Download as doc, pdf, or txt
Download as doc, pdf, or txt
You are on page 1of 93

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Achmadi (2012) dalam Nisa dan Rahmalia (2019) menyatakan bahwa penyakit

berbasis lingkungan merupakan fenomena penyakit yang terjadi pada sebuah

kelompok masyarakat yang berhubungan, atau memiliki keterkaitan erat dengan

komponen lingkungan pada sebuah ruang, dimana masyarakat tersebut bertempat

tinggal atau beraktivitas dalam jangka waktu tertentu. Penyakit tersebut dapat

dicegah atau dikendalikan, jika kondisi lingkungan yang berhubungan atau di duga

berhubungan dengan penyakit tersebut di hilangkan.

Wijaya (2011) dalam Nisa dan Rahmalia (2019) Menyatakan bahwa salah satu

contoh penyakit berbasis lingkungan adalah penyakit kulit. Penyakit kulit adalah

infeksi yang umum, dapat terjadi pada orang-orang dari segala usia. Penyakit kulit

disebabkan oleh jamur, virus, kuman, varasit, dan lain-lain. Salah satu penyakit

yang disebabkan oleh parasit adalah penyakit skabies. Soemirat dan Safar (2009)

dalam Mading dan Sopi (2015) menyatakan bahwa penyakit skabies dalam bahasa

Indonesia sering disebut kudis, orang Jawa menyebutnya “gudig’, sedangkan orang

Sunda menyebutnya “budug”. Penyakit ini juga sering di sebut dengan kutu badan,

budukan, gatas agog, yang di sebabkan oleh sarcoptes skabies varian hominis

(sejenis kutu, tungau), ditandai dengan keluhan gatal, terutama pada malam hari

dan di tularkan melalui kontak langsung atau tidak langsung melalui alas tempat

tidur atau pakaian.

1
2

faktor yang dapat mempengaruhi kejadian skabies di suatu permukiman adalah

masalah personal hygiene. Tarwoto dan Wartonah (2006) dalam Silalahi dan Putri

(2017) menyatakan bahwa Personal hygiene adalah kebersihan dan kesehatan

perorangan yang bertujuan untuk mencegah timbulnya penyakit pada diri sendiri

dan orang lain, baik secara fisik maupun psikologis. Kozier dkk (2009) dalam

Silalahi dan Putri (2017) personal hygiene mencakup perawatan kebersihan kulit

kepala dan rambut, mata , telinga, hidung, kuku kaki dan tangan, kulit dan area

genital. Personal hygiene yang tidak baik dapat meningkatkan penyakit yang

berhubungan dengan perilaku sehat dan kebersihan diri Tarwoto dan Wartonah

(2006) dalam Silalahi dan Putri (2017).

Kozier dan Erb (2009) dalam Silalahi dan Putri (2017) Faktor yang

mempengaruhi personal hygiene adalah kebudayaan, agama, lingkungan, tingkat

pekembangan sesuai usia, kesehatan dan energy, serta prefensi pribadi. Faktor-

faktor yang berperan pada tingginya prevalensi skabies di negara berkembang

menurut Jhonstone (2008) dalam Imartha (2016) terkait dengan kemiskinan yang

berhubungan dengan rendahnya tingkat kebersihan (personal hygiene), akses air

yang sulit, dan kepadatan hunian.

Penyakit skabies banyak dijumpai di Indonesia, hal ini disebabkan karena

Indonesia merupakan negara yang beriklim tropis. Parman dkk (2017) dalam

Alhidayat dkk (2020) menyatakan prevalensi skabies di Indonesia menurut

Departemen Kesehatan Republik Indonesia yang berdasarakan data dari puskesmas

seluruh Indonesia pada tahun 2015, angka kejadian skabies menduduki urutan

ketiga dari 12 penyakit kulit tersering, saat ini angka kejadian skabies meningkat
3

lebih tinggi dari 20 tahun yang lalu,dan banyak ditemukan pada panti asuhan,

asrama, pondok pesantren, penjara, dan rumah sakit. Penyakit skabies ini yang di

sebabkan oleh tungau suka pada daerah-daerah lipatan kulit, seperti telapak tangan,

kaki, selangkangan, lipatan paha, perut, ketiak, dan daerah vital.

Faktor resiko tingginya prevalensi skabies di pesantren adalah kepadatan

penghuni yang tinggi dan perilaku kebersihan yang buruk. Sebagai institusi agama

islam, pesantren seharusnya menyelenggarakan pendidikan di lingkungan yang

bersih dan sehat. Pada kenyataannya, tingkat kebersihan di pesantren umumnya

rendah dan santri banyak menderita skabies. Meskipun demikian kondisi itu sering

diabaikan dan skabies dianggap sebagai penyakit yang biasa menghinggapi santri.

Bahkan ada ungkapan yang menyatakan “belum jadi santri apabila belum

mengalami kudisan atau skabies”. Hal tersebut tentu saja tidak benar karena skabies

kronik dan berat dapat menimbulkan komplikasi berupa infeksi sekunder oleh

bakteri dan menurunkan kualitas hidup serta penderitaan bagi santri. Penderita

skabies juga menjadi sumber infeksi bagi lingkungannya sehingga harus diobati dan

pesantren perlu melakukan upaya pemberantasan. Oleh karena itu, pesantren perlu

berbenah diri untuk menjadi institusi pendidikan yang bersih dan sehat agar

terbebas dari skabies. Cita-cita menuju pesantren bebas skabies perlu dicanangkan.

Pemberantasan skabies di asrama, panti asuhan, pondok pesantren, dan tempat lain

dengan kepadatan penghuni yang tinggi tidak dapat dilakukan secara individual

melainkan harus serentak dan menyeluruh. Semua penderita skabies harus diobati

dan lingkungan harus dibersihkan (dekontaminasi). Jika tidak, penderita skabies

yang telah sembuh akan tertular lagi dan reinfestasi skabies akan terjadi dalam
4

waktu singkat dengan lingkaran setan yang sulit diputus. Diperlukan peran dokter

dan tenaga kesehatan lainnya untuk menjadi agen perubahan serta pendidik bagi

penduduk terutama untuk masyarakat yang memiliki risiko tinggi menderita

skabies. Berdasarkan hal tersebut diperlukan informasi yang lengkap tentang

skabies sebagai pedoman pengobatan, pemberantasan, dan pencegahan skabies

(Sungkar, 2016).

Pondok pesantren merupakan sekolah islam berasrama dimana santri biasanya

tinggal bersama dengan teman-teman dalam satu kamar. Tinggal bersama dengan

sekelompok orang seperti di pesantren beresiko mudah tertular berbagai penyakit,

khususnya skabies kurang diperhatikan oleh para santri di Pondok Pesantren.

Mereka menganggap kebiasaan mereka dalam menjaga kebersihan diri sudah cukup

dan tidak akan menimbulkan masalah kesehatan khususnya penyakit kulit, dari

beberapa penyakit kulit seperti skabies paling sering diakibatkan dari perilaku yang

tidak sehat seperti menggantung pakaian di kamar, saling bertukar pakaian dan

benda pribadi, seperti sisir dan handuk, dipengaruhi juga oleh pengetahuan yang

kurang mengenai kebersihan diri (Nugraheni, 2016).

Berdasarkan hasil observasi yang telah di lakukan pada tanggal 16 Oktober

2020 melalui wawancara, peneliti tidak dapat langsung wawancara dengan santri

karena adanya wabah covid -19 akhirnya wawancara di lakukan dengan melibatkan

salah satu pengurus asrama sekaligus pengurus poskestren di Pondok Pesantren An-

Nur Ngrukem, Bantul bahwasannya 42 orang santri terutama santri putra yang

masih kurang sadar akan kebersihan yang dimana kebersihan adalah penyebab

utama santri mengalami skabies. Terutama kebersihan personal hygine yang kurang
5

diterapkan pada masing-masing santri putra di Pondok Pesantren An-Nur Ngrukem,

Bantul.

Skabies yang lebih di kenal dengan sebutan gudig sudah tidak asing lagi di

kalangan santri bahkan menjadi hal biasa terutama pada santri putra, hal yang

menjadi biasa ini menjadi biasa dalam pengobatannya, pengobatan yang biasa

mereka lakukan adalah dengan menggunakan obat seadanya seperti salep

berdasarkan yang mereka tahu dari pengalaman santri-santri yang telah sembuh dari

skabies atau sering mereka sebut dengan gudig. Peneliti lebih tertarik melakukan

penelitan karena adanya faktor yang menghubungkan dengan kejadian yang

memicu terjadinya skabies di Pondok Pesantren An-Nur Ngrukem, Bantul adalah

faktor kurangnya pengetahuan dan sikap personal hygiene yang kurang di terapkan,

tempat tidur santri yang masih menggunakan alas seadanya.

Dari uraian di atas peneliti melihat kurangnya pengetahuan pada santri,

kurangnya kesadaran terhap personal hygine, kebersihan tempat tidur yang menjadi

faktor utama jika dilihat dari studi pendahuluan atau observasi yang peneliti

temukan di Pondok Pesantren An-Nur Ngrukem, Bantul. Berdasarkan uraian

tersebut, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul “Faktor-faktor

yang Berhubungan dengan Kejadian Skabies pada santri Putra di Pondok

Pesantren An-Nur Ngrukem, Bantul tahun 2020”.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, maka peneliti merumuskan

masalah sebagai berikut : “Adakah faktor-faktor yang berhubungan dengan


6

kejadian skabies pada santri putra di Pondok Pesantren An-Nur Ngrukem, Bantul

pada tahun 2020?”.

C. Batasan Masalah

Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah maka batasan masalah dalam

penelitian ini adalah :

1. Variabel penelitian

Variabel menurut Nursalam (2014) adalah perilaku atau karakteristik yang

memberikan nilai beda terhadap suatu (benda, manusia, dan lain-lain). Dan

Menurut Sutrisno Hadi yang dikutip oleh Arikunto (2010) mendefinisikan

variabel adalah objek penelitian yang bervariasi misalnya jenis kelamin, berat

badan, dan sebagainya

a. Varibel Bebas (Independen) adalah variabel yang nilainya menentukan

veriabel lain (Nursalam, 2014).Variabel bebas dalam penelitian ini adalah

faktor-faktor yang mempengaruhi kejadian skabies, yaitu pengetahuan,

perilaku personal hygiene (Kebersihan pakaian, kebrsihan handuk,

kebersihan tangan dan kuku, Kebersihan tempat tidur dan seprei) dan

Sanitasi Lingkungan (Kepadatan hunian kamar tidur).

b. Variabel terikat (dependen) adalah variabel yang nilainya ditentukan oleh

variabel lain (Nursalam, 2014). Varibel terikat dalam penelitian ini adalah

kejadian skabies di Pondok Pesantren An-Nur Ngrukem,, Bantul tahun

2020.
7

2. Subjek Penelitian

Subjek penelitian dalam penelitian ini adalah santri putra di Pondok Pesantren

An-Nur Ngrukem, Bantul.

3. Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Pondok Pesantren An-Nur Jl. Ngrukem,

Krandoha, Pendowoharjo, Kecamatan. Sewon, Bantul, Daerah Istimewa

Yogyakarta 55186.

4. Waktu Penelitian

Waktu Penelitian dilaksanakan di bulan Desember 2020 - Januari 2021.

D. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum

Berdasarkan rumusan masalah, maka tujuan umum dari penelitian ini adalah

untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan

dengan kejadian skabies pada santri putra di Pondok Pesantren An-Nur

Ngrukem, Bantul.

2. Tujuan Khusus

Berdasarkan tujuan umum yang telah diuraikan, maka dapat dibuat tujuan khusus

seperti berikut:

a. Mengetahui hubungan pengetahuan dengan kejadian penyakit skabies.

b. Mengetahui hubungan perilaku personal hygiene dengan kejadian penyakit

skabies.

c. Mengetahui hubungan sanitasi lingkungan dengan kejadian skabies.


8

E. Manfaat Penelitian

1. Bagi Pos Kesehatan Pesantren

Hasil penelitian ini dapat menjadi acuan dan saran bagi petugas kesehatan

setempat untuk lebih meningkatkan pengetahuan tentang Skabies.

2. Bagi Santri di Pondok Pesantren An-Nur Ngrukem,

Hasil penelitian ini dapat menjadi pengetahuan bagi santri putra tentang skabies.

3. Bagi Stikes Surya Global Yogyakarta

Hasil penelitian ini dapat menjadi studi literatur awal dan data dasar untuk

pengembangan penelitian lanjutan khususnya Faktor-faktor yang berhubungan

dengan Kejadian Skabies di Pondok Pesantren An-Nur Ngrukem, Bantul.

4. Bagi Peneliti

Sebagai pegalaman dalam mengaplikasikan teori dan praktek di lapangan, serta

menambah wawasan dalam mengidentifikasi faktor-faktor yang berhubungan

dengan Kejadian Skabies pasa santri putra di Pondok Pesantren An-Nur

Ngrukem, Bantul

5. Bagi Peneliti Lain.

Hasil penelitian ini dapat dijadikan dasar bagi peneliti selanjutnya untuk

melakukan penelitian lebih lanjut berkaitan dengan penyakit skabies.

F. Keaslian Peneliti

1. Penelitian terkait yaitu Nikmatul khairiah dengan judul “Faktor-faktor yang

berhubungan dengan kejadian skabies di Pondok Pesantren Binaul Ummah Desa

Bawuran, Pleret, Bantul, tahun 2018”. Tujuan dari penelitian ini yaitu untuk

mengetahui fakto-faktor yang berhubungan dengan kejadian skabies di Pondok


9

Pesantren Binaul Ummah Desa Bawuran, Pleret, Bantul. Berdasarkan hasil

analisis pada analisis uji wilcoxon signed rank test diketahui bahwa nilai

wilcoxon signed rank test hitung sebesar 0,005 (p<0,05) dan hasil uji Mann-

Witney di peroleh nilai z hitung sebesar -1,359,dengan nilai signifikan 0,174

(p<0,05). Persamaan pada penelitian ini adalah variabel terikat yaitu kejadian

skabies dan pada variabel bebas yaitu pengetahuan, dan personal hygine, desain

menggunakan Case Sectional . Perbedaan pada desain penelitian menggunakan

desain penelitian menggunakan survey analitik sedangkan pada penelitian

sekarang menggunakan deskriftif analitik dan pada tempat penelitian.

2. Penelitian terkait yaitu Fika Rahma Nisa dan Desi Rahmalia dengan judul

“Faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian skabies pada santri putra di

Pondok Pesantren Darurrahman Gunung Putri Bogor 2018”. Tujuan dari

penelitian ini yaitu untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan

kejadian skabies pada santri putra di Pondok Pesantren Darurrahman Gunung

Putri Bogor 2018 . Hasil penelitian menunjukkan ada hubungan yang signifikan

antara pengetahuan dengan kejadian skabies P value = 0,047 dengan OR = 3,9,

ada hubungan yang signifikan antara personal hygiene dengan kejadian penyakit

skabies P value = 0,000 dengan OR = 13,71, ada hubungan yang signifikan

antara ventilasi kamar dengan kejadian penyakit skabies P value = 0,047 dengan

OR = 3,78, dan ada hubungan yang signifikan antara kepadatan hunian dengan

kejadian penyakit skabies P value = 0,037 dengan OR = 4,2. Persamaan pada

variabel terikat yaitu kejadian skabies dan pada variabel bebas yaitu mencakup

pengetahuan, personal hygine, dan menggunakan uji Chi-Square. Perbedaan


10

pada desain teknik pengumpulan sampel menggunakan simple random sampling

sedangkan pada penelitian sekarang menggunakan total sampling dan pada

tempat penelitian.

3. Penelitian terkait yaitu Asoly Giovano Imartha “ Faktor-faktor yang

berhubungan dengan kejadian skabies di Pondok Pesantren Jabal An-Nur Al-

Islami Kecamatan Teluk Betung Barat Kota Bandar Lampung ”. Tujuan dari

penelitian ini yaitu mengidentifikasi adanya factor-faktor yang berhubungan

dengan kejadian skabies dipondok pesantren Jabal An-Nur Al-Islami Kecamatan

Teluk Betung Barat Kota Bandar Lampung. Hasil penelitian ini menunjukkan

ada hubungan usia (OR=2,500 dan p=0,042), personal hygiene kebersihan kulit

(OR=0,351 dan p=0,013), Personal hygiene kebersihan pakaian (OR=0,0434

dan p=0,046), personal hygiene kebersihan tempat tidur dan seprei (OR=0,432

dan p=0,044), dan pengetahuan (OR=0,335 dan p=0,0,019) dengan kejadian

skabies. Sedangkan, hubungan jenis kelamin (OR=0,788 dan p=0,662), personal

hygiene kebersihan handuk (OR=0,789 dan p=0,667) dan personal hygiene

kebersihan tangan dan kuku (OR=0,676 dan p=0,432) tidak memiliki hubungan

dengan kejadian skabies. Faktor yang paling berhubungan dengan kejadian

skabies adalah usia dengan p value=0,016 dan OR=2,893 (95% CI:1,216-6,903)

dan pengetahuan p value=0,037 dan OR=0,410 (95% CI:0,178-0,949). Sehingga

dapat disimpulkan faktoryang paling berhubungan pada kejadian skabies adalah

pengetahuan. Persamaan pada variabel terikat yaitu kejadian skabies dan pada

variabel bebas yaitu mengidentifikasi pengetahuan, sanitasi lingkungan,

personal hygine, metode penelitian menggunakan kuantitatif. Perbedaan


11

menggunakan metode pendekatan Cross Sectional sedangkan penelitian

sekarang menggunakan pendekatan Case Control, dan pada tempat penelitian.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
12

A. Landasan Teori.

Sarcoptes scabieiveivar, hominis adalah serangga golongan tungau (mites) yang

dapat menyebabkan penyakit skabies atau gudig (kudis) yang meyebabkan penyakit

skabies atau gudig (kudis) yang menyebabkan kerusakan kulit dengan penderita sekitar

300 juta orang di laporkan setiap tahunnya. Penyakit yang sangat menular ini di derita

oleh perempuan maupun laki-laki dari sebuah status social ekonomi dan kelompok etnis

(Soedarto, 2012).

