Konsep Keamanan Bermukim - Jehan PHD - 20090518

You might also like

Download as doc, pdf, or txt
Download as doc, pdf, or txt
You are on page 1of 11

Konsep Keamanan Bermukim (Security of Tenure)

Oleh: Moh. Jehansyah Siregar, Ph.D

Ketika istilah keamanan bermukim diangkat pada sebuah diskusi terarah di Cikampek, timbul
pemahaman yang beragam dari beberapa pihak. Diskusi terbatas mengenai penanganan permukiman
kumuh tersebut diadakan oleh Bappenas pada akhir tahun 2006 dan pertengahan 2007 serta dihadiri
oleh para pihak terkait perumahan dan permukiman seperti Kemenpera, PU Cipta Karya, BPS, BPN,
Depdagri, dll. Secara sederhana, istilah keamanan bermukim ( secure tenure) dimaknai sebagai
mengijinkan penghuni permukiman kumuh dan informal (liar) seperti di bantaran sungai, bantaran rel
kereta api, dsb untuk tetap tinggal di kawasan terlarang tersebut. Ada pula yang mengartikannya
memberikan hak milik rumah dan tanah bagi para penghuni permukiman informal (liar).

Jika dihadapkan dengan penggusuran (yang diklaim pemerintah sebagai penertiban), maka istilah
keamanan bermukim diartikan menolak penertiban atau membiarkan kondisi permukiman informal
tidak tertib. Pemaknaan sederhana yang kurang tepat seperti ini menimbulkan resistensi untuk
menerima prinsip keamanan bermukim secara luas, terutama di kalangan pemerintah. Makna
menurut penulis sendiri dan sedikit peserta lain bukanlah seperti itu. Keamanan bermukim memiliki
makna yang luas, yang pada intinya memberikan iklim yang memudahkan bagi semua warga untuk
memperoleh rumah yang layak dan terjangkau, dan yang terutama, iklim yang melindungi dan
memberdayakan bagi proses perumahan yang belum memenuhi kelayakan, yang masih merupakan
proses perumahan yang cukup dominan terutama di kota-kota besar di tanah air.

Yang jelas, keragaman persepsi ini hendaknya perlu disamakan sebelum berkembang menjadi jargon
dan slogan kosong (buzzword) dan salah kaprah (misleading) seperti biasanya terjadi di tanah air dan
seringkali justru mematikan pemaknaan sebenarnya. Untuk itu, melalui kesempatan pemaparan
dalam diskusi penanganan permukiman squatter/ informal (liar) yang diadakan di Kemenpera pada
akhir April 2009, kiranya penulis merasa perlu sedikit urun pendapat melalui tulisan singkat ini. Meski
tentu masih belum memadai untuk suatu eksplorasi konseptual yang mendalam yang diiringi pula
pemahaman kondisi permukiman dan konteks lokal di tanah air.

1. Pengertian

Merujuk kamus bahasa Inggris, istilah tenure atau tenureship memiliki arti yang sama dengan
occupancy, habitation dan use. Dengan demikian istilah tenure dapat diartikan sebagai,
penghunian, pemukiman (bermukim) dan penggunaan. Dalam konteks tempat tinggal dan

M.Jehansyah Siregar, FGD Penanganan Permukiman Squatter, Kementerian Perumahan Rakyat, 28-29 April 2009 1
lingkungannya, maka penulis lebih memilih makna tenure sebagai bermukim atau habitasi. Di
dalam praktek permukiman di tanah air, bermukim tidak berarti tunggal sebagai memiliki
(dibuktikan surat hak), namun kita mengenal beragam bentuk bermukim seperti milik, kontrak,
sewa, pinjam, maupun menumpang, dsb.

Sedangkan istilah security berarti keamanan, namun tidak persis sama dengan defense yang
berarti keamanan dari serangan musuh atau dari kejahatan kriminal. Security bermakna sama
pula dengan protection yang berarti perlindungan atau jaminan. Dengan demikian istilah secure
tenure dapat kita artikan sebagai keamanan (jaminan, kepastian) bermukim. Penuilis lebih
memilih makna keamanan karena mengandung pengertian perlindungan (terhadap proses
perumahan informal dari pemalakan, intimidasi dan penggusuran).

