Download as docx, pdf, or txt
Download as docx, pdf, or txt
You are on page 1of 3

BELAJAR DARI KARYA SASTRA MENGHADAPI PANDEMI

Lebih dari setahun pandemi covid-19 membawa begitu banyak penderitaan bagi masyarakat.
Korban sudah demikian banyak, yang berimbas pada melemahnya perekonomian global. Berbagai cara
penanggulangan telah dilakukan, namun angka korban yang terjangkit tak juga turun. Parahnya lagi, tak
seorangpun yang bisa memastikan kapan pandemi ini akan berakhir. Ya, pandemi ini telah mengubah
dunia. Kita kemudian mengenal apa yang disebut dengan social distancing dan juga Work From Home
(WFH).
Dalam suasana seperti ini, wajar seorang Sapardi Djoko Damono sebelum wafatnya sempat
memposting kalimat penyemangat di Instagramnya dengan ujaran, ‘’Imajinasi tidak bisa dikurung’’ yang
menjelaskan bahwa pandemi bukanlah penghalang untuk tetap berkarya. Gayung bersambut, karya sastra
bertema pandemi covid ramai bermunculan di masa ini. Beberapa bisa disebut diantaranya Said
Muniruddin menggubah puisi bertajuk `Bubarnya Agama`yang kemudian viral dimedsos dengan judul
yang entah bagaimana berubah menjadi Tuhan Mengajarkan Melalui Corona. Lucunya lagi, nama
pengarangnya berubah pula. Mustofa Bisri alias Gus Mus,ulama yang juga budayawan terkenal itu
dicantumkan sebagai pengarangnya.
Tengsoe Tjahyono juga menerbitkan kumpulan cerita pendek (cerpen) pentigraf alias tiga
paragraph karya berbagai penulis yang tergabung dalam kelompok bernama Kampung Pentigraf
Indonesia. Judul-judul cerpen yang dihimpun sangat kentara terkait dengan pandemi. Sebut saja
‘Pagebluk’, ‘Korina dan Korona’, `Pakai Masker’ dan lain-lain.. Belum lagi berbagai buku antologi puisi
yang bersajak dengan tema serupa ikut meramaikan kasanah sastra masa korona.
Pandemi covid 19 sebagai sebuah fenomena dunia akhir-akhir ini sebenarnya sudah dinarasikan
dalam berbagai karya sastra jauh sebelumnya. Memang tidak persis sama penamaannya, namun jenis
penyakit dan akibat dahsyat yang ditimbulkan tidak jauh dari apa yang bisa disaksikan saat ini.
Tidak hanya Indonesia, kesusateraan Barat telah sejak lama mencatatkan sejumlah karya untuk
ini. Mulai dari sastra klasik sampai kontemporer. Mulai dari Illiad karya Homer ribuan tahun lalu,
Decameron karya Boccaccio hingga The Stand karya Stephen King adalah beberapa yang paling terkenal.
Semua literatur pandemi ini melukiskan suasana kesedihan dan kehilangan yang luar biasa disertai
konklusi tentang penyebabnya. Namun tidak hanya itu, para pengarangnya juga menawarkan solusi untuk
lepas dari wabah yang sedang bergolak.
Homer dalam Iliad, berkisah tentang wabah yang menggilas kamp Yunani di Troya sebagai
hukuman kepada mereka akibat perbudakan Chryseis oleh Agamemnon. Seorang akademisi AS Daniel R
Blickman berpendapat bahwa drama ini mestinya membuka mata kita pada fakta bahwa wabah akan
mengubah dan mengatur pola kehidupan dan iktan etika yang ada. Dengan kata lain, The Iliad
menyajikan framing naratif bencana yang terjadi akibat dari perilaku buruk dari semua karakter yang
terlibat.
Giovanni Boccaccio dalam The Decameron (1353) juga mengungkapkan peran penting
mendongeng di saat bencana. Dikisahkan ada sepuluh orang yang mengasingkan diri di sebuah vila di
luar Florence selama dua minggu pada saat Eropa luluh lantak akibat pandemi akibat Black Death.
Selama isolasi ini mereka bergiliran bercerita mengenai kisah dengan tema tentang kekuasaan, politik,
cinta, masalah seksual, moralitas dan perdagangan.
Yang paling menarik adalah ide bahwa mendongeng dapat berfungsi sebagai metode untuk
mendiskusikan struktur dan interaksi sosial selama masa-masa awal kebangkitan sebuah bangsa.Tak
kurang, kisah ini sekaligus menawarkan sebuah cara alternatif untuk merestrukturisasi kehidupan sehari-
hari dari kondisi "normal", ke kondisi darurat akibat pandemi. Dari sini dapat kita lihat kemiripan dengan
kondisi dunia saat ini.
Persoalan kemunculan wabah, implikasi serius yang timbul, salah satunya adalah isolasi, dapat
kita temukan di novel The Plague (1942) karya Albert Camus. Bahkan, kegagalan negara untuk
mengendalikan wabah sekaligus kepanikan akibat ketidakpastian menjadi pesan penting disini.. Tindakan
`mengasingkan` diri karena kecemasan saat kontak dengan sesama yang terjadi pada warga kota Oran,
Aljazair dalam novel ini barangkali bisa kita samakan dengan pengertian `isolasi mandiri` saat ini.
Selama ribuan tahun, ada pola perilaku yang konsisten selama epidemi berlangsung. Yaitu:
penimbunan, kepanikan, ketakutan, saling menyalahkan, merajalelanya takhayul, keegoisan,
kepahlawanan dan banyaknya jumlah kematian yang dilaporkan, serta kebosanan selama karantina.
Pelajaran utama dari berbagai literatur tentang wabah adalah bagaimana manusia merespons krisis.
Dari beberapa penjelasan diatas dapat kita simpulkan bahwa sastra memiliki peran penting dalam
membingkai tanggapan kita terhadap pandemi Covid-19. Narasi-narasi ini memberi kita kesempatan
untuk memikirkan bagaimana krisis serupa telah diupayakan ditangani sebelumnya, juga gagasan tentang
bagaimana kita dapat menyusun masyarakat secara lebih adil setelahnya.
Pandemi memang menakutkan dan merugikan. Namun, harapan dan kemajuan senantiasa bisa
dilakukan. Maka, dalam situasi seperti ini menjadi momen yang tepat bagi Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan (Kemendikbud) untuk meluncurkan siniar (podcast) Sandiwara Sastra sebagai bentuk
inovasi dan bagian dari program Belajar dari Rumah.  Karya-karya sastra Indonesia dikenalkan sekaligus
dihidupkan Kembali dalam bentuk media audio. Melalui tokoh-tokoh dalam karya sastra, masyarakat
dapat mengenal lebih dekat sifat kemanusiaan.
Patut kita simak sambutan Mendikbud, Nadiem Makarim, “Seperti sekarang ini, pandemi
memberi waktu bagi kita memetik makna dan belajar menjadi manusia kuat yang mampu menyosong
masa depan, Sandiwara Sastra bukan hanya menjadi sebuah karya seni dan inovasi. Lebih dari itu, ini
adalah jalan untuk mengangkat literasi”.