Soedarto (2012) Parasit yang berbentuk lonjong, tembus sinar dan pipih ini

berukuran antara 0.2 - 0.4 mm, hidup di dalam terowongan yang digalinya di bawah

kulit dan berkembang biak di tempat tersebut. Terdapat berbagai varian parasit ini,

tergantung pada hewan tempat hidupnya. Sarcoptes skabies yang hidup pada anjing

termasuk Sarcoptes skabiesvarian canis. Parasit penyebab skabies pada hewan dapat

ditularkan pada manusia, sebaliknya parasit yang hidup pada manusia dapat meninfeksi

binatang (Soedarto, 2012). Hengge (2006) yang dikutip dalam Sungkar (2016)

menyatakan bahwa skabies adalah penyakit kulit yang disebabkan oleh tungau (kutu

kecil) yaitu Sarcoptes scabiel varietas hominis.Penyakit tersebut merupakan masalah

kesehatan masyarakat terutama wilayah beriklim tropis dan subtropis. Jumlah penderita

skabies di dunia lebih dari 300 juta setiap tahun dengan angka yang bervariasi di setiap

negara.

1. Etiologi

Robin (2006) dalam Sungkar 12


(2016) menyatakan bahwa skabies (Scabiei, bahasa

latin = keropeng, kudis, gatal) disebabkan oleh tungau kecil berkaki delapan (Sarcoptes

scabiei), dan didapatkan melalui kontak fisik yang erat dengan orang lain yang menderita
13

penyakit ini, sering kali berpegangan tangan dalam waktu yang sangat lama yeng

merupakan penyebab umum terjadinya penyebaran penyakit ini. Semua kelompok umur

bisa terkena. Penyakit ini biasanya menyerang anak-anak dan dewasa muda, walaupun

akhir-akhir ini juga sering didapatkan pada orang berusia lanjut, biasanya dilingkungan

pondok pesantren.kontak sesaat tidak cukup untuk dapat menimbulkan penularan,

sehingga siapapun yang biasa menghadapi kasus skabies dalam tugas pelayanan

kesehatan tidak perlu takut tertular penyakit ini.

Gambar 2.1 Morfologi Sarcoptes Scabiei

(Sumber : Siregar, 2005)

2. Patofisiologi

Menurut Linuwih (2016) dalam Yudhaningtyas (2018) sarcoptes scabiei

termasuk filum Arthropoda kelas Arachnida, ordo Ackarima, suoer famili Sarcoptes,

penemunya adalah seorang ahli biologi Diacinto Cestoni (1637-1718). Pada manusia

disebut Sarcoptes scabiei var. Hominis.Selain itu, S. Scabieiada juga pada kambing dan

babi. Secara morfologik merupakan tungau kecil, berbentuk oval, punggung cembung,

bagian perut rata, dan mempunyai 8 kaki. Tungau ini translusen berwarna putih kotor,

dan tidak bermata. Ukuran yang betina berkisar antara 330-450 mikron x 250-350
14

mikron, sedangkan yang jantan lebih kecil yakni 200-240 mikron x 150-200 mikron.

Bentuk dewasa mempunyai 4 pasang kaki, 2 pasang kaki didepan sebagai alat untuk

melekat, dan 2 pasang kaki kedua pada betina berakhir dengan rambut, sedangkan pada

yang jantan pasangan kaki ketiga berakhir dengan rambut dan keempat berakhir dengan

alat perekat.

Siklus skabies adalah sebagai berikut, setelah kopulasi (perkawinan) yang terjadi

diatas kulit, tungau jantan akan mati, kadang- kadang masih dapat hidup beberapa hari

dalam terowongan yang digali oleh tungau betina. Tungau betina yang telah dibuahi

menggali terowongan dalam stratum korneum dengan kecepatan 2-3 milimater sehari

sambil meletakkan telurnya yang berjumlah 2 sampai 50 buah. Bentuk betina yang

dibuahi ini dapat hidup sebulan lamanya. Telur akan menetas biasanya dalam waktu 3

sampai 10 hari dan menjadi larva yang mempunyai 3 pasang kaki. Larva ini dapat tinggal

dapat tinggal dalam terowongan, tetapi dapat juga keluar terowongan. Setelah 2-3 hari

larva akan menjadi nimfa yang mempunyai 2 bentuk, jantan dan betina, dengan 4 pasang

kaki. Seluruh siklus hidup mulai dari telur sampai bentuk dewasa memerlukan waktu

antara 8-12 hari (Linuwih (2016) dalam Yudhaningtyas (2018).

Aktivitas skabies didalam kulit mengakibatkan rasa gatal dan menimbulkan

respon imunitas selular dan humoral serta mampu meningkatkan IgE baik di serum

maupun di kulit.Masa inkubasi berlangsung lama 4-6 minggu.Skabies sangat menular,

transmisi melalui konta langsung dari kulit ke kulit, dan langung melalui berbagai benda

yang terkontaminasi (sprei, sarung bantal, handuk, dsb). Tungau skabies dapat hidup

diluar tubuh manusia selama 24-36 jam.Tungau dapat ditransmisi melalui kontak seksual,
15

walaupun menggunakan kondom, karena melalui kontak kulit diluar kondom (Linuwih

(2016) dalam Yudhaningtyas (2018).

Lesi primer skabies berupa terowongan yang berisi tungau, telur dan hasil

metabolisme.Pada saat menggali terowongan tungau mengeluarkan sekret yang dapat

melisiskan stratum korneum.Sekret dan ekskret menyebabkan sensitisasi sehingga

menimbulkan pruritus (gatal-gatal) dan lesi sekunder. Lesi sekunder berupa papul,

vesikel, pustul dan kadang bula. Lesi tersier dapat juga terjadi berupa ekskoriasi,

eksematisasi dan pioderma. Tungau hanya terdapat pada lesi primer (Linuwih (2016)

dalam Yudhaningtyas (2018).

3. Epidemiologi

Menurut Engelma yang dikutip dalam Sungkar (2016) skabies disebut juga the

itch, pamaan itch, seven year itch karena gatal hebat yangberlangsung menahun. Di

Indonesia skabies disebut penyakit kudis, gudik, atau buduk. Skabies terdapat di seluruh

dunia dengan prevalensi yang bervariasi, tetapi umumnya terdapat diwilayah beriklim

tropis dan subtropics dinegara berkembang. Siapapun yang kontak dengan S.skabies

dapat terinfestasi skabies, meskipun dengan skabies lebih banyak terdapat pada penduduk

yang memiliki faktor risiko tinggi skabies prevalensi dapat mencapai 80%.

Jumlah penderita skabies di dunia diperkirakan lebih dari 300 jua setiap tahunnya

sehingga menimbulkan beban ekonomi bagi individu, keluarga, masyarakat, dan system

kesehtan. Biaya untuk mengobati skabies cukup mahal karena biasanya skabies

menginfeksi orang miskin yang tidak mampu membayar biaya berobat. Biaya menjadi

semakin mahal apabila penderita mengalami skabies berat dengan komplikasi infeksi

sekunder oleh bakteri. Pada level rumah tangga, dana yang digunakan untuk berobat
16

mengakibatkan pengurangan biaya untuk kebutuhan pokok misalnya untuk makan

sehingga menambah beban keluarga. Pada level institusi dana yang cukup besar

dikeluarkan untuk menanggulangi wabah skabies.

Skabies memiliki hubungan erat dengan kebersihan personal dan lingkungan

tempat tinggal sehingga sering terjadi orang yang tinggal bersama dipemukiman pada

penghuni misalnya di perkampungan padat penduduk atau di Pondok Pesantren dengan

kepadatan penghuni yang tinggi. Wabah skabies sering dijumpai di lingkungan padat

penghuni dengan kontak kulit yang erat dan lama seperti di tempat penitipan anak, panti

asuhan, tempat perawatan orang usia lanjut, penjara, pengungsian, dan pesantren bahkan

di rumah sakit (Departement of Public Health (2009) dalam Sungkar (2016).

4. Gejala Klinis Pada Kulit

Menurut Al-Falakh (2009) dalam Imartha (2016) bahwa gejala Klinis pada kulit

antara lain sebagai berikut :

a. Pruritus nokturna, artinya gatal pada malam hari yang disebabkan aktivitas

tungau ini lebih tinggi pada suhu yang lebih lembab dan panas.

b. Penyakit ini menyerang manusia secara kelompok, misalnya dalam sebuah

keluarga biasanya seluruh anggota keluarga terkena infeksi. Begitu pula dalam

sebuah perkampungan yang padat penduduknya, serta kehidupan di Pondok

Pesantren, sebagian besar tetangga yang berdekatan akan diserang oleh tungau

tersebut. Dikenal keadaan hiposensitisasi, yang seluruh anggota keluarganya

terkena, tetapi tidak memberikan gejala.Penderita ini bersifat sebagai pembawa

(carrier).
17

c. Adanya terowongan (kunikulus) pada tempat-tempat predileksi yang bewarna

putih keabu-abuan, berbentuk garis lurus atau berkelok, rata-rata panjang satu

cm, pada ujung terowongan itu ditemukan papul atau vesikel. Jika timbul infeksi

sekunder ruam kulitnya menjadi polimorfi (pustul, ekskoriasi, dan lain-lain).

Tempat predileksinya biasanya merupakan tempat dengan stratum korneum

yang tipis, yaitu sela-sela jari tangan, pergelangan tangan, siku bagian luar, lipat

ketiak bagian depan, aerola mame (wanita), umbilicus, bokong, genetalia

eksterna (pria), dan perut bagian bawah. Pada bayi dapat menyerang telapak

tangan dan telapak kaki.

d. Menemukan tungau, merupakan hal yang paling diagnostik dapat ditemukan

satu atau lebih stadium hidup tungau ini.

5. Penularan

Golant (2012) dalam Sungkar (2016) menyatakan bahwa kabies dapat ditularkan

melalui perpindahan telur, larva, nimfa, atau tungau dewasa dari kulit penderita ke kulit

orang lain namun dari semua bentuk infektif tersebut tungau dewasalah yang paling sering

menyebabkan penularan. Sekitar 90% penularan skabies dilakukan oleh tungau dewasa

betina terutama yang gravid. Tungau tidak dapat melompat atau terbang melainkan

berpindah dengan merayap. Kemampuan tungau untuk menginfestasi akan menurun seiring

dengan lamanya tungau berada di luar tubuh hospes.

Skabies dapat ditularkan secara langsung atau tidak langsung namun cara penularan

skabies yang paling sering adalah melalui kontak langsung antar individu saat tungau sedang

berjalan di permukaan kulit. Kontak langsung adalah kontak kulit ke kulit yang cukup lama

misalnya pada saat tidur bersama. Kontak langsung jangka pendek misalnya berjabat tangan
18

dan berpelukan singkat tidak menularkan tungau. Skabies lebih mudah menular secara kontak

langsung dari orang ke orang yang tinggal di lingkungan padat dan berdekatan seperti di panti

jompo, panti asuhan, pesantren dan institusi lain dimana penghuninya tinggal dalam jangka

waktu lama (Golant (2012) dalam Sungkar (2016).

Tungau pindah dari penderita skabies ke hospes baru karena stimulus aroma tubuh dan

termotaksis dari hospes baru. Untuk menularkan skabies, kedua stimulus tersebut harus adekuat

dan cukup lama yaitu sekitar 15-20 menit kontak langsung kulit ke kulit pada saat orang tidur

di kasur yang sama dengan penderita skabies atau pada saat hubungan seksual. Pada orang

dewasa, cara penularan tersering adalah melalui hubungan seksual, sedangkan pada anak-anak

penularan di dapat dari orang tua atau temannya. Anak-anak berpeluang lebih besar

menularkan skabies karena tingginya kontak interpersonal terutama dengan saudara-saudaranya

yang tinggal di tempat yang sama dan dengan orang tuanya saat kontak fisik normal seperti

ketika berpelukan atau tidur bersama (Golant (2012) dalam Sungkar (2016).

Tungau betina membuat terowongan di stratum korneum dan meletakkan sekitar 4-5

butir telur setiap hari sampai 6 minggu sebelum mati. Perkembangan siklus hidup S.scabiei

dari telur-larva-nimfa sampai dewasa membutuhkan waktu dua minggu. Mellanby berhasil

mendemonstrasikan bahwa kontak langsung kulit ke kulit adalah cara penularan skabies yang

paling sering (Golant (2012) dalam Sungkar (2016).

(Golant (2012) dalam Sungkar (2016) melakukan penelitian terhadap 300 subjek

untuk mengetahui hubungan jumlah tungau dengan risiko penularan. Pada penelitian tersebut,

subjek diminta berbaring tanpa menggunakan pakaian di kasur yang hangat dan sebelumnya

telah digunakan oleh penderita skabies yang terinfestasi <20 tungau. Hasilnya menunjukkan 4

subjek (1,3%) mengalami infestasi skabies setelah tidur dikasur tersebut. Jumlah penderita yang
19

tertular meningkat menjadi 15% ketika kontak dengan penderita skabies yang memiliki >50

tungau (3 dari 20 subjek terinfestasi). Berdasarkan penelitian tersebut disimpulkan jumlah

tungau skabies berhubungan langsung secara proporsional dengan risiko penularan.

Penularan skabies secara tidak langsung dapat terjadi melalui kontak dalam durasi yang

lama dengan seprai, sarung bantal dan guling, pakaian, selimut, handuk dan perabot rumah

tangga lainnya yang terinfestasi S.scabiei. Penularan tungau secara tidak langsung bergantung

pada lama tungau dapat bertahan hidup di luar tubuh hospes yang variasinya bergantung pada

temperatur dan kelembaban. Pada barang-barang yang terinfestasi, S.scabiei dapat bertahan 2-3

hari pada suhu ruangan dengan kelembaban 30%. Semakin tinggi kelembaban semakin lama

tungau bertahan (Golant (2012) dalam Sungkar (2016).

Dipermukaan yang kering, baju atau sprei, tungau hanya dapat bertahan hidup hanya

beberapa jam. Pada suhu dan kelembaban ideal (21 oC dan 40-80% kelembaban relatif),

rentang waktu hidup tungau dapat meningkat hingga 3-4 hari. Rentang waktu hidup tungau

dapat lebih panjang pada suhu rendah dan kelembaban tinggi. Di bawah suhu 20°C sebagian

besar tungau tidak bergerak. Di daerah tropis dengan suhu sekitar 30°C dan kelembaban 75%,

tungau betina dapat bertahan hidup 55-67 jam di luar tubuh hospes. Telur tungau dapat

bertahan hidup pada suhu yang rendah sampai 10 hari di luar tubuh hospes. Seseorang

dikatakan infeksius sejak terinfestasi tungau sampai pengobatan selesai. Seprai dan pakaian

dikatakan infeksius sampai tatalaksana berhasil atau hingga dua minggu sejak pajanan terakhir.

Reinfestasi dapat terjadi melalui kontak langsung dengan penderita skabies atau kontak dengan

benda-benda yang terinfestasi tungau. Menurut Arlian (Sungkar, 2016) penularan skabies

secara tidak langsung hanya sedikit berperan dalam penularan skabies tipikal namun pada
20

skabies krustosa penularan secara tidak langsung berperan penting karena jumlah tungau

yang banyak.

6. Klasifikasi skabies.

Skabies merupakan penyakit kulit yang manifestasi klinisnya sering menyerupai

penyakit kulit lainnya sehingga di sebut the great imitator. Terdapat berbagai bentuk

skabies atipik yang sulit dikenal sehingga dapat menimbulkan kesalahan diagnosis.

Berikut ini di sampaikan bentuk-bentuk skabies (California Departement of Publich

Health 2008 dalam Sungkar (2016)

Menurut Natadisastra dan Agoes (2009) dalam Yudhaningtyas (2018) Klasifikasi

skabies sebagai berikut :

a. Skabies Usia Khusus

Pada skabies infantile (SI), nodul-nodul dan lesi-lesi di daerah

palmoplantar merupakan lesi paling khas yang paling sering ditemukan

pada bayi dan anak kecil. Berbeda dengan skabies orang dewasayang

jarang menyerang wajah, kulit kepala bayi dapat terkena. Pada orang

dewasa wajah hanya bisa terserang jika menderita gangguan sistemimun,

Pada skabies manula (SM), jarang ditemukan lesi kulit yang khas,tetapi

rasa gatal tampak lebih berat dirasakan. Kelainan kulit yang terlihat

adalah eksoriasi yang berat, terutama pada punggung.

b. Skabies Krusta Norwegia-SKN (Norwegian Crusted Skabies)

Jenis ini ditemukan juga di Indonesia yaitu di RS Lepra Jakarta. SKN

dapat terjadi pada pasien yang menderita penyakit berat atau pasien yang

mengalami immune kompromi. Sesuai dengan namanya, penderita


21

mengalami lensi berkeropeng jika diperiksa terdapat tungau dengan jumlah

yang sangat banyak. Banyaknya tungau ini di duga akibat sistem imun

penderita yang buruk, sehingga tungau berkembang biak dalam jumlah besar,

dari beberapa puluh ekor saja menjadi ribuan. Reaksi kulit terhadap infeksi

adalah dengan membentuk krusta atau keropeng dan kulit mengalami

linchenfikasi.

c. Skabies berat (Augmented ckabies)

Penggunaan steroid topical berlebih untuk mengurangi rasa gatal bisa

memperburuk skabies. Dalam keadaan normal, rasa gatal akan

merangsang pasien untuk menggaruk dan garukan ini akan membunuh

sebagian besar tungau. Dengan pemakain kortikosteroid, rasa gatal

berkurang sehingga tidak menggaruk tubuhnya sehingga tungau tidak

terbunuh. Pada penderita yang sedang menjalani pengobatan

immunosupresi skabies bisa berubah menjadi skabies berat (SB) atau

SKN. Immunosupresi bisa terjadi bukan karena pengobatan melainkan

jumlah Sel-T manusia oleh infeksi firus HTLV-1 (Human T-cell

lymphotropic virus 1).

d. Skabies dan Dermographisme

Skabies menimbulkan manifestasi urtikaria khas yang disebut

dermografisme, yang perlu pengobatan antihistamin H1-blocker dan H2-

blocker yang fungsinya berbeda namun saling memperkuat, misal

antidepressant trisiklik yaitu Doxepin memiliki sifat antihistaminyang

berkekuatan beberapa kali lipat dibanding difenhidramin.