Dalam kaitan dengan perumahan dan permukiman, maka istilah keamanan bermukim dapat
diartikan sebagai:

1) Adanya jaminan akan akses yang luas bagi setiap keluarga untuk bisa memperoleh
tempat tinggal yang layak secara terjangkau melalui sistem penyediaan tempat tinggal
(perumahan dan permukiman) yang berkeadilan,

2) Adanya jaminan bagi setiap keluarga atau perorangan untuk mendapatkan proses
pemberdayaan dan akses ke sumber-sumber daya kunci perumahan dan permukiman
dalam upaya memperoleh tempat tinggal yang layak dan terjangkau, dan

3) Adanya keamanan (perlindungan) bagi setiap keluarga atau perorangan untuk secara
sementara mempertahankan tempat tinggal yang dimilikinya meskipun belum memenuhi
standar layak, sementara proses penyediaan di poin pertama dan kedua berlangsung.

2. Latar Belakang

Mengapa prinsip keamanan bermukim dirasakan penting untuk dimajukan? Jawaban singkatnya
adalah karena masih belum meluasnya rasa kepastian bagi semua warga negara untuk bermukim
secara layak dan aman. Dalam istilah kebijakan pembangunan, belum ada akses yang memadai
bagi seluruh warga masyarakat untuk bertempat tinggal dan melangsungkan kehidupan yang
bermartabat. Masih ada kesenjangan yang jauh antara kebijakan dan peraturan di bidang
perumahan dan permukiman, termasuk pertanahan (menjamin terpenuhinya kebutuhan tanah
untuk bermukim), dengan implementasinya.

Kalangan masyarakat berpendapatan rendah (MBR) dan kaum miskin kota yang tidak mampu
memperoleh permukiman yang layak, dengan mudah terperosok ke lingkungan permukiman
informal (liar) yang tidak aman dari penggusuran dan rentan pula dari bahaya bencana.
Permukiman ini disebut sebagai permukiman informal yang tidak aman sekaligus merupakan
cerminan kemiskinan kota. Sejalan dengan itu permukiman kumuh dan informal (liar) terus
bertambah, seiring pula dengan penggusuran permukiman yang berkelanjutan. Dari sebuah data
lembaga PBB, sekitar 873 juta jiwa penduduk dunia tinggal di lingkungan permukiman kumuh
pada tahun 2000 dan akan bertambah sebanyak dua kali lipatnya diperkirakan sekitar 1,5 milyar
pada tahun 2020. Berapa target yang realistis untuk dapat mengerem laju pertambahan

M.Jehansyah Siregar, FGD Penanganan Permukiman Squatter, Kementerian Perumahan Rakyat, 28-29 April 2009 2
penduduk permukiman kumuh tersebut? Sementara itu, Indonesia sendiri masih berkutat dengan
pendataan permukiman kumuh yang ada dan bagaimana laju pertumbuhannya. Data sensus
tahun 2000 sementara menyebutkan ada 47 ribu hektar permukiman kumuh yang tersebar di 10
ribu lokasi. Pertanyaannya, apa upaya yang harus dilakukan untuk merealisasikan target
pengurangan permukiman kumuh/liar dan untuk mengurangi laju pertumbuhannya?

Permukiman kumuh dan informal (liar) yang terus bertambah inilah yang ditengarai sebagai
cermin masih rendahnya dan belum ditegakkannya prinsip keamanan bermukim di tanah air.
Permukiman kumuh dan liar adalah gambaran pola pembangunan yang masih abai terhadap
pemenuhan kebutuhan kaum miskin yang menempati proporsi cukup besar. Pada awalnya,
prinsip keamanan bermukim merupakan suatu ancangan internasional yang ditawarkan dalam
merespon laju pertumbuhan permukiman kumuh dan informal di berbagai kota besar di negara-
negara berkembang. Namun, meskipun telah secara luas dikaji di tingkat global ( UN agencies)
hingga disimpulkan merupakan isu strategis melalui mana banyak permasalahan dapat
diselesaikan, konsep keamanan bermukim masih relatif baru di Indonesia. Meskipun demikian,
dalam berbagai dokumen seperti agenda dan kerangka aksi global (agenda habitat, tujuan
pembangunan millennium, dll) Indonesia telah turut meratifikasi prinsip keamanan bermukim ini.
Masalahnya tinggal dalam sosialisasi dan upaya realisasinya yang belum kunjung tampak.