Pada akhirnya, pandemi covid ini pasti akan berlalu. Mungkin akan ada juga pandemi berikutnya.
Namun, kehidupan akan terus berlanjut. Tetaplah semangat melewati masa sulit ini.Yakinlah bahwa kita
akan tetap menjalani kehidupan ini sebagaimana adanya. Karya Sastra telah menunjukkan kita tentang
keberhasilan ini.

Sebagai penutup ada baiknya kita kutipkan sebuah puisi bertema covid-19, yang diambil dari
laman Kompas.com pada akhir tahun 2020 lalu dengan judul Belajar Sabar.

Kubuka jendela rumah// Pak becak pulang dari terminal// Seharian di sana membuatnya Lelah//
Tak ada yang menumpang barang seorang//Kubuka pintu rumah// Bu mlijo menawarkan sayur// Pasar
sudah tutup selama tiga bulan// Dagangannya tak laku barang seikat//
Kunyalakan lampu rumah//Tetangga sebelah meyapa// Ia baru saja memperingati 100 hari
kepergian anaknya// Seorang dokter muda kebanggaan kampung kami//
Tetiba kantong-kantong bansos datang// Bersama senyum ramah// Bersama kamera// Mereka meminta
kami untuk sabar// Sambil diam-diam mencuri beras di lumbung kami yang kosong.

Ditulis oleh Muhammad Suharto. Penulis adalah Dosen dan anggota Cendekiawan Bahasa dan sastra
(Cebastra)

You might also like