22

Skabies merupakan penyakit kulit yang menifiestasi klinisnya sering menyerupai

penyakit kulit lainnya sehingga disebut the great imitator. Berikut ini beberapa bentuk

skabies agar tidak menimbulkan kesalahan diagnosis menurut Saleha (2016) dalam

Putra (2019) :

a. Skabies pada orang bersih cukup bisa salah di diagnosis. Biasanya sangat

sukar di temukan terowongan kutu biasanya hilang akibat mandi secara

teratur.

b. Skabies bulosa terdapat pada bayi dan biasanya bayi akan mengalami gatal

pada waktu malam hari dan terdapat lesi di sela-sela jari tangan, pergelangan

tangan.

c. Skabies yang di tularkan oleh hewan biasanya terjadi pada manusia yang

biasa kontak dengan hewan. Misalnya pengembala, peternakan, dan yang

mempunyai hewan peliharaan anjing yang kurang dirawat

kebersihannya. Gejala yang timbul biasanya rasa gatal yang ringan,

namun tidak terdapat terowongan dan tidak menyerang area genetalia.

Lokasi lesi biasanya didaerah yang terkena kontak langsung dengan

hewan.

d. Skabies pada orang terbaring di tempat tidur banyak ditemui pada orang yang

menderita penyakit kronik atau berusia lanjut yang berbaring diatas tempat

tidur dalam waktu yang lama biasanya timbul lesi yang terbatas.

e. Skabies Incognito obat steroid topikal atau sistemik dapat menyamarkan

gejala dan tanda skabies, tapi infestasi tetap ada. Sebaliknya, pengobatan

dengan steroidtopikal yang lama dapat menyebabkan lesi bertambah


23

banyak. Ini mungkin disebabkan oleh karena penurunan respons imun

seluler.

f. Skabies nodular terjadi akibat adanya reaksi hipersensivitas. Area yang

sering terkena adalah genetelia pada pria, lipatan paha, dan aksila. Luka

ini dapat menetap beberapa minggu bahkan bulan walaupun sudah

diobati dengan obat anti skabies.

g. Skabies krustosa (Norwegian skabies) di tandai dengan lesi berupa

krustosa yang luas, skuama generalisata dan hyperkeratosis yang tebal.

Gejala utamanya pada skabies ini biasanya ringan bahkan tidakada sama

sekali sehingga penderita tidak ada sama merasa keluhan apapun.

7. Diagnosis dan Diagnosis Banding

Adapun dignosis dan diagnosis banding menurut Harahap (2009) yang dikutip

dalam Yudhaningtyas ( 2018) adalah sebagai berikut :

a. Diagnosis

Erupsi bervariasi, tergantung pengobatan sebelumnya, iklim, dan status

imunologi penderita.kelainan kulit menyerupai dermatitis, dengan disertai papula,

vesikula, urtika, dan lain-lain. Dengan garukan dapat timbul erosi, ekskoriasi,

kusta dan infeksi sekunder. Di daerah tropis, hampir setiap kasus skabies

terinfeksi sekunder oleh Streptococcus aureus atau Staphylococcus pyogenes.

Diagnosis skabies ditegakkan atas dasar :

1) Adanya terowongan (kunikulus) yang sedikit meninggi, berbentuk garis lurus

atau berkelok-kelok, panjangnya beberapa mili meter sampai 1 cm, dan pada

ujungnya tampak vesikula, papula, atau pustula.


24

2) Tempat predileksi yang khas adalah sela jari, pergelangan tangan bagian

volat, siku, lipat ketiak bagian depan, aerola mammae, sekitar umbilikus,

abdomen bagian bawah, genetalia eksterna pria. Pada orang dewasa jarang

terdapat di muka dan kepala, kecuali pada penderita imunosupresif,

sedangkan pada bayi, lesi dapat terjadi di seluruh permukaan kulit.

3) Penyembuhan cepat setelah pemberian obat antiskabies topikal Adanya gatal

hebat pada malam hari. Bila lebih dari satu anggota keluarga menderita gatal,

harus dicurigai adanya skabies. Gatal pada malam hari disebabkan oleh

temperatur tubuh menjadi lebih tinggi sehingga aktivitas kutu meningkat.

4) Diagnosis pasti baru dapat ditegakkan bila ditemukan kutu dewasa, telur,

larva, atau skibalanya dari dalam terowongan. Cara mendapatkannya adalah

dengan membuka terowongan dan mengambil parasit dengan pisau bedah

atau jarum steril. Kutu betina akan tampak sebagai bintik kecil gelap atau

keabu-abuan dibawah vesikula. Dibawah mikroskop dapat terlihat bintik

mengkilat dengan pinggiran hitam. Cara lain adalah dengan cara meneteskan

minyak immersi pada lesi, dan epidermis diatasnya dikerok secara perlahan-

lahan. Tangan dan pergelangan tangan merupakan tempat terbanyak

ditemukan kutu, kemudian berturut-turut siku, genital pantat dan akhirnya

aksila.

b. Diagnosis Banding

Skabies merupakan the great immitator, karena menyerupai banyak

penyakit kulit dengan keluhan gatal. Diagnosis bandingya adalah prurigo,

pedikulosis korporis, dermatitis, dan lain-lain. Setiap dermatitis yang mengenai


25

daerah areola, selain penyakit paget, harus dicurigai pula adanya skabies.

Skabies krutosa dapat menyerupai dermatitis hiperkeratosis, psoriasis, dan

dermatitis kontak.

8. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Kejadian Skabies

Menurut penelitian Imartha (2016) faktor-faktor yang mempengaruhi kejadian skabies

adalah sebagai berikut :

a . Pengetahuan

1) Definisi

Menurut Notoatmodjo (2014) dalam Wawan dan Dewi (2010) menyatakan

bahwa pengetahuan adalah hal yang diketahui oleh orang atau responden terkait

dengan sehat-sakit atau kesehatan, misalnya : tentang penyakit (penyebab, cara

penularan, cara pencegahan) gizi, sanitasi, pelayanan kesehatan, kesehatan

lingkungan, keluarga berencana, dan sebagainya.

2) Tingkat Pengetahuan

Notoatmodjo (2003) dalam Wawan dan Dewi (2010) menjelaskan tentang

tingkatan pengetahuan antara lain :

a) Tahu (Know)

Tahu diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah dipelajari

sebelumnya. Termasuk ke dalam pengetahuan tingkat ini adalah mengingat

kembali (recall) terhadap suatu yang spesifik dari seluruh bahan yang

dipelajari atau rangsangan yang diterima. Oleh sebab itu tahu ini merupakan

tingkat pengetahuan yang paling rendah. Kata kerja untuk mengukur bahwa
26

orang tahu tentang apa yang dipelajari antara lain menyebutkan, menguraikan,

mendefinisikan, menyatakan dan sebagainya.

b) Memahami (Comprehension)

Memahami diartikan sebagai sebagian dari suatu kemampuan untuk

menjelaskan secara benar tentang objek yang di ketahui dan dapat

menginterprestasikan materi secara benar. Pada tahap ini seseorang harus

dapat menjelaskan, menyebutkan contoh, menyimpulkan, dan meramalkan

terhadap objek yang di pelajari.

c) Aplikasi (Aplication)

Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang

telah dipelajari pada situasi dan kondisi riil. Aplikasi disini dapat diartikan

sebagai aplikasi atau penggunaan hukum- hukum, rumus, metode, prinsip

dalam konteks atau situasi lain.

d) Analisa (Analysis)

Analisa adalah suatu kemampuan menjabarkan materi atau objek, tetapi

masih didalam suatu truktur organisasi tersebut dan masih ada kaitannya

satu dengan yang lainnya. Kemampuan analisis ini dapat dilihat dari

penggunaan kata kerja, dapat menggambarkan, membedakan,

mengelompokkan dan sebagainya.

e) Sintesis (Syntesis)

Adalah kemampuan meletakkan suatu bentuk keseluruhan baru. Dengan

kata lain kemampuan untuk menyusun formulasi baru, misalnya menyususn,


27

dapat merencanakan, dapat meningkatkan, dapat menyesuaikan suatu teori

atau rumusan- rumusan yang telah ada.

f) Evaluasi (Evaluation)

Evaluasi berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan justifikasi atau

penilaian dari suatu materi atau objek. Penilaian berdasar kriteria yang

ditentukan sendiri atau kriteria yang telah ada.

3) Faktor-Faktor yang mempengaruhi pengetahuan.

Menurut YB Mantra yang yang dikutip Notoatmodjo (2003) dalam Wawan dan

Dewi (2010) faktor-faktor yang mempengaruhi pengetahuan meliputi faktor internal

dan faktor eksternal.

a) Faktor Internal

1. Pekerjaan

Menurut Thomas yang dikutip oleh Nursalam (2003) dalam Wawan dan

Dewi (2010), pekerjaan adalah kebutuhan yang harus dilakukan terutama

untuk menunjang kehidupannya dan kehidupan keluarga. Pekerjaan

bukanlah sumber kesenangan, tetapi lebih banyak merupkan cara mencari

nafkah yang membosankan, berulang dan banyak tantangan.Sedangkan

bekerja umumnya merupakan kegiatan yang menyita waktu. Bekerja bagi

ibu-ibu akan mempunyai pengaruh terhadap kehidupan keluarga.

2. Umur

Menurut Elisabeth BH yang dikutip Nursalam (2003) dalam Wawan dan

Dewi (2010) usia adalah umur individu yang terhitung mulai saat

dilahirkan sampai berulang tahun. Sedangkan menurut Huclok (1998)


28

semakin cukup umur, tingkat kematangan dan kekuatan seseorang akan

lebih matang dalam berfikir dan bekerja. Dari segi kepercayaan

masyarakat seseorang yang lebih di percaya dari orang yang belum tinggi

kedewasaannya.

b) Faktor Eksternal

1. Faktor Lingkungan

Menurut Ann. Mariner yang di kutip dari Nursalam (2003) dalam

Wawan dan Dewi (2010) lingkungan merupakan seluruh kondisi yang

ada di sekitar manusia dan pengaruh yang dapat mempengaruhi

perkembangan dan perilaku orang atau kelompok.

2. Faktor Budaya

Sistem sosial budaya yang ada pada masyarakat dapat

mempengaruhi dari sikap dalam menerima informasi.

4) Pengukuran Pengetahuan

Menurut Notoatmodjo (2014), pengetahuan tentang kesehatan dapat

diukur berdasarkan jenisnya, kuantitatif dan kualitatif.

1. Penelitian Kuantitatif.

Dalam mencari jawaban atas kejadian atau fenomena yang

menyangkut berapa banyak, berapa sering, berapa lama, dan sebagainya,

menggunakan metode wawancara dan angket.

a) Wawancara

Wawancara tertutup dan terbuka, menggunakan instruen

kuesioner. Wawancara tertutup adalah wawancara dengan jawaban


29

atas pertanyaan ada dalam opsi jawaban, responden memilih jawaban

yang dianggap paling tepat. Wawancara terbuka, yaitu pertanyaan

yang diajukan bersifat terbuka, dan responden boleh menjawab sesuai

dengan pengetahuan responden sendiri.

b) Angket atau Kuesioner

Angket juga dalam bentuk tertutup dan terbuka. Instrumen atau

alat ukurnya seperti wawancara, hanya jawaban responden

disampaikan lewat tulisan. Metode pengukuran melalui angket ini

sering disebut ”self administered” atau metode mengisi sendiri.

b. Perilaku Personal Hygiene

1. Perilaku

a) Definisi

Perilaku adalah kegiatan organisme atau makhluk hidup yang

bersangkutan. Manusia sebagai makhluk hidup memiliki bentangan kegiatan

yang sangat luas seperti : berjalan, berbicara, bekerja, menulis, membaca,

berfikir, tertawa dan sebagainya. Dari uraian tersebut disimpulkan bahwa

perilaku manusia adalah semua kegiatan baik yang diamati langsung dan tidak

diamati oleh pihak luar (Notoatmodjo, 2014).

b) Prosedur Pembentukan Perilaku

Menurut Notoatmodjo (2014) prosedur pembentukan perilaku terjadi dalam

beberapa tahapan yaitu :

1) Melakukan identifikasi hal-hal penguat yang akan dibentuk.


30

2) Melakukan analisis untuk mengidentifikasi komponen-komponen kecil yang

membentuk perilaku yang di kehendaki.

3) Menggunakan komponen-komponen tersebut secara urut sebagai tujuan

sementara, mengidentifikasi Reinforcer atau hadiah-hadiah untuk masing-

masing komponen tersebut.

4) Melakukan pembentukan perilaku menggunakan urutan komponen-

komponen yang telah tersusun.

a. Bentuk Perilaku

Dilihat dari bentuk respon terhadap stimulus, maka perilaku dapat

dibedakan menjadi dua (Notoatmodjo, 2014) :

1) Perilaku Tertutup (Covert Behavior)

Respon tertutup terjadi bila respons terhadap stimulus tersebut

masih belum dapat diamati orang lain secara jelas. Respon terhadap

stimulus ini dalam bentuk perhatian, perasaan, persepsi, pengetahuan,

dan sikap terhadap stimulus. Bentuk “unobservable behavior” atau

“covert behavior” yang dapat diukur adalah pengetahuan dan sikap.

2) Perilaku Terbuka (Overt Behavior)

Perilaku terbuka terjadi bila respon terhadap stimulus tersebut

berupa tindakan nyata yang bisa diamati orang lain secara jelas.

c) Perilaku Kesehatan

Notoatmodjo (2014) Perilaku kesehatan (health behavior) adalah respon

seseorang terhadap stimulus atau objek yang berkaitan dengan sehat-sakit,

penyakit, dan faktor –faktor yang mempengaruhi sehat-sakit seperti lingkungan,


31

makanminum, dan pelayanan kesehatan. Dengan kata lain perilaku kesehatan

adalah semua aktivitas sesorang baik yang diamati (observable) maupun tidak

diamati (unrobservabel) yang berkaitan dengan pemeliharaan dan peningkatan

kesehatan.Perilaku kesehatan mencakup :

1) Perilaku seseorang terhadap sakit dan penyakit, yaitu bagaimana manusia

berespon, baik secara pasif maupun aktif (Tindakan)

2) Perilaku terhadap sistem pelayanan Kesehatan merupakan respon seseorang

terhadap sistem pelayanan Kesehatan baik sistem pelayanan Kesehatan

modern atau tradisional.

3) Perilaku terhadap makanan, yaitu asupan makanan dengan menu seimbang,

yang memenuhi kebutuhan nutrisi secara jumlah dan jenis.

4) Perilaku terhadap lingkungan adalah respon seseorang terhadap lingkungan

sebagai determinan Kesehatan lingkungan.

d) Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perilaku Kesehatan

Notoatmodjo (2014), menjelaskan dalam pembentukan perilaku dipengaruhi

beberapa factor dari dalam dan luar individu itu sendiri:

1) Faktor internal

Pengetahuan, persepsi, emosi, motivasi, dan sebagainya yang berfungsi

untuk mengolah rangsangan dari luar.

2) Faktor Eksternal

Lingkungan sekitar, baik fisik maupun nonfisik seperti iklim, manusia,

sosial, ekonomi, kebudayaan, dan lain sebagainya.


32

e) Perubahan Perilaku

Notoatmodjo (204) telah menjadi umum,perilaku merupakan diterminan

kesehatan yang menjadi sasaran dari promosi kesehatan atau pendidikan

kesehatan. Dengan perkataan lain promosi atau pendidikan kesehatan bertujuan

untuk mengubah perilaku (behaviour change). Perubahan perilaku keshatan

sebagai tujuan dari promosi atau pendidikan kesehatan, sekurang-kurangnya

mempunyai 3 dimensi yaitu:.

1) Mengubah perilaku negatif (tidak sehat) menjadi perilaku positif (sesuai

dengan nilai-nilai kesehatan).

2) Mengembangkan perilaku positif (pembentukan atau pengembangan

perilaku sehat).

3) Memelihara perilaku yang sudah posif atau perilaku yang sudah sesuai

dengan norma atau nilai kesehatan (perilaku sehat). Dengan perkataan lain

mempertahankan perilaku atau pendidikan sehat yang sudah ada..

Karena perubahan perilaku merupakan tujuan dari pendidikan atau promosi

kesehatan, maka teori-teori tentang perubahan perilaku perlu dipahami dengan

baik bagi praktisi promosi atau pendidikan kesehatan. Adapun teori tentang

peruabahn perilaku ini, anatara lain adalah :

1) Stimulus (rangsangan) yang diberikan pada organisme dapat di terima atau

di tolak. Jika stimulus di tolak maka stimulus itu tidak efektif

mempengaruhi individu dan berhenti di sini. Jika stimulus di terima berarti

ada perhatian dari individu, dan stimulus tersebut efektif.


33

2) Apabila stimulus telah mendapat perhatian dari organisme maka ia mengerti

stimulus ini dan di lanjutkan kepada proses berikutnya.

3) Kemudian organisme mengelola stimulus itu hingga terjadi kesediaan untuk

bertindak demi stimulus yang telah di terimanya (berikap).

4) Dengan dukungan fasilitas dan dorongan dari lingkungan maka stimulus itu

mempunyai efek Tindakan individu (perubahan perilaku).

f) Bentuk Perubahan Perilaku

Bentuk perubahan perilaku menurut WHO yang di kutip oleh Notoatmodjo

(2014) meliputi:

1) Perubahan Alamiah (Natural Change)

Perilaku manusia selalu berubah Sebagian perubahan itu disebabkan

kejadian alamiah, apabila dalam masyarakat terjadi suatu perubahan

lingkungan fisik, sosial, budaya, dan ekonomi, maka anggota-anggota

masyarakat di dalamnya akan mengalami perubahan.

2) Perubahan Terencana (Planned Change)

Perubahan perilaku ini terjadi karena memang di rencanakan sendiri oleh

subjek.

g) Pengukuran Perilaku

Pengukuran perilaku dilakukan secara tindakan, dengan wawancara

terhadap kegiatan-kegiatan yang dilakukan beberapa jam, hari atau bulan yang

lalu (recall). Pengukuran juga dapat dilakukan secara langsung dengan

mengobservasi tindakan responden (Notoatmodjo, 2007). Dalam penelitian,

observasi adalah prosedur yang terencana, meliputi melihat, mendengar, dan


34

mencatat sejumlah aktivitas tertentu atau situasi tertentu yang ada hubungannya

dengan masalah yang diteliti (Notoatmodjo, 2012). Pengukuran dibedakan

menjadi terstruktur dan tidak terstruktur :

a) Terstruktur

Observasi yang dirancang secara sistematis, tentang apa yang akan

diamati, kapan dan dimana tempatnya. Saat penelitian peneliti menggunakan

instrumen yang telah diuji validitas dan reliabilitasnya.

b) Tidak Terstruktur

Observasi yang tidak disiapkan secara sistematis tentang apa yang akan

diobservasi. Saat penelitian peneliti tidak menggunakan instrumen yang telah

baku, hanya berupa rambu-rambu pengamatan.

