Download as pdf or txt
Download as pdf or txt
You are on page 1of 9

PROBLEMATIKA KEPEMIMPINAN ABU BAKAR AS-SHIDDIQ

SEBAGAI KHULAFAUR RASYIDIN PERTAMA


Fadzli Makmur
NIM : 22190614127
Mahasiswa Pascasarjana UIN Sultan Syarif Kasim Riau
Email : 22190614127@students.uin-suska.ac.id

ABSTRAK
Sepeninggal Nabi Muhammad Shallallahu’alaihi Wasallam, muncul
persoalan yang penting mengenai siapa orang yang berhak menggantikan
kedudukan Nabi Muhammad Shallallahu’alaihi Wasallam sebagai kepala negara.
Masa pemerintahan saat itu dinamakan masa Khulafaur Rasyidin. Sebagaimana
yang diketahui bahwa Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam tidak menunjuk
seseorang secara langsung sebagai penerusnya. Maka dikalangan umat Islam terjadi
pergolakan karena perdebatan kepemimpinan. Abu Bakar As-Shiddiq ditunjuk
sebagai pemimpin umat Islam pertama sepeninggal nabi. Abu Bakar As-Shiddiq
menjabat sebagai khalifah selama dua tahun saja. Metode yang digunakan dalam
penulisan ini adalah tinjauan literatur. Tulisan ini memaparkan bagaimana di dalam
masa pemerintahannya yang singkat tersebut terdapat banyak peristiwa atau
kebijakan yang ia tempuh yang mewarnai sejarah kaum muslimin. Adapun
peristiwa yang penting itu seperti peperangan melawan nabi palsu, orang-orang
murtad dan orang-orang yang enggan membayar zakat. Pada masa pemerintahannya
lah Al-Quran terkumpul dalam satu mushaf, yang mana merupakan dasar awal dari
pembukuan Al-Quran dan dalam hal memperluas ekspansi dakwah keislaman juga
dilakukan hingga ke irak dan syam. Dapat disimpulkan bahwa masa pemerintahan
Abu Bakar sebagai Khulafaur Rasyidin masih sejalan sebagaimana yang
dilaksanakan pada masa Nabi baik materi maupun lembaga pendidikanya, karena
Abu Bakar termasuk sahabat terdekat yang hidup sezaman dengan Nabi. Masa
pemerintahan Abu Bakar tidak lama, tapi beliau telah berhasil memberikan dasar-
dasar kekuatan bagi perjuangan perluasan dakwah dan pendidikan Islam.
Kata kunci : Abu Bakar, Khulafaur Rasyidin, Kepemimpinan

PENDAHULUAN
Abu Bakar adalah salah seorang sahabat terdekat Nabi Shallallahu’alaihi
Wasallam, dan termasuk di antara orang-orang yang pertama masuk Islam
(assabiqunal awwalun). Nama lengkapnya adalah Abdullah bin Abi Kuhafah al-
Tamimi. Pada masa kecilnya Abu Bakar bernama Abdul Ka`bah. Kemudian nama
itu ditukar oleh Nabi Muhammad Shallallahu’alaihi Wasallam menjadi
Abdullah.(Junadi Lubis, 2013) Gelar Abu Bakar diberikan Rasulullah
Shallallahu’alaihi Wasallam karena ia seorang yang paling awal masuk Islam,
sedang gelar al-Siddîq yang berarti “amat membenarkan” adalah gelar yang
diberikan kepadanya karena ia amat segera membenarkan Rasulullah

