Download as docx, pdf, or txt
Download as docx, pdf, or txt
You are on page 1of 22

MAKALAH

HUTANG PIUTANG, KAFALAH,


RAHN, HIWALAH
Untuk memenuhi Mata Kuliah
PAI 2 (MUAMALAH)
Yang di ampu oleh bp Salis Irvan Fuadi, M .Pd.I.

Disusun Oleh kelompok 6


1. Ahmad Santoso
2. Khafabi
3. Makhfud Khusaeni
4. Misri Khulfaeni
5. Septiyana
6. Tatik Yulatifah

Program Studi Pendidikan Agama Islam (PAI)


FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN (FITK)
UNIVERSITAS SAINS AL QUR’AN (UNSIQ)
2019

1
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat ALLAH SWT yang telah memberikan rahmat dan
hidayahnya sehingga saya dapat menyelesaikan tugas makalah yang
berjudulhutang piutang, kafalah, rahn, dan hiwalah.

Adapun tujuan dari penulisan dari makalah ini adalah untuk memenuhi
tugas bpk Salis Irvan Fuadi,M.Pd.I pada mata kuliah muamalah. Selain itu,
makalh ini juga bertujuan untuk menambah wawasan tentang hutang piutang,
kafalah, rahn, dan hiwalah bagi para pembaca dan juga bagi penulis.

Saya mengucapkan terima kasih kepada bpk Salis Irvan Fuadi,M.Pd.I


selaku dosen Pendidikan Agama Islam (muamalah) yang telah memberikan tugas
ini sehingga tugas ini dapat menambah pengetahuan dan wawasan sesuai dengan
bidang studi yang saya pelajari.

Saya juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah
membagi sebagian pengetahuannya sehingga saya dapat menyelesaikan makalah
ini.

Saya menyadari makalah yang saya tulis ini masih jauh dari kata
sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun akan saya nantikan
demi kesempurnaan makalah ini.

Wonosobo, 12 September 2019

Penulis

2
Hutang Piutang,Kafalah,Rahn, Hawalah

KATA PENGANTAR.............................................................................................1
DAFTAR ISI............................................................................................................2

BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang....................................................................................................3
B. Rumusan Masalah...............................................................................................3
C. Tujuan Penulisan.................................................................................................3

BAB II PEMBAHASAN
A. Hutang Piutang dan Penjelasannya.....................................................................4
B. Kafalah dan Penjelasannya..................................................................................8
C. Rahn dan Penjelasannya....................................................................................11
D. Hiwalah dan Penjelasannya...............................................................................16

BAB III PENUTUP


A. Kesimpulan........................................................................................................20
B. Kritik..................................................................................................................20
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................21

3
BAB I

PENDAHULUAN

A.Latar Belakang

Didalam agama Islam untuk mengatur segala ibadah, baik ibadah Maqdoh
atauGhoiru Maqdoh, para ulama merujuk kepada suatu bidang ilmu yang kita
sebut dengan Ilmu Fiqh.Didalam Ilmu Fiqh banyak diatur tata cara dan segala
aturan tentang Muamalah, termasuk hutang piutang,kafalah,rahn,hiwalah yang
hukum-hukum tersebut merujuk juga kepada Al-Qur’an dan Hadits.

Sebab di antara mereka ada yang membutuhkan dan ada pula yang
dibutuhkan. Dalam kehidupan sehari-hari ini, kebanyakan manusia tidak terlepas
dari yang namanya hutang Demikianlah keadaan manusia sebagaimana Allah
tetapkan, ada yang dilapangkan rezekinya hingga berlimpah ruah dan ada pula
yang dipersempit rezekinya, tidak dapat mencukupi kebutuhan pokoknya
sehingga mendorongnya dengan terpaksa untuk berhutang atau mencari pinjaman
dari orang-orang yang dipandang mampu dan bersedia memberinya pinjaman.

B.Rumusan Masalah

1. Apakah pengertiannya?

2. Apakah Hukumnya?

3. Apakah Rukun dan Syaratnya?

C.Tujuan

1. Untuk memenuhi tugas perkuliahan  dan bahan diskusi.

2. Untuk mengetahui Pengertian dan hukum dari  hutang piutang.

4
3. Untuk lebih memahami tentang permasalahan tersebut dan hal-hal yang
berkaitan dengannya