2. Personal Hygiene

a) Definisi personal hygiene

Menurut Kozier (2011) dalam Silalahi dan Putri (2017) personal hygiene

adalah ilmu tentang kesehatan dan pemeliharaan tubuh. Personal hygiene adalah

perawatan diri yang dilakukan seperti perawatan kulit, kuku, gigi, mulut, hidung,

mata, telinga dan area genital. Kemampuan melakukan hygiene berbeda-beda

dipengaruhi kesehatan, kebiasaan, budaya, perkembangan, dan lingkungan.

b) Tujuan personal hygiene

1) Meningkatkan derajat Kesehatan masyarakat

2) Memelihara kebersihan diri seseorang

3) Memperbaiki personal hygiene

4) Mencegah penyakit
35

5) Menciptakan keindahan

6) Meningkatkan rasa percaya diri Nikhita (2015) dalam Yudhaningtyas

(2018).

3. Faktor yang mempengaruhi personal hygiene

Menurut Kozier (2011) dalam Silalahi dan Putri (2017) faktor yang mempengaruhi

personal hygiene :

a) Budaya

Beberapa budaya beranggapan privasi harus diberikan saat mandi,

sementara yang lainnya mempraktikkan mandi bersama. Bau badan

dianggap sesuatu yang menjijikkan pada beberapa budaya dan dianggap

sesuatu yang biasa di budaya yang lainnya.

b) Agama

Upacara pembersihan dilakukan oleh beberapa agama. Indonesia memiliki 5

agama berbeda.Tiap agama memiliki upacara tersendiri. Seperti Islam

mengajarkan untuk bersuci akan melaksanakan ibadah.

c) Lingkungan

Kondisi lingkungan dapat mempengaruhi ketersediaan fasilitas untuk

melakukan personal hygiene.

d) Tahap Perkembangan

Anak-anak belajar hygiene dirumah dan praktek hygiene bervariasi sesuai

dengan usia.
36

e) Kesehatan dan Energi

Orang sakit mungkin tidak memiliki motivasi atau tenaga untuk

mempraktikkan hygiene. seseorang yang mengalami gangguan

neuromuskular mungkin tidak mampu melakukan hygiene sendiri.

4. Klasifikasi personal hygiene

Personal hygiene seseorang menentukan status kesehatan secara sadar dalam

menjaga kesehatan dan mencegah terjadinya penyakit terutama gangguan pada

kulit. Cara menjaga kesehatan tersebut meliputi menjaga kebersihan kulit,

kebiasaan cuci tangan dan kuku, frekuensi mengganti pakaian, pemakaian handuk

yang bersamaan, dan frekuensi mengganti sprei tempat tidur (Desmawati, 2015).

a) Kebersihan tangan dan kuku

Indonesia adalah negara yang sebagian besar masyarakatnya

menggunakan tangan untuk makan, menyiapkan makanan, bekerja dan

lainnya. Bagi penderita skabies akan sangat mudah penyebaran penyakit ke

tubuh yang lain. Oleh karena itu, butuh perhatian ekstra untuk kebersihan

tangan dan kuku sebelum dan sesudah beraktivitas.

1) Cuci tangan sebelum dan sesudah makan, setelah ke kamar mandi

menggunakan sabun. Menyabuni dan mencuci harus meliputi area

antara jari tangan, kuku dan punggung tangan.

2) Handuk yang digunakan untuk mengeringkan tangan sebaiknya

dicuci dan diganti setiap hari.

3) Jangan menggaruk atau menyentuh bagian tubuh seperti telinga,

hidung, dan lain-lain saat menyiapkan makanan.


37

4) Pelihara kuku agar tetap pendek, jangan memotong kuku terlalu

pendek sehingga mengenai kulit (Yudhaningtyas, 2018).

b) Kebersihan Pakaian

Pakaian adalah bahan tekstil dan serat yang digunakan untuk melindungi

dan menutupi tubuh. Alat penutup tubuh ini merupakan kebutuhan pokok

manusia selain makanan dan tempat tinggal. Keringat, lemak dan kotoran

yang dikeluarkan tubuh akan terserap pakaian. Pakaian berkeringat dan

berlemak ini akan berbau busuk dan mengganggu. Masalah kesehatan akan

muncul terutama kesehatan kulit karena tubuh dalam keadaan lembab.

Untuk itu perlu mengganti pakaian dengan yang bersih setiap hari.

Pemakaian pakaian khusus saat tidur menjadi hal penting untuk menjaga

tubuh Irianto (2014) dalam Yudhaningtyas (2018).

c) Kebersihan handuk, tempat tidur dan sprei

Penularan melalui kontak tidak langsung seperti melalui perlengkapan

tidur atau handuk memegang peranan penting (Mahsyur 2007) Berdasarkan

penelitian Yudhaningtyas (2018) menunjukan 44 orang (62,9%) terkena

skabies dan ada hubungan antara kebiasaan pemakaian alat mandi,

kebiasaan tidur bersama, dan kebiasaan pemakaian selimut tidur.

c. Sanitasi Lingkungan

1. Definisi

Sanitasi Lingkungan menurut Notoatmodjo (2012) dalam merupakan status

kesehatan suatulingkungan yang mencakup perumahan, pembuangan kotoran,

penyediaan air bersih, dan lainny. Banyak permasalahan lingkungan yang


38

mengganggu tercapainnya kesehatan lingkungan. Sanitasi lingkungan adalah

pengawasan lingkungan fisik, biologi, sosial dan ekonomi yang mempengaruhi

kesehatan.Perilaku kurang baik merubah ekosistem dan timbul masalah sanitasi

lingkungan yang dapat menyebabkan timbulnya berbagai macam penyakit terutama

skabies. Beberapa bagian dari sanitasi lingkungan yang mempengaruhi kejadian

skabies adalah sebagai berikut :

a) Kepadatan Hunian Kamar Tidur

Kepadatan hunian kamar tidur sangat berpengaruh terhadap jumlah parasit

penyebab penyakit skabies. Selain itu kepadatan hunian kamar tidur

mempengaruhi kualitas udara di dalam dimana semakin banyak jumlah

penghuni maka akan semakin cepat udara dalam kamar tidur mengalami

pencemaran, karena karbondioksida dalam rumah akan cepat meningkat dan

akan menurunkanoksigen di udara. Menurut DepKes RI (2016) Kepadatan

dilihat dari kepadatan hunian ruang tidur yaitu luas ruang tidur minimal 8m

dan tidak dianjurkan lebih dari dua orang dalam satu ruang kamar tidur,

kecuali anak dibawah usia 5 tahun.

9. Pengobatan

Menurut McCroskey (2010) dalam Sungkar (2016) prinsip pengobatan skabies

adalah menggunakan skabisida topikal diikuti dengan perilaku hidup bersih dan sehat

baik pada penderita maupun lingkungannya. Syarat skabisida ideal adalah efektif

terhadap semua stadium tungau, tidak toksik atau menimbulkan iritasi, tidak berbau,

serta tidak menimbulkan kerusakan atau mewarnai pakaian, dan mudah diperoleh.

Syarat lainnya adalah harga skabisida cukup murah karena penderita skabies umumnya
39

dari golongan ekonomi lemah. Pengolesan obat topikal umumnya selama 8-12 jam

namun ada yang perlu digunakan sampai lima hari berturut-turut, bergantung pada jenis

skabisida. Pada bayi dan anak kecil absorbsi obat lebih tinggi sehingga pengolesan

tidak dianjurkan saat kulit dalam keadaan hangat atau basah setelah mandi. Apabila

terdapat infeksi sekunder oleh bakteri, perlu diberikan antibiotik topikal atau oral

terlebih dahulu sesuai indikasi dengan memerhatikan interaksi antar obat.

Pada umumnya, satu kali pengolesan skabisida topikal cukup untuk

menyembuhkan skabies. Meskipun demikian, untuk menentukan apakah terapi skabies

harus diulang perlu diperhatikan apakah obat yang digunakan Obat yang dapat

membunuh tungau skabies di sebut skabisdadan obat yang dapat membunuh telur

tungau disebut ovisida. Ada obat yang hanya bersifat skabisidamisalnya sulphur

presipitatum, namun ada yang bersifat skabisida dan ovisida sekaligusmisalnya gema

benzene heksaklorida dan permetrin. Berikut iniadalah obat yang dapat untuk terapi

skabies bersifat ovisida (membunuh telur) dan skabisida (membunuh tungau) atau hanya

bersifat skabisida. Selain itu, perlu diperhatikan waktu dimulainya terapi awal,

kemajuan kesembuhan selama terapi, dan menghubungkannya dengan siklus hidup

tungau menurut McCroskey (2010) dalam Sungkar (2016).

Telur tungau menetas pada hari ketiga dan memerlukan waktu sekitar delapan

hari untuk menjadi tungau dewasa yang akan bertelur lagi. Bila terapi hanya bersifat

skabisida dan tidak ovisida maka telur yang sempat diproduksi sebelum terapi dimulai,

akan menetas dan menginfestasi kembali setelah hari ketiga. Jika terapi bersifat

skabisida dan ovisida, maka terapi akan efektif membunuh semua stadium tungau baik

telur, larva, nimfa maupun tungau dewasa. Meskipun demikian, karena terdapat periode
40

laten klinis pengolesan skabisida perlu diulang pada hari ketiga atau keempat sehingga

dapat membunuh tungau dari telur yang baru menetas dan belum sempat terbasmi pada

terapi pertama. Semua skabisida topikal memiliki prinsip penggunaan yang sama dan

harus dipatuhi oleh penderita, tenaga kesehatan, atau orang lain yang membantu

mengoleskan skabisida. Oleh karena itu, penderita skabies perlu diingatkan untuk membaca

pedoman penggunaan skabisida sebelum menggunakannya. Prinsip tersebut adalah

pengolesan obat sebaiknya dilakukan oleh penderita sendiri, namun boleh dibantu orang lain

bila lokasi lesi sulit dijangkau misalnya di punggung atau bokong. Apabila pengolesan

skabisida dibantu orang lain, misalnya perawat atau anggota keluarga maka orang tersebut

harus menggunakan sarung tangan dan mencuci tangan dengan sabun setelah membantu

mengoleskan (McCroskey (2010) dalam Sungkar (2016).

Sebelum mengoleskan skabisida, penderita skabies harus mandi menggunakan

sabun. Sabun dipakai ke seluruh bagian tubuh, bukan hanya tangan, wajah, ketiak dan alat

kelamin; lalu dibilas dengan bersih. Setelah badan kering, skabisida dioleskan ke seluruh

permukaan kulit dari leher sampai ujung jari kaki. Perhatia khusus diberikan ke lesi di tempat

predileksi misalnya sela-sela jari tangan, telapak tangan, pergelangan tangan, bokong, dan alat

kelamin. Apabila terhapus sebelum waktunya misalnya karena berwudhu atau mencuci

tangan maka obat harus dioleskan lagi. Setelah mencapai waktu yang ditentukan, obat

dibersihkan dari seluruh tubuh dengan mandi memakai sabun. Selesai mandi, badan

dikeringkan dengan handuk bersih dan kering lalu handuk dijemur di bawah terik sinar

matahari (McCroskey (2010) dalam Sungkar (2016)

Pada bayi, anak di bawah lima tahun, orang berusia lanjut, dan

immunocompromised host, pengolesan skabisida di kepala harus mencakup dahi, alis, kulit
41

kepala, dan area belakang telinga. Kulit kepala memang tidak selalu diinstruksikan untuk

dioleskan skabisida pada kasus skabies klasik karena di daerah tersebut jarang ditemukan

tungau. Meskipun demikian, kulit kepala tidak boleh dilupakan terutama bila terapi awal

gagal atau pada kasus skabies krustosa. Penderita skabies harus memotong kuku tangan dan

kaki secara teratur serta menjaganya tetap pendek dan bersih. Skabisida dioleskan ke kulit di

bawah kuku yang telah dipotong. Pakaian dan perlengkapan tidur harus diganti selama dan

setelah terapi, serta dilakukan dekontaminasi menurut McCroskey (2010) dalam Sungkar

(2016).

Skabisida topikal biasanya berbentuk krim yang dikemas dalam tube berisi

30gram dan 60gram. Untuk mengoleskan skabisida, perlu dihitung kebutuhan krim yang

akan dioleskan. Luas permukaan kulit orang dewasa diperkirakan dengan prinsip satu

telapak tangan sama dengan 1% luas permukaan tubuh. Krim skabisida sebanyak satu ruas

jari tangan diperkirakan sama dengan 0,5 gram dan dapat digunakan untuk area kulit

seluas 2 telapak tangan. Pada bayi dan balita, proporsi tubuhnya tidak seperti orang dewasa

sehingga perlu disesuaikan namun prinsipnya tetap sama. Dengan menghitung luas

permukaan kulit dan banyaknya krim yang dibutuhkan untuk satu kali pengolesan, dapat

dihitung berapa banyak kemasan krim yang diresepkan untuk satu kali pengobatan ke

seluruh permukaan tubuh menurut McCroskey (2010) dalam Sungkar (2016).

Menurut Sudirman (2006) dalam Yudhaningtyas (2018) penata laksanaan

skabies dibagi menjadi :

a. Penata laksanaan secara umum.

Pada pasien dianjurkan untuk menjaga kebersihan dan mandi secara teratur

setiap hari. Semua pakaian, sprei, dan handuk yang telah digunakan harus dicuci
42

secara teratur dan bila perlu direndam dengan air panas. Beberapa syarat

pengobatan yang harus diperhatikan:

1) Semua anggota keluarga harus diperiksa dan semua harus diberi pengobatan

secara serentak.

2) Personal Hygiene : penderita harus mandi bersih, bila perlu menggunakan

sikat untuk menyikat badan. Sesudah mandi pakaian yang akan dipakai

harus disetrika. Semua perlengkapan rumah tangga seperti bangku, sofa,

sprei, bantal, kasur, selimut harus dibersihkan dan dijemur dibawah sinar

matahari.

3) Penatalaksanaan Khusus

Menurut Harahap (2009) dalam Yudhaningtyas (2018) berikut adalah

pengobatan anti skabies :

a) Benzene heksaklorida (lindane)

Berbentuk cairan atau lotion, tidak berbau dan berwarna. Obat ini

membunuh kutu dan nimfa. Penggunaannyadioleskan pada bagian luka,

setelah 12jam dicuci bersih. Pengobatan. dilakukan maksimal 2 kali

dalam 1 minggu. Penggunaan yang berlebihan dapat menimbulkan efek

pada sistem saraf pusat. Pada bayi dan anak-anak, bila digunakan

berlebihan dapat menimbulkan neurotoksisitas. Obat ini tidak aman

digunakan untuk ibu menyusui dan wanita hamil.


43

b) Sulfur

Dalam bentuk parafin lunak, sulfur 10% secara umum aman dan efektif

digunakan. Dalam konsentrasi 2.5% dapat digunakan pada bayi. Obat ini

digunakan pada malam hari selama 3 malam.

c) Benzilbenzoat (crotamiton)

Tersedia dalam bentuk krim atau lotion 25%. Sebaiknyaobat ini

digunakan selama 24 jam, kemudian digunakan lagi 1 minggu kemudian.

Obat ini disapukan kebadan dari leher kebawah. Penggunaan berlebihan

dapat menyebabkan iritasi. Bila digunakan untuk bayi dan anak-anak,

harus ditambahkan air 2-3 bagian.

d) Monosulfiran

Berbentuk lotion 25%. Gunakan setiap hari selama 2-3 hari. Setelah

pengobatan, penderita tidak boleh minum alkohol karena dapat

menyebabkan keringat yang berlebihan dan takikardi.

e) Malathion

Malathion 0,5% dengan dasar air digunakan selama 24 jam. Pemberian

berikutnya diberikan beberapa hari kemudian.

f) Permethrin

Berbentuk krim 5% sebagai dosis tunggal. Penggunaanya selama 8-12

jam dan kemudian dicuci bersih-bersih. Obat ini efektif untuk skabies.

Pengobatan skabies krustosa sama dengan skabies klasik, hanya perlu

ditambahkan salep keratolitik. Skabies subungual susah diobati. Jikaada

infeksi sekunder diberikan antibiotik sistemik.


44

10. Komplikasi

Menurut Harahap (2006) dalam Yudhaningtyas (2018) Apabila skabies tidak

diobati selama bebrapa minggu, dapat timbul dermatitis akibat garukan. Erupsi dapat

berbentuk impetigo, ektima, selulitis, limfangitis, folikulitis, dan furunkel. Dermatitis

iritan dapat timbul karena penggunaan preparat antiskabies yang berlebihan, baik pada

terapi awal atau dari pemakaian yang terlalu sering. Salep sulfur dengan konsentrasi

15% dapat menyebabkan dermatitis bila digunakan terus-menerus selama beberapa hari

pada kulit yang tipis. Benzilbenzoat juga dapat menyebabkan iritasi bila digunakan 2

kali sehari selama beberapa hari, terutama disekitar genetalia pria. Gamma benzena

heksaklorida sudah diketahui menyebabkan dermatitis iritan bila digunakan secara

berlebihan.

11. Pencegahan skabies

Adapun hal yang harus di lakukan oleh penderita menurut Soedarto (2016)

Penderita sebagai sumber infeksi harus di obati dengan sempurna. Kontak dengan

penderita, baik manusia maupun hewan di hindari. Selain itu selalu menjaga kebersihan

badan dengan mandi dua kali sehari dengan sabun secara teratur serta menjaga

kebersihan, mencuci dan merendam dalam air mendidih alas tidur dan alas bantal yang

di gunakan penderita.