1|Jurnal Sejarah Peradaban Islam


Shallallahu’alaihi Wasallam dalam berbagai macam peristiwa, terutama peristiwa
Isra’ Mi`raj.
Abu Bakar As-Siddiq dilahirkan pada sekitar tahun ketiga setelah tahun
gajah (573 M). Ayahnya bernama bernama Utsman bin Amir bin Amr bin Ka’ab bin
Sa’ad bin Taim bin Murrah bin Ka’ab bin Luay bin Ghalib AlQuraisyi At-Tamimi.
Dengan melihat nasab Abu Bakar tersebut maka nasabnya bertemu dengan nasab
Nabi Muhammad Shallallahu’alaihi Wasallam. pada kakek keenam Murrah bin
Ka’ab. Adapun nasab Nabi Muhammad Shallallahu’alaihi Wasallam. sebagai
berikut Muhammad bin Abdullah bin Abdul Muththalib/ Syaibatul Hamdi bin
Hasyim/ Amir bin Abdul Manaf/ Al-Mughirah bin Qushai/ Mujammi’ bin Kilab/
Hakim bin Murrah bin Ka’ab bin Luay bin Ghalib.(Dahlan, 2017)
Menurut Ali al-Tanthawy dalam Zul Ikromi, bahwa panggilan Abu Bakar
oleh bangsa Arab berasal dari kata al-bakru yang berarti unta yang masih muda.
Sedangkan bentuk plural dari kata ini adalah bikarah. Jika seseorang dipangil
dengan bakran, maka hal ini menunjukkan bahwa orang tersebut merupakan sosok
pemimpin kabilah yang sangat terpandang kedudukannya dan juga sangat
terhormat.(Z. Ikromi, 2017) Maka dapat dikatakan bahwa masyarakat Arab
memandang Abu bakar sebagai sosok yang dihormati dan disegani jika melihat dari
garis keturunan dan ia juga memiliki kududukan yang tinggi di kalangannya.
Keistimewaan Abu Bakar bahkan diabadikan dalam beberapa ayat dalam
Alquran, yang pertama disaat Abu Bakar mendukung dakwah Nabi Muhammad
Shallallahu’alaihi Wasallam. Karena sebagaimana yang kita ketahui Abu Bakar
adalah lelaki pertama yang memeluk keislaman. Beliau juga selalu membantu
Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam dalam dakwahnya, hal ini tercantum dalam
QS. At- Taubah ayat 40, karena telah menjadi kesepakatan bersama bahwa tidak ada
orang yang menemani Nabi Muhammad Shallallahu’alaihi Wasallam ketika
menghidari kejaran para kaum kafir dan berlindung sehingga berada dalam gua
kecuali Abu Bakar.

ْ‫ين َك فَ ُروا َ ِﱐَ اثـْ نَ ْﲔِ إِذْ ُﳘَﺎ ِﰲ ا ﻟْﻐَﺎ رِ إِذ‬ ِ


َ ‫َخ َر َج هُ ا ﻟﱠذ‬ ْ ‫إِ ﱠﻻ تـَ نْ صُ ُروهُ فـَ قَ ْد نَصَ َرهُ ا ﱠ ُ إِذْ أ‬
ِ ‫ي ـ قُ و ُل ﻟِص‬
‫ﺎح بِهِ َﻻ َﲢْ َز ْن إِ ﱠن ا ﱠ َ مَ عَ نَﺎ ۖ فَأَنـْ َز َل ا ﱠ ُ َس كِ ي نَـ تَهُ عَ لَيْ هِ َوأَيﱠ َد هُ ِﲜُنُودٍ َﱂْ تـَ َر ْو َﻫ ﺎ‬ َ َ
° ٌ‫يز َح كِ يﻢ‬ ِ ِ ِ ِ ِ
ٌ ِ‫ين َك َف ُروا اﻟ سﱡ ْف لَ ٰى ۗ َو َك ل َم ةُ ا ﱠ ﻫ َي ا ﻟْ عُ لْ يَﺎ ۗ َوا ﱠ ُ عَ ز‬ َ ‫َو َج عَ لَ َك ل َم ةَ ا ﻟﱠذ‬
Artinya : “Jika kamu tidak menolongnya (Muhammad), sesungguhnya Allah telah
menolongnya (yaitu) ketika orang-orang kafir mengusirnya (dari Mekah); sedang
dia salah seorang dari dua orang ketika keduanya berada dalam gua, ketika itu dia
berkata kepada sahabatnya, “Jangan engkau bersedih, sesungguhnya Allah
bersama kita.” Maka Allah menurunkan ketenangan kepadanya (Muhammad) dan
membantu dengan bala tentara (malaikat-malaikat) yang tidak terlihat olehmu, dan
Dia menjadikan seruan orang-orang kafir itu rendah. Dan firman Allah itulah yang
tinggi. Allah Mahaperkasa, Mahabijaksana.” (QS. At-Taubah : 40)

2|Jurnal Sejarah Peradaban Islam


Ayat dalam Al-Quran selanjutnya menggambarkan saat Abu Bakar
membebaskan Bilal dari perbudakan.