. BAB II
PEMBAHASAN
A. HUTANG PIUTANG
1.Pengertian Hutang Piutang
Utang piutang adalah memberikan sesuatu kepada seseorang dengan
perjanjian b ahwa dia akan mengembalikan sesuatun yang diterimannya dalam
jangka waktu yang disepakati. Utang piutang tersebut disebut dengan dain (‫)دين‬
istilah ini juga sangat terkait dengan istilah qard (‫ )قرض‬yang dalam bahasa
indonesia dikenal dengan pinjaman.
2. Hukum dan Dalil Hutang
Hukum memberi hutang fleksibel tergantung situasi dan kondisi,yaitu;
a. Hukum orang yang berhutang adalah mubah (boleh) sedangkan orang yang
memberikan hutang hukumnya sunah sebab ia termasuk orang yang
menolong sesamannya.
b. Hukum orang yang berhutang menjadi sunah dan hukum orang yang
menghutangi menjadi wajib jika peminjam itu benar-benar dalam keadaan
terdesak, misalnya hutang beras bagi orang yang kelaparan, hutang uang
untuk biaya pengobatan dan lain sebagainya. Maka rasulullah SAW
bersabda:
َ ‫َما ِم ْن ُم ْسلِ ٍم يُضْ ِرضُ ُم ْسلِ ًما قَرْ ضًا َم َّرتَ ْي ِن ِإالَّ َكانَ َك‬
‫(رواه ابن ماجه‬ ً‫ص َدقَتِهَا َم َّرة‬
Artinya: “Tidak ada seorang muslim yang memberi pinjaman kepada
seorang muslim dua kali kecuali seolah-olah dia telah bersedekah
kepadanya dua kali”. (HR. Ibnu Majah).
Adapun yang menjadi dasar hutang piutang dapat dilihat pada ketentuan
Al-Qur’an dan Hadis dalam Al-Qur’an terdapat dalam surat Al-Maidah ayat 2
yang berbunyi:
‫ان َواتَّقُوا هَّللا َ ِإ َّن هَّللا َ َش ِدي ُد ْال ِعقَاب‬
ِ ‫َواَل تَ َعا َونُوا َعلَى اِإْل ْث ِم َو ْال ُع ْد َو‬

5
Artinya: “Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan
taqwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan
pelanggaran”. (QS.Al-Maidah).
Dalam hutang piutang dilarang memberikan syarat dalam
mengembalikan hutang. Contoh Fatimah mengutangi Ahmad Rp.100.000,
dalam waktu 3 bulan Ahmad harus mengembalikan hutangnya menjadi
Rp.110.000,. Tambahan ini termasuk riba (tidak halal). Tetapi jika tambahan
ini tidak disyaratkan waktu akad tetapi sukarela dari peminjam sebagai bentuk
terima kasih, maka hal ini tidak termasuk riba bahkan dianjurkan.
Rasulullah SAW bersabda:
‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم ِسنًا فَا َ ْعطَى ِسنًا خَ ْيرًا ِم ْن ُسنَّ ِة َوقَا َل ِخيَا ُر ُك ْم‬ َ ‫ اِ ْستَ ْق َر‬: ‫ال‬
َ ِ‫ض َرسُوْ ُل هللا‬ َ َ‫ع َْن اَبِي هُ َر ْي َرةَ ق‬
َ َ‫اَ َحا ِسنُ ُك ْم ق‬
‫﴿ﺮﻮﺍﻩﺍﺤﻤﺪ ﻮﺍﻠﺘﺭﻤﻴﻧﻯ ﻮﺼﺤﺤﻪ‬ ‫ضا ًء‬
Artinya: “Dari Abu Hurairah ia berkata: Rasulullah SAW telah berhutang
binatang ternak , kemudian beliau membayar dengan binatang yang lebih
besar umurnya dari binatang yang beliau pinjam itu, dan Rasulullah
bersabda: Orang yang paling baik diantara kamu adalah orang yang dapat
membayar hutangnya dengan yang lebih baik”. (HR. Ahmad Tirmidzi dan
telah menshohehkanya).
3. Beberapa Ketentuan dalam Hutang Piutang
Dalam kehidupan bermasyarakat sering terjadi pertikaan antar warga.
Salah satu penyebabnya adalah kurangnya pemahaman mereka tentang
ketentuan utang piutang yang seharusnya. Untuk menghindari perselisihan
yang tidak diinginkan, maka kedua belah pihak perlu memperhatikan hal-hal
sebagai berikut:
a. Hutang piutang harus ditulis dan dipersaksikan. Dalilnya firman Allah
SWT:

‫يَا َأيُّهَا الَّ ِذينَ آ َمنُوا ِإ َذا تَدَايَ ْنتُ ْم بِ َدي ٍْن ِإلَى َأ َج ٍل ُم َس ّمًى فَا ْكتُبُوهُ َو ْليَ ْكتُبْ بَ ْينَ ُك ْم َكاتِبٌ بِ ْال َع ْد ِل‬ 
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu’amalah
tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu

6
menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu
menuliskannya dengan benar.”. (QS. Al-Baqarah: 282).
b. Pemberi hutang atau pinjaman tidak boleh mengambil keuntungan atau
manfaat dari orang yang berhutang. Kaidah fikihnya berbunyi:
ُ‫ض َج َّر نَ ْفعًا فَهُ َو ِربًا‬
ٍ ْ‫لُّ قَر‬
Artinya: “Setiap hutang yang membawa keuntungan, maka hukumnya
riba”. 
Hal ini terjadi jika salah satunya mensyaratkan atau menjanjikan
penambahan.
c. Melunasi hutang dengan cara yang baik.Hal ini sebagaimana hadis berikut
ini:
‫ع َْن َأبِى هُ َر ْي َرةَ – رضى هللا عنه – قَا َل َكانَ لِ َر ُج ٍل َعلَى النَّبِ ِّى – صلى هللا عليه وسلم – ِس ٌّن ِمنَ اِإل بِ ِل‬
. ‫ فَلَ ْم يَ ِجدُوا لَهُ ِإالَّ ِسنًّا فَوْ قَهَا‬، ُ‫ فَطَلَبُوا ِسنَّه‬. » ُ‫اضاهُ فَقَا َل – صلى هللا عليه وسلم – « َأ ْعطُوه‬
َ َ‫فَ َجا َءهُ يَتَق‬
‫ قَا َل النَّبِ ُّى – صلى هللا عليه وسلم – « ِإ َّن ِخيَا َر ُك ْم َأحْ َسنُ ُك ْم‬. ‫ك‬
َ ِ‫ َوفَّى هَّللا ُ ب‬، ‫ فَقَا َل َأوْ فَ ْيتَنِى‬. » ُ‫فَقَا َل « َأ ْعطُوه‬
َ َ‫» ق‬
‫ضا ًء‬