12. Konsep Pondok Pesantren

a) Definisi

Pesantren adalah institusi pendidikan islam tradisional yang biasanya

mengkhususkan diri pada pengajaran islam. Pola pendidikan pesantren menjadi


45

daya tarik bagi umat islam, karena memberikan akhlak, kemandirian dan

penanaman nilai keimanan. Sulistiani (2015) dalam Yudhaningtyas (2018)

b) Pelayanan Kesehatan Di Pondok Pesantren

Kesehatan merupakan kebutuhan dasar setiap santriwati yang mendalami ilmu

agama Islam di pesantren. Tanpa pola hidup sehat santriwati rentan tertular

penyakit, karena santriwati tinggal bersama dalam satu asrama dan selalu

berinteraksi satu sama lain Hidayat (2014) dalam Yudhaningtyas (2018). Untuk

mencapai tujuan pembangunan kesehatan nasional yaitu masyarakat yang sehat,

mandiri dan berkeadilan. Dengan strateginya adalah pemberdayaan masyarakat,

swasta, dan masyarakat, melalui kerja sama nasional dengan global merupakan visi

kementrian yang tertuang dalam Renstra Kementerian tahun 2015-2019.

Pos kesehatan pesantren (poskestren) adalah pesantren yang memiliki kesiapan,

kemampuan, serta kemauan untuk mencegah dan mengatasi masalah-masalah

kesehatan secara mandiri sesuai dengan kemampuannya Depkes RI, (2007) dalam

Yudhaningtyas, (2018). Poskestren merupakan upaya kesehatan berbasis

masyarakat di lingkungan pesantren dengan prinsip dari dan oleh warga pesantren

yang mengutamakan pelayanan promotif (peningkatan) dan preventif (pencegahan)

tanpa mengabaikan aspek kuratif (pengobatan) dan rehabilitatif (pemulihan

kesehatan) dengan binaan puskesmas setempat.

c) Tujuan Poskestren

Poskestren sebagai salah satu upaya pemerintah untuk meningkatkan derajat

kesehatan warga pesantren memiliki beberapa tujuan:


46

a. Tujuan Umum

Terwujudnya pesantren yang sehat serta peduli dan tanggap terhadap

permasalahan kesehatan.

b. Tujuan Khusus

1) Meningkatnya pengetahuan warga pondok pesantren tentang kesehatan.

2) Meningkatnya sikap dan perilaku hidup bersih dan sehat bagi warga pondok

pesantren.

3) Meningkatnya peran aktif` warga pondok pesantren dalam penyelenggaraan

upaya kesehatan.

4) Terpenuhinyapelayanan kesehatan dasar bagi warga pondok pesantren.

5) Mampu melakukan survei mawas diri untuk mengeahui faktor resiko

berbagai masalah kesehatan di pensantren. (Yudhaningtyas, 2018)


47

B. Kerangka Pemikira

Faktor-Faktor
Yang

Pengetahuan Perilaku Sanitasi


Personal Lingkungan

a) Kebersihan
a) Memahami
Tangan & Kepadatan
Pengertian
Kuku hunian kamar
Skabies
b) Kebersihan tidur
b) Mengetahui
Pakaian
Penyebab
c) Kebersihan
Skabies
handuk,
c) Mengetahui
Tempat Tidur
Penyebaran
dan sprei
Skabies
d) Mengetahui
gejala-gejala
Skabies
e) Mengetahui
Komplikasi
Skabies
f) Mengetahui
Cara
Pengobatan
Skabies

Kejadian Skabies

Gambar 2.2 Kerangka Pemikiran


48

Sumber: Notoatmodjo et all

C. Kerangka Konsep Penelitian

Pengetahuan

Faktor-faktor Perilaku Personal Kejadian


Hygiene Skabies

Sanitasi Lingkungan

Gambar 2.3 Kerangka Konsep

D. Hipotesis

Hipotesis berasal dari kata Hupo dan thesis, Hupo artinya sementara

kebenarannya dan thesisartinya pernyataan atau teori.Jadi Hipotesis adalah pernyataan

sementara yang akan di uji kebenarannya. Hipotesis ini merupakan jawaban sementara

berdasarkan pada teori belum di buktikan dengan data atau fakta (Nursalam, 2014)

Adapun hipotesis pada penelitian ini adalah sebagai faktor-faktor yang brhubungan

dengan kejadian skabies di Pondok Pesantren An-Nur Ngrukem, Bantul. Hipotesis

penelitian ini adalah :


49

1. Adanya hubungan pengetahuan terhadap kejadian skabies pada santri putra di

Pondok Pesantren An-Nur Ngrukem, Bantul.

Ho : Tidak ada hubungan pengetahuan terhadap kejadian skabies pada santri

putra di Pondok Pesantren An-Nur Ngrukem, Bantul.

Ha : Adanya hubungan pengetahuan terhadap kejadian skabies pada santri putra

di Pondok Pesantren An-Nur Ngrukem, Bantul.

2. Adanya hubungan personal hygiene terhadap kejadian skabies pada santri putra

di Pondok Pesantren An-Nur Ngrukem, Bantul.

Ho : Tidak ada hubungan personal hygiene terhadap kejadian skabies pada santri

putra di Pondok Pesantren An-Nur Ngrukem, Bantul.

Ha : Adanya hubungan personal hygiene terhadap kejadian skabies pada santri

putra di Pondok Pesantren An-Nur Ngrukem, Bantul.

3. Adanya hubungan sanitasi lingkungan terhadap kejadian skabies pada santri

putra di Pondok Pesantren An-Nur Ngrukem, Bantul.

Ho : Tidak ada hubungan sanitasi lingkungan terhadap kejadian skabies pada

santri putra di Pondok Pesantren An-Nur Ngrukem, Bantul.

Ha : Adanya hubungan sanitasi lingkungan terhadap kejadian skabies pada santri

putra di Pondok Pesantren An-Nur Ngrukem, Bantul.


50

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian Desktiftif Analitik sering dipakai dengan

istilah ex post facto research. Penelitian deskriftif meliputi survey dan penelusuran

fakta-fakta terhadap berbagai permasalahan.Teknik yang di pakai dapat bersifat

kualitatif atau kuantitatif. Penelitian deskriftif kuantitatif ditandai dengan hasil yang

berbentuk angka-angka atau numerik seperti dalam proporsi (presentase) atau rata-

rata (mean) Ade Haryana (2019). Pendekatan penelitian ini dengan pendekatan Case

Control, menurut Notoatmodjo (2013) pendekatan Case Control yaitu suatu

penelitian (survey) analitik yang menyangkut bagaimana faktor resiko dipelajari

dengan menggunakan pendekatan retrospective. Dengan kata lain, efek (penyakit

atau kasus kesehatan) diindentifikasi pada saat ini, kemudian faktor resiko

diidentifikasi ada atau terjadi pada waktu yang lalu. Pada penelitian ini akan

menghubungkan antara faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian skabies di

Pondok Pesantren An-Nur Ngrukem, Bantul.

B. Populasi dan Sampel

1. Populasi

Populasi adalah subjek yang memenuhi kriteria yang telah ditetapkan

(Nursalam, 2014). Populasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah seluruh
51

santri kelas 8 dan 9 pondok pesantren An-Nur Ngrukem, Bantul, sebanyak 124

santri.

2. Sampel

sampel adalah bagian dari jumlah dan karakteristik yang di miliki oleh

populasi tersebut (Sugyono, 2017) di Pondok Pesantren An-Nur Ngrukem,

Bantul. Teknik pengambilan sampel dalam penelitian ini yaitu total sampling

atau sampling total adalah teknik penentuan sampel bila semua anggota populasi

digunakan sebagai sampel. Hal ini sering dilakukan bila jumlah populasi relatif

kecil, kurang dari 30 orang, atau penelitian yang ingin membuat genealisasi

dengan kesalahan yang sangat kecil. Istilah lain sampel total adalah sensus,

dimana semua anggota populasi di jadikan sampel.

Adapun total santri putra kelas 8 dan 9 yang mengalami skabies sebanyak

42 orang. Maka sampel pada penelitian ini adalah dengan jumlah kasus 42 orang

dan jumlah kontrol pada penelitian ini sebanyak 42 orang maka keseluruhan

sampel pada penelitian ini sebanyak 84 santri putra pondok pesantren An-Nur

Ngrukem, Bantul.

C. Tempat dan Waktu Penelitian

1. Tempat Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Pondok Pesantren An-Nur Jl. Ngrukem,

Krandoha, Pendowoharjo, Kecamatan. Sewon, Bantul, Daerah Istimewa

Yogyakarta 55186. 53

2. Waktu Penelitian

Waktu Penelitian dilaksanakan di bulan Desember 2020 – Januari 2021.


52

D. Variabel Penelitian

1. Variabel Terikat (Dependen)

Variabel terikat (dependen) adalah variabel yang nilainya ditentukan oleh

variabel lain (Nursalam, 2014). Varibel terikat dalam penelitian ini adalah

kejadian skabies di Pondok Pesantren.

2. Variabel Bebas

Variabel Bebas (Independen) adalah variabel yang nilainya menentukan veriabel

lain (Nursalam, 2014).Variabel bebas dalam penelitian ini adalah faktor-faktor

yang mempengaruhi kejadian skabies, yaitu pengetahuan, perilaku personal

hygiene (Kebersihan pakaian, kebrsihan handuk, kebersihan tangan dan kuku,

Kebersihan tempat tidur dan seprei) dan Sanitasi Lingkungan (Kepadatan hunian

kamar tidur)

E. Definisi Operasional

Definisi Operasional adalah definisi variable-variabel yang akan diteliti secara

operasional di lapangan. Definisi Operasional dibuat untuk memudahkan pada

pelaksanaan pengumpulan data dan pengolahan serta analisis data. Pada saat akan

melakukan pengumpulan data, definisi operasional dibuat mengarahkan dalam

pembuatan dan pengembangan instrument penelitian. (Notoatmodjo, 2014)

Tabel 3.1 Definisi Operasional

No Variabel Definisi Variabel Kategori Alat ukur Skala


53

1 Pengetahuan Segala sesuatu yang 1 = Baik Kuesioner Nominal


di ketahui responden
0 = Tidak baik
Mengenai suatu
objek (Skabies) Di uji dengan
uji normalitas :
Baik = > 2.5
Tidak baik = <
2.5
2. Keberihan Perilaku individu Baik = 76 – Kuesioner Ordinal
Pakaian dalam menjaga 100%
kebersihan pakaian Cukup 56 –
(baju, celana, celana 75%
dalam handuk) yaitu Kurang = <
dengan mengganti 56%
pakaian minimal dua (Nursalam,
kalisehari, mencuci 2014)
pakaian dengan
sabun cuci dan
menjemur pakaian di
bawah sinar
matahari.
3. Kebersihan Perilaku individu Baik = 76 – Kuesioner Ordinal
tangan dan dalam menjaga 100%
kuku kebersihan tangan Cukup 56 –
dan kuku, seperti 75%
cuci tangan sebelum Kurang = <
dan sesudah makan, 56%
sesudah ke kamar (Nursalam,
mandi serta 2014)
memotong kuku
secara rutin.
4. Kebersihan Perilaku individu Baik = 76 – Kuesioner Ordinal
tempat tidur dalam menjaga 100%
dan seprei kebersihantempat Cukup 56 –
tidur, seperti 75%
menjemur kasur dan Kurang = <
bantal, mencuci sprei 56%
dan sarung bantal. (Nursalam,
2014)
5. Kepadatan Jumlah penghuni 0 = Tidak Kuesioner Nominal
hunian kamar kamar di bandingkan memenuhi
tidur dengan jumlah daya syarat, apabila
tampung atau melebihi
54

kapasitas kamar. kapasitas


Luas ruang tidur 1 = Memenuhi
minimal 8 meter dan syarat apabila
tidak dianjurkn lebih sama dengan
dari 2 orang tidur atau kurang
dalam satu ruangan dari kapasitas
tidur (DepKes RI,
2016)
6. Variabel Santri pesantren An- 0 = Skabies Kuesioner Nominal
dependen Nur Ngrukem, , 1 =Tidak
kejadian Bantul yang terkena skabies
skabies skabies, skabies
adalah suatu
infestasi tungau
(saroptes scabiel)
yang menyebabkan
beruntus-runtus kecil
kemerahan dan rasa
gataldisela-sela jari
tangan, pergelangan
tangan, sikut, ketiak,
di sekitar putting
payudara wanita, alat
kelamin pria (penis
dan kantung zakar),
di sepanjang garis
ikat pinggang dan
sekitar pantat bawah.
F. Teknik Pengumpulan Data

Pengumpulan data adalah suatu proses pendekatan kepada subjek dan proses

pengumpulan karakteristik subjek yang diperlukan dalam suatu penelitian.

Langkah-langkah dalam pengumpulan data bergantung pada penelitian dan teknik

instrument yang digunakan Burns dan Grove, (1999) dalam Nursalam (2017)

1. Data Primer

Data Primer adalah data yang didapatkan langsung dari sumber data (Sugiono,

2016). Dalam penelitian ini data primer diperoleh dari:

a. Observasi
55

Observasi aatau pengamatan adalah suau prosedur yang berencana, yang

antara lain meliputi melihat, mendengar,dan mencatat sejumlah dan taraf

aktifitas tertentu atau situasi tertentu yang ada hubungannya dengan masalah

yang diteliti (Notoatmodjo, 2014)

b. Wawancara

Wawancara adalah suatu metode yang dipergunakan untuk mengumpulkan

data, dimana peneliti mendapat keterangan atau informasi secara lisan dari

responden (Notoatmodjo, 2014)

c. Kuesioner

Kuesioner merupakan teknik pengumpulan data yang dilakukan dengan cara

member seperangkat pertanyaan atau pernyataan tertulis kepada reponden

untuk di jawabnya (Sugiyono, 2016)

2. Data Sekunder adalah data yang di dapatkan secara tidak langsung dari sumber

data atau responden (Sugiyono, 2016). Data sekunder dalam penelitian ini data

diperoleh dari pihak lain yaitu dari Pos Kesehatan Pesantren An-Nur , Ngrukem,

Bantul.

G. Instrumen Penelitian

Instrumen penelitian adalah suatu alat yang digunakan untuk mengukur

fenomena alam maupun social yang diamati. Secara spesifikse fenomena ini di
56

sebut variabel penelitian (Sugiyono, 2017). Instrumen yang digunakan dalam

penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Alat tulis di gunakan untuk pengisian lembar kuesioner

2. Kuesioner pertanyaan tertulis peneliti kepada responden

3. Kamera di gunakan untuk mendokumentasi kegiatan selama proses penelitian.

Tabel 3.2 Kisi-kisi kuesioner

No Variabel Dimensi No item Total


1. Pengetahuan 1.1, 1.2, 1.3, 4
1.4
2. Personal Hygiene Kebersihan 2.1, 2.2, 2.3, 5
pakaian 2.4, 2.5
Kebersihan 2.6, 2.7, 2.8, 5
tangan dan 2.9, 2.10
kuku
Kebersihan 2.11,2.12, 5
tempat tidur 2.13, 2.14,
dan seprei 2.15
3. Kepadatan hunian 3.1 (a dan b) 1
kamar tidur
4. Kejadian skabies 4.1, 4.2 1

H. Teknik Pengolahan Data

Pengolahan data pada dasarnya merupakan suatu proses untuk memperoleh data

atau data ringkasan berdasarkan suatu kelompok data mentah dengan menggunakan

rumus tertentu sehingga menghasilkan informasi yang diperlukan. Menurut

Notoatmodjo (2014), tahap-tahap data meliputi :

1. Memeriksa data (Editing)


57

Secara umum editing adalah kegiatan suatu pengecekan dan perbaikan isi

formulir atau kuesioner. Angket, atau pengamatan dari lapangan, harus

dilakukan penyuntingan (editing) terlebih dahulu.

2. Memberi kode (Coding)

Setelah semua lembar kuesioner diedit atau diediting, selanjutnya dilakukan

peng “kodean” atau coding, yakni mengubah data berbentuk kalimat atau huruf

menjadi data angka atau bilangan.

3. Memasukkan data (Entry)

Data yakni jawaban-jawaban dari masing-masing responden yang dalam bentuk

“kode” (angka atau huruf) dimasukkan ke dalam program atau “softwere”

komputer.

4. Pembersihan data (Cleaning)

Apabila semua data dari setiap sumber data atau responden selesai dimasukkan,

perlu di cek kembali untuk melihat kemungkinan-kemungkinan adanya

kesalahan-kesalahan kode, ketidak lengkapan, dan sebagainya kemudian

dilakukan pembetulan atau koreksi.

I. Uji Validitas Dan Uji Reliabilitas

1. Uji Validitas

(Notoatmodjo, 2014). Untuk mengetahui apakah kuesioner yang kita susun

tersebut mampu mengukur apa yang hendak kita ukur dalam penelitian ini maka

di gunakan uji korelasi product moment adalah sebagai berikut.

Rumus :

keterangan :
58

r : konfensien korelasi product moment

X : Nilai dari setiap item

Y : Nilai dari semua item

N : Jumlah item

Keputusan Uji :

a. Hasil r hitung (r responden) > r tabel; maka Ho ditolak, artinya pertanyaan

valid.

b. Hasil hitung (r responden) ≤ r tabel; maka Ho diterima , artinya pertanyaan

tidak valid.

Untuk mengetahui nilai korelasi tiap pertanyaan valid maka dilihat pada

tabel nilai dengan poduct moment dengan ketentuan apabila r hitung ≥ r

table maka instrumen itu valid, artinya instrumen diterima, demikian

sebaliknya juka r hitung < r table maka instrumen tidak valid atau tidak

dapat diterima (Riwidikdo, 2009).

Uji validitas dilakukan di Pondok Pesantren An-Nur Ngrukem, Bantul

dengan jumlah sampel sebanyak 30 responden.

Uji validitas sebaiknya dilakukan pada setiap butir pertanyaan. Sehingga

jika dibandingkan dengan t table dimana df= n-k dan dengan α = 5%.