° ‫ﺿ ٰى‬ َ ‫ َوﻟَ َس ْو‬°‫ إِﱠﻻ اﺑْتِﻐَﺎءَ َو ْج ِه َرﺑِِّه ْاﻷ َْعلَ ٰى‬° ‫َح ٍد ِعْن َدهُ ِم ْن نِ ْع َم ٍة ُْﲡَز ٰى‬
َ ‫ف يَـْر‬
ِ
َ ‫َوَمﺎ ﻷ‬

Artinya: “ Padahal tidak ada seseorangpun memberikan suatu nikmat kepadanya


yang harus dibalasnya, tetapi (dia memberikan itu semata-mata) karena mencari
keridhaan Tuhannya yang Maha tinggi. dan kelak Dia benar-benar mendapat
kepuasan.” (QS. Al-Lail: 19-21)

Pemilihan dan Pengangkatan Abu Bakar sebagai Khalifah


Pada tahun 632 H, Umat Islam sangat berkabung atas meninggalnya
Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam, mereka sangat terpukul atas kabar duka
tersebut. Banyak dari kaum muslimin yang tidak percaya jika Nabi Muhammad
Shallallahu’alaihi Wasallam telah wafat. Bahkan Umar bin Khattab mengancam
akan memerangi orang yang mengatakan Nabi Muhammad Shallallahu’alaihi
Wasallam telah wafat. Namun, Abu Bakar al-Shiddiq menenangkan kaum muslim
saat itu dengan berpidato dan membacakan firman Allah Subhanahu Wata’ala:

‫ﺎت أ َْو ﻗُتِلَ ا نـْ قَ لَ ْبـ تُ ْﻢ‬


َ َ‫ۚ أَفَﺈِ ْن م‬ ‫ﻗـَ بْ لِهِ اﻟ ﱡر ُس ُل‬ ‫ﺖ ِم ْن‬ ْ َ‫َومَ ﺎ ُﳏَ ﱠم ٌد إِ ﱠﻻ َر ُس و ٌل ﻗَ ْد َخ ل‬
ُ ‫يَضُ ﱠر ا ﱠ َ َش ْيـ ئًﺎ ۗ َو َس يَ ْج زِي ا ﱠ‬ ‫عَ قِ بـَ يْ هِ فـَ لَ ْن‬ ‫ب عَ لَ ٰى‬ ِ ِ
ْ ‫عَ لَ ٰى أَعْ قَ ﺎ ﺑ كُ ْﻢ ۚ َومَ ْن يـَ نْـ قَ ل‬
ِ
° ‫ين‬َ ‫اﻟ ﺸﱠﺎك ِر‬
Artinya, “Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang rasul, sungguh telah berlalu
sebelumnya beberapa orang rasul. Apakah jika Dia wafat atau dibunuh kamu
berbalik ke belakang (murtad)? Barangsiapa yang berbalik ke belakang, Maka ia
tidak dapat mendatangkan mudharat kepada Allah sedikitpun, dan Allah akan
memberi Balasan kepada orang-orang yang bersyukur.” (QS. Ali Imran: 144)
Kekacauan kepemimpinan terjadi selepas wafatnya Rasulullah
Shallallahu’alaihi Wasallam karena Nabi Muhammad Shallallahu’alaihi Wasallam
tidak meninggalkan pesan, baik berupa wasiat dalam bentuk penunjukkan seseorang
untuk menggantikan posisinya, atau tata cara yang dapat dilakukan untuk menunjuk
seseorang dalam proses pengangkatan pengganti Nabi sebagai kepala negara.
Akibatnya terjadilah perselisihan antara kaum Muhajirin dan kaum Anshar, masing-
masing kelompok mengajukan wakilnya untuk dijadikan sebagai penerus serta
pengganti Nabi Muhammad Shallallahu’alaihi Wasallam untuk memimpin umat
Islam pada masa itu. Masa kepemimpinan saat itu dinamakan Al-Khulafa ar-
Rasyidin yang bermakna pengganti-pengganti Rasul yang cendekiawan.(Dahlan,
2017)

