for site analysis, making temporary site summaries, and making provisional
conclusions. Explain the purpose of each of these stages by providing examples of its
application.
Jawaban No. 1

a) Paradigma

Paradigma penelitian ilmiah dapat didefinisikan sebagai struktur luas yang mencakup
persepsi, keyakinan, dan persepsi dari berbagai teori dan praktik yang digunakan untuk
melakukan penelitian ilmiah. Peneliti membuat hubungan antara tujuan penelitian dan
pertanyaan. Paradigma dan filosofi penelitian ilmiah tergantung pada berbagai faktor, termasuk
mental individu, pandangan dunia peneliti, persepsi yang berbeda, dan banyak keyakinan dan
sikap tentang persepsi realitas. Dalam suatu paradigma penelitian keyakinan dan nilai peneliti ini
sangatlah penting untuk memberikan diskusi dan terminologi yang baik untuk hasil yang
penelitian yang andal. Dapat disimpulkan paradigma penelitian sebagai suatu pendekatan atau
pemikiran, proses penutupan, dan pelaksanaan penelitian, namun bukan suatu metodologi, tetapi
filosofi yang menyediakan proses melakukan penelitian. Dimana tiga cara untuk memahami
filosofi penelitian yaitu ontologi, epistimologi, metodelogi dan aksiologi.

Ontologi, yaitu asumsi-asumsi umum dibuat untuk memahami hakikat masyarakat yang
sebenarnya (agar dapat memahami hakikat masyarakat yang sebenarnya), yang biasanya akan
menjawab pertanyaan “Apa itu realitas?”. Selanjutnya adalah epistimologi merupakan parameter
umum dan asumsi yang terkait dengan cara terbaik untuk menjelajahi alam dunia nyata.
Menjawab pertanyaan “Bagaimana Anda tahu sesuatu? apa dan bagaimana saya bisa mengetahui
realitas/pengetahuan?”. Filosofis yang ketiga, metodelogi adalah kombinasi berbagai teknik yang
digunakan oleh peneliti untuk mengeksplorasi situasi yang berbeda. Pertanyaan yang muncul
dalam filosofis penelitian ini adalah “Bagaimana cara Anda mencari tahu? Prosedur apa yang
dapat kita gunakan untuk memperoleh pengetahuan?”. Terakhir, adalah aksiologi yaitu
komponen lain dari paradigma penelitian yang berurusan dengan masalah etika yang perlu
dipertimbangkan selama pekerjaan penelitian, yang sering disebut dengan teori nilai. Melibatkan
mendefinisikan, mengevaluasi dan memahami konsep-konsep perilaku yang benar dan salah
yang berkaitan dengan penelitian. Dimana akan menjawab pertanyaan “ Apa hakikat etika atau
perilaku etis? Nilai-nilai apa yang akan Anda pegang atau pandu saat Anda melakukan
penelitian? Apa yang harus dilakukan untuk menghormati hak semua peserta? Apa saja masalah
dan karakteristik moral yang perlu diperhatikan? Masalah budaya, antarbudaya, dan moral mana
yang muncul dan bagaimana saya akan mengatasinya? Bagaimana saya mengamankan niat baik
para peserta? Bagaimana saya akan melakukan penelitian dengan cara yang adil secara sosial,
saling menghormati dan damai? Bagaimana saya harus menghindari atau meminimalkan risiko
atau bahaya, apakah itu fisik, psikologis, hukum, sosial, ekonomi atau lainnya?”.

Setelah mengetahui filosofis penelitian dalam paradigma penelitian maka kita perlu
mengetahui jenis dari paradigma penelitian. Creswell (2012) menyatakan ada lima paradigma
utama, atau apa yang disebutnya 'kerangka kerja interpretatif', dalam penelitian, utamanya dalam
penelitian kualitatif. Kelima paradigma tersebut adalah: (1) 'post-positivisme', (2)
'konstruktivisme sosial', (3) 'kerangka transformatif/perspektif postmodern', (4) 'pragmatisme',
dan (5) 'teori kritis/teori ras kritis, teori feminis, teori queer, dan teori disabilitas'. Namun
paradigma yang paling dasar dalam suatu penelitian adalah paradigma naturalistik untuk
penelitian kualitatif dan paradigma positivisme untuk penelitian kuantitatif,

b) Perbedaan paradigma naturalistik dan paradigma positivisme, dan


c) Perbedaan paradigma naturalistik dan paradigma post- positivisme

Paradigma naturalistik Paradigma positivisme Paradigma post-


positivisme
Sifat realitas Realitas bersifat Realitas bersifat Sebuah realitas
multipel, dibangun, tunggal, nyata, dan tunggal ada 'di luar
dan holistik. dapat terpecah-pecah. sana', namun peneliti
mungkin tidak
memahaminya.
Hubungan Yang mengetahui dan Yang mengetahui dan Bias peneliti perlu
yang yang diketahui bersifat yang diketahui adalah dikendalikan dan
mengetahui interaktif, tidak dapat independen, sebuah tidak diungkapkan
dengan yang dipisahkan. dualisme. dalam sebuah
diketahui penelitian.
Kemungkinan Hanya hipotesis kerja Generalisasi bebas Generalisasi
generalisasi yang terikat waktu dan waktu dan konteks berdasarkan hasil
konteks (pernyataan (pernyataan pernyataan
idiografis) yang umum yang
memungkinkan. menjelaskan pola sosial
yang lebih besar, yang
membentuk konteks
peristiwa tunggal)
dimungkinkan.
Kemungkinan Semua entitas berada Ada penyebab- Sebab akibat dengan
hubungan dalam keadaan saling penyebab nyata, yang menggunakan metode
sebab akibat membentuk secara secara sementara deduktif adalah
simultan, sehingga mendahului atau penting.
tidak mungkin bersamaan dengan
membedakan sebab akibat-akibatnya, atau
dan akibat. dapat dikatakan sebuah
hipotesis.
Peran nilai Penyelidikan adalah Pertanyaan adalah Pertanyaan
nilai-terikat. bebas nilai. menekankan
pemahaman secara
mendalam
Sifat realitas Realitas bersifat Realitas itu tunggal, Realitas hanya bisa
multipel, dibangun, nyata, dan dapat didekati atau tidak
dan holistik. terpecah-pecah. ada jarak dengan
realitas agar
menghasilkan sesuai
dengan realitas,

d) Kelemahan paradigma naturalistik


Penelitian dengan paradigma naturalistik tidak didasari dengan teori yang sudah ada
melainkan membangun sebuah teori atau selama proses penelitian, peneliti akan merangkai
informasi-informasi yang didapat menjadi sebuah teori atau menambah atau memperkuat
teori yang sudah ada, sehingga dapat dikatakan dengan menggunakan paradigm aini peneliti
tidak memiliki Batasan atau “pegangan” dalam proses penelitian yang bisa saja akan terlalu
menyimpang dengan tujuan penelitian. Selain itu, tidak seperti paradigma positivism dimana
sebab akibat dapat dapat dibuat sementara atau yang bisa disebut dengan hipotesis, untuk
paradigma naturalistic tidak seperti demikian, untuk membedakan sebab akibat realitas itu
memerlukan proses, dan proses dalam paradigm ini akan memerlukan waktu yang lama dan
perlu ketelitian/ kesabaran penyelidikan dalam karena mengetahui dan yang diketahui
bersifat interaktif, tidak dapat dipisahkan, dimana dalam paradigma naturalistik kebenaran
realitas sangat dijaga agar hasil dari penelitian benar-benar nyata apadanya. Membutuhkan
tahap pra penelitian, pelaksanaan penelitian/ pekerjaan lapangan, dan analisis data. Hasil
penelitian bergantung pada hakikat dan kualitas hubungan antara pencari dengan yang dicari,
jika hubungan antara peneliti dengan sumber data (manusia) tidak terjalin dengan baik, akan
merusak kerealitasan atau adanya bias.

Refrensi :

1. Philosophy and Paradigm of Scientific Research, oleh Pranas Žukauskas, Jolita Vveinhardt
dan Regina Andriukaitienė (2018) (DOI: 10.5772/intechopen.70628)
(https://www.intechopen.com/chapters/58890)
2. The research paradigm – methodology, epistemology and ontology – explained in simple
language, oleh Salma Patel (2015) (http://salmapatel.co.uk/academia/the-research-paradigm-
methodology-epistemology-and-ontology-explained-in-simple-language/)
3. Research Paradigm: A Philosophy of Educational Research, oleh Krishna Kumar Khatri
(2020) (International Journal of English Literature and Social Sciences, 5(5). 1435-1440 DOI:
https://dx.doi.org/10.22161/ijels.55.15)
4. Qualitative Research is not a Unified Paradigm: Implications for the Evaluation of Qualitative
Research Studies, oleh Katsutoshi Fushim (2021) (Literature Review: JICA Ogata Sadako
Research Institute for Peace and Development)
(https://www.jica.go.jp/jica-ri/publication/litreview/post_15.html)
5. Qualitative Research Paradigm (University of Connecticut)
(https://researchbasics.education.uconn.edu/qualitative_research_paradigm/#)
6. Pendekatan Kuantitatif Umum dan Pendekatan Kualitatif Umum (FIA UB)
(https://fia.ub.ac.id/rsc/info-kegiatan/pendekatan-kuantitatif-umum-dan-pendekatan-kualitatif-
umum.html)
Jawaban No. 2

Paradigma konstruktivis-interpretatif menyatakan bahwa realitas dikonstruksi


melalui interaksi antara peneliti dan subjek penelitian. Metode yang digunakan dalam
paradigma ini adalah dengan pertanyaan terbuka, dengan pendekatan yang muncul adalah
data teks dan/atau gambar. Praktik dalam penelitian dengan menggunakan paradigma ini
peneliti memposiskan dirinya dalam konteks yang diteliti; peneliti mengumpulkan
makna yang dihasilkan peserta (dari hasil wawancara); berfokus pada satu konsep atau
fenomena saja; membawa nilai-nilai pribadi ke dalam penelitian; mempelajari konteks
atau setting peserta; memvalidasi keakuratan temuan; menafsirkan data yang diperoleh
selama proses penelitian; membuat agenda untuk perubahan atau reformasi; dan yang
utama dalam paradigma ini adalah melibatkan peneliti dalam berkolaborasi dengan
partisipan.