Dari Abu Hurairah ra., ia berkata: “Nabi mempunyai hutang kepada


seseorang, (yaitu) seekor unta dengan usia tertentu. Orang itupun datang
menagihnya. (Maka) beliaupun berkata, “Berikan kepadanya” kemudian
mereka mencari yang seusia dengan untanya, akan tetapi mereka tidak
menemukan kecuali yang lebih berumur dari untanya. Nabi (pun)
berkata: “Berikan kepadanya”, Dia pun menjawab, “Engkau telah
menunaikannya dengan lebih. Semoga Allah swt.membalas dengan
setimpal”. Maka Nabi saw. bersabda, “Sebaik-baik kalian adalah orang
yang paling baik dalam pengembalian (hutang)”.(HR. Bukhori).
d. Berhutang dengan niat baik dan akan melunasinya
َ ‫ع َْن َأبِى هُ َر ْي َرةَ – رضى هللا عنه – َع ِن النَّبِ ِّى – صلى هللا عليه وسلم – قَا َل « َم ْن َأخَ َذ َأ ْم َو‬
ِ َّ‫ال الن‬
... ‫اس‬
ُ ‫ َو َم ْن َأ َخ َذ ي ُِري ُد ِإ ْتالَفَهَا َأ ْتلَفَهُ هَّللا‬، ُ‫» ي ُِري ُد َأدَا َءهَا َأ َّدى هَّللا ُ َع ْنه‬

Dari Abu Hurairah ra., ia berkata bahwa Nabi saw. bersabda:


“Barangsiapa yang mengambil harta orang lain (berhutang) dengan

7
tujuan untuk membayarnya (mengembalikannya), maka Allah akan
tunaikan untuknya. Dan barangsiapa mengambilnya untuk
menghabiskannya (tidak melunasinya, pent), maka Allah akan
membinasakannya”. (HR. Bukhari).

e. Tidak berhutang kecuali dalam keadaan darurat atau mendesak.


Maksudnya kondisi yang tidak mungkin lagi baginya mencari jalan selain
berhutang sementara keadaan sngat mendesak, jika tidak akan kelaparan
atau sakit yang mengantarkanya kepada kematian atau semisalnya.
f. Jika terjadi keterlambatan karena kesulitan keuangan, hendaklah orang
yang berhutang memberitahukan kepada orang yang memberikan
pinjaman.Karena hal ini termasuk bagian dari menunaikan hak yang
menghutangkan. Janganlah berdiam diri atau lari dari sipemberi pinjaman,
karena akan memperparah keadaan, dan merubah hutang yang awalnya
sebagai wujud kasih sayang berubah menjadi permusuhan dan perpecahan.
g. Bersegera melunasi hutang.
Orang yang berhutang hendaknya ia berusaha melunasi hutangnya
sesegera mungkin tatkala ia telah memiliki kemampuan untuk
mengembalikan hutangnya itu. Sebab orang yang menunda-nunda
pelunasan hutang padahal ia telah mampu. Maka ia tergolong orang yang
berbuat dholim. Sebagaimana hadis berikut:
‫ط ُل ْال َغنِ ِّى‬ ْ ‫ال « َم‬َ َ‫ع َْن َأبِى هُ َر ْي َرةَ – رضى هللا عنه – َأ َّن َرسُو َل هَّللا ِ – صلى هللا عليه وسلم – ق‬
‫ فَِإ َذا ُأ ْتبِ َع َأ َح ُد ُك ْم َعلَى َملِ ٍّى فَ ْليَ ْتبَ ْع‬، ‫» ظُ ْل ٌم‬

Dari Abu Hurairah ra., bahwa Rasulullah saw. bersabda: “Memperlambat


pembayaran hutang yang dilakukan oleh orang kaya merupakan
perbuatan zhalim. Jika salah seorang kamu dialihkan kepada orang yang
mudah membayar hutang, maka hendaklah beralih (diterima pengalihan
tersebut)”. (HR. Bukhari Muslim).
h. Memberikan penangguhan waktu kepada orang yang sedang kesulitan
dalam melunasi hutangnya setelah jatuh tempo. Allah berfirman:

8
َ َ‫ َوِإ ْن َكانَ ُذو ُعس َْر ٍة فَنَ ِظ َرةٌ ِإلَى َم ْي َس َر ٍة َوَأ ْن ت‬ 
َ‫ص َّدقُوا َخ ْي ٌر لَ ُك ْم ِإ ْن ُك ْنتُ ْم تَ ْعلَ ُمون‬
Artinya: “Dan jika (orang yang berhutang itu) dalam kesukaran, Maka
berilah tangguh sampai dia berkelapangan. dan menyedekahkan
(sebagian atau semua utang) itu, lebih baik bagimu, jika kamu
Mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 280).

B. KAFALAH
1.Pengertian Kafalah
Secara etimologi, Al-kafalah berarti al-dhaman (jaminan),
hamalah(beban), za’amah (tanggungan).
Sedangkan secara terminologi, yang dimaksud dengan al-kafalah adalah
jaminan yang diberikan oleh penanggung (kafil) kepada pihak ketiga untuk
memenuhi kewajiban pihak kedua atau yang ditanggung. Dalam pengertian
lain, kafalah juga berarti mengalihkan tanggung jawab seseorang yang dijamin
dengan berpegang pada tanggung jawab orang lain sebagai penjamin.