3|Jurnal Sejarah Peradaban Islam


Awal musyawarah kepemimpinan terjadi tidak lama setelah Rasulullah
Shallallahu’alaihi Wasallam wafat dan jenazahnya belum dimakamkan. Kaum
Anshar lebih awal memprakarsai suatu pertemuan itu di Tsaqifah Bani Sa’idah.
Sejumlah tokoh anshar berkumpul di balai kota bani Sa’idah, Madinah. Berita
tentang permusyawarahan itu akhirnya terdengar oleh para sahabat dan kaum
Muhajirin. Setelah berunding, kaum Muhajirin sepakat mengirim tiga tokoh untuk
mendatangi tempat Persiadangan. Tiga tokoh itu adalah Abu Bakar Shiddiq, Umar
bin Khaththab, dan Abu Ubaidah bin Jarrah.
Terjadilah perdebatan mengenai siapa yang paling berhak untuk
menggantikan Nabi. Kaum Anshar menginginkan jabatan itu. Namun demikian,
kaum Muhajirin pun bersikukuh agar pengganti Nabi berasal dari kalangan mereka.
Ketika perdebatan dan ketegangan memuncak, Abu Ubaidah bin Jarrah maju ke
depan dan berkata:
“Sahabat-sahabatku dari kaum Anshar! Kalian adalah pihak yang pertama-
tama menyokong dan membantu. Janganlah kalian menjadi pihak yang pertama-
tama berubah dan berganti pendirian”. Pidato yang pendek dari Abu Ubaidah
ternyata telah menyadarkan sekalian kaum Anshar. Setelah itu tampillah Basyir bin
Sa’ad, salah satu tokoh suku Khazraj, dan berkata: “Saudara-saudaraku kaum
Anshar! Bukankah Muhammad itu dari suku besar Quraisy. Justru kaumnya lebih
berhak dan layak memegang pimpinan. Demi Allah saya sendiri tidak akan
membantahnya dalam persoalan ini. Marilah kita sama-sama bertakwa kepada
Allah. Janganlah kita saling berbantah dan bertengkar”.(Marzuki, 2006)
Dalam suasana yang sudah reda itu, Abu Bakar mengajukan perwakilan dari
kaum Muhajirin dan Anshar untuk memilih pemimpinnya diantaranya, Umar bin
Khaththab ataupun Abu Ubaidah bin Jarrah. Tetapi dengan spontan Umar bin
Khattab berkata: “Abu Bakar, bukankah Nabi sudah menyuruhmu, supaya
Engkaulah yang memimpin Muslimin Shalat? Engkaulah penggantinya (khalifah)
kami akan mengikrarkan orang yang disukai oleh Rasulullah di antara kita semua
ini,” Ikrar ini disebut “Ikrar Saqifa” (Aminah, 2015) Perkataan ini telah menggugah
hati Muslimin yang hadir sehingga kaum Muhajirin datang memberikan ikrar, dan
selanjutnya umat Anshar juga memberikan ikrarnya. Bukti dari penegasan Umar
tentang amanat Rasulullah dalam menggantikannya sebagai imam sholat juga
tercantum dalam Hadits: dari Aisyah radhiyallahu ‘anha menceritakan saat-saat
terakhir sebelum ajal Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam menjemput,

َ ‫صلﱠى أَﺑُوﺑَ ْك ٍر تِْل‬ ِ ِ ِ ‫ِ ﻟن‬ ‫صلِّ َي‬ ِ


‫ك اﻷَ ﱠ َم‬ َ َ‫ ف‬: ‫ ِوفْيه‬,‫ﱠﺎس‬ َ ُ‫صلﱠى ا ﱠُ َعلَْيه َو َسلﱠ َﻢ إِ َﱃ أَِﰊ ﺑَ ْك ٍر َِ ْن ي‬ ‫فَأ َْر َس َل اﻟنِ ﱡ‬
َ ‫ﱠﱯ‬
“Maka Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam mengutus seseorang agar menyuruh Abu
Bakar Radhiyallahu ‘anhu memimpin shalat. Dalam riwayat tersebut dikatakan:
Maka Abu Bakar menjadi imam pada hari-hari itu.” (HR. Bukhari, no. 687 dan
Muslim, no. 418)
Namun, proses pengangkatan Abu Bakar, sebagai Khalifah penerus
Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam ternyata tidak sepenuhnya berjalan mulus