Dalam beberapa praktek penanganan permukiman di tanah air sebenarnya sudah ada contoh-
contoh penerapan keamanan bermukim. Contohnya adalah ketika pada tahun 2004 dikeluarkan
SK Menteri PU yang memberi ijin tinggal sementara selama 2 tahun kepada warga pemukim
kolong tol di Jakarta Utara. Namun sayangnya ijin tinggal sementara itu tidak diikuti dengan
upaya penanganan yang memadai dari Kementerian Perumahan Rakyat dan PU Cipta Karya.
Justru atas permintaan Gubernur DKI Jakarta tahun 2007, Menteri PU yang menjabat pada
periode berikutnya mencabut SK ijin tinggal sementara itu, meskipun masalah permukiman
informal (liar) yang melatarbelakangi terbitnya SK tersebut belum ditangani.

Pada kasus-kasus lain, kebijakan atau penerbitan SK beberapa Walikota (Solo, Pekalongan, Blitar,
dll) yang memberi ijin tinggal sementara juga telah memberi rasa aman bermukim, meskipun
sementara. Tindakan beberapa pemimpin yang memiliki hati nurani tersebut telah berupaya
mengerahkan kewenangan yang dimilikinya untuk memberi keamanan bermukim. Namun
semuanya masih belum bisa meningkatkan keamanan bermukim warga secara terencana dengan
baik, karena belum didukung kebijakan yang jelas dan terbangun dalam suatu kerangka
peraturan, kelembagaan dan mekanisme-mekanisme penanganan yang efektif.

3. Pernyataan Posisi (Position Statement)

Secara hukum positif, pada dasarnya upaya meningkatkan keamanan bermukim adalah strategi
nyata dalam merealisasikan Hak Asasi Manusia (HAM), sebagai pemenuhan hak-hak dasar warga
negara atas rumah yang layak di lingkungan permukiman yang sehat, yang telah ditetapkan
Konstitusi NKRI dan beberapa pasal Undang-undang. Undang-undang Dasar 1945 pasal 28-H
mengamanatkan bahwa setiap orang berhak untuk bertempat tinggal dan mendapatkan
lingkungan hidup yang baik dan sehat . Sedangkan di dalam Undang-undang No. 39 Tahun 1999

M.Jehansyah Siregar, FGD Penanganan Permukiman Squatter, Kementerian Perumahan Rakyat, 28-29 April 2009 3
tentang Hak Asasi Manusia pasal 40 menyatakan bahwa setiap orang berhak untuk bertempat
tinggal dan berkehidupan yang layak . Undang-undang No. 4 tahun 1992 tentang Perumahan dan
Permukiman pasal 5 menyatakan bahwa setiap warga negara mempunyai hak untuk menempati
dan/atau menikmati dan/atau memiliki rumah yang layak dalam lingkungan yang sehat, aman,
serasi, dan teratur

Selain itu, upaya mewujudkan keamanan bermukim adalah strategi dalam upaya merealisasikan
prinsip pro-poor dalam upaya menanggulangi kemiskinan khususnya di perkotaan. Secara teknis
pengelolaan permukiman perkotaan, Keamanan Bermukim adalah strategi untuk menghambat
laju pembentukan dan pengurangan permukiman kumuh dan informal ( squatter) secara berarti,
efektif dan manusiawi.

Prinsip keamanan bermukim pada dasarnya adalah realisasi dari pendekatan pemenuhan hak-hak
dasar seperti diuraikan di atas. Dalam hal ini adalah hak penggunaan tanah dan hak perumahan,
yaitu pengakuan adanya hak setiap keluarga atau perorangan untuk mendapatkan tempat tinggal
yang layak di lingkungan permukiman yang sehat. Secara umum, ada dua aspek penting dari
keamanan bermukim, yaitu pertama, adanya keamanan pemanfaatan tanah ( secure land tenure)
untuk bertempat tinggal dan pengakuan adanya hak perumahan ( housing right) yang layak bagi
semua warga masyarakat (shelter for all).