Konstruktivis-interpretatif sebagai metode penelitian merangkum tiga set masalah


yang lebih dalam atau mendasar: pertama, sejumlah masalah pra-teoretis (pra-ilmiah)
yang harus diingat oleh pengguna metode; kedua, sebagai metode penelitian yang berakar
pada kombinasi teori, dan ketiga, berakar pada beberapa tradisi filosofis yang lebih tua.
Dalam paradigma ini terdapat tujuan interpretasi yang digunakan untuk mendapatkan
makna yang terkandung atau tersembunyi dalam data yang diperoleh melalui
penyelidikan ilmiah. Selanjutnya adalah Interpretasi sebagai prosedur penelitian.
Interpretivisme dapat dianggap sebagai metode penelitian sejauh memungkinkan peneliti
untuk memeriksa tanda dan simbol untuk mendapatkan makna yang tersembunyi dalam
sebuah data yang mana nanti dapat dipahami oleh pembaca. Data berupa fakta dimana
untuk menyampaikan sebuah fakta yang jelas perlu suatu proses, karena tidak ada fakta
yang jelas dan cepat, namun tidak ada fakta yang tidak dapat ditafsir.

Ada dua intepretasi data dalam paradigma ini, yang pertama adalah
“interpretation all the way up”, mewujudkan tujuan dasar interpretivisme karena
menggambarkan kemajuan dari data ke tahap dalam proses penelitian di mana makna
yang tertanam dalam data dapat dimanfaatkan untuk penciptaan konstruksi teoretis baru.
Konstruktivisme selalu menanyakan bagaimana interpretivis tertentu telah membangun
bagian tertentu dari realitas (data, temuan penelitian), dan makna apa yang dia ambil dari
fenomena yang diselidiki. Intepretasi yang kedua adalah “interpretation all the way
down”, dimana ketika peneliti dihadapkan dengan fakta, harus membuat penilaian
tentang keaslian dan status penerimaannya, dan mencoba untuk mengakomodasi semua
pandangan yang masuk akal tentang fakta tersebut. proses interpretasi 'ke bawah' (all the
way down) harus berhenti pada titik tertentu, setidaknya untuk beberapa peneliti. Seorang
peneliti yang ingin menghentikan proses interpretasi harus bertanya pada dirinya sendiri:
Bukti apa yang memberikan landasan untuk kasus khusus ini, dan mengapa harus
demikian?. Peneliti penting untuk memahami tentang fakta dan bagaimana samapai
menemukan fakta tersebut. Ketika dihadapkan pada sebuah fakta, kita perlu juga
memahami proses interpretasi yang mengarah pada apa yang kita asumsikan sebagai
status faktualnya. Jika kita tidak memiliki wawasan tentang proses penafsiran yang
mendasari yang menyebabkan munculnya fakta, kita tidak akan mengerti apa yang
dimaksud dengan fakta.

Dengan proses interepetasi pada paradigma konstruktivis-interpretatif ini terdapat


status konstruksi teoretis yang dihasilkan dari interpretivisme. Pada titik tertentu dalam
proses interpretasi 'ke atas' (all the way up), peneliti merasa terdorong untuk
menggunakan interpretasi mereka untuk tujuan menciptakan konstruk teoretis baru,
misalnya kerangka teoretis integratif yang melampaui perspektif spesifik diperoleh dari
studi literatur dan/atau penyelidikan empiris. Tujuan dari konstruk baru ini adalah untuk
menjelaskan situasi atau keadaan tertentu yang terkait dengan masalah penelitian dengan
tepat menanyakan apakah konstruksi teoritis yang menandai akhir dari interpretivisme itu
adalah sesuatu yang konkret atau sebuah abstraksi, dimana proses interpretasi adalah
bagian dari tugas epistemik (perolehan pengetahuan) kita untuk berdiri dalam hubungan
kritis dengan tradisi teoretis dan pandangan dunia kita.

Contoh:

Ketika kita ingin meneliti bagaimana efektivitas dewan direksi dalam menyusun
sustainability report, dimana laporan ini masih bersifat sukarela, namun secara tidak langsung
laporan tersebut dapat menarik investor untuk membeli saham perusahaan, karena isi dari
laporan tersebut adalah pertanggung jawaban sosial atau CSR yang saat ini menjadi topik
“hangat” peneliti dalam bidang akuntansi. Dari topik tersebut peneliti melakukan wawancara
dengan dewan direksi yang menangani CSR dilakukan wawancara mendalam dengan prosedur
wawancara yang baik dan sesuai dengan konteks penelitian (wawancara bisa menggunakan
semi-struktur, agar lebih fleksibel), observasi, dan pengumpulan dokumen. Metode pengumpulan
data perlu dipertimbangan, agar data yang diperoleh dipahami dan dimakanai sesuai dengan
realitas yang ada, dengan harapan data yang diambil terkumpul, selanjutnya dilakukan interpetasi
data dapat mengkonstruk sebuah teori baru atau paling sederhana memperkuat teori yang sudah
ada. Dengan intrepretasi data mungkin bisa didapatkan tidak hanya teori keagenan saja yang
mendasari kefektivan dewan direksi, tetapi ada teori lain atau sesuatu hal yang baru yang belum
pernah diteliti sebelumnya, sehingga juga timbul rasa untuk kritis akan sebuah data yang
diperoleh.

Refrensi:

1. Constructivism Research Philosophy (BRM-Business Research Methodology)


(https://research-methodology.net/research-philosophy/epistomology/constructivism/)
2. Interpretivism-Constructivism as a Research Method in the Humanities and Social Sciences –
More to It Than Meets the Eye, oleh Johannes L van der Walt (2020) (International Journal
of Philosophy and Theology , 8(1), 59-68 DOI: 10.15640/ijpt.v8n1a5)
(https://doi.org/10.15640/ijpt.v8n1a5)
Jawaban No. 3

Lincoln dan Guba (1985) termasuk yang pertama memperkenalkan istilah "instrumen
manusia". Dalam pekerjaan mereka, mereka juga menetapkan karakteristik yang "secara unik
memenuhi syarat manusia sebagai instrumen pilihan untuk penyelidikan naturalistik". Pertama,
manusia mampu merasakan isyarat halus di lingkungan yang secara alami mereka tahu
bagaimana meresponsnya. Sementara sebagian besar instrumen fisik hanya mampu mengukur
faktor-faktor tertentu, manusia "dapat beradaptasi secara virtual tanpa batas" dan "seperti bom
pintar, instrumen manusia dapat menemukan dan menyerang target tanpa diprogram sebelumnya
untuk melakukannya". Hanya orang yang dapat memahami potongan data yang membingungkan
dan memprosesnya segera setelah tersedia. "Instrumen manusia memiliki kemampuan unik
Margarita S. Peredaryenko dan Steven Eric Krauss meringkas data di tempat dan memberi
makan kembali ke informan untuk klarifikasi, koreksi, dan amplifikasi". Akhirnya, instrumen
manusia secara khusus disetel dengan baik untuk menemukan respons atipikal atau idiosinkratik
dan menjelajahinya secara mendalam.

Salah satu manfaat utama dari penelitian kualitatif adalah memungkinkan peneliti untuk
melihat dan memahami konteks di mana keputusan dan tindakan terjadi. Seringkali keputusan
dan tindakan manusia hanya dapat dipahami dalam konteks – konteks inilah yang membantu
'menjelaskan' mengapa seseorang bertindak seperti itu. Dan konteks ini (atau beberapa konteks)
paling baik dipahami dengan berbicara kepada orang-orang. Salah satu motivasi utama untuk
melakukan penelitian kualitatif, berlawanan dengan kuantitatif, berasal dari pengamatan bahwa,
jika ada satu hal yang membedakan manusia dari alam, itu adalah kemampuan mereka untuk
berbicara. Hanya dengan berbicara kepada orang-orang, atau membaca apa yang mereka tulis,
kita dapat mengetahui apa yang mereka pikirkan, dan memahami pemikiran mereka akan sangat
membantu dalam menjelaskan tindakan mereka. Maka dari itu dalam penelitian kualitatif peneliti
menjadi instrument karena proses metode pengumpulan dengan wawancara itulah penelitian
mendapatkan hasil sesuai dengan realitas penelitian. Dimana proses wawancara didapatkan
karena adanya proses komunikasi antar manusia, dengan adanya wawancara penelitian akan
menjadi lebih menarik.