4|Jurnal Sejarah Peradaban Islam


karena ada beberapa orang yang belum memberikan ikrar, seperti Ali bin Abi
Thalib, Abbas bin Abdul Muthalib, Fadl bin al-Abbas, Zubair bin al-Awwam bin al-
Ash, Khalid bin Sa’id, Miqdad bin Amir, Salman al-Farisi, Abu Dzar al-Ghifari,
Ammar bin Yasir, Bara bin Azib dan Ubai bin Ka’ab. Telah terjadi pertemuan
sebagian kaum muhajirin dan Anshar dengan Ali bin Abi Thalib di rumah Fatimah,
mereka bermaksud membai’at Ali dengan anggapan bahwa Ali bin Abi Thalib, yang
menurut mereka lebih patut menjadi Khalifah karena Ali berasal dari bani Hasyim
yang berarti Ahlul bait. Proses pengangkatan Abu Bakar, sebagai Khalifah pertama,
menunjukkan betapa seriusnya masalah suksesi kepemimpinan dalam masyarakat
Islam pada saat itu, dikarenakan kepemimpinan suku-suku Arab masih sangat lekat
dengan sistem senioritas dan prestasi, tidak diwariskan secara turun temurun. Pada
akhirnya, setelah Abu bakar secara resmi diangkat sebagai Khulafaur Rasyidin
pertama. Beliau pun tampil untuk memberikan pidato pertamanya :
“Wahai manusia sungguh aku telah memangku jabatan yang kamu kerjakan,
padahal aku bukan orang yang terbaik diantara kamu. Apabila aku melaksanakan
tugasku dengan baik, bantulah aku, dan jika aku berbuat salah, luruskanlah aku.
Kebenaran adalah suatu kepercayaan, dan kedustaan adalah suatu penghianatan.
Orang yang lemah diantara kamu adalah orang yang kuat bagi ku sampai aku
memenuhi hak-haknya, dan orang kuat diantara kamu adalah lemah bagi ku hingga
aku mengambil haknya, Insya Allah. Janganlah salah seorang darimu meninggalkan
jihad. Sesungguhnya kaum yang tidak memenuhi panggilan jihad maka Allah akan
menimpakan suatu kehinaan. Patuhlah kepadaku selama aku taat kepada Allah dan
Rasul Nya. Jika aku tidak menaati Allah dan Rasul-Nya, sekali-kali jangan lah
kamu menaatiku. Dirikanlah shalat, semoga Allah merahmati kamu”.(Junadi Lubis,
2013)
Dari pidato singkat tersebut, dapat terlihat kebijaksanaan dan ketegasan Abu
Bakar As-Siddiq. Sebagai seorang sahabat yang dekat dengan Rasulullah
Shallallahu’alaihi Wasallam maka beliau memegang erat amanah yang telah
diberikan oleh umat muslim di masa itu.

Masa Pemerintahan Abu Bakar (632-634M / 11H-13H)


Tak dapat dipungkiri bahwa pada setiap masa kepemimpinan pasti ada
masalah- masalah umat yang harus dihadapi. Adapun masa awal pemerintahan Abu
Bakar banyak juga permasalahan yang terjadi seperti pemberontakan orang-orang
murtad yang kembali kafir setelah nabi wafat, orang-orang yang enggan membayar
zakat, dan bahkan ada pula yang mengaku sebagai nabi palsu, yaitu Muzailamah Al-
Kadzdzab sebagai orang yang mengaku nabi setelah wafatnya Rasulullah
Shallallahu’alaihi Wasallam, padahal sebagaimana kita ketahui Nabi Muhammad
Shallallahu’alaihi Wasallam adalah nabi terakhir dan tidak ada nabi lagi
setelahnya. Muzailamah Al-Kadzdzab berasal dari Bani Hanifah di Yamamah dan
mempunyai banyak pengikut. Abu Bakar memerangi kemurtadan (riddah) ini
dengan membentuk sebelas pasukan. Sebelum pasukan dikirim ke daerah yang
dituju, terlebih dahulu dikirim surat yang menyeru agar mereka kembali pada ajaran
Islam. Mereka yang enggan kembali pada kebenaran, diperangi oleh pasukan-