Isu tanah untuk perumahan dan permukiman (bukan semata administrasi tanah) merupakan
salah isu penting di dalam realisasi prinsip keamanan bermukim ini. Namun perlu dicermati
bahwa isu tanah untuk perumahan ( land for housing atau housing land) bukanlah isu yang ada di
domain (administrasi) pertanahan, melainkan ada di bidang perumahan dan permukiman. Oleh
karena itu, prinsip keamanan bermukim harus diusung oleh instansi, para pihak dan komunitas di
bidang perumahan dan permukiman. Prinsip keamanan bermukim tidak tepat jika diserahkan
kepada instansi atau pihak yang terkait dengan administrasi pertanahan sebagai leading actor,
meskipun, sekali lagi meskipun, administrasi pertanahan merupakan salah satu aspek pentingnya.
Mengapa? Karena tujuan penerapan keamanan bermukim bukan semata tertib administrasi
tanah, yang umumnya diselesaikan dengan upaya sertifikasi dan ajudikasi tanah yang
memerlukan biaya tinggi melalui berbagai program dan proyek administrasi tanah. Tujuan
penerapan keamanan bermukim adalah terwujudnya keamanan/jaminan/kepastian untuk
bermukim secara layak bagi setiap warga negara.

Berbagai proyek percontohan peremajaan dan penataan permukiman kota ( urban renewal, urban
redevelopment, urban regeneration, dsb) selalu terbentur pada masalah keragaman status
bermukim (irregular land tenure). Karena akar permasalahannya belum ditangani dengan baik
maka berbagai kasus peremajaan permukimn kota tersebut bersifat sepenggal ( piecemeal) dalam
mengatasi masalah ini. Faktor restu pimpinan daerah selalu menjadi faktor kunci dibelakang
penanganan yang dipandang sukses. Tentunya faktor ini tidak melembaga untuk dilanjutkan
pada masa yang akan datang. Pendekatan restu pimpinan tidak dapat direplikasi ( unreplicable)
dan tidak dapat ditingkatkan skalanya (unupscalable) di tempat lain.

4. Tantangan adanya Kondisi Keragaman Status Bermukim

M.Jehansyah Siregar, FGD Penanganan Permukiman Squatter, Kementerian Perumahan Rakyat, 28-29 April 2009 4
Apa tantangan pertama yang dihadapi dalam penerapan prinsip keamanan bermukim? Substansi
kongres hasil diskusi pra-Kongres Perumahan 2009 mencantumkan prinsip ini, dengan istilah
kepastian bermukim. Namun memang cukup aneh juga rumusan kebijakan dan rencana aksi
sebagai implementasinya, yang mencantumkan hal-hal yang kurang berhubungan dengan
permasalahan keamanan bermukim, seperti: penerapan RP4D (rencana perumahan di daerah),
adanya lembaga perumahan dan alokasi anggaran APBD untuk perumahan.

Tantangan pertama yang ditemui di lapangan ialah adanya keragaman status bermukim yang
tidak dapat diakomodasi semuanya oleh sistem kategori status (legal) tanah berdasarkan
kebijakan dan peraturan yang ada. Keadaan seperti ini menyebabkan semua bentuk status
bermukim selain sertifikat tanah dan ijin bangunan memiliki kerentanan atau ketidak-amanan.
Sehingga kemudian menjadi pertanyaan, yang manakah yang seharusnya menjadi kendala,
adanya fakta keragaman status bermukim tersebut atau sistem kebijakan dan peraturannya?

Upaya meningkatkan keamanan bermukim berhadapan dengan kondisi status bermukim warga
masyarakat yang sangat beragam. Kerangka kategori yang ada masih sangat terbatas, yaitu
legal, kurang legal dan ilegal, karena melihat status bermukim semata dari sudut legal (hukum)
formalistis yang ditandai oleh selembar sertifikat atau surat tanah. Mengapa dikatakan legal
formalistis? Karena pada prakteknya, disamping sulit dikembangkan secara masal dan terpadu
dengan aspek penataan ruang, proses sertifikasi seringkali terlepas dari riwayat penggunaan
tanah, sistem sosial dan perkembangan budaya bermukim warga masyarakat yang semestinya
juga menjadi dasar menyusun status legal. Sebagai konsekwensinya, fakta yang ada di lapangan
menunjukkan selain adanya kategori status legal, ada pula status ekstra-legal, status non-formal,
dan sebagainya. Ada kategori (formal) dan ada pula sub-kategori (informal) yang tidak bisa
diabaikan begitu saja oleh lembaga administrasi pertanahan.