Wawancara merupakan momen penting dalam proses penelitian. Ini adalah saat
ketika Anda begitu dekat dengan subjek studi—Anda begitu dekat dengan
kenyataan yang coba Anda pahami. Seberapa sensitif Anda sebagai instrumen
menentukan seberapa dekat Anda bisa mencapai kenyataan itu. Anda
mendapatkan apa yang Anda minta, dan Anda kemudian menganalisis apa yang
Anda dapatkan! Jadi momen mengalami fenomena ini pada akhirnya penting.
Untuk mengalami kenyataan itu, sebagai sebuah instrumen, saya merasa bahwa
saya benar-benar harus menggunakan panca indera saya dan sesuatu di luar -
imajinasi saya... dan kagum pada saat mengalami fenomena yang begitu dekat,
benar-benar menjadi satu instrumen manusia untuk dua— peneliti dan informan
—dan menemukan realitas bersama melalui navigasi mandiri; seperti “bom
pintar”. Tidak ada instrumen lain yang diberikan kesempatan unik ini, tetapi saya
melakukannya dan Anda melakukannya sebagai instrumen manusia. (Jurnal Riset,
catatan 12 Juli 2011)

Namun, manusia menjadi instrument penelitian masih memunculkan perdebatan seputar


potensi bias yang secara inheren akan diciptakan. Kelas sosial, ras, jenis kelamin, agama tertentu
serta posisi historis dan nilai-nilai pribadi peneliti dapat mempengaruhi, bahkan membatasi
proses penemuan dan pengembangan generasi pengetahuan. Kepentingan pribadi, keyakinan,
dan kecenderungan pun tidak dapat dielakkan merupakan bagian integral dari instrumen
manusia. Maka dari itu diperlukannya sebuah sikap untuk penelitian kualitatif yang andal,
sebagai berikut:

a. Objektif
Menerapkan standar kualitatif kredibilitas, ketergantungan, dan transferabilitas pada proses:
Memantau dan mengurangi bias; Mengembangkan kompetensi dalam metode seseorang;
Mengumpulkan data; Menganalisis data; dan Menyajikan temuan.
b. Integritas
Peneliti kualitatif, bagaimanapun, kekurangan banyak perlindungan terhadap kesalahan yang
metode statistik, ukuran standar, dan desain klasik mampu. Mereka harus mengandalkan
kompetensi, keterbukaan, dan kejujuran mereka sendiri.
c. Mengembangkan Kompetensi dalam Metode
Menjelaskan penelitian tanpa memihak calon peserta; Melakukan wawancara dengan baik,
sesuai desain; Melakukan observasi lapangan yang sesuai; Memilih artefak yang sesuai,
gambar, bagian jurnal, dan sebagainya; Menangani data per desain; dan Menganalisis dan
menafsirkan data per desain.
d. Menyampaikan atau mengkomunikasikan dengan hasil temuan dengan mudah dipahami.

Refrensi:

1. Calibrating the Human Instrument: Understanding the Interviewing Experience of Novice


Qualitative Researchers, oleh Margarita S. Peredaryenko dan Steven Eric Krauss (2013)
(The Qualitative Report 2013 Volume 18, Article 85, 1-17 DOI:
http://dx.doi.org/10.46743/2160-3715/2013.1449)
2. Qualitative Research, oleh Michael D. Mayer (2013), London: SAGE Publication Ltd
3. The Role Of The Qualitative Researcher
(https://campustools.capella.edu/BBCourse_Production/PhD_Colloquia_C4C/Track_3/
phd_t3_u06s1_qualrole.html)
Jawaban No. 4

a) Rumusan Masalah
Rumusan masalah adalah pernyataan tentang area yang menjadi perhatian, kondisi
yang harus diperbaiki, kesulitan untuk dihilangkan, atau pertanyaan yang mengganggu yang
ada dalam literatur ilmiah, dalam teori, atau dalam praktik yang menunjukkan perlunya
pemahaman yang bermakna dan disengaja, yang diperlukan suatu penyelidikan. Dalam
beberapa disiplin ilmu sosial, rumusan penelitian diajukan dalam bentuk pertanyaan.
Rumusan masalah tidak menyatakan bagaimana melakukan sesuatu, menawarkan proposisi
yang kabur atau luas, atau menyajikan pertanyaan nilai. Tujuan dari rumusan masalah adalah
untuk memperkenalkan pembaca pada pentingnya topik yang sedang dipelajari,
menempatkan masalah ke dalam konteks tertentu dan menyediakan kerangka kerja untuk
melaporkan hasil penelitian.
Pernyataan yang memadai tentang masalah penelitian memainkan peran penting
dalam keberhasilan makalah akademis dan studi. Ada kemungkinan untuk menghasilkan
sejumlah masalah yang dapat diteliti dari subjek yang sama karena ada banyak masalah yang
mungkin timbul darinya. Studi harus mengejar hanya satu secara mendetail. Karakteristik
dasar rumusan masalah adalah merefleksikan masalah atau kebutuhan penting; berdasarkan
bukti faktual (tidak hipotetis); dapat dikelola dan relevan; dan menyarankan hipotesis yang
dapat diuji dan bermakna (menghindari jawaban yang tidak berguna). Selanjutnya dalam
menyusun rumusan masalah mempertimbangkan 5 cara untuk merumuskan masalah
penelitian yaitu, menententukan tujuan penelitian; memperhatikan tinjau konteks atau
lingkungannya; menjelajahi realitas atau masalah yang terjadi; menentukan hubungan
variabel; dan mengantisipasi kemungkinan konsekuensi dari pendekatan alternatif. Untuk
merumuskan masalah penelitian yang kuat maka rumusan masalah perlu disusun dengan
menarik; relevan; spesifik dan terfokus; dan dapat diteliti.
b) Variabel
Variabel adalah faktor-faktor tertentu yang dianggap menarik bagi peneliti; sering
digunakan dalam positivisme dan penelitian kuantitatif. Dalam studi positivistik, ini biasanya
melibatkan pengungkapan hubungan antar variabel. macam variabel adalah variabel bebas,
variabel terikat, dan hubungan antar variabel tersebut. Variabel bebas adalah variabel yang
dimanipulasi atau diubah oleh eksperimen, dan diasumsikan memiliki pengaruh langsung
terhadap variabel terikat. Variabel terikat adalah variabel yang diuji dan diukur dalam suatu
eksperimen, dan 'bergantung' pada variabel bebas.
c) Validitas
Echoing Gibbs (2007), Creswell (2014) mendefinisikan konsep-konsep ini secara
ringkas: “Validitas kualitatif berarti bahwa peneliti memeriksa keakuratan temuan dengan
menggunakan prosedur tertentu, sedangkan reliabilitas kualitatif menunjukkan bahwa
pendekatan peneliti konsisten di berbagai peneliti dan proyek yang berbeda. ”. Cho dan Trent
(2006) menempatkan validitas ke dalam dua tipe dasar: transaksional, atau validasi tema dan
interpretasi; dan transformasional, kemampuan penelitian untuk membuat perubahan dalam
kehidupan masyarakat. Seperti yang ditunjukkan dalam teknik validitas di bawah ini, asumsi
paradigmatik menginformasikan apakah validitas transaksional atau transformasional harus
dicari. Beberapa peneliti kualitatif, juga mempertanyakan atau langsung menolak dasar
kuantitatif validitas (lih., Lincoln et al., 2013), menganjurkan pemahaman yang mendalam,
apakah itu deskriptif, interpretatif, teoretis, atau evaluatif (Wolcott, 1990).
Peneliti kualitatif postpositivis mungkin sangat tertarik untuk mendemonstrasikan
validitas internal studi menggunakan beberapa teknik (yaitu, sampel besar, penggunaan
panduan wawancara, beberapa peneliti), orientasi yang lebih kritis mungkin menentukan
kualitas penelitian dengan kemampuannya untuk bertindak sebagai katalis untuk perubahan
sosial atau politik (yaitu, meningkatkan akses ke sumber daya oleh kelompok-kelompok yang
terpinggirkan). Di seluruh orientasi ini, penilaian "kebaikan" penelitian adalah upaya untuk
lebih memahami kekakuan sistemik, kualitas, dan pada akhirnya kegunaan penelitian, bahkan
jika kriteria tersebut semakin cair dan muncul (Lincoln, 1995).
Dalam penelitian kualitatif, ada banyak jenis validitas yang seringkali sangat
spesifik yang selaras dengan aspek lain dari proyek penelitian. Mempertimbangkan
keragaman opsi ini, kemungkinan ada bentuk atau bentuk validitas yang berfungsi untuk
proyek penelitian kualitatif tertentu, terlepas dari afiliasi paradigmatik proyek (Altheide &
Johnson, 2013), yaitu pengecekan anggota; triangulasi; refleksivitas kritis dan posisi
subjektif; deskripsi yang kaya dan tebal; Validitas katalitik; Kristalisasi; Mencari
diskonfirmasi (analisis kasus negatif); debriefing rekan; keterlibatan berkepanjangan; Auditor
eksternal dan jejak audit.
d) Reliabilitas
Reliabilitas (keandalan) mengacu pada kesehatan penelitian, terutama dalam
kaitannya dengan metode yang tepat yang dipilih, dan cara-cara di mana metode tersebut
diterapkan dan dilaksanakan dalam studi penelitian kualitatif. Keandalan meminta kita untuk
mempertanyakan konsistensi proses metodologis, semoga tetap cukup stabil dari waktu ke
waktu dan di seluruh peneliti dan/atau metode yang digunakan (Miles, Huberman, &
Saldana, 2014). Memberikan pembenaran metode yang digunakan, serta kejelasan dalam
prosedur analitis, meningkatkan rasa keandalan penelitian. Keandalan juga membahas
konsistensi dan kejelasan yang terkait dengan pelaksanaan penelitian yang sebenarnya,
sehingga meningkatkan kemungkinan bahwa peneliti lain tidak hanya dapat membedakan
tetapi juga melakukan banyak metode penelitian yang dijelaskan (Creswell, 2013).
Pertanyaan yang mungkin kami ajukan untuk mengatasi masalah reliabilitas sebagai berikut:
Bisakah peneliti yang masuk akal melakukan proyek penelitian serupa berdasarkan deskripsi
yang diberikan? Sejauh mana proyek penelitian ini dapat direplikasi? Jika proyek penelitian
dilakukan lagi, apakah hasil dan analisis serupa akan terjadi?.
e) Teknik Pengumpulan Data
1. Wawancara adalah salah satu teknik pengumpulan data yang paling penting bagi peneliti
kualitatif dalam bisnis dan manajemen. Mereka digunakan di hampir semua jenis
penelitian kualitatif (positivis, interpretatif, atau kritis) dan merupakan teknik pilihan di
sebagian besar metode penelitian kualitatif. Wawancara memungkinkan kita untuk
mengumpulkan data yang kaya dari orang-orang dalam berbagai peran dan situasi.
Dikatakan bahwa wawancara kualitatif seperti kacamata malam, 'memungkinkan kita
untuk melihat apa yang biasanya tidak terlihat dan memeriksa apa yang dilihat tetapi
jarang terlihat'. Ada tiga jenis wawancara yaitu terstruktur, semi terstruktur, dan tidak
terstruktur.
2. Kerja lapangan (fieldwork) adalah suatu bentuk penyelidikan di mana seseorang secara
pribadi terlibat dalam kegiatan sosial yang sedang berlangsung dari beberapa individu
atau kelompok untuk tujuan penelitian. Kerja lapangan ditandai dengan keterlibatan
pribadi untuk mencapai beberapa tingkat pemahaman yang akan dibagikan dengan orang
lain. Tergantung pada latar belakang disiplin dan tujuan peneliti, kerja lapangan kadang-
kadang disebut observasi partisipan dan/atau kerja lapangan.
3. Observasi adalah ketika Anda mengamati orang lain dari luar. Misalnya, Anda dapat
menghadiri pertemuan tahunan sebuah perusahaan dan menonton pertemuan tersebut
sebagai pengamat. Namun, Anda tidak akan mengambil bagian apa pun dalam kegiatan
pertemuan tahunan – Anda pada dasarnya adalah seorang penonton. Ada sedikit, jika ada,
interaksi antara Anda dan orang yang Anda pelajari. Observasi partisipatif adalah ketika
Anda tidak hanya mengamati orang melakukan sesuatu, tetapi juga berpartisipasi sampai
batas tertentu dalam kegiatan ini. Ide utamanya adalah bahwa Anda berbicara dengan
orang-orang dan berinteraksi dengan mereka dalam upaya untuk mendapatkan
pemahaman tentang keyakinan dan aktivitas mereka dari dalam.
4. Dokumen seperti email, blog, halaman web, catatan perusahaan, surat kabar, dan foto
merekam apa yang dikatakan seseorang atau apa yang terjadi. Mereka memberikan
beberapa bukti yang memungkinkan Anda untuk membangun gambaran yang lebih kaya
daripada yang dapat diperoleh dengan wawancara dan kerja lapangan saja. Bahkan,
terkadang satu-satunya data empiris yang berkaitan dengan yang terakhir tertentu akan
dimuat dalam satu atau lebih dokumen. Misalnya, jika seseorang meninggal, Anda tidak
dapat mewawancarai mereka, tetapi Anda mungkin dapat membaca beberapa catatan
tertulis mereka, seperti buku harian. Dokumen dan catatan adalah 'semua bahan tertulis
yang ditinggalkan orang' (Esterberg, 2002:121).