5|Jurnal Sejarah Peradaban Islam


pasukan tersebut sehingga umat kembali bersatu kembali dalam ajaran
Islam.(Junaidi Lubis, 2013) Namun dalam peperangan dari kalangan muslimin
banyak hafiz (penghafal Al-Quran) yang syahid, karenanya Umar khawatir jika
sebagian Al-Quran nantinya akan musnah. Atas dasar hal tersebut maka ia
menyarankan Abu Bakar untuk membuat suatu kumpulan Al-Quran. Kemudian
untuk merealisasikan saran tersebut diutuslah Zaid Bin Tsabit untuk mengumpulkan
semua tulisan Al-Quran sehingga pada masa pemerintahan Abu Bakar lah Al-Quran
terkumpul dalam satu mushaf.
Untuk menyebarkan ajaran Islam dan menjaga keutuhan wilayah kaum
muslimin maka khalifah Abu Bakar As-Shiddiq mengirimkan pasukan ke wilayah
luar Arab. Ia mengirim pasukan dibawah pimpinan Khalid bin Walid ke Irak yang
akhirnya dapat menguasai Hirah pada tahun 637 M. Ia juga mengirim pasukan ke
Syam dibawah pimpinan tiga jenderalnya yaitu: Amr bin Ash, Yazin bin Abi
Sufyan dan Syurahbil bin Hasanah. Kebijakan tersebut ditempuh oleh Khalifah Abu
Bakar As-Shiddiq setelah berhasil mengamankan wilayah di dalam
negerinya.(Dahlan, 2017) Sebelum memberangkatkan pasukan tersebut Abu Bakar
As-Shiddiq memberikan pesan dan mengingatkan etika perang dalam Islam bahwa:
janganlah berkhianat, jangan menyembunyikan harta rampasan perang sebelum
dibagikan, jangan ingkar janji, jangan memutilasi tubuh musuh, jangan membunuh
anak kecil, orang tua dan wanita, jangan merusak pohon kurma dan jangan pula
menebangnya, jangan sembelih binatang kecuali untuk dimakan, jangan
mengganggu orang yang berada dalam tempat ibadah mereka.(Junaidi Lubis, 2013)
Pada masa pemerintahan Abu Bakar, permulaan pembentukan kas Negara
atau Baitulmal beserta urusannya di serahkan kepada Abu Ubaidah bin Jarrah.
Khalifah Abu Bakar mengikuti jejak kebijakan Rasulullah Shallallahu’alaihi
Wasallam dalam mengumpulkan dan membelanjakan harta zakat sebagai
pendapatan negara dan disimpan di baitul maal. Kemudian zakat yang telah
terkumpul itu langsung didistribusikan kepada kaum muslimin yang berhak
menerimanya hingga tidak tersisa. Yaitu kepada: fakir, miskin, amil, mualaf, hamba
sahaya, ghorim, sabilillah dan ibnu sabil. Kebijakan distribusi kekayaan kepada
semua sahabat Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam pada masa Abu Bakar ini
adalah dengan tidak membeda-bedakan antara kibar sahabat atau yang baru masuk
Islam, antara hamba dengan orang merdeka, pria atau wanita. Semua diberlakukan
sama (tasawy) dengan prinsip sama rata sepanjang pemerintahan beliau
Radhiyallahu ‘anhu. jika terjadi sisa harta kelebihan dari pembagian tadi, maka oleh
Abu Bakar Radhiyallahu ‘anhu dibagikan kepada masyarakat. Hal ini pernah
ditentang oleh Umar bin Khattab dengan menyampaikan bahwa umat Islam
terdahulu (assabiqunal awwalun) seharusnya diutamakan dari pada orang-orang
yang masuk Islam belakangan. Namun, Abu Bakar Radhiyallahu ‘anhu tetap dalam
pendiriannya dengan mengatakan kepada Umar Radhiyallahu ‘anhu, ” Saya sangat
menyadari akan kelebihan dan keutamaan orang-orang yang kamu sebutkan, dan
masalah tersebut akan dibalas oleh Allah Subhanahu Wata’ala. Sedangkan masalah
kebutuhan hidup dengan kesamaan ini lebih baik daripada dengan prinsip lebih
mengutamakan (tafadhul)”. Keputusan khalifah menjadi rujukan dan
menghilangkan perbedaan (amrul imam yarfa’ul khilaf).(Yuana, 2017) Di kala Abu