2. Pendapat Ulama Tentang Kafalah


Pengertian al-kafalah menurut beberapa ulama adalah sebagai berikut:
a. Mazhab Hanafi
1)Menggabungkan dzimah dengan dzimah yang lain dalam penagihan,
dengan jiwa, utang, atau zat benda.
2)Menggabungkan dzimah kepada dzimah yang lain dalam pokok (asal)
utang.
b. Mahzab Maliki
“Orang yang mempunyai hak mengerjakan tanggungan pemberi beban serta
bebannya sendiri yang disatukan, baik  menanggung pekerjaan yang sesuai
(sama) maupun pekerjaan yang berbeda.”
c. Menurut Mahzab Hambali

9
“Iltizam sesuatu yang diwajibkan kepada orang lain serta kekekalan benda
tersebut yang dibebankan atau iltizam orang yang mempunyai hak
menghadirkan dua harta (pemiliknya) kepada orang yang mempunyai hak.”
d Mahzab Syafi’i
“Akad yang menetapkan iltizam hak yang tetap pada tanggungan (beban)
yang lain atau menghadirkan zat benda yang dibebankan atau menghadirkan
badan oleh orang yang berhak menghadirkannya.”
3. Dasar Hukum Kafalah
a. Al-Qur’an
Dasar hukum yang melandasi al-kafalah adalah QS. Yusuf: 72,
‫ك َولِ َمن َﺠﺂ َء بِ ِه ِح ْم ُل بَ ِعي ٍْر َوَأن َ۫ا بِ ِه زَ ِع ْي ٌم‬ ُ ‫قَالُوْ ا نَ ْفقِ ُد‬
ِ ِ‫ص َوا َع المل‬
Penyeru-penyeru itu berkata: “Kami kehilangan piala Raja, dan siapa yang
dapat mengembalikannya akan memperoleh bahan makanan (seberat) beban
unta, dan aku menjamin terhadapnya”.
Kata za’im yang berarti peminjam dalam surat yusuf tersebut
adalah gharim, yaitu orang yang bertanggung jawab atas pembayaran.
b. Al-Hadits
Dasar hukum kafalah pada ayat di atas dipertegas dalam hadits
Rasulullah,
َ َ‫ فَق‬... ‫صلَّى هللا َعلَ ْي ِه َو َسلَّ ْم ُأتِ َي بِ َجنَا َز ٍة‬
ُ‫ال هَلْ تَ َركَ َش ْيًئا قَالُوْ ا الَ قَا َل فَهَلْ َعلَ ْي ِه َدي ٌْن قَالُوْ ا ثَالَثَة‬ َ ‫َأ َّن النَّبِ ّي‬
‫صلَّى َعلَ ْي ِه‬
َ َ‫ي َد ْينُهُ¨ ف‬ َ َ‫صا ِحبِ ُك ْم قَا َل َأبُوْ قَتَا َدة‬
َّ َ‫صلِّ َعلَ ْي ِه يَا َرسُوْ َل هلل َو َعل‬ َ ‫صلُّوْ ا َعلَى‬ َ ‫َدنَانِ ْي َر قَا َل‬
Telah dihadapakan kepada Rasulullah saw. (mayat seorang laki-laki untuk
dishalatkan)… Rasulullah saw. bertanya “apakah dia mempunyai warisan?
Para sahabat menjawab, “tidak”.Rasulullah bertanya lagi,”apakah dia
mempunyai utang?” sahabat menjawab “ya, sejumlah tiga
dinar.”Rasulullah pun menyuruh para sahabat untuk menshalatkannya
(tetapi beliau sendiri tidak).Abu Qatadah lalu berkata, “saya menjamin
utangnya, ya Rasulullah.”Maka Rasulullah pun menshalatkan mayat
tersebut. (HR. Bukhari no. 2127, kitab al-Hawalah)

4. Rukun dan Syarat Kafalah

10
Menurut Madzhab Hanafi, rukun kafalah yaitu, ijab dan kabul. Sedangkan
menurut para ulama yang lain, rukun dan syarat kafalah adalah sebagai berikut:
a.Dhamin, kafil, atau za’im, yaitu orang yang menjamin, syaratnya ialah sudah
baligh, berakal, tidak dicegah membelanjakan hartanya (mahjur) dan
dilakukan dengan kehendaknya sendiri.
b.madmun lah disebut juga mafkul lah,  yaitu orang yang berpiutang, syaratnya
ialah dikenal oleh peminjam karena manusia tidak sama dalam hal tuntutan,
hal ini dilakukan demi kemudahan dan kedisiplinan.
c.Madmun ‘anhu  atau mafkul ‘anhu adalah orang yang berutang.
d.Madmun bih atau mafkul bih adalah utang, barang atau orang.
Disyaratkan mafkul dapat diketahui dan tetap keadaannya, baik sudah tetap
maupun akan tetap.
e.Lafadz, disyaratkan keadaan lafadz itu berarti menjamin, tidak digantungkan
kepada sesuatu dan tidak berarti sementara.
5. Jenis Kafalah
Kafalah dapat di golongkan menjadi 2 golongan besar yaitu :
a. Kafalah dengan jiwa, dikenal dengan  kafalah bi al-wajhi, yaitu adanya
keharusan pada pihak penjamin (al-kafil, al-dhamin atau  al-za’im) untuk
menghadirkan orang yang ia tanggung kepada yang ia janjikan tanggungan.
b. Kafalah dengan harta, yaitu kewajiban yang harus ditunaikan oleh dhamin
atau kafil dengan pembayaran (pemenuhan) berupa harta.
Dari kedua golongan besar di atas pada prakteknya dapat dibagi
menjadi beberapa jenis :
1) Kafalah bin-Nafs, merupakan akad memberikan jaminan atas diri. Sebagai
contoh, dalam praktik perbankan untuk bentuk kafalah bin-nafs adalah
seorang nasabah yang mendapat pembiayaan dengan jaminan nama baik dan
ketokohan seseorang atau pemuka masyarakat.
2) Kafalah bil-Mal: jaminan pembayaran barang atau pelunasan hutang.
Contohnya kasus hadits Rosul riwayat Bukhari di mana  Qatadah menjamin
hutang seorang sahabat.

