Download as doc, pdf, or txt
Download as doc, pdf, or txt
You are on page 1of 4

Hadist Sebagai Salah Satu Sumber Ajaran Agama Islam

Safira Alimah
………….

Al Quran merupakan kitab suci umat Islam sebagai pelengkap keimanan dan
penyempurna kitab-kitab sebelumnya yang diturunkan kepada Nabi Muhammad
SAW. Tujuan utama diturunkannya Al Quran adalah menyempurnakan kebaikan
akhlak dan juga membimbing manusia agar mendapat kebahagiaan saat hidup
maupun di akhirat. Agar tujuan itu dapat direalisasikan oleh manusia, maka Al
Quran menurunkan petunjuk-petunjuk dan ayat-ayat untuk membantu umat
manusia.

Namun, di dalam Al Quran tidak dirinci menurut petunjuk dalil yang masih utuh,
tidak diterangkan cara pengamalannya dan tidak dikhususkan menurut petunjuk
ayat yang masih mutlak. Di samping itu, Al-Quran sebagai salah satu sumber ajaran
Islam hanya memuat prinsip-prinsip tentang ajaran agama tetapi tidak membahas
sampai detil tentang ajaran agama.

Sebagai bangunan yang di dalamnya terdapat nilai-nilai, ajaran, petunjuk hidup dan
sebagainya, Islam membutuhkan sumber yang darinya dapat diambil bahan-bahan
yang diperlukan guna mengkonstruksi dan meyakinkan apa yang diragukan dalam
ajaran Islam tersebut. Disitulah dimana hadits berperan dalam kehidupan Umat
Islam.

Kata "Hadits" atau al-hadits menurut bahasa berarti al-jadid (sesuatu yang baru),
lawan kata dari al-qadim (sesuatu yang lama). Kata hadits juga berarti alkhabar
(berita), yaitu sesuatu yang dipercakapkan dan dipindahkan dari seseorang kepada
orang lain. Kata jamaknya, ialah al-ahadis.

Hadits atau disebut juga dengan Sunnah menurut istilah adalah segala sesuatu yang
bersumber atau didasarkan kepada Nabi SAW., baik berupa perkataan, perbuatan,
atau taqrir-nya. Hadits, sebagai sumber ajaran Islam setelah al-Qur'an, sejarah
perjalanan hadits tidak terpisahkan dari sejarah perjalanan Islam itu sendiri. Akan
tetapi, dalam beberapa hal terdapat ciri-ciri tertentu yang spesifik, sehingga dalam
mempelajarinya diperlukan pendekatan khusus.

Mengacu kepada ayat al-Qur’an yang berbunyi:


ْ َّ ‫طيعُوا ال َّر ُسْو َ هَ وأ‬
ٍ ‫ِطيعُوا الل َ َمنُوا أ ِْذي َن َءا َّ َها ال ُّ َءي ْ ِمر يَآ ِْولى اأ َل ُ َل َو أ َل ِ ْوهُ إ ُّ ُرد ْم فِى َش‬
ِ ‫ْيء فَ ْن تَنَا‬ ْ
ْ َ ُ ُ ْ ْ
َ ,‫ ر‬V‫أ َ ذاِل َك َخي ٌر َوأ ِِخ‬Vَ‫ل ِو ت ْؤ ِمنُ ْي َل ْو َن ب ْ ْح َس ُن ت‬V‫ل َّ ِال‬V‫ ْن ُكنت ِ َوال َّر ُسْو ِل إ ِه َّ ال‬,‫َز ْعت ِ فَإ ِم ْم ْن ُكم‬
‫ْأل‬ ُ
‫ي ِْوم ال ْ َو ال ِه‬
َ
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah RasulNya, dan ulil amri
di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu maka
kembalikanlah ia kepada Allah (al-Qur’an) dan Rasul (Sunnah)Nya, jika kamu
benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih
utama dan lebih baik sesudahnya”. QS. An-Nisa’: 59.

Bukti hadits dapat diketahui melalui wacana yang berdasarkan nalar mengenai
agama, spiritualitas dan Tuhan ataupun argumentasi yang rasional. Beriman kepada
Rasulullah merupakan salah satu rukun iman yang harus diyakini oleh setiap Umat
Islam. Keimanan ini diperintahkan oleh Allah SWT dalam al-Qur’an agar manusia
beriman dan menaati Nabi.

Bila seseorang mengaku percaya atau beriman kepada Rasulullah, maka


konsekuensi logisnya menerima segala sesuatu yang datang darinya yang berkaitan
dengan urusan agama, karena Allah telah memilihnya untuk menyampaikan ajaran-
Nya kepada umat manusia Jadi, menerima hadits sebagai sumber hukum merupakan
bagian yang tidak dapat dipisahkan dari keimanan seseorang. Apabila tidak
menerima hadits sebagai sumber hukum, maka sama halnya seseorang itu tidak
beriman kepada Rasulullah.