6|Jurnal Sejarah Peradaban Islam


Bakar pindah kediamannya dekat Masjid Baitulmal atau kas Negara itu diletakkan
di rumahnya sendiri. Selama pemerintahan Abu Bakar, harta baitul maal tidak
pernah menumpuk dalam jangka waktu yang lama karena langsung didistribusikan
kepada kaum muslimin. Semua warga negara mendapatkan bagian yang sama dari
hasil pendapatan negara. Apabila pendapatan meningkat maka setiap warga negara
mendapatkan manfaat yang sama dan tidak seorang pun yang dibiarkan dalam
kemiskinan. Hal ini terjadi sampai beliau Radhiyallahu ‘anhu wafat.
Pola pendidikan khalifah Abu Bakar masih seperti Nabi, baik dari segi
materi maupun lembaga pendidikannya. Secara umum dapat dikatakan bahwa
bentuk pemerintahan Abu Bakar memiliki bentuk pemerintahan monarki yang
menggunakan tiga cabang kekuasaan, yaitu eksekutif, legislatif dan
yudikatif.(Aminah, 2018) Melalui forum musyawarah sebagai lembaga legislatif
Abu Bakar memutuskan kebijakan pemerintahan. Sedangkan tugas-tugas secara
yudikatif, Ia delegasikan kepada para sahabat baik untuk pelaksanaan tugas-tugas
pemerintahan di Madinah maupun pemerintahan di masing-masing wilayah baik
sebagai wali ataupun amir jihad. Selain itu, Abu Bakar sebagai pihak eksekutif
secara langsung turut menangani dan memberikan persetujuan (sistem pemerintahan
yang bersifat sentralistik). Proses koordinasi atau komunikasi wali dengan khalifah
berjalan dengan intensif melalui kurir sebagai media komunikasi, terutama
menyangkut berbagai kemashlahatan, kepentingan pemerintahan dan berbagai tugas
kerja. para wali dan pejabat sering memberikan laporang kepada Khalifah mengenai
berbagai macam urusan serta, meminta saran, masukan, petunjuk dan pandangan
kepadanya. Khalifah Abu Bakar pun mengirimkan surat balasan yang berisikan
tanggapan atas berbagai macam laporan dan konsultasi tersebut. Koordinasi juga
sering dilakukan antar wali, seperti yang dilakukan wali San’a dan
Hadramaut.(Fathul, 2018) Selain itu juga, persoalan Halal dan Haram, hak milik
dan hubungan baik sesama manusia menjadi pedoman hidup masyarakat pada masa
pemerintahan Abu bakar. Mereka tak membeda-bedakan antara peraturan
pemerintah dan hukum Agama, bahkan mereka meyakinkan bahwa ajaran Agama
lah yang melahirkan pemerintahan dan Negara Islam, seterusnya seluruh peraturan
pemerintah diciptakan oleh syariat Islam. Berdasarkan hal itu, kepatuhan rakyat
kepada hukum dan norma Islam merupakan kepatuhan lahir dan batin yang benar-
benar timbul dari hati sanubari dan keimanan.
Meskipun pada masa Abu Bakar peperangan di dalam dan di luar negeri
masih berlangsung, pemerintahannya tetap berpegang pada musyawarah. Dalam
memutuskan suatu perkara, Abu Bakar tidak pernah membeda-bedakan satu
golongan dengan golongan yang lain. Pemerintah Abu Bakar telah merintis
kesatuan politik negeri Arab, di samping kesatuan yang bersifat keagamaan. Hal ini
terlihat ketika Abu Bakar memberikaan maaf kepada pemimpin-pemimpin
pemberontak di Yaman, seperti Qurrah bin Hubairah, Amr bin Ma’di dan Asy’as
bin Qais serta pemuka Arab lainnya yang bermaksud melepaskan diri dari Madinah.
Abu Bakar meninggal dunia pada tahun 634 M/13 H, yaitu ketika pasukan angkatan
perangnya sedang berusaha menaklukan Palestina, Irak, dan Kerajaan
Hirah.(Marzuki, 2016) Ketika sedang sakit, dan merasa ajalnya sudah dekat, ia

7|Jurnal Sejarah Peradaban Islam


bermusyawarah dengan para sahabatnya yang terkemuka untuk mengangkat Umar
bin Khaththab sebagai penggantinya.

KESIMPULAN
Kekacauan kepemimpinan terjadi selepas wafatnya Rasulullah karena Nabi
Muhammad Shallallahu’alaihi Wasallam tidak meninggalkan pesan, baik berupa
wasiat dalam bentuk penunjukkan seseorang untuk menggantikan posisinya, atau
tata cara yang dapat dilakukan untuk menunjuk seseorang dalam proses
pengangkatan pengganti Nabi sebagai kepala negara. Akibatnya terjadilah
perselisihan antara kaum Muhajirin dan kaum Anshar, masing-masing kelompok
mengajukan wakilnya untuk dijadikan sebagai penerus serta pengganti Nabi
Muhammad untuk memimpin umat Islam pada masa itu. Hal ini terjadi bahkan
sebelum jenazah Nabi dimakamkan, sebagian orang telah memulai forum
pemusyawarahan untuk mempertimbangkan siapa yang akan menggantikan beliau
sebagai pemimpin negara. Kaum Anshar lebih awal memprakarsai suatu pertemuan
itu di Tsaqifah Bani Sa’idah. Pertemuan itu, secara spontan diadakan dan pertama
muncul wacana pengangkatan salah seorang sahabat dari kalangan Anshar yang
bernama Saad bin Ubaidah sebagai khalifah. Namun kaum Muhajirin dibawah
perwakilan Abu Bakar Umar Bin Khattab dan Ubaidah bin Jarrah mendatangi
pertemuan tersebut maka, tejadilah perdebatan yang alot. Abu Bakar dengan tenang
mulai berbicara. Beliau memberikan pertimbangan tentang kariteria pengganti Nabi.
Lalu mengajukan dua tokoh Quraisy, Umar bin Khattab dan Abu Baidah bin Jarrah,
untuk dipilih salah satunya. Orang-0rang Ansar sangat terkesan dengan penjelasan
Abu Bakar dan tampak berharap kepadanya, namun segera Umar bin Khattab
berdiri dan mengajukan Abu Bakar sebagai pengganti Nabi. Pasalnya, bahwa Abu
Bakar jauh lebih tepat dari pada dirinya. Sebab, menurutnya, Abu Bakar adalah
orang kepercayaan Nabi, jika beliau uzur menjadi imam shalat, maka Abu Bakar
diminta untuk menggantikannya. Atas dasar itu, hadirin tidak keberatan menerima
Abu Bakar sebagai Khalifah.
Abu Bakar menjabat sebagai khalifah selama dua tahun. Dalam masa
pemerintahan tersebut, ia melanjutkan misi ekspedisi Usama bin Zaid yang telah
dipersiapkan Rasulullah pada masa hidupnya, mengambalikan kaum muslimin
dalam ajaran Islam yang benar dan memerangi kaum murtad, mengumpulkan
Alqur’an dalam satu mushaf, dan mengirim pasukan ke Irak dan Syam untuk
menyebarkan ajaran Islam.