11
3)Kafalah bit-Taslim: jaminan yang diberikan dalam rangka menjamin 
penyerahan atas barang yang disewa pada saat berakhirnya masa sewa
4) Kafalah al-Munjazah: jaminan yang diberikan secara mutlak tanpa adanya
pembatasan waktu tertentu.
5) Kafalah Muqayyadah/muallaqah, yaitu kafalah yang dibatasi waktunya,
sebulan, setahun, dsb.
6. Pelaksanaan Kafalah
Kafalah dapat dilaksanakan dengan tiga bentuk:
a) Munjaz (tanjiz) ialah tanggungan yang ditunaikan seketika, seperti seseorang
berkata “ saya tanggung si fulan dan saya jamin si fulan sekarang”.
b) Mu’allaq (ta’liq) adalah menjamin sesuatu dengan dikaitkan pada sesuatu, 
seperti seseorang berkata, “jika kamu mengutangkan pada anakku, maka
aku yang akan membayarnya”.
c)  Mu’aqqat (taukit) adalah tanggapan yang harus dibayar dengan dikaitkan
pada suatu waktu, seperti ucapan seseorang, “bila ditagih pada bulan
Ramadhan, maka aku yang menanggung utangmu”.

D. RAHN
1. Pengertian Rahn
Secara etimologi, gadai (al-rahn) berarti al-tsubut dan al-habs yaitu
penetapan dan penahanan.
Sedangkan secara terminologi, al-rahn adalah menahan salah satu harta
milik si peminjam sebagai jaminan atas pinjaman yang diterimanya.Barang
yang ditahan tersebut memiliki nilai ekonomis.Dengan demikian, pihak yang
menahan memperoleh jaminan untuk dapat mengambil kembali seluruh atau
sebagian piutangnya.Secara sederhana dapat dijelaskan bahwa rahn adalah
semacam jaminan utang atau gadai.

2. Pendapat Ulama Tentang Rahn

12
Beberapa  pandangan atau pendapat ulama fiqh mengenai pengertian gadai
(ar-rahn) di antaranya adalah:
a.Ulama Syafi’iyah: “Menjadikan suatu benda sebagai jaminan utang yang
dapat dijadikan pembayar ketika berhalangan dalam membayar utang.”
b.Ulama Malikiyah: “Harta yang dijadikan pemiliknya sebagai jaminan utang
yang bersifat mengikat.”
Menurut mereka, yang dijadikan barang jaminan bukan saja harta yang
bersifat materi, tetapi juga harta yang bersifat manfaat tertentu. Harta yang
dijadikan barang jaminan tidak harus diserahkan secara aktual, tetapi
penyerahannya boleh juga secara hukum, seperti menjadikan sawah sebagai
jaminan maka yang diserahkan itu adalah surat jaminannya (sertifikat sawah).
c.Ulama Hanabilah: “Harta yang dijadikan jaminan utang sebagai pembayar
harga (nilai) utang ketika yang berutang berhalangan (tak mampu) membayar
utangnya kepada pemberi pinjaman.”
d.Ulama Hanafiyah: “Menjadikan sesuatu (barang) sebagai  jaminan terhadap
hak (piutang) yang mungkin dijadikan sebagai pembayar hak (piutang)
tersebut, baik seluruhnya maupun sebagiannya.” 
3. Dasar Hukum Rahn
a. Al-Qur’an

َ‫ْض¨ا فَ ْليُ¨¨َؤ ِّد الَّ ِذى اْؤ تُ ِمن‬ َ ْ‫َوِإ ْن ُك ْنتُ ْم ع َٰلى َسفَ ٍر َولَ ْم تَ ِج ُدوْ ا َكاتِبًا فَ ِر ٰه ٌن َّم ْقبُو‬
ُ ‫ض¨ةٌ ۗ فَ¨ِإ ْن َأ ِمنَ بَع‬
ً ‫ْض¨ ُك ْم بَع‬
...ُ‫َأ َمانَتَه‬
“Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu'amalah tidak secara
tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, Maka
hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang
berpiutang)....”(QS. al-Baqarah: 283)
Ayat tersebut secara eksplisit menyebutkan “barang
tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang)”.Dalam dunia
finansial, barang tanggungan bisa dikenal sebgai jaminan (collateral)
atau objek pegadaian.
b. Al-Hadits