Keragaman status bermukim eksisting yang luas vs Regulasi, kebijakan dan program eksisting
 Yang mana kendala dan yang mana tantangan regularisasi permukiman kumuh/squatter? Apakah keragaman
status bermukim yang menjadi kendala, ataukah regulasi dan kebijakan yang belum responsif terhadap prinsip
keamanan bermukimlah yang menjadi kendala?

Keragaman status bermukim warga adalah fakta di lapangan yang tidak dapat sepenuhnya
diakomodasi oleh kategori status bermukim eksisting yang formalistik. Oleh sebab itu,
perlindungan terhadap hak dasar perumahan dan permukiman harus memberi perlindungan
terhadap keragaman status bermukim dengan mengenali keadaannya sebagai basis
pengembangan upaya peningkatan status bermukim dan kesejahteraannya.

Selain itu, fakta di lapangan menunjukkan pula bahwa status legal formal tidak selalu menjadi
prioritas dari kaum miskin kota. Prioritas utama adalah tempat yang aman untuk beperikehidupan.
Artinya, kerangka status bermukim warga permukiman informal lebih mengacu pada sisi
perikehidupan (livelihood, kondisi sosial ekonomi) ketimbang aspek legalnya. Untuk itu diperlukan
susunan baru kategori status bermukim yang dilandasi oleh visi untuk meningkatkan dan
meregularisasi keamanan bermukim bagi seluruh warga.

M.Jehansyah Siregar, FGD Penanganan Permukiman Squatter, Kementerian Perumahan Rakyat, 28-29 April 2009 5
PARADIGMA LAMA  Kategori Status Bermukim vs Status Legal Bermukim
 Melemahkan keamanan bermukim permukiman yang tidak memiliki status legal
PARADIGMA BARU  Kategori Status Bermukim vs Status Aman Bermukim dan Peningkatan Kesejahteraan
 Meningkatkan keamanan bermukim

Kategori status bermukim dalam pasar tanah dan properti yang liberal hanya menghasilkan
ketidakamanan bermukim. Karena pasar tanah dan properti yang liberal hanya menguntungkan
bagi sekelompok kecil kalangan yang mampu mengakses (status) tanah yang dipandang legal.
Untuk itu, upaya meningkatkan keamanan bermukim berimplikasi pada diperlukannya
pengembangan peran publik (peran negara dan pemerintah) dalam meregulasi pasar tanah dan
properti.

Sebagai contoh, permukiman di bantaran rel kereta dan bantaran sungai tidak dapat diberi status
permukiman liar atau ilegal, karena warga yang tinggal di situ memiliki hak untuk dilindungi dan
diberi keamanan bermukim. Dalam kerangka kategori baru, sebagai contoh, bisa diberikan status
tidak resmi (informal) dan kepadanya diberikan hak tinggal sementara. Contoh penerbitan SK
tinggal sementara yang dikeluarkan kepala daerah atau otoritas pemilik sah tanah (lembaga
negara, BUMN dan sebagainya) adalah contoh pemberian keamanan bermukim. Namun
pemberian status hak tinggal sementara tidak berdiri sendiri, melainkan harus diiringi oleh
pemenuhan hak pemberdayaan dan upaya perolehan tempat tinggal secara swadaya dan
kerjasama dengan berbagai pihak. Program pemberdayaan dan penyediaan tempat tinggal ini
merupakan tanggung jawab pemerintah c.q Menteri Perumahan Rakyat dan PU Cipta Karya atau
Dinas Perumahan dan Dinas PU Cipta Karya di daerah. Pada saat yang sama, pemenuhan hak
bermukim berupa pemberian akses sumberdaya perumahan (tanah siap bangun dan pembiayaan
murah) dan akses memperoleh rumah layak dan terjangkau (prasarana dan rumah murah) tetap
perlu dilakukan dengan giat.