Refrensi:

1. Qualitative Research, oleh Michael D. Mayer (2013), London: SAGE Publication Ltd
2. Formulating your Research Problem: Simple Methods that Will Help
(https://prothesiswriter.com/blog/how-to-formulate-research-problem)
3. Contextualizing reliability and validity in qualitative research: toward more rigorous and
trustworthy qualitative social science in leisure research, oleh Jeff Rose dan Corey W.
Johnson (2020) (Journal of Leisure Research, 1-20 DOI:
https://www.tandfonline.com/action/showCitFormats?doi=10.1080/00222216.2020.1722042)
Jawaban No. 5

Setelah memilih topik dan membuat daftar pertanyaan penelitian potensial, tahap
desain penelitian berikutnya adalah memilih kerangka teoritis. Kerangka teoritis adalah
tahap selanjutnya dari sudut pandang logis, tetapi dalam praktiknya banyak peneliti
kualitatif mengubah kerangka teoretis mereka atau memilih kerangka teoretis mereka
jauh di kemudian hari atau setelah data-data terkumpul atau ketika proses penelitian
menenmukan hal baru yang menarik. Hal ini terutama terjadi dengan metode penelitian
yang menekankan sifat iteratif penelitian kualitatif, seperti grounded theory. Penggunaan
teori dalam pendekatan kualitatif telah mencakup (1) klarifikasi disposisi epistemologis,
(2) identifikasi logika di balik pilihan metodologis, (3) membangun teori sebagai hasil
temuan penelitian, dan (4) panduan atau kerangka kerja untuk belajar. Selain itu,
disposisi metodologis pada simbiosis refleksif dengan teori dan bagian lain dari studi
dimasukkan untuk mengatur panggung untuk fokus pada kerangka teoritis. Pembahasan
teori dalam penelitian kualitatif berkaitan dengan teori-teori yang mendasari pendekatan
metodologis (misalnya, fenomenologi, tnografi, naratif) atau paradigma epistemologis
yang memandu suatu penelitian (misalnya, postpositivis, konstruktivis, kritis).
Memahami teori yang mempengaruhi keputusan metodologis dan epistemologis untuk
sebuah studi sangat penting, tetapi mungkin ada ruang untuk klarifikasi lebih lanjut
antara penggunaan teori metode dan kerangka teoritis.

Refrensi:

1. Qualitative Research, oleh Michael D. Mayer (2013), London: SAGE Publication Ltd
2. The Central Role of Theory in Qualitative Research, oleh Christopher S. Collins dan Carrie
M. Stockton (2018) (International Journal of Qualitative Methods DOI:
https://doi.org/10.1177%2F1609406918797475)
Judul:

Analisis Efektivitas Dewan Direksi Dalam Menyusun Sustainability Report Untuk


Meningkatkan Nilai Perusahaan (Studi Pada Perusahaan Perbankan terdaftar dalam peringkat
Asia Sustainability Reporting Rating (ASRRAT) 2018-2020)

Masalah penelitian:

Dalam penelitian Fatchan dan Trisnawati (2016) pengungkapan sustainability


report dapat meningkatkan nilai perusahaan, karena mendorong pemegang saham dengan
visi jangka panjang dan meningkatnya harga saham. Selain itu juga dalam penelitian
Latifah dan Luhur (2017) menunjukan dengan pengujian secara parsial, variable
pengungkapan sustainability report berpengaruh terhadap nilai perusahaan.
Pengungkapan sustainability report dalam suatu perusahaan juga dapat digunakan
sebagai alat untuk meningkatkan atau mempertahankan reputasi perusahaan di mata
pemegang saham. Namun dibeberapa penelitian lainnya dalam periode waktu tertentu
pada perusahaan yang terdaftar di BEI sustainability report tidak berpengaruh signifikan
terhadap nilai perusahaan dan kinerja pasar perusahaan, selain itu hasil dari penelitian
Sejati dan Prastiwi (2015) menyebutkan pengungkapan sustainability report yang
dilakukan oleh perusahaan tidak mampu memberikan nilai yang lebih dibandingkan
perusahaan yang tidak menerbitkan sustainability report. Dengan hasil penelitian yang
berbeda tersebut diduga ada faktor lain dalam melakukan pengungkapan sustainability
report untuk mempengaruhi nilai perusahaan yaitu efektivitas dewan direksi dalam
melaksanakan pengungkapannya.