13
‫ي ِإلَى َأ َج¨ ٍل‬ ْ ‫ص¨لَّى هللا َعلَ ْي¨ ِه َو َس¨لَّ َم‬
ِّ ‫اش¨تَ َرى طَ َعا َم¨¨ا ِم ْن يَهُ¨¨و ِد‬ َّ ِ‫ضي هللا َع ْنهَا َأ َّن النَّب‬
َ ‫ي‬ ِ ‫ع َْن عَاِئ َشةَ َر‬
‫َو َرهَنَهُ ِدرْ عًا ِم ْن َح ِدي ٍ¨د‬
“Aisyah ra.berkata bahwa Rasulullah membeli makanan dari seorang
Yahudi dan menjaminkan kepadanya baju besi.” (HR. Bukhari no. 1926,
kitab al-Bayu, dan Muslim)
‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم ال َّر هْنُ يُ¨¨رْ َكبُ بِنَفَقَتِ¨ ِه ِإ َذا‬ ِ ‫ع َْن َأبِي هُر ْي َرةَ َر‬
َ ِ‫ضي هللا َع ْنه قَا َل قَا َل َرسُو ُل هللا‬
ُ‫َكانَ َمرْ هُونًا َو لَبَنُ ال َّد ِّر يُ ْش َربُ بِنَفَقَتِ ِه ِإ َذا َكانَ َمرْ هُونًا َو َعلَى الَّ ِذي يَرْ َكبُ َو يَ ْش َربُ النَّفَقَة‬
Abu Hurairah ra.berkata bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Apabila ada
ternak digadaikan, punggungnya boleh dinaiki (oleh orang yang menerima
gadai) karena ia telah mengeluarkan biaya (menjaga)nya. Apabila ternak
itu digadaikan, air susunya yang deras boleh diminum (oleh orang yang
menerima gadai) karena ia telah mengeluarka biaya (menjaga)nya. Kepada
orang yang naik dan minum, ia harus mengeluarkan biaya
perawatannya.” (HR. Jamaah kecuali Muslim dan Nasa’i, Bukhari no.
2329, kitab ar-Rahn).
4. Rukun dan Syarat Rahn
a. Rukun Rahn
1) Pelaku akad, yaitu rahin (yang menyerahkan barang),
dan murtahin (penerima barang);
2) Objek akad, yaitu marhun (barang jaminan) dan marhun
bih (pembiayaan); dan
3) Shighat, yaitu ijab dan qabui.
b. Syarat Rahn
1) Kedua belah pihak adalah orang yang sah melakukan tindakan hukum
seperti dalam jual beli. Dengan demikian, tidak sah orang gila atau anak
kecil melakukan peggadaian.
2) Barang yang digadaikan adalah sesuatu yang segera dapat
diterima/dikuasai oleh yang menerima gadai, bukan barang yang masih
dalam penguasaan orang lain.
3)Memenuhi ketentuan administrasi apabila aqad dilakukan dengan
pegadaian yang dikelola oleh pemerintah.

14
5. Pengambilan Manfaat Barang Gadai
Dalam pengambilan manfaat barang-barang yang digadaikan, para
ulama berbeda pendapat, di antaranya jumhur fuqaha dan Ahmad.
Jumhur Fuqaha berpendapat bahwa murtahin tidak boleh mengambil
manfaat barang gadaian tersebut, sekalipun rahin mengizinkannya, karena hal
ini termasuk kepada utang yang dapat menarik manfaat, sehingga bila
dimanfaatkan termasuk riba.
Rasul bersabda:
‫ض َج َّر َم ْنفَ َعةً فَهُ َو ِربًا‬
ٍ ْ‫ُكلُّ قَر‬
“Setiap utang yang menarik manfaat adalah termasuk riba.”(Riwayat
Harits bin Abi Usamah)
Menurut Imam Ahmad, Ishak, al-Laits, dan al-Hasan, jika barang
gadaian berupa kendaraan yang dapat dipergunakan atau binatang ternak yang
dapat diambil susunya, maka penerima gadai dapat mengambil manfaat dari
kedua benda gadai tersebut disesuaikan dengan biaya pemeliharaan yang
dikeluarkannya selama kendaraan atau binatang ternak itu ada padanya. Rasul
bersabda:
‫اَلظَّهْ¨ ُر يَ¨رْ َكبُ بِنَفَقَت اِ َذا َك¨انَ َمرْ هُوْ نً¨ا َو لَبْنُ ال¨ َّد ِّر ي ُْش¨ َربُ بِنَفَقَتِ¨ ِه اِ َذا َك¨انَ َمرْ هُوْ نً¨ا َو َعلَى الَّ ِذى‬
َ‫يَرْ َكبُ َو يَ ْش َربُ النَّفَقَة‬
“Binatang tunggangan yang tergadai boleh ditunggangi karena
pembiayaannya, dan suatu binatang yang tergadai boleh diambil susunya untuk
diminum karena pembiayaannya, bagi orang yang menunggang dan meminum
susunya wajib memberikan biaya.” (HR. Bukhori, Abu Daud)
Dari dua pendapat di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa pemegang
barang gadai berkewajiban memberikan makanan bila barang gadaian itu
adalah hewan.Harus memberikan bensin bila pemegang gadai memegang
barang gadaian berupa kendaraan.Jadi, yang dibolehkan di sini adalah adanya
upaya pemeliharaan terhadap barang gadaian yang ada pada dirinya.