Membangun Komitmen

Memperhatikan kondisi di lapangan yang demikian kompleks, pada dasarnya diperlukan


komitmen yang kuat untuk menerapkan prinsip keamanan bermukim dalam rangka menangani
permukiman informal yang seiring pula dengan penanggulangan kemiskinan. Untuk itu diperlukan
kerja keras dan upaya yang efektif untuk mengurangi laju pembentukan permukiman kumuh.

5. Strategi

Merealisasikan prinsip keamanan bermukim adalah strategi kunci dalam penyediaan perumahan
dan permukiman yang layak untuk seluruh rakyat. Untuk merealisasikan prinsip keamanan
bermukim, diperlukan langkah-langkah strategis seperti:

1. Peningkatan kapasitas pemahaman dari berbagai kalangan terkait, untuk merespon


adanya keragaman persepsi terhadap konsep keamanan bermukim dan terhadap tujuan

M.Jehansyah Siregar, FGD Penanganan Permukiman Squatter, Kementerian Perumahan Rakyat, 28-29 April 2009 6
penerapannya. Untuk itu diperlukan penyamaan persepsi mengenai pentingnya
pengembangan Kebijakan untuk Peningkatan Akses Keamanan Bermukim melalui proses
perumusan kebijakan, strategi, program dan rencana aksi yang semakin mantap secara
partisipatif.

Visi dan Misi Kebijakan Pemetaan Kondisi Pilihan-pilihan


Meningkatkan Regularisasi Status Bermukim Kebijakan
Keamanan status bermukim sebagai Basis peningkatan Status
Bermukim Kebijakan Bermukim

2. Pemetaan kondisi dari status bermukim yang beragam sebagai basis data untuk
perumusan kebijakan dalam upaya peningkatan keamanan bermukim. Sebagai contoh,
perkiraan 90% tanah di provinsi Riau memiliki status bermukim yang beragam namun
semuanya berada di atas status tanah adat/ulayat. Contoh lain, perkiraan sebagian besar
tanah dan rumah permukiman kumuh dan informal di Jakarta Utara memiliki status tanah
dan rumah yang sangat beragam, namun semuanya berada di atas status HPL satu atau
lebih lembaga negara. Kedua kasus ini adalah contoh dari keragaman status bermukim
yang kondisinya sangat berbeda dari satu daerah dengan daerah lainnya. Kondisi yang
berbeda-beda ini perlu dikenali dengan baik sebagai landasan upaya meningkatkan
keamanan bermukim. Caranya? Keragaman status bermukim harus dijadikan dasar
penyusunan kerangka status bermukim yang baru (bukan hanya status legal tanah).

Visi, Misi dan Pemetaan Kondisi Basis Data dan Pilihan-pilihan


Kebijakan Status Bermukim Kerangka Kategori Kebijakan
Regularisasi sebagai Basis Status Bermukim peningkatan Status
status bermukim Kebijakan Bermukim

3. Pemberdayaan permukiman informal (liar). Pembangunan perumahan secara informal


lambat laun membentuk permukiman yang kumuh, tidak terencana dan dilengkapi
prasarana dan sarana yang memadai. Permukiman kumuh dan informal bahkan bisa saja
mendominasi proses perumahan kota. Untuk itu diperlukan upaya memahami
permukiman informal ketimbang melakukan penggusuran yang tidak menyelesaikan
masalah. Pertambahan kumuh dan informal tetap melaju, apalagi juga tidak
menyelesaikan masalah warga yang digusur tersebut. Pemahaman terhadap permukiman
informal memiliki potensi dalam penanggulangan kemiskinan kota karena sifatnya yang
dikembangkan secara swadaya, partisipatif, dan sedikit investasi publik, memberi
kontribusi persediaan rumah (housing stock) dan terjangkau oleh masyarakat miskin.
Pemahaman dan pemberdayaan permukiman informal adalah langkah untuk
meningkatkan akses keamanan bermukim. Sejalan dengan perlindungan hak perumahan
warga, maka upaya pemberdayaan permukiman informal merupakan penanganan
mendesak yang paling realistis dan rasional.