BAB II

1. Tinjauan Pustaka

Dalam melakukan penelitian “Analisis Efektivitas Dewan Direksi Dalam Menyusun


Sustainability Report Untuk Meningkatkan Nilai Perusahaan (Studi Pada Perusahaan
Perbankan terdaftar dalam peringkat Asia Sustainability Reporting Rating (ASRRAT) 2018-
2020)” diperlukan peninjuan terhadap penelitian-penelitian sebelumnya yang terkait dengan
topik penelitian. Peneliti mengambil beberapa hasil penelitian terkait dengan pengungkapan
sustainabilitiy report dalam meningkatkan nilai perusahaan.
Keberlanjutan lingkungan dan sosial telah diangkat sebagai isu penting oleh
pemegang saham (shareholder) dan pemangku kepentingan (stakeholder) (Galbreath, 2013
dalam Naciti 2019). Keberlanjutan sebagai kontribusi perusahaan untuk menjaga kelestarian
lingkungan sekitar dan memenuhi kesejahteraan masyarakat dimana informasi tanggung
jawab sosial dan lingkungan tersebut diungkapkan melalui Sustainability Report.
Pengungkapan laporan sustainability report meliputi pengungkapan ekonomi, pengungkapan
sosial dan lingkungan. Menurut R. Rajesh (2019) keberlanjutan adalah tentang memenuhi
kebutuhan saat ini tanpa menegosiasikan kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi
kebutuhan mereka, bertujuan untuk pengembangan keberlanjutan perusahaan
mengintegrasikan masalah ekonomi, lingkungan, dan sosial, selain itu juga
mengintegerasikan kelembagaan, yang diperkenalakan oleh PBB untuk mengevaluasi kinerja
keberlanjutan (Labuschagne et al., 2005 dalam R. Rajesh 2019). Namun untuk standar yang
dikeluarkan oleh Global Sustainability Standards Board (GSSB) yaitu standar Global
Reporting Initiative (GRI) hanya melaporkan dampak ekonomi, lingkungan, dan/atau sosial.
Menurut Fatchan dan Trisnawati (2016) Di Indonesia, publikasi sustainability report
masih bersifat voluntary, artinya perusahaan dengan sukarela menerbitkannya dan tidak ada
aturan baku yang mewajibkan seperti halnya pada penerbitan financial reporting. Dalam
penelitiannya juga memaparkan bahwa dengan pengungkapan sustainability report ini dapat
meningkatkan nilai perusahaan, karena mendorong pemegang saham dengan visi jangka
panjang dan meningkatnya harga saham. Selain itu juga dalam penelitian Latifah dan Luhur
(2017) menunjukan dengan pengujian secara parsial, variable pengungkapan sustainability
report berpengaruh terhadap nilai perusahaan. Pengungkapan sustainability report dalam
suatu perusahaan juga dapat digunakan sebagai alat untuk meningkatkan atau
mempertahankan reputasi perusahaan di mata pemegang saham. Namun dibeberapa
penelitian lainnya dalam periode waktu tertentu pada perusahaan yang terdaftar di BEI
sustainability report tidak berpengaruh signifikan terhadap nilai perusahaan dan kinerja pasar
perusahaan, selain itu hasil dari penelitian Sejati dan Prastiwi (2015) menyebutkan
pengungkapan sustainability report yang dilakukan oleh perusahaan tidak mampu
memberikan nilai yang lebih dibandingkan perusahaan yang tidak menerbitkan sustainability
report.
Dengan hasil penelitian yang berbeda tersebut diduga ada faktor lain dalam
melakukan pengungkapan sustainability report untuk mempengaruhi nilai perusahaan yaitu
efektivitas dewan direksi dalam melaksanakan pengungkapannya, sebagai keterbaruan dalam
penelitian ini disbanding penelitian-penelitian sebelumnya. Jensen dan Mechling (1976) dan
Freeman (1984) dalam Naciti (2019) menjelaskan hubungan antara tata kelola perusahaan
(corporate governance) dan kinerja keberlanjutan (sustainability) didasarkan pada dua teori
dominan, yaitu teori keagenan dan teori pemangku kepentingan (stakeholder) dimana yang
mengatur/ menyusun/ menentukan dan bertanggungjawab dalam keputusan keberlanjutan
dalam perusahaan yang utama adalah dewan direksi/ direktur. N. Garcia-Torea et al. (2016)
menunjukkan bahwa efektivitas direktur berpengaruh positif terhadap transparansi laporan
keberlanjutan ketika direksi mempromosikan praktik dan pelaporan CSR, hal itu juga efektif
dalam mempertimbangkan kepentingan pemegang saham signifikan pada saat yang
bersamaan. Maka dari itu efektivitas dewan direksi ini dapat diteliti lebih dalam dimana
diharapkan dapat bermanfaat untuk menambah dan memaksimalkan nilai perusahaan.
Keefektivitasan dewan direksi diharapkan mampu mengusahakan keseimbangan antara
berbagai kepentingan yang dapat memberikan keuntungan bagi perusahaan secara
menyeluruh.
2. Kajian Teoritis
A. Teori Keagenan (Agency theory)
Konsep teori keagenan menurut Scott (2015) adalah hubungan atau kontrak antara
principal dan agent, dimana principal adalah yang mempekerjakan agent agar melakukan
tugas untuk kepentingan principal, sedangkan agent adalah pihak yang menjalankan
kepentingan principal. Dalam perusahaan contohnya adalah para pemegang saham
(shareholder) memperkerjkan pemangku kepentingan (stakeholder) internal, yakni
direktur, direksi, karyawan, dsb untuk mengelolah saham yang telah diberikan. Model
principal-agent memberikan solusi teori keputusan ekonomi yang rasional untuk konflik
antarakepentingan manajer dan pemegang saham. Jensen dan Meckling dalam Aras dan
Igley (2017) memberikan wawasan penting tentang dampak hubungan keagenan dalam
perusahaan dan menjelaskan sifat hubungan keagenan antara prinsipal, pemilik
perusahaan, dan agen, manajer perusahaan.
Teori keagenan memiliki implikasi mendalam tentang bagaimana mengatur
perusahaan modern dengan sejumlah besar pemegang saham yang modal kolektifnya
dikendalikan dan diarahkan oleh pemegang saham yang terpisah. Mekanisme tata kelola
perusahaan menurut teori keagenan berfungsi untuk menyelaraskan perilaku agen dengan
kepentingan prinsipal mereka. Mekanisme tata kelola perusahaan mendefinisikan struktur
dan aturan yang membentuk sistem dan mereka akan memiliki efek yang signifikan pada
penyelesaian konflik keagenan, Selain itu, tata kelola perusahaan mendokumentasikan
serangkaian hubungan antara manajemen perusahaan, dewan direksi, pemegang saham,
dan pemangku kepentingan lainnya.
B. Teori Pemangku Kepentingan (Stakeholder theory)

Teori pemangku kepentingan adalah sebuah teori yang menatakan bahwa


keberlangsungan suatu perusahaan tidak terlepas dari adanya peranan stakeholder baik
dari internal maupun eksternal dengan berbagai latar belakang kepentingan yang berbeda
dari setiap stakeholder yang ada. Stakeholders internal adalah stakeholders yang berada
dalam lingkungan perusahaan, misalnya karyawan, manajer dan pemegang saham
(shareholders) sedangkan penyalur atau pemasok, konsumen atau pelanggan, masyarakat
dan pemerintah termasuk dalam stakeholders eksternal yang berada di luar lingkungan
perusahaan.

Teori pemangku kepentingan menekankan kesadaran perusahaan untuk


mempertimbangkan kebutuhan, kepentingan, dan pengaruh dari mereka yang terkena
dampak kebijakan dan operasi perusahaan. Dalam hal ini manajemen berperan untuk
mempertimbangkan keputusan demi memenuhi sebagian besar dari hal-hal yang menjadi
perhatian para pemangku kepentingan perusahaan. Dengan adanya teori ini juga berarti
bahwa pemangku kepentingan internal membuat keputusan dan pengungkapan atas
kegiatan atau aktivitas perusahaan yang sudah terjadi, misalnya dengan mengungkapkan
financial reporting dan pada penelitian ini adalah sustaibability report. Menutut
Lindawati dan Puspita (2015) CSR (Corporate Social Responsibility) dapat menjadi
strategi perusahaan untuk memenuhi kepentingan dari para stakeholder akan informasi
non keuangan perusahaan terkait dampak sosial dan lingkungan yang timbul dari adanya
aktivitas perusahaan. Semakin baik pengungkapan CSR oleh perusahaan akan membuat
stakeholder memberikan dukungan penuh kepada perusahaan atas segala aktivitasnya
yang bertujuan untuk meningkatkan kinerja dan mencapai laba yang diharapkan.

C. Sustainability Report (SR)

Sustainability report atau laporan keberlanjutan adalah laporan berkala (biasanya


tahunan) yang diterbitkan oleh perusahaan dengan tujuan berbagi tindakan dan hasil
tanggung jawab sosial perusahaan mereka (accurate.id). Sustainability report
diungkapkan dengan standar GRI dan laporan ini berguna untuk memahami dan
melaporkan dampaknya terhadap ekonomi, lingkungan, dan manusia dengan cara yang
sebanding dan kredibel sehingga meningkatkan transparansi atas kontribusi mereka
terhadap pembangunan berkelanjutan. Selain perusahaan pelapor, standar GRI sangat
relevan bagi banyak pemangku kepentingan - termasuk investor, pembuat kebijakan,
pasar modal, dan masyarakat. Penelitian yang diakukan oleh Ioannou dan Serafeim
(2014) dalam Aras dan Igley (2017) menunjukkan bahwa pelaporan keberlanjutan tidak
hanya meningkatkan transparansi tetapi juga dapat mengubah perilaku perusahaan.
Mereka menemukan bahwa: pengungkapan wajib informasi keberlanjutan mengarah pada
a) peningkatan tanggung jawab sosial para pemimpin bisnis, b) prioritas pembangunan
berkelanjutan, c) prioritas pelatihan karyawan, d) pengawasan manajer yang lebih efisien
oleh dewan direksi , e) peningkatan penerapan praktik etis oleh perusahaan, f) penurunan
penyuapan dan korupsi, dan g) peningkatan kredibilitas manajerial dalam masyarakat.
Selain itu menurut Fatchan dan Trisnawati (2016) tujuan sustainability report dapat
menarik investor untuk membeli saham perusahaan, sehingga harapannya dapat
meningkatkan nilai perusahaan. Dalam Pratami, Y dan Jamil, P.C. (2021) profitabilitas
mempengaruhi nilai perusahaan dan dapat meningkatkan nilai perusahaan. Investor
tertarik untuk berinvestasi pada perusahaan yang profitabilitasnya meningkat dari tahun
ke tahun. Hal ini menunjukkan bahwa perusahaan sangat menguntungkan, kinerja
manajemen terkendali dengan baik, dan prospek masa depan perusahaan baik.

D. Efektivitas Dewan Direksi Dalam Keberlanjutan Perusahaan

Sebelum memabahas efektivitas dewan direksi dalam keberlanjutan, bahasan


yang berkaitan dengan efektivitas dewan direksi adalah prespektif dari shareholder dan
stakeholder terhadap keberlanjutan. Menurut Letza dkk. (2004) dalam N. Garcia-Torea et
al. (2016), perspektif pemegang saham dan pemangku kepentingan adalah pendekatan
yang paling relevan untuk menganalisis tata kelola perusahaan perusahaan. Perspektif
pemegang saham menunjukkan ruang lingkup yang sempit. Pemegang saham
beranggapan jika tata kelola perusahaan seharusnya hanya berkontribusi untuk
melindungi kepentingan pemegang saham dan meningkatkan nilai perusahaan.
Sebaliknya, perspektif pemangku kepentingan menunjukkan cakupan yang lebih luas,
dimana mekanisme tata kelola perusahaan perusahaan harus menjamin kepentingan
semua pemangku kepentingan. Perspektif ini mengisyaratkan bawaha pemegang saham
juga sebagai jenis pemangku kepentingan tertentu. Dengan demikian, kepentingan
pemegang saham menjadi selaras sebagian dengan kepentingan pemangku kepentingan
lainnya.

Kedua perspektif ini dapat dianggap berlawanan, namun, perspektif ini dianggap
dapat saling melengkapi (N. Garcia-Torea et al., 2016). Walaupun pemangku
kepentingan terkadang kurang memperhatikan kepentingan pemegang saham tetapi
pemangku kepentingan tidak akan mengorbankan perlindungan kepentingan pemegang
saham. Maka dari itu, pemangku kepentingan dalam hal ini adalah direktur atau direksi
dapat mengelola perusahaan secara efektif, memperhitungkan perspektif pemegang
saham dan pemangku kepentingan agar terwujud tata kelola perusahaan yang baik.
Direktur atau direksi yang efektif dalam melindungi nilai pemegang saham juga efektif
dalam menanggapi kepentingan pemangku kepentingan perusahaan lainnya, hasil
penelitian N. Garcia-Torea et al. (2016) menunjukkan bahwa efektivitas direktur
berpengaruh positif terhadap transparansi laporan keberlanjutan sebagai proxy untuk
perspektif pemangku kepentingan dari tata kelola perusahaa. Selain itu hasil dari
penelitiannya adalah ketika direksi mempromosikan praktik dan pelaporan CSR, hal itu
juga efektif dalam mempertimbangkan kepentingan pemegang saham signifikan pada
saat yang bersamaan.