6. Resiko Kerusakan Marhun (Barang Jaminan)

15
Bila marhun hilang di bawah penguasaan murtahin, maka murtahin
tidak wajib menggantinya, kecuali bila rusak atau hilangnya itu karena
kelalaian murtahin atau karena disia-siakan, umpamanya murtahin bermain-
main dengan api, lalu terbakar barang gadaian itu, atau gudang tak dikunci, lalu
barang-barang itu hilang dicuri orang.
Pokoknya murtahin diwajibkan memelihara sebagaimana layaknya, bila
tidak demikian, ketika ada cacat atau kerusakan apalagi hilang, menjadi
tanggung jawab murtahin.
7. Penyelesaian Gadai
Apabila pada waktu pembayaran yang telah ditentukan rahin belum
membayar utangnya, hak murtahin adalah menjual marhun, pembelinya
boleh murtahin sendiri atau yang lain, tetapi dengan harga yang umum
berlaku pada waktu itu dari penjualan marhun tersebut.
Hak murtahin hanyalah sebesar piutangnya, dengan akibat apabila
harga penjualan marhun lebih besar dari jumlah utang, sisanya dikembalikan
kepada rahin.Apabila sebaliknya, harga penjualan marhun kurang dari jumlah
utang, rahin masih menanggung pembayaran kekurangannya.
8. Riba dan Gadai
Perjanjian gadai pada dasarnya adalah perjanjian utang-piutang, hanya
saja dalam gadai ada jaminannya, riba akan terjadi dalam gadai apabila dalam
akad gadai ditentukan bahwa rahin harus memberikan tambahan
kepada murtahin ketika membayar utangnya atau ketika akad gadai ditentukan
syarat-syarat, kemudian syarat tersebut dilaksanakan.
Bila rahin tidak mampu membayar utangnya hingga pada waktu yang
telah ditentukan, kemudian murtahin menjual marhun dengan tidak
memberikan kelebihan harga marhun kepada rahin, maka di sini juga telah
berlaku riba.
9. Manfaat Rahn
Manfaat yang dapat diambil oleh bank dari prinsip rahn adalah sebagai berikut:
a.  Menjaga kemungkinan nasabah untuk lalai atau bermain-main dengan
fasilitas pembiayaan yang diberikan bank.

16
b.  Memberikan keamanan bagi semua penabung dan pemegang deposito
bahwa dananya tidak akan hilang begitu saja jika nasabah peminjam ingkar
janji karena ada suatu aset atau barang (marhun) yang dipegang oleh bank.
c.  Jika rahn diterapkan dalam mekanisme pegadaian, sudah barang tentu akan
sangat membantu saudara kita yang kesulitan dana, terutama di daerah-
daerah.[38]

C. HAWALAH
1. Pengertian Hawalah
Secara etimologi, yang dimaksud dengan hawalah ialah al-
intiqal dan al-tahwil, artinya memindahkan atau mengoperkan. Maka
Abdurrahman al-Jaziri, berpendapat bahwa yang dimaksud
dengan hawalah secara etimologi ialah:
‫َألنَّ ْق ُل ِم ْن َم َح ٍّل ِإلَى َم َح ِّل‬
“Pemindahan dari satu tempat ke tempat yang lain.”
Sedangkan secara terminologi, pengertian hawalah adalah pengalihan
utang dari orang yang berutang kepada orang lain yang wajib menanggungnya.
Misalnya: A memberi pinjaman kepada B, sedangkan B masih mempunyai
piutang kepada C. Begitu B tidak mampu membayar utangnya pada A, ia lalu
mengalihkan beban utang tersebut pada C. Dengan demikian, C  yang harus
bayar utang B kepada A, sedangkan utang C sebelumnya pada B dianggap
selesai.
2. Pendapat Ulama Tentang Hawalah
a. Menurut Hanafiyah, yang dimaksud dengan hawalah adalah pemindahan
kewajiban membayar  hutang dari orang yang berhutang (al-muhil) kepada
orang yang berhutang lainnya (al-muhal’alaih).
b. Menurut Malikiyah, Syafi’iyah, Hanabilah, hawalah adalah pemindahan atau
pengalihan hak untuk menuntut pembayaran hutang dari satu pihak kepada
pihak lain.
c.  Menurut Sayyid Sabiq, yang dimaksud dengan hawalah ialah pemindahan
dari tanggungan muhil menjadi tanggungan muhal ‘alaih.

17
3. Dasar Hukum Hawalah
Hawalah dibolehkan berdasarkan Sunnah dan Ijma.
a. Sunnah
Imam Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Abu Hurairah bahwa
Rasulullah saw. Bersabda,
‫ط ُل ْال َغنِ ِّى ظُ ْل ٌم فَا ِ َذا ُأ ْتبِ َع َأ َح ُد ُك ْم َعلَى َملِ ٍّي فَ ْليَ ْتبَ ْع‬
ْ ‫َم‬
“Menunda pembayaran bagi orang yang mampu adalah suatu
kedzaliman.Dan, jika salah seorang dari kamu diikutkan (di-hawalah-kan)
kepada orang yang mampu/kaya, terimalah hawalah itu.”
Pada hadits tersebut, Rasulullah memberitahukan kepada orang yang
mengutangkan, jika orang yang berutang meng-hawalah-kan kepada orang
yang mampu/kaya, hendaklah ia menerima hawalah tersebut dan hendaklah
ia menagih kepada orang yang di-hawalah-kan. Dengan demikian, haknya
dapat terpenuhi.
b. Ijma
Ulama sepakat membolehkan hawalah.Hawalah dibolehkan pada
utang yang tidak berbentuk barang/benda karena hawalah adalah
pemindahan utang.Oleh sebab itu, harus pada uang atau kewajiban finansial.