Tabel 3.3 Validitas Kuesioner


Variabel pengetahuan pada santri putra di Pondok Pesantren An-Nur
Ngrukem, Bantul Tahun 2020

Pertanyaan r-hitung r-tabel Validitas

1 0.443 0.361 Valid


59

2 0.637 0.361 Valid

3 0.947 0.361 Valid

4 0,821 0.361 Valid

Dari tabel 3.3 dapat di ketahui bahwa dari uji validitas dari variabel

pengetahuan dengan 4 butir pertanyaan semuanya valid karena r hitung lebih

besar atau sama dengan r tabel ( r hitung ≥ r tabel)

Tabel 3.4 Validitas Kuesioner


Variabel kebersihan pakaian pada santri putra di Pondok Pesantren An-
Nur Ngrukem, Bantul Tahun 2020

Pertanyaan r-hitung r-tabel Validitas

1 0.697 0.361 Valid

2 0.707 0.361 Valid

3 0.059 0.361 Tidak Valid

4 0.767 0.361 Valid

5 0.171 0.361 Tidak Valid

Dari tabel 3.4 dapat di ketahui bahwa dari uji validitas dari variabel

kebersihan pakaian dengan 5 butir pertanyaan soal nomer 3 dan 5 tidak valid

karena r hitung kurang dari r tabel ( r hitung ≤ r tabel)

Tabel 3.5 Validitas Kuesioner


Variabel kebersihan tangan dan kuku pada santri putra di Pondok
Pesantren An-Nur Ngrukem, Bantul Tahun 2020

Pertanyaan r-hitung r-tabel Validitas

1 0.583 0.361 Valid


60

2 0.630 0.361 Valid

3 0.687 0.361 Valid

4 0.674 0.361 Valid

5. 0.710 0.361 Valid

Dari tabel 3.5 dapat di ketahui bahwa dari uji validitas dari variabel

kebersihan tangan dan kuku dengan 5 butir pertanyaan semuanya valid karena r

hitung lebih besar atau sama dengan r tabel ( r hitung ≥ r tabel)

Tabel 3.6 Validitas Kuesioner


Variabel kebersihan tempat tidur dan seprei pada santri putra di Pondok
Pesantren An-Nur Ngrukem, Bantul Tahun 2020

Pertanyaan r-hitung r-tabel Validitas

1 0.423 0.361 Valid

2 0.574 0.361 Valid

3 0.652 0.361 Valid

4 0.670 0.361 Valid

5 0.531 0.361 Valid

Dari tabel 3.6 dapat di ketahui bahwa dari uji validitas dari variabel

tempat tidur dan seprei dengan 5 butir pertanyaan semuanya valid karena r

hitung lebih besar atau sama dengan r tabel ( r hitung ≥ r tabel)

Tabel 3.7 Validitas Kuesioner


Variabel kepadatan hunian kamar tidur pada santri putra di Pondok
Pesantren An-Nur Ngrukem, Bantul Tahun 2020

Pertanyaan r-hitung r-tabel Validitas


61

1 0.843 0.361 Valid

2 0.745 0.361 Valid

Dari tabel 3.7 dapat di ketahui bahwa dari uji validitas dari variabel

pengetahuan dengan 2 butir pertanyaan semuanya valid karena r hitung lebih

besar atau sama dengan r tabel ( r hitung ≥ r tabel

Tabel 3.8 Validitas Kuesioner


Variabel kejadian skabies pada santri putra di Pondok Pesantren An-
Nur Ngrukem, Bantul Tahun 2020

Pertanyaan r-hitung r-tabel Validitas

1 0.740 0.361 Valid

2 0.540 0.361 Valid

Dari tabel 3.8 dapat di ketahui bahwa dari uji validitas dari variabel

pengetahuan dengan 2 butir pertanyaan semuanya valid karena r hitung

lebih besar atau sama dengan r tabel ( r hitung ≥ r tabel)

2. Uji Reliabilitas

(Notoatmodjo, 2014) Uji Reliabilitas menunjukkan sejauh manasuatu

alat pengukur dapat dipercaya atau dapat di andalkan. Hal ini berarti

menunjukkan sejauh mana hasil pengukuran itu tetap konsisten atau tetap asas

(ajeg) bila dilakukan pengukuran dua kali ataulebih terhadap gejala yang sama,

dengan menggunakan alat ukur yang sama. Diuji dengan tes menggunakan

rumus korelasi product moment.

Tabel 3.9
62

Uji Reliabilitas Kuesioner Penelitian pada santri putra di Pondok


Pesantren An-Nur Ngrukem, Bantul Tahun 2020

Variabel r-hitung r-tabel Reliabilitas

Pengetahuan 0.792 0.6 Reliabel

Kebersihan pakaian 0.805 0.6 Reliabel

Kebersihan tangan 0.760 0.6 Reliabel

dan kuku

Kebersihan tempat 0.697 0.6 Reliabel

tidur dan seprai

Sanitasi lingkungan 0.828 0.6 Reliabel

Kejadian skabies 0.677 0.6 Reliabel

Dari tabel 3.9 dapat di ketahui bahwa dari uji reliabilitas dari masing-masing

variabel yaitu pengetahuan, personal hygiene, sanitasi lingkungan, dan kejadian

skabies dapat dikatakan reliable karena Cronbach alpha dari masing-masing

variabel lebih besar dari alpha (≥ 0.6)

J. Metode Analisis Data

Analisis data dalam penelitian dilakukan dengan menggunakan program

komputer di mana akan dilakukan 2 macam analisis data, yaitu analisis univariat

dan analisis bivariat.

1. Analisis Univariat

Tujuan analisis univariat adalah bertujuan untuk menjelaskan

atau mendeskripsikan karakteristik setiap variabel penelitian. Bentuk anlisis


63

univariate tergantung dari jenis datanya.untuk data numerikdigunakan nilai

mean atau rata-rata, median dan standard deviasi.Pada umumnya dalam

analisis ini hanya menghasilkan distribusi frekuensi dan persentase dari tiap

variabel (Notoatmodjo, 2014)

2. Analisis Bivariat

Tujuan analisis bivariat adalah untuk melihat ada tidaknya hubungan

antara dua variabel, yaitu variabel terikat dengan variabel bebas. Menurut

Notoatmodjo (2014) mengatakan analisis bivariat dilakukan dalam beberapa

tahap, anatra lain:

a. Analisis proporsi atau presentase,dengan membandingkan distribusi silang

antara dua variabel yang bersangkutan.

b. Analisis dari hasil uji statistik (uji chi-square test). Melihat dari hasiluji

statistic ini akan dapat disimpulkan adanya hubungan dua variabeltersebut

bermakna atau tidak

bermakna. Dari hasil uji statistik ini bisa terjadi, misalnya antara dua variabel tersebut

secara presentase berhubungan tetapi statistik hubungan tersebut tidak bermakna.

Mencari chi square dengan rumus:

Keterangan :
X2= nilai chi square
64

fo= frekuensi yang diobservasi fe=


frekuensi yang diharapkan

Mencari nilai X2 tabel dengan rumus


dk=(k-1)(b-1)

keterangan :

k=banyaknya kolom

b=banyaknya baris

Untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian


skabies pada santri putra di Pondok Pesantren An-Nur An-Nur Ngruke
m, Bantul maka signifikan yang diambil yaitu α(0,05):

a. Apabila p ≤ 0,05 = Ho ditolak, berarti ada hubungan antara

karakteristik dengan kejadian skabies pada santri putra di Pondok

Pesantren An-Nur Ngrukem, Bantul.

b. Apabila p > 0,05% = Ho diterima, berarti tidak ada hubungan antara

karakteristik dengan kejadian skabies pada santri putra di Pondok

Pesantren An-Nur Ngrukem, Bantul

Ketentuan yang berlaku pada uji Chi Square yaitu:

a. Bila tabelnya 2 x 2, dan tidak ada nilai E<5, maka uji yang dipakai

sebaiknya “Continuity Correction”

b. Bila tabel 2 x 2, dan ada nilai E<5, maka uji yang dipakai adalah

“Fisher’s Exact Test”

c. Bila tabelnya lebih dari 2 x 2, maka digunakan uji “Pearson Chi

Square”

Koefisien kontigensi digunakan untuk menghitung hubungan antar

variabel bila datanya berbentuk nominal. Koefisien kontigensi (CC)


65

sangat erat hubungannya dengan chi square yang digunakan untuk

menguji hipotesis komparatif (k) sampel independent. Rumus

menghitung koefisien kontigensi adalah :

Keterangan:

C = Koefisien kontegensi

X2 = Harga Chi quadrat yang diperoleh

N = Jumlah responden

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Gambaran Umum Lokasi Penelitian

1. Profil

a. Nama Pondok Pesantren : Pondok Pesantren An-Nur Ngrukem, Bantul

b. Alamat : Jalan K. H. Nawawi Abdul Aziz Ngrukem Po.

Box. 135, Pendowoharjo Sewon 55702 Bantul

Yogyakarta Telp. (0274) 6994262 – 6994263 Fax

0274 – 6469019
66

c. Pendiri (Muassis) : K. H. Nawawi Abdul Aziz

d. Riwayat Pendidikan

Lembaga Pendidikan Formal:

1) Madrasah Ibtidaiyah (2015)

2) Madrasah tsanawiyah (1994)

3) Madrasah Aliyah (1997)

4) Institut Ilmu Al-Qur-an (2002)

Lembaga Pendidikan Non Formal :

1) Madrasah Diniyah Al Furqon (1989)

2) Taman Pendidikan Al Qur`an (1994)

3) Tahfidzul Qur`an dan Qiro`ah Sab`ah

4) Majelis Ta`lim Ahad Pon.

2. Sejarah Berdirinya Pondok Pesantren An-Nur Ngrukem, Bantul

Kemajuan dan perkembangan dalam segala hal selalu bergerak secara dinamis dan

cepat. Disatu sisi hal tersebut berdampak positif bagi ummat, tetapi disisi lain juga

menjadi ajang merebaknya segala pengaruh budaya yang tidak sesuai dengan

moralitas bangsa Indonesia sehingga pada akhirnya banyak penyimpangan yang

terjadi di masyarakat. Dengan alasan inilah Al Maghfurlah Simbah KH. Nawawi

Abdul Aziz yang merupakan tokoh yang disegani dibidang tahfidz al-qur`an dan

qiro`ah sab`ah berusaha membangun tembok untuk membentengi masyarakat dari

segala bentuk dampak negative yang telah manjamur, agar masyarakat dapat

senantiasa berada dijalan yang lurus. Diatas tanah wakaf kurang lebih 2 hektar di
67

Dusun Ngrukem Desa Pendowoharjo Kecamatan Sewon Kabupaten Bantul Provinsi

Yogyakarta berdidrilah Pondok Pesantren An Nur.

a. Periode Perintisan (1966 – 1978)

Dimulai pada tahun 1960 M, Beliau (Al Maghfurlah Simbah K. H. Nawawi

Abdul Aziz) dipercaya untuk menjabat ketua Pengadilan Agama Kab. Bantul.

Beliau mengatahui secara persis tentang kehidupan keagamaan di wilayah Bantul,

dimana kondisi pada saat itu masih sangat memprihatinkan. Beliau merasa sudah

saatnya menghamalkan dan mengajarkan ilmu yang pernah didapat. Sehingga

pada tahun 1964 M, dengan tekat yang bulat dan mantap Beliau pindah ke dusun

Ngrukem, Pendowoharjo, Sewon, Bantul dan didampingi oleh istri Beliau (Al

Maghfurlaha Simbah Nyai Hj. Walidah Munawwir) dan Putra pertama Beliau

(Bapak K. H. `Ashim Nawawi). Beliau mulai merintis pengajian – pengajian baik

yang bersifat kuliah umum, sorogan, bandongan, maupun klasikal, diantaranya :

1) Pengajian Umum setiap senin malam yang sampai saat ini masih berjalan

dikenal dengan pengajian malam selasan.

2) Setiap ba`da subuh diselenggarakan pengajian Al Qur`an dengan sistem

sorogan dan klasikal.

3) Dan pada malam hari diadakan kegiatan belajar di Madrasah Diniyah yang

dulu bernama Madrasah Lailiyah Salafiyyah An Nur.

b. Periode Pertumbuhan

Pada hari Ahad Pon, 18 April 1976 M, diadakanlah rapat antara K. H.

Nawawi Abdul Aziz, K. H. Ahmad Baidlowi Cholil dan para sesepuh untuk

membahas pembangunan Pondok Pesantren. Kemudian, bertepatan dengan hari


68

Ahad, 12 September 1976 M (17 Ramadhan 1396 H) dimulailah pembangunan

POndok Pesantren yang akhirnya selesai pada bulan April 1978 M, dan sejak saat

itulah secara resmi Pondok Pesantren An-Nur Ngrukem, Bantul berdiri.

c. Periode Perkembangan

Dalam perjalanannya, Pondok Pesantren An-Nur Ngrukem, Bantul selalu

berusaha untuk terus memajukan dengan dinamis dan berkesinambungan agar

dapat mewujudkan tujuan yang fundamental. Hal tersebut sangatlah mendukung

bagi tercapainya tujuan utama Pondok Pesantren An-Nur Ngrukem, Bantul

yaitu:

1) Mencetak generasi Huffadzul Qur`an yang mampu menjunjung tinggi warisan

Nabi serta mengamalkannya.

2) Membangun kemampuan santri yang berjiwa IMTAQ dan berwawasan

IPTEK.

3) Membangun santri yang berakhlaqul karimah, bertaqwa, bermental kuat, dan

bertanggungjawab.

3. Lembaga Pendidikan Pondok Pesantren An-Nur Ngrukem, Bantul

a. Marhalah Binnadzri

Tingkatan ini diperuntukan bagi santri yang tidak menghafal Qur`an atau

masih tahap pemula dalam mengaji Al Qur`an yang mengikuti jalur Qiroah

`Ashim min riwayati al hafs. Tingkatan ini menekankan terhadap pematangan

tartil dan makharijul huruf.

b. Marhalah Tahfidz

Tingkatan ini adalah tingkatan yang paling banyak diminati oleh santri
69

Pondok Pesantren An Nur, karena sesuai dengan spesifikasi pesantren dalam

menghafalkan Al Qur`an. Dalam proses penghafalannya para santri diasuh

langsung oleh Bapak K. H. Muslim Nawawi ( Putra ke-8 ). Disamping itu, guna

untuk mengetahui sejauh mana tingkat penguasaan menghafal para santri, maka

setiap 6 bulan sekali diadakan Tes Peringkat Tahfidzul Qur`an dan Musabaqoh

Hifdzil Qur`an.

c. Marhalah Qiroah Sab`ah

Tingkatan ini diperuntukkan bagi para Khotimin-Khotimat ( yang telah hafal

Al Quran dan sudah disimak ), yaitu mempelajari berbagai bentuk bacaan qiro`ah

imam tujuh yang masyhur, sedangkan aliran yang digunakan pada marhalah

Qiro`ah Sab`ah ini adalah aliran hirzi Amani ( terdapat pada kitab Faid al-barokat

fi sab`I al-qiroat ) yang beliau terima lagsung dari K. H. Arwani Amin Kudus.

d. Taman Pendidikan AL Qur`an (TPQ)

Pendidikan ini diperuntukan bagi anak – anak sekitar dusun yang

dilaksanakan pada sore hari dengan metode al-Nahdiyah. Tenaga pengajarnya

diambilkan dari santri yang sudah hafal al qur`an. Lembaga pendidikan ini sangat

membantu masyarakat sekitar untuk mendidik anak-anaknya belajar membaca al

qur`an.

e. Madrasah Diniyah Al Furqon

Secara garis besar, Madrasah Diniyah Al Furqon terbagi menjadi dua

cabang yaitu, Madrasah Diniyah yang diperuntukkan bagi santri Tahfidz dan bagi

santri Non-Tahfidz. Seperti pada umumnya, Madrasah Diniyah Al Furqon ini

terbagi menjadi 6 tingkatan yang utamanya adalah belajar kitab dan ilmu alat
70

seperti Nahwu, Shorof, dan ilmu lainnya. Santri diharapkan selain hafal Al Qur`an

para santri juga bisa membaca kitab dan mengetahui keilmuan islam yang

kainnya.

4. Tenaga Pengajar

Terhitung kurang leih ada 200 tenaga pengajar di Yayasan Al Ma`had An Nur

ini. Sekitar 75 pengajar mengabdikan dirinya di Pondok Pesantren dan Madrasah

Diniyah, dan 125 pengajar mengabdikan dirinya di Madrasah Formal dan Institut.

5. Sarana dan Prasarana

a. Asrama Santri (Putra dan putri)

b. Kamar Mandi (Putra dan putri)

c. Kantor Kepengurusan (Putra dan Putri)

d. Musholla (Putra dan putri)

e. Aula gedung Serba Guna (Putra dan putri)

f. Ruang Belajar (Putra dan putri)

g. Ruang tamu (Putra dan putri)

h. Mini Market

i. Kantin dan Koperasi ( Putra dan putri )

B. Hasil Penelitian

1. Karakteristik Responden.

Penelitian ini dilaksanakn di Pondok Pesantren An-Nur Ngrukem, Bantul

dengan jumlah responden penelitian yaitu 84 orang (42 orang termasuk kasus dan

42 orang masuk dalam kategori kontrol). Pembahasan karakteristik responden di-

gunakan untuk mengetahui gambaran umum responden yang dilihat berdasarkan


71

umur dan kelas pada santri putra di Pondok Pesantren An-Nur Ngrukem, Bantul.

a. Karakteristik Responden Berdasarkan Umur

Hasil penelitian didapatkan distribusi responden bersadarkan umur yang

dapat dilihat pada table 4.1 dibawah ini :

Tabel 4.1
Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Umur Santri Putra di Pon-
dok Pesantren An-Nur Ngrukem, Bantul Tahun 2020

Umur Skabies Total


Kasus   Kontrol      
n % n % n %
13-14 Tahun 20 47.6 32 76.2 52 61.9
15-16 Tahun 22 52.4 10 23.8 32 38.1
Total 42 100.0 42 100.0 84 100.0

Berdasarkan tabel 4.1 dapat diketahui bahwa karaktekristik berdasarkan

umur responden pada kelompok kasus menunjukkan paling banyak berumur

antara 15-16 tahun yaitu 22 orang (52.4%) dan 13-14 tahun yaitu 20 orang

(47.6%). Sedangkan subjek kelompok kontrol menunjukkan paling banyak

berumur antara 13-14 tahun yaitu 32 orang (76.2%) dan 15-16 tahun yaitu 10

orang (23.8%).

b. Karakteristik Responden Berdasarkan Kelas

Hasil penelitian didapatkan distribusi responden bersadarkan kelas yang dapat

dilihat pada table 4.2 dibawah ini:

Tabel 4.2
Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Kelas Santri Putra di Pondok Pe-
santren An-Nur Ngrukem, Bantul Tahun 2020

Kelas Skabies Total


Kasus   Kontrol      
n % n % n %
72

8 SMP 30 71.4 20 47.6 50 59.5


9 SMP 12 28.6 22 52.4 34 40.5
Total 42 100.0 42 100.0 84 100.0

Berdasarkan tabel 4.2 dapat diketahui bahwa karaktekristik berdasarkan kelas

responden pada kelompok kasus menunjukkan paling banyak yaitu kelas 8 SMP

dengan 30 orang santri (71.4%) dan kelas 9 SMP yaitu 12 orang santri (28.6%).