M.Jehansyah Siregar, FGD Penanganan Permukiman Squatter, Kementerian Perumahan Rakyat, 28-29 April 2009 7
4. Mengembangkan secara kreatif kategori-kategori dan ragam status bermukim yang lebih
cenderung pada peningkatan keamanan bermukim. Ini adalah strategi penanganan yang
bersifat kuratif dan dalam jangka menengah bersifat transisional dengan tujuan untuk
mengisi kesenjangan antara kerangka legal dan praktek yang ada. Contoh-contohnya
adalah menetapkan kategori semi formal dan sub-kategori (informal) seperti SK Walikota
tentang Ijin Tinggal, Surat Edaran Mendagri tentang Tenggat Tinggal, Hak Guna Tanah,
Hak sewa tanah temporer, Hak guna tanah berbasis kelompok, Hak guna tanah berbasis
data miskin, dan sebagainya.

5. Pengkajian kendala regulasi, kebijakan dan program dalam upaya formalisasi


permukiman kumuh dan squatter sebagai strategi penanganan jangka panjang yang
bersifat preventif dan bertujuan untuk melakukan reformasi terhadap kerangka regulasi
yang ada, agar secara bertahap dapat berubah semakin baik dan lebih responsif terhadap
keragaman status bermukim.

6. Rencana Aksi

Sebagai langkah-langkah tindak lanjut, perlu disusun rancangan rencana aksi:

1. Rangkaian kegiatan FGD dan kampanye publik untuk penyamaan pemahaman prinsip
keamanan bermukim dan pembangunan kepedulian publik ( public awareness building)
yang luas, baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah dan pelaku-pelaku lainnya.

2. Studi dan pemetaan kondisi ragam status bermukim dengan keluaran basis data dan
kerangka kategori status bermukim. Dalam rangka meningkatkan keamanan bermukim,
maka kegiatan ini meliputi pula studi kondisi kehidupan kaum miskin kota dalam kaitan
dengan status bermukim. Fokus studi diarahkan pada ragam pekerjaan, ragam pola
penggunaan tanah dan bangunan, mobilitas bermukim dan status bermukim, persepsi
keamanan bermukim dan prioritas pilihan status bermukim.

3. Percontohan penanganan permukiman informal (liar) melalui berbagai bentuk program


percontohan pemukiman kembali (resettlement). Proyek percontohan dapat dilakukan di
berbagai lokasi permukiman liar seperti di bantaran sungai, bantaran rel kereta api, di
tanah negara maupun di tanah lembaga tertentu. Berbagai pola dan skenario dapat saja
digunakan seperti skenario tetap di tempat ( in situ resettlements) maupun relokasi (ex
situ resettlements) maupun kombinasinya. Sejalan pula, berbagai ragam bentuk status
bermukim yang lebih mendukung keamanan bermukim (strategi nomor 4) dikembangkan
secara kreatif di dalam skema percontohan ini.

4. Peningkatan kapasitas dan pengembangan kelembagaan penanganan permukiman


kumuh dan informal (liar) secara progresif terutama di tingkat kota ( city-wide level)
melalui unit-unit pemerintah daerah yang terkait. Pemberdayaan permukiman kumuh dan
informal di tingkat kota perlu dilakukan secara terpadu dengan mengkaitkannya dengan
peningkatan 3 kapasitas kunci:

1. Pengendalian permukiman informal (squatter control) termasuk kegiatan penataannya,


2. Pemukiman kembali (resettlement) yang mirip dengan pola transmigrasi, dan

M.Jehansyah Siregar, FGD Penanganan Permukiman Squatter, Kementerian Perumahan Rakyat, 28-29 April 2009 8
3. Pengembangan kawasan permukiman/kota baru (kasiba-lisiba) yang dilekatkan
dengan pengembangan kawasan-kawasan pusat pertumbuhan baru.

Ketiga pola penanganan ini membentuk segitiga squatter control/urban renewal –


resettlement – new area development yang perlu dilakukan secara terpadu, sebagai
alternatif yang harus dikembangkan menggantikan pola lama yang terfragmentasi
(peacemeal, printilan) melalui proyek-proyek dan proyek-proyek dan proyek-proyek
peremajaan kawasan kumuh yang sudah terbukti tidak mampu mengentaskan masalah
kumuh dan permukiman squatter perkotaan. Lebih memprihatinkan lagi, semua program
penanganan permukiman kumuh tersebut tidak mampu menunjukkan roadmap menuju
kota-kota yang bebas kumuh sebagaimana diamanatkan RPJP 2025.