Kedudukan hadits sebagai sumber ajaran Islam didasarkan pada keterangan ayat-
ayat al-Qur’an. Hadits ini juga telah didasarkan dari kesepakatan para sahabat
Rasulullah SAW. Seluruh sahabat sepakat untuk menetapkan tentang wajibnya
mengikuti hadits baik pada Rasulullah masih hidup maupun setelah wafat.

Keberadaan hadits selain ketetapan Allah yang dipahami dari ayatNya secara
tersirat juga merupakan konsensus seperti yang terlihat dalam perilaku para sahabat.
Konsensus atau Ijma’ umat Islam untuk menerima dan mengamalkan sunnah sudah
ada sejak zaman Nabi, para Khulafa al-Rasyidun dan para pengikut mereka. Banyak
contoh yang dapat menggambarkan betapa para sahabat sangat mengagumi Nabi
Muhammad SAW dan mengikuti apa yang dilakukannya.

Hal ini terlihat misalnya, penjelasan dari Usman bin Affan tentang etika makan dan
cara duduk dalam shalat, seperti yang dilakukan Nabi Muhammad SAW. Begitu
juga, Janji Abu Bakar untuk tidak meninggalkan atau melanggar perintah Rasul
yang ia ikrarkan ketika disumpah (bai’ah) menjadi khalifah. Abu Bakar juga pernah
berkata: “Aku tidak akan meninggalkan sesuatupun yang dilakukan Rasulullah,
maka pasti aku akan melakukannya.”
Adapun juga Umar bin Khattab mencium Hajar Aswad karena mengikuti jejak
Rasul. Ketika berhadapan dengan Hajar Aswad, ia berkata: “Saya tahu engkau
adalah batu. Jika tidak melihat Rasul menciummu, aku tidak akan menciummu.”
Umat Islam menyepakati bahwa hadits Nabi Muhammad merupakan sumber ajaran
Islam kedua setelah al-Qur’an bahkan hadits dapat berdiri sendiri sebagai sumber
ajaran.
Pada zaman Nabi, hadits diterima dengan mengandalkan hafalan para sahabat
Rasulullah, dan hanya sebagian hadits yang ditulis oleh para sahabat. Hal ini
disebabkan, Nabi pernah melarang para sahabat untuk menulis hadits beliau.
Meskipun, Nabi juga pernah menyuruh para sahabat untuk menulis hadits beliau.

Dalam sejarah, para sahabat belum merasa ada kepentingan untuk melakukan
penulisan dikarenakan nabi masih mudah dihubungi untuk dimintai keterangan
tentang segala sesuatu yang dilakukannya. Justru selama nabi masih hidup, beliau
memerintahkan sahabat-sahabatnya untuk menulis Al Quran.

Oleh karena itu, selama nabi hidup, para sahabat lebih terfokus kepada wahyu yang
diturunkan dan menulis Al Quran. Meskipun pada masa itu hadis berada pada
ingatan para sahabat, tetapi ada sahabat yang menuliskannya untuk kepentingan
catatan pribadinya (bukan untuk kepentingan umum). Di antaranya ialah Abdullah
bin 'Amr bin al-'As (w.65 H/685 M), Abdullah bin 'Abbas (w.68 H/687 M), 'Ali bin
Abi Thalib (w. 40 H/661 M), Sumrah (Samurah) bin Jundab (w. 60 H), Jabir bin
Abdullah (w. 78 H/697 M), dan Abdullah bin Abi Aufa' (w.86 H).

Terdapat juga Abdullah bin 'Amr bin 'Ash (dalam himpunan As Shadiqah) dan Ali
bin Abi Thalib (dalam shahifahnya mengenai huku-hukum diat yaitu soal denda
atau ganti rugi). Abu Bakar, khalifah pertama, juga menulis kurang lebih 5000
ucapan nabi tetapi kemudian beliau membakarnya.

Setelah penaklukan kota Mekkah, nabi memerintahkan para sahabat untuk memulai
mencatat perkataannya. Inilah yang menjadi perbedaan argumentasi oleh ulama
bahwa sebenarnya selama nabi hidup, sudah atau belumnya dilakukan pencatatan.

Waktu berjalan dan nabi Muhammad SAW meninggal dunia, sebagian umat Islam
masih belum bisa menerima kenaikan Abu Bakar sebagai khalifah. Lalu kemudian
muncul fenomena murtadnya sebagian umat muslim ditandakan pernyataan bahwa
mereka tidak akan mengeluarkan zakat untuk pemerintah.