Sedangkan subjek kelompok kontrol menunjukkan paling banyak yaitu pada kelas

9 SMP dengan jumlah 22 orang santri (52.4%) dan kelas 8 SMP sebanyak 20

orang (47.6%).

1. Hasil Univariat

a. Pengetahuan

Hasil penelitian didapatkan distribusi frekuensi pengetahuan

responden yaitu pda tabel 4.3 dibawah ini:

Tabel 4.3
Distribusi Frekuensi Pengetahuan Responden Berdasarkan Santri Putra di
Pondok Pesantren An-Nur Ngrukem, Bantul Tahun 2020

Pengetahuan Skabies Total


Kasus   Kontrol      
n % n % n %
Baik 15 53.7 24 57.1 39 46.4
Tidak baik 27 64.3 18 42.9 45 53.6
Total 42 100.0 42 100.0 84 100.0
73

Berdasarkan tabel 4.3 dapat diketahui bahwa pengetahuan responden di

tunjukkan dengan dua kategori baik dan tidak baik. Pada kelompok kasus

pengetahuan yang baik yaitu 15 orang (35.7%) dan responden yang memeiliki

pengetahuan tidak baik yaitu 24 orang (57.1%) sedangkan pada kelompok

kontrol responden yang memiliki pengetahuan baik yaitu 24 orang (57.1%) dan

responden dengan pengetahuan tidak baik yaitu 18 orang (42.9%).

b. Kebersihan pakaian

Hasil penelitian didapatkan distribusi frekuensi kebersihan pakaian

responden yaitu pda tabel 4.4 dibawah ini:

Tabel 4.4
Distribusi Frekuensi Kebersihan Pakaian Responden Berdasarkan Santri
Putra di Pondok Pesantren An-Nur Ngrukem, Bantul Tahun 2020

Kebersihan Pakaian Skabies Total


Kasus   Kontrol      
n % N % N %
Baik 0 0.0 7 16.7 7 8.3
Cukup 8 19.0 24 57.1 32 38.1
Kurang 34 81.0 11 26.2 45 53.6
Total 42 100.0 42 100.0 84 100.0

Berdasarkan tabel 4.4 dapat diketahui bahwa kebersihan pakaian responden

ditunjukkan dengan tiga kategori yaitu baik, cukup, dan kurang. Pada kelompok

kasus kebersihan pakaian yang baik yaitu 0 orang (0.0%), cukup yaitu 8 orang

(19.0%), dan responden yang memiliki kebersihan pakaian yang kurang yaitu 34

orang (81.0%). Sedangkan pada kelompok kontrol responden yang memiliki


74

kebersihan pakaian baik yaitu 7 orang (16.7%), cukup yaitu 24 orang (57.1%)

dan responden yang memiliki kebersihan pakaian yang kurang yaitu 11 orang

(26.2%).

c. Kebersihan Tempat Tidur dan Seprei

Hasil penelitian didapatkan distribusi frekuensi kebersihan tempat tidur

responden yaitu pda tabel 4.5 dibawah ini:

Tabel 4.5
Distribusi Frekuensi Kebersihan Tempat Tidur dan seprei Responden
Berdasarkan Santri Putra di Pondok Pesantren An-Nur Ngrukem,
Bantul Tahun 2020

Kebersihan Tempat Skabies Total


Tidur Kasus   Kontrol      
n % n % N %
Baik 2 4.8 4 9.5 6 7.1
Cukup 2 4.8 9 21.4 11 13.1
Kurang 38 90.5 29 69.0 67 79.8
Total 42 100.0 42 100.0 84 100.0

Berdasarkan tabel 4.5 dapat diketahui bahwa kebersihan tempat tidur dan

seprei responden ditunjukkan dengan tiga kategori yaitu baik, cukup, dan

kurang. Pada kelompok kasus kebersihan tempat tidur yang baik yaitu 2 orang

(4.8%), cukup yaitu 2 orang (4.8%), dan responden yang memiliki kebersihan

tempat tidur yang kurang yaitu 38 orang (90.5%). Sedangkan pada kelompok

kontrol responden yang memiliki kebersihan tempat tidur dengan kategori

baik yaitu 4 orang (9.5%), cukup yaitu 9 orang (21.4%) dan responden yang

memiliki kebersihan tempat tidur dengan kategori kurang yaitu 29 orang

(69.0%).

d. Kebersihan Tangan dan Kuku


75

Hasil penelitian didapatkan distribusi frekuensi kebersihan pakaian

responden yaitu pda tabel 4.6 dibawah ini:

Tabel 4.6
Distribusi Frekuensi Kebersihan Tangan dan Kuku Responden
Berdasarkan Santri Putra di Pondok Pesantren An-Nur Ngrukem,
Bantul Tahun 2020

Kebersihan Tangan Skabies Total


dan Kuku Kasus   Kontrol      
n % n % n %
Baik 11 26.2 27 64.3 38 45.2
Cukup 11 26.2 10 23.8 21 25.0
Kurang 20 47.6 5 11.9 25 29.8
Total 42 100.0 42 100.0 84 100.0

Berdasarkan tabel 4.6 dapat diketahui bahwa kebersihan tangan dan

kuku responden ditunjukkan dengan tiga kategori yaitu baik, cukup, dan

kurang. Pada kelompok kasus kebersihan tangan dan kuku dengan kategori

baik yaitu 11 orang (26.2%), cukup yaitu 11 orang (26.2%), dan responden

yang memiliki kebersihan tangan dan kuku dengan kategori kurang yaitu

20 orang (47.6%). Sedangkan pada kelompok kontrol responden yang

memiliki kebersihan tangan dan kuku dengan kategori baik yaitu 27 orang

(64.3%), cukup yaitu 10 orang (23.8%) dan responden yang memiliki

kebersihan tangan dan kuku dengan kategori kurang yaitu 5 orang (11.9%).

e. Kepadatan Hunian Kamar Tidur

Hasil penelitian didapatkan distribusi frekuensi kepadatan hunian

responden yaitu pda tabel 4.7 dibawah ini:

Tabel 4.7
76

Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Kepadatan Hunian Kamar


Santri Putra di Pondok Pesantren An-Nur Ngrukem, Bantul Tahun
2020

Kepadatan Hunian Skabies Total


Kasus   Kontrol      
N % N % n %
Memenuhi 5 11.9 23 54.8 28 33.3
Tidak Memenuhi 37 88.1 19 45.2 56 66.7
Total 42 100.0 42 100.0 84 100.0

Berdasarkan tabel 4.7 dapat diketahui bahwa kepadatan hunian kamar

tidur responden ditunjukkan dengan dua kategori yaitu memenuhi dan tidak

memenuhi. Pada kelompok kasus kepadatan yang memenuhi syarat yaitu 5

orang (11.9%), dan responden yang memiliki kepadatan hunian yang tidak

memenuhi yaitu 37 orang (88.1%). Sedangkan pada kelompok kontrol

responden yang kepadatan hunian memenuhi syarat yaitu 23 orang (54.8%

%) dan responden dengan kepadatan hunian yang tidak memenuhi syarat

yaitu 19 orang (45.2%).

2. Hasil Bivarit

a. Hubungan Pengetahuan dengan Kejadian Skabies pada Santri Putra di Pondok Pesantren

An-Nur Ngrukem, Bantul Tahun 2020.

Tabel 4.8
Hubungan Pengetahuan dengan Kejadian Skabies pada Santri Putra di Pondok
Pesantren An-Nur Ngrukem, Bantul Tahun 2020

Pengetahuan Skabies Total OR P


Kasus   Kontrol       (95% 0.079
CI)
n % n % n % 0,173
Baik 15 35.7 24 57.1 39 46.4 95%
77

CI:
0.173
-
1.003
Tidak baik 27 64.3 18 42.9 45 53.6  
Total 42 100.0 42 100.0 84 100.0

Berdasarkan tabel 4.8 dapat diketahui bahwa pengetahuan responden di tunjukkan

dengan dua kategori baik dan tidak baik. Pada kelompok kasus pengetahuan yang baik

yaitu 15 orang (35.7%) dan responden yang memeiliki pengetahuan tidak baik yaitu 27

orang (64.3%) sedangkan pada kelompok kontrol responden yang memiliki pengetahuan

baik yaitu 24 (57.1%) dan responden dengan pengetahuan tidak baik yaitu 18 orang

(42.9).

Berdasarkan hasil uji Chi-Square dengan tingkat signifikan 5% diperoleh hasil

person Chi-Square = 0.079 ( p value = 0.079 > α = 0.05) artinya tidak terdapat hubungan

pengetahuan dengan kejadian skabies pada santri putra di Pondok Pesantren An-Nur

Ngrukem, Bantul Tahun 2020. Dari hasil analisis Risk Estimatic didaptakan OR = 0.417

dengan interval batas bawah 0.173, batas atas 1.003 artinya santri putra yang memiliki

pengetahuan baik mempunyai resiko sebesar 0.471 kali lebih tinggi dari santri putra yang

pengetahuannya tidak baik.

b. Hubungan Kebersihan Pakaian dengan Kejadian Skabies pada Santri Putra di Pondok

Pesantren An-Nur Ngrukem, Bantul Tahun 2020.

Tabel 4.9
Hubungan Kebersihan Pakaian dengan Kejadian Skabies pada santri putra di
Pondok Pesantren An-Nur Ngrukem, Bantul Tahun 2020

Kebersihan Skabies Total P


Pakaian Kasus   Kontrol      
N % N % N % 0.000
Baik 0 0.0 7 16.7 7 8.3
Cukup 8 19.0 24 57.1 32 38.1
Kurang 34 81.0 11 26.2 45 53.6
Total 42 100.0 42 100.0 84 100.0
78

Berdasarkan tabel 4.9 dapat diketahui bahwa kebersihan pakaian responden

ditunjukkan dengan tiga kategori yaitu baik, cukup, dan kurang. Pada kelompok kasus

kebersihan pakaian yang baik yaitu 0 orang (0.0%), cukup yaitu 8 orang (19.0%), dan

responden yang memiliki kebersihan pakaian yang kurang yaitu 34 orang (81.0%).

Sedangkan pada kelompok kontrol responden yang memiliki kebersihan pakaian baik

yaitu 7 orang (16.7%), cukup yaitu 24 orang (57.1%) dan responden yang memiliki

kebersihan pakaian yang kurang yaitu 11 orang (26.2%).

Berdasarkan hasil uji Chi-Square dengan tingkat signifikan 5% diperoleh hasil

person Chi-Square = 0.008 (p value = 0.008 < α = 0.05) artinya terdapat hubungan

kebersihan pakaian dengan kejadian skaies pada santri putra di Pondok Pesantren An-Nur

Ngrukem, Bantul Tahun 2020.

c. Hubungan Tempat Tidur dan Seprei dengan Kejadian Skabies pada Santri

Putra di Pondok Pesantren An-Nur Ngrukem, Bantul Tahun 2020.

Tabel 4.10
Hubungan Kebersihan Tempat Tidur dan Seprei dengan Kejadian
Skabies pada santri putra di Pondok Pesantren An-Nur Ngrukem,
Bantul Tahun 2020.

Kebersihan Skabies Total P


Tempat Tidur Kasus   Kontrol      
n % n % n % 0.042
Baik 2 4.8 4 9.5 6 7.1
Cukup 2 4.8 9 21.4 11 13.1
Kurang 38 90.5 29 69.0 67 79.8
Total 42 100.0 42 100.0 84 100.0
79

Berdasarkan tabel 4.10 dapat diketahui bahwa kebersihan tempat tidur

dan seprei responden di tunjukkan dengan tiga kategori baik, cukup dan

kurang. Pada kelompok kasus kebersihan tempat tidur yang baik yaitu 2 orang

(4.8%), cukup 2 orang (4.8%) dan responden yang memeiliki kebersihan

tempat tidur yang kurang yaitu 38 orang (90.5%) sedangkan pada kelompok

kontrol responden yang memiliki kebersihan tempat tidur baik yaitu 4 orang

(9.5%), cukup 9 orang (21.4) dan responden dengan kebersihan kurang yaitu

29 orang (69.0%).

Berdasarkan hasil uji Chi-Square dengan tingkat signifikan 5%

diperoleh hasil person Chi-Square = 0.042 (p value = 0.042 < α = 0.05)

artinya terdapat hubungan kebersihan tempat tidur dan seprei dengan kejadian

skabies pada santri putra di Pondok Pesantren An-Nur Ngrukem, Bantul

Tahun 2020.

d. Hubungan Kebrsihan Tangan dan Kuku dengan Kejadian skabies pada

Santri Putra di Pondok Pesantren An-Nur Ngrukem, Bantul tahun 2020.

Tabel 4.11
Hubungan Kebersihan Tangan dan Kuku dengan Kejadian Skabies
pada santri putra di Pondok Pesantren An-Nur Ngrukem, Bantul
Tahun 2020

Kebersihan Skabies Total P


Tangan dan Kasus   Kontrol      
Kuku n % N % n % 0.000
Baik 11 26.2 27 64.3 38 45.2
Cukup 11 26.2 10 23.8 21 25.0
Kurang 20 47.6 5 11.9 25 29.8
Total 42 100.0 42 100.0 84 100.0
80

Berdasarkan tabel 4.11 dapat diketahui bahwa kebersihan tangan dan

kuku responden ditunjukkan dengan tiga kategori yaitu baik, cukup, dan

kurang. Pada kelompok kasus kebersihan tangan dan kuku yang baik yaitu

11 orang (26.2%), cukup yaitu 11 orang (26.2%), dan responden yang

memiliki kebersihan tangan dan kuku yang kurang yaitu 20 orang (47.6%).

Sedangkan pada kelompok kontrol responden yang memiliki kebersihan

tangan dan kuku baik yaitu 27 orang (64.3%), cukup yaitu 10 orang

(23.8%) dan responden yang memiliki kebersihan tangan dan kuku yang

kurang yaitu 5 orang (11.9%).

Berdasarkan hasil uji Chi-Square dengan tingkat signifikan 5%

diperoleh hasil person Chi-Square = 0.000 (p value = 0.000 < α = 0.05)

artinya terdapat hubungan kebersihan tangan dan kuku dengan kejadian

skaies pada santri putra di Pondok Pesantren An-Nur Ngrukem, Bantul

Tahun 2020.

e. Hubungan Kepadatan Hunian Kamar Tidur dengan Kejadian Skabies pada

Santri Putra di Pondok Pesantren An-Nur Ngrukem, Bantul Tahun 2020

Tabel 4.12
Hubungan Kepadatan Hunian Kamar Tidur seprei dengan Kejadian
Skabies pada santri putra di Pondok Pesantren An-Nur Ngrukem,
Bantul Tahun 2020

Kepadatan Skabies Total CI 95% p


Hunian Ka- Kasus   Kontrol       OR
mar Tidur 0.112
n % N % N % 95%CI:0. 0.000
0.037-
0.340
Memenuhi 5 11.9 23 54.8 28 33.3  
81

Tidak 37 88.1 19 45.2 56 66.7


Memenuhi
Total 42 100.0 42 100.0 84 100.0

Berdasarkan tabel 4.12 dapat diketahui bahwa kepadatan hunian

tempat tidur responden di tunjukkan dengan dua kategori memenuhi dan

tidak memenuhi. Pada kelompok kasus pengetahuan yang memenuhi yaitu

5 orang (11.9%) dan responden yang memeiliki kepadatan hunian kamar

tidur yang tidak memenuhi yaitu 37 orang (88.1%) sedangkan pada

kelompok kontrol responden yang memiliki kepadatan hunian kamar tidur

yang memenuhi yaitu 23 orang (54.8%) dan responden dengan kepadatan

hunian kamar tidur tidak memenuhi yaitu 19 orang (45.2%).

Berdasarkan hasil uji Chi-Square dengan tingkat signifikan 5%

diperoleh hasil person Chi-Square = 0.000 (p value= 0.000 < α = 0.05)

artinya terdapat hubungan kepadatan hunian kamar tidur dengan kejadian

skabies pada santri putra di Pondok Pesantren An-Nur Ngrukem, Bantul.

Dari hasil analisis Risk Estimatic didaptakan OR = 0.112 dengan interval

batas bawah 0.037, batas atas 0.340 artinya santri putra yang memeliki

kepadatan hunian kamar tidur yang memenuhi mempunyai resiko sebesar

0.112 kali lebih tinggi dari santri yang memiliki kepadatan hunian kamar

tidur yang tidak memenuhi syarat.

C. Pembahasan

1. Hubungan Pengetahuan dengan Kejadian Skabies pada Santri Putra di Pondok

Pesantren An-Nur Ngrukem, Bantul Tahun 2020.


82

Berdasarkan hasil perhitungan pada tingkat hubungan pengetahuan dengan

kejadian skabies dapat diketahui bahwa pengetahuan responden di tunjukkan

dengan dua kategori baik dan tidak baik. Pada kelompok kasus pengetahuan yang

baik yaitu 15 orang (35.7%) dan responden yang memeiliki pengetahuan tidak

baik yaitu 27 orang (64.3%) sedangkan pada kelompok kontrol responden yang

memiliki pengetahuan baik yaitu 24 orang (57.1%) dan responden dengan

pengetahuan tidak baik yaitu 18 orang (42.9).

Hasil uji Chi-Square dengan tingkat signifikan 5% diperoleh hasil person

Chi-Square = 0.079 (p value = 0.079 < α = 0.05) artinya tidak terdapat hubungan

pengetahuan dengan kejadian skabies pada santri putra di Pondok Pesantren An-

Nur Ngrukem, Bantul tahun 2020. Dari hasil analisis Risk Estimatic didaptakan

OR = 0.417 dengan interval batas bawah 0.173, batas atas 1.003, artinya santri

putra yang memiliki pengetahuan baik mempunyai resiko sebesar 0.471 kali lebih

tinggi dari santri putra yang pengetahuannya tidak baik.

Penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian Ridwan, dkk (2017) yaitu hasil

statistic uji chi-square p value = 0.301 > a=0,05 yang artinya tidak ada hubungan

antara pengetahuan dengan gejala penyakit skabies pada santri di Pondok

Pesantren Darul Muklisin Kota Kendari 2017. Hasil penelitian yang sama juga di

lakukan oleh Khoiriah (2018) yaitu hasil uji statistic uji chi-square p value =

0.391 > a= 0,05 yang artinya tidak ada hubungan antara pengetahuan dengan

kejadian skabies di Pondok Pesantren Darrurrahman Binaul Ummah Desa

Bawuran, Pleret, Bantul tahun 2018


83

Menurut Notoatmodjo (2014) dalam Wawan dan Dewi (2016) pengetahuan

adalah hal yang diketahui oleh orang atau responden terkait dengan sehat-sakit

atau Kesehatan, misalnya: tentang penyakit (penyebab, cara penularan, dan cara

pencegahan) gizi, sanitasi, pelayanan kesehatan, kesehatan lingkungan, kesehatan

keluarga, dan sebagainya. Berdasarkan hasil pengamatan survey awal yang telah

di lakukan di Pondok Pesantren An-Nur Ngrukem, Bantul, para santri sebagian

sudah memiliki tingkat pengetahuan baik tentang skabies di duga karena kejadian

skabies di Pondok Pesantren An-Nur sering terjadi sehingga mereka lebih ingin

mencari tau apa itu skabies, apa penyebabnya, dan bagaimana pencegahannya

namun walaupun dalam sisi pengetahui cukup baik tetapi masih saja tidak di

praktekan dalam kesehariannya.

2. Hubungan Kebersihan Pakaian dengan Kejadian Skabies pada Santri Putra di

Pondok Pesantren An-Nur Ngrukem, Bantul tahun 2020.

Hasil analisis dari hubungan kebersihan pakaian dengan kejadian skabies

pada santri putra dapat diketahui bahwa kebersihan pakaian responden

ditunjukkan dengan tiga kategori yaitu baik, cukup, dan kurang. Pada kelompok

kasus kebersihan pakaian yang baik yaitu 0 orang (0.0%), cukup yaitu 8 orang

(19.0%), dan responden yang memiliki kebersihan pakaian yang kurang yaitu 34

orang (81.0%). Sedangkan pada kelompok kontrol responden yang memiliki

kebersihan pakaian baik yaitu 7 orang (16.7%), cukup yaitu 24 orang (57.1%) dan

responden yang memiliki kebersihan pakaian yang kurang yaitu 11 orang

(26.2%).
84

Berdasarkan hasil uji Chi-Square dengan tingkat signifikan 5% diperoleh

hasil person Chi-Square = 0.008 (p value = 0.008 < α = 0.05) artinya terdapat

hubungan kebersihan pakaian dengan kejadian skaies pada santri putra di Pondok

Pesantren An-Nur Ngrukem, Bantul Tahun 2020.

Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian Imartha, dkk (2017)

yaitu hasil statistic uji chi-square p value = 0.046 < 0,05 yang artinya ada

hubungan antara pengetahuan dengan kejadian skabies di Pondok Pesantren

Jabal An-Nur Al-Islam Kecamatan Teluk Betung Barat Kota Bandar Lampung.

Hasil ini sejalan dengan penelitian Khairiah (2018) yaitu hasil uji

statistic uji chi-square p value = 0.043 < 0,05 yang artinya ada hubungan antara

kebersihan pakaian dengan kejadian skabies di Pondok Pesantren Binaul

Ummah Desa Bawuran, Pleret, Bantul tahun 2018.

Salah satu pencegahan skabies adalah dengan penata laksanaan secara

umum yaitu pada penderita skabies dianjurkan untuk menjaga kebersihan dan

mandi secara teratur setiap hari. Pakaian yang telah digunakan dicuci secara

teratur dan bila perlu direndam dengan air panas selain itu hindari untuk

bergantian pakaian dengan oranglain. Sudirman (2006) dalam Yuhanintyas

(2018). Di lihat dari hasil wawancara dan observasi oleh peneliti bahwasannya

hal yang mendasari adanya hubungan kejadian skabies dengan kebersihan

pakaian adalah masih banyaknya santri putra yang menggantungkan pakaian di

dalam kamar sehingga lembab dan mudah di masuki oleh jenis tungau,

seringnya bergantian pakaian antara santri putra dengan santri putra yang lain

sehingga memudahkan penularan terjadi walau tidak kontak langsung.


85

3. Hubungan Tempat Tidur dan Seprei dengan Kejadian Skabies pada Santri Putra di

Pondok Pesantren An-Nur Ngrukem, Bantul tahun 2020.

Penularan melalui kontak tidak langsung seperti melalui perlengkapan

tidur dapat di tunjukkan dengan tiga kategori baik, cukup dan kurang. Pada

kelompok kasus kebersihan tempat tidur yang baik yaitu 2 orang (4.8%), cukup 2

orang (4.8%) dan responden yang memeiliki kebersihan tempat tidur yang kurang

yaitu 38 orang (90.5%) sedangkan pada kelompok kontrol responden yang

memiliki kebersihan tempat tidur baik yaitu 4 orang (9.5%), cukup 9 orang (21.4)

dan responden dengan kebersihan kurang yaitu 29 orang (69.0%).

Berdasarkan hasil uji Chi-Square dengan tingkat signifikan 5% diperoleh

hasil person Chi-Square = 0.042 (p value = 0.042 < α = 0.05) artinya terdapat

hubungan kebersihan tempat tidur dan seprei dengan kejadian skabies pada santri

putra di Pondok Pesantren An-Nur Ngrukem, Bantul Tahun 2020.

Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian Pratiwi (2020) yaitu

hasil statistik uji chi-square p value = 0.031 < α 0,05 yang artinya ada hubungan

antara kebersihan tempat tidur dengan kejadian skabies pada santri perempuan di

Pondok Pesantren Abdu Rohman Kabupaten Lahat. Hasil yang sejalan lainnya

adalah penelitian Khairiah (2018) yaitu hasil uji statistic uji chi-square p value

= 0.021 < α 0,05 yang artinya ada hubungan antara kebersihan tempat tidur dan

seprei dengan kejadian skabies di Pondok Pesantren Binaul Ummah Desa

Bawuran, Pleret, Bantul tahun 2018.

Sesuai hasil wawancara dengan salah satu pengurus Pondok Pesantren

bahwasannya pihak Pondok Pesantren tidak menyediakan tempat tidur seperti


86

kasur, bantal, atau yang lainnya. Hal ini yang menjadi faktor pemicu adanya

hubungan kejadian skabies dengan kebersihan tempat tidur dan seprei karena

sebagian dari santri putra di Pondok Pesantren An-Nur Ngrukem tidak

menggunakan tempat tidur ataupun seprei pribadi tetapi hanya menggunakan

alas tidur dengan seadanya dan di gunakan secara bersama-sama dengan teman

satu kamar sehingga tidak ada sekat yang membatasi antar tempat tidur santri

putra dengan tempat tidur santri putra lainnya, setiap kamar di Pondok Pesantren

An-Nur di tempati 10-30 orang santri.

Perilaku santri yang tidak memiliki tempat tidur dan seprai pribadi

mempunyai resiko terkena penyakit skabies serta memudahkan penularannya.

Penularan melalui kontak tidak langsung seperti melalui perlengkapan tidur atau

handuk memegang peranan penting (Mahsyur, 2007) berdasarkan penelitian

Yudhaningthyas (2018)

4. Hubungan kebrsihan Tangan dan Kuku dengan Kejadian Skabies pada Santri

Putra di Pondok Pesantren An-Nur Ngrukem, Bantul Tahun 2020

Indonesia adalah negara yang sebagian besar masyarakatnya menggunakan

tangan untuk makan, bekerja, dan lainnya. Berdasarkan hasil uji statistik dapat

diketahui bahwa kebersihan tangan dan kuku responden ditunjukkan dengan tiga

kategori yaitu baik, cukup, dan kurang. Pada kelompok kasus kebersihan tangan

dan kuku yang baik yaitu 11 orang (26.2%), cukup yaitu 11 orang (26.2%), dan

responden yang memiliki kebersihan tangan dan kuku yang kurang yaitu 20 orang

(47.6%). Sedangkan pada kelompok kontrol responden yang memiliki kebersihan

tangan dan kuku baik yaitu 27 orang (64.3%), cukup yaitu 10 orang (23.8%) dan
87

responden yang memiliki kebersihan tangan dan kuku yang kurang yaitu 5 orang

(11.9%).

Berdasarkan hasil uji Chi-Square dengan tingkat signifikan 5% diperoleh

hasil person Chi-Square = 0.000 (p value = 0.000 < α = 0.05) artinya terdapat

hubungan kebersihan tangan dan kuku dengan kejadian skaies pada santri putra

di Pondok Pesantren An-Nur Ngrukem, Bantul Tahun 2020. Hasil ini sejalan

dengan penelitian Khairiah (2018) yaitu hasil uji statistic uji chi-square p value

= 0.010 < 0,05 yang artinya ada hubungan antara kebersihan tangan dan kuku

dengan kejadian skabies di Pondok Pesantren Binaul Ummah Desa Bawuran,

Pleret, Bantul tahun 2018 dan hasil penelitian lainnya yang di lakukan oleh

Afriani, (2017) menunjukkan hubungan yang signifikan antara kebersihan

tangan dan kuku dengan kejadian skabies di peroleh p value 0.006 < α 0.05

Seseorang dikatakan memeliki kebersihan diri baik apabila, orang

tersebut dapat menjaga kebersihan tubuhnya yang meliputi kebersihan kulit,

tangan dan kuku, dan kebersihan genitalia. (Imatha, dkk 2017) Indonesia adalah

negara yang sebagian besar masyarakatnya menggunakan tangan untuk makan,

menyiapkan pakaian makanan, bekerja, dan lainnya. Bagi penderita skabies akan

sangat mudah penyebaran penyakit ke tubuh yang lain. Oleh karena itu, butuh

perhatian ekstra untuk kebersihan tangan dan kuku sebelum dan sesudah

baeraktivitas. Salah satu yang harus diperhatikan adalah dengan memelihara

kuku agar tetap pendek, jangan memotong kuku terlalu pendek sehingga

mengenai kulit. (Yudhanintyas, 2018)


88

Di lihat dari hasil wawancara yang telah peneliti lakukan dengan salah

satu pengurus Pondok bahwasannya masih banyak santri putra yang tidak

melakukan kebersihan personal hygiene di area pondok salah satunya yaitu

masih banyaknya santri putra yang tidak melakukan cuci tangan terutama setelah

menggaruk ataupun melakukan aktivitas, pemeliharaan kuku yang kurang di

perhatikan sehingga dapat memicu adanya kejadian skabies pada santri putra,

maka dari itu hasil yang di peroleh setelah di lakukan perhitungan melalui SPSS

adalah adanya hubungan kebersihan tangan dan kuku dengan kejadian skabies

pad santri putra di Pondok Pesantren An-Nur Ngrukem, Bantul Tahun 2020.

5. Hubungan Kepadatan Hunian Kamar Tidur dn Sepri pada Santri Putra di Pondok

Pesantren An-Nur Ngrukem, Bantul Tahun 2020

Berdasarkan hasil perhitungan dengan menggunakan SPSS dapat diketahui

bahwa kepadatan hunian tempat tidur responden di tunjukkan dengan dua kategori

memenuhi dan tidak memenuhi. Pada kelompok kasus pengetahuan yang

memenuhi yaitu 5 orang (11.9%) dan responden yang memeiliki kepadatan hunian

kamar tidur yang tidak memenuhi yaitu 37 orang (88.1%) sedangkan pada

kelompok kontrol responden yang memiliki kepadatan hunian kamar tidur yang

memenuhi yaitu 23 orang (54.8%) dan responden dengan kepadatan hunian kamar

tidur tidak memenuhi yaitu 19 orang (45.2%).

Berdasarkan hasil uji Chi-Square dengan tingkat signifikan 5% diperoleh

hasil person Chi-Square = 0.000 (p value = 0.000 < α = 0.05) artinya terdapat

hubungan kepadatan hunian kamar tidur dengan kejadian skabies pada santri putra

di Pondok Pesantren An-Nur Ngrukem, Bantul Tahun 2020. Dari hasil analisis
89

Risk Estimatic didaptakan OR = 0.112 dengan interval batas bawah 0.037, batas

atas 0.340 artinya santri putra yang memiliki kepadatan hunian kamar tidur yang

memenuhi syarat mempunyai resiko sebesar 0.112 kali lebih tinggi dari santri

yang memiliki kepadatan hunian kamar tidur yang tidak memenuhi syarat.

Hasil ini sejalan dengan penelitian Khairiah (2018) yaitu hasil uji

statistic uji chi-square p value = 0.019 < α 0,05 yang artinya ada hubungan

antara kepadatan hunian kamar tidur dan seprei dengan kejadian skabies di

Pondok Pesantren Binaul Ummah Desa Bawuran, Pleret, Bantul tahun 2018.

Hasil ini sejalan dengan penelitian Pratiwi (2020) yaitu hasil uji statistic uji chi-

square p value = 0.044 < α 0,05 yang artinya ada hubungan antara kepadatan

hunian kamar tidur dan seprei dengan kejadian skabies pada santri perempuan di

Pondok Pesantren Abdur Rohman Kabupaten Lahat.

Menurut DepKes RI (2016) Kepadatan hunian dilihat dari kepadatan

hunian ruang tidur yaitu luas ruang tidur minimal 8m dan tidak dianjurkan lebih

dari dua orang dalam satu ruangan tidur. Bersarkan pengamatan hasil observasi

langsung mengenai variabel kepadatan hunian di beberapa gedung yang di

tempati santri putra kelas 8 dan 9 SMP pondok pesantren An-Nur Ngrukem,

Bantul dapat dikatakan tidak memenuhi syarat kesehatan hal ini karena

kebanyakan dari santri putra yang tidak memiliki tempat tidur sendiri sehingga

tidur berdempetan dan masing-masing hunian terdiri dari 10-30 orang dalam

satu ruangan keadaan kamar yang banyak dengan pakaian bergantungan dimana-

mana yang menyebabkan kondisi ruangan lembab dan pengap, karena lembab
90

inilah dapat menyebabkan tungau tumbuh subur dan berkembang biak. Hal ini

juga yang menyebabkan banyak santri yang terkena skabies.

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN


91

A. Kesimpulan

Penelitian terhadap 84 responden yang terdiri dari 42 orang untuk kasus

dan 42 orang untuk kontrol di Pondok Pesantren An-Nur Ngrukem, Bantul tahun

2020 maka dapat disimpulkan sebagai berikut:

1. Tidak terdapat hubungan pengetahuan dengan kejadian skabies pada santri

putra di Pondok Pesantren An-Nur Ngrukem, Bantul Tahun 2020. Dari hasil

analisis Risk Estimatic didaptakan OR = 0.417 dengan interval batas bawah

0.173, batas atas 1.003, artinya santri putra yang memiliki pengetahuan baik

mempunyai resiko sebesar 0.471 kali lebih tinggi dari santri putra yang

pengetahuannya tidak baik.

2. Terdapat hubungan kebersihan pakaian dengan kejadian skabies pada santri

putra di Pondok Pesantren An-Nur Ngrukem, Bantul Tahun 2020

3. Terdapat hubungan kebersihan tangan dan kuku dengan kejadian skabies pada

santri putra di Pondok Pesantren An-Nur Ngrukem, Bantul Tahun 2020

4. Terdapat hubungan kebersihan tempat tidur dan seprei dengan kejadian

skabies pada santri putra di Pondok Pesantren An-Nur Ngrukem, Bantul

Tahun 2020

5. Terdapat hubungan kepadatan hunian kamar tidur dengan kejadian skabies

pada santri putra di Pondok Pesantren An-Nur Ngrukem, Bantul Tahun 2020.

Dari hasil analisis Risk Estimatic didaptakan OR = 0.112 dengan interval

batas bawah 0.037, batas atas 0.340 artinya santri putra yang memiliki

kepadatan hunian kamar tidur yang memenuhi syarat mempunyai resiko

sebesar 0.112 kali lebih tinggi dari santri yang tidak memenuhi syarat.
92

B. Saran

1. Bagi pengurus posketren pondok pesantren An-Nur Ngrukem, Bantul.

Harapan dengan adanya penelitian ini pondok pesantren lebih bisa

mencegah terjadinya skabies salah satunya dengan memberikan penyuluhan

secara rutin tentang skabies baik penyebarannya atau cara pengobatannya

yang dapat dilakukan oleh perorangan ataupun secara kelompok sehingga

santri khususnya santri putra akan sadar akan kebersihan personal hygiene,

sanitasi lingkungan yang seperti apa yang dapat menyebabkan kejadian

skabies di lingkungan pondok.

2. Bagi Santri Putra Pondok Pesantren An-Nur Ngrukem, Bantul.

Santri putra perlu meningkatkan terutama kebersihan diri atau kebersihan

personal hygiene dan sanitasi lingkungan agar dapat mencegah terjadinya

skabies di lingkungan pondok pesantren

3. Bagi Peneliti

Harapan dengan adanya penulisan tugas akhir ini akan menjadi salah satu

tambahan ilmu yang dapat di manfaatkan di masa yang akan datang serta

berguna bagi banyak orang di sekitar peneliti.

4. Bagi Puskesmas Sewon I

Saran bagi petugas kesehatan untuk lebih memperhatikan dengan

memberikan sosialisasi untuk santri yang berada wilayah di Pondok

Pesantren tentang penyakit kulit termasuk penyakit skabies yang sering di

alami oleh sebagian besar santri karena kurangnya pengetahuan, dengn


93

adanya sosialisasi di harapkan angka kejadian skabies bisa berkurang di

Pondok Pesantren.

5. Bagi Peneliti Selanjutnya

Bagi peneliti selanjutnya yang ingin melakukan penelitian tentang

kejadian skabies dengan cara kombinasi antara kuantitatif dan kualitatif,

mengubah desain penelitian, atau bisa juga dengan merubah instrument

penelitian dari kuesioner menjadi wawancara, sehingga akan di dapatkan

informasi yang lebih mendalam.

You might also like