4. Rukun dan Syarat Hawalah


a. Rukun Hawalah
1)  Muhil (orang yang memindahkan tanggungan hutangnya).
2)  Muhal alaih (pihak yang dibebani pemindahan tanggungan utang atau
dibebani membayar hutang oleh muhil).
3)  Muhtal (orang yang piutangnya dipindahkan).
4)  Hutang muhil kepada muhtal.
5)  Hutang muhal alaih kepada muhil.
6)  Sighat (lafadh Aqad).
b. Syarat Hawalah

18
1)  Orang yang menanggung harus memberitahukan kepada orang yang
menghutangi (berpiutang).
2)  Waktu menanggungnya harus positif.
3)  Hutang yang lazim.
4)  Kerelaan muhil.
5)  Menerimanya muhtal untuk dipindahkan pembayaran utangnya kepadanya
ke orang lain.
6)      Persesuaian tanggungan muhil dan tanggungan muhal alaih, dalam jenis,
macam dan batas waktu pembayaran.
5. Beban Muhil Setelah Hawalah
Apabila hawalah berjalan sah, dengan sendirinya tanggung jawab muhil
gugur.Andaikata muhal ‘alaih mengalami kebangkrutan atau membantah
hawalah atau meninggal dunia, maka muhal tidak boleh kembali lagi kepada
muhil, hal ini adalah pendapat ulama jumhur.
Menurut madzhab Maliki, bila muhil telah menipu muhal, ternyata
muhal ‘alaih orang fakir yang tidak memiliki sesuatu apapun untuk membayar,
maka muhal boleh kembali lagi pada muhil.
Menurut imam Malik, orang yang menghiwalahkan utang kepada orang
lain, kemudian muhal ‘alaih mengalami kebangkrutan atau meninggal dunia
dan ia belum membayar kewajiban, maka muhal tidak boleh kembali pada
muhil.
Abu Hanifah, Syarih, dan Utsman berpendapat bahwa dalam keadaan
muhal ‘alaih mengalami kebangkrutan atau meninggal dunia maka orang yang
mengutang (muhal) kembali lagi kepada muhil untuk menagihnya.
6. Aplikasi Hawalah dalam Perbankan
Kontrak hawalah dalam perbankan biasanya diterapkan pada hal-hal berikut:
a.  Factoring atau anjak piutang, dimana para nasabah yang memiliki piutang
kepada pihak ketiga memindahkan piutang itu kepada bank, bank lalu
membayar piutang tersebut dan bank menagihnya dari pihak ketiga itu.
b. Post-date check, di mana bank bertindak sebagai juru tagih, tanpa
membayarkan dulu piutang tersebut.

19
c.  Bill discounting, secara prinsip, bill discounting serupa dengan hawalah.
Hanya saja, dalam bill discounting, nasabah harus
membayar fee. Sedangkan pembahasan fee tidak didapati dalam
kontrak hawalah.
7. Manfaat Hawalah
Seperti diuraikan di atas, akad hawalah dapat memberikan banyak
sekalimanfaat dan keuntungan, diantaranya:
a.  Memungkinkan penyelesaian utang dan piutang dengan cepat dan simultan.
b.  Tersedianya talangan dana untuk hibah bagi yang membutuhkan.
c.  Dapat menjadi salah satu fee-based income/ sumber pendapatan
nonpembiayaan bagi bank syariah.

20
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Hutang piutang adalah memberikan sesuatu kepada seseorang
dengan perjanjian bahwa dia akan mengembalikan sesuatu yang diterimanya
dalam jangka waktu yang telah disepakati.Hukumnya boleh bagi yang
hutang dan sunah bagi yang menghutangkan.
Kafalah adalah jaminan yang diberikan oleh penanggung kepada
pihak ketiga untuk memenuhi kewajiban kedua atau yang ditanggung. Dasar
hukumnya Al-qur’an dan hadis.
Rahn adalah menahan salah satu harta milik sipeminjam sebagai
jaminan atas pinjaman yang diterimanya. Dasar hukumnya Al-qur’an dan
hadis.
Hawalah adalah pengalihan utang dari orang yang berhutang kepada
orang lain yang wajib menanggungnya. Dasar hukumnya yaitu sunnah dan
ijma’.
B. Kritik
Demikian makalah yang berjudul “hutang-piutang, kafalah, rahn,
dan hiwalah”. Penulis menyadari dalam penyusunan makalah ini banyak
kekurangan maka kritik dan saran penulis harapkan demi terciptanya
makalah yang lebih baik. Semoga makalah ini menjadi motifasi dan
inspirasi kita semua.

21
DAFTAR PUSTAKA

Dr.H.Hendi Suhendi,M.Si,  Fiqih Muamalah, Jakarta; Raja


Grapindo Persada, 2005.
H.Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam, Bandung; Sinar Baru Algensindo, 2005, cet. 38.
Al-Asqalany, Ibnu Hajar, Buluqhul Maram Min Adillatil Ahkaam, Tasikmalaya; Pustaka Al-
Hidayah, 2008.

22

You might also like