Perusahaan dengan tata kelola yang lebih baik lebih mungkin untuk terlibat dalam
kegiatan CSR dan kombinasi mekanisme tata kelola perusahaan yang baik, seperti
direksi, dan praktik CSR yang baik mengarah pada kinerja keuangan yang baik pula. Hal
ini juga disebabkan karena kepentingan pemegang saham berkembang dan pemegang
saham ini lebih mementingkan CSR. Hal ini terutama terjadi pada pemegang saham yang
signifikan. Maka dari itu, dapat ditarik kesimpulan jika pemegang saham tidak hanya
mempertimbangkan nilai dari keuntungan atau menganalisis financial report saja untuk
menentukan aktivitasnya pada perusahaan, tetapi juga mempertimbangkan tanggung
jawab yang dilakukan oleh perusahaan,yang diungkapkan dalam sustainability report.
Laporan keberlanjutan sekarang ini mudah diakses, seperti halnya dengan laporan
keuangan di website perusahaan, hal ini dikatakan sebagai wujud tata kelola yang baik
dimana perusahaan menerapkan prinsip transparansi dan akuntabilitas. Perusahaan yang
beroperasi di industri yang peka terhadap lingkungan dan perusahaan yang berasal dari
negara-negara dengan sistem tata kelola perusahaan yang berorientasi pemangku
kepentingan lebih cenderung menangani kepentingan semua pemangku kepentingan
perusahaan dengan menerbitkan laporan keberlanjutan yang lebih transparan (N. Garcia-
Torea et al., 2016). Transparansi pengungkapan laporan ini dapat menaikan nilai dari
suatu perusahaan atau mendapatkan nilai positif dari masyarakat.

3. Kerangaka Penelitian
Dalam penelitian Sofa, F.N dan Respati, N.W.T. (2020) melalui Good Corporate
Governance (GCG) berupaya memberi keuntungan kepada pemegang saham dan tetap
memperhatikan keinginan pemangku kepentingan (stakeholder), selain itu disebutkan juga
direksi bertanggung jawab untuk menyusun pedoman GCG perusahaan dan memastikan
bahwa perusahaan mematuhi peraturan dan perundang-undangan yang berlaku. Kewajiban
direksi untuk mengidentifikasi sesuatu yang dapat digunakan untuk mengidentifikasi,
mengukur, dan memprioritaskan kepentingan terbaik perusahaan, dimana terdapat dua tugas
dari direksi yaitu, kinerja dengan menerapkan strategi kelestarian dan kepatuhan, dimana
dengan kepatuhan itu kepercayaan pasar dan legitimasi menjadi hal yang sangat penting,
kepentingan pemangku kepentingan lainnyapun juga diperhitungkan (Aras dan Igley, 2017).
Maka dari itu dalam penelitian ini efektifitas dewan direksi sebagai variabel dependennya,
peneliti ingin mengetahui peran efektivitas dewan direksi dan strategi yang dilakukan dalam
menyusun sustainability report. Sedangkan variable independennya adalah sustainability
report yang disusun oleh perusahaan yang dapat meningkatkan nilai perusahaan, ditunjukan
dengan penelitian-penelitian sebelumnya. Fokus dalam penelitian ini adalah efektifitas dewan
direksi pada perusahaan perbankan, mengembangan dari temuan penelitian Hanjani, L, dkk.
(2021) menunjukkan bahwa bank berkelanjutan masih menjadi tantangan dalam praktik
operasional, karena ini merupakan kebijakan dan investasi jangka panjang, maka perolehan
kinerja mereka tidak dapat diukur dalam jangka waktu yang pendek, sehingga akan
berdampak negatif terhadap perolehan kinerja jangka pendek, selain itu juga dapat kita
ketahui beberapa bank berkontribusi mengembangkan potensi ekonomi dan pariwisata desa
wisata sehingga mampu menjadi desa yang mandiri dan menciptakan lapangan pekerjaan,
salah satunya adalah bank BCA (bca.co.id). Berikut adalah kerangka berpikir dari penelitian
ini.

Agency Penyusunan Stakeholder


theory sustainability report theory

Efektivitas dewan
direksi

Keterangan:

mempertimbangkan agency theory dan stakeholder theory dalam penyususnan

hasil
DAFTAR PUSTAKA

Aras, Güler dan Ingley, Coral.2017. Behavior and Sustainability, Doing well by
being good. New York, NY: Routledge.
Fatchan, Ilham Nuryana dan Trisnawati, Rina. 2016. Pengaruh Good Corporate
Governance Pada Hubungan Antara Sustainability Report dan Nilai
Corporate Perusahaan (Studi Empiris Perusahaan Go Public di Indonesia
Periode 2014-2015). Riset Akuntansi dan Keuangan Indonesia, 1(1), 25-
34. DOI: https://doi.org/10.23917/reaksi.v1i1
Garcia-Torea, N. et al. 2016. Board of director's effectiveness and the stakeholder
perspective of corporate governance: Do effective boards promote the
interests of shareholders and stakeholders?. BRQ Business Research
Quarterly, 19(4), 246-260. DOI: https://doi.org/10.1016/j.brq.2016.06.001

Hanjani, L, dkk. 2021. Sustainable Banking and Bank Performance. Jurnal


Ilmiah Akuntansi dan Bisnis (JIAB), 16(1), 173-186. DOI:
https://doi.org/10.24843/JIAB.2021.v16.i01.p12

Ilyas, Imran M. dan Osiyevskyy, Oleksiy. 2021. Exploring the impact of


sustainable value proposition on firm performance. European
Management Journal. DOI:
https://doi.org/10.1016/j.emj.2021.09.009

Latifah, S.W. dan Luhur, M.B. 2017. Pengaruh Pengungkapan


Sustainability Report Terhadap Nilai Perusahaan dengan
Profitabilitas Sebagai Pemoderasi. Jurnal Akuntansi dan Bisnis,
17(1). DOI: http://dx.doi.org/10.20961/jab.v17i1.219
Lindawati, A.S.L dan Puspita, M. E. 2015. Corporate Social Responsibility:
Implikasi Stakeholder dan Legitimacy Gap Dalam Peningkatan
Kinerja Perusahaan. Jurnal Akuntansi Multiparadigma, 6(1), 157-174.
DOI: 10.18202/jamal.2015.04.6013

Meriyani. 2021. Memahami Analisis Regresi Linear Berganda, (Online),


(https://accounting.binus.ac.id/2021/08/12/memahami-analisis-regresi-
linear- berganda/?
utm_source=binustoday&utm_campaign=binustodayarticlevie w),
diakses 08 Desember 2021.
Naciti, Valeria. 2019. Corporate governance and board of directors: The effect of
a board composition on firm sustainability performance. Journal of
Cleaner Production, 237, 117727. DOI:
https://doi.org/10.1016/j.jclepro.2019.117727

Pratami, Y dan Jamil, P.C. 2021. Pengaruh Sustainability Reporting,


Profitabilitas, Struktur Modal Dan Insentif Manajer Terhadap Nilai
Perusahaan. COSTING:Journal of Economic, Business and
Accounting, 4(2), 434-444. DOI:
https://doi.org/10.31539/costing.v4i2.1989

R.Rajesh. 2019. Exploring the sustainability performances of firms using


environmental, social, and governance scores. Journal of
Cleaner Production, 247, 119600. DOI:
https://doi.org/10.1016/j.jclepro.2019.119600

Sejati, B.P. dan Prastiwi, A. 2015. Pengaruh Pengungkapan Sustainability


Report Terhadap Kinerja Dan Nilai Perusahaan. Diponegoro Journal
Of Accounting, 4(1), 1-12, (Online),
(https://ejournal3.undip.ac.id/index.php/accounting/article/view/15848
)
Sofa, F.N dan Respati, N.W.T. 2020. Pengaruh Dewan Direksi, Dewan
Komisaris Independen, Komite Audit, Profitabilitas, Dan Ukuran
Perusahaan Terhadap Pengungkapan Sustainability Report (Studi
Pada Perusahaan Manufaktur Yang Terdaftar Di Bursa Efek
Indonesia Tahun 2017). DINAMIKA EKONOMI Jurnal Ekonomi
dan Bisnis, 13(1), 32-49. (Online).
(https://stienas-ypb.ac.id/jurnal/index.php/jdeb/article/view/239)
Jawaban No. 6

Dari empat referensi yang saya temukan triangulasi adalah sebagai berikut: pertama,
triangulasi adalah gagasan bahwa Anda harus melakukan lebih dari satu hal dalam sebuah
penelitian. Artinya, sebaiknya menggunakan lebih dari satu metode penelitian, menggunakan dua
atau lebih teknik untuk mengumpulkan data, atau menggabungkan metode penelitian kualitatif
dan kuantitatif dalam satu penelitian. Triangulasi adalah ide yang bagus jika Anda ingin melihat
topik yang sama dari sudut yang berbeda. Ini memungkinkan Anda untuk mendapatkan
gambaran 'lebih lengkap' tentang apa yang terjadi. Ini memungkinkan Anda untuk melakukan
triangulasi data dari wawancara dengan data dari dokumen, atau data dari dua metode penelitian
yang berbeda.