Setelah Abu Bakar meninggal, digantikan Umar bin Khattab. Lalu dinamika
pemberontakan itu muncul kembali pada masa pemerintahan Utsman bin Affan
bahw pada zaman Nabi telah terjadi penulisan hadits. Misalnya berupa surat-surat
Nabi mengenai ajakan memeluk Islam kepada sejumlah pejabat dan kepala negara
yang belum memeluk Islam.

Kasus tersebut terus berlangsung sampai pemerintahan Ali bin Abi Thalib bahkan
sampai pemerintahan dinasti Umayyah. Kemudian seorang khalifaf bernama Umar
bin Abdul Aziz mengirimkan surat kepada gubernur Madinah yaituAbu Bakar bin
Muhammad bin Hazm yang berisi untuk mendorong para ulama Madinah untuk
melakukan pencatatan ucapan dan perbuatan Nabi Muhammad untuk diterbitkan
guna mengklarifikasi tuduhan palsu kepada Nabi Muhammad.
Jadi, hadis dari musnah bin al mubaraq pertama kali diliris di dunia islam. Pada saat
itu, Imam Al Bukhari yang kisaran berumur 9 tahun hafal. Lalu usaha penyusunan
hadist pun dimulai. Ulama mulai melakukan riset terhadap hadis. Langkah utama
dalam masa ini diawali dengan pengelompokan hadis. Pengelompokan dilakukan
dengan memisahkan mana hadis yang marfuk, maukuf dan maktuk. Hadis marfuk
ialah hadis yang berisi perilaku Nabi Muhammad, hadis maukuf adalah hadis yang
berisi perilaku sahabat dan hadis maktuk merupakan hadis yang berisi perilaku
tabiin. Lalu kemudian muncul istilah hadist shahih yang berarti bisa dikonfirmasi
atau sehat.

Sebagai sumber ajaran Islam yang diyakini kedua setelah al-Qur’an, hadits memiliki
fungsi yang pada intinya sejalan dengan al-Qur’an. Keberadaan hadits tidak dapat
dijelaskan dari adanya sebagian ayat al-Qur’an
1) yang bersifat global (garis besar) yang memerlukan perincian,
2) yang bersifat umum (menyeluruh) yang menghendaki pengecualian,
3) yang bersifat mutlak (tanpa batas) yang menghendaki pembatasan; dan ada pula
4) isyarat al-Qur’an yang mengandung makna lebih dari satu (musytarak) atau
dalam bahasa yang berartikan ambigu. Bahkan terdapat sesuatu yang secara khusus
tidak dijumpai keterangannya di dalam al-Qur’an yang selanjutnya diserahkan
kepada hadits Nabi. Selain itu ada pula yang sudah dijelaskan dalam al-Qur’an
tetapi hadits datang pula memberikan keterangan sehingga masalah tersebut
menjadi kuat.

Dalam kaitan ini, hadits berfungsi sebagai petunjuk dan isyarat bagi alQur’an yang
bersifat global, sebagai pengecuali terhadap isyarat al-Qur’an yang bersifat umum,
sebagai pembatas terhadap ayat al-Qur’an yang bersifat mutlak, juga sebagai
pemberi informasi terhadap suatu kasus yang tidak dijumpai dalam al-Qur’an.

Hadits juga merupakan sesuatu yang sangat urgensi untuk dipelajari dan diteliti
kebenarannya karena hadits adalah sumber kedua yang berfungsi sebagai bayan
yaitu menjelaskan ayat-ayat al-Qur’an yang masih umum sebagaimana pendapat
Imam Malik yang dikutip oleh Rohmansyah bahwa hadits mempunyai empat fungsi
utama yang menghubungkan dengan al-Qur’an, yaitu berfungsi sebagai bayan al-
taqrir yang menetapkan dan mengokohkan hukum-hukum alQur’an, bayan al-
taudhih yang menjelaskan dan menerangkan maksud-maksud dari ayat al-Qur’an,
bayan al tafshil yang menjelaskan ayat-ayat yang masih mujmal dan bayan al basthi
(tabsith dan takwil) yakni memanjangkan keterangan yang masih ringkas dalam al-
Qur’an

Maka jika kita membaca hadits tanpa didampingi oleh orang yang memahami
hadist, besar kemungkinan kita akan terjerumus ke dalam kesesatan. Maka dari itu
kita sebagai pelajar haruslah mencari ilmu atau informasi tidak hanya dari satu
sumber saja. Selain itu, kita harus mengkaji kebenaran dari informasi yang telah
ada.

You might also like