Pemukiman
Kembali
(Resettlement)

Prakarsa
KOTA
BEBAS
KUMUH
Kontrol Squatter
Pengembangan
/Penataan
Kawasan Baru: 
Permukiman
Kasiba-Lisiba,
Kumuh.
NAD, NT

Gambar: Komprehensif Terpadu: Peremajaan-Resettlement-Kasiba/Lisiba

5. Studi pengkajian regulasi, kebijakan dan program dalam upaya formalisasi permukiman
kumuh dan squatter, termasuk pula studi banding regulasi status bermukim dalam
rangka peningkatan keamanan bermukim dan penanganan permukiman kumuh dan
permukiman informal.

M.Jehansyah Siregar, FGD Penanganan Permukiman Squatter, Kementerian Perumahan Rakyat, 28-29 April 2009 9
Tabel Ringkasan Rumusan Isu, Kebijakan dan Rencana Aksi

Isu/Masalah Kebijakan dan Strategi Draft Rencana Aksi


1. Peningkatan kapasitas ttg konsep 1. Rangkaian FGD untuk penyamaan pemahaman
1. Isu Keamanan keamanan bermukim dan prinsip keamanan bermukim dan public awareness
Bermukim (Secure penerapannya building yang luas,
Tenure) 2. Meningkatan keamanan bermukim 2. Studi dan pemetaan kondisi ragam status
 Akar masalah MBR dan 3. Pemetaan kondisi dari ragam status bermukim dengan keluaran basis data dan
miskin kota yang tidak bermukim kerangka kategori status bermukim,
mampu mengakses 4. Pemberdayaan permukiman 3. Percontohan penanganan permukiman informal
permukiman yang layak informal (liar). (liar) melalui berbagai bentuk program percontohan
 Akar masalah dari 5. Mengembangkan kategori status pemukiman kembali (resettlement)
permukiman kumuh dan bermukim 4. Peningkatan kapasitas penanganan permukiman
informal (liar) yang terus 6. Evaluasi regulasi dan kebijakan informal yang progresif dan terpadu terutama di
bertambah. dalam upaya regularisasi perm. tingkat kota
kumuh dan informal (liar) 5. Studi pengkajian regulasi, kebijakan dan program
dalam upaya formalisasi permukiman kumuh dan
squatter, termasuk pula studi banding regulasi
status bermukim

(Paper disampaikan pada FGD Penanganan Permukiman Squatter, Kementrian Perumahan Rakyat, 28-29 April
2009, ditulis kembali dan dilengkapi seperti versi ini. Penulis adalah Anggota Tim Pakar Panitia Kongres
Perumahan 2009, Dosen dan Peneliti di KKPP SAPPK ITB, Kelompok Keahlian Perumahan dan Permukiman,
Sekolah Arsitektur, Perencanaan dan Pengembangan Kebijakan, Institut Teknologi Bandung)

***

Daftar Pustaka:
1. Geoffrey Payne, 2002, Secure Tenure for The Urban Poor, Round Table Seminar, Cities Alliance,
2. United Nations Human Settlements Programme (UN-Habitat), 2000, THE GLOBAL CAMPAIGN
FOR SECURE TENURE,
3. Fernandes, Edesio, 2005, Evaluation of UN-HABITAT’s Campaigns for Secure Tenure,
4. UNCHS, The Global Strategy for Shelter to the Year 2000.
5. Angel, Shlomo, 2000, Housing Policy Matters, Oxford University Press.
6. Koenigsberger, Otto, 1986, Third World Housing Policies Since 1950s, Habitat International Vol.10
No.3, 1986, Pergamon Press Ltd.
7. Turner, John F.C., 1996, Tools for Building Community, An examination of 13 hypotheses, Habitat
International, Vol. 20, p. 339-347.

M.Jehansyah Siregar, FGD Penanganan Permukiman Squatter, Kementerian Perumahan Rakyat, 28-29 April 2009 10
M.Jehansyah Siregar, FGD Penanganan Permukiman Squatter, Kementerian Perumahan Rakyat, 28-29 April 2009 11

You might also like