Kedua, triangulasi adalah teknik yang menggunakan metode pengumpulan data yang
berbeda untuk menganalisis hasil survei yang sama. Ini digunakan untuk tiga tujuan utama:
untuk meningkatkan validitas, untuk membangun gambaran yang lebih dalam tentang masalah
penelitian, dan untuk menantang cara yang berbeda untuk memahami masalah penelitian. Dalam
kebanyakan kasus, triangulasi membantu memvalidasi studi dengan memeriksa apakah metode
yang berbeda dari fenomena yang sama atau pengamat yang berbeda menghasilkan hasil yang
sama. Ini juga dapat digunakan untuk menanyakan inkonsistensi dan data yang diperkirakan
tidak sinkron. Kerangka metodologis yang digunakan menentukan bagaimana tingkat duplikasi
antara metode dikonseptualisasikan. Peneliti mencari tiga jenis triangulasi: konvergensi,
komplementaritas, dan divergensi. Konvergensi menunjukkan bahwa ada sejumlah besar
duplikasi dan akurasi antara kumpulan data yang dikumpulkan menggunakan metode yang
berbeda. Komplementaritas menciptakan gambaran yang lebih kaya tentang hasil penelitian
dengan memungkinkan hasil metode yang berbeda saling menginformasikan satu sama lain.
Divergensi menghadirkan berbagai tantangan metodologis, interpretasinya tergantung pada
kerangka konseptual penelitian. Penyimpangan dapat menunjukkan bahwa metode atau hasil
tidak benar atau sedang diperlakukan sebagai data baru dan dianalisis untuk pengetahuan baru.

Ketiga, triangulasi telah disebut "kata 'ajaib' yang sesungguhnya dalam penelitian metode
campuran" (Tashakkori dan Teddlie, 2003: hlm. 674) dan "metode nyaris jimat" untuk
menggabungkan penelitian kualitatif dan kuantitatif (Miles dan Huberman, 1994: p. 266). Di sisi
lain, triangulasi telah dikatakan “digunakan secara berlebihan hingga tidak berarti apa-apa”
(Tashakkori dan Teddlie, 2003: hlm. 674) dan “memiliki terlalu banyak makna”, oleh karena itu
“tidak memiliki makna sama sekali”. ” (Sandelowski, 2003: hal. 328). Jadi, apa hal ajaib, nyaris
jimat, dan mungkin tidak berarti ini? Pada tingkat yang paling sederhana, triangulasi mengacu
pada penggunaan beberapa ukuran untuk menangkap sebuah konstruksi. Strategi triangulasi,
bagaimanapun, juga dapat diterapkan untuk beberapa operasionalisasi perawatan dan manipulasi
dan penggunaan beberapa teori, analisis, analis, metodologi, dan desain penelitian, untuk
menyebutkan beberapa aplikasi. Penggunaan logika triangulasi dalam ilmu-ilmu sosial muncul
pada saat pendekatan kuantitatif purist atau positivis ditantang oleh purist kualitatif atau
pendekatan konstruktivis (Johnson dan Onwuegbuzie, 2004). Pada tingkat dasar, strategi
triangulasi membutuhkan pengakuan bahwa tidak ada ukuran dalam ilmu-ilmu sosial yang
merupakan ukuran sempurna dari konstruk yang sedang dipertimbangkan. Dengan hanya satu
ukuran konstruk, kesalahan dan bias yang melekat dalam ukuran tersebut tidak dapat dipisahkan
dengan konstruk yang diminati. Meskipun logika triangulasi ini pada awalnya dijelaskan dalam
ilmu sosial dalam hal ukuran dan metode dengan pengembangan desain multi-sifat-multimetode
Campbell dan Fiske (1959), logika yang sama dapat diperluas ke perawatan, pengaturan,
populasi, dan banyak aspek lain dari perusahaan penelitian, dan, banyak program penelitian
menggunakan logika triangulasi sebelum istilah tersebut pertama kali diimpor ke dalam ilmu-
ilmu sosial. Meskipun sederhana dalam konsep, triangulasi “membawa serta sejumlah implikasi
mengenai pelaksanaan penelitian sosial yang tepat, efek ketidaksempurnaan atau tidak dapat
diandalkannya operasi pengukuran pada pengembangan teori, dan cara di mana bidang kita
mungkin secara bertahap mencapai status ilmu-ilmu yang lebih maju” (Crano, 1981: hlm. 320).

Menurut Sutopo (2006) terdapat empat teknik dalam triangulasi, yaitu triangulasi
data/sumber, triangulasi peneliti, triangulasi metodologis, dan triangulasi teoritis. Triangulasi
merupakan teknik yang didasari pola pikir fenomenologi yang bersifat multiperspektif. Model
penelitian triangulasi data yang mengarahkan peneliti dalam mengambil data harus
menggunakan beragam sumber data yang berbeda-beda.

Refrensi:

1. Qualitative Research, oleh Michael D. Mayer (2013), London: SAGE Publication Ltd
2. Triangulation, oleh Andrea J. Nightingale (2020) (International Encyclopedia of Human
Geography (Second Edition))
(https://www.sciencedirect.com/topics/social-sciences/triangulation)
3. Triangulation: Methodology, oleh Linda Heath (2015) (International Encyclopedia of the
Social & Behavioral Sciences (Second Edition))
(https://www.sciencedirect.com/topics/social-sciences/triangulation)
4. Triangulasi pada penelitian kualitatif (2013) (Pusat Data dan Dokumentasi Ilmiah Lembaga
Ilmu Pengetahuan Indonesia) (https://pddi.lipi.go.id/triangulasi-pada-penelitian-kualitatif/)
Jawaban No. 7