REFERENSI
Jurnal
Junaidi Lubis.2013. Kontribusi Peradaban Islam Masa Khulafaurrasyidin:
Pembentukan Masyarakat Politik Muslim. Jurnal Madania 17 (1) : 53, 76
H.M Dahlan. 2017. Kontribusi Abu Bakar Terhadap Perkembangan Islam. Jurnal
Rihlah 5 (2) : 130-132
Z. Ikromi, “Pendekatan Istishlāhi dalam Ijtihad Abu Bakar Al-Shiddiq,” Mazahib, vol. 16,
no. 1, p. 50, 2017, doi: 10.21093/mj.v16i1.678.
8|Jurnal Sejarah Peradaban Islam
Marzuki.2006. Pendidikan Agama Islam .Surakarta. Mediatama. 129
Ely Zainudin Ely. 2015. Peradaban Islam Pada Masa Khulafaur Rasyidin.
Universitas Islam Nahdlatul Ulama Jepara. Jurnal Intelegensia 3 (1) : 51
Nur Huda Fathul. 2018. Manajemen Pemerintahan Khalifah Abu Bakar As Shiddiq
Dalam Pengembangan Dakwah Islam. Skripsi. IAIN Purwokerto : 26
Nina Aminah. 2015. Pola Pendidikan Islam Periode Khulafaur Rasyidin. UIN Sunan
Gunung Djati Bandung. Jurnal Tarbiya 1 (1) : 34,36
Afandi. 2018. Khulafaur Rasyidin Dan Anatomi-Dialektik Pendidikan Politik
Penguasa . STIT Al-Ibrohimy Bangkalan. Jurnal Al-Ibrah 3 (2) : 110
Utomo Yuana Tri. 2017. Kisah Sukses Pengelolaan Keuangan Publik Islam
(Perspektif Historis). Sekolah Tinggi Ekonomi Islam (STEI) Hamfara. Jurnal
Ekonomi Islam 17 : 163
Aminah, Nina. 2015. “Pola Pendidikan Islam Periode Khulafaur Rasyidin.” Jurnal Tarbiya 1:
31–46.
Anis, Muhammad. 2020. “Perkembangan Politik Masa Al-Khulafa Al-Rasyidun.” Jurnal Al-
Qalam: Jurnal Kajian Islam & Pendidikan 8(1): 52–72.
Dahlan, H. Muh. 2017. “KONTRIBUSI ABU BAKAR TERHADAP PERKEMBANGAN
ISLAM.” Jurnal Rihlah 5(2): 126–37.
Mulawarman. 2020. “PIDATO PERTAMA ABU BAKAR DI DEPAN KAUM ANSHAR.”
Jurnal BIDAR 10: 27–36.
Rahmatullah, Muhammad. 2014. “Kepemimpinan Khalifah Abu Bakar Ash-Shiddiq.” Jurnal
Khatulistiwa - Journal of Islamic Studies 4(2): 197–204.
Siri, Hasnani. 2017. “ABU BAKAR: FUNGSI KEKHALIFAHAN DAN
KEBIJAKSANAANNYA MEMERANGI KAUM MURTAD.” Zawiyah Jurnal
Pemikiran Islam 3(1): 170–83.
Suriana. 2013. “DIMENSI HISTORIS PENDIDIKAN ISLAM (Masa Pertumbuhan,
Perkembangan, Kejayaan, Dan Kemunduran).” Jurnal Pionir 1: 14–27.
Sutisna. 2014. “URGENSI KEPALA NEGARA DAN PENGANGKATANNYA DALAM
ISLAM Urgensi Head of State and His Appointment in Islam Kajian Teori.” Jurnal
Sosial Humaniora 5: 43–49.
Zainudin, Ely. 2015. “Peradaban Islam Pada Masa Khulafah Rasyidin.” Jurnal Intelegensia
03(01): 50–58.
Buku
Amin, Samsul Munir. 2021. Sejarah Peradaban Islam. ed. Lihhiati. Jakarta: Amzah.

9|Jurnal Sejarah Peradaban Islam

You might also like