a) Lembar ringkasan
Setelah mendapatkan data-data yang dikumpulkan dengan beberapa teknik, maka dibuat
sebuah lembarab ringkasan, yang memperhatikan hal-hal berikut: rekaman dan transkrip sesi;
berfokus pada analisis tematik; mempertimbangkan untuk mengembangkan kerangka atau
matriks hierarkis; memberikan perhatian khusus pada pendapat minoritas; dan
mempertimbangkan untuk menyajikan kutipan dari peserta. Setelah itu menuliskan
ringaksan, bearisi ringkasan abstrak atau eksekutif dan pengenalan atau ringkasan latar
belakang proyek; menyampaikan metode dimana peneliti menggambarkan peserta, apa yang
diukur, bagaimana peneliti mengumpulkan data dan bagaimana data dianalisis; lalu
menuliskan hasil dengan melaporkan hasil dan menyertakan kutipan, grafik, gambar, dan
tabel untuk mengilustrasikan temuan utama; dan terakhir adalah kesimpulan, menguraikan
implikasi dari temuan. Peneliti mungkin ingin mengartikulasikan ide-ide dan tentang
bagaimana menggunakan informasi, Peneliti dalam penulisan kesimpulan dapat menyoroti
manfaat atau keterbatasan dari temuan, atau mungkin ingin merekomendasikan studi
tambahan dilakukan. Contoh lembaran ringkasan ini adalah data-data yang sudah didapat
dapat diringkas baik dengan paragraph atau menggunakan table, didalam lembaran ringkasan
juga dapat diketahui temuan penting dan temuan diluar topik penelitian.
b) Coding
Proses selanjutnya dari teks (atau analisis gambar) dalam penelitian kualitatif dimulai
dengan pengkodean data. Coding adalah proses segmentasi dan pelabelan teks untuk
membentuk deskripsi dan topik yang luas dalam data Anda. Tidak ada pedoman yang
ditetapkan untuk pengkodean data, tetapi ada beberapa metode umum (lihat Creswell, 2007;
Tesch, 1990). Tujuan dari proses pengkodean adalah untuk memahami data teks,
membaginya menjadi segmen teks atau gambar, memberi label segmen dengan kode,
memeriksa duplikasi kode dan verbositas, dan membagi kode ini menjadi berbagai topik.
Oleh karena itu, mempersempit data ke beberapa topik adalah proses induktif (J. David
Creswell, Komunikasi Pribadi, 1 Januari 2001). Selain itu, dalam proses ini, peneliti memilih
data tertentu yang akan digunakan dan mengabaikan data lain yang tidak spesifik untuk
topik penelitian. Peneliti dalam proses ini memilih atau memilah data-data, Tesch (1990) dan
Creswell (2007) merekomendasikan langkah-langkah berikut:
1. Baca semua transkripsi dengan cermat.
2. Pilih satu dokumen (misalnya, satu wawancara, satu untuk catatan akhir).
3. Mulailah proses pengkodean dokumen. Proses ini melibatkan identifikasi segmen teks,
menempatkan tanda kurung di sekelilingnya, dan menetapkan kata atau frasa kode yang
secara akurat menggambarkan makna segmen teks.
4. Buatlah daftar semua kata kode. Kelompokkan kode yang mirip dan mencari kode yang
berlebihan.
5. Ambil daftar ini dan kembali ke data. Cobalah skema pengorganisasian awal ini untuk
melihat apakah kode-kode baru muncul. Lingkari kutipan spesifik dari peserta yang
mendukung kode tersebut.
6. Ambil daftar ini dan kembali ke data. Cobalah skema pengorganisasian awal ini untuk
melihat apakah kode-kode baru muncul. Lingkari kutipan spesifik dari peserta yang
mendukung kode tersebut.
c) Pengodean pola
Pengodean Pola, sebagai metode siklus kedua setelah coding, adalah cara mengelompokkan
ringkasan tersebut ke dalam sejumlah kecil kategori, tema, atau konsep. Untuk peneliti
kuantitatif, ini adalah analog dengan perangkat analisis klaster dan analisis faktor yang
digunakan dalam analisis statistik. Sejajar dengan metode pengkodean grounded theory
adalah Focused Coding atau Aksial Coding. Kode pola adalah kode inferensial atau
penjelasan, kode yang mengidentifikasi konfigurasi "gambaran yang lebih besar". Mereka
mengumpulkan banyak materi dari pengkodean siklus pertama ke dalam unit analisis yang
lebih bermakna yaitu disebut semacam kode meta.
Untuk analis kualitatif, Pengodean pola memiliki empat fungsi penting:
1. Ini memadatkan sejumlah besar data/kode ke dalam jumlah unit analitik yang lebih kecil
(misalnya, kategori, tema, konsep).
2. Membuat peneliti melakukan analisis selama pengumpulan data, sehingga penelitian
lapangan nantinya bisa lebih fokus.
3. Ini membantu peneliti mengelaborasi jaringan kognitif—skema yang berkembang dan
lebih terintegrasi untuk memahami insiden dan interaksi lokal.
4. Untuk studi kasus ganda, ini meletakkan dasar untuk analisis lintas kasus dengan
memunculkan tema-tema umum dan proses terarah.
Keempat fungsi ini dapat diklarifikasi saat kita membahas bagaimana Kode Pola dihasilkan,
seperti apa bentuknya, dan apa yang peneliti lapangan lakukan dengannya selama
pengumpulan data.
Pegodean Pola biasanya terdiri dari empat, sering kali saling terkait, meringkas:
1. Kategori atau tema
2. Penyebab atau penjelasan
3. Hubungan antar manusia
4. Konsep atau konstruksi teoritis
d) Mengembangkan proposisi
Proposisi kualitatif adalah "hipotesis, biasanya ditulis dalam bentuk terarah" yang
dikembangkan pada tahap akhir analisis kualitatif untuk menggambarkan keterkaitan elemen
model penelitian lanjutan (Creswell 2007, 240). Proposisi yang kuat bisa sangat berharga
dalam memandu penelitian masa depan. Sementara teknik penelitian kualitatif cukup berguna
dalam menghasilkan wawasan, teknik tersebut kurang dapat diterima untuk generalisasi
temuan ke populasi tertentu (Johnson 2015a). Oleh karena itu, temuan kualitatif sering diikuti
oleh penilaian kuantitatif (Harrison dan Reilly 2011). Panduan proposisional yang jelas bisa
sangat berharga dalam memajukan hubungan eksplisit untuk pengujian empiris. Mirip
dengan hipotesis yang diajukan dalam artikel kuantitatif, proposisi kualitatif yang berkualitas
harus memenuhi prinsip yang dianut untuk pernyataan prediksi yang efektif.
Pertama, faktor keberhasilan yang penting secara fundamental untuk proposisi yang efektif
adalah bahwa proposisi itu baru. Proposisi harus menyampaikan hubungan yang disarankan
dalam riset penjualan yang belum dijelajahi. Penyajian kembali hubungan yang diketahui
yang dipahami dalam riset penjualan tidak memberikan manfaat bagi pembaca atau peneliti
untuk evaluasi di masa mendatang. Kedua, proposisi harus memiliki kejelasan dan
kekhususan yang cukup dalam kata-katanya untuk memastikan bahwa penelitian masa depan
menguji hubungan yang dianut secara akurat. Proposisi yang jelas secara konseptual dan
dapat diakses memberikan peta jalan yang meyakinkan bagi para peneliti untuk diikuti
(Gioia, Corley, dan Hamilton 2013). Peneliti yang tidak terbiasa dengan pemeriksaan
kualitatif awal harus dapat dengan mudah memahami hubungan kunci yang membutuhkan
pengujian di masa depan yang dihasilkan dari penyelidikan kualitatif. Proposisi semacam itu
dapat membantu secara efektif “menjembatani jurang pemisah yang lebar antara peneliti
kualitatif dan kuantitatif” (Gioia, Corley, dan Hamilton 2013, 25). Sebaliknya, proposisi yang
ambigu dapat membingungkan dan membuat frustrasi peneliti potensial dan memiliki efek
depresi yang tidak diinginkan pada penelitian masa depan daripada efek yang meningkat.
Kriteria ketiga – falsifiability – adalah rintangan lain yang dihadapi peneliti penjualan dalam
memajukan proposisi kualitatif berdampak tinggi. Falsifiabilitas mengacu pada "apakah
klaim dapat dibantah dengan bukti" (Shafer 2009, 730). Kadang-kadang, proposisi dapat
dikritik karena terlalu jelas dan dengan demikian mewakili tautologi daripada hubungan yang
menarik untuk diuji secara empiris. Namun, sulit untuk membayangkan skenario di mana
perilaku peran tidak saling bergantung atau kesesuaian perilaku bukan fungsi konteks.
Proposisi yang ditingkatkan bisa membuat artikel ini lebih berpengaruh dalam mengarahkan
penelitian masa depan di bidang ini.
e) Melakukan pertemuan untuk analisis situs
Melakukan pertemuan analisis situs dengan wawancara memiliki tiga tujuan: pertama, untuk
mengidentifikasi kelompok yang terlibat dalam proyek; kedua, untuk mengumpulkan
informasi latar belakang tentang perwalian dan agenda pengelolaannya; dan, ketiga, untuk
menetapkan pengaturan logistik di setiap lokasi untuk mendistribusikan informasi sebuah
proyek. Contoh melakukan pertemuan untuk analisis situs dalam penelitian dengan judul
“How do they manage? A qualitative study of the realities of middle and front-line
management work in health care” adalah sebagai berikut, dalam persiapan untuk kelompok
fokus berikutnya dan survei manajemen, orang yang diwawancarai juga ditanya tentang
tekanan dan tuntutan yang dihadapi manajer menengah, tentang motivasi dan penghargaan
mereka dan untuk contoh kontribusi manajemen terhadap hasil klinis dan kualitas perawatan.
Pertanyaan terakhir adalah, 'apa yang harus diubah untuk memungkinkan manajer menengah
memberikan kontribusi yang lebih kuat?'. Wawancara ini relatif informal, berlangsung
hingga 1 jam, dengan peneliti membuat catatan yang kemudian ditranskrip (tidak ada
rekaman yang terjadi pada tahap ini).
Wawancara ini dimulai dengan kontak utama masing-masing situs, yang kemudian diminta
untuk menominasikan kolega yang dapat memberikan informasi latar belakang lebih lanjut.
Proses ini memiliki beberapa manfaat. Pertama, ini merangsang minat pada proyek di antara
mereka yang didekati. Kedua, kontribusi manajemen 'hibrida' diperkuat. Ketiga, ini
menegaskan ruang lingkup dan tantangan agenda manajemen kepercayaan akut, yang,
terlepas dari isu-isu lokal tertentu, serupa di keenam lokasi. Catatan wawancara yang
ditranskripsi menjadi sasaran analisis isi, pertanyaan demi pertanyaan. Analisis isi adalah
metode reduksi data, umumnya diterapkan pada informasi kualitatif, dan didasarkan pada
pengidentifikasian dan pengkategorian (pengkodean) tema yang berulang. Misalnya, jawaban
atas pertanyaan 'motif dan penghargaan' dari 13 orang yang diwawancarai di Greenhill diberi
kode dalam sembilan kategori Analisis serupa dilakukan untuk 'tekanan', 'kontribusi' dan 'apa
yang harus diubah'. Analisis ini pertama kali dilakukan oleh peneliti utama untuk setiap
lokasi, dan kemudian diperiksa oleh peneliti utama. Rekan peneliti proyek menyusun dan
memeriksa lebih lanjut analisis ini. Jelas ada tingkat subjektivitas yang terlibat dalam
pengkategorian dan pelabelan komentar wawancara seperti ini, dan analisis isi dapat menjadi
kontroversial karena alasan itu.
f) Membuat ringkasan situs sementara
Menurut Miles dan Hubermn adalah penarikan kesimpulan dan verifikasi. Kesimpulan awal
yang dikemukakan sifatnya masih sementara, dan akan berubah bila ditemukan bukti-bukti
yang kuat yang mendukung tahap pengumpulan data berikutnya. Tetapi apabila bukti yang
valid dan konsisten saat peneliti kembali ke lapangan mengumpulkan data, maka kesimpulan
yang dikemukakan merupakan kesimpulan yang kredibel.
g) Membuat kesimpulan sementara
Kedudukan teori dalam penelitian kualitatif dipahami dari keterkaitannya dengan kedudukan
hipotesis, metode dan metodologi. Teori menyediakan serangkaian konsep penjelas
(explanatory concepts). Dalam penelitian kualitatif, karena permasalahan yang dibawa oleh
peneliti bersifat sementara, maka teori yang digunakan dalam penelitian kualitatif juga
bersifat sementara, dan akan berkembang setelah peneliti memasuki lapangan atau dalam
konteks sosial. Sehingga kesimpulan sementara dibuat dari hasil observasi untuk
menghasilkan teori baru dalam penelitian kualitatif.

Refrensi:

1. Best Practices for Summarizing Qualitative Research Findings, oleh Jennifer Gehrt (2018)
(https://www.communiquepr.com/best-practices-for-summarizing-qualitative-research-
findings/15044/)
2. Educational Research: Planning, Conducting, and Evaluating Quantitative and Qualitative
Research, Fourth Edition, oleh John W. Creswell (2012), Boylston Street, Boston, MA:
Pearson.
3. Ch. 4 Fundamentals Of Qualitative Data Analysis (Copyright ©2020 by SAGE Publications,
Inc.) (https://us.sagepub.com/sites/default/files/upm-assets/102000_book_item_102000.pdf)
4. Developing qualitative propositions in sales research: existing approaches and a new
multiphasic technique, oleh Jeff S. Johnson (2019) (Journal of Personal Selling & Sales
Management, 1-6 DOI: https://www.tandfonline.com/action/showCitFormats?
doi=10.1080/08853134.2019.1604143)
5. How do they manage? A qualitative study of the realities of middle and front-line
management work in health care (https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK259392/)
6. Teknik Analisis Data Penelitian Kualitatif dan Kuantitatif, oleh Gamal Thabroni (2021)
(https://serupa.id/teknik-analisis-data-penelitian-kualitatif-dan-kuantitatif/)
7. Posisi Dan Fungsi Teori Dalam Penelitian Kualitatif, oleh Madekhan (2018) (Reforma:
Jurnal Pendidikan dan Pembelajaran, 7(2)
(https://jurnalpendidikan.unisla.ac.id/index.php/reforma/article/download/78/76)

You might also like